Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KULAH ONLINE

DOSEN MATA KULIAH MA’MUR SYARIFUDIN


H.,M.PD.

Disusun Oleh :

Nama : Yolandia Nugraha

NPM : 0418101005

FAKULTAS BISNIS DAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS WIDYATAMA

Terakreditasi (Accredicted) “B”

S.K Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi


(BAN-PT)

Nomor : 204 SK BAN-PT Akred S 1 2018

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah

ini yang berjudul: “Makalah Kuliah Online”

Saya menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan

tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu

dalam kesempatan ini saya menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari

kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, saya telah

berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat

selesai dengan baik dan oleh karenanya, saya dengan rendah hati dan dengan tangan

terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya saya sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

seluruh pembaca.

Bandung , 8 November 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................. Error! Bookmark not defined.


BAB I .........................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN ................................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar belakang .................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
2.1 Pengertian Masyarakat Madani............................................................................................ 2
2.2 Karakteristik dan Prasyarat Masyarakat Madani ................................................................. 2
2.3 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani .............................................. 4
BAB III ...................................................................................................................................... 7
3.1 Dalil Nakli (Al Qur’an dan Hadist) lengkap dengan artinya ............................................... 7
3.2 Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat)……………………………………………..16

3.3 Asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadist)…………………………………………..23


BAB VI .................................................................................................................................... 39
PENUTUP................................................................................................................................ 39
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat
beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ketika masyarakat dunia berbenah mempersiapkan diri, bersuka cita menyambut
datangnya millenium baru, justru sekali lagi kita memasuki masa-masa yang sulit dalam
perjalanan sejarah bangsa. Setengah abad tidak cukup memadai mengajari kita bagaimana
mengelola peralihan kepemimpinan nasional dan pergantian rezim dengan cara damai. Setiap
rezim selalu meninggalkan warisan yang buruk dan beban yang sangat berat bagi pengganti
dan rakyatnya. Peralihan kepemimpinan kita selalu terjadi dengan cara yang buruk dan di luar
dari apa yang kita inginkan.
Masa transisi kita kali ini bukanlah merupakan pengecualian. Tanggal 21 Mei 1998
sesungguhnya merupakan kulminasi dari penolakan seluruh rakyat Indonesia terhadap
pemerintahan Orde Baru. Seperti juga Soekarno, Soeharto juga meninggalkan begitu banyak
catatan kelam dan segudang permasalahan. Itulah yang membuat pemerintahan transisi
Habibie terkadang tampak seperti sosok yang berdiri kebingungan di atas puing-puing
rumahnya yang baru saja runtuh. Ada kegamangan, ketidakpastian, ketidak terarahan.
Persoalan bangsa kita ternyata tidak selesai dengan lengsernya Soeharto. Kita justru baru saja
memasuki permasalahan yang sesungguhnya. Selain itu, masa ttransisi kita kali ini
relatiflebih rumit dari masa-masa transisi yang pernah terjadi sebelumnya. Pertama, karena
krisis ekonomi telah menghancurkan seluruh basis legimitasi Orde Baru. Kedua, krisis
ekonomi Asia sekaligus mengancam system keuangan dan ekonomi global. Ketiga, krisis
ekonomi di kawasan Asia juga telah memicu terjadinya krisis politik dan berujung pada
pergantian pemerintahan.
Sepuluh tahun yang lalu, penolakan terhadap rezim Orde Baru dan kepemimpinan
Soeharto sudah tumbuh dalam nurani banyak orang dalam masyarakat. Namun itu tidak
terlalu kelihatan, sebab yang muncul kepermukaan biasanya dimulai dari hilangnya perasaan
kolektivitas sebagai bangsa. Munculnya ketidak pedulian terhadap rezim, apatisme,
keputusan untuk mengontrol penguasa dan mendapatkan hak-hak asasi sebagai manusia dan
warga Negara. Hilangnya harapan dan kepercayaan terhadap hukum, keterpaksaan untuk
menghargai prestasi palsu atau mengakui kemenangan hasil kecurangan, membengkakanya
jumlah kaum oportunis dan petualang politik. Semua orang mulai pandai menyembunyikan
sinisme dibalik basa-basi dan eufemisme bahasa menjadi umum terjadi. Kebaikan-kebaikan
semua Orde Baru selalu dijadikan alasan dan dalih untuk memberi dan mendapatkan toleransi
terhadap semua kesalahan dan kezaliman Orde Baru.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Madani

Kata Madani berasal dari akar kata yang sama dengan kata-kata madinah,
madaniyah, dan tamaddun yang berarti peradaban atau “civilization”. Jadi, secara bahasa
istilah masyarakat madani sama dengan istilah “civil society” yaitu masyarakat yang
berperadaban atu suatu masyarakat yang didasarkan pada hukum dalam hidup beradab.
Sebagai sebuah komunitas, posisi masyarakat madani berada di atas keluarga (kelompok
terkecil masyarakat) dan di bawah negara (kelompok terbesar dalam masyarakat).

2.2 Karakteristik dan Prasyarat Masyarakat Madani

Menurut Bahmueller dalam Suharto (2004), ada beberapa karakteristik masyarakat


madani, di antaranya:

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusuf ke dalam


masyarakat melaui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara, yaitu
program-program yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi nonpemperintah (volunteer) mampu menberikan masukan-masukan
terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim
totaliter.
6. Meluaskan kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.

Untuk mencapai karakteristik tersebut ada dua prasyarat pokok yang harus dipenuhi untuk
menjadi masyarakat madani, yakni adanya pemerintahan yang demokratis (democratic
governance) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan adanya masyarakat sipil yang
demokratis (democratic civilian), yaitu masyarakat sipil yang sanggup menjunjung tinggi
keamanan sipil (civil security), tanggun jawab sipil (civil responsibilty), dan ketahanan sipil
(civil resillience). Apabila diuraikan, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat
madani sebagai berikut:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga dan kelompok dalam masyarakat.


2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang
kondusif bagi terbentuknya kemampuan melakukan tugas-tugas kehidupan dan terjalinnya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan, dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadaya untuk terlibat dalam forum, dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijaksanaan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan
yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.

Konsep masyarakat madani dalam Islam adalah konsep masyarakat yang disebut Al Qur’an
sebagai “Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur” artinya Negeri yang baik mendapatkan
ampunan dari Allah SWT, seperti yang dialami oleh negeri Saba di Yaman sebagai contoh
masyarakat yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin, karena senantiasa mendapat nikmat
yang melimpah ruah disertai rahmat dan keridoan Allah SWT. Digambarkan dalam Q.S.
Saba, sebagai berikut:

‫ط ِيِّبَةٌ ِّو‬ ِ ‫سبَ ٍا فِ ْي َم ْس َكنِ ِه ْم ٰايَةٌ ۚ َجنَّ ٰت ِن َع ْن ي َِّمي ٍْن َّو ِش َما ٍل ەۗ ُكلُ ْوا ِم ْن ِ ِّر ْز‬
َ ٌ ‫ق َر ِبِّ ُك ْم َوا ْش ُك ُر ْوا لَهٗ ۗبَ ْلدَة‬ َ ‫َربٌّ َغفُ ْو ٌر ََلَقَدْ َكانَ ِل‬

Artinya: “ Sesungguhnya bagi kaum Saba di tempat kediaman mereka ada tanda (kekuasaan
Allah), yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri (lembah tempat mereka
tinggal). Dikatakan kepada mereka: makanlah oleh kalian dari rezeki Tuhan kalian dan
bersyukurlah kalian kepada-Nya. Negeri kalian adalah negeri yang baik yang mendapatkan
ampunan dari Allah SWT” (Q.S. Saba: 15)

Mereka adalah contoh masyarakat yang beriman dan senantiasa bersyukur kepada Tuhannya
dalam seluruh aspek kehidupan mereka, sehingga mereka mendapatkan berbagai karunia
tersebut. Namun ketika mereka meninggalkan Tuhannya dan kufur dalam seluruh aspek
kehidupannya, karunia yang mereka nikmati berubah menjadi azab dan kesengsaraan.
Lanjutan dari ayat di atas, Allah berfirman:

‫س ْي َل ْالعَ ِر ِم َو َبد َّْل ٰن ُه ْم ِب َج َّنتَ ْي ِه ْم َجن‬


َ ‫س ْلنَا َعلَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ِل ْي ٍل ََتَي ِْن ذَ َواتَ ْي ا ُ ُك ٍل َخ ْمطٍ َّواَثْ ٍل َّو‬
َ ‫ش ْيءٍ ِِّم ْن ِسد ٍْر ق ََ َِّفَاَع َْرض ُْوا فَا َ ْر‬

ْْٓ ‫ٰذلِكَ َجزَ ي ْٰن ُه ْم ِب َما َكفَ ُر ْو ۗا َوه َْل نُجٰ ِز‬
‫ي ا ََِّّل ْال َكفُ ْو َر‬

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah
pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Q.S. Saba: 16-17)
2.3 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Sekarang ini umat islam bisa dibilang sangat jauh dari kondisi cita-cita masyarakat
madani. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini masyarakat muslim di Asia dan Afrika
masih harus berjuang dalam menghadapi persoalan-persoalan serius, seperti kemiskinan,
ketidak adilan, ketidak toleran, kerakusan ekonomi, kebejatan sosial, politik dan budaya serta
kelesuan intelektual yang disebabkanoleh kekuasaan otoriter, ketiadaan stabilitas politik dan
peminggiran hak-hak politik rayat muslim. Oleh karena itu peran pembenahan orang-orang
islam dalam melakukan suatu perjuangan moral dewasa ini adalah melakukan pembenahan-
pembenahan ke dalam tubuh umat muslim untuk menghapuskan kemiskinan, menciptakan
keadilan sosial dan demokrasi serta merangsang kemajuan intelektual umat. Umat islam
harus berprestasi dan berperan dalam mewujudkan tatanan sosial-politik yang demokratis dan
sistem ekonomi yang adil. Hal itu penting, karena keduanya merupakan prasyarat utama bagi
terciptanya kesejahteraan sosial, dan kondisi sosial yang dicirikan oleh budaya yang beragam,
hubungan timbal balik dan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghargai. Hal itu
tidak akan terwujud bila umat islam tidak memperbaiki imannya terlebih dahulu, yaitu
pandangan dan sikap hidup dengan Al-Qur’an menurut sunnah Rasul. Jika tidak maka
masyarakat madani hanyalah sebuah masyarakat yang hanya bisa dimimpikan tetapi tidak
dapat direalisasikan oleh umat Islam di seluruh dunia.

Masyarakat madani adalah masyarakat beradab yang diikat atau diatur oleh
masyarakat yang beradab yang diikat oleh bingkai dalam sesuai hukum islam. Tanpa
pelaksanaan hukum islam, mustahil atau sulit untuk mewujudkan cita-cita mayarakat madani.
Peran hukum islam telah diperlihatkan oleh Rasulullah ketika beliau berada di Madinah saat
menyebarkan syiar-syiar tentang agama islam. Untuk menciptakan masyarakat madani
dengan satu bentuk pemikiran umat islam (hukum islam) yakni fiqh lokal yaitu fiqh Indonesia
yang nantinya akan menjawab persoalan yang sedang terjadi atau berkembang dalam konteks
ke-Indonesiaan.

Wawasan dasar islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan


derajat (kasta), kebebasan dalam bentuk apapun yang merupakan suatu hak dan musyawarah,
termasuk sikap toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia sebenarnya pernah terbangun
dengan baik selama masa Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik.
Wawasan politik islam inilah yang coba direkonstruksi kembali oleh kalangan intelektual
muslim dengan gagasan masyarakat madani.

Wujud masayrakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat yang


dominan di masa lalu. Ketika kelompok masyarakat berkedudukan samadan mengatur
kehidupan bersama secara musywarah dan mencapai mufakat. Perkembangan masyarakat
memerlukan pembaharuan dalam pendekatan melalui antara lain pengembangan masyarakat
madni dengan kedudukan sama bagi semua kelompok masyarakat yang telah ada dan
kehidupan bersama diatur melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Dalam sejarah sosial masyarakat Indonesia, gerakan sosial masyarakat Indonesia
salah satunya dengan mewujudkan dalam bentuk organisasi sosial dimana salah satu
dimensinya adalah organisasi sosial keagamaan. Organisasi ini dalam sejarahnya telah
memainkan peran strategis, sejak zaman pra-kemerdekaan sampai orde reformasi sekarang
ini. Peran yang dilakukan oleh organisasi ini tidak terbatas pada peran tradisionalberupa
pemberdayaan keagamaan dalam bentuk pembinaan kehidupan beragama untuk penguatan
komitmen keagamaan masyarakat penganut agama Islam. Tetapi juga telah memainkan peran
strategis dalam kehidupan sosial dan politik.
Makna utama dari internasional madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-
nilai peradaban sebagai ciri yang utama. Karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak
filsafat yunani sampai masa filsafat islam juga dikenal istilah madinah atau polis yang berarti
kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol
idealisme yang diharapkan oleh masyarakat Di dalam Al-Qur’an Allah memberikan ilustrasi
masyarakat ideal sebagai gambaran dari masyarakat madani dengan firmannya dalam Al-
Qur’an yang artinya : (negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
maha pengampun (QS:Saba’ 15). Masyarakat madani sebagai berikut : bertuhan, damai,
tolong-menolong toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berperasaban tinggi
berakhlak mulia.

Peranan islam dalam mewujudkan masyarakat yang madani sangat beragam


bentuknya. Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana umat islam adalah mayoritas,
peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani sangat benar-benar menentukan
kondisi masyarakat Indonesia sangat tergantung pada konstribusi yang diberikan oleh umat
islam di nusantara. Peranan umat islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-
politik, ekonomi dan masih banyak lainnya di negara Indonesia, memberikan ruang untuk
menyalurkan aspirasinya secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan,
eksistensi dan konsistensi umat islam di Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk
mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara
melalui jalur-jalur yang telah disediakan. Sekalipun umat islam secara kuantitatif adalah
mayoritas, tetapi secara kulitatif masihrendah sehingga perlu ada pembaharuan dan
pemberdayaan secara sistematis dan efisien. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena
sosial yang sangatlah bertentangan dengan ajaran islam, seperti angka kriminalitas yang
masih sangatlah tinggi, korupsi yang telah menjadi budaya di seluruh sektor kepemerintahan,
kurangnya rasa aman dan nyaman si negara sendiri, krisis kepercayaan antara masyarakat
dengan pemerintah dan lain sebagainya. Bila umat islam sudah benar-benar mencerminkan
sikap hidup yang islami dan memiliki ketebalan iman yang cukup, pastinya bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

Peranan umat islam di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat madani sangat


diperlukan dikarenakan umat islam merupakan masyarakat mayoritas. Untuk mewujudkan
harus ada upaya –upaya yang perlu dilakukan yaitu :

1. Keniscayaan peranan umat islam


Umat islam adalah umat yang diberikan oleh Allah di antara pemeluk agama yang
lainnya. Umat islam memiiki aturan hidup yang sempurna dan sesuai dengan fitrah hidupnya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana umat islam adalah mayoritas maka sudah
sangat pasti peranan umat islam sangat menentukan.

2. Keniscayaan sistem ekonomi dan kesejahteraan umat


Sistem ekonomi islam menggunakan prinsip ekonomi yang diasaskan dan dibatasi oleh
ajaran islam. Diman dalam Al-Qur’an dan Hadits dipelajari adanya motif laba (protif) dalam
kegiatan ekonomi, namun terbatasi oleh syarat-syarat moral kehidupan. Kehidupan sosial dan
pembatasan pada setiap diri masyakat. Islam mengharamkan riba, tipu daya, pemaksaan dan
eksploitasi berlebihan dan muderat. Islam lebih mengedepankan ekonomi pasar untuk
mengembangkan harta. Sebab harta bukan saja untuk kesejahteraan pribadi tetapi juga
melihat kesejahteraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Zakat dan wakaf sebagai instrumen kesejahteraan umat

Dalam ajaran islam ada dua dimensi hubungan yang harus dipelihara yaitu hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat, kedua
hubungan ini harus berjalan seimbang dan penuh dengan aturan.
Dengan terlaksanakannya hubungan tersebut maka manusia akan sejahtera baik dunia
maupun akhirat. Untuk mencapai tujuan itu, maka diadakan zakat, sedekah, infaq, hibah dan
wakaf. Dengan pengelolaan zakat dan wakaf dengan baik maka akan terwujud masyarakat
madani yaitu masyarakat akan sejahtera sosial ekonomi.

Berikut adalah prinsip masyarakat madani yang terkandung dalam Al-Qur’an dan AL-Hadits
:
1. Keadilan
Dalam islam sudah diterangkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang aspek kehidupan
dalam bermasyarakat.
2. Supremasi Hukum
Pentingnya berlaku adil karena sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa-apa yang kita
kerjakan.
3. Persamaan
Saling menghargai dan menghormati karena umat manusia harus bersatu walaupun berbeda-
beda
4. Pluralisme (kemajemukan)
Bersikap toleran yang tinggi dan saling menghormati.
5. Pengawasan sosial
Keterbukaan sebagai konsekuensi logis dari pandangan positif dan optimis terhadap sesama
manusia.
BAB III

Hak Azasi manusia

3.1 Dalil Nakli (Al Qur’an dan Hadist) lengkap dengan artinya

Dalil pertama:

Alloh –Ta’ala- berfirman:


ْ َ‫ار ي‬
( ‫طلُبُهُ َحثِيثًا‬ َ ‫ض فِي ِست َّ ِة أَي ٍَّام ث ُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْالعَ ْر ِش يُ ْغشِي اللَّ ْي َل النَّ َه‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫َّللاُ الَّذِي َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم‬
54 /‫َّللاُ َربُّ ْال َعالَ ِمينَ (اْلعراف‬ َّ َ‫ارك‬ ‫ب‬َ ‫ت‬ ‫ر‬
َ َ ُ ْ َ ‫م‬َ ْ
‫اْل‬ ‫و‬ ُ
‫ق‬ ْ
‫َل‬‫خ‬ ْ
‫ال‬ ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬ َ
‫َّل‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬
ِ ‫ر‬ ‫م‬َ
ِْ ِ ‫أ‬ ‫ب‬ ٍ
‫ت‬ ‫ا‬ ‫ر‬ َّ
‫خ‬ ‫س‬‫م‬ ‫وم‬ ‫ج‬ُّ ‫ن‬‫ال‬ ‫و‬ ‫ر‬
َ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ‫م‬َ ‫ق‬ ْ
‫ال‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫م‬‫ش‬َّ ‫ال‬ ‫و‬ .

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al A’raf: 54)

Berhujjah dengan ayat ini dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara menciptakan dan memerintah, keduanya
adalah bagian dari sifat-sifat-Nya, menyandarkan keduanya kepada Dzat-Nya. Adapun
penciptaan adalah perbuatan-Nya, sedangkan perintah-Nya adalah firman-Nya. Hukum asal
dari dua kata yang digabungkan masing-masing mempunyai arti yang berbeda, kecuali jika
ada indikasi yang menyatakan tidak demikian, dalam ayat tersebut ada banyak indikasi yang
menguatkan adanya perbedaan antara keduanya di antaranya adalah sebagaimana yang akan
disebutkan kemudian.

Kedua:

Bahwa penciptaan itu tidak terjadi kecuali dengan perintah, sebagaimana firman Alloh –
Ta’ala-:

82 /‫ش ْيئًا أَ ْن َيقُو َل لَهُ ُك ْن فَ َي ُكونُ ( يس‬


َ َ‫ ) ِإنَّ َما أ َ ْم ُرهُ ِإذَا أ َ َراد‬.

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:


"Jadilah!" maka terjadilah ia”. (QS. Yaasiin: 82)

Firman Alloh: “Kun !” adalah perintah-Nya, jika dianggap sebagai makhluk pasti ciptaan-
Nya tersebut membutuhkan perintah, perintah membutuhkan perintah, dan demikian
seterusnya, yang demikian itu bisa dipastikan kebatilannya.
Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan ayat ini atas Jahmiyah dan Mu’tazilah,
beliau berkata:

“Pendapat saya: “Alloh berfirman:

( ‫) أَّل له الخلق واْلمر‬

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia telah membedakan antara penciptaan dan perintah”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal
dalam Al Mihnah: 53)

Beliau juga berkata kepada mereka:

“Firman Alloh:

]1 :‫( [النحل‬... ‫) أتى أمر هللا‬

“ Telah pasti datangnya ketetapan Allah”. (QS. An Nahl: 1)

Maka perintah-Nya, firman-Nya dan kekuasaan-Nya bukanlah makhluk, maka janganlah


kalian membenturkan sebagian kitabullah dengan sebagian lainnya”. (Diriwayatkan dari Ibnu
Hambal dalam Al Mihnah: 54)

Beliau juga menyampaikan dalam surat kepada Al Mutawakkil pada saat ditanya tentang
masalah al Qur’an:

“Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

َ ‫ ََث ُ َّم أَ ْب ِل ْغهُ َمأ ْ َمنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم ََّل يَ ْعل َوإِ ْن أ َ َحد ٌ ِمنَ ْال ُم ْش ِركِينَ ا ْستَ َج‬6 /‫ُمونَ (التوبة‬
َّ ‫اركَ فَأ َ ِج ْرهُ َحتَّى يَ ْس َم َع ك َََل َم‬
( ِ‫َّللا‬

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke
tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.
(QS. At Taubah: 6)

Dia juga berfirman:

( ‫) أَّل له الخلق واْلمر‬

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia (Alloh) telah mengabarkan dengan kata: “penciptaan” kemudian berfirman: “dan
perintah”, maka Dia Alloh telah menjelaskan bahwa perintah bukanlah penciptaan”.
(Diriwayatkan oleh Sholeh anaknya beliau dalam Al Mihnah: 120-121)

Imam Sufyan bin Uyainah al Hilali al Hafidz, dipercaya dan cerdas yang merupakan guru
dari Imam Ahmad telah mendahului beliau dalam berhujjah seperti ini, beliau berkata:

“Alloh –‘Azza wa Jalla- berfirman:

( ‫) أَّل له الخلق واْلمر‬


“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Yang dimaksud dengan “Al Kholqu” pada ayat tersebut bahwa Alloh –Tabaraka wa Ta’ala-
telah menciptakannya, sedangkan “Al Amru” yaitu Al Qur’an”. (Diriwayatkan oleh Al Aajiri
dalam Asy Syari’ah: 80 dengan sanad yang baik)

Dalil kedua:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

3 – 1 /‫سانَ (الرحمن‬ ِ ْ َ‫ َخلَق‬. َ‫ َعلَّ َم ْالقُ ْرآن‬. ُ‫الرحْ َمن‬


َ ‫اْل ْن‬ َّ ) .

“ (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan
manusia”. (QS. Ar Rahman: 1-3)

Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara llmu-Nya dan ciptaan-Nya, Al Qur’an adalah ilmu-
Nya sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Ilmunya Alloh berbeda dengan makhluk-Nya.
Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ‫َّللاِ ه َُو ْال ُهدَى َولَئِ ِن اتَّبَعْتَ أ َ ْه َوا َء ُه ْم َب ْعدَ الَّذِي ج‬


َّ ‫ ََقُ ْل إِ َّن ُهدَى‬120 /‫ير (البقرة‬
ٍ ‫ص‬ِ َ‫ي ٍ َو ََّل ن‬ َّ َ‫ا َءكَ ِمنَ ْال ِع ْل ِم َما لَكَ ِمن‬.
ِّ ‫َّللاِ ِم ْن َو ِل‬
“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)

Alloh –Ta’ala- telah menamakan Al Qur’an sebagai ilmu, Nabi telah mendapatkannya dari
Tuhannya, Dialah Alloh yang telah mengajarkan kepadanya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dan ilmu-Nya bukanlah makhluk, jikalau ilmu-Nya makhluk maka Alloh akan bersifat
dengan lawan katanya sebelum menciptakan, Maha Tinggi Alloh dan Maha Suci Alloh dari
semua hal itu.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan hal itu, beliau sampaikan dalam kisah
diskusi beliau dengan Jahmiyyah di majelisnya Al Mu’tashim:

“Abdurrahman Al Qazzaz berkata kepada saya: “Alloh ada sebelum Al Qur’an”. Saya jawab:
“Kalau begitu maka Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu..”, dia terdiam. “Kalau dia
mengklaim bahwa Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu, maka dia telah berlaku kafir
kepada Alloh”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 45)

Dikatakan juga kepada beliau –rahimahullah-:

“Suatu kaum berkata: “Jika seseorang berkata: “kalamullah bukanlah makhluk”. Mereka
berkata: “Siapa imam anda dalam masalah ini ?, dari mana ucapanmu bahwa Al Qur’an
bukan makhluk ?”

Beliau berkata:

“Hujjahnya adalah firman Alloh –Tabaaraka wa Ta’ala- :

( ‫) فمن حاجك فيه من بعد ما جاءك من العلم‬


“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu)”. (QS. Ali Imron: 61)

Dan tidaklah yang datang kepada beliau kecuali Al Qur’an”.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Al Qur’an bagian dari ilmu Alloh, maka barang siapa yang mengklaim bahwa ilmu Alloh
adalah makhluk maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Al
Masa’il: 2/153-154)

Dalil yang ketiga:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( 10 /‫ت َر ِبِّي لَنَ ِفدَ ْال َبحْ ُر قَ ْب َل أ َ ْن تَ ْنفَدَ َك ِل َماتُ َر ِبِّي َولَ ْو ِجئْنَا ِب ِمثْ ِل ِه َمدَدًا (الكهف‬
ِ ‫قُ ْل لَ ْو َكانَ ْال َبحْ ُر ِمدَادًا ِل َك ِل َما‬9.

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat


Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al Kahfi: 109)

Alloh –Ta’ala- berfirman:

ٌ ‫َّللاَ َع ِز‬
/‫يز َح ِكي ٌم (لقمان‬ َّ ‫َّللاِ إِ َّن‬
َّ ُ‫ت َك ِل َمات‬ َ ‫ش َج َرةٍ أ َ ْق ََل ٌم َو ْالبَحْ ُر يَ ُمدُّهُ ِم ْن َب ْع ِد ِه‬
ْ َ‫س ْبعَةُ أ َ ْب ُح ٍر َما نَ ِفد‬ ِ ‫) َولَ ْو أَنَّ َما فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض ِم ْن‬
27.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
Luqman: 27)

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan –dan firman-Nya adalah benar- bahwa kalimat-kalimat-
Nya tidak terbatas, kalau saja semua lautan yang telah Dia ciptakan dijadikan tinta untuk
menulisnya, dan semua pohon menjadi penanya, maka akan habis tinta semua lautan tersebut,
penanya pun akan rusak, sedangkan kalimat-kalimat Alloh belum habis. Penjelasan ini
maksudnya adalah tentang keagungan kalam Alloh –Ta’ala- dan kalam tersebut adalah sifat
dan ilmu-Nya. Hal ini tentunya tidak bisa dianalogikan dengan kalamnya makhluk yang akan
musnah, jika kalam Alloh adalah makhluk maka akan habis sebelum habisnya tinta satu
lautan dari semua lautan yang ada; karena Alloh telah menetapkan kerusakan pada semua
makhluk tidak pada Dzat dan sifat-Nya.

Dalil Keempat:

Nama-nama Alloh –Ta’ala- di dalam Al Qur’an seperti: (Alloh, Ar Rahman, Ar Rahim, As


Samii’, Al ‘Aliim, Al Ghafuur, Al Kariim) dan lainnya dari Asma’ul Husna, semua itu adalah
bagian dari kalam-Nya; karena Dia-lah sendiri yang menamakannya dengan nama-nama
tersebut, baik secara lafadz maupun maknanya.

Alloh –Ta’ala- telah menyamakan antara bertasbih pada Dzat-Nya dan bertasbih dengan
Nama-nama-Nya, Alloh –Ta’ala- berfirman:

1 /‫س ِبِّحِ اس َْم َر ِِّبكَ ْاْل َ ْعلَى ( اْلعلى‬


َ )،
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

Alloh –Ta’ala- juga telah menyamakan antara berdo’a kepada Dzat-Nya dan berdo’a kepada
Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

180/‫) َو ِ َّّلِلِ ْاْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى فَادْعُوهُ بِ َها (اْلعراف‬

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-
ul husna itu”. (QS. Al A’raf: 180)

Demikian juga Alloh –Ta’ala- menyamakan antara berdzikir kepada-Nya dengan berdzikir
kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

ً ‫ص‬
25/‫يَل (اْلنسان‬ ِ َ‫ ) َواذْ ُك ِر اس َْم َربِِّكَ بُ ْك َرةً َوأ‬.

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. (QS. Al Insan: 25)

Tasbih, do’a dan dzikir tersebut jika dilakukan kepada makhluk, maka berarti kufur kepada
Alloh.

Jika dikatakan: “Sungguh kalam Alloh –Ta’ala- adalah makhluk”.

Maka berarti nama-nama-Nya termasuk di dalamnya, dan barang siapa yang mengklaim
demikian, maka dia telah menjadi kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan; karena hal itu
mengandung arti bahwa Alloh –Ta’ala- tidak mempunyai nama-nama tersebut sebelum
menciptakan kalam-Nya. Maka juga berarti orang yang bersumpah dengan salah satu dari
nama-nama-Nya adalah musyrik; karena dia telah bersumpah kepada makhluk, sedangkan
makhluk bukanlah sebagai Al Kholiq (pencipta).

Dengan hujjah inilah sekelompok ulama salaf dan para imam berdalil bahwa Al Qur’an
bukanlah makhluk, di antara mereka adalah:

Imam Hujjah Sufyan bin Sa’id ats Tsauri berkata:

“Barang siapa yang berkata: “‫ هللا الصمد‬،‫ “ قل هو هللا أحد‬adalah makhluk, maka dia telah menjadi
kafir”. (Diriwayatkan oleh Abdullah dalam As Sunnah: 13 dengan sanad yang baik)

Imam Syafi’i berkata:

“Barang siapa yang bersumpah dengan salah satu nama dari nama-nama Alloh, lalu dia
melanggarnya maka wajib membayar kaffarat; karena nama Alloh bukanlah makhluk, dan
barang siapa yang bersumpah dengan Ka’bah atau dengan Shofa dan Marwah maka tidak
wajib membayar kaffarat; karena dia adalah makhluk, sedangkan nama-Nya bukanlah
makhluk”. (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i: 193 dengan sanad yang benar)

Ahmad bin Hambal berkata:

“Nama-nama Alloh yang ada di dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an termasuk ilmu Alloh,
barang siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk maka dia menjadi kafir, dan
barang siapa yang mengklaim bahwa nama-nama Alloh adalah makhluk maka dia menjadi
kafir”. (HR. Sholeh dalam Al Mihnah: 52, 66-67)
Dalil kelima:

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan bahwa Al Qur’an telah diturunkan oleh-Nya dan
disandarkan kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

2 /‫ْب فِي ِه ِم ْن َربِّ ِ ْالعَالَ ِمينَ (السجدة‬ ِ ‫) ت َ ْن ِزي ُل ْال ِكت َا‬
َ ‫ب ََّل َري‬

“Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”.
(QS. As Sajdah: 2)

Dia juga berfirman:

ِ ِّ ‫َاب َي ْعلَ ُمونَ أ َ َّنهُ ُمن ََّز ٌل ِم ْن َر ِبِّكَ ِب ْال َح‬


(‫ق‬ َ ‫ ) َوا َّلذِينَ آتَ ْينَا ُه ُم ْال ِكت‬114/‫اْلنعام‬

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa
Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya”. (QS. Al An’am: 114)

Dia juga berfirman:

ِ ِّ ‫) قُ ْل ن ََّزلَهُ ُرو ُح ْالقُد ُِس ِم ْن َر ِبِّكَ ِب ْال َح‬


102 /‫ق ( النحل‬

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar”.
(QS. An Nahl: 102)

Dia (Alloh) tidak menyandarkan sesuatu yang diturunkan kepada Dzat-Nya kecuali kalam-
Nya, hal ini menunjukkan adanya kekhususan dari sisi artinya, maka hal itu tidaklah sama
dengan turunnya hujan, besi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu Alloh telah mengabarkan
bahwa juga diturunkan, akan tetapi tidak menyandarkan kepada Dzat-Nya secara langsung,
berbeda dengan kalam (firman) Nya, kalam itu adalah sifat, sedangkan sifat itu tidak
disandarkan kecuali kepada yang memilikinya tidak kepada yang lainnya, jika sifat itu adalah
makhluk, maka akan berpisah dengan penciptanya dan tidak sah menjadi sifat-Nya; karena
Alloh –Ta’ala- tidak membutuhkan makhluknya dan tidak memiliki sedikitpun dari sifat
makhluk-Nya.

Dalil yang keenam:

Dari Khoulah bin Hakim As Sulaimiyyah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ِ ‫َّللاِ التَّا َّما‬


( ‫ت ِم ْن ش ِ َِّر َما‬ َّ ‫ت‬ ِ ‫ش ْي ٌء َحتَّى يَ ْرت َِح َل ِم ْن َم ْن ِز ِل ِه ذ َم ْن نَزَ َل َم ْن ِز ًَّل ث ُ َّم قَا َل أَعُوذ ُ بِ َك ِل َما‬
َ ُ‫لِكَ ( رواه مسلم ََ َخلَقَ لَ ْم يَض َُّره‬
(2708).

“Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian berkata: “Aku berlindung kepada
kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari keburukan semua makhluk”, maka tidak akan
membahayakannya sesuatu apapun sampai dia beranjak dari tempat singgah tersebut”. (HR.
Muslim: 2708)

Jikalau kalimat-kalimat-Nya adalah makhluk, berarti meminta perlindungan kepadanya


adalah syirik; karena meminta perlindungan kepada makhluk. Sebagaimana diketahui bahwa
meminta perlindungan kepada selain Alloh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah syirik,
maka bagaimana mungkin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada umatnya
sebuah kesyirikan yang nyata, sedangkan beliau yang membawa ajaran tauhid yang murni
??!.

Maka hal ini menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk.

Nuaim bin Ahmad berkata:

“Tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk, tidak juga dengan ucapan hamba, jin,
manusia dan malaikat”.

Al Bukhori berkata setelah itu:

“Dalam hal ini menjadi dalil bahwa kalamullah itu bukan makhluk dan selain dari itu adalah
makhluk”. (Baca Kholqu Af’aalil ‘Ibaad: 143)

Dalil ketujuh:

Hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

‫ أخرجه عثمان الدارمي في " الرد على‬، ‫) فضل كَلم هللا على سائر الكَلم كفضل هللا على سائر خلقه ( حديث حسن‬
‫ والَللكائي رقم‬، (340 ،287) : ‫ الجهمية " رقم‬: (557).

“Keutamaan firman Alloh atas semua jenis ucapan sama halnya dengan keutamaan Alloh atas
semua makhluk-Nya”. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Utsman Ad Darimi dalam Ar Raddu
‘alal Jahmiyyah: 287 dan 340 dan Al Lalika’i: 557)

Hadits ini mengandung penguatan akidah salaf bahwa Al Qur’an kalamullah bukan makhluk,
hal itu bisa dilihat dari dua sisi:

1.Adanya perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya. Kalam itu bisa berupa
kalamullah yang merupakan sifat-Nya atau kalamnya makhluk yang diciptakan oleh Alloh,
maka yang menjadi sifat Alloh disandarkan kepada-Nya, dan selain kalamullah disandarkan
secara umum; agar mencakup semua kalam yang disandarkan kepada selain Alloh, jikalau
semuanya dianggap makhluk maka tidak dibutuhkan lagi adanya perbedaan antara keduanya.

2.Menjadikan perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya, seperti halnya perbedaan
antara Dzat-Nya dengan dzat lainnya, maka kalam dan sifat-Nya dijadikan sesuai dengan
Dzat dan dan sifat-Nya. Sebagaimana kalam dan sifat makhluk sesuai dengan dzat dan
sifatnya.

Imam Utsman bin Sa’id ad Darimi telah berhujjah dengan pernyataan di atas di dalam “Ar
Raddu ‘Alal Jahmiyyah”: 162-163, setelah menyebutkan beberapa hadits dalam masalah ini
beliau berkata:

“Beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa Al Qur’an itu bukanlah makhluk; karena tidak
satu pun dari para makhluk mempunyai tingkatan keutamaan antara keduanya, sebagaimana
tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya; karena keutamaan antara sesama
makhluk bisa diketahui dan terukur. Namun tingkatan keutamaan antara Alloh dengan
makhluk-Nya tidak bisa diukur, tidak satu pun yang mampu menghitungnya, demikian juga
tingkatan keutamaan antara kalamullah dengan kalam para makhluk, jika kalamullah
dianggap makhluk maka tidak perlu dibedakan keutamaan kalamullah dengan kalam yang
lain, sebagaimana keutamaan Alloh atas makhluk-Nya, tidak juga seperti puluhan jilid
dengan ribuan jilid, tidak sama juga dengan pemahaman yang dekat yang bisa difahami,
karena tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, maka tidaklah serupa kalam-Nya
dengan kalam lainnya dan tidak akan didatangkan yang serupa dengannya selamanya”.

Dalil ke delapan:

Termasuk dalil aqli yang nampak jelas adalah bahwa jika kalamullah dianggap makhluk,
maka tidak keluar dari salah satu dari dua hal berikut ini:

1.Menjadi makhluk setara dengan Dzat Alloh

2.Menjadi terpisah dan berbeda dengan Dzat-Nya

Kedua kemungkinan tersebut adalah batil, bahkan jelas-jelas termasuk kufur.

Adapun yang pertama, maka hal itu berarti adanya penyatuan antara makhluk dengan
penciptanya, maka hal ini batil menurut ahlus sunnah dan menurut sebagian besar ahli bid’ah;
karena Alloh tidak membutuhkan makhluk-Nya dari segala sisi.

Sedangkan yang kedua, maka hal itu berarti meniadakan sifat kalam bagi Alloh –Ta’ala-,
karena sifat itu melekat dengan yang disifati –sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya- tidak bisa melekat kepada yang lainnya, jika sifat itu melekat kepada dzat lain
maka ia akan menjadi sifatnya, maka dalam hal ini berarti Alloh dianggap tidak berbicara,
yang demikian tentunya bentuk kekufuran yang nyata, sebagaimana yang kami jelaskan
pernyataan tersebut.

Dalil yang kesembilan:

Saya mengetahui bahwa sifat itu tidak berdiri sendiri, jika sifat tersebut kepunyaan Sang
Pencipta maka melekat dengan-Nya, jika sifat itu kepunyaan makhluk maka ia pun melekat
denganya, maka pergerakan, diam, berdiri, duduk, kemampuan, keinginan, ilmu, kehidupan
dan lain sebagainya dari semua sifat, jika disandarkan kepada sesuatu maka menjadi sifat
sesuatu tersebut, ia selalu mengikuti dan melekat dengannya. Semua sifat tersebut jika
disandarkan kepada makhluk maka menjadi sifatnya, dan jika sebagiannya disandarkan
kepada Sang Pencipta seperti kekuasaan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya,
maka akan menjadi sifat-Nya karena disandarkan kepada-Nya. Jika disandarkan kepada
makhluk maka ia termasuk makhluk, dan jika disandarkan kepada Sang Pencipta maka ia
bukan makhluk.

Sifat kemampuan berbicara sama halnya dengan sifat-sifat yang lainnya, harus berada pada
tempat tertentu, jika sifat tersebut berada di tempat tertentu maka ia menjadi sifat dari tempat
tersebut, tidak menjadi sifat bagi selainnya. Jika sifat tersebut disandarkan kepada Sang
Pencipta (Alloh) maka ia menjadi sifat-Nya, namun jika disandarkan kepada selain-Nya maka
ia menjadi sifat dzat lain tersebut. Sifatnya Sang Pencipta bukanlah makhluk sebagaimana
Dzat-Nya, sedangkan sifatnya makhluk juga berupa makhluk seperti halnya dirinya.

Ketika Alloh telah menyandarkan kalam kepada diri-Nya, maka kalam-Nya bukanlah
makhluk; karena ia mengikuti Dzat-Nya, Dzat-Nya Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk,
membicarakan kalam yang berupa sifat menjadi bagian dari kalam dalam bentuk dzat.

Jika dikatakan bahwa kalam itu makhluk.


Maka pendapat kami:

“Jadi Maha Suci Alloh dari mempunyai sifat yang berupa makhluk, kalian mengklaim telah
mensucikan Alloh dari kesamaan-Nya dengan makhluk, sesuai dengan pendapat kalian
tersebut, berarti kalian harus tidak menyandarkan kalam kepada-Nya, (jika tetap
menyandarkannya) maka berarti anda mendustakan pendengaran dan akal yang menyaksikan
bahwa Alloh mempunyai sifat kalam.

Akan tetapi mereka enggan untuk mengakui bahwa kalamullah bukanlah makhluk dengan
bertumpu pada kebatilan sebelumnya mereka berkata:

“Kami menetapkan bahwa Alloh Maha Berbicara dengan kalam yang berdiri sendiri pada
yang lainnya, Alloh –Ta’ala- berbicara kepada Musa dengan kalam yang diciptakan pada
pohon, tidak langsung dari-Nya, karena kami mensucikan-Nya dari menyamakan-Nya
dengan makhluk”.

Pendapat kami:

“Kalian telah menjadikan kalam menjadi sifat pada tempat tertentu yang memilikinya, maka
pendapat kalian tersebut mengharuskan untuk dikatakan sebagai kalamnya pohon, karena
berarti pohon itulah yang berbicara kepada Musa:

( َ‫َّللاُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬


َّ ‫سى ِإ ِنِّي أَنَا‬
َ ‫( َيا ُمو‬،

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh, Tuhan semesta Alam”.

Kalau demikian maka menjadi tidak ada perbedaan antara ucapan pohon dan ucapan Fir’aun
yang terlaknat:

( ‫) أنا ربكم اْلعلى‬

“Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”.

Karena ucapan pohon menjadi sifatnya, bukan sifat Alloh. Sedangkan ucapan Fir’aun adalah
sifatnya, keduanya menyatakan sebagai Rabb (Tuhan). Maka Musa menjadi tidak benar jika
mengingkari ucapan Fir’aun dan menerima ucapan sebuah pohon !!?

Maka Fikirkanlah dengan baik –semoga Alloh merahmati anda- tentang kekufuran yang
nyata ini yang menjerumuskan pelakunya kepada bid’ah yang tercela, dan mereka tidak ridho
dan menerima hakikat sesuai dengan yang diturunkan (melalui Al Qur’an). Mereka
mengganti wahyu yang mulia dengan ide-ide murahan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Dalil aqli ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad –rahimahullah- kepada Jahmiyyah dan
Mu’tazilah ketika berdiskusi dengan mereka di hadapan Al Mu’tashim, beliau berkata:

“Kisah Nabi Musa ini, Alloh sendiri yang berfirman di dalam kitab-Nya:

( ‫) وكلم هللا موسى‬

“Dan Alloh telah berbicara kepada Musa”.


Maka Alloh telah menetapkan berbicara kepada Musa sebagai bentuk kemuliaan dari-Nya
kepada Musa, kemudian setelah itu Dia Alloh lanjutkan dengan kata:

( ‫) تكليما‬

sebagai penguat dari ucapan tersebut.

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( ‫يا موسى ) إنني أنا هللا َّل إله إَّل أنا‬

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh yang tiada Tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Aku”.

Kalian mengingkari ini, maka berarti huruf: “Yaa” kembali kepada selain Alloh ?, maka
bagaimana seorang makhluk mengklaim sebagai Tuhan !!?, ketahuilah bahwa (yang
berbicara itu adalah) Alloh –‘Azza wa Jalla- sendiri”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al
Mihnah: 52)

Dalil yang kesepuluh:

Termasuk di antara ucapan para ulama salaf dalam menetapkan aqidah ini:

Amr bin Dinar –salah satu Imam generasi Tabi’in- berkata:

“Saya hidup bersama para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan genarasi
setelahnya sejak 70 tahun yang lalu, mereka mengatakan: “Alloh adalah Sang Pencipta, dan
yang lain adalah makhluk. Al Qur’an adalah kalamullah yang berasal dari-Nya dan kepada-
Nya akan kembali”.

Abdullah bin Nafi’ berkata: “Malik pernah berkata: “Al Qur’an adalah kalamullah, dan
sangat tercela pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”. (Diriwayatkan
oleh Sholeh bin Ahmad dalam Al Mihnah: 66 dengan sanad yang shahih)

Rabi’ bin Sulaiman sahabat Imam Syafi’i dan muridnya berkata saat menceritakan diskusi
antara beliau dengan Hafsh Al Fard dalam Al Qur’an:

“Maka Imam Syafi’i bertanya, Imam Syafi’i menyampaikan hujjahnya, diskusi yang panjang,
maka Imam Syafi’i berhujjah bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dan
mengkafirkan Hafsh Al Fard. Ar Rabii’ berkata: “Saya bertemu dengan Hafsh Al Fard setelah
majelis tersebut dan mengatakan: “Imam Syafi’i ingin membunuh saya”. (Diriwayatkan oleh
Abdur Rahman bin Abi Hatim dalam Aadab Asy Syafi’i: 194-195 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Abi Hatim berkata:

“Saya telah bertanya kepada bapak saya dan kepada Abu Zar’ah tentang madzhab-madzhab
Ahlus Sunnah dalam masalah ushuluddin dan para tokoh ulama yang beliau berdua ketahui
dan yang menjadi keyakinan beliau berdua ?

Beliau berdua menjawab:


“Kami telah mengetahui para tokoh ulama di semua kota di daerah Hijaz, Irak, Syam dan
Yaman, maka di antara madzhab mereka bahwa iman itu ucapan dan perbuatan bisa
bertambah dan berkurang dan Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dari semua
sisinya”. (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam As Sunnah: 1/176 dengan sanad yang shahih)

Imam Abu Qosim Hibatullah bin Hasan Ath Thabari Al Lalika’i dalam karyanya yang besar
“Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah merumuskan:

“Pendapat mengenai hal itu terhitung sebanyak 550 ulamanya umat dan generasi salafnya,
semua mereka berkata: “Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, dan barang siapa yang
mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir”.

Beliau –rahimahullah- berkata:

“Mereka yang berjumlah 550 ulama atau lebih tersebut berasal dari kalangan tabi’iin,
pengikut tabi’iin, para imam tidak termasuk para sahabat, pada masa yang berbeda, setelah
bertahun-tahun berlalu, di antara mereka juga ada 100 para imam yang menjadi rujukan umat,
mereka menjalankan agamanya dengan madzhab mereka. Dan jika anda sibuk menukil dari
perkataan ahli hadits maka nama-nama yang muncul akan mencapai ribuan”. (As Sunnah:
493)

Secara ringkas dan dengan sedikit perubahan di salin dari buku “Al Aqidah As Salafiyah fii
Kalam Rabbil Bariyyah wa Kasyfu Abathiil Al Mubtadi’ah Ar Raddiyah: 121-147.

3.2 Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat)

Alquranul karim tidaklah diturunkan sekaligus kepada Rasulullah saw. namun diturunkan
secara berangsung-angsur. Alquran yang memuat 30 juz ayat itu disampaikan kepada Nabi
Muhammad dengan memakan waktu antara 20, 23 dan 25 tahun.[1] Perbedaan waktu ini
terjadi disebabkan perbedaan mengenai penetapan masa tinggal Rasullullah di Makkah dan
Madinah. Dan berdasarkan hitungan para peneliti sejarah, didapati bahwa lamanya turun
Alquran lebih dekat kepada pendapat yang menyatakan selama 23 tahun.[2]

Turunnya Alquran dengan berangsur-angsur memiliki makna dan tujuan tersendiri. Persoalan
keberangsuran ini pernah menjadi pertanyaan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dalam firman
Allah, [3]“ ‫" وقال اللذين كفروا لو ال أنزل عليه القرأن جملة واحدة‬
(Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?" )

Lalu Allah menjawab dalam ayat sama " ‫كذالك ليثبت به فؤادك ورتلناه ترتيال‬... "[4]
(…demikian itu supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil
[teratur dan benar]).

Ayat-ayat Alquran yang diturunkan dapat berupa jawaban dari pertanyaan, pengingkaran,
perbuatan yang harus dilakukan, penjelasan dan proses pematangan (tadarruj) sebuah
hukum. [5] Dan beberapa ayat Alquran diturunkan karena adanya suatu sebab (asbab an-
nuzul).
Dalam tulisan ini akan dipaparkan persoalan asbab an-Nuzul itu, baik
pengertian, cara mengetahui, urgenstitas memahaminya, dan tak ketinggalan ulasan satu
kaidah tafsir, “ al-ibrah bi umum al-lafzi la bi khusus as-sabab”
Pengertian Sebab Turunnya Ayat (Asbab an-Nuzul)
Para ulama sepakat bahwa Alquran diturunkan (munazzal). Namun mereka berselisih
mengenai makna dari al-inzal. Setidaknya ada dua pendapat dalam hal
ini. Pertama, makna inzal adalah menampakkan bacaan (izhar al-qiraah). Kedua, bahwa
Allah swt. memberi ilham dan mengajarkan bacaan Alquran kepada Jibril, yang berada
dilangit atau tempat yang tinggi, lalu Jibril turun ke bumi untuk
menyampaikannya.[6] Tampaknya pendapat kedua lebih mendekati pemahaman.

Asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang menjadi latar belakang penyebab
turunnya ayat Alquran. Latar belakang itu bisa berupa peristiwa yang terjadi ataupun jawaban
dari sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad.[7]

Kejadian yang menjadi latar belakang turunya ayat itu, diantaranya dapat dilihat dari
peristiwa perselisihan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj yang dibuat oleh orang
Yahudi. Kejadian ini menjadi latar belakang turunnya firman Allah,
"‫[" يا أيها الذين أمنوا إن تطيعوا فريقا من اللذين اوتوا الكتاب يردوكم بعد إيمانكم كافرين‬8]
“ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang
diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah
kamu beriman.”

Atau peristiwa yang menimpa Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dimana suaminya Aus bin
Shamit menzhiharnya. Dengan kejadian itu lalu turun ayat al-Mujadilah 1-4 mengenai zhihar.

Sementara asbab an-nuzul dari bentuk pertanyaan, dapat kita lihat langsung dari isi ayat
Alquran itu sendiri dalam bentuk kalimat (‫ ) يسألونك‬dalam beberapa ayat Alquran
seperti, ... ‫[يسألونك عن المحيض‬9]... ‫يسألونك عن الروح‬، [10]‫ يسألونك عن ذى القرنين‬، [11]

Ilmu asbab an-nuzul merupakan bagian dari ilmu tafsir. Ilmu ini membahas mengenai sebab-
sebab turunnya surat atau ayat, waktu dan tempatnya.[12] Namun tidak semua ayat turun
berdasarkan adanya asbab an-nuzul. Untuk itu berdasarkan nuzulnya, Alquran terbagi kepada
dua macam.

 Pertama, ayat-ayat yang diturunkan tanpa adanya atau didahului oleh sebab-sebab
(asbab) khusus. Ayat seperti ini banyak seperti ayat-ayat hukum, adab, ataupun
petunjuk-petunjuk meraih kebahagian dunia akhirat.[13]
 Kedua, ayat-ayat yang turun berkaitan dengan adanya sebab khusus yang terjadi.[14]

Namun tidak semua peristiwa dan kejadian dalam Alquran termasuk dalam kategori asbab
an-nuzul. Seperti kisah-kisah nabi Adam, Nuh, atau sejarah suatu bangsa semisal bangsa
‘Ad, Tsamud dan lain sebagainya.[15]

Signifikansi Asbab an-Nuzul


Memahami sebab-sebab turunya ayat sangat penting untuk diketahui oleh para pengkaji
Alquran khususnya. Banyak manfaat yang didapati dari ilmu asbab an-nuzul yaitu:
 Memahami hikmah disyariatkan hukum-hukum.[16]
 Sebagai takhsis al-hukm. Ini bagi orang yang berpendapat al-ibrah bi khusus as-
sabab la bi umum al-lafz. Dalam kasus Khaulah binti Hakim, maka
hukum zhihar hanya berlaku untuk mereka berdua saja.
 Jalan untuk mengetahui makna ayat.
 Menepis prasangkaan atas pembatasan zahir ayat. Allah berfirman, artinya,

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah[17]

Ayat ini turun sebagai respon dari perbuatan orang kafir yang mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Ayat itu turun bukan untuk
membatasi atau pengkhususan bahwa yang haram hanya bangkai, darah, babi, dan
sembelihan selain Allah.

 Menepis kesamaran. Allah berfirman, "‫[" وهلل المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه هللا‬18]

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah.

Secara zahirnya, ayat ini akan menafikan kewajiban menghadap kiblat dalam sholat, baik
ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Namun dengan memahami sebab turunya ayat
ini, maka diketahui bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas adalah khusus bagi orang yang
dalam perjalanan. Ayat ini turun ketika Rasulullah dalam perjalanan dari Mekah menuju
Madinah.

Selain fungsi-fungsi di atas, Syaikh M. Abdul Azim az-Zarqawi juga menambah:[19]

 Memahami bahwa asbab an-nuzul tidaklah keluar dari hukum ayat bila terdapat
pengkhususan terhadap ayat. Pengkhususan hanya berlaku bagi kekhususan itu saja.
 Untuk mengetahui orang-orang yang berada dalam nash suatu ayat. Allah berfirman,

‫[" والذى قال لوالديه أف لكما‬20]


Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya...”
Dengan mengetahui sebab turunnya ayat, maka tidak akan terjadi tuduhan terhadap orang
yang bukan dimaksud ayat tersebut.
· Untuk mempermudah hafalan dan pemahaman, serta penguat bagi wahyu.

Orang yang mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat, akan lebih memahami maksud
ayat yang diturunkan. Para ulama menetapkan apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai
tafsir sebuah ayat, maka yang lebih didahulukan adalah tafsir yang sesuai dengan sabab nuzul
shahih-sharih.[21]

Cara mengetahui Asbab an-Nuzul


Seperti yang telah dijelaskan, bahwa sebagian ayat-ayat yang diturunkan Allah
memiliki asbab an-nuzul, namun bagaimana cara mengetahui asbab an-nuzul suatu ayat itu?
Tampaknya tidak ada cara lain untuk mengetahui asbab an-nuzul ayat kecuali dengan
periwayatan shahih yang bersumber dari Rasulullah saw atau sahabat. Bahkan para ulama
menegaskan bahwa tidak dibolehkan penjelasan tentang sebab-sebab turunnya ayat kecuali
dengan periwayatan atau sima’ dari orang yang menyaksikan sebab turunnya ayat
itu.[22] Mengenai hal ini, terbentuk sebuah kaidah tafsir, sabab an-nuzul lahu hukm ar-
raf’u (sebab nuzul sutu ayat harus memiliki periwayatan)[23]

Sedangkan periwayatan dari tabiin dianggap mursal. Namun periwatan tersebut dapat
diterima jika sanadnya shahih dari para pembesar-pembesar ahli tafsir seperti Mujahid,
Ikrimah, Sa’id bin Jubair dan lain sebagainya.[24] Ini dikarenakan kemungkinan besar
mereka mendapatinya dari para sahabat.

Akal tidak dapat dijadikan sandaran dalam penetapan sabab an-nuzul, mengingat sifat akal
yang spekulasi. Sementara kejadian-kejadian atau peristiwa tidak dapat direkayasa atau
dimanipulasi sedikitpun. Bagaimana mungkin akal dapat mengetahuinya bila tidak melihat
langsung kejadian, atau mendapatkan berita shahih dari orang yang menyaksikan asbab an-
nuzul. Namun bukan berarti akal tidak berfungsi sama sekali. Perannya lebih kepada meneliti
kebenaran sejarahnya dan memberikan pen-tarjih-an bagi riwayat-riwayat yang berlainan
terhadap asbab an-nuzul suatu ayat.

Lalu bagaimana cara mengetahui periwayatan yang mengandung informasi asbab an-
nuzul ayat itu? Dalam hal ini perlu memahami shighah-shighah atau ungkapan-ungkapan
(ta’birat) yang mengandung informasi adanya sabab an-nuzul itu.

Adapun shighah[25] yang mengandung informasi asbab an-nuzul terbagi


kepada shighah sharihah dan muhtamilah.[26]

1. Shighah ash-sharihah. Yaitu ungkapan jelas mengenai informasi adanya asbab an-
nuzul ayatdalam sebuah periwayatan. Shighah ini menunjukkan validitas kebenaran
adanya sabab nuzul al-ayah. Hal ini dapat dilihat dari:

· Ungkapan dengan memakai kata “as-sabab” misalnya periwayat yang menyatakan, “sabab
nuzul hazihi al-ayah kaza”.
· Adanya huruf " ‫ " ف‬setelah pertanyaan atau penyebutan sebuah peristiwa. Misalnya, ‫" سئل‬
" ‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن كذا فنزلت‬

2. Shighah muhtamilah: Yaitu ungkapan yang tidak memakai kata “sabab” atau pun
memakai huru “fa”. Shighah ini dapat mengandung informasi adanya sabab nuzul al-
ayah dan bisa pula hanya sebagai penjelas ayat-ayat hukum. Untuk memastikannya,
diperlukan karinah-karinah lainnya.[27] Contoh shighah ini, “ ahsabu hazihi al-ayah
nuzilat fi kaza”, atau “ ma ahsabu hazihi al-ayah illa fi kaza”.[28]
Adakalanya informasi sebab turunnya suatu ayat memiliki banyak riwayat-riwayat yang
berbeda, maka dalam hal ini perlu klasifikasi sebagai berikut:[29]

1. Apabila ada riwayat-riwayat yang memakai shighah ghair sharih, maka hal tersebut
tidak dipandang sebagai sabab nuzul al-ayah, namun sebagai penjelasan.
2. Apabilah ada riwayat-riwayat yang satu shighah sharih dan yang lainnya shigah ghair
sharih maka yang dipandang adalah riwayat shighah sharih. Contohnya ayat ‫" نسائكم‬
"... ‫ حرث لكم‬memiliki riwayat-riwayat yang berbeda shighahnya. Mengenai ayat ini,
riwayat ibn Umar memakai ungkapan ghair sharih, “ nuzilat fi ityan an-nisa’ fi
adbarihinna ”. Sedangkan riwayat Jabir menggunakan lafaz sharih, “ fanuzilat “.
Maka ayat ini memiliki sebab nuzul, karena diriwayatkan oleh Jabir yang
memakai shighah sharihah
3. Apabila ada riwayat-riwayat yang satu shahih dan yang lain ghair shahih, maka yang
dipakai adalah riwayat yang shahih.
4. Apabilah terdapat riwayat-riwayat yang sama-sama shahih, maka yang dipakai adalah
riwayat yang memiliki kadar keshahihan yang lebih tinggi, seperti hadirnya periwat
dalam kejadian atau peristiwa. Contohnya Ibn Mas’ud yang melihat langsung
turunnya ayat 85 dari surat al-Isra’ kepada nabi saw setelah Rasulullah ditanya
mengenai masalah ruh oleh sekelompok yahudi.

Dan Adakalanya pula ayat-ayat yang berbeda diturunkan dengan satu sebab yang sama. Ini
bukanlah menjadi persoalan. Malah mempertegas kejadian, pertanyaan atau kebutuhan yang
menjadi latar belakang turunnya ayat.[30]

Ayat,‫[" فاستجاب لهم ربهم أنى ال أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى‬31]" dan ayat,
‫[" إن المسلمين والمسلمات‬32]" memiliki sabab an-nuzul yang sama, yaitu pertanyaan Ummu
Salamah kepada Rasulullah saw tentang mengapa Allah menyebut laki-laki namun tidak
menyebut wanita dalam firmanNya.[33]

Kaidah al-Ibrah bi Umum al-Lafz La bi Khusus as-Sabab


Kalimat al-Ibrah bi Umum al-Lafz La bi Khusus as-Sabab merupakan diantara kaidah tafsir.
Kaidah tafsir berbeda dengan tafsir itu sendiri. Kaidah tafsir adalah dhawabit-dhawabit serta
pernyataan umum yang dapat mengantarkan kepada makna yang dituju. Sementara tafsir
adalah penjelasan terhadap makna yang dibangun berdasarkan ushul dan kaidah tafsir.[34]

Kaidah tafsir adalah bagian (juz) dari ulum al-quran. Namun kaidah ini sering juga disebut
dengan ulum al-quran itu sendiri. Penyamaan ini boleh jadi karena ithlaq al-juz ala al-
kull atau bisa juga bahwa ulum al-quran itu berisi dan terdiri dari banyak kaidah-kaidah.[35]

Makna al-Ibrah bi Umum al-Lafz La bi Khusus as-Sabab adalah, bahwa keumuman lafaz
yang terdapat dalam ayat lebih dipandang dari pada kekhususan yang ada pada sabab an-
nuzul.

Namun para ulama berselisih pendapat mengenai kaidah ini. Apakah yang dipandang itu (al-
mu’tabar) keumuman lafaz atau kekushususan sabab? Perbedaan ini berkaitan dengan dalil
yang menjadi landasan keputusan sebuah hukum dari segi keumuman,
kekhususan, ithlaq maupun ta’yid.[36]

Sebelum membahas perbedaan tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan keadaan-


keadaan sababdan lafaz dari segi keumuman dan kekhususannya. Ada empat keadaan,
yaitu:[37]
1. Masing-masing sabab an-nuzul dan lafaz yang turun bersifat khusus
2. Masing-masing sabab dan lafaz bersifat umum
3. Sabab bersifat umum dan lafaz khusus
4. Sabab bersifat khusus dan lafaz umum

Perdebatan mencuat berkenaan dengan keumuman lafaz dan kekhususan sabab. Mana yang
lebih dipandang dari keduanya?
Perbedaaan tersebut sebagai berikut:

 Pendapat jumhur ulama.

berpendapat bahwa al-ibrah bi umum lafz la bi khusus as-sabab. Ayat zihar yang turun
disebabkan kasus Khaulah binti Hakim yang dizihar suaminya Aus bin Shamit adalah bersifat
umum. Dan itu berlaku baik bagi orang yang menjadi sebab turunnya ayat (khusus) maupan
bagi orang lain yang berkasus serupa dengan Khaulah, karena ayat sangat jelas diturunkan
untuk umum.[38]

Pendapat para jumhur tersebut didasarkan pada dalil:


o Riwayat Abdullah bin Mas’ud bahwa, “ seorang laki-laki mendapat ciuman dari seorang
perempuan, lalu ia mendatangi nabi saw, dan menceritakan persoalannya. Maka Allah
menurunkan (fa anzalallah-shihgah sharih) ayat,
)‫[وأقم الصالة طرفى النهار وزلفا من الليل إن الحسنات يذهبن السيأت‬39]) maka laki-laki itu berkata,
“Wahai Rasulullah apakah itu untuk ku? Rasulullah berkata, “untuk seluruh ummatku”[40]
o Allah tidak menetapkan hukumNya berdasarkan sebab nuzul ayat yang khusus, tapi bersifat
umum.

 Pendapat selain jumhur: bahwa al-ibrah bi khusus sabab la bi umum lafz. Artinya
bahwa ayat terbatas hanya untuk penyebab turunnya ayat saja. Dalam kasus
ayat zihar, hanya dikhususkan bagi Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah dan suaminya.
Adapun untuk orang lain dengan perkara serupa, maka hukumnya tidak diambil dari
ayat zihar tersebut, melainkan dengan jalan qiyas atau ijtihad.[41] Dengan
begitu, sabab an-nuzul memiliki faidah, dan adanya kecocokan antara sebab dan
akibat, serta pertanyaan dan jawaban.[42]

Namun perlu diperhatikan, bahwa akar perbedaan pendapat di atas terletak pada perbedaan
dalam memahami ketidak adaan karinah kekhususan pada lafaz umum ayat. Tapi bila ada
karinah yang menunjukkan kekhususan sabab nuzul, maka para ulama sepakat bahwa hukum
hanya terbatas bagi sabab, tidak untuk umum[43]
Selain itu, perbedaan antara jumhur dan ghair jumhur bukan karena tidak sepakat atas
keumuman hukum ayat, tapi perbedaan terjadi menyangkut dari mana keumuman hukum ayat
itu diambil. Bagi jumhur keumuman itu didasarkan pada ayat tersebut.
Sementara ghair jumhur, bahwa keumuman hukum diambil dengan
jalan qiyas atau istidlal lainnya.[44]

Penutup
Asbab an-nuzul penting untuk diketahui agar mudah memahami dilalah ayat, dan terhindar
dari kekeliruan pemahaman. Dan kekhususan sabab pada ayat tidak menjadi penghalang bagi
keumuman dan ketercakupan hukum bagi perkara lain yang serupa dengan sabab an-nuzul
ayah. Wallahu a’lam bisshawab.

[1] Shalah ad-Din Arqahudan, Mukhtazhar al-Itqan fi Ulum al-Quran li as-Suyuthi, cet. 2
(Beirut: Dar an-Nafais, 1978) h. 46-47
[2] M. Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1995) juz 1,
h. 46
[3] Q.S. al-Furqan:32
[4] Ibid.
[5] Shalah ad-Din.., Mukhtazhar al-Itqan.., h. 45

[6] Ibid., 48
[7] M. Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal li dirasah al-Quran al-Karim, cet. 3 (
Riyadh:Dar al-Liwa’, 1995) hal. 131
[8] Q.S. Ali Imran: 100
[9] Q.S. al-Baqarah: 222
[10] Q.S. al-Isra’: 85
[11] Q.S. al-Kahfi: 83
[12] Khalid Abdur Rahmah al-‘Ak, Ushul at-Tafsir wa Qawaiduh, cet. 2 (Beirut: Dar an-
Nafai, 1986) hal. 99
[13] M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 131
[14] Ibid.
[15] Shalah ad-Din.., Mukhtazhar al-Itqan.., h. 82
[16] Zarkasy, al-Burhan fi Ulum al-Quran, (Kairo: Dar at-Turats, t.th) hal. 22-30
[17] Q.S. al-An’am: 145
[18] Q.S. al-Baqarah: 115
[19] M. Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, juz 1, h. 95
[20] Q.S. al-Ahqaf: 17
[21] Husain bin Ali bin Husain al-Harbiy, Qowaid at-Tarjih, (Riyadh: Dar al-Qasim, 1996)
hal. 241
[22] M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 134
[23] Khalid bin Utsman as-sabt, Qawaid at-Tafsir, (t.tp: Dar ibn Affan, 1421 H) juz 1, hal. 54
[24] Ibid., 144
[25] Para ulama menggunakannya dengan berbagai istilah seperti shighah,
lafz ataupun ta’bir. Namun maknanya tetap sama. Yaitu bagaimana bentuk kata atau kalimat
yang mengandung informasi asbab an-nuzul ayah.
[26] Lihat Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, cet.11 (Kairo:Maktabah Wahbah,
2000) hal. 81
[27] M. Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, juz 1 h. 96
[28] Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, hal. 81
[29] Ibid., 83-84
[30] M. Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, juz 1, h. 102
[31] Q.S. Ali Imran: 195
[32] Q.S. al-Ahzab: 35
[33] M. Abdul Azim az-Zarqawi, Manahil al-Irfan, juz 1, h. 103
[34] Khalid bin Utsman as-sabt, Qawaid at-Tafsir, hal. 33
[35] Ibid.
[36] M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 154
[37] Lihat lebih jelas M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 155

[38] Husain bin Ali bin Husain al-Harbiy, Qowaid at-Tarjih, hal. 545
[39] Q.S. al-Hud: 114
[40] Husain bin Ali bin Husain al-Harbiy, Qowaid at-Tarjih, hal. 546
[41] M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 156
[42] Manna’ al-Qotton, Mabahits fi Ulum al-Quran, hal. 80
[43] M. Muhammad.., Al-Madkhal.., hal. 156
[44] Ibid., hal. 15
3.3 Asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadist)

Makna dan Pengertian Asbabul/Sabab Wurud al-Hadits:

Para ahli bahasa mendefinisikan sabab sebagaimana tali (al-hablu). [1]


Sementara dalam Lisan al-'Arab disebutkan bahwa sabab secara bahasa adalah hadzil (ekor).
Ia diartikan sebagai segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu kepada yang lainnya. [2]

Kemudian para ahli 'urf secara umum menyebutnya pada segala sesuatu yang memperantarai
kepada sesuatu yang dimaksud. [3]

Para ulama syariah mendefinisikan: bahwa ia merupakan jalan untuk sampai kepada suatu
hukum yang tidak dapat dipengaruhi. [4]

Sementara mengenai al-wurud:

Mereka mengatakan: "Al-wurud dan al-mawarid berarti al-manahil yaitu sumber atau tempat
yang banyak air, atau air yang keluar. [5]

Sementara para ahli hadits tidak meninggalkan sebuah definisi yang jelas mengenai hal ini.
Bisa jadi mereka melewatkannya karena menganggap bahwa hal ini sudah cukup jelas, atau
sudah mendekati dengan apa yang disebutkan oleh ulama syariah.

Dapat kita katakan mengenai definisinya:

Bahwa ia merupakan sebuah jalan untuk menentukan maksud dari sebuah hadits, dari segi
umum atau khusus, muthlaq atau muqoyyad, atau adanya pergantian (naskh) dan sebagainya.

Atau juga: ia adalah yang menyebabkan keluarnya sebuah hadits pada hari kejadiannya. [6]

Faedahnya:

Dari definisi yang telah disebutkan sudah dapat dilihat faedah dari pembahasan ini, yaitu
menentukan maksud dari nash, dan hal itu sebagai berikut:

1. Takhshish al-'Am (Mengkhususkan yang Umum) [7]

Sebagaimana hadits:

"Shalat orang yang duduk adalah setengah dari shalat orang yang berdiri." [8]

Hal ini adalah umum untuk semua orang yang mendirikan shalat.

Dengan melihat sebab keluarnya hadits dari 'Abdullah bin 'Amru, dia berkata: "Kami sampai
di Madinah, maka kami mendapati wabah penyakit yang berat di Madinah. Pada waktu itu
orang-orang banyak yang melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan
duduk. Kemudian Rasulullah saw keluar menuju ke al-Hajirah sementara mereka sedang
melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan duduk. Maka Rasulullah saw
bersabda: 'Shalat orang yang duduk adalah setengah dan shalat orang yang berdiri.'
'Abdullah bin 'Amru berkata: "Maka orang-orang bangkit untuk berdiri pada saat itu dengan
susah payah."

Hal ini menerangkan bahwa maknanya khusus bagi orang yang mampu mengerjakan perintah
dengan berdiri dan berpengaruh bagi orang lain.

Dalam hal ini juga ada riwayat dari Muslim dari Jabir bin Samurah: bahwa Rasulullah saw,
tidak meninggal hingga beliau mengerjakan shalat dengan duduk. [9]

Juga hadits mengenai 'larangan Rasulullah saw menggali (mencangkuli) sawah-


sawah.'[10]Kalaulah kita tidak menelusuri latar belakang dari hadits ini, niscaya kita akan
memahami hadits ini dengan sifat umumnya, dan pasti orang-orang akan mendapat kesulitan
karena larangan ini.

Ahmad mengeluarkan hadits ini dari 'Urwah bin az-Zubair, dia mengatakan bahwa Zaid bin
Tsabit berkata: "Semoga Allah mengampuni Rafi' bin Khadij, dan sesungguhnya Allah lebih
mengetahui akan hadits ini. Sesungguhnya dua orang laki-laki telah bertengkar, maka
Rasulullah saw bersabda: 'Apabila begini urusan kalian maka janganlah kalian menggali
sawah-sawah.' [11]

2. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi yang Mutlak) [12]

Hal tersebut seperti hadits:

Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dan dikerjakan oleh orang-orang
setelahnya, maka baginya pahalanya, dan seperti pahala mereka dengan tanpa mengurangi
sesuatu pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang buruk,
kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya, maka baginya dosanya dan seperti dosa
mereka tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka. [13]

Maka sunnah dengan kedua sifatnya hasanah dan sayyi'ah, maka ia masih bersifat mutlak.
Mencakup apa yang mempunyai ushul dalam agama Allah dan apa yang tidak mempunyai
ushul dalam agama Allah. Maka datanglah sabab al-wurud yang menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan Sunnah di sini adalah perbuatan yang mempunyai ushul dalam agama
Allah.

Diriwayatkan dari Jarir dia mengatakan: "Kami bersama Rasulullah saw pada suatu siang.
Maka datanglah sekelompok kaum dengan tanpa beralas kaki dan dengan pakaian panjang
yang compang-camping serta menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah dari Mudhar,
bahkan mereka semua dari Mudhar. Maka wajah Rasulullah saw pun berubah (menjadi sedih)
ketika beliau melihat kefakiran yang menimpa mereka. Maka Rasulullah saw, masuk (ke
rumah beliau) dan kemudian keluar (menuju masjid). Lalu beliau memerintahkan Bilal agar
mengumandangkan adzan dan iqamah. Kemudian Rasulullah saw shalat dan berkhutbah
seraya berkata (membaca ayat yang artinya): 'Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan
kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu...' (QS. an-Nisa' [4]: 1) hingga
akhir ayat, juga ayat (yang artinya): 'Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap
jiwa melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kalian
kepada Allah...' (al-Hasyr [59]: 18). Seorang laki-laki (hendaknya) bersedekah dengan
dirhamnya, dengan pakaiannya, dengan satu sha' gandumnya, dengan satu sha' kurmanya...'
hingga beliau berkata: 'Walaupun dengan setengah biji kurma kering.' Jarir mengatakan:
"Maka datanglah seorang laki-laki dari Anshar dengan sebuah bungkusan yang telapak
tangannya nyaris tidak sanggup membawanya, bahkan tidak mampu. Dia mengatakan: "Maka
orang-orang pun mengikuti, hingga aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian, dan aku
melihat wajah Rasulullah saw berseri-seri seolah-olah dilapisi dengan emas, maka Rasulullah
saw bersabda: 'Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik, maka baginya pahalanya,
dan pahala orang yang melakukan itu setelahnya dengan tanpa mengurangi sesuatupun dari
pahala mereka. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah yang buruk, maka baginya
dosanya dan dosa orang yang mengerjakan itu setelahnya dengan tanpa mengurangi sesuatu
pun dari dosa mereka.' [14]

3. Tafshil al-Mujmal [15] (Merinci Hal yang Masih Global)

Yaitu seperti hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas. Dia
mengatakan bahwa Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan
iqamat. [16]Sesungguhnya hal ini dari segi konteksnya tidak sesuai dengan apa yang
dikatakan sebagian besar para ulama mengenai empat kali takbir dan dua kali dalam iqamat.

Akan tetapi kemudian datang sebab-sebab hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam
Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya mengenai hadits dari Abdullah bin Zaid, dia
mengatakan: "Ketika Rasulullah saw diminta supaya membunyikan lonceng untuk
mengumpulkan orang-orang untuk shalat -Ahmad menambahkan: "Rasulullah saw tidak
menyukainya karena hal tersebut sama dengan orang-orang Nasrani- maka ketika aku tidur,
seorang laki-laki mengelilingi aku dan dia membawa lonceng di tangannya. Maka aku
berkata: "Wahai Hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?" Dia berkata: "Lalu apa
yang akan engkau lakukan dengannya?" Aku pun berkata: "Dengannya kami memanggil
orang-orang untuk shalat." Dia berkata: "Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik
dari itu?" Aku menjawab: "Ya." Dia berkata: "Engkau katakan: 'Allahu akbar, Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu alla ilaha
illallah, asyhadu anna Muhammad Rasulullah, asyhadu anna Muhammad Rasulullah.
Hayya 'ala shalah, hayya 'ala shalah. Hayya 'ala al-falah, hayya 'ala al-falah, Allahu
akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah.' (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, aku bersaksi
bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Man mendirikan shalat, mari
mendirikan shalat. Mari menuju kemenangan, mari menuju kemenangan. Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar, tidak ada tuhan selain Allah). Lalu dia berada tidak jauh di belakangku.
Kemudian dia berkata: "Kemudian apabila engkau mendirikan shalat, katakan: 'Allahu
akbar, Allahu akbar. Asyhadu alla ilaha illallah. Asyhadu anna Muhammad
Rasulullah. Hayya 'ala shalah. Hayya 'ala al-falah. Qad qamat ash-shalah, qad qamat
ash-shalah, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah.' (Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Mari mendirikan shalat, mari menuju kemenangan. Shalat
telah didirikan, shalat telah didirikan, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada tuhan
selain Allah). Pagi harinya, aku mendatangi Rasulullah saw dan memberitahu beliau tentang
mimpiku itu. Beliau pun bersabda: 'Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar insyaallah.
Maka berdirilah bersama Bilal, dan ajarkanlah kepadanya apa yang engkau lihat agar dia
beradzan dengannya. Sesungguhnya dia mempunyai suara yang lebih merdu daripada
engkau.' [17]

Maka ketika telah datang sebab ini, jelaslah hal yang masih global mengenai kejadian
sebenarnya pada hadits tersebut, dan jelaslah asal yang dijadikan dasar pendapat jumhur
mengenai empat kali takbir dalam adzan dan dua kali dalam iqamat.

4. Menentukan Perkara Naskh dan Menerangkan Mana Nasikh dan Mansukh [18]

Seperti hadits:
"Orang yang membekam dan dibekam telah berbuka puasa (batal puasanya). [19]

Dan hadits:
Rasulullah saw berbekam dan beliau sedang berpuasa (dan dalam keadaan) berihram. [20]

Dan sabda beliau:


"Tidak batal puasa orang yang muntah, tidak pula orang yang bermimpi, dan tidak pula
orang yang berbekam." [21]

Hal ini jika dilihat dari segi zhahirnya seolah-olah ini adalah naskh.

Akan tetapi: hadits yang manakah yang menjadi nasikh (penghapus) atas hadits yang lain?

Sesungguhnya ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadits yang pertama merupakan
nasikh saja. Hal tersebut dinukil dari 'Ali bin al-Madini. Ini pula yang diambil oleh Ahmad,
Ishaq, dan Ibnu al-Mundzir. [22]

Ada pula yang berpendapat bahwa yang menjadi nasikh adalah hadits yang kedua. Ini
merupakan pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. [23]

Sementara mengetahui sebab-sebab keluarnya hadits -ini adalah hadits majhul- merupakan
jalan keluar untuk perkara ini, dan itu pula yang sesuai dengan semangat keislaman, dimana
Allah berfirman (yang artinya), "..Dan orang yang berdosa tidaklah menanggung dosa orang
lain..." [24]
Al-Baihaqi mengeluarkan dalam Syu'bu al-Iman, dari jalan Ghiyats bin Kalub al-Kufi, dari
Muthraf bin Samurah bin Jundab dari ayahnya, dia mengatakan: "Rasulullah saw, melewati
seorang laki-laki di depan tukang bekam, dan saat itu pada bulan Ramadhan, sedangkan
keduanya membicarakan/menggunjing seorang laki-laki. Maka beliau berkata, 'Orang yang
membekam dan dibekam telah berbuka puasa (batal puasanya).' [25]

Maka dengan adanya sabab wurud tersebut hilanglah perkataan tentang naskh, terlebih lagi
hadits-hadits ini tidak bertentangan dengan ayat yang telah disebutkan. [26]

Seperti hadits Rasulullah saw: "Sesungguhnya imam adalah untuk diikuti. Maka janganlah
kalian menyelisihinya. Apabila dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Apabila dia ruku',
maka ruku'lah kalian dan apabila dia mengatakan 'sami'allahu liman hamidahu' -Allah
mendengar orang yang memuji-Nya—maka katakanlah Allahumma Rabbana laka al-
hamdu'—Ya Allah ya Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian-. Apabila dia shalat dengan
duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk." [27]

Imam asy-Syafi’i berkata mengenai hal ini: "Sesungguhnya hadits ini mansukh dengan hadits
'Aisyah, bahwa Rasulullah saw, shalat bersama mereka ketika beliau sedang sakit yang
menyebabkan kematiannya, dengan duduk. Sementara orang-orang di belakang beliau shalat
dengan berdiri." [28]

Dan benarlah, bahwa sabab wurud di sini menghilangkan pendapat adanya naskh.

Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dalam ash-Shahihnya dari Anas. Dia mengatakan:
"Rasulullah saw jatuh dari tempat tidur beliau, dan terkoyaklah siku kanan beliau. Kemudian
kami masuk dan menjenguk beliau hingga datang waktu shalat. Maka beliau mengimami
kami dengan duduk, dan kami pun shalat di belakang beliau dengan duduk. Kemudian setelah
selesai shalat beliau berkata: "Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Maka apabila dia
bertakbir, bertakbirlah kalian. Apabila dia sujud, maka sujudlah kalian. Apabila dia bangkit,
bangkitlah kalian dan apabila dia mengatakan 'sami'allah liman hamidahu (Allah
mendengar orang yang memuji-Nya) maka katakanlah: 'Attahumma Rabbana laka al-hamdu
(Ya Allah ya Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian). Apabila dia shalat dengan duduk,
maka shalatlah kalian semua dengan duduk." [29]

Setelah naskh, muncullah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengumpulkan dua hadits
tersebut dengan membaginya menjadi dua keadaan:

Pertama: apabila imam memulai shalat dengan duduk karena sakit yang diharapkan
kesembuhannya, maka orang-orang shalat di belakangnya dengan duduk.
Kedua: apabila imam memulai shalat dari pertama dengan berdiri, maka makmum harus
shalat di belakangnya dengan berdiri, meski terjadi sesuatu yang membuat imam
menyelesaikan shalatnya dengan duduk atau tidak. Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits mengenai sakit Rasulullah saw, yang beliau wafat. Karena persetujuan Rasulullah saw,
ketika mereka shalat dengan berdiri menunjukkan bahwa mereka tidak diharuskan duduk
dalam keadaan seperti itu. Karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri dan shalat
bersama beliau dengan berdiri pula. Berbeda dengan keadaan yang pertama, ketika itu beliau
memulai shalat dengan duduk dan ketika mereka shalat di belakang beliau dengan berdiri
beliau mengingkari hal tersebut. [30]

Asy-Syaukani menguatkan pendapatnya mengatakan: "Penyatuan ini menguatkan bahwa


pada hakikatnya memang tidak ada naskh. Terlebih lagi beliau dalam keadaan seperti ini,
yang meniscayakan adanya dua kali naskh. Karena dalam hukum orang yang mampu shalat
dengan berdiri adalah supaya tidak shalat dengan duduk, dan telah dihapus menjadi duduk
bagi siapa yang shalat dengan imam yang duduk. Maka pendapat yang mengatakan naskh
pada duduk setelah itu membuat perlu adanya dua kali naskh, dan hal tersebut adalah
jauh." [31]

5. Keterangan Alasan dari Suatu Hukum (Illah)

Sebagaimana dalam hadits tentang larangan Rasulullah saw tentang minum dari bibir siqa'
(kantong air dari kulit). [32] Sebab dari hadits ini adalah ada seorang laki-laki yang minum
dari bibir siqa', maka ikut mengalir pula ular ke dalam perutnya. Maka Rasulullah saw
melarang menenggak air langsung dari kantong-kantong air. [33]

6. Memperjelas Hal yang Tidak Jelas

Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

"Barangsiapa dibahas oleh hisab pada Hari Kiamat, maka dia disiksa."

Sebab dari hadits ini adalah apa yang diriwayatkan oleh 'Aisyah:

Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa diperiksa pada Hari
Kiamat, niscaya dia akan disiksa." Maka aku berkata: "Bukankah Allah Ta'ala telah
berfirman (yang artinya): 'Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah?' Lalu
beliau bersabda: "Bukan hisab yang itu. Akan tetapi pembeberan. Maka barangsiapa dibahas
oleh hisab maka dia disiksa." [34]
Pembagian Wurud al-Hadits:

Macam-macam wurud al-hadits dapat dibagi sebagai berikut:

Pertama: Dari Ayat al-Qur'an

Yaitu dengan turunnya suatu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an dengan konteks umum, sedangkan
yang dimaksudkan adalah khusus, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk." [35]

Sebagian para shahabat memahami ayat ini bahwa yang dimaksud kezhaliman adalah
kejahatan dan perbuatan yang melampaui batas. Oleh sebab itu, mereka datang dan mengadu
kepada Rasulullah saw dan beliau pun memberitahu mereka bahwa yang dimaksud
kezhaliman dalam ayat ini adalah syirik.

Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik dalam al-
Muwaththa', dari Abdullah bin Mas'ud dia mengatakan:

"Ketika turun ayat (artinya): 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezhaliman., Hal tersebut menyusahkan hati para shahabat Rasulullah saw
mereka pun berkata: 'Siapakah di antara kita yang tidak pernah mencampuradukkan iman
dengan kezhaliman?' Maka Rasulullah berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud bukan itu.
Apakah kalian tidak mendengar perkatan Luqman untuk puteranya: 'Sesungguhnya syirik
adalah kezhaliman yang sangat besar.' [36]

Yaitu turun sebuah ayat mengenai suatu hal yang belum jelas dan menjadi sebuah problem
sehingga membutuhkan penjelasan. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi pada hadits
'Aisyah di depan.

Kedua: Dari Hadits

Hal tersebut terjadi apabila Rasulullah saw mengatakan sebuah hadits dan yang tidak
dipahami secara jelas oleh sebagian shahabat, maka beliau mengucapkan hadits lain untuk
menghilangkan ketidakjelasan tersebut. Dan kebanyakan terjadi pada hadits-hadits risalah -
ada pada bagian tahqiq- dari jenis ini. Contoh yang paling jelas adalah apa yang diriwayatkan
oleh al-Hakim dari hadits Anas, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di bumi yang berbicara dengan lisan anak-anak
Adam mengenai apa yang ada pada seseorang mengenai kebaikan dan keburukan." [37]

Maka hadits dengan lafazh seperti ini tidak jelas. Karena, bagaimana malaikat berkata di
bumi dengan apa yang seseorang ucapkan mengenai kebaikan dan keburukan? Kemudian
datanglah sabab wurud dari hadits ini dalam sebuah riwayat lain yang memperjelas hal ini.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw, dilalui oleh jenazah, dan orang-orang
memuji si jenazah dengan kebaikan. Maka Rasulullah saw bersabda: "Wajabat, wajabat,
wajabat -dia telah mendapatkan-" kemudian dilewati lagi jenazah lain, dan orang-orang
membicarakan tentang kejahatannya, maka Rasulullah saw bersabda: "Wajabat, wajabat,
wajabat."

Maka para shahabat berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, perkataanmu pada jenazah
dan pujianmu atasnya. Pujian kebaikan kepada jenazah pertama dan keburukan kepada
jenazah kedua, kemudian engkau mengatakan: 'wajabat, wajabat, wajabat.'

Rasulullah saw, pun menjawab: "Ya, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya Allah memiliki
malaikat yang berkata melalui lisan anak-anak Adam mengenai seseorang tentang kebaikan
dan keburukan." [38]

Ketiga: Suatu Perkara yang Berkaitan dengan Orang-orang yang Mendengar dari Kalangan
Shahabat
Hal tersebut sebagaimana perkataan asy-Syarid [39] yang datang kepada Rasulullah saw,
pada Hari Penaklukan Makkah. Dia berkata, "Sesungguhnya aku telah bernadzar, apabila
Allah menaklukan Makkah untukmu, maka aku akan shalat di Bait al-Maqdis." Maka
Rasulullah saw, berkata kepadanya, "Sesungguhnya di sini lebih utama." Kemudian beliau
berkata lagi, "Demi Dzat yang jiwaku ada di genggam-Nya, seandainya engkau shalat di sini,
itu adalah lebih besar pahalanya bagimu." Lalu beliau berkata, "Shalat di masjid ini lebih
utama dari shalat seratus ribu kali di masjid-masjid lainnya." [40]

Maka dengan ini karena adanya hubungan dan pemisahan, maka hadits ini dibagi menjadi
dua:

1. Berhubungan dengan hadits yang dinukil. Al-Ballaqaini mengatakan hal ini seperti hadits
mengenai pertanyaan Jibril. [41]

2. Hadits ini terpisah dengan hadits sebelumnya dan dinukil sebagian dari jalan yang berbeda.
Al-Ballaqaini berkata: "Hal ini merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan." Dia memberikan
contoh seperti hadits, "Orang yang keluar dengan jaminan." [42]
__________________

1. Kasyaf Ishthilahat al-Funun, karya at-Tahanuwi (3/127). Cet. Al-Hai'ah al-Mashriyah al-
'Amah li al-Kitab.

2. Lisan al-'Arab, karya Ibnu Mandhur (1/440:442). Cet. Bulaq.

3. Kasyaf Ishthilahat al-Funun (3/127).

4. Idem.
5. Lisan al-'Arab, Ibnu Mandzur (4/471), dia mengatakan bahwa Ibnu Jarir berkata: "Sebuah
kaum tidak mempunyai keberanian apabila mereka tidak bisa membunuh."

6. Definisi ini sama seperti dengan apa yang didefinisikan oleh as-Suyuthi dalam Lubab an-
Nuqul fi Asbab an-Nuzul, ketika dia mengatakan: "Sesungguhnya ia -sabab an-nuzul al-
Qur'an- adalah apa yang menyebabkan turunnya sebuah ayat pada hari kejadiannya." Lubab
an-Nuqul 'Ala Hasyiati Tafsir al-Jalalain (hal. 5).

7. Para ahli ushul mendefinisikan bahwa takhshish adalah: membatasi yang umum untuk
sebagian orang saja, dan dapat dijadikan hukum untuk banyak orang sebagaimana firman
Allah (yang artinya): "Dan perangilah orang-orang musyrik..." (QS. at-Taubah [10]: 5).
Takhshish mempunyai perangkat-perangkat, di antaranya syarat dan pengecualian. Jam'u al-
Jawami', karya Ibnu as-Subki. Diteliti dan diperiksa oleh DR. Mahmud Farag Sulaiman
(1/429). Desertasi tertulis dengan berseri.

8. Akan disebutkan takhrij dari hadits ini sebentar lagi dalam bagian khusus tahqiq (penelitian
dan koreksi).

9. Muslim, kitab: Shalat al-Musafirin, bab: Jawazu an-Nafilah Qaiman wa Qa'idan (Bolehnya
Shalat Sunnah dengan Berdiri atau Duduk, (2/385)). Lihat pula hadits 'Aisyah, dia
meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw telah menjadi lemah dan berat beliau banyak
melakukan shalat dengan duduk. Seorang laki-laki menjadi lemah apabila telah lanjut usia.
Nawawi (32/385), Muslim (111: Musafirin: 2/385).

10. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: al-Hartsu, bab: Tentang yang dilakukan
para shahabat Rasulullah saw mereka saling tolong menolong dalam masalah sawah dan
buah-buahan (3/141); Muslim (92: al-Buyu': 4/49).

11. Ahmad dalam al-Musnad (1/178).

12. Para ahli ushul fiqh mendefiniskan al-muthlaq dengan: apa-apa yang menunjukkan pada
sesuatu hal tanpa keterikatan (qaid), atau tanpa ada pengecualian pada sifat-sifatnya. Ibnu al-
Hajib: yang menunjukkan sesuatu yang banyak pada jenisnya.

Al-Amadi berpendapat: "Ia merupakan sesuatu yang tidak tentu dan ia mendekati sifat
umum." Al-Ghaits al-Hami' Syarh Jam'u al-Jawami Ibnu as-Subki (1/485).

13. Akan dijelaskan takhrij hadits ini dalam bagian kedua yang khusus membahas masalah
tahqiq, hadits no. 60.

14. Akan disebutkan takhrij hadits tersebut.

15. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mujmal sebagai: apa-apa yang belum jelas dalalah-
nya. Jam'u al-Jawami' (1/500).

16 Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam as-Shahih, kitab: al-Adzan, bab: Al-Adzan
Matsna Matsna (Adzan dua-dua), dan bab: Al-Iqamah Wahidah illa qad Qamat ash-Shalah
(Iqmah Satu Kali Kecuali Lafazh 'Qad Qamat ash-Shalah', (1/157-158)); juga kitab: al-
Anbiya', bab: Ma Yudzkaru 'an Bani Isra'il (Yang disebutkan dari Bani brazil, (4/206));
Muslim dalam kitab: ash-Shalah, 2,3,5, bab: Al-Amru bi Syafi al-Adzan (Perintah untuk
Menggenapkan Adzan, (2/5)); Abu Dawud dalam as-Sunan, kitab: ash-Shalah, bab: FT al-
Iqamah (1/121); at-Tirmidzi dalam as-Sunan, kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi Ifradi al-
Iqamah (Mengenai Mengganjilkan Iqamah, (1/369-370)), dia mengatakan bahwa hadits Anas,
hadits hasan shahih; an-Nasa’i dalam as-Sunan, kitab: al-Adzan, bab: Tatsniyah al-Adzan
(2/4); Ibnu Majah dalam as-Sunan, kitab: al-Adzan, bab: Ifradu al-Iqamah (Mengganjilkan
Iqamah, (1/241)); ad-Darami dalam al-Musnad, kitab: ash-Shalah, bab: Al-Adzan Matsna
Matsna (Adzan Dua-dua, (1/270-271)); dan Ahmad dalam al-Musnad (3/103,189).

17. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab: ash-Shalah, bab: Kaifa al-Adzan (Bagaimana Cara
Adzan, (1/116)); dan Ahmad dalam Musnad (4/42). Mungkin seseorang berkata: "Hadits Abu
Mahdzurah yang telah dikeluarkan dalam Shahih Muslim merupakan dalil qath'i untuk empat
kali takbir dan dua kali dalam iqamat. Hal tersebut menjadi nasikh (yang mengganti) hadits
Anas yang telah disebutkan, yaitu bahwa: 'Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan
dan mengganjilkan iqamat. Maka apabila seperti ini kasusnya, maka tidak lagi diperlukan
saba bwurud haditsnya."

Kami berpendapat bahwa yang melemahkan naskh di sini adalah hadits 'Abdullah bin Zaid
yang dia adalah yang menjadi sebab hadits Bilal tersebut. Maka dengan itu telah mudahlah
untuk merinci hal yang masih global ini. Kalau tidak ada sebab ini, pastilah orang-orang akan
mendapat kesulitan karena adanya perselisihan yang tidak ada petunjuk untuk menuju
kebenaran dengan jalan yang pasti. Wallahu a'lam.

18. Naskh: mengangkat (mengganti/menghapus) hukum syar'i dengan pernyataan, atau


mengangkat hukum syar'i dengan dalil syar'i lainnya. Al-Ghaits al-Hami' (1/520).

19. Ahmad dalam Musnad dan takhrij hadits akan disebutkan. Abu Dawud, kitab: ash-
Shiyam, bab: Fi as-Shaim Yahtajim (Seorang yang Berpuasa dan Berbekam).

20. Abu Dawud, kitab: ash-Shaum, bab: al-Hijamah wa al-Qai' li as-Shaim (Berbekam dan
Muntah Orang yang Berpuasa). Dari hadits Ibnu 'Abbas (3/42-43).

21. Abu Dawud, dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Seorang yang Puasa dan Bermimpi pada
Siang Hari. (1/554)), dari hadits majhul dari Rasulullah saw.

22. Al-Mughni, Ibnu Qudamah (3/103).

23. Al-Umm, karya asy-Syafi'i (2/83); Ihkam al-Ahkam, karya Ibnu Hazm (3/224).
24. (QS. Fathir [35]: 18).

25. Akan disebutkan takhrijnya pada bagian kedua, khusus masalah tahqiq, hadits No. 80.

26. (QS. Fathir [35]:18).

27. Muslim (68, kitab: ash-Shalah, 2/56), dari hadits Abu Hurairah.

28. Al-Umm (1/151), dan hadits ini merupakan bagian dari hadits Muslim (72: ash-Shalah,
2/58).

29. Muslim (64: ash-Shalah, 2/53), dia juga mengeluarkan hadits 'Aisyah dengan lafazh:
"Maka beliau shalat dengan duduk, dan orang-orang shalat dengan berdiri. Lalu beliau
memberi isyarat kepada mereka untuk duduk, dan mereka pun duduk. Kemudian ketika telah
selesai beliau berkata, 'Sesungguhnya imam dijadikan untuk... ‘ hadits.

30. Nail al-Authar, asy-Syaukani (3/195).

31. Idem. (Jauh dari kebenaran secara Iogika dan kenyataan. Pen).

32. Akan disebutkan takhrij hadits No.183.

33. Akan disebutkan takhrij hadits No. 185.

34. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: al-'Ilmu, bab: Man Sami'a Syai'anfa Raji'
hatta Ya'rifahu (Barangsiapa Mendengar Sesuatu, maka Kembalikan kepada Sumbernya Agar
Ia Mengetahuinya, (1/37)), dan kitab: at-Tafsir Surat al-Insyiqaq; Muslim (74) kitab: Al-
Jannah wa Shifatu Na'imiha wa Ahliha (Surga dan Sifat Kenikmatan serta Penghuninya,
(5/726)); Abu Dawud, kitab: al-Jana'iz, bab: 'Iyadah an-Nisa' (Teriakan Para Wanita (3/163-
164); at-Tirmidzi, kitab: Shifat al-Qiyamah, bab: MaJa'afi al-'Aradh (Keterangan Mengenai
Kiamat), dan kitab at-Tafsir, bab: Surat al-Isyiqaq, dia mengatakan bahwa hadits ini
merupakan hadits hasan shahih; dan Ahmad dalam al-Musnad dengan makna yang sama
(4/48.185), semuanya meriwayatkan dari hadits 'Aisyah. (QS. al-Insyiqaq [84]:8).

35. (QS. al-An'am [6]: 82).

36. Dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: Tafsir Surat Luqman (67144).

37. AI-Hakim dalam al-Mustadrak (1/377), dan akan dijelaskan takhrij hadits No.21.

38. Idem.

39. Dikeluarkan oleh 'Abdu ar-Razaq dalam al-Mushannqf. Asy-Syarid bin Suwaid ats-
Tsaqafi shahabat Rasulullah saw. Ibnu Hajar berkata: "Konon dinamakan asy-Syarid karena
dia membelot dari al-Mughirah bin Syu'bah ketika dia memerangi kawan-kawannya orang-
orang Tsaqafi pada masa jahiliyah." Al Ishabah (3/240-241).

40. Idem.

41. Mahasin al-Ishthilah (648), cet. Al-Hai'ah al-Mashriyah al-'Amah li al-Kitab. Tahqiq: DR.
Bintu asy-Syathi'. Hadits ini merupakan bagian dari hadits Muslim (1: Kitab: al-Iman, 1/129).

42. Idem. Akan disebutkan takhrij hadits pada bagian tahqiq, hadits No. 117.
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita
sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu,
kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun
beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah
bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat
akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman
Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia
yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia
sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar
potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin
baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang
di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu,
marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan
spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.

Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk
yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat
madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada
Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim
lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.

Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni
melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi,
serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat
Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.
Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali
ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

http://ulumsyareah.blogspot.com/2013/04/sebab-sebab-turunnya-ayat.html

http://asbabul-wurud.blogspot.com/2017/10/sebab-sebab-keluarnya-hadits-makna-faedah-
pembagiannya.html

http://jeritansigembels.blogspot.com/2013/09/peranan-umat-islam-dalam-mewujudkan.html

https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/konsep-masyarakat-madani-menurut-
prespektif-islam

https://islamqa.info/id/answers/219613/10-dalil-naqli-dan-aqli-yang-menyatakan-bahwa-al-
quran-adalah-kalamullah-bukan-makhluk

http://asbabul-wurud.blogspot.com/2017/10/sebab-sebab-keluarnya-hadits-makna-faedah-
pembagiannya.html

https://www.kompasiana.com/muhammadtiar/5a39ce2bcf01b45d83128883/sebab-turunnya-
alquran-asbabun-nuzul?p

Anda mungkin juga menyukai