Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALISIS

STANDARDISASI SAMPEL SIMPLISIA BATANG BROTOWALI


(Tinospora Crispa)

Disusun Oleh :

Eager Rizky P. (3311171173)


Jovanna Alvina (3311171137)
Ratu Khansa Mumtaz (3311171143)
Adiza Rizkia Putri (3311171151)
Agna Shofira N. (3311171162)
Inggit Dwi Novianti (3311171168)
Erlinda Kemala E. (3311171177)

Kelompok : 4

Kelas D

PROGRAM STUDI SARJANA


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penggunaan obat tradisional menjadi salah satu alternatif pengobatan yang
dipilih masyarakat karena dipercaya memiliki khasiat yang serupa dengan obat
sintetik tetapi efek sampingnya kecil. Hal ini dikarenakan bahan baku obat
tradisional biasanya berupa simplisia yang sangat alami, bukan bahan sintetik.
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit.
WHO juga mendukung upaya-upaya dalam meningkatkan keamanan dan
khasiat obat herbal untuk meminimalisir efek samping dari obat tradisional.
Kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu alasan
mulai banyaknya penggunaan obat tradisional oleh masyarakat. Hal ini juga
menjadikan industri obat tradisional baik mikro maupun makro mulai
menjamur. Berkembangnya industri obat tradisional tersebut tentu saja harus
dengan jaminan bahwa obat yang diproduksi telah terjamin mutu, keamanan
dan khasiatnya. Oleh karena itu, dilakukan standardisasi bahan obat tradisional
yang berupa simplisia untuk menjamin mutu, keamanan dan khasiat bahan obat
tradisional.

1.2. Tujuan
1.2.1. Standardisasi simplisia batang brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers
ex Hoff.f) untuk menentukan mutu, keamanan dan khasiat bahan obat
tradisional yang sesuai dengan literatur.
1.2.2. Mengetahui cara standardisasi simplisia batang brotowali (Tinospora
crispa (L.) Miers ex Hoff.f) agar dapat ditentukan mutu, keamanan dan
khasiatnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ilmiah Bratawali

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermathophyta

Sub division : Angiospermae

Classis : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Familia : Euphorbiaceae

Genus : Tinospora

Spesies : Tinospora crispa (L.) Miers

Nama Daerah :

Jawa : Antawali, bratawali, putrawali, daun gadel, andawali (Sunda)

Bali : Antawali

Asing : bitter grape (Inggris), shen jin teng (Cina)

2.2 Prinsip Tiap Percobaan untuk Standarisasi

2.2.1 Pengambilan sampel (sampling)

Pengambilan sampel adalah salah satu langkah awal dalam proses


standardisasi. Prinsip umum pengambilan sampel (sampling) adalah
tahap awal dalam proses dimana data hasil karakterisasi satu batch
produk dikumpulkan untuk proses evaluasi. Oleh karena hanya sebagian
saja dari suatu batch yang diambil sampelnya untuk diuji, bagian tersebut
harus mewakili keseluruhan batch. Tahapan sampling meliputi pooled
sampel, average sampel dan final sampel. Hasil pembuatan sampel
tersebut akan digunakan untuk pengujian selanjutnya, sepetri uji
makroskopik dan mikroskopik.

2.2.2. Penetapan Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau


mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri
dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur
- unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu.
Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan
pangan. Bahan - bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar
tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar
abu (Zahro, 2013).
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan
sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Abu adalah
zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan
kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat
dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang
dihasilkan (Zahro, 2013).
Terdapat dua metode pengabuan antara lain metode pengabuan
kering dan metode pengabuan basah. Lama pengabuan tiap bahan
berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat
pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya.

2.2.3. Pengukuran Indeks Pengembangan


Indeks pengembangan didefinisikan sebagai volume dalam mL
yang diambil dari pengembangan 1 gram bahan dalam kondisi tertentu.
Pemelitian didasarkan pada penambahan air terhadap simplisia (rajangan
atau serbuk). Dengan menggunakan gelas uur berskala bahan dikocok
berulang selama satu jam dan biarkan selama waktu tertentu. Volume
campurans dalam mL kemudian dibaca. Banyak simplisia tumbuhan
memiliki aktivitas karena kemampuan nya untuk mengembang,terutama
tumbuhan yang mengandung gom, mucilago, pektin dan hemiselulosa.

2.2.4. Pengukuran Indeks Busa


Indeks busa adalah suatu pengujian untuk menentukan kadar
saponin di dalam simplisia dengan cara merebusnya dengan air kemudian
dikocok hingga terbentuk busa yang dapat diukur. Nilai indeks busa
dapat mengindikasikan aman tidaknya suatu tanaman untuk dijadikan
sediaan obat karena, saponin dengan konsentrasi yang tinggi dapat
bersifat toksik. Prinsip dari penetapan indeks busa ini adalah perebusan
simplisia dengan tekstur halus dan pembuatan seri pengenceran dan
pengocokan.

2.2.5. Penentuan Kadar Sari


Penetapan kadar sari adalah metode kuantitatif untuk jumlah
kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat tersari dalam pelarut
tertentu. Penetapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kadar sari
yang larut dalam air dan kadar sari yang larut dalam etanol. Kedua cara
ini didasarkan pada kelarutan senyawa yang terkandung dalam simplisia.
Ada beberapa teknik isolasi senyawa bahan alam yang umum
digunakanseperti maserasi, perkolasi, dan ekstraksi kontinu, tetapi pada
penelitian ini yang digunakan adalah maserasi. Maserasi merupakan
metode perendaman sampel dengan pelarut organik, umumnya
digunakan pelarut organik dengan molekul relatif kecil dan perlakuan
pada temperatur ruangan, akan mudah pelarut terdistribusi ke dalam sel
tumbuhan. Metode maserasi ini sangat menguntungkan karena pengaruh
suhu dapat dihindari, suhu yang tinggi kemungkinan akan
mengakibatkan terdegradasinya senyawa-senyawa metabolit sekunder.
Pemilihan pelarut yang digunakan untuk maserasi akan memberikan
efektivitas yang tingg idengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan
alam dalam pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama
dengan sampel (Djarwis,2004). Salah satu kekurangan dari metode ini
adalah membutuhkan waktu yanglama untuk mencari pelarut organik
yang dapat melarutkan dengan baik senyawa yang akan diisolasi dan
harus mempunyai titik didih yang tinggi pula sehingga tidak mudah
menguap (Manjang, 2004).

2.2.6. Penetapan Kadar Air & Susut Pengeringan


Prinsip penetapan kadar air yaitu berdasarkan pengukuran air
yang ada di dalam simplisia yang bertujuan untuk memberikan batasan
minimal atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Sedangkan
prinsip dari susut pengeringan adalah pengeringan pada temperatur
105oC selama satu jam atau hingga berat konstan, yang dinyatakan dalam
nilai persen. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal (rentang)
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Depkes,
2000).

2.2.7. Penentuan Kadar Minyak Atsiri


Menurut Ketaren (1985), minyak Atsiri umumnya diisolasi
dengan empat metode yang lazim digunakan sebagai berikut :

1. Metode Destilasi

Di antara metode-metode isolasi yang paling lazim dilakukan


adalah metode destilasi. Beberapa metode destilasi yang popular
dilakukan di berbagai perusahaan industri penyulingan minyak atsiri,
antara lain sebagai berikut :

a. Metode destilasi kering (langsung dari bahannya tanpa menggunakan


air).

Metode ini paling sesuai untuk bahan tanaman yang kering dan
untuk minyak-minyak yang tahan pemanasan (tidak mengalami
perubahan bau dan warna saat dipanaskan), misalnya oleoresin.

b. Destilasi air, meliputi destilasi air dan uap air dan destilasi uap air
langsung.
Metode ini dapat digunakan untuk bahan kering maupun bahan
segar dan terutama digunakan untuk minyak-minyak yang
kebanyakan dapat rusak akibat panas kering. Seluruh bahan
dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang bentuknya
mirip dandang. Dalam metode ini ada beberapa versi perlakuan.

1) Bahan tanaman langsung direbus dalam air.


2) Bahan tanaman langsung masuk air, tetapi tidak rebus. Dari
bawah dialirkan uap air panas.
3) Bahan tanaman ditaruh di bejana bagian atas, sementara uap
air dihasilkan oleh air mendidih dari bawah dandang.
4) Bahan tanaman ditaruh di dalam bejana tanpa air dan
disemburkan uap air dari luar bejana.

Prinsip dari metode basah atau destilasi air dalam penetapan


kadar minyak atsiri ini adalah menguapkan atau mengisolasi minyak
atsiri dengan merebus tanaman dalam air di mana metode ini
digunakan untuk karakteristik tanaman yang memiliki minyak atsiri
dapat mudah rusak oleh perlakuan metode panas kering .

2.2.8. Penentuan Angka Kepahitan

Dalam pengukuran 1 unit pahit internasional didefinisikan


sebagai rasa pahit larutan kinin HCL yang diencerkan 1:2000. Dapat juga
dinyatakan bahwa unit pahit setara dengan 1 mg kinin HCl/2ml atau
1g/ml kinin HCl setara dengan 2000 unit pahit. Kinin HCl dijadikan
sebagai standar indeks kepahitan karena senyawa pahit dari kinin HCl
dapat terdeteksi dalam ambang yang sangat rendah (Harborne, 1996).
Indeks derajat kepahitan di uji pada bagian tengah dari permukaan atas
lidah. Kaitan antara indeks kepahitan dengan mutu dari suatu simplisia
adalah semakin tinggi indeks kepahitan maka semakin tinggi kualitas
suatu simplisia.

2.2.9. Penentuan Kadar Tanin Total


Tanin secara ilmiah didefinisikan sebagai senyawa polipenol
yang mempunyai berat molekul tinggi dan mempunyai gugus hidroksil
dan gugus lainnya (seperti karboksil) sehingga dapat membentuk
kompleks dengan protein. Menurut teori warna, struktur tanin dengan
ikatan rangkap dua yang terkonjugasi pada polifenol sebagai kromofor
(pengemban warna) dan adanya gugus (OH) sebagai auksokrom
(pengikat warna) dapat menyebabkan warna coklat. Tanin merupakan
senyawa yang dapat larut dalam air, gliserol, alkohol, dan hidroalkohol,
tetapi tidaklarut dalam petroleum eter, benzene dan eter.
Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya
senyawa yang memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi
menjadi dua yaitu tanin yang terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi.
1. Tanin Terhidrolisis (hydrolysable tannins)
Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan
membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat
dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida.
Salah satu contoh jenis tanin ini adalah gallotanin yang merupakan
senyawa gabungan dari karbohidrat dengan asam galat. Selain
membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tanin
terhidrolisis yang bisa disebut Ellagitanins.Berat molekul
galitanin 1000-1500,sedangkan Berat molekul Ellaggitanin 1000-
3000. Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi
asam galic jika dilarutkan dalam air. Asam elagat merupakan hasil
sekunder yang terbentuk pada hidrolisis beberapa tanin yang
sesungguhnya merupakan ester asam heksaoksidifenat.
2. Tanin terkondensasi (condensed tannins)
Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi dapat
terkondensasi meghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan
terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Oleh
karena adanya gugus fenol, maka tannin akan dapat berkondensasi
dengan formaldehida. Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap
formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi Tanin
terkondensasi merupakan senyawa tidak berwarna yang terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama pada tumbuhan berkayu.
Tanin terkondensasi telah banyak ditemukan dalam tumbuhan paku-
pakuan. Nama lain dari tanin ini adalah Proanthocyanidin.
Proanthocyanidin merupakan polimer dari flavonoid yang
dihubungan dengan melalui C8 dengan C4. Salah satu contohnya
adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang
tersusun dari epiccatechin dan catechin.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pengambilan Sampel (Sampling)

Diambil 10 bungkus dalam


satu kemasan

Dilakukan pemeriksaan
makroskopik meliputi aroma,
warna, rasa, ukuran, tekstur

Dilakukan pengujian adanya


benda asing

Dilakukan pengujian adanya


benda asing

Didapatkan warna kuning


mustard, aroma edikit
menyengat, rasa pahit agak
pedas, berupa serbuk halus
dan tidak terdapat benda asing
3.1.1. Pemeriksaan Mikroskopis

Diambil serbuk dan diletakkan


diatas kaca objek

Ditetesi dengan pereaksi


kloralhidrat

Diamati dibawah mikroskop


dengan perbesaran 10 kali

Diamati fragen-fragmen yang


terlihat pada mikroskop

Didapatkan fragmen yaitu sel


minyak dan sel batu

3.1.2. Pengujian dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

2 gram jamu diekstraksi


menggunakan pelarut metanol

Disaring filtrat hasil ekstraksi


menggunakan kertas saring
untuk ditotolkan pada plat
KLT
Fase gerak metanol: kloroform

Ekstrak dan baku pembanding


ditotolkan pada plat KLT

Dikeringkan plat dan diamati


pada lampu UV 254 nm
3.2. Penetapan Kadar Abu
3.2.1. Penetapan Kadar Abu Total

3g Sampel yang telah dihaluskan

- Dimasukkan ke dalam krus yang telah


dipijar dan ditara.
- Dipijarkan perlahan-lahan di atas
kompor hingga mengarang

Sampel telah mengarang

- Dipijarkan di dalam tanur pada suhu


500oC.
- Didiamkan hingga bobot tetap.
- Kadar abu total dihitung

Hasil

3.2.2. Penetapan Kadar Abu Larut Air

Abu dari penetapan kadar abu total

- Ditambah 25mL air.


- Didihkan selama 5 menit
- Disaring dengan menggunakan kertas
saring bebas abu.

Residu

- Dicuci dengan air panas.


- Dipijarkan di atas kompor selama 15
menit.
- Dipijarkan pada suhu kurang lebih
450oC, hingga bobot tetap.
- Dihitung kadar abu larut air.

Hasil
3.3.3. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu dari penetapan kadar abu total

- Ditambah 25mL HCl encer LP.


- Didihkan selama 5 menit
- Disaring dengan menggunakan kertas
saring bebas abu.

Residu

- Dicuci dengan air panas.


- Dipijarkan pada suhu kurang lebih
450oC, hingga bobot tetap.
- Dihitung kadar abu tidak larut asam.

Hasil

3.3. Pengukuran Indeks Pengembangan

3 gr simplisia

- Dimasukkan ke dalam gelas ukur 25


mL
- (+) aquadest hingga 20 mL.
- Dikocok vertical dengan interval 10
menit selama 1 jam.
- Dibiarkan selama 3 jam.
- Diukur volume yang ditempati
simplisia termasuk bagian musilago
yang kental.
- Diukur indeks pengembangan.
- Dilakukan duplo.

Hasil
3.4. Pengukuran Indeks Busa

Simplisia

- Ditimbang 1 gram
- Dimasukan kedalam 100 ml air mendidih
- Dibiarkan mendidih selama 30 menit
- Di add 100ml lalu saring
- Dimasukan kedalam tabung reaksi dalam seri 1;
2 ;3 sampai 10 ml. Add aquadest hingga 10 ml
pada setiap tabungn.
- Ditutup tabung dan kocok vertikal selama 15
detik dengan frekuensi 2 kocokan perdetik.

- Diamkan selama 15 menit dan ukur tinggi busa.

Tinggi busa kurang dari 1 cm

3.5. Penentuan Kadar Sari


Simplisia Bratawali
- Dimaserasi 2 - 4 gram simplisia etanol dalam
labu takar 100 ml
- Dikocok selama 6 jam pertama lalu didiamkan
selama 18 jam
- Disaring dengan cepat
- Diuapkan 25 ml filtrat dalam cawan diatas
penangas air hingga kering
- Dipanaskan residu pada suhu 105o hingga bobot
tetap
- Dihitung kadar dalam persen terhadap berat
simplisia brotowali

Hasil
3.5.1. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Simplisia bratawali

- Maserasi 2 - 4 gram simplisia pada erlenmeyer


- Ditambahkan 100ml air timbang dan aduk biarkan 1
jam
- Refluks selama 1 jam
- Dinginkan dan timbang kembali
- Add air hingga bobot awal
- Diaduk saring dan uapkan 25ml filtrat dalam cawan
dipenangas air hingga kering
- Panaskan residu pada suhu 105o C hingga bobot tetap
- Hitung kadar dalam persen terhadap berat simplisia
Hasil

3.6. Penentuan Kadar Air dan Susut Pengeringan

2 gr simplisia

- Ditimbang dalam botol timbang yang sebelumnya telah


dipanaskan pada 105oC selama 30 menit
- Diratakan zat dalam botol timbang dengan
menggoyangkan botol sampai setebal kurang lebih 5mm
– 10mm
- Dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC hingga bobot
tetap
- Dimasukkan botol ke dalam desikator, biarkan dingin, dan
ditimbang
- Dimasukkan kembali ke dalam oven suhu 105oC selama 1
jam, kemudian ulangi prosedur sampai diperoleh bobot
tetap

Hasil
3.7. Penentuan Kadar Minyak Atsiri

5 gr simplisia
-
- Dimasukkan bahan ke dalam labu
destilasi.
- (+) air sebanyak 100 mL
- Di didihkan isi labu dengan pemanasan
sesuai agar pendidihan berlangsung tidak
terlalu kuat selama 2 jam.
- Ditampung dan dicatat minyak atsiri
yang terdestilasi pada bagian penampung
berskala dengan pembacaan skala 0,1
mL.
- Dihitung kadar minyak atsiri.

Hasil

3.8. Penentuan Angka Kepahitan


3.8.1. Pembuatan Larutan Stok kinin HCl dan Pengencerannya
0,1 g kinin HCl

- dilarutkan dalam 100,0 mL air

- diambil 5,0 mL larutan

+ diencerkan ad 500,0 mL

Larutan stok (SQ)

Mengandung 0,01 mg/mL


- diambil 5,0 mL larutan

+ diencerkan dengan 4,8 mL air

Larutan stok (SQ) kinin HCl yang memberikan


ambang pahit (konsentrasi = 0,050 mg)
3.8.2. Pembuatan Larutan Uji dan Pengencerannya
5,0 g sampel brotowali

+ dipanaskan dalam 100,0 mL air


selama 1 jam lalu disaring

Larutan stok (ST) brotowali

- diambil 5,0 mL larutan

+ diencerkan dengan 5,0 mL air


Larutan stok (ST) brotowali tabung
5 yang memberikan ambang pahit
(konsentrasi = 0,25 mg)

3.8.3. Penentuan Tingkat Kepahitan

10 mL larutan uji
tabung 5

+ dibilas mulut dengan air

+ dimasukan larutan uji ke dalam


mulut dan digerakkan di sekitar
dasar lidah selama 30 detik

+ diludahkan dan ditunggu 1 menit

Nilai ambang pahit


3.9. Penentuan Kadar Tanin Total

3.9.1. Metode MMI

3,0 g serbuk brotowali dipanaskan


dengan 50 mL air pada tangas air
selama 30 menit sambil diaduk

Didiamkan dan dituangkan melalui


segumpal kapas kedalam labu
takar 100mL

Dibilas ampas tersebut dengan air


mendidih, didinginkan. Lalu
ditambahkan air hingga batas

Dipipet 50,0 mL ekstrak dan


ditambahkan asam indigo sulfonat
LP 5,0 mL, tambahkan air

Dititrasi dengan Kalium


Permanganat 0,1N
3.9.2. Pembakuan Larutan Baku Sekunder Kalium Permanganat

Dipipet 10,0 mL larutan baku


primer Asam Oksalat kedalam
labu erlenmeyer

Ditambahkan 10 mL asam sulfat


2N

Dititrasi dengan Kalium


Permanganat 0,1N sebanyak 3
tetes, hangatkan

Dilanjutkan titrasi hingga timbul


warna merah jambu yang tetap

Dihitung normalitas larutan


Kalium Permanganat
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1. Sampling
A. Penentuan benda asing
Benda asing yang ditemukan berupa : -
Bobot benda asing : -
B. Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis sampel

Tabel 1 1. Data makoskopis sampel

Parameter Pemeriksaan Deskripsi Hasil Pemeriksaan


Aroma Aroma khas sedikit menyengat
Warna Kuning mustard
Rasa Pahit dan agak pedas
Ukuran Serbuk halus
Tekstur Halus

Hasil Pemeriksaan mikroskopis sampel

Nama sampel : Jamu Beruang Emas

Pelarut yang digunakan : Kloralhidrat 25%

Perbesaran : 10 x 10
Gambar fragmen yang ditemukan : Keterangan :
1.
1. Sel minyak
2. Sel batu

2.

3.

4.
C. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) sampel jamu

Profil KLT sampel diamati pada Keterangan :


lampuUV 254 nm Sampel : Jamu beruang emas
Fase diam : Silika gel
Fase Gerak : klorform : metanol (8:2)
Perhitungan nilai Rf :
 Ekstrak
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘
𝑅𝑓 =
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
4,1
= 4,5 = 0,91

 Baku pembanding
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘
𝑅𝑓 =
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
4
= 4,5 = 0,89

Rf Rata-rata : 0,9

4.1.2. Penetapan Kadar Abu

A. Penetapan Kadar Abu Total

Data bobot krus kosong 1 setelah dipijar Data bobot krus kosong 2 setelah dipijar

1. 36,3580 g 2. 39,527 g 1.39,4075 g 2. 36,0013 g

Data bobot krus kosong dan sampel Data bobot krus kosong dan sampel

1. 39,3590 g 2. 42,529 g 1.42,4075 g 2. 38,0023 g

Perhitungan untuk menentukan bobot tetap Perhitungan untuk menentukan bobot tetap
dalam penimbangan : dalam penimbangan :

Berat sampel x 0,5 mg/g sampel Berat sampel x 0,5 mg/g sampel

1. 0,019 g 2. 0,021 g 1. 0,021 g 2. 0,019 g


Data penimbangan Data penimbangan

Jam ke-0 : 36,514 g Jam ke-0 : 39,727 g Jam ke-0 : 39,445 g Jam ke-0 : 36,136 g

Jam ke-1 : 36,4923 g Jam ke-1 : 39,6790 g Jam ke-1 : 39,429 g Jam ke-1 : 36,074 g

Jam ke-2 : 36,4898 g Jam ke-2 : 39,6773 g Jam ke-2 : - Jam ke-2 : 36,071 g

Jam ke-3 : - Jam ke-3 : - Jam ke-3 : - Jam ke-3 : -

Jam ke-4 : - Jam ke-4 : - Jam ke-4 : - Jam ke-4 : -

Kadar Abu Total 1 Kadar Abu Total 2

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
x x x x
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

100% = 4,39 % 100% = 3,51 % 100% = 0,71 % 100% = 2,32 %

B. Penetapan Kadar Abu Larut Air dan Tidak Larut Asam

KADAR ABU LARUT AIR KADAR ABU TAK LARUT ASAM

Data bobot abu total Data bobot abu total

1. 4,39 % 2. 3,51 % 1.0,71 % 2. 2,32 %

Data bobot krus kosong dan sampel Data bobot krus kosong dan sampel

1. 36,5162 g 2. 39,6659 g 1.43,0201 g 2. 36,0259 g

Perhitungan untuk menentukan bobot tetap Perhitungan untuk menentukan bobot tetap
dalam penimbangan : dalam penimbangan :

Berat sampel x 0,5 mg/g sampel Berat sampel x 0,5 mg/g sampel

1. 0,018 g 2. 0,019 g 1. 0,020 g 2. 0,018

Data penimbangan Data penimbangan

Jam ke-0 : 36,5162 g Jam ke-0 : 39,6659 g Jam ke-0 : 40,0201 g Jam ke-0 : 36,025 g

Jam ke-1 : 36,4185 g Jam ke-1 : 39,6070 g Jam ke-1 : 39,3736 g Jam ke-1 : 35,978 g
Jam ke-2 : 36,4038 g Jam ke-2 : 39,6045 g Jam ke-2 : 39,3546 g Jam ke-2 : 35,972 g

Jam ke-3 : - Jam ke-3 : - Jam ke-3 : 39,3344 g Jam ke-3 : -

Jam ke-4 : - Jam ke-4 : - Jam ke-4 : - Jam ke-4 : -

Kadar Abu Total 1 Kadar Abu Total 2

1. 2,86 % 2. 2,43% 1. 3,15 % 2. 3,29 %

4.1.3. Pengukuran Indeks Pengembangan

Sampel 1 Sampel 2

Tinggi sampel dalam gelas ukur 1 : 18mL Tinggi sampel dalam gelas ukur 2 : 20mL

Data pengamatan tinggi sampel 1 pada : Data pengamatan tinggi sampel 2 pada :

Jam ke – 1 : 19,5 mL Jam ke – 1 : 21 mL

Jam ke – 2 : 19,7 mL Jam ke – 2 : 21,2 mL

Jam ke – 3 : 20,0 mL Jam ke – 3 : 21,5 mL

Indeks pengembangan ditentukan dengan Indeks pengembangan ditentukan dengan


menghitung selisih volume yang diperoleh per menghitung selisih volume yang diperoleh
1 gram sampel. per 1 gram sampel.
(21,5 𝑚𝐿 − 21,2 𝑚𝐿)
(20 𝑚𝐿 − 19,7 𝑚𝐿) = 0,1 𝑚𝐿/𝑔
= 0,1 𝑚𝐿/𝑔 3𝑔
3𝑔
4.1.4. Pengukuran Indeks Busa
No. Tinggi Indeks No. Tinggi Indeks
Tabung Busa (cm) Busa Tabung Busa (cm) Busa
1a. 0 <100 1b. 0 <100
2a. 0,2 <100 2b. 0 <100
3a. 0,4 <100 3b. 0 <100
4a. 0,4 <100 4b. 0,5 <100
5a. 0,1 <100 5b. 0 <100
6a. 0,5 <100 6b. 0,4 <100
7a. 0,5 <100 7b. 0,5 <100
8a. 0,5 <100 8b. 0,6 <100
9a. 07 <100 9b. 0,5 <100
10a. 0,5 <100 10b. 0,5 <100

4.1.5. Penentuan Kadar Sari


A. Kadar Sari larut Etanol
a. Bobot wadah kosong 1 setelah a) Bobot wadah kosong 2 setelah
dikeringkan dalam oven : dikeringkan dalam oven :
82,8026 g 49,8272 g
b. Bobot Residu sampel : 82,843 g b) Bobot Residu sampel : 49,866 g
c. Perhitungan untuk menentukan c) Perhitungan untuk menentukan
bobot tetap dalam penimbangan : bobot tetap dalam penimbangan :
Berat sampel x 0,5 mg/g Berat sampel x 0,5 mg/g
2 g x 0,5 mg/g = 1 mg 2 g x 0,5 mg/g = 1 mg
= 0,01 g = 0,01 g

d. Data penimbangan sampel : d) Data penimbangan sampel :


Jam ke-1 : 82,861 g Jam ke-1 : 49,863 g
Jam ke-2 : 82,854 g Jam ke-2 : 49,867 g
Jam ke-3 : 82,860 g Jam ke-3 : 49,865 g
Jam ke-4 : 82,857 g Jam ke-4 : 49,864 g
e. Perhitungan kadar sari larut e) Perhitungan kadar sari larut
etanol : etanol :
a x 100 x 100% a x 100 x 100%
2 25 2 25
0,0514 x 100 x 100% 0,0378 x 100 x 100%
2 25
2 25
= 10,28 %
= 7,56 %

Rata-rata % kadar sari larut air adalah 8,92%


B. Kadar Sari Larut Air
a. Bobot wadah kosong 1 setelah a) Bobot wadah kosong 1 setelah
dikeringkan dalam oven : dikeringkan dalam oven : 57,5449
65,1492 g g
b. Bobot Residu sampel : 65,223 g b) Bobot Residu sampel : 57,552 g
c. Perhitungan untuk menentukan c) Perhitungan untuk menentukan
bobot tetap dalam penimbangan : bobot tetap dalam penimbangan :
Berat sampel x 0,5 mg/g Berat sampel x 0,5 mg/g
2 g x 0,5 mg/g = 1 mg 2 g x 0,5 mg/g = 1 mg
= 0,01 g = 0,01 g

d. Data penimbangan sampel : d) Data penimbangan sampel :


Jam ke-1 : 65,219 g Jam ke-1 : 57,566 g
Jam ke-2 : 65,216 g Jam ke-2 : 57,554 g
Jam ke-3 : 65,219 g Jam ke-3 : 57,554 g
Jam ke-4 : 65,212 g Jam ke-4 : 57,553 g

e. Perhitungan kadar sari larut air : e) Perhitungan kadar sari larut air :
a x 100 x 100% a x 100 x 100%
2 25 2 25
0,0628 x 100 x 100% 0,0081 x 100 x 100%
2 25 2 25
= 12,56 % = 1,62 %
Rata-rata kadar sari larut air adalah 7,09 % .
4.1.6. Penetapan Kadar Air & Susut Pengeringan
A. Penetapan Kadar Air

Bobot simplisia yang digunakan : Bobot simplisia yang digunakan


2,0596 gram

Volume air yang terdestilasi : 0,1 mL Volume air yang terdestilasi

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 Kadar air sampel


Kadar air sampel : x 100% =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡

0,1 𝑚𝐿
x 100% = 4,85%
2,0596 𝑔𝑟

B. Penetapan Susut Pengeringan

a. Bobot wadah kosong 1 yang telah 1. Bobot wadah kosong 2 yang telah
dikeringkan dalam oven : 80,2434 gram dikeringkan dalam oven :76,7994 gram
b. Bobot sampel 1 : 2,0485 gram 2. Bobot sampel 2 : 2,0507 gram

c. Bobot sampel dan wadah 1 : 82,3039 gram 3. Bobot sampel dan wadah 2 : 78,8611 gram

d. Perhitungan untuk menentukan bobot tetap d. Perhitungan untuk menentukan bobot tetap
dalam penimbangan. dalam penimbangan.

Berat sampel x 0,5 mg/g sampel Berat sampel x 0,5 mg/g sampel

82,3039 gram x 0,5 mg/g = 41,15195 mg 78,8611 x 0,5 mg/g = 39,43055 mg

= 0,0411 gram = 0,039 gram

e. Data penimbangan sampel 1 pada : e. Data penimbangan sampel 1 pada :

Jam ke-1 : 82,1254 gram Jam ke-1 : 78,6798 gram

Jam ke-2 : 82,0794 gram Jam ke-2 : 78,6402 gram

Jam ke-3 : 82,1146 gram Jam ke-3 : 78,6713 gram

Jam ke-4 : 82,1107 gram Jam ke-4 : 78,6638 gram


f. Susut pengeringan f. Susut pengeringan

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
x 100% x 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

82,3039−82,1107 78,8611−78,6638
x 100% = 9,431 % x 100% = 9,62 %
2,0485 2,0507

4.1.7. Penentuan Kadar Minyak Atsiri


Keterangan Hasil

Nama Sampel / simplisia Tinosporae Caulis

Taksonomi / klasifikasi tumbuhan Divisi : Spermathophyta

Kelas :Magnliopsida

Anak kelas :Magnolidae

Bangsa : Euphorbiaceae

Suku / family : Euphorbiaceae

Jenis / spesies : Tinispora crispa

Kadar minyak atsiri yang diperoleh 0 𝑚𝑙


x 100% = 0%
5𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑒𝑠𝑡𝑖𝑙𝑎𝑠𝑖


x 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

4.1.8. Penentuan Angka Kepahitan


Data Panelis 1
Keterangan Hasil

Nomor tabung sampel/jamu


yang memberikan ambang 5
pahit
Konsentrasi jamu yang
memberikan ambang pahit 0,25 mg
(a)
Volume larutan stok
sampel/jamu yang 5 mL
memberikan ambang pahit
(b)
Nomor tabung larutan kinin
HCl yang memberikan 5
ambang pahit
Konsentrasi jamu yang
memberikan ambang pahit 0,050 mg
(c)
2000 𝑥 𝑐 2000 𝑥 0,050 𝑚𝑔
Perhitungan angka kepahitan = = 80 unit/g
𝑎𝑥𝑏 0,25 𝑚𝑔 𝑥 5 𝑚𝐿
sampel
Data Panelis 2
Keterangan Hasil

Nomor tabung sampel/jamu


yang memberikan ambang 5
pahit
Konsentrasi jamu yang
memberikan ambang pahit 0,25 mg
(a)
Volume larutan stok
sampel/jamu yang 5 mL
memberikan ambang pahit
(b)
Nomor tabung larutan kinin
HCl yang memberikan 5
ambang pahit
Konsentrasi jamu yang
memberikan ambang pahit 0,050 mg
(c)
2000 𝑥 𝑐 2000 𝑥 0,050 𝑚𝑔
Perhitungan angka kepahitan = = 80 unit/g
𝑎𝑥𝑏 0,25 𝑚𝑔 𝑥 5 𝑚𝐿
sampel

4.1.9. Penentuan Kadar Tanin Total (Secara Volumetri)


a) Pembakuan Kalium Permanganat
Volume Kalium Permanganat : - 10,0
- 10,4
𝑁 𝑎𝑠.𝑜𝑘𝑠𝑎𝑙𝑎𝑡 𝑥 𝑉 𝑎𝑠.𝑜𝑘𝑠𝑎𝑙𝑎𝑡
N Kalium Permanganat = 𝑉 𝐾𝑎𝑙𝑖𝑢𝑚 𝑃𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑎𝑡
0,1 𝑁 𝑥 10 𝑚𝐿
= = 0,0980 N
10,2

b) Penetapan Kadar Tanin


0,0980
0,0980 Kalium Permanganat = x 0,004157
0,1
= 0,00407 g

0,85 mL = 0,85 mL x 0,00407 g = 0,00345 g


0,75 mL = 0,75 mL x 0,00407 g = 0,00305 g

Maka didapatkan,
% Kadar :
0,00345 𝑔
- x 100% = 0,115 %
3,0 𝑔
0,00305 𝑔
- x 100% = 0,101 %
3,0 𝑔

- Rata-rata % Kadar = 0,108 %

4.2. Pembahasan
4.2.1. Sampling
Pengambilan sampel merupakan langkah awal dari standardisasi
simplisia atau jamu. Aturan umum untuk metode pengambilan sampel bagi
pengujian kualitas bahan farmasetika telah ditetapkan oleh WHO.

Pada percobaan kali ini, digunakan sampel jamu kuat dengan merek
“Beruang Emas”. Langkah awal yang dilakukan adalah mengambil 10 bungkus
dalam satu kemasan. Setelah kemasan dibuka, dilakukan pemeriksaan
makroskopik. Pengujian ini penting untuk penentuan identitas dan tingkat
kemurnian simplisia dan harus dilakukan sebelum pengujian lebih lanjut.
Pengujian makroskopik seperti uji organoleptik yang meliputi aroma, warna,
rasa, ukuran, dan tekstur. Jamu yang kami uji beraroma aromatik cukup
menyengat, berwarna kuning mustard, dengan rasa pahit dan agak pedas,
berukuran serbuk dengan tekstur halus. Setelah dilakukan pengujian
organoleptik juga dilakukan pengujian adanya benda asing seperti pasir, kaca,
batu ataupun serangga. Namun pada sampel jamu ini, tidak terdapat benda
asing.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik. Karena jamu


yang digunakan sudah berbentuk serbuk halus, maka tidak perlu melalui proses
penghalusan. Sejumlah kecil serbuk diambil dan diletakkan di atas kaca objek,
kemudian ditetesi dengan pereaksi kloralhidrat. Tutup dengan cover glass dan
diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali. Fragmen-fragmen yang
terlihat pada jamu ini yaitu sel minyak dan sel batu.

Setelah itu dilanjutkan pengujian dengan metode kromatografi lapis


tipis (KLT). Metode ini dapat digunakan untuk penentuan kualitas jamu yang
beredar dan dapat mencegah pemalsuan dalam komposisi jamu. Pengujian ini
bersifat kualitatif dan dibutuhkan suatu baku pembanding.

Pertama sebanyak 2 gram jamu diekstraksi menggunakan pelarut


metanol. Filtrat hasil ekstraksi kemudian disaring menggunakan kertas saring
untuk ditotolkan pada plat KLT. Plat KLT yang digunakan adalah silika gel
berukuran 3 cm x 7cm diberi batas bawah 1 cm dan batas atas 0,5 cm. Fase
gerak (eluen) yang dipilih adalah metanol: kloroform yang telah didiamkan
dalam chamber selama 30 menit. Tujuan didiamkan selama 30 menit agar
chamber jenuh dengan uap pelarut dan proses elusi dapat mencapai batas
pengembangan atas. Baku pembanding yang digunakan adalah parasetamol.
Penggunaan baku pembanding ini adalah untuk membuktikan keberadaan
bahan kimia obat dalam sediaan jamu yang dicurigai. Ekstrak dan baku
pembanding ditotolkan pada plat KLT dan dielusi. Setelah proses elusi selesai
dikeringkan plat dan diamati pada lampu UV 254 nm dan 356 nm. Pada lampu
UV 254 nm terlihat kromatogram ekstrak dan baku pembanding yang hampir
sejajar. Perhitungan nilai Rf sebesar 0,91. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dalam jamu kuat beruang emas mengandung bahan kimia obat parasetamol.

4.2.2. Penetapan Kadar Abu


Kadar abu suatu bahan erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan
tersebut. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua
macam garam, yaitu garam organik dan garam anorganik. Selain garam,
mineral juga dapat membentuk senyawa kompleks yang bersifat organik,
sehingga penentuan jumlah mineral dalam bentuk aslinya sulit dilakukan.
Sehingga dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral
melalui pengabuan.
Prinsip penentuan kadar abu adalah dengan mengkondisikan semua zat
organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600°C, kemudian zat hasil
pembakaran ditimbang. Bahan yang akan diabukan ditempatkan pada wadah
khusus yaitu krus yang terbuat dari porselen. Pengabuan dilakukan dengan
tanur dengan lama pengabuan satu jam. Pengabuan dianggap selesai apabila
diperoleh sisa pengabuan berwarna putih abu-abu dan memiliki berat konstan.
Sebelum ditimbang untuk diketahui bobotnya, krus didinginkan pada desikator
selama 30 menit. Perubahan suhu tinggi ke rendah setelah dikeluarkan dari
tanur dapat menghasilkan uap air pada krus, dengan dimasukkannya krus ke
dalam desikator maka uap air tersebut akan diserap oleh silika gel yang berada
di dalam desikator. Krus yang sudah dingin ditimbang untuk ditentukan bobot
tetapnya. Dilakukan pengulangan dengan memasukkan kembali krus ke dalam
tanur selama 1 jam jika bobot tetapnya belum tercapai. Pada percobaan ini,
didapatkan kadar abu total dengan rata-rata sebesar 2,7325% dengan
persyaratan pada MMI ≤ 7,2%.
Hasil dari pengabuan tersebut kemudian dilanjutkan untuk menentukan
kadar abu larut air dan kadar abu tidak larut asam. Pada kadar abu larut air, abu
dididihkan dengan 25 mL air panas, sedangkan pada kadar abu tidak larut asam,
abu dididihkan dengan 25 mL HCl encer dimana prosedur selanjutnya sama
seperti pada penentuan kadar abu total. Pada percobaan ini, didapatkan rata-
rata penentuan kadar abu larut air sebesar 2,645% dan kadar abu tidak larut
asam sebesar 3,22% dengan persyaratan pada MMI sebesar ≤ 0,9%.
4.2.3. Pengukuran Indeks Pengembangan

Pada praktikum pengukuran indeks pengembangan ini didasarkan pada


penambahan air pada simplisia pada gelas ukur berskala. Simplisia yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah bratawali.
Dari hasil pengamatan, bratawali mengalami pengembangan setelah
dilakukan pengocokan selama 1 jam karena di dalam bratawali mengandung
senyawa karbohidrat seperti mucilago. Indeks pengembangan merupakan
volume dalam mL yang diambil dari pengembangan 1 gram bahan.
Pengembangan ini terjadi karena simplisia uji mengandung senyawa
karbohidrat seperti mucilago, pectin, dan hemiselulosa yang merupakan
komponen mayoritas dinding sel primer dari simplisia uji.

Percobaan dilakukan berdasarkan pada penambahan air terhadap


simplisia berbentuk rajangan, dengan gelas ukur berskala 0,2 mL. Dikocok
selama 1 jam dan dibiarkan selama 3 jam. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh indeks pengembangan bratawali sebesar 0,1 mL/g.

4.2.4. Pengukuran Indeks Busa

Pada percobaan ini, dilakukan pengukuran indeks busa pada simplisia


batang brotowali. Tujuan pengukuran indeks busa untuk mengetahui
keberadaan saponin dan kualitas simplisia.

Pertama, simplisia batang brotowali yang telah dihaluskan ditimbang


sebanyak 1 gram (duplo). Fungsi penghalusan simplisia ini untuk memperluas
permukaan batang brotowali karena semakin luas permukaan batang brotowali,
semakin banyak yang kontak dengan air mendidih sehingga proses
ekstraksinya semakin baik dan saponin yang terlarut dalam air semakin banyak.
Simplisia yang telah halus dimasukkan kedalam gelas kimia yang berisi 100
mL aquadest mendidih dan dibiarkan selama 30 menit. Pendidihan bertujuan
agar saponin yang terkandung pada batang brotowali terlarut dalam air.
Perebusan simplisia ini disebut dengan dekok dan filtrat hasil saringannya
disebut dekokta. Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan kapas.
Digunakan kapas untuk menyaring karena kapas memiliki pori-pori yang kecil
sehingga kurang mampu ditembus oleh partikel berukuran besar. Tambahkan
kembali aquadest melalui kapas agar volume yang dihasilkan tetap 100 mL.

Setelah itu dibuat 10 larutan seri pengenceran dalam tabung reaksi


dengan konsentrasi yang terus bertambah dan ditambahkan aquadest hingga 10
mL pada setiap tabung. Variasi pengenceran ini untuk membandingkan indeks
busa pada berbagai konsentrasi. Kemudian tabung reaksi ditutup dan dikocok
secara vertikal selama 15 detik dengan frekuensi 2 kocokan/detik. pengocokan
berfungsi untuk membentuk busa yang diakibatkan kontak air dengan saponin.
Pengocokan dilakukan pada orang yang sama agar kekuatan dan kecepatan
pengocokan sama sehingga hasilnya valid. Setelah dikocok, didiamkan selama
15 menit dan diukur tinggi busanya.

Pada percobaan ini, tinggi busa yang terbentuk tidak linear (tinggi busa
naik turun pada tiap variasi pengenceran). Hal ini diduga karena kecepatan dan
kekuatan pengocokan yang tidak sama rata pada tiap tabung. Karena tinggi
busa yang didapat pada tiap tabung kurang dari 1 maka indeks busa <100. Hal
tersebut menunjukkan kadar saponin yang rendah pada sampel batang
brotowali. Menurut literatur, pada bagian batang brotowali memang
terkandung saponin, namun kadarnya sedikit. Oleh karena itu simplisia batang
brotowali aman apabila dibuat sediaan obat.

4.2.5. Penentuan Kadar Sari


Kadar sari larut air dan etanol merupakan pengujian untuk penetapan
jumlah kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam air (kadar sari larut air)
dan kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam etanol (kadar sari larut
etanol).
Kadar sari larut air simplisia batang brotowali sebesar 7,09%
menunjukkan jumlah simplisia yang dapat tersari dalam air. Kadar sari larut
etanol 8,92% menujukkan jumlah simplisia yang dapat tersari dalam etanol.
Kadar sari larut etanol yang diperoleh memberikan arti bahwa simplisia batang
brotowali dapat tersari dalam etanol dengan jumlah 8,92%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa simplisia batang brotowali banyak tersari dalam pelarut
air dibandingkan dengan etanol. Hasil penetapan kadar sari larut memiliki nilai
yang tidak lebih dari persyaratan menurut MMI sedangkan kadar sari larut
etanol berbeda jika dibandingkan dengan persyaratan menurut MMI yaitu
untuk kadar sari larut air adalah tidak lebih 15,4% sedangkan kadar sari larut
etanol adalah tidak lebih dari 4,4%. Hal ini mungkin disebabkan kandungan
tannin ikut menguap dalam pelarut etanol ketika ditaro diatas penangas air
untuk dikeringkan.
Kadar sari larut etanol yang didapat lebih besar dibandingkan dengan kadar
sari larut airnya. Hal ini karena air bersifat polar dan etanol bersifat non polar.
Jadi etanol bisa menarik senyawa yang bersifat polar dan non polar
dibandingkan air yang hanya bias menarik senyawa yang polar saja. Oleh
karena itu etanol biasa disebut pelarut universal.

4.2.6. Penetapan Kadar Air & Susut Pengeringan

Tujuan penetapan kadar air adalah untuk menentukan jumlah air yang
terdapat pada simplisia. Pada percoban ini dilakukan penetapan kadar air
dengan metode destilasi azeotrop. Destilasi azeotrop adalah destilasi dengan
menggunakan senyawa azeotrop, yakni gabungan dua senyawa yang sulit
dipisahkan dan memiliki titik didih yang lebih rendah sehingga penguapan
akan terjadi lebih cepat.

Pada percobaan ini menggunakan 2 gram simplisia batang brotowali.


Pelarut yang digunakan adalah toluen karena titik didihnya rendah dan tidak
dapat bercampur dengan air. Tuluen yang telah dijenuhkan dengan sedikit air
didiamkan selama 24 jam agar memisah, lapisan air pada bagian bawah
dibuang.

Selanjutnya simplisia dan toluen didestilasi selama 15 menit. Dihitung


ketika larutan sudah mendidih. Namun pada percobaan ini setalah 15 menit
didestilasi tidak ada air yang tertampung. Jadi kami memutuskan untuk
melanjutkannya hingga dua jam. Setelah dua jam, didapat volume air yang
terdestilasi sebesar 0,1 mL. Sehingga kadar air sampelnya sebesar 4,85%.

Menurut standar Materia Medika Indonesia (MMI), kadar air maksimal


yang diperbolehkan terkandung dalam simplisia adalah 10% sedangkan kadar
air yang terkandung dalam ekstrak adalah 15-25%. Apabila kadar air melebihi
10% akan menyebabkan terjadinya proses enzimatik dan kerusakan oleh
mikroba. Dari data hasil yang didapat menunjukkan bahwa simplisia batang
brotowali yang digunakan dalam percobaan ini memenuhi standar dan
berkualitas baik karena dikeringkan secara optimal.

Salah satu cara standarisasi simplisia adalah dengan penetapan susut


pengeringan. Sebagai parameter standar yang digunakan adalah persyaratan
yang tercantum dalam monografi resmi terbitan Departemen Kesehatan RI
seperti Materia Medika Indonesia. Penetapan susut pengeringan bertujuan
untuk memberikan batasan maksimal mengenai besarnya senyawa yang hilang
pada saat proses pengeringan. Penetapan susut pengeringan ini tidak hanya
menggambarkan air yang hilang tetapi juga senyawa menguap lainnya, seperti
minyak atsiri Simplisia yang digunakan pada percobaan ini adalah batang
brotowali.

Susut pengeringan berbeda dengan kadar air. Kadar air adalah


jumlah air yang terkandung dalam simplisia dibandingan dengan masa
simplisianya, sedangkan susut pengeringan adalah semua kandungan dalam
simplisia yang dapat menguap setelah dikeringkan. Jadi nilai susut pengeringan
akan lebih besar dari kadar air.

Tahap pertama cawan porselen kosong dipanaskan pada suhu 105oC


selama 30 menit dan telah ditara. Pemanasan cawan kosong ini bertujuan untuk
menguapkan air yang terperangkap pada pori cawan. Karena titik didih air
sebesar 100oC, maka diharapkan pada suhu 105oC air akan menguap
seluruhnya dengan sempurna. Setelah dipanaskan, cawan porselen ditimbang.
Penimbangan konstan dimaksudkan agar berat yang didapat benar-benar berat
dari cawan tersebut tanpa ada senyawa lain yang nantinya akan mempengaruhi
hasil. Kemudian dimasukkan 2 gram simplisia (duplo) pada cawan tersebut dan
dipanaskan pada oven dengan suhu 105oC selama 1 jam. Setelah itu
dimasukkan kedalam desikator sampai dingin, kemudian ditimbang.
Penimbangan dilakukan hingga beratnya konstan (tidak melebihi bobot tetap
yang telah dihitung). Apabila beratnya melebihi bobot tetap, diduga ada zat lain
yang menganggu hasil atau air yang belum teruapkan sempurna sehingga
hasilnya belum murni berat susut pengeringan.
Hasil percobaan didapatkan persentase susut pengeringan sebesar
9,43% dan 9,62%. Dari data yang didapat maka simplisia batang brotowali
memenuhi standar dari Materia Medika Indonesia (MMI) yaitu maksimal nilai
susut pengeringan adalah kurang atau sama dengan 10%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa simplisia batang brotowali yang digunakan dalam
percobaan memiliki kualitas yang baik.

4.2.7. Penentuan Kadar Minyak Atsiri

Percobaan yang telah dilakukan adalah percobaan tentang kadar


kandungan minyak atsiri dengan metode destilasi, dimana destilasi merupakan
pemisahan komponen – komponen antara dua atau lebih zat yang memiliki
karakteristik berbeda dalam suatu campuran. Minyak atsiri dapat diambil dari
beberapa tanaman, yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah bratawali.
Bratawali yang digunakan dipotong kecil – kecil terlebih dahulu untuk
memudahkan penguapan minyak atsiri dan menghasilkan minyak atsiri lebih
banyak.

Prinsip destilasi yaitu merupakan suatu proses pemisahan komponen –


komponen suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau lebih berdasarkan
perbedaan tekanan uap atau berdasarkan perbedaan titik didih komponen –
komponen senyawa tersebut. Jenis penyulingan yang digunakan yaitu
hidrodestilasi. Hidrodestilasi adalah penyulingan suatu campuran yang
berwujud cairan yang tidak saling bercampur, hingga membentuk dua fasa atau
dua lapisan.

Sampel yang digunakan pada percobaan kali ini adalah bratawali.


Sampel yang digunakan sebanyak 5 gram batang bratawali yang dipotong kecil
– kecil dengan tujuan agar pori – porinya mudah dijangkau oleh air sehingga
minyak atsiri akan lebih cepat keluar dari pori-pori bratawali dan hasilnya
diharapkan lebih banyak.

Proses destilasi dilakukan selama 2 jam. Pemanasan awal berfungsi


agar air terserap ke dalam pori-pori bratawali yang dapat mengeluarkan minyak
atsiri karena adanya tekanan osmotic. Percobaan yang telah dilakukan
menghasilkan destilat berupa air dan minyak lemak. Dimana pada percobaan
ini minyak atsiri tidak terdestilasi, dan yang terdapat hanya minyak lemak.

4.2.8. Penentuan Angka Kepahitan

Pada percobaan penentuan angka kepahitan kali ini yaitu bertujuan


untuk mengetahui derajat kepahitan simplisia uji terhadap derajat kepahitan
kinin HCl. Prinsip penentuan angka kepahitan dengan indera pengecap dari
suatu simplisia yang dibandingkan dengan zat lain, misalnya kinin HCl. Unit
pahit setara dengan 1 mg kinin HCL/2ml atau 1g/ml kinin HCl setara dengan
2000 unit pahit. Kinin HCl dijadikan sebagai standar indeks kepahitan karena
senyawa pahit dari kinin HCl dapat terdeteksi dalam ambang yang sangat
rendah.

Pada awal percobaan, dibuat larutan stok (SQ) kinin HCl terlebih
dahulu. Kemudian larutan stok dibuat pengencerannya. Pengenceran dibuat
dari konsentrasi 5 mL untuk mempercepat percobaan. Pembuatan pengenceran
kinin HCl dilakukan sebagai pembanding rasa pahit sampel uji. Pengujian
dilakukan pada konsentrasi terendah terlebih dahulu. Jika konsentrasi tersebut
tidak memberikan rasa pahit, maka konsentrasi pengenceran ditingkatkan 1
mL.

Pada sampel uji, sampel uji ditimbang sebesar 5,0 gram lalu
kemudian direbus dengan 100 mL air selama satu jam. Sampel tersebut
kemudian disaring. Hasil penyaringan dibuat pengenceran dimulai dari
konsentrasi 5 mL untuk mempercepat waktu percobaan. Diambil 5 mL ekstrak
sampel uji tersebut kemudian dilarutkan dalam 5 mL air kualitas minum untuk
selanjutnya dilakukan pengujian kepahitan.

Pada larutan kinin HCl konsentrasi 5 mL, kedua panelis uji sudah
merasakan pahit. Untuk larutan sampel uji, kedua panelis uji sudah merasakan
pahit pada konsentrasi 5 mL. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi
tersebut, sampel uji telah memberikan rasa pahit. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa sampel uji akar brotowali tersebut memiliki angka
kepahitan sebesar 80 unit/g.
4.2.9.Penentuan Kadar Tanin Total
Pada Percobaan kali ini dilakukan penentuan kadar tannin, Tanin
merupakan substrat kompleks yang berada pada beberapa tanaman. Tanin
memiliki campuran polifenol yang sulit untuk dipisahkan karena substrat ini
sulit untuk mengkristal, mudah teroksidasi dan berpolimerisasi dalam larutan
yang mempunyai kelarutan sangat rendah dalam pelarut. Pada konsentrasi
rendah, tanin dapat melindungi protein terhadap degradasi oleh mikroba,
sedangkan dalam jumlah besar dapat mengikat protein dan karbohidrat
sehingga mengakibatkan penurunan kecernaan terhadap ternak.

Pada praktikum ini, digunakan sampel yaitu brotowali, yang digunakan


adalah bagian dari batang brotowali, serbuk brotowali dilarutkn dalam air 50
mL dan dipanaskan diatas penangas air selama 30 menit. Setelah itu lalu
didiamkan agar suhu normal kembali lalu dituangkan melalui segumpal kapas,
hal ini bertujuan sebagai proses penyaringan dari serbuk brotowali tersebut.
Lalu, hasil dari ekstraksi atau disebut sebagai ekstrak tersebut ditambahkan
dengan asam indigo sulfonat, hal ini bertujuan untuk

Berdasarkan hasil perhitungan penetapan kadar tanin didapatkan


bahwa % kadar 1 : 0,115 dan % kadar 2 : 0,101, rata-rata kadar yang diperoleh
adalah 0,108% hal ini mmenunjukkan bahwa pada serbuk batang brotowali
mengandung tanin dan memiliki 0,108%.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Perhitungan nilai Rf didapatkan Rf = 0,91 yang hampir mendekati 1, hal


tersebut menunjukkan bahwa dalam jamu kuat beruang emas mengandung
bahan kimia obat (BKO) Parasetamol.
2. Kadar abu sampel brotowali sesuai dengan persyaratan pada MMI yaitu ≤
7,2%, sedangkan kadar abu larut air dan kadar abu tidak larut air tidak sesuai
persyaratan MMI yaitu sebesar ≤ 0,9%.
3. Hasil rata-rata indeks pengembangan adalah 0,1 mL/g.
4. Penentuan indeks busa simplisia batang brotowali kurang dari 100 yang
menandakan kandungan saponin yang rendah sehingga aman apabila dibuat
sediaan obat tradisional.
5. Rata-rata kadar sari larut air adalah 7,09 % sedangkan Rata-rata % kadar
sari larut air adalah 8,92%.
6. Penetapan kadar air simplisia batang brotowali 4,85% memenuhi
persyaratan MMI (kurang dari atau sama dengan 10%), sedangkan pada
susut pengeringan simplisia batang brotowali 9,43% dan 9,62% memenuhi
persyaratan MMI (kurang dari atau sama dengan 10%).
7. Kadar minyak atrsiri yang didapat sebesar 0%.
8. Angka kepahitan sampel brotowali sebesar 80 unit/g.
9. Pada penentuan kadar tannin total didapatkan % Kadar Tanin pada sampel
brotowali adalah 0,108%
10. Normalitas Kalium Permanganat yang didapatkan adalah 0,0980 N.
LAMPIRAN

Proses perebusan simplisia


DAFTAR PUSTAKA

Djarwis, D. 2004. Teknik Penelitian Kimia Organik Bahan Alam. Universitasa


Andalas, Sumatera Barat

Harborne, J.B, dkk. 1994. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern


Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, Terbitan Kedua. Penerbit ITB: Bandung.

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.


Manjang, Y. 2004. Penelitian Kimia Organik Bahan Alam. Universitas Andalas,
Sumatera Barat.

Zahro. 2013. Analisis Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Jember: Jawa
Timur.

Anda mungkin juga menyukai