Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

DAUN SUKUN (Artocapus altilis)

OLEH :
KELOMPOK 4 :
TRANSFER B 2016
RUTH M V TAHALELE 16.01.298
MARIA ANA FEBI 16.01.299
AHMAD KHAIRUL 16.01.300
HENDRA EKO SAMJANI 16.01.301
ANSYARULLAH 16.01.302
JANDRI LAYUK 16.01.304
MUH. RAMLI 16.01.303
JANUAR IBNU SUDRAJAT 16.01.305
ARIANTO D SYAHPUTRA 16.01.306
ISNAINA F.G.M 16.01.307

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


MAKASSAR
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai tanaman


obat tradisional yang dapat digunakan untuk pemeliharaan
kesehatan dan mampu mengobati penyakit, namun penggunaan
secara luas dan optimal masih mengalami kendala antara lain
kurangnya informasi mengenai keamanan dan kemanfaatan dari
tanaman obat itu sendiri.

Seiring berkembangnya pengobatan di Indonesia,


perkembangannya kini mengarah ke sistem pengobatan herbal yang
memanfaatkan tanaman yang mempunyai khasiat obat atau
menyembuhkan penyakit. Sediaan herbal dapat berupa simplisia,
jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka.

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai


obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat
berupa simplisia nabati (tumbuhan), simplisia hewani (hewan),
simplisia pelikan (mineral). Daun Sukun (Artocapus altilis )
merupakan Salah satu tanaman yang dapat dibuat simplisia dan
dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Daun sukun (Artocapus altilis folium) merupakan salah satu


tanaman yang mudah didapatkan dan secara empiris telah
digunakan di masyarakat tertentu di Indonesia sebagai obat
tradisional untuk mengobati berbagai penyakit. Daun sukun bany ak
mengandung senyawa kimia yang bermanfaat seperti polifenol,
asam hidrosianat, asetilkolin, tanin, riboflavin, fenol, dan flavanoid.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukanlah percobaan
pembuatan simplisia nabati dari sampel daun sukun ( artocapus
altilis)

1.2. Maksud dan tujuan


1.2.1. Maksud percobaan
Mampu mengetahui cara penyiapan sampel pada daun sukun
(Artocapus altilis)
1.2.2. Tujuan percobaan
Mampu memperoleh simplisia yang bermutu dari sampel daun
sukun (Artocapus altilis)

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 URAIAN TANAMAN


A. Klasifikasi (Harmanto,2012)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Species : Artocarpus altilis
Selain Artocarpus altilis, tanaman sukun mempunyai
beberapa nama ilmiah lain yang sering digunakan yaitu Artocarpus
communis Forst dan Artocarpus incisa Linn.
B. Sinonim/Nama Daerah (Harmanto, 2012)
Madura : sokon
Irian (Papua) :kamandi
Gorontalo :amu :
C. Morfologi Tanaman
Pada dasarnya sukun (Artocarpus altilis) tergolong tanaman
tropik sejati dengan tempat tumbuh terbaik didataran rendah ,
sukun juga tumbuh diberbagai tempat karena daya adaptasinya
yang tinggi. Tanaman ini tumbuh baik didaerah basah, tetapi dapat
juga tumbuh didaerah yang sangat kering asalkan ada air tanah
dan aerasi tanah yang cukup. Bahkan pada musim kemarau, sukun
dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat.
Tinggi tanaman sukun dewasa dapat mencapai 30 meter
dengan tajuk menyerupai piramida. Umumnya tanaman sukun
membentuk percabangan mulai di ketinggian 1,5 meter diatas
permukaan tanah. Daun sukun berbentuk oval dengan ujung
meruncing. Ukurannya tergolong besar dengan ukuran panjang 30-
60 cm dan lebar 20-40 cm. Warna daun dibagian atas hijau tua
mengkilap dengan permukaan halus. Sementara itu daun bagian
bawah berwarna hijau pucat, bertekstur kasar dan berbulu halus.
D. Khasiat dan kandungan kimia
Daun sukun mengandung beragam zat yang sangat ampuh
menyembuhkan penyakit. Adapun kandungan kimia dalam daun
sukun adalah asam bidrosianat, aseticolin, riboflavin, tanin,
flavonoid dan sitosterol.Zat asam hidrosianat, asetilkolin, tanin dan
ribovlavin terbukti mengatasi peradangan dan penyakit ginjal.
Kandungan flavonoid dan sisterol dalam daun sukun berfungsi
menunjang kesehatan jantung dan pembuluh darah (Waid, 2011).
II.2 Simplisia

II.2.1 Definisi Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan untuk obat dan

belum mengalami perubahan proses apapun dan kecuali dinyatakan

lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia

tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak,

baik sebagai bahan obat atau produk. Berdasarkan hal tersebut maka

simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia

hewan dan simplisia pelikan/mineral.

1. Simplisia Nabati

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian

tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel

yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dikeluarkan

dari selnya dengan cara tertentu atau zat yang dipisahkan dari
tanaman dengan cara tertentu yang masih belum berupa zat kimia

murni.

2. Simplisia Hewani

Simplisia hewani adalah simplisia hewan utuh, bagian hewan atau

belum berupa zat kimia murni.

3. Simplisia Mineral

Simplisia hewani adalah simplisia berasal dari bumi baik telah

diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Depkes, 1995).

II.2.2 Pengelolaan Simplisia

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan

serbuk simplisia kering. Dari simplisia dibuat serbuk simplisia

dengan perakatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu

proses in dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar

beberapa hal yaitu makin halus serbuk simplisia proses ekstraksi

makin efektif, efesien namun makin halus serbuk maka makin rumit

secara teknologi peralatan untuk tahap filtrasi. Selama penggunaan

peralatan penyerbukan dimana adagerakan dan interaksi dengan

benda keras maka akan timbul panas yang dapat berpengaruh

pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikompesasi

dengan penggunaan nitrogen cair.

Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar

dari cemaran industri obat tradisonal dalam mengelola simplisia


sebagai bahan ,baku pada umumnyamelakukan tahapan kegiatan

berikut ini:

1. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

bahan-bahn asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya simplisia

yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing

seperti tanah, krikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak,

serta pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah yang mengandung

bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena

itu pembersihan simplisia dari tanah ..yang terikut cdapat

mengurangi jumlah mikroba awal.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk mennghilangkan tanah dan pengotor

lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan

dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur dari PAM.

Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air

yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang

sesingkat mungkin.

3. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami perajangan bahan

simplisia dilakukan untuk memperoleh proses pengeringan,

pengepakan, dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan

dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga


mempercepat waktun pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu

tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya zat berkhasiat

yangmudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau,

dan rasa yang diinginkan.

4. Pengeringan

Tujuannya yaitu untuk mendapat simplisia yang tidak mudah rusak,

sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan

mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan

dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masih

tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media

pertumbuhan kapang mdan jasad renik lainnya. Proses

pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam

sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang

perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu

pengeringan, kelembapan udara,aliran udara, waktu pengeringan,

dan luas permukaan bahan.

Suhu yang terbaik pada pengeringan adalah tidak melebihi 60 C,

tetapi bahan aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah

menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,

misalnya 30C sampai 45C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu

pengeringan yaitu pengeringan alamiah dan pengeringan buatan.


5. Sortasi Kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir

pembuatan simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan

benda-benda asing seperti bagian-baguan tanaman yang tidak

diiinginkan dan pengotoran-pengotoran lainnya yang masih afda

dan tertinggal pada simplisia kering. Pada simplisia bentuk

rimpang, sering jumlah akar yang melekat pada rimpang terlalu

besar dan harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel

pasir, besi, dan benda-benda rtanah lain yang tertinggal harus

dibuang sebelum simplisia di bungkus.

6. Penyimpanan

Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka

simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak

saling bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya, wadah-wadah yang berisi simplisia disimpan dalam

rak pada gudang penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi pengepakan dan penyimpanan simplisia adalah

cahaya, oksigen, atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang terjadi

antara kandungan aktif tanaman dengan wadah, penyerapan air,

kemungkinan terjadinya proses dehidrasi, pengortoran atau

pencemaran, baik yang diakibatkan oleh serangga, kapang atau

lainnya.
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai

pembungkus simplisia adalah harus inert, artinya tidak mudah

bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi

bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga,

penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen,

dan uap air.

II.2 METODE EKSTRAKSI


Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat
tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke
pelarut yang lain. Ekstraksi bertujuan untuk melarutkan senyawa-
senyawa yang terdapat dalam jaringan tanaman ke dalam pelarut
yang dipakai untuk proses ekstraksi tersebut
Jenis-jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah :
a. Ekstraksi Cara Dingin ( Dirjen POM, 1986).
Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses
ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya
senyawa yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis
ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi.
1) Metode Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding
sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
zat aktif akan larut dengan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di
luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa
tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 2009)
Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai
selama beberapa hari pada temperature kamar terlindung dari
cahaya, pelaut akan masuk kedalam sel tanaman melewati
dididing sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan didala sel dengan diluar sel.
Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdeak keluar dan
diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses
difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi
keseimbangan antara larutan didalam sel dan larutan diluar
sel (Ansel, 1989).
Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15 o-
20o C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan-bahan yang
larut , melarut (Ansel, 1989). Pada umumnya maserasi
dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat
kehalusan yang cocok, dimasukan kedalam bejan kemudian
dituangi dangan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan
dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya, sambil
berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari diserkai, ampas
diperas. Pada ampas ditambah cairan penyari secukupnya,
diaduk dan diserkai sehingga diperoleh seluruh sari
sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup dan dibiarkan ditempat
sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari kemudian
endapan dipisahkan.
Pelarut Yang Digunakan Dalam Metode
Maserasi,Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai
cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air atau eter. Etanol
dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif,
kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas,
tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas
yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit.
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak
menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid,
steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan saponin
hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang
terlarut hanya terbatas. Untuk meningkatkan penyarian
biasanyamenggunakan campuran etanol dan air.
Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada
bahan yang disari.
2) Metode Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan
melewatkan pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia
dalam suatu percolator. Perkolasi bertujuan supaya zat
berkhasiat tertarik seluruhnya dan biasanya dilakukan untuk zat
berkhasiat yang tahan ataupun tidak tahan pemanasan. Cairan
penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut,
cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui
sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak kebawah disebabkan
oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya,
dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan.
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat,
kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa,
daya kapiler dan daya geseran / friksi. (Depkes RI, 2009)
b. Ekstraksi Cara Panas
Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya.
Dengan adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses
penyarian dibandingkan cara dingin. Jenis ekstraksi panas adalah
refluks dan sokletasi.
1) Metode Refluks
Salah satu metode sintesis senyawa anorganik adalah
refluks, metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut
menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika
dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap
sebelum reaksi berjalan sampai selesai. Prinsip dari metode
refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap
pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor
sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan
mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah
reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi
berlangsung. Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada
uap air atau gas oksigen yang masuk terutama pada senyawa
organologam untuk sintesis senyawa anorganik karena sifatnya
reaktif. (Depkes RI, 2009)
2) Metode Sokletasi
Sokletasi adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu
komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara
penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut
tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan
terisolasi. Sokletasi digunakan pada pelarut organik tertentu.
Dengan cara pemanasan, sehingga uap yang timbul setelah
dingin secara kontinyu akan membasahi sampel, secara teratur
pelarut tersebut dimasukkan kembali ke dalam labu dengan
membawa senyawa kimia yang akan diisolasi tersebut. Pelarut
yang telah membawa senyawa kimia pada labu distilasi yang
diuapkan dengan rotary evaporator sehingga pelarut tersebut
dapat diangkat lagi bila suatu campuran organik berbentuk cair
atau padat ditemui pada suatu zat padat, maka dapat diekstrak
dengan menggunakan pelarut yang diinginkan. (Depkes RI,
2009)
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah (R. E.
Treybal, 1980)
a) Temperatur
Pada temperatur tinggi umumnya kelarutan juga tinggi. Tetapi
dalam beberapa hal temperatur juga dijaga rendah untuk
mencegah terjadinya penguapan pelarut dan rusaknya zat terlarut.
b) Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel maka semakin luas permukaan
kontak antara padatan dan pelarut sehingga perpindahan massa
juga semakin tinggi. Partikel yang terlalu kecil dan halus akan
menimbulkan kesulitan dalam hal pemisahan padat-cair
c) Waktu kontak
Semakin lama waktu kontak antara pelarut dengan campuran,
laju perpindahan zat terlarut semakin besar, namun saat mencapai
waktu kontak optimum perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut
menjadi setimbang dengan perpindahan zat terlarut kembali ke
padatannya.
d) Jenis pelarut dan jumlah pelarut
Pelarut dipilih dengan mempertimbangkan segi selektivitas,
harga, viskositas dan toksisitas. Jumlah pelarut harus cukup untuk
melarutkan zat terlarut sampai tingkat yang diinginkan. Jumlah
pelarut sebanding dengan laju leaching, semakin banyak pelarut
maka laju leaching juga makin cepat.
e) Kecepatan pengadukan
Semakin cepat pengadukan maka jumlah zat terlarut yang
berpindah ke dalam pelarut semakin banyak yang berarti laju
leaching juga semakin cepat.
II.3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah pemisahan yang bertujuan untuk
memisahkan golongan utama kandungan yang lain. Senyawa yang
bersifat polar akan masuk kedalam pelarut-pelarut polar dan
senyawa yang bersifat nonpolar akan masuk ke dalam pelarut
nonpolar.Bila kita meneliti fropil fitokimia lengkap daru suatu jenis
tumbuhan, maka sebelum dikromatografi ekstrak kasar perlu
difraksinasi untuk memisahkan golongan utama kandungan yang
satu dari golongan utama yang lainnya (Harbone,1987)
Fraksinasi juga dapat dilakukan dengan metode ekstraksi
padat -cair atau ekstraksi dengan pelarut terjadi dengan proses
pelarutan selektif dari satu atau lebih pelarut dari matriks padatan
dengan cairan pelarut. Prinsip dasarnya adalah berdasarkan
kelarutan. Untuk memisahkan zat analit yang terdapat dari matriks
padatan,maka fase padat dikontakkan dengan fase cair. Pada
kontak fase tersebut, zat terlarut berdifusi dari fase padat kefase
cair sehingga terjado pemisahan dari matriks padatan
(Akbar,2012).
II. 4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
A. Pengertian KLT
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu
metode kromatografi cair yang paling sederhana yang
berdasarkan proses adsorbsi (Dewi,2005: 54). Rohman dan
Gandjar (2008: 329) bahwa sorbsi merupakan proses
pemindahan solut dari fase gerak ke fase diam sedangkan
proses pemindahansolut dari fase diam ke fase gerak disebut
desorbsi. Kedua proses tersebut terjadi terus menerus selama
pemindahan kromatografi karena berada dalam sistem
kesetimbangan dinamis. Solut akan terdistribusi diantara dua
fase yang bersesuaian dengan perbandingan distribusinya
untuk menjaga keadaan kesetimbangan.
Ada empat jenis mekanisme absorbsi, yaitu (Rohman dan Gandjar
2008:329)
1) Adsorbsi
Adsorbsi merupakan penyerapan pada permukaan yang
melibatkan interaksi-interaksi elektrostatik seperti pada gaya
antarmolekuler pada fase diam dengan fase gerak, misalnya:
kromatografi kertas dan KLT.
2) Partisi
Partisi merupakan proses sorbsi seperti pada proses
ekstraksi pelarut dengan cara solut akan terdistribusi diantara fase
diam sesuai dengankelarutan relative keduanya, misalnya:
kromatografi cair-gas.
3) Pertukaran ion
Pertukaran ion merupakan proses pertukaran solut-solut ion
diantara ion-ion yang terikat pada fase diam yang dinamakan resin
berupa padatan polimer oraganik yang bermuatan. Misalnya:
kromatografi kolom.
4) Eksdklusi
Eksklusi berdasarkan pada ukuran molekul dari zat padat
(fase diam) yang berupa gel sedangkan fase gerak berupa cairan.
Proses tersebut dikenal sebagai eksklusi gel.
KLT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
kromatografi kertas karena membutuhkan waktu elusi yang lebih
pendek dan diperoleh pemisahan yang lebih baik untuk analisa
kuantitatif. Hasil pemisahan yang baik dari KLT mempunyai
kapasitas lebih besar dibandingkan dengan kromatografi kertas.
Serta dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang
sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar
apabila dilakukan pada kromatografi kertas (Sastrohamidjojo, 2005:
27).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) melibatkan dua sifat fase
yaitu: sifat fase diam (sifat lapisan/fase penyerap) dansifat fase
gerak (pelarut pengembang). Fase diam dapat berupa serbuk halus
yang berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-
padat). Dewi, 2005:54),
Sebagai fase diam dapat digunakan silika atau alumina yang
dilapiskan pada lempeng kaca atau alumunium. Jika fase diam
berupa silika gel maka bersifat asam, jika fase diam alumina maka
bersifat basa. Fase gerak atau larutan pengembang biasanya
digunakan pelarut campuran organik atau bisa juga campuran
pelarut organik-anorganik.( Gritter, dkk.1985: 109)
B. Sistem Fase Diam Silika Gel pada KLT
Fase diam yang paling banyak digunakan adalah silika gel
dan alumunium oksida. Jenis adsorben yang umum digunakan
untuk KLT adalah silika gel, karena silika gel adalah fase diam
universal yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-
senyawa yang bersifat netral, asam atau basa. Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT.
Senyawa netral yang mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat
dipisahkan pada lapisan yang
diaktifkan dengan memakai pelarut organik atau campuran pelarut
yang normal. Karena sebagian besar silika gel bersifat sedikit
asam, maka asam selalu sedikit
mudah dipisahkan. Fase diam silika gel meminimumkan reaksi
asam/basa antara penyerap dan senyawa yang dipisahkan (Gritter,
1991: 110).
Dalam penelitian Hartati dan Ersam (2006) melakukan uji
pendahuluan dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) dengan tujuan
untuk pemurnian senyawa yang akan dianaliss selanjutnya dengan
menggunakan plat Silika gel GF254B, silica gel 60 (35-70 mesh,
ASIM). Plat silika gel Merck 60 F254B;0,25 mm ukuran 20 x20 cm
dengan alumunium sebagai penyangga fasa diam, dan larutan
1,5% serium sulfat (Ce(SO4)2) Silika gel banyak yang digunakan
sebagai fase dia., mempunyai rumus empiris SiO2. Permukaan
pada partikel silika gel terdapat suatu bayangan atom oksigen yang
mengikat proton. Adanya golongan hidroksil membuat silica bersifat
polar. Gugus fungsi yang bersifat polar akan berinteraksi kuat
dengan analit organik pada permukaan silika gel dan gugus fungsi
non polar berinteraksi secara lemah. Molekul analit yang bersifat
polar dapat berikatan dengan silika gel melalui dua cara, yaitu
melalui ikatan hidrogen dan melalui interaksi dipol-dipol.
C. Sistem Eluen (Fase Gerak) KLT
Polaritas fase gerak perlu diperhatikan pada analisa dengan
KLT, sebaiknya digunakan campuran pelarut organik yang
mempunyai polaritas serendah mungkin. Campuran yang baik
memberikan fase-fase bergerak yang kekuatan bergerak sedang.
Secara umum dikatakan bahwa fase diam yang polar akan
mengikat senyawa polar dengan kuat sehingga bahan yang kurang
sifat kepolarannya akan bergerak lebih cepat dibandingkan bahan-
bahan polar (Gritter, 1991: 85).
Pemilihan sistem pelarut dan komposisi larutan ditentukan
oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan. Untuk meneteskan
sampel yang akan dipisahkan digunakan suatu mikro-syiringe
(penyuntik berukuran mikro). Sampel diteteskan pada salah satu
bagian tepi pelat kromatografi (sebanyak 0,01-10 g zat). Pelarut
yang ideal harus melarutkan linarut (senyawa yang dipisahkan) dan
harus cukup baik sebagai pelarut yang bersaing dengan daya
serap penyerap. Keadaan yang ideal tersebut mungkin terjadi jika
pelarut tidak berproton seperti hidrokarbon, eter dan senyawa
karbonil dipakai sebagai pelarut pengembang (Gritter, 1991: 89).
Kromatografi dengan fase diam silika gel, sering
menggunakan fase gerak pelarut organik atau campuran pelarut
organik. Fase gerak berfungsi untuk menggerakkan permukaan
pada silika gel dengan memindahka analit dari partikel-partikel fase
diam. Molekul analit bebas untuk berpindah bersama pelarut, jika
molekul analit tidak berikatan dengan permukaan silika gel.
Pertama, golongan polar pelarut dapat bersaing dengan analit
untuk menempatkan ikatan pada permukaan silika gel. Oleh karena
itu, jika pelarut yang digunakan terlalu polar akan berinteraksi kuat
dengan permukaan silika gel dan akan meninggalkan tempat fase
diam dengan membebaskan ikatan dengan analit tersebut.
Kemudian analit bergerak cepat pada fase diam. Dengan cara yang
sama, kelompok polar pelarut dapat mengikat kuat dengan
fungsional polar pada analit dan menghalangi Interaksi analit
dengan permukaan silika gel.
Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh
komponen di bagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen.Adapun
rumus dari nilai retensi (Rf) yaitu:

Rf = Jarak tempuh komponen


Jarak tempuh eluen

Nilai Rf sangat karakteritik untuk senyawa tertentu pada


eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf
yang lebih besar berati mempunyai kepolaran yang rendah. Begitu
juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fase diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fase diam,
sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus
berkisar antara 0,2 0,8. Jika Rf terlalu tinggi yang dilakukan
adalah mengurangi kepolaran eluen dan begitupun sebaliknya.
BAB III
METODE KERJA

III.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah pisau,
gunting, baskom, koran, toples
III.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalahdaun sukun (Artocarpus altilis folium,
etanol 96%
III.3 Prosedur kerja
a. Pengambilan sampel dan Penyiapan sampel
1. Daun sukun(Artocapus altilis folium) diambil dari pohon sukun
yang tumbuh disekitar rumah warga. Daun sukun yang diambil
adalah daun yang berwarna hijau segar.
2. Daun sukun yang telah diambil kemudian di pisahkan dari
kotoran yang melekat
3. Daun di cuci bersih dengan air mengalir
4. Kemudian daun dipotong-potong kecil menggunakan gunting
5. Daun yang telah dipotong kecil kemudian dikeringkan
menggunakan alat pengering (oven).
6. Daun yang telah kering kemudian disimpan dalam wadah yang
tertutup baik.
b. Proses Ekstraksi
1. Daun sukun yang telah kering, kemudian dimasukkan ke dalam
bejana
2. Sampel dibasahi dengan etanol 96% selama 30 menit.
3. Setelah itu ditambahkan etanol 96% sampai menutupi
permukaan sampel.
4. Didiamkan selama 3-5 hari, sambil diaduk setiap 6 jam tiap hari.
5. Kemudian disaring, ambil hasil ekstrak pertama lalu dilakukan
penggantian pelarut hingga larutan menjadi bening.
6. Hasil ektrak yang telah didapatkan selanjutnya di uapkan
menggunakan rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak
akhir.
c. Proses partisi/Ekstraksi cair-cair
1. Ekstrak etanol ditimbang sebanyak 1 gram
2. Ekstrak kemudian dilarutkan dengan 15 ml n-heksan dan
dimasukkan dalam corong pisah
3. Air dimasukkan kedalam corong pisah sebanyak 15 ml, lalu
dikocok dan didiamkan selama beberapa saat hingga terbentuk
2 lapisan pelarut
4. Lapisan n-heksan ditampung dan lapisan air dimasukkan
kembali dan ditambahkan 15 ml n-heksan yang baru
5. Lapisan n-heksan yang diperoleh kemudian diuapkan, ekstrak
heksan kemudian ditimbang dan sebagian dimasukkan kedalam
vial.
d. Identifikasi senyawa
1. Pemeriksaan alkaloid
1) Ekstrak kental dimasukkan kedalam tabung reaksi
2) Ditambahkan 2 ml HCl 2N kemudian dipanaskan
selama 2-3 menit dinginkan,lalu ditambahkan Nacl,
kemudian disaring
3) Filtrat ditambahkan HCl 2N
4) Dibagi menjadi 3 bagian dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi : tabung reaksi (1) ditambahkan pereaksi
dragendorf akan terbentuk endapan merah jingga
(+alkaloid) : tabung reaksi (2) ditambahkan pereaksi
mayer, akan terbentuk endapan putih (+alkaloid):
tabung reaksi (3) ditambahkan pereaksi wagner akan
terbentuk endapan coklat (+alkaloid).
2. Pemeriksaan kandungan saponin
1) Ekstrak kental dimasukkan kedalam tabung reaksi
2) Ditambahkan air panas lalu dikocok secara konstan
3) Didiamkan, apabila terbentuk busa ditambahkan HCl,
ukur ketinggian busa jika busa tidak lebih 1 cm maka
positif saponin.
3. Pemeriksaan kandungan flavanoid
1) Ekstrak kental dimasukkan kedalam tabung reaksi
2) Dilarutkan dengan pelarut awal
3) Ditambahkan HCl pekat,kocok
4) Kemudian ditambahkan Mg.
5) Lihat perubahan warna yang terjadi, jika warna merah
keunguan berarti positif flavanoid, merah pucat berarti
flavanon, dan warna orange untuk flavon.
4. Pemeriksaan kandungan steroid
1) Ekstrak kental dimasukkan kedalam tabung reaksi
2) Dilarutkan dengan pelarut awal, kocok
3) Kemudian ditambahkan HCl 2N dan pereaksi
Lieberman-Bouchardat 2-4 tetes
4) Dilihat perubahan warna yang terjadi, jika berwarna
merah atau merah jambu berartu positif steroid
5. Pemeriksaan kandungan tanin
1) Ektrak kental dimasukkan kedalam tabung reaksi
2) Ditambahkan air panas 5 ml, dikocok
3) Ditambahkan NaCl 5 tetes
4) Disaring , lalu filtratnya ditambahkan FeCl3 3-4 tetes
5) Jika berwarna hijau-biru (Hijau-hitam) berarti positif
adanya tanin katekol sedangkan jika berwarna biru hitam
berarti positif adanya tanin pirogalol.
e. Pegujian KLT
1. dibuat eluen etil asetat : N-heksan 4:1 sebanyak 5 ml,
dijenuhkan
2. totolkan cuplikan ekstrak heksan dan ekstrak etanol (awal) pada
lempeng KLT, tunggu sampai kering
3. kemudian dilihat noda yang tambak dengan mata langsung,
4. dilihat dengan menggunakan sinar UV 254 mm dan 366 mm
5. dihitung jarak RF
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 HASIL
IV.1.1 Data pengamatan
a. Hasil Ekstraksi
Sampel Basah Sampel Ekstraksi Hasil
Kering Maserasi
850 gram 500 gram 50 gram + 250 4 gram
ml etanol 96% ekstrak

b. Hasil Partisi
Metode Fraksi
Fraksi n-heksan
ECC (ekstrak cair-cair)
Fraksi air

c. Hasil Identifikasi Senyawa


Identifikasi Senyawa
NO
Senyawa Positif Negatif
1 Alkaloid
2 Flavonoid Tidak dilakukan
3 Saponin
4 Tanin
5 Steroid
d. Pengujian KLT
Visualisasi
Eluen Sampel
UV 254 UV 366
n-heksan : Etil asetat Ekstrak Tidak Tidak
4:1 Awal terbentuk terbentuk
(Ekstrak noda noda
Etanol Daun
Sukun)
n-heksan : Etil asetat Ekstrak Tidak Tidak
4:1 Awal terbentuk terbentuk
(Ekstrak noda noda
Etanol Daun
Sukun
IV. 2 PEMBAHASAN
Pada percoban ini dilakukan pengujian terhadap daun sukun
(Artocarpus altilis) di mulai dari tahap penyiapan sampel hingga pengujian
KLT. Tahap pertama adalah penyiapan sampel dari daun sukun yang
meliputi pengambilan sampel, pengolahan hingga menjadi simplisia.
Pada proses pengambilan sampel, hal yang perlu diperhatikan
adalah waktu pengambilan. Proses selanjutnya adalah pengolahan
sampel yang meliputi sortasi basah, pencucian, pengeringan, sortasi
kering, perajangan dan pengepakan. Sampel yang digunakan adalah
daun sukun (Artocarpus altilis) yang berwarna hijau tua dan segar. Daun
yang telah di ambil dari pohonnya selanjutnya di pilih lagi yang masih
layak digunakan.
Selanjutnya daun dicuci dengan air suling yang mengalir. Air suling
dibiarkan mengalir agar kotoran-kotoran langsung terbawa. Pencucian
dilakukan hingga dapat diperkirakan tidak ada lagi kotoran yang
menempel. Selanjutnya adalah dilakukan tahap perajangan dimana tujuan
dari perajangan ini adalah untuk mempermudah tahap pengeringan dan
tahap ekstraksi.
Sampel yang telah di rajang menjadi partikel-partikel kecil
selanjutnya di timbang dan didapatkan berat awal sampel sebanyak 850
gram. Kemudian sampel dikeringkan dengan diangin-anginkan untuk
mendapatkan hasil simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat
disimpan dalam waktu yang lama kemudian tahap berikutnya adalah
sortasi kering. Tujuan dari proses sortasi kering ini adalah untuk
memisahkan benda-benda asing dan pengotor yang masih ada pada
simplisia kering selanjutnya ditimbang kembali berat sampel kering
dengan berat 500 gram.
Tahap selanjutnya adalah dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi
adalah proses penarikan senyawa aktif dari suatu simplisia menggunakan
pelarut tertentu (Adrianus, 2015). Pada praktikum ini digunakan metode
maserasi karena tekstur dari sampel daun yang bertekstur lunak, serta
hasil yang didapatkan lebih banyak dan juga alat yang digunakan lebih
sederhana.
Sampel yang akan dimaserasi di timbang sebanyak 50 gram
dengan perbandingan pelarut 250 ml etanol 96%. Etanol di gunakan
sebagai pelarut karena etanol termasuk ke dalam pelarut polar sehingga
pelarut diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar.
Selain itu etanol lebih selektif, kapang dan khamir sulit tumbuh dalam
etanol, tidak beracun, netral dan etanol dapat bercampur dengan air.
Pada proses ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
bejana yang terbuat dari kaca (toples kaca) karena untuk mencegah
terbentuknya reaksi kimia maupun fisik yang dapat merubah kemurnian
dari sampel hingga tidak memenuhi persyaratan resmi.
Sampel yang telah ditimbang sebanyak 50 gram terlebih dahulu
dilakukan pembasahan dengan seperempat bagian cairan penyari dengan
tujuan agar cairan penyari memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia
sehingga mendorong zat-zat yang berada didalam sampel untuk keluar
dimana proses ini akan berlanjut hingga konsentrasi cairan didalam
sampel dan diluar mengalami keseimbanga. Selanjutnya sampel
ditambahkan sisa cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 5 hari,
terlindung dari cahaya sambil beberapa kali dilakukan pengadukan agar
proses ekstraksi dapat berlangsung sempurna. Setelah lima hari sampel
dilakukan penyaringan untuk memisahkan cairan penyari dengan simplisia
dan seteleh itu dilakukan penguapan hingga sampel menjadi ekstrak
kental.
Ekstrak kental yang diperoleh kemudian diekstraksi kembali dengan
metode ekstraksi cair-cair dengan menggunakan corong pisah. Ekstraksi
ini menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur dimana
komponen kimia tersebut akan terdistribusi pada kedua fase pelarut
sesuai dengan derajat kelarutannya. Ekstrak etanol daun sukun yang
telah kental selanjutnya diekstraksi menggunakan pelarut n-heksan dan
air. Hal ini dlakukan untuk memisahkan komponen nonpolar dari sampel
dimana komponen non polar akan larut dalam n-heksan dan komponen
polar akan larut dalam air. Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali agar
penyarian betul-betul sempurna sehingga komponen polar dan non polar
dapat terpisah dengan baik. Setelah didapatkan hasil dari fraksi n-heksan
dan fraksi air kemudian diuapkan.
Setelah dilakukan partisi selanjutnya dilakukan identifikasi senyawa
yang terkandung di dalam daun sukun. Pengujian ini meliputi pengujian
alkaloid, flavonid, terpenoid, saponin dan tanin. Hasil yang diperoleh dari
identifikasi senyawa pada daun sukun adalah positif mengandung
saponin. Hal ini ditandai dengan munculnya busa yang tidak mengalami
perubahan selama 1 menit dengan tinggi busa kurang lebih 1 cm.
sementara untuk identifikasi senyawa flavonoid tidak dilakukan karena
tidak tersedianya salah satu bahan saat pengujian. Untuk alkaloid dan
terpenoid dinyatakan negative karena daun sukun tidak mengandung
senyawa tersebut.
Pengujian selanjutnya adalah pengujian KLT dari hasil partisi.
Dimana pada pengujian ini digunakan hasil partisi n-heksan dan ekstrak
etanol daun sukun. Terlebih dahulu lempeng KLT di aktifkan untuk
mengurangi kandungan air dari lempeng karena lempeng KLT bersifat
higroskopis. Jika lempeng mengandung banyak air maka proses elusi
tidak akan berjalan baik. Eluen yang di gunakan dalam percobaan ini
adalah n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 4:1 selanjutnya eluen
di jenuhkan dalam camber. Hasil partisi dari n-heksan dan ekstrak etanol
daun sukun di totolkan pada lempeng KLT. Jarak dari kedua noda ini
harus tidak saling berdekatan untuk menghindari noda saling melekat.
Setelah di totolkan pada lempeng KLT di biarkan hingga kering kemudian
dielusi di dalam eluen yang telah jenuh. Selanjutnya lempeng KLT di
keluarkan dan diamati di bawah sinar UV 254 nm dan UV 366 nm. Pada
lampu UV 254 nm lempeng yang digunakan menggunakan indicator
floresensi sehingga bila dikenai sianr UV lempeng akan berfloresensi dan
noda akan tampak lebih gelap. Sedangkan pada lampu UV 366 nm yang
berfloresensi adalah senyawa yang terkena sinar UV dan dapat ditangkap
oleh mata, umumnya warna noda yang teramati pada lampu UV 366 nm
adalah warna ungu, sebab warna ungu merupakan warna yang memiliki
panjang gelombang yang paling panjang dibanding warna-warna lain
sehingga dapat terlihat pertama kali.
Pada pengujian KLT tidak di dapatkan noda hal ini disebabkan
karena beberapa faktor yaitu eluen yang di gunakan tidak sesuai atau
kurang tepat dan teknik penotolan sampel yang kurang tepat.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pada pada ekstraksi awal didapatkan berat sampel sebanyak 500 gram
kemudian setelah dilakukan identifikasi senyawa yang ada pada ekstrak
daun sukun diperoleh hasil positif saponin dan pada pengujian KLT tidak
didaptkan noda pada lempeng KLT hal ini dapat dikarenakn eluen yang
digunakan tidak sesuai dan pengampilan cuplikan atau metode penotolan
yang kurang tepat.

V.2 Saran
Perlu dilakukan pengujian kembali untuk identifikasi senyawa
dan pengujian KLT karena hasil yang telah didaptkan tidak sesuai dengan
literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar. M.A. 2012. Optimasi Ekstraksi Spent Bleaching Earth dalam


Recovery Minyak Sawit. Skripsi. Tidak Diterbitkan.Universitas
Indonesia: Jakarta.

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ibrahim F,


penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Introduction to
Pharmaceutical Dosage Forms.

Dewi, C.D. 2005. Kimia Analitik Teori Dasar dan Penerapannya. Malang:
Universitas Islam Negeri.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Parameter Standar


Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Gritter, R.J. 1991. Pengantar Kromatografi. Penterjemah : Kosasih


Padmawinata.Edisi Kedua. Bandung: ITB.

Harmanto. 2012. Daun sukun si daun ajaib penakluk aneka penyakit.PT.


agro media pustaka : Jakarta.

Harborne, J., 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern


Menganalisis Tumbuhan .Cetakan kedua. Penerjemah:Padmawinata,
K. dan I. Soediro. Bandung: Penerbit ITB.

Rohman, A., dan Gandjar, IG. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta::
Pustaka Belajar.Sastrohamidjojo.

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi


6.Bandung : Penerbit ITB,

.
LAMPIRAN

PENIMBANGAN SAMPEL
PERAJANGAN DAUN SUKUN BASAH

PENGUAPAN HASIL PARTISI HASIL PARTISI KERING

POSITIF SAPONIN IDENTIFIKASI SENYAWA


PEMBUATAN ELUEN n-
PENJENUHAN ELUEN
heksan : etil asetat (1:4)

PENOTOLAN LEMPENG KLT LEMPENG KLT DIELUSI

PENAMPAKAN LEMPENG DI
BAWAH SINAR UV

Anda mungkin juga menyukai