BAB 2
SIFAT DASAR ANTENA
2.1 Pendahuluan
Apakah yang dimaksud antena? Antena berasal dari bahasa latin antennae
yang berarti “sungut”, yaitu alat peraba pada bekicot, kecoa atau serangga
lainnya. Kata antennae kemudian diadopsi kedalam bahasa Inggris, antenna atau
dalam bahasa Indonesia disebut antena. Bab ini fokus pada pembahasan pada
defenisi antena, parameter dasar, resistansi radiasi, pola radiasi, direktivitas,
penguatan (gain), luas berkas (beam area), dan antena sebagai luasan (aperture).
Asumsi bahwa antena isotropis diletakkan dipusat bola dan jarak dari
pusat bola ke permukaan bola adalah sama. Maka menurut hukum kekekalan
energi, daya yang dipancarkan dipusat bola oleh antena isotropis sama dengan
total daya pada permukaan bola. Secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
π 2π
W = ∫ ∫ Pr dA (watt)
0 0
(2.1)
π 2π
W = ∫ ∫ Pr .r 2 . sin θ .dθ .dφ = 4πr 2 Pr
0 0
(2.2)
W
Pr = (W/m2) (2.3)
4πr 2
Pr
W P
U = Pr × r 2 (W/rad2) (2.4)
Karena Pr = W 4πr 2 , maka daya total pada permukaan bola untuk sumber
isotropis dapat pula dihitung jika persamaan intensitas radiasi diketahui seperti
berikut ini:
Prr2
W = 4π .U 0 ( watt)
(2.6)
2L2
R2 = (2.7)
λ
Jari-jari daerah medan dekat (R2) akan besar khususnya pada antena yang
bekerja pada frekuensi yang rendah, misalnya pada radio pemancar MW yang
bekerja pada frekuensi 1 MHz. Panjang gelombang adalah 300 m. Bila panjang
antena adalah λ/4 (75 m), maka radius daerah medan dekat antena adalah 37,5
meter. Artinya, benda – benda logam dalam radius tersebut dapat mempengaruhi
karakteristik antena. Dengan kata lain, karakteristik antena yang diukur saat itu
sudah termasuk benda – benda disekitar antena. Bila antena tersebut di pindahkan
kesuatu daerah yang terbuka, maka karakteristik antena tersebut akan berubah
lagi.
2L2
R3 > R2 atau R3 > (2.8)
λ
2.6 Parameter Dasar Antena
Parameter antena digunakan untuk menggambarkan kinerja (performance)
antena tersebut. Beberapa parameter dasar antena didefenisikan dalam bab ini
sesuai standarisasi yang ditetapkan oleh IEEE Standard Definitions of Term for
Antennas. (IEEE Std 145-1983).
r. sin θ .dφ
dA = r 2 sin θdθdφ
Pola radiasi antena digambarkan dalam bentuk tiga dimensi dengan pola
medan bidang E dan H yang saling tegak lurus satu sama lain. Bidang E (E-
plane) didefenisikan sebagai “ sebuah bidang yang berisi vektor medan listrik
dalam arah maksimum radiasi”, dan bidang-H didefenisikan sebagai “sebuah
bidang yang berisi vektor medan magnet dalam arah maksimum radiasi”.
Gambar 2-8 memperlihatkan pola radiasi tiga dimensi antena Yagi 5-elemen
dengan menggunakan software MMANA-GAL. Software ini dapat di download di
internet dengan gratis
(a)
Back-lobe
(b)
Major-lobe
Side-lobe
Minor-lobe
Back-lobe
Gambar2-8(a). Distribusi arus pada tiap elemen antena dan (b) pola radiasi antena
Yagi 5-elemen hasil simulasi dengan menggunakan software MMANA-GAL
dalam tampilan tiga dimensi dan (c) dalam dua dimensi
(b)
Gambar 2-9. Besaran yang dapat diperoleh dari pola radiasi antena.
(a). Penggambaran tiga dimensi dan (b) persegi (rectangular)
(a) (b)
Gambar 2-10 (a) Penggambaran pola radiasi medan listrik antenna dan
(b) pola radiasi daya antena dalam bentuk dua dimensi
(a) (b)
Gambar 2-11 (a) Pola radiasi dengan besaran daya absolute (dBm) dan
(b) pola radiasi dengan besaran daya relative (dB)
Menurut skala, diagram arah (pola radiasi) antena dapat ditampilkan dalam
bentuk diagram:
a. diagram absolute ( dalam besarannya, daya atau intensitas )
b. diagram relative (diukur terhadap referensi tertentu) atau
c. diagram normal (dibandingkan terhadap level maksimum)
Pola radiasi dari intensitas medan listrik mengacu pada tiga komponen
yaitu:
1. Komponen θ dari medan listrik adalah sebuah fungsi dari sudut θ dan φ
atau Eθ(θ,φ) dengan satuan (V/m).
2. Komponen φ dari medan listrik adalah sebuah fungsi dari sudut θ dan φ
atau Eφ(θ,φ) dengan satuan (V/m).
3. Fasa dari medan adalah adalah sebuah fungsi dari sudut θ dan φ atau
δθ(θ,φ) dan δφ(θ,φ) dalam satuan (radian atau derajat).
Eθ (θ , φ )
Eθ (θ , φ )n = (tanpa dimensi) (2.9)
Eθ (θ , φ )max
Wθ W
WdB = 10 log = 10 log θ (2.10)
Wmaks Wθ =00
Pola radiasi sebuah antena dapat juga dinyatakan dalam besaran daya per
unit luas (power per unit area) atau Poynting vector (P), diukur pada jarak tetap
dari antena (r tetap). Secara matematis dinyatakan sebagai
P(θ , φ )
Wn (θ , φ ) = (tanpa dimensi) (2.11)
P(θ , φ )max
dimana: [ ]
P(θ , φ ) = Poynting vector = Eθ2 (θ , φ ) + Eφ2 / Z 0 , (W/m2)
x y
Tampilan 3-dimensi
Tampak depan
dilihat dari sumbu-x
Letak antena
Jika bidang tanah adalah sumbu x-z, maka polarisasi gelombang seperti
pada Gambar 2.12a adalah polarisasi vertical. Bila arah vektor medan listrik
sejajar sumbu-x, maka polarisasi gelombang tersebut adalah polarisasi horizontal.
Karena polarisasi gelombang dihasilkan dari sebuah antena, maka jenis antena
yang menghasilkannya disebut juga antena berpolarisasi vertikal atau horizontal.
Antena dipole λ/2 dapat menghasilkan polarisasi medan listrik vertikal
atau polarisasi horizontal, tergantung bagaimana antena tersebut diletakkan diatas
bidang tanah. Gambar 2-13 memperlihatkan sebuah antenna dipole λ/2 dengan
polarisasi gelombang yang dihasilkannya.
x
Ex
Polarisasi horisontal
y
z E1 x
z
(out)
Arah rambatan
Bidang x-z
z x
z
Bidang y-z
Gambar 2-14. Penentuan polarisasi gelombang dari sebuah antena dipole λ/2
OA
AR = ( 1 ≤ AR ≤ ∞ ) (2.15)
OB
Komponen medan listrik dalam arah x (Ex) dan y (Ey) dinyatakan dengan
cos ωt = 1 − (E x E1 )
2
dan (2.21)
E x2 2 E x E y cos δ E y
2
− + 2 = sin 2 δ (2.22)
E12 E1 E 2 E2
atau aE x2 − bE x E y + cE y2 = 1 (2.23)
1 2 cos δ 1
dimana a= b= dan c= E
E sin 2 δ
1
2
E1 E 2 sin 2 δ E sin 2 δ
2
2
π
Luas bola = 2πr 2 ∫ sin θ .dθ = 2πr 2 [− cos θ ]0 = 4πr 2
π
(2.25)
0
⎝ π ⎠
Karena itu,
4π stereadian = 3282,8064 x 4π = 41.252,96
≅ 41.253 deg2 (deg =degree = derajat)
= sudut ruang dalam bola.
Luas berkas atau sudut ruang berkas (beam solid angle) ΩA untuk sebuah
antena adalah merupakan integral dari pola daya ternormalisasi pada bola (4π.sr)
atau
Luas, A = r 2
Area = r 3
1.sr
2π π
ΩA = ∫ ∫ P (θ , φ )dΩ
0 0
n (sr=steradian) (2.26)
Dimana θHP dan φHP adalah sudut dari lebar berkas setengah daya
(HPBW=half-power beam width). HPBW adalah sudut dimana daya turun
setengah ( -3 dB) terhadap level daya maksimum.
U = Pr × r 2 (watt/rad2) (2.28)
U max
D= (tanpa satuan, biasanya dinyatakan dalam dB) (2.29)
U rata 2
Bila persamaan intensitas medan tidak diketahui namun pola radiasi antena
diketahui, maka direktivitas antena dapat dihitung dengan menggunakan rumus
pendekatan Kraus seperti pada (2.30).
4π 41.253
D≅ ≅ (2.30)
θ HPφ HP θ 0φ 0
dimana θHP dan φHP adalah sudut dimana daya turun setengah (half power
beamwidth).
Contoh-1:.
π 2 2π 2π π 2
W = ∫0
∫ U m cos θ . sin θ .dθ .dφ = − ∫ ∫ U m dφ . cos θ .d (cos θ )
0 0 0
π 2
⎡ 1 ⎤
W = U m ⎢− cos 2 θ ⎥ × φ ]0
2π
⎣ 2 ⎦0
W = πU m ,
U m 4π
D= = =4
U0 π
atau D = 10 log 4 = 6 dB
direktivitas 4 kali terhadap antena isotropis dalam arah sudut ruang yang dibatasi
oleh sudut 0 ≤ θ ≤ π 2 dan 0 ≤ φ ≤ 2π .
Ant-1
Ant-2
Dari Gambar 2-16 dapat dijelaskan dalam ilustrasi berikut: Asumsi bahwa
efisiensi antena adalah 100%. Kemudian dua buah antena mempunyai direktivitas
masing – masing 1 dan 10 dicatu dengan daya sebesar WT. Pada jarak r dari
kedua antena tersebut dilakukan pengukuran level daya yang diterima.
Mula-mula akan diukur besarnya level daya yang diterima oleh pancaran
dari antena-1 pada titik pengukuran. Misalkan level daya yang diterima adalah
sebesar Wr. Kemudian antena-1 diganti dengan antena-2 (D = 10) dan diukur level
daya yang diterima. Hasil menunjukkan bahwa maka besarnya level daya yang
diterima naik sebesar 10 kali daya yang diterima bila antena-1 yang digunakan
(10WR). Artinya, direktivitas antena-2 adalah 10 kali antena-1.
Contoh-2:
Asumsi, sebuah antena pada berkas pancar utama (main lobe) mempunyai
half-power beamwidth (HPBW) θ = φ = 200. Dengan rumus pendekatan Kraus
diperoleh direktivitas antena tersebut sebesar:
D=
4π (sr ) 41.253 derajat 2
≅ =
( ) (
41.253 derajat 2)= 103,13
Ω A (sr ) θ HP
0
φ HP
0
20 0 × 20 0
atau
D = 10 log 103,13 = 20,13 dB
S (r ,φ ,θ )
G (φ ,θ ) = (2.31)
So (r )
Prad
dimana: Prad = ηPin → η = (2.32)
Pin
η = efisiensi antena ( 0 ≤ η ≤ 1 ).
1 2
Ploss = I Rl (2.33)
2
1 2
Prad = I Ra (2.34)
2
dPrad dΩ 4πdPrad dΩ
G (θ , φ ) = = (2.35)
dPin (4π ) Prad η
G (θ , φ ) = η .D (θ , φ ) (2.36)
Contoh-3:
Sebuah ntenna mempunyai resistansi input 50 ohm mempunyai
resistansi radiasi 40 ohm dan resitansi rugi-rugi ohmis 10 ohm. Bila arus rata-rata
yang masuk kedalam ntenna adalah 0,1 A dan direktivitas ntenna adalah 2.
Hitunglah Gain ntenna tersebut.
Solusi:
Diketahui: RT = 50 ohm, Rl = 10 ohm, dan Ra = 40 ohm.
I = 0,1 Ampere
D=2
2 2
Daya yang di radiasikan oleh ntenna ke ruang bebas
2 2
Bila direktivitas D0 = 2, maka :
⎛P ⎞ ⎛ 0,2 ⎞
G = ηD0 = ⎜⎜ rad ⎟⎟ × D = ⎜ ⎟(2 ) = 1,6
⎝ Pin ⎠ ⎝ 0, 25 ⎠
melintasi permukaan antena Horn. Rapat daya pada mulut antena Horn adalah
(P ) (W/m2). Jika luas fisik mulut corong (Horn ) adalah A, maka daya dari
gelombang radio yang dapat di’tangkap’dari permukaan corong adalah:
W = P. A (watt) (2.37)
Daya yang diserap oleh antenna Horn, sebagian hilang sebagai panas,
sebagian dipancarkan kembali (reradiation) dan selebihnya dimanfaatkan untuk
diteruskan ke receiver untuk diproses. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka
aperture dibedakan menjadi: aperture efektif, aperture pengumpul, eperture
hambur, aperture fisik dan rugi-rugi.
Antena Horn E x
→
A P z
H y
Rdio Penerima
W
A= (m2) (2.38)
P
V
I= (A) (2.39)
Z A + ZT
dimana Z T = RT + jX T Ω (2.40)
Z A = RA + jX A (2.41)
RA = Rr + RL (2.42)
dan
RA = tahanan antena
Rr = tahanan pancar antena
RL = tahanan rugi-rugi antena atau tahanan ohmic antenna
V
I= (A) (2.43)
(Rr + RL + RT )2 + ( X A + X T )2
W 1 V 2 Rr
A= = . (m2) (2.45)
P P (Rr + RL + RT )2 + ( X A + X T )
Luas aperture efektif dicapai bila XA = -XT dan RA = RT. Keadaan ini
disebut impedansi terminal dan impedansi antena konjugat kompleks satu sama
( )
lain Z A = ZT* . Sedemikian sehingga RA = RT dan XA = -XT.. Luas aperture
efektif antena menjadi
V2
Ae = (m2 atau λ2) (2.46)
4 P.(RR + RL )
Ae
α= , 0≤α≤1 (tanpa satuan) (2.48)
Aem
WL = I 2 RL (W) (2.49)
Besarnya ‘luas rugi-rugi’ daya pada antena dinyatakan dengan persamaan
I 2 RL V 2 RL
AL = = (m2)
[ ]
(2.50)
P (Rr + RL + RT ) + ( X A + X T )
2 2
P
Ws = I 2 Rr (Watt) (2.51)
V2
As = , (m2) (2.52)
4.P.RT
V 2 (Rr + RL + RT )
Ac = (m2 atau λ2)
[ ]
(2.55)
P (Rr + RL + RT ) + ( X A + X T )
2 2
Aem
γ= ; dimana 0≤γ≤∞ (2.57)
Ap
4π
D= . Aem (2.58)
λ2
Sehingga direktivitas dapat dinyatakan dengan tiga persamaan yang berbeda yaitu:
U (θ ,φ )max S (θ ,φ )max
D= = (2.59)
U av S av
4π
D= (2.60)
ΩA
4π
dan D= Aem (2.61)
λ2
Ae 4π
G= × Aem
Aem λ2
4π
G= Ae (2.64)
λ2
RR
k= (2.65)
RR + RL
Dengan demikian diperoleh hubungan antara gain antena pada (2.62) dengan
efisiensi k pada persamaan (2.65)
⎛ RR ⎞
G = ⎜⎜ ⎟⎟ D (2.66)
⎝ RR + RL ⎠
Arti fisis dari persamaan (2.66) menjelaskan bahwa gain antena akan sama
dengan direktivitas antena bila rugi-rugi ohmik dalam konduktor antena (RL) sama
dengan nol. Rangkuman dari keseluruhan perhitungan diatas diperlihatkan dalam
Tabel-1.
WT
P= (W) (2.67)
4πR 2
WT GT GR
P= (2.68)
4πR 2
Sekarang, besarnya daya yang di penerima oleh antenna dengan luas efektif
sebesar Aer
PT GT Aer
W R = P. Aer = (W) (2.69)
4πR
4πAet
Gt = (2.70)
λ2
Aet Aer
WR = WT . (W) (2.71)
R 2λ2
WR Aet Aer
FSL = = 2 2 (2.72)
WT Rλ
Bila antena yang digunakan adalah antena isotropis dengan luas efektif (1/4π),
maka persamaan (2.72) menjadi
1 1
FSL = = (2.73)
(4π ) R λ (4πRλ )2
2
2 2
Karena redaman bersifat negative, maka tanda (-) pada persamaan (2.74) tidak
ditulis lagi, dan persamaan (2.74) menjadi
Contoh-4:
Solusi:
1. FSL = 32,5 + 20log (f)MHz + 20log(R)Km
FSL = 32,5 + 20 log (430) + 20 log (10)
FSL = 105,169 dB