PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Awalnya, fokus berada di kompartemen anterior kaki, tetapi karya Seddon, Kelly,
dan Whitesides pada pertengahan 1960-an menunjukkan adanya empat kompartemen di
kaki dan kebutuhan untuk dekompresi lebih dari sekadar kompartemen anterior. [1, 2]
Sejak itu, sindrom kompartemen telah terbukti mempengaruhi banyak area tubuh,
termasuk tangan, kaki, paha, dan bokong.
Penelitian saat ini ditujukan untuk reperfusi ekstremitas iskemik. Beberapa
menganjurkan penggunaan oksigen hiperbarik untuk meningkatkan oksigenasi jaringan
dan mencegah myonecrosis lebih lanjut. [3] Deteksi dan pencegahan dini masih penting
dalam mencegah kecacatan berat. Pemeriksaan berulang yang sering diperlukan. Kateter
transduser-ujung miniatur memungkinkan pengukuran tekanan intra kompartemen secara
terus-menerus dan akurat. [4] Teknik non-invasif lain untuk kontraktur Volkmann saat ini
sedang diselidiki.
B. Tujuan
Tujuan Referat ini adalah mengetahui penyebab, faktor risiko serta diagnosis dan
penanganan terkini dari Volkman Ischemia Contractur. Selain itu tujuan penulisan referat
ini adalah sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik stase Ilmu Penyakit Paru di RSO
Prof. Soeharso, Surakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Fraktur Supracondylar Humerus (SCH) adalah fraktur yang terjadi pada bagian
distal tulang humerus setinggi kondilus humeri, yang melewati fossa olekrani. Fraktur ini
sering terjadi pada anak, yaitu sekitar 65% dari seluruh kasus patah tulang lengan atas.
Fraktur Supracondylar Humerus terutama derajat III (displaced) sering menimbulkan
komplikasi pada saraf maupun vaskuler setelah terjadinya fraktur maupun setelah
penanganan fraktur.3
Pada kasus trauma pada kelompok pediatrik Fraktur Supracondylar Humerus
(SCH) merupakan kejadian yang sering terjadi. Treatment of choice yang telah luas
diterima sebagai teknik terbaik dari fraktur supracondylar humerus type III adalah
reduksi operatif dan pin fixasi. Walaupun demikian kontroversi tetap masih didapatkan
dan terus berkembang mengenai penempatan dari pin. 1 ,2,3,4,5,6,7
Pilihan konfigurasi Cross pinning dipercaya secara mekanik lebih stabil
dibandingkan dengan hanya lateral pin, walaupun nervus ulnaris dapat tercederai dengan
mengunakan medial pin dibandingkan hanya dengan lateral pin 1 ,2,3,4,5,6,7
Pengananan operatif fraktur SCH pada anak di Rs Orthopaedi Prof Dr Soeharso
Surakarta menggunakan tehnik berupa ORIF cross pinning dengan posterior approach
dan juga dilakukan percutaneous cross pinning dari medial dan lateral dengan Closed
reduction.
Menurut Mansjore Arif et al (2000), fraktur adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Sedangkan fraktur (patah tulang) menurut Smeltzer S.C & Bare B.G (2001) adalah
terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur suprakondiler humerus sendiri adalah fraktur yang terjadi pada 1/3 distal
humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri. Garis fraktur berjalan melalui
apeks coronoid dan fossa olecranon, biasanya berupa fraktur transversal. Merupakan
fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa, garis fraktur terletak
sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan garis fraktur
kominutif, spiral disertai angulasi. (Sander M.A., 2010)
ANATOMI
Humerus adalah tulang lengan panjang yang kokoh, yang membentang dari bahu
ke siku. Anatomi humerus terutama terkait dengan poros, ujung atas dan ujung bawah.
Ujung atas membentuk sendi bahu bulat dan berartikulasi dengan glenoid rongga. Ujung
bawah tidak teratur dalam bentuk karena untuk mendukung berbagai gerakan, seperti
siku menekuk (fleksi), rotasi (pronasi dan supinasi ). ujung bawahjuga disebut kondilus
humeri, berartikulasi dengan radius tulang serta tulang ulna untuk membentuk sendi siku.
Beberapa otot-otot penting lengan berasal baik atau melampirkan pada poros tulang
humerus, seperti brachalis, trisep, dan sebagainya, yang memberikan gerakan pada siku
dan sendi bahu (Orthopedmapia, 2011). Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian
yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi
dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu.
Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah
luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas
Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas
Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang
membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang
mudah terjadi fraktur.
2. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah
lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena
menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah
belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada
saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3.Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk
bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam
berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar
etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung
bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn
C, 1997)
Fraktur humerus distal dapat berupa fraktur humerus suprakondilaris atau fraktur
humerus condylar. Sebuah fraktur humerus suprakondilaris berada di persimpangan
Kondilus (ujung bawah) dan poros, dan patah tulang siku yang paling umum pada
anak-anak. Sebuah fraktur condylar adalah fraktur
humerusparah yang umumnya terjadi karena cedera kecepatan tinggi, seperti
kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. Kecelakaan seperti ini sering
mengakibatkan siku tidak stabil bahkan setelah operasi dan sering memerlukan suatu
operasi siku pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku (Orthopedmapia,
2011).
EPIDEMIOLOGI
Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak, yaitu sekitar 65 % dariseluruh kasus patah
tulang lengan atas. Mayoritas fraktur suprakondiler padaanak-anak terjadi pada usia 3 – 10
tahun, dengan puncak kejadiannya padausia 5 dan 7 tahun. Dan biasanya paling sering
ditemukan pada anak laki –laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Fraktur columna tunggal relatif jarang terjadi dan hanya mencakup 3-5% dari
keseluruhan jenis patah tulang humerus distal. Fraktur columnalateral lebih umum terjadi
daripada patah tulang columna medial. Patah tulang jenis ini merupakan presentasi dari
pemanjangan distal columna masing-masing, termasuk sebagian dari permukaan artikular. Ini
digambarkan sebagai tinggi atau rendah, tergantung pada sejauh mana proksimal dari garis
fraktur dan tingkat keterlibatan permukaan sendi. Milch mendeskripsikan fraktur jenis ini
sebagai patah tulang kondilus medial atau lateral(Noffsinger M.A., 2012).
Fraktur bicolumna adalah jenis fraktur humerus distal yang lebih umum terjadi. Pada
beberapa penelitian, fraktur bicolumna terhitung menyumbang sekitar 70% dari keseluruhan
jenis patah tulang humerus distal pada orang dewasa. Patah tulang jenis ini melibatkan
gangguan dari columna medial dan lateral yang menyebabkan terganggunya segitiga humeri
dan mengakibatkan pemisahan dari permukaan artikular dari poros humerus. (Noffsinger
M.A., 2012).
ETIOLOGI
A. Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan
fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain (Subagyo H.
2013).
Pada pasien anak yang masih sangat kecil sering terdapat kesulitan untuk
mendapatkan anamnesa, terutama jika tidak ada saksi yang melihat saat terjadinya
trauma. Jika orang tua pasien ada, biasanya anamnesa mengenai saat jatuh, jatuh
setelah berjalan atau jatuh setelah belajar melangkah bisa didapatkan(Subagyo H.
2013).
B. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang umumnya dapat terlihat pada
fraktur suprakondiler humerus :
1. Tipe ekstensi
sendi siku dalam posisi ekstensi daerah siku tampak bengkak
tonjolan fragmen di bawah subkutis.
2. Tipe fleksi
posisi siku fleksi (semifleksi), dengan siku yang bengkak dengan
sudut jinjing yang berubah.
3. Gangguan sirkulasi perifer dan lesi pada saraf tepi warna kulit, palpasi pulsasi,
temperatur, waktu dari capilarry refill memerlukan tindakan reduksi fraktur
segera.
4. N. Medianus (28 - 60%) tidak dapat oposisi ibu jari dengan jari lain.
“Okay” Sign
5. Cabang N. Medianus N. Interosseus anterior ketidakmampuan jari I dan II
untuk melakukan fleksi (pointing sign).
Pointing Sign
6. N. Radialis (26 - 61%) tidak mampu melakukan ekstensi ibu jari dan
ekstensi jari lainnya pada sendi metakarpofalangeal.
Wrist Drop
7. N. Ulnaris (11 - 15%) tidak bisa abduksi dan aduksi jari - jari.
Pasien diminta menahan kertas diantara ibu jari dan jari telunjuk sedang
pemeriksa berusaha untuk menarik kertas tersebut; flexi ibu jari sendi interphalangeal
yang keras menandakan kelemahan m. adduktor pollicis dan m. interosseus dorsalis 1
akibat kompensasi dari m. flexor pollicis longus dan disebut “Froment’s sign”.
Frontmen Sign
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. pemeriksaan penunjang dengan radiologi proyeksi AP/LAT, untuk
melihat tipe ekstensi atau fleksi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
Bayangan jaringan lunak.
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium :
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
3. Pemeriksaan Lain :
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: untuk mengetahui
ada/tidaknya mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Arthroscopy: untuk mengetahui jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
Indium Imaging: untuk mengetahui adanya infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
PENATALAKSANAAN
A. Terapi koservatif
Indikasi :
pada anak undisplaced/ minimally dispaced fractures
fraktur sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengankapasitas fungsi
yang terbatas.
Pembengkakan sendi siku terjadi karena gangguan drainase atau mungkin juga
karena verban yang terlalu kuat.
2. Maserasi kulit pada daerah antekubiti
Komplikasi ini terjadi karena setelah reposisi, dilakukan fleksi akut pada sendi
siku yang menyebabkan tekanan pada kulit.
3. Iskemik Volkmann
Pada mal union cubiti varus siku berbentuk seperti huruf 0, secara fungsi baik,
namun secara kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi
meluruskan siku dengan teknik French osteotomy.
PROGNOSIS
Prognosis baik telah meningkat secara dramatis selama 30 tahun terakhir karena
perkembangan teknik bedah dan instrumentasi. Namun, pasien yang mengalami cedera
fraktur suprakondiler humerus, sikunya mungkin tidak akan pernah menjadi normal
sehingga pasien harus diedukasi tentang keadaan ini. Tujuan dari terapi fraktur
suprakondiler humerus adalah untuk memberikan siku nyaman yang fungsinyamendekati
keadaan senormal mungkin. Sebagian besar aktivitas sehari-hari memerlukan fleksi
antara sudut 30-130° yang memungkinkan pasiem untuk makan dan menjaga kebersihan
pribadi. Kompensasi untuk kurangnya extensi akan lebih mudah daripada
mengkompensasi kurangnya fleksi, dan kompensasi untuk kurangnya pronasi akan lebih
mudah daripada mengkompensasi kurangnya supinasi (Noffsinger M.A., 2012).
Kemampuan gerak akhir yang dicapai pasca terapi terkait dengan tingkat energi
trauma awal dan stabilitaskesuksesanpemulihan yang memungkinkan untuk melakukan
range of motion awal. Trauma energi tinggi (misalnya, luka tembak, luka menyamping,
cedera akibat kecelakaan kendaraan bermotor) menyebabkan terjadinya kerusakan
jaringan lunak yang lebih banyak dan peningkatan jaringan parut, yang cenderung
menyebabkanterbatasnyaambang gerak tangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
rilis kapsul yang dilakukan pada saat fiksasi awal untuk trauma energi tinggi fraktur
humerus distal bisa meningkatkan jangkauan gerakjangka panjang. Kemampuan fleksi
biasanya kembali paling awal dalam kurun waktu 2-4 bulan, dan kemampuan ekstensi
akhir dapat berkembang sampai 12 bulan setelah cedera. Penggunaan splints ekstensi
dinamis guna memperoleh ekstensi akhir telah terbukti menunjukkan beberapa
keuntungan bagi pasien (Noffsinger M.A., 2012).
ANATOMI
EPIDEMIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan rutin rentang pasif gerak semua jari segera setelah pengurangan
tertutup fraktur radial atau ulnaris dianjurkan. Jika penambatan otot terdeteksi,
manipulasi ulang fraktur diperlukan untuk melepaskan otot. Jika ini tidak berhasil,
pembedahan melalui sayatan kecil harus dilakukan untuk menormalkan panjang,
perjalanan, dan fungsi dari fleksor digitorum profundus. Fungsi dapat dipulihkan dengan
menguraikan otot dan tendonnya dari fraktur ulnar melalui manipulasi dini atau
myotenolysis terlokalisasi.
MANIFESTASI KLINIS
Adapun gejala-gejala secara singkat adalah sebagai berikut:
1. Stadium Peradangan
Pada stadium ini terdapat gejala-gejala seperti yang kita lihat pada perawatan karena
infeksi, walaupun sesungguhnya tidak ada infeksi dari basil dan tidak ada
leucocytosis yang tinggi, sedangkan suhu badanpun tidak begitu tinggi. Kecuali
gejala-gejala merah, bengkak, sakit, panas dan gangguan fungsi yang tidak terbatas
pada tempat trauma, tetapi juga pada tangan dan jari-jari, maka kita akan melihat
pula gejala-gejala oe- dema dan hyperhydrosis. Rontgen photo dari tulang
menunjukkan adanya osteoporose.
2. Stadium Degenerasi
Pada stadium ini tidak ada lagi gejala-gejala peradangan, tidak tampak pula adanya
bengkak, sehingga anggota yang sakit lebih kecil kelihatannya daripada anggota yang
sehat. Hanya kulit mungkin masih menun- jukkan oedema yang tidak berat. Warna
kulit tidak lagi merah akan tetapi cyanotis, suhunya rendah dan agak mengkilat.
Disamping itu juga terdapat gangguan atrophis pada kuku. Sendi-sendi lebih menjadi
kaku dan sakit jika digunakan. Rontgenologis lebih banyak lagi atrophie dari tulang-
tulang (matglas). Perasaan sakit kadang-kadang sangat hebat se- hingga penderita
memerlukan banyak sedativa.
3. Stadium Atrophy
Pada stadium ini gejala-gejala yang menyolok adalah Atrophie dan kon- traktur yang
hebat pada sendi-sendi, sedangkan rasa nyeri tidak lagi terdapat. Umumnya
kontractur pada tangan merupakan Flexion Contrac- ture pada Wrist Joint,
Hyperextension dari Metacarpo Phalangeal joint dan Flexion Contracture dari
Interphalangeal Joint, sehingga merupakan Claw Hand. Kontraktur dan atrophle tadi
sedemikian hebatnya sehingga tangan tidak lagi dapat digerakkan. Pula telah terdapat
perubahan pada tulang-tulang sendi. Umumnya stadium I ini telah irreparable.
Sepenti tersebut di atas prognose terapl sangat tergantung kepada sta- dium dan
adalah penting sekali untuk menolong komplikasi tadi secepat mungkin. Terapi
terutama terdiri dari melepaskan segala pembalut, mas- sage, heat terapi dan
kemudian passive an aktive exercises, terutama Occupational terapi akan sangat
bailk. Untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat hebat dapat diberikan Novocaine
injeksi pada Ganglion Cervicale. Adapula yang menganjurkan terapi Arterio
Sympathectomy
PEMERIKSAAN FISIK
Presentasi klinis kontraktur Volkmann mencakup apa yang biasa disebut sebagai
5P: nyeri, pucat, denyut nadi, parestesi, dan kelumpuhan. Dari semua ini, rasa sakit
adalah tanda paling awal. [15]
Pada pemeriksaan fisik, nyeri ditekankan oleh peregangan pasif tampaknya menjadi
temuan yang paling dapat diandalkan. Ketegasan jaringan sering dicatat pada palpasi.
Pulselessness dan paralysis adalah temuan yang terlambat. Indurasi lengan bawah adalah
penemuan diagnostik yang berguna.
DIAGNOSIS
Radiografi humerus, siku, dan lengan bawah berguna untuk menilai jumlah
perpindahan fraktur supracondylar dan fraktur radial dan ulnar gabungan. Fraktur
suprakondilar nondisplaced jarang menyebabkan kontraktur Volkmann.
Kontraktur Volkmann (lihat gambar di bawah) adalah pemendekan otot lengan bawah
permanen, biasanya akibat cedera, yang menimbulkan kelainan bentuk tangan, jari-jari,
dan pergelangan tangan. Ini lebih sering terjadi pada anak-anak.
Tanda dan gejala:
Gambaran klinis 5P:
1. Nyeri (manifestasi paling awal), terutama ditekankan oleh peregangan pasif
2. Muka pucat
3. Kelincahan
4. Parestesia
5. Kelumpuhan
PENATALAKSANAAN
1. Pertimbangan Penatalaksanaan
Perawatan awal untuk kontraktur Volkmann terdiri dari penghapusan
dressing oklusif atau pemisahan atau penghilangan gips. Analgesik adalah
andalan untuk meredakan gejala pada kasus-kasus kronis.
Fasiotomi darurat diperlukan untuk mencegah perkembangan kontraktur
Volkmann. Ada beberapa ketidaksepakatan mengenai pembacaan tekanan
kompartemen yang merupakan indikasi untuk fasciotomy; Namun, sebagian besar
setuju bahwa pasien dengan tekanan kompartemen melebihi 30 mm Hg harus
dibawa ke ruang operasi untuk fasciotomy darurat. [16] Tidak ada kontraindikasi
absolut untuk dekompresi segera untuk kontraktur Volkmann dalam pengaturan
akut.
Terapi fisik dan terapi okupasi sangat penting untuk peningkatan jangkauan
gerak dan kembalinya fungsi pada pasien dengan kontraktur Volkmann
2. Terapi Bedah
KOMPLIKASI
Komplikasi yang berkaitan dengan fasciotomy untuk kontraktur Volkmann
termasuk yang berikut [26, 27]:
Sensasi yang berubah dalam margin luka (77%)
Kulit kering dan bersisik (40%)
Pruritus (33%)
Luka berubah warna (30%)
Anggota badan bengkak (25%)
Tonjolan bekas luka (26%)
Ulserasi berulang (13%)
Herniasi otot (13%)
Nyeri yang berhubungan dengan luka (10%)
Tethered tendon (7%)
Munculnya bekas luka dapat mempengaruhi pasien. Dalam satu penelitian, 23% pasien
mempertahankan luka tertutup, 28% mengubah hobi, dan 12% mengubah pekerjaan
mereka. [26]
PROGNOSIS
Cubitus varus, atau cacat bumerang, adalah komplikasi yang paling umum
dalam kontraktur Volkmann. Hal ini menyebabkan hilangnya sudut membawa
ekstremitas atas. Cubitus varus telah dilaporkan pada sebanyak 25-60% pasien.
Tingkatnya tergantung pada pendekatan manajemen. Dengan penggunaan pining
perkutan, insidensi komplikasi ini menurun hingga kurang dari 10%.
Dengan valgus atau varus cacat dalam bidang koronal, remodeling tidak
mungkin, jika mungkin sama sekali. Cedera saraf terjadi pada 7% kasus, dengan
keterlibatan umum saraf radial, median, dan ulnaris. Sebagian besar defisit terlihat pada
saat cedera. Untungnya, neurapraxia membaik dengan manajemen konservatif. [14]
Fungsi motor kembali pada 7-12 minggu, diikuti oleh pemulihan sensasi, yang mungkin
membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan.
Dilaporkan, 10% anak-anak dengan fraktur suprakondilar sementara kehilangan
pulsa radial. Untungnya, kehilangan ini paling sering karena pembengkakan dan tidak
untuk cedera arteri brakialis langsung. Mengurangi fraktur biasanya membantu
mengembalikan aliran arteri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Oprel PP, Eversdijk MG, Vlot J, Tuinebreijer WE, den Hartog D. The acute
compartment syndrome of the lower leg: a difficult diagnosis?. Open Orthop J.
2010 Feb 17. 4:115-9.
2. Shuler MS, Reisman WM, Kinsey TL, Whitesides TE Jr, Hammerberg EM,
Davila MG, et al. Correlation between muscle oxygenation and compartment
pressures in acute compartment syndrome of the leg. J Bone Joint Surg Am.
2010 Apr. 92(4):863-70.
3. Myers RA. Hyperbaric oxygen therapy for trauma: crush injury, compartment
syndrome, and other acute traumatic peripheral ischemias. Int Anesthesiol
Clin. 2000 Winter. 38(1):139-51.
6. O'Hara LJ, Barlow JW, Clarke NM. Displaced supracondylar fractures of the
humerus in children. Audit changes practice. J Bone Joint Surg Br. 2000 Mar.
82(2):204-10.
8. Flynn JM, Jones KJ, Garner MR, Goebel J. Eleven years experience in the
operative management of pediatric forearm fractures. J Pediatr Orthop. 2010
Jun. 30(4):313-9.
10. Deeney VF, Kaye JJ, Geary SP. Pseudo-Volkmann's contracture due to
tethering of flexor digitorum profundus to fractures of the ulna in children. J
Pediatr Orthop. 1998 Jul-Aug. 18(4):437-40.
12. Prayson MJ, Chen JL, Hampers D, Vogt M, Fenwick J, Meredick R. Baseline
compartment pressure measurements in isolated lower extremity fractures
without clinical compartment syndrome. J Trauma. 2006 May. 60(5):1037-40.
13. Blakemore LC, Cooperman DR, Thompson GH. Compartment syndrome in
ipsilateral humerus and forearm fractures in children. Clin Orthop. 2000 Jul.
(376):32-8.
14. McGraw JJ, Akbarnia BA, Hanel DP. Neurological complications resulting from
supracondylar fractures of the humerus in children. J Pediatr Orthop. 1986
Nov-Dec. 6(6):647-50.
17. Botte MJ, Gelberman RH. Acute compartment syndrome of the forearm. Hand
Clin. 1998 Aug. 14(3):391-403.
20. Wilson PD. Capsulectomy for the relief of flexion contractures of the elbow
following fracture. 1944. Clin Orthop. 2000 Jan. (370):3-8.
21. Sharma P, Swamy MK. Results of the Max Page muscle sliding operation for
the treatment of Volkmann's ischemic contracture of the forearm. J Orthop
Traumatol. 2012 Aug 2.
22. Zuker RM, Bezuhly M, Manktelow RT. Selective fascicular coaptation of free
functioning gracilis transfer for restoration of independent thumb and finger
flexion following Volkmann ischemic contracture. J Reconstr Microsurg. 2011
Sep. 27(7):439-44.
23. Tang H, Zhang SC, Tan ZY, Zhu HW, Zhang QL, Li M. Functional
reconstruction of ischemic contracture in the lower limb. Chin J Traumatol.
2011 Apr 1. 14(2):96-9.
25. Fischer JP, Elliott RM, Kozin SH, Levin LS. Free function muscle transfers for
upper extremity reconstruction: a review of indications, techniques, and
outcomes. J Hand Surg Am. 2013 Dec. 38 (12):2485-90.
26. Fitzgerald AM, Gaston P, Wilson Y. Long-term sequelae of fasciotomy
wounds. Br J Plast Surg. 2000 Dec. 53(8):690-3.
27. Ultee J, Hovius SE. Functional results after treatment of Volkmann's ischemic
contracture: a long-term followup study. Clin Orthop Relat Res. 2005 Feb. 42-
9.