Anda di halaman 1dari 26

BAB 23

Anestesi pada Pasien-pasien dengan Penyakit saluran Nafas

Konsep-konsep Kunci
1. Pada pasien yang mengalami serangan asma akut, PaCO2 yang normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing dan hal ini
biasanya merupakan suatu tanda adanya ancaman gagal nafas. Pulsus paradoksus dan
elektrokardiogram yang menggambarkan ventrikel kanan ( perubahan segmen S-T,
right-axis deviation dan Right bundle Branch Block) juga merupakan indikasi dari
beberapa obstruksi jalan napas.
2. Bila memungkinkan, pasien penderita asma dengan brankospasme aktif yang akan
dibedah emergensi harus menjalani perawatan yang intensif. Oksigen tambahan, β 2
Agonis Aerosol dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam
beberapa jam.
3. Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi, peningkatan
tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak berubah)
penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari gelombang
kapnograf.
4. Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus
dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal
karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi
endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anestesi yang dangkal,edema
atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame
5. Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, hipoksemia kronik dapat
menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (kor
pulmonal).
6. Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien dengan
retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal nafas pada
pasien-pasien tersebut.
7. Intervensi preoperative bertujuan untuk mengoreksi hipoksmia, menghilangkan
bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi serta mengobati infeksi dapat
menurunkan insidensi komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi mengalami komplikasi adalah
pasien penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru yang kurang dari 50 %
nilai prediksi.
8. Pada penyakit paru restriktif, volume paru berkurang dengan cadangan laju ekpirasi
yang normal. Volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC)
menurun, namun perbandingan FEV1/FVC normal.
9. Emboli pulmonal intraoperatif biasanya ditandai dengan hipotensi yang terjadi tiba-
tiba tanpa penyebab yang jelas, hipoksemia atau bronkospasme. Penurunan konsentrasi
End-tidal CO2 biasanya merupakan penyebab yang paling mungkin namun tidak
spesifik.
Dampak dari penyakit paru yang telah ada sebelumnya selama periode anestesi dan
pasca operasi dapat diperkirakan. Gangguan pulmonal preoperatif berat berhubungan dengan
perubahan fungsi respirasi intraoperatif yang nyata dan komplikasi pulmonal pasca operasi
yang tinggi. Kegagalan untuk mengenali pasien-pasien dengan risiko tinggi adalah penyebab
utama dari timbulnya komplikasi tersebut. Bab ini membahas tentang risiko pulmonal secara
umum kemudian meninjau pendekatan anestetik pada pasen-pasien dengan penyakit-penyakit
paru yang umum.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PULMONAL


Disfungsi paru adalah komplikasi pasca operasi yang umum terjadi Insidensi atelektasis,
pneumonia, emboli pulmonal dan gagal nafas setelah tindakan pembedahan sangat beragam
( 6% sampai 60%) tergantung populasi pasien yang dikaji dan prosedur pembedahan yang
dilakukan. Ada enam faktor risiko yang secara umum menyebabkan hal tersebut (table 23-1).
Dengan pengecualian daerah operasi dan lamanya waktu pembedahan, sebagian besar faktor-
faktor tersebut berhubungan dengan disfungsi pulmonal preoperatif. Dua prediktor yang
paling kuat dari timbulnya komplikasi ini adalah daerah operasi dan riwayat dispnea , yang
berhubungan dengan derajat penyakit pulmonal yang telah ada sebelumnya. Faktor lainnya
adalah lama operasi.
Hubungan antara merokok dan penyakit paru telah lama diketahui, abnormalitas pada
laju aliran mid ekspiratori maksimal (MMEF) biasanya tampak jelas sebelum gejala PPOK
muncul. Bahkan pada individu yang normal, pertambahan usia berhubungan dengan
prevalensi penyakit pulmonal dan peningkatan closing capacity. Obesitas menurunkan
kapasitas residual fungsional (FRC), meningkatkan work of breathing dan merupakan
predisposisi timbulnya trombosis vena dalam (DVT).

Tabel 23-1 Faktor Risiko Komplikasi Pulmonal Pasca Operasi

Penyakit paru yang diderita sebelumnya


Pembedahan di toraks atau abdomen bagian atas
Merokok
Obesitas
Usia (>60 tahun)
Tindakan anestesi yang lama (> 3 jam)
Prosedur pembedahan toraks dan abdominal bagian atas memiliki efek terhadap fungsi
pulmonal. Operasi di daerah dekat diafragma dapat menyebabkan disfungsi diafragma dan
defek ventilasi restriktif ( lihat di bawah). Pembedahan di abdomen bagian atas secara
konsisten menurunkan FRC (60-70%); Efek ini terjadi terutama pada hari pertama pasca
operasi dan biasanya berlangsung 7-10 hari. Insisi vertikal menyebabkan ganggguan yang
lebih berat daripada insisi horizontal.Pernafasan yang cepat dan dalam dengan batuk yang
tidak efektif disebabkan oleh nyeri (splinting), penurunan kemampuan untuk nafas panjang
dan gangguan klirens mukosiliari menyebabkan mikroatelektasis dan hilangnya volume paru.
Shunt (pintasan) aliran darah menyebabkan hipoksemia (lihat bab 22). Efek sisa anestetik,
posisi telentang, sedasi opioid, distensi abdomen dan kain penutup daerah operasi yang terlalu
ketat dapat juga menyebabkan hal tersebut. Hilangnya rasa nyeri yang komplit pada anestesi
regional dapat mengurangi hipoksemia namun tidak dapat mengembalikan abnormalitas
tersebut sepenuhnya. Mikroatelektasis persisten dan retensi sekresi dapat menyebebkan
timbulnya pneumonia pasca operasi.
Walaupun disebutkan berbagai efek samping yang terjadi pada fungsi pulmonal akibat
pemberian anestesi umum (lihat bab 22), keunggulan anestesi regional dibandingkan anestesi
umum pada pasien dengan gangguan fungsi paru masih belum diketahui.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


Penyakit paru obstruktif adalah bentuk yang umum dari disfungsi pulmonal. Penyakit ini
antara lain asma, emfisema, bronkitis kronis, fibrosis kistik bronkiektasis dan bronkiolitis.
Pokok permasalahan dari penyakit-penyakit di atas adalah resistensi aliran udara. Secara
karakteristik, FEV1 maupun rasio FEV1/FVC kurang dari 70% dari nilai prediksi. Nilai
MMEF < 70% (Aliran ekspirasi paksa [FEF25-75%]; lihat bab 22) merupakan satu-satunya
abnormalitas yang ditemukan secara dini pada kelainan ini. Nilai normal untuk[FEF 25-75%] pada
laki-laki dewasa >2.0 dan wanita dewasa > 1.6 L/detik.
Peningkatan resistensi jalan nafas dan udara yang terperangkap meningkatkan work of
breathing; pertukaran gas respirasi terganggu karena gangguan keseimbangan ventilasi dan
perfusi (V/Q) Adanya resistensi aliran udara ekspirasi menyebabkan udara terperangkap (air-
trapping) sementara volume residual dan kapasitas total paru (TLC) meningkat. Mengi
merupakan gejala yang umum ditemukan dan menggambarkan turbulensi aliran udara. Namun
gejala ini sering tidak tampak pada obstruksi ringan dan hanya berupa ekshalasi yang
memanjang. Obstruksi progresif pada awalnya hanya berupa mengi dan berkembang menjadi
mengi saat inspirasi dan ekspirasi. Pada obstruksi yang nyata, mengi bisa saja tidak ada saat
aliran udara hampir terhenti.

ASMA
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7 % populasi. Pokok
permasalahan dari gannguan ini adalah inflamasi jalan nafas (bronkiolar) dan hipereaktifitas
respons terhadap berbagai stimuli.Secara klinis asma termanifes sebagai serangan dispnea,
batuk dan mengi yang episodik. Obstruksi jalan nafas yang biasanya reversibel akibat
konstriksi otot polos bronchial, edema dan sekresi yang meningkat.Secara klasik obstruksi
dipresipitasi oleh berbagai substansi yang terdapat di udara (airborne) termasuk serbuk
tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan dan berbagai zat kimia.Beberapa pasien juga
mengalami bronkospasme setelah meminum aspirin, obat anti inflamasi non steroid, obat yang
mengandung preparat sulfit atau tartrazin dan zat pewarna lainnya. Olahraga, cetusan
emosional dan infeksi virus dapat mempresipitasi bronkospasme pada banyak pasien
Istilah asma ekstrinsik (alergik) (serangan berhubungan dengan paparan lingkungan) dan
asma instrinsik (idiosinkratik) (serangan biasanya terjadi tanpa provokasi) digunakan di masa
lalu namun klasifikasi tersebut tidak sempurna, beberapa pasien menunjukkan gambaran dari
kedua bentuk asma tersebut. Di samping itu, tumpang tindih istilah dengan bronkitis kronis
juga terjadi. Saat ini asma diklasifikasikan sebagai asma akut dan kronik. Asma kronik dibagi
lagi menjadi asma ringan, intermitten dan ringan, asma sedang serta asma berat persisten.

A. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi asma melibatkan pelepasan berbagai mediator kimia lokal di jalan nafas,
dan aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang terinhalasi dapat
mencetuskan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan non spesifik dengan
degranulasi sel mast bronkial.Pada asma alergik klasik, antigen akan berikatan dengan IgE
pada permukaan sel mast menyebabkan degranulasi; Bronkokonstriksi terjadi akibat pelepasan
histamin, bradikinin, leukotrien C,D,E, Platelet Activating Factor, prostaglandin (PG)PGE2,
PGE2α, dan PGD2, netrofil dan eosinofil chemotactic factor . Peran serotonin, suatu
bronkokonstriktor yang poten tidak diketahui dengan pasti pada manusia. Sistem saraf
parasimpatis mempunyai peranan penting dalam mempertahankan tonus bronchial yang
normal (lihat bab 22). Variasi diurnal tonus yang normal ditandai dengan resisensi jalan nafas
puncak yang terjadi pada pukul 6 pagi. Vagal afferent pada bronkus sensitive terhadap
histamin dan berbagai stimulus noksius termasuk air dingin, iritan yang terinhalasi dan
instrumentasi ( Contoh intubasi endotrakeal). Aktivasi refleks vagal menyebabkan
bronkokonstriksi yang diperantarai siklik GMP intraseluler yang meningkat.
Selama seranagan asma, bronkokonstriksi,edema mukosa dan sekresi meningkatkan
resistensi terhadap aliran udara pada semua level dari jalan nafas bagian bawah. Saat serangan
asma berkurang , resistensi jalan nafas kembali normal dimulai pada jalan nafas yang besar
( bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental dan subsegmental) kemudian pada
saluran nafas yang lebih perifer . Dengan demikian laju aliran ekspirasi menurun pada
pemeriksaan FVC namun selama resolusi serangan, laju aliran ekspirasi berkurang hanya
pada volume paru yang rendah. TLC, volume residual (RV) dan FRC meningkat . Pada pasien
yang mengalami serangan akut, RV dan FRC meningkat lebih dari 400% dan
100%.Pemanjangan atau serangan asma berat secara nyata meningkatkan work of breathing
dan dapat menyebabkan lelahnya otot-otot pernafasan Jumlah unit alveoli dengan nilai V/Q
rasio yang rendah meningkat, menyebabkan hipoksemia.Takipneu terjadi karena stimulasi
reseptor bronkial yang dapat menimbulkan hipokapnia. PaCO2 yang normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing dan hal ini
merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas.Pulsus paradoksus dan tanda- tanda gangguan
ventrikel kanan dari gambaran EKG ( perubahan S-T segmen, right axis deviation, dan RBBB
juga merupakan indikasi adanya obstruksi jalan nafas yang berat.

B. TERAPI
Obat yang digunakan untuk terapi asma antara lain agonis β-adrenergik, metilxantin,
glukokortikoid, antikolinergik, penghambat leukotrien dan obat stabilisasi sel mast. Umumnya
obat-obat ini dapat digunakan pada terapi akut maupun kronik kecuali obat yang terakhir.
Sodium kromolin dan nedokromil hanya efektif untuk mencegah bronkospasme pada pasien
dengan asma ekstrinsik dan beberapa pasien dengan asma intrinsik. Walaupun memiliki efek
bronkodilatasi, kedua obat tersebut menghambat degranulasi sel mast.
Obat-obat simpatomimetik (table 23-2) merupakan obat yang sangat berguna dan paling
sering digunakan. Obat-obat tersebut menyebabkan bronkodilatasi melalui aktivitas agonis β2.
Aktivasi reseptor adrenergic β2 pada otot polos bronkial menyebabkan aktivasi adenilat siklase
yang menghasilkan pembentukan siklik AMP (cAMP). Obat ini biasanya diberikan melalui
inhaler metered-dose atau sediaan aerosol. Penggunaan agonis β2selektif seperti terbutalin atau
albuterol dapat menurunkan insidensi efek terhadap jantung yang tidak diharapkan karena
aktivasi reseptor β1 namun pada dosis tinggi obat ini menjadi tidak selektif.
Metilxantin dianggap menyebabkan bronkodilatasi dengan menghambat fosfodiesterase,
enzim yang berfungsi memecah cAMP. Efek terhadap pulmonal tampak lebih kompleks dan
termasuk pelepasan katekolamin, penghambatan dari pelepasan histamin dan stimulasi
diafragmatik.Preparat teofilin oral masa kerja panjang digunakan pada pasien dengan gejala-
gejala yang timbul pada malam hari. Namun disayangkan teofilin memiliki rentang terapi
yang sempit dimana kadar terapeutik dalam darah berkisar 10-20 µg/mL. Pada dosis yang
rendah biasanya lebih efektif.. Aminofilin adalah satu-satunya sediaan intravena dari preparat
teofilin
Glukokortikoid digunakan baik untuk terapi akut dan terapi rumatan pada pasien asma
karena memiliki efek anti inflamasi dan efek stabilisasi membran. Beklometason,
triamsinolon, flunisolid dan budesonid adalah steroid sintetik yang umum digunakan dalam
bentuk inhaler untuk terapi rumatan. Walaupun obat-obat tersebut tidak terlalu menyebabkan
efek samping sistemik namun tidak seluruhnya dapat mencegah supresi adrenal. Hidrokortison
intravena atau metilprednisolon digunakan pada serangan asma berat yang akut. Diikuti
dengan dosis tapering yaitu prednison oral. Glukokortikoid membutuhkan waktu beberapa jam
untuk mencapai efektivitasnya.
Obat antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi melalui aksi antimuskarinik dan dapat
menghambat refleks bronkokonstriksi. Ipratropium, bentuk lain dari atropin yang dapat
diberikan melalui inhaler metered-dose atau aerosol adalah bronkodilator yang cukup efektif
tanpa efek antikolinergik sistemik.
Pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada penentuan saat
terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika tersedia) dan apakah pasien
dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma akut dan menjamin bahwa pasien sedang
dalam kondisi yang optimal. Perbedaan antara tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam
waktu dekat dirawat di rumah sakit atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien
asma tanpa riwayat perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik
berpotensi untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada keadaan yang
kedua tidak demikian.
Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya a dispnea , mengi atau
batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal.Perbaikan yang tuntas dari
suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan dengan auskultasi dada. Pasien dengan
bronkospasme yang frekuen atau kronik harus mendapatkan terapi bronkodilator yang optimal
termasuk agonis adrenergik β2 , glukokortikoid harus dipertimbangkan. Tes fungsi paru
khusunya pengukuran laju nafas ekspirasi seperti FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi
puncak (PEFR) harus digunakan untuk memastikan temuan klinis. Perbandingan dengan hasil
pengukuran sebelumnya tidak begitu berguna. Nilai FEV1 secara normal lebih dari 3L pada
laki-laki dan 2 L pada wanita. FEV1/FVC secara normal harus melebihi 70%. Nilai normal
PEFR 200 L/m (biasanya > 500 L/m pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau
PEFR kurang dari 50% merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto
toraks sangat berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi diketahui
dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan lapangan paru yang
hiperlusen.
Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan emergensi
harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen suplemen, aerosol agonis β2 dan
glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam . Analisis gas
darah arterial mungkin berguna pada kasus yang berat .Hipoksemia dan hipokapnia tipikal
pada asma sedang dan berat bahkan hiperkapnia ringan merupakan indikasi adanya udara yang
terperangkap dan merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas . FEV1 di bawah 40% dari
nilai normal dapat memprediksi adanya gagal nafas.
Sedasi preoperatif sangat dibutuhkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan
elektif terutama pada pasien dengan asma yang dicetuskan oleh faktor emosional. Secara
umum benzodiazepin adalah obat yang paling memuaskan untuk premedikasi. Obat
antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali bila terdapat sekret yang berlebihan atau jika
menggunakan ketamin untuk induksi anestesi. Pada dosis intramuskular, antikolinergik tidak
efektif mencegah refleks bronkospasme setelah intubasi. Penggunaan obat penghambat H 2
(seperti simetidin atau ranitidin) secara teoretis merugikan karena aktivasi reseptor H 2 secara
normal menyebabkan bronkodilatasi. Pada saat terjadi pelepasan histamin aktivasi H 1 yang
tidak dihambat dan penghambatan H2 dapat memperberat bronkokonstriksi.
Bronkodilator harus diteruskan sampai saat pembedahan agar efektivitasnya tercapai
yaitu agonis β, glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, kromon,teofilin dan
antikolinergik. Pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka panjang harus diberikan
dosis suplemen untuk menghindari supresi adrenal. Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan
100 mg tiap 8 jam selama 1 sampai 3 hari pasca operasi tergantung derajat stres operasi) yang
paling sering digunakan.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi adalah selama
instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau anestesi regional dapat
mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya menghilangkan kemungkinan timbulnya
bronkospasme. Beberapa klinisi mempercayai bahwa spinal tinggi atau anestesi epidural
dapat mencetuskan bronkokonstriksi dengan menghambat tonus simpatis pada jalan nafas
bagian bawah (T1-T4) dan memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat. Nyeri,
stres emosional atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkaldapat mencetuskan
bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan histamin ( contoh kurare,
atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus dihindari atau diberikan secara perlahan .
Tujuan dari anestesi umum adalah induksi yang lancar dan emergence (bangun dengan
mudah) dengan kedalaman anestesi yang disesuaikan dengan stimulasi.
Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting,namun pencapaian anestesi yang
dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental paling sering digunakan pada
dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan bronkospasme karena peningkatan
pelepasan histamin. Propofol dan etomidat adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh
banyak klinisi. Ketamin adalah satu-satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah
pilihan yang tepat untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin
tidak boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana kombinasi
kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya menghasilkan induksi
inhalasi yang paling baik dengan bronkodilatasi pada anak-anak penderita asma. Isofluran dan
desfluran menghasilkan bronkodilatasi yang sama namun harus dinaikkan secara perlahan
karena bisa memperkuat efek iritasi ringan dari obat-obat tersebut pada jalan nafas.
Refleks bronkospasme dapat dihilangkan sebelum intubasi dengan penambahan dosis
tiopental (1-2 mg/kg) memberikan ventilasi dengan zat volatil, 2-3 konsentrasi minimal
alveolar (MAC) selama 5 menit atau memberikan lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau
intratrakeal. Perlu diperhatikan bahwa lidokain sendiri juga dapat mencetuskan bronkospasme
bila dosis tiopental yang digunakan untuk induksi tidak adekuat. Antikolinergik dosis besar
(atropin 2 mg atau glikopirolat 1 mg dapat menghambat refleks bronkospasme namun dapat
menyebabkan takikardi yang hebat. Walaupun suksinilkolin pada saat tertentu dapat
menyebabkan pelepasan histamine namun secara umum,aman digunakan pada sebagian besar
penderita asma. Bila kapnograf tidak tersedia untuk memastikan intubasi endotrakeal yang
benar dilakukan dengan auskultasi dada, tetapi hal ini bias menjadi sukar dilakukan bila
terjadi bronkospasme.
Anestesi volatile paling sering digunakan untuk rumatan anestesi untuk mendapatkan
efek bronkodilatasi yang cukup poten. Halotan dapat mensensitisasi jantung terhadap
aminofilin dan agonis β adrenergik yang diberikan selama anestesi. Karena alas an tersebut,
bersamaan dengan pertimbangan bahwa halotan bersifat hepatotoksik maka penggunaannya
dihindari pada pasien dewasa. Ventilasi harus dikontrol dengan gas hangat yang dilembabkan
jika memungkinkan. Obstruksi aliran udara selama ekspirasi tampak pada peningkatan nilai
end-tidal CO2 yang tertunda. Beratnya obstruksi berbanding terbalik dengan laju peningkatan
end-tidal CO2. Bronkospasme berat dimanifestasikan dengan peningkatan tekanan inspirasi
puncak dan ekshalasi inkomplit. Di masa lalu volume tidal 10-12 mL/kg dengan frekuensi
ventilasi 8-10 kali/menit dinilai cukup baik. Namun akhir-akhir ini volume tidal dikurangi (≤
10 mL/kg) denganpemanjangan waktu ekspirasi dapat memungkinkan distribusialiran udara
yang sama di kedua paru dan dapat mencegah udara terperangksp (air-trapping) PaCO2 dapat
meningkat dimana hal ini masih diperbolehkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap
kardiovaskular dan neurologik.

Normal
CO2 Obstruksi ekspirasi
mmHg

Waktu

Gambar 23-1 Kapnograf pada pasien obstruksi jalan nafas ekspiratori

Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi, peningkatan


tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak berubah, penurunan
volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari gelombang kapnograf. Hal ini harus
diatasi dengan meningkatkan konsentrasi zat volatile (memperdalam anestetik). Jika mengi
tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum
memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi ataupun balon
ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining)
karena anstesi yang dangkal,edema atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat
mencetuskan bronkospame
Bronkospasme harus diatasi dengan pemberian agonis β adrenergic secara aerosol atau
inhaler metered- dose ke dalam lengan inspirasi (inspiratory limb)dari sirkuit pernafasan. (Gas
pembawa yang digunakan pada inhaler metered-dose dapat mengganggu pembacaan mass
spectrometer). Hidrokortison intravena (1,5-2 mg/kg) dapat diberikan terutama pada pasien
dengan riwayat terapi glukokortikoid.
Pada akhir pembedahan pasien harus benar-benar terbebas dari mengi. Reversi dari
pelumpuh otot non depolarisasi dengan obat antikolinesterase tidak mempresipitasi
bronkokonstriksi jika didahului dengan pemberian zat antikolinergik (lihat bab 10). Ekstubasi
dalam (sebelum refleks jalan nafas kembali) dapat mencegah bronkospasme pada saat pasien
bangun (emergence). Lidokain bolus (1,5-2 mg/kl) atau infuse kontinyu (1-2 mg/menit) dapat
menumpulkan refleks jalan nafas selama proses bangun.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
PPOK adalah penyakit pulmonal yang umum ditemukan dalam praktik anestesi.
Prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia, hal ini berhubungan erat dengan
kebiasaan merokok dan umumnya terjadi pada laki-laki (mempengaruhi hampir 20% laki-laki)
Kebanyakan pasien asimptomatik atau simptomatik ringan namun menunjukkan obstruksi
aliran udara ekspirasi selama tes fungsi paru. Pada banyak pasien obstruksi bersifat reversible,
yaitu gejala brongko spasme yang membaik setelah pemberian bronkodilator.Dengan
perkembangan penyakit, maldistribusi dari ventilasi maupun aliran darah pulmonal
digambarkan dengan rasio V/Q yang rendah (shunt intrapulmonal) begitu pula dengan are V?
Q rasio yang tinggi (dead space). Secara istilah lama pasien diklasifikasi menjadi bronchitis
kronis dan emfisema.

A. BRONKITIS KRONIK
Diagnosis klinis dari bronchitis kronis didefinisikan dengan adanya batuk produktif
hamper setiap hari selama 3 bulan berturut-turut dalam 2 tahun berturut-turut. Selain itu,
kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu akibat pekerjaan, infeksi pulmonal rekuren
dan faktor familial juga menjadi faktor yang menetukan.Sekresi kelenjar mukosa dari bronkus
yang hipertrofi dan edema mukosa akibat inflamasi jalan nafas menyebabkan obstruksi aliran
udara. Istilah bronkitis kronik asmatik dapat dipakai bila bronkospasme adalah gejala
utamanya.Infeksi pulmonal rekuren (viral dan bakterial) merupakan sebab yang umum dan
sering berhubungan dengan terjadinya dengan bronkospasme. RV meningkat namun TLC
biasanya normal. Shunting (pintas) intrapulmonal terjadi dan hipoksia timbul.
Hipoksemia kronik menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan bahkan gagal
jantung kanan (kor pulmonal). Kombinasi dari hal tersebut biasanya disebut sindrom blue
bloater, namun , 5% pasien PPOK sesuai dengan deskripsi tersebut. Sejalan dengan
perkembangan penyakit, pasien secara bertahap akan mengalami retensi CO2 , ventilatory
drive yang normal menjadi kurang sensitif terhadap tekanan CO2 arterial dan dapat tertekan
dengan pemberian oksigen (di bawah)

Tabel 23-3 Tanda-tanda dan gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik.


Gambaran Bronkitis Kronik Emfisema
Batuk Frekuen Disertai sesak
Sputum Banyak Sedikit
Hematokrit Meningkat Normal
PaCO2 Sering meningkat (>40) Biasanya normal (<40)
Foto toraks Corakan paru bertambah Hiperinflasi
Rekoil elastik Normal Menurun
Resistensi jalan nafas Meningkat Normal sampai sedikit
Meningkat
Kor pulmonal Awal Lambat

B. EMFISEMA
Emfisema adalah kelainan patologik dengan pelebaran jalan nafas, distal dari bronkus terminal
yang ireversibel dan destruksi septa alveolar. Diagnosis dapat ditegakkan dengan CT scan
dada. Perubahan emfisematus ringan di apeks paru adalah normal namun secara klinis tidak
dapat dihubungkan dengan penuaan. Emfisema yang signifikan biasanya berhubungan dengan
kebiasaanmerokok. Pada beberapa kasus emfisema terjadi pada usia muda dan hal ini
berhubungan dengan defisiensi α1-antitripsin. Protease inhibitor ini dapat mencegah aktivitas
enzim proteolitik yang berlebihan (terutama elastase) pada paru-paru. Enzi mini dihasilkan
oleh sel netrofil dan makrofag paru-paru sebagai respons terhadap infeksi dan polutan.
Emfisema berhubungan dengan merokok biasanya terjadi akibat ketidakseimbangan aktivitas
protease an antiprotease pada individu yang rentan. Hilangnya elastisitas yang secara normal
menunjang jalan nafas yang lebih kecil melalui traksi radial yang memungkinkan kollaps
premature selama ekshalasi (kolaps jalan nafas dinamik). Pasien ini memiliki karakteristik
antara lain peningkatan RV, FRC,TLC dan rasio RV/TLC.
Destruksi kapiler pulmonal di septa alveolar menurunkan kapasitas difusi
karbonmonoksida (lihat bab 22) dan juga menyebabkan hipertensi pulmonal pada tahap akhir
penyakit ini. Area kistik yang luas atau bulla berkembang pada beberapa pasien. Peningkatan
dead space adalah gambaran utama emfisema. Tekanan oksigen arterial biasanya normal atau
hanya sedikit berkurang. Tekanan CO2 juga normal. Saat dispnea, pasien emfisema biasanya
melipat bibirnya untuk menunda penutupan jalan nafas yang kecil. Yang biasanya disebut
dengan pink puffer. Sebagian besar pasien merupakan kombinasi dari bronchitis dan emfisema
dan didiagnosis dengan PPOK.

C.TERAPI
Terapi PPOK umumnya bersifat suportif. Intervensi yang terpenting adalah penghentian
kebiasaan merokok. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang
reversible (perbaikan FEV1 > 15% setelah pemberian bronkodilator) harus memulaiterapi
bronkodilator jangka lama. Agonis β2-adrenrgik, glikokortikoid dan ipratropium sangatlah
berguna; ipratropium memiliki peran penting dalam penatalaksanaan pasien ini dibandinkan
pasien asma. Bahkan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dari tes fungsi paru
terhadap penggunaan bronkodilator dapat membaik secara klinis dengan terapi
bronkodilator.Eksaserbasi berhubungan bronchitis yang ditandai dngan perubahan sputum,
terapi yang teratur dengan antibiotic spectrum luas (contoh ampisilin, tetrasiklin,
sulfametoksazol-trimetoprim) penting dilakukan. Hipoksemia harus diatasi dengan hati-hati
menggunakan oksigen suplemen. Psien denga hiposemia kronik (PAO2< 55mmHg) dan
hipertensi pulmonal membutuhkan terapi oksigen low-flow (1-2L/menit)
Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien dengan
retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal nafas pada pasien-
pasien tersebut. Penghilangan hypoxic ventilatory drive atau pelepasan vasokonstriksi
hipoksia mengakibatkan aliran darah yang lebih banyak ke are dengan rasio V/Q yang rendah.
Bila terjadi cor pulmonal diuretic digunakan untuk mengontrol edema perifer, efek yang
menguntungkan dari digoksin dan vasodilator bersifat tidak konsisten. Pengkondisian fisik
tidak memiliki efek terhadap tesfungsi paru namun ditujukan untuk memperbaiki gejala.
Beberapa penelitian bahkan memenganjurkan kemampuan untuk meningkatkan konsumsi
oksigen selama latihan berbanding terbalik dengan komplikasi pasca operasi.
Pertimbangan-pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien PPOK harus dipersiapkan secara optimal sebelum menghadapi pembedahan
elektif sebagaimana yang dilakukan pada pasien asma. Pasien sebelumnya diwawancara
mengenai perubahan terakhir dari dispnea, sputum dan mengi. Pasien dengan FEV1 kurang
dari 50% dari nilai normal (1,2-1,5L) biasanya mengalami dispnea saat beraktivitas sementara
pasien dengan FEV1 kurang dari 25% (<1L pada laki-laki) secara tipikal mengalami dispnea
saat beraktivitas ringan.Pada kasus tersebut, pasien dengan bronchitis kronis biasanya
berhubunan dengan retensi CO2 dan hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru, foto toraks analisis
gas darah arterial harus ditelaah dengan hati-hati. Adanya perubahan bullous dari pemeriksaan
foto toraks harus diketahui. Beberapa pasien memiliki penyakit jantung dan juga harus
mendapatkan evaluasi kardiovaskular yang ketat.(lihat bab 20).
Berbeda dengan asma, pada PPOK hanya terjadi perbaikan fungsi respirasi yang
terbatas setelah pesiapan preoperatif intensif yang singkat. Intervensi preoperatif bertujuan
untuk mengoreksi hipoksemia, menghilangkan bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi
sekresi serta mengobati infeksi dapat menurunkan insidensi komplikasi pulmonal pasca
operasi pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi
mengalami komplikasi adalah pasien penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru
yang kurang dari 50 % prediksi. Kemungkinan ventilasi pasca operasi sangat penting pada
pasien risiko tinggi harus didiskusikan oleh pasien dan ahli bedah.
Merokok harus dihentikan selama lebih kurang 6-8 minngu sebelum operasi untuk
menurunkan sekresi dan untuk mengurangi komplikasi pulmonal. Merokok meningkatkan
produksi mucus dan menurunkan klirens. Baik gas yang terkandung maupun fase partikulat
dari asap rokok dapat menurunkan glutation dan vitamin C dan dapat menyebabkan jejas
oksidatif pada jaringan.Karbonmonoksida meningkatkan karboksihemoglobin sementara
pemecahan produk oksida nitrit dan nitrogen dioksida dapat meningkatkan kadar
methemoglobin. Penghentian merokok selama paling kurang 24 jam secara toretik memiliki
efek yang menguntungkan pada oksigen carrying capacity dari hemoglobin namun hal ini
belum dibuktikan melalui penelitian klinis.
Fisioterapi dada preoperative(perkusi dada dan drainase postural) dan antibiotic untuk
pasien dengan perubahan sputum sangat menguntungkan ntuk mengurangi sekresi.
Bronkospasme harus diterapi dengan bronkodilator. Pasien dengan PPOK sedang-berat sangat
baik diterapi dengan glukokortikoid. Pasien dengan malnutrisi harus mendapatkan
suplementasi nutrisi sebelum pembedahan mayor. Hipertensi pulmonal harus diobati dengan
menoptimalisasi oksigenasi. Digitalisasi preoperative sangat berguna pada pasien cor
pulmonal terutama jika didapatkan gagal jantung kanan.

Penatalaksanaan Intraoperatif
Walaupun anestesi regional sering dipertimbangkan dibandingkan anestesi umum,
spinal tinggi atau anstesi epidural dapat menurunkan volume paru, membatasi kerja otot-otot
pernafasan tambahan dan menghasilkan batuk yang tidak efektif menyebabkan dispnea dan
retensi secret. Hilangnya propriosepsi dada dan posisi yang tidak biasa seperti litotomi atau
lateral dekubitus dapat memperberat dispnea pada pasien yang terjaga.
Preoksigenasi sebelum induksi anestesi umum mencegah desaturasi oksigen yang
cepat yang sering tampak pada pasien ini. Pemilihan obat anestetik dan penatalaksaan
intraoperatif umum sama dengan pasien asma. Namun sayangnya penggunaan zat anestetik
yang bersifat bronkodilator hanya dapat memperbaiki komponen reversible dari bronkospasme
akibat obstruksi aliran udara. Obstruksi ekspirasi yang signifikan sering terjadi bahkan pada
anestesi yang dalam sekalipun.Peningkatan depresi respirasi dari anestesi sering tampak pada
penyakit yang tergolong sedang dan berat. Seperti pada pasien asma, ventilasi harus dikontrol
denan volume tidal yang kecil sampai sedang dengan laju yang lambat untuk mencegah air-
trapping. Gas yang dilembabkan harus digunakan pada bronkospasme yang signifikan dan
untuk prosedur pembedahan yang lama (> 2 jam). Nitrous oksida harus dihindari pada pasien
dengan bula dan hipertensi pulmonal. Pneumotoraks karena ekspansi dan elevasi tekanan
arteri pulmonal terjadi karena gas ini. Penghambatan vasokonstriksi pulmonal hipoksik oleh
anestesi inhalasi secara klinis biasanya tidak signifikan pada dosis biasa.
Pengukuran gas darah arterial sangat diperlukan pada pembedahan perifer yang lama,
intra abdominal ekstensif dan pembedahan toraks . Walaupun pulse oksimetri dapat
mendeteksi desaturasi arterial signifikan secara akurat, pengukuran langsung terhadap ekanan
oksigen arterial dapat mendeteksi perubahan khusus pada shunting intrapulmonal. Dengan
demikian Pengukuran CO2 arterial harus dilakukan untuk memandu ventilasi karena dead
space yang meningkat , memperlebar gradien arterial –end tidal CO2 normal. Ventilasi harus
selalu disesuaikan untuk mempertahankan pH arterial normal. Normalisasi PaCO2 pada
pasien dengan retensi CO2 preoperatif menimbulkan alkalosis. Monitoring hemodinmik harus
dipandu dengan disfungsi kardiak yang mendasari sesuai dengan pemanjangan dan perluasan
operasi. Pada pasien hipertensi pulmonal pengukuran tekanan vena sentral mencerminkan
fungsi ventrikel kanan dibandingkan volume intravaskular.
Pada akhir pembedahan, saat ekstubasi harus seimbang dengan risiko timbulnya
bronkospasme dengan insufisiensi pulmonal. Namun bukti menganjurkan ekstubasi awal (di
kamar operasi) sangat menguntungkan. Ekstubasi terjaga memungkinkan penilaian yang
akurat dari fungsi paru pasca operasi kecuali risiko bronkospasme. Ekstubasi dalam
mengurangi risiko refleks bronkospasme namun harus diyakinkan bahwa pasien mampu untuk
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pasien dengan FEV1 dibawah 50% membutuhkan
ventilas pasca operasi, terutama setelah prosedur pembedahan abdominal bagian atas dan
toraks. Kriteria umum untuk ekstubasi didiskusikan pada bab 5 dan 50).

PENYAKIT PARU RESTRIKTIF

Penyakit paru restriktif ditandai dengan penurunan komplians paru . Volume paru
berkurang dengan cadangan laju aliran ekspirasi yang normal.Baik FEV1 dan FVC berkurang
tetapi rasio FEV1/FVC normal.
Penyakit paru restriktif termasuk berbagai kelainan pulmonal instrinsik kronis dan
ekstrinsik (ekstrapulmonal) yang melibatkan pleura, dinding dada, diafragma dan fungsi
neuromuskular. Penurunan komplians paru meningkatkan work of breathing, ditandai dengan
pernafasan yang cepat dan dangkal. Pertukaran gas respirasi biasanya dipertahankan sampai
proses penyakit berkembang lebih jauh.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK AKUT


Kelainan ini termasuk edema pulmonal, (termasuk ARDS), pneumonia infeksius dan
pneumonitis aspirasi.
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Penurunan komplians paru pada kelainan ini secara primer akibat peningkatan cairan paru
ekstravaskular, peningkatan tekanan kapiler pulmonal atau peningkatan permeabilitas kapiler
(lihat bab 50). Peningkatan tekanan terjadi disertai gagal jantung kiri sementara permeabilitas
yang meningkat tampak pada pasien ARDS. Permeabilitas yang meningkat terlokalisir atau
tergeneralisasi dapat terjadi setelah aspirasi atau pneumonitis infeksius.

Pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan penyakit pulmonal akut harus menjalani operasi elektif. Dalam persiapan untuk
operasi emergensi oksigenasi dan ventilasi harus dioptimalkan saat preoperatif jika
memungkinkan. Kelebihan cairan harus diatasi dengan diuretik. Gagal jantung juga
memerlukan vasodilator dan inotropik. Drainase efusi pleura yang besar harus
dipertimbangkan. Selain itu distensi abdominal masif darus dikurangi dengan dekompresi
nasogastrik atau drainase asites. Hipoksemia persisten membutuhkan PEEP. Gangguan
sistemik yang berhubungan seperti hipotensi atau infeksi haru diterapi secara agresif.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Pemilihan obat anestesi harus disesuaikan pada setiap pasien. Pasien yang akan
menjalani pembedahan dengan penyakit paru akut seperti ARDS, edema pulmonal-
kardiogenik atau pneumonia merupakan pasien critically ill.Penatalaksanaan anestesi yang
diberikan haruslah kelanjutan dari perawatan intensif preoperatif sebelumnya. Anestesi yang
diberikan berupa kombinasi obat intravena dan inhalasi bersamaan dengan penghambat
neuromuskular. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi dan PEEP sangat diperlukan.
Penurunan komplians paru tercermin dari tekanan inspirasi puncak yang tinggi selama
ventilasi tekanan positif dan peningkatan risiko barotrauma dan volum trauma. Volume tidal
pada pasien ini harus dikurangi sampai 4-8 mL/kg dengan peningkatan frekuensi pernafasan
sebagai kompensasi (14-18 x/menit).Bahkan jika terjadi peningkatan end-tidal CO2. Tekanan
jalan nafas secara umum tidak melebihi 30 cm H2O. Ventilator padda mesin anestesi terbukti
tidak adekuat pada pasien ARDS berat karena kemampuan aliran gas yang terbatas,
keterbatasan setting pada tekanan rendah, dan tidak tersedianya mode ventilator
tertentu.Ventilator ruang perawatan intensif yang lebih canggih harus digunakan pada
keadaan-keadaan demikian. Monitoring hemodinamik yang agresif sangat disarankan.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK KRONIS


Kelompok kelainan ini sering disebut penyakit interstisial paru. Tanpa memperhitungkan
etiologi, proses penyakit it ini secara umum ditandai dengan onset yang insidious, inflamasi
dinding alveolar dan jaringan perialveolar kronik dan fibrosis paru progresif. Fibrosis ini dapat
diintervensi dengan pertukaran gas dan fungsi ventilasi. Proses inflamasi merupakan proses
yang bersumber dari paru atau merupakan bagian dari suatu proses multiorgan. Penyebabnya
antara lain pneumonitis hipersensitif karena polutan akibat pekerjaan dan lingkungan,
toksisitas obat (bleomisin dan nitrofurantoin), pneumonitis radiasi, fibrosis paru idiopatik,
penyakit autoimun dan sarkoidosis. Aspirasi paru kronik, toksisitas oksigen dan ARDS berat
juga dapat menyebebkan fibrosis kronik.

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Pasien secara tipikal ditandai dengan dispnea pada saat beraktivitas dan kadang disertai
batuk non produktif. Gejala dari kor pulonal terjadi pada penyakit yang telah lanjut.
Pemeriksaan fisik menujukkan ronki (kering)yang jelas pada basal paru dan pada tahap lanjut
ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan. Gambaran foto toraks berkembang mulai dari
ground-glass appearance sampai gambaran retikulonodular yang disebut honey-comb
appearance. Gas darah arterial menunjukkan hipoksemia ringan dengan normokarbia. Tes
fungsi paru menunjukkan tipe defek ventilasi restriktif dan kapasita difusi karbonmonoksida
yang berkurang 30-50%.
Terapi ditujukan untuk menghilangkan proses penyakit dan mencegah pemaparan yang
lebih jauh dari agen penyebab (jika diketahui). Terapi glukokortikoid dan imunosupresif dapat
diberikan pada fibrosis paru idiopatik, kelainan autoimun dan sarkoidosis. Jika pasien
mengalami hipoksemia kronik, terapi oksigen dapat dimulai untuk mencegah atau
menghilangkan gagal ventrikel kanan
Pertimbangan-pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Evaluasi preoperatif harus difokuskan pada penentuan derajat gangguan paru
sebagaimana proses penyakit yang mendasarinya. Tujuannya agar dapat menentukan
keterlibatan potensial dari organ lainnya. Riwayat dispnea saat beraktivitas (atau saat tidur)
harus divaluasi dengan tes fungsi paru daan analisis gas darah arterial. Kapasitas vital kurang
dari 15 mL/kg adalah indikasi adanya disfungsi berat (normal > 70 mL/kg) . Pemeriksaan foto
toraks sangat membantu penilaian tingkat keparahan penyakit.

B. PENATALAKSAAN INTRAOPERATIF
Penatalaksanaan pasien ini cukup kompleks, dengan adanya predisposisi untuk
timbulnya hipoksemia dan perlunya untuk mengontrol ventilasi dalam menjamin pertukaran
gas yang optimum, pemilihan obat anestetik secara umum tidak begitu penting. Pengurangan
FRC (dan penyimpanan oksigen) merupakan predisposisi terjadinya hipoksemia yang cepat
setelah induksi anestesi (lihat bab 22) . Ambilan dari anestetik inhalasi dapat juga dipercepat.
Karena pasien-pasien biasanya lebih rentan terhadap toksisitas yang diinduksi oksigen,
khususnya pada pasien yang mendapat terapi dengan bleomisin. Konsentrasi fraksional
terinspirasi dari oksigen harus dipertahankan pada konsentrasi minimum yang kompatibel
dengan oksigen yang dapat diterima (SpO2 > 88-92%) Puncak tekanan inspirasi yang tinggi
selama ventilasi mekanik meningkatkan risiko pneumotoraks dan harus diberikan volume tidal
yang lebih kecil dengan frekuensi yang lebih sering.

KELAINAN-KELAINAN PULMONAL EKSTRINSIK RESTRIKTIF


Gangguan ini mengubah pertukaran gas dengan cara mengganggu ekspansi paru yang
normal. Gangguan ini antara lain efusi pleura, pneumotoraks, massa mediastinal, kifoskoliosis,
pektus ekskavatum gangguan neuromuskular dan peningkatan tekanan intraabdominal karena
asites, kehamilan atau perdarahan. Obesitas yang nyata juga menyebabkan defek ventilasi
restriktif. Pertimbangan anestetik sama dengan gangguan restriktif instrinsik.
EMBOLI PULMONAL
Pertimbangan Preoperatif
Emboli pulmonal (paru) terjadi akibat masuknya bekuan darah, lemak, sel tumor, udara,
cairan amnion atau benda asing ke dalam sistem vena. Bekuan dari ekstremitas bawah
(biasanya di atas lutut), vena pelvis atau kadang lebih jarang dari jantung kanan sebagai
penyebabnya. Stasis vena atau hiperkoagulabilitas sering menjadi faktor penyebab pada
beberapa kasus. Emboli paru dapat terjadi intraoperatif, pada individu normal yang menjalani
pembedahan. Emboli lemak didiskusikan pada bab 40, emboli udara dibicarakan pada bab 26.

A. PATOFISIOLOGI
Oklusi emboli pada sirkulasi pulmonal meningkatkan dead space dan jika minute
ventilation tidak berubah peningkatan dead space ini secara teoretik juga dapat meningkatkan
PaCO2. Namun pada praktiknya hipoksemia sering terjadi. Emboli paru akut meningkatkan
resistensi vaskular paru dengan mengurangi area cross-sectional dari pembuluh darah paru
menyebabkan refleks dan vasokonstriksi humoral. Refleks bronkokonstriksi yang terlokalisir
dan umum meninkatkan area dengan V/Q rasio yang rendah .Efeknya adalah peningkatan
shunt pulmonal dan hipoksemia. Daerah yang terkena, kehilangan surfaktan dalam beberapa
jam dan mengalami atelektasis dalam 24-48 jam. Infark pulmonal terjadi jika emboli
melibatkan pembuluh darah besar dan aliran darah kolateral dari sirkulasi bronkial yang
insufisiensi pada bagian paru tersebut (insidensi < 10%) Pada orang sehat, oklusi lebih dari
50% dari sirkulasi pulmonal (Emboli paru masif) biasanya terjadi sebelum gejala hipertensi
pulmonal yang berlanjut muncul. Pasien dengan penyakit kardiopulmonal yang telah ada
sebelumnya dapat mengalami hipertensi pulmonal akut dengan oklusi yang tidak begitu besar.
Peningkatan afterload ventrikel kanan yang terus-menerus dapat mencetuskan gagal jantung
kanan. Jika pasien dapat bertahan pada tromboemboli pulmonal akut thrombus biasanya akan
membaik dalam 1-2 minggu.
B. DIAGNOSIS

Manifestasi klinis dari emboli paru antara lain takipnea yang terjadi tiba-tiba, dispnea,
nyeri dada atau hemoptisis. Gejala yang terakhir menunjukkan adanya infark. Gejala
seringkali tidak tampak atau ringan dan nonspesifik kecuali emboli masif telah terjadi. Mengi
dapat ditemukan pada auskultasi. Analisis gas darah arterial secara tipikal menunjukkan
hipoksemia ringan dengan alkalosis respiratorik karena peningkatan respirasi. Foto toraks
umumnya normal namun dapat juga menggambarkan oligemia (radiolusen) densitas wedge-
shape dengan infark , atelektasis dengan diafragma yang terangkat atau pelebaran arteri
pulmonal proksimal dengan hipertensi pulmonal akut. Tanda-tanda kardiak antara lain
takikardi dengan splitting yang melebar dari bunyi jantung kedua, hipotensi dengan
peningkatan tekanan vena sentral biasanya indikasi adanya gagal jantung kanan. EKG
biasanya menunjukkan gambaran takikardi dan dapat menunjukkan tanda-tanda kor pulmonal
akut seperti right axis deviation, RBBB dan gelombang T yang tinggi. Pletismografi impedans
sangat membantu daalam menunjukkan trombosis vena dalam di atas lutut. Diagnosis emboli
lebih sulit diketahui saat operasi. Angiografi pulmonal adalah pemeriksaan yang paling akurat
pada emboli pulmonal, namun pemeriksaan perfusi pulmonal noninvasif dan pencitraan (scan)
ventilasi menggunakan emisi gamma radionukleotida dapat membantu dan telah banyak
digunakan. Hasil pencitraan dari perfusi yang normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
emboli yang signifikan. Hasil pencitraan yang menggambarkan perfusi abnormal dapat
menegakkan diagnosis bila defek perfusi tampak pada daerah dengan ventilasi yang normal.
Pencitraan CT Helikal (Helical CT scanning) saat ini banyak digunakan di berbagai senter
pelayanan medik untuk mendiagnosisi emboli pulmonal
Tabel 23-4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Trombosis Vena Dalam dan Emboli Pulmonal

Tirah baring yang lama

Masa postpartum

Fraktur ekstremitas bawah

Pembedahan di ekstremitas bawah

Karsinoma

Gagal jantung

Obesitas

Pembedahan lebih dari 30 menit

Hiperkoagulabilitas

Defisiensi antitrombin III

Defisiensi protein C

Defisiensi protein S

Defisiensi aktivator plasmonogen

C. TERAPI

Terapi yang terbaik untuk emboli pulmonal adalah pencegahan terhadap timbulnya hal
tersebut. Terapi dengan heparin (Heparin tidak terfraksinasi 5000 U sub kutan setiap 12 jam
dimulai preoperative atau segera pasca operasi pada pasien dengan risiko tinggi), antikoagulasi
oral (warfarin), aspirin atau dekstran bersamaan dengan ambulasi dini dapat menurunkan
insidensi emboli pasca operasi. Penggunaan stoking elastic dan kompresi pneumatic pada
tungkai juga dapat menurunkan insidensi trombosis vena pada tungkai namun tidak demikian
pada pelvis dan jantung.

Antikoagulan sistemik mencegah pembentukan bekuan darah yang baru atau


perluasan dari bekuan darah yang telah ada sebelumnya. Terapi heparin dimulai dengan tujuan
untuk mencapai suatu nilai aPTT (activated partial thromboplastin time) 1,5-2,4 kali nilai
normal. Heparin berat jenis rendah (LMWH) merupakan antikoagulan yang efektif, diberikan
secara sub kutan dengan dosis yang telah ditetapkan ( berdasarkan berat badan) tanpa
monitoring secara laboratorik. LMWH lebih mahal dibandingkan heparin tidak terfraksionasi
namun secara pembiayaan lebih efektif. Pada pasien-pasien risiko tinggi, LMWH dimulai 12
jam sebelum pembedahan, 12-24 jam setelah pembedahan atau 50% dosis biasa diberikan 4-6
jam setelah pembedahan. Semua pasienharus memulai terapi warfarin bersamaan dengan saat
memulai terapi heparin dan keduanya harus diberikan selama 4-5 hari. Nilai INR PT
(International Normalized Ratio) harus berada dalam rentang terapeutik pada dua pengukuran
berturut-turut dengan jarak waktu sedikitnya 24 jam sebelum terapi heparin dihentikan.
Warfarin harus diteruskan selama 3-12 bulan. Terapi trombolitik dengan tissue plasminogen
activator atau streptokinase diindikasikan pada pasien dengan emboli pulmonal massif atau
kolaps sirkulasi. Pembedahan terakhir dan perdarahan aktif merupakan kontraindikasi terapi
anti koagulasi dan trombolitik. Pada kasus ini filter umbrella vena cava inferior ditempatkan
untukmencegah emboli pulmonal.Embolektomi pulmonal diindikasikan untuk pasien emboli
massif dimana terapi trombolitik merupakan kontraindikasi.

Pertimbangan-pertimbangan Anesetik

A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF

Pasien dengan emboli pulmonal akut dapat menjalani pembedahan untuk pemasangan
filter kaval atau kadang-kadang embolektomi pulmonal. Pada beberapa kasus pasien memiliki
riwayat emboli pulmonal dan dating ke kamar operasi untuk menjalani pembedahan yang
tidak ada hubungannya dengan penyakit sebelumnya. Pada kelompok pasien ini risiko terapi
antikoagulan perioperatif tidak diketahui. Jika episode akut di atas usia satu tahun, risiko
penghentian sementara terapi antikoagulan mungkin kecil. Selain itu, fungsi pulmonal
biasanya kembali normal kecuali pada kasus emboli pulmonal kronik rekuren. Perhatian utama
pada tahap perioperatif adalah mencegah terjadinya episode baru emboli.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Filter vena kava biasanya dimasukkan secara per kutan dalam lokal anestesi dengan
sedasi. Pasien dapat menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap efek sirkulasi dari obat-
obat anestesi.

Walaupun tidak ada rekomendasi yang pasti mengenai pilihan anestesi pada pasien
dengan riwayat emboli pulmonal, beberapa penelitian menganjurkan regional anestesi pada
beberapa jenis operasi (contoh operasi pnggul) dimana jenis anestesi ini dapat menurunkan
insidensi trombosis vena dalam dan emboli pulmonal pasca operasi. Penggunaan anestesi
regional dikontraindikasikan pada pasien dengan antikoagulasi residual atau pemanjangan
waktu perdarahan. Bila anestesi umum yang dipilih, penggunaan obat-obat anestesi dengan
masa kerja pendek memungkinkan ambulasi dini pasca operasi.

Pasien yang menjalani embolektomi pulmonal merupakan pasien critically ill. Pasien
ini biasanya telah terintubasi namun tidak dapat mentoleransi ventilasi tekanan positif. Support
inotropik sangat dibutuhkan sampai bekuan darah diangkat. Pasien –pasien tersebut juga tidak
dapat mentoleransi obat-obat anestesi. OPiat, etomidat atau ketamin dosis kecil dapat
digunakan, namun ketamin secara teoretik dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal.Pintas
kardiopulmonal dibutuhkan pada kasus ini.

C. EMBOLI PULMONAL INTRAOPERATIF

Emboli pulmonal yang signifikan jarang terjadi selama anestesi. Diagnosis


membutuhkan kewaspadaan yang tinggi. Emboli udara umum terjadi namun sering
dikhawatirkan, kecuali sejumlah besar udara masuk. Emboli lemak dapat terjadi selama
operasi ortopedi. Emboli cairan amnion jarang terjadi, tidak dapat diprediksi dan sering
bersifat fatal, dan merupaan komplikasi dari persalinan obstetric (lihat bab 43). Tromboemboli
dapat terjadi intraoperatif pada operasi yang lama. Bekuan atau sumbatan dapat terjadi
sebelum pembedahan atau terbentuk selama intraoperasi. Manipulasi bedah atau perubahan
posisi pasien dapat melepaskan thrombus vena. Manipulasi tumor dengan ekstensi
intravascular juga dapat mengakibatkan emboli pulmonal.
Emboli pulmonal intraoperatif biasanya muncul sebagai suatu hipotensi mendadak
yang tidak dapat diketahui sebabnya, hipoksemia atau bronkospasme. Penurunan konsentrasi
end-tidal CO2 merupakan tanda-tanda emboli pulmonal namun tidak spesifik. Monitoring
invasive dapat menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena sentral dan arteri pulmonal.
Transesofagial ekokardiogram dapat membantu menegakkan diagnosis tergantung pada tipe
dan lokasi emboli. Jika udara teridentifikasi pada atrium kanan atau jika hal tersebut kita
curigai, kanulasi vena sentral dan aspirasi udara secara emergensi merupakan tindakan
penyelamatan jiwa. Semua jenis emboli lainnya pnatalaksanaannya adalah tindakan suportif
dengan cairan intravena dan obat inotropik. Pemasangan filter vena cafa harus
dipertimbangkan pasca-operasi.

Anda mungkin juga menyukai