Anda di halaman 1dari 24

HUKUM DAN KEBIJAKAN ZAT PSIKOTROPIKA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Narkotika, Bahan Terlarang,dan Psikotropika
Yang dibina oleh Ibu Novida Pratiwi, S.Si, M.Sc.

Oleh:
Offering B / 2016
Kelompok 1

Dini Fahriana (160351606459)


Fitroh Hanifiyah (160351606450)
Linda Suci Triliana (160351606476)
Yushella Anisa A (160351606428)
Rahmatin Warda (160351606406)

PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Maret 2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga saya mampu menyelesaikan makalah yang
berjudul “Hukum dan Kebijakan Zat Psikotropika”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Narkotika, Bahan Terlarang,dan
Psikotropika yang dibina oleh Ibu Novida Pratiwi, S.Si, M.Sc.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
Narkotika, Bahan Terlarang,dan Psikotropika di Indonesia, yang kelompok 1
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi dan refrensi yang
kita dapat. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Prodi
Pendidikan IPA. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Malang, 26 Maret 2019

(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika akhir-akhir ini telah


menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai
implikasi dan dampak negatif yang ditimbulkan merupakan masalah yang sangat
kompleks baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 disebutkan bahwa masalah psikotropika
tidak saja dapat merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak pada
kegiatan sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan
ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Saat ini Indonesia bukan hanya
sebagai negara transit ataupun negara tujuan bagi peredaran gelap psikotropika,
namun sudah berkembang menjadi salah satu negara produsen.1 Kasus-kasus
psikotropikapun semakin mengejutkan masyarakat, karena masalah-masalah
psikotropika sudah merambah ke mana-mana. Semula hanya terdapat di kota-kota
besar tetapi kini sudah merambah ke kota-kota kecil, ke daerah-daerah
pemukiman, kampus-kampus bahkan sekolah-sekolah. Peredaran dan pemakaian
psikotropika juga sudah masuk ke segala lapisan, baik kalangan atas, kalangan
menengah ataupun kalangan bawah. Selain itu peredaran psikotropika juga
merambah mulai dari anak-anak, mahasiswa, artis, pejabat bahkan sampai aparat
keamanan.

Dunia internasional yang telah mengambil langkah-langkah untuk


mengawasi psikotropika dengan dasar kedua konvensi di atas. Di samping itu,
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Psikotropika 1971 dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic
Substances 1971. Dalam hubungan dengan pengembangan sistem hukum
nasional, materi muatan konvensi tersebut akan memberikan arahan dalam
pembangunan hukum Indonesia yang mampu merespon kepentingan internasional
dan kepentingan nasional tanpa mengabaikan prisip-prinsip atau kaidah-kaidah
hukum Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum produksi dan peredaran zat Psikotropika?
2. Bagaimana hukum Ekspor dan Impor zat Psikotropika?
3. Bagaimana hukum label dan pengiklanan zat Psikotropika?
4. Bagaimana hukum kebutuhan tahunan dan pelapor zat Psikotropika?
5. Bagaimana hukum pengguna zat Psikotropika dan rehabilitasinya?
6. Bagaimana hukum pembinaan dan pengawasan zat Psikotropika?
7. Bagaimana hukum pemusnahan zat Psikotropika?
8. Bagaimana hukum peran serta masyarakat terkait zat Psikotropika?
9. Bagaimana hukum penyidikan zat Psikotropika?
10. Bagaimana hukum ketentuan pidana zat Psikotropika?

C. Tujuan
1. Mengetahui hukum produksi dan peredaran zat Psikotropika?
2. Mengetahui hukum Ekspor dan Impor zat Psikotropika?
3. Mengetahui hukum label dan pengiklanan zat Psikotropika?
4. Mengetahui hukum kebutuhan tahunan dan pelapor zat Psikotropika?
5. Mengetahui hukum pengguna zat Psikotropika dan rehabilitasinya?
6. Mengetahui hukum pembinaan dan pengawasan zat Psikotropika?
7. Mengetahui hukum pemusnahan zat Psikotropika?
8. Mengetahui hukum peran serta masyarakat terkait zat Psikotropika?
9. Bagaimana hukum penyidikan zat Psikotropika?
10. Bagaimana hukum ketentuan pidana zat Psikotropika?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Produksi, Peredaran, Ekspor,Dan Impor Zat Psikotropika
Ruang Lingkup dan Tujuan Psikotropika

Ruang lingkup pengaturan dibidang psikotropika dalam undang-undang


adalah kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindrom ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digolongkan menjadi :

1. Psikotropika Golongan I
Psikotropika hannya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
yang mengakibatkan sindorma ketergantungan.
Contohnya: Broloamfetamine atau DOB , Cathinone, DET , DMA,
DMHP, DMT ,DOET, Etrytamine , Lysergide - LSD, LSD.
2. Psikotropika Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
kuat yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contohnya, Amfetamina, Deksamfetamina, Fenetilina, Fenmetrazina,
Fensiklidina, Levamfetamina.
3. Psikotropika Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contohnya, Amobarbital, Buprenorphine, Butalbital, Cathine / norpseudo-
ephedrine, Cyclobarbital, Flunitrazepam, Glutethimide.
4. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika yang barkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contohnya, Allobarbital, Alprazolam, Amfepramona, Aminorex, Barbital,
Benzfetamina.

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:

1. Menjamin ketersediaan psikotropika untuk kepentingan pelayanan


kesehatan dan ilmu pengetahuan.
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
4. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan
5. Psikotropika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan dinyatakan sebagai barang terlarang.

(UU No 5 tahun 1997)

Produksi Psikotropika

Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Psikotropika golongan 1 dilarang di produksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi. Psikotropika yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya.

(UU No 5 tahun 1997)

Peredaran Psikotropika

Peredaran adalah serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan


psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupu
pemindah tanganan. Psikotropika dapat diedarkan setelah terdaftar pada
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Peredaran psikotropika
hanya dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yang memiliki izin dari Menteri.
Sarana kesehatan yang dimaksud meliputi pabrik obat, pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,puskesmas,
balai pengobatan, lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dan dokter.
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.

1. Penyaluran
Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga
penelitian atau lembaga Pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lainnya,
apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit
dan lembaga penelitian atau lembaga Pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah kepada rumah sakit
pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah.

Penyaluran psikotropika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik


obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian atau lembaga
Pendidikan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Penyaluran psikotropika
Golongan II, III, dan VI yang berupa obat hanya dapat dilakukan oleh
pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, lembaga penelitian atau
lembaga Pendidikan. Penyaluran dari sarana penyimpanan pemerintah
hanya dapat disalurkan kepada rumah sakit, puskesmas dan balai
pengobatan dilingkungan pemerintahan. Psikotropika yang digunakan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik
obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian atau lembaga
Pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga penelitian yang
bersangkutan. Penyaluran psikotropika golongan II, golongan III, dan
golongan IV yang berupa obat dilakukan sebagai berikut:

a. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Departemen Kesehatan hanya


dapat menyalurkan kepada rumah sakit Pemerintah dan puskesmas.
b. Sarana penyimpanan sediaan farmasi ABRI hanya dapat menyalurkan
kepada rumah sakit dan bali pengobatan di lingkungan ABRI.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi BUMN yang telah
menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya dapat menyalurkan
kepada rumah sakit dan balia pengobatan di lingkungannya.

Penyaluran psikotropika dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan yang


ditanda tangani oleh penanggung jawab obat di sarana kesehatan, lembaga
penelitian dan lembaga Pendidikan dengan menggunakan contoh formulir.
Penanggung jawab yang dimaksud adalah:

a. lembaga penelitian dan lembaga Pendidikan adalah dokter atau


apoteker.
b. Pedagang besar farmasi adalah apoteker atau asisten apoteker.
c. Rumah sakit adalah apoteker.
d. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah adalah apoteker.
e. Puskesmas adalah dokter.

Pengiriman psikotropika dalam rangka penyaluran harus dilengkapi


dengan surat pesanan dan surat pengantar barang dan sarana pengangkutan
psikotropika hanya boleh membawa psikotropika sesuai dengan jumlah
yang tercantum dalam surat pesanan, dan surat pengantar barang.

2. Penyerahan

Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan


oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek.
Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III dan golongan IV yang
berupa obat dapat dilakukan oleh apotek kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pengguna/pasien.
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengobatan, puskesmas dilaksanakan berdasarkan resep dokter dan dapat
diperoleh dari apotik. Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III,
dan golongan IV yang berupa obat dapat dilakukan oleh dokter kepada
pengguna/pasien dalam hal:

a. Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan.


b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Penyerahan psikotropika golongan II,III,dan golongan IV yang berupa


obat dapat dilakukan oleh apotek kepada:

a. Apotik lainnya : surat permintaan ditulis yang ditanda tangani


Apoteker Pengelola Apotik.
b. Rumah sakit : surat permintaan ditulis yang ditanda tangani Direktur
Rumah Sakit.
c. Puskesmas : surat permintaan ditulis Kepala Puskesmas.
d. Balai pengobatan : surat permintaan ditulis Dokter Penanggung Jawab
Balai Pengobatan.
e. Dokter/ Pasien : berdasarkan resep dokter.

(UU No 5 tahun 1997 dan Permenkes 688 tahun 1997)

Ekspor dan Impor Psikotropika

1. Ekspor
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika, psikotropika
dan/atau prekursor farmasi dari daerah pabean Indonesia. Ekspor
psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar
farmasi yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Persetujuan Ekspor
yang selanjutnya disingkat SPE adalah surat persetujuan untuk
mengekspor narkotika, psikotropika dan/atau prekursor farmasi. Eksportir
Produsen Psikotropika yang selanjutnya disebut EP Psikotropika adalah
industri farmasi yang mendapat izin sebagai eksportir psikotropika.
Eksportir Produsen Prekursor Farmasi yang selanjutnya disebut EP
Prekursor Farmasi adalah industri farmasi yang mendapat izin sebagai
eksportir prekursor farmasi. Eksportir Terdaftar Psikotropika yang
selanjutnya disebut ET Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang
mendapat izin sebagai eksportir psikotropika. Eksportir Terdaftar
Prekursor Farmasi yang selanjutnya disebut ET Prekursor Farmasi adalah
pedagang besar farmasi yang mendapat izin sebagai eksportir prekursor
farmasi.
Ekspor Narkotika hanya dapat dilakukan oleh satu perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin khusus
sebagai eksportir dari Menteri. Menteri mendelegasikan pemberian izin
khusus sebagaimana dimaksud kepada Direktur Jenderal. Dalam hal
perusahaan PBF milik negara tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam
melakukan Ekspor Narkotika, Direktur Jenderal dapat memberikan izin
khusus kepada perusahaan PBF milik negara lainnya. Dalam rangka
pelaksanaan Ekspor, eksportir yang memiliki izin khusus sebagai eksportir
Narkotika, EP Psikotropika/EP Prekursor Farmasi, atau ET
Psikotropika/ET Prekursor Farmasi wajib menyampaikan informasi secara
tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan
yang memuat:
a. Perkiraan tanggal pelaksanaan ekspor.
b. Jenis transportasi (laut/udara) termasuk nama dan nomor
penerbangan/nama dan nomor kapal.
c. Rincian pengiriman (nama pelabuhan/bandara negara importir dan
transit bila ada).
d. Perkiraan tanggal tiba di negara importir.
2. Impor
Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika, psikotropika dan/atau
prekursor farmasi ke dalam daerah pabean Indonesia. Impor psikotropika
hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang
telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta lembaga penelitian atau lembaga
pendidikan.Surat Persetujuan Impor yang selanjutnya disingkat SPI adalah
surat persetujuan untuk mengimpor narkotika, psikotropika dan/atau
prekursor farmasi. Importir Produsen Psikotropika yang selanjutnya
disebut IP Psikotropika adalah industri farmasi yang menggunakan
psikotropika sebagai bahan baku proses produksi yang mendapat izin
untuk mengimpor sendiri psikotropika. Importir Produsen Prekursor
Farmasi yang selanjutnya disebut IP Prekursor Farmasi adalah industri
farmasi yang menggunakan prekursor farmasi sebagai bahan baku atau
bahan penolong proses produksi yang mendapat izin untuk mengimpor
sendiri prekursor farmasi. Importir Terdaftar Psikotropika yang
selanjutnya disebut IT Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang
mendapat izin untuk mengimpor psikotropika guna didistribusikan kepada
industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna akhir
psikotropika. Importir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya
disebut IT Prekursor Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang
mendapat izin untuk mengimpor prekursor farmasi guna didistribusikan
kepada industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna
akhir prekursor farmasi. Impor Narkotika hanya dapat dilakukan oleh 1
(satu) perusahaan PBF milik negara yang telah memiliki izin khusus
sebagai importir dari Menteri. Impor Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Lembaga
Ilmu Pengetahuan. Impor Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan SPI dari Menteri.
SPI sebagaimana dimaksud berlaku untuk setiap kali pelaksanaan impor.
Pelaksanaan impor psikotropika hanya dapat dilaksanakan setelah
mendapatkan SPI (Surat Persetujuan importir) dari Menteri melalui
Direktur Jendral. SPI hanya berlaku untuk setiap kali pelaksanaan impor.
1. IP Psikotropika hanya dapat mengimpor psikotropika untuk kebutuhan
proses produksi sendiri dan tidak untuk diperdagangkan atau
dipindahtangankan.
2. IT Psikotropika hanya dapat mengimpor psikotropika berdasarkan
pesanan dari industri farmasi atau lembaga ilmu pengetahuan dan
wajib didistribusikan langsung kepada industri dan lembaga ilmu
pengetahuan pemesan.
3. IP dan IT Psikotropika wajib menunjukkan lembaran asli SPI kepada
petugas bea cukai setempat untuk pengisian kartu kendali realisasi
impor dalam setiap pelakssanaan impornya.

(UU No 5 tahun 1997 dan Permenkes No 10 tahun 2013)

B. Hukum Label, Iklan, Kebutuhan Tahunan Dan Pelapor, Serta Pengguna


Psikotropika Dan Rehabilitas
1. Hukum Label dan Iklan Psikotropika
Pasal 29 ayat (1) menjelaskan “Pabrik obat wajib mencatumkan label pada
kemasan psikotropika”.
Pasal 29 ayat (2) menjelaskan “Label psikotropika adalah setiap keterangan
mengenai psikotropika yang dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan
tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukan dalam
kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wilayah wasah dan/atau
kemasannya”.
Pasal 30 ayat (1) menjelaskan “Setiap tulisan berupa keterengan yang
dicantumkan pada label psikotropika harus lengkap dan tidak menyesatkan”.
Pasal 30 ayat (2) menjelaskan “Menteri menetapkan persyaratan dan/atau dilarang
dicantumkan pada label psikotropika”.
Pasal 31 ayat (1) menjelaskan “Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media
cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi”.
Pasal 31 ayat (2) menjelaskan “Persyaratan materi iklan psikotropika sebagaimana
dimaksud Pasal 30 ayat (1) diatur oleh Menteri”.
2. Hukum Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan
Pasal 32 menjelaskan “Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan untuk setiap tahun”.

Pasal 33 ayat (1) menjelaskan “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib
membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang
berhubungan dengan psikotropika”.

Pasal 33 ayat (2) menjelaskan “Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan


atas pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan catatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)”.

Pasal 34 menjelaskan “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit,
puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan
catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara
berkala”.

Pasal 35 menjelaskan “Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusunan


rencana kebutuhan tahunan psikotropika dan mengenai pelaporan kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika diatur oleh Menteri”.

3. Hukum Penggunaan Psikotropika dan Rehabilitasi


Pasal 36 ayat (1) menjelaskan “Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki,
menyimpan dan/atau membawa psikotropika untuk digunakan dalam rangka
pengobatan dan/atau perawatan”.

Pasal 36 ayat (2) menjelaskan “Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa psikotropika yang dimiliki, disimpan,
dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)”.

Pasal 37 ayat (1) menjelaskan “Pengguna psikotropika yang menderita sindroma


ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau
perawatan”.

Pasal 37 ayat (2) menjelaskan “Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi”.

Pasal 38 menjelaskan “Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita


sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau
mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya”.
Pasal 39 ayat (1) menjelaskan “Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang
menderita sindroma ketergantungan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat”.

Pasal 39 ayat (2) menjelaskan “Rehabilitasi fasilitas dimaksud pada ayat (1)
meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Pasal 39 ayat (3) menjelaskan “Penyelenggara fasilitas rehabilitasi medis


sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan atas dasar izin oleh
Menteri”.

Pasal 39 ayat (4) menjelaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan


rehabilitasi dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Pasal 40 menjelaskan “Pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh


wisatawan asing atau warga negara asing yang memasuki wilayah negara
Indonesia dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan dan/atau
kepentingan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika berupa obat dimaksud diperoleh secara sah”.

Pasal 41 menjelaskan “Penggunaan psikotropika yang menderita sindroma


ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat
diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan”.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang


standar rehabilitasi sosial penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya

Dalam peraturan Menteri Sosial, yang dimaksudkan rehabilitasi adalah


proses refungisonalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang
mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan dari standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA, yaitu :

a. Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi penyalahgunaan


NAPZA
b. Memberi perlindungan terhadap korban dari kesalahan prakti
c. Memberika arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi sosial
penyalahgunaan NAPZA
d. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi
sosial penyalahgunaan NAPZA.

Pada pasal 3 Permensos 2012, sasaran rehabilitasi sosial meliputi pemerintah dan
pemerintah daerah, serta lembaga rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA.
C. Hukum Pemusnahan, Peran Serta Masyarakat, Dan Penyidikan
1. Hukum Pemusnahan
Hukum pemusnahan terdapat pada pasal 53 uu no 5 tahun 1997 tentang
psikotropika, terdapat 4 pasal. Pada ayat 1 menerangkan tentang Pemusnahan
psikotropika dilaksanakan karena beberapa hal antara lain
a. Berhubungan dengan tindak pidana;
b. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika;
c. kadaluwarsa;
d. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk kepentingan
ilmupengetahuan.
Pada ayat kedua sub bab pertama membahas pihak-pihak yang melakukan
pemusnahan psikotropika yang dijelaskan pada ayat pertama yakni suatu tim yang
terdiri dari pejabat yang mewakili departemen yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan
Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah pejabat dari instansi terkait
dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut, dalam waktu tujuh hari
setelah mendapat kekuatan hokum tetap.
Pada ayat kedua sub babdi khusus pada golongan I, pemusnahan
psikotropika wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan
penyitaan; dan pada ayat ketiga ketika pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan
berita acara mengenai pemusnahan psikotropika, pada ayat keempat menerangkan
bahwa segala sesuatu mengenai pemusnahan yang tidak tercantum dalam uu akan
ditentukan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika di te-tapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Mengenai sanksi yang di tetapkan Sesuai dengan uu no 5 tahun 1997 pasal
63 pemusnahan harus dilakuakan sesuai dengan pasal 53 ayat 3 dan 2 dan ketika
pemusnahan tidak sesuai akan dilakukan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Hukum Peran Masyarakat

Hukum peran masyarakat terdapat pada UU no 5 tahun 1997 pasal 54


tentang psikotropika terdapat empat ayat, pada ayat 1 menerangkan tentang
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta
dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan
psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Pada ayat kedua menerangkan bahwa Masyarakat wajib melaporkan kepada
pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang
disalahgunakan dan atau dimiliki secara tidak sah. Pada ayat ketiga
menerangkan bahwa Pelapor yang dibahas pada perlu mendapatkan jaminan
keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang.
Pada ayat keempat menerangkan bahwa Ketentuan lebih lanjut
mengenai peran serta masyarakat yang belum dibahas dalam uu akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Hukum Penyidikan
Hukum penyidikan pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), kemudian
disempurnakan pada uu no 5 tahun 1997 pasal 55 sampai 58. Pada pasal 55
menerangkan tentang teknik melakukan penyidikan penyerahan yang diawasi
dan teknik pembelian terselubung, antara lain yakni
a. Membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat
perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan;
b. Menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi
elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga
keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana
psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30
(tiga puluh) hari.
Pada pasal 56 menerangakan tentang beberapa proses penyidikan
yakni pada ayat pertama menyebutkan bahwa Selain penyidik pejabat polisi
negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagai mana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 76, TambahanLembaran Negara Nomor 3209)
untuk melakukan penyidikan tindak pidana seba-gaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Pada ayat kedua menerangkan beberapa menjabarat dari ayat pertama
mengenai kewenangan seorang penyidik yakni :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta kete-rangan
tentang tindak pidana di bidang psikotropika.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melaku-kan
tindak pidana di bidang
psikotropika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang psikotro-pika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
e. melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti
yang disita dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
f. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang psikotropika;
g. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau
alat-alat perhubungan lainnya
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan;
h. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang psikotropika;
i. menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.
Dan hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku, terutama mengenai tata cara penyidikan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah saat terjadi proses penyidikan
Pada pasal 57 terdapat 2 ayat, pada ayat pertama tata cara ketika
penyidikan yakni Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam
perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut
nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat
terungkapnya identitas pelapor. Dan pada ayat kedua Pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi
peringatan terlebih dahulu kepada saksi dan/atau orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana psikotro-pika, untuk tidak
menyebut identitas pelapor, sebagaimana di-maksud pada ayat (1).
Pada pasal 58 menerangkan akan pentingnya prose penyidikan
bahwa Perkara psikotropika, termasuk perkara yang lebih didahulukan
dari-pada perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna pemeriksaan dan
penyelesaian secepatnya.
D. Hukum Ketentuan Pidana,Pembinaan Dan Pengawasan
1. Hukum Pembinaan dan Pengawasan
Hukum mengenai pembinaan dan pengawasan psikotropika diatur di
dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997. Pada
bagian pembinaan terletak pada bab X pasal 45 menyebutkan bahwa
pembinaan dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika kemudian, pada pasal 46 pembinaan
diarahkan untuk:

a. Terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan


kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
c. Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat
menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas terjadinya penyalahgunaan
psikotropika.
d. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
e. Mencegah pelibatan anak yang belum cukup berumur 18 tahun dalam
kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika.
f. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
teknologi di bidang psikotropika guna pelayanan kesehatan.

Pada pasal 47 disebutkan dalam rangka pembinaan pemerintah dapat


melakukan kerja sama internasional dibidang psikotropika sesuai dengan
kepentingan nasional. Pada pasal 48, dalam rangka pembinaan, pemerintah
dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa
dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau
mengungkapkan peristiwa tindak pidana dibidang psikotropika.

Hukum mengenai Pengawasan diatur pada bab X pasal 50 disebutkan


pada pasal tersebut ayat 1 bahwa pemerintah melakukan pengawasan terhadap
segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam rangka pengawasan
disebutkan pada ayat 2, pemerintah berwenang:

a. Melaksanakan pemeriksaan setempat dan pengambilan di beberapa


tempat. Misalnya, pemeriksaan pada sarana produksi, penyaluran,
pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas
rehabilitasi.
b. Memeriksa surat atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan dibidang
psikotropika.
c. Melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak memenuhi
standar dan persyaratan.
d. Melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.

Pelaksanaan pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas.


Kemudian pada pasal 51 ayat 1 disebutkan dalam rangka pengawasan,
tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan lembaga pendidikan, dan
fasilitas rehabilitasi dilakukan oleh menteri. Tindakan administratif pada ayat
2 dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan,
denda administratif dan pencabutan izin praktek. Pada pasal 52, ketentuan
lebih lanjut mengenai pengawasan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan


kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,
kesehatan jasmani dan rohani narapidana. Pembinaan dilaksanakan melalui 4
tahap sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu (Adi, 2004):
1. Tahap pertama, pembinaan tahap awal dimana kegiatan masa pengamatan,
penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan
program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai
pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana dengan 1/3 dari
masa pidananya. Pembinaan tahap ini dilakukan dalam LAPAS dan
pengawasan maksimum security.
2. Tahap kedua, jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana
yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Permasyarakatan
(TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan
keinsyafan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan
kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui
pengawasan medium security.
3. Tahap ketiga, jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½
dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai
cukup maju, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi
yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama dimulai
sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya, tahap
kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3
dari masa pidanya. Dalam tahap ini diberikan pembebasan bersyarat atau
cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.
4. Tahap keempat, pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang
memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan
bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh balai
pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien
pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan
program yang harus diikuti. Program-program pembinaan yang dimaksud
meliputi dua bidang (Departemen Kehakiman RI, 1990):
 Pembinaan Kepribadian yang meliputi :
a. Pembinaan kesadaran beragama;
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. Pembinaan kemampuan intelektual;
d. Pembinaan kesadaran hukum;
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.
 Pembinaan Kemandirian yang meliputi :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha mandiri, misalnya kerajinan
tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat elektronika dan
sebagainya;
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya
pengelolaan bahan mentah sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan
setengah jadi atau jadi (mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga,
pengolahan makanan ringan berikut pengawetannya, pembuatan batu bata,
genteng dan batako);
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-
masing;
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan
pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau
teknologi tinggi.

2. Hukum Ketentuan Pidana


Hukum mengenai ketentuan pidana psikotropika diatur pada undang
undang no 5 tahun 1997 pasal 59 ayat 1 menyebutkan barangsiapa
menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat 2,
memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, mengedarkan psikotropika
golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
ayat 3, mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, secara tanpa hak memiliki, menyimpan atau membawa
psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pada ayat 2 pasal 59 jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada


ayat 1 dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda
sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pada ayat 3,
jika tindak pidana dilakukan korporasi maka disamping dipidananya pelaku
tindak pidana, kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pada ayat 1 pasal 60, barangsiapa memproduksi psikotropika selain


yang ditetapkan dalam ketentuan pasal 5, memproduksi atau mengedarkan
psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memnuhi standar atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, memproduksi atau mengedarkan
psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pada ayat 2 pasal 60 barangsiapa menyalurkan psikotropika selain


yang ditetapkan dalam pasal 12 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Pada ayat 3 pasal 60 barangsiapa menerima penyaluran
psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 12 ayat 2 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pada ayat 4 pasal 60 barangsiapa
menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 14 ayat 1, pasal
14 ayat 2, pasal 14 ayat 3 dan pasal 14 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Pada 5 pasal 60 barangsiapa menerima penyerahan
psikotropika selian yang ditetapkan dalam pasal 14 ayat 3, pasal 14 ayat 4
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang
menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 bulan.

Kemudian pasal 61 ayat 1 menyebutkan barangsiapa yang mengekspor


atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam pasal 16,
mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau
surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, melaksanakan
pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor dalam pasal 22 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pada pasal 61 ayat
2 disebutkan barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada
yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 62 menyebutkan bahwa apabila seseorang secara tanpa hak,


memiliki dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara
laing lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pada pasal 63 ayat 1 menyebutkan
barangsiapa melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen
pengangkutan, melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak
memenuhi ketentuan, melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak
memenuhi ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah), kemudian pada pasal 63 ayat 2 barangsiapa tidak mencantumkan
label, mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label, mengiklankan
psikotropika selain yang ditentukan, melakukan pemusnahan psikotropika
tidak sesuai dengan ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pada pasal 64 ayat 1 menyebutkan barangsiapa menghalang-halangi


penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan atau
perawatan pada fasilitas rehabilitasi, menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi
yang tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah). Kemudian pasal 65 menjelaskan barangsiapa tidak melaporkan
adanya penyalahgunaan atau pemilikan psikotropika secara tidak sah dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 20.000.000.00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 66
menyebutkan saksi dan orang lain yang ersangkutan dengan perkara
psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang
menyebut nama, alamt atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

E. Langkah Bijak Konsumsi Psikotropika

1. Langkah Bijak Psikotropika Golongan II


Psikotropika Golongan II merupakan psikotropika yang memiliki potensi
yang kuat dalam menyebabkan ketergantungan setelah psikotropika golongan I,
psikotropika golongan II digunakan untuk pengobatan dan penelitian misalnya,
amfetamin, metakualon. Amfetamin merupakan golongan psikotropika 2 yang
bersifat stimulan pada sistem saraf pusat yang digunakan untuk menangani
narkolepsi dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Amfetamin
bekerja dengan mengubah kadar zat alami tertentu yang mengontrol impuls di
dalam otak, sehingga meredakan gejala dari kondisi yang diderita. Semua jenis
psikotropika golongan 2 berfungsi sebagai obat namun dengan anjuran dan resep
dari dokter, tidak boleh digunakan tanpa resep dokter karena ketergantungan dari
golongan ini cukup tinggi. Jika terdapat penyalahgunaan dari psikotropika
golongan ini dapat diberlakukan Undang-undang yang berlaku karena semua jenis
tindak penyalahgunaan pada psikotropika semua golongan telah diatur di dalam
Undang undang No 5 tahun 1997.

2. Langkah Bijak Terhadap Psikotropika Golongan III dan IV


Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Bahan obat
yang digunakan dalam psikotropika golongan III daintara lain Amobarbital,
Buprenorfina dan Pentobartial. Langkah bijak dalam penggunaan obat
psikotropika harus diberikan sesuai dengan resep dokter secara sah, dikarenakan
psikotropika pada golongan ini digunakan memiliki efek sindroma ketergantungan
yang lumayan tinggi. Misalnya Pentobarbital digunakan sebagai pengobatan
darurat untuk kejang dan obat tidur saat operasi

Ada beberapa langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap psikotropika


dan bahan terlarang antara lain:
1. Program Informasi
Dalam hal ini memberikan informasi sebaiknya dilakukan secara hati-hati, dan
menghindari informasi yang sifatnya sensasional dan ambisius, karena dalam
hal ini justru akan menarik bagi mereka untuk menguji kebenarannya dan
merangsang keberaniannya. Teknik menakut-nakuti dari segi fisik, psikologis,
sosial dan hukum hanya efektif dalam keadaan sangat terbatas.
2. Program Pendidikan Efektif
Pada program ini bertujuan untuk pengembangan kepribadian pendewasaan
pribadi meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang bijak,
mengatasi tekanan mental secara efektif, meningkatkan kepercayaan diri,
menghilangkan gambaran negatif mengenai diri sendiri dan meningkatkan
kemampuan komunikasi. Hasil pendidikan ini dapat berupa pengenalan tentang
diri, perilaku asertif, berfikir positif, dan pemecahan masalah secara efektif.
3. Program Penyediaan Pilihan Yang Bermakna
Konsep ini bertujuan untuk mengalihkan penggunaan zat adiktif pada pilihan lain
yang diharapkan dapat memberikan kepuasaan bagi kebutuhan manusiawi yang
mendasar yaitu bio-psiko-sosial-spiritual.Kebutuhan yang dimaksud antara lain
ingin tau kebutuhan mengalami hal-hal baru dalam hidupnya, kebutuhan
terbentuknya identitas diri, kebutuhan akan bebas berfikirdan berbuat,
kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri serta
kebutuhan diri serta kebutuhan diri diterima dalam kelompok.
4. Pengenalan Diri dan Intervensi Dini
Mengenal dengan baik cirri-ciri anak yang mempunyai resiko tinggi untuk
menggunakan Napza merupakan suatu langkah yang bijaksana, baik yang
berada dalam taraf coba-coba, iseng, pemakai tetap maupun yang telah
ketinggalan, kemudian segera memberikan dukungan moril dan
penanganan,apabila anak mengalami atau mengghadapi masa krisis dalam
hidupnya. Dalam hal ini kerjasama antara orang tua, guru serta masyarakat
sangat penting jika tidak teratasi segera dirujuk ke tenaga ahli psikolog maupun
psikiater.
5. Program Pelatihan Ketrampilan Psikososial
Program latihan ini diterapkan atas dasar teori belajar, yang mengatakan bahwa
gangguan penyalahgunaan Napza merupakan perilaku yang dipelajari individu
dalam lingkup pergaulan sosialnya.Perilaku ini mempunyai maksud dan arti
tertentu bagi yang bersangkutan.Dalam pelatihan ini terdiri dari dua golongan
yaitu,pertama Psychological Inoculation dalam pelatihan ini diputar film yang
memperlihatkan bagaimana remaja mendapatkan tekanan dari pergaulannya,
kemudian dalam hal ini dikembangkan sikap remaja untuk menentang dorongan
dan tekanan tersebut.Kedua Personal and Social Skill training kepada remaja
dikembangkan suatu ketrampilan dalam menghadapi problema hidup umum
termasuk merokok dan penyalahgunaan Napza. Ketrampilan ini mengajarkan
kepada remaja agar mampu mengatakan tidak, serta mengembangkan
keberanian dan ketrampilan untuk mengekspresikan kebenaran, sehingga
remaja terbebas dari bujukan atau tekanan kelompoknya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang dapat


berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang
disertakan pada kemasan atau dimasukan dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wilayah wasah dan/atau kemasannya, sedangkan iklan
Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran
dan/atau media cetak ilmiah farmasi.
2. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib membuat dan
menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan
dengan psikotropika dan dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
3. Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan
dan rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma
ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan
kemampuan fisik
4. Pelaku delik psikotropika, dalam UU No. 5 Tahun 1997, Bab XIV tentang
Ketentuan Pidana, Pasal 59-72, dapat dikenai hukuman pidana penjara sampai
20 tahun dan denda sampai Rp. 750 juta. Berat ringannya hukuma tergantung
pada tingkat penyalahgunaan narkoba, apakah sebagai pemakai, pengedar,
penyalur, pengimpor atau pengekspor, produsen illegal, sindikat, membuat
korporasi dan sebagainya.
5. Pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang ber-
hubungan dengan psikotropika, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
oleh masyarakat dilengkapi dengan surat tugas.
6. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika disertai dengan pengawasan
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sujatno. 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia
Mandiri. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan
HAM RI: Jakarta

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/


Tahanan, Cetakan I Tahun 1990, hlm 10.

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana /


Tahanan, Cetakan I Tahun 1990, hlm 10.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang


Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika
Dan Zat Adiktif Lainnya.

Permenkes 688 tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika.

Permenkes No 10 tahun 2013 tentang Impor Dan Ekspor Narkotika, Psikotropika,


Dan Prekursor Farmasi.

UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Undang undang no 5 tahun 1997 mengenai Psikotropika

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 mengenai Psikotropika

Anda mungkin juga menyukai