Anda di halaman 1dari 70

REVISI

1. Perhatikan semua teknik penulisannya. Salah satu contoh


kesalahan “BrineShrimpLethalityTest”.
2. Seragamkan spasinya (gunakan spasi 1,5)
3. Tambahkan gambar-gambar dari jurnal yang diperoleh
4. Tambahkan skema kerja
LAPORAN PRAKTIKUM
FITOKIMIA LANJUTAN
‘’Isolasi dan Uji Bioaktivitas dari Tanaman
Kulit Buah Naga (Hylocereus sp.)’’

Transfer B 2019-Kelompok 3

Adryan Ruslan Awasuraby 19018038


Viviani Gemi Selvia K. Pasang 19018063
Kriyelsi Pandung 19018068
Lestari Saputri Sahudan 19018057
Reskyanti Bunga 19018052
Juniarvi Vita M 19018048

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan kaya akan

flora fauna, serta sumber daya alam lainnya. Sebagian besar dari

keanekaragaman hayati tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tanaman

obat, tetapi keanekaragaman hayati tersebut belum dapat dimanfaatkan

secara optimal, sehingga harus dilestarikan dan dimanfaatkan dengan

baik. Penggunaan obat tradisional pada masyarakat Indonesia saat ini

semakin berkembang.

Salah satu tanaman yang banyak digunakan oleh masyarakat

Indonesia sebagai obat adalah buah naga. Buah naga merupakan

tumbuhan yang berasal dari daerah beriklim tropis kering. Pertumbuhan

buah naga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, keadaan tanah dan

curah hujan. Habitat asli buah naga berasal dari negara Meksiko, Amerika

Utara dan Amerika Selatan bagian utara. Namun buah naga saat ini telah

dibudidayakan di Indonesia seperti di Jember, Malang, Pasuruan dan

daerah lainnya (Putri, 2015).

Dalam pemanfaatannya, kulit buah naga yang mempunyai berat

30% - 35% dari berat buah belum dimanfaatkan dan hanya dibuang

sebagai sampah sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan,

Hal ini sangat disayangkan karena kulit buah naga mempunyai beberapa

keunggulan dalam produksi pangan maupun industri seperti pewarna

alami pada makanan dan minuman. Selain itu dalam industri, kulit buah

naga dapat dijadikan bahan dasar pembuatan kosmetik. Dalam bidang

farmakologi kulit buah naga juga dapat dijadikan sebagai obat herbal
alami yang dapat bermanfaat sebagai antioksidan.

Menurut penelitian Wu ,et al, 2006 (dalam Putri, 2015) keunggulan

dari kulit buah naga yaitu merupakan sumber antioksidan. Selain itu

aktivitas antioksidan pada kulit buah naga lebih besar dibandingkan

aktivitas antioksidan pada daging buahnya, sehingga berpotensi untuk

dikembangkan menjadi sumber antioksidan alami. Kulit buah naga

mengandung vitamin C, vitamin E, vitamin A, alkaloid, terpenoid,

flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, karoten, dan

fitoalbumin (Jaafar, etal., 2009 dalam Putri, 2015).

I.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui proses pembuatan simplisia kulit buah naga

sampai diperoleh ekstrak kental dengan menggunakan metode

yang sesuai.

2. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat

didalam kulit buah naga.

3. Untuk mengetahui fraksinasi ekstrak kulit buah naga

menggunakan metode ekstraksi cair-cair.

4. Untuk menentukan aktifitas farmakologik atau toksisitas dari

suatu ektrak akulit buah naga.

5. Untuk mengetahui proses pemisahan senyawa pada ektrak kulit

buah naga berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga diperoleh


isolat murni.

6. Untuk mengetahui pemurnian suatu zat padat dengan cara

rekristalisasi.

1.3 Prinsip Praktikum

1. Prinsip kerja kromatografi kolom adalah perbedaan daya serap dari

masing – masing komponen, campuran yang diuji, dilarutkan dalam

sedikit pelarut lalu dimasukkan lewat puncak kolom dan dibiarkan

mengalir kedalam zat menyerap.

2. Uji toksisitas dengan metode BrineShrimpLethalityTest (BSLT)

terhadap larva udang (Artemia salina) dengan menggunakan

Ekstrak daun kelor. Dimana setelah 24 jam diamati jumlah larva

udang yang mati.

3. Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan secara kuantitatif

menggunakan metode DPPH ini adalah adanya perubahan

intensitas warna ungu DPPH yang sebanding dengan konsentrasi

larutan DPPH tersebut.

4. Prinsip KLTP dan KLT 2 Dimensi adalah adsorbsi dan partisi serta

kelarutan komponen kimia yang bergerak mengikuti kepolaran

eluennya.

5. Pada prinsipnya kristalisasi terbentuk melalui dua tahap yaitu

nukleasi atau pembentukan inti Kristal dan pertumbuhan Kristal


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum


Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat,
yang belum mengalami pengolahan apapun, dan jika tidak dinyatakan
atau disebutkan lain, simplisia merupakan bahan yang dikeringkan.
Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia
pelikan atau mineral. Pengolahan yang dilakukan tidak baik dan benar,
akan dihasilkan simplisia yang tidak memenuhi persyaratan (Suharmiati,
2013).
Jenis-Jenis Simplisia (Suharmiati, 2013)
1. Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
hewan, atau zat-zat yang berguna, yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
2. Simplisia Pelikan
Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa pelikan atau mineral
yang belum atau telah diolah dengan cara yang sederhana dan belum
atau telah diolah dalam zat kimia murni.
3. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudet tanaman. Eksudet tanaman adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu,
dikeluarkan oleh selnya.
Pembuatan Simplisia (Suharmiati, 2013)
1. Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda, antara lain
tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau
bagian tanaman saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat
tumbuh.
Dalam pembuatan simplisia atau penyiapan perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Bahan Baku Simplisia
Dalam pembuatan simplisia, kualitas bahan baku simplisia
merupakan faktor yang penting perlu diperhatikan. Sumber bahan
baku dapat berupa tumbuhan, hewan maupun mineral. Simplisia
nabati yang ideal dapat ditinjau dari asal tumbuhan tersebut.
Tumbuhan tersebut dapat berasal dari tanaman budidaya maupun
tumbuhan liar.
b. Pemanenan Saat Yang Tepat
Waktu pemanenan yang tepat dapat menghasilkan simplisia yang
mengandung bahan berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia
dalam tumbuhan tidak sama sepanjang waktu. Kandungan kimia
akan mencapai kadar optimum pada waktu tertentu.
2. Sortasi Basah
Kegiatan sortasi perlu dilakukan untuk membuang bahan lain yang
tidak berguna atau berbahaya. Misalnya rumput, kotoran binatang,
bahan-bahan yang buruk, dan bahan-bahan lain yang bisa
mempengaruhi kualitas simplisia. Tahapan ini perlu dilakukan karena
bahan baku simplisia yang dimaksud, bukan dari tanaman lain dalam
kaitannya dengan ini, perlu dilakukan pemisahan dan pembuangan
bahan organik asing atau bagian tumbuhan lain yang terikut.
3. Pencucian
Agar bahan baku bebas dari tanah atau kotoran yang melekat, harus
dilakukan pencucian. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah
dan kotoran lain yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian
dilakukan dengan dengan air bersih, misalnya dari mata air, air sumur
atau air PAM.
Selain menggunakan air bersih, untuk menjaga kualitas bahan
simplisia, waktu pencucian juga harus diperhtikan. Hal ini terutama
pada bahan simplisia yang mengandung zat mudah terlarut dalam air,
sehingga pencucian harus dilakukan dengan cepat dan dalam waktu
yang singkat. . menurut Frizer (1978), dalam Depkes, 1985),
pencucian pada sayuran yang dilakukan satu kali hanya mampu
mengurangi jumlah mikroba yang menempel pada bahan hingga
tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal. Namun demikian,
tindakan pencucian tidak dapat menghilangkan 100% mikroba pada
simplisia karena di dalam air juga terkandung sejumlah mikroba (Eko,
2018)
Dalam melakukan pencucian bahan, terdapat beberapa teknik
pencucian yang dapat diterapkan antara lain:
a. Perendaman bertingkat
Perendaman bertingkat ialah pencucian dengan cara merendam
bahan beberapa kaki pada wadah yang berbeda dan air yang
diganti-ganti. Kelebihan metode perendaman ialah proses
pencucian menjadi lebih cepat dan menghemat air, namun
demikian metode ini juga memiliki kekurangan yaitu zat bermanfaat
yang terkandung dalam bahan simplisia mudah hilang karena
terlarut
b. Penyemprotan
Teknik pencucian penyemprotan dilakukan dengan cara
menyemprotkan air bertekanan tinggi supaya kotoran yang melekat
kuat pada bahan mudah terlepas. Metode ini sangat cocok
diterapkan pada bahan simplisia yang berasal dari bagian tanaman
yang berda dalam tanah seperti akar, umbi dan rimpang.
c. Penyikatan (manual atau otomatis)
Pencucian dengan cara ini dilakukan dengan menyikat bahan
menggunakan sikat yang bersih secara perlahan, teratur, dan
berulang-ulang. Keuntungan cara pencucian dengan metode ini
ialah membuat bahan yang dicuci lebih bersih dibandingkan
dengan metode pencucian lainnya. Namun kekurangannya ialah
resiko kerusakan bahan lebih tinggi

4. Perajangan
Tanaman yang diambil sebaiknya tidak langsung dirajang, tetapi
dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat
dilakukan dengan pisau atau masih perajangan khusus, sehingga
diperoleh lapisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki
atau seragam. Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses
perajangan. Perajangan bahan bahan simplisia dilakukan untuk
mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan
bahan. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin
merajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan atau
ukuran yang dikehendaki. Apabila tebal maka proses pengeringan
akan terlalu lama dan kemungkinan dapat membusuk atau berjamur.
Perajangan yang terlalu tipis akan terlalu lama berakibat rusaknya
kandungan kimia karena oksidasi atau reduksi. Alat perajang atau
pisau yang digunakan sebaiknya bukan dari besi (misalnya stainless
steel atau baja nikaraf).
Ukuran ketebalan rajangan merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi kualitas simplisia yang dihasilkan. Pada prinsipnya
perajangan dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan
sehingga semakin tipis bahan maka semakin cepat pula proses
pengeringan, akan tetapi potongan rajangan bahan yang terlalu tipis
akan menyebabkan sejumlah senyawa aktif dalam bahan akan
berkurang karena menguap, sehingga mengakibatkan perubahan
aroma, rasa dan komposisi senyawa aktif bahan berubah tidak sesuai
standar bahan baku simplisia berkualitas (Eko, 2018)
Namun demikian, untuk menentukan ukuran ketebalan rajangan
harus memperhatikan jenis bahan yang akan dirajang. Sebagai contoh
ketebalan perajangan untuk rimpang temulawak adalah sebesar 7-8
mm, sedangkan untuk jahe, kunyit dan kencur 3-5 mm. selain ukuran,
bentuk irisan juga perlu diperhatikan. Irisan potongan bahan simplisia
dapat berbentung melintang atau membujur, tergantung tujuan
penggunaannya (Eko, 2018)
5. Pengeringan
Pengeringan merupakan proses pengawetan simplisia tahan
lama dalam penyimpanan. Selain itu, pengeringan akan menghindari
terurainya kandungan kimia karena pengaruh enzim. Pengeringan
yang cukup akan mencegah pertumbuhan kapang dan
mikroorganisme.
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik bisa
mencegah penurunan mutu atau kerusakan simplisia.
Tandanya simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila
diremas atau mudah patah menurut persyaratan obat tradisional,
pengeringan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 10%.
Pengeringan jangan dibawah sinar matahari langsung, melainkan
dengan almari pengering yang dilengkapi dengan kipas penyedot
udara sehingga terjadi sirkulasi yang baik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat proses, penngeringan
adalah suhu, kelembapan, udara, waktu pengeringan dan luas
permukaan bahan. Bila terpaksa dilakukan pengeringan dibawah sinar
matahari maka perlu ditutup dengan kain hitam untuk menghindari
terurainya kandungan kimia dan debu.
Berbagai cara pengeringan telah lama dikenal dan digunakan
untuk mengawetkan bahan. Pada dasarnya terdapat dua cara
pengeringan yaitu:
a. Pengeringan alamiah
Cara pengeringan bahan simplisia tergantung pada kandungan
senyawa aktif dalam bahan yang akan dikeringkan. Pengeringan
alamiah merupakan cara pengeringan tanpa menggunakan alat
pengering yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) Dengan panas sinar matahari langsung
Pengeringan ini dilakukan dengan menjemur atau membiarkan
potongan-potongan bahan pada kondisi udara terbuka di bawah
cahaya matahari langsung. Cara seperti ini biasa dilakukan
untuk mengeringkan bahan yang kandungan senyawa aktifnya
tidak mudah menguap dan relatif keras seperti akar, batang,
kulit kayu dan biji
2) Dengan cara diangin-anginkan
Pengeringan dengan cara diangin-anginkan digunakanuntuk
mengeringkan bahan yang mengandung senyawa aktif mudah
menguap dan bertekstur lunak seperti bunga dan daun
b. Pengeringan buatan
Pengeringan buatan merupakan cara pengeringan yang
menggunakan alat pengering dengan sumber panas yang berasal
dari kompor, lampu, mesin disel atau listrik. Prinsip pengeringan
buatan adalah memanaskan udara dengan sumber panas,
kemudian udara panas dialirkan menggunakan kipas ke ruang
berisi bahan telah ditata di atas rak-rak pengering
6. Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir dari
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan benda-
benda asing, seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan
kotoran-kotoran lain yang masih ada dan tinggal. Proses ini dilakukan
sebelum simplisia dibungkus atau dikemas.
7. Pengepakan Dan Penyimpanan
Tujuan pengepakan dan penyimpanan adalah untuk melindungi
agar simplisia tidak rusak atau berubah mutunya karena beberapa
faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar. Bahan pengepak
harus sesuai dengan simplisia yang dipak. Misalnya simplisia yang
mengandung minyak atsiri jangan dipak dalam wadah plastik. Karena
plastik akan menyerap bau bahan tersebut. Bahan pengepak yang
baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia yang diletakkan
dalam karung goni atau karung plastik praktis cara penyimpanannya.
Penyimpanan harus teratur, rapi untuk mencegah resiko
tercemar atau saling mencemari satu sama lain. Serta untuk
memudahkan pengambilan, pemeriksaan dan pemeliharaannya.
Simplisia yang disimpan diberi lebel yang mencantumkan identitas,
kondisi, junlah, mutu dan cara penyimpanannya.
Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus memenuhi
syarat antara lain harus bersih, tertutup, sirkulasi udara baik, tidak
lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak boleh
leluasa masuk ke dalam gudang.
8. Pemeriksaan Mutu
Simplisia harus memenuhi persyaratan umum untuk simplisia
seperti yang disebutkan dalam buku Farmakope indonesia, secara
umum simplisia harus memenuhi persyaratan kadar air yang tepat,
tidak berjamur, dan tidak mengandung lendir. Pemeriksaan mutu
simplisia sebaiknya dilakukan secara pe riodic, selain juga harus
diperhatikan untuk pertama kali dilakukan yaitu pada saat bahan
simplisia dibuat. Mutu simplisia dapat diketahui dengan melakukan
analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi penentuan
kandungan zat dalam simplisia tersebut. Analisis kuantitatif yaitu
meliputi pengujian organoleptik, makroskopik dan mikroskopik
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan
ketika tercapai keseimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut
dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampe dengan penyaringan (Mukhriani, 2014).
Macam-macam ekstraksi:
1. Cara dingin
Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses
ekstraksi total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan
pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar
senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi cara dingin. Walaupun
ada beberapa senyawa yang memiliki keterbatasan kelarutan terhadap
pelarut pada suhu ruangan (Istiqomah, 2013).
Terdapat sejumlah metode ekstraksi yang paling sederhana
adalah ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomasa yang dialasi
menggunakan stirrer), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan
diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang
kepolrannya makin tinggi. Keuntungan cara ini merupakan metode
ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak digunakan sehingga
kemungkinan kecil bahan alam menjadi terurai (Istiqomah, 2013).
Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolara bahan alam
secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam
berdasarkan kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi.
Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin
memungkinkan banyak senyawa terekstraksi meskipun beberapa
senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu kamar (Istiqomah,
2013).
Macam-macam ekstraksi dingin yaitu :
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperature ruangan (kamar). Maserasi
bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan
maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi
pada keseimbangan . maserasi dilakukan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan atau
kamar (Istiqomah, 2013).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana
dasar dari maserasi adalah melarutya bahan kandungan simplisia
dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan,
ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.
Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara
bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk
kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berahkir.
Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan
berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi
bahan ekstrakasi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan
keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunannya
perpindahan bahan aktif . secara teoritis pada suatu maserasi tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolute, semakin besar
perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan
semakin banyak hasil yang diperoleh (Istiqomah, 2013).
Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyarian
kurang sempurna . secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserasi pertama, dan
seterusnya (Istiqomah, 2013).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
dan sempurna yang umumnya dilakukan pada temperature
ruangan (Istiqomah, 2013).
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan penggulangan proses pada residu pertama sampai 3-5
kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(Istiqomah, 2013).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus
sehingga terjadi ekstraksi kontinue dengan jumlah pelarut yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomasa
ditempatkan dalam wadah soklhlet yang dibuat dengan kertas
saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks (Istiqomah,
2013).
c. Digesti
Digeti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperature 40-50oC (Istiqomah, 2013).
d. Infus
Adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature
penenganan air (bejana infuse tercelup dalam penangas air
mendidih, temperature terukur 96-98 o C selama waktu tertentu (15-
20 menit) (Istiqomah, 2013).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih
dari 30o C) dan temperature sampai titik didih air (Istiqomah, 2013).
f. Destilasi uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan
menguap (minyak atsiri) (Istiqomah, 2013).
Cara ekstraksi lainnya(Istiqomah, 2013).
1. Ekstraksi berkesinambungan
Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang
berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun
berturutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan
efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah
besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi

2. Superkritis karbondioksida
Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia dan
umumnya digunakan gas karbondiokida , dengan variabel tekanan
dan temperature akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas
tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa
kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut dengan mudah
dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah
sehingga hamper langsung diperoleh ekstrak
3. Ekstrak ultrasonic
Getaran ultrasonic (≥ 20.000 Hz) memberikan efek pada proses
ekstrak dengan prinsip meningkatkan permeabilitas dinding sel,
menimbulkan gelebung spontan (convation) sebagai stress dinamis
serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil ekstraksi tergantung
pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses
ultrasonifikasi
4. Ekstraksi energy listrik
Energy listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet
serta “Electric Dischargers” yang dapat mempercepat proses dan
meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung
spontan dan menyebarkan gelembung tekanan berkecepatan
ultrasonic
Analisis fitokimia pada tumbuhan sangat berkaitan erat dimana
berhubungan dengan disiplin ilmu kimia organic bahan alam dan biokimia
tanaman. Dalam melakukan fitokimia diperlukan metode identifikasi
kandungan senyawa yang tepat karena setiap tanaman memiliki sifat-sifat
struktur kimia yang berbeda-beda dan dalam jumlah yang banyak. Metode
yang digunakan pada skrining fitokimia seharusnya memenuhi beberapa
criteria berikut, antara lain adalah sederhana, cepat, hanya membutuhkan
peralatan sederhana, khas untuk satu golongan senyawa, memiliki batas
limit deteksi yang cukup lebar (dapat mendeteksi keberadaan
senyawa meski dalam konsentrasi yang cukup kecil). Salah satu hal yang
penting yang berperan dalam prosedur skrining fitokimia adalah pelarut
untuk ekstraki (Roby, 2019).
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-
senyawa metabolit sekunder. suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas
berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas
biologinya. Senyawa-senyawa tersebut diidentifikasi dengan pereaksi-
pereaksi yang mampu memberikan cirri khas dari setiap golongan dari
metabolit sekunder (Wahid, 2017)
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah
larut dalam pelarut polar seperti etanol, methanol, aseton, dan lain-lain.
Flavanoid merupakan golongan besar dari senyawa feno, senyawa
fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri
dan jamur (Wahid, 2017)
2. Alkaloid
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme
yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun
peptidoglian pada sel bakteri, sehingga lapisa dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Wahid, 2017)
3. Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan
mempunyai karakteristik dapat membentuk busa apabila dikocok, serta
mempunyai kemampuan menghemolisis sel darah merah. Saponin
mempunyai toksisitas yang tinggi. Berdasarkan strukturnya saponin
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu saponin yang mempunyai
rangkasteroid dan saponin yang mempunyai rangka terpenoid.
Berdasarkan pada strukturnya saponin akan memberikan reaksi
warna yang karakteristik dengan pereaksi Lieberman-buchard (LB)
(Wahid, 2017)

4. Tanin
Tannin adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul
antara 400-3000 dalton yang diduga berperan sebagai antibakteri,
karena dapat membentuk kompleks dengan protein dan interaksi
hidrofobik (Wahid, 2017)
Partisi adalah keadaan kesetimbangan keberhasilan pemisahan
sangat tergantung pada perbedaan kelarutan senyawa tersebut dalam
kedua pelarut. Secara umum prinsip pemisahannya adalah senyawa
tersebut kurang larut dalam pelarut yang satu dan sangat larut di pelarut
lainnya. Ekstraksi pelarut atau sering disebut juga ekstraksi air merupakan
metode pemisahan atau pengambilan zat terlarut dalam larutan (biasanya
dalam air) dengan menggunakan pelarut lain (biasanya organik)
(Khamidinal, 2009).
Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut didalam 2
macam zat pelarut yang tidal saling bercampur atau dengan kata lain
perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik, dan pelarut
air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat
terlarut dalam air dan adapula senyawa yang dapat larut dalam pelarut
organik. Ekstraksi bahan alam dilakukan dengan cara : ekstrak metanol
terlebih dahulu dipekatkan kemudian ditimbang dan ditimbahkan sedikit air
hingga diperoleh suspensi yang homogen. Kemudian dipindahkan ke
dalam corong pisah dan ditambahkan dietil eter (pelarut organik), setelah
itu corong pisah ditutup, dibalik dan dikran corong dibuka lalu dikocok satu
arah beberapa kali hingga didapatkan massa yang terdistribusi. Setelah
itu kran corong ditutup lalu corong dibalik dan dibiarkan hingga terjadi
pemisahan. Lapisan air dikeluarkan dan lapisan eter ditampung. Lapisan
air dikocok lagi dengan dieti eter kembali biasanya dilakukan 3 kali
ekstraksi (Khamidinal, 2009).
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solute) di
antara dua fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat
berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat
organik maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk
analisis makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analisis kimia,
ekstraksi juga banyak digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan preparatif
dalam bidang kimia organik, biokimia dan anorganik di laboratorium. Alat
yang digunakan dapat berupa corong pemisah (paling sederhana), alat
ekstraksi soxhlet sampai yang paling rumit berupa alat “Counter Current
Craig” (Khamidinal,2009).
Menurut Estien Yazid (2005), berdasarkan bentuk campuran yang
diekstraksi, suatu ekstraksi dibedakan menjadi ekstraksi padat-cair dan
ekstraksi cair-cair
1. Ekstraksi padat-cair; zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran
yang berbentuk padatan. Ekstraksi jenis ini banyak dilakukan di dalam
usaha mengisolasi zat berkhasiat yang terkandung di dalam bahan
alam seperti steroid, hormon, antibiotika dan lipida pada biji-bijian.
2. Ekstraksi cair-cair; zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran
yang berbentuk cair. Ekstraksi cair-cair sering juga disebut ekstraksi
pelarut banyak dilakukan untuk memisahkan zat seperti iod atau
logam-logam tertentu dalam larutan air
Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas
dasar perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang berbeda yang
tidak saling bercampur. Jika analit berada dalam pelarut anorganik, maka
pelarut yang digunakan adalah pelarut organik, dan sebaliknya (Almin,
2007).
Pada metode ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan
cara bertahap (batch) atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana
dan banyak dilakukan adalah ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan
menambahkan pelarut pengekstrak yang tidak bercampur dengan pelarut
pertama melalui corong pemisah, kemudian dilakukan pengocokan
sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada kedua pelarut.
Setelah didiamkan beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan lapisan
yang berada di bawah dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan
untuk dilakukan analisis selanjutnya (Raina, 20011).
Cara ini digunakan jika harga D cukup besar (˃ 1000). Bila hal ini
terjadi, maka satu kali ekstraksi sudah cukup untuk memperoleh solut
secara kuantitatif. Namun demikian, ekstraksi akan semakin efektif jika
dilakukan berulangkali menggunakan pelarut dengan volume sedikit demi
sedikit (Underwood, 2001).
Ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu
pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan
pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin. Pada saat
pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan
pelarut yang pertarna (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut
kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan
pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar
terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi
yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas
mungkin di antara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan
distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas
pengaduk) (Zenta, 2006).
Tentu saja pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh karena akan
menyebabkan terbentuknya emulsi  yang tidak dapat lagi atau sukar
sekali dipisah. Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar.
Yang penting perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada
bidang batas tetap ada. Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan
sedapat mungkin segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat
pemisahan, cairan yang telah terdistribusi menjadi tetes-tetes hanis
menyatu kembali menjadi sebuah fasa homogen dan berdasarkan
perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat dipisahkan dari cairan yang
lain (Yazid, 2005).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan campuran
senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya.
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan
sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. Kromatografi lapis
tipis dapat digunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa yang bersifat
hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dijelaskan
dengan kromatografi kertas (Kurniawan, 2004).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara cepat dan mudah untuk
dapat melihat kemurnian suatu sampel maupun karakterisasi sampel
dengan menggunakan standar. Cara ini praktis untuk analisis data skala
kecil karena hanya memerlukan bahan yang sangat sedikit dan waktu
yang dibutuhkan singkat, kemurnian suatu senyawa bias dilihat dari
jumlah bercak yang terjadi. Pada plat kromatografi lapis tipis atau pun
jumlah puncak kromatogram kromatografi lapis tipis. Uji kualitatif pada
kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan membandingkan waktu
retensi kromatogram sampel dengan kromatogram senyawa standar
(Handayani, et al, 2005).
Fase yang digunakan pada KLT (kromatografi lapis tipis ) yaitu:
1. Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap
berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-3 µm. semakin
kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja kromatgrafi lapis tipis
dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering
digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara mekanisme
absorbsi yang utama pada kromatografi lapis tipis adalah adsorbsi dan
partisi (Ibnu, 2007).
2. Fase gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, lebih sering
dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar .
sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organic
karena daya eusi campuran kedua zat ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal
(Ibnu, 2007).
Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan
mengoptimasi fase gerak:
a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena
KLT merupakan teknik yang sensitive
b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga
Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan
c. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti
silica gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi
solute yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut
yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non
polar seperti metal benzene akan meningkatkan harga Rf secara
signifikan
d. Solute-solut ionic dan solute-solut polar lebih baik digunakan
campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan
methanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit
asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan
solute-solut yang bersifat basa dan asam
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan
alikuot kecil sampel pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT),
untuk membentuk zona awal. Kemudian sampel dikeringkan. Ujung fase
diam yang terdapat zona awal dicelupkan ke dalam fase gerak (pelarut
tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di dalam
chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran
komponen-komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda
selama pergerakan fase gerak melalui fase diam. Hal ini disebut dengan
pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak telah bergerak sampai
jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak dalam
lempeng dikeringkan dan zona yang dihasilkan dideteksi secara langsung
(visual) atau di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa
penambahan pereaksi penampak noda yang cocok (Letsyo, 2011).
Pengambilan sampel, pengawetan, dan pemurnian sampel adalah
masalah umum untuk KLT dan metode kromatografi lainnya. Sebagai
contoh, pengembangan KLT biasanya tidak sepenuhnya melarutkan
kembali analit yang berada dalam lempeng kecuali dilakukan pemurnian
sebelumnya (clean up). Metode clean up paling sering dilakukan pada
ekstraksi selektif dan kromatografi kolom. Dalam beberapa kasus
zat/senyawa perlu dikonversi dahulu sebelum dianalisis dengan KLT. Hal
ini dilakukan untuk mendapatkan turunan senyawa yang lebih cocok untuk
proses pemisahan, deteksi, dan / atau kuantifikasi. KLT dapat mengatasi
sampel yang terkontaminasi, seluruh kromatogram dapat dievaluasi,
mempersingkat proses perlakuan sampel sehingga hemat waktu dan
biaya. Kehadiran pengotor atau partikel yang terjerap dalam sorben fase
diam tidak menjadi masalah, karena lempeng hanya digunakan sekali
(habis pakai) (Letsyo, 2011).
Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami
dapat berwarna atau berberfluoresensi atau menyerap sinar UV. Namun,
perlakuan penambahan pereaksi penampak noda dengan penyemprotan
atau pencelupan terkadang diperlukan untuk menghasilkan turunan
senyawa yang berwarna atau berfluoresensi. Pada umumnya senyawa
aromatik terkonjugasi dan beberapa senyawa tak jenuh dapat menyerap
sinar UV. Senyawa-senyawa ini dapat dianalisis dengan KLT dengan fase
diam yang diimpregnasi indikator fluoresensi dan deteksi dapat dilakukan
hanya dengan pemeriksaan di bawah sinar UV 254 nm (Letsyo, 2011).
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada
perbandingan nilai Rf dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak
sama dari laboratorium ke laboratorium bahkan pada waktu analisis yang
berbeda dalam laboratorium yang sama, sehingga perlu dipertimbangkan
penggunaan Rf relatif yaitu nilai Rf noda senyawa dibandingan noda
senyawa lain dalam lempeng yang sama. Faktor-faktor yang
menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi dimensi dan jenis ruang, sifat
dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase
gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan
sampel KLT sebelumnya. Konfirmasi identifikasi dapat diperoleh dengan
mengerok noda dalam lempeng kemudian analit dalam lempeng dielusi
dan dideteksi dengan spektrometri inframerah (IR), spektrometri Nuclear
magnetic resonance (NMR), spektrometri massa, atau metode
spektrometri lain jika senyawa hasil elusi cukup tersedia. Metode
identifikasi ini juga dapat menggunakan untuk menandai zona langsung
pada lapisan (in situ).
II.2 Uraian Tanaman
Klasifikasi Kulit Naga (Uya, 2012)

Kingdom : Plantae
Filum : Spermatophyta
Sub Filum : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Cactales
Family : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus undatus
Buah naga adalah buah dari beberapa jenis kaktusdari genus
Hylocereus dan Selenicereus. Buah ini berasal dari Mesiko, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan sekarang juga dibudidayakan di negara-
negara Asia seperti Taiwan, Vietnam, Malaysia dan Filifina. Buah ini juga
dapat ditemui di Okinawa, Israel, Australia utara dan Tiongkok selatan.
Hylocereus hanya mekar pada malam hari (Uya, 2012)
Morfologi tanaman buah naga terdiri dariakar,batang,duri,bunga,
danbuah. Akar buah naga hanyalahakar serabutyang berkembang
dalamtanah pada batang atas sebagai akar gantung. Akar tumbuh di
sepanjang batang pada bagian punggung sirip di sudut batang. Pada
bagian duri, akan tumbuh bunga yang bentuknya mirip
bungawijayakusuma. Bunga yang tidak rontok berkembang menjadi buah.
Buah naga bentuknya bulat agak lonjong seukuran dengan buahalpukat.
Kulit buahnya berwarna merah menyala untuk jenis buah naga putihdan
merah, berwarna merah gelap untuk buah naga hitam, dan berwarna
kuning untuk buah naga kuning. Di sekujur kulit dipenuhi dengan jumbai-
jumbai yang dianalogikan dengan sisiknaga. Oleh sebab itu, buah ini
disebut buah naga (Uya, 2012).
Buah naga terbukti kaya antioksidan dalam penelitian oleh Jamila,
at al. (2011), buah naga berdaging merah mengandung total fenolat 1,076
mol gallic acid equivalents (GAE)/g purre. Antioksidan mencapai 7,59 mol
trolox equivalents (TE)/g purre, sedangkan yang berdaging putih
mengandung total fenolat 523 mol gallic acid equivalents (GAE)/g
purredan antioksidan mencapai 2,96 mol trolox equivalents (TE)/g purre.

II.3 Kromatografi Kolom

II.3.1 Definisi Kromatografi Kolom

Istilah kromatografi berasal dari kata latin chroma berarti warna dan

graphien berarti menulis. Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh

Michael Tsweet (1903) seorang ahli botani dari rusia. Michael Tsweet

dalam percobaannya ia berhasil memisahkan klorofil dan pigmen-pigmen

warna lain dalam ekstraksi tumbuhan dengan menggunakan serbuk

kalsium karbonat yang diisikan ke dalam kolom kaca dan petreoleum eter

sebagai pelarut. Proses pemisahan itu diawali dengan menempatkan

larutan cuplikan pada permukaan atas kalsium karbonat, kemudian

dialirkan pelarut petroleum eter. Hasil berupa pita-pita berwarna yang

terlihat sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan komponen-komponen


dalam ekstraksi tumbuhan (Alimin, 2007).

Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom

sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran.

Alat tersebut berupa pita gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian

bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair (Yazid, 2005).

Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi

komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap

permukaan fase diam. Kromatografi kolom adsorpsi termasuk pada cara

pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben) bertindak sebagai fase

diam yang sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase geraknya adalah

cairan (pelarut) yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang

kolom. Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada

bidang antarmuka di antara butiran-butiranadsorben dan fase bergerak

serta kelarutan relatif komponen pada fase geraknya. Antara molekul-

molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada

permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya

secara bergantian bertahan beberapa saat dipermukaan adsorben dan

masuk kembali pada fase gerak. Pada saat teradsorpsi, komponen

dipaksa untuk berpindah oleh aliran fase gerak yang ditambahkan secara

kontinu. Akibatnya hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar

terhadap adsorben yang akan secara selektif bertahan. Komponen

dengan afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti pelarut

(Yazid, 2005).
II.3.2 Teknik Pemisahan Kromatografi Kolom Dalam Memisahkan

Campuran

Kolom yang telah dipilih sesuai ukuran diisi dengan bahan penyerap

(adsorben) seperti alumina dalam keadaan kering atau dibuat seperti

bubur dengan pelarut. Pengisian dilakukan dengan bantuan batang

pengaduk untuk memampatkan adsorben dengan gelas wool pada dasar

kolom. Pengisian harus dilakukan secara hati-hati dan sepadat mungkin

agar rata sehingga terhindar dari gelembung-gelembung udara. Untuk

membantu homogenitas pengepakan, biasanya kolom setelah diisi

divibrasi, diketok-ketok atau dijatuhkan lemah pada pelat kayu. Sejumlah

cuplikan dilarutkan dalam sedikit pelarut, dituangkan melalui sebelah atas

kolom dan dibiarkan meeengalir ke dalam adsorben. Komponene-

komponen dalam campuran aiadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh

bahan penyerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom, dengan

penambahan pelarur (eluen) secara terus-menerus, masin-masing

komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas

kolom akan terjadi kesetimbangan baru anatara bahan penyerap,

komponen campuran, dan eluen. kesetimbangan dikatakan tetap bila

suatu komponen yang satu dengan yang lainnya bergerak ke bagian

bawah kolom dengan waktu atau kecepatan berbeda-beda sehingga

terjadi pemisahan (Yazid, 2005).

Teknik pemisahan kromatografi kolom terbagi atas beberapa teknik

diantaranya yaitu:
1. Kolom konvensional

Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang di

dasarkan pada pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu

senyawa, baik pengotornya maupun hasil isolasinya. Sebelumnya

dilakukan percobaan terhadap kromatografi lapis tipis sebagai pencari

kondisi eluen. Misalnya apsolsi yang cocok dengan pelarut yang baik

sehingga antara pengotor dan hasil isolasinya terpisah secara sempurna

(Sastrohamidjojo, 1985).

Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik

bumi (gravitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca

yang dilengkapi dengan kran. Ukuran keseluruhan kolom beragam, tetapi

biasanya panjangnya sekurang-kurangnya 10 kali garis tengah dalamnya

dan mungkin juga sampai 100 kalinya. Ukuran kolom dan banyaknya

penyerap ditentukan oleh bobot campuran yang akan dipisahkan. Sifat,

derajat, atau tingkat keaktifan penjerap, dan ukuran partikelnya betul-betul

penting dalam pengembangan sistem kromatografi. Ukuran penjerap

biasanya lebih besar daripada KLT. Kemasan kolom biasanya 61-250

mikro meter untuk kolom yang dijalankan oleh gara gravitasi

(Sastrohamidjojo, 1985).

Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang

masih banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk

memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah yang banyak berdasarkan

adsorpsi dan partisis. Kemasan adsorben yang sering digunakan adalah


silika gel G-60, kieselgur, Al 2O3. Cara pembuatannya ada dua macam

(Sastrohamidjojo, 1985).

a. Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah

diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi

b. Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan

cairan pengelusi yang akan digunakan kemudian dimasukkan ke

dalam kolom melalui dinding kolom secara kontiyu sedikit demi sedikit

hingga masuksemua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan

hingga silika gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan

mengalir sampai batas adsorben kemudian kran ditutup dan sampel

dimasukkan yang terlebih dahulu dilarutkan dalam eluen sampai

diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan

dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit

hingga masuk semua, dan kran dibuka dan diatur tetesnnya, serta

cairan pengelusi ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung

sebagai fraksi-fraksi.

Kolom dapat dibuat dari berbagai jenis material, seperti stainless

steel, aluminium, tembaga, gelas dan paduan silika. Sebagian besar

sistem kolom modern terbuat dari gelas atau paduan silika. Kolom

konvensional dibuat dari material pendukung yang dilapisis fase diam dari

berbagai pembebanan yang dikemas di dalam kolom.

Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan

daya serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji,


dilarutkan dalam sedikit pelarut lalu di masukkan lewat puncak kolom dan

lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih lambat dari

senyawa non polar terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat yang

diserap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa pita

sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut atau dengan tanpa tekanan udara

masing-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus

sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Sastrohamidjojo, 1985).

2. Kolom cair vakum

Kromatografi Suction Column atau vacum liquid chromatography

(VLC) atau kromatografi cair vakum adalah bentuk kromatografi kolom

khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu

ekstrak. Kondisi vakum adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase

gerak dari atas ke bawah. Metode ini sering digunakan untuk fraksinasi

awal dari suatu ekstrak non polar atau ekstrak semipolar

(Sastrohamidjojo, 1985).

Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode

fraksinasi yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya

yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang

berisis fase diam dan aliran fase geraknya dibantu dengan pompa vakum.

Fase diam yang digunakan dapat berupa silika gel atau aluminium oksida.

Kromatografi vakum cair dilakukan untuk memisahkan golongan senyawa

metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel sebagai

absorbansi dan berbagai pembanding pelarut n-heksana : etil asetat :


metanol (eluesi gradien) dan menggunakan pompa vakum untuk

memudahkan penarikan eluen (Raymond, 2006).

Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi

dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 µm) dalam

keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum

dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan

penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dipisah sampai kering dan sekarang

siap dipakai (Hendayana, 1994).

II.4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)

Istilah Kromatografi mula-mula dikemukanan oleh Micheal Tswett

(1908), seorang ahli botani Rusia. Nama kromatografi diambil dari bahasa

Yunani (chromate = penulis dan grafe = warna). Kromatografi berarti

penulis denga warna. Kormatografi adalah cara pemisahan campuran

yang didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen campuran

tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam (stationary) dan fase bergerak

(mobile). Fase diam dapat berupa zat padat atau zat cair, sedangkan fase

bergerak dapat berupa zat cair atau gas (Rohman, 2009).

Kromatografi adalah proses melewatkan sampel memalui suatu

kolom, perbedaan kamampuan adsorpsi terhadap zat-zat yang sangat

mirip mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang

disebut kromatografi (Khoprak, 2008).

Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-


komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan diantara dua

fase, fase gerak yang membawa cuplikan dan fase diam yang menambah

cuplikan secara selektif. Bila fase gerak berupa gas, disebut kromatografi

gas, dan sebaliknya atau fase gerak berupa zat cair, disebut kormatografi

cair (Hendayana, 1994).

Pada kromatografi lapis tipis preparatif, cuplikan yang akan

dipisahkan ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi pelat lapisan besar

dan dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga

campuran akan terpisah menjadi beberapa pita. Pita ditampakkan dengan

cara yang tidak merusak jika senyawa itu tanwarna, dan penyerap

yangmengandung senyawa pita dikorek dan pelat kaca. Cara ini berguna

untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murni

untuk telaah pendahuluan, untuk menyiapkan cuplikan analisis, untuk

meneliti bahan alam yang lazimnya berjumlah kecil dan campurannya

rumit dan untuk memperoleh cuplikan yang murni untuk mengkalibrasi

kormatografi lapis tipis kualitatif (Gritter, dkk., 1991).

Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dam bejana kaca

yang dapat menampung bebrapa plat. Keefisienan pemisahan dapat

ditingkatkan dengan cara pengembangan berulang. Harus diperhatikan

bahwa semakin lama senyawa berkontak dengan menyerap maka

semakin besar kemungkinan penguraian. Pendekatan hasil bercak hasil

pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk senyawa tak

berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan


dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau

berfluorosensi jika desinari dengan sianr ultraviolet gelombang pendek

(254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan senyawa dapat

dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat

bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanas, kemudian bila

perlu dengan pemanas (Gritter,dkk., 1991).

Pada koromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang

terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga

datar yang biasanya terbuat dari kaca dapat pula terbuat dari plat polimer

atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan

pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati) penjerap yang umum

dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silica gel, alumina, kieselgur,

dan selulosa (Gritter,dkk., 1991).

Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan

homogenitasnya, karena adhesi pada penyokong sangat tergantung pada

kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang bisa digunakan adalah 1-25

mokron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan

hasil yang memuaskan dan salah satu untuk cara untuk memperbaiki hasil

pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butiranya lebih

halus. Butirannya yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat

dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).

Fase gerak ialah medium angkut yang terdir atas satu atau beberapa
pelarut. Jika diperlukan system pelarut multi komponen, harus berupa

suatu campuran sesederhan mungkin yang terdiri atas maksimum tiga

komponen (Stahl, 1985).

Dalam persiapan senyawa organik selalu menggunakan pelarut

campur. Tujuan penggunaan pelarut campur ialah untuk memperoleh

pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan

atas polaritas masing-masing pelarut, sehinga dengan demikian akan

diperoleh system pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang

digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksana,

karbontetraklorida,benzene, kloroform, eter,etilasetat, piridiam, aseton,

etanol, metanol dan air (Gritter, dkk., 1991).

II.5 Uji Bioktivitas

II.5.1 Uji Antioksidan

Radikal bebas merupakan atom molekul yang memiliki karakteristik

tinggi, hal ini dikarenakan adanya elektron yang berpasangan. Sumber

radikal bebas dapat berasal dari sisa hasil metabolism tubuh dan dari luar

tubuh seperti makanan, sinar UV, dan asap rokok. Jumlah radikal bebas

yang terus meniningkat dalam tubuh dapat meningkatkan terjadinya stres

oksidasi sel. Hal ini terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah

radikal bebas dengan antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh. Jika hal ini

terus menerus terjadi maka dapat memicu munculnya penyakit

degenerative seperti kangker, diabetes, peradangan dan kardiovaskuler.


Oleh karena itu, diperlukan antioksidan yang berasal dari luar tubuh. Anti

oksidan merupakn senyawa yang dapat memperlambat proses oksidasi

dari radikal bebas (Andayani, 2008).

Zat-zat yang memiliki sifat antioksidan adalah senyawa polifenol,

indol, monoterpen, katekin, flavonoid, dan karotenoid. Senyawa polifenol

mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkapan

radika (radical seavenging) dengan cara menyumbangkan satu elektron

pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga

banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Langseth, 1995).

II.5.2 Uji Toksisitas

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai efek toksik dari

suatu senyawa kimia (obat). Produk atau sediaan obat harus memenuhi

syarat khasiat (eficacy), bermutu (quality) dan aman (safety) untuk

membuktikan khasiat maka dilakukan pengujian farmakologi, untuk mutu

maka dilakukan pengujian karakteristik produk yang seharusnya

diproduksi sesuai CPOB; CGMP.

Toksisitas merupakan kemampuan suatu bahan makanan atau zat

kimia dalam memberikan efek toksik (racun) pada jangka waktu tertentu

dikarenakan adanya interaksi kimia di dalam tubuh secara fisiologis.

Adapun sumber zat toksis dapat berasal dari bahan alam maupun sintetik.

Uji toksisitas pada dasarnya bertujuan untuk menekan risiko bahaya yang

ditimbulkan bagi manusia, sehingga umumnya uji toksisitas dilakukan


pada binatang, hewan bersel tunggal, atau sel kultur. Kematian dari

hewan percobaan dianggap sebagai respon dari pengaruh senyawa yang

diuji, sehingga hubungan dari respon dengan menggunakan kematian

sebagai jawaban toksik adalah titik awal untuk mempelajari toksisitas

(Andayani, 2008).

1. Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi

gejala ketoksikan yang mungkin muncul pada manusia dalam waktu

singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal

atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam kemudian diamati

selama 14 hari. Prinsip uji toksisitas akut secara oral yaitu sediaan uji

pada beberapa tingkatan dosis tertentu diberikan kepada beberapa

kelompok hewan uji dengan satu dosis perkelompok dan selanjutnya

dilakukan pengamatan gejala ketoksikan atau adanya kematian.

Kemudian, hasil uji toksisitas menggunakan hewan uji hanya dapat

dijadikan sebagai petunjuk adanya toksisitas relatif bila terjadi pemaparan

pada manusia. (BPOM RI, 2014).

Tujuan dari pengujian ini yaitu untuk mendeteksi adanya toksisitas

intrinsik suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan spesies,

memperoleh informasi efek toksik setelah pemaparan zat, memperoleh

informasi awal untuk penetapan tingkat dosis, menentukan uji toksisitas

selanjutnya, serta memperoleh nilai LD50 suatu bahan (BPOM RI, 2014).
2. Uji Toksisitas Sub akut

Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ

sasaran tempat kerja dari obat tersebut, pengujian selama 1-3 bulan,

menggunakan 2 spesies uji menggunakan 3 dosis yang berbeda (Sayuti,

2015).

3. Obat Uji Toksisitas Kronik

Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan sub akut, tapi

pengujian ini dilakukan selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan

non-rodent (bukan hewan pengerat). Uji ini dilakukan apabila obat itu

nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu yang cukup

panjang (Sayuti, 2015).

4. Uji Efek Pada Organ Reproduksi

Pengujian ini dilakukan untuk melihat perilaku yang berhubungan

dengan reproduksi (perilaku kawin), perkembangan janin, kelainan pada

janin, pros kalahiran, dan perkembangan janin setelah dilahirkan (Wijaya,

2015).

5. Uji Karsinogenik

Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan

obat jika dikonsumsi dalam jangka panjang apakah dapat menimbulkan

kanker, dilakukan pada 2 spesies hewan uji selama 2 tahun, pengujian ini

dilakukan apabila nnati obat ini diproyeksikan digunakan pasien dalam


jangka yang panjang (Wijaya, 2015).

6. Uji Mutagenik

Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah efek obat dapat

menyebabkan perubahan atau mutasi pada genpada pasien (Wijaya,

2015).

Metode yang sering digunakan pada analisis toksisitas yaitu Brine

Shrimp Lethality Test (BSLT). Uji ini menggambarkan tingkat ketoksikan

ekstrak terhadap larva Artemia salina. Hasil uji ini dapat dimanfaatkan

untuk mengidentifikasi bioaktivitas tanaman yang lebih luas. Metode ini

dapat dilakukan dengan cepat, mudah, murah, dan cukup reproducible

sehingga dapat digunakan dengan cepat, mudah, murah, dan cukup

reproducible sehingga dapat digunakan sebagai Biassay Guided Isolation

yaitu isolasi komponen kimia berdasarkan aktivitas yang ditunjukkan oleh

bioassay tersebut (Zuraida, 2018).

II.6 Pemurnian

Pemisahan dan pemurnian merupakan suatu cara yang dilakukan

untuk memisahkan atau memurnikan suatu senyawa atau sekelompok

senyawa yang mempunyai susunan kimia yang berkaitan dengan suatu

bahan, baik dalam skala laboratorium maupun skala industri. Pada

prinsipnya, pemisahan dilakukan untuk memisahkan dua zat atau lebih

yang saling bercampur, sedangkan, pemurnian dilakukan untuk

mendapatkan zat murni dari suatu zat (Handayani, 2014).


Pemisahan dan pemurnian campuran memiliki manfaat yang penting

dalam ilmu kimia, industri maupun dalam kehidupan sehari-hari, dalam

banyak kasus kita dapat menggunakan materi tanpa pemurnian, baik

material itu dari alam (misalnya minyak tanah) atau yang disintesis di

laboratorium. Pemisahan atau pemurnian dengan metode yang tertentu

perlu dilakukan (Handayani, 2014).

Dalam melakukan pemisahan dan pemurnian diperlukan

pengetahuan dan keterampilan, terutama jika harus memisahkan

komponen dengan kadar yang sangat kecil. Untuk tujuan itu, dalam ilmu

kimia telah dikembangkan berbagai cara pemisahan dari pemisahan

sederhana yang sering dilakukan sehari-hari sampai metode pemisahan

dan pemurnian yang komplek. Zat atau materi dapat dipisah dari

campurannya karena campuran tersebut memiliki perbedaan sifat, itulah

yang mendasari pemisahan campuran atau dasar pemisahan (Satari,

1999).

Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan campuran yang

didasarkan atas perbedaan distribusi diantara 2 fase yaitu fase gerak

(mobile) dan fase diam (stationary). Metode kromatografi banyak

digunakan dibandingkan metode lain seperti destilasi, kristalisasi,

pengendapan, ekstrak, dan mempunyai keuntungan dalam pelaksanaan

yang lebih sederhana, penggunaan waktunya singkat dan terutama

mempunyai kepekaan yang tinggi serta kemampuan untuk memisahkan

yang tinggi. Teknik pemurnian dan pemisahan terdiri dari dari beberapa
macam diantaranya yaitu:

1. Pemurnian dua dimensi

Pemurnian 2 arah atau 2 dimensi bertujuan untuk meningkatkan

resolusi sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai

karakteristik kimia hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama

sebagai mana dalam asam asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak

yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan sehingga

memungkinkan untuk melakukan pemmnisahan analit yang mempunyai

tingkat polaritas yang berbeda (Ibnu, 2008).

Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu

sistem fase gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar

dengan satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90 0, dan

diletakkan dalam bejana kromatografi yang berisis fase gerak kedua,

sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terletak

dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu dikromatografi lagi (Ibnu, 2008).

Zat identifikasi oleh 2D-TLC juga sering dilakukan dalam

penyelidikan phytopharmaceuticals yang biasanya memiliki komposisi

yang komplek. Dari sudut pandang logis, 2D-KLT menggunakn pelarut

yang sama dalam dua arah harus sistem yang terbaik. Namun, ini tidak

biasanya menyebabkan informasi tambahan, karena semua zat akan

berbaring pada diagona. Metode 2D-KLT hanya menjadi menarik jika

reaksi telah terjadi antara dua eluen, dan penyimpanan dari garis diagonal
dapat diamati setelah eluen kedua (Hahn, 2007).

Dalam hal untuk mendapatkan resolusi yang baik, penting untuk

memilih dua campuran pelarut yang berbeda, meskipun dengan kekuatan

pelarut yang sama ini cukup sulit tetati penting (Wall, 2005).

Secara singkat pengerjaan KLT dua dimensi ialah sebagai berikut:

sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem

fase gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur sejajar dengan

salah satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90 0, dan

diletakkan dalam bejana kromatografi yang berisis fase gerak kedua,

sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terletak

dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu dikromatografi lagi (Rohman,

2009). Keberhasilan pemisahan akan tergantung pada kemampuan untuk

modifikasikasi selektivitas eluen kedua dibandingkan dengan selektivitas

eluen pertama (Satari, 1999).

Pemisahan 2-D yang terbaik TLC adalah ketika semua komponen

dipisahkan dan didistribusikan pada seluruh permukaan dari pelat

kromatografi. Estemasi pemiahan ini dapat dibuat dengan sebuah fungsi

objektif. Umumnya, kesepakatan yang baik antara evaluasi visual dari

kromatogram dan evaluasi kompoter menggunakan merupan fungsi

objektif adalah melihat. Di sisi lain, fungsi yang diperlukan yang dapat

memprediksi nilai Rf dari satu komponen fungsi komposisi dari fase gerak.

Ada program untuk simulasi kromatogram yang sebanding dengan yang


diperoleh dengan percobaan kromatogram (Satari, 1999).

2. Multi eluen

Multi eluen adalah penggunaan eluen atau fasegerak yang berbeda

yang memungkinkan pemisahan analit dengan berdasarkan tingkat

polaritas yang berbeda (Ibnu, 2008).

Dalam multi eluen, setelah pengembang tunggal menaik,

kromatogram diangkat dari chamber dan dikeringkan, biasanya selama 5-

10 menit. Kromatogram tersebut kemudian di eluasi lagi dalam eluen

segar dari pelarut yang sama dalam arah yang sama untuk jarak yang

sama. Proses ini, yang dapat di ulang berkali-kali, meningkatkan

resolusikomponen dengan nilai RF bawah 0,5. Beberapa pengembang

dilakukan dengan pelarut yang berbeda dalam arah yang sama, masing-

masing yang menjalankan jarak yang sama atau yang berbeda, disebut

elusi bertahap. Sebuah fase kurang polar dapat digunakan pertama, diikuti

oleh fase yang lebih polar, atau sebaliknya. Pemindahan material nonpolar

kebagian atau lapisan, meninggalkan zat terlalut polar terganggu dari

mana dia berasal. Setelah kering, zat terlarut polar dipisahkan oleh

pengembang dengan eluen (Fried, 1999).

3. Kristralisasi

Merupakan suatu metode untuk pemurniat zat dengan pelarut dan

dilanjutkan dengan pengendapan. Dalam kristalisasi senyawa organik

dipengaruhi oleh pelarut. Pelarut kristalisasi merupakan pelarut dibawa


oleh yat terlarut yang membentuk padatan dan tergantung dalam struktur

kristal-kristal zat terlarut tersebut. (Ibnu, 2008)

II.7 Karakterisasi

Spektroskopi merupakan suatu metode untuk penentuan rumus

struktur sari suatu senyawa. Menurut Anwar (1994) bahwa spktroskopi bila

dibandingkan dengan metode kimia konvensional (metode basah),

spektroskopi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:

1. Jumlah zat yang diperlukan untuk meanalisirelatif kecil dan zat

tersebut sering kali dapat diperoleh kembali

2. Waktu pengerjaan relative cepat

Dasar metode spektroskopi adalah molekul pada suatu energi level

tertentu, misalnya E1, disinari dengan sinar tertentu. Sinar ini akan

melewati molekul itu dan seterusnya melewati suatu detektron. Selama

mulekul itu tidak menyerap sinar itu maka sinar yang terdeteksi akan

sama intensitasnya dengan sianar yang berasal dari sumber. Pada

frekuensi yang memungkinkan terjadinya pemindahan energi level

mulekul misalnya dari E1 ke E2, maka sinar akan diserap oleh frekuensi

yang menungkinkan terjadinya pemindahan energy level mulekul misalnya

dari E1 ke E2, maka sinar akan diserap oleh mulekul dan tidak akan

tampak dalam detector (Rohmah, 2009).

Spektrofotometri UV adalah suatu alat yang menggambarkan antara

panjang gelombang atau frekuensi lawan intensitas serapan (absorbansi).


Spektrosfotomrtri UV ini menghasilkan radiasi (cahaya) dengan panjang

gelombang 200-400 nm (Anwar, 1994). Pada umumnya spektrofotometri

UV umumnya hanya menunjukkana jumlah feak (funcak) yang kecil

jumlahnya. Puncak-puncak dilaporkan sebagai panjang gelombang.

Spektrofotometri biasanya juga digunakan untuk mendeteksi

konjugasi. Molekul-molekul yang tidak mempunyai ikatan atau hanya

mempunyai satu ikatan idak menyerap sinar 200-800 nm. Lain halnya

dengan senyawa-senyawa yang mempunyai sistem konyugasi yang dapat

menyerap sinar pada daerah ini, semakin panjang sistem konyugasinya

maka makin panjang gelombang absorpsi (Rohman, 2009).

Untuk menganalisis struktur dari senyawa-senyawa dari metabolit

sekunder seperti senyawa flavonoid, spektroskopi UV merupakan cara

yang terbaik untuk mengkarakterisasi jenis-jenis senyawa flavonoid dan

menentukan pola oksigenasi. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas

yang terdapat pada inti flavonoid dapat ditentukan juga dengan

menambahkan pereaksi.

Penampakan noda pada sinar UV dapat diamati dengan

menggunakan UV 254 nm, UV 366 nm dan reaksi semprot H 2SO4 10%.

1. Pada UV 254 nm

Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel

akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm

adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator


fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emesi cahaya yang

dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari

tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali

ke keadaan semula sambil melepaskan energy (Gritter,dkk., 1991).

2. Pada UV 366 nm

Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan

berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah

karena adanya daya interaksi sinar UV dengan gugus kromofor yang

terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya

yang tampak merupakan emesi cahaya yang dipancarkan oleh komponen

tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke

tingkat energy yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula

sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV

366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi

pada sinar UV 366 nm (Gritter,dkk., 1991).

3. Pereaksi Semprot H2SO4 10%

Perinsip penampakan noda pereaksi semprot H 2SO4 10% adalah

berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam

merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang

gelombangnya akan bergeser kearah yang lebih panjang (UV menjadi

VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata (Gritter,dkk., 1991).


BAB III

METODE KERJA

III.1. Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2020 di

Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar.

III.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah beaker glass,

erlenmeyer, oven, timbangan elektrik, sendok tanduk, batang pengaduk,

cawan porselen, rotary evaporator, chamber, kaca arloji, pipet tetes,

tabung reaksi, alat kromatografi kolom, botol penyemprot penampak

bercak, corong pisah, eksikator, lampu UV 254 nm dan lampu UV366 nm

(philips), neraca analitik (sartorius), pipa kapiler, sentrifuge (centurion).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah naga

merah (Hylocereus polyrhizus) etanol 70%, aquadest, aluminium foil, HCl

2N, dichloromethane, DPPH, kuersetin,pereaksi dragendrof, pereaksi

mayer, NaOH 10%, aseton, asam borat P, eter, larutan besi (III) klorida

10%, pereaksi liberman buchard, etil asetat, kloroform, methanol, n-

heksan, butanol, asam asetat glasial, H2SO4 10%, plat KLT, silika gel.

III.3 Cara Kerja

III.3.1 Kromatografi kolom

Kolom kromatografi dibersihkan dengan metanol kemudian bagian

bawah kolom disumbat dengan kapas agar silika gel tidak mencemari

tampungan kapas agar silika gel tidak mencemari gel G 60 (0,2-0,5 mm),

kemudian dimasukkan kedalam kolom dan dimampatkan dengan

menggunakan perbandingan eluen pertama.

Fraksi n-heksan kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)

ditimbang sebanyak 1 g. Kemudian diletakkan diatas permukaan

adsorben yang sebelumnya telah dimasukkan dalam kolom, dibawah

ekstrak tersebut diletakkan kertas saring. Kemudian fase gerak


menggunakan eluen yang berbeda yaitu dichloromethane : metanol

dengan perbandingan 100:0 dalam 100 ml, 95:5 dalam 200 ml, 90:10

dalam 200 ml dan 85:15 dalam 300 ml.

III.3.2 UJI TOKSISITAS MENGGUNAKAN METODE BLST (Brine

Shrimp Lethality Test)

Uji toksisitas dengan metode BSLT dimulai dengan penetassan

telur Artemia francisana direndam kedalam aquadest selama 1 jam, telur

yang tenggelam diambil untuk ditetaskan didalam air laut. Penetasan telur

udang dilakukan dalam aqurium. Larva udang siap untuk digunakan dalam

pengujian setelah waktu penetasan 48 jam. Selanjutnya dibuat seri

konsentrasisampel dan kontrol dengan cara: menimbang 100 mg ekstrak

dua jenis kulit buah naga dilarutkan dalam etanol 70% sebanyak 10ml

sehingga didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 10.000 ppm.

Setelah itu dibuat larutan uji dalam vial dengan konsentrasi 1, 10, 100,

200, 400, 600, 800, 1000 ppm menggunakan pipet volume, kemudian tiap

vial di tambahkan air laut hingga 5 ml. Larva udang dipipet sebanyak 10

ekor ke dalam vial tiap konsentrasi, untuk setiap konsentrasi dilakukan 3

kali pengulangan. Larutan dibiarkan selama 24 jam, kemudian masih

hidup dari tiap vial hingga didapatkan % kematian. Angka % kematian

dikonversi menjadi nilai probit, dibuat kurva regresi linier berdasarkan data

dari konsentrasi yang digunakan dengan hasil persamaan y=a+bx dari

nilai probit sebagai (y) data log konsentrasi sebagai (x). Nilai LC 50 didapat

dengan memasukkan nilai y=5 ke dalam persamaan dan menghitung


antilog dari nilai x yang diperoleh.

III.3.3 Kromatografi lapis tipis Autobiografi

1. Uji KLT Bioautografi antioksidan

Plat yang telah dielusi dibiarkan sejenak hingga permukaanya

mengeringkemudian diamati dibawah lampu UV 254 DAN 354 nm.

Larutan DPPH 0,2 % disemprotkan pada permukaan fase diam yang

telah dielusi. Bercak yang menunjukkan warna uning yang cukup intensif

dengan luar belakang biru dan ini menunjukkan adanya aktifitas

antioksidan. Fraksi yang aktif (positif) selanjutnya difraksinasi dengan

kromatografi kolom.

2. Uji biautografi antibakteri

Plat yang telah dielusi dibiarkan sejenak hingga permukaanya

mengerikan kemudian diamati dibawah lampu UV 254 dan 365 nm.

Medium NA steril dicairkan terlebih dahulu pada suhu 45-70°C lalu dituang

secara aseptis kedalam botol pengencer steril sebanyak 15 ml dan

ditambahkan suspensi bakteri uji sebanyak ±20 µl, larutan dihomogenkan.

Larutan dituangkan kedalam kedalam cawan petri secara aseptis lalu

diratakan dan dibiarkan memadat. Plat yang telah dielusi ditanam dalam

medium NA, secara aseptis dan dibiarkan selama ± 1 jam, setelah itu plat

diangkat dari dalam medium, kemudian medium uji diinkubasi dala

incubator. Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah

diikubas selanjutnya diamati apakah terdapat zona hambat yang terbentu

pada daerah noda (Diamati dengan mensejajarkan noda pada plat dengan
zona yang terbentuk dalam medium). Fraksi yang aktif (positif) selanjutnya

difraksinasi dengan kromatografi kolom.

III.3.4 Kromatografi lapis tipis preparative

Fraksi n-heksan yang diperoleh selanjutnya dipreparatif. Eluen

yang digunakan n-heksan : etil asetat (85:15). Pita hasil KLTP dikerok dan

dilarutkan dalam pelarut metanol, kemudian di sentrifuge untuk

mengendapkan silikanya sehingga diperoleh supernatant lalu dikeringkan

(isolat).

III.3.5 Kromatografi lapis tipis 2 dimensi

Isolat aktif yang diperoleh ditotol pada lempeng KLT dengan ukuran

5 x 5 cm, kemudian dielusi dengan menggunakan fase gerak n-heksan :

etil asetat (85:15) untuk arah pertama dan n-heksan : etil asetat (85:15)

untuk arah kedua.

III.3.6 Kristalisasi

Fraksi n-heksan yang membentuk kritstal dilakukan rekristalisasi

dengan cara fraksi n-heksan dilarutkan menggunakan campuran pelarut

n-heksan dan methanol kemudian dipanaskan. Selanjutnya dimasukkan

ke dalam lemari pendingin hingga terbentuk kristal.

III.4 Pengolahan dan Pengumpulan Data

Data diperoleh dari hasil analisis dengan cara membandingkan

data-data kromatografi dan pola umum spektrum hasil spektroskopi UV-

Vis dengan literatur yang ada.


BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Tabel Pengamatan
IV.1.1 Susut Pengeringan
Bobot Simplisia %Susut
No Bobot Simplisia Kering
Segar Pengeringan
1 500 gram 300 gram 50%

IV.1.2 % Rendemen
No Bobot Simplisia Bobot Ekstrak % Rendemen
1 300 gram 8,90 gram. 2,96%.
IV.1.3Skrining Fitokimia
No Uji Pereaksi Hasil Keteran
kandungan gan
1 Alkaloid - Mayer - Endapan Positif
Kuning
- Dragendorff - Endapan
Positif
jingga

2 Flavonoid Aseton P + serbuk Terbentuk Positif


asam borat P dan fluoresensi
asam berwarna
oksalat dipanaskan kuning
,residu ditambahka
n eter P.
Pengamatan pada
sinar UV
3 Tanin FeCl3 Terbentuk warna Positif
hitam kehijauan
4 Saponin Aquadest + HCl 2 Timbul busa saat di Positif
N kocok tetapi
perlahan
mengilang
5 Steroid Lieberman Terbentuk Cincin Positif
burchard biru kehijauan

IV.1.4Fraksinasi Ekstrak

No Fraksi Bobot Fraksi % Fraksi


1 N-heksan 0,26 gram 0,13
2 Etil Asetat 0,42 gram 0,21
3 Air 0,67 gram 0,33

IV.1.5 Kromatografi Lapis Tipis

No Sampel Sinar Tampak Dan Nilai Rf


UV 254 UV 366 H2SO4
1 Ekstrak Kasar - 1. 0,18 -
2. 0,87
2 N-Heksan 1. 0,14
2. 0,32
3. 0,58
- 4. 0,69 -
5. 0,78
6. 0,85
7. 0,89
3 Etil Asetat - - -
4 Air - 0,16 -

IV.1.6 Hasil fraksi n-heksan dan etil asetat kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) Dengan Metode Kromatografi Kolom
Jumlah ekstrak Jenis pelarut Jumlah pelarut Berat fraksi
kental (g) (mL) (g)

Air 150 57,2793


70 g
n-heksan 1.200 3,3420

Etil asetat 1.50 3,7997


0

IV.1.7 Hasil LC50 Ekstrak Kulit Buah Naga Merah Dengan Metode
(BSLT)
Konsentrasi (ppm) Log % Kematian Nilai Probit
Konsentrasi (Y)
(X)

0 0 0% 0
1 0 0% 0
10 1 6.667% 3.5015
100 2 36.667% 4.6602
200 2.3 53.333% 5.0828
400 2.6 63.333% 5.3398
600 2.78 80% 5.8416
800 2.9 90% 6.2816
1000 3 100% 8.719

IV.1.7 Hasil KLTP


Pita Ke Penyemprotan DPPH Hasil Pengamatan
1 Ungu -
2 Ungu -
3 Ungu -
4 Ungu -
5 Ungu -
6 Kuning +
7 Ungu -
8 Kuning +

IV.1.7 Hasil Kristal Isolat Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus


polyrhizus)
No Isolat Berat (g)
1 Satu 0,1398
2 Dua 0,0373

Menurut Departemen Kesehatan RI, simplisia adalah bahan

alamiahyang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami

pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simpisia nabati, simplisia

hewani dan simplisia pelikan (mineral).

Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun

kegunaanya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk

dapat memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang

berpengaruh antara lain bahan baku simplisia, proses pembuatan, serta

cara pengepakan dan penyimpanan (Agoes, 2007). Pemilihan sumber

tanaman sebagai bahan baku simplisia nabati merupakan salah satu

faktor yang sangat berpengaruh pada mutu simplisia, termasuk


didalamnya pemilihan bibit (untuk tumbuhan hasil budidaya)

dan pengolahan maupun jenis tanah tempat tumbuh tanaman obat

(Laksana, 2010).

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses

yang dapat memenuhi mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu

komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun

demikian,simplisia sebagai produk olahan, fariasi senyawa kandungan

dapat diperkecil,diatur atau diajegkan. Hal ini karena penerapan (aplikasi)

IPTEK pertanian pasca panen yang terstandar (Laksana, 2010). Tahap-

tahap pembuatan simplisia secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan bahan baku

2. Sortasi basah

3. Pencucian

4. Perajangan

5. Pengeringan

6. Sortasi kering

7. Pengepakan dan penyimpanan.(Laksana, 2010).

Pada pratikum penyiapan sampel atau simplisia kulit buah naga

telah dilakukan tujuh tahap diatas yaitu sampel kuit buah naga diolah,

kemudian disortasi basah dengan cara dipisahkan dari pengotor-pengotor

kemudian dicuci dengan air mengalir setelah itu diperkecil ukurannya

kemudian dikeringkan, pengeringan kulit buah naga dilakukan dengan

cara diangin-anginkan dalam ruangan, setelah itu disortasi kering dengan


cara dipisahkan dari kotoran yang masih menempel, bobot sampel kering

yang didapatkan yaitu 500 gram. Simplisia kemudian disimpan untuk

dilanjutkan pada proses selanjutnya yaitu ekstraksi.

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang

terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan

menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah

hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan bahan

alam. Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menyari komponen kimia

yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip

perpindahan massa komponen zat kedalam pelarut, dimana perpindahan

mulai terjadi pada lapisan antarmuka kemudian berdifusi masuk ke dalam

pelarut (Ditjen POM, 1986).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara

pengerjaan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan,

kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang

sempurna. Alasan digunakan cairan penyari etanol 70% karena etanol

tidak menyebabkan pembengkakan pada membran sel dan memperbaiki

stabilitas bahan obat terlarut, dan sangat efektif menghasilkan bahan aktif

yang optimal, bahan simplisia yang ikut tersari dalam cairan penyari hanya

sedikit, sehingga zat aktif yang tersari akan lebih banyak. Setelah selesai

proses ekstraksi selanjutnya dilakukan skring fitokimia.

Pada proses ekstraksi pada setiap replikasi adalah 100 gram

dengan total serbuk yang digunakan untuk ekstraksi adalah 300 gram
dihasilkan ekstrak kental sebanyak 8,90 gram. Ekstrak yang diperoleh

berupa ekstrak kental berwarna coklat tua dengan % rendemen ekstrak

adalah sebesar 2,96%. Nilai rendemen ini jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan ekstraksi yang dilakukan oleh Pranata (2013) % rendemennya

1,654%. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain

kondisi waktu ekstraksi, pengeringan, ukuran partikel sampel, juga

perbandingan jumlah sampel Perbedaan jenis pelarut juga dapat

mempengaruhi jumlah rendemen ekstrak terhadap pelarut yang

digunakan.

Setelah diperoleh ekstrak kental selanjutnya dilakukan skrining

fitokimia sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui kandungan zat aktif

yang ada padatanaman. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak didapat hasil

positif pada kandungan alkaloid, flavonoid, tanin dan steroid dan negatif

pada senyawa saponin. Pada skrining alkaloid prinsip yang digunakan

adalah dengan reaksi pengendapan dimana terjadi pergantian ligan

(Sangi et al., 2008). Untuk mempertegas hasil skrining pengujian

dilanjutkan dengan analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Skrining fitokimia

golongan flavonoid dilakukan dengan cara larutan uji dibasakan dengan

aseton P, kemudian ditambahkan dengan asam borat dan asam

oksalat, dilanjutkan pemanasan dengan penganas air residu ditambahkan

dengan eter pekat dan diamati di UV 365 nm terbentuk warna

berfuoresensis kuning yang menandakan adanya senyawa flavonoid.

Flavonoid dapat dimasukan sebagai senyawa polifenol karena


mengandung dua atau lebih gugus hidroksil bersifat agak asam sehingga

dapat larut dalam basa (Hanani, 2014). Tujuan dibasakan pada skrining

fitokimia adalah agar senyawa flavonoid ini dapat larut. Berdasarkan hasil

skrining fitokimia terhadap golongan senyawa flavonoid menunjukan

reaksi positif sehingga perlu dilakukan KLT untuk mempertegas hasil

skrining.

Skrining fitokimia yang dilakukan pada senyawa tannin dengan

menggunakan larutan uji yang ditambahkan larutan besi (III) klorida 10 %

memberikan warna hitam kehijauan. Hasil positif dari uji tanin memberikan

warna biru tua atau hitam kehijauan (Robinson, 1991). Pada pengujian

tannin dilakukan penambahan larutan FeCl3 dimana golongan tanin

terhidrolisis akan menghasilkan warna biru kehitaman, dan jika

terkondensasi akan menghasilkan warna hijau kehitaman (Sangi et al.,

2008). Selanjutnya hasil skrining senyawa steroid larutan uji setelah

diteteskan dengan Lieberman Burchard membentuk cincin biru kehijauan

pada tabung reaksi hal ini senada dengan literatur dan banyak uji skrining

fitokimia untuk steroid dimana hasil reaksi positifnya membentuk cincin

biru kehijauan. Selanjutnya adalah partisi ekstrak dengan metode cair-cair

Partisi ekstrak (ekstraksi cair-cair) adalah proses pemisahan zat

terlarut di dalam dua macam zat pelarut yang tidak saling bercampur,

dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut

organik dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat

senyawa yang dapat larut dalam air dan ada pula yang dapat terlarut
dalam pelarut organik. Sedangkan ekstraksi padat-cair adalah proses

pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya

dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai.

Pada umumnya metode ini digunakan untuk sampel yang tidak

larut dalam air. Tujuan dilakukannya partisi yaitu untuk memisahkan

komponen kimia dari sampel berdasarkan tingkat kepolarannya. Proses

partisi sebenarnya dapat dilakukan dengan partisi cair-cair ataupun partisi

padat cair, namun pada praktikum kali ini hanya dilakukan partisi cair-cair.

Prinsip dari proses partisi yaitu digunakannya dua pelarut yang tidak

saling bercampur untuk melarutkan zat-zat yang ada dalam ekstrak.

Ekstrak yang digunakan dalam percobaan ini tetap sama sejak praktikum

awal yaitu ekstrak daun kelor. Pelarut yang digunakan dalam partisi ini

adalah pelarut non polar, semi polar, dan pelarut polar.

Pada pengerjaan awal, partisi dilakukan dengan menggunakan

pelarut non polar (n-Heksan), hal ini disebabkan karena jika pada

pengerjaan awal digunakan pelarut polar, maka dikhawatirkan adanya

senyawa nonpolar yang ikut terlarut, sebagaimana kita ketahui bahwa

pelarut polar, selain mampu melarutkan senyawa yang bersifat polar juga

mampu melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar.

Tahap-tahap dalam melakukan proses partisi yaitu pertama-tama

ekstrak etanol dilarutkan dalam air. Setelah larut, kemudian dimasukkan

ke dalam corong pisah dan ditambahkan 30 mL n-heksan dan dikocok

pada satu arah hingga homogen. Sesekali membuka keran corong pisah
untuk mengeluarkan udara dari hasil pengocokan. Dipisahkan hingga

terlihat adanya dua lapisan,dimana lapisan atas adalah lapisan n-heksan,

sedangkan lapisan bawah adalah lapisan air. Hal ini disebabkan karena

air memiliki massa jenis yang lebih besar daripada n-heksan. Selanjutnya

untuk lapisan ekstrak n-heksan ditampung dan diuapkan. Proses ini

dilakukan sebanyak 3 kali untuk pelarut n-hexan, 3 kali unruk pelarut etil

asetat, dan 3 kali untuk pelarut air. Penggunaan n-butanol pada partisi cair

yaitu sebagai pelarut polar, pemilihan pelarut ini didasarkan bahwa n-

butanol dapat dijenuhkan dengan air tetapi tetap tidak bercampur dengan

air. Hasil partisi yang didapatkan kemudian disimpan dalam botol kaca

gelap untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu praktikum KLT.

Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami

dapat berwarna atau berfluorosensi atau menyerap sinar UV, namun

perlakuan perubahan reaksi penampak noda dengan penyemprotan atau

pencelupan terkadang diperlukan untuk menghasilkan turunan senyawa

yang berwarna berfluorosensi. Pada uji KLT menggunakan fase diam

silika gel dengan indikator fluorosensi pada panjang gelompang 254 nm

dan 366 nm. Fase gerak yang digunakan adalah N-heksan dan etil asetat

dengan perbandingan 7:3, setalah diamati dibawah sinar UV penampakan

noda yang terlihat hanya pada UV 366 sedangkan pada sinar UV 254

tidak terlihat begitupun setelah disemprot dengan H 2SO4.

Selanjutnya dilakukan pengujian uji sitotoksik dengan metode BSLT

Uji aktivitas sitotoksik dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
yang dilakukan menggunakan larva udang Artemia franciscana Kellogg.

BSLT merupakan salah satu tahapan dalam pengujian farmakologi

eksperimental, metode ini dipilih berdasarkan beberapa alasan, seperti

metode penapisan farmakologi awal yang mudah dan relatif tidak mahal

serta tidak membutuhkan suatu spesialisasi tertentu dalam pengujiannya.

Metode ini juga merupakan metode yang telah teruji hasilnya dengan

tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati toksisitas suatu senyawa di

dalam ekstrak kasar tanaman, serta sering digunakan untuk tahapan awal

isolasi senyawa toksik yang terkandung dalam suatu ekstrak kasar

(Lisdawati, 2006). Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach

sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji

toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam

waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian

dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas

komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu

ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BSLT jika harga LC < 1000

μg/ ml.

Uji toksisitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak

kulit buah naga merah dan kulit buah naga super merah dilengkapi

dengan lampu sebagai sumber panas dan diberi aerator yang berfungsi

sebagai oksigen dan menjaga agar telur tidak mengendap. Larva udang

yang siap untuk digunakan dalam pengujian setelah waktu penetasan 48

jam. Ekstrak dibuat dengan konsentrasi masing-masing yaitu 1, 10, 100,


200, 400, 600, 800, dan 1000 ppm.

Dari hasil perhitungan menggunakan persamaan regresi di atas,

dapat diketahui bahwa jumlah LC50 ekstrak kulit buah naga merah

sebesar 130,50 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah naga

merah memiliki aktivitas sitotoksik yang baik dikarenakan pada ekstrak

kulit buah naga merah dilihat dari warnanya yang merah dapat diduga

bahwa kulit buah naga merah mengandung antosianin yang banyak, pada

umumnya antosianin merupakan turunan golongan flavonoid, yang

dimana flavonoid juga memiliki aktivitas terhadap sitotoksik sehingga

aktivitas terhadap LC50 pada ekstrak kulit buah naga merah baik. Hasil

pengujian ini juga dipengaruhi oleh beberapa senyawa yang terkadung di

dalam ekstrak kulit buah naga merah yang dimana berdasarkan

penapisan fitokimia mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tannin,

kuinon, steroid & triterpenoid. Flavonoid mempunyai aktivitas larvasida

dengan menghambat kerja sistem endokrin dan mencegah pelepasan

enzim pencernaan, sehingga laju pertumbuhan berkurang (Innocent et al.,

2008). Di samping itu tannin bereaksi terhadap protein pada kandungan

sel tubuh larva, sehingga mempengaruhi pertumbuhan larva, serta steroid

& triterpenoid yang dapat berfungsi sebagai racun perut yang dapat

menggangu pencernaan, menghambat reseptor perasa pada daerah

mulut larva, sehingga mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus

rasa, oleh sebab itu larva akan mati kelaparan (Francis et al.,2002:587).

Ekstrak etanol kulit buah naga merah dapat dinyatakan bersifat


toksik terhadap Artemia salina Leach, karena memiliki aktivitas toksisitas

dengan nilai LC50 kurang dari 1000 ppm.

Tahap selanjutnya adalah pemisahan fraksi dengan menggunakan

kromatografi kolom, Fraksinasi pada ekstrak bertujuan untuk memisahkan

senyawa berdasarkan kelarutannya terhadap pelarut dengan tingkat

kepolaran yang berbeda. Prinsip pemisahan pada proses fraksinasi

adalah didasarkan pada perbedaan tingkat kepolaran dan perbedaan

bobot jenis antara dua fraksi, yakni fraksi yang memiliki bobot jenis lebih

besar akan berada pada fase bawah, sedangkan fraksi yang memiliki

bobot jenis yang lebih kecil berada pada fase bawah.

Pada hasil partisi yaitu fraksi n-heksan teridentifikasi adanya kristal.

Kemudian kristal tersebut dilakukan rekristalisasi untuk melakukan

pemurnian dengan pelarut n-heksan dan metanol. Dari hasil rekristalisasi

yang diperoleh dilanjutkan dengan proses isolasi menggunakan

kromatografi lapis tipis preparatif. Proses isolasi kromatografi lapis tipis

preparatif terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi

serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak

mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya serap adsorben terhadap

komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan

kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan

pemisahan (Munson, 2010). Proses elusi kromatografi lapis tipis preparatif

eluen yang digunakan yaitu n-heksan : etil asetat (85:15) dalam 100 mL.

Pada kromatografi lapis tipis preparatif adsorpsi dan partisi


berdasarkan pada jumlah dan cara penotolan cuplikan yang

berkesinambungan yang memberikan hasil elusi berupa pita. Berdasarkan

hasil KLTP didapatkan hasil dari pita 6 dan 8 yang menunjukkan aktivitas

antioksidan dengan penyemprotan DPPH. Pita-pita yang dihasilkan

kemudian dikerok dan dilarutkan dalam pelarut metanol. Kemudian

disentrifuge untuk memisahkan silika gel dan supernatant yang

didapatkan sehingga diperoleh isolat.

Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji kemurniannya dengan

metode KLT dua dimensi. Pada uji KLT-dua dimensi menggunakan eluen

n-heksan : etil asetat (85:15) untuk arah pertama dan arah kedua. Hasil

elusi nampak pada UV 366 nm dan diperoleh satu bercak tunggal.


BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan

1. Tahap-tahap pembuatan simplisia secara garis besar adalah

Pengolahan bahan baku, Sortasi basah, Pencucian, Perajangan,

Pengeringan, Sortasi kering, Pengepakan dan penyimpanan.

2. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada kulit buah naga yaitu

alkaloid, flavonoid, tanin dan steroid dan negatif pada senyawa

saponin.

3. Partisi ekstrak (ekstraksi cair-cair) adalah proses pemisahan zat

terlarut di dalam dua macam zat pelarut yang tidak saling bercampur,

dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut

organik dan pelarut air.

4. Pada uji KLT menggunakan fase diam silika gel dengan indikator

fluorosensi pada panjang gelompang 254 nm dan 366 nm. Fase gerak

yang digunakan adalah N-heksan dan etil asetat dengan perbandingan

7:3, setalah diamati dibawah sinar UV penampakan noda yang terlihat


hanya pada UV 366 sedangkan pada sinar UV 254 tidak terlihat

begitupun setelah disemprot dengan H 2SO4

5. Uji toksisitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak kulit

buah naga merah dan kulit buah naga super merah dilengkapi dengan

lampu sebagai sumber panas dan diberi aerator yang berfungsi

sebagai oksigen dan menjaga agar telur tidak mengendap. Larva

udang yang siap untuk digunakan dalam pengujian setelah waktu

penetasan 48 jam. Ekstrak dibuat dengan konsentrasi masing-masing

yaitu 1, 10, 100, 200, 400, 600, 800, dan 1000 ppm. hasil perhitungan

menggunakan persamaan regresi di atas, dapat diketahui bahwa

jumlah LC50 ekstrak kulit buah naga merah sebesar 130,50 ppm.

6. Pada pemisahan fraksi dengan menggunakan kromatografi kolom,

Fraksinasi pada ekstrak bertujuan untuk memisahkan senyawa

berdasarkan kelarutannya terhadap pelarut dengan tingkat kepolaran

yang berbeda. Prinsip pemisahan pada proses fraksinasi adalah

didasarkan pada perbedaan tingkat kepolaran dan perbedaan bobot

jenis antara dua fraksi, yakni fraksi yang memiliki bobot jenis lebih

besar akan berada pada fase atas, sedangkan fraksi yang memiliki

bobot jenis yang lebih kecil berada pada fase bawah. Pada hasil partisi

yaitu fraksi n-heksan teridentifikasi adanya kristal. Kemudian kristal

tersebut dilakukan rekristalisasi untuk melakukan pemurnian dengan

pelarut n-heksan dan metanol. Dari hasil rekristalisasi yang diperoleh

dilanjutkan dengan proses isolasi menggunakan kromatografi lapis


tipis preparatif. Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji kemurniannya

dengan metode KLT dua dimensi. Pada uji KLT-dua dimensi

menggunakan eluen n-heksan : etil asetat (85:15) untuk arah pertama

dan arah kedua. Hasil elusi nampak pada UV 366 nm dan diperoleh

satu bercak tunggal.

V.2 Saran

Sebaiknya peneliti harus lebih teliti dalam melakukan penelitian agar

hasil yang didapatkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.


DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. 2007, Teknologi Bahan Alam. Penerbit ITB :Bandung.

Dirjen POM. 1986. Sediaan Galenik . Departemen Kesehatan Republik


Indonesia : Jakarta.

Francis, G. Kerem, Z; Makkar, H. P. S. ; Becker, K., 2002. The Biological


Action Of Saponins In Animal Systems: A Review. Br. J. Nutr., 88: 587-
605.

Eko Widaryanto., Nur Azizah. 2018. Perspektif Tanaman Obat Berkhasiat. UB


Press: Malang

Hanani, E. 2014. Analisis Fitokimia. Penerbit Buku Kedokteran. ECG


:Jakarta.

Hasana, N.A, dkk. 2019. Perbandingan Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Dua


Jenis Kulit Buah Naga (Hylocereus lemairei (Hook.) Britton & Rose.,
dan Hylocereus costaricensis (F. A. C. Weber.) Britton & Rose)
dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), Universitas Islam
Bandung, Prosiding Farmasi Volume 5, No. 2

Laksana, toga,dkk. 2010. Pembuatan simplisia dan standarisasi


simplisia.UGM Press: Yogyakarta.

La, J.O.E dkk. 2020. Skrining Fitokimia Dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak Etanol Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus).
Sekolah Tinggi Mahagenesa: Bali, Indonesian Journal of Pharmacy
and Natural Product, Volume 03, Nomor 01

Munson, 2010. Plant Resources of South East Asia, Edible Fruits and Nuts,
Prosea Foundation, Bogor.

Pratiwi, I.D, dkk. 2019. Isolasi Senyawa Antioksidan Ekstrak Metanol Kulit
Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus). Universitas Muslim
Indonesia: Makassar, JFFI. 2019; 6(1) 340-346

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. 6.a.b. Edited by


Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Roby, P.J.G.,Siagian, S.H. 2019. Potensial Farmakologis Tanaman Gynura


Analisis Fitokimia Dan Bioaktivitasnya. Deepublish: Yogyakarta
Sangi,M.,M.R.J.Runtuwene., H.E.I Simbala, V. M. . M. (2008). Analisis
Fitokimia Tumbuhan Obat Di Kabupaten Minahasa Utara, 1, pp. 47–
53.

Suharmiati.,Maryani. H. 2013. Khasiat Dan Manfaat Jati Belanda. Agromedia:


Jakarta
Pranata, R. (2013) ‘Uji Aktivitas Antioksidan Fraksi Kloroform Kulit Buah Naga
Merah (Hylocereus lemarirei Britton dan Rose) Menggunakan Metode
DPPH (1,1- Difenil-2-Pikrilhidrazil)’, Naskah Publikasi Skripsi Program
Studi Farmasi.

Anda mungkin juga menyukai