Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Durian (Durio zibethinus murray) merupakan salah satu tanaman asli Asia
Tenggara yang beriklim tropis basah seperti Indonesia, Thailand dan Malaysia.
Durian yang terdapat di Indonesia memiliki berbagai varietas, terdapat 21 kultivar
durian unggul yang dirilis oleh Dinas Pertanian, yaitu: Petruk, Sukun, Sitokong,
Kani, Otong, Simas, Sunan, Sihijau, Sijapang, Siriwig, Bokor, Perwira, Sidodol,
Bantal Mas, Hepe, Matahari, Aspar, Sawah Mas, Raja Mabah, Kalapet, dan Lai
Mansau (Untung, 2008).
Durian yang dijuluki The King of Fruit merupakan salah satu buah cukup
popular di Indonesia. Durian merupakan salah satu jenis buah-buahan yang
produksinya melimpah. Selama ini, bagian buah durian yang lebih umum
dikonsumsi adalah bagian salut buah atau dagingnya. Kulit dan biji buah hanya
dibuang begitu saja. Tidak dapat dihindari bahwa durian akan menghasilkan
banyak limbah atau buangan berupa biji dan kulit durian. Jika diamati lebih
mendalam, persentase bagian dagingnya termasuk rendah yaitu hanya 20-35%,
sedangkan kulit (60-75%), dan biji (5-15%) belum termanfaatkan secara
maksimal (Djaeni dan Prasetyaningrum, 2010). Kulit durian masih mempunyai
aroma khas durian dan mengandung senyawa polisakarida berupa pektin yang
dapat dijadikan sebagai sumber pektin. Pektin merupakan bahan dalam olahan
pangan yang bernilai tinggi serta berguna secara luas dalam pembentukan bahan
penstabil pada sari buah, bahan pembuatan jeli dan selai. Nilai ekonomi yang
dimiliki pektin cukup tinggi, akan tetapi pengolahan untuk produksi pektin di
Indonesia sampai saat ini belum juga tercapai (Cempaka, 2010).
Penelitian-penelitian tentang proses untuk memperoleh pektin telah
banyak dilakukan dari berbagai bahan diantaranya dari kulit pisang, kulit pepaya,
kulit buah kakao, kulit durian dan lain-lain. Penelitian ini dilakukan untuk
memanfaatkan limbah kulit buah yang terbuang begitu saja untuk mengurangi

1
2

limbah. Pemanfaatan kulit buah durian sebagai sumber pektin bukan hanya dapat
mengurangi limbah sampah tetapi juga dapat meningkatkan daya guna dari kulit
durian itu sendiri dengan dimanfaatkan sebagai sumber pektin.
Proses pembuatan pektin meliputi ekstraksi dengan menggunakan asam.
Ekstraksi pektin dapat dilakukan secara biokimia dan kimia. Secara kimia pektin
dapat diekstraksi dari jaringan tanaman dengan pemanasan dalam asam encer
sedangkan ekstraksi secara biokimia dengan menggunakan enzim. Ekstraksi
dengan pemanasan dalam asam akan menyebabkan hidrolisis gugus ester metil
yang akhirnya menjadi asam galakturonat.
Pektin merupakan polisakarida alami, tidak beracun, dan bersifat anionic
yang diekstraksi dari dinding sel tumbuhan, terutama banyak ditemukan dalam
dinding sel kulit buah-buahan. Pektin ini berupa protopektin yang memecah
karena pengaruh hormon kematangan buah. Namun kalau buah terlalu
matang pektin akan berubah menjadi asam pektat yang sangat mudah larut dalam
air-buah sehingga menjadi lunak. Pektin banyak digunakan dalam kegiatan
industri dan laboratorium. Industri-industri dan laboratorium di Indonesia masih
menggunakan pektin yang diimpor dari luar negri. Pada tahun 2010, jumlah impor
pektin untuk kebutuhan nasional mencapai angka 100 ton per tahun dan harga
pektin tergolong sangat mahal.
Industri-industri yang memanfaatkan pektin diantaranya industri makanan
dan minuman, industri farmasi, dan industri lainnya. Dalam industri makanan dan
minuman, pektin banyak digunakan untuk bahan pembuat tekstur yang baik pada
roti dan keju, bahan pengental, dan stabilizer pada minuman sari buah, bahan
pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade. Dalam industri farmasi, pektin
banyak digunakan untuk emilsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada
bayi dan anak-anak seperti dextrimaltose, kaopek, nipektin, dan intestisan, obat
penawar racun logam, bahan penurun daya racun dan meningkatkan daya larut
obat-obatan sulfat, bahan penyusut kecepatan penyerapan bermacam-macam obat,
bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan
pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan yang rusak
atau hancur sehingga luka tetap bersih dan cepat sembuh, bahan hemostatik, oral,
3

atau injeksi untuk mencegah pendarahan. Dalam industri lainnya, pektin juga
sering digunakan dalam industri kosmetika (pasta gigi, sabun, lotion, krim, dan
pomade), industri baja dan perunggu (quenching), industri karet (creaming and
thickening agent), industri plastik, industri tekstil, industri bahan sintetis, serta
film nitropektin (IPPA, 2003).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kulit durian berpotensi sebagai
sumber pektin. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi pektin dari kulit durian
dengan melihat pengaruh konsentrasi dari asam anorganik HCl terhadap
karakteristik pektin yang dihasilkan. Asam anorganik HCl dipilih karena
tergolong asam mineral yang cenderung murah dan mudah didapatkan serta pada
pH rendah dapat menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi dibandingkan
asam organik (Kertesz, 1951; Rouse dan Crandal, 1978).
Penelitian ini menggunakan limbah kulit durian sebagai bahan utama
dalam pembuatan pektin. Pektin yang dihasilkan diharapkan memiliki mutu yang
setara dengan pektin komersial dan menjadi alternatif sumber pektin selain kulit
jeruk dan kulit apel. Pembuatan pektin dilakukan dengan cara mengekstrasi kulit
durian yang telah diblender sebelumnya hingga berbentuk seperti bubur.
Ekstraksi pektin dilakukan dengan menambahkan asam klorida hingga pH 2.
Ekstraksi dilakukan pada suhu 90ºC serta perlakuan lama ekstraksi 4 jam. Pektin
basah yang didapat kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50oC selama
±2 jam sehingga didapatkan pektin kering sebagai hasil. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penanganan limbah dan dapat
digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan
karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein.

1.2 Rumusan Masalah


Proses pembuatan pektin meliputi sortasi dan pencucian bahan,
ekstraksi, pengendapan, pencucian dan pengeringan. Lama ekstraksi adalah
salah satu faktor dalam menentukan mutu dari pektin yang diekstrak dari
tanaman karena waktu ekstraksi yang digunakan adalah lama waktu terjadinya
4

hidrolisis selulosa yang akan memberikan kesempatan pektin dari tanaman


untuk terlepas atau terlarut dari dinding sel tanaman tersebut (Yujaroen dkk,
2008).
Ekstraksi pektin dilakukan untuk mengeluarkan pektin dari jaringan
tanaman dengan cara memanaskan bahan dalam larutan asam panas encer,
karena selain melarutkan asam pektat dan pektinat (pektin) juga berfungsi
untuk menghidrolisis protopektin yang tak larut menjadi pektin dan asam
pektat yang larut. Larutan asam yang digunakan adalah asam klorida.

Ekstraksi pektin dilakukan pada suhu 70-80 oC, konsentasi pelarut HCl 1% ,
PH 1,5 dan waktu ekstraksi 60–90 menit (Esti dan Kemal, 2001).
Ekstraksi pektin dapat dilakukan secara biokimia dan kimia. Secara kimia
pektin dapat diekstraksi dari jaringan tanaman dengan pemanasan dalam asam
encer sedangkan ekstraksi secara biokimia dengan menggunakan enzim, dimana
enzim-enzim ini berperan pada degradasi hidrolitik dari subtansi pektin yang
terdiri dari pektin metilesterase dan pektin poligalakturonase (Kirk dan Othmar,
1967).
Pada proses ekstraksi, kondisi ekstraksi sangat berpengaruh pada hasil
akhir ekstraksi. Kondisi ekstraksi yang bersifat asam akan lebih efektif untuk
memecah protopektin menjadi pektin daripada kondisi ekstraksi yang bersifat
basa. Hal ini sesuai dengan teori, yang mengatakan bahwa pada kondisi asam,
hidrolisa protopektin menjadi pektin yang larut air meningkat. Proses
pelarutan protopektin menjadi asam pektinat dapat terjadi karena adanya
subtitusi ion polivalen (ion kalsium dan ion magnesium) protopektin oleh ion
hidrogen atau karena putusnya ikatan antara asam pektinat dengan selulosa.
Kertesz, (1951) Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses
ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin
dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat
molekul, kadar metoksil, dan kadar poligalakturonat yang relatif tinggi. Pektin
yang mempunyai kandungan metoksil tinggi dapat membentuk gel dengan
gula dan asam. Sedangkan pektin yang memiliki kadar metoksil rendah
5

membentuk gel diperlukan keberadaan ion-ion polivalen. Semakin rendah


kadar metoksil pada pektin maka pektin akan sukar larut dalam air, demikian
pula sebaliknya semakin tinggi kadar metoksil pada pektin, pektin akan
mudah larut dalam air.
Lenty, (2014) mengekstrak pektin dari kulit durian menggunakan pelarut air
yang ditambahkan asam HCl hingga pH 2 pada suhu 900C selama 1 jam, 2 jam, 3
jam, 4 jam dan 5 jam. Filtrat diendapkan dengan alkohol masing-masing 1 : 1 lalu
didiamkan selama 16 jam. Perolehan rendemen tertinggi sebesar 4,076% pada
perlakuan ekstraksi selama 5 jam. Karakteristik pektin yang diperoleh yaitu kadar
air 6,582%, kadar abu 4,672%, dan kadar metoksil 10,058%.
Pada penelitian ini, proses ekstraksi pektin dari kulit durian dilakukan
dengan memvariasikan konsentrasi HCl. Dari variasi konsentrasi pelarut HCl
yang digunakan, akan diketahuinya pengaruh konsentrasi asam terhadap pektin
yang dihasilkan.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Mengisolasi pektin dari limbah kulit durian menggunakan variasi
konsentrasi asam anorganik (HCl).
2. Mempelajari karakterisasi pektin dengan spektofotometer FTIR.
3. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi asam anorganik (HCl)
terhadap rendemen dan kadar air pektin yang dihasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Mengisolasi pektin dari limbah kulit durian, sehingga dapat
mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan nilai
ekonomis dari limbah kulit durian tersebut.
2. Memberikan pengetahuan dan informasi bagi masyarakat pada
umumnya, sehingga dapat lebih mengetahui segala hal mengenai
isolasi pektin dari limbah kulit durian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pektin
2.1.1 Pengertian dan Sumber
Pektin merupakan kompleks polisakarida yang bersifat asam dengan bobot
molekul tinggi sebesar 30.000-100.000. Sebagai konstituen dalam tanaman, pektin
menyerupai karbohidrat yang terdistribusi luas dalam jaringan, terdiri dari unit
rantai asam D-galakturonat yang terikat dengan ikatan α-(1,4) glikosida (Rowe
dkk, 2009). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi
membentuk kelompok metoksil dengan kadar yang bervariasi tergantung pada
derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002). Selain itu juga bisa ditemukan
dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium, kalsium atau
ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida.
Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-
sela antara selulosa dan hemiselulosa, yang berfungsi sebagai bahan perekat
antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2001). Pektin yang
dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer dengan sedikitnya
mengandung 65% unit asam galakturonat (IPPA, 2003).

Gambar 2.1 Struktur Dinding Sel Tanaman


(Sumber : IPPA, 2003)

6
7

Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam buah


sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah, di mana umumnya
protopektin yang tidak larut lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum
matang (Winarno, 2002). Pada buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu
dengan yang lainnya masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin, tetapi jika
buah semakin tua, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi
pektin karena adanya enzim protopektinase sehingga mengakibatkan terlepasnya
sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim
pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam pektat, di mana
menyebabkan buah menjadi matang (Dwidjoseputro, 1983). Beberapa gula juga
ikut dalam pembentukan pektin, di antaranya adalah rhamnosa, galaktosa, dan
xilosa (Winarno, 2002).

2.1.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin


Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi bahwa
pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930, Meyer dan Mark
menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan Schneider dan Bock pada
tahun 1937 membentuk formula tersebut.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Pektin


(Sumber: Herbstreith dan Fox, 2005)

Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat, dan protopektin yaitu
sebagai berikut :
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid
dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester (Winarno, 2002).
8

2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan
mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat
dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-
beda (Winarno, 2002).
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan
asam pektinat (Klavons dkk, 1994).

Gambar 2.3 Struktur Kimia Asam α-Galakturonat


(Sumber: Herbstreith dan Fox, 2005)

Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu rantai
molekul panjang, di mana setiap rantai utamanya diselingi oleh kelompok
rhamnosa dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa).
Dalam suatu molekul pektin terdapat 300-1000 cincin yang merupakan suatu
molekul dari asam galakturonat yang dihubungkan dengan suatu rantai linier
(Hanum dkk, 2012). Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam
galakturonat dapat diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2003). Selain asam D-
galakturonat sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-
arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia
pektin sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam
isolasinya (Willats dkk, 2006).
9

Gambar 2.4 Struktur Kimia Asam Poligalakturonat


(Sumber: Willats, 2006)

Berdasarkan kandungan metoksil dan derajat esterifikasi (DE), pektin


dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin bermetoksil tinggi (High Methoxyl
Pectin) dengan kandungan metoksil minimal 7% dan derajat esterifikasi lebih dari
50%, dan pektin bermetoksil rendah (Low Methoxyl Pectin) dengan kandungan
metoksil maksimal 7% dan derajat esterifikasi berkisar kurang dari 50%
(Guichard dkk, 1991; Hui, 2006).
Pektin bermetoksil tinggi memerlukan sejumlah minimum padatan terlarut
(biasanya gula, minimal 55%) dan pH dalam kisaran yang sempit sekitar 3,0
untuk membentuk gel, bersifat termal reversibel, dan secara umum larut terhadap
air panas serta seringkali mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk
mencegah penggumpalan. Pektin bermetoksil rendah menghasilkan pembentukan
gel yang tidak tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta
memerlukan adanya sejumlah kalsium atau kation divalen lainnya untuk
pembentukan gel (Sriamornsak, 2003; Hui, 2006).
Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat esterifikasi yang akan
menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium dan kation lainnya. Pektin yang
diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang teresterifikasi
sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangkan modifikasi proses ekstraksi
atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin bermetoksil rendah
dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2003).

Gambar 2.5 Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi


(Sumber: IPPA, 2003)
10

Gambar 2.6 Molekul Pektin Bermetoksil Rendah


(Sumber: IPPA, 2003)

Beberapa pektin dalam proses produksinya dapat diekstraksi dengan


menggunakan ammonia untuk menghasilkan pektin yang teramidasi dan memiliki
beberapa keunggulan tertentu dalam beberapa aplikasinya (IPPA, 2003).

Gambar 2.7 Molekul Pektin yang Teramidasi


(Sumber: IPPA, 2003)

2.1.3 Sifat-sifat Pektin


Pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir
tidak berbau, dan hampir larut sempurna dalam air, membentuk cairan kental,
larutan koloidal yang mudah dituang dan bersifat asam, praktis tidak larut dalam
etanol atau pelarut organik lainnya, larut dalam air lebih cepat jika permukaannya
dibasahi dengan etanol, gliserin atau sukrosa (Farmakope Indonesia, 2014).
Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus. Warnanya
putih, kekuningan, kelabu, atau kecokelatan, banyak terdapat pada buah dan
sayuran matang. Sifat fisikanya seperti kelarutan, viskositas, dan kemampuan
membentuk gel tergantung dari karakteristik kimia pektin itu sendiri, seperti kadar
metoksil, derajat esterifikasi, dan berat molekul (Prasetyowati dan Healty, 2009).
Pektin merupakan polisakarida yang diperoleh dari buah-buahan yang
biasanya digunakan dalam pembuatan jeli dan sebagai bahan tambahan untuk
pengental dalam makanan. Pektin ialah polimer dari asam D-galakturonat yang
berikatan dengan ikatan 1,4-α-glikosidik. Asam D-galakturonat memiliki struktur
yang sama seperti struktur D-galaktosa, perbedaannya terletak pada gugus alkohol
11

primer C6 yang memiliki gugus karboksilat (Hart dkk, 2003). Sebagian gugus
karboksilat pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil menjadi
gugus metoksil dan biasanya mengandung sekitar 8,0-11,0% gugus metoksil
(Ranganna, 2000).
Sifat penting pektin adalah kemampuannya membentuk gel. Pektin
metoksil tinggi membentuk gel dengan gula dan asam, yaitu dengan konsentrasi
gula 58 - 75% dan pH 2,8 - 3,5. Pembentukan gel terjadi melalui ikatan hidrogen
di antara gugus karboksil bebas dan di antara gugus hidroksil. Pektin bermetoksil
rendah tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula tetapi membentuk gel
dengan adanya ion-ion kalsium (Sari dkk., 2012).
Pembentukan gel pektin dipengaruhi berat molekul pektin yang
menunjukkan panjang rantai poligalakturonat. Jika rantai poligalakturonat
panjang, maka serabut pektin yang terbentuk lebih banyak sehingga mempunyai
kemampuan membentuk jaringan tiga dimensi yang kukuh. Serabut-serabut ini
akan mampu menangkap seluruh cairan yang ada didalamnya, sehingga seluruh
sistem menjadi gel (Kirk dan Othmer, 1952). Kekuatan gel yang terbentuk
tergantung pada total asam yang ada (Moris, 1991).
Pektin dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Pektin berester tinggi yaitu mempunyai lebih besar dari 50% gugus
karboksil yang teresterkan.
b. Pektin berester rendah yaitu mempunyai lebih kecil dari 50% gugus
karboksil yang teresterkan.
Berdasarkan banyaknya gugus karboksil yang mengalami esterifikasi,
maka pektin dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
a. High Methoxy Pectin (HMP), yaitu pektin yang mengandung gugus
metoksil sekurang-kurangnya 7 - 8%. HMP mengandung 50-58% gugus
karboksil yang teresterifikasi. HMP hanya dapat membentuk gel dengan
gula dan asam pada kadar gula 60 – 65%, oleh karena itu HMP dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan jelly.
b. Low Methoxy Pectin (LMP), yaitu pektin yang mengandung gugus
metoksil kurang dari 7% (biasanya 3 – 5%). Pada LMP, hanya 20-40%
12

gugus karboksil yang teresterifikasi. LMP dapat membentuk gel pada


kadar gula 10 – 20% dan dengan ion bivalen yaitu kalsium (Vaclavik dan
Christian, 2008).

Ditinjau dari sifat fisika pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu dapat
dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali tanpa
perubahan sifat fisiknya. Pada penambahan air pada pektin kering akan terbentuk
gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan. Proses tersebut dapat
dipercepat dengan ekstraksi dan penambahan gula. Larutan pektin yang berupa
larutan koloid bereaksi asam terhadap lakmus, tidak larut dalam alkohol dan
dalam pelarut organik lainnya seperi metanol, aseton, atau propanol. Kelarutan
pektin akan meningkat dengan derajat esterifikasi dan turunnya berat molekul.
Semakin mudah pektin larut dalam air maka akan semakin mudah untuk
mengendapkannya dengan suatu elektrolit. Larutan dari pektin bersifat asam
karena adanya gugus karboksilat.
Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan
tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial
sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk
gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi. Pektin dari sumber
yang berbeda memiliki kemampuan membentuk gel yang tidak sama karena
adanya variasi dalam karakteristiknya (Sriamornsak, 2003).
Hariyati (2006) mengungkapkan bahwa degradasi dan dekomposisi pektin
dapat disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang dipengaruhi suhu, pH, dan
konsentrasi agen pengoksidasi.

2.1.4 Produksi Pektin


2.1.4.1 Ekstraksi Pektin
Ekstraksi pektin dari buah-buahan didasarkan pada sifat pektin yang dapat
larut dalam air, sedangkan sebagian besar polisakarida lain, seperti selulosa dan
hemiselulosa yang bersama-sama pektin menyusun dinding sel tanaman, bersifat
tidak larut air.
13

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi pektin antara lain sebagai


berikut (Prasetyowati dan Healty, 2009) :
1. Derajat keasaman larutan ekstraksi (pH)
Kandungan ion hidrogen berpengaruh karena dapat mensubstitusi kalsium
dan magnesium dari molekul protopektin sehingga menyebabkan
protopektin terhidrolisis menghasilkan pektin yang larut dalam air .
2. Waktu kontak antara bahan baku dengan pelarut
Waktu kontak atau lama ekstraksi berpengaruh terhadap banyaknya ion
hidrogen yang berhasil mensubstitusi kalsium dan magnesium dari
protopektin sehingga akan menentukan jumlah pektin yang dapat terlarut
dalam air.
3. Ukuran partikel yang diekstraksi
Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap luas permukaan sentuhan
antara solvent dan solute sehingga akan mempengaruhi jumlah pektin
yang terlarut dalam air.
4. Suhu ekstraksi
Suhu ekstraksi akan mempengaruhi ikatan antar molekul protopektin,
dimana suhu ekstraksi yang tinggi akan menyebabkan ikatan antara
molekul-molekul protopektin tersebut mudah untuk terlepas dan larut
dalam air.
5. Rasio pelarut dan bahan ekstraksi
Rasio antara pelarut dan bahan ekstraksi berpengaruh terhadap jumlah
pektin karena umumnya pelarut memiliki keterbatasan untuk mengikat
molekul-molekul pektin.
6. Jenis pelarut
Keberhasilan proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh pemilihan pelarut
yang tepat dengan kriteria seperti selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak
saling bercampur, reaktivitas, titik didih, dan kriteria-kriteria pendukung
lainnya, seperti murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun, tidak
dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif,
memiliki viskositas yang rendah, serta stabil secara kimia dan termis.
14

7. Jenis bahan yang diekstraksi


Jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang lunak maka ekstraksi
dapat berlangsung lebih cepat dan banyak molekul yang akan terlarut,
tetapi jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang keras maka
diperlukan perlakuan khusus agar bahan tersebut mudah diekstraksi.

Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cara


ekstraksi menggunakan beberapa macam pelarut seperti air, beberapa senyawa
organik, senyawa alkalis, dan asam. Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan
senyawa pektin yang disebabkan oleh proses hidrolisis sehingga menyebabkan
protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam
asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan
senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat (Muhidin, 2001).

Gambar 2.8 Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan Asam Pektat
(Sumber: Muhidin, 2001)

Pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan ekstraksi asam yang


menggunakan beberapa jenis asam seperti asam tartrat, asam malat, asam sitrat,
asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi terdapat kecenderungan untuk
menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam klorida, dan
asam nitrat. Beberapa artikel saat ini, menyarankan untuk menggunakan asam
klorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Hwang dkk, 1998; Dinu, 2001) dan asam
nitrat (Pagán dan Barbosa, 2001).
Ekstraksi menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi dibandingkan dengan asam organik. Asam mineral pada pH rendah lebih
baik daripada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan Crandal, 1978).
15

Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk memisahkan ion polivalen,
memutus ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin
menjadi molekul yang lebih kecil, dan menghidrolisa gugus metil ester pektin
(Kertesz, 1951).
Suhu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan rendemen pektin, di mana
akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan
aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel
primer tanaman, khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973).
Suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak jernih
sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekuatan gel berkurang .
Pektin dalam jaringan tumbuhan banyak dalam bentuk protopektin yang
tidak larut dalam air, dengan adanya asam, kondisi larutan pada pH rendah akan
menghidrolisis protopektin menjadi pektin yang lebih mudah larut. Ekstraksi
pektin dari sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada kisaran pH 1,5-3,0
dengan suhu pemanasan 60-1000C selama 30-90 menit (Towle dan Christensen,
1973). Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya
hidrolisis pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosida
gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam
galakturonat (Smit dan Bryant, 1986).

2.1.4.2 Pengendapan Pektin


Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin dari
larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus
karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik seperti
kebanyakan koloid hidrofilik. Dengan penambahan alkohol dapat mendehidrasi
pektin yang akan mengganggu stabilitas larutan koloidalnya sehingga pektin akan
terkoagulasi (Hariyati, 2006).
Menurut Prasetyowati dan Healty (2009), pengendapan pektin dilakukan
dengan penambahan alkohol yang bersifat sebagai pendehidroksi dengan bobot
molekul yang rendah, sehingga akan bercampur sempurna dengan air melalui
ikatan hidrogen dan akan mengurangi jumlah ion atau molekul air yang
16

mengelilingi pektin, sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan


terganggu dan pektin akan mengendap.
Pengendapan pektin dapat dilakukan dengan alkohol 95% yang
mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter. Pengendapan secara komersial
biasa digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium
sulfat, atau alumunium sulfat (Hariyati, 2006). Pengendapan dengan aseton lebih
disukai karena dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan
dari asetonnya, sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang
kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain
seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).

2.1.4.3 Pencucian Pektin


Koh dkk, (2014) melakukan pencucian pektin dengan etanol 70%
sebanyak dua kali dilanjutkan dengan etanol 95% hingga filtrat bekas pencucian
tidak berwarna. Maulidiyah, dkk (2014) melakukan pencucian pektin dengan
menambahkan etanol 96% sambil diaduk yang dilakukan beberapa kali hingga
pektin tidak bereaksi dengan asam. (Susilowati dkk, 2013) juga melakukan
pencucian pektin menggunakan alkohol hingga pH netral dan menghasilkan
pektin dengan warna yang lebih bersih dan putih.

2.1.4.4 Pengeringan Pektin


Pengeringan adalah pengurangan sebagian kadar air dengan bantuan energi
panas alami atau buatan. Yaitu sampai mikroorganisme tidak dapat tumbuh
berkembang (Winarno, 1980).
Tahap akhir dari produksi pektin adalah pengeringan endapan pektin, di
mana dianjurkan dilakukan pada tekanan yang rendah agar pektin tidak
terdegradasi.

2.1.5 Karakterisasi Pektin


Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin
Producers Association (IPPA) dan farmakope. Karakteristik pektin tergantung
17

dari kondisi ekstraksi pektin, dimana hasil ekstraksi terbaik biasanya


diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika
diaplikasikan pada industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama
ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah
dan waktu paling cepat dapat memberikan hasil yang masih dapat diperbolehkan
oleh IPPA dan Farmakope, maka hal ini akan sangat menguntungkan jika
diaplikasikan (Fitriani, 2003).
Berikut adalah standar mutu dan spesifikasi pektin berdasarkan IPPA
(2003) dan Kementerian Kesehatan RI dalam Farmakope Indonesia Edisi V
(2014) :

Tabel 2.2. Spesifikasi Standar Mutu Pektin


Karakteristik Nilai
Kadar air (maksimum) 12%
Kadar abu (maksimum) 10%
Berat ekivalen 600 – 800
Kandungan metoksil :
 Pektin bermetoksil tinggi > 7,12%
 Pektin bermetoksil rendah 2,5 – 7,12%

Kandungan asam galakturonat (minimum) 65%


Derajat esterifikasi untuk
 Pektin ester tinggi (minimum) 50%
 Pektin ester rendah (maksimal) 50%

(Sumber: IPPA, 2003)


18

Tabel 2.3. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope


Tes USP 28
Identifikasi +
Susut pengeringan < 10,0%
Arsenik < 3 ppm
Timah < 5 µg/g
Gula dan asam organik +
Batas mikroba +
Uji kadar :
 Grup metoksil < 6,7%
 Asam galakturonat < 74,0%

(Sumber: Farmakope Indonesia, 2014).

2.1.5.1 Kadar Air


Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan daya
tahan suatu produk, terkait dengan aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan
dan berpengaruh terhadap masa simpan. Produk dengan kadar air rendah relatif
lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air
tinggi yang rentan terhadap aktivitas mikroba (Pardede dkk, 2013). Kadar air
ditentukan dengan pengukuran kandungan air yang berada di dalam produk
(Departemen Kesehatan, 2000).

2.1.5.2 Kadar Abu


Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa
pembakaran bahan organik yang akan berpengaruh pada tingkat kemurnian
pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu akan semakin
rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur di
mana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga yang
tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).
19

2.1.5.3 Berat Ekivalen


Hariyati (2006) menjelaskan bahwa berat ekivalen adalah kandungan
gugus asam galakturonat bebas yang tidak teresterifikasi dalam rantai molekul
pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari
asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami
esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen
semakin rendah.

2.1.5.4 Kadar Metoksil


Kadar metoksil merupakan jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100
mol asam galakturonat yang memiliki peranan penting dalam menentukan sifat
fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel
pektin (Constenla dan Lozano, 2003).

2.1.5.5 Kadar Galakturonat


Perhitungan kandungan galakturonat sangat penting untuk mengetahui
kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki
peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat
mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel pektin (Sofiana, dkk, 2012).

2.1.5.6 Derajat Esterifikasi (DE)


Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-
galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin
tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil
ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam. Ikatan glikosida
gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam
galakturonat, jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah menjadi
asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah
gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi
atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
20

2.1.5.7 Kekuatan Gel


Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat
kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade
pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin
untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai, di mana menjadi
indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Pektin yang mempunyai
grade 100 dapat membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan
grade pektin biasanya menggunakan metode International Food Technologist
(IFT), yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada pH 2,2 - 2,4
yang disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan alat Ridgelimeter
(Meilina dan Illah, 2013).

2.1.6 Aplikasi Pektin


Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari
semua tanaman tingkat tinggi, umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel,
pengental, dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tidak
terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, seperti
untuk produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat
dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam farmasi dan kosmetik.
Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh
konsumen (IPPA, 2003).
Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri
makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein
Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan
pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam
industri makanan dan minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi
tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental, dan stabilizer pada
minuman sari buah. Selain itu, pektin juga berperan sebagai bahan pokok
pembuatan jelly, jam, dan marmalades (Herbstreith dan Fox, 2005).
Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya memiliki
potensi yang baik dalam bidang farmasi. Pektin digunakan untuk mengatasi
21

konstipasi, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam kaopektat
bersama dengan kaolinit, pelega tenggorokan (demulcent), sumber serat, dan
komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik. Pektin
melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang
berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin
digunakan sebagai polimer mukoadhesif, gelling agent, pengental, pengikat air,
stabilator, emulsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-
anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut kecepatan absorpsi berbagai
macam obat. Selain itu, pektin juga berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk
memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan pelapis perban (pembalut
luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan rusak, serta bahan injeksi untuk
mencegah pendarahan (Malviya dan Srivastava, 2011).
Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air
karena merupakan serat yang berbentuk gel, dapat memperbaiki otot pencernaan,
dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Dalam usus besar,
mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan rantai pendek asam
lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek
prebiotik. Pektin juga dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam
empedu yang merupakan hasil akhir metabolisme kolesterol. Semakin banyak
asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin
banyak kolesterol yang dimetabolisme sehingga menurunkan jumlah kolesterol
tubuh. Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus,
memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide,
2009).
Pektin merupakan senyawa yang menarik dalam bidang farmasi karena
berpotensi sebagai carrier atau pembawa obat dalam formulasi pelepasan
terkontrol dan dalam penargetan situs spesifik misalnya untuk penghantaran obat
ke saluran pencernaan seperti matriks tablet, gel beads, dan film coated. Banyak
teknik yang telah digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem
penghantaran, terutama ionotropik gelasi atau gel coating. Dengan teknik
sederhana dan dengan profil toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai
22

eksipien menarik dan menjanjikan dalam industri farmasi untuk aplikasi masa kini
dan masa mendatang (Sriamornsak, 2003).

2.2 Durian
Durian adalah nama tumbuhan tropis yang berasal dari wilayah Asia
Tenggara. Nama ini diambil dari ciri khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-
lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Sebutan populernya adalah "raja dari
segala buah" (King of Fruit). Durian adalah buah yang kontroversial, meskipun
banyak orang yang menyukainya, namun sebagian yang lain malah muak dengan
aromanya. Klasifikasi ilmiah dari durian adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Class : Agnoliophyta
Ordo : Magnoliopsida
Family : Bombacea
Genus : Durio
Species : Durio zibethinus
Durian memiliki kulit yang tajam. Kulit durian adalah pembungkus dari
daging buah durian. Berdasarkan penelitian, kulit durian mengandung bahan yang
tersusun dari selulosa (50% - 60%), lignin (5%) serta pati yang rendah (5%). Kulit
durian juga mengandung minyak atsiri, flavonoid, saponin (AAK, 1997).

Gambar 2.9 Kulit buah durian


23

2.3 Asam Klorida


Asam Klorida (HCl) memiliki sinonim acidum hydrochloridum
concentratum; chlorohydric acid; concentrated hydrochloric acid; E507. Asam
klorida berfungsi sebagai acidifying agent atau agen pengasam berupa larutan
jernih, tidak berwarna, yang berasap dengan bau yang menyengat, memiliki titik
didih sebesar 1100C pada pemanasan konstan dari 20,24% HCl, merupakan
campuran dari HCL dan air, larut dalam dietil eter, etanol 95%, dan metanol.
Asam klorida sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup dengan baik,
dalam wadah gelas atau wadah inert lainnya pada temperatur di bawah 300C dan
harus terhindar dari senyawa alkali, logam, dan sianida karena dapat bereaksi
dengan senyawa tersebut dengan menimbulkan sejumlah panas (Rowe dkk, 2009).

2.4 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)


Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang
berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac,
2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah
microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai
keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang
bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-
10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat (12500-4000
cm-1) (Watson, 2009).
Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum
inframerah yaitu instrumen dispersi dengan menggunakan suatu monokromator
untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk
memantau intensitasnya setelah radiasi melewati sampel, dan instrumen
transformasi Fourier dengan menggunakan suatu interferometer yang
menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan gelombang dapat
dipantau dalam + 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan dispersi.
Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier (Fourier
Transform Infrared, FTIR), prinsipnya adalah monokromator digantikan oleh
suatu interferometer yang menggunakan cermin bergerak untuk memindahkan
24

bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga menghasilkan suatu
interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu persamaan yang
disebut “Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum dari suatu seri
frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009).
Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding spektroskopi
inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara
serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit
komponen yang bergerak.
Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka
terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau
ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada
struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap
energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi
rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap
ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur
(stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) di mana sinar
inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Sofjan, 2008).

Gambar 2.10 Alat Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat


3.1.1 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah durian,
akuades, alkohol 96% , larutan HCl 1N, 2N dan 3N.

3.1.2 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, mantel
pemanas, timbangan analitik, cawan porselen, termometer, spatula, lumpang alu,
desikator, kondensor, lemari asam, kertas pH, kertas saring, kain saring, alat–alat
gelas, buret dan statif serta spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red).

3.2 Variabel Penelitian


3.2.1 Variabel Tetap :
1. Rasio kulit durian dengan akuades yaitu 1 : 4
2. Waktu ekstraksi selama 4 jam dengan suhu 90oC
3. Penambahan HCl hingga pH 2
4. Pengendapan filtrat dengan alkohol masing-masing 1 : 1 selama 16 jam
5. Pengeringan dengan suhu 50 oC selama 2 jam

3.2.2 Variabel Berubah :


1. Konsentrasi HCl yaitu 1 N; 2 N dan 3 N

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Preparasi Sampel Kulit Durian
Langkah pertama yang dilakukan adalah preparasi sampel kulit durian.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif dan
diasumsikan semua jenis durian yang ada di Kota Pekanbaru adalah homogen.

25
26

Kulit durian diperoleh dari penjual durian di pinggiran Jl. Jend. Sudirman
Pekanbaru. Kulit buah durian segar yang diambil adalah bagian kulit dalam yang
berwarna putih dengan cara mengiris bagian dalam kulit buah durian (Gambar
sampel dapat dilihat pada lampiran D). Kemudian kulit bagian dalam durian yang
telah dipisahkan dari bagian kulit terluar, dicuci bersih dari kotoran menggunakan
air.

3.3.2 Ekstraksi Pektin


3.3.2.1 Tahap Ekstraksi
Bagian dalam kulit buah durian yang telah dipisahkan dari kulit bagian
luar, dipotong-potong dan ditimbang sebanyak 250 gr. Tambahkan akuades
sebanyak 1.000 gr (rasio 1 : 4 kulit durian dengan akuades) dan dihaluskan
menggunakan blender. Selanjutnya tambahkan larutan HCl dengan konsentrasi
yang bervariasi (1N, 2N dan 3N) sampai pH 2. Refluk campuran pada suhu 90°C
selama 4 jam. Pertahankan suhu pemanasan tetap sekitar 90oC. Dinginkan larutan,
lalu disaring menggunakan kain saring. Filtratnya diambil dan didinginkan pada
suhu ruang

3.3.2.2 Tahap Pengendapan


Filtrat yang telah dingin diendapkan dengan alkohol 96% dengan
perbandingan volume 1 : 1. Larutan didiamkan selama 16 jam. Selanjutnya
campuran disaring menggunakan kain saring sehingga diperoleh bagian gelnya.

3.3.2.3 Tahap Pencucian


Gel yang diperoleh dicuci dengan penambahan alkohol 96% dan disaring
kembali menggunakan kain saring, sehingga diperoleh pektin basah. Pektin basah
kemudian dikeringkan pada suhu 50°C didalam oven selama ±2 jam. Kemudian
pektin kering digerus hingga halus menggunakan lumpang dan alu.
27

3.4 Analisa Hasil


Pektin kering yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif (rendemen, kadar
air) dan kualitatif (Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red).

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Riau (UR) Jalan HR. Soebrantas Kampus Bina
Widya Km. 12,5 Panam. Penelitian dimulai dari tanggal 10 April 2016 sampai 20
Mei 2016.
28

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1997. Budidaya Durian. Kanisius: Yogyakarta.


Akhmalludin dan Arie K. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat dengan
Cara Ekstraksi. Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Baker, R.A. 1994. Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels.
Journal of Food Science, Vol. 62, No. 2 : 225 – 229.
Budiyanto, A. dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi
terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L.).
Jurnal Pascapanen, 5 (2) : 37 - 44.
Cempaka, A. 2010. Pektin. Makalah. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Constenla, D. and Lozano, J.E. 2003. Kinetic Model of Pectin Demethylation.
Latin American Applied Research, 33 : 91 - 96.
Darmawan, K . Rona J. N., dan Lasma N. S. 2014. Metode Pencucian dan
Penyaringan pada Ekstraksi Pektin dari Kulit Durian. J. Rekayasa Pangan
dan Pert., Vol.2 No.2. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan. Hal 14 - 17.
Dinu, D. 2001. Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran.
Roumanian Biotechnology Letter, 6 : 37-43.
Djaeni, M., dan Prasetyaningrum, A. 2010. Kelayakan Biji Durian Sebagai Bahan
Pangan Alternatif : Aspek Nutrisi Dan Tekno Ekonomi, Riptek, Vol.4,
No.I1, Hal : 37 – 45.
Dwidjoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia: Jakarta.
Esti dan Kemal. 2001. Pektin Markisa. http://www.warintek.ristek.go.id/ diakses
pada tanggal 23 Juni 2016.
29

Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang
Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Fitriani, V. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon
(Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Guichard, E. S., Issanchou, A., Descourvieres and Etievant, P., 1991. Pectin
Concentration, Molecular Weight, and Degree of Esterification : Influence
on Volatile Composition and Sensory Characteristics of Strawberry Jam.
Journal of Food Science, Vol. 56, No. 6 : 1621 - 1627.
Hanum, F., Martha A. T., dan Irza M. D. K. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit
Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia, Universitas
Sumatera Utara, Vol. 1, No. 2 : 49 - 53.
Hariyati, M.N. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses
Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hart Harold, Leslei E, Hart D. 2003. Organic Chemistry, A Short Cause, Eleven
Edition. Houghton Mifflin Company.
Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat -
Pektin Jeruk. Jakarta : Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Industri
Sumatera Barat.
Herbstreith, K., dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreithfox.de/pektin/
forschung und entwicklung/forschung_entwicklung04a.htm (diakses
tanggal 11 Juni 2016 pukul 20.00 WIB).
Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Functionality, and Applications.
Hui, Y. H. 2006. Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. New
York : CRC Press. ISBN 978-1-57444-551-0. Vol. 1 : 1 - 20.
Hwang, J.K . Kim C.J., dan Kim C.T. 1998. Extrusion of Apple Pomace
Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, Vol. 63, No. 5 :
841-844.
30

Ide, P . 2009. Health Secret of Dragon Fruit : Menguak Keajaiban si Kaktus


Eksotis dalam Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Anggota IKAPI PT. Elex
Media Komputindo. Hal. 59.
IPPA (International Pectins Producers Association). 2003. What is Pectin.
http://www.ippa.info/history_of_pectin.htm (diakses tanggal 11 Juni 2016
pukul 19.50 WIB).
Kalapathy, U., Proctor, A. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol
Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin.
Journal Food Chemistry, 73 : 393 – 396.
Karen, Darmawan., Rona J.Nainggolan., dan Lasma Nora Limbong. 2014. Metode
Pencucian dan Penyaringan Pada Ekstraksi Pektin dari Kulit Durian.
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Vol.2 No.2.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-235-463-5. Hal 990 - 991.
Kertesz, Z. I. 1951. The Pectin Substances. New York : Interscience Pub. Inc.
Kirk, R. E, dan Othmer, D. F. 1952. Encyclopedia of Chemical Technologys. Vol.
4 and 5. New York: Imterscience Publ. Co.
Klavons, Jerome A., Raymond D. Bennett dan Sadie H. Vannier. 1994.
Physical/Chemical Nature of Pectin Associated with Commercial Orange
Juice Cloud. Journal of Food Science, Vol. 59, No. 2: 399-401.
Lenty, Artha Siregar,. Rona J.Nainggolan,. dan Mimi Nurminah. 2014. Pengaruh
Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Pektin dari Kulit Durian. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Vol.2 No.2.
Koh, P.C., Leong C.M, and Noranizan M.A. 2014. Microwave-Assisted
Extraction of Pectin from Jackfruit Rinds Using Different Power Levels.
International Food Research Journal, 21 (5) : 2091-2097. ISSN 2091-2097.
Madhav, A and Pusphalatha, P.B. 2002. Characterization of Pectin Extracted
from Different Fruit Wastes. Journal of Tropical Agriculture 40, 53-55.
Malviya dan Srivastava, P. 2011. Sources of Pectin, Extraction and Its
Applications in Pharmaceutical Industry-An Overview, Indian Journal of
Natural Products and Resources Vol. 2(1), 10-18.
31

Maulidiyah, H., Fitri S., Muhammad N., dan Ansharullah. 2014. Isolasi Pektin
dari Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) dan Uji Daya Serapnya
terhadap Logam Tembaga (Cu) dan Logam Seng (Zn). Jurnal Agroteknos,
Vol. 4, No. 2 : 112 - 118. ISSN 2087-7706.
Meilina, H. dan Illah S. 2013. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus
medica). Prosiding Simposium Nasional Polimer V : 117 - 126. ISSN
1410-8720.
Moris, T.N. 1947. Principle of Fruit Preservation Jam Making Canning and
Drying. Second Edition. Wetsport: Deven Nostrand Company, Inc.
Mudzakir, A. 2008. Metode Spektroskopi Inframerah. Bandung: UPI.
Muhidin, D. 2001. Papain dan Pektin. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Pagan, G. V., Barbosa C. 2001. Extraction and Characterization of Pectin from
Stored Peach Pomace. Food Research International, 34 : 605-612. ISSN
0963-9969.
Pardede, A., Devi R., Agus MHP. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari
Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Media Sains, Vol. 5, No. 1 : 66
– 71. ISSN 2085-3548.
Pigman, W.W. 1946. Advance In Carbohydrat Chemistry. Vol 2. John Wiley and
Sons, Inc.
Prasetyowati, Karina P. S., dan Healty P. 2009. Ekstraksi Pektin dari Kulit
Mangga. Jurnal Teknik Kimia, No. 4, Vol. 16 : 42 - 49. Universitas
Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Product. New
Delhi : McGraw Hill.
Rofikah. 2013. Pemanfaatan Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa Paradisiaca Linn)
untuk Pembuatan Edible Film. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Semarang.
Rouessac, R dan Rouessac, A. 2000. Chemical Analys: Modern Instrumentation
Metods and Tecniques. Inggris: John Wiley and Sons Ltd.
32

Rouse, A. H. 1977. Pectin : Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E.


Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1.
The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut.
Rouse, A. H. dan P. G. Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and Lemon Peel as
Extracted by Nitric Acid. Journal of Food Science, Vol. 43 : 72 - 73.
Rowe, R. C., Paul J. S., dan Marian E. Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 6th Edition. London : Pharmaceutical Press.
Sari, E., E. Praputri, A. Rahmat, dan Arif Okdiansyah. 2012. Peningkatan
Kualitas Pektin dari Kulit Kakao melalui Metode Ekstraksi dengan
Penambahan NaHSO3. Prosiding SNTK TOPI 2012. ISSN. 1907-0500.
Siregar, L. A., Rona J. N. Mimi N. 2014. Pengaruh Lama Ekstraksi Terhadap
Mutu Pektin dari Kulit Durian. J. Rekayasa Pangan dan Pert., Vol. 2 No.
3. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Smit, C. J. B. dan Edwin F. B. 1986. Properties of Pectin Fractions Separated on
Diethylaminoethyl-cellulose Columns. Journal of Food Science, Vol. 32 :
197 - 199.
Sofiana, H., Khrista T, dan Setia B. S. 2012. Pengambilan Pektin dari Kulit
Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol.
1, No. 1 : 482 - 486.
Sriamornsak, P. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses : A
Review. International Journal, Vol. 3, 206 - 228. Silpakorn University.
Suseno, Jatmiko E. dan K. Sofjan Firdausi. 2008. Rancang Bangun Spektroskopi
FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi.
Berkala Fisika, Vol. 11, No. 1 : 23 - 28. ISSN : 1410-9662.
Susilowati, Edahwati, L. dan H. Tutuk. 2013. Produksi Pektin dari Kulit Kakao
(Theobroma Cacao). Staff Pengajar Prodram Studi Teknik Kimia, UPN,
Surabaya. Hal : 121-122.
Towle, Gordon A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Industrial Gums :
Polysaccharides and Their Derivatives. 2th Edition (Roy L. Whistler and
James N. BeMiller, eds.). New York : Academic Press.
33

Untung, O. 2008. Durian untuk Kebun Komersial dan Hobi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Vaclavik, V. A. dan E. W. Christian. 2008. Essentials of Food Science. Third
Edition. Springer Science+Business Media, New York.
Watson, D. G. 2009. Analisis Farmasi : Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Praktisi Kimia Farmasi. Edisi 2. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Willats, W. G. T., Paul K., dan Jorn D. M. 2006. Pectin : New Insights Into An
Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science and
Technology, 17 : 97 - 104.
Winarno, F. G. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M. Brio
Press..
Winarno, F.G., T. S. Rahayu. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
Gramedia.
Wong, D. W. S. 1989. Mechanisme and Theory in Food Chemistry. New York
Van Nostrad Reinhold.
Yojaroen, P., Supjaroenkul U., dan Rungrodnimitchai S. 2008. Extraction of
Pectin From Sugar Palm Meat. Tamm Int J Sc Tech. 13 Special Edition.
pp 44-47.

Anda mungkin juga menyukai