Anda di halaman 1dari 24

Tata Cara Wudhu dan Tayammum

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ﺙﺪْﺣَﺃ ْﻦَﻣ ُﺓَﻼَﺻ ُﻞَﺒْ ُﻘﺗ َﻻ‬


َ َ ‫َﺄَّﺿَﻮَﺘَﻳﻰ َّﺘَﺣ‬

“Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135
dan Muslim no. 536)

wudhu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Siapa yang wudhunya rusak maka shalat yang ia
kerjakan tidak bernilai ibadah. Maka pelajarilah kaifiyah wudhu berdasarkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam agar ibadah yang kita amalkan tidak sia-sia. Berikut adalah tata cara
wudhu dan tayammum untuk anda.

Catatan: Kami sengaja tidak menghapus gambar supaya anda lebih bisa memahami gambaran
tata cara wudhu yang dijelaskan di sini, karena terkadang teks saja tidak mencukupi. Dan untuk
anda yang mengakses halaman ini dengan perangkat mobile kami tuliskan teks dalam gambar
agar lebih membantu.

TATA CARA WUDHU

1. Berniat di dalam hati dan tidak diucapkan. [1]


2. Mengucapkan: “Bismillah”. [2]
3. Mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, [3] dan menyela-nyela di antara jari-
jemari kedua tangan. [4]

Footnote:
[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[2] HSR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan selain keduanya
[3] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[4] HSR. Abu Dawud
4. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) dengan telapak
tangan kanan lalu intintsar (menyemburkan air ke luar) dengan tangan kiri. [5] Hal ini
dilakukan sebanyak tiga kali. [6]

Footnote:
[5] HSR. An-Nasa-i
[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim

5. Membasuh muka sebanyak tiga kali.


• Batasan muka adalah dari telinga satu ke telinga yang lain dan dari batasan tempat
tumbuhnya rambut kepala di atas kening/dahi hingga dagu. [7]

Footnote:
[7] HR. Al-Bukhari dan Muslim
6. Membasuh tangan kanan sebanyak tiga kali lalu tangan kiri. [8]
• Dimulai dari ujung jari dengan menyela-nyela jari-jemari, lalu menggosok-gosokkan air
ke lengan, kemudian mencuci siku. Demikian pula dengan tangan kiri. [9]
• Atau dimulai dari siku hingga ke ujung jari. [10]

Footnote:
[8] HR. Al-Bukhari
[9] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[10] HSR. Ad-Daruquthni

7. Mengusap seluruh kepala sebanyak satu kali.


• Kedua tangan yang masih basah dijalankan dari depan kepala ke belakang hingga
tengkuk lalu kembali lagi ke depan tempat semula.

• Kemudian membasuh telinga, yaitu dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam
telinga dan kedua ibu jari di bagian luar telinga. [11]

Footnote:
[11] HSR. Abu Dawud
8. Membasuh kaki kanan sebanyak tiga kali, dari ujung jari ke mata kaki, dengan cara
mencuci mata kaki dan menyela-nyela jari-jemari. Lalu membasuh kaki kiri seperti itu
pula. [12]

Footnote:
[12] HSR. Abu Dawud

9. Mengucapkan doa setelah wudhu:

ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAAH, WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU WA


ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba
dan Rasul-Nya.” [13]

Atau mengucapkan doa:

ALLAHUMMAJ’ALNII MINAT TAWWAABIINA WAJ’ALNII MINAL


MUTATHAHHIRIIN.

“Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang bertaubat dan
jadikanlah aku dari hamba-hamba-Mu yang suka bersuci.”
Footnote:
[13] HR. Muslim dan At-Tirmidzi

PENGERTIAN TAYAMUM

Kami mulai pembahasan ini dengan mengemukakan pengertian tayammum. Tayammum secara
ْ َ‫ )الﻘ‬yang berarti maksud. Sedangkan secara istilah dalam
bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (ُ ‫صﺪ‬
syari’at adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan
dengan menggunakan sho’id yang bersih[1]. Sho’id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat
digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak[2].

Dalil Disyari’atkannya Tayammum

Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
(konsensus) kaum muslimin[3]. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

‫سفَ ٍر ﺃ َ ْو َجا َء ﺃ َ َﺣﺪ ٌ ِّﻣ ْن ُك ْم ِّﻣﻦَ ْالغَائِّ ِّط ﺃ َ ْو َﻻ َﻣ ْسﺘ ُ ُم‬


َ ‫ﺿﻰ ﺃ َ ْو َعلَﻰ‬
َ ‫س ُحﻮا َوإِّ ْن ُك ْنﺘ ُ ْم َﻣ ْر‬ َ ‫ﺻ ِّعيﺪًا‬
َ ‫طيِّّﺒًا فَا ْﻣ‬ َ ‫سا َء فَلَ ْم ﺗ َِّجﺪ ُوا َﻣا ًء فَﺘَيَ َّم ُمﻮا‬ َ ِّّ‫الن‬
ُ‫ِّب ُﻮ ُجﻮ ِّه ُك ْم َوﺃَ ْﻳﺪِّﻳ ُك ْم ِّﻣ ْنه‬

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau
berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).

Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari
sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,

« ‫ﻮرا إِّذَا لَ ْم ن َِّج ِّﺪ ْال َما َء‬ َ ‫ت ﺗ ُ ْر َبﺘ ُ َها لَنَا‬
ً ‫ط ُه‬ ْ َ‫» َو ُج ِّعل‬

“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan
bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk besuci[4] (tayammum) jika kami tidak
menjumpai air”.[5]

Media yang dapat Digunakan untuk Tayammum

Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang bersih
baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan
hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu
‘anhu di atas dan secara khusus,

َ ‫ض ُكلُّ َها ِّلﻰ َوأل ُ َّﻣﺘِّﻰ َﻣس ِّْجﺪاً َو‬


ً ‫ط ُهﻮرا‬ ُ ‫ت األ َ ْر‬
ِّ َ‫ُج ِّعل‬
“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan
ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.[6]

Keadaan yang Dapat Menyebabkan Seseorang Bersuci dengan Tayammum

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang
dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,

 Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].
 Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang
memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
o Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin
lama sembuh dari sakit.
o Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu
bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu
untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.
o Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat
menghangatkan air tersebut.

Tata Cara Tayammum Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam

Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir
rodhiyallahu ‘anhu,

ُ‫ فَذَك َْرت‬، ُ‫غ الﺪَّابَّة‬ ُ ‫ص ِّعي ِّﺪ َك َما ﺗَ َم َّر‬ َّ ‫ َفﺘ َ َم َّر ْغتُ فِّﻰ ال‬، ‫ فَ َل ْم ﺃ َ ِّج ِّﺪ ْال َما َء‬، ُ‫َّللاِّ – ﺻلﻰ هللا عليه وسلم – فِّﻰ َﺣا َج ٍة فَﺄَجْ نَﺒْت‬ َّ ‫سﻮ ُل‬ ُ ‫بَعَثَنِّﻰ َر‬
‫ض ث ُ َّم‬ ‫ر‬
ِّ ْ َ ‫أل‬‫ا‬ ‫ﻰ‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ً ‫ة‬
َ َ َْ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ﺿ‬ ‫ه‬
ِّ ّ ‫ف‬
ِّ َ
‫ك‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ر‬
ِّ َ َ َ‫ض‬ َ ‫ف‬ . « ‫ا‬ َ ‫ذ‬ َ
‫ك‬ ‫ه‬
َ ‫ع‬َ ْ‫ن‬
َ ‫ص‬ َ ‫ﺗ‬ ْ
‫ن‬ َ ‫ﺃ‬ ‫ف‬
َ‫ِّيك‬ ْ
‫ك‬ ‫ﻳ‬
َ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َِّّ ‫ن‬‫إ‬ » ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ﻘ‬َ ‫ف‬ – ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫ﺻلﻰ‬ – ّ ِّ ِّ َ‫ذَلِّك‬
‫ﻰ‬ ‫ﺒ‬َّ ‫ن‬‫ل‬ ‫ل‬
ِّ
ُ‫س َح بِّ ِّه َما َوجْ َهه‬ ُ ّ َ َ ّ َ
َ ‫ ث َّم َﻣ‬، ‫ ﺃ ْو ظ ْه َر ِّش َما ِّل ِّه بِّ َك ِّف ِّه‬، ‫س َح ِّب َها ظ ْه َر َك ِّف ِّه بِّ ِّش َما ِّل ِّه‬ ُ
َ ‫ ث َّم َﻣ‬، ‫ض َها‬َ َ‫نَف‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku
mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah
sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal
tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya
cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke
permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak
tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya
dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[16]

Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,

ِّ ‫س َح َوجْ َههُ َو َك َّف ْي ِّه َو‬


ً ‫اﺣﺪَﺓ‬ َ ‫َو َﻣ‬

“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.

Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu
‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.
 Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian
meniupnya.
 Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
 Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
 Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.
 Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja atau
dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu[17].
 Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk hadats
kecil.
 Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.

Pembatal Tayammum

Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan
lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air dan
telah adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum
karena ketidakmampuan menggunakan air[18]. Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya[19] yang
telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,

،‫ت‬ ِّ ‫ ث ُ َّم َو َجﺪَا ْال َما َء فِّي ْال َﻮ ْق‬، ‫صلَّيَا‬َ َ‫ ف‬، ‫طيِّّﺒًا‬ َ ‫ﺻ ِّعيﺪًا‬ َ ‫ْس َﻣعَ ُه َما َﻣا ٌء – فَﺘَيَ َّم َما‬ َ ‫ص َﻼﺓ ُ – َولَي‬ َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ض َر‬ َ ‫ فَ َح‬، ‫سفَ ٍر‬ َ ‫خ ََر َج َر ُج َﻼ ِّن فِّي‬
: ْ‫ فَﻘَا َل ِّللَّذِّي لَ ْم ﻳُ ِّعﺪ‬، ُ‫سلَّ َم فَذَك ََرا ذَلِّكَ لَه‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ
َ َ ِّ َ ُ َ ‫ل‬ ‫ع‬ َّ
‫َّللا‬ ‫ﻰ‬ َّ ‫ل‬ ‫ﺻ‬ َّ
‫َّللا‬ ‫ل‬ ‫ﻮ‬ ‫س‬
َ ِّ َ ُ َ َ َّ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ي‬َ ‫ﺗ‬َ ‫ﺃ‬ ‫م‬ُ ‫ث‬ ، ‫َر‬
ُ ‫خ‬ ْ
‫اْل‬ ْ ‫ﺪ‬ ‫ع‬ ‫ﻳ‬ ‫م‬ َ
ِّ ُ ْ َ َ‫ل‬ ‫و‬ ، ‫ء‬ ‫ُﻮ‬
‫ﺿ‬ ‫ﻮ‬ ْ
ُ َ ‫ص َﻼ‬
‫ال‬ ‫و‬ َ ‫ﺓ‬ َّ ‫فَﺄ َ َعادَ ﺃ َ َﺣﺪ ُ ُه َما ال‬
َ ْ ْ
‫ لَك األجْ ُر َﻣ َّرﺗَي ِّْﻦ‬: ‫ﺻ َﻼﺗُك َوقَا َل ِّلْلخ َِّر‬ َ
َ ‫سنَّة َوﺃجْ زَ ﺃﺗْك‬َ َ ُّ ‫ﺻﺒْت ال‬ َ ‫ﺃ‬ َ

Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar
mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya
shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang
dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu
dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka
beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang
shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah
mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya,
“Untukmu dua pahala[20]”[21].

Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
َّ ‫َّللاَ َو ْلي ُِم‬
ُ‫سهُ بَش ََرتَه‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫فَإِذَا َو َجدَ ْال َما َء فَ ْليَت‬. َ‫ َو ِإ ْن لَ ْم يَ ِجدْ ْال َما َء َع ْش َر ِسنِين‬، ‫ص ِعيد ُ ُوضُو ُء ْال ُم ْس ِل ِم‬
َّ ‫ال‬

“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak
menemukan air selama sepuluh tahun (kiasan bukan pembatasan angka)[22], apabila ia telah
menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk
besuci”.[23]

Di Antara Hikmah Disyari’atkannya Tayammum

Sebagai penutup kami sampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayyamum adalah untuk
menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini serta tidaklah sama sekali untuk
memberatkan kita, sebagaimana akhir firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6,

َّ ُ ‫َّم ِّن ْع َمﺘَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم ﺗ َ ْش ُك ُرونَ ِِّ َﻣا ﻳ ُِّرﻳﺪ‬


َ ُ‫َّللاُ ِّليَجْ عَ َﻞ َعلَ ْي ُك ْم ِّﻣ ْﻦ َﺣ َرجٍ َولَ ِّك ْﻦ ﻳ ُِّرﻳﺪُ ِّلي‬
‫ط ِّ ّه َر ُك ْم َو ِّليُت‬

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan
menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).

Abul Faroj Ibnul Jauziy rohimahullah mengatakan ada empat penafsiran ahli tafsir tentang
nikmat apa yang Allah maksudkan dalam ayat ini,

Pertama, nikmat berupa diampuninya dosa-dosa[24].

Kedua, nikmat berupa hidayah kepada iman, sempurnanya agama, ini merupakan pendapat Ibnu
Zaid rohimahullah.

Ketiga, nikmat berupa keringanan untuk tayammum, ini merupakan pendapat Maqotil dan
Sulaiman.

Keempat, nikmat berupa penjelasan hukum syari’at, ini merupakan pendapat sebagian ahli
tafsir[25].

Demikianlah akhir tulisan ini mudah-mudahan menjadi tambahan ‘amal bagi penulis dan
tambahan ilmu bagi pembaca sekalian. Allahumma Amiin.

Di waktu Dhuha, Ahad 12 Dzulhijjah 1430 H.

Penulis: Aditya Budiman

Muroja’ah: M.A. Tuasikal


Tata Cara Mandi Wajib

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang
menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan
mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما األ َ ْع َما ُل بِالنِِّيَّا‬


‫ت‬

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no.
1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya
adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,

َ ‫يض ْال َما َء َعلَى َج‬


‫س ِد ِه ُك ِلِّ ِه‬ ُ ‫ث ُ َّم يُ ِف‬

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa
ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

‫س ِدى‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِسى ث ُ َّم أُفِي‬


َ ‫ضهُ بَ ْعد ُ َعلَى‬
َ ‫سائِ ِر َج‬ ُ َ ‫أ َ َّما أَنَا فَآ ُخذ ُ ِم ْل َء َك ِ ِّفى ثَالَثا ً فَأ‬

“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian
saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan
rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Salamah. Ia mengatakan,
‫ت ث ُ َّم‬ َ َ‫يك أَ ْن تَحْ ثِى َعلَى َرأْ ِس ِك ثَال‬
ٍ ‫ث َحثَيَا‬ ُ ُ‫ض ْف َر َرأْ ِسى فَأ َ ْنق‬
ِ ‫ضهُ ِلغُ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة قَا َل « لَ ِإنَّ َما يَ ْك ِف‬ ُ َ ‫َّللاِ ِإنِِّى ْام َرأَة ٌ أ‬
َ ُّ‫شد‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫قُ ْلتُ يَا َر‬
ْ َ ْ َ
.» َ‫يضينَ َعلي ِْك ال َما َء فت َط ُه ِرين‬ ِ ‫ت ُ ِف‬

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai
niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan


menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas
ulama.[2]

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka
akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.

Hadits pertama:

‫ ث ُ َّم‬، ‫س َل َيدَ ْي ِه‬ َ َ‫س َل ِمنَ ْال َجنَا َب ِة َبدَأَ فَغ‬


َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ِإذَا ا ْغت‬ َّ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ َّن النَّ ِب‬ ِّ ِ ‫شةَ زَ ْوجِ النَّ ِب‬
َ ‫َع ْن َعا ِئ‬
ُ‫ ث َّم‬، ‫غ َرفٍ بِيَدَ ْي ِه‬ ُ ‫ث‬ َ ْ َ
َ َ‫صبُّ َعلى َرأ ِس ِه ثال‬ ُ
ُ َ‫شعَ ِر ِه ث َّم ي‬ ُ ِّ
ُ ‫ فَيُ َخ ِل ُل بِ َها أ‬، ‫اء‬
َ ‫صو َل‬ ْ
ِ ‫صابِعَهُ فِى ال َم‬ َ ُ
َ ‫ ث َّم يُد ِْخ ُل أ‬، ِ‫صالَة‬ َّ ‫يَت ََوضَّأ ُ َك َما يَت ََوضَّأ ِلل‬
ُ
‫يض ْال َما َء َعلَى ِج ْل ِد ِه ُك ِ ِّل ِه‬ ُ ‫يُ ِف‬

Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian
beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke
dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau
mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

‫سلَ ُه َما َم َّرتَ ْي ِن‬


َ َ‫ فَغ‬، ‫غ َعلَى َيدَ ْي ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغتَ ِس ُل ِب ِه‬ َّ ‫سو ِل‬ َ ‫ت َم ْي ُمونَةُ َو‬
ُ ‫ض ْعتُ ِل َر‬ ْ َ‫َّاس قَا َل قَال‬ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
ُ‫س َل َوجْ َهه‬ ُ
َ ‫ ث َّم َغ‬، َ‫ض َوا ْست َ ْنشَق‬ َ ‫ض َم‬ ُ
ْ ‫ ث َّم َم‬، ‫ض‬ َ َ
ِ ‫ ث َّم دَلكَ يَدَهُ بِاأل ْر‬، ُ‫يره‬ُ َ ‫س َل َمذَا ِك‬ َ َ‫ فَغ‬، ‫ ث َّم أف َرغ بِ َي ِمينِ ِه َعلى ِش َما ِل ِه‬، ‫َم َّرتَي ِْن أ َ ْو ثَالَثا‬
َ َ ْ َ ُ ً
‫س َل قَدَ َم ْي ِه‬
َ َ‫ام ِه فَغ‬ِ َ‫ ث ُ َّم تَنَ َّحى ِم ْن َمق‬، ‫س ِد ِه‬
َ ‫غ َعلَى َج‬ َ ‫ ث ُ َّم أ َ ْف َر‬، ‫سهُ ثَالَثًا‬َ ْ‫س َل َرأ‬ َ ‫َو َيدَ ْي ِه ث ُ َّم َغ‬

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi
untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua
tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya
beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.
Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau
bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR.
Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan
dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan
terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi
tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’


(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan
debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok
untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu


ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan
tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu
mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah
menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai
mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang
tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-
sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu,
setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah.
Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam
hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh
tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang
disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini
ada kelapangan.”[6]

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

‫ ث ُ َّم يُ َخ ِلِّ ُل بِيَ ِد ِه‬، ‫س َل‬ َّ ‫ضأ َ ُوضُو َءهُ ِلل‬


َ َ‫صالَةِ ث ُ َّم ا ْغت‬ َّ ‫ َوت ََو‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬َ ‫غ‬ َ ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة‬ َ َ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – إِذَا ا ْغت‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫س ِد ِه‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫ئ‬
ِ ‫ا‬ ‫س‬
َ َ َ َ َ َّ‫ل‬
َ ‫س‬‫غ‬َ ‫م‬ ُ ‫ث‬ ، ٍ
‫ت‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫م‬
َّ َ َ
‫ث‬ َ ‫ال‬َ ‫ث‬ ‫ء‬ ‫ا‬
َ َ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ َ‫اض‬ َ ‫ف‬َ ‫أ‬ ، ُ ‫ه‬َ ‫ت‬‫َر‬‫ش‬ ‫ب‬
َ َ َ‫ى‬‫و‬‫ر‬ْ َ ‫أ‬ ْ ‫د‬َ ‫ق‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ َّ
‫ن‬ َ
‫ظ‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫إ‬ َّ
ِ َ ، ُ‫ش َع َره‬
‫ى‬ ‫ت‬‫ح‬ َ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-
gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit
kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan
lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

‫ َو ِبيَ ِدهَا األ ُ ْخ َرى َعلَى ِش ِِّق َها‬، ‫ ث ُ َّم ت َأ ْ ُخذ ُ بِيَ ِدهَا َعلَى ِش ِ ِّق َها األ َ ْي َم ِن‬، ‫ت بِيَدَ ْي َها ثَالَثًا فَ ْوقَ َرأْ ِس َها‬
ْ َ ‫ أَ َخذ‬، ٌ‫ت إِحْ دَانَا َجنَابَة‬ َ َ ‫ُكنَّا إِذَا أ‬
ْ َ‫صاب‬
‫س ِر‬َ ‫األ َ ْي‬

“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua
tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan
disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang
lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

‫ور ِه َوفِى شَأْنِ ِه ُك ِلِّ ِه‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ْع ِجبُهُ الت َّ َي ُّمنُ فِى ت َ َنعُّ ِل ِه َوت ََر ُّج ِل ِه َو‬
ِ ‫ط ُه‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal,
ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no.
168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits
yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?


Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah,
aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku
ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air
pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.”
(HR. Muslim no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan
dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ور ث ُ َّم‬
َ ‫ط ُه‬ ُّ ‫ط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ ال‬ َ َ ‫يض فَقَا َل « ت َأ ْ ُخذ ُ إِحْ دَا ُك َّن َما َءهَا َو ِسد َْرتَ َها فَت‬ ِ ‫غ ْس ِل ْال َم ِح‬ ُ ‫ع ْن‬َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ِ‫ت النَّب‬ ِ َ‫سأَل‬
َ ‫أ َ َّن أَ ْس َما َء‬
‫ت‬ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ط َّه ُر ِب َها‬ َ َ ‫س َكةً فَت‬َّ ‫صةً ُم َم‬ ْ
َ ‫ ث ُ َّم ت َأ ُخذ ُ فِ ْر‬.‫صبُّ َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ْ
ُ َ ‫شئُونَ َرأ ِس َها ث ُ َّم ت‬ُ ‫شدِيدًا َحتَّى تَ ْبلُ َغ‬ ْ
َ ‫صبُّ َعلَى َرأ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَ ْل ًكا‬ ُ َ‫ت‬
ُ
‫عن غ ْس ِل‬ ْ ْ َ
َ ُ‫سألته‬ َ َ َ َ ْ ُ
َ ‫ َو‬.‫شة َكأن َها تخ ِفى ذلِكَ ت َتَ َّبعِينَ أث َر الد َِّم‬ َّ َ ُ ْ َ َ َ
َ ِ‫ فقالت َعائ‬.» ‫َّللاِ تَط َّه ِرينَ بِ َها‬َ َ َ
ُ « ‫ْف تَط َّه ُر بِ َها فقا َل‬
َّ َ‫س ْب َحان‬ َ َ ‫أ َ ْس َما ُء َو َكي‬
ْ
‫شئُونَ َرأ ِس َها ث ُ َّم‬ ْ
ُ ‫صبُّ َعلَى َرأ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى تَ ْبلُ َغ‬ ُ َ‫ور – ث ُ َّم ت‬ ُّ َ
َ ‫ور – أ ْو ت ُ ْب ِل ُغ الط ُه‬ ُّ
َ ‫ط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ الط ُه‬ ْ
َ َ ‫ْال َجنَابَ ِة فَقَا َل « ت َأ ُخذُ َما ًء فَت‬
» ‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫ت ُ ِف‬

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka
beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu
engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut
kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian
engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana
dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.”
Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah
haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya
bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu
memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR.
Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

‫شئُﻮنَ َرﺃْ ِّس َها‬ َ ‫صبُّ َعلَﻰ َرﺃْ ِّس َها فَﺘَﺪْلُ ُكهُ دَ ْل ًكا‬
ُ ‫شﺪِّﻳﺪًا َﺣﺘَّﻰ ﺗ َ ْﺒلُ َغ‬ ُ َ ‫ث ُ َّم ﺗ‬

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya


dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup
dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub
disebutkan,

ُ ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت ُ ِف‬


‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬
ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain
itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau
parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas
darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,

‫ َكانَ لَ يَت ََوضَّأ ُ َب ْعدَ ْالغُ ْس ِل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َّ ِ‫شةَ أ َ َّن النَّب‬
َ ِ‫َع ْن َعائ‬

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai
mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,

‫ي ُوضُوءٍ أ َ َع ُّم ِمنَ ْالغُ ْس ِل؟‬ َ ‫ُوء َب ْعدَ ْالغُ ْس ِل؟ فَقَال‬
ُّ َ‫وأ‬:َ ِ ‫س ِئ َل َع ِن ْال ُوض‬
ُ

Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang
mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah
masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam
masalah ini.[9]

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi
wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu
berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,

َ ‫ فَا ْن‬، ُ‫فَن ََاو ْلتُهُ ث َ ْوبًا فَلَ ْم َيأ ْ ُخذْه‬


ُ ُ‫طلَقَ َو ْه َو َي ْنف‬
‫ض َيدَ ْي ِه‬

“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau
pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276).
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi.
Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa
alasan:

1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa
kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya
yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain
tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau
tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah
makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.

Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]

Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku
untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau
terakhir).

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.

[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-
178, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[3] Fathul Bari, 1/360.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al
‘Arobi, 1392.

[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal.
61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.

[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.

[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin
Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.
[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61

[9] Idem.

[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.

Kaifiyat / Tata Cara Mandi Wajib

Allah SWT berfirman:

"Dan jika kamu junub, maka mandilah." (QS. Al Maidah: 6)

Karena tak ada manusia yang terbebas dari hadas besar, maka sudah sewajarnya jika kita
mengetahui tata cara mandi wajib yang benar.

Tata cara mandi wajib atau junub yang benar dan sesuai sunah beserta
niatnya

Pada dasarnya tata cara mandi wajib untuk perempuan yang baru selesai haid, nifas, atau lelaki
yang baru bersyahwat sama saja.

Berikut ini tata cara mandi wajib lengkap sesuai urutannya.

1. Bacalah niat mandi wajib atau mandi junub terlebih dahulu.


2. Bersihkan telapak tangan sebanyak 3 kali, kemudian lanjutkan dengan membersihkan dubur dan
alat kemaluan.
3. Bersihkan kemaluan berikut kotoran yang menempel di sekitarnya dengan tangan kiri.
4. Setelah membersihkan kemaluan, cuci tangan dengan menggosok-gosoknya dengan tanah atau
sabun.
5. Lakukan gerakan wudhu yang sempurna seperti ketika kita akan salat, dimulai dari membasuh
tangan sampai membasuh kaki.
6. Masukkan tangan ke dalam air, kemudian sela pangkal rambut dengan jari-jari tangan sampai
menyentuh kulit kepala. Jika sudah, guyur kepala dengan air sebanyak 3 kali. Pastikan pangkal
rambut juga terkena air.
7. Bilas seluruh tubuh dengan mengguyurkan air. Dimulai dari sisi yang kanan, lalu lanjutkan
dengan sisi tubuh kiri.

Saat menjalankan tata cara mandi wajib, pastikan seluruh lipatan kulit dan bagian tersembunyi
ikut dibersihkan.
Tata cara mandi wajib pria

Ada hadits dan beberapa anjuran yang berbeda mengenai tata cara mandi wajib untuk pria.

Menurut HR At-Tirmidzi, menyela pangkal rambut hanya dikhususkan bagi laki-laki. Para
wanita tidak perlu melakukan hal ini.

Berikut ini tata cara mandi wajib dengan cara Nabi Muhammad SAW menurut hadits Al
Bukhari.

"Dari Aisyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mandi karena junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya,
kemudian berwudhu sebagaimana wudlu untuk salat, lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air
dan menggosokkannya ke kulit kepala. Setelah itu beliau menyiramkan air ke atas kepalanya
dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air
ke seluruh kulitnya." (HR. Al Bukhari)

"Dari Aisyah dia berkata, "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi karena junub,
maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan
tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu
untuk salat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut
hingga rata. Setelah selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh
seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki." (HR. Muslim)

Tata cara mandi wajib perempuan

Untuk wanita, tata cara mandi wajib sebenarnya sama saja. Tetapi wanita tidak perlu menyela
pangkal rambut. Bahkan tidak perlu membuka jalinan rambutnya. Hal ini sesuai dengan rujukan
HR At-Tirmidzi.

Dalam riwayat tersebut, Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Aku
bertanya, wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini perempuan yang sangat kuat jalinan rambut
kepalanya, apakah aku boleh mengurainya ketika mandi junub? Maka Rasulullah menjawab,
Jangan, sebetulnya cukup bagimu mengguyurkan air pada kepalamu 3 kali guyuran."

Jadi, tata cara mandi wajib untuk perempuan adalah sebagai berikut.

1. Bacalah niat mandi wajib atau mandi junub terlebih dahulu.


2. Bersihkan telapak tangan sebanyak 3 kali, kemudian lanjutkan dengan membersihkan dubur dan
alat kemaluan.
3. Bersihkan kemaluan berikut kotoran yang menempel di sekitarnya dengan tangan kiri.
4. Setelah membersihkan kemaluan, cuci tangan dengan menggosok-gosoknya dengan tanah atau
sabun.
5. Lakukan gerakan wudhu yang sempurna seperti ketika kita akan salat, dimulai dari membasuh
tangan sampai membasuh kaki.
6. Bilas kepala dengan mengguyurkan air sebanyak 3 kali.
7. Bilas seluruh tubuh dengan mengguyurkan air. Dimulai dari sisi yang kanan, lalu lanjutkan
dengan sisi tubuh kiri. Pastikan seluruh lipatan kulit dan bagian tersembunyi ikut dibersihkan.

Demikian tata cara mandi wajib yang benar untuk perempuan baik yang berniat membersihkan
diri dari hadas besar karena haid maupun nifas.

MANDI IHRAM
Mandi ihram merupakan salah satu sunah Rasulullah yang dilakukan ketika hendak
menunaikan ibadah umroh dan haji. Baik jemaah laki-laki maupun perempuan yang sedang suci
atau haid, disunahkan untuk mandi sebelum ihram, sebagaimana diriwayatkan Jabir
Radiyalahuanhu, yang artinya:

“Kami keluar bersama Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam, dan tatkala kami sampai di Dzul
Hulaifah, Asma binti Umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar, lalu ia (Asma) mengutus
seseorang untuk menemui Rasulullah dan berkata: ‘Apa yang aku kerjakan?’ Beliau pun
menjawab: ‘Mandi dan beristitsfarlah (menutupi tempat keluarnya darah) kemudian ihram.’”

Mandi Ihram

Apabila kita tidak menemukan air untuk bersuci, kita dapat bertayamum sebagaimana firman
Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 6 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak menunaikan salat, basuhlah muka dan
tanganmu hingga siku, serta usaplah kepalamu, dan basuh kakimu hingga kedua mata kaki, dan
jika junub, maka mandilah. Jika kamu sakit atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih.”
(Al-Maidah: 6)

Dengan demikian jelas bahwa mandi sebelum ihram hukumnya adalah sunah. Mandi setelah
berihram pun sebenarnya tidak dilarang, hanya waktu utama untuk mandi adalah sebelum
berihram.

Tata cara mandi ihram sama dengan mandi wajib pada umumnya, yakni mengucapkan basmalah,
mengambil wudu, lalu membasuh seluruh tubuh hingga bersih. Usahakan agar sabun dan alat
pembersih yang digunakan ketika mandi ihram tidak mengandung wewangian yang menyengat.

Selain mandi ihram, jemaah haji dan umroh pun disunahkan untuk melakukan beberapa hal di
bawah ini:

Tata cara mandi ihram sama dengan mandi wajib pada umumnya, yakni mengucapkan basmalah,
mengambil wudu, lalu membasuh seluruh tubuh hingga bersih
Ihram

Memakai wewangian pada tubuh sebelum berihram atau mengucapkan talbiyah ihram.

Anjuran tersebut didapat dari riwayat Aisyah Radiyallahuanhu yang berkata: “Aku pernah
memakaikan wewangian kepada Rasulullah untuk ihramnya ketika akan memulai ihram,
sebelum beliau tawaf, dan setelah tahalul.”

Memakai wangi-wangian sebelum ihram sebenarnya masih menjadi perdebatan. Para ulama
berpendapat bahwa memakai parfum sebelum mandi dan ihram, maupun setelah mandi,
hukumnya diperbolehkan. Sementara, anggapan tersebut tidak diamini oleh Imam Malik dan
para ulama yang mengikuti pendapatnya.

Membaca kalimat talbiyah

Membaca kalima talbiyah setelah mengenakan pakaian ihram juga merupakan hal yang
disunahkan. Disunahkan pula untuk melantangkan suara ketika membaca kalimat talbiyah.

Memakai pakaian ihram berwarna putih

Abdullah bin Abbas meriwayatkan: “Rasulullah bertolak dari Madinah setelah merapikan
rambutnya, meminyakinya, dan mengenakan kain sarung ihram dan kain penutup pundaknya.”

Sementara, anjuran untuk mengenakan kain putih terdapat pada hadis lainnya yang diriwayatkan
Abdullah bin Abbas: “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, sesungguhnya itu adalah
sebaik-baik pakaianmu, dan kafanilah padanya mayat-mayat kamu.”

Sebelum melaksanakan ibadah umroh, ada baiknya Anda mencari tahu lebih lanjut mengenai tata
cara ihram yang sesuai dengan hukum Islam serta larangan apa saja yang harus dihindari ketika
berihram untuk menghindari keraguan ketika menjalankan salah satu rukun haji dan umroh
tersebut.

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata “Al-haram” yang bermakna terlarang atau
tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji
dengan niatnya, dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah,
berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar’i bahwa
ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara
bersamaan [1].
Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah
berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah niat masuk ke dalam haji atau umrah,
sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang
telah berihram.

TATA CARA IHRAM


Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan
mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan darihadits
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ُخذ ُ ْوا َعنِّّ ْي َﻣنَا ِّس َك ُك ْم‬

“Ambillah dariku manasik kalian”.

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan
suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu.

ْْ ‫واسْتثْف ِِر ِِيْا ْغت ِس ِل‬:ْ‫صن ُع؟ قال‬


ْ‫ي ِبث ْوبْ وْ احْ ِرمِ ْي‬ ْ ْ‫ل للاِْ كيْف‬ ُ ‫ي ب ْكرْ فأ ْرسلتْْ لى ر‬
ِْ ‫س ْو‬ ْ ‫حتَّى أتيْنا ذ‬
ْْ ‫اال ُحليْف ِْة فولدْتْْ أسْما ُْء ِب ْنتُْ عُميْسْ ُمح َّمدْ بْنْ أ ِب‬
ُ‫فخرجْ نا مع ْه‬

“Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma
binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu)
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah [2] kemudian ihram.” [Riwayat
Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum, karena Allah Subhanahu wa
Ta’alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firmanNya:

‫س ُحﻮا بِّ ُر ُءو ِّس ُك ْم َوﺃ َ ْر ُج ِّل ُك ْم إِّلَﻰ ْال َك ْعﺒَي ِّْﻦ َوإِّن‬ َ ‫ق َوا ْﻣ‬ ِّ ِّ‫صﻼَﺓِّ فَا ْغ ِّسلُﻮا ُو ُجﻮ َه ُك ْم َوﺃَ ْﻳ ِّﺪﻳَ ُك ْم إِّلَﻰ ْال َم َراف‬
َّ ‫ﻳَاﺃَﻳُّ َها الَّذِّﻳﻦَ َءا َﻣنُﻮا إِّذَا قُ ْمﺘ ُ ْم إِّلَﻰ ال‬
‫سآ َء فَلَ ْم ﺗ َِّجﺪُوا َﻣآ ًء فَﺘَيَ َّم ُمﻮا‬ َ ِّّ‫سفَ ٍر ﺃ َ ْو َجآ َء ﺃَ َﺣﺪ ُُِ ِّّﻣن ُكم ِّ ّﻣﻦَ ْالغَآئِّ ِّط ﺃَ ْو ﻻَ َﻣ ْسﺘ ُ ُم الن‬ َ ‫ﺿﻰ ﺃ َ ْو َعلَﻰ‬ َ ‫ط َّه ُروا َو ِّإن ُكنﺘُم َّﻣ ْر‬ َّ ‫ُكنﺘ ُ ْم ُجنُﺒًا فَا‬
َ
‫ﺻ ِّعيﺪًا طيِّّﺒًا‬ َ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); ” [Al Maidah :6]

Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya, juga tidak ada contoh atau
perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram
tersebut bertujuan untuk kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk kebersihan,
dengan dalil perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma bintu Umais yang
sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam hadits diatas.
2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah.

‫ف‬ ُ َ‫ي ِّإلﺣْ َر ِّاﻣ ِّه قَ ْﺒ َﻞ ﺃَ ْن ﻳُحْ ِّر َم َو ِّل ِّح ِّلّ ِّه قَ ْﺒ َﻞ ﺃ َ ْن ﻳ‬
َ ‫ط ْﻮ‬ َ ُ ‫ت ُك ْنتُ ﺃ‬
َّ ‫ط ِّّيبُ النَّ ِّﺒ‬ ِّ ‫ ِّباْلﺒَ ْي‬.

“Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika
halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” [HR. Bukhary no.1539 dan Muslim no. 1189].

Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan pada pakaian ihram, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫الز ْعفَ َرانُ َو ﻻَ ْال َﻮ ْر‬


‫س‬ ُ ِّ‫ﻻَ ﺗ َْلﺒ‬
َّ ‫س ْﻮا ثَ ْﻮبًا َﻣ‬
َّ ُ‫سه‬

“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.”
[Muttafaqun alaih].

Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada ihrom maka terdapat dua
keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang
sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-
orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

‫ب َﻣا َﻳ ِّجﺪُ ث ُ َّم ﺃَ َرى‬ ْ َ ‫طيَّبُ ِّبﺄ‬


ِّ ‫ط َي‬ ُ ‫ْص الﺪَّ ْه ِّﻦ ِّف ْي َرﺃْ ِّس ِّه َو لِّحْ َي ِّﺘ ِّه َب ْعﺪَ ذَلِّكَ رواه ﻣسلم َكانَ َر‬
َ َ ‫س ْﻮ ُل هللاِّ ِّإذَا ﺃ َ َرادَ ﺃ َ ْن ﻳُحْ ِّر َم ﻳَﺘ‬ َ ‫َو ِّبي‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang
paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan
jenggotnya setelah itu”.[HR.Muslim no.2830 ].

Dan Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata pula:

‫س ْﻮ ِّل هللاِّ َو ه َُﻮ ُﻣحْ ِّر ٌم‬


ُ ‫ق َر‬ ِّ ‫ْص اْ ِّلمس‬
ِّ ‫ْك فِّ ْي َﻣ ْف َر‬ ُ ‫َكﺄَنِّّ ْي ﺃ َ ْن‬
َ ‫ظ ُر ِّإلَﻰ َو ِّبي‬

“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ihram “. [HR. Muslim no. 2831
dan Bukhari no. 5923].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua permasalahan seputar pemakaian
minyak wangi dalam ihram yaitu:

1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu
minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?

Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak
dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya
tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada
keadaan yang dibolehkan.[3]

2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai
minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak
tangannya, jika dia lakukan maka akan menempellah minyak tersebut pada kedua telapak
tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan
mengusap kepala tersebut?

Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya, demikian juga
tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak
tangannya karena ini termasuk yang dimaafkan. [4]

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ِّليُحْ ِّر ْم ﺃَ َﺣﺪُ ُك ْم فِّ ْﻰ إِّزَ ٍار َو ِّردَاءٍ َو نَ ْعلَي ِّْﻦ‬

“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta
sepasang sandal.” [HR. Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Ahmad Syakir]

Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ُ َ‫اض فَ ْالﺒ‬
‫س ْﻮهَا َو َك ِّفّنُ ْﻮا فِّ ْﺒ َها َﻣ ْﻮﺗَ ُك ْم‬ ِّ َ‫َخي ُْر ثِّيَا ِّب ُك ُم اْلﺒَي‬

“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dan kafanilah mayat kalian
padanya” [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad Syakir 4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]

Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): “Disunnahkan berihram dengan dua kain
yang bersih, jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan
segala jenis kain yang di mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga
dibolehkan berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang diperbolehkan yang tidak
putih, walaupun berwarna-warni”. [5]

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali
wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam shahih
Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ‫ى ْال ُمﺒ‬


‫ار ِّك َوقُ ْﻞ ع ُْم َرﺓً فِّ ْﻰ َﺣ َّج ٍة‬ ْ ‫ﺻ ِّّﻞ فَ ْﻰ َهذَا ْال َﻮا ِّد‬ ٍ ‫ﺃَﺗ َانِّ ْي الَّل ْيلَةَ آ‬
َ : ‫ت ِّﻣ ْﻦ َربِّّ ْي فَﻘَا َل‬

“Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata: “Shalatlah di Wadi (lembah) yang
diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi hajjatin.”
Dan hadits Jabir Radhiyallahu anhu :

ْ َ‫ب ْالﻘ‬
ْ ‫ص َﻮا َء َﺣﺘَّﻰ ِّإذَا ا ْسﺘ ََﻮ‬
‫ت ِّبه‬ َ ‫س ْﻮ ُل هللاِّ فِّ ْي ْال َمس ِّْج ِّﺪ ث ُ َّم َر ِّك‬ َ َ‫اء ﺃ َ َه َّﻞ ِّب ْال َح ّجِّ ِِّف‬
ُ ‫صلَّ ْﻰ َر‬ ِّ َ‫نَاقَﺘَهُ َعلَ ْﻰ ْالﺒَ ْيﺪ‬

“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian


menunggangi Al-Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ , beliau
berihram untuk haji”. [HR.Muslim].

Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat
fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat
dari para ulama:

Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan
keumuman hadits Ibnu Umar.

ْ ‫ﺻ ِّّﻞ فَ ْﻰ َهذَا ْال َﻮا ِّد‬


‫ى‬ َ

(shalatlah di Wadi ini)

Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram
setelah shalat, baik fardhu maupun tathawu’ (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat)
tathawu’ (sunnah) menurut salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia
shalat fardhu maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi
ihram dan ini yang rajih.”

Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan berihram setelah shalat fardhu, kalau ada,
atau (setelah shalat) sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk
diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu’
Umroh Berkain Ihram

Itulah beberapa hal mengenai mandi ihram dan sunah lainnya yang dianjurkan untuk
dilaksanakan ketika ihram. Niatkanlah melakukan sunah-sunah tersebut untuk membersihkan diri
dari hadas dan mengharapkan rida dari Allah Swt.

Anda mungkin juga menyukai