Anda di halaman 1dari 45

104

BAB III

SIFAT MEKANIK CAMPURAN BETON ASPAL

3.1. Sifat Campuran Beton Aspal

Kinerja campuran beton aspal dipengaruhi perubahan suhu udara dan

suhu lapis permukaan serta tegangan akibat beban roda kendaraan sepanjang

perkerasan tersebut. Beban roda kendaraan sepanjang perkerasan

menyebabkan terjadinya variasi tegangan pada seluruh material dalam sistem

perkerasan (Yin, et al, 2007). Pada dasar lapis aspal terjadi tegangan tarik,

sedangkan di dasar pondasi dan diatas subgrade terjadi regangan tekan. Selain

itu setiap pembebanan berpotensi menimbulkan deformasi permanen.

Gambar 3.1 Tegangan dan regangan pada perkerasan. (Sumber: Matthew,


2007)

Tegangan dan regangan yang terjadi pada struktur perkerasan (Gambar

3.1) Penentuan respon perkerasan terhadap beban dan temperatur sangat

diperlukan dalam desain mekanistik perkerasan lentur. Respon ini terutama

dipengaruhi sifat visko elastis campuran beton aspal pada perubahan

temperature. (Lativa, 2011).


105

3.1.1. Perilaku visko elastis beton aspal

Sifat campuran beton aspal menjadi khas karena pengaruh aspal yang

bersifat viskoelastis yang berfungsi sebagai perekat dalam campuran. Sifat ini

berubah tergantung dari komposisi, temperatur, tingkat dan frekuensi

pembebanan. Pada suhu rendah, beban yang bekerja kecil dengan frekuensi

perulangan pembebanan tinggi, bersifat viskoelastis linier. Namun pada suhu

tinggi, frekuensi perulangan pembebanan rendah tetapi beban yang bekerja

besar, sifatnya cenderung menjadi nonlinier elasto viskoplastis (Garba & Horvli,

2002).

Modulus elastisitas campuran aspal secara drastis turun menjadi 800

MPa dari 5500 MPa ketika suhu meningkat dari 300 C menjadi 600 C (Wahhab &

Balghunaim, 1995).Yang Lu dan Peter J Wright (2000) mengutip Brown & Snaith

(1978) yang melakukan serangkaian penelitian, menyatakan bahwa pada

beberapa kondisi temperatur, regangan tarik aspal lebih sensitif dibandingkan

dengan perubahan pembebanan, dan dari berbagai komposisi, respon terhadap

variasi pembebanan lebih besar pada temperatur yang berbeda.

3.1.2 Sifat pembebanan

Jenis dan lamanya beban berulang yang menyebabkan terjadinya

tegangan pada lapisan beton aspal disimulasikan sebagai gelombang haversine,

segitiga ataupun bujur sangkar. Hubungan waktu pulsa (pulse time) dalam

pembebanan sinusoidal adalah konsisten dan merupakan dasar praktis dalam

menentukan pendekatan waktu pulsa (pulse time) Frekuensi pembebanan

ditentukan dari panjang rest period antara pulsa pembebanan, dan merupakan

faktor utama yang sangat penting dalam pengujian material. Frekuensi

tergantung dari besarnya tegangan dan didekati dari informasi lalulintas dan
106

sebaran pembebanan. Huang (1993) mengutip beberapa penelitian yang

dilakukan Barksdale, Brown, dan McLean. Barksdale (1971) melakukan

penelitian terhadap tegangan pulsa vertikal melalui pendekatan dengan bentuk

gelombang haversine dan triangular dengan asumsi material viskous. Waktu

tegangan pulsa dihubungkan dengan kecepatan kendaraan dan kedalaman

lapisan. Waktu pembebanan (pulse time) berbanding terbalik dengan kecepatan.

Bentuk gelombang haversine untuk satu siklus beban dengan waktu

pembebanan 0,1 detik yang merupakan asumsi untuk lapis beton aspal

diilustrasikan pada gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 3.2 Bentuk gelombang haversine (sumber :http://www.fhwa.dot.gov/pavement)

Waktu pembebanan (pulse time) lapisan struktur aspal merupakan fungsi

dari ketebalan lapisan dimana beban didistribusikan ke tiap-tiap lapisan yang

kecepatan rambatnya dipengaruhi oleh kecepatan kendaraan. (Brown, 1973

dalam Latifa, 2011)


107

Waktu pembebanan (pulse time) berdasarkan rata-rata waktu pulsa untuk

tegangan vertikal dan horisontal bervariasi pada kedalaman lapisan beton aspal.

Untuk lapisan yang tebal, waktu pembebanan (pulse time) hasil penelitian

Barskdale lebih lama dari hasil penelitian Brown. McLean (1974) yang mendekati

dengan bentuk gelombang bujur sangkar dan mengambil bentuk gelombang

segitiga Barksdale pada kecepatan 30 mph (48kpj) sebagai acuan, menyatakan

waktu pembebanan (pulse time) yang jauh lebih singkat pada kecepatan yang

sama.

Pada kenyataannya kecepatan kendaraan sangat bervariasi dan

kedalaman lapisan kadang-kadang tidak diketahui dengan pasti. Kecepatan

kendaraan mempengaruhi kecepatan rambat gelombang, karena itu pada

perencanaan dilakukan pendekatan bahwa lamanya waktu pembebanan (pulse

time) gelombang haversine untuk satu siklus pembebanan 0,1 detik dan periode

recovery gelombang 0,9 detik untuk lapisan aspal. Sementara waktu

pembebanan (pulse time) untuk pondasi (base / subbase) 0,2 detik dan 0,25

detik untuk subgrade (Matthew, 2007). Ilustrasi dibawah menjelaskan dalam satu

periode siklus pembebanan yang menghasilkan satu gelombang pembebanan,

terdiri dari dua hal penting, yaitu waktu pembebanan (pulse time) selama 0,1

detik dan periode recovery selama 9 detik untuk lapis permukaan campuran

beton aspal. Pada saat beban puncak pada titik yang ditinjau, terjadi deformasi

maksimum. Jika siklus ini terjadi berulang kali akan terbentuk deformasi

permanen yang bertambah besar. Akumulasi deformasi permanen akan

menimbulkan retak dan menyebabkan rutting pada lapis permukaan perkerasan.


108

Siklus waktu pembebanan

Deformasi Vs Waktu
Gambar 3.3 Hubungan pembebanan dan deformasi pada waktu pulsa. Sumber :
Matthew,2007

Karena kedalaman yang diartikan sebagai tebal lapisan merupakan salah

satu fungsi dari waktu pembebanan (pulse time), maka waktu pembebanan

(pulse time) hampir tidak berpengaruh pada modulus resilien lapisan granular

pondasi,sedikit pada lapisan tanah halus subgrade tergantung dari

kelembabannya, dan cukup berpengaruh pada lapisan beton aspal. Sementara

periode gelombang recovery tidak memberikan pengaruh yang signifikan

(Huang,1993)

3.1.3 Tegangan pada lapisan beton aspal

Hal pertama dalam menganalisis lapis perkerasan lentur adalah

menganggap bahwa materialnya homogen dan bersifat elastis. Tegangan,

regangan tarik dan defleksi terjadi dibawah beban roda kendaraan (circular

loaded area) pada sumbu simetri dimana terjadi tiga tegangan, 𝜎Z, 𝜎S, 𝜎t, dan

tegangan geser 𝜏rz (Huang,1993) ditunjukkan pada gambar 3.4.


109

Gambar 3.4 Tegangan utama dibawah beban roda. Sumber Blazejowsky, 1996,
Pilkey,2005

Pada perkerasan lentur, pola distribusi pembebanan berubah pada tiap

lapis karena kekuatannya berbeda-beda. Material paling kuat dengan kelenturan

paling rendah berada di lapisan bagian atas dan yang terlemah dengan

kekakuan paling rendah pada lapis terbawah. Beban roda pada lapis atas berada

pada areal yang kecil dan menghasilkan tegangan terbesar. Makin kebawah,

areal pembebanan makin luas sehingga distribusi tegangan menghasilkan

tegangan yang rendah dan cukup diterima oleh material yang lebih lemah.

Tegangan utama yang bekerja dan bagaimana tegangan berotasi akibat

beban roda kendaraan sebelum, tepat dibawah roda dan setelah roda bergerak

(Gambar 3.5)

Pola distribusi tegangan yang terjadi saat beban roda jauh dari titik yang

ditinjau ditunjukkan oleh posisi 1 paling kiri (gambar 2.8) yaitu tegangan vertical

𝜎1 dan tegangan aksial s berada pada posisi dasar. Mendekati titik tinjauan pada

posisi 𝜎2 tegangan vertikal bergerak menuju besaran maksimum namun tetap


110

membentuk besaran sudut sama terhadap tegangan aksial. Pada posisi 3 roda

tepat diatas titik yang ditinjau, tegangan vertikal dan aksial bekerja penuh. Posisi

4 dan 5 saat roda meninggalkan titik yang ditinjau adalah kebalikan dari posisi 2

dan 1

Sebelum Sesaat Sebelum

Gambar 3.5 Rotasi tegangan dibawah beban roda. Sumber Blazejowsky, 1996

Kerusakan perkerasan akan jauh lebih besar jika beban roda bergerak

secara lambat. Penelitian menunjukkan jika kecepatan bertambah dari 2 kpj

menjadi 24 kpj, tegangan dan defleksi akan berkurang sebesar 40 persen

(Matthew, 2007).

Saat merespon pembebanan baik statis maupun berulang, campuran

beton aspal akan mengalami deformasi permanen yang merupakan akumulasi

dari waktu dan jumlah perulangan pembebanan. Akumulasi dari deformasi

permanen itulah yang menyebabkan terjadinya retak fatiq dan rutting pada

perkerasan aspal. Deformasi permanen juga dipengaruhi oleh sifat dan

komposisi bahan baik aspal sebagai perekat, maupun agregatnya, serta tingkat

pemadatan dan jumlah pori (Garba R & Horvli I, 2002).


111

3.1.4 Regangan tarik

Regangan tarik didefinisikan dalam istilah regangan tarik normal dan

regangan tarik geser. Regangan tarik normal adalah perubahan panjang

perpanjang semula, tanpa satuan dinyatakan sebagai e. Jika benda memanjang

regangan tarik dinyatakan positif, demikian sebaliknya. Regangan tarik geser

didefinisikan sebagai tangen dari perubahan sudut saat benda berdeformasi.

Regangan tarik geser sangat kecil yang umumnya ditemukan biasanya kurang

dari 0,001 sehingga tangen perubahan sudut sama dengan perubahan sudut

radian. Regangan tarik geser positif diasosiasikan dengan dimensi geser positif

(Pilkey,2005). Berdasarkan pengujian tekanan maupun tarik uniaxial, M Perl dan

A Sides menyatakan bahwa regangan tarik aksial total terdiri dari regangan tarik

elastis, plastis, viskoelastis dan viskoplastis.

Regangan tarik terjadi pada dasar dan bagian atas lapisan aspal dan

terus membesar karena perilaku reologi campuran beton aspal. Saat beban

berulang berlanjut, regangan yang terjadi pada permukaan lapisan beton aspal

lebih besar dari bagian bawah. Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan

regangan pada permukaan dan dasar lapisan aspal merupakan fungsi dari

karakteristik struktur perkerasan (Blazejowsky, 1996)

Regangan tarik pada dasar lapisan beton aspal merupakan awal

terjadinya retak mikro. Pada pembebanan berulang, retak mikro tersebut

bergabung dan menyebar dengan cepat menjadi retak yang dapat terlihat pada

permukaan jalan. Penelitian selanjutnya mendapatkan pada kondisi tertentu retak

juga dimulai dari lapisan atas dan menyebar ke bagian bawah.


112

Gambar 3.6 memperlihatkan skema regangan yang terjadi pada arah

longitudinal dan transversal akibat beban roda.

Gambar 3.6 Regangan arah longitudinal dan transversal akibat beban roda.
Sumber Blazejowsky, 1996

Lebar daerah sebaran regangan tergantung dari areal kontak roda dan

kecepatan kendaraan. Bentuk asimetri pada grafik regangan longitudinal

dipengaruhi oleh sifat viskoelastis aspal Regangan transversal maksimum lebih


113

besar dari regangan longitudinal maksimum, menandakan bahwa material

viskoelastis. Regangan transversal butuh waktu penyebaran lebih lama yang

menyebabkan material menjadi lebih lunak sehingga regangannya menjadi lebih

besar. Regangan maksimum tidak terjadi pada x = 0 tapi setelahnya.

Perlambatan ( time delay) ini merupakan ciri viskoelastis, yang akan menjadi

lebih lama saat suhu meningkat dan atau kecepatan kendaraan melambat.

Dengan demikian regangan tarik yang terjadi di dasar lapisan beton aspal

menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan saat perencanaan dan analisis

kerusakan untuk mencegah retak fatique.

Ada dua tipe regangan tarik utama, komponen utama tegangan normal

dan geser, sedangkan yang kedua yang lebih populer adalah regangan tarik

horisontal utama berdasarkan tegangan normal horisontal dan geser saja.

Karena keseluruhan regangan tarik sedikit lebih besar dari regangan tarik

horisontal, maka untuk keamanan, yang digunakan dalam perhitungan adalah

keseluruhan regangan tarik (Huang,1993)

3.2. Kuat tarik (Indirect Tensil Strenght)

Lapis permukaan Asphalt Conrete (AC) dibedakan menjadi tiga kelas

yaitu kela AC-WC, AC-BC dan AC Base yang penggunaanya tergantung

kebutuhan. Perbedaan lapis perkerasan AC WC terletak pada gradasi agregat

yang digunakan dan beban yang melintas diatasnya. Bahan AC-BC adalah untuk

jalan yang berlalu lintas rendah (> 10.000 ESA). ESA adalah kepanjangan dari

Equivalent Standard Axle. Bahan AC-WC adalah beton aspal untuk penggunaan

material di atas jalan yang sangat padat lalu lintas (>1.000.000 ESA), serta pada

muatan-muatan roda yang berat dan mempunyai stabilitas yang tinggi sebagai
114

tambahan terhadap sifat-sifat daya tahan, fleksibilitas dan ketahanan kelelahan di

gunakan pada jalan yang mempunyai kemiringan melintang 4%.

Gambar 3.7. Mekanisme terjadinya gaya tarik dan kerusakan retak

Kenyataannya dilapangan, saat suatu perkerasan jalan menerima beban

dari arus lalu lintas yang melintas diatasnya material lapisan permukaan bagian

atas mendapatkan gaya tekan, sedangkan material bagian bawah mendapatkan

gaya tarik. Untuk itu perlu diketahui juga kemampuan material tersebut menerima

gaya tarik yaitu dengan menggunakan alat ITS (Indirect Tensile Strength)

Beban roda kendaraan diatas struktur perkerasan sebagai mana

gambar di atas menimbulkan gaya tekan ke bawah. Beban roda berhenti atau

bergerak memberikan gaya tekan sehingga lapisan akan terjadi lendutan. Kalau

lapisan melendut maka lapisan atas bagian bawah terjadi gaya tekan dan

sebaliknya lapisan atas bagian bawah terjadi gaya tarik. Akibat gaya tarik yang

terjadi pada lapisan bagian bawah mengakibatkan retak. Retak terjadi dari bawah

merambat ke atas. ITS (Indirect Tensile Strength) adalah suatu metode untuk
115

mengetahui nilai gaya tarik dari campuran aspal beton. Pengujian ini bertujuan

untuk mengetahui indikasi akan terjadinya retak dilapangan. Pengujian hampir

sama dengan pengujian Marshall, yang membedakan hanyalah pada pengujian

kuat tarik tak langsung tidak menggunakan cincin penguji namun menggunakan

plat berbentuk cekung dengan lebar 12,5 mm pada bagian penekan Marshall.

Dalam perencanaan perkerasan jalan agar suatu material tersebut

mempunyai kepadatan dan daya dukung cukup dalam memikul beban, maka

material yang akan digunakan harus mempunyai kekuatan tarik. Maka dalam

penelitian ini dilakukan proses pemadatan sebanyak 75 kali untuk pemadatan

standar dan 400 kali untuk kepdatan mutlak, tujuan dari pemadatan ini adalah

untuk pengaturan distribusi partikel agregat dalam campuran sehingga

menghasilkan

Analisis parameter hasil pengujian kuat tarik tidak lansung sebagai

beriktu :

1. kekuatan langsung tarik nilai (ITS) dihitung dengan menggunakan persamaan

berikut:

2.𝑃
𝐼𝑇𝑆 = ....................................................................................(3.1)
𝜋.𝐷.𝑡

dimana P adalah beban sampai terjadi keruntuhan, D adalah diameter

spesimen dan t adalah ketebalan spesimen.

2. Kekakuan (S) ditentukan sebagai kemiringan bagian linier dari stres kurva

regangan. semakin tinggi nilai S menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap

kelelahan retak dan deformasi permanen. Khattak et al.(2012) :.

0,5 ITS
𝑆= .......................................................................................(3.2)
𝜀0,5

Dengan Ɛ0,5 adalah strain yang sesuai dengan setengah dari puncak

menekankan.
116

3. Fraktur energi (FE) dihitung berdasarkaan kurva tegangan-regangan sampai

terjadinya keruntuhan akibat tegangan maksimum .

4. Perilaku pasca-puncak maerial mengalamin keruntuhan berdasarkan nilai

indeks ketangguhan (TI). Indeks ketangguhan mengacu pada kekuatan

modulus elastis sampai terjadiya kegagalan material. Indeks ketangguhan

(TI) dihitung menggunakan persamaan (3.9) berdasarkan kurva hubungan

tegangan-regangan. Khattak et al.(2006).

𝐴𝑒−𝐴𝑝
𝑇𝐼 = ................................................................................(3.3)
Ɛ𝑒−Ɛ𝑝

di mana TI adalah indeks Ketangguhan, Ae adalah area di bawah

kurva tegangan-regangan hingga regangan Ɛe kurva tegangan-regangan hingga

tegangan Ɛp, Ɛp adalah daerah terjadinya regangan tarik berdasarkan dengan

tegangan maksimum, dan Ɛe adalah regangan tarik yang terjadi pada daerah

terjadinya tegangan tarik.

Jumlah beban didefinisikan sebagai umur kelelahan spesimen

sepenuhnya mengalami keretakan. Umur kelelahan campuran dengan

penguatan serat dapat dicirikan oleh persamaan berikut : QS et al.,(2009)

Pengujian kekuatan tarik tidak langsung dilakukan pada sampel yang sama

sebagai uji modulus elastis pada 200C., dimana kondisi campuran setelah

mengalami pembebanan kembali pada kondisI awal akibat adanya deformasi

yang terjadi selama tes modulus elastis. Laju kecepatan ramp loading yang

konstan 5,1 cm / min diterapkan sampai terjadinya keruntuhan Besarnya beban

dan deformasi dalam campuran di kedua arah vertikal dan horizontal diukur.

(Gambar 3.8).
117

Gambar 3.8 Diagram skematik pembebanan ITS (Sumber : Sample Performance


Test for Superpave Mix Design)

. Gaya tarik tidak langsung menggunakan benda uji yang berbentuk

silinder yang mengalami pembebanan tekan dengan dua plat penekan yang

menciptakan tegangan tarik yang tegak lurus sepanjang diameter benda uji

sehingga menyebabkan pecahnya benda uji.

Gambar 2.47 Penentuan Indirect tensil strength (sumber : Sample


performance test for supervave mix design

Parameter yang digunakan untuk penentuan pembebanan adalah

sebagai berikut :
118

a. Gaya tarik horizontal maksimum terjadi ditengah benda uji pada saat

pembebanan berlangsung. Tensile strength adalah kemampuan lapisan

perkerasan untuk menahan beban yang ada secara horisontal. (Gambar

3.9).

Beban yang di terima benda uji secara terus menerus mengakibatkan

kenaikan tegangan (stress s) Pa (Pascal), yang menyebabkan lendutan serta

diikuti pula dengan kenaikan regangan (strain e), yang dapat mengakibatkan

kerusakan retak sampai tegangan maksimum. Pada keadaan tegangan

maksimum dan regangan tertentu ini benda uji dianggap mengalami gaya

terik tidak langsung. Setelah benda uji retak maka besarnya lendutan pada

benda uji akan semakin turun tetapi regangannya akan semakin besar, hal ini

disebabkan adanya ikatan dalam benda uji semakin turun karena benda uji

sudah mengalami retak yang berakibat pada pecahnya/hancurnya benda uji.

b. Beban yang menimbulkan retak berada didaerah pembebanan vertikal.

Gambar 3.10 Total energi yang menyebabkan retak (sumber : Sample


performance test for supervave mix design
119

c. Beban yang digunakan sampai benda uji mengalami deformasi merupakan

pembebanan pada benda uji yang berkelanjutan. Semakin bertambahnya

tekanan yang terjadi maka beban yang dipakai sampai benda uji mengalami

deformasi juga semakin besar hal ini disebabkan adanya sifat fleksibilitas

benda uji. Dimana kondisi benda uji tidak mampu lagi menahan beban, maka

benda uji mengalami deformasi permanan, deformasi akan semakin besar

dengan beban yang semakin kecil dan turunnya kemampuan benda uji

menahan beban sampai kondisi sampel retak akhirnya pecah. Deformasi

permanen adalah besarnya gerakan turun vertikal maksimum suatu

permukaan perkerasan akibat beban. (Gambar 3.11).

d. Beban yang menyebabkan keruntuhan dihitung pada beban puncak saat

pembebanan maksimum.

Gambar 3.11 Energi pada puncak pembebanan (sumber : Sample


performance test for supervave mix design)
120

3.3. Deformasi Permanen

Deformasi permanen adalah peristiwa penurunan lapis struktur

perkerasan secara permanen. Deformasi ini dikatakan permanen karena

deformasi yang terjadi pada permukaa perkerasan tidak kembali lagi ke posisi

awal (unrecoverable) setelah terjadi pembebanan. Deformasi permanen (dalam

bentuk ruttingbanyak terjadi pada jalur tapak roda kenderaan. Pengujian wheel

tracking dianggap sebagai metode yang efektif untuk evaluasi ketahanan rutting

pada temperatur tinggi. dimana metode ini digunakan untuk mengevaluasi sifat

perlawanan rutting pada campuran beton aspal. Rutting mempunyai dua

penyebab utama yaitu:

a. Rutting yang disebabkan oleh terlalu banyaknya tekanan/ pembebanan

berulang yang berdampak terhadap kerusakan pada lapis bawah dikarenakan

lapisan subgrade tidak stabil. (Gambar 3.12).

Gambar 3.12 Ilustrasi deformasi Permanen (sumber Asphlat Institure, SP-2,


1996)

a. Rutting yang disebabkan terlalu banyaknya tekanan/ pembebanan berulang

yang berdampak terhadap kerusakan pada lapis atas (struktur perkerasan).

Ilustrasinya seperti Gambar 3.13


121

Gambar 3.13 Ilustrasi deformasi Permanen (sumber Asphlat Institure, SP-2,


1996)

Pengujian Wheel Tracking merupakan suatu simulasi, dimana beban

roda bergerak maju mundur melintas diatas benda uji. Ketahanan deformasi dari

benda uji yang telah ditetapkan, dapat diukur dengan melihat hasil yang

diperoleh dari kedalaman alur (Rut Depth) setelah dilalui sejumlah lintasan, atau

Laju Deformasi (RD, Rate of Deformation) dalam mm/menit (Shell Bitumen,

1990). Disamping itu juga dapat diukur nilai Stabilitas Dinamis (DS, Dynamic

Stability), yaitu jumlah lintasan yang diperlukan untuk membentuk alur sedalam 1

mm. Stabilitas Dinamis (DS) dan Laju deformasi (RD) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

x C1 x C2 ……….............................................. (3.4).

…............................................................................. (3.5)

Dengan:

DS = Stabilitas Dinamis (lintasan/mm)


122

RD = Laju Deformasi (mm/menit)

d1 = Deformasi pada pengujian 45 menit (mm)

d2 = Deformasi pada pengujian 60 menit (mm)

c1 = Faktor koreksi peralatan adalah 1.0

c1 = Faktor koreksi spesimen adalah 1.0

t1 = 45 menit

t2 = 60 menit

3.3.1. Perilaku Deformasi Permanen Pada Pekerasan Beton Aspal dengan


Variasi suhu rendah

Akibat permukaan aspal yang kasar menyebabkan air dapat menjadi

terperangkap bekas roda ban yang mengakibatkan terjadinya skid resistensi

berkurang, peningkatan potensi hydroplaning dan percikan air yang mengurangi

jarak pandang. Perkembangan rutting menyebabkan retak dan akhirnya

menyebabkan terjadinya disintegrasi atau kegagalan. Persoalan ruttin

merupakan bagian yang sangat penting terhadap kegiatan pemeliharaan dan

biaya baik pada jalan arteri maupun jalan sekunder.(Rabbiva Garba, 2002).

Awal terjadinya rutting dalam bentuk gaya geser pada lapisan beton aspal

dan akibatnya mempengaruhi tingkat pelayanan lapisan struktur perkerasan

jalan, kenyamanan pengguna jalans dan social ekonomi masyarakat. Untuk itu

diperlukan suatu perencaan yang dan estimasi yang tepat terkait penggunaan

dan prilaku bahan aspal dengan tingkat seleksi yang ketat sebagai dasar dalam

meningkatkan kinerja perkerasan jalan dalam mengatasi terjadinyan rutting.

Untuk perlu ada kajian atau penelitian dilaboratorium terhadap kerentanan

terjadinya rutting pada temperature yang tinggi atau diatas 400C sebelum

dihampar dilapangan.. Penelitian laboratorium yang komprehensif diperlukan,


123

untuk mempelajari sifat fisik dan sifat mekanik agregat pada risistance rutting

atau prilaku deformasi permanen pada campuran aspal (Imran Hafeez, 2009).

Distribusi bahan pokok melalui jalur transportasi dengan muatan

melebihi kapasitas jalan menyebabkan berat kotor rata-rata truk meningkat

sehingga mayoritas truk beroperasi mendekati batas beban as gandar yang

disyaratkan. Di negara-negara di mana penegakan batas beban gandar yang

disyaratkan ditemukan atau tidak ada (ciri Negara berkembang), truk beroperasi

pada beban gandar yang disyaratkan dan yang jauh dari batas beban gandar

yang disyaratkan. Peningkatan beban gandar, akibat tekanan ban yang lebih

tinggi telah menjadi hal umum dalam industri angkutan truk. Tekanan ban yang

lebih tinggi mengurangi bidang kontak antara ban dan lapisan perkerasn,

sehingga terjadi peningkatan tegangan yang memberikan kontribusi terhadap

terjadinya deformasi yang lebih besar dalam perkerasan lentur, dengan adanya

jejak roda ban yag menyebabkan terjadinyan rutting. Hal ini sebagai konsekuensi

dari tekanan ban dan tekan as beban gandar meningkat pada permukaan

lapisan aspal akbat adanya tekanan yang tinggi mengakibatkan deformasi

permanen (irrecoverable) (Rabbiva Garba, 2002).

Pada lapisan perkerasan, campuran aspal panas mengalami rutting pada

atau dekat persimpangan jalan khusus pada temperature tinggi dibandingkan

dengan perubahan suhu pada kondisi temperature rendah atau dingin. Hal di

sebabkan pada temperature dingin struktur perkerasan menjadi kaku., dan

kekakuan HMA akan berkurang dengan peningkatan suhu. Umumnya, tidak ada

rutting signifikan dalam struktur lapisan perkerasan aspal yang sama

dipersimpangan akibat beban lalu lintas yang bergerak cepat (Prithvi S. Kandhal,

1998).
124

3.3.2. Deformasi permanen pada perkerasan lentur

Deformasi permanen pada perkerasan jalan lentur, yang biasa disebut

(rutting dan geser), Alur, biasanya terdiri dari lendutan memanjang yang terjadi

pada jalur roda kendaraan, merupakan akumulasi dalam jumlah kecil terjadinya

deformasi disebabkan oleh adanya peningkatan beban (Gambar 3.14 Asphalt

Institute, 1996). Adanya jejak roda ban pada campuran aspal akibat campuran

memiliki kekuatan geser yang cukup untuk mendukung gaya tekan diterima.

(Sousa et al.1991).

Gambar 3.14 Accumulated plastic strains in pavements (After Asphalt Institute,


1996)

Eisemann dan Hilmar mengevaluasi prilaku deformasi pada perkerasan

aspal menggunakan alat Wheel Tracking (pelacakan jejak roda) dan mengukur

kedalaman rata-rata serta volume pergeseran bahan aikibat tekanan ban dan

daerah lendutan, menyimpulkan bahwa:

1. Pada tahap awal dari pembebanan, peningkatan deformasi akibat tekanan ban

ini jelas lebih besar dari peningkatan zona lendutan. Oleh karena itu, dalam

tahap awal, pemadatan lalu lintas atau densifikasi merupakan kondisi yang

secara umum sering terjadi dalam tahapan konstruksi.


125

2. Setelah tahap awal, terjadi penurunan volume akibat tekanan dan ekivalen

dengan peningkatan volume di zona terjadinya lendutan dan didaerah yang

saling berdekatan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya rutting setelah

pemadatan akibat beban lalu lintas berakhir. Adanya rutting disebabkan oleh

deformasi geser pada lapisan dasar perkerasan, yaitu, distorsi tanpa

perubahan volume. Dengan demikian, deformasi geser dianggap mekanisme

utama rutting sebagian besar terjada masa pelayanan perkerasan jaanr.

Ada tiga komponen utama bekerja pada jejak roda yang menyebabkan

terjadinya penurunan pada lapisan perkerasan jalan yaitu, momen plastis,

deformasi mekanik, dan konsolidasi. Momen plastis dapat terjadi baik dilapisan

tanah dasar pada sturktur perkerasan jalan, atau dalam campuran beton aspal itu

sendiri. Momen plastis biasanya diidentifikasi oleh adanya penurunan titik pusat

beban akibat tekanan dengan adanya pergeseran lapisan aspal di kedua sisi

beban menjadi lebih tinggi (terjadi sungkur). Jarak dari sungkur (menyerupai

gundukan) dari pusat merupakan indikasi kedalaman di mana momen plastis

(gerakan plastis) terjadi.

Gambar 3.15 Pavement deformation (Sumber : Hye et al, 1992)


126

Mekanisme deformasi dapat terjadi ketika sebuah elemen di bawah

permukaan perkerasan kehilangan integritasnya atau kemampuan yang

diakibatkan adanya beberapa faktor, dan adanya distribusi tekanan akibat beban

kendaraan. Suatu hal yang biasa terjadi dan merupakan kondisi yang umum

sebagai dasar terjadinya penurunan yang disertai adanya pola retak pada lapisan

perkerasan akibat. Sebuah kebiasaan yang disebabkan oleh konsolidasi yang

diidentifikasi oleh adanya penurunan pada jalan akibat adanya distribusi beban

sebagai dampak proses pemadatan yang tidak optimal selama konstruksi dan

menerima tekanan akibat beban lalu lintas secara berulang baik lapisan sub

base, base, sub grade maupun pada lapisan campuran aspal. Penurunan terjadi

dikedua sisi yang mengalami tekanan ban yang menimbulkan jejak roda pada

lapisan perkerasan jalan.

Sungkur
Tekanan lapisan perkerasan
Permukaan perkerasan

Gambar 3.16 Deformasi lapisan permukaan (Sumber : Archlla, 2000)

Gaya geser didefinisikan sebagai perpindahan campuran aspal kearah

horisontal. Ada dua pokok mekanisme terjadinya gaya geser. Yang pertama
127

adalah ketidakstabilan dari campuran aspal, dimana menghasilkan indeks plastis

(kelelehan) yang rendah menyebabkan terjadinya pergeseran arah horisontal.

Ketidakstabilan, dan adanya gaya geser yang diakibatkan tekanan beban, hal ini

yang sering terjadi sebagai dampak pemakaian atau persentase aspal pengikat

yang terlalu banyak (void udara rendah) menyebabkan terjadinya bleeding.

Polishing

Bleeding Raveling

Gambar 3.17 Surface defects (Sumber : Hye et al, 1992)

Pemakaian aspal yang terlalu banyak berfungsi sebagai pelumas bukan

berfungsi sebagai bahan pengikat.. Mekanisme kedua yang dapat menyebabkan

gaya geser adalah slip pada lapisan campuran aspal akibat gaya horisontal.

Dalam hal ini, adhesi antara dua lapisan dari campuran tidak cukup untuk

memberikan kekuatan geser yang kuat sepanjang bidang antara dua lapisan.

Lokasi di mana adanya gaya horisontal yang cukup tinggi akibat pengereman

khusus pada daerah persimpangan jalan (pada posisi kendaraan harus berhenti

tiba-tiba atau dengan kecepatan tinggi), dan jalur menanjak di jalan raya,

terutama dengan volume lalu lintas untuk kendaraan berat yang tinggi. Hal yang

penting adalah factor ketidakstabilan pada campuran dengan persentase kadar


128

aspal yang sangat tinggi. secara umum perencanaan suatu campuran aspal

dengan kekuatan geser yang cukup adalah dengan mengunakan menambahkan

pasir dan filler yang cukup serta penggunaan aspal dengan viscositas yang

rendah. Perkerasan aspal memiliki ketahanan yang lebih tinggi untuk aplikasi

pembebanan cepat dibandingkan dengan aplikasi beban yang lambat..

3.3.3. Meminimalkan deformasi permanen pada campuran aspal

Beberapa pertimbangan dalam desain campuran aspal umumnya yang

dapat meminimalkan terjadinya rutting dan lendutan (deformasi permanen) :

1. Mengurangi kandungan aspal : kandungan aspal yang lebih tinggi diperlukan

untuk meningkatkan umur kelelahan dan daya tahan dari campuran aspal,

tetapi cenderung meningkatkan rutting dan menimbulkan masalah.pada

campuran dan harus dimaksimalkan untuk kelelahan dan terjadinya

deformasi permanen

2. Gradasi agregat kasar : Fine gradasi atau campuran dengan gradasi halus

yang berlebih, lebih rentan terhadap deformasi permanen.

3. Sudut dan bertekstur kasar Agregat: Hal ini terutama berlaku untuk agregat

halus pecahan. Ini telah dibuktikan oleh Kalcheff dan Tunicliff dan Brown dan

Cross bahwa campuran dengan menggunakan pasir hasil pecahan batu dan

bersudut lebih tahan terhadap deformasi permanen dari campuran dari

agregat alami dengan bulat atau sub pasir alam bulat (Prithvi S. Kandhal,

1998).

4. Peningkatan kandungan udara : Campuran dengan kandungan udara dalam

mineral agregat (VMA) dan Isi aspal yang lebih tinggi memiliki

kecenderungan untuk memiliki kandungan udara yang sangat rendah

setelah pemdatan akibat beban lalu lintas. campuran seperti kehilangan


129

stabilitas setelah mencapai tingkat pemadatan kritis dan mulai rutting dan

.deformasi

5. Kandungan aspal dengan Viskositas tinggi : Sebuah pengikat aspal dengan

viskositas tinggi pada suhu 60°C akan rentang terjadinya geser sepanjang

bidang momen plastis dalam campuran dibandingkan dengan viskositas

rendah bahan pengikat aspal.

6. Kandungan gradasi halus yang tinggi: Kenaikan minus fraksi 75 mikron

memiliki kecenderungan campuran menjadi kaku (Meningkatkan viskositas)

bahan pengikat.

7. Ukuran agregat besar : Pada kadar aspal yang tepat ukuran agregat lebih

besar (seperti 19.5 mm) pada campuran lapis permukaan cenderung lebih

tahan terhadap deformasi permanen.

8. Penurunan tebal lapisan Overlay l: Jika trotoar yang ada secara struktural

suara (misalnya,Portland semen beton), tebal lapisan campuran aspal yang

tidak perlu dibuat lapisan tipis khususnya dalam daerah kritis seperti

persimpangan. lapisan tipis (misalnya, bahan pengikat dapat dihilangkan)

pada daerah-daerah guna mengurangi resiko yang dapat menimbulkan

permasalahan.

9. Peningkatan Obligasi antara lapisan perkerasan: Kurangnya ikatan yang baik

antara lapisan perkerasan (Terutama di atas 150 mm dari lapisan

perkerasan) dapat menyebabkan slip karena adanya gaya geser.

3.3.4. Perilaku deformasi permanen pada perkerasan lentur

Berbagai pengalaman hasil penelitian menunjukkan bahwa rutting pada

campuran aspal panas (HMA) umumnya terjadi pada atas 3 sampai 5-inci. Jika

campuran HMA yang digunakan memiliki kualitas yang, peningkatan ketebalan


130

lapisan pada kondisi campuran berkualitas buruk tidak akan menurunkan rutting

pada lapisan HMA. Faktanya,dengan meningkatkan sifat material dan karateristik

campuran akan signifikan dalam mengurangi potensi terjadinya deformasi

permanen (Kennedy. et al, 1996).

Jejak rutting Ketidakstabila rutting Struktur rutting

Gambar 3.18 Tipe rutting pekerasan lentur berdasarkan penyebab rutting


(Sumber : Ali, 2006)

Untuk nilai kemiringan jalan normal, kedalaman rutting sampai dari 12,5

mm (0,5 inci) biasanya masih dapat diterima sebagai batas maksimum yang

diijinkan kedalaman akibat jejak roda (Huang, 1993 & Kennedy, et al, 1996).

Mekanistik-empiris panduan desain (MEPDG) mendefinisikan tiga tahap

yang berbeda untuk terhadap perilaku deformasi bahan aspal pada lapisan

perkerasan di bawah himpunan material, beban dan keadaan lingkungan. tahap

primer merupakan tahap awal miliki potensi rutting yang tinggi, dengan tingkat

penurunan deformasi plastik, terutama yang berhubungan dengan perubahan

volumetrik. Tahap sekunder dengan tingkat rutting yang kecil menunjukkan

tingkat perubahan rutting yang konstan perubahan yang juga terkait dengan

perubahan volumetric campuran aspal; Namun, deformasi geser terjadi

peningkatan. Sementara tahap tersier dengan tngkat rutting yang tingg terutama

terkait dengan deformasi plastik (geser), ada perubahan volume ( Gambar 2

panduan desain AASHTO , 2002).


131

Jika bahan aspal dengan suatu beban yang bekerja atas kekuatan

material, dan pengaruh suhu, material akan mulai berubah bentuk (Stumpf,

2007). Pertama material akan cepat mengalami kerusakan, dan setelah proses

pengerasan, terjadi regangan pada material sampai ke lapisan permukaan

dengan geser tingkat yang lebih rendah. (Gambar 3.19).


Deformasi Lapisan Perkerasan

Gambar 3.19 Prilaku deformasi permanen terhadap model beban berulang pada
lapisan perkerasan (Modifikasi sumber AASHTO Design Guide,
2002)

Berdasarkan NAPA (1996) yang dicuplik dari Epps, J.A (1986) mengatakan

bahwa aspal yang ideal sebagai bahan pengikat campuran beraspal panas

sebaiknya aspal modifikasi. Hal ini untuk memperbaiki atau meningkatkan sifat-

karakterisrik campuran.

a. Kekakuan rendah atau viskositas yang cukup sehingga tidak memerlukan

temperatur tinggi untuk pemompaan, pencampuran dan pemadatan.

b. Kekakuan tinggi pada saat temperature tinggi (musim panas) untuk

menghindari alur (rutting) dan shoving.

c.. Kekakuan rendah pada saat temperature rendah (musim dingin) untuk

menghindari retak.

d. Kelekatan terhadap agregat yang tinggi untuk menghindari stripping.


132

Sifat campuran beraspal yang memiliki kekakuan yang relatif tinggi lebih

tahan terhadap deformasi, seperti campuran beraspal yang menggunakan aspal

keras Pen 40 memiliki kekakuan 1,8-2,3 kali dan stabilitas dinamis sebesar 2,7-

3,3 kali lebih tinggi (Nono dkk, 2004).

3.3.5. Pengaruh suhu terhadap deformasi permanen

Suhu telah ditemukan memiliki dampak yang signifikan terhadap rutting.

Hofstra dan Klomp (1972) diperoleh dari hasil pengukuran lapisan perkerasan

yang memiliki rutting meningkat dengan faktor 250-350 dengan peningkatan

suhu dari 68°F sampai 1400F (20°C hingga 60°C). Linden dan Van der Heide

(1987) melaporkan peningkatan yang signifikan dalam alur yang didapat di Eropa

selama musim panas pada temperature sangat panas pada 1975 dan 1976. Para

peneliti telah mengakui kebutuhan untuk melakukan tes laboratorium pada

kisaran suhu tinggi yang ditemui di lapangan. Bonnot (1986) melakukan

pengujian pada suhu 60°C untuk campuran lapisan permukaan beton aspal dan

lapisan bawah beton aspal suhu pengujian 50°C dasar penentuan.suhu ini dipilih

relatif tinggi untuk mereproduksi kondisi yang paling menguntungkan dan

diharapkan di Perancis.

Tahap ini dikenal sebagai merayap sekunder, atau keadaan creep yang

stabil. Pada tahap ketiga material menjadi tidak stabil dan cepat mengalami

kehancuran (Imran Hafeez, 2009). Besarnya deformasi permanen yang terjadi

(Gambar 2.24). Perbedaan fase terjadinya creep adalah hal yang penting.

Kedalaman rutting yang kritis umumnya ditetapkan pada 10 mm, jika kedalaman

ini tercapai difase primer atau di bagian pertama dari fase sekunder, masa

pelayanan secara fungsional dari Hot Mix Aspal (HMA) lapisan akan mengalami
133

penurunan secara drastis. Sementara pada fase sekunder, tingkat deformasi

terjadi dengan lambat atau penurunan sangat lambat.

3.4. Kelelehan (Fatigue)

Kelelahan merupakan suatu fenomena timbulnya retak akibat beban

berulang yang terjadi karena pengulangan tegangan atau regangan yang

batasnya masih dibawah batas kekuatan material (Yoder et.al,1975). Pengujian

kelelahan dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara tegangan dan

regangan dengan umur kelelahan. Pengujian kelelahan dapat dilakukan dengan

beberapa metode dan menggunakan berbagai bentuk dan ukuran benda uji.

Metode umum untuk mengevaluasi karakteristik kelelahan beton aspal adalah

pengujian lentur berulang (repeated flexural test), (Yoder et.al,1975).

Beberapa efek yang tidak diinginkan dapat terjadi terutama karena tinggi

jumlah kendaraan akibat tekanan beban gandar secara berulang pada lapisan

perkerasan jalan yang semakin tinggi, kondisi lingkungan dan kesalahan

konstruksi. Hal Ini biasanya menyebabkan terjadinya deformasi permanen

(Rutting), kelelahan dan retak pada suhu rendah, layanan umur perkerasan jalan

akan berkurang (Sengoz dan Topal, 2005). Kelelahan dan rutting adalah kondisi

kerusakan paling umum terjadi di perkerasan jalan yang mengakibatkan di

memperpendek umur perkerasan dan peningkatan biaya pemeliharaan. Untuk

itu sangat penting untuk mengetahui dan mencari solusi dalam mencegah

terjadinya kerusakan pada lapisan perkerasan aspal dan meningkatkan

pelayanan serta umur pekerasan jalan. Banyak penelitian telah dilakukan untuk

meningkatkan karakteristik perkerasan jalan yang dapat memberikan rasa

nyaman dan meningkatkan daya tahan dan umur perkerasan lebih lama terhadap

perubahan iklim dan beban lalu lintas.


134

Menurut Arabani et al. (2010), ada dua solusi utama untuk membangun

struktur perkerasan yang lebih tahan lama; pertama, meningkatkan tebal lapisan

jalan yang berdampak pada meningkatkannya biaya konstruksi dan, kedua,

membuat campuran aspal dengan karakteristik dimodifikasi yaitu meningkatkan

sifat bahan pengikat aspal (misalnya, polimer dimodifikasi dengan bahan

pengikat aspal ), juga direkomendasikan untuk meningkatkan ketahanan bahan

pengikat aspal terhadap rutting dan termal retak (kondisi perkerasan dengan

menurunnya fleksibilitas pada suhu rendah) terhadap lapisan perkerasan aspal

(Lu dan Isacsson, 2001;. Navarro et al,2004).

Penambahan bahan tambah (aditif) seperti serat dan polimer pada

campuran aspal dapat menjadi solusi untuk meningkatkan suhu yang tinggi

terhadap rutting, kelelahan pada suhu sedang dan retak pada suhu rendah retak

atau dengan kata lain meningkatkan daya tahan struktur perkerasan. Aditif

seperti serat memberi perkuatan terhadap terjadinya kerusakan yang diakibatkan

oleh lalu lintas berat dengan pembebanan secara selama umur rencana

perkerasan jalan. Sebuah hubungan langsung antara kekuatan tarik aditif dan

rekayasa sifat campuran beton aspal. Bahan aditif lainnya sebagai serat tersebut

dapat meningkatkan besarnya kekuatan regangan yang mampu diserap selama

kelelahan dan proses kerusakan pada campuran yang komposit dengan serat

yang dihasilkan (Mahrez et.al., 2005), serat dan polimer menyediakan jaringan

tiga dimensi efek dalam beton aspal dan menstabilkan aspal sebagai pengikat

pada permukaan partikel agregat dan mencegah dari setiap gerakan pada suhu

yang lebih tinggi (Xu et al, 2010;. Jahromi dan Khodaii, 2008; Ahmedzade et al,

2007)
135

3.4.1 Prilaku kelelehan (fatigue) terhadap kerusakan pada pekerasan jalan

Salah satu model kerusakan yang paling signifikan pada perkerasan

lentur adalah kelelahan. distress ini (Gambar 1) keruskan itu sendiri dalam

bentuk retak (misalnya, buaya cracking), dan hal ini terkait dengan beban lalu

lintas secara berulang-ulang dan ketebalan perkerasan (Roberts et al, 1996;. Mc

Gennis etal., 1994). Berdasarkan literatur tiga fase didefinisikan untuk propagasi

retak kelelahan, yaitu, retak kondisi,stabil dan tidak stabil, crac growth kelelahan

(Liang dan Zhou,1997). Kelelahan retak biasanya dimulai dalam bentuk micro

cracks dan dilanjutkan ke macro cracks, retakan ini tumbuh karena geser dan

gaya tarik pada lapisan perkerasan jalan..

umur kelelahan perkerasan dipengaruhi oleh sifat yang berbeda dari

campuran termasuk jenis dan jumlah aspal yang digunakan dalam campuran,

suhu dan kandungan udara (NCHRP, 2004; SHRP, 1994). Juga, mengamati

gradasi agregat merupakan faktor yang efektif untuk ketahanan lelah dari

campuran aspal bahkan memberikan pengaruh yang besar dibandingkan dengan

pengaruh kadar aspal (Hafiang, 2001).

3.4.2. Pengaruh Jenis campuran dari kelelahan (fatigue)

Sebuah studi ekstensif dilakukan oleh Suo dan Wong, (2009) karakteristik

kelelahan dari tiga jenis aspal bahan beton yaitu:

1. Aspal beton wearing course modifikasi Gilsonite (GM-AC-WC).

2. Split Mastic Aspal (SMA).

3. Aspal beton konvensional wearing course. (AC-WC)

Kuat tarik tidak langsung modulus kekakuan (ITSM) dilakukan pada

empat suhu yang berbeda (10, 20, 30,40 ° C). Selama pengujian modulus

kekakuan, besarnya tegangan diberikan secara bertahap. Selain itu, pengujian


136

kelelehan terhadap kuat tarik tak langsung (ITFT) dilakukan di kedua tegangan

yang dikontrol dan mode tegangan dikendalikan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kekakuan rata-rata untuk GM-ACWC jauh lebih tinggi dari jenis campuran

lainnya, tetapi hasil yang diperoleh dari ITFT menunjukkan bahwa Gilsonite

dimodifikasi ACWC memiliki umur kelelahan terpanjang di antara tiga tingkat

regangan antara 80 dan 200 με, yang sering digunakan dalam desain

perkerasan. Selain itu, itu mencatat bahwa umur kelelahan tiga campuran yang

hampir sama pada regangan sekitar 1000 με (Gambar 4). Juga,tiga dimensi

analisis elemen hingga menggunakan mikromodel kerusakan, yang ditentukan

untuk memperkirakan pertumbuhan kelelahan retak di bawah beban lalu lintas

Hasil keseluruhan diperkirakan umur kelelahan Gilsonite dimodifikasi ACWC dan

AC-WC dimodifikasi serupa, dan dua jenis AC-WC memiliki ketahanan lelah lebih

tinggi dari SMA (Suo dan Wong, 2009).

Sebuah studi banding yang dilakukan oleh Abo-Qudais dan Shatnawi

(2007) pada tiga HMAS berbeda dengan maksimal ukuran nominal 12,5, 19 dan

25 mm. hasil pegujian menunjukkan bahwa gradasi yang lebih besar memiliki

umur kelelahan yang lebih rendah, di lain kata gradasi yang mengandung 12,5

mm maksimum ukuran nominal menghasilkan umur kelelahan tertinggi diikuti

oleh gradasi yang mengandung 19 dan 25 mm maksimum ukuran nominal.

Baru-baru ini, Nejad et al. (2010) mengamati pengaruh ukuran agregat,

suhu dan kadar aspal terhadap karakteristik kelelahan dari berbagai campuan

aspal. Kuat tarik modulus kekakuan (ITSM) dan uji kelelahan indirect tensile

(ITFT) yang digunakan dalam penelitian , menemukan bahwa umur kelelahan

disingkat suhu within creasing. Selain itu, campuran HMA campuran had greater

umur kelelahan dibandingkan dengan campuran SMA dan hal disebakan


137

struktur perkerasan memilki kepadatan dengan daya lekat yang kuat yang

saling berhubungan satu sama lain dibandingkan dengan campuran SMA

Disimpulkan bahwa peningkatan kandungan aspal menyebabkan campuran

kurang fleksibel dan oleh menurunkan ketahanan terhadap kelelahan (fatigue)

(NCHRP, 2004) .Namun, pengaruh gradasi agregat pada perilaku kelelahan lebih

besar dari efek kadar aspal (Hafiang,2001).

3.4.3. Pengaruh aditif dari kelelahan (fatigue)

Casey et al. (2008) menggunakan tiga bahan pengikat aspal yang

berbeda untuk pada campuran split mastic asphalt (SMA) yaitu, pena tradisional

dan serat pengikat (PF), polimer dimodifikasi proprietary aspal yang digunakan

dalam praktek (PMB) dan HDPE daur ulang yang dikembangkan sebagai bahan

tambah aspalr (RP). Untuk PF dicampur dengan aspal pen 40/60l yang

digunakan penambahan 0,4% serat terhadap berat total agregat, juga campuran

yang ditambahkan dengan 4% HDPE merupakan persentase optimal untuk RP

pada bahan pengikat. Pengujian ITFT dilakukan untuk mengevaluasi setiap jenis

campuran aspal. Setiap spesimen adalah 100 mm dan 70 mm dan disiapkan

dengan menggunakan pemadat gyratory. Selama pengujian kelelahan tarik tak

langsung pada spesimen diberikan beban secara berulang dengan beban yang

konstan 124 ± 4 ms , waktu pengulangan 1,5 ± 0,1 s pada suhu 20 ° C. Hasil

pengujian dihubungkan tingkat regangan terhadap jumlah siklus beban

kegagalan pada suatu garfik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PMB dan PF

memiliki ketahanan lelah tertinggi dan terendah dari masing-masing campuran.

Meskipun modified polimer binder daur ulang tidak nilai lebih tinggi yang sama

seperti the proprietary pengikat yang tersedia berdasarkan enhanced

performance bila dibandingkan dengan bahan pengikat aspal dan dimodifikasi


138

mengandung serat selulosa. Ini merupakan suggest result bahwa daur ulang

polimer dimodifikasi pengikat menunjukkan hasil yang lebih baik dan berpontesi

untuk digunakan dan dkembangkan lebih lanjut. (Casey et al., 2008).

Xiao et al. (2009) mempublikasikan hasik studi awal terhadap prilaku

fatigue aspal karet campuran beton beton hangat mengandung aditif (WMA).

Dua jenis pengikat aspal, PG 64-22 dan PG 64-22 + 10% - karet 40 mesh,

dengan penambahan Asphamin and Sasobit sebagai dua aditif aspal hangat

yang digunakan, dan juga dua sumber agregat yang yang digunakan dalam

penelitian, salah satunya adalah jenis granit yang didominasi mengandung

kuarsa dan kalium feldspar (Tipe A) dan jenis lainnya adalah sekis (Tipe B). Sinar

fatigue test dilakukan untuk menilai specimens terhadap ketahanan lelah. Tes

dilakukan dalam ruang dengan control temperature pada 2 ° C dan penerapan

sinusoida loading diulang pada frekuensi 10 Hz. Selanjutnya, modus tegangan

dikendalikan dalam pemberian beban. Hasil penelitian menunjukkan Agregat A

memiliki umur kelelahan terbesar acompared Type B, meskipun Agregat B

memiliki Lowe yang kehilangan abrasi LA dan nilai-nilai penyerapan.

Bahkan,terlepas dari sumber agregat umur kelelahan dari campuran dibuat

dengan karet remah dan aditif WMA adalah lebih besar dari campuran kontrol

(tanpa karet dan aditif WA), kecuali campuran yang mengandung aditif Asphamin

(Xiao et al., 2009).

Dalam studi lain yang dilakukan terhadap sifat kelelahan dari tiga jenis

serat yang dimodifikasi dengan bahan pengikat aspal yang mengandung serat

selulosa, serat poliester dan serat mineral. Hasil ini menunjukkan bahwa

parameter kelelahan | E * | · Sin (δ) (Modulus dinamis | E * | dan fase sudut (δ))

yang menurun, sehingga sifat kelelahan serat dimodifikasi pada campuran aspal
139

meningkat dibandingkan dengan control campuran control (tanpa menggunakan

serat). Selain itu, pada pengujian fatigue tarik tidak langsung (ITFT) yang

dilakukan pada rasio stres yang berbeda, dan hasilnya digambarkan bahwa serat

polyester memiliki pengaruh terbaik pada ketahanan lelah dari campuran antara

tiga campuran yang di uji (Ye , 2009).

3.5. Modulus Elastis

Modulus elastisitas ini sering pula disebut sebagai Modulus Young yang

merupakan perbadingan antara tegangan dan regangan aksial dalam deformasi

yang elastis. Sehingga modulus elastisitas menunjukkan kecenderungan suatu

material untuk berubah bentuk dan kembali lagi ke bentuk semula bila diberi

beban (SNI 2826-2008). Modulus Elastisitas (E) dipakai untuk bahan padat dan

membandingkan regangan dan tegangan. Modulus elastisitas perkerasan lentur

merupakan salah satu parameter perancangan kekuatan struktur perkerasan

jalan dalam metode analitis yaitu menghitung reaksi perkerasan terhadap beban

lalu lintas yang dapat diperoleh dari pengujian laboratorium.

a. Kondisi Sebelum terjadi retak


b. Kondisi Setela terjadi retak

Gambar 3.20 Ilustrasi pengujian IDT-Strenght (sumber : Yoder, E.Y. and M. W.


Witcza. 1975)
140

Angka poisson (µ) adalah angka perbandingan antara regangan

horizontal (Lateral Strain) dan regangan vertical (Axial Strain) yang disebabkan

oleh beban sejajar sumbu dan regangan aksial (Yoder, E.Y. and M.W Witczak.

1975). Persamaan yang dapat digunakan untuk memperkirakan besaran rasio

Poisson pada pengujian beban statis sebagai berikut: Pengujian kuat tarik tak

langsung (IDT Strength) telah digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat teknis

campuran aspal dan telah tersedia standar ASTM untuk menentukan Modulus

Elastis dan Angka Poisson.

Kuat tarik tidak langsung (IDT–Strength) adalah kemampuan lapis

perkerasan untuk menahan beban berupa tarikan yang terjadi pada arah

horizontal. Uji kuat tarik tidak langsung digunakan untuk mengevaluasi

kemungkinan terjadinya retakan yang terjadi pada lapis perkerasan. Pemberian

beban akan mengakibatkan kenaikan tegangan (stress) yang akan diikuti pula

dengan kenaikan regangan (strain), sampai pada regangan tertentu yaitu

keadaan saat benda uji mulai runtuh (mengalami retak) yang berarti tegangan

yang terjadi merupakan tegangan maksimum.

Pada keadaan tegangan maksimum dan regangan tertentu pada benda

uji dianggap mengalami gaya tarik tidak langsung setelah benda uji runtuh atau

retak maka besarnya tegangan yang diperlukan sampai benda uji runtuh akan

semakin turun, tetapi regangan yang terjadi justru semakin besar. Hal ini

disebabkan oleh ikatan dalam benda uji semakin turun karena mengalami retak

yang berakibat pada pecahnya benda uji.

Rumus yang digunakan dalam perhitungan parameter seperti modulus

elastisitas E dan regangan tarik IDT tersebut adalah sebagai berikut:


141

………………………………………………… (3.6)

Dengan :

E = Modulus elastisitas campuran beton aspal (N/mm²)

P = Beban maksimum (N)

∆Rh = Deformasi horizontal benda uji (mm)

Ro = Jari-jari awal (mm)

t = Tebal diameter benda ujia (mm)

µ = Angka poisson

3.6. Modulus Kekakuan

Modulus kekakuan adalah salah satu parameter yang digunakan untuk

perencanaan dan mengevaluasi kinerja campuran beraspal. Karena campuran

beraspal merupakan material yang tidak bersifat elastis sempurna maka

terminologi modulus elastis (E) tidak cocok digunakan dan sebagai gantinya

digunakan istilah Modulus Resilien (MR), yaitu modulus elastisitas berdasarkan

deformasi balik (recoverable strain). Sehingga modulus resilien didefinisikan

sebagai:

𝜎𝑑
MR = ……………………………………………………… (3.7)
𝜀𝑟

Dengan 𝜎d sebagai tegangan deviator, yakni tegangan axial yang

diberikan sedangkan 𝜀r merupakan deformasi yang dapat balik (recoverable

strain). Metode untuk menghitung nilai modulus kekakuan lentur dari campuran

beraspal tanpa pengujian dilaboratorium dikembangkan oleh Shell melalui

penelitian selama lebih dari 20 tahun. Metode ini menggunakan solusi

nomograph yang diperkenalkan oleh Van Der Poel (Shell Bitumen,1990) untuk
142

menghitung modulus resilien campuran beraspal berdasarkan propertis dari

aspal dan konsentrasi volume agregat. Sedangkan Pengujian Modulus Resilien

dilaboratorium dilakukan dengan menggunakan alat “Universal Material Testing

Apparatus (UMATTA)“ dimana benda uji atau campuran pada Kadar Aspal

Optimum Refusal (KAO) Secara umum semakin besar nilai modulus resilien

maka campuran beraspal akan semakin kaku.

Sementara untuk menentukan besarnya modulus dinamis dapat dihitung

dengan persamaan sebagai berikut :

Modulus dinamis (E*) Kim.et al,(2004) :

2.𝑃 𝛽1.𝛾2 −β2.γ1


𝜖= .............................................................. (3.8)
𝜋.𝑎.𝑑 𝛾2.𝐷𝑣− 𝛽2.𝐷ℎ

Dengan P adalah beban terapan, N; adalah lebar strip beban, m; d adalah

ketebalan campuran, m; DV adalah deformasi vertikal, m; DH adalah deformasi

horisontal, m; dan β1,β2,ƴ1 dan ƴ2 adalah koefisien dengan nilai masing-masing :

0.0202307, 0.0062774, .0054818, dan 0.0174723, Nilai-nilai masing-masing ini

didasarkan pada pemuatan lebar Strip lebar 19 mm, diameter 150 mm dan

panjang 50,8 mm.Sudut fase ditentukan sebagai berikut :

𝜕 = 2 𝜋 𝑓 ∆𝑡......................................................................................... (3.9)

dimana f adalah frekuensi, dalam satuan Hz; dan ∆t adalah waktu antara tekanan

dan tegangan, s; ∂ adalah sudut fase, radian. ∂ adalah 00 merupakan elastis

bahan, namun ∂ adalah 900 mewakili tingkat kekentalan bahan.

Kekakuan tarik (ITSM) digunakan untuk menyelidiki modulus kekakuan

dalam makalah campuran aspa beton dengan penguatan serat. Pengujian ini

dilakukan sesuai dengan Standar EN 12697-26 (2006)

Kekakuan modulus dapat dihitung dengan ipersamaan. Berikut ini


143

𝐹 𝑥 (𝜇+0.27)
Sm = .......................................................................... (3.10)
ℎ𝑥𝑍

Dimana Sm adalah tarik tidak langsung modulus kekakuan, MPa; F adalah

beban,puncak N; l adalah 𝜇 rasio Poisson; itu adalah 0,25, 0,30, 0,40 pada 50C,

150 C, 250C masing-masing; Z adalah deformasi dalam arah horizontal,mm; h

adalah tinggi dari spesimen, mm.

3.7 Kuat Lentur (Flexural Strenght)

Untuk menyelidiki kesesuaian ketegangan langsung test set-up dan

ketergantungan dari kandungan serat pada fleksural kekuatan, pengujai balok

terlentur pada tiga titik dilakukan perpindahan dalam kondisi monoton pada

spesimen balok dengan dimensi 50 mm (tinggi) x 50 mm (lebar) x 300 mm

(Panjang) gambar 3.21

Gambar 3 21. Three bonding beam test results (a) test set up

Kekuatan flexural ditentukan dengan menggunakan teori balok sebagai berikut

Khattak et al.(2006) :

............................................................. (3.11)

............................................ (3.12)
144

𝛿 max dapat ditulis dengan menggunakan persamaan (3.11) dan (3.12)

sebagai berikut :

..................................................... (3.13)

.................................................... (3.14)

Hal ini diasumsikan bahwa balok berperilaku sebagai bahan elastis berdasarkan

hukum Hooke.

........................(3.15)

Menggunakan Pers. (2.18) dan (2.19), yang fleksural kekakuan balok dapat

didefiniskan sebagai berikut:

........................................(3.16)

3.8. Variabilitas dan Toleransi Campuran Beraspal


Berdasarkan World Road Association (2000), bahwa variabilitas melekat

pada jenis bahan , karateristik atau fitur yang akan diukur. Setiap bahan yang

diproduksi dan dihampar ditempat kerja memiliki variabilitas yang berbeda

tergantung pada banyak factor. Hampir tidak ada bahan atau proses konstruksi

yang menunjukkan 100 persen sesuai dengan spesifikasi. Oleh karena itu,

toleransi harus digunakan untuk menentukan tingkat penerimaan, berdasarkan

variabilitas dan apa yang dapat dilakasanakan. Keragaman ini mungkin memiliki

pengaruh yang sangat penting pada kinerja jalan. Sangat penting bahwa

toleransi dalam spesifikasi mencerminkan kualitas yang diperlukan untuk produk


145

akhir dan bahwa mereka yang didesain berdasarkan sampling, pengujia dan

kondisi pengelolahan yang sama diharapkan selama konstruksi

Tipikal variabilitas berevolusi dengan waktu. Namun prosedur dan

peralatan konstruksi, metode pengjujian, bahan dan keahlian telah berubah

dengan signifikan. Oleh karena itu, toleransi membutuhkan penyesuaian terus

menerus. Perbaikan teknologi, bersama dengan proses yang lebih baik dan

prosedur pengujian telah menyebabkan penurunan variabilitas. Namun, masih

penting untuk memahami sumber-sumber variabilitas dan pentingnya prosedur

yang standar untuk pengambilan sampel dan pengujian. (Nono, 2010)

Banyak factor yang mempengaruhi variabilitas, termasuk: sifat bahan;

proses produksi/pembuatan; lokasi dan sampling, jarak, area atau volume yang

diwakili; metode pemgujian dan waktu dimana karateristik diukur. Variabibilitas

didefinisikan sebagai kuantifikasi varisi tipikal diperoleh pada bahan atau proses

konstruksi. Berdasarkan NCHRP 232 yang dicuplik oleh World Road

Association (2000) menggambarkan berbagai simber variasi yang dapat dicatat

menjadi lima jenis, yaitu:

a. Variasi melejat adalah variasi acak sebenarnya dari bahah dan merupakan

fungsi dari karakteristik bahan itu sendiri. Variasi tersebut hanya dapat

ditentukan melalui pengambilan contoh dan pengujian dan mungkin bervariasi

dalam besarannya.

b. Variasi pengujian sesuai dengan kurangnya pengulangan antara hasil test.

Hal ini dapat diperoleh dengan beberapa factor, yaitu: kondisi peralatan,

kemampuan operator, kalibrasi prosedur pengujian dan lain-lain.

c. Variabilitas terjadi ketika contoh yang diambil dengan proporsi yang berbeda

dari sekelompok bahan (bacth) yang memiliki kehomogen yang sama.


146

Namun tidak menunjukkan hasil yang sama. Variasi ini mungkin karena teknik

pengambilan contoh tetapi sulit secara jelas terpisah terpisah dari pengujian

variasi, sehingga kedua faktor tersebut umumnya digabungkan. Hal ini

penting untuk mengikuti pengambilan contoh dan prosedur pengujian untuk

mengurangi dalam jenis variasi

d. Variasi dalam sekelompok bahan adalah perbedaan antara hasil uji bukan

fungsi dari teknik pengambilan contoh tetapi berhubungan dengan variasi

nyata karateristik bahan. Contoh dari jenis segregasi agregat.

e. Variasi dari kelompok-kelompok dalam (Batch-to-bacth variation) adalah

merupakan selisih dari suatu kelompok bagan dengan yang lainnya untuk

jenis bahan yang sama yang diproduksi. Variasi dari kelompok-kelompok

bahan akan meningkat ketika proses diluar kendali. Semua jenis variasi dapat

dimasukkan dalam variasi secara keseluruhan, yang merupakan jumlah

variasi individu. Secara keseluruhan variasi digunakan untuk mendefinisikan.

Tabel 3.1 Toleransi campuran aspal panas

Uraian Toleransi

Agregat gabungan yang lolos saringan ± 5 % berat total agregat

- sama atau lebih besar dari 2.36 mm ± 3 % berat total agregat

- 2.36 mm sampai No.50 mm ± 3 % berat total agregat

- No. 100 dan tertahan No. 200 ± 1 % berat total agregat

- No. 200 ± 5 % berat total agregat

Kadar aspal ± 0,3 % berat total campuran

Temperatur campuran keluar dari ± 10oC


pugmil
Sumber : Bina Marga 2010
147

Mengacuh pada spesifiaksi umum dibidang jalan dan jembatan-

Bina Marga (2010) yaitu spesfikasi campuran beraspal panas buku V Divisi

6.3, bahwa toleransi campuran beraspal panas (Tabel 3.1). Sedangkan untuk

toleransi kepadatan lapisan yang telah dipadatkan sama atau lebih besar > 98

% untuk Laston dan 97 % untuk Lataston.

Campuran aspal panas yang diharapkan adalah memiliki

kekuatan yang cukup baik (tahan terhadap deformasi dan retak), kedap air,

tahan lama, mudah dilaksanakan (workability), pemeliharaannya mudah dan

biayanya cukup efektif. (Nono, 2010). Disamping itu, campuran yang

dihasilkan tidak licin, kebisingan rendah, memberikan kenyamanan bagi

penggunanya. Perencaan campuran aspal panas sesuai dengan spesifikasi

supervave dalam pembuatan benda ujinya menggunakan pemadat gyratory,

jumlah girasi rencananya disesuaikan dengan kondisi lalu lintas rencana dan

temperature udara dimana campuran aspal tersebut dilaksanakan. Disamping

itu, persyaratan spesifikasi campuran hanya ditetapkan berdasarkan

volumetric campuran (VMA dan VFB) dan ratio antara bahan pengisi (filler)

dengan aspal serta target VIM ditetapkan 4 % - 5 %. Sedangkan untuk

spesifiaksi campuran aspal beradasarkan Bina Marga untuk lalu lintas

rencana dengan kategori sedang untuk campuran Lataston dan untuk kategori

lalu lintas berat untuk campuran laston dan sangat berat menggunakan laston

modifikasi.

Dalam pembuatan benda uji mengunakan alat pemadat Marshall dan alat

pengetar listrik campuran aspalm, namun jumlah tumbukan dengan

mengguanakan alat Marshall dan lamanya waktu pemadatan dendan alat

pengetar listrik tidak dibedakan. Karateristik campuran aspal yang dihasilkan


148

kemungkinan besar bervariasi. Hal ini dikarenakan banyak factor yang

mempengaruhinya diantaranya akibat kehomogenan bahan, pengambilan

contoh uji, prosedur pengujian kurang tepat, akurasi dan presisi dari alat uji

yang di gunakan serta keahlian personil. Untuk itu untuk menjamin hasil

diperoleh terutama untuk dasar penerimaan pada buku spesifikasi ditetapkan

nilai toleransi, baik dalam penggunaan bahan maupun hasil pelaksanaan

dilapangan. (Nono, 2010).

Anda mungkin juga menyukai