Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan obat-obat dari bahan alam semakin populer di negara-negara

maju dan tetap menjadi andalan di negara yang sedang berkembang meskipun

teknologi obat-obat sintetis semakin maju (Upton, 2015). Semboyan “back to

nature” semakin marak di masyarakat menimbulkan peningkatan keinginan

masyarakat menggunakan bahan alam atau sediaan yang berbahan baku herbal

dalam pengobatan. Penggunaan obat herbal dinilai lebih aman daripada obat

sintetis karena menimbulkan efek samping yang kecil, kemungkinan terjadinya

interaksi dan ketergantungan juga kecil dan bahan alam mudah diperoleh (Lynch

dan Berry, 2007).

Salah satu tanaman asli Indonesia yang dimanfaatkan dalam pengobatan

adalah purwoceng gunung (Artemisia lactiflora Wall.ex DC) yang tumbuh secara

endemik di daerah pegunungan. Tanaman ini mempunyai efek antiproliferasi,

antikanker (Ihsan dkk., 2013), afrodisiaka, diuretika dan meningkatkan stamina

tubuh (Bertha, 2012). Akar tanaman purwoceng gunung mempunyai kandungan

kimia minyak atsiri, triterpenoid, steroid, flavonoid bebas, glikosida flavonoid

(Ratnawati, 2004) dan stigmasterol (Nurhasnawati, 2002). Stigmasterol

merupakan senyawa golongan triterpenoid yang dapat meningkatkan kadar

Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron (Taufiqqurrachman, 1999) dan dapat

meningkatkan fertilitas (Malviya dkk., 2011). Stigmasterol mempunyai kelarutan

1
2

dalam air yang sangat rendah (Jannah dkk., 2013) yaitu 1,12 x10-5 mg/L pada

suhu 25º C dan nilai log P 8,6 (Pubchem, 2016a).

Penggunaan bahan obat alam sebagai bahan aktif dalam suatu sediaan

sering menjadi problem dalam formulasi. Kelarutan merupakan masalah yang

paling banyak ditemukan dalam formulasi sediaan oral, 4-10% kandidat obat baru

memiliki bioavaibilitas yang rendah akibat kelarutannya yang rendah. Bahan aktif

dengan kelarutan kecil akan mempunyai bioavailabilitas yang kecil sehingga

untuk mencapai efek terapetik memerlukan dosis yang besar (Bajaj, 2011).

Penggunaan obat dengan dosis yang besar seringkali menimbulkan

ketidaknyamanan pasien dalam penggunaan. Penggunaan purwoceng dalam

pengobatan tradisional sebagai afrodisiaka digunakan dalam dosis yang relatif

besar yaitu 25 mg/200 g tikus (Juniarto, 2004). Penggunaan dosis ini ketika

diformulasi menjadi kapsul akan menyebabkan penggunaan yang terlalu besar

sehingga pasien menjadi kurang nyaman.

Metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan bioavalabilitas antara

lain dengan pendekatan farmasetika meliputi penggunaan kosolven, pengecilan

ukuran partikel, teknik pelarutan hidrotrofi, dispersi solid, pelarutan misel,

kompleksasi, pengaturan pH, sistem penghantaran koloid. Salah satu kunci dalam

teknologi formulasi untuk meningkatkan bioavailabilitas adalah dengan

menggunakan teknik inklusi obat ke dalam penghantaran obat berbasis lipid

(Kuentz, 2011). Obat yang berbentuk tetesan minyak akan lebih mudah diabsorpsi

secara oral melalui mekanisme absorpsi lipid seperti endositosis, difusi pasif atau

pinositosis (Rao dkk., 2008b).


3

Untuk mengatasi masalah ini maka ekstrak akar purwoceng gunung akan

dibuat dalam bentuk sediaan self-nanoemulsifying drug delivery system

(SNEDDS). Bentuk nanoemulsi biasanya mempunyai ukuran yang sangat kecil

yaitu kurang dari 100 nm. Tetesan obat yang sangat kecil akan meningkatkan

efektivitas untuk diabsorpsi ketika dimasukkan kedalam tetesan minyak.

Nanoemulsi mempunyai ukuran yang kecil sehingga luas permukaan besar

sehingga akan meningkatkan kelarutan senyawa hidrofobik di dalam air yang

pada akhirnya akan meningkatkan bioavailabilitas suatu sediaan yang diberikan

secara oral (Wang dkk., 2014).

Mekanisme peningkatan bioavailabilitas dari SNEDDS adalah dengan

adanya surfaktan akan mengubah permeabilitas, meningkatkan kelarutan dari

suatu obat dengan melindungi dari enzym hidrolisis dan meningkatkan luas

permukaan tetesan minyak sehingga distribusi obat ke dalam gastro intestinal

semakin besar. (Rao dkk., 2008a) SNEDDS dapat membentuk emulsi secara

spontan ketika berada di dalam saluran cerna dan akan terbentuk emulsi tipe

minyak dalam air (M/A). Hal tersebut terjadi karena energi bebas yang diperlukan

untuk pembentukan emulsi rendah (Rao dkk., 2008b). SNEDDS terdiri dari

minyak, surfaktan dan ko-surfaktan dengan komposisi yang sesuai sehingga dapat

menciptakan campuran isotropik yang stabil.

Dalam pembuatan SNEDDS dapat digunakan fase minyak dari trigliserida

rantai medium atau rantai panjang dan mempunyai derajat saturasi yang berbeda

(Kuentz, 2011). Penggunaan minyak nabati dengan rantai panjang merupakan

pilihan yang bagus dalam pembuatan SNEDDS dan sering digunakan meskipun
4

obat bersifat sangat lipofilik. Fase minyak yang akan digunakan adalah minyak

kemiri (Aleurites moluccana) karena merupakan asam lemak rantai panjang yang

banyak mengandung asam linoleat dan didominasi oleh asam lemak tidak jenuh

(Ako dkk., 2005). Minyak kemiri mengandung asam oleat (25,0%), asam linoleat

(37,0%), asam palmitat (5,27%) dan asam stearat (2,63%) (Ako dkk., 2005).

Asam oleat dan asam linoleat merupakan asam lemak polyunsaturated fatty acid

(PUFA) yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular dengan

mengurangi lipid dalam darah terutama kolesterol (Lopez-Huertas, 2010) karena

penggunaan afrodisiaka dapat mempengaruhi fisiologi tubuh melalui perubahan

hormonal, meningkatkan aliran darah dan relaksasi otot (Melnyk dan Marcone,

2011) yang memompa jantung bekerja lebih cepat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka terdapat rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Berapa perbandingan surfaktan dan ko surfaktan yang optimal untuk

pembuatan SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung dengan minyak kemiri

sebagai fase minyak yang dioptimasi dengan menggunakan Design Expert

7.1.5?

2. Bagaimana karakteristik SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung yang

dihasilkan?

3. Apakah SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung dapat meningkatkan

persentase stigmasterol yang dapat diabsorpsi secara in vitro?


5

C. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka, telah banyak penelitian mengenai formulasi

self nanoemulsifying drug delivery system (SNEDDS) dari bahan herbal.

Penelitian mengenai SNEDDS dari purwoceng gunung sudah pernah dilakukan

oleh (Fathirnadiva, 2015) dengan menggunakan minyak kemiri sebagai fase

minyak, tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai ko surfaktan. Penelitian

tersebut menghasilkan SNEDDS yang dapat membawa ekstrak hingga 50 mg/g

SNEDDS. Penelitian mengenai penggunaan tween 80 sebagai surfaktan

dilakukan oleh (Sahumena, 2014; Zhao dkk., 2010) dan propilen glikol sebagai ko

surfaktan dilakukan oleh (Kassem dkk., 2016; Sakloetsakun dkk., 2013) yang

menghasilkan SNEDDS yang mempunyai stabilitas yang baik dan dapat

meningkatkan bioavailabilitas. Sejauh ini formulasi SNEDDS ekstrak akar

purwoceng gunung dengan minyak kemiri sebagai fase minyak dan menggunakan

tween 80 dan propilen glikol sebagai surfaktan dan ko surfaktan belum pernah

dilakukan serta uji absorpsi secara in vitro terhadap formula SNEDDS yang

dihasilkan belum pernah dilakukan.

D. Urgensi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat diperoleh formulasi SNEDDS ekstrak akar

purwoceng gunung yang mampu membawa ekstrak dengan dosis yang lebih

tinggi serta mampu meningkatkan jumlah obat yang terabsorpsi sehingga

bioavailabilitas dan efikasi menjadi lebih baik.


6

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui konsentrasi optimal surfaktan dan ko surfaktan dalam pembuatan

SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung dengan minyak kemiri sebagai

fase minyak dengan menggunakan Design Expert 7.1.5

2. Mengetahui karakteristik formula optimal SNEDDS ekstrak akar purwoceng

gunung yang dihasilkan

3. Mengetahui peningkatan persentase stigmasterol yang dapat diabsorpsi secara

in vitro SNEDDS ekstrak akar purwoceng gunung dengan menggunakan

metode difusi

Anda mungkin juga menyukai