Anda di halaman 1dari 4

Uji triaxial

Tujuan utama uji triaksial adalah untuk menentukan kekuatan batuan padakondisi
pembebanan triaksial melalui persamaan kriteria keruntuhan. Kriteria keruntuhan yang sering
digunakan dalam pengolahan data uji triaksial adalah criteria Mohr-Coulomb. Hasil pengujian
triaksial kemudian diplot kedalam kurva Mohr- Coulomb sehingga dapat ditentukan
parameter-parameter kekuatan batuan sebagai berikut:

Strength envelope (kurva intrinsik)

Kuat geser (Shear strength)

Kohesi (C)

Sudut geser dalam (φ)

Pada pengujian triaksial, contoh batuan dimasukkan kedalam sel triaksial, diberi tekanan
pemampatan (σ3), dan dibebani secara aksial (σ1), sampai runtuh. Pada uji ini, tegangan
menengah dianggap sama dengan tekanan pemampatan (σ3= σ1).

Alat uji triaksial yang digunakan merupakan merujuk pada alat triaksial yang dikembangkan
oleh Von Karman pada tahun 1911 (Gambar 2.4). Di dalam apparatus ini, tekanan fluida
berfungsi sebagai tekanan pemampatan (σ3 ) yang diberikan kepada contoh batuan. Fluida
dialirkan dengan menggunakan pompa hidraulik dan dijaga agar selalu konstan.

Pada mulanya, beban aksial merupakan instrumen utama yang mengendalikan uji ini. Namun
dengan perkembangan teknologi masa kini sudah memungkinkan untuk mengendalikan uji ini
melalui kontrol beban atau deformasi yang dialami contoh batuan, bahkan dengan
menggunakan katup servo, regangan aksial dan tekanan pori dapat juga diatur besarnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uji Triaksial

1. Tekanan pemampatan

Tekanan pemampatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam uji triaksial.
Besarnya tegangan aksial pada saat contoh batuan runtuh saat pengujian triaksial selalu lebih
besar daripada tegangan aksial saat contoh batuan runtuh pada pengujian kuat tekan
uniaksial. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan (pemampatan) dari arah lateral dari
sekeliling contoh batuan pada uji triaksial. Berbeda pada pengujian kuat tekan uniaksial,
tekanan pemampatannya adalah nol (zero confining pressure), sehingga tegangan aksial
batuan lebih kecil. Berdasarkan penelitian Von Karman (1911) pada batuan marbel Carrara
dapat dilihat dengan adanya tekanan pemampatan pada contoh batuan mengakibatkan
kenaikan tekanan aksial dan bersifat lebih ductile. Gambar 2.5 menunjukkan semakin
tingginya tegangan puncak (peak) jika tekanan pemampatannya semakin besar.

2. Tekanan pori

Dari penelitian Schwartz pada tahun 1964 yang mempelajari tentang tekanan pori pada uji
triaksial terhadap batuan sandstone (lihat Gambar 2.6). Dapat disimpulkan bahwa naiknya
tekanan pori akan menurunkan kekuatan batuan.

3. Temperatur

Secara umum, kenaikan temperatur menghasilkan penurunan kuat tekan batuan dan
membuat batuan semakin ductile. Gambar 2.7 menunjukkan kurva tegangan diferensial
(deviatoric stress,

σ3-σ1) – regangan aksial untuk batuan granit pada tekanan pemampatan 500 MPa dan pada
temperatur yang berbeda-beda. Pada temperatur kamar, sifat batuan adalah brittle, tetapi
pada temperatur 800 0C batuan hampir seluruhnya ductile. Efek temperatur terhadap
tegangan diferensial saat runtuh untuk setiap tipe batuan adalah berbeda. Pada penelitian ini,
pengaruh temperature diabaikan.

4. Laju deformasi

Kenaikan laju deformasi secara umum akan menaikkan kuat tekan batuan. Hal ini terbukti dari
penelitian-peneliatian terdahulu. Pada tahun 1961, Serdengecti dan Boozer melakukan
penelitian tentang pengaruh kenaikan laju deformasi pada uji triaksial.

4. Bentuk dan Dimensi contoh batuan

Bentuk contoh batuan pengujian triaksial sama seperti uji kuat tekan uniaxial bentuk silinder.

Semakin bertambahnya ukuran contoh batuan, kemungkinan tiap contoh batuan dipengaruhi
oleh bidang lemah akan semakin besar. Oleh karena itu, semakin besar contoh batuan yang
akan diuji, kekuatan contoh batuan tersebut akan berkurang.
Variasi perbandingan panjang terhadap diameter contoh batuan ( /d) diketahui akan
mempengaruhi kekuatan contoh batuan. Kekuatan contoh batuan akan menurun seiring
dengan menaiknya perbandingan panjang terhadap diameter contoh batuan ( /d). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mogi pada tahun 1962.

Menurut ISRM (1972) untuk contoh batuan pada uji triaksial dan kuat tekan uniaksial,
perbandingan antara tinggi dan diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah 2
sampai 2,5 dengan area permukaan pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus
terhadap sumbu aksis contoh batuan.

5. Tipe Deformasi Batuan pada Uji Triaksial

Secara garis besar tipe deformasi yang terjadi saat contoh batuan runtuh dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu brittle fracture dan ductile fracture. Serdengecti dan Boozer
menyebutkan bahwa brittle fracture terjadi pada tekanan pemampatan yang rendah,
temperatur yang rendah dan laju deformasi yang besar. Sebaliknya, ductile fracture lebih
sering terjadi pada tekanan pemampatan yang tinggi, temperatur yang tinggi dan laju
deformasi yang rendah (Vutukuri, Lama & Saluja, 1974).

Griggs & Handin (1960) menjelaskan deformasi makroskopik yang dialami

batuan pada tekanan pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial. Mereka mendapati

lima tipe deformasi yang terjadi yang dialami contoh batuan saat diberi tekanan

pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial tersebut (lihat Gambar 2.9).

Tipe 1 menunjukkan deformasi brittle yang ditandai oleh bentuk runtuh atau pecah yang
berupa splitting. Splitting dianggap sebagai rekahan yang sejajar terhadap arah gaya tekan
aksial yang mengindikasikan lepasnya ikatan antarbutir dalam contoh batuan karena tarikan.

Tipe 2 masih menunjukkan deformasi brittle, sudah terlihat adanya deformasi plastis sebelum
contoh batuan runtuh (seiring dengan naiknya tekanan pemampatan). Belahan yang
berbentuk kerucut dengan arah aksial menunjukkan terjadinya tegangan kompresif,
sedangkan belahan kerucut akan memiliki arah lateral ketika terjadi tegangan tarik.

Tipe 3 sudah mulai menunjukkan transisi dari brittle ke ductile. Penambahan tekanan
pemampatan menyebabkan contoh batuan runtuh in shear. Shear runtuh terjadi ketika butiran
yang terikat berpindah sepanjang bidang geser. Proses ini terjadi secara perlahan dari tarikan
(tension) dan berakhir dengan geseran (shear).
Karena tekanan pemampatan semakin naik, contoh batuan mulai terdeformasi secara ductile
(laju deformasi semakin menurun) dan contoh batuan sudah mulai bersifat plastis (tipe 4).
Apabila tekanan pemampatan dinaikkan kembali, contoh batuan akan bersifat sangat plastis
dan akan sukar untuk mendapatkan kekuatan puncaknya (tipe 5).

Anda mungkin juga menyukai