Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami

penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi.

Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya,

dan temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena

tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat.


Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan

bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan

yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan

melindungi makanan sampai ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan

keamanannya dapat dipertahankan. Menurut Komolprasert (2006) dalam Wahyu

(2009), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam,

dan kaca.
Fungsi dari pengemas pada bahan pangan adalah mencegah atau

mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta

gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Disamping itu pengemasan

berfungsi sebagai wadah agar memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan

dan pendistribusiannya.
Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan

ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Material

sintetis yang terdiri dari sekitar 60% polietilen dan 27% dari poliester diproduksi

untuk membuat bahan pengemas plastik yang digunakan dalam produk makanan.

Penggunaan material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan.


Plastik akan menjadi sampah yang sulit terurai. Plastik sintetis yang sering

digunakan untuk bahan pengemas makanan adalah produk non-biodegrable

sehingga sulit untuk diuraikan, pakar Ahli Teknologi Pangan dari Institut

Pertanian Bogor (IPB), Arif Hartoyo. Limbah plastik baru bisa terurai setelah
1
1.000 tahun. Dibandingkan dengan limbah kertas yang membutuhkan waktu

sebulan untuk terurai.


Perkembangan jenis kemasan telah mengarah ke kemasan baru yang

memiliki kemampuan yang baik dalam mempertahankan mutu bahan pangan dan

bersifat ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan

untuk tujuan tersebut adalah bahan kemasan edible film.


Penggunaan edible film untuk produk pangan dan penguasaan

teknologinya masih terbatas. Oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian yang

lebih intensif, karena edible film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus

dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi, maupun hasil pertanian

segar.
Edible film merupakan pengemas yang mampu bertindak sebagai

penghambat perpindahan uap air dan pertukaran gas (CO2 dan O2),

mempertahankan integrasi struktur bahan, menahan komponen flavor yang muda

menguap, dan dapat pula digunakan sebagai pembawa bahan tambahan pangan

seperti agensia antimikrobia, antioksidan, dan sebagainya. Dengan kemampuan

yang dimilikinya maka biodegradable film/edible film telah banyak digunakan

untuk meningkatkan umur simpan buah-buahan dan sayur-sayuran. Kelebihan lain

dari pengemas edible film adalah kemampuannya untuk didegradasi mudah

sehingga tidak menimbulkan permasalahan lingkungan seperti sampah plastik

yang dapat mencemari lingkungan. 2


Edible film dapat dibuat dari tiga jenis bahan penyusun yang berbeda yaitu

hidrokoloid, lipid, dan komposit dari keduanya. Beberapa jenis hidrokoloid yang

dapat dijadikan bahan pembuat edible film adalah protein (gelatin, kasein, protein

kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginat, pektin,

gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yang digunakan

adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak.


Karbohidrat seperti pektin salah satunya dapat dibuat dari kulit pisang

(Musaceaea sp.). Pengembangan pektin kulit pisang sebagai bahan dasar edible

film merupakan salah satu upaya meningkatkan pemanfaatan kulit pisang. Selain

itu, pemanfaatan kulit pisang sebagai bahan dasar edible film juga merupakan

salah satu alternatif untuk menciptakan suatu kemasan makanan dan produk

pangan yang ramah lingkungan, mengingat sebagian besar produk pangan pada

saat ini masih menggunakan bahan kemasan sintetis yang dapat menimbulkan

pencemaran lingkungan.
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada makanan

karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein (May,

1990 dalam Hariyati, 2006). Penambahan pektin pada makanan akan

mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi

glukosa dan tingkat kolesterol (Baker, 1994 dalam Hariyati, 2006). Selain itu,

pektin juga dapat membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi

dalam industri kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet

(Hariyati, 2006).
Beberapa penelitian berkaitan dengan pektin telah dilakukan. Ahda dan
3
Berry (2008), menyatakan kandungan pektin dalam pisang kepok berkisar antara

10,10%-11,93%. Kandungan pektin dalam kulit jeruk lemon sebanyak 32,61%


(Fitriani, 2003). Pada penelitian ekstraksi dan karakterisasi pektin dari limbah

proses pengolahan jeruk Pontianak yang dilakukan Hariyati (2006) mendapatkan

rendemen pektin berkisar antara 4,87%-6,95%.


Pektin lebih banyak digunakan pada industri makanan terutama produk

jeli, selai, makaroni, makanan coklat, kembang gula dan industri minuman seperti

produk susu dan pengalengan buah-buahan. Hal tersebut disebabkan oleh karena

pektin memiliki kemampuan gel yang lebih optimum dan gel tersebut memiliki

tekstur yang lebih baik, kuat dan stabil (Fitriani, 2003).


Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan tambahan

pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai

biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat

diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007

dalam Wahyu, 2009).


Menurut Yoshida et al. (2009), plastik edible yang dibentuk dari polimer

murni bersifat rapuh sehingga perlu digunakan plasticizer untuk meningkatkan

fleksibilitasnya. Edible film pektin dengan penambahan bahan tambahan

plastisizer mempunyai sifat lebih fleksibel daripada film tanpa plastisizer. Nilai

persen elongasi semakin besar dengan penambahan plastisizer gliserol. Plasticizer

merupakan bahan yang sering ditambahkan pada pembuatan edible film. Menurut

Gontard et al (1993), plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible film untuk

mengurangi sifat rapuh film selain itu juga untuk meningkatkan permeabilitas 4

terhadap gas, uap air, dan zat terlarut serta meningkatkan elastisitas film.

Plasticizer seperti gliserol, sorbitol dan polietilen glikol memiliki viskositas

rendah yang bila ditambahkan akan memberikan sifat fleksibilitas (Tamaela dan

Sherly, 2007).
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana cara mengolah kulit pisang menjadi pektin serta

pemanfaatannya sebagai edible film/coating?

2. Bagaimana kandungan kadar air, kadar abu, BE, kadar metoksil, kadar

galakturonat dalam pektin tersebut?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui cara mengolah kulit pisang menjadi pektin serta

pemanfaatannya sebagai edible film/coating.

2. Untuk mengetahui pektin hasil ekstraksi kulit pisang yang dibuat telah

sesuai dengan standar mutu International Pectin Producers Association.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PEKTIN
Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar

tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan

dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga berperan

sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith dan Fox,

2005).
Pektin merupakan senyawa polisakarida dengan bobot molekul tinggi

yang banyak terdapat pada tumbuhan. Pektin digunakan sebagai pembentuk gel

dan pengental dalam pembuatan jelly, marmalade, makanan rendah kalori dan

dalam bidang farmasi digunakan untuk obat diare (National Research

Development Corporation, 2004).


Kata pektin berasal dari bahasa Latin pectos yang berarti pengental

atau yang membuat sesuatu menjadi keras/padat. Pektin ditemukan oleh

Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu.


Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer

yang berisi unit asam galakturonat (sedikitnya 65%). Kelompok asam tersebut

bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium, kalsium atau

ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2002).


Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam

buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah. Pada

umumnya, protopektin yang tidak larut itu lebih banyak terdapat pada buah-

buahan yang belum matang (Winarno, 1997).


6
Semua tanaman yang berfotosintesis tanpa kecuali mengandung pektin.

Kertesz (1951) menyatakan bahwa pektin dijumpai pada buah-buahan dan

sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil ditemukan pada serelia.


Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi bahwa

pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930, Meyer dan

Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan Schneider dan Bock

pada tahun 1937 membentuk formula tersebut(Herbstreith dan Fox, 2005).

Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan ikatan

- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus

karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol

sekunder terasetilasi (Herbstreith dan Fox, 2005).

Gambar 1. Struktur Kimia Asam -Galakturonat

Menurut Hoejgaard (2004), pektin merupakan asam poligalakturonat

yang mengandung metil ester. Pektin diekstraksi secara komersial dari kulit

buah jeruk dan apel dalam kondisi asam. Masing-masing cincin merupakan

suatu molekul dari asam poligalakturonat, dan ada 300 1000 cincin seperti itu

dalam suatu tipikal molekul pektin, yang dihubungkan dengan suatu rantai

linier.

7
Gambar 2. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat

Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar

metoksil rendah (LMP) Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan

metoksil minimal 7%, sedangkan pectin bermetoksil rendah mempunyai

kandungan pektin maksimal 7% (Guichard et al, 1991) Gambar di bawah ini

merupakan rumus molekul dari pektin bermetoksil tinggi dan pektin

bermetoksil rendah (IPPA, 2002).

Gambar 3. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi

Gambar 4. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah

Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu

rantai molekul panjang. Rantai utama ini diselingi oleh kelompok rhamnosa

dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa). Kelompok

8
karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat diesterifikasi atau

diamidasi (IPPA, 2002). Selain asam D-galakturonat sebagai komponen utama,

pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah

yang bervariasi. Komposisi kimia pectin sangat bervariasi tergantung pada

sumber dan kondisi yang dipakai dalam isolasinya (Willats et al, 2006).

Gambar 5. Struktur Fungsional Pektin (Herbstreith dan Fox, 2005)

Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pectin

sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium,

potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk

serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau

kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang.

Gliksman (1969) menyatakan bahwa pektin kering yang telah dimurnikan

berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan yang berbeda-beda sesuai

dengan kandungan metoksilnya.


Pektin dalam jaringan tanaman banyak dalam bentuk protopekin yang
9
tidak larut dalam air. Dengan adanya asam, kondisi larutan dengan pH rendah

akan menghidrolisa protopektin menjadi pektin yang lebih mudah larut.

Ekstraksi pektin sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada kisaran pH 1.5


sampai 3.0 dengan suhu pemanasan 60 100oC selama setengah jam sampai

satu setengah jam (Towle dan Christensen, 1973). Waktu ekstraksi yang terlalu

lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pektin menjadi asam

galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin

cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Smith dan Bryant,

1968).
Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pectin

dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari

gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik

seperti kebanyakan koloidal hidrofilik. Pektin lebih utama distabilkan oleh

hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Penambahan etanol dapat

mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya, dan

akibatnya pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977).


Tahap akhir dari ekstraksi pektin adalah pengeringan endapan pektin.

Ranganna (1977) menganjurkan pengeringan dilakukan pada tekanan yang

rendah agar pektin tidak terdegradasi. Menurut Dewan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004), pengeringan pektin markisa

dapat dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40 - 60oC selama

6 - 10 jam. McCready (1965) menggunakan suhu 60oC dalam oven keadaan

vakum selama 16 jam untuk pengeringan pektin kulit jeruk.


10
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada

industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan

menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan

mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi

glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan minuman,
pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan

keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah. Selain itu pektin

juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, jam, dan marmalade

(Herbstreith dan Fox, 2005).

B. EDIBLE FILM
Pengemasan telah berkembang sejak lama, sebelum manusia membuat

kemasan alam sendiri telah menyajikan kemasan misalnya jagung terbungkus

daun atau yang disebut selundang, buah buahan terbungkus kulitnya. Fungsi

dari pengemasan pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi

kerusakan. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus

ramah lingkungan maka penggunaan edible film adalah suatu yang sangat

menjanjikan, baik yang terbuat dari lipida, karbohidrat, protein maupun

campuran ketiganya. Edible film sangat potensial digunakan sebagai

pembungkus dan pelapis produk produk pangan industri pertanian segar .


Secara umum edible film dapat didefenisikan sebagai lapis tipis yang

melapisi suatu bahan pangan dan layak dimakan, digunakan pada makanan

dengan cara pembungkusan atau diletakkan diantara komponen makanan yang

dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan, memperpanjang masa


11
simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan uap air

(Krochta, 1992).
Edible film merupakan lapisan tipis dari materi yang dapat diletakkan

diatas permukaan produk makanan untuk menyediakan penghalang bagi uap

air, oksigen dan perpindahan padatan dari makanan tersebut. Sebuah pelapisan

yang ideal didefenisikan sebagai salah satu cara untuk memperpanjang umur

simpan makanan tanpa menyebabkan keadaan anaerobik dan mengurangi


kualitas makanan. Selain itu edible film dapat digunakan untuk mengurangi

kehilangan air.
Beberapa edible film dibandingkan dengan bahan pengemas lain yaitu:
1. Meningkatkan retensi warna, asam, gula, dan komponen flavor
2. Mengurangi kahilangan berat
3. Mempertahankan kualitas saat pengiriman dan penyimpanan
4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan
5. Memperpanjang umur simpan
Salah satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuan mereka

dalam peranannya sebagai penghalang, baik gas, minyak, atau yang lebih

utama air. Kadar air makanan merupakan titik penting untuk menjaga

kesegaran, mengontrol pertumbuhan mikroba, dan tektur yang baik, edible film

dapat mengontrol AW (water activity) melalui pelepasan atau penerimaan air

(Hui,2006).
Komponen penyusun edible film dapt dibagi menjadi tiga macam
12
yaitu : hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain

senyawa polisakarida yeti selulosa, modifikasi selulosa, pati, agar, alginat,

pektin. Lipida yang biasa digunakan yaitu kolagen, gelatin, asil gliseroll, dan

asam lemak. Sedangkan komposit merupakan campuran, terdiri dari lipid dan

hidrokoloid serta mampu menutupi kelemahan masing masing (Dohowe dan

fennema, 1994).

C. KULIT PISANG
Kulit pisang adalah kulit buah dari buah pisang. Sebagai salah satu buah

yang populer di dunia dengan konsumsi mencapai 145 juta ton per tahun

(2011), pisang menghasilkan sejumlah besar limbah.


Kulit pisang digunakan sebagai pakan terutama di daerah di mana

pisang tumbuh dan diolah. Kulit pisang digunakan sebagai pakan ternak sapi,
kambing, babi, unggas, kelinci, dan ikan. Meski demikian, kandungan tannin

dalam kulit pisang dikhawatirkan mengganggu pencernaan hewan ternak.


Nutrisi yang terkandung di dalam kulit pisang tergantung pada tingkat

kematangan buah dan jenis pisangnya. Pisang sayur atau plaintain memiliki

kulit yang mengandung serat lebih sedikit dibandingkan pisang biasa.

Kandungan lignin dalam kulit pisang umumnya meningkat seiring peningkatan

tahap kematangan buah. Kandungan protein pada kulit pisang kering antara

6%-9%. Pisang sayur yang masih hijau mengandung sekitar 40 persen pati

sedangkan pisang biasa yang hijau mengandung 15 persen pati. Pati ini

berubah menjadi gula bebas seiring peningkatan tahap kematangan buah. 13


Kulit pisang juga digunakan sebagai pemurnian air, produksi etanol dan

pektin.
Kulit pisang menjadi bahan komedi sebagai penyebab terpelesetnya

orang. Konsep ini dimulai ketika sebuah kota kecil di Amerika Serikat

menganggap bahwa kulit pisang merupakan ancaman publik yang dapat

menyebabkan demikian.

D. JENIS-JENIS ANALISA PEKTIN

Tabel Standar Mutu Pektin Berdasarkan Standar Mutu International

Pectin Producers Association.


14
BAB III
METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN

Pelaksanaan kegiatan praktek Project Work tentang Ekstraksi Pektin

dari Kulit Pisang dan Aplikasinya Sebagai Edible Film ini dilaksanankan pada

bulan Agustus sampai bulan Oktober tahun 2016 di Laboratorium Kimia

Analisis Proksimat.

B. ALAT

Alat yang digunakan pada Project Work ini adalah :

1. Gelas ukur 10. Cetakan kaca


11. Kaca Arloji
12. Spatula
13. Buret
2. Gelas Piala 14. Statif
3. Neraca Digital 15. Desikator
4. Oven 16. Gegep
5. Hot Plate 17. Tanur
6. Alat Ekstraksi 18. Cawan porselin
7. Magnetic Stirer 19. Erlenmeyer
8. Pengaduk atau sendok 20. Corong
9. Blender 21. Pipet tetes

22.

15
C. BAHAN

23. Bahan-bahan yang digunakan pada Project Work ini adalah :

1. Kulit Pisang 10. Potasium Sorbat


2. Asam Asetat (Cuka) 11. Asam Stearat
3. Kertas/Kain Saring 12. NaCl
4. Etanol 96% 13. NaOH 0,1 N
5. Aquadest 14. NaOH 0,2 N
6. Kertas pH 15. HCl 0,2 N
7. CMC Food Grade 16. Indikator PP
8. Sorbitol 17.
9.

D. PROSES PRODUKSI
1. Proses Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang
a. Dipilih kulit buah pisang yang tidak cacat, dipotong kecil-kecil.
b. Dikeringkan menggunakan oven pada suhu 55C sampai berat

konstan.
c. Potongan kulit buah pisang kering diblender dengan menambahkan

air sebanyak 3 kali bobot bahan basah.


d. Ditambahkan Asam Asetat 0,1 N hingga pH 1,5
e. Diekstraksi pada suhu 95C selama 40 menit disertai pengadukan

dengan stirer.
f. Larutan hasil ekstraksi disaring dengan kertas saring atau kain

saring tebal (bila menggunakan kertas saring dilakukan

penyaringan dengan pompa vakum)


g. Diambil filtrat hasil ekstrasi dan dipanaskan hingga mengental pada

suhu 80oC.
h. Filtrat yang telah dikentalkan kemudian di dinginkan pada suhu 16

kamar kemudian pectin diendapkan selama 12 jam dengan

menambahkan larutan etanol 96% yang telah di asamkan dengan


2ml HCl pekat dalam 1L etanol 96% dengan perbandingan larutan

dan filtrat 1 : 1,5.


i. Endapan disaring untuk memisahkan pektin dari larutan etanol.
j. Endapan dicuci dengan larutan etanol hingga bebas klorida. Untuk

mengetahui terdapatnya klorida dapat dilakukan dengan

menambahkan beberapa tetes AgNO3 pada cairan bekas cucian

apabila klorida masih ada akan terbentuk endapan putih AgCl.


k. Pektin di keringkan dalam oven pada suhu 40oC selama 8 jam.
l. Pektin diblender hingga berbentuk serbuk.

18.

1. Pembuatan Edibel Film


a. Memanaskan 200 mL aquades hingga suhu 70C.
b. Melarutkan 0,8 g CMC ke dalam aquades sambil diaduk.
c. Melarutkan 4 g pektin ke dalam larutan aquades dan CMC.
d. Menambahkan 6 mL sorbitol (15% v/v).
e. Melarutkan 0,22 g potasium sorbat ke dalam campuran.
f. Melarutkan 0,14 g asam stearat ke dalam campuran.
g. Menuang adonan edible film kedalam cetakan kaca dan juga pada

buah kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50C hingga


17
kering.
19.
E. PROSEDUR ANALISA
1. Kadar Air
a. Tujuan penetapan :
20. Untuk mengetahui kadar Air yang terkandung dalam

sampel Pektin.
b. Dasar prinsip :
21. Mengeringkan sampel dalam oven 100 105 hingga

bobot konstan dan selisih bobot awal dengan bobot akhir dihitung

sebagai kadar air.


c. Prosedur kerja :
Ditimbang 5 gram sampel serbuk halus ke dalam kotak

timbang.
Dikeringkan dalam oven pada suhu 105C.
Didinginkan dalam eksikator.
Ditimbang.
Diulangi hingga diperoleh bobot tetap.
22.
23.
24.
2. Kadar Abu
a. Tujuan penetapan :
25. Untuk mengetahui kadar abu yang terkandung dalam

sampel pektin.
18 b. Dasar prinsip :
26. Dengan menggunakan pengoksidasian semua zat organic

pada suhu tinggi yaitu sekitar 500o-600oC dan kemudian melakukan

penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran

tersebut.
c. Prosedur Kerja :
Ditimbang 0,5 gram sampel kedalam cawan yang telah

diketahui bobotnya.
Diperarang abukan kedalam tanur pada suhu 550C.
Didinginkan dalam eksikator.
Ditimbang hingga bobot tetap.
27.
3. Penentuan BE
a. Tujuan penetapan :
28. Untuk mengetahui Berat Ekivalen pada sampel pektin.
b. Prosedur Kerja :
Ditimbang pektin sebanyak 0,5 g.
Dibasahi 2 mL etanol 96% .
Dilarutkan didalam 40 mL aquadest yang berisi 1 g NaCl.
Larutan hasil campuran ditetesi dengan indikator fenolftalein

sebanyak 5 tetes.
Ditritasi dengan NaOH 0,1N sampai terjadi perubahan warna,
19
volume titrasi dicatat.
29.
4. Kadar Metoksil
a. Tujuan penetapan :
30. Untuk mengetahui kadar Metoksil pada sampel pektin.
b. Prosedur Kerja :
Larutan netral dari penentuan berat ekivalen (BE) ditambah 25

mL larutan NaOH 0,2 N diaduk dan dibiarkan selama 30 menit

pada suhu kamar pada keadaan tertutup.


Ditambahkan 25 mL larutan HCl 0,2 N.
Ditetesi dengan fenolftalein sebanyak 5 tetes.
Dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan

warna.
31.
5. Kadar Asam Galakturonat
a. Tujuan penetapan
32. Untuk mengetahui kadar asam galakturonat pada sampel

pektin.
b. Dasar Prinsip
33. Pengaruh kadar asam galakturonat dihitung dari mili

ekivalen (meq) NaOH yang diperoleh dari penentuan bilangan

ekivalen dan kadar metoksil.


c. Prosedur Kerja :
Kadar asam galakturonat dihitung dari mili ekivalen (mek)

NaOH yang diperoleh dari penentuan bilangan ekivalen dan


20
kadar metoksil.
34.
6. Derajat Esterifikasi
a. Tujuan Penetapan
35. Untuk mengetahui derajat esterifikasi pada sampel pektin.
b. Dasar Prinsip
36. Pengukuran derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil

dan kadar asam galakturonat yang dihasilkan.


c. Prosedur Kerja:
Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar

asam galakturonat yang dihasilkan.


37.

21
38. BAB IV
39. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL ANALISA LABORATORIUM
1. Kadar Air

40. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat

dinyatakan berat basah , atau berdasarkan berat kering. Penentuan kadar air ini

ditentukan dengan cara sampel yang telah ditimbang atau diketahui bobotnya

dipanaskan dalam suatu pengering listrik pada suhu 100C 105C hingga

diperoleh bobot tetap.

41. Penentuan kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kualitas pektin yang diperoleh. Kadar air merupakan salah satu

parameter penting yang menentukan daya tahan produk pangan dan terkait

dengan aktifitas mikroorganisme selama penyimpanan.

42. Produk yang mempunyai kadar air yang tinggi lebih mudah rusak

karena produk tersebut dapat menjadi media yang kondusif bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam

penyimpanan jangka panjang daripada produk yang berkadar air tinggi.

43. Pektin dari kulit pisang yang diperoleh memiliki kadar air sebesar

89,39 %. Berdasarkan Standar Mutu International Pectin Producers

Association, standar mutu kadar air (proses pengeringan) maksimal 12 %. Hal

ini menunjukan bahwa hasil analisa tidak memenuhi standar mutu analisa.

44. Perhitungan :
22
45. 47. 48.
N 46. Pengamatan S D

51. 52.
49.
50. Bobot sampel 0, 0,
1.
55. 56.
53. 54. Bobot yang
0. 0,
2. hilang
59. 60.
57. 58. Bobot setelah
0, 0,
3. pemanasan
63. 64.
61.
62. Kadar air 8 8
4.
65.
66. Rata - rata 67. 89,39 %
5.
68.

bobot yang hilang


69. Air ( Simplo)= 100
bobot sampel

0,4699 g
70. 100
0,5237 g

71. 89,73

bobot yang hilang


72. Air ( Duplo)= 100
bobot sampel

0,4587 g
73. 100
0,5151 g

74. 89,05

75.
2. Kadar Abu

76. Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang

berupa bahan anorganik. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dari

suatu bahan. Komponen mineral yang sering terdapat dalam senyawa organik

alami adalah Kalium, Natrium (Na), Magnesium (Mg), Mangan (Mn) dan Besi

(Fe).
23

77. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin

tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah.

Perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan

kalsium dan magnesiumnya. Jadi apabila asam yang digunakan mempunyai pH

tinggi maka kadar abunya tinggi.

78. Pada hidrolisis dengan asam, ion-ion akan lepas dari substansi

pektin. Semakin lama perlakuan dengan asam, ion-ion ini akan lebih banyak

dilepaskan sehingga kadar abu semakin tinggi. Tingginya suhu dan lamanya

ekstraksi mengakibatkan kadar abu pektin semakin tinggi. Hal ini terjadi

karena adanya reaksi hidrolisis protopektin. Hidrolisis protopektin

menyebabkan bertambahnya kandungan kalsium dan magnesium. Kalsium dan

magnesium merupakan mineral sebagai komponen abu. Dengan demikian

semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin

banyak kadar abu pektin tersebut.

79. Pektin dari kulit pisang yang diperoleh memiliki kadar abu sebesar

2,35 %. Berdasarkan Standar Mutu International Pectin Producers


Association, standar mutu abu maksimal 10%. Hal ini menunjukan bahwa hasil

analisa telah memenuhi standar mutu analisa.

80.
81.
82.
83. Perhitungan :

86. S
87. D
i
84. u 24
m
N 85. Pengamatan p
p
l
l
o
o
90. 0 91. 0
, ,
5 5
88.
89. Bobot sampel 0 0
1.
4 0
7 5
g g
94. 0 95. 0
, ,
4 4
92. 93. Bobot yang
9 8
2. hilang
2 8
7 9
g g
98. 0 99. 0
, ,
0 0
96. 97. Bobot setelah
1 1
3. pemijaran
2 1
0 6
g g
102. 103.
100.
101. Kadar abu 2,38 2, 32
4.
% %
104.
105. Rata rata 106. 2,35 %

107.
bobot sampel setelah pemijaran
108. Abu ( Simplo )= 100
bobot sampel sebelum pemijaran

0,0120 g
109. 100
0,5047 g

110. 2,38

bobot sampel setelah pemijaran


111. Abu ( Duplo )= 100
bobot sampel sebelum pemijaran

0,0116 g
112. 100
0,5005 g

113. 2,32

114.

3. Penentuan BE
115. Berat Ekivalen ialah kandungan gugus asam galakturonat bebas

yang terdapat dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni mempunyai

berat ekivalen 176. Asam pektat murni merupakan asam pektat yang

seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil

ester, jadi tidak mengalami esterifikasi. Semakin sedikit gugus asam bebas

berarti semakin tinggi berat ekivalen.

116. Pektin dari kulit pisang yang diperoleh memiliki BE sebesar 25

6051,28 mg. Berdasarkan Standar Mutu International Pectin Producers


Association, standar mutu BE yaitu antara 600-800 mg. Hal ini menunjukan

bahwa hasil analisa tidak memenuhi standar mutu analisa.

117. Perhitungan :

118.
119. Pengamatan
No.
122.
120. 121. Bobot
0,5192
1. sampel
g
123. 124. Volum 125. 0,75
2. e penitar ml
127. Norma 128.
126.
litas 0,1144
3.
NaOH N
131.
129.
130. BE 6051,28
4.
mg
132.
mg sampel
133. BE= ml NaOH x N NaOH

519,2 mg
134.
0,75 ml x 0,1144 N

135. 6051,28 mg

136.

4. Kadar Metoksil
137. Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat

di dalam pektin (Wachida dan Yunianta, 2008). Kadar metoksil pektin memiliki

peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat

mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin.

26
138. Berdasarkan kandungan metoksilnya pektin dibedakan menjadi 2

jenis, yaitu pektin dengan kandungan metoksil tinggi (High Methoxyl Pectin)

dan pektin dengan kandungan metoksil rendah (Low Methoxyl Pectin). Pektin

disebut bermetoksil tinggi jika memiliki nilai kadar metoksil sama dengan 7%

atau lebih. Jika kadar metoksil kurang dari 7% maka pektin disebut bermetoksil

rendah (Goycoolea dan Adriana, 2003).


139. Pektin dari kulit pisang yang diperoleh memiliki kadar metoksil

sebesar 18,78 %. Berdasarkan Standar Mutu International Pectin Producers

Association, pektin dikatakan bermetoksil tinggi jika kadarnya >7,12 % dan

bermetoksil rendah jika kadarnya 2,5 7,12 %. Hal ini menunjukan bahwa

pektin yang dihasilkan adalah pektin dengan kandungan metoksil tinggi.


140. Perhitungan :

141.
142. Pengamatan
No.
145.
143. 144. Bobot
0,5192
1. sampel
g
146. 147. Volum 148. 27,5
2. e penitar ml
150. Norma 151.
149.
litas 0,1144
3.
NaOH N
154.
152. 153. Kadar
18,78
4. Metoksil
%
155.
ml NaOH x N NaOH x 31
156. Metoksil= mg sampel
x 100

27,5 ml x 0,1144 N x 31
157. x 100
519, 2 mg
158. 18,78
159.
160.
161.
5. Kadar Asam Galakturonat

27 162. Herbstreith dan Fox (2005)

menyatakan bahwa pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang

berikatan dengan ikatan -(1-4)-glikosida sehingga membentuk asam

poligalakturonat. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pektin yang terdapat

pada pektin digambarkan oleh kadar asam galakturonat. Semakin tinggi kadar

asam galakturonat maka semakin tinggi tingkat kemurnian pektin.

163. Pektin dari kulit pisang yang

diperoleh memiliki kadar asam galakturonat sebesar 64,07 %. Berdasarkan

Standar Mutu International Pectin Producers Association, standar mutu kadar

asam galakturonat minimal 35 %. Hal ini menunjukan bahwa hasil analisa telah

memenuhi standar mutu analisa.

164. Perhitungan :

165.
166. Pengamatan
No.
169.
167. 0,5
168. Bobot sampel
1. 192
g
172.
1,8
170.
171. meq NaOH 9
2.
me
q
173. 174. Kadar As. 175.
3. Galakturonat 64,
07
%
176.
meq NaOH x 176
177. As .Galakturonat = x 100
mg sampel

1,89 x 176
178. x 100
519,2 mg

179. 64,07
6. Derajat Esterifikasi

180. Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D- 28

galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Derajat

esterifikasi ini diperoleh dari perbandingan antara kadar metoksil dengan kadar

galakturonat.

181. Pektin dari kulit pisang yang diperoleh memiliki derajat

esterifikasi sebesar 206,68 %. Berdasarkan Standar Mutu International Pectin

Producers Association, standar mutu derajat esterifikasi minimal 50 %. Hal ini

menunjukan bahwa hasil analisa telah memenuhi standar mutu analisa.

182. Perhitungan :

183.
184. Pengamatan
No.
187.
185. 186. %
18,78
1. Metoksil
%
188. 189. BM 190.
2. Metoksil 176
192. % As. 193.
191.
Galakturon 64,07
3.
at %
195. BM
194. As. 196.
4. Galakturon 31
at
199.
198. %
197. 206,6
Esterifikas
5. 8
i
%
200.

metoksil x BM metoksil
201. Esterifikasi= x 100
as . galakturonat x BM as . galakturonat

18,78 x 176
202. x 100
64,07 x 31

203. 206,68
204.
205.
A. PEMBAHASAN
206. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada didapatkan

hasil seperti berikut yang dibandingkan dengan Standar Mutu International


29
Pectin Producers Association.

210. S
tan
dar
207. 209.
208. Jenis analisa Mut
No Hasil
u
Pek
tin
214. M
211. 213. aks.
212. Kadar air
1. 86 % 12
%
215. 216. Kadar abu 217. 218. M
2. 2,35 aks.
% 10
%
221. 222. 6
6051, 00
219. 220. Berat
28
3. Ekivalen (BE)
m 100
g mg
224. Kadar 225. 226. <
223.
Metoksil 18,78 7,1
4.
(tinggi) % 2%
230. M
229.
227. 228. Kadar As. in.
64,07
5. Galakturonat 35
%
%
233. 234. M
232. Derajat
231. 206,6 in.
esterifikasi
6. 8 50
(tinggi)
% %
235.
236. Setelah dilakukan perbandingan dengan Standar Mutu

International Pectin Producers Association maka diperoleh kadar air 89,39 %,

kadar abu %, Berat ekivalen 6051,28 mg, kadar metoksil 18,78 %, kadar asam

galakturonat 64,07 %, derajat esterifikasi 206,68 %.


237.

30
238. BAB V
239. KESIMPULAN & SARAN
A. KESIMPULAN

240. Setelah melakukan tahap tahap pembuatan, kami telah berhasil

membuat mie instan dari biji beton dengan komposisi kimia yang didapatkan

dari hasil analisis, yaitu kadar air %, kadar abu %, Berat ekivalen 6051,28 mg,

kadar metoksil 18,78 %, kadar asam galakturonat 64,07 %, derajat esterifikasi

206,68 %.
241.

B. SARAN
1. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi

raferensi untuk membuat project work yang lebih menarik lagi.


2. Project work ini sangatlah hemat karena membutuhkan biaya yang

sedikit dan dapat diolah sendiri dirumah.


242.

31
243. DAFTAR PUSTAKA

244. Anonim. Cara Membuat Edible Film. Agustus 2014.

http://download.portal
245. garuda.org/article.php?article=58750&val=4138.html
246.
247. Anonim. Ekstraksi Pektin Kulit Pisang Kepok dan Aplikasinya

sebagai Edible Film untuk Membungkus Sosis Sapi. Diperoleh

September 2016. http://lib.unnes.ac.id/17840/1/4350408018.pdf


248.
249. Anonim. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja.

Diperoleh September 2016.

http://www.academia.edu/8581422/EKSTRAKSI_PEKTIN_DARI_
250. KULIT_BUAH_PISANG_RAJA_Musa_sapientum.html
251.
252. Anonim. Kulit Pisang. Diperoleh September 2016

https://id.wikipedia.org/wiki/Kulit_pisang.html
253.
254. Widiastuti, Diah restu., 2015 EKSTRAKSI PEKTIN KULIT

JERUK BALI DENGAN MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION

DAN APLIKASINYA SEBAGAI EDIBLE FILM tugas akhir

program studi Teknik Kimia Universitas Negeri Semarang.

255.

32

32
256. LAMPIRAN
257.
1. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang

258.
259. Gambar 1.1 Kulit Pisang Kering Gambar 1.2 Kulit Pisang
Diblender
260.

261.
262.Gambar 1.3 Pemanasan Pada Suhu 95oc Gambar 1.4 Pengambilan Filtrat Hasil
263. Selama 40 Menit Ekstraksi

264.
265. Gambar 1.5 Pengendapan Dengan Gambar 1.6 Hasil
Endapan Pektin
266. Alkohol Yang Telah
Dikeringkan
267.

33
2. Pembuatan Edible Film
268.

269.

270. Gambar 2.1 Pemanasan Larutan Edible Gambar 2.2 Pencetakan


Edible Film Film

271.

272.
273. Gambar 2.3 Pengeringan Edible Film Pada Suhu 50o C
274.
275.
276.
277.
3. Analisa Laboratorium
278.
279.
280.
281. Gambar 3.1 Analisa Kadar Air

34

282.

283.Gambar 3.2 Analisa Kadar Abu

284.
285.

286.Gambar 3.3 Analisa Berat ekivalen

287.

288.

289. Gambar 3.4 Analisa Kadar Metoksil

35

Anda mungkin juga menyukai