Anda di halaman 1dari 10

Nanoenkapsulasi Buah Kecombrang Menggunakan Enkapsulan dari Komposisi

Gelatin : Maltodekstrin

ABSTRAK
Kata kunci :

ABSTRACT
Keywords:

PENDAHULUAN
Kecombrang (Nicolaia speciosa, Horan) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup
luas di Indonesia. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga digunakan
untuk pengobatan (Antoro, 1995). Bagian buah dalam kecombrang merupakan bagian
yang mengalami pendewasaan lebih lanjut dan kandungan senyawa bioaktif yang
terdapat dalam buah sama dengan bunga, namun memiliki kandungan fenolik dan
terpenoid yang lebih banyak, dan aromanya segar dan lebih dapat diterima oleh
konsumen (Naufanlin, 2005). Namun, pemanfaatan bagian buah belum dimanfaatkan
oleh masyarakat secara optimal. Buah kecombrang memiliki komponen bioaktif yang
dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, namun ekstrak buah kecombrang memiliki
kelemahan yaitu mudah menguap dan kurang stabil pada cahaya dan oksigen.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pengembangan ekstrak dalam bentuk
nanoenkapsulan.

Nanoenkapsulasi merupakan suatu formasi yang terdiri atas zat aktif yang
diselubungi atau dikelilingi oleh bahan penyalut dengan diameter dari 1 hingga 100 nm
(Reis et al., 2006). Partikel dengan ukuran nano memungkinkan terjadinya distribusi
yang lebih baik pada produk serta dapat memperluas permukaan kontak partikel
dengan bahan. Proses nanoenkapsulasi dikenal istilah nanopartikel dan nanokapsul.
Nanopartikel terdiri atas zat yang terbungkus dalam enkapsulan dan berwujud cair,
sedangkan nanokapsul terdiri atas zat aktif yang terbungkus dalam enkapsulan yang
disebut inti, dan merupakan hasil dari nanopartikel yang telah dikeringkan dengan
metode tertentu seperti freeze drying. Pemanfaatan ekstrak buah kecombrang dalam
bentuk nanoenkapsulan dapat membuka peluang dihasilkannya bahan tambahan
pangan yang praktis dan stabil oleh panas, cahaya, dan oksigen.

Proses nanoenkapsulasi memerlukan bahan inti dan bahan penyalut. Bahan inti
dapat berupa emulsi, kristal, suspense padatan, ataupun gas. Bahan penyalut adalah
suatu bahan yang dapat bercampur secara kimia dengan bahan inti (zat yang disalut),
tidak bereaksi terhadap bahan inti serta dapat membentuk lapisan di sekitar bahan inti.
Salah satu jenis polimer yang dapat dijadikan sebagai bahan penyalut adalah
maltodekstrin (Adhitiyawarman dan Karwur, 2008) dan salah satu pembentuk film
yang digunakan dalam pembuatan nanoenkapsulasi adalah gelatin. Dinding nanokapsul
yang terdiri dari dua bahan enkapsulan diharapkan mampu memberikan perlindungan
yang baik terhadap mikrokapsul. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan
pengaruh komposisi gelatin : maltodekstrin terhadap nanoenkapsulasi buah
kecombrang.

ISI
Enkapsulasi merupakan proses dimana satu atau lebih material dilapisi oleh material
lain, baik materi yang dilapisi maupun yang melapisi kebanyakan merupakan cairan
(Risch, 1995). Menurut Ezhilarsi, et al (2012), mikrokapsul adalah partikel dengan
diameter antara 3 sampai 800μm, sedangkan nanopartikel adalah partikel dengan
ukuran diameter mulai dari 10 sampai 1000 nm. Nanoenkapsulasi merupakan salah
satu cara untuk mempertahankan kestabilan suatu senyawa melalui proses penyalutan
dalam bentuk nanopartikel (Mohanraj dan Chen, 2006). Nanoenkapsulasi dalam
pangan dapat meningkatkan rasa, tekstur, absorpsitas, mempertahankan warna, serta
bioavailabilitas komponen dan meningkatkan umur simpan. (Greiner, 2009). Partikel
dengan ukuran nano memungkinkan terjadinya distribusi yang lebih baik pada produk
serta dapat memperluas permukaan kontak partikel dengan bahan. Nanoenkapsulasi
juga memungkinkan bahan aktif untuk lepas secara berkala melalui lapisan enkapsulan,
sehingga hal ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif. (Won et al.,
2008).

Kecombrang merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah yang telah lama
dikenal dan dimanfaatkan sebagai pemberi citarasa pada masakan dan obat-obatan
terutama berkhasiat sebagai obat luka, penghilang bau badan, dan mulut. (Hidayat dan
Hutapea, 1991). Bagian dari kecombrang yang digunakan dalam proses
nanoenkapsulasi adalah bagian buah kecombrang. Buah kecombrang yang digunakan
dalam proses adalah bubuk buah kecombrang dimana bahan buah kecombrang
diseleksi terlebih dahulu, kemudian dilakukan penggilingan sampai diperoleh bubuk
yang homogen. Setelah itu, dilakukan ekstraksi pada bubuk buah kecombrang yang
selanjutnya proses pembuatan nanoenkapsulasi ekstrak buah kecombrang.

Pemilihan metode ekstraksi dalam penelitian ini didasarkan atas kandungan


senyawa antioksidan pada buah kecombrang yang sensitif terhadap suhu yang tinggi,
oleh karena itu dipilih metode maserasi, dimana metode ekstraksi ini dilakukan tanpa
pemanasan serta dilakukan dalam suhu ruangan. Prinsip ekstraksi dengan metode
maserasi adalah terjadinya proses difusi larutan penyari ke dalam sel tumbuhan yang
mengandung senyawa aktif. Difusi tersebut mengakibatkan tekanan osmosis dalam sel
menjadi berbeda dengan keadaan di luar sel. Sehingga senyawa yang memiliki
kepolaran yang sama dengan pelarut kemudian terdesak keluar karena adanya
perbedaan tekanan osmosis di dalam sel dan di luar sel (Dean, 2009).

Ekstraksi bubuk buah kecombrang dilakukan menggunakan pelarut organik


yaitu etil asetat dan etanol. Etil asetat merupakan pelarut semi polar dan dapat
melarutkan senyawa semipolar pada dinding sel seperti aglikon flavanoid (Harbone,
1987). Etil asetat dapat menyaring senyawa-senyawa yang dapat memberikan aktivitas
antibakteri diantaranya flavonoid pilohidroksi dan fenol yang lain. Etanol merupakan
pelarut polar yang banyak digunakan untuk mengekstrak komponen polar suatu bahan
alam. Menurut Sudarmadji (2003) etanol dapat mengekstrak senyawa aktif yang lebih
banyak dibandingkan jenis pelarut organik lainnya. Etanol mempunyai titik didih yang
rendah yaitu 79oC sehingga memerlukan panas yang lebih sedikit untuk proses
pemekatan.

Proses ekstraksi dilakukan secara maserasi pada suhu 37°C, dengan kecepatan
rotasi 150 rpm selama 24 jam setiap tingkat. Filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara
penguapan dalam rotavapor sampai tidak ada pelarut yang menetes lagi. Pelarut
pertama diuapkan pada suhu 40oC, pelarut kedua diuapkan pada suhu 50oC. Sisa
pelarut dihilangkan dengan gas nitrogen sehingga dihasilkan suatu ekstrak (Houghton
dan Raman 1998 dan Apriyantono et al., 1998).

Proses nanoenkapsulasi ekstrak buah kecombrang ini dilakukan menggunakan


metode freeze drying. Metode tersebut dipilih karena freeze drying dapat mengeringkan
bahan yang sensitif terhadap panas dan tidak stabil dalam larutan air (Martin et al.,
2010), sehingga tidak merusak kandungan antosianin yang terdapat pada buah
kecombrang. Teknologi ini menyebabkan meningkatnya kelembaban relatif (RH) dan
temperatur penyimpanan. Metode freeze drying telah diteliti sebagai suatu metode yang
baik untuk meningkatkan kestabilan kimia untuk nanopartikel koloid (Abdelwahed et
al., 2006). Proses pengeringan beku dilaksanakan pada temperatur dari -40°C hingga -
80°C dan pada tekanan kira-kira 1 hingga 103 mbar.
Adapun beberapa keunggulan dari nanoenkapsulasi buah kecombrang yaitu salah
satunya adalah buah kecombrang. Sebagian besar tumbuhan memiliki kandungan
antosianin terbesar pada bagian buahnya. (Houghton dan Hendry, 1995). Antosianin
merupakan pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu,
dan biru. Pigmen ini telah banyak digunakan sebagai pewarna alami pada berbagai
produk pangan seperti produk minuman ringan, susu, bubuk minuman, minuman
beralkohol, produk beku dan lainnya yang diekstrak dari buah-buahan tertentu.
(Houghton dan Hendry, 1995).
Selain itu, adanya pengaruh yang nyata terhadap efisiensi mikrokapsul pada
perlakuan proporsi gelatin : maltodekstrin, dimana penambahan gelatin maupun
maltodekstrin memberikan tingkat hidrofilisitas yang tidak sama pada setiap perlakuan.
Kekuatan hidrofilisitas yang berbeda menyebabkan kekuatan pengikatan fraksi juag
berbeda sehingga efisiensi berbeda sangat nyata. Efisiensi yang optimal dapat
dihasilkan dari matriks protein dan karbohidrat sebagai dinding mikrokapsul yang
terdiri dari dua bahan enkapsulan dan mampu memberikan perlindungan yang baik
terhadap mikrokapsul. (Lin et al., 1995).
Keunggulan dalam menggunakan gelatin dan maltodekstrin adalah maltodekstrin
biasanya dipakai dalam industri makanan sebagai pengental, pemantap serta memiliki
kemampuan untuk membentuk film stabil dan digunakan untuk enkapsulasi senyawa
volatile (DeMan, 1997), maltodekstrin juga merupakan polisakarida yang memiliki
sifat yang baik sebagai bahan enkapsulan, aman, tidak toksis, dan memiliki batas
penggunaan maksimum- nya CPP (jumlah yang diperlukan secukupnya untuk
menghasilkan efek yang diinginkan) (BPOM, 2013), sedangkan gelatin merupakan
golongan protein yang memiliki gugus hidrofilik dimana sangat larut dalam air. Gelatin
biasanya digunakan sebagai agen pengental atau penstabil yang larut dalam air pada
suhu 71oC (Poppe, 1999). Penggunaan kombinasi bahan penyalut bertujuan untuk
mendapatkan nanopartikel sebagai sistem penghantar zat aktif terkontrol yang lebih
optimal.
Namun adapun kekurangan dari nanoenkapsulasi dimana belum diketahui stabilitas
nanokapsul terhadap kondisi proses pemanasan dan oksidasi, serta belum diketahui
aktivitas antibakteri dari buah kecombrang.
Hasil dari komposisi gelatin : maltodekstrin berdasarkan sifat kimia-nya meliputi
beberapa aspek yaitu rendemen enkapsulan buah kecombrang, efisiensi
mikroenkapsulasi, kelarutan nanokapsul dalam air, dan kelarutan mikrokapsul dalam
etanol.
Rendemen adalah perbandingan jumlah (kuantitas) ekstrak yang dihasilkan dari
ekstraksi tanaman. Nilai rata-rata rendemen dari proporsi enkapsulan 1:1, 1:2, dan 2:1
berturut-turut 44,29 %; 46,15 % dan 44,69 % . Nilai rata-rata rendemen terbesar
terdapat proporsi enkapsulan 1:2, hal ini diduga karena enkapsulan proporsi 1:2 dengan
jumlah maltodekstrin yang lebih banyak akan lebih mampu berinteraksi dengan fraksi
yang dikapsulkan. Nilai rendemen yang berbeda dipengaruhi oleh perbedaan nilai
Dextrose Equivalent (DE), artinya nilai DE yng terlalu tinggi akan menghasilkan
produk dengan kadar glukosa yang tinggi, sehingga akan menyebabkan bahan penyalut
mudah menyerap air dan menjadi lengket karena bersifat higroskopis. Hal ini
menyebabkan maltodekstrin adalah bahan penyalut yang baik karena menurut
Fennema (1996), maltodekstrin merupakan produk yang mempunyai nilai DE yang
rendah yaitu kurang dari 20.
Pengukuran kelarutan nanokapsul buah kecombrang dalam air bertujuan agar
mikrokapsul yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada pangan. Pada umumnya bahan
pangan banyak mengandung air, sehingga produk yang akan diaplikasikan pada bahan
pangan seharusnya larut dalam air (Naufalin, 2012). Nilai rata-rata kelarutan
nanokapssul buah kecombrang dalam air yang paling baik yaitu 68,61% dengan
proporsi gelatin : maltodekstrin (2:1). Proporsi gelatin yang lebih tinggi menyebabkan
kelarutan dalam air semakin tinggi. Gelatin merupakan golongan protein yang
memiliki gugus hidrofilik. Gugus hidrofilik sangat mudah berinteraksi dengan air,
sehingga sangat larut dalam air. Menurut Poppe (1999), gelatin merupakan hidrokoloid
dan polimer larut air yang digunakan sebagai agen pengental atau penstabil yang larut
dalam air pada suhu 710C.
Nilai rata-rata kelarutan mikrokapsul dalam etanol yang paling besar yaitu
24,35% dengan proporsi gelatin : maltodekstrin (1:2). Proporsi gelatin-maltodekstrin
2:1 (b/b) menghasilkan kelarutan nanokapsul dalam etanol paling rendah (20,69 %).
Hal ini diduga karena interaksi antara gelatin dengan proporsi tinggi dengan fraksi
terekstrak sangat kuat sehingga tidak mudah larut dalam etanol. Dinding yang
dihasilkan oleh gelatin lebih mampu menahan bahan inti dibandingkan dengan
maltodekstrin sehingga kelarutan dalam etanol rendah. Ini juga dipengaruhi oleh sifat
gelatin yang sukar larut dalam pelarut polar. Menurut Poppe (1999) gelatin larut dalam
air pada suhu 710C dan tidak larut dalam pelarut polar.
Efisiensi mikroenkapsulasi tertinggi diperolah pada perlakuan proporsi gelatin :
maltodekstrin (1:2) dengan nilai rata-rata 66,35%. Efisiensi enkapsulasi dihitung
berdasarkan perbandingan jumlah fraksi yang berada di dalam enkapsulat dengan
fraksi yang digunakan dalam proses. Efisiensi yang tinggi menunjukkan tingginya
jumlah fraksi yang terkapsulkan (Mustikawati, 1998). Tingginya persentase dari
efisiesni enkapsulasi menandakan proses enkapsulasi yang terjadi bekerja secara
maksimal. Menurut Lin et al. (1995) efisiensi yang optimal dapat dihasilkan dari
matriks protein dan karbohidrat sebagai dinding mikrokapsul. Dinding mikrokapsul
yang terdiri dari dua bahan enkapsulan mampu memberikan perlindungan yang baik
terhadap mikrokapsul. Penggunaan dua bahan enkapsulan menghasilkan efisiensi yang
lebih tinggi dibandingkan penggunaan satu enkapsulan sebagai bahan pengisi sebab
kemampuan enkapsulan untuk berinteraksi membentuk granula yang dapat menyalut
komponen yang dienkapsulasi lebih baik (Afeli, 1998).
Perlakuan proporsi gelatin : maltodekstrin memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap efisiensi mikrokapsul. Hal ini diperkirakan karena penambahan gelatin
maupun maltodekstrin memberikan tingkat hidrofilisitas yang tidak sama pada setiap
perlakuan. Kekuatan hidrofilisitas yang berbeda menyebabkan kekuatan pengikatan
fraksi juga berbeda sehingga efisiensi dari setiap perlakuan proporsi enkapsulan gelatin
: maltodekstrin berbeda sangat nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Abdelwahed, W., G. Degobert., S. Stainmesse., H. Fessi. 2006. Freeze-drying of


nanoparticles: Formulation, Process and Storage Considerations. Advanced Drug
Delivery Reviews, 58: 1688–1692.

Adhitiyawarman,; Karwur, F. F.; dan Limantara, L., 2008, Pembuatan Tepung


Klorofilin, Di dalam: Yahya, U. (eds). Peran Komunitas Kimia dalam Menghadapi
Isu Pemanasan Global. Prosiding Seminar Nasional Kimia XVIII Universitas Gajah
Mada; Yogyakarta, 10 Juli 2008.

Afeli, R. 1998. Studi Mikroenkapsulasi dan Stabilitas Minyak Kaya Asam Lemak
Omega-3 dari Limbah Pengalengan Ikan Tuna (tuna precook oil). Skripsi. IPB,
Bogor. 44 hal. (tidak dipublikasikan)

Antoro, E. 1995. Skrining Fitokimia rimpang Nicolaia speciosa Horan, secara


mikrokimiawi kromatografi lapis tipis, dan sprktrofotometri UV. FF-UGM.

Apriyanto, A. 1989. Analisa Pangan. IPB Press, Bogor.

[BPOM] Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan
Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Bahan Tambahan Pangan Penstabil. Jakarta (ID):
BPOM.

Dean, J. 2009. Extraction Techniques In Analytical Science. John Wiley And Sons
LTD, London. pp. 43-46.

Ezhilarsi, P.N., P. Kharthik., N. Channwal., and C. Anandharamakrishman. 2012.


Nanoencapsulation Techniques for Food Bioactive Components: A Review. Review
Paper Food Bioprocess Technology 6:628-647.

Fennema, Owen R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc.New York

Greiner, R. 2009. Current and projected applications of nanotechnology in the food


sector. Nutrire: rev. Soc. Bras. Alim. Nutr. J. Brazilian Soc. Food Nutr, São Paulo.
34: 243–260.

Harborne J.B. 1987. Phytochemical methods. Ed ke-2. Chapman and Hall, New York.

Hidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I: 440-441.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Houghton, P.J., dan Rahman, A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractination of
Natural Extracts. Chapman and Hall, London.

Lin, C.C, Lin S.Y. and Hwang L.S. 1995. microencapsulation of Squid Oil with
Hydrophilic Macromolecules for Oxidative and Thermal Stabilization. J of Food Sci.60
1) : 36-39

Martín, A., Salima Varona, Alexander Navarrete and María José Cocero. 2010.
Encapsulation and Co-Precipitation Processes with Supercritical Fluids :
Applications with Essential Oils. Spain : The Open Chemical Engineering Journal,
4 : 31-41

Mohanraj, V.J. dan Chen, Y. 2006. Nanoparticles a review. Tropical Journal of


Pharmaceutical Research Article 5: 561–573.

Mustikawati, L. 1998. Mikroenkapsulasi Konsentrat Asam Lemak Omega-3 dai


Minyak Limbah Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) dengan Konservasi
Komplek. Skripsi. IPB, Bogor. 48 hal. (Tidak dipublikasikan)

Naufalin, R., Tobari, H. S. Rukmini. 2012. Karakterisasi Nanoenkapsulan Buah


Kecombrang (Nicolaia speciosa). Jakarta.

Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa


Horan) Terhadap Berbagau mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi Sekolah
Pascasarjana, 181 hal (Tidak dipublikasikan).

Poppe, J. 1999. Gelatin. In. Alan Imeson (eds). Pp 145-167: Thickening and gelling
agents for food. 2nd edition. Aspen publisher, Inc. Maryland. 320 p.

Reis N, et al. 2006. Proof of concept of a novel micro-bioreactor for fast development
of industrial bioprocesses. Biotechnol Bioeng. 95(4):744-53.

Risch, S. J. 1995. Encapsulation: Overview of User and Techniques. In Encapsulation


and Controlled Release of Food Ingredients, G. A. Reineccius. ACC Symposium
Series 590 American Chemical Society.

Sudarmadji, S, Bambang, H., dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Won J., M.-H. Oh, J.-M. Oh, M.-S. Kang, J.-H. Choy, and S. Oh. 2008. Stability
Analysis of Zinc Oxide-Nanoencapsulated Conjugated Linoleic Acid and Gamma-
Linolenic Acid DOI: 10.1111/j.1750-3841.2008.00924.x Journal of Food Science.
Volume 73, Issue 8, pages N39–43.

Anda mungkin juga menyukai