Anda di halaman 1dari 45

UJI SKRINING FITOKIMIA EKSTRAK DAUN PEPAYA

(Carica papaya L.) DENGAN METODE MASERASI

OLEH :
KELOMPOK I (SATU)
KELAS TRANSFER A 2022

ASISTEN PENANGGUNGJAWAB :
HILDAYANTY JASMIN

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah agraris yang mayoritas utamanya
adalah petani. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang
banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam pepaya sendiri
memiliki kandungan metabolit sekunder yang biasanya dimanfaatkan
dalam bidang kesehatan, terutama pada pepaya jenis papaya gantung.
Manfaat dari daun muda pepaya (Carica papaya L.). Dapat dipergunakan
untuk pengobatan penyakit demam, penambah nafsu makan, keputihan,
jerawat, menambah air susu, serta mengobati sakit gigi. Dalam beberapa
dekade terakhir, ekstrak pepaya digunakan untuk memerangi penyakit
kanker (Imelda, 2020).
Sumber daya alam organik adalah gudang senyawa kimia yang
sangat potensial sebagai sumber-sumber senyawa baru yang unik dan
tidak mungkin ditemukan di laboratorium. Senyawa-senyawa ini mungkin
sangat berguna dalam pengobatan, pertanian dan industri. Indonesia
sangat kaya akan sumber daya organik baik berupa hewan, tumbuhan,
mikroorganisme, maupun organisme laut. Sebagian besar sumber daya
ini belum dikaji dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
khususnya dan umat manusia pada umumnya (Melinda, 2020).
Diperlukan suatu penelitian yang sistematik untuk menjaring
senyawa kelompok metabolit sekunder terhadap kekayaan flora
Indonesia. Hal ini diupayakan untuk mencari manfaatnya sebagai
senyawa bioaktif terhadap berbagai sistem hayat sehingga dapat
menunjang kesejahteraan umat manusia. Penggunaan tersebut dimulai
dari informasi turun temurun, kemudian khasiat dikonfirmasi dengan hasil
penelitian ilmiah. Salah satu tanaman tersebut adalah daun pepaya
(Carica papaya L.) (Melinda, 2020).
Penentuan kandungan kimia pada daun pepaya dilakukan melalui
analisis fitokimia secara kualitatif. Analisis fitokimia secara kualitatif ini
merupakan suatu metode analisis awal untuk meneliti kandungan
senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada daun pepaya supaya
hasilnya diharapkan dapat memberikan informasi dalam mencari
senyawa dengan efek farmakologi. Berdasarkan uraian di atas Tujuan
dalam praktikum ini adalah untuk mengetahui senyawa kimia daun
pepaya melalui analisis fitokimia secara kualitatif.
I.2 Rumusan Masalah dan Tujuan
1.2.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyiapan simplisia?
2. Bagaimana uji kualitatif skrining fitokimia dengan metode maserasi?
3. Bagaimana uji kualitatif skrining fitokimia dengan metode Kromatografi
Lapis Tipis (KLT)?
1.2.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses pembuatan simplisia dalam penelitian di
laboratorium.
2. Untuk mengetahui hasil dari uji kualitatif skrining fitokimia dengan
metode maserasi.
3. Untuk mengetahui hasil dari uji kualitatif skrining fitokimia dengan
metode kromatografi lapis tipis (KLT).
I.3 Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui senyawa kimia yang terkandung
dalam tanaman daun pepaya (Carica papaya L.) Praktikan atau
mahasiswa dapat memberikan informasi tentang zat atau senyawa kimia
yang ada di dalam tanaman daun pepaya (Carica papaya L.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Teori Umum
II.1.1 Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat, belum
mengalami pengolahan apapun, umumnya dalam keadaan kering,
langsung digunakan sebagai obat dalam sediaan galenik tertentu atau
digunakan sebagai bahan dasar untuk memperoleh bahan baku obat
(Kepmenkes RI, 2017).
Menurut Herbie (2015) simplisia dibagi menjadi tiga golongan
antara lain :
1. Simplisia Nabati.
Simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat
tanaman atau gabungan antara ketiga komponen tersebut. Eksudat
tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau
dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan sel didalamnya. Eksudat
tanaman dapat berupa bahan nabati atau zat lainnya yang dengan
tertentu dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya. Simplisia tanaman
obat termasuk dalam simplisia nabati.
2. Simplisia Hewani.
Simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, contohnya
minyak ikan dan madu.
3. Simplisia Pelikan atau Mineral
Simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni seperti
serbuk tembaga dan serbuk seng.
II.1.2 Waktu Pemanenan Simplisia
Waktu pemanenan yang tepat akan menghasilkan simplisia yang
mengandung bahan berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia dalam
tumbuhan tidak sama sepanjang waktu dimana akan mencapai kadar
optimum pada waku tertentu. Ketentuan saat pemanenan tumbuhan atau
bagian tumbuhan adalah sebagai berikut (Marjoni, 2016):
1. Biji (semen) dipanen pada saat buah sudah tua atau buah mengering,
misalnya biji kedawung.
2. Buah (fructus) dikumpulkan pada saat buah sudah masak atau sudah
tua tetapi belum masak, misalnya lada (misalnya pada pemanenan lada,
apabila dilakukan pada saat buah sudah tua tetapi belum masak akan
dihasilkan lada hitam (Piperis nigri Fructus), tetapi apabila sudah masak
akan dihasilkan lada putih (Piperis aIbi Fructus).
3. Daun (folia) dikumpulkan pada saat tumbuhan menjelang berbunga
atau sedang berbunga tetapi belum berbuah.
4. Bunga (flores/flos) dipanen pada saat masih kuncup (misalnya
cengkeh atau melati) atau tepat mekar (misalnya bunga mawar, bunga
srigading).
5. Kulit batang (cortex) diambil dari tanaman atau tumbuhan yang telah
tua atau umum yang tepat, sebaiknya pada musim kemarau sehingga
kulit kayu mudah dikelupas.
6. Umbi Iapis (bulbus) dipanen pada waktu umbi mencapai besar
optimum, yaitu pada waktu bagian atas tanaman sudah mulai mengering
(misalnya bawang putih dan bawang merah).
7. Rimpang (rhizomad) dipanen pada waktu pertumbuhan maksimal dan
bagian di atas tanah sudah mulai mengering, yaitu pada permulaan
musim kemarau.
II.1.3 Pembuatan Simplisia
Menurut Entang (2013), Setelah dilakukan pemanenan bahan baku
simplisia, maka tahapan penanganan paska panen adalah sebagai
berikut:
1. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia
yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti
tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta kotoran
lain. Tanah mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena
itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi
jumlah mikroba awal.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air
bersih misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut di dalam air, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
3. Perajangan
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil
jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu
hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin
perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan
ukuran yang dikehendaki. Semkin tipis bahan yang dikeringkan, semakin
cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan
tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya
atau hilangnya zat yang berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa yang diinginkan. Oleh karena
itu bahan simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan
bahan sejenis lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk
mencegah berkurangnya minyak atsiri. Penjemuran sebelum perajangan
diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi atara bahan dan
logam pisau. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari selama satu
hari.
4. Pengeringan.
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan
dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masih
tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media
pertumbuhan kapang jasad renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel,
masih dapat bekerja menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati
dan selama bahan simplisia tersebut masih mengandung kadar air
tertentu.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar
matahari atau menggunakan suatu alat pengeringan. Hal–hal yang perlu
diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan
bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan
menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan
simplisia, faktor–faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh
simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan. Tandanya
simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila diremas atau mudah
patah.
Menurut persyaratan obat tradisional pengeringan dilakukan sampai
kadar air tidak lebih dari 10%. Cara penetapan kadar air dilakukan
menurut yang tertera dalam Materia Medika Indonesia atau Farmakope
Indonesia.
5. Sortasi kering.
Simplisia yang telah kering tersebut masih sekali lagi dilakukan
sortasi untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia
yang rusak karena sebagai akibat proses sebelumnya.
6. Pengepakan dan Penyimpanan.
Bahan pengepak harus sesuai dengan simplisia yang akan
dibungkus. Misalnya simplisia yang mengandung minyak atsiri jangan
dipak dalam wadah plastik, karena plastik akan menyerap bau bahan
tersebut. Bahan pengepak yang baik adalah karung goni atau karung
plastik. Simplisia yang ditempatkan dalam karung goni atau karung
plastik praktis cara penyimpanannya, yaitu dengan ditumpuk. Selain itu,
cara menghandelnya juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi
simplisia di dalamnya. Pengepak lainnya digunakan menurut
keperluannya. Pengepak yang dibuat dari aluminium atau kaleng dan
seng mudah melapuk, sehingga perlu dilapisi dengan plastik atau malam
atau yang sejenis dengan itu.
Penyimpanan harus teratur, rapi, untuk mencegah resiko tercemar
dan saling mencemari satu sama lain, serta memudahkan penganbilan,
pemeriksaan, dan pemeliharaan. Simplisia diberi label yang
mencantumkan identitas, kondisi, jumlah, mutu, dan cara
penyimpanannya. Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus
memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik,
tidak lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak
boleh leluasa masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian
rupa sehingga serangga atau tikus tidak dapat leluasa masuk, tidak
mudah kebanjiran serta terdapat alas dari kayu yang baik (hati-hati
karena balok kayu sangat disukai rayap) atau bahan lain untuk
meletakkan simplisia yang sudah dipak tadi. Pengeluaran simplisia yang
disimpan harus dilaksanakan dengan cara mendahulukan bahan yang
disimpan lebih awal (“First in-First out” FIFO).
II.2 Ekstraksi
Pembuatan ekstrak (ekstraksi) merupakan suatu proses penyarian
suatu senyawa aktif dari suatu bahan atau simplisia nabati atau hewani
dengan menggunakan pelarut tertentu yang cocok. Pembuatan ekstrak
(ekstraksi) bisa dilakukan dengan berbagai metode, sesuai dengan sifat
dan tujuannya (Depkes RI, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI,
2014).
Berdasarkan sifatnya ekstrak dapat dibagi menjadi empat, yaitu
ekstrak encer, ekstrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair. Ekstrak
encer (Extractum tenue) merupakan sediaan yang memiliki konsistensi
seperti cairan madu yang mudah mengalir. Ekstrak kental (Extractum
spissum) merupakan sediaan kental yang apabila dalam keadaan dingin
dan kecil kemungkinan bisa dituang. Kandungan airnya berjumlah
sampai dengan 30%. Ekstrak kering (Extractum siccum) merupakan
sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dihancurkan
dengan tangan. Melalui penguapan dan pengeringan sisanya akan
terbentuk suatu produk, yang sebaiknya memiliki kandungan lembab
tidak lebih dari 5%. Ekstrak cair (Extractum fluidum) merupakan sediaan
dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau
sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet (Depkes RI,
2014).
Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik semua zat aktif dan
komponen kimia simplisia. Dalam menentukan tujuan dari suatu proses
ekstraksi, perlu diperhatikan beberapa kondisi dan pertimbangan berikut
ini menurut Marjoni (2016) adalah sebagai berikut:
1. Senyawa kimia yang telah memiliki identitas. Untuk senyawa kimia
telah memiliki identitas, maka proses ekstraksi dapat dilakukan dengan
cara mengikuti prosedur yang telah dipublikasikan atau dapat juga
dilakukan sedikit modifikasi untuk mengembangkan proses ekstraksi.
2. Mengandung kelompok senyawa kimia tertentu. Dalam hal ini, proses
ekstraksi bertujuan untuk menemukan kelompok senyawa kimia
metabolit sekunder tertentu dalam simplisia seperti alkaloid, flavonoid
dan lain-lain. Metode umum yang dapat digunakan adalah studi pustaka
dan untuk kepastian hasil yang diperoleh, ekstrak diuji lebih lanjut secara
kimia atau analisa kromatografi yang sesuai untuk kelompok senyawa
kimia yang dituju.
3. Organisme (tanaman atau hewan). Penggunaan simplisia dalam
pengobatan tradisional biasanya dibuat dengan cara mendidihkan atau
menyeduh simplisia tersebut dalam air. Dalam hal ini, proses ekstraksi
yang dilakukan secara tradisional tersebut harus ditiru dan dikerjakan
sedekat mungkin, apalagi jika ekstrak tersebut akan dilakukan kajian
ilmiah lebih lanjut terutama dalam hal validasi penggunaan obat
tradisional.
4. Penemuan senyawa baru. Untuk isolasi senyawa kimia baru yang
belum diketahui sifatnya dan belum pernah ditentukan sebelumnya
dengan metode apapun maka, metoda ekstraksi dapat dipilih secara
random atau dapat juga dipilih berdasarkan penggunaan tradisional
untuk mengetahui adanya senyawa kimia yang memiliki aktivitas biologi
khusus. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
ekstraksi: (Marjoni, 2016):
1. Jumlah simplisia yang akan diekstrak
Jumlah simplisia yang akan diekstrak sangat erat kaitannya dengan
jumlah pelarut yang akan digunakan. Semakin banyak simplisia yang
digunakan, maka jumlah pelarut yang digunakan juga semakin banyak.
2. Derajat kehalusan simplisia
Semakin halus suatu simplisia, maka luas kontak permukaan dengan
pelarut juga akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan dapat
berjalan lebih optimal.
3. Jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
Pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi sangat
dipengaruhi oleh kepolaran dari pelarut itu sendiri. Senyawa dengan
kepolaran yang sama akan lebih mudah larut dalam pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang sama pula (like dissolves like).
4. Waktu ekstraksi
Waktu yang digunakan selama proses ekstraksi akan sangat
menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang terekstrak.
5. Metode ekstraksi
Berbagai metode ekstraksi dapat digunakan untuk menarik
senyawa kimia dari simplisia.
6. Kondisi proses ekstraksi
Beberapa proses ekstraksi memerlukan keadaan dan kondisi
tertentu. Bahan alam yang mengandung senyawa kumarin dan kuinon
umumnya dilakukan pada kondisi terlindung dari cahaya. Proses
ekstraksi skala industri misalnya dilakukan secara kontiniu, sedangkan
pada skala laboratorium, ekstraksi dapat dilakukan baik dengan
pengadukan ataupun tanpa pengadukan
II.3 Metode Ekstraksi
Metode-Metode Ekstraksi Menurut Ditjen POM 2000 antara lain :
II.3.1 Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksikan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan kamar. Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang
kontinu terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan seterusnya.

(a) (b)
Gambar 1. (a) Alat maserasi dengan pengaduk, (b) Alat
maserasi sederhana.
a. Prinsip
Prinsip maserasi adalah pengikatan/pelarutan zat aktif berdasarkan
sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Langkah
kerjanya adalah merendam simplisia dalam suatu wadah menggunakan
pelarut penyari tertentu selama beberapa hari sambil sesekali diaduk,
lalu disaring dan diambil beningannya. Selama ini dikenal ada beberapa
cara untuk mengekstraksi zat aktif dari suatu tanaman ataupun hewan
menggunakan pelarut yang cocok. Pelarut-pelarut tersebut ada yang
bersifat “bisa campur air” (contohnya air sendiri, disebut. pelarut polar)
ada juga pelarut yang bersifat “tidak campur air” (contohnya aseton, etil
asetat, disebut pelarut non polar atau pelarut organik) (Gresbi,2013)
b. Kelebihan dan kekurangan metode maserasi.
Menurut Amiroh (2013) kelebihan dan kekurangan metode
maserasi adalah sebagai berikut:
1) Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah unit alat
yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam, biaya
operasionalnya relatif rendah, prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa
pemanasan.
2) Kelemahan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah proses
penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu terekstraksi
sebesar 50% saja, prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna exhaustive extraction yang umunya dilakukan pada
temperatur ruangan.

Gambar 2. Alat perkolasi


a. Prinsip
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia
dimaserasi selama 3 jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam
bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan
penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan
penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui
sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena
gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang
menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu
dipekatkan.
b. Kelebihan dan kekurangan metode perkolasi
Menurut Sutriani (2018) kelebihan dan kekurangan metode perkolasi
adalah sebagai berikut:
1) Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan.
2) Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau
terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi
dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen
secara efisien.
II.3.2 Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna.

Gambar 3. Alat refluks


a. Prinsip
Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel
dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan
penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun
kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang
berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara
berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut
dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh
dikumpulkan dan dipekatkan.
b. Kelebihan dan kekurangan metode refluks.
Menurut Sutriani (2018) kelebihan dan kekurangan metode refluk
adalah sebagai berikut:
1) Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan
langsung.
2) Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar
dan sejumlah manipulasi dari operator.
2. Sokletasi
Sokhletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet,
dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin,
kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat
soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika
mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke
dalam labu.

Gambar 4. Alat sokletasi


a. Prinsip
Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk
simplisia ditempatkan dalam klonsong yang telah dilapisi kertas saring
sedemikian rupa, cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat
sehingga menguap dan dikondensasikan oleh kondensor menjadi
molekul-molekul cairan penyari yang jatuh ke dalam klonsong menyari
zat aktif di dalam simplisia dan jika cairan penyari telah mencapai
permukaan sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat
melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempurna ditandai
bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau
sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan
dan dipekatkan.
b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Sokletasi.
1) Keuntungan dari metode ini yaitu proses ektraksi yang berlangsung
kontinu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi,
membutuhkan jumlah pelarut yang lebih kecil dibandingkan dengan
maserasi (Mukhriani, 2014).
2) Kelemahan dari metode ini yaitu proses ekstraksi dapat berlangsung
dalam waktu yang cukup lama hingga berjam-jam bahkan hari (Rassem
et al, 2016). Senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena
ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih (Mukhriani,
2014). Sampel ideal untuk ekstraksi soxhlet juga terbatas pada padatan
yang kering dan telah dihaluskan dan banyak faktor yang mempengaruhi
seperti suhu, rasio sampel dan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam
sistem ekstraksi juga harus memiliki kemurnian tinggi. Prosedur ini
dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat berkontribusi terhadap
masalah polusi dibandingkan dengan metode ekstraksi cairan superkritis
(SF) (Azwanida, 2015).
3. Infundasi/Dekokta
Infudasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut air. Pada
waktu proses infundasi berlangsung, temperatur pelarut air harus
mencapai suhu 90ºC selama 15 menit. Rasio berat bahan dan air adalah
1:10, artinya jika berat bahan 100 gr maka volume air sebagai pelarut
dalam 1000 ml (Atun, 2014). Dekokta merupakan proses ekstrasksi yang
mirip dengan proses infudasi, perbedaannya adalah waktu pemanasan
yang diperlukan lebih lama yaitu lebih dari 30 menit dan suhu pelarut
sama dengan titik didih air (Atun, 2014). Waktu 30 menit ini dihitung
setelah suhu mencapai 90ºC. Metode dekokta sudah jarang digunakan
karena selain proses penyarian yang kurang sempuran dan juga tidak
dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa bersifat termolabil
(Marjoni, 2016).

Gambar 5. Infudasi/Dekokta
a. Prinsip
Infundasi/Dekokta dilakukan dengan menggunakan 1 unit panci
yang terdiri dari dua buah panci yang saling bisa ditumpuk (panci-tim),
panci bagian atas digunakan untuk menaruh bahan yang akan
diekstraksi (tentu bersama pelarutnya yaitu air masing-masing dengan
takaran tertentu) sementara panci bawah diisi air maksudnya digunakan
sebagai pemanas panci atas sehingga panas yang diterima panci atas
tidak langsung berhubungan.
b. Keuntungan dan kekurangan metode infusa dan dekokta.
Menurut Depkes RI (1979) keuntungan dan kekurangan metode
infusa dan dekokta adalah sebagai berikut:
1) Keuntungan metode ini yaitu unit alat yang dipakai sederhana, biaya
operasionalnya relatif rendah.
2) Kerugian metode ini yaitu zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian
akan mengendap kembali apabila kelarutannya sudah mendingin (lewat
jenuh), hilangnya zat-zat atsiri, adanya zat-zat yang tidak tahan panas
lama, disamping itu simplisia yang mengandung zat-zat albumin tentunya
zat ini akan menggumpal dan zat-zat berkhasiat tersebut sukar ditarik.
II.4 Daun Pepaya
Pepaya adalah tanaman yang berasal dari Amerika tropis dan
menyebar sampai India pada abad ke 16. Tanaman ini dikenal sebagai
papaya dalam bahasa Inggris, papita dalam bahasa Hindi dan
Erandakarkati dalam bahasa Sansekerta (Yogiraj, et al, 2014). Pepaya
adalah tanaman tradisional yang sering digunakan untuk pengobatan
berbagai macam penyakit. Terutama daunnya yang digunakan
mengobati penyakit malaria, demam berdarah, penyakit kuning (Yogiraj,
et al, 2014). Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan senyawa
fitokimia dalam daun pepaya.
II.4.1 Klasifikasi Pepaya (Carica papaya L)
Klasifikasi tanaman pepaya menurut (Yogiraj, et al.,2014) sebagai
berikut:

Gambar 6. Daun Pepaya


Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Dilleniidae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Ordo : Brassicales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya Linn
II.4.2 Nama Lain
Nama pepaya dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa
Belanda “papaja” dan pada masa lainnya diambil dari Arawak papaya”.
Dalam bahasa jawa disebut “kates” dan bahasa sunda disebut “gedang”.
Nama daerah lain dari pepaya yaitu peute, betik, ralempaya, punti kayu
(Sumatra), pisang malaka, bandas, manjan (Kalimantan), kalajawa, padu
(Nusa Tenggara), kapalay, kaliki, unti jawa (Sulawesi). Nama asing
pepaya antara lain papaya (Inggris) dan fan mu gua (Cina) (Herbie,
2015).
II.4.3 Morfologi
Pohon pepaya umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit,
tumbuh hingga setinggi 5-10 m dengan daun yang membentuk serupa
spiral pada batang pohon bagian atas. Daunnya menyirip lima dengan
tangkai yang panjang dan berlubang di bagian tengah. Bunga pepaya
memiliki mahkota bunga berwarna kuning pucat dengan tangkai pada
batang. Bunga biasanya ditemukan pada daerah sekitar pucuk. Bentuk
buah bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya runcing. Warna
buah ketika muda hijau gelap dan setelah masak hijau muda hingga
kuning. Daging buah berasal dari karpela yang menebal, berwarna
kuning hingga merah tergantung varietasnya. Bagian tengah berongga.
Biji-biji pada buah yang masih muda berwarna putih dan pada buah yang
sudah matang berwarna hitam atau kehitaman dan terbungkus semacam
lapisan berlendir untuk mencegahnya dari kekeringan (Putra, 2015).
II.4.4 Manfaat
Daun pepaya mengandung berbagai kandungan kimia seperti
alkaloids carpain, pseudocarpain and dehydrocarpain I and II, choline,
carposide, vitamin C and E. Pada daun pepaya yang masih muda,
kandungan carpain dan alkaloid dapat menekan aksi jantung, mengatasi
infeksi amoeba, sebagai anti malaria, mengobati jaundice, kencing
nanah, demam dan juga asma (Igwe, 2015). Daun papaya muda ialah
daun yang berwarna hijau yang terletak di 3 lapis pertama dari pucuk
daun (Fithriyani, 2017). Daun pepaya juga mampu menyembuhkan
demam berdarah dengan meningkatkan sel darah putih dan trombosit,
menormalkan pembekuan dan perbaikan hati (Aravind, et al., 2013).
II.4.5 Kandungan Daun Pepaya
Pada daun pepaya terdapat berbagai macam metabolit sekunder
antara lain alkaloid, flavonoid, triterpenoid, dan saponin.
1. Alkaloid
Alkaloid memiliki gugus basa yang mengandung nitrogen akan
bereaksi dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel
bakteri dan DNA bakteri. Reaksi ini dapat menyebabkan perubahan
stuktur dan perubahan asam amino yang dapat menyebabkan
perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA sehingga mengalami
kerusakan dan menyebabkan sel bakteri menjadi lisis dan sel bakteri
menjadi mati (Hartini & Mursyida, 2019).
2. Flavanoid
Flavonoid merupakan senyawa polar yang mudah larut dalam
pelarut polar seperti etanol, methanol, buthanol dan aseton. Mekanisme
antibakteri yang dimiliki flavonoid ialah dengan membentuk senyawa
kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut sehingga dapat merusak
membran sel dari bakteri diikuti dengan keluarnya senyawa interseluler.
Selain itu, mekanisme lain yang dimiliki flavonoid adalah menghambat
metabolisme energi dengan menghambat penggunaan oksigen oleh
bakteri dan menghambat motilitas bakteri (Hartini & Mursyida, 2019).
3. Triterpenoid
Mekanisme triterpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan
protein transmembran pada membran luar dinding sel bakteri dan
membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya
protein trans membran. Rusaknya protein trans membran akan
mengurangi permeabilitas membran sel bakteri yang akan
mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga
pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Hartini & Mursyida, 2019).
4. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif yang menimbulkan busa jika
dikocok. Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri dengan
mengganggu permeabilitas membran sel bakteri, sehingga
mengakibatkan rusaknya membran sel dan menyebabkan keluarnya
protein, asam nukleat dan nukleotida dari dalam sel bakteri sehingga
mengakibatkan bakteri menjadi lisis (Hartini & Mursyida, 2019).
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah aluminium
foil, baskom, batang pengaduk, blender, botol semprot, bunsen, cawan
porselin, chamber, corong, erlenmeyer, gelas ukur, gunting, hot plate,
kaca arloji, kertas perkamen, kertas saring, lampu UV 254 nm dan 365
nm, lempeng KLT, penjepit kayu, pinset, pipa kapiler, pipet tetes, pisau,
plat tetes, rak tabung, sendok tanduk, tabung reaksi, timbangan analitik,
dan toples kaca (bejana maserasi).
III.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
aluminium klorida, asam klorida, asam asetat, asam sulfat, aquadest,
ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.), etanol 70%, eter, besi (lll)
klorida, kloroform, magnesium, n-butanol, reagen dragendorff, reagen
mayer, dan reagen wagner.
III.2 Pembuatan Simplisia
Adapun tahapan pembuatan simplisia yaitu pengumpulan bahan
baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan (penjemuran
di bawah sinar matahari langsung atau pengeringan menggunakan alat
pengering (oven) dengan suhu antara 40-60oC, sortasi kering,
penyimpanan dan pengepakan.
III.3 Pembuatan Ekstrak
Adapun cara pembuatan ekstrak dengan metode maserasi yaitu
disiapkan alat dan bahan, disimpan simplisia di dalam toples kaca
dibasahi simplisia dengan etanol 70% sampai terbasahi sepenuhnya,
direndam simplisia dengan ditambahkan etanol 70% sebanyak 2 liter,
diaduk kemudian ditutup rendaman simplisia dengan aluminium foil,
disimpan di tempat yang tidak terkena sinar matahari selama 3 hari
sambil dilakukan pengadukan secara berkala, disaring hasil rendaman
dengan menggunakan kertas saring dan diuapkan hasil rendaman
hingga menjadi ekstrak kental.
III.4 Tahapan Skrining Fitokimia
III.4.1 Uji Alkaloid
Adapun cara kerja untuk uji alkaloid yaitu diambil larutan stok 2
mL ditetesi dengan HCl 2 N 2-3 tetes, dipanaskan diatas lampu spiritus,
dibagi menjadi 3 bagian dalam masing-masing tabung reaksi (A,B,C).
Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan reagen tabung A
ditambahkan 3-5 tetes reagen Mayer, tabung B ditambahkan 3-5 tetes
reagen Wagner, tabung C ditambahkan 3-5 tetes reagen Dragendorf.
Adapun hasil positif dari uji alkaloid yaitu tabung A positif mengandung
alkaloid jika terbentuk endapan putih, tabung B positif mengandung
alkaloid jika terbentuk endapan coklat dan tabung C positif mengandung
alkaloid jika terbentuk endapan jingga.
III.4.2 Uji Flavoniod
Adapun cara kerja untuk uji flavonoid yaitu diambil larutan stok 2
ml, ditambahkan 1 mg serbuk magnesium ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan HCl pekat 2-3 tetes. Adapun hasil positif dari uji
flavonoid yaitu apabila terbentuk warna orange, merah, atau kuning,
berarti positif flavonoid (flavon, kalkon dan auron).
III.4.3 Uji Terpenoid dan Steroid
Adapun cara kerja untuk uji terpenoid dan steroid yaitu diambil
larutan stok 2 mL ditambahkan 3 mL eter, terbentuk 2 lapisan (eter
berada pada lapisan atas dan etanol berada di lapisan bawah), diiambil
lapisan eter menggunakan pipet tetes lalu diteteskan pada plat tetes.,
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan satu tetes H2SO4
pekat. Adapun hasil positif untuk uji terpenoid dan steroid adalah apabila
terbentuk cincin berwarna orange, merah, atau kuning menandakan
positif terpenoid dan apabila terbentuk cincin berwarna hijau
menandakan positif steroid.
III.4.4 Uji Saponin
Adapun cara kerja untuk uji saponin yaitu diambil larutan stok 2
mL, ditambahkan 5 mL air panas ke dalam tabung reaksi, didinginkan 1
menit lalu dikocok kuat-kuat selama 1 menit, diukur ketinggian busa
yang terbentuk. Tambahkan 1 tetes HCl 2 N dan diukur ketinggian busa
kembali. Adapun hasil positif dari uji saponin yaitu apabila ketinggian
busa mencapai 5 cm berarti ekstrak mengandung saponin
III.4.5 Uji Tanin
Adapun cara kerja untuk uji tanin yaitu diambil larutan stok 2 ml,
dipanaskan di atas lampu spiritus.dan ditambahkan 2 tetes FeCl 3.
Adapun hasil postif dari uji tannin yaitu apabila terbentuk larutan biru
kehitaman (positif mengandung tanin pirogalol) dan apabila terbentuk
larutan hijau (positif mengandung tanin katekol).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Tabel Hasil Pengamatan
IV. 1.1 Tabel Hasil Pembuatan Simplisia

Bobot Segar : 1320 gram

Bobot Kering : 250 gram

% Kadar : 22,14 %

IV. 1.2 Tabel Hasil Ekstraksi Daun Pepaya (Carica papaya L.)

Ekstrak Hasil

Berat Sampel Basah : 1320 gram

Berat Serbuk : 250 gram

Berat Ekstrak : 44,28 gram

% Kadar : 22,14 %

IV. 1.3 Tabel Hasil Skrining Fitokimia


Metabolit Sekunder Hasil Keterangan
Alkaloid + Terbentuk endapan putih
Flavanoid + Warna Merah
Tanin + Hijau Kehitaman
Saponin + Tinggi busanya 2 cm
IV. 1.4 Tabel Hasil Skrining Fitokimia Metode Kromatografi Lapis
Tipis
Hasil Pengamatan
No Sinar
Rf UV 254 UV 365 Pereaksi
Bercak Tampak
Kuning Kuning
1. 0,32 Kuning Dragendorff
Muda keorensan

Kuning
2. 0,27 Kuning Kuning AlCl3
Kehijauan

IV. 2 Pembahasan
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang banyak
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam pepaya sendiri
memiliki kandungan metabolit sekunder yang biasanya dimanfaatkan
dalam bidang kesehatan. Manfaat dari daun muda Carica papaya L.
dapat dipergunakan untuk pengobatan penyakit demam, penambah
nafsu makan, keputihan, jerawat, menambah air susu, serta mengobati
sakit gigi. Dalam beberapa dekade terakhir, ekstrak pepaya digunakan
untuk memerangi peyakit kanker (Sukardiman et al, 2013).
Pepaya (Carica papaya L.) termasuk tanaman family Caricaceae
yang berkeping biji dua (dikotil) serta poligamus. Pepaya adalah
tanaman semi-kayu, biasanya berbatang tunggal dan tersebar di daerah
tropis dan subtropis (Jiménez, dkk., 2013). Daun pepaya telah dilaporkan
memiliki beberapa manfaat, memiliki antioksidan (Vuong, dkk., 2013).
Kandungan metabolit sekunder dari daun pepaya adalah flavonoid
(Nugroho, dkk., 2017; Maisarah, dkk., 2013), alkaloid (Julianti, dkk.,
2014), fenolik (Maisarah, dkk., 2013).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dimanfaatkan sebagai obat-
obatan herbal/tradisional yang belum diolah dengan segala macam cara,
kecuali berupa bahan yang melalui proses pengeringan (Wahyuni Rina,
Guswandi, 2014). Hal pertama yang dilakukan adalah mengambil sampel
daun. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari, pada pukul 06.00
pagi sampai pukul 09.00. Menurut Nurohman R (2016), pengambilan
sampel dilakukan pagi hari karena pada saat itu kondisi stomata daun
sedang terbuka. Sampel yang digunakan adalah daun papaya (Carica
papaya L.) Menurut Julaily dkk (2013), ekstrak daun pepaya
mengandung berbagai golongan senyawa metabolit sekunder seperti
alkaloid, flavonoid, polifenol, kuinon dan terpenoid. Tujuan pengubahan
bentuk atau perajangan simplisia adalah untuk memperluas permukaan
bahan baku untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan.
Dilakukan pengeringan pada sampel daun pepaya, menurut
Dharma et al (2020). Dalam pengolahan simplisia memerlukan proses
pengeringan, dapat dilakukan dengan dua acara, yaitu pengeringan
secara alamiah (bantuan sinar matahari dan diangin-anginkan). Setelah
kering dihitung susut pengeringan. Susut pengeringan merupakan kadar
bagian yang menguap dari suatu zat, kecuali dinyatakan lain, sebanyak 1
gram sampai 2 gram zat ditetapkan pada temperature 105℃ selama 30
menit atau sampai bobot tetap. Hasil dari susut pengeringan simplisia
daun pepaya ialah 0,1893%. Menurut Farmakope Herbal Indonesia
(2017), susut pengeringan tidak lebih dari 10%, hasil yang diperoleh
sudah sesuai dengan literatur.
Maserasi merupakan salah satu metoda ekstraksi yang dilakukan
dengan cara merendam simplisia nabati meggunakan pelarut tertentu
selama waktu tertentu dengan sesekali dilakukan pengadukan atau
penggojokan (Marjoni, 2016). Percobaan kali ini dilakukan
pengekstraksian daun pepaya (Carica papaya L.) Menurut Maria (2016),
bagian pepaya yakni daunnya adalah salah satu tanaman yang
digunakan dalam pengobatan tradisional. Pengekstraksian dilakukan
degan metode maserasi, pemilihan metode ini dikarenakan maserasi
merupakan cara ekstraksi yang menggunakan prosedur dan peralatan
yang sederhana (Hasriyani, 2021). Maserasi menggunakan pelarut
etanol 70% karena sampel yang digunakan adalah sampel kering, oleh
karena itu dibutuhkan cairan untuk membasahi sampel sehingga sel-sel
akan mengembang dan pelarut akan lebih mudah dipenetrasi untuk
mengikat senyawa-senyawa yang terkandung dalam sel. Alasan
pemilihan pelarut etanol 70% yaitu karena etanol dapat menarik senyawa
aktif yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis pelarut organik
lainnya, etanol memiliki titik rendah sehingga membutuhkan panas lebih
sedikit untuk proses pemekatan (Hasanah dan Novian, 2020). Hal yang
didapatkan dari volume ekstrak cair sebanyak 2000 ml setelah diuapkan
menjadi 44,28 gram. % Rendemen yang dihasilkan adalah 22,14 %.
Menurut penelitian Hasnaeni dkk (2019), semakin tinggi nilai rendemen
maka semakin banyak berat ekstrak yang diperoleh dan senyawa aktif
yang terkandung juga semakin banyak.
Identifikasi pemisahan senyawa secara kualitatif pada ekstrak
etanol menggunakan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis). KLT adalah
metode untuk menganalisis campuran dengan memisahkan senyawa
dalam campuran dan dapat digunakan untuk membantu menentukan
jumlah komponen dalam suatu campuran. Identifikasi senyawa, dan
kemurnian suatu senyawa (Utami, 2019). Kromatografi lapis tipis
merupakan cara cepat dan mudah untuk dapat melihat kemurnian suatu
sampel maupun karakterisasi sampel dengan menggunakan standar.
Cara ini praktis untuk analisis data skala kecil untuk laboratorium karena
memerlukan bahan yang sedikit dan waktu yang dibutuhkan sedikit.
Kemurnian suatu senyawa bias dilihat dari jumlah bercak yang terjadi
pada plat kromatografi lapis tipis ataupun jumlah puncak kromatografi
lapis tipis. (Hidayat et al, 2015).
Prinsip KLT adalah distribusi suatu senyawa fase padat yang
ditotolkan pada plat KLT dan fase gerak cair yang bergerak diatur oleh
fase padat. Senyawa atau campuran ditotolkan pada bagian bawah plat
KLT. Plat terserbut kemudian dimasukkan dengan ruang kromatografi
yang berisi sedikit pelarut (eluen). Pelarut akan tertarik oleh partikel yang
ada pada plat melalui oksidator dan pelarut bergerak pada senyawa
dengan fase padat atau larut KLT bergantung pada fisik dan struktur
senyawa. Identifikasi pemisahan senyawa dianalisis dengan cara
menghitung nilai Rf (Faktor Retardasi). Rf merupakan perbandingan
jarak elusi sampel dengan jarak pemisahan fase gerak dari titik
penotolan.
KLT (Kromatografi Lapis Tipis) merupakan metode pemisahan
suatu senyawa berdasarkan perbedaan distribusi dua fase yaitu fase
diam dan fase gerak. KLT analitik ini digunakan untuk mencari eluen
terbaik dari beberapa eluen yang baik. Eluen yang baik adalah eluen
yang dapat memisahkan senyawa dalam jumlah yang banyak ditandai
dengan memisahkan senyawa dalam jumlah yang banyak ditandai
dengan munculnnya noda. Dari hasil KLT muncul noda-noda yang telah
diamati dibawah UV pada panjang gelombang 245 nm dan 365 nm.
Pada sampel pertama yang menggunakan eluen 3 perbandingan yaitu n-
butanol : asam asetat : air (4:1:5) muncul noda tapi tidak terlalu nampak.
Hal ini terjadi karena pada saat pentotolan sampel masih terlalu kental
sedangkan pada sampel kedua menggunakan eluen kloroform :
methanol (5:1) muncul satu noda yang jelas sehingga dapat dihitung nilai
Rf-nya. Angka Rf mempunyai jarak antara 0,50 sampai 1,50 dan hanya
dapat ditentukan oleh dua decimal. Hasil nilai Rf yang diperoleh adalah
0,36 dimana menurut Rahman (2019) ,nilai Rf telah memenuhi ketentuan
nilai Rf yang baik yaitu antara 0,2-0,8.
Skrining fitokimia merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak
tanaman. Skrining fitokimia dilakukan dengan menggunakan reagen
pendeteksi golongan senyawa seperti flavonoid, alkaloid, tanin, saponin,
terpenoid dan lain-lain (Putri, dkk, 2013). Kali ini dilakukan skrining
fitokimia daun papaya (Carica papaya L.) dimana hal pertama dilakukan
yaitu membuat larutan stok 1 gram/ 10 ml ekstrak daun papaya (Carica
papaya L.) kemudian dilakukan uji kualitatif senyawa alkaloid dengan
menggunakan pereaksi dragendorff, pereaksi mayer dan pereaksi
wagner. Tujuan penggunaan pereaksi mayer pada uji alkaloid
diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+
dari Kalium tetraiodomerturat (II) membentuk komplek kalium alkaloid
yang mengendap (Sangi, M.S, 2013). Tujuan penggunan pereaksi
Dragendorff pada uji alkaloid, karena nitrogen digunakan untuk
membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion
logam (Svehla, 2017), dan tujuan penggunaan pereaksi wagner pada uji
alkaloid karena pada uji wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan
kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks
kalium-alkaloid yang mengendap (Mcmurry, 2012).
Hasil yang diperoleh dari ekstrak yang ditetesi pereaksi dragendorff
yaitu terbentuknya endapan jingga. Langkah awal dalam pengujian
alakaloid yaitu mengambil 2 ml ekstrak etanol, kemudian ditamba asam
klorida pekat dimana fungsinya untuk meningkatkan alkaloid. Tujuan
penambahan HCl adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga
biasanya diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam (Sulistyarini,
dkk, 2021). Hasil yang didapatkan dalam pengujian ini positif
mengandung senyawa alkaloid, dengan terbentuknya endapan jingga,
juga pada uji menggunakan pereaksi mayer positif mengandung
senyawa alkaloid dengan terbentuknya endapaan putih. Hal ini sudah
sesuai dengan (Sulistyarini, dkk, 2021), jika masing-masing larutan
terbentuk endapan putih maka sampel positif mengandung alkaloid.
Dilakukan pengujian kualitatif selanjutnya untuk senyawa flavonoid.
Tujuan penambahan logam Mg dan HCl adalah untuk mereduksi inti
benzopiron yang terdapat dalam struktur flavonoid sehingga terbentuk
garam flavylium berwarnaa merah atau jingga (Sulistyarini, dkk, 2021).
Hasil yang diperoleh dari percobaan ini yaitu muncul warna merah
setelah direaksikan HCl pekat. Hal ini sesuai dengan literatur jika larutan
terbentuk warna kuning, jingga sampai merah, maka positif mengandung
flavonoid.
Selanjutnya dilakukan uji kualitatif yaitu uji Saponin. Larutan uji
sebanyak 2 ml dikocok vertikal di dalam tabung reaksi, kemudian
didiamkan beberapa detik. Hasil diperoleh terbentuknya busa setinggi 2
cm, dimana ini telah sesuai dengan literatur saponin ditunjukkan dengan
terbentuk busa setinggi 1 – 10 cm yang stabil selama kurang beberapa
menit pada penambahan 1 tetes HCl 2 N busa tidak hilang (Sulistyarini,
dkk, 2021).
Dilakukan uji Tanin, larutan uji sebanyak 2 ml direaksikan dengan
larutan besi (III) klorida, hasil diperoleh larutan ekstrak berwarna hitam
kehijauan, menurut Marjoni (2016), jika uji warna terjadi warna biru atau
hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin. Selanjutnya dilakukan uji
kuantitatif dengan melakukan uji alkaloid menggunakan kromatografi
lapis tipis, fase gerak kloroform : methanol (5:1). Setelah plat disemprot
dengan pereaksi dragendorff akan menujukkan bercak cokelat jingga
berlatar belakang kuning (Sulistyarini, dkk, 2021). Timbulnya noda
dengan nilai Rf berturut- turut, 0,32 ; 0,27 dan 0,4 berwarna kuning muda
pada UV 245 nm dan berwarna kuning keorensan pada UV 365 nm,
menegaskan adanya kandungan alkaloid pada ekstrak etanol daun
pepaya (Carica papaya L.).
BAB V
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Bedasarkan hasil praktikum skrining fitokimia ekstrak daun pepaya
(Carica papaya L.) dengan metode maserasi ini dapat disimpulkan
bahwa % rendemen dari ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) adalah
22,14%. Nilai Rf yang diperoleh dengan metode KLT (Kromatografi Lapis
Tipis) yaitu 0,36. Adapun dari hasil praktikum skrining fitokimia dengan
uji kualitatif menunjukkaan ekstrak daun pepaya mengandung senyawa
Alkaloid, Tanin, Flavonoid dan Saponin, serta uji kuantitatif
menggunakan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) menunjukkan pada ekstrak
dengan kandungan Alkaloid memiliki nilai Rf 0,32 sedangkan pada
ekstrak dengan kandungan Flavonoid memiliki nilai Rf 0,27.

V. 2 Saran
V.2.1 Saran untuk Dosen
Adapun saran untuk dosen agar lebih mendampingi dan
membimbing praktikan dan asisten selama praktikum berlangsung.
V.2.2 Saran untuk Asiten
Adapun saran untuk asisten agar dapat mendampingi praktikan
selama praktikum berlangsung agar kesalahan tidak terjadi dan lebih
aktif dalam berbagi pengetahuan.
V.2.3 Saran untuk Laboratorium
Adapun saran untuk laboratorium agar memfasilitasi alat dan bahan
baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta pemasangan AC demi
kelancaran proses praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Riski. 2012. Metode Maserasi. Yogyakarta.

Amelia Nirmalawaty. 2021. Simplisia Umbi. Surabaya : Agroindustri


Fakultas Vokasi.

Aravind, G., Bhowmik, D., Duraivel, S., & Harish, G., 2013, Traditional
And Medicinal Uses Of Carica papaya, Journal Of Medicinal
Plants Studies, 1 (1), 7-15.

Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, 2014.


Keputusan Badan Kepala Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Repuklik
Indonesia. Jakarta. 3

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawas Obat Dan
Makanan. Jakarta

Departem Kesehatan RI. 1995. Materia Medica Indonesia Jilid Iv.


Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta. Hal:
182-185

Dharma et al. 2020. Pengaruh Metode Pengeringan Simplisia Terhadap


Kapasitas Antioksidan Wedang Uwuh. Jurnal dan Teknologi
Pangan (ITEPA).

H. R. Rina Wahyuni, Guswandi, Pengaruh Cara Pengeringan Dengan


Oven, Kering Angin dan Cahaya Matahari Langsung Terhadap
Mutu Simplisia Herba Sambiloto. 2014. J. Farm. Higea, vol. 6, no.
2, pp. 126–133, 2014.

Gresby, Aknesia. 2013. Pemanfaatan Filtrat Daun Jati Muda (Tectona


Grandis) Sebagai Bahan Pewarna Alternatif Pembuatan Preparat
Maserasi Batang Cincau Rambat (Cyclea Barbata). Skripsi.
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Malang.

Hidayat, R., S.P. Pasaribu, & C. Saleh. 2015. Penggunaan Internal


Standar Nitrobenzena untuk Penentuan Kuantitatif Btex dalam
Kondensat Gas Alam dengan Kromatografi Gas. Jurnal Kimia
Mulawarman, 12(2): 90-96Herbie, Tandi. 2015. Kitab Tanaman
Berkhasiat Obat-226 Tumbuhan Obat untuk Penyembuhan
Penyakit dan Kebugaran Tubuh. Yogyakarta: Octopus Publishing
House, P:359.

Ikawati Z. 2008. Enzim Sebagai Target Aksi Obat Pengantar


Farmakologi Molekuler Edisi ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada
Press.

Imelda. 2020. Ekstraksi Daun Kersen dengan Metode Maserasi.


Unniversitas Pendidikan Indonesia : Repository

Indah Sulistyarini, Diah Arum Sari dan Tony Ardian Wicaksono. 2021.
Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder Batang Buah
Naga. Semarang : Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “Yayasan
Pharmasi Semarang

Julaily, Noorbetha. Murkalina.Setyawati, Tri Rima. 2013. Pengendalian


Hama pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Menggunakan
Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) Fakultas Pertanian. IPB.
Bogor.

Khisna, dkk. 2008. Review on Nutrional Medical and Pharmacological


Properties Of Papaya (Carica papaya L) Natural Product Radiene.

Marjoni, R. 2016. Dasar-Dasar Fitokimia. CV. Trans Info Media. Jakarta.

McMurry, J. E., Fay, R. C., dan Fantini, J. 2012. Chemistry (6th ed.).
Newyork: Pearson Prentice Hall.

Melinda, Ayu. 2020. Identifikasi Golongan Komponen Senyawa Kimia


dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Makassar : Universitas
Muslim Indonesia.

Nurohman R. 2016. Kajian Pengaruh Aplikasi Blonutiren, S-267


Terhadap Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit Tahun Tanam
2003/2004. Unniversitas Pendidikan Indonesia : Repository

Nur Hasanah, Dede Rival Novian. 2020. Analisis Ekstrak Etanol Buah
Labu Kuning (Cucurbita Moschata D.). Fakultas Kedokteran
Hewan : Universitas Nusa Cendana

Snyder.1997. Antrimikrobial Effec of spies and Herks Hospitality Institute


Of Thecnology and Management Minnesota.
Svehla, G. 2017. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan
Semimikro, Edisi terbaru diterjemahkan oleh Setiono, L &
Pudjaatmaka, A. H, Jakarta, Media Pusaka

Prasetyo Dan Entang Inoroh. 2013. Pengelolaan Bududaya Tanaman


Obat-Obatan Bahan Simplisia. Gedung Fakultas Pertanian Inib.
Badan

Putra, W. S. 2015. Kitab Herbal Nusantara Kumpulan Resep & Ramuan


Tanaman Obat untuk Berbagai Gangguan Kesehatan. Edisi 1.
Editor Andien. Yogyakarta: Katahati.

Yogiraj V., Goyal P.K. And Chauhan C.S. 2015. Carica Papaya Linn: An
Overview, International Journal Of Herbal Medicine, 2 (5), 1–8.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penyiapan simplisia

No Dokumentasi Keterangan

1 Penimbangan simplisia segar

2 Perajangan simplisia

Hasil perajangan simplisia yang


3
akan dikeringkan

4 Pengeringan simplisia

5 Hasil simplisia yang sudah kering


Lampiran 2. Metode ekstraksi

NO Dokumentasi Keterangan

1 Sampel yang telah diayak

2 Toples Kaca

3 Pelarut Etanol 70%

4 Toples Kaca diberi label

5 Simplisia dimasukan ke dalam


ayakan
Simplisia diayak menggunakan
6
ayakan mesh No 16.

7 Simplisia halus ditimbang

Simplisia dimasukan ke dalam


8
toples kaca

9 Simplisia dibasahi dengan pelarut

10
Dilakukan pengadukan

11 Pengukuran tinggi pelarut


Lampiran 3. Skrining fitokimia
Dokumentasi Keterangan

Uji Tanin

Uji Falovonoid

Uji Alkaloid
(Pereaksi Wegner)

Uji Alkaloid
(Pereaksi Mayer)

Uji Alkaloid
(Pereaksi Dragendorff)
Uji Saponin

Pengukuran tinggi busa


(Uji Saponin)

Lampiran 4. Identifikasi Senyawa

1 Sinar Tampak

2 Sinar UV 254 nm

Sinar UV 365 nm
3
(Uji Kuantitatif Alkaloid)
Lampiran 5. Perhitungan
1. Susut pengeringan
Susut pengeringan = Bobot simplisia kering x 100%
Bobot simplisia segar

250 g x 100% = 0,1893 %


1,320 g
2. Persen rendemen
% rendemen = Bobot ekstrak x 100%
Bobot sampel

44,28 g x 100% = 22,14 %


200 g
3. Perhitungan eluen

- Kloroform = x 10 = 8,3 ml

- Methanol = x 10 = 1,6 ml

4. Perhitungan nilai RF
- Lempeng 1

RF= = = 0,32

- Lempeng 2

RF= = = 0,27

- Lempeng 3

RF= = = 0,4
Lampiran 6. Skema Kerja

1.Pembuatan Simplisia

Pengambilan sampel

Sortasi basah

Pencucian

Perajangan

Pengeringan

Sortasi kering

Penyimpanan dan pengepakan

2. Metode ekstraksi

Diserbukkan simplisia

Diayak dan
ditimbang

Dimasukkan kedalam wadah


atau maserator

Dibasahi dengan etanol 70%

Direndam dengan dicukupkan


pelarut etanol 70% sebanyak 2
liter

Ditutup wadah
3. Skrining Fitokimia
a.Uji Alkaloid

Larutan stok 2ml

+ HCl 2 N 2-3
tetes

Dipanaskan diatas api bunsen

Tabung reaksi A Tabung reaksi B Tabung reaksi C

+ Reagen Mayer + Reagen + Reagen Dragendorff


3-5 tetes Wagner 3-5 tetes 3-5 tetes

(+) endapan putih (+) endapan cokelat (+)


(+)endapan
endapanjingga
jingga

b. Uji Flavonoid

Larutan stok 2ml

+ 1mg serbuk Mg

+ HCl P 2-3 tetes

(+) warna orange, merah, atau kuning


c. Uji Terpenoid dan Steroid

Larutan stok 2ml

+ 3ml eter

Terbentuk 2 lapisan

Dipipet eter dan lalu diteteskan pada plat


tetes

+ 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes


H2SO4 P

(+) steroid : cincin warna jingga, merah atau


kuning
(+) terpenoid : cincin warna hijau

d. Uji Saponin

Larutan stok 2ml

+ 2ml air
panas

Dingin 1 menit lalu kocok


selama menit

Ukur ketinggian busa

+ 1 tetes HCl 2 N, ukur ketinggian busa

(+) ketinggian busa 5cm


e. Uji Tanin

Larutan stok 2ml

Dipanaskan, + 2 tetes
FeCl3

(+) larutan biru kehitaman (tanin pirogalol)


(+) larutan hijau (tanin katekol)

4. Identifikasi Senyawa
a. Uji Flavonoid

Lempeng KLT ditotol ekstrak dan dielusi

Disemprotkan dengan AlCl3

(+) flavonoid jika terbentuk warna kuning


kehijauan

b. Uji Alkaloid

Lempeng KLT ditotol ekstrak dan dielusi

Disemprotkan pereaksi
Dragendorff

(+) alkaloid jika terbentuk warna cokelat


kekuningan
c. Uji Tanin

Lempeng KLT ditotol ekstrak dan dielusi

Disemprotkan pereaksi FeCl3

(+) tanin jika terbentuk warna biru


kehijauan

Anda mungkin juga menyukai