Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan di dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

bahwa Negara bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah dara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa ikut serta dalam usaha perdamaian dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1Sehubungan dengan hal

itu maka sudah sepatutnya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan

terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek

kehidupan.

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Anak juga merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus

perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu

harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban

dari perbuatan buruk seseorang.

Anak mempunyai hak-hak yang harus diakui dan dilindungi oleh Negara.

Hak anak merupakan bagian dari HAM meskipun anak masih dalam

kandungan seorang ibu. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah

segala upaya yang ditunjukan untuk mencegah, merehabilitasi dan

1
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1
memberdayakan anak yang mengalami tindakan perlakuan salah, eksploitasi,

penelantaran serta pelecehan seksual.

Selain itu anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan

perlindungan dalam dunia pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 9 butir 1 dan 1a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak yang berbunyi :

Butir 1 “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakat.”

Butir 1a “setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari

kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga

pendidik, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.2

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tertulis bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Artinya bahwa segala sesuatu yang ada di bumi telah mempunyai kekuatan

hukum kuat. 3

Di Indonesia, masalah perlindungan anak mendapat perhatian yang serius.

Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut masalah

perlindungan anak ditegaskan di dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang

2
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
3
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, bahwa:

“Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi,

eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya”.

Meskipun terkandung regulasi demikian, namun dalam kenyataannya anak-

anak di Indonesia masih mengalami pelbagai tindak kejahatan kekerasan baik

berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis. Kekerasan

tersebut dilakukan bukan hanya oleh orang yang tidak dikenal namun orang-

orang terdekatlah yang melakukannya. Salah satunya adalah guru di sekolah.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen tertulis bahwa “ Guru merupakan pendidik professional dengan tugas

utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan

formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.4 Namun dewasa ini,

banyak kejadian-kejadian yang kurang menyenangkan yang terjadi

dilingkungan sekolah yakni guru mencabuli muridnya sendiri seperti kasus

yang terjadi di salah satu sekolah dasar favorit di Kota Kefamenanu,

Kabupaten TTU. Kejadian tersebut mengundang banyak pernyataan dari

berbagai kalangan bahwa Guru seharusnya mendidik muridnya dengan sabar

dan penuh kasih sayang bukan melakukan hal yang tidak senonoh.

Memang sangat sulit untuk dipercaya karena guru yang dikenal sebagai

pahlawan tanpa jasa yang dengan sabar memberikan ilmunya, tega mencabuli

4
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

3
siswa didiknya sendiri. Mungkin bagi dirinya perbuatan cabul yang

seharusnya tidak boleh dilakukan dan perbuatan itu melanggar norma

kesusilaan dianggap hanyalah sebuah aturan belaka yang hanya tercantum

dalam selembar kertas putih dan disimpan rapi.

Berdasarkan pemikiran penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswa

SD GMIT Kefamenanu 4 di Kabupaten Timor Tengah Utara yang kejadiannya

sudah berlangsung lama namun baru diketahui sejak tanggal 28 September

2017 pukul 01:00 Wita oleh salah seorang guru kelas Va yang bernama Albina

Amfoang, S.pd. kejadian itu diketahui melalui selembar kertas yang dituliskan

oleh siswi-siswi SD GMIT Kefamenanu 4 mengenai perilaku yang tidak

senonoh. Dalam kertas tersebut tertulis bahwa oknum guru HLN melakukan

aksinya saat jam istirahat. Ketika semua siswa/siswi keluar dari kelas, guru

tersebut memanggil siswa perempuan untuk masuk kembali ke dalam kelas

dengan alasan ingin memberikan pelajaran tambahan. Setelah siswi-siswi

berada dalam kelas. HLN memanggil satu persatu dan memangkunya sambil

meramas-ramas buah dada, memasukan tangannya kedalam rok lalu meraba-

raba kemaluan hingga mencium siswi tersebut. Aksi ini dilakukan secara

bergantian kepada siswi-siswi SD tersebut. Setelah melakukan aksinya HLN

memberitahukan kepada siswi-siswi tersebut bahwa perbuatan yang

dilakukannya tidak boleh diketahui oleh siapapun dan HLN juga memberikan

uang senilai Rp. 1000.00 atau Rp. 2000.00 pada siswi-siswi tersebut. Karena

4
perkataan HLN yang begitu manis maka membuat siswi-siswi tersebut merasa

bahwa HLN sangat menyayangi mereka.5

Dari kejadian tersebut maka penulis mengambil sebuah judul “Tinjauan

Kriminologis Mengenai Perbuatan Cabul Yang Dilakukan Oleh Seorang

Guru Terhadap Siswa SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor

Tengah Utara”

B. Rumusan Masalah

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya perbuatan cabul

yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswa SD GMIT Kefamenanu

4 Kabupaten Timor Tengah Utara?

2. Bagaimanakah upaya penanggulangan oleh aparat hukum terhadap

perbuatan cabul yang dilakukan oknum guru tersebut?

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan,

terdapat dua judul yang berkaitan judul calon peneliti mengenai pencabulan

yakni:

1. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan

Anak Dalam Perkara Pidana Nomor 9/Pid.Sus/2016/Pn Bsk Di Pengadilan

Negeri Batusangkar. Skrisi ini ditulis oleh Elvyasa Eka Zayuti. Fakultas

5
Hasil wawancara dengan Ibu Margaretha Banu, S.pd

5
Hukum, Universitas Andalas Padang pada tahun 2017 dengan mengangkat

dua rumusan masalah yakni :

a. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

pencabulan anak oleh hakim dalam Perkara Nomor

9/Pid.Sus/2016/PN BSK di Pengadilan Negeri Batusangkar?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan sanksi pidana

terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak oleh hakim dalam

Perkara Nomor 9/Pid.Sus/2016/PN.BSK di Pengadilan Negeri

Batusangkar?

2. Tindak Pidana Pencabulan oleh Lelaki Usia Lanjut terhadap Anak di Kota

Kupang. Skripsi ini di tulis oleh Adeleyda Harefa. Fakultas Hukum,

Universitas Nusa Cendana. Dengan mengangkat 2 (dua) Rumusan

Masalah yakni :

a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan lelaki usia lanjut melakukan

tindak pidana pencabulan?

b. Bagaimana praktek penegakan hukum terhadap lelaki usia lanjut yang

melakukan tindak pidana pencabulan di Kota Kupang?

6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

berdasarkan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi

tujuan penelitian ini, sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yang

dilakukan oleh seorang guru kepada siswa SD GMIT Kefamenanu 4

Di Kabupaten Timor Tengah Utara.

b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan oleh aparat hukum

terhadap pelaku perbuatan cabulan yakni guru SD GMIT Kefamenanu

4.

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi

ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai

penyebab perbuatan cabul dan akibat dari perbuatan cabul.

b. Secara praktis

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat berguna dan

bermanfaat bagi masyarakat yakni sebagai bahan bacaan di fakultas

hukum.

7
E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam proposal skripsi ini adalah jenis penelitian

hukum yuridis empiris yakni mengkaji dan menganalisis data yang

diperoleh dari lokasi penelitian.

2. Metode Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini dilakukan dengan

melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum

yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah

memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan dalam rangka menjawab rumusan

masalah yang diangkat oleh penulis pada penulisan skripsi ini, dilakukan

di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara.

4. Jenis dan Sumber Data

Data pendukung dalam penelitian ilmiah yang penulis lakukan terdiri

atas 2 (dua) jenis data, yakni :

a. Data Primer

Data dan informasi yang diperoleh secara langsung melalui

wawancara dengan Kepala Sekolah dan Pihak berwajib yang

menangani kasus pencabulan oleh guru terhadap siswa SD GMIT

Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah Utara.

8
b. Data Sekunder

Data yang sudah ada dalam bentuk jadi dan diperoleh dari

dokumen-dokumen, arsip-arsip resmis, serta literatus lainnya yang

relevan dalam melengkapi data primer penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara (interview)

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan

mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada

responden dan jawaban responden dicatat atau direkam. Selain itu

wawancara juga dapat dilakukan melalui telepon. Teknik wawancara

dapat digunakan pada responden yang buta huruf dan/atau tidak

terbiasa membaca atau menulis, termasuk anak-anak.

b. Studi Kepustakaan (library Study)

Studi Kepustakaan (library study) yaitu penelitian yang

dilakukan pada buku-buku, artikel hukum, di internet untuk

memperoleh data yang berkaitan dengan kasus pencabulan tersebut.

6. Teknik Pengolahan dan Analisi Data

a. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan beberapa proses yaitu

editing. Artinya dimana data yang dikumpulkan diperiksa dan

kemudian dilakukan pengelolaan coding atau memberi kode pada

data yang telah diperiksa dan klasifikasi ke dalam kelompok.

9
b. Analisis Data

Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder diolah

terlebih dahulu kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan

secara deskripsi yaitu menjelaskan, menguraikan dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya

dengan permasalahan penelitian ini.

7. Populasi Sampel dan Responden

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat

dalam peristiwa pencabulan ini, maupun yang menanganinya yaitu

Pelaku, Siswa dan Guru SD GMIT Kefamenanu 4, Kepolisian,

Kejaksaan dan Hakim.

b. Sampel

Teknik dalam penentuan sampel ini adalah purposive sampling

(penunjukan) yakni Pelaku, dan Guru, beberapa Polisi, Jaksa dan

Hakim yang menangani kasus tersebut.

c. Responden/Informasi

Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :

1. Pelaku : 1 orang

2. Siswa SD GMIT Kefamenanu 2 (korban) : 2 orang

3. Kepala Sekolah SD GMIT Kefamenanu 4 : 1 orang

4. Guru SD GMIT Kefamenanu 4 : 2 orang

5. Penyidik : 2 orang

10
6. Jaksa : 1 orang

7. Hakim : 1 orang

Jumlah : 10 orang

8. Aspek Penelitian

Aspek-aspek dalam penelitian ini adalah

a. Faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang

guru kepada siswa SD Gmit Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah

Utara.

1. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri

individu dalam hal ini dalam diri pelaku yang mendorong pelaku

untuk melakukan perbuatan cabul serta yang hal-hal yang

mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual.

2. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada diluar diri

pelaku yang mendukung terjadi perbuatan cabul.

b. Upaya penanggulangan oleh aparat hukum terhadap pelaku perbuatan

cabul yakni seorang guru SD GMIT Kefamenanu 4.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencabulan

1. Pengertian pencabulan

Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda yaitu strafbaarfeit atau delict, namun dalam perkembangan hukum

istilah strafbaarfeit atau delict memiliki banyak definisi yang berbeda-beda,

sehingga untuk memperoleh pendefinisian tentang tindak pidana secara lebih

tepat sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian mengenai tindak pidana

itu sendiri. Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut salah satu ahli

hukum yaitu Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang

didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut.6

Pencabulan berasal dari kata “cabul”. Di dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia memuat arti kata sebagai berikut: “keji dan kotor”, tidak senonoh

(melanggar kesopanan, kesusilaan). Perbuatan cabul digolongkan sebagai

salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan

dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti

kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP sudah terdapat

6
(http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/sulistiyaningsih.pdf) hlm 18 di akses 3
maret 2018

12
penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan

tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan

sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan. Menurut

Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan

dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud

untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan

dengan pandangan umum untuk kesusilaan. Ketika seorang dewasa melakukan

hubungan seksual dengan anak yang belum berumur 18 tahun maka orang

tersebut akan dianggap sebagai pelaku yang telah melakukan penyimpangan

seksual ataupun kejahatan seksual kepada anak. Secara Yuridis orang dewasa

yang melakukan hubungan seksual dengan anak dianggap mempunyai

kelainan yang sering disebut pedofilia dan telah melakukan perbuatan cabul

padaanak, namun dewasa ini perbuatan cabul juga sering dilakukan oleh ayah

kepada anaknya, saudara ataupun teman dan hubungan kekasih.

Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang

melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota

kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian

perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.7

Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan yang diatur

dalam bab XIV buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan. Perbuatan

cabul juga merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada

7
R.Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

13
anak dibawah umur dan harus di pertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana

konsep responbility atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral

yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Hukum pidana merupakan saranan

yang sangat penting dalam penanggulangan setiap permasalahan yang

merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya.

Penanggulangan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara

“preventif” (pencegahan) dan “refresif (penindakan). Bentuk

penanggulangan tersebut yakni diterapkan sanksi berupa pemenjaraan

terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan memberikan efek jera kepada

pelaku agar tidak melakukan tindak pidana dan juga agar pelaku sadar bahwa

perbuatan yang dilakukannya salah, selain itu juga pelaku dapat mengubah diri

sehingga menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat.

Sanksi pemidanan mengenai perbuatan cabul diatur dalam KUHP pasal

294 ayat (1) yang ancamannya adalah penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.8

Selain itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak, ketentuan tersebut dalam Pasal 82 yang berbunyi “setiap

orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa melakukan tipu muslihat, serangkaiaan kebohongan atau membujuk

anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat

8
Kitap undang-undang hukum acara pidana

14
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000.00 (tiga ratus juta

rupiah) dan paling sedikit Rp. 60. 000.000. 00 (enam puluh juta rupiah)”9

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencabulan

Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dalam pasal 289 sampai pasal 296,

dimana dikategorikan sebagai berikut :

a. Perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan

Perbuatan tersebut diatur dalam pasal 289 KUHP yang berbunyi “barang

siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk

melakukan atau dibiarkan perbuatan cabul, diancam karena melakukan

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara

paling lama Sembilan tahun. Perbuatan cabul yang dilakukan kepada

seseorang yang pingsan atau tak berdaya diatur dalam Pasal 290 KUHP di

pidana paling lama tujuh tahun penjara. Ayat (1) “ barang siapa

melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya orang

itu pingsan atau tak berdaya”

b. Perbuatan cabul dengan sesama jenis yang diketahui belum dewasa

diancam dengan pidana penjara lima tahun. Diatur dala Pasal 292 KUHP.

c. Perbuatan cabul dengan cara membujuk diatur dalam Pasal 290 KUHP

dengan ancaman tujuh tahun penjara.

d. Perbuatan cabul dengan cara tipu daya dan kekuasaan yang timbul dari

pergaulan terdapat dalam Pasal 293 KUHP yang menentukan bahwa

“barang siapa dengan hadiah atau dengan perjanjian akan memberikan

9
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

15
uang atau barang dengan memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan

atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang dibawah

umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinyaatau patut dapat

disangkanya masih dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia,

atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukannya pada dirinya, dipidana

dengan pdana penjara selama-lamanya lima tahun.10

e. Perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak dibawah

pengawasannya yang belum dewasa terdapat pada Pasal 294 KUHP

diancam pidana penjara tujuh tahun.

f. Memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya

yang belum dewasa terdapat dalam Pasal 295 KUHP diancamlima tahun

perjara dan diancam empat tahun penjara jika memudahkannya.

g. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain sebagai pencarian atau

kebiasaan terdapat Pasal 296 KUHP yang menentukan pidana penjara

selama-lamanya satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak

lima belas ribu ripiah.

3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan

Untuk menentukan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul

yang melanggar Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, 296 KUHP serta Undang-

undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

10
Op cit. hlm 309

16
a. Barangsiapa

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan merupakan

unsur, hanya memperlihatkan si pelaku (dader) adalah manusia, tetapi

perlu diuraikan lagi manusia siapa dan beberapa orang, jadi identitas

“barangsiapa” tersebut harus dijelaskan.

b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang

berlebihan. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sehingga

memingsangkan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan

kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut ditunjukan kepada wanita itu

sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak

memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

c. Memaksa

Perbuatan memaksa ini di tafsir sebagai suatu perbuatan sedemikian

rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

d. Seseorang

Merupakan individu yang mempunyai hak yang sama dengan lainnya

dan berhak untuk hidup secara bebas dan mendapatklan perlindungan

hukum.

e. Melakukan perbuatan cabul

Suatu perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akibat dorongan

seksual yang ada pada diri untuk melakukan perbuatan cabul untuk

memuaskan nafsu birahinya.

17
B. Konsep guru

Guru merupakan seorang pengajar suatu ilmu. Dalam Bahasa Indonesia

guru umumnya merujuk pendidik professional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi

peserta didik. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14

tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “Guru merupakan

pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan

pendidikan menengah.11

Menurut Noor Jamaluddin, guru adalah orang dewasa yang

bertanggungjawab memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik

dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya,

mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makluk Allah

Khalifah di muka bumi, sebai makluk social dan individu yang mampu berdiri

sendiri.

Menurut peraturan pemerintah, guru adalah jabatan fungsional, yaitu

kedudukan yang menunjukan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak

seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya

didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.12

Menurut keputusan Menteri Pendidikan, guru adalah pegawai negeri sipil yang

11
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
12
(http://pengertian.guru.setimartina.blogspot.co.id) diakses 6 maret 2018

18
diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat untuk melaksanakan

pendidikan disekolah.

Dari pengertian diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa guru tugas

dan fungsi guru sebagai berikut :

a. Guru sebagai mendidik artinya guru adalah pendidik yang menjadi tokoh

dan panutan bagi para peserta didik dan lingkungannya.

b. Guru sebagai pengajar artinya peran guru sebagai pengajar dan

pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh

berbagai factor seperti motivasi.

c. Guru sebagai pemimpin artinya mempunyai kepribadian yang baik dan

ilmu pengetahuan yang luas.

d. Guru sebagai pengelolah pembelajaran artinya guru harus menguasai

berbagai metode pembelajaran.

e. Guru sebagai model dan teladan artinya guru menjadi sorotan peserta

didik dan apa yang dilakukan guru akan diikuti oleh peserta didiknya jadi

guru diharapkan memiliki kepribadian yang baik.

f. Guru sebagai anggota masyaraat artinya guru diharapkan untuk berperan

aktif dalam pembangunan segala bidang yang sedang dilakukan.

g. Guru sebagai penasehat artinya menjadi seorang penasehat bagi peserta

didik dan juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan

khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap

untuk menasehati orang.

19
h. Guru sebagai pendorong kreativitas artinya guru dituntut untuk kreatif

dalam mengajar peserta didik.

Selain tugas dan peran, guru juga mempuyai kode etik tersendiri yakni :

1. Kewajiban beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menjunjung tinggi hokum dan aturan yang berlaku.

3. Mematuhi norma dan etika susila.

4. Menghormati kebebasan akademik.

5. Melaksanakan tridarma perguruan tinggi.

6. Menghormati kebebasan mimbar akademik.

7. Mengikuti perkembangan ilmu.

8. Mengembangkan sikap obyektif dan universal.

9. Menghargai hasil karya orang lain.

10. Menciptakan kehidupan sekolah/kampus yang kondusif.

11. Mengutamakan tugas dari kepentingan lain.

12. Pelanggaran terhadap kode etik guru dan dosen dapat dikenai sanksi

akademik, administrasi dan moral.

20
C. Konsep Anak

Berdasarkan pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang “Perlindungan anak” pengertian anak adalah seorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.13 Sehingga anak yang ada dalam kandungan ibu atau yang belum

lahir kedunia telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.

Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, anak dikategorikan

menjadi beberapa kelompok usia, yakni masa anak-anak ( berumur 0-12

tahun), masa remaja (berumur 13-20 tahun) dan masa dewasa (berumur 21-25

tahun).14 Namun disini penulis berfokus pada anak yang dalam masa anak-

anak (berumur 0-12 tahun). Pada masa kanak-kanak, anak cenderung

memiliki sifat meniru perilaku dari orang-orang terdekatnya yakni keluarga,

teman dan guru disekolah. selain itu dalam masa ini sifat emosionalnya masih

sangat tinggi dan susah untuk dikontrol. Pada masa ini pula anak-anak mulai

mencari teman sebaya dan mulai berhubungan dengan orang-orang yang ada

di lingkungannya lalu mulailah terbentuk pemikiran mengenai dirinya sendiri.

Selain itu pada masa ini juga perkembangan anak dapat berkembang secara

cepat dalam segala bidang baik itu perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan,

sikap sosial dan kepribadian.

Berbicara tentang anak tentu tidak terlepas dari hak-hak yang dimiliki

anak itu sendiri. Hak tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 35 tahun

2014 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa upaya


13
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak
14
(https://www.google.co.id/pengertian-anak-dibawah-umur) di akses pada 18 februari
2018

21
perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konvensi

Hak anak yang meliputi :

a. Non diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan

kepada pendapat anak.

D. Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi

Kriminologi berasal dari kata “crimen” yang memiliki arti sebagai

penjahat atau kejahatan dan kata “logos” yang mempunyai arti ilmu

pengetahuan. Jadi kriminologi dalam bahasa Indonesia adalah ilmu

pengetahuan yang mempelajari tentang penjahat dan kejahatan. Pertama

kali istilah kriminologi digunakan oleh seorang antropologi Prancis yang

bernama Paul Topinard istilah yang digunakan adalah antropologi

criminal. Menurut Sutherland, kriminologi adalah seperangkat

pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social,

termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran

undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang dan

reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.

Kriminologi berorientasi pada: pertama, pembuatatan hukum yang

dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dan faktor-

22
faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua,

pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya,

mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut, serta faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum

melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.15

W. A. Bonger berpendapat bahwa kriminologi adalah ilmu

pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

Kriminologi berkaitan dengan ilmu hukum pidana, dalam hal

penanggulangan kejahatan dengan menetapkan rumusan kejahatan,

memberikan sanksi pada pelaku kejahatan.

2. Teori-teori Sebab Kejahatan

Didalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat

dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang

berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut pada hakikatnya berusaha

untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat

dan kejahatan. Namun untuk menjelaskan hal tersebut tentunya terdapat

hal-hal yang berbeda antara teori satu dengan teori yang lain.

a. Teori Psikoanalisa16

Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan

delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati

nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan


15
Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Kriminologi dan Viktimologi. Djambatan
Jakarta, hlm 54
16
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2017 Kriminologi. PT RajaGrafindo Persada. Depok. hlm 50

23
perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat

mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan

yang harus dipenuhi segera.

Sigmund Freud, penemu dari Psychoanalysis, berpendapat

bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience”

yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebihan. Freud

menyebut bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak

tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap

dan dihukum, dengan begitu perasaan bersalah mereka akan mereda.

Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau

superegonya begitu lemah atau tidak sempurnah sehingga egonya

(yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak

mampu mengontrol dorongan-dorongan id (bagian dari kepribadian

yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk

dipuaskan dan dipenuhi).

b. Teori penyimpangan budaya (cultural deviance theories)17

Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai

yang khas pada lower class (kelas bawah). Artinya menyesuaikan diri

dengan system nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di

daerah-daerah kumuh (slum areas), menyebabkan benturan dengan

hukum-hukum masyarakat. Teori ini juga berargumentasi bahwa

masyarakat kita terdiri atas kelompok dan sub-kelompok yang

17
Ibid hlm 57

24
berbeda, masing-masing dengan ukuran benar dan salahnya sendiri.

Tingkah laku yang diangkap normal di satu masyarakat mungkin

dianggap menyimpang dimasyarakat lain. Akibatnya, orang-orang

yang menyesuaikan diri dengan standar budaya yang dipandang

menyimpang sebenarnya telah berlaku sesuai dengan norma mereka

sendiri, tetapi dengan melakukan hal tersenut mungkin ia telah

melakukan kejahatan (yaitu norma-norma dari kelompok dominan).

Jadi penyimpangan itu tidak selalu berarti buruk/jahat, namun hanya

berbeda.

c. Social control18

Para penganut teori ini menerima bahwa pencurian dapat

dilakukan oleh siapa saja, bahwa kenakalan juga bias dilakukan oleh

siapa saja, bahwa penyala gunaaan obat-obatan juga dapat dilakukan

oleh siapa saja. Pertanyaannya mengapa orang-orang masih mentaati

norma? Jawabannya adalah bahwa anak anak muda dan orang dewasa

mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan pengontrol tertentu

dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi criminal ketgika kekuatan

yang mengontrol tersebut menjadi lemah atau hilang.

Teori control social memfokuskan diri pada teknik-tenik dan

strategi-strategi yang mengatur tingkahlaku manusia dan membawa

pada penyesuaiaan atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.

Menurut E. A. Ross, salah satu bapak sosiologi Amerika, system

18
Ibid hlm 87

25
keyakinanlah (disbanding hukum-hukum tertentu) yang membimbing

apa yang dilakukan orang-orang dan yang secara universal

mengontrol tingkah laku, tidak perduli apa pun bentuk keyakinan

yang dipilih.

d. Teori NKK19

Teori ini merupakan teori terbaru yang mencoba menjelaskan

sebab terjadinya kejahatan di dalam masyarakat. Teori ini sering

dipergunakan oleh apparat kepolisian di dalam menanggulangi

kejahatan dimasyarakat.

Menurut A S. Alam bahwa rumusan teori ini adalah

N + K1 = K2

Ket :

N : Niat
K1 : kesempatan
K2 : Kejahatan

3. Faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul20

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri

individu. Faktor ini khusus dilihat pada diri individu dan hal-hal yang

mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual.

1. Faktor kejiwaan

19
(http://raypratama.blogspot.co.id) diakses 16 maret 2018
20
(http://www.academia.edu/Faktor-faktor-Terjadinya-Kejahatan-Seksual-pada-Anak ) diakses
28 september 2018

26
Kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari

seseorang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan.

Misalnya nafsu seks yang abnormal dapat menyebabkan

perbuatan cabul bahkan sampai pada pemerkosaan terhadap

korban anak-anak dengan tidak menyadari keadaan diri sendiri.

Psikologi (kejiwaan) seorang yang pernah menjadi korban

perbuatan cabul dan/atau pemerkosaan sebelumnya seperti kasus

Emon yang kejiwaannya telah terganggu sehingga ia kerap

melakukan kejahatan seksual pada anak.

2. Faktor Biologis

Pada realitanya kehidupan manusia mempunyai berbagai

macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan biologis itu

terdiri atas tiga jenis, yakni kebutuhan makan, kebutuhan seksual

dan kebutuhan potensi. Kebutuhan akan seksual sama dengan

kebutuhan-kebutuhan lain yang menuntut pemenuhannya.

3. Faktor Moral

Moral merupakan faktor penting untuk menentukan

timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap

munculnya perilaku yang menyimpang. Perbuatan cabul,

disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Seperti kasus

yang terjadi di Kota Kefamenanu yakni seorang guru yang

berinisial HLN tega mencabuli 30 siswa didiknya sendiri.

27
b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar diri si

pelaku.

1. Faktor social budaya

Meningkatnya kasus-kasus kejahatan asusila atau perkosaan

dan/atau pencabulan terkait erat dengan aspek social

budaya. Akibat modernisasi berkembanglah budaya yang

semakin terbuka dan pergaulan yang semakin bebas.

2. Faktor Media Massa

Media massa merupakan sarana informasi didalam

kehidupan seksual. Pemberitahuan tentang kejahatan

pencabulan, pemerkosaan dan lai sebagainya sering

diberitahukan secara terbuka dan didramatisasi umumnya

digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal seperti ini dapat

merangsang para pembaca khususnya orang yang bermental

jahat memperoleh ide untuk melakukan pencabulan.

4. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak,

baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Banyak sekali cara-

cara yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat hanya untuk memberi

efek jera pada pembuat kejahatan.

28
Menurut E. H. Sutherland dan Cressey mengemukakan bahwa dalam

crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua metode yang dipakai untuk

mengurangi frekuensi kejahatan, yakni :

a. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan

Merupakan suatu cara yang ditunjukan kepada pengurangan

jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan

yang dilakukan secara konseptual.

b. Metode untuk mencegah the firs crime

Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya

kejahatan yang pertama kali (the firs crime) yang dilakukan oleh

seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention

(preventif).

Berdasarkan pendapat dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan dapat

dilakukan secara preventif dan represif.

a. Upaya preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk

mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali.

Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba untuk mendidik

penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam

kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan

dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.

Menurut Barnest dan teeters mengemukakan bahwa cara untuk

menanggulangi kejahatan yakni :

29
1. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk

mengembangkan dorongan-dorongan social atau tekanan-tekanan

social dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku

seseorang ke arah perbuatan jahat.

2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukan

potensialitas criminal atau social, sekalipun potensialitas tersebut

disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang

mendapatkan kesempatan social ekonomis yang cukup baik sehingga

dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

b. Upaya represif

Merupakan suatu upaya penanggulangan kejahatan secara

konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan

dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku

kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar

mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan

yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan

mengulanginya dan orang lain juga tidak melakukannya mengingat sanksi

yang akan ditanggungnya sangat berat.

Dalam upaya ini tentunya tidak terlepas dari system peradilan pidana,

yang dimana dalam system peradilan pidana paling sedikit terdapat 5

(lima) sub-sistem yakni kehakiman, kejaksaan, kepolisian,

pemasyarakatan, dan pengacara, yang merupakan suatu keseluruhan yang

terangkai dan berhubungan secara fungsional.

30
Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan

metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment).

1. Perlakuan (treatment)

Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani

yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringan suatu perlakuan

yakni :

a. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya

perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum

terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu

penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha

pencegahan.

b. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung,

artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum

terhadap si pelaku kejahatan.

Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini

ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang

diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan

agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya serta

dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala.

2. Penghukuman (punishment)

Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk

diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu

beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan

31
penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum

pidana.

Oleh karena Indonesia sudah menganut system pemasyarakatan,

bukan lagi system kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka

dengan system pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar

hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan)

dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.

32
E. Kerangka Berpikir

KRIMINOLOGI

FAKTOR PENCABULAN UPAYA


PENANGGULANGAN
PENYEBAB
GURU-SISWA

Penjelasan :

Perbuatan cabul adalah salah satu perbuatan keji dan kotor yang tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang guru karena dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan
bahwa “ Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Namun dalam
kenyataanya berbanding terbalik dengan pengertian tersebut. Guru yang
seharusnya mendidik dengan penuh tanggungjawab malah melakukan hal-hal
yang tidak senonoh atau mencabuli siswa didiknya sendiri oleh karena itu
penulis sangat tertarik untuk mengkaji kasus ini dengan melihat dari aspek
kriminologinya yakni faktor apakah yang menyebabkan perbuatan cabul itu
terjadi dan bagaimana cara menanggulangi perbuatan tersebut.

33
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dewasa ini banyak sekali kejahatan-kejahatan yang terjadi di Indonesia,

mulai dari kejahatan pencurian, perampokan, pengeroyokan, perbuatan cabul

dan bahkan sampai pada tahap pemerkosaan. Saat ini penulis membahas

mengenai kejahatan perbuatan cabul yang marak diperbincangkan saat ini di

wilayah kota kefamenanu. Perbuatan yang tidak terpuji itu dilakukan oleh

seorang guru terhadap siswa didiknya sendiri, Sesuai hasil wawancara dengan

dengan penyidik pembantu Briptu Syukur A. S. Djailape mengatakan ada 2

orang siswa yang dicabuli yakni anak MSN dan anak ADP.21 Dalam

pemeriksaan pelaku mengakui perbuatannya pada Briptu Syukur bahwa

pelaku melakukan perbuatan cabulnya sejak tahun 2016 sampai dengan 2017

namun pelaku lupa hari, tanggal dan bulan saat kejadian cabul itu terjadi.

Pelaku menjelaskan bahwa pada tahun 2016 yang mana pelaku lupa hari

tanggal dan bulan, pelaku menyuruh muridnya untuk setiap pagi harus

mencium pipinya sebelum memulai aktifitas belajar mengajar. Selain itu

pelaku juga sering menghukum korban dalam hal ini anak MSN dan anak

ADP dengan cara mencium pelaku dan memeluk korban, saat itu korban

masih berada didekat pelaku lalu pelaku memasukan tangannya kedalam rok

21
Wawancara dengan penyidik pembantu Briptu Syukur a. S. Djailape

34
seragam para korban dan tangan pelaku memegang kemaluan korban, pelaku

melakukan hal tersebut dengan alasan karena korban tidak bisa membaca.

Kemudian pada tahun 2017 yang mana pelaku juga melupakan hari

tanggal dan bulan pada saat itu korban MSN datang bersama beberapa siswa

lainnya, pelaku langsung memeluk korban dan mencium serta memegang

kemaluan korban, setelah itu korban MSN langsung kembali ke kelasnya.

Kemudian pelaku menarik lagi seorang siswa yang berinisial ADP, pelaku

langsung memasukan tangan kedalam rok seragam dan memegang kemaluan

korban, setelah itu korban langsung disuruh kembali kedalam kelasnya. Atas

kejadian tersebutlah pelaku dilaporkan ke kantor Polres TTU untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Menurut pengakuan korban, anak ADP dan anak MSN bahwa memang

benar dirinya mengalami perlakuan yang tidak senonoh dari pelaku sejak

tahun 2016 saat itu korban duduk dibangku kelas II SD, bahwa hamper setiap

hari pelaku berbuat bejat pada korban dan teman-teman korban. Kejadiannya

bermula saat korban beserta murid lainnya berada didalam kelas, pelaku

menyuruh siswa laki-laki keluar dari dalam kelas untuk bersenang atau

beristirahat namun siswa perempuan tetap berada di dalam ruang kelas.22 Saat

itulah pelaku melakukan aksi bejatnya yakni menyuruh satu atau dua siswa

untuk masuk ke dalam kolong meja, kemudian pelaku menyuruh korban naik

ke atas pangkuannya lalu pelaku mencium pipi kiri dan pipi kanan korban,

kemudian membuka rok korban dan menurunkan celana dalam korban hingga

22
Wawancara dengan korban ADP dan MSN di SD GMIT Kefamenanu 4 pada tanggal 4 Desember
2018

35
pelaku memasukan tangannya sambil meraba-raba kemaluan korban. Saat

penulis bertanya lagi korban mengatakan bahwa pelaku mencabulinya dengan

cara “dia (pelaku) buka dia (pelaku) pu lelak (selangkangan) kemudian dia

(pelaku) suruh saya (korban) duduk di dia (pelaku) punya pangku, terus dia

(pelaku) buka saya (korban) punya rok dan celana dalam terus dia (pelaku)

raba saya punya pepe (kemaluan) terus dia (pelaku) cium saya (korban)

punya pipi kiri dan pipi kanan lalu dia (pelaku) ramas-ramas saya punya susu

(payudara). Korban mengaku bahwa sering merasa kesakitan saat pelaku

meramas-ramas payudaranya dan meraba-raba alat kelaminnya. Korban tidak

pernah memberitahukan pada siapapun tetang kejadian tersebut karena takut,

tidak ada guru satupun yang mengetahuinya selain korban dan siswa lainnya

yang saat itu berada didalam kelas. Kejadian ini terungkap ketika korban telah

naik ke kelas III SD. Karena kejadian itulah yang membuat penulis ingin

mencari tahu faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul dan upaya

pemerintah dalam penanganan kasus tersebut.

1. Faktor Penyebab Terjadinya perbuatan Cabul Yang dilakukan Oleh

seorang Guru SD GMIT Kefamenanu 4 Kabupaten Timor Tengah

Utara

Ada bermacam-macam kejahatan yang sering terjadi disekitar kita,

baik itu kejahat secara fisik, psikis, seksual maunpun ekonomi tanpa kita

sadari kejahatan tersebut dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang

lain, seperti yang terjadi di Kefamenanu, kejadian terbut menyita banyak

36
perhatian dari berbagai kalangan karena kejadian itu terjadi di tempat

yang tidak seharusnya terjadi yakni di sekolah, sekolah merupakan

tempat dimana seseorang dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya. di

sekolah kita dididik untuk menjadi seseorang yang berkelakuan baik

namun di SD GMIT Kefamenanu seorang guru tega mencabuli siswa

didiknya.

Oleh karena itu berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara

dengan pelaku HLN, data yang didapat terkait faktor penyebab

terjadinya perbuatan cabul yakni pelaku mengakui bahwa adanya

perbuatan percabulan terhadap anak dibawah umur dan pelaku

mengenali korban, pelaku mengaku bawasannya dia tidak sadar saat dia

melakukan perbuatan cabul dikarenakan dirinya mengalami penyakit

kelainan sejak awal bulan Oktober tahun 2014 tetapi dari pengakuan ini

ada sedikit kejanggalan karena pelaku tidak memeriksa keadaannya ke

dokter dengan alasan tidak memiliki biaya.23 Namun yang kita ketahui

bahwa gaji guru setiap bulannya dipotong 2% dari penghasilan yang

didapatnya per bulan untuk biaya kesehatan dan mereka diberikan kartu

BPJS serta dokter keluarga yang dapat membantu mereka dikala sakit.

Oleh karena itu menurut penulis pengakuan dari pelaku hanyalah sebuah

alasan semata untuk meringankan hukuman yang akan dijalaninya.

Menurut penulis mengenai pernyataan pelaku mengenai kelainan itu

hanya dijadikan alasan semata untuk meringankan hukuman yang akan

23
Wawancara dengan pelaku HLN di Rutan Kefamenanu pada tanggal 5 Desember 2018

37
dijalaninya. Pemikirann penulis mengenai alasan pelaku yang

mengatakan dirinya mengalami kelainan hanya dijadikan sebagai alasan,

dibenarkan oleh Kepala Kanit Unit Perlindungan Perempuan dan Anak,

Brigpol ibu Arsi Kartiningsih pada saat diwawancarai pada jumaat 11

januari 2019, beliau mengatakan bahwa saat dirinya memeriksa pelaku,

pelaku terlihat normal, selain itu dari pihak penyidik juga menghadirkan

psikolog untuk membantu dalam pemeriksaan dan pelaku terbukti tidak

mengalami kelainan/gangguan mental. Kata ibu Arsi kelainan yang

dimaksudkan oleh pelaku berkaitan dengan hal-hal mistis yakni adat,

dalam pemeriksaan pelaku mengatakan bahwa setelah isterinya

meninggal dunia, dirinya salah menyelesaikan adat karena adanya

beberapa tata cara adat orang belu yang harus diselesaikan stelah

istri/suami meninggal dunia yakni lobu tali artinya potong tali sepotong

sebelum penguburan sebagai tanda melepaskan kepergian sang

istri/suami. Koro metan artinya melepaskan duka setelah jangka waktu

sekitar 40 hari terhitung tanggal kematian namun pada kenyataannya

pelaku tidak melakukan kedua adat tersebut selain itu juga pada saat

istrinya meninggal dunia pelaku diberikan oleh keluarganya sebotol

minuman adat untuk diminum saat itulah pelaku mengaku bahwa setelah

dirinya meminum minuman tersebut, pelaku tidak dapat mengontrol

setiap perilakunya oleh karena itulah pelaku melakukan perbuatan cabul

tanpa disadari.24

24
Wawancara dengan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Brigpol Ibu Arsi

38
Berdasarkan penjelasan diatas penulis meranik kesimpulan bahwa

ada dua faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul yakni : faktor

internal dan faktor eksternal :

a. Faktor Internal

1. Kebutuhan Seks

Kebutuhan ini merupakan satu dari sekian banyak

kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, mungkin bagi

sebagian orang kebutuhan ini tidaklah penting namun bagi

pelaku kebutuhan akan hubungan seksualitas adalah salah satu

kebutuhan terpenting yang harus dipenuhi. Umumnya

kebutuhan akan seksualitas merupakan kebutuhan primer. Pria

selalu erat kaitannya dengan seks, bagi kebanyakan pria

kebutuhan seks lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan

makanan, sudah menjadi perbincangan public bahwa sebagian

besar pria selalu memikirkan seks setiap saat karena bagi

mereka seksualitas mempunyai kenikmatan tersendiri.

Sesuai hasil wawancara dengan pelaku, penulis

menemukan beberapa fakta bahwa pelaku memulai aksi

cabulnya ketika istrinya telah tiada atau dapat dikatakan telah

meninggal dunia. Saat istri pelaku meninggal dunia mereka

telah memiliki 6 orang anak yakni 5 orang anak perempuan dan

1 orang anak laki-laki. Pelaku melakukan perbuatan bejatnya

Kartiningsih pada jumat 11 Januari 2019

39
dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan seks sehingga pelaku

menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada orang-orang yang

berada disekitarnya dan orang-orang tersebut merupakan siswa

didiknya sendiri.

2. Unsur Sakit Hati

Sakit hati merupakan tumpukan emosi yang terakumulasi

dan melibatkan perubahan perilaku seseorang dari yang ceria

menjadi sedih dan bahkan dari seorang yang memiliki perilaku

baik bias berubah menjadi seorang yang jahat. Emosi juga bias

berujung pada tindakan kekerasan yang merugikan arang lain,

efek lainnya dapat timbul dalam bentuk pikiran buruk yang

mengarah baik kedalam maupun keluar diri.

Menurut hasil wawancara pelaku HLN mengaku bahwa

dirinya merasa sangat kehilangan karena ditinggal mati oleh

sang istri dan juga merasa bahwa dirinya tidak mampu untuk

membesarkan ke 6 orang anaknya itu.25 Sehingga dirinya

berniat untuk mencoba mencari pengganti istrinya yang mampu

mendidik dan merawat anak-anaknya serta menjadi pendamping

hidupnya. Namun apa daya, niatnya itu kandas ditengah jalan

kerena orang yang dianggap mampu menjadi pendamping

25
Hasil wawancara dengan pelaku HLN di rutan kefamenanu

40
hidupnya dan menjadi ibu pengganti bagi anak-anaknya itu

menolak lamarannya tersebut.

Ketika pelaku menceritakan hal tersebut pelaku

mengatakan bahwa dia merasa sakit hati dan mengganggap

bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya, mengapa Tuhan

memberikan cobaan yang begitu berat pada dirinya. Sakit hati

yang mendalam mampu membuat seseorang tidak berpikir

secara jernih, sakit hati tergolong emosi negative yang dapat

berpengaruh terhadap perilaku individu (pelaku) dalam proses

pengambilan subuah keputusan. Sakit hati juga dapat dipahami

sebagai sebuah keadaan dimana pelaku tidak merasa senang

karena dilukai hatinya (ditolak cintanya, dihianati, dihina dan

lain sebagainya). Pelaku mengatakan bahwa sejak awal

perkenalan, dirinya sudah menyimpan rasa simpatik pada sang

pujaan hati yang juga berprofesi sebagai guru, waktu itu istri

pelaku belum meninggal dunia namun sudah mulai sakit-sakitan

sehingga pada saat itu pelaku pelaku masih menahan diri untuk

mendekati pujaan hatinya karena dia menyadari bahwa dirinya

masih memiliki seorang istri yang mesti dirawat, disayangi dan

dijaga dengan penuh kasih sayang tetapi setelah istrinya

meninggal dunia pelaku pun mencoba untuk mendapatkan hati

sang pujaan hati, tetapi takdir berkata lain pujaan hatinya tidak

mencintai dirinya. Karena cintanya ditolak pelakupun merasa

41
sakit hati dan tanpa berpikir panjang pelaku melampiaskan

hasrat seksualitasnya pada siswa yang berada didekatnya.

3. Faktor moral

Ketika penulis bertanya pada pelaku apakah dia pernah

mengalami kekerasan seksual semasa kecilnya? Namun pelaku

membantah hal tersebut, dia mengatakan bahwa dirinya tidak

pernah mengalami kekerasan seksual semasa kecil tetapi pelaku

mengakui bahwa ketika cintanya ditolak dia tak dapat

menyalurkan hasratnya sehingga pelaku melampiaskan pada

orang yang berada disekitarnya.26 Pelaku juga tetap

mempertahankan bahwa dirinya mengidap penyakit kelainan

namun pelaku tidak mengetahui secara jelas penyakit kelainan

apa yang dideritanya sejak awal bulan Oktober 2014 silam.

Penulis sempat berpikir bahwa pelaku mengidap penyakit

kelainan pedofilia yakni keinginan atau hasrat untuk

berhubungan seksual hanya pada anak kecil, orang-orang yang

mengidap kelainan ini akan merasa sangat puas jika

melakukannya dengan anak kecil. Namun pada kasus ini penulis

tidak yakin jika pelaku mengidap penyakit pedofila karena

pelaku mengakui bahwa ketika penyakit itu kambuh, pelaku

tidak mampu menahan diri untuk melakukan perbuatan cabul

26
Hasil wawancara dengan pelaku HLN

42
kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, tanpa

memikirkan siapa yang ada di sekitarnya baik itu anak kecil

atau orang dewasa dia akan melakukan perbuatan cabul, karena

profesinya adalah seorang guru sekolah dasar dan kesehariannya

hanya bersama dengan anak-anak kecil, akhirnya dia

melampiaskannya pada siswa tersebut. Pendapat penulis ini

dibenarkan oleh Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan

Anak, Brigpol ibu Arsi Kartiningsih pada saat diwawancarai

jumaat 11 januari 2019. Sesuai dengan pembahasan penulis

sebelumnya.

Penulis merasa bahwa moral yang dimiliki pelaku

sangatlah rendah, seharusnya pelaku menunjukan perilaku yang

sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku

didalam masyarakat. Pelaku yang merupakan seorang guru

seharusnya memiliki moral yang baik untuk dijadikan teladan

bagi setiap siswa tetapi pelaku malah menunjukan perilaku yang

tidak senonoh atau dapat dikatakan pelaku memiliki moral yang

buruk atau amoral. Moral merupakan salah satu faktor penting

yang sering diajarkan di rumah, gereja dan di sekolah, tidak

perduli seberapa pintarnya seseorang namun yang lebih

diutamakan adalah moral yang baik. Karena moral yang baik

akan memajukan bangsa dan Negara tetapi amoral akan

menghancurkan segalanya.

43
4. Faktor Keinginan

Keinginan manusia merupakan segala sesuatu kebutuhan yang

ingin dipenuhi oleh seseorang, namun keinginan tidak bersifat

mengikat dan tidak memiliki keharusan harus terpenuhi.

Keinginan juga merupakan suatu dorongan dari dalam diri

seseorang untuk memiliki, mendapatkan dan melakukan

sesuatu, keinginan berbeda dengan kebutuhan, kebutuhan

adalah hal yang wajib dan harus dipenuhi. Sesuai dengan hasil

penelitian, penulis menemukan adanya keinginan oleh pelaku

dimana rasa untuk melampiaskan hasrat seksualitasnya.

Dibuktikan dengan hasil yang ditemui dilapangan yakni pelaku

melakukan aksinya hampiar setiap harinya, hal tersebut sudah

menunjukan bahwa adanya keinginan untuk melakukan

perbuatan bejat tersebut. Anak yang seharusnya disayangi

malah dijadikan sebagai tempat pemuas nafsu birahinya.

b. Faktor eksternal

Sesuai hasil wawancara dengan kepala sekolah Margaretha

Banu, Spd membenarkan bahwa pelaku merupakan Guru Kelas II

B, pelaku bekerja di sekolah dasar GMIT Kefamenanu 4 sejak

tahun 2000 sampai dengan tahun 201727. Ibu margaretha

mengatakan bahwa siswi sering sekali meminta uang dari pelaku

27
Wawancara dengan kepala sekolah Margaretha Banu, Spd

44
selain itu siswi merasa senang digendong oleh pelaku, beliau

menilai bahwa perilaku pelaku itu dianggap biasa-biasa saja oleh

siswa/siswi sehingga mereka selalu mencari keberadaan pelaku dan

pelaku pun memanfaatkan kesempatan tersebut.

Menurut ibu Hana E. Ratuwalu, S.pd. SD selaku wakil kepala

sekolah sekaligus merangkap sebagai guru kelas VI B mengatakan

bahwa pelaku sering menggendong, memangku dan mencium

siswanya namun ibu Hana E. Ratuwalu tidak mengetahui maksud

terselubung dari si pelaku, semuanya berpikir bahwa perbuatan

pelaku merupakan hal yang biasa-biasa saja karena pelaku memang

terlihat dekat dengan anak kecil dan sayang kepada anak-anak

sehingga tidak ada yang menyadari perbuatan cabul pelaku

tersebut28. oleh karena berdasarkan pembahasan diatas penulis

membagi beberapa faktor ekternal pendukung terjadinya perbuatan

cabul yakni :

1. Faktor lingkungan

Situasi dan kondisi yang mendukung pelaku saat

melakukan aksi bejatnya dalam hal ini pelaku memiliki

kesempatan maka terjadilah perbuatan cabul tersebut dalam

hal ini kurangnya pengawasan dari pihak sekolah. Selain itu

juga salah satu warga (tetangga) yang tidak ingin namanya

disebutkan mengatakan bahwa dirinya juga terkejut

28
ibu Hana E. Ratuwalu, S.pd. SD selaku wakil kepala sekolah sekaligus merangkap sebagai guru
kelas VI B

45
mendengar berita bahwa HLN merupakan pelaku perbuatan

cabul. Karena dimata warga sekitar pelaku adalah orang yang

ramah, baik dan berpendidikan jadi pelaku tidak mungkin

melakukan perbuatan tersebut, karena pemikiran tersebut

pelaku beranggapan perbuatan bejatnya tidak akan diketahui

oleh siapapun.

2. Faktor Informasi mengenai organ seks

Artinya kurangnya pengetahuan tentang pentingnya

menjaga organ seksualitas sejak dini dalam hal ini orang tua

serta guru masih menganggap bahwa memberitahukan

mengenai organ seksualitas kepada anak-anak adalah hal

yang tabuh yang tidak boleh dibicarakan kepada anak

dibawah umur. Sehingga dewasa ini banyak terjadinya

tindakan bejad yang sering dilakukan oleh orang-orang yang

tidak bertanggung jawab salah satu contohnya seperti yang

dilakukan oleh HLN. Oleh karena pandangan tersebutlah

pelaku mengambil kesempatan untuk melakukan aksinya,

pelaku berpikir bahwa aksinya tidak akan diketahui oleh

siapapun, karena anak didik yang dicabulinya belum

mengerti apapun.

Menurut penulis cara pandang masyarakat bahwa tidak

boleh membicarakan mengenai seksualitas didepan anak-

anak adalah suatu hal yang salah, seharusnya anak-anak

46
sudah harus diberitahukan sejak dini mengenai pentingnya

menjaga organ seksualitasnya. Sehingga adank tersebut dapat

mengetahui dan memahami dengan baik bagian-bagian mana

saja yang tidak boleh dijamah oleh siapapun terkecuali,

orang tua, dokter dan saudara demi kepentingan kesehatan

anak tersebut.

3. Faktor Media Masa

Dewasa ini banyak sekali tersebar video-video porno

yang menyebar dimana-mana terkhususnya di sosial media.

Sesuai hasil yang penulis temui dilapangan yakni pelaku

sering menggunakan sosial media (facebook) milik

almarhumah istrinya. Saat ini banyak sekali pemberitahuan

mengenai kejahatan seksual yang tersebar dimana-mana,

salah satunya difacebook. Dalam pemberitahuan tersebut

banyak kata-kata yang telah didramatisir umumnya

digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal ini akan

merangsang para pembaca terkhususnya para pelaku

kejahatan untuk melakukan aksi bejatnya. Penulis

beransumsi bawasannya sebelum pelaku melakukan

perbuatan bejatnya, pelaku sudah membaca bahkan sampai

pada menonton hal-hal yang berbau ponografi sehingga

merangsang pelaku untuk melakukan hal tersebut karena

47
bagi orang yang telah menikah hal yang berbau pornografi

adalah hal yang biasa dan merupakan kebutuhan.

2. Upaya penanggulangan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku

perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang guru SD GMIT

Kefamenanu 4, Kab. TTU

a. Upaya Preventif

Dalam menanggulangi sebuah kejahatan tentulah dibutuhkan

kerja sama anrat team, begitu juga dalam pencegahan kasus ini,

sudah banyak sekali yang dilakukan oleh pihak aparat hukum untuk

mencegah timbulnya kejahatan terkhususnya kejahatan perbuatan

cabul. Sesuai hasil wawancara dengan kanit PPA mengampaikan

bahwa dari puhak sosial telah melakukan penegakan hukum, selain

itu dari pihak kepolisisan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan

Dinas pemberdayaan untuk melakukan sosialisasi terkait dengan

kasus-kasus kejahatan seksual dan sosialisasi tersebut telah

dilakukan setiap tahunnya demi mencegah timbulnya kejahatan

baru.29

b. Upaya represif

Upaya ini dilakukan untuk menangani pelaku sesuai dengan

perbuatan yang dilakukannya sekaligus menegakan hukum yang

29
Wawancara dengan Kanit PPA ibu Arsi Kartiningsih

48
telah dibuat. Berbicara tentang penegakan hukum tentunya kita tidak

terlepas dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Sesuai hasil wawancara dengan kepala sekolah ibu Margaretha

Banu, Spd menyampaikan bahwa pada tanggal 28 september 2017

pukul 01:00 wita wali kelas VA ibu Albina Amfoang Spd menyita

sebuah kertas yang berisikan perbuatan bejat pelaku. Penyitaan

kertas tersebut bermula dari kelas VA gaduh (ribut) dan siswa-siwi

tidak fokus dalam pembelajaran, para siswa hanya sibuk menulis

surat yang berisikan perbuatan bejat pelaku. Saat surat itu dibaca,

wali kelas VA terkejut dan melaporkan pada kepala sekolah pada

tanggal 29 September 2017, setelah kepala sekolah mengetahuinya

pelaku pun dipanggil untuk ditanyai kebenaran namun saat itu

pelaku menyangkal segala pertanyaan yang dituduhkan pada diri.

Pelaku dipanggil untuk kedua kalinya tertanggal 1 oktober 2017

namun pelaku tetap menyangkal bahwa pelaku tidak pernah

melakukan perbuatan bejat seperti mana yang dituduhkan pada

dirinya, hingga sampai pada panggilan yang ketiga tertanggal 5

oktober 2017 pelakupun mengakui segalanya, beliau mengatakan

bahwasannya dirinya melakukan perbuatan cabul tersebut pada

siswa didiknya. Setelah itu pelakupun dilaporkan ke Yayasan,

tertanggal 6 oktober 2017 pelaku ditari kembali keyayasan dan

yayasan pun menyerahkan pelaku pada dinas, setelah itu pelaku

dilaporan ke kepolisian.

49
Atas laporan tersebut pelaku ditangkap pada tanggal 21

November 2017 berdasarkan surat perintah penangkapan Nomor :

SP-Kap/164/XI?2017/Reskim;30

1. Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara sampai

dengan tanggal 11 Desember 2017.

Setelah pelaku ditangkap, pelaku kemudian menjalankan

serangkaiaan pemeriksaan terkait kasus perbuatan cabul tersebut.

pelaku diperiksa oleh Briptu Syukur A.S Djailape NRP 89090633,

jabatan selaku penyidik pembantu pada kantor kepolisian resort

TTU, dalam pemeriksaan pelaku megakui segala perbuatan bejatnya

namun dalam pengakuan tersebut terdapat pembelaan dari pelaku

bahwasannya dirinya tidak pernah memberikan uang pada siswa/i

untuk membujuk mereka agar dapat pelaku bisa melakukan

perbuatan cabul, pelaku membenarkan bahwa memang benar adanya

perbuatan cabul yang pelaku lakukan pada jam pembelajaran dan

juga jam istirahat. Pelaku mengatakan bahwa pelaku memberikan

hukuman pada siswanya yang tidak tahu membaca dengan cara

mencabuli mereka.

Kepala Unit PPA ibu Arsi Kartiningsih membenarkan bahwa

korban perbuatan cabul berjulah kurang lebih 30 siswa dikarenakan

pelaku melakukan aksinya sejak 2016 silam dan para korban sudah

ada yang berada dikelas 3 SD. Namun dalam kasus ini hanya

30
Wawancara dengan Brigpol Ibu Arsi Kartiningsi_Kanit PPA

50
terdapat 2 korban yang memberanikan diri untuk melapor ke Polres

TTU. Kedua korban tersebut dijadikan sampel karena menyinyat

banyak korban yang tidak diiainkan oleh orang tuanya karena orang

tua para korban beranggapan bahwa mereka akan menghancurkan

nama baik keluarga, selain itu juga keluarga korban juga tidak ingin

memperpanjang masalah perbuatan cabul ini karena ditakutkan

psikologi korban terganggu dan korban tidak dapat bergaul seperti

anak pada umumnya, selain itu juga orang tua korban menganggap

bahwa dengan adanya kejadian tersebut dapat menjatuhkan nama

baik keluarga.

Setelah diperiksa berkas dan bukti yang diberikan kepada

penuntut umum maka berdasarkan surat perintah pengkapan Nomor

: SP-Kap/164/XI/2017/Reskrim: untuk perpanjangan penuntut

umum sejak tanggal 12 Desember sampai dengan tanggal 20 januari

2018. Hasil wawancara dengan penuntut umum Kundarat Mantolas,

SH. MH menyatakan bahwa sesuai hasil pemeriksaan dan bukti

yang ada membenarkan adanya tindakan perbuatan cabul dan benar

adanya pelaku perbuatan cabul tersebut adalah HLN oleh karena itu

penuntut umum mengajukan tuntutan pada pelaku sebagai berikut :31

1. Menyatakan pelaku HLN terbukti bersalah melakukan tindak

pidana “Perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur”

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 82 ayat

31
Hasil wawancara dengan Penuntut Umum Kundrat Mantolas, SH.,MH

51
(2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana telh

didakwakan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku HLN dengan pidana

penjara selama 12 tahun dikurangi selama pelaku ditahan, dan

dipidana denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

subsidir pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dengan

perintah pelaku tetap ditahan.

3. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

5.000,- (lima ribu rupiah).

Hakim ketua bapak Decky Arianto Safe Nitbani, SH.,MH

menyatakan bahwa dalam persidangan pelaku HLN didampingi oleh

penasihat hukumnya Adelcy J. A. Teiseran, SH Atvokat Ketua Pos

Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Cabang

Kefamenanu yang berkantor di jalan Ahmad Yani. KM 2 Kefamenanu

jurusan Atambua. Kelurahan Kefamenanu selatan. Kecamatan Kota

Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, berdasarkan surat kuasa

khusus Nomor : 15/SK-PID/ADV.POSKUM/II/2018 tanggal 14 Februari

2018 yang telah didaftarkan di kepanitraan Hukum Pengadilan Negeri

52
Kefamenanu Kelas II dibawah register Nomor :

21/LGS.SRT.KHS/II/2018/PN Kfm, tanggal 21 Februari 2018;32

Hakim ketua mengatakan bahwa setelah mendengar pembacaan

tuntuttan oleh jaksa penuntut umum sesuai yang telah disebutkan penulis

sebelumnya dan mendengar juga nota pembelaan pelaku melalui

penasihat hukum yang pada pokoknya menyampaikan bahwa :

1. Memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan melihat hasil

analisa yurudis Penasehat Hukum pelaku agar pelaku dapat

memperoleh keringanan hukuman.

2. Pelaku dalam persidangan selalu bersikap sopan sehingga tidak

menyuliykan jalannya persidangan dan tidak pernah dihukum,

3. Terdakwa sudah cukup tua sehingga mohon ada pertimbangan

hukum agar pelaku tidak mengakhiri hidupnya di dalam penjara,

4. Memohon agar putusan yang seringan-ringannya sesuai dengan

perbuatan terdakwa,

5. Apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain mohon

memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan keTuhanan

Yang Maha Esa;

Setelah hakim mendengarkan tuntutan dan pembelaan serta

berdasarkan alat bukti maka hakim meimbang bahwa berdasarkan fakta

dipersidangan pelaku memang benar melakukan perbuatan cabul terhadap

kedua anak korban tersebut berulang-ulang atau lebih dari satu kali dalam

32
Hasil wawancara Hakim ketua bapak Decky Arianto Safe Nitbani

53
tempus delicti sesuai keterangan hampir setiap hari dilakukan yakti berkisar

dari pukul 08:00 wita sampai dengan pukul 13:30 wita,perbuatan tersebut

berlangsung sejak takun ajaran 2016 sejak korban duduk dibangku kelas II

SD. Akibat dari perbuatan pelaku korban mengalami trauma dan sesuai data

yang penulis dapat bawasannya korban dijauhi oleh tean-teman sebayanya

dan dianggap yang terjadi pada diri korban meupakan sesuatu yang tabuh dan

yang tidak boleh terjadi pada anak usianya.

Dalam penyelesaian kasus ini korban didampingi oleh Satuan Bakti Pekerja

Sosial Kemensos RI atas nama Patrius Iwan Ro, A.Md dan Yunita Jublina

Sollo, A.Md agar psikologi korban tidak terganggu karena pengaruh dari

lingkungan.

Selanjutnya hakim memberikan pandangan bawasannya menurut

ketentuan pidana sebagaimna dimaksud dalam pasal 82 ayat (2) Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

disebutkan “dalam hal tindak pidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga

pendidik, maka pidanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) disebutkan “setiap orang yang

melanggar ketentuan sebagaimna dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).33

33
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

54
Dari uraian diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan

keterangan-keterangan saksi-saksi yang dijatuhkan penuntut umum didukung

dengan keterangan terdakwa sendiri dan alat bukti lainnya, ternyata

dipandang cukup memenuhi prinsip minimum pembuktian sebagaimna diatur

dalam ketentuan pasal 184 KUHAP. Oleh karena semua unsur dari pasal 82

ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi maka

pelaku HLN terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

“beberapa kali pendidik memaksa anak melakukan perbuatan cabul”

sebagaimna didakwakan dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Selain itu

dalam perkara Perlindungan Anak disamping hukuman pidana juga dapat

dijatuhi pidana denda, maka berdasarkan ketentuan pasal 82 ayat (2)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan

atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, terhadap pelaku turut pula dijatuhkan pidana denda yang

besarnya akan dipertimbangkan dan ditentukan dalam persidangan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Ketua Decky Arianto Safe

Nitbani, SH.,MH Menyatakan Bawasannya didalam pemidanaan, Hakim

diwajibkan pula menjamin dan melindungi hak pelaku/terdakwa.34 Tuntutan

keadilan bukan saja menjadi kepentingan pihak korban atau kepentingan

masyarakat saja tetapi juga merupakan kepentingan pelaku/terdakwa. Baik

34
Hasil wawancara dengan hakim ketua Decky Arianto Safe Nitbani, SH.,MH

55
dalam doktrin maupun peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa

tujuan pemidanaan untuk mengembalikan atau memulihkan pelaku kejahatan

menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Tujuan ini tidak

hanya sebagai kewajiban Lembaga Permasyarakatan tetapi seharusnya sudah

diperimbangkan pula pada saat penjatuhan pemidanaan oleh hakim.

Oleh karena itu berdasarkan Hasil Putusan Nomor 15/Pid.Sus/2018/PN

Kfm pertimbangan diatas Majelis Hakim mengadili sesuai ketentuan pasal

222 ayat (1) KUHAP haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara

dan memperhatikan pasal 82 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat

(1) KUHP dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan sebagai

berikut :35

MENGADILI :

1. Menyatakan terdakwa HLN alias Leki tersebut diatas terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “beberapa

kali pendidik yang memaksa anak melakukan perbuatan cabul”

sebagaimna dalam dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh sebab itu dengan pidana

penjara selam 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp.

100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

35
Hasil putusan Nomor 15/Pid.Sus/2018/PN Kfm halaman 41

56
tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama

6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalanin

oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;

5. Membebani kepada terdakwa tetap membayar biaya perkara

sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupih);

Selanjutnya melalui pertimbangan bahwa berdasarkan fakta-fakta

hukum yang terungkap didalam pertimbangan korban anak ADP dan MSN

masing-masing engalami kerugian dalam hal ini trauma yang dibuktikan

ketika korban melihat pelaku mereka terlihat ketakutan dan menghindar

dari hadapan pelaku. Awalnya korban menyembunyikan kejadian tersebut

dari semua orang, namun dengan berjalannya waktu korban pun

menceritakan perbuatan bejat pelaku pada saudara laki-lakinya yang juga

bersekolah di tempat yang sama dengan dirinya, korban memberitahukan

bahwa dirinya telah mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari gurunya

sendiri.

Berdasarkan peraturan pemerintah korban berhak untuk

mendapatkan restitusi sesuai pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor

44 Tahun 2008 tentang Pemberian Konpensasi, Restitusi, dan Bantuan

Kepada Saksi dan Korban menjelaskan bahwa restitusi merupakan ganti

kerugian yang diberikan kepada korban dan keluarganya oleh pelaku atau

pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti

57
rugi untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk

tindakan tertentu. Namun dalam kasus ini korban tidak mendapatkan

restitusi dikarenakan tidak adanya pengajuan dari korban dan/atau

keluarga korban untuk mendapatkan restitusi.

Sesuai hasil wawancara dengan jaksa penuntut umum Bapak

Kundrat Mantolas, SH.,MH melalui telepon seluler menyatakan bahwa

tidak adanya pengajuan dari pihak korban untuk mendapatkan restitusi

dikarenakan pihak korban menganggap bahwa mereka tidak mengalami

kerugian secara materil serta adanya pertimbangan kemanusiaan dari

pihak korban yakni para orang tua/wali korban anak Adp dan MSN. Bagi

mereka hukuman badan/fisik sudahlah cukup memuaskan36.

Meskipun demikian seharusnya restitusi tidak boleh ditiadakan

karena mengingat masa depan korban yang masih sangatlah panjang.

Korban seharusnya mendapatkan restitusi setidaknya dalam hal

penanganan psikologi korban dengan tujuan mengembalikan rasa

kepercayaan diri yang tinggi karena jika korban tidak ditangani dengan

baik maka setelah korban dewasa, korban bisa saja berubah status menjadi

pelaku perbuatan cabul. Selain itu juga penderitaan korban bisa

berkepanjangan dan terkadang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan

misalnya korban mengalami trauma, depresi, kehilangan harga diridan

bahkan korban mnejadi gila. Oleh sebab itu dalam kasus ini

dibutuhkannya bantuan medis khusunya pada Psikolog atau psikiater

36
Wawancara dengan jaksa penuntut umum Kundrat Mantolas, SH.,MH

58
dalam penanganan sejak dini agar ingatan korban mengenai kejadian

perbuatan cabul yang dialaminya dapat dilupakan sehingga timbullah

kepercayaan diri.

59
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan sebelumnya, dapat diamabil kesimpulan sehubung

dengan pokok permasalahan yang diteliti yakni sebagai berikut :

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan cabul oleh seorang

guru yakni :

a. Faktor Internal

Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya

perbuatan cabul yakni :

1. Kebutuhan Seks artinya dalam hal ini pelaku tidak dapat

menyalurkan hasrat seksualitasnya dikarenakan intrinya

telah meninggal dunia akibatnya orang-orang yang berada

disekitarnya yang menjadi tempat pelampiasan hasrat

seksualitasnya dalam hal ini adalah siswa siswinya sendiri

yang telah menjadi korban perbuatan bejatnya. Pelaku

menggangap bahwa anak kecil tidak memahami apa pun

jadi pelaku bisa melakukan apa saja yang diinginkannya.

2. Unsur Sakit Hati

Artinya pelaku merasa sakit hati karena cintanya

ditolak, namun tak ada yang menyangka bahwa ketika

cintanya ditolak, pelaku akan melakukan perbuatan bejat.

60
3. Faktor Moral

Pelaku memiliki moral yang rendah karena jika

seseorang memiliki moral yang baik, ia tidak akan setega

ini untuk melakukan perbuatan cabul pada siswa didiknya

sendiri

4. Faktor Keinginan

Karena adanya dorongan dari dalam diri dalam hal

ini pelaku memiliki keinginan yang besar untuk

melankukan aksi bejatnya tersebut pada siswa didiknya

sendiri.

b. Faktor Eksternal

Keseharian pelaku hanya bersama dengan anak-anak jadi dari

situlah yang memicu timbulnya perbuatan cabul karena pelaku

beranggapan bahwasannya anak kecil tidak mengerti apapun

yang akan dilakukan pelaku pada diri mereka, yang diketahui

oleh anak-anak bahwa pelaki melakukan perbuatan cabul

tersebut karena pelaku sangat menyayangi mereka, oleh

karena itu ada faktor eksternal yang mendukung terjadinya

perbuatan cabul yakni :

1. Faktor Lingkungan

2. Informasih Mengenai Organ Seks

3. Faktor Media Masa

61
2. Upaya penggulangan oleh aparat hukum terhadap perbuatan cabul

yang dilakukan oleh oknum gurur tersebut yakni ada 2 :

a. Upaya preventif

Yakni upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya

kejahatan dalam hal ini kejahatan perbuatan cabul. Upaya ini

dilakukan oleh pihak Kepolisisan Resort TTU bekerja sama

dengan Dinas Sosoal dan Dinas Pemberdayaan untuk

melakukan sosialisasi terkait seksualitas setiap tahunnya.

b. Upaya Represif

Sesuai data yang penulis dapat bawasannya pelaku

mendapatkan hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya

yakni pelaku dipecat dan diadili sesuai pasal 222 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan bahwa pelaku harus dibebani pula

untuk membayar biaya perkara dan memperhatikan pasa 82

ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun

2014 tentang perubahan atas Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta Peraturan

Perundang Undangan lainnya yang bersangkutan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis ajukan antara lain :

62
1. Selain sosialisasi dari pihak yang berwajib, sekolah juga dapat

memberikan sosialisasi kepada siswa mengenai area mana saja yang

tidak boleh dijamah oleh siapapun seperti payudara/buah dada,

vagina/penis/alat kelamin, bibir, bokong/pantat, paha dan leher

terkecuali dokter, orang tua, saudara dan juga diri sendiri dalam hal

ini demi kesehatan anak itu sedndiri.

2. Bagi pihak kepolisian diharapkan jangan hanya memberikan

sosialisasi setahun sekali tetapi miniman diprogramkan agar

melakukan sosialisasi minimal sebulan sekali.

3. Di setiap kelas dipasang camera CCV agar proses pembelajaran

selalu diawasi agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

4. Memberikan bimbingan ohani kepada seluruh civitas academik

sesuai keyakinan yang dianut setiap orangnya.

5. Diberikannya restitusi pada korban dalam hal ini perawatan

psikologi korban agar korban tidak merasa diasingkan dan juga

mencegah terjadinya kejahatan baru.

63
ORGANISASI PENELITIAN

F. PELAKSANA PENEITIAN

Nama : Noning Rina Mantolas

NIM : 1502010055

Semester : VI (enam)

Penasehat akademik : Norani Asnawi, SH.,M.H

Jurusan : Hukum Pidana

G. PEMBIMBING

Pembimbing 1

Nama : Heryanto Amalo, SH. MH

Nip : 19651130 199203 1 002

Pembimbing II

Nama : Adrianus Djara Dima, SH. M.Hum

Nip :19660407 199005 1 001

64
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku dan Literatur Hukum

Abdul Haris Semendawai, 2017. Potret Perlindungan Saksi Dan

Korban. Bogor. Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban.

Anonymuous, 2015. Pedoman penulisan skripsi Fakultas Hukum

Universitas Nusa Cendana. Kupang.

Irianto Sulistyowati & Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum,

Yayasan Pustaka Obor, Jakarta.

Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Kriminologi dan

Viktimologi. Djambatan Jakarta.

Maya Hehanusa dan Sulistyanta. 2016. Kriminlogi Dalam Teori dan

Solusi Penanganan Kejahatan. Yogyakarta. Absolute Media.

Modul Sekolah Aktivis Perempuan Muda

Moerti Hadiati. 2014. Diktat Penologi Dan Viktimologi. Malang.

Fakultas Hukum Universitas Merdeka

Prof. Suryana. 2010. Metodologi Penelitian, e-book

Suratman & Dillah Philips, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta,

Bandung.

Syarifi Pipin, 2000. Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia.

Bandung

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2017, Kriminologi, PT

Rajagrafindo Persada, Depok.

65
Dokumen perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak

Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Dokumen tambahan (Internet)

(https://www.pengertian-pencabulan) di akses pada 18 februari 2018

(https://www.pengertian-anak-dibawah-umur) di akses pada 18 februari 2018

(http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Sulistiyaningsih.) hlm 18 di

akses 3 maret 2018

(http://pengertian.guru.setimartina.blogspot.co.id) diakses 6 maret 2018

(http://raypratama.blogspot.co.id/teori-sebab-kejahatan) diakses 16 maret 2018

(http://www.academia.edu/Faktor-faktor-Terjadinya-Kejahatan-Seksual-pada-

Anak ) diakses 28 september 2018

66

Anda mungkin juga menyukai