Anda di halaman 1dari 27

Clinical Science Session

INFERTILITAS

Oleh

Alvin Arif 1841312284

Tiya Taslisia 1840312248

Preseptor :

dr. H. Ariadi, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehadiran seorang anak merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami


istri apalagi bagi mereka yang telah lama menikah. Akan tetapi tidak semua
pasangan suami istri bisa mendapatkan keturunan secara biologis dengan mudah.
Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat disebabkan oleh
faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya. Infertilitas dapat juga tidak
diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik. Masalah
infertilitas dapat memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang
mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapat
menyebabkan masalah ekonomi maupun psikologis. Secara garis besar, pasangan
yang mengalami infertilitas akan menjalani proses panjang dari evaluasi dan
pengobatan, dimana proses ini dapat menjadi beban fisik dan psikologis bagi
pasangan infertilitas.1

Bertambahnya umur sangat berpengaruh terhadap fertilitas seorang


perempuan, namun pada laki-laki, bertambahnya umur belum memberikan
pengaruh yang jelas terhadap kesuburan. Menurut data National Survey of
Family Growth sekitar 10% - 15% pasangan infertil, banyak terjadi pada
pasangan yang lebih tua. Lebih kurang seperlima pasangan usia subur di Amerika
Serikat adalah pasangan infertil. Lima belas persen diantaranya tergolong infertil
yang tidak jelas penyebabnya (unexplained infertility). Berdasarkan persentase
perempuan umur 15-49 tahun yang mengalami infertilitas primer di Asia,
prevalensi infertilitas idiopatik bervariasi antara 22-28 %, studi terbaru
menunjukkan di antara pasangan yang berkunjung ke klinik fertilitas, sebesar 21
% perempuan berumur di bawah 35 tahun dan 26% perempuan berumur di atas 35
tahun.1,2

Penelitian di Perancis melaporkan 65% perempuan berumur 25 tahun akan


mengalami kehamilan pada 6 bulan dan secara akumulasi 85% kehamilan akan
didapatkan pada akhir tahun pertama. Ini berarti jika terdapat 100 pasangan yang
mencoba untuk hamil, 40 pasangan tidak akan hamil setelah enam bulan, dan 15

2
pasangan tetap tidak hamil setelah setahun. Untuk pasangan dengan umur 35
tahun atau lebih peluang kehamilan menjadi 60% pada tahun pertama dan 85%
pada tahun kedua. Kurang lebih 15 persen tetap belum mendapatkan kehamilan
setelah tahun ke-3 perkawinan. 1,2,3

World Health Organization (WHO) secara global memperkirakan adanya


kasus infertil pada 8%-10% pasangan, jika dari gambaran global populasi maka
sekitar 50-80 juta pasangan (1 dari 7 pasangan) atau sekitar 2 juta pasangan
infertil baru setiap tahun dan jumlah ini terus meningkat. 2 Berdasarkan National
Survey of Family Growth (NSFG) di Amerika Serikat, persentase wanita infertil
pada tahun 1982, tahun 1988 hingga tahun 1995 terus mengalami peningkatan
dari 8.4% menjadi 10.2% (6.2 juta). Kejadian ini diperkirakan akan terus
meningkat hingga mencapai 7.7 juta pada tahun 2025.3 Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2012 kejadian infertil di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahun. Prevalensi pasangan infertil di Indonesia tahun 2013
adalah 15-25% dari seluruh pasangan yang ada.

Penyebab infertilitas harus dilihat pada kedua belah pihak yaitu isteri dan
suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus dilihat sebagai satu
kesatuan adalah adanya faktor imunologi yang memegang peranan dalam fertilitas
suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor semen/sperma,
cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri terhadap semen/sperma suami.
Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi. 2.3 Infertilitas dapat
juga tidak diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas
idiopatik. 3

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi, pemeriksaan

dan tatalaksana infertilitas.

1.3 Tujuan Penulisan

3
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, klasifikasi,

etiologi, pemeriksaan dan tatalaksana infertilitas.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang

merujuk kepada literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infertilitas

4
Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan

kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara

teratur tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer.

Infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau

mempertahankan kehamilannya. Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan

pengobatan dapat dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. Infertilitas idiopatik

mengacu pada pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar

meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil normal.1

2.2 Klasifikasi Infertilitas

Infertilitas dapat dibagi atas primer, sekunder dan infertilitas idiopatik.

Infertilitas adalah kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan

sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara terartur tanpa

kontrasepsi. Sedangkan infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang

memilikia anak atau mempertahankna kehamilannya. Pada perempuan diatas 35

tahun, evaluasi dan pengobatan dapat dilakukan setelah 6 bulan pernikahan.

Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan infertile yang telah menjalani

pemeriksaan standar meliputi ter ovulasi, potensi tuba, dan analisis semen dengan

hasil. 2,3

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus

infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Di

Amerika sekitar 5 juta orang mengalami permasalahan infertilitas, sedangkan di

Eropa angka kejadiannya mencapai 14%. Pada tahun 2002, dua juta wanita usia

reproduktif di Amerika merupakan wanita infertil. Sedangkan di Indonesia,

5
berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1996, diperkirakan ada 3,5 juta

pasangan (7 juta orang) yang infertile. Di Indonesia, angka infertilitas telah

meningkat mencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan. Infertilitas dapat

disebabkan oleh pihak istri maupun suami. Kondisi yang menyebabkan infertilitas

dari faktor istri didapatkan sebanyak 65%, faktor suami 20%, kondisi lain-lain dan

tidak diketahui 15%. Suatu penelitian menunjukkan penyebab infertilitas terkait

dengan permasalahan dari pihak istri adalah tuba (27,4%), tidak diketahui

(24,5%), masalah menstruasi (20%), uterus (9,1%), ovarium (3,6%), kelainan

seksual (2,7%). Angka kejadian infertilitas pada wanita terjadi pada berbagai

rentang umur, 20-29 tahun (64,5%), 30-39 tahun (20%), 40-49 tahun (11,8%),

diatas 50 tahun (3,7%). Penelitian lain nya menemukan 54,4% wanita infertile

merupakan wanita yang bekerja penuh waktu, 33,3 % wanita yang bekerja paruh

waktu, 3,5% merupakan ibu rumah tangga. Sebanyak 84% perempuan akan

mengalami kehamilan dalam kurun waktu satu tahun pertama pernikahan bila

mereka melakukan hubungan suami istri secara teratur tanpa menggunakan alat-

alat kontrasepsi. Angka kehamilan kumulatif akan meningkat menjadi 92% ketika

lama usia pernikahan dua tahun.2

2.4 Etiologi/Faktor Penyebab 3,6

Secara garis besar penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi faktor tuba

dan pelvik (35%), faktor lelaki (35%), faktor ovulasi (15%), faktor idiopatik

(10%), dan faktor lain (5%).

Penelitian yang dilakukan Vang 2003, berdasarkan pengamatan terhadap

518 pasangan suami istri yang berusia antara 24 - 34 tahun dijumpai 50%

6
kehamilan terjadi di dalam dua siklus haid pertama dan 90% kehamilan terjadi di

dalam enam siklus haid pertama. Vang menemukan bahwa angka fekunditas per

bulan adalah berkisar antara 30 - 35%.3

1. Non-Organik

a. Usia

Usia, terutama usia istri, sangat menentukan besarnya kesempatan

pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan. Terdapat hubungan yang

terbalik antara bertambahnya usia istri dengan penuruman kemungkinan untuk

mengalami kehamilan. Sembilan puluh empat persen (94%) perempuan subur

di usia 35 tahun atau 77% perempuan subur di usia 38 tahun akan mengalami

kehamilan dalam kurun waktu tiga tahun lama pernikahan. Ketika usia istri

mencapai 40 tahun maka kesempatan untuk hamil hanya sebesar lima persen

per bulan dengan kejadian kegagalan sebesar 34 - 52%.3

Akibat masalah ekonomi atau adanya keinginan segolongan perempuan

untuk meletakkan kehamilan sebagai prioritas kedua setelah upaya mereka

untuk meraih jenjang jabatan yang baik di dalam pekerjaannya, merupakan

alasan bagi perempuan untuk menunda kehamilannya sampai berusia sekitar 30

tahun atau bahkan lebih tua lagi. Hal ini menyebabkan usia rata-rata

perempuan masa kini melahirkan bayi pertamanya 3,5 tahun lebih tua

dibandingkan dengan usia perempuan yang dilahirkan pada 30 tahun yang lalu.

Tentu hal ini akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap penurunan

kesempatan bagi perempuan masa kini untuk mengalami kehamilan. 3

b. Frekuensi Senggama

7
Angka kejadian kehamilan mencapai puncaknya ketika pasangan suami

istri melakukan hubungan suami istri dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam

seminggu. Upaya penyesuaian saat melakukan hubungan suami istri dengan

terjadinya ovulasi, justru akan meningkatkan kejadian stres bagi pasangan

suami istri tersebut, upaya ini sudah tidak direkomendasikan lagi. 3

c. Pola Hidup

 Alkohol

Pada perempuan tidak terdapat cukup bukti ilmiah yang

menyatakan adanya hubungan antara minuman mengandung alkohol

dengan peningkatan risiko kejadian infertilitas. Namun, pada lelaki

terdapat sebuah laporan yang menyatakan adanya hubungan antara minum

alkohol dalam jumlah banyak dengan penunrnan kualitas sperma. 3

 Merokok

Dari beberapa penelitian yang ada, dijumpai fakta bahwa merokok

dapat menurunkan fertilitas perempuan. Oleh karena itu sangat dianjurkan

untuk menghentikan kebiasaan merokok jika perempuan memiliki masalah

infertilitas. Penurunan fer tilitas perempuan juga terjadi pada

perempuan perokok pasif. Penurunan fertilitas juga dialami oleh lelaki

yang memiliki kebiasaan merokok. 3

 Berat Badan

Perempuan dengan indeks massa tubuh yang lebih dari 29, yang

termasuk di dalam kelompok obesitas, terbukti mengalami keterlambatan

hamil. Usaha yang paling baik untuk menurunkan berat badan adalah

8
dengan cara menjalani olahraga teratur serta mengurangi asupan kalori di

dalam makanan. 3

2. Organik

a. Masalah Vagina

Vagina merupakan hal yang penting di dalam tata laksana infertilitas.

Terjadinya proses reproduksi manusia sangat terkait dengan kondisi vagina

yang sehat dan berfungsi normal. Masalah pada vagina yang memiliki kaitan

erat dengan peningkatan kejadian infertilitas adalah sebagai berikut. 3

 Dispareunia: merupakan masalah kesehatan yang ditandai dengan rasa

tidak nyaman atau rasa nyeri saat melakukan sanggama. Dispareunia

dapat dialami perempuan ataupun lelaki. Pada perempuan dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah sebagai berikut.


o Faktor infeksi, seperti infeksi kandida vagina, infeksi klamidia

trakomatis vagina, infeksi trikomonas vagina, dan pada saluran

berkemih.
o Faktor organik, seperti vaginismus, nodul endometriosis di vagina,

endometriosis pelvik, atau keganasan vagina.

Dispareunia pada lelaki dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut.

- Faktor infeksi, seperti uretritis, prostitis, atau sistitis. Beberapa

kuman penyebab infeksi antara lain adalah Niseria Gonore.

- Faktor organik, seperti prepusium yang terlampau sempit, luka

parut di penis akibat infeksi sebelumnya, dan sebagainya.

 Vaginismus: merupakan masalah pada perempuan yang ditandai dengan

adanya rasa nyeri saat penis akan melakukan penetrasi ke dalam vagina.

Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya zat lubrikans atau pelumas

9
vagina, tetapi terutama disebabkan oleh diameter liang vagina yang

terlalu sempit, akibat kontraksi refleks otot pubokoksigeus yang terlalu

sensitif, sehingga terjadi kesulitan penetrasi vagina oleh penis.

Penyempitan liang vagina ini dapat disebabkan oleh faktor psikogenik

atau disebabkan oleh kelainan anatomik. Faktor anatomi yang terkait

dengan vaginismus dapat disebabkan oleh operasi di vagina sebelumnya

seperti episiotomi atau karena luka trauma di vagina yang sangat hebat

sehingga meninggalkan jaringan parut.


 Vaginitis. Beberapa infeksi kuman seperti klamidia trakomatis, Niseria

Gonore, dan bakterial vaginosis seringkali tidak menimbulkan gejala

klinik sama sekali. Namun, infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan

yang erat dengan infertilitas melalui kerusakan tuba yang dapat

ditimbulkannya.

b. Masalah Uterus

Uterus dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas. Faktor uterus yang

memiliki kaitan erat dengan kejadian infertilitas adalah serviks, kavum uteri,

dan korpus uteri. 3

 Faktor serviks
 Servisitis. Memiliki kaitan yang erat dengan teriadinya infertilitas.

Servisitis kronis dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk

melakukan penetrasi ke dalam kavum uteri. Adanya tanda infeksi

klamidia trakomatis di serviks seringkali memiliki kaitan erat

dengan peningkatan risiko kerusakan tuba melalui reaksi

imunologi.
 Trauma pada serviks. Tindakan operatif tertentu pada serviks

seperti konisasi atau upaya abortus profokatus sehingga

10
menyebabkan cacat pada serviks, dapat menjadi penyebab

terjadinya infertilitas.
 Faktor kavum uteri.

Faktor yang terkait dengan kavum uteri meliputi kelainan anatomi kavum

uteri dan faktor yang terkait dengan endometrium.

 Kelainan anatomi kavum uteri. Adanya septum pada kavum uteri,

tentu akan mengubah struktur anatomi dan struktur vaskularisasi

endometrium. Tidak terdapat kaitan yang erat antara septum uteri

ini dengan peningkatan kejadian infertilitas. Namun, terdapat

kaitan yang erat antara septum uteri dengan peningkatan kejadian

kegagalan kehamilan muda berulang. Kondisi uterus bikornis atau

uterus arkuatus tidak memiliki kaitan yalg erat dengan kejadian

infertilitas.
 Faktor endometriosis. Endometriosis kronis memiliki kaitan yang

erat dengan rendahnya ekspresi integrin (avb3) endometrium yang

sangat berperan di dalam proses implantasi. Faktor ini yang dapat

menerangkan tingginya kejadian penyakit radang panggul subklinik

pada perempuan dengan infertilitas. Polip endometrium merupakan

pertumbuhan abnormal endometrium yang seringkali dikaitkan

dengan kejadian infertilitas. Adanya kaitan antara kejadian polip

endometrium dengan kejadian endometrium kroniks tampaknya

meningkatkan kejadian infertilitas.

 Faktor miometrium

11
Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari

peningkatan aktivitas proliferasi sel-sel miometrium. Berdasarkan lokasi

mioma uteri terhadap miometrium, serviks dan kavum uteri, maka mioma

uteri dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi sebagai berikut. Mioma

subserosum, mioma intramural, mioma submukosum, mioma serviks, dan

mioma di rongga peritoneum. Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian

infertilitas hanyalah berkisar antara 30 - 50%. Mioma uteri mempengaruhi

fertilitas kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada

kanalis servikalis, atau mempengaruhi implantasi.

 Adenomiosis, adenomiosis uteri merupakan kelainan pada

miometrium berupa susupan jaringan stroma dan kelenjar yang sangat

menyerupai endometrium. Sampai saat ini masih belum diketahui

dengan pasti patogenesis dari adenomiosis uteri ini. Secara teoritis,

terjadinya proses metaplasi jaringan bagian dalam dari myometrium

(the junctional zona) yang secara ontogeni merupakan sisa dari duktus

Muller. Adenomiosis memiliki kaitan yang erat dengan nyeri pelvik,

nyeri haid, perdarahan uterus yang abnormal, deformitas bentuk

uterus, dan infertilitas.

c. Masalah Tuba

Tuba Fallopii memiliki peran yang besar di dalam proses fertilisasi, karena

tuba berperan di dalam proses transpor sperma, kapasitas sperma proses

fertilisasi, dan transport embrio. Adanya kerusakan/kelainan tuba tentu akan

berpengaruh terhadap angka fertilitas. Keiainan tuba yang seringkali dijumpai

pada penderita infertilitas adalah sumbatan tuba baik pada pangkal, pada

12
bagian tengah tuba, maupun pada uiung distal dari tuba. Berdasarkan bentuk

dan ukurannya, tuba yang tersumbat dapat tampil dengan bentuk dan ukuran

yang normal, tetapi dapat pula tampil dalam bentuk hidrosalping. Sumbatan

tuba dapat disebabkan oleh infeksi atau dapat disebabkan oleh endometriosis.

Infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya

kerusakan tuba.3

d. Masalah Ovarium

Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormon.

Masalah utama yang terkait dengan fertilitas adalah terkait dengan fungsi

ovulasi. Sindrom ovarium poIikistik merupakan masalah gangguan ovulasi

utama yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk

menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik iika dijumpai dari tiga

gejala di bawah ini. 3



Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi.

Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan

ultrasonografi (USG).

Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun

biokimiawi.

Empat puluh sampai tujuh puluh persen kasus sindrom ovarium polikistik

ternyata memiliki kaitan erat dengan kejadian resistensi insulin. Penderita

infertilitas dengan obesitas seringkali menunjukkan gejala sindrom ovarium

polikistik. Masalah gangguan ovulasi yang lain adalah yang terkait dengan

pertumbuhan kista ovarium non-neoplastik ataupun kista ovarium neoplastik.

Kista ovarium yang sering dijumpai pada penderita infertilitas adalah kista

endometrium yang sering dikenal dengan istilah kista cokelat. Kista

13
endometriosis tidak hanya mengganggu fungsi ovulasi, tetapi juga dapat

mempengaruhi fungsi maturasi oosit. Untuk menilai derajat keparahan

endometriosis, saat ini digunakan klasifikasi berdasarkan revisiAmerican

Fertility Sociery (AFS). Pada kista endometriosis dengan AFS derajat sedang

atau berat kejadian infertilitas dapat dikaitkan dengan kegagalan ovulasi,

kegagalan maturasi oosit, dan kegagalan fungsi tuba akibat deformitas tuba.

Tindakan operatif untuk pengangkatan kista ovarium jika tidak dilakukan

dengan hati-hati dapat berakibat meningkatnya kejadian kegagalan fungsi

ovarium, yang akan semakin memperbumk prognosis fertilitasnya.

e. Masalah Peritoneum

Masalah yang sering dikaitkan antara faktor peritoneum dengan infertilitas

adanya faktor endometriosis. Endometriosis dijumpai sebesar 25 - 40% pada

perempuan dengan masalah infertilitas dan dijumpai sebesar 2 - 5% pada

populasi umum. Endometriosis dapat tampil dalam bentuk adanya nodul-nodul

saja di permukaan peritoneum atau berupa jaringan endometriosis yang

berinfiltrasi dalam di bawah lapisan peritoneum. Endometriosis dapat terlihat

dengan mudah dalam bentuk yang khas yaitu nodul hitam, nodul hitam

kebiruan, nodul cokelat, nodul putih, nodul kuning, dan nodul merah yang

seringkali dipenuhi pula oleh sebaran pembuluh darah. Bercak endometriosis

juga dapat tampil tersembunyi tipis di bawah lapisan peritoneum yang dikenal

dengan istilah nodul powder burn, dan ada pula bercak endometriosis yang

tertanam dalam di bawah lapisan peritoneum (deep infiltrating endometriosis).3

3. Faktor Laki-laki1-3

14
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya sebesar

30-40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan

pada laki-laki penting dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas.

Tabel 2.1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan infertilitas laki-laki dan

distribusi persentase pada pasien

2.5 Pemeriksaan Infertilitas

Pemeriksaan dasar merupakan hal yang sangat penting dalam tata laksana

infertilitas. Dengan melakukan pemeriksaan dasar yang baik dan lengkap, maka

terapi dapat diberikan dengan cepat dan tepat, sehingga penderita infertilitas dapat

terhindar dari keterlambatan tata laksana.infertilitas yang dapat memperburuk

prognosis dari pasangan suami istri tersebut. 3

2.5.1 Anamnesis

15
Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah

pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau

minum, minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah

satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kartikosteroid, dan

sitostatika. Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat

dikatakan siklus haid normal jika berada dalam kisaran antara 21 - 35 hari.

Sebagian besar perempuan dengan siklus haid yang normal akan menunjukkan

siklus haid yang berovulasi. Untuk mendapatkan rerata siklus haid perlu

diperoleh informasi haid dalam kurun 3 - 4 bulan terakhir. Perlu juga diperoleh

informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid setiap bulannya dan perlu

dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat haid akibat nyeri atau

terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi. Perlu dilakukan

anamnesis terkait dengan frekuensi sanggama yang dilakukan selama ini.

Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan bagi

pasutri untuk melakukan sanggama secara teratur dengan frekuensi 2 - 3 kali

per minggu. Upaya untuk mendeteksi adanya olulasi seperti pengukuran suhu

basal badan dan penilaian kadar luteinizing bormone (LH) di dalam urin

seringkali sulit untuk dilakukan dan sulit untuk diyakini ketepatannya,

sehingga hal ini sebaiknya dihindari saja. 3

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah

infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan

pengukuran lingkar pinggang. Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan

dengan menggunakan formula berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan

16
(m2). Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25kg/m2

termasuk ke dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan

erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 seringkali

dikaitkan dengan penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan

adanya penyakit kronis seperti infeksi tuberkulosis (TBC), kanker, atau

masalah kesehatan jiwa seperti anoreksia nervosa atau bulimia nervosa.

Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu

dada yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau

pertumbuhan jerawat yang banyak dan tidak normal pada perempuan,

seringkali terkait dengan kondisi hiperandrogenisme, baik klinis maupun

biokimiawi. 3

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dasar yang dianjurkan untuk mendeteksi atau mengonfirmasi

adanya ovulasi dalam sebuah siklus haid adalah penilaian kadar progesteron

pada fase luteal madia, yaitu kurang lebih 7 hari sebelum perkiraan datangnya

haid. Adanya ovulasi dapat ditentukan jika kadar progesteron fase luteal madia

dijumpai lebih besar dari 9,4 mg/ml (30 nmol/l). 3

Penilaian kadar progesteron pada fase luteal madia menjadi tidak memiliki

nilai diagnostik yang baik jika terdapat siklus haid yang tidak normal seperti

siklus haid yang jarang (lebih dari 35 hari), atau siklus haid yang terlalu sering

(kurang dari 21 hari). Pemeriksaan kadar thyroid stimulating hormone (TSH)

dan prolactin hanya dilakukan jika terdapat indikasi berupa siklus yang tidak

berovulasi, terdapat keluhan galaktore atau terdapat kelainan fisik atau gejala

klinik yang sesuai dengan kelainan pada kelenjar tiroid. 3

17
Pemeriksaan kadar luteinizing hormone (LH) dan follicles stimulating

hormone (FSH) dilakukan pada fase proliferasi awal (hari 3 - 5) terutama jika

dipertimbangkan terdapat peningkatan LH/FSH pada kasus sindrom ovarium

polikistik (SOPK). Jika dijumpai adanya tanya klinis hiperandrogenisme,

seperti hirsutisme atau akne yang banyak, maka perlu dilakukan pemeriksaan

kadar testosteron atau pemerlksaan free androgen index (FAI), yaitu dengan

melakukan kajian terhadap kadar testosteron yang terikat dengan sex bormone

binding (SHBG) dengan formula FAI= 100 x testosterone total/SHBG. Pada

perempuan kadar FAI normal jika dijumpai lebih rendah dari 7. Pemeriksaan

uji pascasanggama atau postcoital test (PCT) merupakan metode pemeriksaan

yang bertujuan untuk menilai interaksi antara sperma dan lendir serviks.

Metode ini sudah tidak dianjurkan untuk digunakan karena memberikan hasil

yang sulit untuk dipercaya. 3

a. Pemeriksaan Analisis Sperma

Pemeriksaan analisis sperma sangat penting dilakukan pada awal

kunjungan pasutri dengan masalah infertilitas, karena dari berbagai

penelitian menunjukkan bahwa faktor lelaki turut memberikan kontribusi

sebesar 40% terhadap kejadian infertilitas. Beberapa syarat yang harus

diperhatikan agar menjamin hasil analisis sperma yang baik adalah sebagai

berikut. 3

Lakukan abstinensia (pantang sanggama) selama 2 - 3 hari.

Keluarkan sperma dengan cara masturbasi dan hindari dengan cara

sanggama terputus.

Hindari penggunaan pelumas pada saat masturbasi.

Hindari penggunaan kondom untuk menampung sperma.

18

Gunakan tabung dengan mulut yang lebar sebagai tempat

penampungan sperma.

Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal, dan

waktu pengumpulan sperma, metode pengeluaran sperma yang

dilakukan (masturbasi atau sanggama terputus).



Kirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma. Hindari

paparan temperature yang terlampau tinggi (>38’C) atau terlalu

rendah (<15'C) atau menempelkannya ke tubuh sehingga sesuai

dengan suhu tubuh.

Kriteria yang digunakan untuk menilai normalitas analisis sperma

adalah kriteria normal berdasarkan kriteria WHO (Tabel 1). Hasil dari

analisis sperma tersebut menggunakan terminologi khusus yang

diharapkan dapat menjelaskan kualitas sperma berdasarkan konsentrasi,

mortalitas dan morfologi sperma (Tabel 2). 3

Tabel 2.2 Nilai normal analisis sperma berdasarkan kriteria WHO

19
Tabel 2.3 Terminologi dan definisi analisis sperma berdasarkan kualitas sperma

Dua atau tiga nilai analisis sperma diperlakukan untuk menegakkan

diagnosis adanya anaiisis sperma yang abnormal. Namun, cukup hanyak

melakukan analisis sperma tunggal jika pada pemeriksaan telah dijumpai

hasil analisis sperma normal, karena pemeriksaan analisis sperma yang ada

merupakan metode pemeriksaan yang sangat sensitif. Untuk mengurangi

nilai positif palsu, maka pemeriksaan analisis sperma yang berulang hanya

dilakukan jika pemeriksaan analisis sperma yang pertarna menunjukkan

hasil yang abnormal. Pemeriksaan analisis sperma kedua dilakukan dalam

kurun waktu 2 – 4 minggu. 4

b. Uji Pasca Senggama (UPS)

Apabila telah diyakini bahwa analisis spermanya normal, maka UPS

bisa dijadwalkan. Ini akan memperlihatkan apakah semen sudah terpancar

dengan baik ke puncak vagina selama senggama. UPS dilakukan sekitar 2-3

hari sebelum perkiraan ovulasi. Pasien diminta datang 2-8 jam setelah

senggama normal. Getah servik dihisap dari kanal endoserviks yang pada

tahap ini harus banyak dan bening. Pemeriksaan dilakukan dengan

20
mikroskop. Jika dijumpai 20 sperma per lapang pandang, harapan untuk

kehamilan cukup besar jika 1-20 sperma aktif per lapang pandang. Uji ini

harus dilakukan sekurang-kurangnya pada dua keadaan yang terpisah, hasil

negative bias disebabkan oleh teknik senggama. 5

c. Uji Pakis

Di bawah pengaruh estrogen, getah serviks yang dikeringkan pada obyek

glass akan mengalami kristalisasi dan menghasilkan suatu pola daun pakis

yang cukup khas. Ini terjadi antara hari ke-6 sampai hari ke-22 dari siklus

haid dan kemudian akan dihambat oleh progestron. Hambatan ini biasanya

akan tampak pada hari ke-23 hingga haid berikutnya. Menetapnya pola pakis

setelah hari ke- 23 ini menunjukan bahwa ovulasi tidak terjadi. Darah dan

semen juga dapat menghambat pembentukan lukisan pakis itu sehingga hasil

yang salah sering dijumpai pada uji ini. 5

d. Suhu Basal Badan (SBB)

Pada beberapa wanita, SBB meningkat selama fase progesterone dari

siklus haid. Cara ini juga dapat menentukan apakah telah terjadi ovulasi. SBB

diambil setiap hari pada saat terjaga pagi hari, sebelum bangkit dari tempat

tidur, ataupun makan dan minum. Nilainya ditandai pada kertas grafik. Jika

wanita ovulasi, grafik akan memperlihatkan pola bifasik yang khas (tipikal). 5

Meskipun grafik bifasik berarti bahwa ovulasi telah terjadi, suatu

grafik monofasik belum memastikan bahwa ovulasi tidak terjadi. SBB bisa

dipakai untuk menentukan kemungkinan hari ovulasi, sehingga senggama

bias diarahkan sekitar saat itu. Dalam praktek penggunaan SBB tidak selalu

21
mudah untuk dipercaya (seperti umumnya sebagian besar pasien di Negara

kita). 5

e. Sitologi vagina atau endoserviks

Epitel dari sepertiga lateral atas dinding vagina memberikan respon

yang ada pada hormon ovarium. Pemeriksaan ini dilakukan secara serial.

Sekarang telah dikembangkan pemeriksaan dari endoserviks pada fase pasca

ovulasi dengan pengambilan tunggal (tanpa serial). Perubahan sitologik

dengan melihat indeks kariopiknotik dapat dipakai untuk menentukan ada

tidaknya ovulasi. 5

f. Biopsi Endometrium

Biopsi endometrium bias dilakukan secara poliklinis tanpa anastesi,

dengan memakai sendok kurret kecil tanpa dilatasi serviks. Saat yang tepat

adalah fase sekresi, yaitu 5-7 hari sebelum hari haid berikutnya. 5

g. Laparaskopi

Cara ini memungkinkan visualisasi langsung secara endoskopik baik

ovulasi yang baru saja terjadi dengan adanya bintik ovulasi, maupun adanya

korpus luteum sebagai hasil ovulasi diwaktu yang lebih dini dari siklus itu. 5

2.6 Pencegahan dan Penanganan


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau menurunkan faktor
risiko terjadinya infertilitas, diantaranya adalah.
1. Mengobati infeksi yang terjadi pada organ reproduksi. Diketahui bahwa
infeksi yang terjadi pada prostat maupun saluran sperma, dapat menyebabkan
infertilitas pada laki-laki.
2. Mengobati penyebab infertilitas pada perempuan

22
3. Menghindari bahan-bahan yang menyebabkan penurunan kualitas dan
jumlah dari sperma dan sel telur seperti rokok dan alkohol
4. Berperilaku hidup sehat

Penanganan infertilitas
2.7 Metode Penanganan Pasangan Infertil

1. Terapi pada wanita


Induksi ovulasi adalah pemberian berbagai jenis obat untuk mempengaruhi
keadaan hormonal sehingga dapat menyebabkan keadaan hiperstimulasi
ovarium yang terkontrol untuk memacu kesinambungan perkembangan folikel
dari sekumpulan folikel primordial sehingga bisa mencapai ovulasi. Macam
obat induksi ovulasi adalah:
a. Obat yang dapat meningkatkan FSH endogen.

b. Hormon GnRH yang menyebabkan perangsangan sentral untuk


sekresi FSH dan LH dari pituitari.
c. Hormon FSH dan LH eksogen yang merangsang ovarium secara
langsung Indikasi lain pemberian obat induksi ovulasi adalah
infertilitas yang tak terjelaskan (unexplained infertility). Hal ini
merupakan terapi empirik, dan bila tidak berhasil dilanjutkan
dengan inseminasi atau invitro fertilisation (IVF).
2. Terapi pada pria
a) Hipospermia
Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml,
yang disebabkan antara lain karena Stres, Retrograde ejaculation,
dan frekuensi senggama.Untuk stres maka pengobatan diarahkan
untuk menghilangkan stres ; retrograde ejaculation dapat diberi
terapi obat atau terapi khusus berupa pencucian sperma dari urine.
Untuk endokrinopati dapat diberikan testosteron, sedangkan bila
koitus terlalu sering, dapat dikurangi frekuensinya. Jika tidak jelas
penyebabnya dapat dilakukan AIH.
b) Hiperspermia

23
Hiperspermia adalah jika volume semen lebih dari 6 ml.
Penyebabnya dapat berupa abstinensia seksualis yang terlalu lama
dan hipersekresi vesika seminalis. Hiperspermia dengan
spermiogram normal tidak memerlukan pengobatan spesifik, cukup
dengan menganjurkan peningkatan frekuensi senggama, tetapi jika
disertai dengan spermiogram abnormal dapat dilakukan terapi
dengan split ejaculate atau withdrawal coitus atau dengantreated
sperm invitro.14
c) Polizoospermia
Pada polizoospermia, jumlah spermatozoa lebih dari 250
juta/ml. Terapi dapat dengan anjuran meningkatkan frekuensi koitus
atau AIH dengan treated spermatozoa dengan jalan pengenceran,
swim up, sperm washing atau filtrasi.
d) Oligozoospermia
Sampai saat ini masih disepakati bahwa jumlah spermatozoa
kurang dari 20 juta/ ml disebut oligozoospermia dan jika kurang
dari 5 juta/ml disebut olgozoospermia berat.
Terapi medikamentosa yaitu :
a) Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau 1 x
50 mg 3 x 25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.
b) Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet selama 60
hari.
c) Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan
dengan dosis 150 IU 3 x/ minggu dan hCG (Profasi®) dengan
dosis 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu.
d) Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3
x/minggu dan dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16
minggu. Selain medikamentosa, terapi dapat dilakukan dengan
AIH(IBS) dengan atau tanpa treated sperm.

24
BAB 3

PENUTUP

Infertilitas merupakan masalah yang serius bagi pasangan suami-istri.

Infertilitas dapat dibagi menjadi infertilitas primer dan infertilitas sekunder.

Infertilitas memberikan dampak yang serius bagi pasangan suami istri, mulai dari

dampak medis, ekonomi dan psikologis. Infertilitas dapat terjadi baik oleh karena

faktor istri maupun faktor suami dan dapat juga tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik). Oleh sebab itu, dalam menangani kasus infertilitas, pasangan suami

25
istri harus diperlakukan sebagai satu kesatuan sehingga penyebab infertilitas dapat

diketahui. Baik suami dan istri harus sama-sama bekerja sama dan diperiksa untuk

mengetahui apakah ada kelainan yang menyebabkan infertilitas. Penatalaksanaan

infertilitas dapat dilakukan sesuai dengan temuan penyebab infertilitasnya, apakah

faktor istri atau suami.

DAFTAR PUSTAKA

1. POGI. 2013. Konsensus Penanganan Infertilitas. Jakarta: POGI


2. Definition of infertility and recurrent pregnancy loss; a committee opinion.

Fertil Steril, 2013: jan 99(1)


3. Khamat M, Bhattacharya S. Best Practice and Research Clinical Obstetrics

and Gynaecology. 2012


4. Khaidir M. Penilaian tingkat fertilitas dan penatalaksanaannya pada pria.

Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2006;I(1):30-4.

26
5. Oktarina A, Abadi A, Bachsin R. Faktor-faktor yang Memengaruhi

Infertilitas pada Wanita di Klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi.

MKS. 2014;46(4):295-300.
6. Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu Kandungan (edisi ketiga). Jakarta:

PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.

27

Anda mungkin juga menyukai