Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA

SAKRALIS

OLEH : KELOMPOK 6
1. FITRI KUMALA SARI SINAGA
2. MUHAMMAD RIDWAN
3. RICO SUGANDA

D0SEN : ISKANDAR MARKUS SEMBIRING, S.KEP,NS,M.KEP

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM
T.A 2017 / 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelvis adalah daerah batang tubuh yang letaknya dibawah cavum abdomen dan
merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke ekstremitas inferior.Pelvis dibatasi
oleh dinding yang dibentuk oleh tulang , ligamentum dan otot.Pelvis berfungsi untuk
menstransmisi berat badan melalui sendi sakro iliaka ke ilium ,asetabulum dan
dilanjutkan ke femur .selain itu panggul berfungsi melindungi struktur-struktur yang
berada didalam rongga panggul.2
Penangan secara efektif dengan masalah klinis prolaps organ panggul
membutuhkan pemahaman tentang anatomi dari struktur yang menjaga visera panggul
dalam posisi normal , dan dampak dari perubahan anatomi pada mekanisme fisiologis
yang menudukung. Saat ini diakui bahwa otot rangka pada tindakan dasar panggul itu
sinkron dan sinergis dengan jaringan ikat endopelvic. Anatomi dari struktur ini akan
dikaji untuk memberikan latar belakang yang diperlukan untuk memahami kelainan
yang terkait dengan prolaps organ panggul.
Ada beberapa kelainan pada pelvis yang kami bahas berdasarkan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia yaitu
1. Hipdisplasia memiliki kompetensi 1
2. Arthritis hip memiliki kompetensi 2
3. Trauma pelvis kompetensi 2
Hip displasia merupakan salah satu bentuk kelainan bawaan pada system
muskuloskletal. Perlu dilakukan metode khusus untuk menemukannya pada bayi baru
lahir. Walaupun demikian , kelainan ini sering tidak didapatkan sampai anak mulai
berjalan dan akhirnya membawa cacat.
Arthritis hip, Osteoarthritis adalah jenis yang paling umum dari radang sendi
pinggul. Sering juga disebut dengan arthritis atau penyakit sendi degeneratif,
osteoartritis ditandai dengan mengenakan progresif jauh dari tulang rawan
sendi. Sebagai tulang rawan pelindung dipakai pergi oleh arthritis pinggul, tulang
telanjang terkena dalam sendi.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa . Trauma yang menyebabkan patah tulang atau fraktur
tulang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi pelvis ?
2. Apa saja kelainan pada pelvis ?
3. Apa definisi dari hipdiplasia, arthtritis hip dan . fraktur pelvis ?
4. Bagaimana etiologi dari hipdiplasia, arthtritis hip dan fraktur pelvis ?
5. Bagaimana epidemiologi dari hipdiplasia,arthtritis hip,dan fraktur pelvis?
6. Bagaimana patofiologi dan pathogenesis dari hipdiplasia,arthtritis hip,dan fraktur
pelvis?
7. Bagaimana manifestasi klinis dari hipdiplasia,arthtritis hip,dan fraktur pelvis?
8. Bagaimana tata laksana dari hipdiplasia,arthtritis hip,dan fraktur pelvis?
9. Bagaimana komplikasi dari hipdiplasia,arthtritis hip,dan fraktur pelvis ?
1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada tulang pelvis
b. Tujuan khusus
- Untuk mengetahui definisi dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur pelvis
- Untuk mengetahui etiologi dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur pelvis
- Untuk mengetahui epidemiologi dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur
pelvis
- Untuk mengetahui pathogenesis dan patofisiologi dari hipdisplasia, arthritis hip,
dan fraktur pelvis
- Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur
pelvis
- Untuk mengetahui tata laksana dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur pelvis
- Untuk mengetahui komplikasi dari hipdisplasia, arthritis hip, dan fraktur pelvis
BAB II
ISI
I. Anatomi pelvis
Keterangan :
(1) sacrum,
(2) ilium,
(3) ischium,
(4) pubis,
(5) pubic symphisis,
(6) acetabulum,
(7) obturator foramen,
(8) coccyx, (red dotted line) linea terminalis
Posisi anatomis dari pelvis adalah
- SIAS dan tuberculum pubicum dalam satu bidang frontal /coronal
- Os.coccyges ( ujung ) dan symphisis pubica ( tepi atas ) dalam satu bidang
horizontal
- Facies pelvina ossis sacri menghadap ke bawah
Cavitas pelvis yang terbentuk seperti corong menjadi tempat bermukimnya vesica
urinaria ,alat kelamin pelvis ,rectum ,pembuluh darah,dan pembuluh limfe serta sarafsaraf.
Pelvis dibentuk oleh os. coxae ,os. sacrum dan os. Coccyges.
Pelvis dibagi menjadi dua oleh apertura pelvis superior menjadi :
1. Pelvis mayor /cavitas pelvis spuria ( palsu )
o Terletak diatas apertura pelvis superior ( aditus pelvis )
o Ditempati oleh beberapa visera abdomen ,misalnya : colon sigmoideum
o Batasnya :
ventral : dinding abdomen
lateral : fossa iliaca dextra et sinistra
dorsal : VL 5,VS 1
2. Pelvis minor /cavitas pelvis vera ( asli )
o Terletak antara apertura pelvis superior dan inferior
o Ditempati oleh visera pelvis .misalnya : sistema genitalis ,vesica
urinaria,rectum dan ureter
o Dibawahnya dibatasi oleh diagphragma pelvis
o Pelvis minor penting dalam ilmu kebidanan karena merupakan terusan yang
dibatasi oleh tulang-tulang dan harus dilalui oleh fetus pada proses
kelahiran.
Apertura pelvis superior dibentuk oleh dua linea terminalis dextra dan sinistra
.batas-batasnya adalah
o Kranial : symphisis pubica
o Dorsal : crista pubica
o Pectin ossis pubis
o Linea arcuata ossis ilii
o Ventral ala ossis sacri
o Promontorium ossis sacri
Bentuk apertura pelvis superior penting karena merupakan lubang masuk
yangharus dilalui oleh kepala fetus untuk memasuki cavitas pelvis sewaktu persalinan.
Apertura pelvis inferior ,batasnya adalah
o Kaudal symphisis pubica
o Ramus inferior ossis pubis dan tuber ischiadicum
o Ligamentum sacrotuberale
oUjung os.coccyges
Articulatio – articulatio di pelvis:
o Art.lumbosacralis
o Art. Sacrococcygeum
o Art sacroiliaca
o Symphisis pubica
Selama kehamilan ligamentum-ligamentum vertebropelvik mengendur akibat
pengaruh hormon-hormon ,sehingga memungkinkan gerakan antara bagian kaudal
columna vertebralis dan pelvis terjadi secara lebih bebas.discus intrapubicus
melonggar dan menyebabkan bertambahnya jarak antara kedua os pubis .Os .coccyges
juga bergerak ke arah dorsal pada kelahiran bayi .semua perubahan ini memudahkan
lewatnya janin melalui pelvis.
Fascia pelvis
a. Fascia diaphragmatis pelvis merupakan bagian dari fascia pelvis parietalis dan
terdiri dari :
1. Fascia diaphragmatis pelvis superior
o Menutupi facies pelvina m.levator ani dan m.coccyges
oAntara spina ischiadica dan corpus ossis pubis ( symphisis osseum pubis )
menenbal membentuk arcus tendineus fasciae pelvis ( arccus tendineus
m.levatoris ani)
o Fascia melanjutkan diri sebagai fascia endopelvina yang menutupi vesica
urinaria ,vagina dan rectum
2. Fascia diaphragmatis pelvis inferior
o Menutupi permukaan bawah m.levator ani dan m coccygeus
o Membentuk dinding medial fossa ischiorectalis
b. Fascia pelvis yang terdiri dari :
1. Fascia pelvis parietalis
o Melapisi bagian dalam dinding abdomen dan dinding pelvis yaitu fascia
transversa abdominis dan fascia iliaca
o Terputus karena melakat pada linea terminalis
o Sebagian membentuk fascia diaphragmatis pelvis superior dan inferior dan
terpisah dari peritoneum parietale oleh lemak extra peritoneal
o Menutupi permukaan pelvic m.obturator internus ,m.piriformis
,m.coccygeus ,m.shincer urethrae dan m.levator ani.
o Melekat pada periosteum ossis ilii,tepat kaudal dari tepi pelvis
o Pada wanita : melekat pada permukaan dorsal corpus ossis pubis ,vesica
urinaria ,cervix uteri ,vagina dan rectum umtuk membentuk lig.pubivesicale
,lig.transversuma colli uteri dan lig sacro uterium.
oPada pria : melekat pada rectum .prostata ,vesica urinaria ,dan
os.pubis.fascia yang melekat pada prostata dan vesica urinaria membentuk
lig.puboprostaticum mediale dan lig.puboprostaticum laterale.
o Sebagian menjadi fascia obturatoria ( menutupi dinsing lateral pelvis )
o Fascia obturatoria menutupi m.obturator internus
o Dibagian depan os sacrum tidak terdapat fascia
o Fascia ini melengkung menebal membentuk arcus tendineus m.levatoris ani
( pertemuan fascia obturatoria dengan fascia diaphragmatis pelvis superior )
o Fascia obturatoria berhubungan dengan fascia khusus disebut lunata .fascia
lunata membentuk canalis pudendus
2. Fascia pelvis visceralis ( endopelvic)
o Membungkus visera pelvis dan melekatkan satu dengan lainnya dan juga
dengan fscia pelvis parietalis
o Dibentuk oleh jaringan extraperitoneal
o Antara peritoneum dan fascia pelvis parietalis
o Ke atas sebagai jaringan extraperitoneal abdomen
o Bersifat membranosa ,areolar ,berlemak
o Penebalan dibeberapa tempat membentuk selubung pembuluh darah atau
ligamentum. Spatium retropubicum terletak antara fascia pelvis

II. Kelainan pada pelvis


2.1 Hip displasia
a. Pengertian
Hip displasia adalah dislokasi bawaan pada panggul. Dikenal juga dengan displasia
perkembangan panggul (developmental dysplasia of the hip (DDH)).
Definisi perkembangan displasia pinggul (DDH) tidak disepakati secara
universal. Biasanya, istilah DDH digunakan ketika merujuk kepada pasien yang lahir
dengan dislokasi atau ketidakstabilan pinggul, yang kemudian dapat menyebabkan
displasia pinggul. Istilah yang lebih spesifik yang sering digunakan untuk
menggambarkan kondisi yang lebih baik, inididefinisikan sebagai berikut:
• Subluksasi yaitu kontak lengkap antara permukaan artikular caput femoral dan
acetabulum.
• Dislokasi - yaitu mengacu untuk hilangnya kontak antara permukaan artikular caput
femoral dan acetabulum.
• Ketidakstabilan yaitu terdiri dari kemampuan untuk subluxate atau terkilir pinggul
dengan manipulasi pasif.
• dislokasi Teratologic yaitu mengacu pada dislokasi pinggul antenatal.
b. Etiologi
Etiologi displasia pinggul tidak jelas, tapi kondisi ini tidak tampak terkait dengan
sejumlah faktor yang berbeda . Salah satunya adalah dengan latar belakang ras, antara
penduduk asli Amerika dan Laplanders, prevalensi displasia pinggul jauh lebih tinggi
(hampir 25 - 50 kasus per 1000 orang) dari ras lain, dan prevalensi sangat rendah di
antara selatan Cina . Disposisi genetik yang mendasari juga mempengaruhi bahkan
mengalami peningkatan 10 kali lipat frekuensi terjadinya dysplasia pelvis pada anakanak
yang orangtuanya juga mengalami perkembangan displasia pinggul (DDH)
dibandingkan dengan mereka yang orangtuanya tidak mengalami DDH.
Faktor lain yang kemungkinan berhubungan dengan DDH yaitu posisi intrauterin dan
seks, dan beberapa di antaranya saling berkaitan.
Perempuan : anak pertama lahir, dan posisi sungsang semua berhubungan
dengan peningkatan prevalensi DDH. Diperkirakan 80% orang dengan DDH
adalah perempuan, dan tingkat posisi sungsang pada anak dengan DDH adalah
sekitar 20% (dibandingkan dengan 2-4% pada populasi umum) . Prevalensi
DDH pada perempuan lahir diposisi sungsang telah diperkirakan setinggi 1
kasus di 15 orang di beberapa studies.
Gangguan muskuloskeletal lainnya dari malposisi intrauterine, seperti adduktus
metatarsus dan torticolis.
Oligohydramnios juga dikaitkan dengan peningkatan prevalensi DDH. Pinggul
kiri lebih umumnya terkait dengan DDH dari pada kanan, karena posisi
intrauterine umumnya pada pinggul kiri terhadap sakrum ibu, memaksa
menjadi posisi adduksi .Hip dysplasia dapat dikaitkan dengan mendasari
gangguan neuromuskuler, seperti cerebral palsy, myelomeningocele,
arthrogryposis, dan sindrom Larsen, meskipun ini biasanya tidak dianggap
DDH.
Praktek-praktek tertentu seperti lampin bayi dan penggunaan papan-buaian
dalam budaya tertentu meningkatkan peluang pengembangan displasia pinggul.
Oleh karena itu faktor lingkungan juga terlibat.
Ditambahkan ini adalah pengamatan bahwa selama periode neonatal, bayi
relatif membawa estrogen dari ibunya. Hal ini menenangkan ligamen Di
dalam tubuh. Beberapa bayi sangat sensitif terhadap estrogen, sehingga
menyebabkan ligamen hip menjadi terlalu lemah, dan pinggul "tidak stabil".
c. Epidemiologi
Studi klinis menunjukkan kecenderungan keluarga terhadap hip dysplasia
kongenital, biasanya perempuan lebih dipengaruhi dibandingkan laki-laki. Gangguan
ini ditemukan dalam banyak kebudayaan di seluruh dunia. Namun, statistik
menunjukkan bahwa penduduk asli Amerika memiliki insiden tinggi dislokasi hip. Ini
telah didokumentasikan terjadi karena praktek umum lampin dan menggunakan
cradleboards untuk menahan bayi. Ini menempatkan pinggul bayi ke adduksi ekstrim
(dibawa bersama-sama). Bukti juga menunjukkan peluang yang lebih besar
mendapatkan kelainan hip pada anak pertama yang lahir dibandingkan dengan anak
kedua atau ketiga.
Insidens dislokasi dan sublukasi panggul bawaan merupakan 1,5 per 1000 kelahiran
hidup di Negara barat . Kelainan ini didapatkan bilateral pada setengah jumlah kasus.
d.Patofisiologi
Perkembangan dari displasia pinggul (DDH) melibatkan pertumbuhan abnormal
pinggul. Kelemahan ligamen juga terkait dengan displasia pinggul, meskipun
hubungan ini kurang jelas. Anak-anak sering memiliki kelemahan ligamen saat lahir,
namun pinggul mereka biasanya tidak stabil, bahkan diperlukan penanganan lebih
untuk mengatasi jika terkilir. Oleh karena itu, lebih dari sekedar kelemahan ligamen
mungkin diperlukan untuk menghasilkan DDH. Saat lahir, anak-anak kulit putih
cenderung memiliki acetabulum dangkal, ini dapat menimbulkan periode rentan untuk
posisi abnormal atau suatu periode singkat kelemahan ligamen dapat menyebabkan
ketidakstabilan pinggul. Namun, karakteristik ini tidak berlaku bagi anak-anak
keturunan kulit hitam, yang memiliki tingkat yang lebih rendah DDH.
e. Manifestasi klinis
Presentasi Manifestasi klinis awal DDH adalah diidentifikasi selama pemeriksaan yang baru
lahir. Temuan pemeriksaan klasik terungkap dengan manuver Ortolani, sebuah "suara
bising" jelas hadir ketika pinggul berkurang masuk dan keluar dari acetabulum dan
atas neolimbus. Sebuah "klik" bernada tinggi (sebagai lawan dari suara bising ) dalam
semua kemungkinan memiliki sedikit hubungan dengan pathology. Ortolani awalnya
digambarkan suara bising ini sebagai terjadi dengan baik subluksasi atau pengurangan
pinggul (dalam atau di luar acetabulum itu) .6
Pemeriksaan ortolani
Untuk melakukan manuver ini dengan benar, pasien harus santai. Hanya satu
pinggul diteliti pada suatu waktu.
Lakukan abduksi halus pada sendi panggul dan posisi tungkai dalam posisi fleksi.
Jempol Pemeriksa ditempatkan di atas paha bagian dalam pasien, dan jari telunjuk
yang lembut ditempatkan di atas trokanter lebih besar.
Perhatikan dengan cara meraba daerah sendi dan mendengar adanya bunyi klik
Hip abduksi, dan tekanan lembut ditempatkan di atas trokanter major
caput akan masuk kembali ke dalam acetabulum dan aka terdengar bunyi klik yang
juga dapat diraba
Di bagian DDH, suara bising mirip dengan merubah sebuah tombol lampu on atau
off, dirasakan saat pinggul berkurang.
keadaan reposisi yang segera akan menyebabkan dislokasi kembali
Ortolani manuver harus dilakukan dengan lembut, sehingga ujung jari tidak blanch.
Pemeriksaan Barlow
Barlow menjelaskan, tes lain untuk DDH yang dilakukan dengan pinggul di posisi
adduksi, di mana tekanan lembut posterior sedikit diterapkan pada pinggul. suara
bising A harus dirasakan sebagai pinggul subluxes keluar dari acetabulum. Berikut
cara pemeriksaan Barlow:
1. Panggul seluruhnya difiksasi dengan tangan kiri & tangan kanan yang
memegang paha kiri dengan jari telunjuk pada trokanter mayor
2. kaput femur didorong atau di ungkit masuk dengan tekanan pada trokanter
mayor
3. kaput akan dislokasi kembali setelah dorongan dilepaskan
Pemeriksaan klinis untuk DDH terlambat, ketika anak berusia 3-6 bulan, sangat
berbeda. Pada titik ini, jika pinggul dislokasi,sering pada posisi yang fixed. Tanda
Galeazzi adalah tanda yang mengidentifikasi tanda klasik untuk dislokasi hip
unilateral (lihat gambar di bawah). Ini dilakukan dengan pasien berbaring telentang
dan pinggul dan lutut menekuk. Pemeriksaan harus menunjukkan bahwa satu kaki
muncul lebih pendek dari yang lain.Walaupun temuan ini biasanya karena dislokasi
hip, menyadari bahwa setiap hasil perbedaan anggota tubuh-panjang dalam tanda
Galeazzi positif adalah penting.
Temuan pemeriksaan fisik tambahan untuk dislokasi terlambat :
asimetri paha glutealis atau lipatan kulit labral,
adduksi menurun di sisi yang terkena,
berdiri atau berjalan dengan rotasi eksternal, dan
e. Diagnosis
Diagnosis klinik dapat ditegakkan bila ditemukan tanda berupa trokanter letak
tinggi, tanpa reposisi yang dapat diraba dan didengar. Juga dapat ditentukan melalui
pemeriksaan fisik yaitu dengan cara Ortolani dan Barlow.
Baru-baru ini diakui bahwa bayi tertentu lebih rentan untuk mengembangkanhip
dysplasia. Ini "berisiko" bayi adalah sebagai berikut:
1. Hip klik2. Presentasi sungsang
3. Keluarga sejarah hip displasia
4. M. sternomastoideus Torticollis
5. Kaki cacat
6. Oligohydramnios (kekurangan cairan intra-uterus)
Prosedur baru sekarang dapat digunakan sebagai tes skrining untuk memeriksa hip
dysplasia pada bayi baru lahir, dengan menggunakan mesin USG. Hal ini dalam
banyak hal lebih baik daripada pemeriksaan sinar X, yang menyebabkan radiasi dan
terkenal karena tidak akurat untuk displasia pinggul.
g. Tata laksana
Pengelolaan ortopedi pada dislokasi dan subluksasi panggul bawaan sangat
bervariasi, bergantung pada usia anak. Prinsip umum pengobatan adalah redukasi
secara hati-hati diikuti dengan mempertahankan posisi reduksi panggul pada posisi
stabil sampai seluruh komponen sendi panggul berkembang secara normal dengan
baik dan panggul menjadi stabil meski dalam posisi terbebani berat badan.
Penanganan pada usia baru lahir adalah dengan pemasangan sabuk pengekang
pavlik, yang dapat mempertahankan posisi sendi panggul tetap dalam fleksi, tetapi
gerakan abduksi, aduksi, endo- dan eksorotasi tetap dimungkinkan. Bila digunakan
secara tepat, alat ini memberi hasil yang memuaskan dengan hanya sedikit komplikasi.
Kadang pada usia ini terdapat panggul yang sangat tidak stabil yang tidak dapat di
kelola dengan dengan alat tersebut di atas. Ini merupakan indikasi untuk pemasangan
gips pada posisi stabil, yaitu fleksi dan abduksi ringan pada panggul selama empat
bulan. Hasil pengobatan harus selalu dipantau secara klinis dan radiologis.
Pada usia tiga sampai delapan belas bulan, kontraktur aduksi lebih nyata dan
pembatasan gerak abduksi pasif juga menjadi nyata. Juga terdapat pemendekan
tungkai yang terkena (tanda dari Galeazzi). Pengobatan pada periode ini berupa
pemanjangan otot aduktor yang kaku dengan traksi kontinu selama beberapa minggu,
diikuti dengan reduksi secara hati-hati dalam pembiusan umum dan mnempertahankan
panggul dengan gips spika pada posisi stabil, yaitu fleksi dan abduksi ringan panggul
yang disebut posisi manusia, yang berbeda dengan posisi katak, yaitu abduksi dan
fleksi maksimal. Mempertahankan panggul dalam posisi yang berlebihan harus
dihindari karena dapat mengakibaykan nekrosis avaskular kaput femur.Gips spika
harus diganti setiap bulan sampai pemeriksaan radiologis menunjukkan hasil yang
memuaskan dari perkembangan asetabulum dan kaput femur. Lama imobilisasi
panggul yang sudah direduksi bervariasi, bergantung pada lama dislokasi sebelum
pengobatan, tapi umumnya antara 6-18 bulan.6
Pada kelompok usia delapan belas bulan sampai lima tahun perubahan sekunder
tidak saja lebih parah tapi biasanya juga kurang reversibel. Kelainan gerak pada waktu
berjalan akan nyata dan bila anak diminta berdiri dengan satu kaki pada sisi yang
terkena maka otot abduktor panggul tidak dapat mempertahankan pelvis sehingga
pelvis akan miring ke arah yang berlawanan. Sebagai usaha untuk mempertahankan
keseimbangan, anak yang bersangkutan akan memiringkan tubuhnya kearah sendi
panggul yang terkena. Keadaan ini disebut tanda Trendelenburg.
Pengobatan pada periode ini sulit, membahayakan, dan mengecewakan sekalipun
oleh tenaga yang berpengalaman.Kontraktur otot aduktor sangat kuat, kadang
dilakukan operasi osteotomi tulang dengan mengubah arah asetabulum hingga dicapai
sendi panggul yang stabil.Kadang disamping osteotomi diperlukan reposisi terbuka.
Pada usia lima tahun ke atas, perubahan sekunder pada dislokasi komplet telah
nyata dan reversibilitas sangat terbatas, bahkan dengan operasi yang kompleks seperti
perpendekan femur, sulit diharapkan hasil yang baik. Pada usia enam/ tujuh tahun
pada dislokasi bawaan yang terbengkalai, tidak dilakukan reposisi lagi dan dibiarkan
meskipun anak berjalan separti bebek. Untuk anak yang tidak beruntung ini, operasi
paliatif diperlukan untuk menghilangkan nyeri pada usia dewasa muda.
1. Pavlik harness
Perlakuan hip displasia dimulai dengan pemeriksaan hati-hati bayi yang baru
lahir. Jika bukti ketidakstabilan hadir, Pavlik harness harus dipertimbangkan .Pavlik
harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga tali dada berada pada garis puting,
dengan 2 fingerbreadths ruang antara dada dan tali.Tali anterior pada garis midaxillary
dan harus diatur sedemikian rupa sehingga pinggul yang tertekuk ke 100-110 º. hip
berlebihan dapat menyebabkan dislokasi saraf kompresi dan inferior femoralis. Fungsi
quadriceps harus ditentukan di semua kunjungan klinik.
Tali abduksi posterior harus pada tingkat skapula anak dan disesuaikan untuk
memungkinkan abduksi yang nyaman. Hal ini seharusnya mencegah pinggul dari
adduksi apabila pinggul terkilir. Abduksi yang berlebihan harus dihindari karena
kekhawatiran tentang perkembangan nekrosis avaskular.
Pemasangan harness maka harus diperiksa secara klinis dalam minggu pertama dan
kemudian setiap minggu. Hati-hati pemantauan pasien untuk memastikan cocok
harness dan pinggul dikurangi adalah penting.
USG adalah cara yang sangat baik mendokumentasikan pengurangan hip di Pavlik
harness dan harus dilakukan pada awal perjalanan pengobatan. .
Jika pinggul posterior subluxed, maka terapi Pavlik harness harus dihentikan.
Menggunakan Pavlik harness untuk pengurangan dipandu, yang terjadi saat pinggul
tidak sepenuhnya mengurangi awalnya namun menunjuk ke arah tulang rawan
triradiate, adalah kontroversial.
Bila harness digunakan untuk pengurangan dipandu, dokter harus memperoleh
radiograf setelah Pavlik harness ditempatkan untuk menentukan apakah caput femoris
yang menunjuk ke arah tulang rawan triradiate.
Ketika pasien lebih tua dari 6 bulan, tingkat keberhasilan dengan Pavlik harness
kurang dari 50%, karena itu, terapi ini tidak boleh digunakan pada pasien lebih tua dari
6 bulan.
2. Traksi
Traksi (biasanya traksi kulit) dapat dilakukan baik di rumah atau di rumah
sakit. Ini harus dipantau secara hati-hati untuk memastikan integritas kulit. Manfaat
keseluruhan traksi cukup kontroversial, meskipun kebanyakan dokter bedah ortopedi
anak melakukan kulit menggunakan traksi.
3. Bedah Terapi
Open reduksi adalah pengobatan pilihan bagi anak yang lebih tua dari 2 tahun pada
saat diagnosis awal atau untuk anak-anak dalam upaya pengurangan yang tertutup
telah gagal. Pada anak-anak dengan pinggul teratologic, dengan kegagalan pada usia
yang jauh lebih muda, pengurangan terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan
medial. Pendekatan medial memiliki sejumlah keuntungan, sebagai berikut:
- Kedua pinggul dapat dikurangi pada waktu yang sama (pada pasien dengan DDH
bilateral).
- Hambatan terhadap pengurangan (misalnya, psoas tendon) yang mudah
diidentifikasi.
- Para longus adduktor bisa belah melalui sayatan yang sama.
- hip otot abduktor ini adalah tidak berisiko untuk cedera, dan, oleh karena itu,sisa
kelemahan tidak mungkin terjadi.
- apophysis iliaka tidak beresiko untuk cedera.
- Insisi memiliki hasil kosmetik yang sangat baik.
Masalah dengan pendekatan ini adalah sebagai berikut:
- Kemungkinan nekrosis avaskular meningkat
- Kurangnya potensi keakraban ahli bedah dengan pendekatan ini
- Ketidakmampuan untuk melakukan placation capsular atau prosedur panggul
melalui sayatan ini.
- Dengan menggunakan pendekatan medial, pemain memainkan peran penting
banyak lagi.
Paling sering, terutama pada anak-anak yang lebih tua, pendekatan anterolateral
atau Smith-Petersen standar yang digunakan. Hal ini dapat dikombinasikan dengan
placation kapsul, jika diperlukan, dan / atau prosedur acetabular. Pada anak lebih dari
3 tahun, memperpendek femoralis biasanya dilakukan bukan traksi (lihat gambar di
bawah) 56 Pada waktu itu, jika displasia femoralis proksimal hadir, seperti yang
diamati dengan anteversion signifikan atau coxa valga, ini juga bisa
diperbaiki . Namun, baik traksi atau memperpendek femoralis harus dilakukan pada
anak usia 2-3 tahun adalah kontroversial.
Radiografi dari seorang anak 6-tahun yang mengalami pengurangan terbuka (open
reduction) dengan placation capsular, shortening femoralis, dan osteotomy
(Pemberton) panggul.
Tindak lanjut
Durasi bahwa seorang anak tetap berada dalam orthosis pinggul cukup kontroversial
dan bergantung pada pengalaman dokter yang merawat dan masing-masing pasien.
h. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin dapat terjadi, termasuk redislocation, kekakuan
pinggul, infeksi, kehilangan darah, dan, kemungkinan nekrosis paling dahsyat, capu
femoralis. Tingkat nekrosis caput femur bervariasi, tergantung pada studi ini, rentang
tingkat dari 0% sampai 73% .60 Banyak studi menunjukkan bahwa abduksi ekstrim,
khususnya dikombinasikan dengan ekstensi dan rotasi internal, hasil di tingkat yang
lebih tinggi necrosis avaskular ,Kecuali dikoreksi segera setelah lahir, abnormal
menekankan menyebabkan malformasi tulang paha berkembang, dengan gaya berjalan
pincang atau waddling karakteristik. Jika kasus hip displasia kongenital bawaan pergi
diobati, anak akan memiliki kesulitan berjalan, yang dapat mengakibatkan rasa sakit
seumur hidup. Selain itu, jika kondisi ini berjalan tidak diobati, posisi pinggul
abnormal akan memaksa acetabulum untuk menemukan ke posisi lain untuk
menampung pengungsi tulang paha.
BAB III

Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan
yang langsung di berikan kepada klien kepada berbagai tatanan pelayanan dengan
menggunakan metodologi proses keperawatan berpedoman kepada standar keperawatan
dilandasi etik dan etika keperawatan, dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab
perawat. Dalam menyelesaikan masalah klien, perawat menggunakan proses keperawatan
sebagai metodologi pemecahan masalah secara ilmiah.

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui proses keperawatan.
Teori dan konsep keperawatan diimplementasikan secara terpadu dalam tahapan terorganisir
yang meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian klien dengan ganguan muskuloskeletal meliputi pengumpulan data dan analisa
data. Dalam pengumpulan sumber data klien diperoleh dari klien sediri, keluarga, dokter
ataupun dari catatan medis.

a. Pengumpulan data

1.) Biodata klien dan penanggung jawab klien.

Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, agama, tanggal masuk RS, nomor medik dan diagnosa medik.

2.) Keluhan utama

Merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien mengalami fraktur dan imobilisasi biasanya
mengeluh tidak dapat melakukan pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan
sebagian aktivitas sehari-hari.

3.) Pemeriksaan fisik

Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, terhadap berbagai sistem tubuh maka
ditemukan hal sebagai berikut :

a.) Keadaan umum


Pada klien yang immobilisasi perlu dilihat dalam hal keadaan umum meliputi penampilan,
postur tubuh, kesadaran, dan gaya bicara klien karena immobilisasi biasanya mengalami
kelemahan, kebersihan dirinya kurang, bentuk tubuh kurus akibat berat badan menurun.

b.) Aktivitas istirahat

Apakah ada keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena mungkin segera fraktur
ini sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan ; nyeri).

c.) Sirkulasi

Hipertensi yaitu kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas atau hipotensi akibat
kehilangan darah.

d.) Neurosensori

Hilangnya gerakan/sensasi spasme otot dengan tanda kebas/kesemutan/parestesi. Adanya


deformitas lokal, anuglasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi.

e.) Nyeri/kenyamanan

Nyeri berat tiba - tiba pada saat oedema, mungkin

terlokalisasi pada jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi tak ada nyeri
akibat kerusakan saraf.

f.) Keamanan

Lacerasi kulit,perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara


bertahap dan tiba-tiba).

4.) Pola aktivitas sehari-hari

Pola aktivitas sehari-hari pada klien fraktur meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi
makan, jenis dan kualitas minum dan kuantitas minum, dan eliminasi yang meliputi BAB
(frekuensi, warna, konsistensi) serta BAK (frekuensi, banyaknya urine yang keluar setiap hari
dan warna urine). Personal hygiene (frekuensi mandi, gosok gigi, dan cuci rambut serta
memotong kuku), olahraga (frekuensi dan jenis), serta rekreasi (frekuensi dan tempat
rekreasi).

5.) Data psiko sosial


Pengkajian yang dilakukan pada klien immobilisasi pada dasarnya sama dengan pengkajian
psikososial pada sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri,
peran diri, dan identitas diri) dan hubungan atau interaksi) klien dengan anggota keluarganya
maupun dengan lingkungan.

Pada klien yang fraktur dan diimobilisasi adanya perubahan konsep diri terhadi secara
perlahan-lahan yang mana dapat dikenal melalui observasi terhadap perubahan yang kurang
wajar dalam status emosional, perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam
masalah dan perubahan status tidur.

6.) Data spiritual

Klien yang fraktur perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan, harapan, serta
semangat yang terkandung dalam diri klien merupakan aspek yang penting untuk
kesembuhan penyakitnya.

7.) Data penunjang

a) Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi / luasnya fraktur /trauma.

b) Scan tulang tomogram, skan CI/MRI, memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c) Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d) Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun


(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan
jumlah SDI adalah respon normal setelah trauma.

e) Kreatinin trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

f) Profil kagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel atau
cedera hati.

b. Masalah

Masalah yang timbul pada klien fraktur :

1.) Nyeri.

2.) Resiko terjadinya gangguan pertukaran gas.

3.) Menurunnya mobilitas fisik.


4.) Gangguan integritas kulit.

5.) Kurang pengetahuan.

6.) Resiko terjadinya trauma tambahan.

7.) Resiko terjadinya ganggua perfusi jaringan.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan kurangnya informasi yang


adekuat.

b. Nyeri berhubungan dengan fraktur.

c. Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan arterio vena.

d. Resiko terjadi gangguan gas berhubungan dengan kurangnya pengembangan paru


akibat adanya imobilisasi.

e. Menurunnya mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler skeletal


ekstremitas bawah.

f. Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi pada


daerah yang tertekan karena imobilisasi.

g. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih basah.

h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang adekuat.

3. Perencanaan

a. Resiko terjadinya trauma tambahan berhubungan dengan kurangnya informasi yang


adekuat.

1.) Data subyektif :

2.) Data obyektif : klien tidak kooperatif.

3.) Tujuan : Tidak terjadi trauma tambahan dengan kriteria :

a) Kestabilan dan keseimbangan fraktur tetap dipertahankan.

b) Menunjukkan susunan callus dan mulai terjadinya sambungan pada fraktur


sebagaimana mestinya.
4.) Tindakan perawatan

a) Atur posisi klien supaya letak axis tulang panjang dapat dipertahankan.

Rasional : Dapat membantu dan mempertahankan penjajakan tulang serta mengurangi


komplikasi misalnya tertundanya penyem-buhan / tulang tidak menyatu.

b) Periksa kedudukan/posisi gips spalk tiap hari

Rasional : Bila letak gips spalk bagus akan mempercepat

pertumbuhan jaringan callus serta penjajakan tulang dapat dipertahankan.

c) Kolaborasi dengan tim medis untuk foto X-Ray.

Rasional : Dapat memberikan secara visual bila telah terjadi pembentukan callus serta letak
kedudukan tulang.

b. Nyeri berhubungan dengan fraktur.

1) Data subyektif: klien mengeluh nyeri, mengeluh bertambah bila digerakkan.

2) Data obyektif : Ekspresi wajah meringis, fraktus tibia.

3) Tujuan : Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria : tidak mengeluh nyeri, ekspresi


wajah ceria.

4) Tindakan keperawatan

a) Kaji lokasi dan karakteristik nyeri.

Rasional: Mengetahui asal, sifat, dan kapan datangnya nyeri sehingga dapat menentukan
yang akan diberikan dengan tepat.

b) Pertahankan immobilisasi secara efektif dengan cara tirah baring.

Rasional : Mencegah terjadinya gerakan yang sering dari tulang yang patah sehingga
tidak merangsang saraf yang menimbulkan nyeri.

c) Mengatur posisi kaki dan luka tanpa mempengaruhi axis tulang.

Rasional : Menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi rasa nyeri.

d) Ajarkan tehnik penanganan rasa nyeri kontrol stres dan cara relaksasi.
Rasional : Untuk mengalihkan perhatian, meningkatkan kontrol rasa serta
meningkatkan kemampuan mengatasi rasa nyeri dan stres dalam periode yang lama..

e) Monitor keluhan, kemajuan serta kemunduran dalam melokalisir nyeri yang tidak
dapat hilang.

f) Kolaborasi dengan tim medis dan pemberian analgetik.

Rasional:Analgetik berfungsi untuk mengurangi rasa sakit.

c. Resiko terjadi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan arterio vena.

1) Data subyektif : klien mengatakan bengkak daerah perifer.

2) Data obyektif : adanya edema dan hematoma sekitar fraktur, kulit pucat dan dingin

3) Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan dengan kriteria:

a) Tidak ada gangguan hematoma.

b) Kulit hangat dan warna merah.

c) Nadi teraba.

d) Ada pengisian pada kapiler.

4) Tindakan keperawatan

a) Observasi warna dan suhu kulit serta pengisian kembali pembuluh darah kapiler.

Rasional : Kulit pucat dan dingin serta pengisian kembali kapiler lambat atau tidak
menunjukkan adanya kerusakan arteri sehingga tidak membahayakan sistem perfusi jaringan.

b) Palpasi kualitas nadi bagian distal pada daerah fraktur.

Rasional : Nadi berkurang atau hilang menunjukkan luka pada pembuluh darah sehingga
memerlukan evaluasi secara segera oleh tim medis untuk memperbaiki sirkulasi.

c) Lakukan penilaian neurovaskuler serta perhatikan perubahan fungsi motorik/sensorik.

Rasional : Terganggunya perasaan, mati rasa, sakit yang berkepanjangan, menunjukkan


adanya kerusakan saraf.

d) Bebaskan alat-alat yang menekan seperti gips sirkuler verband dan lain-lain
Rasional : Akan mengurangi keterbatasan sirkulasi sehingga tidak mengakibatkan
terbentuknya edema pada ekstremitas.

e) Berikan kantong es di sekeliling fraktur jika dibutuhkan.

Rasional : Dapat mengurangi oedema atau terbentuknya hematom dan akan merusak
sirkulasi.

d. Resiko terjadi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya


pengembangan paru akibat adanya imobilisasi.

1) Data subyektif : -

2) Data obyektif : Immobilisasi.

3) Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan kriteria sesak nafas,
pengembangan paru sempurna, tidak ada wheezing dan ronchi, suara nafas vesikuler,
frekuensi nafas normal.

4) Tindakan keperawatan

a) Awasi frekwensi pernafasan, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot bantu,


retraksi serta sianosis.

Rasional : Tachypnea, dyspnea, serta perubahan mental sebagai indikator emboli paru pada
tahap awal.

b) Dengar bunyi nafas dan perhatikan pengembangan dada.

Rasional : Perubahan bunyi nafas serta adanya nafas yang berulang dapat menunjukkan
adanya komplikasi pernafasan misalnya pneumoni, atelektasis, emboli dan lain-lain.

c) Anjurkan dan bantu klien breathing exercise berupa nafas dalam dan batuk.

Rasional : Meningkatkan ventilasi oksigen dan perfusi alveolar.

d) Rubah posisi tidur klien.

Rasional : Meningkatkan pengeluaran sekresi serta mengurangi kongesti pada daerah paru
yang bebas.

e) Perhatikan bila ada kegelisahan, lethargi dan stupor.

Rasional :Terganggunya pertukaran gas dapat menyebabkan


keburukan dalam tingkat kesadaran seperti berkembangnya

hipoksemia dan asidosis.

e. Menurunnya mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler skeletal


ekstremitas bawah.

1) Data subyektif : Klien mengatakan tidak mampu menggerakkan ekstremitas bagian


bawah.

2) Data obyektif : Trauma Pelvis, immobilisasi.

3) Tujuan : Klien dapat melakukan mobilitas fisik dengan kritieria : dapat menggerakkan
ekstremitas yang tidak diimobilisasi, dapat mempertahankan mobilitas pada tingkat
possibilitas yang tinggi.

4) Tindakan keperawatan

a) Kaji kemampuan fungsional.

Rasional : Mengenal kekuatan dan memberikan informasi yang berhubungan dengan


penyembuhan serta tindakan yang akan diberikan.

b) Bantu klien melakukan range of motion pasif/aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun tidak.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang, mencegah kontraktur, mengurangi
atrofi dan mempertahankan mobilitas tulang/sendi.

c) Mendorong klien melakukan latihan isometrik untuk anggota badan yang tidak
terpengaruh dengan imobilisasi.

Rasional : Membantu menggerakkan anggota badan serta dapat mempertahankan kekuatan


massa otot.

d) Kolaborasi dengan dokter/therapiest untuk memungkinkan dilakukannya rehabilitasi.

Rasional : Berguna dalam menggerakkan program latihan dan aktivitas secara individual

f. Gangguan integritas kulit, dekubitus berhubungan dengan penurunan sirkulasi pada


daerah yang tertekan karena imobilisasi, ditandai dengan :

1) Data subyektif : Klien mengatakan rasa panas pada panggul.


2) Data obyektif : Immobilisasi, warna kulit pada derah panggul pucat.

3) Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi dengan kriteria : tidak rasa panas pada
daerah punggung dan bokong, kulit punggung dan bokong berwarna merah, tidak nyeri.

4) Tindakan keperawatan

a) Observasi daerah yang tertekan.

Rasional : Dapat memberikan gambaran daerah yang sudah dekubitus, yang sudah terjadi
ischemik jaringan, serta tekanan pada kulit.

b) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perasat.

Rasional : Merupakan suatu tindakan yang paling penting untuk mencegah meluasnya infeksi
karena sumber utama terjadinya kontaminasi oleh mikroba.

c) Bersihkan luka dekubitus dengan obat antiseptik.

Rasional : Mencegah masuk dan berkembangnya kuman dalam luka yang dapat memperberat
luka.

d) Pijat daerah tulang dan kulit yang mendapat tekanan dengan menggunankan lotion.

Rasional : Dapat memperbaiki/meningkatkan sirkulasi dan mencegah terjadinya lecet pada


kulit.

e) Rubah posisi tidur dengan ganjalan bantal/kain pada daerah yang tertekan.

Rasional : Mengurangi tekanan terus menerus pada daerah tertekan.

f) Mandikan klien setiap hari.

Rasional : Kulit bersih dan sirkulasi kulit lancar/baik.

g. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang masih basah.

1) Tujuan : Luka sembuh dengan kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi

2) Tindakan keperawatan

a) Observasi keadaan luka klien.

Rasional : Dapat mengetahui adanya infeksi secara dini.

b) Monitor tanda-tanda vital


Rasional : Peningkatan tanda vital merupakan salah satu gejala infeksi.

c) Gunakan tehnik aseptik dan antiseptik dalam melakukan setiap tindakan.

Rasional : Memutuskan mata rantai kuman penyebab infeksi sehingga infeksi tidak terjadi.

d) Ganti balutan setiap hari dengan menggunakan balutan steril.

Rasional : Menjaga agar luka tetap bersih dan dapat menceah terjadinya kontaminasi.

e) Beri antibiotik sesuai dengan program pengobatan

Rasional : Antibiotik membunuh kuman penyebab infeksi.

h. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan informasi yang adekuat.

1) Data subyektif : klien bertanya tentang penyakitnya.

2) Data obyektif : tidak kooperatif, gelisah.

3) Tujuan : pemahaman klien terpenuhi dengan kriteria : klien tidak bertanya tentang
penyakitnya, klien lebih kooperatif dalam prosedur keperawatan.

4) Tindakan keperawatan

a) Jelaskan prosedur dan tindakan yang diberikan.

Rasional : Memberikan dan meningkatkan pemahaman

Klien sehingga dapat mengerti dan koopertif dengan

tindakan yang diberikan.

b) Jelaskan perlunya metode ambulasi yang tepat.

Rasional : Untuk mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan dan akan
memperlambat penyembuhan.

c) Instruksikan pada klien agar mengatakan pada perawat bila ada hal-hal yang tidak
menyenangkan.

Rasional : Dapat mengurangi stres dan kegelisahan.

4. Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana
perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan
efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon
pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan
perawatan. Pada pelaksanaan keperawatan diprioritaskan pada upaya untuk mempertahankan
jalan nafas, mempermudah pertukaran gas, meningkatkan masukan nutrisi, mencegah
komplikasi, memperlambat memperburuknya kondisi, memberikan informasi tentang proses
penyakit (Doenges Marilynn E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan)

5. Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan
respon pasien terhadap dan keefektifan
intervensi keperawatan. Kemudian mengganti rencana perawatan

jika diperlukan. Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan (Doenges Marilynn
E, 2000).

Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan adalah :

a. Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur

b. Nyeri yang dirasakan berkurang

c. Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat,sensasi


normal, dan tanda vital stabil

d. Mempertahankan fungsi pernapasan yang adekuat

e. Mempertahankan posisi fungsional

f. Menunjukkan prilaku untuk mencegah kerusakan kulit

g. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,bebas drainage purulen atau eritema dan
demam.

h. Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis,dan pengobatan.


BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kelainan-kelainan pada tulang pelvis sama dengan kelainan yang terjadi pada
organ-organ lain. Persamaan ini dapat dilihat dari factor pencetusnya seperti kelainan
metabilosme, kelainan congenital, trauma, infeksi dan lain sebagainya .
Pada hipdisplasia yang merupakan kelainan congenital diagnosis klinis dapat
ditegakkan bila tanda-tanda reposisi yang dapat diraba dan didengar, letak trokanter
tinggi dan gambar ultrasonografi. Penanganan pada usia baru lahir bila digunakan
secra tepatakan member hasil yang memuaskan hanya sedikit komplikasi.
Arthtris hip merupakan osteoarthritis yang disebabkan oleh: rheumatoid arthritis,
trauma, atau runtuhnya sendi yang disebabkan oleh kesalahan dalam suplai darah ke
caput femoralis ( bola dari sendi). Penyakit ini juga harus diberikan tata laksana yang
adekuat karena memiliki komplikasi yang serius setelah penggantian sendi total
infeksi
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang
dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul .keluhan berupa gejala
pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul .Penderita
datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.terdapat
gangguan fungsi anggota gerak bawah.

Anda mungkin juga menyukai