Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang dikaruniai keindahan alam dan
keanekaragaman hayati. Berbagai jenis tanaman hidup di tanah Indonesia dengan
keelokkan dan ciri masing-masing. Dari sekian banyaknya tanaman tersebut, tidak
sedikit yang dapat dimanfaatkan sebagai obat oleh nenek moyang kita. Tanaman
tersebut dikatakan sebagai obat tradisional, karena cara penggunaan atau
pengolahannya yang masih sangat sederhana tanpa menggunakan peralatan
canggih atau modern. Berdasarkan warisan turun temurun nenek moyanglah, para
ahli mulai merancang dan mengembangan metode-metode penelitian untuk
mengetahui adanya kandungan senyawa-senyawa kimia dalam tanaman sehingga
dapat digunakan sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakit.
Farmasi adalah ilmu kesehatan dan ilmu kimia yang mempelajari tentang
obat-obatan, evektifitas dan keamanan pengguna obat serta penyediaan dan cara
pendistribusian obat. Farmasi juga menyaring dan menyerap pengetahuan yang
relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi.
Selain itu farmasi juga mempelajari tentang farmakognosi.
Farmakognosi berasal dari dua kata yunani yaitu Pharmacon yang berarti
obat dan gnosis yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi farmakognosi yaitu ilmu yang
mempelajari tentang obat. Di indonesia farmakognosi dikhususkan ilmu yang
mempelajari tentang obat dari bahan nabati, hewani, dan mineral.
Simplisia adalah bahan alami yangdigunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apa pun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya
berupa bahan yang telah Dikeringkan. Simplisia hewani adalah simplisia yang
dapat berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan (Oleum iecoris asselli)
dan madu, Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga,
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian

1
tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya, misalnya Datura
Foliumdan Piperis nigri Fructus. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluardari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari
selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya
yang dengan carater tentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya. (DepKes
RI,1989).
Suatu simplisia tidak dapat dikatakan bermutu jika tidak memenuhi
persyaratan mutu yang tertera dalam monografi simplisia. Persyaratan mutu yang
tertera dalam monografi simplisia antara lain susut pengeringan, kadar abu total,
kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut etanol, kadar sari larut air dan
kandungan kimia simplisia meliputi kadar minyak atsiri dan kadar kurkuminoid.
Persyaratan mutu ini berlaku bagi simplisia yang digunakan dengan tujuan
pengobatan dan pemeliharaan kesehatan (Azizah, 2013).
Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan
pengobatan modern. Menteri Kesehatan Republik Indonesia mendukung
pengembangan obat tradisional yaitu fitofarmaka yang berarti diperlukan adanya
pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau
sediaan galenik (Febriani, 2015)
Susut pengeringan adalah hasil dari pengeringan bobot sampel basah
dikurangi dengan bobot sampel kering (setelah pemanasan) pada suhu 1050 C. Uji
susut pengeringan mencapai bobot ini dikatakan selesai apabila berat
penimbangan sudah konstan. Hasil susut pengeringan dapat digunakan untuk
menghitung kadar air.
Susut pengeringan merupakan kadar bagian yang menguap dari suatu zat.
Kecualidinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g zat ditetapkan pada temperatur
105°C selama 30menit atau sampai bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan,
botol dibiarkan mendingindalam keadaan tertutup di dalam eksikator hingga suhu
kamar. Jika suhu lebur zat lebihrendah dari suhu penetapan, pengeringan
dilakukan pada suhu antara 5°C dan 10°C dibawahsuhu leburnya selama 1 jam
sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktuyang ditentukan atau
hingga bobot tetap (Depkes Ri, 1989).

2
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat. Kecuali
dinyatakan lain, suhu penguapan adalah 105oC dan susut pengeringan ditetapkan
sebagai berikut: Ditimbang seksama 1 g sampai 2 g zat dalam bobot timbang
dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan selama
30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum ditimbang digerus
dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Zat diratakan dalam botol
timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih
kurang 5 mm sampai 10 mm, dimasukkan kedalam ruang pengering, dibuka
tutupnya, dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan, dibiarkan botol dalam keadaan tertutup dingin dalam deksikator
hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan,
pengeringan dilakukan pada suhu antara 50 dan 10oC dibawah suhu leburnya
selama 1-2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan
atau hingga bobot tetap.
Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada tempratur 1050C selam 30
menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal
khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut
organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada
diatmosfir/lingkungan udara terbuka.
Tujuan dari susut pengeringan adalah untuk memberikan batas maksimal
(rentang) besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Nilai atau
rentang yangdiperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Agoes,
2007).
Penetapan susut pengeringan bertujuan untuk mendapatkan persentase
senyawa yang mudah menguap atau menghilang selama proses pemanasan, tidak
hanya menggambarkan air yang hilang tetapi juga senyawa menguap lain.
Parameter kadar air merupakan banyaknya hidrat yang terkandung dalam
bahan.Tujuan penetapan kadar air adalah untuk memberikan batasan maksimal
atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai maksimal atau
rentang yang diperbolehkanterkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Kadar air
berhubungan dengan potensi tumbuhnya mikroorganisme yang dapat menurunkan

3
daya tahan bahan. Parameter ini juga dapat menggambarkan besaran potensi
degradasi senyawa akibat proses hidrolisis ataudegradasi karena mikroorganisme
dengan air sebagai pendukungnya (Pramono, 2014).
Manfaat dari susut pengeringan adalah untuk mengetahui berapa banyak
senyawa yang hilang pada simplisia pada saat pengeringan sehingga mengetahui
kualitas dari simplisia tersebut.
Kadar air simplisia sebaiknya lebih kecil dari 10,00%., apabila kadar air
lebih besar dari 10,00% akan menyebabkan terjadinya proses enzimatik dan
kerusakan oleh mikroba. Simplisia yang di simpan dalam waktu yang lama, enzim
akan merubah kandungan kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain
mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa asalnya. Hal ini
tidak akan terjadi bahan yang telah dikeringkan mempunyai kadar air yang
rendah. Beberapa enzim perusak kandungan kimia antara lain adalah hidrolase,
oksidase, dan polimerase (Paris et moyse, 1976).
1.2 Maksud Percobaan
1. Bagaimana cara memahami susut pengeringan pada sampel
2. Bagiamana cara melakukan standarisasi mutu dengan penentuan susut
pengeringan simplisia.
1.3 Tujuan Percobaan
1. Agar mahasiswa dapat memahami susut pengeringan pada sampel
2. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui standarisasi mutu
dengan penentuan susut pengeringan simplisia.
1.4 Manfaat Percobaan
1. Untuk Masyarakat
Agar dapat memberikan informasi serta edukasi kepada masyarakat mulai
dari cari penguunaan sampai manfaat kepada masyarakat.
2. Untuk Universitas
Agar terciptanya kemajuan dalam pembelajaran yang mampu memberikan
manfaat kepada sesama.

4
3. Untuk Masyarakat
Agar dapat memberikan informasi serta edukasi kepada masyarakat mulai
dari cari penguunaan sampai manfaat kepada masyarakat.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi pemerintah sebagai pihak Pembina dan
pengawasan (Materia Medika Indonesia) yang meliputi makroskopis, mikroskopis
(irisan dan serbuk) serta kimia (Depkes, 2008).
Susut Pengeringan menurut Depkes (2008) merupakan prosedur yang
digunakan untuk melakukan penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah
menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
susut pengeringan mencakup kadar air, dan kadar bahan lainnya yang dapat
menguap. Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada temperatur
105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen
(metode gravimetri).
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.
Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan karena
erat hubungannya dengan penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.
Kandungan air pada bahan pangan dapat mempengaruhi kesegaran dan daya awet
bahan pangan tersebut. Semakin tinggi kadar air, maka bakteri, kapang dan
khamir semakin mudah tumbuh dan berkembang biak sehingga akan terjadi
perubahan pada bahan pangan yang akan mempercepat pembusukan, oleh karena
itu penting sekali kita mengetahui kadar air dalam pangan (Sandjaja, 2009).
2.1.1 Simplisia
Simplisia atau herbal yaitu bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°C (Ditjen POM,
2008).
Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang
masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk
(Gunawan, 2010).

6
Jadi simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Melinda, 2014).
a. Simplisia Nabati
Simplisa nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman.Yang dimaksud dengan eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan
cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang
dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya (Melinda, 2014).
b. Simplisia Hewani
Simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni Contohnya
adalah minyak ikan dan madu. (Nurhayati Tutik, 2008)
c. Simplisia Mineral
Simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau
yang telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia
murni. Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Meilisa, 2009).
2.1.2 Susut Pengeringan
a. Pengertian Susut Pengeringan
Susut Pengeringan menurut Depkes (2008) merupakan prosedur yang
digunakan untuk melakukan penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah
menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
susut pengeringan mencakup kadar air, dan kadar bahan lainnya yang dapat
menguap. Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada temperatur
105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen
(metode gravimetri).
b. Syarat Susut Pengeringan
Untuk simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut
organik menguap, susut pengeringan diidentikkan dengan kadar air, yaitu

7
kandungan air karena simplisia berada di atmosfer dan lingkungan terbuka
sehingga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan penyimpanan (Depkes, 2008).
c. Tujuan Susut Pengeringan
Untuk memberikan batasan maksimal rentang tentang besarnya senyawa
yang hilang pada proses pengeringan, serta untuk melakukan penetapan jumlah
semua jenis bahan yang mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu
(Depkes RI, 2000)
2.1.3 Kadar Air
a. Metode penentuan kadar air
Menurut (Estiasih, 2009), cara-cara pengeringan atau pengurangan kadar
air dapat dibagi menjadi dua golongan sebagai berikut :
1. Pengeringan (drying), yaitu cara pengurangan kadar air dengan
menguapkan air tersebut.
2. Dehidrasi, yaitu cara pengurangan kadar air selain dari penguapan,
misalnya dengan osmosa (penggunaan garam), pemerasan (pressing),
pemasakan, perebusan atau pengukusan, dan sebagainya.
3. Metode analisis kadar air secara langsung
b. Faktor - faktor yang mempengaruhi kadar air
Faktor yang mempengaruhi kadar air dalam suatu bahan makanan
adalah sifat dari air itu sendiri. Kadar air terbagi memiliki dua sifat yaitu
kadar air yang bersifat melekat secara fisik dan melekat secara kimiawi.
Menyerap air tentu akan sangat tinggi presentase kadar air yang dimiliki dan
untuk struk makanan yang sulit menyerap air presentase dari kadar air yang
terkandung akan lebih rendah (Sudarmadji, 2003).
c. Standar Ketentuan Kadar Air Yang Baik
Kelembapan sebuah makan akan sama dengan kelembapan dilingkukan
sekitarnya apa bila makanan diletakan diudara terbuka. Kadar air ini disebut
dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relative tertentu dapat
menghasilkan kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat
hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relatif (Yunizal, 2004).

8
2.2 Uraian Tanaman
2.2.1 Berikut merupakan klasifikasi Coklat (Theobroma cacao L.)
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Malvales
Family : Sterculiaceae
Gambar 2.1
Genus : Theobroma Tanaman Coklat
Spesies : Theobroma cacao L. (Samudra, 2005). Theobroma cacao L.

2.2.2 Morfologi Tanaman


Tanaman ini pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu
bagian vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan bagian generatif yang
meliputi bunga, buah dan biji (Lukito, 2010).
1. Akar
Akar merupakan bagian tumbuhan yang terdapat di dalam tanah dengan
arah tumbuh ke pusat bumi. Sistem perakaran kakao Hibrida F1 Lindak berupa
akar tunggang (radix primaria) dan berwarna coklat tua. Pada akar primer keluar
cabang-cabang akar yang lebih kecil dengan jumlah yang banyak dan susunannya
rumit (intricate). Akar tanaman kakao yang sudah berumur lima bulan yang
dikembangbiakkan secara generatif menunjukkan akar tunggang dengan panjang
akar primer sekitar 15 cm. Wessel & Toxopeus (2000) menjelaskan bahwa
panjang akar primer tanaman kakao dapat mencapai 15 meter di bawah
permukaan tanah, sedangkan akar lateralnya mencapai 6 meter. Kakao tergolong
tanaman surface root feeder yang berarti sebagian besar akar lateralnya tumbuh a
b 117 mendatar di permukaan tanah dengan kedalaman sekitar 30 cm sehingga
tanaman kakao kurang tahan terhadap kekeringan.
Pusat penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan pada awal
perkecambahan benih akar tunggang tumbuh dengan cepat. Akar tanaman kakao
yang baru berkecambah berumur 1 minggu memiliki panjang 1 cm. Pada umur
satu bulan panjang akar bertambah menjadi 16– 18 cm dan pada umur tiga bulan

9
panjangnya mencapai 25 cm. Setelah itu laju pertumbuhannya menurun dan
membutuhkan waktu dua tahun untuk mencapai panjang 50 cm.
Endang Sugiharti (2006) menjelaskan bahwa tanaman kakao yang
diperbanyak secara generatif memiliki akar tunggang yang panjangnya dapat
mencapai 15-20 meter ke dalam tanah dan 8 meter ke arah samping. Sebaliknya,
tanaman kakao yang diperbanyak secara vegetatif pada awal pertumbuhannya
akan menumbuhkan akar serabut yang banyak jumlahnya. Namun ketika sudah
dewasa, tanaman tersebut akan menumbuhkan dua akar tunggang sehingga
tanaman dapat tumbuh tegak dan kuat di atas tanah.
2. Batang
Tanaman kakao Hibrida F1 Lindak memiliki batang yang berbentuk bulat
(silinder), berkayu (lignosus) dengan arah tumbuh yang tegak di atas tanah.
Batangnya berwarna hijau kecoklatan dengan permukaan yang kasar dan pecah-
pecah. Tinggi tanaman kakao yang yang berumur 19 tahun mencapai 6-7 m
dengan diameter berkisar 48-55 cm sedangkan yang berumur 3-6 tahun tingginya
mencapai 2-3 m dengan diameter batang berkisar 25-30 cm.
Karmawati et al (2010) menjelaskan pada umumnya kakao yang tumbuh
liar di hutan hujan tropis yang merupakan habitat aslinya ketinggiannya dapat
mencapai 20 m. Apabila dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman kakao berumur
3 tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 –
7,0 meter. Tinggi tanaman yang beragam tersebut karena dipengaruhi oleh
intensitas naungan serta faktorfaktor tumbuh yang tersedia.
Batang tanaman kakao memiliki tipe percabangan simpodial dimana
batang utama sukar dibedakan dengan cabang karena arah tumbuh dan besarnya
hampir sama. Tanaman kakao memiliki dua bentuk cabang vegetative
(dimorfisme). Cabang pertama adalah cabang yang arah pertumbuhannya ke atas
atau cabang orthotrop dan cabang yang arah pertumbuhannya ke samping atau
cabang plagiotrop.
Tanaman kakao yang masih muda awalnya hanya memiliki batang
orthotrop, baru setelah tanaman berumur sekitar satu tahun (tinggi 0,9 - 1,5 m)
cabang orthotrop akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket. Jorket adalah

10
tempat perubahan pola percabangan dari tipe orthotrop ke plagiotrop. Peralihan
pertumbuhan seperti merupakan ciri khas dari tanaman kakao.
Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya pertumbuhan tunas
ortotrop karena ruas-ruasnya tidak lagi memanjang. Ujung tempat perhentian
tersebut selanjutnya tumbuh 3 - 6 cabang yang arah pertumbuhannya condong ke
samping membentuk sudut 0 – 60º dengan arah horisontal. Cabang-cabang itu
disebut dengan cabang primer yang bersifat plagiotrop. Dari cabang primer
kemudian tumbuh cabang sekunder, tersier dan seterusnya yang semuanya bersifat
plagiotrop. Cabang plagiotrop tidak membentuk jorket.
Cabang yang tumbuh berjumlah 3-6 cabang dari jorket tersebut dalam
teknik budidaya yang benar akan dipangkas dan disisakan tiga cabang saja yang
simetris. Hal ini dilakukan agar tanaman tidak kehilangan nutrisi pada fase
vegetatif maupun generatif sehingga mampu menghasilkan produksi yang tinggi
(buah banyak) serta mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit.
Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau
tunas air yang akan membentuk tunas ortotrop yang baru dan akan membentuk
jorket. Tunas air ini selalu dibuang agar tanaman kakao tidak berbatang ganda dan
membentuk tajuk yang tinggi, karena dalam pemeliharaan budidaya kakao
diperlukan pohon yang tidak terlalu tinggi sehingga mudah ketika panen buah
kakao.
Pusat penelitian Kopi dan Kakao (2004) menjalaskan bahwa pada tanaman
kakao yang tumbuh liar di hutan tropis tunas air atau wiwilan tersebut pada
perkembangan lebih lanjut akan membentuk jorket setinggi 60 – 90 cm. Di atas
jorket yang pertama, apabila tidak dipangkas akan tumbuh tunas air lagi yang
ketiga atau keempat kali nya sehingga terbentuk jorket yang bersusun.
Elna Karmawati (2010) menjelaskan bahwa tumbuhnya jorket tidak
berhubungan dengan umur atau tinggi tanaman. Percobaan tanaman kakao yang
ditanam di pot besar dilaporkan dapat menunda tumbuhnya jorket, sedangkan
pemupukan dengan 140 ppm N dalam bentuk nitrat mempercepat tumbuhnya
jorket. Tanaman kakao akan membentuk jorket setelah memiliki ruas batang

11
sebanyak 60-70 buah. Namun, batasan tersebut tidak pasti karena terdapat banyak
faktor lingkungan yang berpengaruh dan sulit dikendalikan.
Kakao yang ditanam dalam polibag dan mendapat intensitas cahaya 80 %
akan membentuk jorket lebih pendek daripada tanaman yang ditanam di kebun.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya medium perakaran karena jarak yang terlalu
dekat. Sebaliknya, tanaman kakao yang ditanam di kebun dengan jarak rapat akan
membentuk jorket yang tinggi sebagai efek dari etiolasi (pertumbuhan batang
memanjang akibat kekurangan sinar matahari).
3. Daun
Daun kakao merupakan daun tunggal (folium simplex) dimana pada
tangkai daunnya hanya terdapat satu helaian daun. Bentuk helai daun bulat
memanjang. Pada tipe Hibrida F1 Lindak ini daunnya memiliki variasi bentuk
pangkal, ujung, dan tepinya. Variasi pangkal daunnya runcing dan membulat
Ujung daunnya runcing dan ada pula yang meruncing Tepi daunnya rata dan ada
pula yang berombak. Daging daunnya tipis tetapi kuat seperti perkamen.
Daun muda (Flush) kakao Hibrida F1 Lindak memiliki variasi warna
antara lain kuning kecoklatan, merah, dan coklat. Kuncup daun-daun muda ini
dilindungi oleh satu pasang daun penumpu (stipula) pada dasar tangkainya. Ketika
daun mulai tumbuh daun penumpu ini akan segera rontok dengan sendirinya.
Variasi warna daun muda terjadi karena belum adanya klorofil yang
terbentuk, tetapi terdapat pigmen lain seperti antosianin, karoten, dan xantofil
yang memberikan warna merah atau oranye. Klorofil baru terbentuk ketika daun
mencapai ukuran sempurna yaitu setelah berumur 3- 4 minggu. Dengan demikian,
tanaman kakao yang masih muda membutuhkan intensitas cahaya yang lebih
banyak dari tanaman kakao yang telah dewasa untuk pembentukan klorofil.
Panggabean (2008) menjelaskan bahwa daun yang berada di bawah
pohon-pohon penaung berukuran lebih besar dan warnanya lebih hijau, tetapi
daunnya lebih tipis daripada daun yang mendapat cahaya penuh. Hal ini karena
laju fotosintesis tanaman kakao optimum pada intensitas cahaya sekitar 70 %.
Daun tanaman kakao Hibrida F1 Lindak yang telah dewasa memiliki
permukaan atas berwarna hijau tua, bergelombang, licin dan mengkilap. Serta

12
permukaan bawahnya berwarna hijau muda, kasar, dan bergelombang. Permukaan
yang kasar tersebut disebabkan tulang daun yang menonjol ke permukaan bawah
daun. Urat-urat daun rapat membentuk jala. Susunan tulang daun menyirip dan
mempunyai satu ibu tulang daun yang berjalan dari pangkal ke ujung daun dan
merupakan terusan dari tangkai daun.
` Kedua tepi daunnya di kanan dan kiri ibu tulang daun sedikit demi sedikit
menuju ke atas dan bertemu di puncak daun yang membentuk sudut lancip.
Panjang daun sekitar 10-48 cm dan lebar 4-20 cm. Tangkai daun berbentuk
silinder dan bersisik halus. Tanaman kakao Hibrida F1 Lindak pada tangkai
daunnya terdapat dua persendian (articulation) yang terletak pada pangkal dan
ujung tangkai daun.
Tanaman kakao Hibrida F1 Lindak memiliki daun yang duduknya
berselang seling pada cabang dan ranting (Gambar 5.8). Tanaman kakao memiliki
sifat dimorfisme yang berarti memiliki dua tipe daun yang berbeda tergantung
dari letaknya.
Pada cabang vertikal (ortotrop), daun-daun yang tumbuh mempunyai
tangkai daun yang panjang dan letaknya berselang-seling dengan rumus
kedudukan 3/8. Di samping itu, pada cabang kipas (plagiotrop) yang tumbuh
secara horizontal tangkai daun tumbuh lebih pendek dan letak daun berselang-
seling dengan rumus kedudukan 1/2. Duduk daun 1/2 menandakan bahwa untuk
mencapai daun di atasnya yang posisinya sama, diperlukan satu kali memutar
cabang dan selama memutar akan melewati dua helai daun.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menyatakan bahwa
pertumbuhan daun pada cabang plagiotrop berlangsung serempak tetapi secara
berkala. Masa tumbuhnya tunas-tunas tersebut dinamakan pertunasan atau
flushing. Pada saat terjadi flushing daun baru terbentuk sebanyak 3-6 lembar
sekaligus. Setelah masa tunas selesai, kuncup-kuncup daun itu kembali dorman
(istirahat) selama periode tertentu. Kuncupkuncup akan bertunas lagi oleh
rangsangan faktor lingkungan.
Panggabean (2008) menyatakan bahwa ujung kuncup yang dorman
tertutup oleh sisik (scales) dan stipula. Apabila kelak bertunas lagi, sisik dan

13
stipula tersebut rontok meninggalkan bekas (scars) atau lampang yang berdekatan
satu sama lain dan disebut dengan cincin lampang (ring scars). Dengan
menghitung banyaknya cincin lampang pada suatu cabang, dapat diketahui jumlah
pertunasan yang terjadi pada cabang yang bersangkutan.
4. Bunga
Bunga kakao merupakan bunga majemuk (inflorescetia) yang tumbuh
secara berkelompok pada berkas ketiak daun yang terletak pada batang dan
cabang. Bunga berbentuk simetri radial dengan kelipatan bunga berjumlah lima
(pentamerus) serta tumbuhnya bunga tidak disertai daun penumpu (tidak brakte).
Tempat tumbuh bunga semakin lama semakin menebal dan membesar membentuk
bantalan bunga (cushion). Bantalan bunga pada cabang akan menumbuhkan
bunga ramiflora, sedangkan bantalan bunga pada batang akan menumbuhkan
bunga cauliflora.
Budi Martono (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa bunga
kakao bersifat cauliflora dimana sebaran bunga dan buah terletak pada batang dan
cabang (hanya sampai cabang sekunder). Bunganya kecil dan halus berwarna
putih sedikit ungu kemerahan dan tidak berbau. Bunga kakao tergolong bunga
sempurna terdiri dari daun kelopak sebanyak 5 helai berwarna merah muda dan
benang sari berjumlah 10 helai.
Struktur bunga kakao dirumuskan dengan kode K5C5A5+5G(5). Artinya,
bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota,
10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing lingkaran
terdiri dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertile, dan 5 daun buah
yang bersatu.
Pohon kakao tipe Hibrida F1 Lindak memperlihatkan adanya variasi pada
beberapa organ generatifnya. Misalnya pada tangkai bunga yang memiliki dua
macam warna yang berbeda yaitu warna merah dan hijau. Tangkai bunga
keduanya terdapat sisik halus yang menempel di permukaannya. Ujung tangkai
bunga berhubungan dasar bunga yang menopang seluruh bagian-bagian bunga.
Budi Martono (2016) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa tangkai
bunga kakao memiliki warna yang beragam diantaranya warna hijau muda, hijau,

14
kemerahan, merah muda, dan merah. Dalam keadaan normal, tanaman kakao
dapat menghasilkan bunga sebanyak 6000– 10.000 per tahun dan hanya sekitar
5% yang dapat menjadi buah.
Kelopak bunga kakao berbentuk lanset, berjumlah lima helai, dan
memiliki dua variasi warna yang berbeda yakni putih dan kemerahan. Daun
kelopak tidak melekat satu sama lain (polisepalus) dan terletak lebih rendah dari
bagian-bagian bunga yang lain. Pada kelopak bunga yang diamati di bawah
mikroskop stereo ditemukan adanya kelenjar nektar yang tersebar pada
permukaan atas daun kelopak.
Bunga kakao disebut sebagai bunga banci (hermaphrodite) karena dalam
satu bunga terdapat dua organ kelamin jantan dan betina yaitu benangsari dan
putik. Putik pada tanaman kakao berwarna putih dan memiliki ukuran yang
pendek dan terdiri atas 3 bagian, yaitu kepala putik (stigma), tangkai putik (style),
dan bakal buah (ovarium). Putik berjumlah satu (monokarpel) dan menumpang
pada dasar bunga yang berbentuk kerucut. Tangkai putik berbentuk silinder dan
pada ujungnya melekat lima daun buah. Pada putik terdapat ruang bakal buah
yang berjumlah lima dan ruang bakal biji yang banyak.
Organ kelamin jantan terdiri atas dua macam benang sari yaitu stamen dan
staminodia yang tersusun dalam dua lingkaran yang masingmasing terdiri lima
tangkai sari. Sepuluh benang sari tersebut bersatu pada pangkal mahkota bunga.
Staminodia merupakan organ kelamin jantan steril yang pada tangkainya
berwarna merah keunguan, berbentuk pita, dan berwarna putih pada kepala
sarinya. Berbeda dengan stamen yang memiliki warna putih kekuningan dengan
tangkai yang pendek dan terbelah menopang dua kepala sari yang disebut sebagai
organ kelamin jantan fertile karena mampu menghasilkan serbuk sari.
Staminodia duduk pada pada lingkaran luar dan berseling dengan daun-
daun mahkota (Obdiplostemon) namun sejajar dengan daun kelopak bunga
sedangkan stamen duduk pada lingkaran dalam dan sejajar dengan daun mahkota
namun berseling dengan daun kelopak bunga. Tangkai sari yang fertil (stamen)
membengkok keluar sehingga kepala sari tersembunyi.

15
Staminodia bunga kakao hibrida F1 Lindak memiliki dua macam variasi
bentuk diantaranya bentuk converging dan splay. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Frimpong-Anin et al (2014) yang menjelaskan bahwa staminodia
bunga kakao memiliki tiga variasi bentuk pada ujung tangkai sarinya antara lain
(a) Converging (konvergen), staminodia yang pada ujung tangkainya semua
mengarah ke dalam, (b) Parallel, staminodia yang semua tangkainya lurus, dan (c)
Splay, staminodia yang ujung tangkai nya semua mengarah keluar.
Bunga kakao dikenal sebagai bunga yang self-incompatible artinya bunga
tersebut tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut dikarenakan
bunga kakao bersifat protogini, yaitu benang sari akan masak terlebih dulu dari
pada putiknya sehingga bunga kakao melakukan penyerbukan silang.103 Setelah
terjadi penyerbukan dan pembuahan, bakal buah akan tumbuh menjadi buah
dengan puncak pertumbuhan terjadi setelah berumur 75 hari. Selanjutnya,
pertambahan ukuran buah akan melambat dan ukuran buah mencapai maksimum
setelah buah berukur sekitar 170 hari.
Bunga kakao membuka pagi hari (sekitar fajar) dan kepala sari pecah
sebelum matahari terbit. Putik biasanya diserbuki 2 sampai 3 jam kemudian dari
saat matahari terbit sampai matahari terbenam. Putik reseptif pada semua bagian,
tidak hanya di bagian puncak saja seperti pada kebanyakan bunga. Penyerbukan
yang terbaik adalah tengah hari dan umumnya terjadi dengan bantuan lebah
(Himenoptera), kupukupu/ngengat (Lepidoptera), dan lalat kecil pengusir hama
(Diptera)
Tanaman kakao dapat dibedakan menjadi dua golongan, sebagai berikut: a.
Bersifat self fertile atau self compatible, yaitu tanaman kakao yang bunganya
dapat dibuahi oleh tepung bunga-bunga dari tanaman itu sendiri maupun tanaman
self sterile lainnya. Misalnya jenis kakao DR 2 dan DR 3. b. Bersifat self sterile
atau incompatible, yaitu tanaman kakao yang bunganya hanya dapat dibuahi oleh
tepung sari dari bunga-bunga klon lain misalnya jenis DR 1. Dengan demikian,
apabila akan menanam kakao hendaknya diperhatikan jenis pohonnya. Akan lebih
baik jika kita menanam jenis campuran sehingga akan mempermudah
persilangannya (Pracaya, 2011).

16
5. Buah
Tanaman kakao tipe Hibrida F1 Lindak menghasilkan buah buni dengan
variasi bentuk dari bulat telur menjorong (ovoid-ellipsoid). Bagianbagian buah
kakao terdiri atas kulit buah, daging buah (pulp), plasenta, dan biji. Panjang buah
nya bervariasi antara 15 cm – 20 cm dengan diameter buah mencapai 26 cm – 29
cm. Permukaan kulit buah kakao memiliki 10 alur yang terdiri dari lima alur
dangkal dan lima alur dalam yang berselang-seling. Pada beberapa buah kakao
Hibrida F1 Lindak ada yang alurnya sangat menonjol sehingga permukaannya
kasar dan adapula yang tidak begitu menonjol sehingga permukaannya halus.
Kakao Hibrida F1 Lindak memiliki dua macam warna pada buah mudanya, yakni
hijau dan merah, sedangkan buah masaknya berwarna kuning atau jingga.
Anita-Sari et al., (2015) menjelaskan bahwa buah kakao hasil persilangan
antara induk Criollo dan Forastero memiliki variasi morfologi diantaranya pada
warna, bentuk, dan ukuran. Warna buah muda dapat bervariasi antara lain merah,
merah gelap, hijau muda, hijau tua, dan hijau putih. Warna buah masak antara lain
kuning, oranye, dan kuning kehijauan. Variasi bentuk buah antara lain lonjong
(ellips), memanjang (oblong), dan obovate. Variasi bentuk ujung buah tumpul,
lancip, dan meruncing. Variasi kedalaman alur buah antara lain dangkal, sedang
dan dalam. Variasi tekstur permukaan buah halus, agak kasar, dan kasar. Variasi
Panjang buah 16,2–20,50 dengan diameter 8–10,07 cm.
Martono (2014) menjelaskan bahwa Biji kakao dibedakan menurut
jenisnya (Criollo, Forastero, dan Trinitario), yang ditandai dengan adanya
perbedaan warna kotiledon dan bentuk biji. Jenis kakao Forastero memiliki warna
kotiledon ungu sebagai ciri khas senyawa antosianin dan berbentuk lonjong pipih,
sedangkan kotiledon jenis Criollo berwarna putih dengan bentuk biji bulat besar,
dan jenis Trinitario merupakan turunan dari Forastero dan Criollo yang memiliki
bentuk biji bervariasi.
Kakao memiliki tipe perkecambahan epigeal yaitu perkecambahan yang
menghasilkan kecambah dengan kotiledon terangkat ke atas permukaan tanah
(Gambar 5.20). Pada saat berkecambah hipokotil memanjang dan mengangkat
kotiledon yang masih menutup ke atas permukaan tnah. Fase ini disebut dengan

17
fase serdadu. Fase kedua ditandai dengan membukanya kotiledon yang diikuti
dengan memanjangnya epikotil dan tumbuhnya empat lembar daun pertama.
Keempat daun tersebut sebenarnya tumbuh dari setiap ruasnya, tetapi buku-buku
sangat pendek sehingga tampak tumbuh dari satu ruas. Pertumbuhan berikutnya
berlangsung secara periodic dan interval waktu tertentu.
2.2.3 Khasiat/Manfaat
Manfaat coklat antara lain:
1. Menjadi bahan dasar pembuatan coklat
2. Memperbaiki mood
3. Anti aging
4. Penangkal radikal bebas
5. Menurunkan kadar kolestrol tubuh
6. Menurunkan tekanan darah
7. Menyembuhkan batuk
8. Mencegah gangguan pada organ hati
9. Mencegah kanker
10.Meningkatkan energi dan menghilangkan rasa lelah.
2.3 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan untuk pengobatan yang
belum mengalami proses pengolahan apapun kecuali dinyatakan lain suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60oC (Depkes RI, 2010).
2.4 Standardisasi
Standardisasi metupakan suatu rangkaian proses yang di dalamnya
melibatkan metode analisis fisik, kimia dan mikrobiologi berdasarkan data
farmakologis dan toksikologi (kriteria umum keamanan) terhadap suatu bahan
alam atau tumbuhan obat. Standardisasi secara umum bertujuan untuk
memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan
konsumen. Standardisasi obat herbal meliputi 2 aspek penting, yaitu aspek
parameter spesifik dan parameter non spesifik (Saifuddin, 2011).

18
2.4.1 Parameter Spesifik
Aspek parameter spesifik difokuskan pada senyawa aktif yang
bertanggung jawab dalam memberikan efek farmakologis. Parameter spesifik
ditinjau secara universal artinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Analisis parameter spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi secara kualitatif
maupun secara kuantitatif suatu senyawa aktif yang berperan dalam suatu bahan
alam. Parameter spesifik meliputi (Saifuddin, 2011):
a. Organoleptis
Pengamatan organoleptis meliputi parameter yang dapat dideskripsikan
dengan sederhana menggunakan panca indera meliputi warna, bau, rasa dan
bentuk yang seobjektif mungkin.
b. Identitas simplisia
Identitas simplisia meliputi deskripsi tata nama tumbuhan, nama lain
tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan (daun, akar, biji, dan lainlain) dan
nama Indonesia tumbuhan.
c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan simplisia dengan pelarut tertentu yaitu air dan alkohol untuk
mengetahui jumlah senyawa kandungan yang terlarut secara gravimetrik. Untuk
mengetahui atau memberikan gambaran awal sifat senyawa kandungan bahan
alam.
d. Uji kandungan kimia simplisia :
Uji kandungan kimia ekstrak meliputi pola kromatogram dan kandungan
kimia tertentu. Pola kromatogram bertujuan untuk memberikan gambaran awal
profil kromatografi suatu senyawa (komposisi kandungan kimia) dengan
dibandingkan dengan senyawa baku atau standar. Sedangkan kadar kandungan
kimia tertentu dapat berupa senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam
memberikan efek farmakologis, senyawa identitas yaitu senyawa yang khas, unik,
eksklusif, yang terdapat pada tumbuhan obat tertentu, senyawa major yaitu
senyawa yang paling banyak secara kuantitatif dalam tumbuhan dan senyawa
aktual yaitu senyawa apapun yang terdapat dalam bahan yang dianalisis.

19
2.4.2 Parameter Nonspesifik
Aspek parameter non spesifik difokuskan pada aspek kimiawi, fisik, dan
mikrobiologi yaitu yang berperan dalam keamanan konsumen secara langsung.
Parameter non spesifik bertanggung jawab atas kualitas dan keamanan suatu
bahan alam. Adapun parameter non spesifik diantaranya yaitu :
a. Susut pengeringan
Susut pengeringan berhubungan dengan kandungan air dalam suau bahan
alam atau simplisia, yang ditetapkan dengan pengukuran sisa zat setelah
pengeringan pada suhu 105oC menggunakan botol timbang yang berisi simplisia
yang akan ditetapkan kadar susut pengeringannya. Penetapan susut pengeringan
bertujuan untuk memberikan gambaran rentang besarnya senyawa yang hilang
pada proses pengeringan.
b. Bobot jenis
Bobot jenis terkait dengan kontaminasi atau kemurnian ekstrak. Tujuan
dari penentuan bobot jenis adalah untuk memberikan gambaran besarnya massa
per satuan volume sebagai parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat
yang masih dapat dituang. Bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari ekstrak
dan kontaminasi.
c. Kadar abu
Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran terkait
karakteristik sisa kadar abu monorganik seteah pengabuan. Kadar abu juga dapat
dijadikan sebagai pencirian suatu spesies obat karena setiap tanaman memiliki
sisa abu secara spesifik (Saifuddin, 2011).
d. Kadar air
Parameter penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar residu air
setelah pengeringan atau proses pengentalan ekstrak. Kadar air menentukan
kualitas dan stabilitas ekstrak dalam bentuk sediaan selanjutanya. Kadar air yang
cukup beresiko adalah di atas 10 % (Saifuddin, 2011).
e. Sisa pelarut organik
Tujuan dari penetapan sisa pelarut organik adalah untuk mengetahui sisa
pelarut etanol setelah pengeringan. Etanol dijadikan sebagai pelarut karena

20
memiliki toksisitas yang lebih rendah dibanding dengan pelarut lain seperti
methanol, kloroform, heksan, dll (Saifuddin, 2011). Bahan alam yang aman dan
berkualitas harus dipastikan di dalamnya tidak terdapat sisa pelarut organik.
f. Cemaran mikroba
Aspek cemaran mikroba bertujuan untuk menentukan keberadaan mikroba
yang sifatnya dapat merusak ekstrak sehingga dapat dilakukan upaya untuk
mencegah kontaminasi atau menghilangkan kontaminasinya sesuai dengan
persyaratan cemaran mikroba yang diperbolehkan.
g. Cemaran logam berat
Parameter penetapan logam berat erat kaitannya dengan kualitas dan
keamanan dari suatu bahan obat alam atau simplisia. Pemeriksaan cemaran logam
dapat menjamin suatu bahan dan ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu
seperti Cd, Hg, Pb, dan logam berat lainnya.
2.5 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah salah satu pemisahan secara cepat dengan
menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada
lempeng kaca, plastik atau logam. Lempengan yang dilapis dapat dianggap
sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan didasarkan pada adsorpsi
(penjerapan), partisi (pemisahan) atau kombinasi kedua efek, yang dipengaruhi
jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. Perkiraan
identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran
yang lebih kurang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk
menggambarkan atau memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang lebih teliti
dapat dilakukan dengan metode densitometri atau dengan mengambil bercak yang
terdapat pada lempeng kemudian dipreparasi dengan pelarut yang sesuai lalu
diukur serapannya menggunakan spektrofotometer (Saifuddin, 2011). Aspek
penetapan profil dengan KLT terpilih sebagai metode pertama karena cukup
mudah dan murah sehingga tidak menyulitkan aplikasinya dibanding kromatografi
cair kinerja tinggi (HPLC). Penentuan profil KLT suatu tanaman adalah analisis
kualitatif pendahuluan bahwa tanaman yang kita tetapkan adalah otentik menurut
aspek kimiawi berdasarkan pada kemunculan senyawa marker tertentu pada suatu

21
lempeng kromatografi. Keberhasilan melakukan KLT juga merupakan pembuka
jalan untuk melakukan analisis kuantitatif lebih lanjut. Kegagalan memunculkan
senyawa marker di dalam suatu tanaman menghentikan upaya penentuan secara
kuantitatif (Saifuddin, 2011). Keberhasilan memunculkan profil senyawa target
dipengaruhi oleh ketepatan sistem kromatografi yang digunakan yakni fase diam,
fase gerak, jenis pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak kembali,
jumlah perbandingan sampel dan metode visualisasi yang dipilih (Saifuddin,
2011).
a. Sistem kromatografi
Sistem kromatografi yang dimaksud adalah masalah fase diam dan fase
gerak. Fase diam yang umum digunakan untuk KLT adalah silica gel GF254.
Bahan ini bisa memisahkan mayoritas golongan kimia yang artinya jika tidak
dinyatakan lain maka lempeng jenis ini yang kita gunakan. Jika fase normal gagal
memberikan pemisahan, maka fase diam diganti dengan fase terbalik nonpolar
yang terbuat dari C18 yang terikat silika. Fase gerak yang digunakan disesuaikan
dengan fase diamnya. Jika pemisahan kurang tajam, bisa ditambahkan asam
lemah seperti asam formiat beberapa mikro liter yaitu 1-3 tetes.
b. Kesesuaian pelarut terhadap senyawa target Jenis pelarut yang digunakan
memegang peranan penting di dalam mengambil senyawa target. Meskipun
ketentuan umum ekstrak adalah ekstrak etanol maka kita tidak bisa memaksa
senyawa target di dalamnya akan terlarut dalam etanol dengan jumlah yang
cukup. Bisa jadi senyawa target tidak nampak karena kadarnya terlalu rendah.
Sehingga pemilihan pelarut harus dengan cermat dipilih sehingga kadar yang
terambil cukup untuk divisualisasikan atau dideteksi dengan sinar visible atau
UV.
c. Jumlah perbandingan sampel
Sering kali senyawa marker memiliki kadar yang sangat rendah di dalam
sampel atau larutan uji. Selain faktor ketidaksesuaian jenis pelarut di atas,
senyawa target tidak muncul pada lempeng mungkin juga disebabkan karena
kadarnya terlalu rendah sehingga dengan stok ekstrak tertimbang dengan bobot

22
kecil ketika ditotolkan tidak tampak. Maka solusinya adalah jumlah kita
menotolkan lebih banyak.
d. Pemilihan metode visualisasi yang tepat
Penggunaan cahaya UV adalah detector umum yang selanjutnya bisa
diarahkan pada reagen khusus. Secara umum senyawa berantai ganda cukup akan
tampak pada penyinaran di bawah UV. Sebagaimana prinsip teknik fitokimiawi
dalam penggunaan sinar UV, sinar UV pada panjang gelombang 254 nm akan
memadamkan fluoresensi senyawa dengan gugus kromofor. Bercak bercak
pemadaman akan berwarna gelap dengan latar belakang lempeng berwarna hijau
muda akibat fluoresensi dari MgSO4 yang ditambahkan pada silika. Namun ada
beberapa pengecualian yakni di bawah sinar ini beberapa senyawa justru
mengalami fluoresensi sebagaimana terjadi pada kumarin atau eurikumanol. Sinar
dengan panjang gelombang 366 nm secara umum akan membuat senyawa kimia
berfluoresensi dengan berbagai warna.
2.6 Spektrofotometri
Spektrofotometer UV-Vis merupakan suatu instrumentasi pengukuran
kadar suatu senyawa yang memiliki daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak
atau visibel. Spektrofotometer terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan
menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800
nm. Ada beberapa hal yag harus diperhatikan dalam analisis menggunakan
spektrofotometri UV-Vis, yaitu (Gholib, 2007):
a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis.
Hal ini beraku apabila senyawa yang akan dianalisis tidak menyerap pada
daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa
lain atau direaksikan dengan perekasi tertentu. Pereaksi yang digunakan harus
memenuhi beberapa persyaratan yaitu bersifat selektif dan sensitif, reaksinya
cepat, kuantitatif, dan reproduksibel, serta hasil reksi yang stabil dalam jangka
waktu yang lama.
b. Waktu Operational (Operating Time)
Operating time tujuannya yaitu untuk mengetahui waktu pengukuran yang
stabil. Waktu operational ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu

23
pengukuran dengan absorbansi larutan. Pada saat awal reaksi absorbansi senyawa
berwarna akan meningkat sampai waktu tertentu hingga diperoleh absorbansi
yang stabil. Semakin lama waktu pengukuran maka ada kemungkinan senyawa
yang berwarna tersebut menjadi rusak atau terurai. Karena alasan ini maka untuk
pengukuran senyawa berwarna (hasil suatu reaksi kimia) harus dilakukan pada
saat waktu operational.
c. Pemilihan panjang gelombang.
Penentuan panjang gelombang maksimal dilakukan dengan membuat
hubungan kurva absorbansi dengan panjang gelombang pada konsentrasi tertentu.
Panjang gelombang yang digunakan adalah panjang gelombang yang mempunyai
absorbansi maksimal. Ada beberapa alasan mengapa harus menentukan panjang
gelombang maksimal, yaitu (Gholib, 2007):
1. Pada panjang gelombang maksimal kepekaan juga maksimal, karena pada
panjang gelombang maksimal tersebut perubahan absorbansi untuk setiap
satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
2. Disekitar panjang gelombang maksimal bentuk kurva absorbansi datar dan
pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
3. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal.
d. Pembuatan Kurva Baku Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan
dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan
berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan
antara absorbansi dengan konsentrasi.
e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan. Absorban yang baik pada
pengukuran dengan spektrofotometri adalah diantara 0,2-0,8 atau 15% sampai
70% apabila dibaca dengan transmittan. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa
kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5%.

24
2.7 Uraian Bahan
2.7.1 Alkohol (Gunawan, 2007)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, etanol, ethylhidroksidase
Rumus Molekul : C2H5OH
Berat Molekul : 46.07 g/mol
Rumus Struktur :
H H

H- C– C- H

H H
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Khasiat : Antiseptik (membunuh mikroorganisme pada
jaringan hidup) dan desinfektan (membunuh
mikroorganisme pada jaringan mati)
Kegunaan : Sebagai pensteril mikroorganisme pada alat.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

25
BAB 3
METODE KERJA
3.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Farmakognosi percobaan “Susut Pengeringan ” dilaksanakan
pada hari Selasa, 18 Oktober 2021 pukul 11.35 -13.35 di Laboratorium Bahan
Alam, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri
Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada saat praktikum yaitu Cawan Porselin,
Desikator, Lap Kasar, Lap Halus, Oven, Spatula, Timbangan Analitik.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada saat praktikum yaitu Etanol 70%,
Aluminium Foil, Aquadest, Serbuk Biji Coklat (Theobroma Cacao L).
3.3 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan terlebih dahulu.
2. Dibersihkan alat menggunakan Etanol 70% .
3. Dibungkus cawan porselin menggunakan aluminium foil.
4. Dimasukkan kedalam oven selama 5 menit.
5. Dimasukan dalam desikator.
6. Ditimbang Cawan porselin Kosong menggunakan timbangan analitik.
7. Dimasukkan sampel kedalam cawan porselin tadi sebanyak 10 gram.
8. Dimasukkan kedalam oven selama 15 menit.
8. Dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator.
9. Ditimbang menggunakan timbangan analitik .
10. Dimasukkan kembali kedalam oven ( ulangi sampai 4 kali )
11. Dihitung hasil dari susut pengeringan tadi

26
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan

Gambar 4.1
Hasil susut pengeringan
(Theobroma cacao L)

4.2 Perhitungan
Dik : Berat capor kosong = 45,5 gram
Berat sampel = 10 gram
M1 = 58,8 gram
M2 = 57,4 gram
M3 = 57 gram
M4 = 56,8 gram
Dit : Nilai % susut pengeringan ?

M1-M4
Peny : Susut pengeringan = X 100%
Berat sampel

58, 8-56, 8
Susut pengeringan = X 100%
10 g

= 20 %

Keterangan : M1 = Berat sampel awal + Capor

27
M2 = Berat sampel + Capor setelah pengovenan pertama
M3 = Berat sampel + Capor setelah pengovenan kedua
M4 = Berat sampel + Capor setelah pengovenan ketiga
4.3 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan susut pengeringan dimana
menurut Depkes (2000), Susut Pengeringan merupakan pengukuran sisa zat
setelah pengering pada temperatur 105℃ pada suhu 30 menit atau hingga konstan
dinyatakan dalam persen. Jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa
pelarut organik menguap identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena
berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka. Tujuannya untuk memberikan
batasan maksimal (rentang) senyawa yang hilang pada proses pengeringan.
Sedangkan menurut Agoes (2007), Susut pengeringan merupakan kadar bagian
yang menguap dari suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g
zat ditetapkan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai bobot tetap.
Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan mendingin dalam keadaan tertutup di
dalam eksikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu
penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5°C dan 10°C dibawah suhu
leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama
waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap.
Menurut Harbone (1987), pengujian susut pengeringan bertujuan untuk
melakukan penetapan jumlah senyawa atau jenis bahan yang hilang pada kondisi
tertentu sedangkan menurut Agoes (2007), pengujian susut pengeringan bertujuan
untuk memberikan batasan maksimal (rentang) senyawa yang hilang pada proses
pengeringan.
Sampel yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah biji buah cokelat
(Theobroma cacao L)  dimana menurut Darmawan (2014), Tanaman kakao atau
cokelat (Theobroma cacao L.) adalah salah satu tanaman perkebunan yang
dikembangluaskan dalam rangka peningkatan sumber devisa negara dari sektor
non migas. Tanaman kakao merupakan salah satu anggota genus Theobrama dari
familia Sterculaieae ini banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis
dari buah dan bijinya. Menurut Othman et al (2007), Biji kakao pertama kali

28
digunakan pada masa peradaban kuno suku Maya dan Aztec di Amerika Selatan
untuk mengobati beberapa penyakit yang melibatkan sistem kardiovaskuler,
gastrointestinal, dan sistem saraf. Biji kakao atau cokelat juga mengandung
senyawa-senyawa fenolik, diantaranya katekin, epikatekin, protoantosianidin,
asam fenolat, tanin, dan flavonoid lainnya.
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu Cawan
Porselin, Desikator, Lap Halus, Lap Kasar, Oven, Spatula, dan timbangan
Analitik. Bahan yang digunakan adalah Alumunium Foil, Etanol 70% Serbuk biji
cokelat (Theobroma cacao L.) dan Tissue.
Langkah pertama yang dilakukan sebelum masuk ke tahap kerja adalah
menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, kemudian membersihkan alat dengan
etanol 70%, dimana Menurut Hapsari (2015), kadar 70% dari etanol dianjurkan
untuk di gunakan sebagai cairan pembersih yang ampuh untuk membunuh kuman
maupun bakteri. Saat etanol dengan konsentrasi 70% mengenai kuman, maka
secara lambat etanol akan menembus sepenuhnya ke dalam sel dan membuat
kuman atau bakteri mati untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran oleh
mikroorganisme atau untuk membasmi kuman penyakit. Selain itu etanol 70%
memiliki khasiat sebagai desinfektan yang berfungsi menghancurkan atau
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme patogen/parasit pada permukaan benda
mati sedangkan antiseptik berupa zat atau substansi yang menghentikan atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen/parasit pada permukaan
benda hidup/mahkluk hidup.
Pada langkah selanjutnya, dibungkus cawan porselin menggunakan
aluminium foil. Menurut Sunarti (2000), digunakan cawan porselin sebagai wadah
untuk dilarutkannya atau mereaksikan suatu sampel dengan pelarut. cawan yang
bercucuk dan terbuat dari porselen ini juga digunakan untuk penguapan atau
pengeringan padatan dalam bentuk serbuk., sedangkan menurut Atmojo (2013)
penggunaan alumunium foil untuk melindungi dan menghalangi paparan oksigen,
bau, kuman, cahaya dan kelembapan udarah dan untuk penutup erlenmeyer serta
tabung reaksi.

29
Selanjutnya, cawan porselin dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan
selama 5 menit. dimana Menurut Harrison (2010), tujuan pemanasan atau
pengeringan menggunakan oven karena Pengeringan menggunakan oven lebih
cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan panas matahari pada oven
juga dapat dipertahankan dan diatur suhunya sehingga proses pembunuhan
mikroorganisme dan pensterilan bisa lebih cepat. Selain itu oven juga digunakan
untuk menghilangkan atau mengeluarkan air dari suatu bahan dengan cara
menguapkan air menggunakan energi panas dan air yang terkandung dalam suatu
bahan akan menguap. Sedangkan untuk suhu 5 menit selama pengovenan
dilakukan dikarenakan menurut Petrus (2013), waktu selama pengovenan lebih n
jika suhu kurang dari 5 menit akan menyebabkan suatu pengsterilan belum
optimal karena air yang ada pada suatu alat tidak terserap dengan baik saat
pengeringan sehingga dapat mempengaruhi stabilitas sampel saat penyimpanan.
Langkah berikutnya dimasukkan cawan porselin lalu didinginkan selama 5
menit. Menurut Johnson (2009), tujuan digunakan desikator untuk menjadi
media pendingin untuk menahan laju suhu pemanasan dalam sampel menjadi
lebih tinggi lagi. Dengan dimasukkan ke dalam desikator, maka pada pendinginan 
sampel menjadi lebih cepat menuju ke suhu ruangan.
Selanjutnya dimasukkan serbuk biji cokelat (Theobroma cacao L.) ke
dalam cawan porselin dan ditimbang sebanyak 10 gram. Menurut Atmojo (2011),
penimbangan penting dilakukan karena untuk menghindari kesalahan saat
pengukuran bobot/massa suatu bahan yang akan ditimbang. Penggunaan sampel
sebesar 10 gram juga karena menurut Amelia (2005), pada bobot tersebut untuk
pengujian pada parameter spesifik dapat mempermudah proses pengurangan kadar
air pada suatu sampel. Semakin sedikit bobot suatu sampel maka semakin mudah
untuk mendapatkan berat konstan yang lebih maksimal setelah pengeringan dan
apabila bobot dari suatu simplisia tersebut tinggi maka kandungan air pada sampel
simplisia tersebut juga lebih banyak sehingga hasil yang didapatkan tidak optimal.
Dimasukkan sampel yang telah ditimbang ke dalam oven pada temperatur
105℃ selama 30 menit. Menurut Harrison (2010), tujuan pemanasan atau
pengeringan menggunakan oven karena Pengeringan menggunakan oven lebih

30
cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan panas matahari pada oven
juga dapat dipertahankan dan diatur suhunya sehingga proses pembunuhan
mikroorganisme dan pensterilan bias lebih cepat. Selain itu diaturnya suhu pada
temperatur 105℃ selama 30 menit karena menurut Menurut Sunarti (2018),
tujuan dilakukannya pengovenan pada sampel dengan suhu 1050C ketika suhu
yang tinggi melebihi titik didih air, maka air yang terdiri dari molekul-molekul
H2O yang saling berikatan hidrogen, diberikan kalor untuk memutuskan ikatan
hidrogennya sehingga molekul air keluar dari bahan atau sampel berubah menjadi
bentuk bebasnya yaitu gas. Sedangkan untuk suhu 15 menit selama pengovenan
dilakukan dikarenakan menurut Petrus (2013), jika waktu selama pengovenan
lebih dari 15 menit akan menyebabkan suatu sampel atau bahan mengeras
sedangkan jika suhu kurang dari 15 menit akan menyebabkan suatu pengeringan
sampel belum optimal karena air yang ada pada sampel tidak terserap dengan baik
sehingga dapat mempengaruhi stabilitas sampel saat penyimpanan dan juga pada
suhu tersebut pengeringan dapat dilakukan secara optimum sehingga dapat
dihasilkan atau dicapai berat yang konstan pada saat pengovenan dengan
mempertimbangkan daya tahan kandungan zat aktif di dalam sel yang
kebanyakkan tidak tahan panas. Penetapan temperature suhu juga sangat penting
untuk memberikan batasan maksimal kandungan air di dalam suatu sampel
simplisia, karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya bakteri
dan jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam suatu sampel
simplisia.
Pada langkah selanjutnya dikeluarkan cawan porselin yang berisi sampel
dan didinginkan menggunakan desikator. Menurut Khamidinal (2009) , tujuan
penggunaan desikator terdiri dua bagian, pada bagian bawah terdapat gel silika
yang berfungsi sebagai zat penguap air dan dibagian atas sebagai tempat
pengering bahan yang diuapkan untuk mengeringkan bahan atau menyimpan zat
atau bahan yang harus diliindungi terhadap pengaruh kelembapan udara desikator
juga digunakan untuk mengeringkan senyawa yang bersifat higroskopis
(menyerap uap air).

31
Ditimbang sampel menggunakan neraca analitik, Dimana Menurut Bahtiar
(2011), penimbangan dilakukan agar didapatkan data atau hasil yang akurat,
didalam dunia farmasi penimbangan massa yang sesuai menjadi tuntutan yang
harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan terapi dari suatu obat. diulangi
langkah tersebut sebanyak 4 kali dan didapatkan hasil berat sampel pertama
sebesar 58,8 gram yang dinyatakan dalam M1, berat sampel kedua sebesar 57,4
gram dinyatakan dalam M2, berat sampel ketiga 57 gram dinayatakan dalam M3
serta berat sampel keempat sebesar 56,8 gram dinyatakan dalam M4. Menurut
Syarif (2012) dilakukan proses pengeringan sebanyak empat kali untuk
mengetahui besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan dan dapat
menentukan berat konstan pada sampel.
Adapun hasil yang didapatkan dalam perhitungan susut pengeringan dari
sampel serbuk biji cokelat (Theobroma cacao L.) yaitu sebesar 20%. Hasil
tersebut tidak memenuhi standarisasi susut pengeringan simplisia, dimana
menurut Depkes (2000), bahwa batas maksimal standar susut pengeringan untuk
simplisia dalam pengujian parameter spesifik tidak boleh lebih dari 10%
Karena kadar air yang tinggi atau lebih dari 10% dapat memungkinkan simplisia d
itumbuhi oleh jamur yang dapat merusak dan mempengaruhi kualitas simplisia.
Kemungkinan kesalahan dari percobaan ini adalah terdapat kesalahan
dalam proses pembuatan serbuk simplisia sehingga membuat sampel belum
maksimal mencapai syarat yang ditentukan. pada saat pengovenan terjadi
kesalahan dalam menghitung waktu lamanya pengovenan dan pada saat
penimbangan terjadi kesalahan dalam menghitung bobot dari cawan porselin dan
juga sampel.

32
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Susut pengeringan adalah prosedur yang digunakan untuk melakukan
penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah menguap dan hilang pada
kondisi tertentu. Hal ini dapat menggambarkan bahwa susut pengeringan
mencakup kadar air, dan kadar bahan lainnya yang dapat menguap. Pengukuran
sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit
atau sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen (metode gravimetri).
2. Standardisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan
digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi pemerintah sebagai pihak Pembina dan
pengawasan (Materia Medika Indonesia) yang meliputi makroskopis, mikroskopis
(irisan dan serbuk) serta kimia.
3. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada praktikum kali ini dapat disimpulkan
bahwa nilai susut pengeringan dari tanaman coklat (Theobroma cacao L.) yaitu
20%.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Jurusan
Agar jurusan dapat melengkapi sarana dan prasarana agar dapat
memberikan kenyamanan pada mahasiswa dalam melakukan aktivitas di kampus
Universitas Negeri Gorontalo.
5.2.2 Saran Untuk Laboratorium
Agar alat-alat dilaboratorium dapat dilengkapi atau diperbaiki agar seluruh
aktivitas didalam laboratorium dapat berjalan dengan lancer tanpa ada masalah
apapun.
5.2.3 Saran Untuk Asisten
Kepada para asisten diharapkan dapat membangkitkan semangat kepada
kami sebagai praktikan agar proses belajar dan praktikakan lebih hidup dan
memberikan nilai-nilai edukatif.

33
5.2.4 Saran Untuk Praktikan
Diharapkan kepada para prkatikan agar selalu tertib disaat praktikum masih
berlangsung dan senatiasa belajar dengan baik untuk mempersiapkan praktikum
yang akan dilaksanakan.

34

Anda mungkin juga menyukai