Anda di halaman 1dari 21

JUDUL PENELITIAN:

A. KARAKTERISTIK FISIK DAN MEKANIK PEMBUATAN EDIBLE


FILM TAPIOKA DENGAN PENGARUH PENAMBAHAN PEKTIN
DARI KULIT JERUK KINTAMANI

B. LATAR BELAKANG
Jeruk kintamani merupakan komoditas yang menjadi sumber
penghasilan utama bagi kebanyakan petani di Kintamani, Bali. Namun sampai
saat ini para petani hanya menjual buah jeruk dengan begitu saja tanpa melalui
proses pengolahan menjadi produk tertentu, dengan begitu apabila saat panen
raya akan banyak jeruk yang terbuang. Namun ada beberapa orang yang sudah
memanfaatkan buah jeruk menjadi berbagai macam produk olahan yang
memiliki nilai jual lebih baik. Produk samping industri jeruk adalah ampas
jeruk yang mengandung komponen berupa pektin. Pektin adalah suatu
komponen serat yang terdapat pada lapisan lamella tengah dan dinding sel
primer pada tanaman (Sirotek et al., 2004). Pada dunia industri pangan pectin
dijadikan sebagai bahan pembentuk gel pada pembuatan selai dan jelly dan
juga sebagai bahan penstabil. Pada bidang teknologi kemasan, pektin dari
limbah kulit buah dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan edible film/
edible coating yang merupakan kemasan pangan yang bersifat aman dan
ramah lingkungan (biodegradable) (Ahmad U, dan Suyatma NA. 2012).
Edible film merupakan suatu kemasan yang berupa lapisan tipis yang
dapat dibentuk atau dilapiskan pada permukaan komponen pangan yang
terbuat dari bahan yang bisa dimakan dan bersifat ramah lingkungan
(biodegradable) yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa

(misalnya kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) (Bourtoom, 2006) . Edible


film dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang memiliki komposisi pati yang
cukup tinggi. Pembuatan edible film dari pati tapioka memiliki karakteristik
yang cukup baik walaupun laju transmisi terhadap uap air cukup tinggi
(Arinda, 2009). Pada penelitian ini pektin yang digunakan untuk pembuatan
edible film berasal dari kulit jeruk kintamani. Pektin sendiri merupakan suatu
serat larut air yang memberikan pengaruh penurunan kadar kolesterol darah
dan organ hati (Almatsier, 2004). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
karakteristik fisik dan mekanik edible film tapioka dengan pengaruh
penambahan pektin dari kulit jeruk kintamani.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh penambahan pektin dari kulit jeruk kintamani
terhadap karakteristik fisik dan mekanik edible film yang dihasilkan ?
2. Berapa konsentrasi pektin kulit jeruk kintamani yang ditambahkan
untuk hasil edible film yang paling baik ?
D. TINJAUAN PUSTAKA
D.1 Botani dan Klasifikasi Tanaman Jeruk Siam
Jeruk siam kintamani atau yang lebih dikenal dengan nama jeruk
kintamani merupakan salah satu dari sekian banyak varietas jeruk yang dikenal
dan dibudidayakan. Tanaman jeruk ini mempunyai akar tunggang panjang dan
akar serabut (bercabang pendek kecil) bila tanah subur dan gembur pertumbuhan
akar dapat mencapai 4 meter. Akar cabang yang mendatar dapat mencapai 6-7
meter tergantung kepada banyak unsur hara didalam tanah (Deptan,2012).
Tanaman jeruk siam dapat tumbuh pada ketinggian tempat sampai 1400
meter diatas permukaan laut. Ketinggian tempat tersebut sangat mempengaruhi
2

kualitas serta rasa buah. Daerah penanaman jeruk siam sebaiknya menerima
penyinaran matahari antara 50-60 % dengan perbedaan suhu siang dan malam
lebih dari 10 %. Keadaan udara yang lembab akan lebih banyak menimbulkan
serangan hama terutama scale insect ( kutu perisai )dan kutu penghisap lainnya
(TPPS, 1999 ). Iklim yang sesuai untuk penanaman jeruk siam adalah iklim tipe B
dan C berdasarkan penggolongan Smith dan Ferguson. Iklim tipe B memiliki 7-9
bulan basah dan 2-3 bulan kering, sedang tipe C memiliki 5-6 bulan basah dan 24 bulan kering. Idealnya pada iklim ini curah hujan berkisar 1500 mm / tahun,
serta penyebarannya merata sepanjang tahun ( Joesoef, 1993 ). Secara sistematis

klasifikasi jeruk siam adalah sebagai berikut :


Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rutales
Family : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus nobilis sin. Citrus reticulata
(Deptan, 2012)
D.2 Pektin dan Pektin Kulit Jeruk
Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan
oleh ikatan -1,4 glikosidik. Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin
mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksin.
Senyawa ini disebut sebagai asam pektinat atau pektin. Jumlah 10 g. Polimer

asam -galakturonat dimana sebagian gugus karboksilnya terterifikasi dengan


metil menjadi gugus metoksil.
Kulit berbagai jenis jeruk mengandung pektin dalam konsentrasi tinggi.
Kandungan pektin pada kulit jeruk berkisar antara 15-25 % dari berat kering.
Pektin tersebut dapat diekstraksi dengan cara sederhana, biaya yang tidak
mahal, dan dapat diterapkan dalam skala kecil (TTGPP, 2001).
D.3 Definisi dan Fungsi Edible Film
Edible film ( edible coating ) adalan lapisan tipis yang terbuat dari
bahan yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai penahan ( barrier )
perpindahan massa ( seperti kelembaban, oksigen, lemak, dan larutan ), atau
sebagai pembawa bahan makanan dan tambahan ( aditif ) juga untuk
meningkatkan kemudahan penanganan makanan ( Krochta, 1992 ). Menurut
Gennadios dan Weller ( 1990 ), edible film merupakan lapisan tipis yang dapat
dimakan, yang digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan,
pencelupan, dan penyikatan agar terjadi penahan ( barrier ) yang selektif untuk
menghambat perpindahan gas, uap air, dan bahan terlarut, sekaligus
memberikan perlindungan mekanis.
D.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa
zat menjadi komponen-komponen yang terpisah atau proses penarikan
komponen atau zat aktif menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi
bertujuan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung
komponen bioaktif (Harborne, 1987). Metode ekstraksi yang digunakan
tergantung dari beberapa faktor, antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi,
sifat komponen-komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang

digunakan. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik,


antara lain:
a. Maserasi
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia
yang dihaluskan sesuai dengan syarat (umumnya terpotong-terpotong atau
berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya
rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi
yang dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok. Secara teoritis pada
suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin
besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin
banyak hasil yang diperoleh. Kelebihan dari metode maserasi adalah biayanya
yang murah dan mudah untuk dilakukan. Maserasi termasuk metode ekstraksi
dingin, yaitu metode esktraksi tanpa pemanasan, sehingga metode ini hanya
tergantung oleh lamanya waktu kontak antara pelarut dengan sampel, dan
kepolaran pelarutnya. Semakin lama waktu kontak antara pelarut dengan
sampel, maka akan semakin banyak pula senyawa metabolit sekunder yang
terekstrak. (Voight, 1995).
b.

Perkolasi
Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk silindris atau kerucut

(perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan
pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir turun
secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar.
Melalui penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi proses
maserasi bertahap banyak (Voight,1995).
c. Sokletasi

Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan


dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) dibagian dalam alat
ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (perkulator). Wadah gelas yang
mengandung kantung diletakkan diantar labu penyulingan dengan pendingin
aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi
bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik
melalui pipet yang berkodensasi didalamnya. Menetes keatas bahan yang
diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul
didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara
otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi
terakumulasi melaui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight,
1995).
Suatu senyawa memiliki kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut
yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang
relatif sama kepolarannya. Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak
senyawa alkaloid, fenolat dan flavonoid. Hasil ekstrak yang diperoleh akan
tergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut,
metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel bahan ekstrak, kondisi dan
waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut
terhadap sampel (Darusman et al, 1995). Jenis dan mutu pelarut yang
digunakan akan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih
rendah, murah dan mudah didapat, tidak toksik dan mudah terbakar (Ketaren
1986).
D.5 Plasticizer

Plasticizer ini merupakan bahan nonvolatile, yang ditambahkan ke


dalam formula film akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik film
yang terbentuk karena akan mengurangi sifat intermolekuler dan menurunkan
ikatan hidrogen internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan
penambahan plasticizer dalam film sangat penting karena diperlukan untuk
mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler
ekstensif ( Gontard et al., 1993 ). Menurut Krochta dan Jonhson ( 1997 ),
plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol.
Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.
D.6 Laju Transmisi Uap Air ( Water Vapor Transmission Rate )
Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air yang hilang persatuan
waktu dibagi dengan luas area film. Laju transmisi uap air menentukan
permeabilitas uap air film ( Mc Hught dan Krochta, 1994 ).
D.7 Kekuatan Renggang Putus ( Tensile Strength ) dan Perpanjangan
Kekuatan renggang putus adalah ukuran untuk kekuatan film yang secara
spesifik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap
bertahan sebelum putus atau sobek. Menurut Krochta dan Johnson ( 1997 ),
edible film harus dapat dipertahankan keutuhannya selama pemrosesan bahan
yang dikemasnya. Cara untuk menguji kemampuannya harus dilakukan dengan
evaluasi terhadap sifat-sifat mekaniknya yang meliputi kekuatan renggang
putus dan perpanjangan.
D.8 Ketahanan dalam Air ( Water Resistance )
Sifat film yang penting untuk penerapannya sebagai pelindung makanan
adalah ketahanannya di dalam air. Menurut Gontard et al., ( 1992 ), apabila

aktivitas air tinggi ( saat film harus kontak dengan air ) selama proses
pengolahan makanan yang dikemasnya, maka film harus seminimal mungkin
larut dalam air. Edible film dengan kelarutan air yang tinggi juga
dikehendaki, misalnya pada pemanfaatannya bila dilarutkan atau dalam
makanan panas.
D.9 Ketebalan
Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap
penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemasnya.
Ketebalan film akan mempengaruhi permeabilitas gas. Semakin tebal edible
film maka permeabilitas gas akan semakin kecil dan melindungi produk yang
dikemas dengan lebih baik. Ketebalan juga dapat mempengaruhi sifat
mekanik film yang lain, seperti tensille strength dan perpanjangan. Namun
dalam penggunaannya, ketebalan edible film harus disesuaikan dengan
produk yang dikemasnya (Kusumasmarawati, 2007).

E. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS


E.1 Kerangka Konsep
Limbah dari industri
pengolahan jeruk

Kulit jeruk
Kintamani

Mengandung
pektin

Bubuk
kulit
jeruk

Diayak
dengan
ayakan
80 mesh

Ekstraks
i

Pektin Kulit
Jeruk

Edible Film

Jenis Pelarut
Asam sitrat 5%
Ditambahkan
pada tapioka

Variabel yang diamati :


1. Laju Transmisi Uap Air (
Water Vapor
Transmission Rate )
2. Kekuatan Renggang Putus
( Tensile Strength ) dan
Perpanjangan
3. Ketahanan dalam Air
( Water Resistance )

4. Ketebalan

Kulit jeruk merupakan limbah dari industri pengolahan jeruk. Kulit jeruk
mengandung pektin yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan pembuat edible film

tapioka. Kulit jeruk dijadikan bubuk untuk kemudian diekstraksi menjadi pektin
yang kemudian ditambahkan pada tapioka sebagai bahan pembuat edible film.
Setelah mendapatkan edible film diamati variabelnya yaitu laju transmisi uap air
(WTVR), kekuatan renggang putus ( Tensile Strength ) dan perpanjangan,
ketahanan dalam air ( Water Resistance ).
E.2 HIPOTESIS

1. Konsentrasi pektin kulit jeruk kintamani berpengaruh terhadap karakteristik


fisik dan mekanis.
2. Konsentrasi tertentu dapat menghasilkan edible film dengan karakter yang
baik.

F. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui pengaruh penambahan pektin kulit jeruk kintamani terhadap
karakteristik fisik dan mekanik dari edible film
2. Mendapatkan konsetrasi dari pektin kulit jeruk kintamani yang ditambahkan
untuk menghasilkan karakteristik edible film yang terbaik

G. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat
dijadikan referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu teknologi pengolahan
pangan dan menambah kajian ilmu mengenai pembuatan edible film dengan
memanfaatkan pektin kulit jeruk.
10

2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
masyarakat Indonesia yang memiliki usaha dibidang pengolahan jeruk dapat
memanfaatkan limbah kulit jeruk yang dihasilkan menjadi produk yang
bermanfaat dan memiliki nilai jual.
H. METODE PENELITIAN
H.1 Bahan dan Alat
a. Bahan
Bahan yang digunakan dalam metode ini adalah kulit jeruk kintamani yang
masih baik. Kulit jeruk yang digunakan adalah kulit yang masih segar atau
beberapa hari setelah dipanen, kulit jeruk tersebut didapat dari kecamatan
Kintamani, Bali. Bahan kimia yang digunakan antara lain: asam klorida, asam
sitrat, etanol, aquades, HCl 0,05N, CaCl2, NaCl, gliserol
b. Alat
Timbangan analitik, pengaduk, pisau, ayakan,

kompor, Loyang,

alumunium foil, hotplate, beaker glass, kain saring, thermometer, oven, magnetic
stirrer, blender dan alat alat lainnya yang membantu penelitian. Alat-alat untuk
pengujian antara lain Llyods Instrument, Micrometer Mitutoyo, cawan WVTR,
mangkuk acrilic, cabinet driyer, RH meter

11

H.2 Rancangan Percobaan


Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAL) dengan
perlakuan jenis konsentrasi pektin kulit jeruk kintamani . Adapun faktor
perlakuannya adalah sebagai berikut:
P1

: menggunakan 15% pektin kulit jeruk

P2

: menggunakan 20% pektin kulit jeruk

P3

: menggunakan 25% pektin kulit jeruk

Perlakuan ini diulang sebanyak dua kali ulangan sehingga diperoleh 6 unit
percobaan.

H.3 Pelaksanaan Percobaan


Tahap pelaksanaan percobaan meliputi 3 tahapan yaitu:
1. Pembuatan bubuk kulit jeruk kintamani
Kulit jeruk kintamani segar dibersihkan dengan air hingga kotoran dan debu
lainnya hilang, kemudian dipotong kecil-kecil selanjutnya dilakukan steam
blancing pada suhu 85oC selama 10 menit lalu ditiriskan. Kulit jeruk kintamani
yang sudah ditiriskan kemudian dimasukan ke dalam pengering kabinet lampu
selama 10 jam. Kulit jeruk kintamani yang sudah kering, dihancurkan
menggunakan blender kering dan dilakukan pengayakan dengan menggunakan
ayakan 80 mesh dan didapatkan hasil (Syarifuddin, 2015).
2. Ekstraksi pektin kulit jeruk kintamani
Bubuk kulit jeruk kintamani dilarutkan dalam pelarut asam sitrat 5% dengan
perbandingan 1:20 (bahan : pelarut) dan dilakukan ekstraksi dengan magnetic
stirrer pada suhu 90oC selama 60 menit. Hasil ekstraksi disaring dengan kain

12

saring rangkap 8. Filtrat yang didapatkan dilakukan penguapan selama 45 menit


pada suhu 100oC dan selanjutnya dilakukan pengendapan pektin menggunakan
etanol 96% selama 2 jam. Endapan pektin kembali disaring dan dilakukan
pencucian 3 kali dengan etanol 70% dan 96%. Endapan pektin dikeringkan dalam
oven dengan suhu 55oC selama 10 jam sehingga diperoleh bubuk pektin
(Syarifuddin, 2015). Diagram alir proses ekstraksi pektin kulit jeruk kintamani
dapat dilihat pada Gambar 9.

13

Bubuk kulit jeruk


kintamani
Asam sitrat 5%

Ekstraksi pada
suhu 90oC

Perbandingan 1:20
Waktu ekstraksi 60 menit

Penyaringan

Resid
u

Filtrat

Penguapan selama 45
menit pada suhu 100oC
Pengendapan selama 2
jam dengan etanol 96%

Penyaringan dan pencucian 3 kali


menggunakan etanol 70% dan 96%

Pengeringan dengan oven


pada suhu 50oC selama
10 jam
Bubuk
pektin

Gambar 9. Diagram Alir Proses Ekstraksi Pektin Kulit Jeruk


Kintamani
3.

Pembuatan Edible Film


Tapioka di timbang 2% (b/btotalaquades), kemudian ditambahkan pektin kulit

jeruk kintamani sesuai perlakuan masing masing yaitu 15% ; 20% ; 25%

14

(b/btapioka) dan CaCl2 1,6% (b/bpektin). Gliserol 1% (v/v) ditambahlan dan


dibuat suspensi dengan penambahan aquades sampai 100 ml kemudian dilakukan
pengadukan dan pemanasan pada magnetic stirrer dengan suhu 85oC selama 15
menit. Suspensi yang sudah dibuat didinginkan hingga suhu 37 oC dan suspensi
diaduk kembali dengan pengaduk. Suspensi disaring menggunakan kain saring
untuk mendapatkan filtrat yang jernih dan dilakukan penuangan sebanyak 60 ml
ke plastik mika tebal berukuran 11cm x 17cm yang beralaskan loyang, kemudian
diratakan dengan menggunakan pengaduk. Suspensi film dikeringkan dengan
pengering kabinet pada suhu 50oC selama 20 jam. Edible film dikeluarkan dari
pengering kabinet untuk dilakukan pendinginan pada suhu ruang selama 1 jam
agar edible film mudah dilepas. Edible Film kemudian dianalisis (Syarifuddin,
2015).

H.4 Variabel yang Diamati


1. Laju Transmisi Uap Air (WVTR)
Pengujian mengacu pada penelitian Murdianto (2005), laju transmisi uap
air edible film yang diuji diseal pada mangkuk aclirik berukuran 7,5 cm (diameter
dalam) dan 8 cm (diameter luar) dengan kedalaman 2 cm, yang didalamnya berisi
10 gram silica gel dan ditempatkan pada stoples plastik yang didalamnya berisi
larutan NaCl 40% (RH 75%). Kondisi laju transmisi uap air setimbang dicapai
dalam penimbangan dilakukan setiap 1 jam.
2. Kekuatan Renggang Putus ( Tensile Strength ) dan Perpanjangan
Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya
gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area
film untuk merenggang atau memanjang (Krochta, 1997). Kuat tarik dan persen

15

perpanjangan film, diukur dengan menggunakan Universal Testing Instrument


(Lyoid Instrument). Sebelum diukur film dikondisikan di dalam ruangan bersuhu
250C, Rh 75% selama 24 jam. Alat diatur dengan Initial Grip Separation 30
mm/menit. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum, sedangkan
persen perpanjangan film dihitung pada saat film pecah (sobek). Krochta dan
Johnston (1997) dalam Suryaningrum dkk., (2005) menyebutkan, persentase
elongasi edible film dikatakan baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan
jelek jika nilainya kurang dari 10%.
3. Ketahanan Dalam Air ( Water Resistance )
Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang
terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam (Gontard, 1993). Kelarutan
film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film
ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki tingkat
kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas
( Nurjannah, 2004).
4. Ketebalan
Uji ketebalan edible film diukur dengan mikrometer Digital Mitutoyo
dengan cara menempatkan edible film di antara rahang mikrometer. Ketebalan
diukur pada lima tempat berbeda, kemudian dihitung reratanya. Ketebalan
merupakan sifat fisik yang akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan
senyawa volatil serta sifat-sifat lainnya seperti tensile strength dan elongation (Mc
Hugh, 1993).
H.5 Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dan
apabila terdapat pengaruh perlakuan terhadap variable yang diamati, maka akan
dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
I. Tempat dan Waktu Penelitian

16

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Analisis Pangan Jurusan


Ilmu dan Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana, Kampus Sudirman. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan
pada bulan November 2015 sampai dengan bulan Januari 2016.
Jadwal penelitian

No
1

Kegiatan
Pembuatan

2
3

proposal UP
Seminar UP
Revisi

Bulan 1
1 2 3 4

Bulan 2
1 2 3 4

Waktu Penelitian
Bulan 3
Bulan 4
Bulan 5
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Proposal
4
5

UP
Penelitian
Analisis

data
Penyusunan

laporan
Seminar

8
9
10

hasil
Revisi
Skripsi
Revisi
skripsi

J. BIAYA PENELITIAN
No Jenis Pengeluaran
1

Jumlah

Biaya (Rp)

Pembuatan proposal

17

a. Biaya print
2

5 kali

Rp 50.000,-

Bahan penelitian
a. zat kimia:
1. Etanol

Rp. 112.000,-

2. Asam Sitrat 5%

Rp.

3. Aquades

Rp.

4. CaCl2

Rp.

5. HCL pekat

Rp.

6. Gliserol

Rp.

7. Silika gel

Rp.

b. kulit jeruk kintamani


3

Analisis laboratorium

a. dana laboratorium
Penyusunan laporan

3 bulan

a. analisis data

Rp 200.000,Rp 100.000,-

b.penulisan laporan

3 buah

Rp 60.000,-

c.penggandaan laporan
Seminar

15 buah

Rp 300.000,-

a.konsumsi

30 bungkus

Rp 150.000,-

6
Biaya tidak terduga 10%
Total

Rp. 185.400,Rp. 2.039.400,-

18

19

DAFTAR PUSTAKA
Akili, M.S, Ahmad U, dan Suyatma NA. 2012. Karakteristik Edible film dari
Pektin Hasil Ekstraksi Kulit Pisang. J. Keteknikan Pertanian. Vol. 26.
No.1
Arinda, K. R., 2009. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna
oblongifolia. Merr) Untuk Pembuatan Edible Film. Skripsi. Universitas
Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Bourtoom, T. 2006. Effect of Some Process Parameters on the Properties of
Edible film Prepared from Starches. Department of Material
ProductTechnology. Prince of Songkla University. Hat Yai.Songkhla
Darusman, L.K., D. Sajuthi, K. Sutriah, D. Pamungkas. 1995. Ekstraksi
komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga
karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
Buletin kimia, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Deptan, 2012. Kajian Umum Mengenai Tanaman Jeruk Avaliable at
http://ditlin.hortikultura.go.id/jeruk_cvpd/jeruk01.htm diakses 7 Oktober
2015.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke-2. Padmawinata K, Soediro I,
penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari:
Phytochemical Methods.
Mc Hugh, TH and J.M Krocht, 1994. Milk-protein-based edible films and coating.
Food Technol.
Mc Hugh TH, Avena-Bustillas R, Krochta JM. 1993. Hydrophilic edible films:
modified procedure for water vapor permeability and explanation of
thickness effects. J Food Sci 58 (4): 899903.
Murdianto, W., 2005. Sifat Fisik dan Mekanik Edibel Film Ekstrak Daun
Janggelan. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Nurjannah, W. 2004. Isolasi dan karakterisasi alginat dari rumput laut Sargassum
sp. untuk pembuatan biodegradable film komposit alginat tapioka. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.
Sirotek, K., L. Slovakova, J. Kopecny and M. Marounek. 2004.
Fermentation of pectin and glucose, and activity of pectindegrading
in the rabbit caecal bacterium Bacteroides
caccae. Letters in Applied Microbiology 38:327332.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika
(Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka
20

Utama, Jakarta.
Syarifuddin, Ahmad. 2015. Karakterisasi Edible Film dari Pektin Albedo Jeruk
Bali. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 4 p.1538-1547
Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat, Hasbullah,
Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat 2001
Gontard,N.,Guilbert,S.,Cuq.J.L.,1993. Water and Glicerol as Plasticizer Affect
Mechanical and Water Barrier Properties at Edible Wheat Gluten Film. J.
Food Science. 58 (1): 206-211.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Krochta and De Mulder Johnston. 1997. Edible and Biodegradable Polymers
Film: Changes & Opportunities. Food Technology (51).
Kusumasmarawati, A.D., 2007. Pembuatan Pati Garut Butirat dan Aplikasinya
dalam pembuatan Edible Film. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas
Gajah Mada Yogyakarta.
Voigt R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. EdisiV. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

21

Anda mungkin juga menyukai