Kapan munculnya pertama kali macapat, sampai saat ini belum ada penemuan yang
meyakinkan. Ada yang menyampaikan bahwa Macapat diperkirakan muncul pada
akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa
dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat
telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan
judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.
Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya
yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin,
mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda.
Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan
tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan
Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih
tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India
semakin pudar.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang
digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara
setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi
memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama
pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.
Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru
lagu. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini adalah tabel tembang macapat berdasarkan
metrumnya.
Jadi, ringkasnya:
• Guru Gatra merupakan banyaknya jumlah larik (baris) dalam satu bait.
• Guru Lagu merupakan persamaan bunyi sajak di akhir kata dalam setiap larik
(baris).
• Guru Wilangan merupakan banyaknya jumlah wanda (suku kata) dalam setiap larik
(baris).
Terdapat 11 macam tembang macapat. Beberapa “tutur” dari orang tua menjelaskan
bahwa, kesebelas tembang macapat tersebut sebenarnya menggambarkan tahap-
tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya. Ad
apun penjelasan makna kesebelas tembang macapat tersebut adalah:
1. TEMBANG MASKUMAMBANG
Kata ‘mas’ artinya masih belum diketahui laki-laki atau perempuannya, dan kata
‘kumambang’ artinya hidup yang masih mengambang atau bergantung di alam
kandungan sang ibu.
Maskumambang
(Laras Pelog Pathet Nem)
Catatan :
Setiap tembang macapat terikat oleh beberapa "aturan" yang membuat berbeda
masing-masing yaitu :
1. Guru gatra : Jumlah larik / baris (gatra) setiap satu bait (padha)
2. Guru lagu : Jumlah suku kata (cacahing wanda ) dalam setiap baris (gatra)
3. Guru wilangan : Huruf vokal terakhir "a, i, u, e, atau o" setiap akhir baris (gatra)
serta yang agak mengikat yaitu :
Watak : Sifat "lirik" yang menyertai setiap tembang bisa sedih, gembira,
senang dsb.
Untuk Tembang Macapat Maskumambang guru gatra, guru lagu, guru wilangan,dan
wataknya adalah
sebagai berikut :
Jabang bayi yang mijil dari rahim ibunya adalah suci, dia tidak bisa memilih terlahir
dari siapa, misalpun terlahir dari hubungan “tidak sah”, bayi tetaplah suci, ibarat
kertas ia masih bersih putih tanpa coretan. Ketika bayi lahir saat itulah ia mengenal
dunia pertama kalinya, ia diberi wewenang untuk menjalani kehidupan selanjutnya.
Ia dihadirkan untuk bisa menjadi “manusia” hingga suatu saat bisa kembali kepada-
Nya dengan damai.
Sedikit memberikan gambaran, bahwa menurut para ahli tafsir sastra Jawa,
tembang Macapat itu merupakan urutan sebuah perjalanan seseorang dari lahir
sampai mati. “Mijil” adalah yang pertama. Secara harfiah berarti muncul atau tampil,
ditafsirkan sebagai sebuah kelahiran.
Ada yang menjelaskan bahwa itu merupakan kelahiran fisik bayi lahir dari
kandungan ibunya, ada juga yang menafsirkan sebuah kelahiran ketika orang mulai
muncul keinginan untuk menjadi baik, dikatakan sebagai kelahiran kembali.
Menurut narasumber yang sama, bapak Susianto, Tembang Mijil ini memiliki
seperangkat tata nilai dan etika yang digunakan dalam konteks masyarakat Jawa.
Dan salah satu syair Mijil yang terkenal adalah sebagai berikut,
1. Dedalane guno lawan sekti. Dibuka dengan sebuah kalimat yang mengabarkan
tentang jalan agar seseorang bisa menjadi bermanfaat dan sakti. Pemaknaan
tersebut adalah sebuah pengingat kita sebagai manusia, bahwa tujuan hidup bisa
dilihat dari dua perspektif yaitu mempersiapkan bekal setelah mati (karena manusia
pasti mati), dan melakukan sesuatu agar kesempatan kita hidup di dunia ini, menjadi
sebuah kehidupan yang bermakna dan memberi manfaat bagi kehidupan.
Sakti bisa ditafsirkan tentang gambaran sebuah pengetahuan dan ketrampilan
seseorang. Bait ini bisa diterjemahkan secara jalan agar kita bermanfaat di dunia ini
dengan memiliki kapasitas yang kita miliki. Seorang islam harus memiliki ilmu
sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Karena kalau iman saja, kemudian
tanpa ilmu, maka itu tidak berguna. Maka harus berilmu dulu, beriman, lalu yang
selanjutnya adalah aplikasi dalam bentuk amal.
2. Kudu andhap asor. Yang berarti harus bisa menempatkan diri sehingga kita bisa
selalu menghargai orang lain. Andhap asor artinya ‘dibawah’. Bukan dilihat sebagai
kita berada dibawah, tapi dilihat sebagai kita menempatkan orang lain selalu lebih
tinggi dari kita, selalu kita hargai, selalu kita hormati, tidak peduli apakah dia pejabat
atau bukan pejabat, orang pandai atau tidak, kita tetap harus menghargainya
sebagai sesama manusia.
Dan menariknya, kalimat ini menjadi bait kedua setelah kalimat pembuka. Seolah
memberi penekanan mengenai awal pertama kali seseorang harus mampu untuk
‘tahu diri’, sehingga bisa ‘menempatkan diri’. Untuk kemudian mampu ‘membawa
diri’ kita pada tujuan kita sebagai manusia. Ini adalah tata nilai dalam islam, memiliki
akhlak yang baik, atau disebut dengan akhlaqul karimah.
3. Wani ngalah dhuwur wekasane. Adalah bait ketiga, mmeiliki makna ketika kita
diminta untuk mengalah justru membutuhkan keberanian. Biasanya orang berbicara
agar seseorang harus berani agar menang. Tapi ini tidak, justru kita harus berani
mengalah.
Dalam islam sendiri kita sangat paham bahwa musuh paling besar seorang manusia
adalah dirinya sendiri, egonya sendiri. ‘Mengalah’ bukan berarti kita kalah terhadap
orang lain, ‘mengalah’ adalah ketika kita bisa menang atas diri kita sendiri. Sehingga
benar juga kata orang-orang itu, bahwa untuk menang harus berani.
Tapi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah menang terhadap diri kita
sendiri, kita memiliki kendali terhadap diri kita sendiri. Kita mampu memimpin diri kita
sendiri. Itulah arti ‘mengalah’, dan hal tersebut memang butuh keberanian. Meiliki
sikap mengalah akan meningkatkan derajat kita sebagai seorang muslim dimata
Allah Ta’ala.
4. Tumungkula yen dipun dukani. Secara harfiah bait ini berarti ‘jangan membantah bila
kita dimarahi’. Kita melihat ‘dimarahi’ bisa berarti oleh orang lain, tapi juga bisa oleh
‘kehidupan’, oleh ‘alam’, dan diujung perenungan itu bisa ‘oleh’ Sang Pencipta.
Sebuah bencana, kecil atau besar, menimpa diri pribadi atau suatu umat, adalah
juga saat kita ‘dimarahi’.
Kita menemui kegagalan. Dan ‘tumungkul’ berarti ‘jangan membantah’. Yang bisa
diartikan bahwa saat ‘dimarahi’ sebaiknya ‘tidak membantah’, tidak melawan, tidak
putus asa, pantang menyerah, dan juga tidak saling menyalahkan. ‘Tidak
membantah’ juga diartikan sebagai diam, mau untuk merenung, mau untuk belajar.
Sebagai seorang muslim, menjadi generasi pembelajar sejati ini menjadi satu hal
yang wajib dilakukan. Bahasa kerennya adalah ‘Tarbiyah madal hayah’.
5. Bapang den simpangi. Bapang adalah nama sebuah gubahan tarian yang bisa
dikonotasikan sebagai bentuk ‘hura-hura’. Bait ini bisa diartikan agar orang
sebaiknya menghindari hal-hal yang berifat ‘hura-hura’. Lebih jauh lagi dimaknai
sebagai hal-hal yang hanya ada dipermukaan.
Karena konotasi ‘bapang’ bisa diperluas kepada hal-hal yang hanya tampak indah
dipermukaan tapi dalamnya rapuh. Mungkin ini bisa dijabarkan kepada sikap-sikap
pargmatis, yang menuhankan eksistensi dan pencitraan diri semata, sifat suka dipuji,
senang kalau orang lain mengagung-agungkan kita. Hal itulah yang sebaiknya
dihindari. Nah, inilah yang dalam Islam disebutkan dengan memiliki sikap qonaah,
sederhana, dan tidak berlebih – lebihan.
6. Ono catur mungkur. Bait terakhir ini memiliki makna hafiah untuk mengindari
pergunjingan. Pergunjingan biasanya selalu berawal dari prasangka buruk. Kalimat
ini adalah sebuah inspirasi, alih-alih kita terlalu menanggapi prasangka buruk
terhadap kita, sebaiknya justru kita lebih fokus pada apa yang baik kita kerjaan,
dalam rangka memberi manfaat tadi.
Terus berkarya dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang kita punya. Mungkin
ini adalah seri otokritik untuk Indonesia saat ini. Pertengkaran yang memang
sebaiknya dihindari. Dalam islam, bahkan hukumnya bergunjing, ghibah, itu
diharamkan.
***
Ada beberapa hal yang bisa diambil dari filosofi tembang mijil dalam masyarakat
Jawa, yaitu tentang etika, jelas tercermin dalam semua baitnya, baik bait pertama
sampai terakhir. Kemudian yang kedua adalah nilai dakwah islam yang ada di setiap
baitnya.
Selain tentunya karya ini dibuat oleh orang islam, nilai – nilai yang terkandung
sangat Islami, yang menjelaskan didalamnya tentang makna persaudaraan, makna
kesederhanaan hidup, makna kesantunan sikap, makna anti perpecahan, simbol
tentang kekuatan yang harus dimiliki agar menebar manfaat dalam kehidupan, dan
masih banyak lagi nilai dakwah di tembang Macapat Mijil ini.
MIJIL
(Laras Pelog Pathet Barang)
2 3 5 6 6 6 6 6 5 67
Cep me - ne - nga a - nak - ku cah ma - nis
5 3 5 5 56 6
A - ja ga - we ka - gol
5 6 7 56 3 2 2 2 2 327
Ka - e ka - ton rem - bu - la – ne ge - dhe
6 7 2 3 2 7 7 7 7 7
gi - lar gi - lar cah - ya - ne ne - la - hi
2 3 3 3 3 3
A - yo Sun do - la - ni
6 7 2 2 32 76
sa - bi - sa bi - sa - mu
Untuk lagunya mp3, download Tembang Macapat Mijil mp3 klik di sini
Catatan :
Setiap tembang macapat terikat oleh beberapa "aturan" yang membuat berbeda
masing-masing yaitu :
Guru Gatra : Jumlah larik / baris (gatra) setiap satu bait (padha)
Maka guru gatra tembang macapat Mijil adalah 6 gatra
Guru Wilangan : Jumlah suku kata (wanda ) dalam setiap baris (gatra)
Maka guru wilangan tembang macapat Mijil adalah 10, 6, 10, 10, 6, 6.
Guru Lagu : Huruf vokal terakhir (a, i, u, e, o) setiap akhir baris (gatra)
Maka guru lagu tembang macapat Mijil adalah i, o, e, i, i, u.
Watak (Tidak terlalu terikat) : "Sifat" setiap tembang, bisa sedih,
gembira, senang dsb
Watak Tembang Macapat Mijil adalah : Sereng, marah, cocok untuk
menyampaikan petuah, agak marah, permulaan
perang.
Bila guru wilangan dan guru lagu tersebut digabung setiap baris (gatra),
maka guru wilangan dan guru lagu tembang macapat Mijil tersebut adalah
10 i, 6 o, 10 e, 10 i, 6 i, 6 u.
Adapun Tembang Macapat Mijil juga mengandung filosofi kehidupan tersendiri bagi
masyarakat Jawa khususnya
3. TEMBANG KINANTHI
Anak-anak harus diberi latihan agar kelak memiliki ketrampilan sehingga menjadi
kreatif dan mandiri. Dan sangat penting, anak-anak harus diajarkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu harus melalui bimbingan dari
(kinanthi) orang dewasa.
Jadi, tembang Kinanthi ini pun pas dan bisa digunakan untuk lirik-lirik tembang yang
bertujuan untuk menyampaikan suatu nasehat hidup dan juga kisah tentang kasih
sayang.
4. TEMBANG SINOM
tembang sinom http://rejekinomplok.net/
Arti Tembang Sinom
Kata Sinom berarti pucuk yang baru tumbuh atau bersemi. Tembang Sinom ini
secara filosofi menggambarkan seorang manusia yang tengah beranjak dewasa,
dan telah menjadi seorang pemuda/ remaja yang sedang bersemi.
Ketika menjadi seorang remaja, maka tugas mereka adalah untuk menuntut ilmu
sebaik dan setinggi mungkin agar bisa menjadi bekal kehidupannya kelak.
Sinom mengisahkan tahapan manusia pada masa pubertas. Masa ini adalah masa
ketika seorang anak akan mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan dari
fungsi-fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat
berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga
16 tahun.
Itulah yang dimaksud dengan pengertian puber atau pun pengertian pubertas. Dari
segi perubahan psikologis anak pada masa puber berusaha mencari identitas diri
dan rasa ingin tahu yang sangat besar. Dalam usaha mencari identitas diri, remaja
sering menentang kemapanan karena dirasa membelenggu kebebasannya. Mereka
tidak mau dikatakan sebagai anak-anak lagi.
Hal lainnya yang umum ditemui tatkala memasuki masa pubertas adalah
ketertarikan terhadap lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis pada masa ini
biasa disebut dengan “cinta monyet”, yaitu hubungan asmara yang tidak bisa
bertahan lama, bersifat sementara dan akan cepat hilang.
5. TEMBANG ASMARADANA
tembang asmaradana
Arti Tembang Asmaradana
Asmaradana memiliki makna asmara dan dahana yang berarti api asmara. Tembang
ini menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan
dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati,
meminjam istilahnya kang Ebiet G.Ade dalam lagunya: “Cinta yang kuberi setulus
hatiku entah apa yang kuterima aku tak peduli”.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda ke
Agungan-Nya. “…Waja’alna Bainakum Mawwaddah Wa Rahmah, Inna Fi Dzaalika
La’aayatil Liqoumi Yatafakkaruun”. Artinya “…Dan Kujadikan diantara kalian Cinta dan
Kasih Sayang, sesungguhnya didalamnya merupakan tanda-tanda(Ke-Agungan-Ku) bagi
kaum yang berfikir”.
Watak Tembang Asmaradana
Tembang asmaradana memiliki watak atau karakter yang menggambarkan cinta
kasih, asmara dan juga rasa pilu atau sedih.
Aturan Tembang Asmaradana
Memiliki Guru Gatra: 7 baris setiap bait (Artinya tembang Asmaradana ini memiliki 9
larik atau baris kalimat).
Memiliki Guru Wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8 (Artinya baris pertama terdiri dari 8 suku
kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya)
Memiliki Guru Lagu: a, i, e , a, a, u, a (Artinya baris pertama berakhir dengan vokal a,
baris kedua berakhir vokal i, dan seterusnya).
Contoh Tembang Asmaradana
Tembang Asmaradana memiliki kaidah/ Wewaton: 8i – 8a – 8e – 7a – 8a – 8u – 8a
Seperti contoh berikut ini:
Gegaraning wong akrami
(penguat dalam pernikahan)
Dudu bandha dudu rupa
(bukan harta atau fisik)
Amung ati pawitané
(tetapi hatilah modal utamanya)
Luput pisan kena pisan
(sekali jadi, jadi selamanya)
Lamun gampang luwih gampang
(jika mudah, semakin gampang)
Lamun angèl, angèl kalangkung
(jika sulit, sulitnya bukan main)
Tan kena tinumbas arta
(tak bisa ditebus dengan harta)
***
6. TEMBANG GAMBUH
tembang gambuh pixabay.com
Arti Tembang Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh/ bersatu yang artinya komitmen untuk
menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah
tangga itu yaitu: “Hunna Li Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, artinya “Istri-
istrimu itu merupakan pakaian bagimu, dan kamu adalah merupakan pakaian baginya”.
Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari
panas dan dingin. Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi
dan mengayomi satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan
sakinah dalam naungan Ridlo-Nya.
Tembang macapat Gambuh merupakan salah satu tembang yang berisi tentang
berbagai ajaran kepada generasi muda, khususnya mengenai bagaimana menjalin
hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya.
Beberapa kalangan ada yang memaknai kata Gambuh sebagai sebuah kecocokan,
sepaham dan sikap bijaksana. Sikap bijaksana berarti dapat menempatkan sesuatu
pada tempatnya, sesuai porsinya, dan mampu bersikap adil.
Ana pocapanipun,
(Ada sebuah ungkapan)
Adiguna adigang adigung,
(Adiguna, adigang, adigung)
Pan adigang kidang adigung pan esthi,
(Seperti Adigang-nya kijang, adigung-nya gajah)
Adiguna ula iku,
(Adiguna-nya ular)
Telu pisan mati sampyoh.
(Ketiganya mati bersama dengan sia-sia)
***
Si kidang ambegipun,
(Si kijang memiliki watak)
Angandelaken kebat lumpatipun,
(Menyombongkan kecepatannya melompat/berlari)
Pan si gajah angandelken gung ainggil
(Si gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar)
Ula ngandelaken iku,
(Ular menyombongkan)
Mandine kalamun nyakot.
(Keampuhannya dengan menggigit)
***
Iku upamanipun,
(Itu sebuah perumpamaan)
Aja ngandelaken sira iku,
(Jangan menyombongkan diri)
Suteng nata iya sapa kumawani,
(Seorang raja siapa yang berani)
Iku ambeke wong digang,
(Itu perilaku yang adigang)
Ing wasana dadi asor.
(Yang akhirnya bisa merendahkan)
***
Adiguna puniku,
(Watak adiguna adalah)
Ngandelaken kapinteranipun,
(Menyombongakan kepandaiannya)
Samubarang kabisan dipundheweki,
(Seolah semua bisa dilakukan sendiri)
Sapa bisa kaya ingsun,
(Siapa yang bisa seperti aku)
Togging prana nora enjoh.
(ujung-ujungnya tak bisa apa-apa)
***
7. TEMBANG DHANDHANGGULA
Selain mempunyai arti harapan yang indah, beberapa kalangan juga ada yang
menafsirkan Dandanggula berasal dari kata dhandang yang berarti burung gagak
yang melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang
suka.
8. TEMBANG DURMA
***
9. TEMBANG PANGKUR
Mingkar-mingkuring ukara
(Membolak-balikkan kata)
Akarana karenan mardi siwi
(Karena hendak mendidik anak)
Sinawung resmining kidung
(Tersirat dalam indahnya tembang)
Sinuba sinukarta
(Dihias penuh warna )
Mrih kretarta pakartining ilmu luhung
(Agar menjiwai hakekat ilmu luhur)
Kang tumrap ing tanah Jawa
(Yang ada di tanah Jawa/nusantara)
Agama ageming aji.
(Agama “pakaian” diri)
Dari tembang macapat pangkur diatas dapat ditafsirkan bahwa, perlu memilih dan
menggunakan kata-kata yang bijak dalam mendidik anak. Dari cara bertutur orang
tua harus bisa menjadi contoh yang baik, karena dengan kata-kata yang baik tentu
akan lebih nyaman untuk didengarkan.
Mendidik bisa melalui tembang yang dirangkai indah agar menarik, sehingga semua
nasihat-nasihat tentang ilmu luhur yang ada di tanah jawa dapat dihayati, dan
agama bisa menjadi salah satu ajaran dalam kehidupan diri.
“Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut”, artinya “Setiap Jiwa Pasti Akan Mati”.
“Kullu Man Alaiha Faan”, artinya “Setiap Manusia Pasti Binasa”.
Akankah kita akan menjumpai kematian yang indah (Husnul Khotimah) ataukah
sebaliknya?
Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra, disaat bulan sedang bundar-bundarnya
(bulan Purnama) ditengah malam bulan Sya’ban tepat pada tanggal 6 Agustus atau
tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban).
“Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna”, artinya “Sesungguhnya kamu itu akan mati
dan mereka juga akan mati”.
Watak Tembang Pocung
Watak atau karakter tembang pocung ini bisa dikatakan tentang kebebasan, dan
juga tindakan sesuka hati. Dimana tembang pocung ini sering digunakan untuk
menceritakan lelucon dan berbagai nasehat.