Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya sampai
hari kiamat. Amma ba’du:
Berikut ini merupakan masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui oleh setiap
musafir agar perjalanan mereka diberkahi, insya Allah.
Pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat kembali
lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka keluarnya dianggap
sebagai musafir.
Kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung
halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke
kampung halamannya dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini,
sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar dari Mekah dan tinggal di
Madinah, maka ketika Beliau ke Mekah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena itu, saat Beliau
ke Mekah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh penduduk
Mekah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.
Hal ini berdasarkan hadis Ka’ab bin Malik berikut, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari Kamis.” (HR. Bukhari)
b. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya
untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan:
َ سفَ ِرنَا َهذَا ْال ِب َّر َوالت َّ ْق َوى َو ِمنَ ْال َع َم ِل َما ت َْر
ضى َ س َّخ َر لَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِينَ َو ِإنَّا ِإلَى َر ِبنَا لَ ُم ْنقَ ِلبُونَ اللَّ ُه َّم ِإنَّا نَ ْسأَلُكَ ِفى
َ س ْب َحانَ الَّذِى
ُ «
سفَ ِر َوكَآبَ ِة ِ َسفَ ِر َو ْال َخ ِليفَةُ فِى األ َ ْه ِل اللَّ ُه َّم ِإنِى أَعُوذُ ِبكَ ِم ْن َو ْعث
َّ اء ال َّ احبُ فِى ال
ِ ص ْ سفَ َرنَا َهذَا َو
َّ اط ِو َعنَّا بُ ْعدَهُ اللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ال َ اللَّ ُه َّم ه َِو ْن
َ علَ ْينَا
“Mahasuci Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu menundukkannya,
dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam
safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan
dekatkanlah yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan yang menyedihkan dan buruknya
tempat kembali pada harta dan keluarga.”
Dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang sama, namun
menambah (dengan kata-kata):
. » َامد ُون
ِ آ ِيبُونَ ت َا ِئبُونَ َعا ِبد ُونَ ِل َر ِبنَا َح
“Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami.” (HR. Muslim)
c. Dianjurkan mengucapkan “A’uudzu bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq” ketika singgah
di suatu tempat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, “A’uudzu…dst.” (artinya: Aku berlindung dengan
kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya
sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim)
d. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih.”
(HR. Bukhari)
e. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
َوش َِر َما ِف ْي َها، َوش َِر أ َ ْه ِل َها، َوأَع ُْوذ ُ ِبكَ ِم ْن ش َِرهَا، َو َخي َْر َما ِف ْي َها، َخي َْر َه ِذ ِه اْلقَ ْر َي ِة َو َخي َْر أ َ ْه ِل َها
“Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di
atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta
kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun
berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR.
Nasa’i dalam ‘Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta
disepakati oleh Adz Dzahabi)
f. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
“Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah
seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram.” (HR. Muslim)
Dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri disebutkan contoh mahram:
. » …إِالَّ َو َم َع َها أَبُوهَا أ َ ِو ا ْبنُ َها أ َ ْو زَ ْو ُج َها أ َ ْو أ َ ُخوهَا أ َ ْو ذُو َمحْ َر ٍم ِم ْن َها
“… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya.” (HR.
Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
g. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunatkan mengangkat ketua
rombongan.
“Apabila keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka
sebagai ketua.” (HR. Abu Dawud)
h. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan keluarga dan kawannya mendoakan
mereka.
Doanya adalah:
“Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata:
ُ أ َ ْست َْو ِد
َع هللاُ ِد ْينَكَ َوا َ َمانَتَكَ َوخ ََواتِي َْم َع َملِك
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (HR.
Tirmidzi)
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Al Mukhtashar fii ahkaamis safar, (Syaikh Fahd bin Yahya Al ‘Ammariy), Minhajul
Muslim (Syaikh Abu Bakr Al jazaa’iriy).
1. Safar adalah keluar dari tempat tinggal yang jelas dan nyata bentuknya, untuk
menempuk suatu jarak tertentu. Dan ini adalah hal yang disepakati ulama.
2. Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan jarak safar.
o Sebagian ulama mengatakan: sekadar jarak antara Mekkah dan Mina.
Karena Rasulullah menganggap penduduk Mekkah sebagai musafir, dan
beliau meng-qashar shalat bersama mereka dan tidak memerintahkan untuk
menyempurnakan rakaat shalat. Dan perlu digaris-bawahi bahwa Mina
bukanlah tujuannya, karena tujuannya adalah Arafah. Dan jaraknya adalah
sekitar 30 kilometer.
o Sebagian ulama mengatakan: sejauh satu hari perjalanan (Al Istidzkkar,
2/233). Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “jarak safar adalah jarak perjalanan
sehari semalam dengan perjalanan yang cepat, yaitu sekitar 4 barid”. Dan 1
barid itu sama dengan 4 farsakh, maka jaraknya adalah sekitar 16 farsakh.
Satu farsakh sama dengan 3 mil. Sehingga jaraknya menjadi 48 mil atau
77,232 kilometer. Dan ini adalah jarak antara Jeddah dan Mekkah. Terdapat
riwayat:
،انَ َس فْ ع ُ َوفِي ِمثْ ِل َما بَي َْن َمكهةَ َو،ف ص ََلةَ فِي ِمثْ ِل َما بَي َْن َمكهةَ َوال ه
ِ ِ ط ائ ُ َان «يَ ْق
ص ُر ال ه َ اس ك َ َّللا ب َْن
ٍ ع به ِ ع ْب َد ه
َ
َ ْ
َ«وفِي ِمث ِل َما بَي َْن َمكهة َو ُج هدة َ
7. Jika seorang Muslim musafir sampai di daerah yang menjadi tujuannya, namun
ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih bimbang dan belum tahu
kapan akan pulang.
o Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus sebagai musafir sampai ia
kembali ke daerah tempat tinggalnya.
o Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir selama 19 hari,
namun setelahnya ia berstatus muqim.
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua. Terdapat hadits yang diriwayatkan
Al Bukhari (1080), dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata:
َ َسعَة
َوإِ ْن ِز ْدنَا،عش ََر قَص َْرنَا ْ ِسافَ ْرنَا ت
َ فَنَحْ ُن إِذَا،ص ُر َ َ س ع َة
ُ عش ََر يَ ْق َ علَ ْي ِه َو
ْ ِ ت-سله َم َ ُصلهى هللا ُّ ِأَقَا َم النهب
َ - ي
أَتْ َم ْمنَا
“kami pernah bersama Busr bin Abi Artha’ah di laut, ia bersama seorang pencuri
bernama Mishdar. Ia mencuri sebuah Bukhtiyyah. Busr berkata: aku mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tidak dipotong tangan
pencuri ketika safar‘. Andaikan bukan karena hadits ini, maka telah aku potong
tangannya” (Dishahihkan Al Albani dan Al Arnaut)
21. Jika seorang Muslim menjadi warga negara sebuah negara, kemudian ia
meninggalkan negara tersebut dan menjadi warga negara dari negara lain.
Kemudian ia kembali ke negara yang awal tanpa
mengganti kewarganegaraannya. Maka ia berstatus safar dengan ketentuan-
ketentuan yang telah disebut pada poin sebelumnya. Kecuali jika ia memiliki
rumah di sana. Jika demikian, maka ia tidak boleh meng-qashar shalat. Karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika kembali ke Mekkah setelah Fathul
Mekkah beliau tidak menyempurnakan rakaat shalat, beliau meng-qashar.
Namun ketika beliau ditanya mengenai rumahnya, beliau menjawab: “apakah
masih ada bagiku rumah walau hanya satu petak?“. Ini menunjukkan bahwa
beliau dan kaum Muhajirin yang bersama beliau adalah musafir.
22. Jika seorang Muslim bertempat tinggal di suatu kota, sedangkan
ia bekerja di kota lainnya, maka ia boleh meng-qashar shalat dalam safarnya
antara dua kota tersebut. Namun ketika ia sudah masuk ke kota dimana
rumahnya berada, maka tidak boleh meng-qashar shalat.
***
Sumber: http://mohammadbazmool.blogspot.ae/2015/01/blog-post_485.html
Artikel Muslim.or.id
Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah
memberikan kita kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah
dikabulkan do’a.
“Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu: (1) do’a orang yang
terzholimi, (2) do’a seorang musafir, (3) do’a orang tua pada anaknya.” (HR. Ahmad 12/479 no.
7510, At Tirmidzi 4/314 no. 1905, Ibnu Majah 2/1270 no. 3862. Syaikh Al Albani menghasankan
hadits ini)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan bahwa safar adalah bagian dari ‘adzab
(siksaan). Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan)”. (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)
Artinya safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Coba bayangkan jika Anda melakukan
safar dari luar negeri kembali ke kampung halaman. Apalagi jika safar tersebut mesti transit di
beberapa kota. Yang sebelumnya mungkin ditempuh dalam waktu 9 jam, karena mesti transit di
kota lain, akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hampir 24 jam. Apalagi keadaan di
kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan karena kita tidak bisa tidur sebagaimana
layaknya. Badan tidak bisa direbahkan ke kasur yang empuk. Sungguh amat menyulitkan.
Karena kondisi sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Saat hati begitu pasrah, itulah saat
mudah diijabahinya do’a. Saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla, itulah hakekat ‘ubudiyah
(penghambaan), penghinaan, dan menundukkan diri pada-Nya. Akhirnya seorang hamba pun
mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang demikian, maka doa yang ia
panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a
itu dikabulkan.
Wahai saudaraku … Manfaatkanlah waktu ketika engkau bersafar untuk banyak memohon segala
kemudahan dari Allah Ta’ala. Mintalah kemudahan dari-Nya atas urusan safarmu. Begitu pula
mohonlah pada Allah agar dimudahkan dalam urusan dunia lainnya, begitu pula jangan lupakan
yang utama doa agar diberi berbagai kemudahan dalam hisab di akhirat. Jangan lupa doakan atas
kebaikan diri, dijauhkan dari kejelekan diri, begitu pula doakan kebaikan bagi istri, anak, orang
tua, kerabat dan saudara muslim lainnya.
Dzikir saat safar yang bisa diamalkan agar safar jadi lebih berkah:
Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan,
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,
َسفَ ِرنَا َهذَا ْال ِب َّر َوالت َّ ْق َوى َو ِمنَ س َّخ َر لَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِينَ َو ِإنَّا ِإلَى َربِنَا لَ ُم ْنقَ ِلبُونَ اللَّ ُه َّم ِإنَّا نَسْأَلُكَ فِى َ س ْب َحانَ الَّذِى ُ
ْ
سفَ ِر َوال َخ ِليفَةُ فِى األ َ ْه ِل اللَّ ُه َّم ِإنِى
َّ ب فِى ال
ُ احِ ص َّ عنَّا بُ ْعدَهُ اللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ال ْ
َ سفَ َرنَا َهذَا َواط ِو َ علَ ْينَا َ ضى اللَّ ُه َّم ه َِو ْن َ ْال َع َم ِل َما ت َْر
ب فِى ْال َما ِل َواأل َ ْه ِل ِ َوء ْال ُم ْنقَل
ِ س
ُ ظ ِر َو َ سفَ ِر َو َكآ َب ِة ْال َم ْن
َّ اء ال ِ َ عوذُ ِبكَ ِم ْن َو ْعث ُ َأ
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila
robbina lamun-qolibuun[1]. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat
taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi
‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma
inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil
maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal
kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya
kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu
kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah
perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam
perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada
harta dan keluarga)[2]
Semoga Allah selalu memberi kemudahan dalam setiap safar kita. Semoga safar kita adalah safar
yang penuh berkah.