Anda di halaman 1dari 12

PORTOFOLIO MEDIS

DOKTER INTERNSHIP

Tinea Cruris

Oleh:
ZheilaAyuCiptaningtyas, dr.

Pembimbing:
dr. Ganis

RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEROTO


NGAWI

2017

1
PORTOFOLIO
No. ID dan Nama Peserta : Zheila Ayu Ciptaningtyas, dr.
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Dr. Soeroto Ngawi
Topik : Tinea Cruris
Pembimbing:

Tanggal Kasus :
8 Agustus 2017

dr. Ganis
Nama Pasien : Ny. S No. RM: -
Obyektif Presentasi
O Keilmuan O Keterampilan O Penyegaran O Tinjauan Pustaka
O Diagnostik O Manajemen O Masalah O Istimewa
O Neonatus O Bayi O Anak O Remaja O Dewasa O Lansia O Bumil
Deskripsi : Pasien perempuan, 57 tahun, datang ke Poli KIA dengan keluhan gatal di
selangkangan. Gatal dirasakan sejak delapan bulan yang lalu. Gatal dirasakan terus
menerus, diperparah apabila pasien berkeringat sehingga memicu pasien untuk
menggaruk. Selain gatal, pasien juga mengeluh panas diselangkangan.
Tujuan:
 Mengetahui etiologi OE
 Mengetahui klasifikasi OE
 Mengetahui gejala OE
 Mengetahui penegakan diagnosis OE
 Mengetahui tata laksana OE
Bahan bahasan O Tinjauan Pustaka O Riset O Kasus O Audit
Cara membahas O Diskusi O Presentasi & diskusi O E-mail O Pos
Data Pasien Nama : Ny. S
Nama Klinik - Telp. - Terdaftar sejak -
Data utama untuk bahan diskusi

Diagnosis / Gambaran Klinis :


Keluhan Utama : gatal diselangkangn
Keluhan tambahan: panas
Riwayat penyakit Sekarang:

Pasien perempuan, 57 tahun, datang ke Poli KIA dengan keluhan gatal di


selangkangan. Gatal dirasakan sejak delapan bulan yang lalu. Gatal dirasakan terus
menerus, diperparah apabila pasien berkeringat sehingga memicu pasien untuk
menggaruk. Selain gatal, pasien juga mengeluh panas diselangkangan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

2
b. Riwayat penyakit DM : disangkal
c. Riwayat sakit asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat sakit stroke : disangkal
Riwayat keluarga : disangkal
Riwayat Pengobatan : pasien sering berobat ke Puskesmas, diberi obat berkurang.
Apabila obat habis gatalnya berulang. Jenis obat yang diberikan tidak tahu.

Status Internistik:

 Kesadaran: Compos mentis


 TekananDarah : 130/80 mmHg
 FrekuensiNadi : 76x/menit
 Suhu : 36,8 °C
 BB : 78 kg
 TB : 152 cm

Status Lokalis :

Lokasi : pantat dan lipat paha


Distribusi : Terlokalisir
Ruam : Plak eritematosa, berskuama, batas tegas, ukuran diameter lebih dari 10 cm, tepian
polisiklik dengan central healing

3
SUBJEKTIF
Pasien perempuan, 57 tahun, datang ke Poli KIA dengan keluhan gatal di
selangkangan. Gatal dirasakan sejak delapan bulan yang lalu. Gatal dirasakan terus
menerus, diperparah apabila pasien berkeringat sehingga memicu pasien untuk
menggaruk. Selain gatal, pasien juga mengeluh panas diselangkangan. Pasien sering
berobat ke Puskesmas, diberi obat berkurang. Apabila obat habis gatalnya berulang.
Jenis obat yang diberikan tidak tahu.
OBJEKTIF
 Kesadaran: Compos mentis
 TekananDarah : 110/70 mmHg
 FrekuensiNadi : 76x/menit
 Suhu : 36,8 °C
 BB : 78 kg
 TB : 152 cm
Status Lokalis :
Lokasi : pantat dan lipat paha
Distribusi : Terlokalisir
Ruam : Plak eritematosa, berskuama, batas tegas, ukuran diameter lebih dari 10 cm,
tepian polisiklik dengan central healing
ASSESSMENT
- Tinea Cruris

PLAN
- Miconazole krim 2 x 1

- Ketokonazole 1 x 200 mg

4
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan
teratas pada kulit epidermis, rambut, kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita
(jamur yang menyerang kulit). Penyakit yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita
disebut dengan dermatofitosis.

2. Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan
pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum.
Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya artrospora atau
konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu
menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi.
Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mencari
tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan
gambaran klinis yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena stratum
korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk pertumbuhan
miselia jamur. Infeksi dermatofita dapat terjadi melalui tiga tahap : adhesi pada keratinosit,
penetrasi dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai elemen
yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus dapat bertahan dari
efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembapan, kompetisi dengan flora normal,
dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar
sebasea bersifat fungistatik.
2. Penetrasi

5
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada
stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim
musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga
memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada patogensis tinea.
Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi
keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk
kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat menghambat
pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan
organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami
inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan
kemotatik faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudia menghasilkan faktor
kemotatik berasal dari komplemen
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi dermatofita
yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun tidak berperan
untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe
IV) berperan dalam melawan dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan
oleh interferon Y yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah
mendapatkan paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan,
sebagai hasil dari perceptan tumbuhnya keratinosit.
Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun berupa reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada individu yang
berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya,
antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel
mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.

3. Gejala Klinis

6
Gejala yang ditemukan pada pasien dengan tinea cruris adalah adanya rasa gatal dan
kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke
gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif
berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Pada pasien ini, didapatkan bahwa terdapat rasa gatal dan kemerahan di lipatan paha
sampai ke pantat, pasien tinggal di daerah yang beriklim agak lembap, higienitas tidak baik
dan pasien menyangkal adanya riwayat diabetes mellitus.
Adanya rasa gatal yang dialami oleh pasien disebabkan oleh antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel
mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.
Iklim yang lembap dan penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat memicu
pertumbuhan jamur apabila higienitas daerah tubuh tersebut tidak terjaga dengan baik. Pada
penyakit diabetes mellitus, sistem imun menurun sehingga mudah terserang infeksi, termasuk
infeksi jamur.

4. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis tinea cruris pada pasien ini, ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat
meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan
abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat.
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada
tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang
lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada
tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika

7
kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan
skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi.
Manifestasi tinea cruris :
1. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha,
dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
2. Daerah bersisik
3. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif. Sedangkan
pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai
likenifikasi
4. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang
tersebar dan sedikit skuama
5. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
6. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin
muncul karena garukan
7. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler
8. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol
70%.
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes
→ tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran
10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah
diobati, dan miselium
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk

8
menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur
biasanya antara 3-6 minggu.
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah
muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau
hitam.
Pada pasien ini didapatkan dari anamnesis berupa gatal dan kulit berwarna kemerahan
seperti yang sudah dijelaskan di bagian gejala. Kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan
plak eritematosa, skuama, papul, bagian tepi aktif dengan central healing.

Lesi pada daerah Lipat Paha dan Pantat


Plak eritematosa adalah kemerahan pada kulit dengan diameter lebih dari 1 cm yang
terjadi akibat kongesti kapiler. Skuama adalah sistik yang berupa stratum korneum yang
terlepas dari kulit sehingga merupakan akumulasi keratin dalam jumlah besar. Central healing
adalah proses penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi, sedangkan bagian tepi lesi
masih aktif. Umumnya central healing terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh jamur
dikarenakan sifat jamur yang tumbuh secara radier dan adanya produksi enzim keratolisis.
Kemudian dilakukan juga pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10%
ditemukan hifa bersepta.
Pemeriksaan kerokan lesi kulit dengan KOH 10% adalah salah satu jenis pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis penyakit akibat jamur dengan cara mengerok pada
bagian lesi. Kerokan dilakukan secara satu arah dan umumnya dipilih lesi bagian tepi. Hifa
adalah filamen atau benang yang membentuk miselium fungi. Hifa terlihat pada pemeriksaan
langsung penyakit jamur yang disebabkan oleh jenis kapang (seperti: tinea), sedangkan pada

9
jenis khamir (seperti: Candida albicans) akan terlihat pseudohifa. Spora adalah unsur
reproduktif yang dapat berisifat seksual atau aseksual dari organisme tingkat rendah.
Berdasar tinjauan manifestasi klinis dan interpretasi hasil pemeriksaan, kemungkinan
besar pasien menderita dermatofitosis, yaitu penyakit akibat jamur Dermatofita yang
menyerang bagian tubuh yang mengandung keratin, misalnya: stratum korneum. Stratum
korneum berifat jauh dari sistem imun, terdiri dari sel mati, serta banyak mengandung lipid
dan karbohidrat sehingga cocok untuk media pertumbuhan jamur. Jenis dematofitosis yang
diderita pasien adalah tinea cruris karena faktor predileksi yang berlokasi di lipat paha.
Dermatofita menghasilkan mannan yang dapat menghambat determinasi jamur oleh hospes
dengan melakukan imunosupresi pada kekebalan dimediasi sel. Penyakit tinea cruris
disebabkan oleh jamur golongan Tricophyton sp., Mycrosporum sp. dan Epidermophyton
fluoccosum. Tricophyton rubrum dan Epidermophyton fluoccosum adalah spesies yang paling
sering muncul. Tinea cruris dapat terjadi pada pria maupun wanita, namun wanita memiliki
kemungkinan lebih besar untuk terserang penyakit ini karena adanya obesitas pada daerah
paha dan sering memakai pakaian ketat.

5. Penatalaksanaan
Infeksi tinea corporis, cruris, dan pedis dapat diterapi dengan agen topikal maupun
sistemik. Untuk mengobati dermatofitosis, perlu dipertimbangkan juga faktor lingkungan yang
menyebabkan infeksi tinea dan memilih terapi topikal yang tepat untuk infeksi. Pada kasus ini
terapi dibagi menjadi terapi nonfarmakologi dan farmakologi dengan agen anti-jamur.

Nonfarmokologi

Fungi atau jamur tumbuh dengan subur pada lingkungan lembab sehingga pasien
disarankan untuk menggunakan pakaian dan kaos kaki yang longgar berbahan katun atau
bahan sintetis yang tidak membuat kulit lembab. Area yang rentan terinfeksi harus benar-
benar kering sebelum memakai pakaian. Pasien juga disarankan untuk menghindari berjalan
telanjang kaki dan berbagi pakaian dengan orang lain.

Farmakologi dengan Agen Anti-Jamur

Pada kasus ini diberikan ketoconazole sistemik dan topikal. Agen anti-jamur dapat
dikelompokkan berdasarkan struktur dan mekanisme kerjanya. Dua kelompok agen anti-jamur
adalah golongan azole dan allylamine. Azole menghambat enzim lanosterol 14-alfa-
demetilase, sebuah enzim yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol, yang merupakan

10
komponen penting dinding sel jamur. Kerusakan membran mengakibatkan permasalahan
permeabilitas sehingga jamur tidak dapat bereproduksi. Allylamine menghambat squalen
epoxidase, sebuah enzim yang mengubah squalene menjadi ergosterol, mengakibatkan
akumulasi squalene sampai tingkat toksik pada sel dan sel mati. Kedua kelas agen anti-jamur
tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Agen lain yang tidak termasuk dalam 2 kelas
agen di atas antara lain tolnaftate (Tinactin), haloprogin (Halotex), ciclopirox (Loprox), dan
butenafine (Mentax). Sebagian besar digunakan dua kali sehari selama 2-4 minggu.

Obat per oral yang efektif untuk dematofitosis yaitu ketoconazole yang bersifat
fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketoconazole merupakan kontraindikasi untuk kelainan hepar.

Agen Anti-Jamur dan Bentuk Sediaannya

Agen Rx/OTC Solusio/spray Lotion Krim Gel/salep Serbuk


Tolnaftate OTC Ya Ya Ya Ya Tidak
(Tinactin)
Haloprogin Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak

(Halotex)
Cicloporix Rx Lacquer Ya Ya Tidak Tidak
(Loprox)
Clotrimazole OTC Ya Ya Ya Tidak Tidak
(Lotrimin)
Miconazole OTC Ya Ya Ya Tidak Ya
(Micatin)
Ketoconazole Rx Shampoo Tidak Ya Tidak Tidak
(Nizoral)
Sulconazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Exelderm)
Oxiconazole Rx Tidak Ya Ya Tidak Tidak
(Oxistat)
Econazole Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Spectazole)
Butenarfine Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
(Mentax)
Naftifine (Naftin) Rx Tidak Tidak Ya Ya Tidak
Terbinafine Rx Ya Tidak Ya Tidak Tidak
(Lamisil)
Clotrimazole/BMD Rx Tidak Tidak Ya Tidak Tidak

(Lotrisone)
Rx = Resep, OTC= over-the-counter, BMD = betamethasone dipropionate
Sumber: American Family Physician, 2002

11
DAFTAR PUSTAKA

Wed. Jangan anggap remeh jamur kulit. 25 Mei, 2004. sumber : http://gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnews.cgi?newsid1085454401,65023. (diakses tanggal 13 Juli 2013)
Utama H, 2009, FKUI, Jakarta: IKK
Janik, M. P., &Heffernan, M. P. Superficial Fungal Infection : Dermathopytosis,
Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra . In: Fitzpatrick Dermatology in General Medicine.
McGraw-Hill: USA. 2008. p 1807-1822.
Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati penyakit kulit. Jakarta:EGC
Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment Deepika T.
Lakshmipathy, Krishnan Kannabiran* Vol.2, No.7, 726-731 (2010)
Mila. 2011. Tinea cruris. http://doktercute.blogspot.com/2011/01/tinea-cruris.html
(diakses tanggal 13 Juli 2013)
Price SA,Wilson L.M. Patofisiologi. Edisi Keenam. 2006. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Olifvia. 2011. Infeksi Jamur. http://dokterolifvia.blogspot.com/2011/05/infeksi-
jamur.html (diakes tanggal 14 Juli 2013)
Weinstein, A., Berman, B. 2002. Topical Treatment of Common Superficial Tinea
Infections. American Family Physician. Volume 65, No. 10. University of Miami School
of Medicine,Miami, Florida.
Wiederker, M. 2012. Tinea Cruris. Medscape
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-medication#2. (Diakses tanggal 14 Juli
2013.)

12

Anda mungkin juga menyukai