DI SUSUN OLEH :
SEMESTER / KELAS : 3A
KELOMPOK : II
ANGGOTA KELOMPOK : Lucya Teni Zelika ( 19110005 )
Ayu Lestari ( 19110014 )
Norazlina Fitriah ( 19110029 )
Sherly Precillia ( 19110042 )
DOSEN PEMBIMBING : Sabda Wahab S.Farm., M.H.Kes
LABORATORIUM FARMAKOGNOSI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Temulawak dengan nama latin Curcuma xanthorrhiz Roxb. merupakan
tanaman asli Indonesia dan termasuk salah satu jenis temuan yang paling
banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Kini temulawak telah
dikembangkan sebagai sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri
(seperti kosmetika), maupun dibuat makanan atau minuman segar.
Temulawak telah dibudidayakan dan banyak ditanam di pekarangan atau
tegalan, juga sering ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan padang alang-
alang. Tanaman ini lebih produktif pada tempat terbuka yang terkena sinar
matahari dan dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi
(Dalimartha,2007).
Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) menjadi salah satu
tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan
sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia (Prana 2008). Tumbuhan
temulawak secara empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal maupun
campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep obat tradisional menggunakan
temulawak. Pada tahun 2004, pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) mencanangkan Gerakan Nasional Minum Temulawak
sebagai minuman kesehatan. Gerakan- Gerakan ini didasarkan pada hasil
survei yang menyebutkan bahwa temulawak memiliki khasiat dapat
menyembuhkan 24 jenis penyakit. Temulawak merupakan salah satu dari 10
jenis tanaman obat yang paling banyak digunakan dalam ramuan jamu
(Rachman et al. 2007).
Eksistensi temulawak sebagai tumbuhan obat telah lama diakui,
terutama dikalangan masyarakat Jawa. Rimpang temulawak merupakan
bahan pembuatan obat tradisional yang paling utama. Kasiat temulawak
sebagai upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai upaya peningkatan
kesehatan atau pengobatan penyakit. Temulawak sebagai obat atau bahan
obat tradisional akan menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat
tradisional Indonesia sebagai sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan
dapat dipertanggungjawabkan (Sidik et al. 2002).
Dengan demikian penggunaan temulawak sebagai bahan obat salah
satunya dapat dibuat menjadi bentuk simplisia. Simplisia merupakan bahan
alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses
apa pun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah
dikeringkan (Depkes RI, 2000).
Simplisia ini menjadi salah satu bentuk pemanfaatan bahan alam baik
tanaman, hewan maupun mineral untuk dapat dijadikan sebagai obat yang
dapat digunakan oleh masyarakat luas. Ini merupakan cara praktis yang dapat
dilakukan untuk mengolah bahan alam menjadi suatu obat. Sehingga
simplisia ini menjadi sangat penting untuk kita ketahui proses pembuatannya.
B. Tujuan Praktikum
Untuk diketahui pada akhir praktikum, mahasiswa diharapkan dapat
mengetahui cara pembuatan simplisia hingga proses pengekstrakan simplisia
dengan baik dan benar.
C. Manfaat Praktikum
Adapun manfaat dari praktikum ini yaitu:
1. Manfaat teoritis
Hasil praktikum ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep praktek
farmakognosi terutama untuk mengetahui pemeriksaan komponen
senyawa kimia temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb.) yang berasal dari
pasar 7 ulu kota Palembang.
2. Manfaat akademis
Hasil praktikum ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
tambahan dalam praktikum lanjutan untuk mengetahui pemeriksaan
komponen senyawa kimia rimpang temulawak (Curcuma Xanthoriza
Roxb.) yang berasal dari pasar 7 ulu kota Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipakai sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga atau yang baru mengalami proses setengah
jadi, seperti pengeringan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, hewani, dan
mineral atau simplisia pelikan ( widaryanto, 1989 ).
(Depkes RI, 2000), simplisia dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: simplisia
nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral).
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,
bagian tanaman/eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat
tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atan
yang dengan dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat
nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya.
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh,
bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
3. Simplisia Pelikan (Mineral).
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana
dan belum berupa zat kimia murni
Pada umunya pembuatan simplisia melalui tahapan pengumpulan bahan
baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, penyimpanan dan
pemeriksaan mutu ( widaryanto, 1989 ).
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda, antara lain :
a. Bagian tanaman yang digunakan.
b. Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen.
c. Waktu panen
d. Lingkungan tempat tumbuh
Waktu panen sangat erat hubunganya dengan pembentukan
senyawa aktif didalam tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang
tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif
dalam jumlah terbesar. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal
didalam bagian tanaman atau pada umur tertentu.
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk meghilangkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada
simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing
seperti tanah, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah
mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi,
oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat
megurangi jumlah mikroba awal.
3. Pencucian
Penucian dilakukan untuk menghilangakan tanah dari pengotoran
lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan air
bersih, misalnya air dari mata air, air sumur, atau air PAM. Bahan
simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang
mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin.
Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah awal
mikroba dalam simplisia.
4. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses
perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru
diambil, jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh
selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat
mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan
dengan ukuran yang dikehendaki. Semkain tipis bahan yang akan
dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat
waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya at berkhasiat yang mudah
menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang
diinginkan.
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan
dicegah penurunan mutu ata perusakan simplisia. Pengeringan simplisia
dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang
perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dalam luas
permukaan bahan.
6. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lainnya yang masih ada dan tertinggal pada
simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus
untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal, sortasi
disini dapat dilakukan dengan atau secara mekanik.
7. Pengepakan dan penyimpanan
Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena berbagai faktor
luar dan dalam, antara lain : cahaya, oksigen udara, reaksi kimia intern,
dehidrasi, penyerapan air, pengotoran, serangga, dan kapang. Selama
penyimpana ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia.
Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran mutu, sehingga
simplisia bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan
atau ditentukan. Oleh karena itu pada penyimpanan simplisia perlu
diperhatikan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kerusakan
simplisia, yaitu cara pengepakan pembungkusan dan pewadahan,
persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta
cara pengwetannya. Penyebab kerusakan pada simplisia yang utama
adalah air dan kelembaban.
8. Pemeriksaan mutu
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan
atan pembeliannya dari pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia
yang diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan
umum untuk simplisia seperti yang disebutkan dalam bukun farmakope
Indonesia, ekstra farmakope Indonesia ataupun Materi Medika
Indonesia edisi terkahir. Apabila untuk simplisia yang bersangkutan
terdapat paparannya dalam salah satu ketiga buku tersebut, maka
simplisia tadi harus memenuhi persyaratan yang disebutkan pada
paparanya.
B. Tanaman Temulawak
1. Klasifikasi Temulawak
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza, Roxb (Tjitrosoepomo, 2004).
Gambar 1.1 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
2. Nama Daerah
Sumatera: temulawak, Jawa: koneng gede, temu raya, temu besar, aci
koneng, koneng tegel, temulawak. Madura: temo labak. Bali: tommo.
Sulawesi Selatan: tommon. Ternate: karbanga (Dalimartha, 2000).
3. Morfologi Temulawak
Temulawak termasuk tanaman terna berbatang semu setinggi
kurang lebih 2 cm, berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang
terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang kuat, berwarna hijau
gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2 helai sampai 9 helai, berbentuk
bundar memanjang. Berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai
gelap, panjang 31 cm sampai 84 cm, lebar 10 cm sampai 18 cm, panjang
tangkai daun (termasuk helaian) 43 cm sampai 80 cm lebih (Dalimartha,
2000).
Perbungaan lateral, tangkai ramping, berambut 10 cm sampai 37
cm, sisik berbentuk garis, berambut halus, panjang 4 cm sampai 12 cm,
lebar 2 cm sampai 3 cm. Bentuk bulat memanjang, panjang 9 cm sampai
23 cm, lebar 4 cm sampai 6 cm, berdaun pelindung banyak, panjangnya
melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bundar telur
sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu dan putih dengan sebagian
dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawahnya berwarna hijau muda
atau keputihan, panjang 3 cm sampai 8 cm, lebar 1,5 cm sampai 3,5 cm.
Kelopak bunga berwarna putih berambut, panjang 8 mm sampai 13 mm
(Dalimartha, 2000).
Mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5
cm, tabung berwarna putih atau kekuningan 2 cm sampai 2,5 cm. Helaian
bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang, berwarna putih
dengan 7 ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25 cm
sampai 2 cm, lebar 1 cm. Bibir berbentuk bundar atau bulat telur,
berwarna jingga dan kadang-kadang pada tepinya berwarna merah,
panjang 14 cm sampai 18 cm, lebar 14 mm sampai 20 mm, benang sari
berwarna kuning muda, panjang 12 mm sampai 16 mm, lebar 10 mm
sampai 15 mm, tangkai sari, panjang 3 mm sampai 7 mm, buah berbulu 2
cm panjangnya (Dalimartha, 2000).
Lingkungan tumbuh atau habitat alami tanaman temulawak
umumnya ditempat terlindung seperti di bawah naungan hutan jati, tanah
tegal, padang alang-alang dan hutan belantara lainnya. Temulawak dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik didaratan rendah sampai
pegunungan yakni mulai dari 5-120 m di atas permukaan laut
(Dalimartha, 2000).
4. Kandungan Temulawak
Kandungan kimia rimpang temulawak dapat dibedakan atas
beberapa fraksi, yaitu :
a. fraksi pati, merupakan fraksi terbesar berbentuk serbuk warna putih
kekuningan
b. fraksi kurkuminoid, merupakan komponen yang memberikan warna
kuning pada rimpang temulawak yang memiliki khasiat medis,
c. fraksi minyak atsiri, terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan
seskuiterpen.
Komposisi rimpang temulawak segar berumur 9 bulan, berdasarkan
bahan kering terdiri atas 75,18% air, 27,62% pati, 5,38% lemak, 10,96%
minyak atsiri, 1,93% kurkumin, 6,44% protein, 6,89% serat dan 3,96%
abu (Sidik et al. 2002).
5. Manfaat Temulawak
Khasiat temulawak terutama disebabkan oleh dua kelompok
kandungan kimia utamanya, yaitu senyawa berwarna kuning golongan
kurkuminoid dan minyak atsiri. Paduan antara kurkuminoid dan minyak
atsiri mempunyai kemampuan mempercepat regenerasi sel-sel hati yang
mengalami kerusakan akibat pengaruh racun kimia. Temulawak memiliki
beberapa efek farmakologi, antara lain hepatoprotektor (mencegah
penyakit hati), menurunkan kadar kolesterol, anti inflamasi (anti radang),
laksatif (pencahar), diuretik (peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri
sendi (B. Mahendra, 2005).
Manfaat lainnya yaitu meningkatkan nafsu makan, melancarkan
ASI, dan membersihkan darah (Rahmat Rukmana, 2004). Selain
dimanfaatkan sebagai jamu dan obat, temulawak juga dimanfaatkan
sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah
menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami
gangguan pencernaan (Sastrapradja S, 2010). Di sisi lain, temulawak juga
mengandung senyawa beracun yang dapat mengusir nyamuk, karena
tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linalool
dan geraniol yaitu golongan fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk
Aedes aegypti (Ningsih, 2008).
Temulawak juga terbukti dapat menurunkan kadar SGPT dan
SGOT, mengurangi kejadian fibrosis hati sehingga mencegah
berlanjutnya ke sirosis hati. Pada penderita hepatitis akut, temulawak juga
dapat meningkatkan nafsu makan, mengurangi perut kembung,
menghilangkan demam dan pegal linu (Setiawan Dalimartha, 2005).
B. Prosedur Kerja
1. Proses Pembuatan Simplisia
a. Sortasi basah
Dilakukan untuk meghilangkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia seperti akar yang masih melekat
pada rimpang temulawak dan tanah atau kotoran lainnya.
b. Pencucian
Membersihkan temulawak dari kotoran atau tanah menggunakan air
bersih yang mengalir. Kemudian masukkan kedalam baskom yang
bersih.
c. Perajangan
Setelah itu rimpang temulawak yang telah mengalami proses
pencucian dilanjutkan dengan perajangan yaitu memotong atau
mengiris rimpang dengan irisan yang tipis atau potongan dengan
ukuran yang dikehendaki menggunakan pisau. Semkain tipis bahan
yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Sebelum melakukan pengirisan
terlebih dahulu mengupas kulit yang ada pada rimpang.
d. Pengeringan
Selanjutnya, Pengeringan simplisia temulawak dilakukan dengan
menggunakan matahari. Setelah melalui proses perajangan , simplisia
temulawak diletakkan diatas nampan yang sudah diberi alas kertas
koran lalu jemur dibawah matahari kurang lebih selama 3 hari.
e. Sortasi kering
Merupakan tahap akhir pembuatan simplisia dimana pada proses ini
yaitu memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman
yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lainnya yang masih
ada dan tertinggal pada simplisia temulawak kering. Proses ini
dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan.
f. Penyimpanan
Tahap akhir yaitu dengan penyimpanan simplisia temulawak di dalam
toples kaca bening dan beri etiket semenarik mungkin.
2. Proses Ekstrak Menggunakan Metode Sokletasi
a. Pasang alat sokletasi mulai dari kondensor, soklet, labu alas bulat dan
penangas air atau hot plate.
b. Buat selongsong dari kertas saring dan isi sampel simplisia serbuk
temulawak yang telah ditimbang sebanyak 46 gram didalamnya.
Kemudian masukkan kedalam alat soklet dan basahi sampel
selongsong tersebut dengan memasukkan etanol 96% sebanyak 150
ml.
c. Hidupkan hot plate dan amati, hentikan proses ekstraksi ketika pelarut
tidak lagi berwarna.
d. Proses selanjutnya ialah evaporasi atau penguapan untuk mendapatkan
ekstrak kental tanpa ada pelarutnya. Dengan melakukan penguapan
yang sederhana dapat dilakukan dengan penguapan ataupun diangin
anginkan. Yang pertama siapkan alat terlebih dahulu seperti kompor
listrik dan panci yang telah berisi air ¼ dari wadah topeles kaca
ekstrak
e. Masukkan sampel ekstrak yang sudah melalui proses metode sokletasi
tadi ke dalam wadah toples kaca bening (jangan ditutup).
f. Kemudian letakkan toples sampel tersebut kedalam panci yang berisi
air ¼ dari tinggi toples sampel ekstrak dan uapkan hingga ekstrak
yang didapat kental tidak ada lagi pelarut didalamnya.
3. Identifikasi Komponen Senyawa Kimia
a. Identifikasi Flavonoid
1 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan HCL pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di
atas penangas air. Apabila terbentuk warna merah atau kuning berarti
positif flavonoid (flavon, kalkon dan auron).
b. Identifikasi Alkaloid
2 gram ekstrak sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditetesi
dengan 5 ml HCL 2N dipanaskan kemudian di dinginkan lalu dibagi
dalam 3 tabung reaksi, masing-masing 1ml. Tiap tabung ditambahkan
dengan masing-masing pereaksi. Pada penambahan reaksi Mayer,
positif mengandung alkaloid jika membentuk endapan putih atau
kuning. Pada penambahan pereaksi Wagner, positif mengandung
alkaloid jika terbentuk endapan coklat. Pada penambahan perekasi
Dragendrof, mengandung alkaloid jika terbentuk endapan jingga.
c. Identifikasi Terpenoid dan Steroid
2 gram ekstrak sampel dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan dengan 2 ml etil asetat dan dikocok. Lapisan etil asetat
diambil lalu ditetesi pada plat tetes dibiarkan sampai kering. Setelah
kering, ditambahkan 2 tetes cuka dan 1 tetes asam sulfat pekat.
Apabila terbentuk warna merah atau kuning berarti positif terpenoid.
Apabila terbentuk warna hijau berarti positif steroid.
d. Identifikasi Saporin
1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml
air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik
positif mengandung saponin jika terbentuk buih setinggi 1-10 cm
tidak kurang dari 10 menit dan pada penambahan 1 tetes HCL 2 N
buih tidak hilang.
e. Identifikasi Tanin
1 gram ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml
air. Air panas kemudian di didihkan selama 5 menit kemudian
filtratnya ditambahkan FeCl3 3-4 tetes, jika berwarna hijau biru
(hijau-hitam) berarti positif adanya tanin katekol sedangkan jika
berwarna biru hitam berarti positif adanya tanin pirogalol.
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Praktikum
Tabel 1. Hasil Randamen Simplisia Temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb.)
= 25 %
Jadi, hasil perhitungan dari randamen setelah penyusutan adalah 25%
berat bahan baku−berat simplisia
Perhitungan setelah penyusutan = ×100 %
berat bahanbaku
2000 gram−500 gram
= ×100 %
2000 gram
= 75%
Jadi, hasil perhitungan penyusutan adalah 75%
2. Perhitungan Randamen Ekstrak
berat ekstrak
Rendamen ekstrak = × 100 %
diberat sampel
5 gram
= ×100 %
500 gram
= 1,6%
Jadi, hasil perhitungan rendamen pada ekstrak kental adalah 1,6%
3. Identifikasi Komponen Senyawa Kimia Pada Sampel Ekstrak Temulawak (curcuma xanthoriza Roxb.)
4.
Tabel 2. Hasil Identifikasi Senyawa Kimia
No Sampel Uji Pereaksi Warna Keterangan
.
1. Temulawak Flavonoid HCL Pekat Hitam pekat Negative (-)
2. Temulawak Alkaloid HCL 2 N , pereaksi + P.Mayer : kuning keruh Negative (-)
mayer, wagner, + P.Wagner : kuning keruh
dragendrof + P.Dragendrof : terdapat
endapan putih
3. Temulawak Terpenoid dan Etil asetat + cuka + Merah dan kuning Positif (+)
steroid H2SO4
4. Temulawak Saponin Aquadest + HCL 2N Kuning dan terdapat gumpalan Negative (-)
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pada rimpang temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb.), melalui identifikasi
komponen senyawa kimia posiitif mengandung senyawa terpenoid dan
steroid. Hal tersebut ditandai dengan perubahan warna menjadi merah dan
kuning pada plat tetes yang sudah ditetesi cuka dan H2SO4 (asam sulfat)
pekat. Sedangkan pada uji flavonoid, alkaloid, tanin dan saponin tidak adanya
senyawa tersebut pada simplisia temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb.).
B. Saran
1. Laboratorium
Sebaiknya laboratorium yang digunakan oleh para praktikan dijaga
kebersihannya serta dilakukannya peremajaan alat-alat yang ada
dilaboratorium guna kenyamanan dalam praktikum dan bahan-bahan
kimia atau pun bahan-bahan alam lainnya juga harus dijaga ataupun
diperbanyak guna memperlancar jalannya praktikum.
2. Universitas
Kurangnya kelengkapan alat serta bahan kimia yang umumnya
digunakan untuk proses pembelajaran sehingga memperlambat proses
pelajaran yang ada. Serta ada baiknya jika pihak kampus selalu
menyediakan pipet tetes untuk bahan sampel kimia. Jika mengharpkan
mahasiswa yang membawa dan digunakan untuk proses pembelajaran
tidak memungkinkan dikarenakan setiap mahasiswa yang membawa pipet
tetes tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau
kelompok pribadi dimana saat setelah selesai mengambil bahan kimia
yang diperlukan pipet tetes tersebut dibawa masing-masing kelompok
sehingga memperlambat proses pembelajaran saat ingin mengambil bahan
kimia menggunakan pipet tetes pribadi serta memungkinkan terjadinya
pencampuran bahan kimia (tidak steril).
3. Dosen
Seedikit kritikan yaitu pada saat proses pembelajaran kurangnya
efektif dalam waktu sehingga hasil percobaan praktikan begitu terburu-
buru.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad S. 2006. Khasiat Dan Manfaat Temulawak. PT sinar wadja lestari. ISBN :
978-979-1213-06-6
Prayudi S. 2020. Bahan Pangan Potensial Untuk Antivirus Dan Imun Booster.
Bogor. Penerbit BB pascapanen. ISBN 978-979-1116-58-9
Gambar 2.1 Haksel Simplisia Temulawak Gambar 2.2 Serbuk Simplisia Temulawak
(curcuma xanthoriza Roxb.) (curcuma xanthoriza Roxb.)
4. Saponin