“ALKALOID MORFIN”
BAB I
PENDAHULUAN
Alkaloid adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali
dan sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa
tersebut dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat
memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan (Achmad, 1986).
Salah satu jenis alkaloid yaitu morfin. Menurut (William, 1981) Morfin adalah
alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan
pada opium ( C17H19NO3 ). Umumnya opium mengandung 10% morfin. Kata "morfin"
berasal dari Morpheus, dewa mimpi dalam mitologi Yunani. Dimana morfin ini sering
disalahgunakan menjadi obat-obatan terlarang oleh kalangan tertentu.
Kristal monohidrat morfin, yang toksik dan pahit, mencair pada suhu 254-2560C.
kelarutannya dalam air sedang, sedikit sekali larut dalam alcohol dingin, dan mudah larut
dalam kloroform. Morfin juga merupakan suatu reduktor yang dapat mereduksi iodat,
klorat, perak nitrat atau alkali permanganat (Sunardjo, 2008).
Morfin merupakan alkaloida yang terdapat dalam opium candu yang berasal dari
tanaman Papaver Somniferum L. Morfin berupa serbuk berwarna putih digunakan dalam
pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri. Dalam bentuk sustained released tablet
digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat pada penderita kanker, operasi,
dan lain-lain. Morfin dapat mengakibatkan ketergantungan fisik, psikis, dan toleransi
sehingga penggunaan dalam pengobatan sangat dibatasi (Semiun, Yustina, 2006).
Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid
lainnya. Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, danmengurangi
kemampuan untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh,rasa berat pada
ekstrimitas, mulut kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulitsekitar hidung. Morfin
tidak menghilangkan penyebab nyeri, tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah
persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila
morfin diberikan sebelum stimulus nyeri timbul (Mawarni, D., 2010).
2.2 Sejarah Morfin
Kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria ditemukan sari bunga opion atau
kemudian lebih dikenal dengan nama opium (candu = Papavor somniferum). Bunga ini
tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan
laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke daerah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia
lainnya. Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilheim
menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang dikenal dengan nama
morfin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1806
waktu pecah perang saudara di Amerika Serikat, morfin ini dipergunakan untuk
penghilang rasa sakit akibat luka-luka perang. Tahun 1874, seorang ahli kimia bernama
Alder Wright dari London merebus cairan morfin dengan asam anhidrat (cairan asam
yang ada pada sejenis jamur). Campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada
anjing. Anjing tersebut memberikan reaksi yaitu tiarap, ketakutan, mengantuk, dan
muntah-muntah (Gusti, 2009).
Morfin mempunyai lima pusat asimetrik (karbon 5, 6, 9, 13, dan 14), tetapi hanya
16 (8 pasangan rasemik diastereoisomer) dan bukan 32 (25) isomer yang mungkin,
karena atom 10 dan 12 harus cis, jadi 1,3-diaksial, dibandingkan terhadap cincin
piperidin (D). Stereokimia relatif pada kelima pusat itu direduksi secara tepat oleh Stork
pada tahun 1952. Peristilahan klasik (misalnya morfin, kodein) digantikan oleh tatanama
sistemik yang didasarkan pada inti morfinan dengan mempertahankan sistem penomoran
fenantren. Jadi morfin sekarang disebut (Cemical Abstract) 17-metil-7,8-didehidro-4,5α-
epoksimorfinan-3,6α-diol ; dimana α menunjukan orientasi trans terhadap jembatan 15,
16, 17 yang berhubungan dengan sistem cincin ABC (William, 1981).
Sifat morfin yaitu khasiat analgesik morfin lebih efektif pada rasa nyeri yang
terputus-putus (interminten) dan yang batasnya tidak tegas. Dalam dosis cukup tinggi,
dapat menghilangkan kolik empedu dan uretur. Morfin menekan pusat pernafasan yang
terletak pada batang otak sehingga menyebabkan pernafasan terhambat. Kematian pada
kelebihan dosis morfin umumnya disebabkan oleh sifat menghambat pernafasan ini. Efek
menekan pernafasan ini diperkuat oleh fenotiazin, MAO-I dan imipramin. Sifat morfin
lainnya ialah dapat menimbulkan kejang abdominal, muka memerah, dan gatal terutama
di sekitar hidung yang disebabkan terlepasnya histamin dalam sirkulasi darah, dan
konstipasi, karena morfin dapat menghambat gerakan peristaltik. Melalui pengaruhnya
pada hipotalamus, morfin meningkatkan produksi antidiuretik hormon (ADH) sehingga
volume air seni berkurang. Morfin juga menghambat produksi ACTH dan hormon
gonadotropin sehingga kadar 17 ketosteroid dan kadar 17-hidroksi kortikosteroid dalam
urine dan plasma berkurang. Gangguan hormonal ini menyebabkan terganggunya siklus
menstruasi dan impotensi (Omorgui, 1997).
Sifat, reaksi morfin sebagai alkaloid bersifat basa karena mengandung gugus
amin tersier (pKa ≈ 8,1) dan membentuk garam berbentuk Kristal dengan sederetan
asam. Yang digunakan adalah garam hidroksida yang mengandung tiga molekul air
Kristal ( morfin hidroksida pH, Eur). Berdasarkan gugus hidroksil fenolnya morfin juga
bersifat asam ( pKa = 9,9) dan bereaksi dengan alkalihidroksida membentuk fenolat,
tetapi tidak bereaksi dengan larutan ammonia. Titik isolistrik terletak pada pH 9. Morfin
yang terdapat dalam alam memutar bidang polarisasi ke kiri (William, 1981).
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot
polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,miosis, mual muntah, hiperaktif
reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH) (Latief dkk, 2001).
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yangsama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat (Wibowo, 1995).
Heroin merupakan salah satu alkaloid turunan morfin. Heroin pada umumnya
berupa diasetat morfin dan merupakan analgesik dan hipnotik yang sangat bersifat
adiktif. Peningkatan sifat lipofilik dari heroin dibandingkan dengan morfin
menyebabkan meningkatnya kelarutan dan laju absorpsi. Komponen aktifnya berupa 6-
asetat, 3-asetat yang merupakan hasil hidrolisa oleh enzin esterase pada otak. Heroin
disintesis pada awalnya sebagai pereda batuk akan tetapi ditemukan adanya efek yang
kurang baik berupa sifat adiksinya, dengan pemakaian pada penyakit yang berhubungan
dengan masalah kejiwaan. Penggunaannya yang lain pada pengobatan pada kanker.
Penyalahgunaan heroin dalam bentuk injeksi sangat banyak digunakan dan telah
menjadi persoalan internasional.
3.1 Kesimpulan
Morfin merupakan suatu amina tersier yang struktur kimianya mengandung
sebuah radikal hidroksi alkoholik dan sebuah radikal hidroksi fenolik dan merupakan
alkaloida yang terdapat dalam opium candu yang berasal dari tanaman Papaver
somniferum L. Morfin berperan dalam pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri
untuk penderita kanker dan operasi.
Struktur morfin yaitu senyawa pentasiklik dengan atom dan cincin dan
mempunyai lima pusat asimetrik. Morfin memiliki nama kimia yaitu 17-metil-7,8-
didehidro-4,5α-epoksimorfinan-3,6α-diol.
Biosintesis alkaloid morfin pada tanaman terjadi pada bagian daun, biji dan
biosintesis ini dimulai dengan terjadinya biosintesis tirosin yang merupakan produk awal
dari sebagian besar golongan alkaloid dan merupakan produk awal dari pembentukan
senyawa morfin.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta : Universitas Terbuka
Badariah. 2013. Isolasi Alkaloid Bersifat Antimakan Pada Kayu Bulian (Eusideroxylon
zwagerii T et B). Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. Lampung
Gusti, A. 2009. Aspek Kesehatan dalam Penyalahgunaan Narkoba.Sumatera:Universitas
Sumatera Utara.
Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Mawarni, D., 2010, Farmakologi Obat-obatan Opioid dan Hipnotik Sedatif. Palembang:
Universitas Sriwijaya Press
Omorgui, s. 1997. Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II. Jakarta : EGC
Robinson, Trevor. 2000. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius
Semiun, Yustina, 2006, Kesehatan Mental 2.Yogyakarta:Kanisius.
Soenarjo, Widyastuti E. Perubahan Internal QTc Akibat Induksi Anestesi dan Intubasi. Media
Medika Indonesiana. 2001; 36(2): 97-102.
Sunardjo, 2008, Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Usman, H. 2002. Kimia Organik Bahan Alam. Makassar : Universitas Hasanudin Makassar
Wibowo, Samekta dan Abdul gopur. 1995. Farmakoterapi dalam Neuorologi. penerbit
salemba medika
William O. Foye. 1981. Principles Of Medicinal Chemistry (diterjemahkan oleh LEA &
FEBIGER tahun 1995). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press