Anda di halaman 1dari 27

TUGAS 5

KAJIAN SAINS KIMIA

Oleh :

Nama : Ageng Kastawaningtyas


NIM : 18070795036
Kelas : S2 Pendidikan Sains 2018 D

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN SAINS
2019
A. Metode Pembuatan Larutan
Ketika mempelajari kimia dikenal adanya larutan. Larutan (solution) merupakan
campuran homogen antar 2 atau lebih zat berbeda jenis, ada dua komponen utama pembentuk
larutan yaitu zat pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Larutan yang menggunakan air
sebagai pelarut dinamakan larutan dalam air atau aqueous. (Mulyono, 2005). Karena larutan
adalah campuran molekul (atom atau ion dalam beberapa hal), biasanya molekul-molekul
pelarut agak berjauhan dalam larutan sebanding dalam pelarut murni (H.Petruci, 2002).
Berdasarkan pelarut, larutan dapat dibagi tiga, yaitu larutan gas, larutan cair dan
larutan padat. Dalam larutan gas tidak banyak interaksi atau pengaruh suatu komponen
terhadap yang lain, karna partikelnya sangat berjauhan. Dalam larutan cair, antara partikel
komponen larutan terdapat interaksi yang relatif kuat. Partikel zat terlarut bergerak bersama
pelarut ke segala arah dalam bejana. Oleh sebab itu, dua jenis zat terlarut dapat bertabrakkan
dan menimbulkan reaksi. Dalam larutan padat, pelarut tidak dapat sebagai medium karena
partikelnya tidak bergerak kecuali bila di cairkan.
Larutan didefinisikan sebagai campuran homogen antara dua atau lebih zat yang
terdispersi baik sebagai molekul, atom maupun ion yang komposisinya dapat berpariasi.
Larutan dapat berupa gas, cairan, atau padatan. Larutan encer adalah larutan yang
mengandung sebagian kecil solute relative terhadap jumlah pelarut. Sedangkan larutan pekat
adalah larutan yang mengandung sebagian besar solute. Solute adalah zat terlarut. Sedangkan
solvent (pelarut) adalah medium dalam mana solute terlarut (Baroroh, 2004).
Suatu larutan terdiri atas dari dua komponen yang penting. Biasanya salah satu
komponen yang mengandung jumlah zat yang lebih banyak disebut pelarut (solvent). Pelarut
dipandang sebagai pembawa atau medium zat terlarut yang dapat berperan serta dalam reaksi
kimia. Kemudian, komponen lainnya yang mengandung zat yang lebih sedikit disebut zat
terlarut (solute). Kedua komponen dalam larutan dapat sebagai pelarut atau terlarut
tergantung komposisinya. Larutan di bagi menjadi tiga jenis yitu:
1. Larutan tak jenuh yaitu larutan yang mengandung solute kurang dari yang diperlukan
untuk membuat larutan jenuh.
2. Larutan jenuh yaitu suatu larutan yang mengandung sejumlah solute yang larut dan
mengadakan kesetimbangan dengan solute padatnya.
3. Larutan lewat jenuh yaitu larutan yang mengandung lebih banyak solute yang
diperlukan dari pada solvent.
Berdasarkan banyak sedikitnya zat terlarut dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Larutan pekat merupakan larutan yang mengandung relatif lebih banyak solute.
2. Larutan encer merupakan larutan yang relatif sedikit mengandung solute.
Dua senyawa dapat bercampur (micible) lebih mudah bila gaya tarik antar molekul
terlarut dan pelarut semakin besar. Besarnya gaya tarik ini ditentukan oleh jenis ikatan pada
masing- masing molekul. Bila gaya tari antara molekulnya termasuk dalam kelompok yang
sama (misalnya air dan etanol), maka keduanya akan saling melarutkan. Sedangkan bila
kekuatan gaya tarik antara molekulnya berbeda jenis (misalnya air dan heksana), maka tidak
akan saling melarutkan. Pada umumnya zat yang digunakan sebagai pelarut adalah air, selain
air yang berfungsi sebagai pelarut adalah alkohol amoniak, kloroform, benzena, minyak,
asam asetat, akan tetapi kalau menggunakan air biasanya tidak disebutkan pelarutmya.
Dalam ilmu kimia dikenal suatu ungkapan ”Like Dissolves Like,” yaitu jika molekul
terlarut dalam pelarut mirip, maka akan mudah bercampur. Secara umum, terdapat
kecenderungan kuat bagi senyawa non polar, dan senyawa kovalen polar atau senyawa ion
larut ke dalam pelarut polar. Dengan kata lain ”sejenis melarutakan sejenis,” dimana sejenis
di sini menunjukkan persamaan dalam hal kekuatan gaya tarik antara molekulnya.
Dalam membuat suatu larutan, yang tentunya akan berkaitan dengan molaritas
langsung. Maka langkah pertama adalah dengan memasukkan zat terlarut yang telah
ditimbang lebih dulu (biasanya berupa padatan dengna massa dalam ukuran gram) ke dalam
labu ukur dengan sebuah corong). Langkah berikutnya yaitu menambahkan sedikit air ke
dalam labu ukur dengan perlahan sehingga zat terlarut akan melarut dengan menggoyang-
goyangkannya.

Gambar 1. Tata cara pembuatan larutan


Kemudian jika zat sudah terlarut benar-benar terlarut, selanjutnya adalah
menambahkan sedikit demi sedikit air, dan jangan sampai melewati garis batas yang ada di
labu ukur. Dengan mengetahui suatu volume larutan yang dimasukkan ke dalam labu ukur,
dan juga mengetahui jumlah dari zat larut (seringkali diukur dalam gram, sehinga nantinya
akan dapat dirubah ke satu mol dengan rumus mol = gram/Mr) maka akan di dapat dihitung
Molaritas larutan tersebut.

B. Pengenceran dan Pemekatan Larutan


Dalam pekerjaan di laboratorium, biasanya kita menggunakan larutan yang lebih
rendah konsentrasinya dengan cara menambah pelarutnya, misalnya laboratorium kimia
membeli larutan senyawa kimia dalam air yang konsentrasinya sangat pekat, cara ini adalah
cara yang paling ekonomis. Biasanya larutan yang dibeli adalah larutan pekat, sehingga
larutan ini harus diencerkan. Proses pengenceran adalah mencampur larutan
pekat(konsentrasi tiggi) dengan cara menambahkan pelarut agar diperoleh volume akhir yang
lebih besar. Jadi membuat konsentrasi larutan tersebut menjadi lebih rendah.
Hal yang paling penting untuk pengamanan pada saat pengenceran, jika suatu larutan
senyawa kimia yang pekat diencerkan, kadang-kadang sejumlah panas dilkepaskan, terutama
pada pengenceran asam sulfat pekat. Agar panas ini dapat dihilangkan dengan aman maka
asam sulfat yang ditambahkan ke dalanm air, tidak boleh sebaliknya. Jika air yang
ditambahkan ke dalam asam sulfat pekat, panas yang dilepaskan akan begitu besar dan
menyebabkan air mendadak mendidih dan menyebabkan asam sulfat memercik dan akan
merusak kulit.
Biasanya larutan dibuat dan disimpan didalam laboratorium dengan konsentrasi yang
tinggi sebagai larutan “stok”. Hal tersebut akan mengurangi waktu dibanding harus membuat
larutan pada tiap praktikum. Larutan “stok” ini nantinya hanya cukup diambil sedikit, yang
selanjutnya diencerkan sehingga konsentrasi menjadi lebih kecil dan sesuai dengan
kebutuhan. Oleh sebab itu harus mengetahui bagaimana mengencerkan larutan tersebut.

Gambar 2. (a) sebelum pengenceran (b) sesudah pengenceran


Ketika dilakukan suatu pengenceran, sebenarnya jumlah mol zat terlarut tidak
berubah, hanya saja yang mengalami perubahan adalah volumenya saja. Sebagai contoh,
apabila ada 18 molekul terlarut sebelum diencerkan, maka ketika ditambahkan air, jumlah
molekul terlarut tidak akan berubah bukan? Akan tetap jumlahnya 18 molekul. Begitu juga
dengan jumlah mol, tidak akan berubah, sehinga dapat berlaku.
n sebelum pengenceran = n sesudah pengeceran
Dan menurut rumus molaritas sebelumnya, yang mana n = M.V, maka:
n1 = n2
M1 V1 = M2 V2
Dimana M1 yaitu konsentrasi awal sebelum pengenceran dan M2 merupakan
konsentrasi larutan setelah pengenceran.
Menurut (Brady, 1999) dalam kehidupan sehari-hari di laboratorium biasanya
menggunakan larutan yang lebih rendah konsentrasinya dengan cara menambah pelarutnya
misalnya banyak laboratorium kimia membeli larutan senyawa kimia dalam air yang
konsentrasinya pekat. Biasanya larutan kimia yang dibeli ini demikian pekatnya sehingga
larutan harus diencerkan. Proses pengenceran adalah mencampur larutan pekat (konsentrasi
tinggi) dengan cara menambah pelarut agar diperoleh volume yang lebih besar.
Tabel 1. Molaritas suaut reagen

Reagen Molaritas

Asam Sulfat (H2SO4) 18

Asam Klorida (HCl) 12

Asam fosfat (H3PO4) 5

Asam Nitrat (HNO3) 16

Asam asetat (HC2H3O2) 17.5

Larutan amonium dalam air (NH3) 15


(Brady, 1999)

Melalui proses ini mol solut tetap konstan dan hanya volumenya yang bertambah. Hal
ini menunjukkan masalah yang dihadapi dalam pekerjaan yang berkaitan dengan pengenceran
jika dikalikan molaritas larutan M dengan volume V didapatkan jumlah mol dari solute.
Menurut (Rosenberg, 1996) Jika larutan diencerkan, volumenya bertambah besar dan
konsentrasinya bertambah kecil, tetapi kuantitas total zat terlarut tidak berubah. Jadi dua buah
larutan yang konsentrasinya berbeda tetapi mengandung zat terlarut yang kuantitasnya sama,
mempunyai hubungan sebagai berikut:
V1 . M1 = V2 . M2
V1 = volume larutan awal yang dipakai
M2= Molaritas awal
V1= volume larutan standar yang akan dibuat
M2= molaritas akhir

Menurut (Brady, 1999) jika suatu larutan senyawa kimia yang pekat diencerkan
kadang-kadang sejumlah panas dilepaskan. Hal ini terutama dapat terjadi pada pengenceran
asam sulfat pekat. Agar panas ini dapat dihilangkan dengan aman, asam sulfat pekat yang
harus ditambahkan ke dalam air, tidak boleh sebaliknya.

Contoh:
Menurut (Zulfikar, 2010) Untuk pengenceran, misalnya 50 mL larutan CuSO4 dengan
konsentrasi 2 M, diubah konsentrasinya menjadi 0.5 M. Dalam benak kita tentunya dengan
mudah kita katakan tambahkan pelarutnya, namun berapa banyak yang harus ditambahkan.
Perubahan konsentrasi dari 2 M menjadi 0.5 M, sama dengan pengenceran 4 kali, yang
berarti volume larutan menjadi 4 kali lebih besar dari 50 mL menjadi 200 mL. Berapakah
nilai V2? Secara sederhana kita dapat selesaikan secara matematis :

Menurut (Agustina, 2011) Labu ukur dipakai untuk membuat larutan standar dengan
volume tertentu misalnya 10, 25, 50 mL. Jangan digunakan beaker glass untuk membuat
larutan standar sebab labu ukur lebih presisi.

Gambar 3. Ukuran labu ukur


Alat yang digunakan untuk proses pengenceran adalah labu ukur. Labu Ukur adalah
sebuah perangkat yang memiliki kapasitas antara 5 mL sampai 5 L dan biasanya instrumen
ini digunakan untuk mengencerkan zat tertentu hingga batas leher labu ukur. Alat ini
biasanya digunakan untuk mendapatkan larutan zat tertentu yang nantinya hanya digunakan
dalam ukuran yang terbatas hanya sebagai sampel dengan menggunakan pipet. Dalam sistem
pengenceran, untuk zat yang tidak berwarna, penambahan aquadest sampai menunjukkan
garis meniskus berada di leher labu. Untuk zat yang berwarna, penambahan aquadets hingga
dasar meniskus yang menyentuh leher labu (meniskus berada di atas garis leher). Sebelum
menggunakan instrumen ini, labu ukur harus dicuci terlebih dahulu. Lebih baik menggunakan
sabun agar zat – zat yang tidak dibutuhkan dapat terlarut dan akhirnya terbuang. Dalam
keadaan bagaimanapun, labu ukur yang kering sangatlah baik untuk digunakan.

Gambar 4. Tata cara pengenceran

1. Zat terlarut dimasukkan dalam sebuah labu volumetri (labu ukur)


2. Ditambahkan air suling (aquades)
3. Campuran digojog untuk melarutkan zat terlarut
4. Setelah ditambahkan aquades lagi, digunakan pipet tetes untuk menambahkan air
dengan hati – hati sampai volume permukaan cairan tepat berimpit dengan tanda
lingkaran pada leher labu.
5. Labu disumbat dan kemudian digojog agar larutan homogen.
Setelah sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengenceran, maka selanjutnya yaitu
mengenai pemekatan. Pemekatan merupakan suatu kegiatan untuk menjadikan suatu larutan
konsentrasinya lebih tinggi dari larutan yang ada atau tersedia. Untuk melakukan suatu
pemekatan dibutuhkan larutan atau zat yang konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan larutan
yang ada sehingga kita dapat membuat larutan yang kita inginkan (dan konsentrasinya lebih
tinggi dari biasanya).
Rumus umum pemekatan yang biasanya dipakai adalah
Mol larutan awal + Mol larutan pekat = Mol akhir
(V1 x M1) + (V2 x M2) = V3 x M3
(V1 x M1) + (V2 x M2) = (V1 + V2) x M3
V1 adalah volume larutan sebelum pengenceran M1 adalah konsentrasi larutan
sebelum pengenceran V2 adalah volume larutan pekat yg ditambahkan M2 adalah
konsentrasi larutan pekat yang ditambahkan V3 adalah volume akhir sesudah pemekatan oleh
karena itu V3 bisa diganti menjadi V1+V2 karena V3 merupakan volume akhir dimana
larutan encer ditambah larutan pekat M3 adalah konsentrasi akhir sesudah pemekatan
Contoh Kasus:
500mL larutan HCl 1 Molar ingin dipekatkan menjadi HCl 2 Molar menggunakan HCl 4
Molar. Berapa banyak HCl 4 M yang dibutuhkan? Dan berapa volume akhirnya?
Jawab :
(V1 x M1) + (V2 x M2) = V3 x M3
(V1 x M1) + (V2 x M2) = (V1 + V2) x M3
(500mL x 1M) + ( V2 x 4M) = (500mL + V2) x 2M
500mmol + 4M.V2 = 1000mmol + 2M.V2
-2M.V2 + 4M.V2 = 1000mmol - 500mmol
2M.V2 = 500mmol
V2 = 500mmol : 2M
V2 = 250 mL
Jadi HCl 4M yang ditambahkan adalah 250 mL

Dan jumlah larutan akhir adalah


V3 = V1 + V2
V3 = 500 mL + 250 mL
V3 = 750 mL
C. Penentuan Konsentrasi Larutan
Konsentrasi mengacu pada jumlah zat per ruang yang ditentukan. Definisi lain bahwa
konsentrasi adalah rasio zat terlarut dalam larutan baik untuk larutan total
maupun larutan total. Namun, konsentrasi zat terlarut juga dapat dinyatakan dalam mol atau
satuan volume. Meskipun biasanya diterapkan pada larutan kimia, konsentrasi dapat dihitung
untuk campuran apa pun. Dua istilah terkait terkonsentrasi dan encer . Terkonsentrasi
mengacu pada larutan kimia yang memiliki konsentrasi tinggi sejumlah besar zat terlarut
dalam larutan. Larutan encer mengandung sejumlah kecil pelarut dibandingkan dengan
jumlah pelarut. Jika suatu larutan terkonsentrasi ke titik di mana tidak ada lagi zat terlarut
yang akan larut dalam pelarut, dikatakan jenuh .
Untuk menyatakan komposisi larutan secara kuantitatif digunakan konsentrasi.
Konsentrasi adalah perbandingan jumlah zat terlarut dan jumlah pelarut, dinyatakan dalam
satuan volume (berat, mol) zat terlarut dalam sejumlah volume tertentu dari pelarut.
Berdasarkan hal ini muncul satuan-satuan konsentrasi, yaitu fraksi mol, molaritas, molalitas,
normalitas, ppm serta ditambah dengan persen massa dan persen volume.
Banyak cara menentukan konsentrasi larutan yang semuanya menyatakan kuantitas
zat terlarut dalam kuantitas pelarut atau larutan. Dengan demikian, setiap sistem konsentrasi
harus menyatakan hal-hal sebgai berikut :
1. Satuan yang digunakan untuk zat terlarut
2. Kuantitas kedua dapat berupa pelarut atau larutan keseluruhan
3. Satuan yang digunakan untuk kuantitas kedua konsentrasi.
Untuk membuat larutan dengan konsentrasi tertentu harus diperhatikan:
1. Apabila dari padatan, pahami terlebih dahulu satuan yang diinginkan. Berapa volum atau
massa larutan yang akan dibuat.
2. Apabila larutan yang lebih pekat, satuan konsentrasi larutan yang diketahui dengan
satuan yang diinginkan harus disesuaikan. Jumlah zat terlarut sebelum dan sesudah
pengenceran adalah sama, dan memenuhi persamaan :
M1V1 = M2V1
M1 : Konsentrasi larutan sebelum diencerkan
V1 : Volume larutan atau massa sebelum diencerkan
M2 : Konsentrasi larutan setelah diencerkan
V2 : Volume larutan atau massa setelah diencerkan
Konsentrasi dapat dinyatakan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Molaritas (M)
Kemolaran larutan berarti jumlah mol zat terlarut dalam setiap 1 liter larutan. Harga
molaritas dapat ditentukan dengan menghitung mol zat terlarut danvolume larutan (volume
zat terlarut dan pelarut setelah bercampur). Penentuan harga molaritas dapat menggunakan
rumus sebagai berikut:

2. Molalitas (m)
Molalitas suatu larutan adalah jumlah mol zat dalam setiap 1000 gram pelarut.
Nilainya dapat ditentukan bila mol zat dan massa pelarut diketahui. Perhitungan yang
digunakan yaitu:

Jika massa zat terlarut dan massa zat pelarut dinyatakan dalam satuan gram (g), maka:

3. Normalitas (N)
Normalitas suatu larutan asam atau basa didefinisikan sebagai jumlah ekuivalen zat
terlarut per liter larutan. Perhitungan yang digunakan yaitu:

dengan:

4. Fraksi mol (X)


Fraksi mol menyatakan perbandingan jumlah mol zat terlarut atau pelarut terhadap
jumlah mol larutan. Fraksi mol zat terlarut (Xt) dinyatakan dengan persamaan:
Fraksi mol zat pelarut (Xp) dinyatakan dengan persamaan:

dengan: nt = jumlah mol zat terlarut


np = jumlah mol zat terlarut
Hubungan antara fraksi mol zat terlarut dengan pelarut adalah:

5. Persen Berat (w/w)


Persen berat menyatakan banyaknya gram zat terlarut dalam 100 gram larutan.
Perhitungan yang digunakan yaitu:

( )

6. Persen Volume (v/v)


Persen volume menyatakan ml zat terlarut dalam 100 ml larutan. Perhitungan yang
digunakan yaitu:

( )

7. Bagian per sejuta (ppm)


Bagian persejuta menyatakan mg zat terlarut dalam 1 kg atau 1 liter larutan.
Perhitungan yang digunakan yaitu:

Metode Titrasi
Titrasi adalah penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi yang diketahui
dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah contoh yang akan dianalisis
(Sastrohamidjojo, 2001). Dalam pembuatan larutan harus dilakukan seteliti mungkin dan
menggunakan perhitungan yang tepat, sehingga hasil yang didapatkan sesuai dengan yang
diharapkan.
Untuk mengetahui konsentrasi sebenarnya dari larutanyang dilakukan maka
dilakukan standarisasi. Standarisasi percobaan ini menggunakan metode titrasi asam basa
yaitu proses penambahan larutan standar dengan larutan asam (Sastrohamidjojo, 2001).
Seperti air tawar, air laut juga mempunyai kemampuan yang besar untuk melarutkan
bermacam-macam zat, baik yang berupa gas, cairan, maupun padatan. Bahkan dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ikan dan organisme perairan ataudapat
mengakibatkan penurunan kualitas air (Sastrohamidjojo, 2001).
Selesainya suatu proses reaksi dapat dilihat dari perubahan warna, jika warna larutan
sudah berubah maka tercapailah suatu titrasi. Indikator merupakan asam dan basa kedua
dalam larutan yang dititrasi. Penyebab warna berubah adalah karena indikator lebih lemah
dari pada asam atau basa analit, sehingga indikator bereaksi terakhir dengan titrat (Suardhana,
1986).
Agar titrasi dapat berlangsung dengan baik, yang harus diperhatikan adalah :
a. Interaksi antara pentiter dan zat yang ditentukan harus berlangsung secara stoikiometri,
artinya sesuai dengan ketetapan yang dicapai dengan peralatan yang lazim digunakan
dalam titrimetri. Reaksi harus sempurna sekurang-kurangnya 99,9 % pada titik
kesetaraan.
b. Laju reaksi harus cukup tinggi agar titrasi berlangsung dengan cepat.
Titrasi dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Berdasarkan reaksi;
a. Titrasi asam basa
b. Titrasi oksidasi reduksi
c. Titrasi pengendapan
d. Titrasi kompleksometri
2. Berdasarkan titran (larutan standar) yang dipakai;
a. Titrasi asidimetri
b. Campuran penetapan akhir;
c. Cara visual dengan indikator
d. Cara elektromagnetik
3. Berdasarkan kosentrasi;
a. Makro
b. Semimikro
c. Mikro
4. Berdasarkan teknik pelaksaan;
a. Tidak langsung
b. Titrasi plank
c. Titrasi tidak langsung (Keenan, 1999).

D. Analisis Sifat Koligatif Larutan


Sifat koligatif larutan adalah beberapa sifat penting larutan bergantung pada
banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan dan tidak bergantung pada jenis partikel zat
terlarut. Selain itu sifat-sifat koligatif larutan mempunyai arti sebagai berikut:
1. Sifat larutan encer yang tidak mudah menguap dan hanya tergantung pada jumlah
partikel zat terlarut, tidak tergantung pada jenis zat terlarut.
2. Sifat dari larutan yang bergantung pada jumlah volume pelarut dan bukan pada massa
partikel.
3. Sifat koligatif larutan terdiri dari dua jenis, yaitu sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat
koligatif larutan non elektrolit. Apabila suatu pelarut ditambah dengan sedikit zat terlarut
perhatikan gambar berikut:

Gambar diagram fasa


Maka akan didapat suatu larutan yang mengalami:
a. Penurunan tekanan uap jenuh
b. Kenaikan titik didih
c. Penurunan titik beku
d. Tekanan osmotik
4. Di dalam suatu larutan banyaknya partikel ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat
larutan itu sendiri.
5. Jumlah partikel yang ada dalam larutan non elektrolit tidak sama dengan jumlah partikel
yang ada dalam larutan elektrolit, walaupun keduanya mempunyai konsentrasi yang
sama. Hal ini dikarenakan larutan elektrolit dapat terurai menjadi ion-ionnya, sedangkan
larutan non elektrolit tidak dapat terurai menjadi ion-ion.
Dengan demikian sifat koligatif larutan dapat dibedakan atas sifat koligatif larutan
non elektrolit dan sifat koligatif larutan elektrolit.antara lain:
1. Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit
Sifat koligatif larutan non elektrolit sangat berbeda dengan Sifat koligatif
larutan elektrolit, disebabkan larutan non elektolit tidak dapat mengurai menjadi ion –
ion nya. Maka Sifat koligatif larutan non elektrolit dapat di hitung dengan
menghitung tekanan uap, titik didih, titik beku, dan tekanan osmosis. Menurut hukum
sifat koligatif, selisih tekanan uap, titik beku, dan titik didih suatu larutan dengan tekanan
uap, titik beku, dan titik didih pelarut murninya, berbanding langsung dengan konsentrasi
molal zat terlarut. Larutan yang bisa memenuhi hukum sifat koligatif ini disebut larutan
ideal. Kebanyakan larutan mendekati ideal hanya jika sangat encer.
Meskipun sifat koligatif melibatkan larutan, sifat koligatif tidak bergantung
pada interaksi antara molekul pelarut dan zat terlarut, tetapi bergatung pada jumlah zat
terlarut yang larut pada suatu larutan. Sifat koligatif terdiri dari penurunan tekanan uap,
kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmotik.
2. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit
Larutan elektrolit memperlihatkan sifat koligatif yang lebih besar dari hasil
perhitungan dengan persamaan untuk sifat koligatif larutan nonelektrolit di atas.
Perbandingan antara sifat koligatif larutan elektrolit yang terlihat dan hasil perhitungan
dengan persamaan untuk sifat koligatif larutan non elektrolit, menurut Van’t
Hoff besarnya selalu tetap dan diberi simbol i (i = tetapan atau faktor Van’t Hoff ).
Dengan demikian dapat dituliskan:
i = sifat koligatif larutan eklektrolit dengan kosentrasi m / sifat koligatif
larutan nonelektrolit dengan kosentrasi m:

Keterangan:
n = jumlah seluruh ion zat elektrolit (baik yang + maupun -)
α = derajat ionisasi larutan elektrolit (untuk elektrolit kuat α = 1)
Semakin kecil konsentrasi larutan elektrolit, harga i semakin besar, yaitu semakin
mendekati jumlah ion yang dihasilkan oleh satu molekul senyawa elektrolitnya. Untuk
larutan encer, yaitu larutan yang konsentrasinya kurang dari 0,001 m, harga i dianggap
sama dengan jumlah ion.
Sifat –sifat koligatif larutan elektrolit terdiri-dari:
1). Tekanan Uap Larutan
Tekanan uap larutan lebih rendah dari tekanan uap pelarut murninya. Pada larutan
ideal, menurut hukum Raoult, tiap komponen dalam suatu larutan melakukan tekanan
yang sama dengan fraksi mol kali tekanan uap dari pelarut murni.
0
P =X .P
A A A

P = tekanan uap yang dilakukan oleh komponen A dalam larutan.


A

X = fraksi mol komponen A.


A
0
P = tekanan uap zat murni A.
A

Dalam larutan yang mengandung zat terlarut yang tidak mudah menguap (tak-atsiri
atau nonvolatile), tekanan uap hanya disebabkan oleh pelarut, sehingga P dapat dianggap
A

sebagai tekanan uap pelarut maupun tekanan uap larutan.


2). Titik Didih Larutan
Titik didih larutan bergantung pada kemudahan zat terlarutnya menguap. Jika zat
terlarutnya lebih mudah menguap daripada pelarutnya (titik didih zat terlarut lebih rendah),
maka titik didih larutan menjadi lebih rendah dari titik didih pelarutnya atau dikatakan titik
didih larutan turun. Berdasarkan hukum sifat koligatif larutan, kenaikan titik didih larutan
dari titik didih pelarut murninya berbanding lurus dengan molalitas larutan.
Δt = k . m
b b

Δt = kenaikan titik didih larutan.


b

k = kenaikan titik didih molal pelarut. m = konsentrasi larutan dalam molal


b

3). Penurunan Titik Beku Larutan


Proses pembekuan suatu zat cair terjadi bila suhu diturunkan sehingga jarak antar
partikel sedemikian dekat satu sama lain dan akhirnya bekerja gaya tarik menarik antar
molekul yang sangat kuat. Adanya partikel-partikel dari zat terlarut akan menghasilkan
proses pergerakan molekul-molekul pelarut terhalang, akibatnya untuk mendekatkan jarak
antar molekul diperlukan suhu yang lebih rendah. Perbedaan suhu adanya partikel-partikel zat
terlarut disebut penurunan titik beku. Pada saat zat konvalatil ditambahkan kedalam larutan
maka akan terjadi penurunan titik beku larutan tersebut.
Seperti halnya kenaikan titik didih, penurunan titik beku larutan sebanding dengan hasil
kali molalitas larutan dengan tetapan penurunan titik beku pelarut (Kf) dinyatakan dengan
persamaan:
ΔTf = Kf . m untuk sifat koligatif larutan elektrolit: ΔTf = Kf . m.i
Tf = Kf ( n x )

Tf = penurunan titik beku 0C


Kf = tetapan titik beku molal (f=freeze)
n = jumlah mol zat terlarut
p = massa pelarut
Titik beku larutan merupakan titik beku pelarut murni dikurangi dengan
penurunan titik bekunya. Pengukuran penurunan titik beku, seperti halnya peningkatan titik
didih, dapat digunakan untuk menentukan massa molar zat yang tidak diketahui.
Gejala penurunan titik beku analog dengan peningkatan titik didih. Di sini kita hanya
mempertimbangan kasus jika padatan pertama yang mengkristalkan dari larutan adalah
pelarut murni. Jika zat terlarut mengkristal bersama pelarut, maka situasinya akan lebih
rumit. Pelarut padat murni berada dalam kesetimbangan dengan tekanan tertentu dari uap
pelarut, sebagimana ditentukan oleh suhunya. Pelarut dalam larutan demikian pula, berada
dalam kesetimbangan dengan tekanan tertentu dari uap pelarut. Jika pelarut padat dan pelarut
dalam larutan berada bersama-sama, mereka harus memiliki tekanan uap yang sama. Ini
berarti bahwa suhu beku larutan dapat diidentifikasi sebagi suhu ketika kurva tekanan uap
pelarut padat murninya berpotongan dengan kurva larutan. Jika zat terlarut ditambahkan ke
dalam larutan, tekanan uap pelarut turun dan titik beku, yaitu suhu ketika kristal pertama
pelarut murni mulai muncul, turun. Selisih dengan demikian bertanda negatif dan penurunan
titik beku dapat diamati.
Tetapan titik beku molal (Kf).
Pelarut Titik beku (oC) Kf (oC)
Air 0 1,86
Benzena 5,4 5,1
Fenol 39 7,3
Naftalena 80 7
Asam asetat 16,5 3,82
Kamfer 180 40
Nitrobenzena 5,6 6,9
Contoh penurunan titik beku dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
a. Membuat Campuran Pendingin
Cairan pendingin adalah larutan berair yang memiliki titik beku jauh di bawah 0oC.
Cairan pendingin digunakan pada pabrik es, juga digunakan untuk membuat es putar. Cairan
pendingin dibuat dengan melarutkan berbagai jenis garam ke dalam air.
Pada pembuatan es putar cairan pendingin dibuat dengan mencampurkan garam dapur
dengan kepingan es batu dalam sebuah bejana berlapis kayu. Pada pencampuran itu, es batu
akan mencair sedangkan suhu campuran turun. Sementara itu, campuran bahan pembuat es
putar dimasukkan dalam bejana lain yang terbuat dari bahan stainless steel. Bejana ini
kemudian dimasukkan ke dalam cairan pendingin, sambil terus-menerus diaduk sehingga
campuran membeku.

b. Antibeku pada Radiator Mobil


Di daerah beriklim dingin, ke dalam air radiator biasanya ditambahkan etilen glikol.
Di daerah beriklim dingin, air radiator mudah membeku. Jika keadaan ini dibiarkan, maka
radiator kendaraan akan cepat rusak. Dengan penambahan etilen glikol ke dalam air radiator
diharapkan titik beku air dalam radiator menurun, dengan kata lain air tidak mudah
membeku.
c. Antibeku dalam Tubuh Hewan
Hewan-hewan yang tinggal di daerah beriklim dingin, seperti beruang kutub,
memanfaatkan prinsip sifat koligatif larutan penurunan titik beku untuk bertahan hidup.
Darah ikan-ikan laut mengandung zat-zat antibeku yang mempu menurunkan titik beku air
hingga 0,8oC.
Dengan demikian, ikan laut dapat bertahan di musim dingin yang suhunya mencapai
o
1,9 C karena zat antibeku yang dikandungnya dapat mencegah pembentukan kristal es
dalam jaringan dan selnya. Hewan-hewan lain yang tubuhnya mengandung zat antibeku
antara lain serangga , ampibi, dan nematoda. Tubuh serangga mengandung gliserol dan
dimetil sulfoksida, ampibi mengandung glukosa dan gliserol darah sedangkan nematoda
mengandung gliserol dan trihalose.

d. Antibeku untuk Mencairkan Salju


Di daerah yang mempunyai musim salju, setiap hujan salju terjadi, jalanan dipenuhi es
salju. Hal ini tentu saja membuat kendaraan sulit untuk melaju. Untuk mengatasinya, jalanan
bersalju tersebut ditaburi campuran garam NaCL dan CaCl2.
Penaburan garam tersebut dapat mencairkan salju. Semakin banyak garam yang
ditaburkan, akan semakin banyak pula salju yang mencair.

e. Menentukan Massa Molekul Relatif (Mr)


Pengukuran sifat koligatif larutan dapat digunakan untuk menentukan massa molekul
relatif zat terlarut. Hal itu dapat dilakukan karena sifat koligatif bergantung pada konsentrasi
zat terlarut. Dengan mengetahui massa zat terlarut (G) serta nilai penurunan titik bekunya,
maka massa molekul relatif zat terlarut itu dapat ditentukan.

4). Tekanan Osmosis Larutan


Peristiwa lewatnya molekul pelarut menembus membran semipermeabel dan masuk ke
dalam larutan disebut osmose. Tekanan osmosis larutan adalah tekanan yang harus diberikan
pada larutan untuk mencegah terjadinya osmosis (pada tekanan 1 atm) ke dalam larutan
tersebut. Hampir mirip dengan tekanan pada gas ideal, pada larutan ideal, besarnya tekanan
osmosis berbanding lurus dengan konsentrasi zat terlarut.

Menurut Van’t hoff tekanan osmosis mengikuti hukum gas ideal:


PV = nRT
P=

Karena tekanan osmosis = Π , maka : π =M. R. T


π = tekanan osmose (atm).
n = jumlah mol zat terlarut (mol).
R = tetapan gas ideal = 0,08206 L.atm/mol.K
T = suhu larutan (K).
V = volume larutan (L).
M = molaritas (M = mol/L).
Untuk sifat koligatif larutan elektrolit : π =M. R. T.i

Jika tekanan yang diberikan pada larutan lebih besar dari tekanan osmosis, maka
pelarut murni akan keluar dari larutan melewati membran semipermeabel. Peristiwa ini
disebut osmosis balik (reverse osmosis), misalnya pada proses pengolahan untuk memperoleh
air tawar dari air laut.
Macam- macam tekanan osmosis terdiri-dari:
(1) Larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih rendah dari yang lain disebut larutan
Hipotonis.
(2) Larutan yang mempunyai tekanan lebih tinggi dari yang lain disebut larutan Hipertonis.
(3) Larutan yang mempunyai tekanan osmosis sama disebut Isotonis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa larutan
elektrolit di dalam pelarutnya mempunyai kemampuan untuk mengion. Hal ini
mengakibatkan larutan elektrolit mempunyai jumlah partikel yang lebih banyak daripada
larutan non elektrolit pada konsentrasi yang sama.

Contoh Tekanan osmosis dalam kehidupan sehari-hari ,yaitu:


a). Mengontrol Bentuk Sel
Larutan-larutan yang mempunyai tekanan osmosis yang sama disebut isotonik.
Larutan-larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih rendah daripada larutan lain disebut
hipotonik. Sementara itu, larutan-larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi
daripada larutan lain disebut hipertonik.
Contoh larutan isotonik adalah cairan infus yang
dimasukkan ke dalam darah. Cairan infus harus isotonik
dengan cairan intrasel agar tidak terjadi osmosis, baik ke
dalam ataupun ke luar sel darah. Dengan demikian, sel-sel
darah tidak mengalami kerusakan.

b). Mesin Cuci Darah


Pasien penderita gagal ginjal harus menjalani
terapi cuci darah. Terapi menggunakan metode
dialisis, yaitu proses perpindahan molekul kecil-
kecil seperti urea melalui membran semipermeabel
dan masuk ke cairan lain, kemudian dibuang.
Membran tak dapat ditembus oleh molekul besar
seperti protein sehingga akan tetap berada di dalam
darah.
c). Pengawetan Makanan
Sebelum teknik pendinginan untuk
mengawetkan makanan ditemukan, garam dapur
digunakan untuk mengawetkan makanan. Garam
dapat membunuh mikroba penyebab makanan busuk
yang berada di permukaan makanan.

d). Membasmi Lintah


Garam dapur dapat membasmi hewan lunak, seperti lintah. Hal ini karena garam yang
ditaburkan pada permukaan tubuh lintah mampu menyerap air yang ada dalam tubuh
sehingga lintah akan kekurangan air dalam tubuhnya.
e). Penyerapan Air oleh Akar Tanaman
Tanaman membutuhkan air dari dalam tanah.
Air tersebut diserap oleh tanaman melalui akar.
Tanaman mengandung zat-zat terlarut sehingga
konsentrasinya lebih tinggi daripada air di sekitar
tanaman sehingga air dalam tanah dapat diserap oleh
tanaman.

f). Desalinasi Air Laut Melalui Osmosis Balik


Osmosis balik adalah perembesan pelarut dari larutan ke pelarut, atau dari larutan yang
lebih pekat ke larutan yang lebih encer. Osmosis balik terjadi jika kepada larutan diberikan
tekanan yang lebih besar dari tekanan osmotiknya.
Osmosis baik digunakan untuk membuat air murni dari air laut. Dengan memberi tekanan
pada permukaan air laut yang lebih besar daripada tekanan osmotiknya, air dipaksa untuk
merembes dari air asin ke dalam air murni melalui selaput yang permeabel untuk air tetapi
tidak untuk ion-ion dalam air laut. Tanpa tekanan yang cukup besar, air secara spontan akan
merembes dari air murni ke dalam air asin.

Penggunaan lain dari osmosis balik yaitu untuk memisahkan zat-zat beracun dalam air
limbah sebelum dilepas ke lingkungan bebas.
E. Prediksi Sifat Koligatif Larutan
1. Prediksi Sifat Koligatif Larutan Non elektrolit
a. Penurunan Tekanan Uap
Dalam suatu laerutan, partikel-partikel zat terlarut menghalangi gerak molekul pelarut
untuk berubah sari bentuk cair menjadi bentuk uap sehingga tekanan uap jenuh larutan
menjadi lebih rendah dari tekanan uap jenuh larutan murni.
Hukum Raoult :

Keterangan :
∆P : perbedaan tekanan uap larutan murni dengan tekanan uap zat pelarut
: tekanan uap zat pelarut murni

: tekanan uap zat terlarut murni


Xt : fraksi mol zat terlarut
Xp : fraksi mol zat pelarut
Pp : tekanan uap zat pelarut
Pt : tekanan uap zat terlarut
Tekanan uap total :

Contoh :
Hitunglah tekanan uap larutan 2 mol sukrosa dalam 50 mol air pada 300oC jika tekanan uap
air murni pada 300oC adalah 31,80 mmHg.
Jawab :
Yang ditanya dalam soal ini adalah tekanan uap air murni. Jadi, yang dicari adalah tekanan
uap pelarut murni atau Pp.
b. Kenaikan Titik Didih dan Penurunan Titik Beku
(1) Kenaikan Titik Didih (∆Tb)
Hukum sifat koligatif dapt diterapkan dalam meramalkan titik didih larutan yang zat
terlarutnya bukan elektrolit dan tidak mudah menguap.

Dengan :
Kb : tetapan kenaikan titik molal dari pelarut (oC/m)
∆Tb : kenaikan titik didih
Tb : titik didih larutan
: titik didih pelarut murni

Tetapan Kenaikan Titik Didih (Kb) Beberapa Pelarut

Contoh :
Hitunglah titik didih larutan yang mengandung 18 gr glukosa C6H12O6. (Ar C = 12 gr/mol;
H = 1 gr/mol; O = 16 gr/mol) dalam 250 gr air. (Kb air adalah 0,52 oC/m)
Jawab :
(2) Penurunan Titik Beku (∆Tf)
Adanya zat terlarut dalam larutan akan mengakibatkan titik beku larutan lebih kecil
daripada titik beku pelarutnya. Penurunan titik beku, ∆Tf (f berasal dari kata freeze) yang
berbanding lurus dengan molaritas

∆Tf = Penurunan titik beku


Kf = tetapan penuruan titik beku molal pelarut (oC/m)
Tof = titik beku pelarut murni
Tf = titik beku larutan

Tetapan Penurunan Titik Beku (Kf) Beberapa Pelarut

Contoh :
Berapakan titik beku larutan yang terbuat dari 10 gr urea CO(NH2) dalam 100 gr air? ( Mr
urea = 60 gr/mol; Kf air = 1,86 oC/m)
Jawab :
c. Tekanan Osmotik
Dua larutan yang memiliki tekanan osmotik yang sama disebut larutan isotonik. Jika
salah satu larutan memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari larutan yang lainnya
disebut hipertonik. Adapun jika larutan memiliki tekanan osmotik lebih rendah dari larutan
yang lainnya, larutan tersebut dinamakan hipotonik. Persamaan Van’t Hoff digunakan untuk
menghitung tekanan osmotik :

Dengan :
p : tekanan osmotik (atm)
R : tetapan gas (0,082 L atm/mol K)
M : molaritas larutan
T : suhu (Kelvin)
Contoh :
1. Berapakah tekanan osmotik pada 25oC dari larutan sukrosa 0,001 M?
Jawab :

2. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit


Untuk larutan elektrolit berlaku Hukum Van’t Hoff
a. Penurunan Tekanan Uap Jenuh
Rumus penurunan tekanan uap jenuh dengan memakai faktor Van’t Hoff hanya
berlaku untuk fraksi mol zat terlarutnya saja (zat elektrolit yang mengalami ionisasi),
sedangkan pelarut air tidak terionisasi. Oleh karena itu, rumus penurunan tekanan uap jenuh
untuk zat elektrolit adalah:

b. Kenaikan Titik Didih dan Penuruan Titik Beku


Seperti halnya penurunan tekanan uap jenuh, rumus untuk kenaikan titik didih dan
penurunan titik beku untuk larutan elektrolit juga dikalikan dengan faktor Van’t Hoff.
Contoh : Sebanyak 4,8 gram magnesium sulfat, MgSO4 (Mr = 120 g/mol) dilarutkan dalam
250 g air. Larutan ini mendidih pada suhu 100,15 °C. Jika diketahui Kb air 0,52 °C/m, Kf air
= 1,8 °C/m, tentukan:
a. Derajat ionisasi MgSO4
b. Titik beku larutan
Jawab :

c. Tekanan Osmotik
Tekanan osmotik untuk larutan elektrolit diturunkan dengan mengalikan faktor
van’t Hoff.

Contoh :
Sebanyak 5,85 gram NaCl (Mr = 58,5 g/mol) dilarutkan dalam air sampai volume 500 mL.
Hitunglah tekanan osmotik larutan yang terbentuk jika diukur pada suhu 27 °C dan R = 0,082
L atm/mol K.
Jawab:
DAFTAR PUSTAKA

Brady, James. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binarupa Aksara

Brady, James E. 1990. General Chemistry: Principles & Structure. 5th Edition New York:
John Wiley & Son

Chang, Raymond. 2007. Chemistry edition. New York: McGraw Hill.


Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti. Jilid 2 / Edisi Ketiga . Penerbit
Erlangga. Jakarta.

Ebbing, Morrison. 1992. Organic Chemistry. New York: Prentice Hall International, Inc,

Gilbert, Thomas N. et al. 2012. Chemistry: The Science in Context 3rd edition. New York:
W.W. Norton & Company, Inc.

Hunter, et. All. 1993. Chenical Science. Scienc Press

Lee Ett fong. 1996. Science Chemistry. Singapore: EPB Publishers Pte. Ltd.

Morris, Jane. 1986. CGSE Chemistry, Bell & Hyman

Petrucci, Ralph H. 1982. General Chemistry: Principles and Modern Application. 3 rd


Edition. London: Macmillan Publishing Co.

Petrucci, Ralph H. Et al. 2011. General Chemistry: Principles and Modern Aplications 10th
edition. Toronto : Pearson Canada Inc.

Rosenberg, Jerome. 1996. Kimia Dasar. Jakarta: Rineka Cipta

Sastrohamidojo, Hardjono, 2012. Kimia Dasar. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Silberberg, Martin S. 2009. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change 5th
edition. New York: McGraw Hill.

Sukardjo.1985. Ikatan Kimia.Yogyakarta : Rineka Cipta

Sugiyarto, Kristian dan Retno.2010. Kimia Anorganik Logam. Medan : Universitas Negeri
Medan

Sunarya, Yayan. 2012. Kimia Dasar 2. Yrama Widya. Bandung.

Syukri, S, 1999. Kimia Dasar. Institut Teknologi Bandung: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai