Daftar Isi
1. Pendahuluan...................................................................................................................... 10
3.2 Tahapan Penentuan Komponen Dasar Konsep Pejalan Kaki dan Pesepeda ............. 24
3.2.2 Membuat Konsep Area Pengembangan Pejalan Kaki Dan Pesepeda ................ 24
Transportasi Perkotaan
Daftar Isi ii
Transportasi Perkotaan
Daftar Isi iii
6.3 Tata Cara Pengumpulan Retribusi Parkir pada Badan Jalan ..................................... 26
Transportasi Perkotaan
Daftar Gambar iv
Daftar Gambar
Gambar 3.2 Sembilan Tahapan Pengembangan Fasilitas Pejalan Kaki di Bogor ................... 26
Gambar 3.3 Ilustrasi tahapan perencanaan pembangunan fasilitas pejalan kaki pada stage 1
Gambar 3.17 Salah satu material permukaan untuk pejalan kaki ............................................ 43
Gambar 4.1 Tipologi Angkutan Jalan di Perkotaan, Kapasitas Penumpang dan Kecepatan
Transportasi Perkotaan
Daftar Gambar v
Gambar 4.3 Pemahaman untuk penyediaan ruang bagi bus transit ......................................... 55
Gambar 4.4 Prinsip yang sebaiknya dipenuhi dalam penyediaan halte ................................... 56
Gambar 4.6 kondisi blok lintas antara Stasiun Pasar Minggu sampai dengan Stasiun Depok
baru........................................................................................................................ 63
Gambar 5.1 Siklus timbal-balik antara transportasi dan tata guna lahan ................................... 5
Gambar 5.2 TDM mendukung penggunaan ruang lahan jalan yang efisien.............................. 6
Gambar 6.3 Satuan Ruang Parkir untuk Truk/Bus (dalam cm) ............................................... 15
Gambar 6.4 Satuan Ruang Parkir untuk Sepeda Motor (dalam cm)........................................ 15
Gambar 6.7 Dampak Parkir Badan Jalan pada Ruas Jalan ...................................................... 18
Gambar 6.9 Penerapan rambu yang jelas terutama tidak terhalang benda lain seperti pohon
Gambar 6.10 Tahapan Aplikasi Tarif Parkir di Badan Jalan Berbasis Zona dan Waktu........ 25
Transportasi Perkotaan
Daftar Gambar vi
Transportasi Perkotaan
Daftar Tabel vii
Daftar Tabel
Tabel 3.2 Elemen Umum Jalur Pejalan Kaki, Pesepeda dan Gabungan .................................. 30
Tabel 5.1 perbedaan antara upaya-upaya di sisi permintaan dan penyediaan yang dapat
Tabel 5.2 Upaya kebijakan dan regulasi bisa saja dilaksanakan oleh beragam tingkat
pemerintahan ............................................................................................................. 8
Tabel 5.4 Upaya perpajakan yang sering dipakai oleh China .................................................. 10
Transportasi Perkotaan
Daftar Istilah viii
Daftar Istilah
KM : Keputusan Menteri
PP : Peraturan Pemerintah
PM : Peraturan Menteri
Transportasi Perkotaan
Daftar Istilah ix
UU : Undang - Undang
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 10
1. Pendahuluan
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 11
terakhir menunjukkan 5,2 juta jiwa tinggal di kawasan tersebut. Transportasi perkotaan
memiliki peran penting dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, sebagai pengerak
perekonomian nasional, dan dukungan terhadap mobilitas masyarakat. RPJMN merupakan
wadah yang penting dalam mengakomodir kebutuhan pembangunan infrastruktur. Dengan
tercantumnya transportasi perkotaan sebagai salah satu agenda pembangunan dalam RPJMN
2015-2019 diharapkan persentase penggunaan angkutan umum di Indonesia yang saat ini
masih rendah yaitu hanya 23%, ditargetkan dapat tumbuh menjadi 32% pada tahun 2019.
Pemerintah beserta masyarakat secara berkesinambungan telah dan sedang melaksanakan
berbagai program pembangunan infrastruktur transportasi massal, baik untuk transportasi
berbasis jalan maupun berbasis rel. Dengan demikian, diharapkan tingkat kemacetan di
kawasan perkotaan dapat ditekan dan pertumbuhan ekonomi dapat semakin terakselerasi.
Tingginya jumlah penduduk juga telah berimbas kepada meningkatnya kebutuhan perjalanan.
Peran angkutan umum dirasa kian melemah dalam 1 dekade terakhir seiring dengan pesatnya
penjualan dan penggunaan kendaraan pribadi, baik roda empat maupun sepeda motor.
Akibatnya, kemacetan pun tak terelakkan. Tak hanya di Jakarta, bencana kemacetan parah
juga sudah kerap menimpa kota-kota besar lain di Indonesia. Sebuah kondisi yang sungguh
memperihatinkan, tatkala jutaan kiloliter bahan bakar habis di jalanan, waktu produktif
masyarakat yang tersita, hingga polusi udara yang kian parah yang mengancam kesehatan
masyarakat. Dalam rangka mengembangkan transportasi perkotaan yang berkelanjutan di
Indonesia, arah Kebijakan yang disusun lima tahun ke depan, antara lain:
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 12
Masalah parkir. Masalah ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar saja. Tidak ada
fasilitas parkir di dekat pasar-pasar. Beberapa supermarket hanya mempunyai tempat parkir
yang begitu sempit, yang hanya dapat menampung beberapa kendaraan roda empat saja.
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 13
Beberapa gedung pertunjukan/gedung bioskop bahkan tidak mempunyai fasilitas parkir untuk
kendaraan roda empat.
Masalah fasilitas angkutan umum. Angkutan umum perkotaan, yang saat ini
didominasi oleh angkutan bus dan mikrolet masih terasa kurang nyaman, kurang aman dan
kurang efisien. Angkutan massal (mass rapid transit) seperti kereta api masih kurang
berfungsi untuk angkutan umum perkotaan. Berdesak-desakan di dalam angkutan umum
sudah merupakan pandangan sehari-hari di kota-kota besar. Pemakai jasa angkutan umum
masih terbatas pada kalangan bawah dan sebagian kalangan menengah. Orang-orang berdasi
masih enggan memakai angkutan umum, karena comfortability angkutan umum yang masih
mereka anggap terlalu rendah, dibandingkan dengan kendaraan pribadi yang begitu nyaman
dengan pelayanan dari pintu ke pintu. Sementara itu sistem angkutan umum massal (SAUM)
yang modern sebagai bagian integral dari ketahanan daya dukung kota (city survival) masih
dalam tahap rancangan dan perencanaan dan belum berada di dalam alur utama (mainstream)
kebijakan dan keputusan pemerintah dalam rangka menciptakan sistem transportasi kota yang
berimbang, efisien dan berkualitas. Belum terciptanya SAUM modern sebagai atribut menuju
kota ”metropolitan” dan oleh karenanya belum merupakan alternatif yang patut
diperhitungkan bagi pembuat perjalanan merupakan pembenaran dari pemakaian kendaraan
pribadi okupansi rendah yang tidak efisien. Oleh karena selama beberapa dekade belakangan
ini tidak ada langkah “terobosan” yang berarti, maka antrian dan kemacetan lalulintas yang
berkepanjangan pada setiap koridor dan pusat kota, dan sebagai akibatnya pemborosan besar-
besaran dari energi BBM serta polusi udara, akan terus menjadi menu sehari-hari dari para
pembuat perjalanan di perkotaan (urban trip makers).
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 14
karena para pemilik armada umumnya tidak memiliki SDM yang memadai untuk
mengelola bisnis angkutannya secara profesional. Hal ini merupakan tantangan
mendasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengembangkan sistem
angkutan perkotaan yang baik.
Terdapat permasalahan trayek angkutan kota dan pembentukan sistem transit yang
tidak terintegrasi. Pada kasus tertentu hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman
bahkan ketegangan karena beberapa operator beranggapan bahwa rencana pemerintah
untuk menyediakan sistem transit/BRT justru akan merugikan mereka mengingat
potensi penumpang di suatu trayek atau koridor tertentu terganggu. Hal ini pun
dipandang sebagai bentuk kompetisi yang lalu menimbulkan resistensi besar di
kalangan pelaku usaha angkutan kota yang sudah ada.
Timbul ketidakefisienan biaya operasional kendaraan (BOK) karena usia armada
angkutan perkotaan yang sudah tua. Hal ini juga berdampak negatif terhadap kualitas
udara perkotaan akibat emisi yang ditimbulkan oleh kendaraan berusia tua tersebut
Meninjau Kasus Bogor Penyediaan sistem angkutan jalan yang baik di kawasan
perkotaan adalah dambaan para pengguna jasa angkutan umum. Akan tetapi, masih sering
dijumpai sejumlah masalah dalam penerapan penyediaan angkutan berbasis jalan ini. Poin di
bawah ini, merujuk kasus di Kota Bogor, dapat menjadi acuan informasi untuk segera
memulai menerapkan penyediaan angkutan umum berbasis jalan:
1. Volume lalu lintas semakin padat sehingga menimbulkan kemacetan dan
meningkatkan waktu perjalanan.
2. Kebiasaan ngetem sopir angkot untuk menunggu penumpang.
3. Terjadi penurunan jumlah penumpang, yang beralih moda ke kendaraan pribadi
khususnya sepeda motor. Kondisi ini menyebabkan load factor atau keterisian
penumpang menurun drastis dan bisnis angkutan umum semakin mendekati titik nadir.
4. Terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan armada angkot dan jumlah permintaan
penumpang.
5. Adanya persaingan yang sangat ketat dan tidak sehat di antara para pengemudi untuk
mencari penumpang.
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 15
Masalah transportasi atau perhubungan merupakan masalah yang selau dihadapi oleh
negara-negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Masalah transportasi ini menimbulkan
berbagai permasalahan di kalangan masyarakat seperti kemacetan lalu lintas (congestion),
keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dll. Tingkat pertumbuhan kendaraan yang
jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ruas sarana transportasi menjadi salah satu
penyebab masalah transportasi sulit untuk diselesaikan.
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 16
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 17
Setelah dipilihnya tipe moda angkutan dan jalur distribusi, maka akan timbulah aliran
volume lalu lintas. Pada tahapan ini, pengaturan akan arus lalu lintas akan dilakukan. Bila
diketahui suatu jalur distribusi memiliki beban volume yang padat, maka planner bisa
mengalihkan satu jalur lainnya ke jalur yang lain sehingga menjadi tinggal satu jalur.
Pemilihan rute baru tetap memperhitungkan alternative terpendek, tercepat, termurah, dan
juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi cukup tentang kemacetan,
kondisi jalan, dll.
Meskipun model transportasi diciptakan dengan baik, namun dalam pelaksanaannya
harus dilakukan penambahan ataupun sedikit modifikasi disesuaikan dengan kondisi tat guna
lahan yang akan diatur. Model transportasi umumnya memiliki kelebihan :
a. Pengumpulan dan pengorganisasian survei data yang lengkap. Karena tahapan
pertama dari model ini adalah menganalisa tipe generation dimana pada tahap tersebut
kita terlebih dahulu mengetahui secara pasti bagaimana dan seberapa banyak pemilik
tata guna lahan di daerah tersebut.
b. Mampu menganalisa aspek operasional seperti volume lalu lintas, kapasitas jalan, dan
jumlah perjalanan untuk menentukan waktu perjalanan dan keterlambatan. Karena kita
telah mengetahui jumlah bangkitan dari production dan attraction serta tipe distribusi,
sehingga kita akan mengetahui seberapa besar volume lalu lintas di suatu daerah
tersebut bergantung tipe guna lahannya. Dengan itu, kita bisa mengetahui volumenya
untuk menentukan efisiensi jalur dan meminimalisir terjadinya delay.
c. Mampu memperkirakan tipe jalur distribusi yang akan dibangun bergantung tipe
generation yang ada apakah home-based work trips (HBW), home-based other (or
non-work) trips (HBO), dannon-home –based trips (NHB). Pada umumnya tata guna
lahan bertipe home-based other (or non-work) trips (HBO) memiliki bangkitan
volume yang lebih besar dibandingkan tipe lain sehingga perlu dipikirkan tentang jalur
distribusi yang sesuai.
Akan tetapi, meskipun telah digunakan cukup lama, sistem ini tetap memiliki
kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain :
a. Model ini memiliki kemampuan terbatas dalam memprediksi penggunaan moda
angkutan publik. Hal ini disebabkan karena asumsi data yang digunakan bersifat
eksternal seperti penghasilan, kepemilikan mobil, jumlah populasi, dll. Padahal kita
juga harus memperhitungkan faktor lainnya seperti harga bahan bakar, biaya
pengoperasian angkutan pribadi, tariff parkir, dll yang mempengaruhi keputusan
Transportasi Perkotaan
Pendahuluan 18
pemilik tata guna lahan untuk menggunakan antara angkutan pribadi atau moda
transportasi publik
b. Model ini tidak cocok dalam mengembangkan jalur transportasi barang. Hal ini
disebabkan karena model ini cenderung hanya berfokus pada aliran mobil pribadi
berdasarkan tipe kepemilikan tata guna lahan dan menggunakan asumsi eksternal.
c. Tipe model ini juga kurang dalam pembuatan, penerapan, serta pengontrolan
kebijakan. Karena penyusunan metode ini tidak melibatkan aspek dinamis. Metode ini
biasanya melakukan pengambilan keputusan berdasarkan titik equilibrium dari input
yang tersedia. Padahal dalam pelaksanaanya, transportasi bersifat dinamis dimana apa
yang terjadi tidaklah sesuai dengan asumsi yang digunakan sehingga kebijakan
mungkin saja terus berubah selama transportasi bersifat dinamis ini.
Transportasi Perkotaan
Prinsip Transportasi Perkotaan Berkelanjutan 19
Transportasi Perkotaan
Prinsip Transportasi Perkotaan Berkelanjutan 20
Transportasi Perkotaan
Prinsip Transportasi Perkotaan Berkelanjutan 21
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 22
Dalam pemyediaan infrastruktur bersepeda, umumnya terdapat lima syarat yang harus
dipenuhi untuk meningkatkan kualitasnya. Berikut urutannya sesuai skala kepentingan:
Studi teknis terkait dengan transportasi tidak bermotor menekankan kepada kebutuhan
pembentukan kebijakan termasuk pengembangan bagi fasilitas pejalan kaki dan pesepeda.
Upaya optimalisasi fasilitas pejalan kaki dan pesepeda antara lain dapat dilakukan dengan
menyediakan fasiitas pejalan kaki dan pesepeda yang didesain secara tepat dan terintegrasi
dengan mempertimbangkan sejumlah hal berikut:
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 23
1. Aman
Trotoar, jalur pejalan kaki, penyeberangan dan rute sepeda harus didesain dan
dibangun bebas hambatan, terlindung dan meminimalisir konflik dengan kendaraan
bermotor yang berpotensi membahayakan pejalan kaki dan pesepeda. Juga tersedia
kamera pengawas (CCTV) dan penerangan yang baik.
2. Mudah Diakses
Menggunakan prinsip-prinsip desain universal yang mempertimbangkan kemudahan
mobilitas dalam penggunaan trotoar, jalur pejalan kaki dan penyeberangan. Desain
yang memudahkan masyarakat segala umur dengan beragam kemampuan dalam
menggunakannya. Mengingat pengendara sepeda memiliki beragam tingkat
keterampilan, maka fasilitas pesepeda harus dirancang dengan tujuan memudahkan
pengendara sepeda yang belum berpengalaman, terutama anak-anak dan warga senior.
3. Terhubung ke kawasan pusat kegiatan dan antar titik di pusat kegiatan.
Mobilitas warga adalah beranjak dari titik awal bergerak menuju pusat kegiatan dan
aktivitas, atau menuju dan beranjak di sekitar pusat kegiatan seperti sekolah, taman,
perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, rekreasi, pemukiman dan lainnya.
Jaringan fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda harus lengkap, serta tersedia rute
langsung dan menerus yang nyaman baik untuk mobilitas ke tempat tujuan maupun di
sekitar pusat kegiatan.
4. Jaringan Jalur Pejalan Kaki Dan Pesepeda Terintegrasi Dengan Angkutan
Umum
Jaringan fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda harus memberikan kemudahan untuk
mengakses halte/ stasiun angkutan umum sehingga mobiltas para pengguna angkutan
umum terasa nyaman dan efisien
5. Trotoar dan jalur sepeda harus tampak jelas dan mudah digunakan.
Selain harus memberikan kemudahan bagi para pengguna pada umumnya, trotoar dan
jalur sepeda yang tersedia juga harus memberikan kemudahan pada masyarakat
berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas, ibu hamil dan warga senior. Jalur
tersebut memiliki ketentuan ukuran serta bebas rintangan di atasnya untuk
meminimalisir timbulnya penundaan perjalanan. Agar dapat tercapai optimalisasi
fungsi dan manfaatnya, fasilitas harus didesain dan dirawat dengan baik.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 24
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 25
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 26
mengimplementasikan fasilitas pejalan kaki yang terintegrasi. Tahap pertama dimulai pada
tahun 2012.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 27
7. Berdasarkan langkah tersebut akan dapat ditentukan perencanaan yang layak untuk
lokasi atau kawasan dimaksud.
Tahap implementasi adalah bagian penting berikutnya dalam upaya mewujudkan suatu
proyek pengadaan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda. Pada tahap ini persiapan harus
dilakukan dengan seksama sebelum memasuki tahap pelaksanaannya. Oleh karena itu tahap
ini harus didahului dengan perencanaan untuk memastikan bahwa pembangunan yang akan
dilaksanakan tepat guna dari segi manfaat dan efisien dalam hal pembiayaan.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 28
Gambar 3.3 Ilustrasi tahapan perencanaan pembangunan fasilitas pejalan kaki pada
stage 1 Kota Bogor
Persiapan perencanaan merupakan bagian penting untuk mengawali setiap tahap
implementasi pengadaan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda, pelaksanaan perencanaan
membutuhkan data-data yang akan menjadi materi analisis sebelum sampai pada tahap
implementasi. Berikut adalah tahapan persiapan dalam perencanaan konsep:
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 29
Selain mempertimbangkan karakteristik khas, sejumlah elemen umum juga menjadi faktor
penting untuk mewujudkan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda serta kombinasi keduanya.
Tabel di bawah ini menunjukkan faktor elemen umum tersebut:
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 30
Tabel 3.2 Elemen Umum Jalur Pejalan Kaki, Pesepeda dan Gabungan
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 31
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 32
(tangga/ramp akses, cafe, tenda makan, dll) juga dapat ditempatkan pada ruang ini selama
diizinkan dan tetap mempertahankan lebar ruang pejalan kaki. Berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 3 Tahun 2014, lebar ruang muka bangunan adalah 75 cm dari muka
gedung sesuai GSB.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 33
b. Jalur Pemandu
Jalur pemandu adalah jalur yang disediakan bagi pejalan kaki yang memiliki
keterbatasan penglihatan dengan memanfaatkan ubin bertekstur (tactile paving). Jalur ini
harus disediakan di trotoar. Pada kondisi tertentu, dapat dimanfaatkan tepi trotoar atau
dinding bangunan sebagai pemandu. Ubin bertekstur ini memiliki standar ukuran 30x30cm
dengan tinggi tekstur 0,5cm. Ketentuan lain mengenai pemasangan jalur pemandu dapat
mengacu pada Pedoman Teknis Aksesibilitas untuk Bangunan Gedung dan Lingkungan yang
dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum. Panduan lebih detail dapat dilihat pula pada
“Guidance on the use of Tactile Paving Surfaces” yang diterbitkan oleh Department of the
Environment, Transport and the Regions, London, Inggris.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 34
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 35
Secara umum, lebar minimum ruang multi fungsi tanpa tanaman peneduh adalah 60 cm, dan
1,5 m apabila terdapat tanaman peneduh di dalamnya.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 36
Kedua hal tersebut di atas, dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini:
a. Fasilitas Sepeda
1) Jalur Sepeda
Lebar minimum ruang pesepeda dapat dilihat pada gambar di bawah ini, dengan
rincian lebar standar 75 cm, lebar minimum untuk satu sepeda dengan ruang manuver 1,2 m,
dan lebar yang direkomendasikan untuk membuat satu jalur sepeda untuk satu sepeda adalah
selebar 1,5 m. Ruang vertikal atau ketinggian bebas untuk jalur sepeda minimum 2,5 m.
Implementasi jalur sepeda harus memenuhi beberapa kriteria yang mencakup aksesibilitas,
konektivitas antar tujuan, mobilitas pengendara dan juga dapat meningkatkan kapasitas
sistem. Lebar lajur sepeda ditentukan oleh konteks dan penggunaan, kecepatan, volume, dan
jenis kendaraan di jalur yang berdekatan. Hal ini secara signifikan memengaruhi kenyamanan
pengendara sepeda dan kebutuhan akan pemisahan lateral dari kendaraan lain. Lebarnya
diukur dari pusat garis jalur sepeda, dengan memperhitungkan fitur desain di tepi kanan jalur
sepeda, seperti tepi jalan, selokan, jalur parkir, atau pagar pembatas.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 37
Kondisi Lebar Jalur Sepeda, selain lebar jalur sepeda sebagaimana disebutkan di atas,
terdapat kemungkinan jalur sepeda dibuat lebih lebar dengan beberapa pertimbangan sebagai
berikut:
Tabel 3.3 Pertimbangan pada kemungkinan lebar jalur sepeda
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 38
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 39
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 40
2. Kontinuitas
Kontinuitas pada trotoar adalah upaya untuk menjaga keberlanjutan mobilitas
penggunanya. Berikut beberapa panduan guna mempertahankan kontinuitas trotoar:
Pertahankan permukaan yang rata dan hindari terjadinya perubahan level trotoar.
Pindahkan semua hambatan dan rintangan dari trotoar.
Tempatkan semua utilitas, perabot jalan dan peneduh pada zona multifungsi.
Secara visual, konsistensi dalam desain, warna dan tekstur dapat mempermudah
pejalan kaki mengenali dan menemukan lintasan yang harus digunakan, termasuk pada
area penyeberangan.
Ciptakan konektivitas yang baik dengan pusat-pusat pergerakan manusia dan simpul
angkutan umum.
Minimalisasi akses masuk kendaraan (driveways) dan desain akses kendaraan yang
diperlukan dengan mempertahankan level trotoar.
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 41
fungsi. Kelandaian maksimum ramp kendaraan ditetapkan sebesar 25% dengan kelandaian
yang dianjurkan sebesar 15%.
Dalam hal lebar trotoar yang sangat terbatas dan desain raised driveways tidak dapat
dilakukan, desain dropped curb dapat digunakan dengan tetap mempertahankan kemiringan
melintang dan memanjang trotoar yang diizinkan.
4. Indikator Aksesibilitas
Pada dasarnya, seluruh fasilitas pejalan kaki harus memiliki tingkat aksesibilitas yang
tinggi bagi penggunanya. Indikator tingkat aksesibilitas ini dapat diukur dari kemudahan
pejalan kaki dalam menggunakan fasilitasnya, terutama bagi pejalan kaki dengan keterbatasan
kemampuan (difabel), seperti pengguna kursi roda, manula dan orang dengan keterbatasan
penglihatan atau pendengaran.
Kemudahan penggunaan fasilitas pejalan kaki dapat dicapai, antara lain dengan:
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 42
Transportasi Perkotaan
Pejalan Kaki dan Sepeda/NMT 43
bagian ujung yang bulat (tidak tajam). Panjang handrail harus ditambah 30cm pada bagian
ujung-ujungnya (bagian dasar dan puncak) yang berfungsi sebagai landasan pengguna.
3. Material Permukaan
Pemilihan material permukaan yang tepat untuk konstruksi trotoar dan jalur sepeda
dapat memengaruhi tingkat kenyamanan pejalan kaki dan pesepeda, daya tahan konstruksi
dan nilai estetika lingkungan. Selain itu, pemilihan material yang tepat juga dapat
memengaruhi kondisi lingkungan pada tempat fasilitas itu berada.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 44
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 45
tepat bila operator berhasil atau gagal dalam memberikan pelayanannya kepada pelanggan.
Rute trayek yang ada pun ditata ulang (restrukturisasi) sesuai dengan dinamika perkembangan
pembangunan di Singapura, disertai pula dengan penambahan 1.000 bus baru. Langkah ini
merupakan aspek konsolidasi yang bermakna penting. Kondisi layanan yang semula tersebar
dengan para pelaku usaha yang cenderung unregulated, ditata ulang sesuai prinsip manajemen
profesional. Terdapat pula kontrol layanan yang menjamin mobilitas masyarakat yang
menguntungkan semua pihak, baik para pengusaha dan awak angkutan, masyarakat pengguna
jasa dan juga pemerintah.
Pemerintah Indonesia juga telah memiliki visi konsolidasi sistem transportasi. Hal itu
terlihat pada upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengonsolidasikan program sistem BRT
Trans Jakarta, serta Pemerintah Kota Surakarta untuk program Batik Solo Trans. Langkah
konsolidasi yang dilakukan adalah dengan melebur (merger) para operator bus besar pemilik
trayek yang berimpitan rute dengan rencana pengembangan jalur BRT menjadi sebuah
konsorsium dan masuk sebagai bagian dari operator Bus Trans Jakarta dan Batik Solo Trans.
Langkah konsolidasi operator angkutan yang dilakukan secara tepat, diharapkan akan
melahirkan operator baru yang lebih kuat dan profesional dalam pengelolaan angkutan umum.
Akan tetapi, pemerintah tetap perlu berhati-hati terhadap friksi-friksi sosial yang seringkali
muncul dalam proses perubahan kebijakan ini. Prinsip kehati-hatian ini diharapkan dapat
mengatasi dan meredam sedini mungkin semua bentuk ancaman friksi yang mungkin timbul.
2. Restrukturisasi Trayek
Setiap daerah layaknya memiliki rencana induk transportasi darat, atau master plan;
atau disebut sebagai Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) untuk tingkat provinsi, dan
Tataran Transportasi Lokal (Tatralok) untuk perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Master
plan tersebut memuat berbagai aspek pengelolaan transportasi yang berkelanjutan, termasuk
mekanisme tata ulang trayek dan lainnya, yang bermanfaat untuk meningkatkan aspek
pelayanan angkutan umum. Kebijakan untuk mendukung strategi transportasi perkotaan yang
digariskan dalam peraturan daerah merupakan penentu kuat terhadap implementasi strategi
angkutan perkotaan. Berikut rincian sejumlah langkah yang dapat diambil untuk memastikan
implementasi secara tepat:
a. Melakukan studi akademis dan makalah tertulis tentang pengembangan angkutan
umum.
b. Dengar pendapat atas hasil studi tersebut.
c. Penyelarasan persepsi pemangku kepentingan terhadap pengembangan angkutan
umum.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 46
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 47
Di sejumlah kota besar dan kota metropolitan di Pulau Jawa dan Sumatera,
karakteristik angkutan di kawasan perkotaannya dilengkapi pula dengan jaringan angkutan
umum berbasis rel. Beberapa angkutan rel yang melayani mobilitas masyarakat di wilayah
perkotaan antara lain:
a. Kereta Commuter (Commuter Line/CL) Jabodetabek.
b. Prambanan Ekspress (Prameks) di wilayah Surakarta-Yogyakarta-Purworejo.
c. KRD di Surabaya dan sekitarnya
d. KRD di kawasan Bandung Raya.
Terdapat setidaknya tiga pertimbangan utama dalam menentukan karakteristik layanan
angkutan perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan, yakni besaran jumlah penduduk atau
ukuran populasi, pola perjalanan mereka (asal dan tujuan, jumlah perjalanan, moda yang
digunakan) dan kondisi infrastruktur kota. Jika sebuah distrik bisnis dalam kota memiliki
permintaan angkutan umum yang sangat tinggi, maka sebaiknya dikembangkan kereta api
komuter yang melayani pekerja yang tinggal di pinggiran tetapi bekerja di pusat kota.
Sedangkan pada kawasan perkotaan dengan tingkat permintaan perjalanan yang tidak terlalu
tinggi, sistem angkutan jalan dapat menjadi pilihan utama. Untuk kawasan perkotaan seperti
ini, ketersediaan jalan arteri, dengan lebar di atas delapan meter dapat diprioritaskan bagi
angkutan umum dengan jumlah penumpang besar yang melayani rute utama. Jika kemudian
kebutuhan perjalanan sepanjang rute ini dinilai terus meningkat, pemerintah daerah juga dapat
membangun sistem transportasi massal berbasis jalan (BRT) di sepanjang jalan arteri tersebut.
Oleh karena itu, selalu diperlukan upaya untuk mengembangkan sistem transportasi
didasarkan pada pola permintaan dan perjalanan penduduknya. Secara ideal, selayaknya
kondisi infrastruktur tersebut diwujudkan terlebih dahulu baru kemudian menata jaringan
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 48
angkutan penunjangnya dengan menggunakan armada bus sedang dan bus kecil. Keseluruhan
jaringan pelayanan angkutan tersebut harus terintegrasi sehingga dapat memberikan kepastian
layanan menerus (seamless connection) bagi para penggunanya. Idealnya, kondisi
infrastruktur harus diwujudkan terlebih dahulu dengan menetapkan ruang jalan yang
memberikan prioritas bagi angkutan umum di atas moda transportasi bermotor lainnya (dan
kendaraan tidak bermotor diberikan prioritas di atas semua moda). Jika tidak tersedia
kapasitas jalan yang cukup, mungkin perlu dikembangkan infrastruktur jalan skala besar
untuk dapat memberikan prioritas bagi angkutan umum, yang kemudian didukung oleh
jaringan jalan di sekitarnya. Di jaringan sekunder ini bus sedang dan bus kecil digunakan
untuk melayani penumpang, dan harus terintegrasi dengan sistem angkutan massal (BRT)
untuk memastikan konektivitas yang terintegrasi
Di sisi lain, penataan angkot juga harus dilakukan secara paralel hingga suatu saat
ketika kondisi angkutan sudah menjadi lebih baik dan permintaan perjalanan (demand)
meningkat, reformasi angkutan bisa dilanjutkan dengan menghadirkan layanan Sistem Transit
di kota tersebut. Akan tetapi, reformasi angkot juga harus dilakukan bersamaan dengan
pembangunan infrastruktur skala besar. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya
permintaan angkot, dan pada gilirannya akan memungkinkan reformasi menyebar ke seluruh
sistem transit.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 49
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 50
2. Izin Trayek/Koridor
Setelah mendapat izin usaha, setiap badan hukum yang akan melakukan usaha
pelayanan angkutan di suatu trayek/koridor juga harus mendapat izin trayek atau operasi. Izin
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 51
trayek ini merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi angkutan kota. Sejumlah persyaratan
administratif harus disiapkan oleh pemegang izin usaha untuk mendapatkan izin trayek,
sebagaimana rincian berikut:
a. Membuat laporan realisasi angkutan dari pengusaha yang siap melayani trayek
dimaksud.
b. Memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepegawaian.
c. Memiliki SOP Perawatan Kendaraan.
d. Menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi seluruh kewajiban
sebagai pemegang izin trayek termasuk SPM yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
e. Memiliki paling sedikit 20 unit armada kendaraan bermotor yang memenuhi
persyaratan teknis dan laik jalan dengan umur kendaraan yang ditetapkan oleh
pemberi izin.
f. Menguasai fasilitas penyimpanan/depo kendaraan bermotor yang dibuktikan dengan
gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai pemilikan atau
penguasaan.
g. Memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas
pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat kendaraannya untuk tetap
dalam kondisi laik jalan.
h. Surat keterangan kondisi usaha, seperti permodalan dan sumber daya manusia.
i. Surat keterangan komitmen usaha, seperti jenis pelayanan yang akan dilaksanakan dan
standar pelayanan yang diterapkan.
j. Membuat atau memiliki sistem manajemen keselamatan.
Sedangkan persyaratan teknis yang harus dipenuhi sebelum dikeluarkannya izin trayek
untuk sebuah badan hukum/usaha angkutan perkotaan antara lain:
a. Pada trayek yang diajukan, masih terdapat peluang penambahan jumlah kendaraan
sebagaimana hasil penetapan kebutuhan kendaraan.
b. Prioritas pemberian izin trayek diberikan bagi perusahaan angkutan yang mampu
memberikan pelayanan angkutan yang terbaik. Penentuan perusahaan angkutan yang
terbaik dilakukan melalui sistem lelang atau seleksi.
Apabila pengajuan izin trayek tersebut disetujui oleh pejabat berwenang, maka izin trayek
akan diberikan, berupa:
a. Surat Keputusan Izin Trayek
b. Surat Keputusan Pelaksanaan Izin Trayek
c. Lampiran Surat Keputusan Izin Trayek berupa daftar kendaraan
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 52
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 53
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 54
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 55
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 56
4.2.4 Pengawasan
Setelah sejumlah upaya di atas, langkah berikut adalah melakukan pengawasan atau
kontrol. Beberapa pengawasan yang dilakukan mencakup:
1. Pengawasan terhadap SPM
Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan SPM terlaksana. Berdasarkan PM No. 98
Tahun 2013 tentang SPM angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek,
bakuan mutu SPM mencakup enam aspek yang meliputi keamanan, keselamatan,
kenyamanan, keteraturan, kesetaraan dan keterjangkauan. Selain peraturan menteri tersebut
terdapat pula beberapa peraturan gubernur dan peraturan walikota masing masing provinsi
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 57
dan kota. Sekalipun sudah dilakukan upaya untuk memenuhi kriteria SPM tersebut di atas,
masih banyak kendala yang dihadapi, antara lain:
a. Sistem setoran
b. Organisasi individu
c. Kontrol penerapan SPM itu sendiri.
2. Pengawasan terhadap Tarif
Langkah berikut adalah melakukan pengawasan terhadap tarif dengan menjadikan isu
regulasi tarif sebagai kewenangan pemerintah. Penetapan tarif berhubungan dengan profit
operator yang seharusnya memberikan dampak positif pada pelayanan angkutan umum.
Sayangnya, sejauh ini keuntungan yang besar tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan
pelayanan yang baik oleh para operator. Hal tersebut mengindikasikan ada sesuatu yang salah
dalam sistem penyediaan angkutan umum sehingga perlu dilakukan perbaikan kebijakan
untuk mendapatkan suatu sistem operasional bus yang efisien dan lebih baik. Pelayanan
angkutan umum yang tidak memenuhi syarat berkaitan erat dengan pola kecenderungan
masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum.
3. Upaya Lain Pengawasan
Sejumlah upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam melakukan
pengawasan pelayanan angkutan umum adalah dengan:
1. Menyediakan pusat pengaduan masyarakat; sebagai sarana bagi masyarakat untuk
memberikan kritik dan saran pelayanan terhadap masyarakat.
2. Aktivitas berbagai komunitas lokal di kota-kota, yang memiliki perhatian terhadap
pelayanan angkutan umum. Beberapa di antara komunitas yang sudah terbentuk
adalah Suara Transjakarta, Busway Mania, KRL Mania, Aspeka (Asosiasi Penumpang
KA), Koalisi Pejalan Kaki (KPK).
3. Pengaktifan Forum Lalu Lintas, sebagaimana diatur dalam PP No. 37 tahun 2011
tentang Forum LLAJ. Forum tersebut beranggotakan perwakilan instansi pemangku
kepentingan, perguruan tinggi dan juga masyarakat.
4. Di Provinsi DKI Jakarta, terdapat Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) yang
bertugas memberikan rekomendasi kepada Gubernur terkait kebijakan transportasi
secara umum, termasuk tentang pembinaan dan penyelenggaraan angkutan perkotaan.
Selain dari instansi pemangku kepentingan, seperti Dinas perhubungan dan Kepolisian Lalu
Lintas, keanggotaan DTKJ juga secara spesifik menyebutkan unsur pakar transportasi, unsur
perguruan tinggi, unsur pengusaha angkutan, unsur awak angkutan, unsur LSM (lembaga
swadaya masyarakat) yang bergerak di bidang transportasi dan unsur masyarakat pengguna
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 58
jasa transportasi. Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh kepala daerah sudah
mengakomodasi suara dari setiap elemen masyarakat yang berkepentingan terhadap
penyelenggaraan angkutan umum. Sejumlah hal yang menjadi isu aspek sosial pada
kendaraan umum adalah masalah keamanan dan pelecehan seksual. Masalah keamanan yang
berhubungan dengan isu sosial adalah bahaya copet, penodong, pengemis yang memaksa atau
ancaman verbal, dll. Sedangkan aspek sosial yang berhubungan dengan pelecehan seksual
adalah perlakuan tidak senonoh yang umumnya dialami kaum perempuan pada saat berada di
kendaraan umum, meskipun tidak tertutup kemungkinan pelecehan seksual ini juga menimpa
kaum lelaki. Isu aspek sosial adalah salah satu hal yang sangat luas, dianjurkan untuk
meninjau dokumen lain seperti gender dan modul Transportasi Perkotaan oleh GIZ SUTP dan
aspek sosial dokumen teknis dari SUTP3.
Perkembangan dunia bisnis pada sektor jasa semakin meningkat saat ini.
Perkembangan ini dapat diamati pada aktivitas sehari-hari, dimana sebagian besar aktivitas
tersebut tidak bisa lepas dari penggunaan atau peranan dari berbagai sektor jasa. Salah satu
sektor jasa yang memiliki peranan yang cukup vital dalam menunjang berbagai aktivitas sehari-
hari adalah sektor jasa transportasi.
Salah satu jenis transportasi yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi
permasalahan kebutuhan transportasi masyarakat adalah kereta api. Kereta api merupakan
salah satu jenis transportasi dengan multi keunggulan komparatif, hemat lahan dan energi,
rendah polusi, besifat massal, serta mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang
memasuki era kompetisi, potensinya diharapkan dapat dimobilisasi dalam skala nasional,
sehingga mampu menciptakan keunggulan yang kompetitif terhadap produksi dan jasa
domestik dipasar global. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh kereta api di atas,
diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan guna menjadi solusi permasalahan
transportasi perkotaan yang semakin kompleks.
Melihat semakin meningkatnya mobilitas penduduk dan semakin kompleksnya
permasalahan transportasi di perkotaan khususnya masyarakat di wilayah Jabodetabek, PT
Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai badan penyelenggara tunggal jasa angkutan kereta api
di Indonesia membentuk anak perusahaan yang bernama PT KAI Commuter Jabodetabek yang
berfungsi sebagai penyelenggara jasa angkutan kereta api di wilayah Jabodetabek. Seiring
dengan peningkatan mobilitas penduduk dan permasalahan transportasi yang terjadi di Jakarta
dan sekitarnya berpengaruh terhadap jumlah penumpang kereta api per tahunnya. Hal tersebut
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 59
Table 4.1 Jumlah Penumpang Kereta Api Jabodetabek Tahun 2011-2015 (Juta Orang)
Tahu Jumlah
n Penumpang
2011 121.105
2012 134.088
2013 158.483
2014 208.496
2015 257.531
(Sumber : https://www.bps.go.id/, diakses 9 Februari 2016)
Salah satu rute layanan KRL yang diselenggarakan oleh PT. KAI Commuter
Jabodetabek adalah rute Bogor-Jakarta Kota. Penyedia KRL rute Bogor-Jakarta Kota bertujuan
untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat di daerah Bogor, Depok dan Jakarta. KRL rute
Bogor-Jakarta memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat di daerah Jakarta,
Bogor dan Depok terutama dalam hal mobilitas masyarakat yang beraktifitas di luar daerahnya
dan sebagai alat transportasi yang dapat mengatasi masalah kemacetan yang sering dihadapi
masyarakat. Rute perjalanan tersebut memiliki jumlah kepadatan penumpang tertinggi
dibandingkan rute perjalanan lainnya.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 60
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 61
d. Kemiringan track;
e. Wilayah yang tidak boleh berhenti; dan
f. Perlintasan sebidang.
Bagian bergerak yaitu perangkat yang ditempatkan pada kabin kereta atau lokomotif
terdiri atas :
a. Man-Machine-Interface (MMI) yang berfungsi menampilkan informasi yang perlu
diketahui oleh masinis;
b. Sistem kendali yang mengatur secara otomatis kecepatan kereta; dan
c. Sistem komunikasi
Berdasarkan bentuk transmisi data dari bagian stasioner ke bagian bergerak (mobile part),
maka ATP dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
a. ATP Intermitten, yaitu sistem ATP di mana informasi dari bagian stasioner yang
disediakan untuk kereta hanya disediakan di lokasi tertentu (biasanya dengan
transponder atau balise tetap di lintasan), sehingga jika kereta berada di antara dua
lokasi tersebut, kereta tidak dapat menerima update perubahan informasi. Kondisi
ini, seperti pada keadaan sinyal berubah dari sinyal berhenti (merah) ke sinyal
melanjutkan (kuning atau hijau), informasi tersebut tidak dapat segera
disampaikan ke kereta, sampai kereta mencapai balise berikutnya.
Program operasional sistem ATP intermitten memiliki tiga fungsi yaitu;
(1) sistem peringatan otomatis;
(2) kurva pengawasan pengereman, dan
(3) memberhentikan kereta.
Tempat-tempat pengiriman data dari bagian stasioner diusahakan pada semua titik
yang memerlukan pembatasan kecepatan kereta (untuk kereta berhenti) dimana
tempat tersebut adalah berjarak aman sesuai dengan kurva pengereman dari
tempat sinyal pemberhentian yang ada di depannya.
Cara kerja sistem adalah, ketika kereta melintasi tempat pengiriman data, seperti
balise, dan balise tersebut memberikan indikasi harus berhenti di depan sinyal,
maka sistem peringatan otomatis ditransmisikan ke bagian bergerak di kereta. Jika
masinis tidak melakukan pengaturan kecepatan sesuai dengan kurva pengawasan
pengereman yang disediakan, maka ATP secara otomatis melakukan pengereman.
b. ATP Kontinyu, adalah sistem ATP yang lebih signifikan dalam hal kinerja di
banding sistem ATP intermitten, tapi sangat mahal, terutama peralatan lintasan
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 62
kereta. Sistem kontinyu berarti data ditransmisikan secara terus menerus antara
peralatan lineside dan kereta. Kereta menerima data setiap saat untuk mengontrol
sistem proteksi. Batas kecepatan kereta diawasi terus menerus. Dalam beberapa
sistem, seluruh trek dilengkapi dengan sistem transmisi. Dalam sistem lain,
pemasangan sistem transmisi terbatas untuk melacak bagian transmisi data yang
diperlukan dalam rangka mengawasi kecepatan kereta. Suatu ATP terus menerus
selalu dikombinasikan dengan sinyal kabin dimana kondisi trek yang biasnya
dibaca melalui peralatan persinyalan disamping rel, ditampilkan di dalam kabin
masinis. Pada lintasan di mana semua kereta
dilengkapi dengan ATP kontinyu, maka persinyalan konvensional tidak dibutuhkan
lagi 3).
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 63
Gambar 4.6 menunjukkan kondisi beberapa blok di lintas Jabodetabek, yaitu lintas
antara Stasiun Pasar Minggu sampai dengan Stasiun Depok baru.
Gambar 4.6 kondisi blok lintas antara Stasiun Pasar Minggu sampai dengan Stasiun
Depok baru
Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa apabila perjalanan kereta (KRL) sesuai dengan jadwal maka
paling kurang satu blok di depan setiap kereta adalah blok kosong, bahkan beberapa blok
kosong, sehingga frekwensi pemberangkatan kereta masih bisa ditingkatkan dengan aman.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 64
Pada kondisi tersebut di atas kemungkinan suatu rangkaian kereta bertabrakan dengan
rangkaian kereta lainnya yang ada didepannya sangat kecil bahkan tidak akan terjadi selama
sistem persinyalan berfungsi dengan baik. Dengan demikian fungsi ATP yang dibutuhkan
adalah fungsi pengendalian kecepatan dan pengereman sehingga kereta tidak dipacu melebihi
kecepatan yang diizinkan, dan tidak menabrak sinyal merah. Dalam kondisi tersebut sistem
ATP yang dibutuhkan adalah sistem ATP intermitten
Pada Gambar 4.7 terlihat bahwa, pada mulanya, KRL bergerak, dengan gaya maksimum dan
konstan sampai kecepatan tertentu. Hal ini memberikan percepatan yang konstan pula,
akibatnya kecepatan KRL pada interval waktu tersebut bertambah dengan pertambahan linier.
Periode waktu selanjutnya gaya yang diberikan dikurangi secara bertahap dalam bentuk
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 65
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 66
Gambar 4.9 memperlihatkan hasil uji akselerasi satu KRL yang baru selesai dibangun dengan
cara KRL dijalankan dari posisi diam (kecepatan 0 km/jam) sampai mencapai kecepatan 50
km/jam. Dari pengujian tersebut diperoleh bahwa KRL tersebut didesain dengan akselerasi
0,8 meter/detik2. Grafik warna biru (bagian atas) adalah grafik sesuai desain, sedangkan
grafik warna coklat (bagian bawah) adalah grafik hasil pengujian. Grafik akselerasi KRL yang
diperlihatkan pada Gambar 4.9 tersebut adalah grafik fungsi kecepatan terhadap jarak tempuh
yang dibutuhkan untuk pengawasan/pengendalian kecepatan oleh ATP 6).
Berlawanan dengan percepatan (akselerasi) tersebut, perlambatan (deselerasi) pada
saat pengereman juga diperlukan. Prinsip umumnya adalah bahwa kereta api dalam semua
kondisi harus dapat berhenti satu blok sebelum blok yang berisi kereta pada blok di depannya.
Kereta baru dapat melanjutkan perjalanannya apabila blok berikutnya menjadi kosong dan
terdeteksi bebas. Sistem ATP perlu mengetahui sampai berapa kecepatan kereta api dapat
dipacu pada daerah tertentu agar bisa berhenti pada daerah dimana blok didepannya tidak bisa
dimasuki. Untuk melakukan hal tersebut perlu pengetahuan tentang kurva pengereman, yang
memberikan indikasi pola deselerasi yang praktis. Sistem ATP akan memastikan bahwa
kereta berjalan dalam batasan kurva pengereman yang relevan. Apabila tidak dilakukan, maka
ATP akan memberi peringatan kepada masinis bahwa kereta berjalan lebih cepat dari kurva
pengereman, dan akan melakukan intervensi jika kereta tetap menabrak sinyal berhenti
(lampu merah) 7).
Hasil pengujian pengereman satu KRL yang baru selesai dibangun yaitu deselerasi
pada saat pengereman.ditunjukkan pada gambar 4.10.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 67
Gambar 4.10 memperlihatkan hasil uji pengereman dinamis satu KRL yang baru selesai
dibangun dengan cara KRL dijalankan sampai mencapai kecepatan 70 km/jam.
Pada saat kecepatan sudah kontan yaitu 70 km/jam, dilakukan pengereman sampai
mencapai kereta betul-betul berhenti (kecepatan 0 km/jam). Dari pengujian tersebut diperoleh
bahwa KRL tersebut didesain dengan perlambatan dinamis 0,86 meter/detik2. Grafik warna
biru (bagian bawah) adalah grafik sesuai desain, sedangkan grafik warna coklat (bagian atas)
adalah grafik hasil pengujian. Grafik deselerasi KRL yang diperlihatkan pada gambar 4.10
tersebut adalah grafik fungsi kecepatan terhadap jarak tempuh yang dibutuhkan untuk
pengawasan/pengendalian kecepatan oleh ATP 9,10).
Gambar 4.11 memperlihatkan hasil uji pengereman peneumatik (pneumatic braking) satu
KRL yang baru selesai dibangun dengan cara KRL dijalankan sampai mencapai beberapa
kecepatan yaitu kecepatan 100 km/jam, 80 km/jam, 60 km/jam dan 40 km/jam. Pada saat
kecepatan sudah kontan pada masing-masing kecepatan tersebut, dilakukan pengereman
pneumatik sampai mencapai kereta betul-betul berhenti (kecepatan 0 km/jam). Dari pengujian
tersebut diperoleh bahwa KRL tersebut mempunyai perlambatan pengereman pneumatk
sebagai berikut :
1. Kecepatan 100 km/jam perlambatan = 0,75 m/det.2
2. Kecepatan 80 km/jam perlambatan = 0,76 m/det.2
Transportasi Perkotaan
Manajemen Angkutan Masal 68
Gambar 4.12 memperlihatkan hasil uji pengereman darurat (emegency braking) satu KRL
yang baru selesai dibangun dengan cara KRL dijalankan sampai mencapai beberapa
kecepatan yaitu kecepatan 100 km/jam, 80 km/jam, 60 km/jam dan 40 km/jam. Pada saat
kecepatan sudah kontan pada masing masing kecepatan tersebut, dilakukan pengereman
darurat sampai mencapai kereta betul-betul berhenti (kecepatan 0 km/jam). Dari pengujian
tersebut diperoleh bahwa KRL tersebut mempunyai perlambatan pengereman darurat sebagai
berikut :
1. Kecepatan 100 km/jam perlambatan = 0,87 m/det.2
2. Kecepatan 80 km/jam perlambatan = 1,01 m/det.2
3. Kecepatan 60 km/jam perlambatan = 0,78 m/det.2
4. Kecepatan 40 km/jam perlambatan = 0,97 m/de.2
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 1
Untuk lebih memahami keuntungan secara ekonomi yang dihasilkan TDM, sangat
pen- ting untuk memahami transportasi sebagai suatu barang yang terdiri dari permintaan
dan penyediaan (demand and supply). Dinas Perhu- bungan bertanggung jawab untuk
merenca- nakan, membangun dan mengelola jaringan jalan dan layanan transportasi, serta
pengaturan kendaraan. Kebijakan dan praktek perenca- naan mereka biasanya didasarkan
pada asumsi bahwa tujuan utamanya adalah untuk memak- simalkan penyediaan (supply)
agar volume lalu lintas dan kecepatan kendaraan bermotor dapat meningkat. Memang
penyediaan (supply) rela- tif mudah diukur, yang biasanya ditunjukkan oleh jumlah
kilometer perkerasan jalan, ruang parkir, pertumbuhan jumlah kendaraan bermo- tor dan
kilometer perjalanan kendaraan (VKT ). Permintaan (demand) transportasi lebih sulit
diukur, karena hal tersebut terkait dengan kebu- tuhan dan keinginan mobilitas
masyarakat, dan kebutuhan bisnis untuk pengangkutan barang. Saat ini juga kurang jelas
siapa yang bertang- gung jawab terhadap manajemen permintaan, karena keputusan
tentang transportasi didasar- kan pada berbagai macam faktor, mulai dari waktu hingga
kenyamanan dan biaya. Upaya TDM mungkin saja dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan
baik kabupaten, propinsi maupun pusat, atau swasta untuk kebutuhan para pekerjanya.
Tabel 5.1 menunjukkan perbedaan antara upaya-upaya di sisi permintaan dan penyediaan
yang dapat digunakan dalam sistem transportasi.
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 2
Tabel 5.1 perbedaan antara upaya-upaya di sisi permintaan dan penyediaan yang dapat
digunakan dalam sistem transportasi
TDM juga dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mempengaruhi perilaku
pelaku perjalanan agar mengurangi atau mendistribusi ulang permintaan perjalanan.
Kebutuhan transportasi secara umum mengikuti teori eko- nomi tentang penawaran dan
permintaan pada barang.
Pada kasus barang, penawaran dan permintaan diseimbangkan oleh harga. Sebagai
contoh, jika permintaan suatu jenis barang tertentu mening- kat, harga akan ikut meningkat,
mendorong pengusaha untuk memproduksi lebih banyak hingga tercapai keseimbangan
antara pasokan dan permintaan. Namun demikian, banyak komponen dari sistem transportasi
yang tidak teretribusi secara benar sehingga menciptakan konflik dan ketidakefisiensian.
Walaupun untuk memiliki mobil itu mahal biayanya, tetapi sebagian besar biaya tersebut
bersifat tetap. Konsumen membayar jumlah yang sama untuk biaya pembelian, perawatan,
asuransi, registrasi dan parkir tanpa memper- hitungkan seberapa banyak mereka menggu-
nakannya. Banyak biaya eksternal perjalanan mobil yang tidak dibayar langsung oleh peng-
guna, termasuk biaya kemacetan lalu lintas, risiko kecelakaan, pencemaran gas buang dan
subsidi parkir. Banyak negara mensubsidi bahan bakar kendaraan bermotor atau mengenakan
pajak yang rendah yang bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya perawatan jalan. Pada
kebanyakan situasi, dua pertiga biaya kendaraan bermotor adalah biaya tetap atau biaya tidak
langsung.
Stuktur biaya tersebut tidak adil dan tidak efi- sien. Biaya tetap yang tinggi
mendorong pemi- lik kendaraan bermotor untuk memaksimalkan penggunaan
kendaraannya, agar mereka mem- peroleh timbal balik dari biaya yang dikelu- arkannya,
dan biaya eksternal yang tidak adil karena masyarakat terpaksa menanggung biaya
eksternal yang tidak terkompensasi langsung dan biaya kerusakan akibat penggunaan
kenda- raan. Sebagai contoh, para pelaku mobil tum- pangan dan penumpang bis terjebak
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 3
kemacetan lalu lintas meskipun mereka membutuhkan jauh lebih sedikit ruang jalan
dibandingkan pengguna mobil pribadi. TDM membantu memperbaiki penyimpangan ini,
sehingga membuat sistem transportasi jadi lebih efisien dan adil. Pada akhirnya TDM
akan membawa manfaat bagi semua orang termasuk pengen- dara mobil, karena mereka
bisa menikmati berkurangnya kemacetan lalu lintas dan parkir berkurangnya biaya
kecelakaan dan pencemaran udara, dan berkurangnya kebutuhan untuk ber- kendara
mobil bagi yang non-pengemudi.
TDM cenderung bermanfaat terutama bila dibandingkan dengan total biaya yang
diaki- batkan semakin parahnya kemacetan jalan dan kesulitan untuk mendapatkan parkir.
Penam- bahan fasilitas jalan dan parkir hanya akan cenderung mendorong timbulnya
bangkitan perjalanan (generated traffic) yaitu penambahan waktu, lokasi dan beban lalu
lintas pada jam- jam puncak, dan memancing terjadinya perja- lanan yang sebelumnya tidak
ada atau disebut picuan lalu lintas (induced traffic) yaitu terjadi- nya peningkatan total lalu
lintas kendaraan bermotor, termasuk peralihan perjalanan dari moda transportasi yang lain,
jarak perjalanan yang lebih jauh, dan peningkatan total jarak perjalanan per kapita. Bangkitan
perjalanan dan picuan lalu lintas cenderung mengurangi man- faat prediksi kemacetan dan
malah meningkat- kan biaya eksternal transportasi, seperti biaya kemacetan, biaya parkir,
biaya kecelakaan lalu lintas, pemborosan energi, polusi gas buang, dan pemekaran kota yang
tidak terkendali (sprawl). Meskipun penambahan perjalanan kendaraan membawa manfaat
bagi pengguna- nya, namun sangat sedikit nilainya, karena per- gerakan kendaraan yang
demikian hanya mere- presentasikan sebagain kecil nilai kilometer ken- daraan dimana
sebenarnya banyak pengguna kendaraan yang rela untuk meningkalkan per- jalanannya
dengan berkendara, jika seandainya biaya penggunaan kendaraan meningkat.
Evaluasi ekonomi yang lazim digunakan saat ini cenderung mengabaikan atau
meremehkan dampak bangkitan lalu lintas dan picuan lalu lintas. Hal ini cenderung
membesar-besarkan manfaat perluasan kemacetan jalan di perko- taan, atau meremehkan
manfaat solusi TDM. Evaluasi yang lebih komprehensif yang memper- hitungkan faktor-
faktor ini, cenderung untuk lebih mengakui manfaat yang ditimbulkan oleh solusi TDM.
TDM juga mempengaruhi pola tata guna lahan, karena adanya hubungan timbal-balik
antara tata guna lahan dan transportasi. Tata guna lahan mempengaruhi kegiatan
transpor- tasi, dan kebijakan transportasi mempengaruhi pola pengembangan tata guna
lahan. Semakin banyak lahan yang digunakan untuk ruang jalan, perumahan dan lokasi
kegiatan masyara- kat akan cenderung semakin jauh terpisah yang akan memaksa masyarakat
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 4
untuk mengguna- kan kendaraan yang lebih banyak dan untuk memenuhi kebutuhan
perjalanan mereka yang lebih banyak. Kota-kota cenderung tumbuh men- jadi lebih besar dan
menyebar, dalam pola yang disebut pemerkaran kota yang tidak tekendali (urban sprawl).
TDM membantu menghentikan siklus ini dengan cara mendukung pola pem- bangunan yang
seimbang (smart growth) bagi tata guna lahan sehingga kota menjadi lebih kompak, dengan
beragam moda transportasi dan mencegah terjadinya pemekaran yang tidak terkendali.
TDM tidak hanya sekedar menerapkan upaya untuk memperbaiki mobilitas dan
mengurangi emisi, tetapi juga memberikan wacana bagi semua pengguna transportasi bahwa
sumber daya transportasi itu (ruang jalan, ruang parkir, bahan bakar, waktu, dan investasi
publik) ter- batas dan sangat berharga, sehingga keadilan sosial harus didahulukan.
Penyesuaian biaya
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 5
Gambar 5.1 Siklus timbal-balik antara transportasi dan tata guna lahan
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 6
Dasar bagi manajemen permintaan adalah bahwa walaupun harga yang dikeluarkan langsung
oleh pemakai jalan dalam melakukan perjalanan mencakup biaya penuh perjalanan, maka
biaya bersih tersebut akan dibebankan kepada masyarakat.
Gambar 5.2 TDM mendukung penggunaan ruang lahan jalan yang efisien
TDM memfokuskan aksesibilitas pada layanan dan kegiatan-kegiatan, dan tidak pada
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 7
lalu lintas kendaraan. Hal ini dapat memperluas keragaman solusi yang dapat diterapkan
untuk mengatasi suatu masalah transportasi tertentu. Sebagai contoh, jika terjadi kemacetan di
suatu jalan, daripada menambah jalan atau fasiltias parkir, TDM malah akan mendorong
masya- rakat untuk mengurangi perjalanan pada jam sibuk, menggunakan moda transportasi
alter- natif (berjalan kaki, bersepeda, berkendara ber- sama, angkutan umum), memilih tujuan
alter- natif, atau mencari tempat parkir alternatif.
Karena upaya-upaya TDM berusaha melaku- kan perubahan perilaku, maka upaya
ini akan terkait dengan beragam pemangku kepentingan (stakeholder), tidak hanya
pelaku transportasi saja. Sebagai contoh, suatu program TDM mungkin saja melibatkan
beberapa instansi pemerintah di suatu wilayah (yang terlibat dalam perencanaan sistem
jaringan dan ang- kutan umum), pemerintah-pemerintah daerah (yang terlibat dalam
pembangunan jalur peja- lan kaki dan sepeda, dan pengelolaan parkir umum), sektor
usaha (yang mengelola parkir pegawai dan konsumennya), dan organisasi masyarakat
(yang mempromosikan perilaku sehat dan sadar lingkungan).
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 8
Tabel 5.2 Upaya kebijakan dan regulasi bisa saja dilaksanakan oleh beragam tingkat
pemerintahan
Penegakan hukum dan kesadaran masyarakat merupakan dukungan yang sangat penting
dalam keberhasilan pelaksanaan upaya TDM. Layanan informasi harus diberikan dalam
men- dukung perubahan perilaku dan opini masyara- kat yang harus selalu dipantau
untuk mengukur tingkat penerimaannya. Ada banyak cara bagi sektor swasta baik
perusahaan maupun individual dalam mengupayakan TDM supaya lebih efektif. Upaya TDM
oleh sektor swasta yang melengkapi upaya-upaya pemerintah seperti berbagi mobil (car
sharing) dan kesepakatan perusahaan yang mengikat para pekerjanya dalam peningkatan
kesadaran dan skema yang insentif bagi pegawai sangatlah berguna untuk
mengkategorisasikan upaya-upaya TDM dalam artian pendekatan yang dipakai dan
pemangku kepentingan (stakeholder) yang harus dilibatkan dalam pelaksanaannya. Dokumen
ini membagi upaya-upaya TDM kedalam tiga kelompok dasar yaitu:
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 9
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 10
Transportasi Perkotaan
Manajemen Kendaraan Pribadi 11
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 12
6. Area Parkir
Karakteristik parkir badan jalan yang berinteraksi langsung terhadap lalu lintas
membuat desain dan manajemen parkir pada badan jalan sangat penting. Sub bab ini akan
memberikan pejelasan desain parkir badan jalan dari sisi teknis dan manajemen. Selain itu
dilakukan tinjauan retribusi dan pengumpulan biaya parkir pada badan jalan.
Dimensi dan karateristik setiap kendaraan yang berbeda-beda membuat desain SRP beragam
sesuai dengan definisi klasifikasi parkir menurut jenis kendaraan, yaitu:
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 13
Dimensi satuan ruang parkir dibuat untuk jenis kendaraan mobil penumpang, bus/ truk,
sepeda motor, dan sepeda. Dimensi SRP untuk jenis kendaraan mobil penumpang dibedakan
menjadi dua berdasarkan lebar bukaan pintu depan/belakang, yaitu; Golongan I – dimensi
SRP untuk mobil penumpang biasa (bukan orang cacat); dan Golongan II – dimensi SRP
untuk mobil penumpang bagi orang cacat. Untuk jenis kendaraan roda dua, satuan ruang
parkir terdiri dari sepeda (45 cm x 150 cm), sepeda motor (90 cm x 200 cm), motor besar
(105 cm x 250 cm). Aturan lengkap mengenai dimensi parkir untuk setiap jenis kendaraan
dapat dilihat pada Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Angkutan Darat Kementrian Perhubungan dan Empfehlungen für
Anlagen des ruhenden Verkehrs - EAR 05 (Petunjuk untuk Fasilitas Lalu Lintas yang
Stationer - EAR 05).
B = 170 a1 = 10 Bp = 250
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 14
O = 65 L = 65 Lp = 500
R = 50 R = 50
Golongan I
B = 170 a2 = 20
O = 55 a1 = 10
R =5 L = 470
Bp = 230 =B+O+R
Lp = 500 = L +a1 +a2
Golongan II
B = 170 a2 = 20
O = 55 a1 = 10
R =5 L = 470
Bp = 230 =B+O+R
Lp = 500 = L +a1 +a2
Golongan I
B = 170 a2 = 20
O = 55 a1 = 10
R =5 L = 470
Bp = 230 =B+O+R
Lp = 500 = L +a1 +a2
Keterangan:
B = Lebar total kendaraan
L = Panjang total kendaraan
O = Lebar bukaan Pintu
A1, a2 = Jarak bebas arah longitudinal
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 15
Gambar 6.4 Satuan Ruang Parkir untuk Sepeda Motor (dalam cm)
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 16
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 17
Dampak merugikan dari parkir pada badan jalan adalah menurunnya kapasitas ruas
jalan. Selain itu, kendaraan yang akan parkir dan yang akan keluar dari tempat parkir akan
menambah nilai hambatan samping ruas jalan tersebut. Seperti ilustrasi di bawah ini:
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 18
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 19
Tahap kebijakan
Apakah penghilangan parkir badan jalan
lebih banyak manfaatnya daripada
kerugiannya? Apakah dalam jangka pendek
bisa memulihkan kegiatan ekonomi? Apakah
alternatif pelayanan sebagai tatanan
pendukungnya sudah dipersiapkan?
Tahap strategi
Bagaimana menerjemahkan kebijakan
pembatasan parkir dalam konteks wilayah
tata kota? Bagaimana menentukan wilayah
yang sesuai untuk parkir minimum dan parkir
maksimum?
Tahap teknis
Bagaimana tahapan yang harus
dilaksanakan? Apakah dimulai dari tahap
identifikasi (survei), analisis SWOT,
rekayasa lalu-lintas dan perbaikan pelayanan
angkutan umum massal, manajemen
pembatasan parkir, atau tahap pembangunan
parkir di luar badan jalan?
Penghapusan parkir pada badan jalan membutuhkan tiga tahapan; yakni tahap kebijakan,
strategi dan teknis implementasi. Pada tahap kebijakan, Bappeda dan Tata Kota harus
menyusun RDTRK dan Masterplan Transportasi sebagai payung kebijakan dalam bidang
perparkiran. Kedua lembaga ini memberikan platform bagi pengambilan keputusan di tingkat
kepala daerah (walikota). Sedangkan di tingkat strategi, dilakukan penyusunan Grand Design
Perparkiran melalui penetapan wilayah kebijakan bagi implementasi parkir maksimum dan
parkir minimum. Untuk tingkat teknis, dilakukan detail rancangan dan tindakan teknis bagi
diterapkannya kebijakan, yaitu:
Tahap identifikasi parkir badan jalan.
Tahap analisis SWOT bagi lokasi terpilih.
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 20
Tahap manajemen rekayasa lalu lintas dan perbaikan sistem angkutan umum massal.
Tahap manajemen pembatasan parkir.
Tahap pembangunan parkir badan jalan.
Selain itu, diperlukan tata cara untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi pada
kawasan tertentu berasarkan analisis dampak lalu lintas dan manajemen parkir. Pemerintah
Daerah dapat melakukan pembatasan kapasitas ruang parkir untuk umum di ruang milik jalan
yang dapat dilakukan dengan cara:
Pembatasan SRP
Pembatasan parkir pada jam-jam tertentu untuk parkir di dalam ruang milik jalan.
Penetapan waktu parkir maksimal pada parkir di dalam ruang milik jalan.
Pengaturan tarif parkir progresif pada parkir di dalam ruang milik jalan.
Pemberlakuan tarif parkir yang lebih tinggi pada parkir di dalam ruang milik jalan.
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 21
karyawan, dll)
Informasi tarif dan waktu
Pembatasan penggunaan (seperti penghuni,
karyawan, dll)
Komunikasi yang efektif melalui rambu dan marka tidak mudah dan seringkali dianggap
sepele. Upaya pemerintah lokal untuk merancang rambu sering tidak efektif. Berikut
beberapa isu-isu kunci dalam menjaga rambu dan marka tetap informatif bagi pelaku
perjalanan:
Posisi rambu harus strategis agar memiliki dampak di mana dan kapan keputusan
yang relevan akan segera dibuat.
Hindari tanda yang menyebabkan ambiguitas.
Gunakan tanda sederhana dan standar, terutama tanda-tanda yang harus diperhatikan
saat mengemudi.
Apabila tanda-tanda berupa kata-kata, gunakan bahasa yang sangat sederhana.
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 22
Fokus pada informasi tindakan. Dengan kata lain, tanda-tanda harus fokus pada
tindakan yang diperlukan, dianjurkan atau dilarang.
Hindari pemunculan rambu kompleks yang beruntun.
Situasi diatas sangat rentan terhadap rambu kompleks seperti pembatasan penggunaan
parkir, pembatasan penggunaan berbasis waktu, skema tarif parkir yang kompleks.
Efektivitas penggunaan rambu dan marka dapat tercapai dengan penggunaan standar dan
pedoman pada tingkat nasional. Seperti Peraturan Menteri Perhubungan No.34/2014 yang
memberikan informasi tentang tanda parkir standar Indonesia untuk badan jalan.
Keterkaitannnya adalah:
Pada tingkat nasional atau pemerintah provinsi; negara memiliki kapasitas dan
kewenangan hukum untuk menetapkan standar.
Akan tidak efisien dan membingungkan jika setiap kota mempunyai standar mengenai
rambu dan marka.
Standarisasi rambu dan marka juga menghasilkan efisiensi biaya, karena
memungkinkan produksi rambu dan marka dalam skala besar.
Gambar 6.9 Penerapan rambu yang jelas terutama tidak terhalang benda lain seperti
pohon dapat menjaga ketertiban dan menghindari kecelakaan
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 23
Aspek tarif merupakan hal yang sangat berpengaruh pada keputusan pelaku
perjalanan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Dalam konteks tarif parkir, terdapat
beberapa regulasi yang mengatur tentang penerapan tarif. Sebagai contoh, retribusi parkir di
tepi jalan umum di Kota Samarinda. Menurut Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 13
Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, retribusi parkir adalah pembayaran atas jasa
penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus diatur pada
Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Fasilitas Parkir.
Adapun objek retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum adalah penyediaan
pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Besaran tarif dasar parkir digunakan untuk
mementukan besaran tarif parkir setiap jenis kendaraan di masing-masing zona.
Besaran tarif dasar harus ditetapkan d idalam peraturan-peraturan yang ada, baik
berupa Peraturan Daerah, Keputusan Wali Kota maupun lainnya. Besaran tarif dasar
bervariasi dan sangat tergantung pada komponen-komponen di bawah ini:
Sewa lahan atau ruang di lokasi parkir..
Fasilitas yang tersedia.
Biaya pemeliharaan dan perbaikan.
Gaji pekerja parkir.
Subsidi.
Asuransi.
Komponen tarif parkir meliputi tarif dasar parkir dan komponen tambahan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
Jenis kendaraan; kendaraan ringan/kecil dikenakan beban tarif yang lebih murah bila
dibandingkan dengan kendaraan yang lebih besar.
Durasi parkir; kendaraan yang parkir lebih lama harus membayar parkir yang lebih
mahal.
Lokasi parkir; karena dapat mengurangi kapasitas jalan serta menurunkan tingkat
pelayanan, maka tarif parkir di ruang milik jalan lebih mahal dibandingkan lokasi
lainnya.
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 24
Periode parkir; pada periode jam sibuk, setiap ruas jalan akan mengalami pembebanan
lalu lintas paling besar bila dibandingkan dengan periode lainnya, sehingga dapat
dipertimbangkan besaran tarif parkir pada periode jam sibuk lebih mahal dari tarif
parkir pada periode lainnya.
Lahan peruntukkan; lalu lintas di lahan potensial umumnya memerlukan pengendalian
yang lebih serius sehingga tarif parkir pun harus lebih mahal dari pada tarif parkir
pada lahan yang rendah bangkitan lalu lintasnya.
Kemampuan masyarakat; penetapan parameter tarif parkir dipengaruhi oleh kondisi
sosial ekonomi masyarakat.
Untuk mendorong menggunakan parkir di luar kawasan milik jalan, maka tarif parkir
di ruang milik jalan lebih mahal daripada parkir di luar kawasan milik jalan.
Penerapan tarif berbasis durasi dan zona pada parkir badan jalan merupakan hal yang sangat
kompleks (walaupun tidak mustahil) yang memerlukan reformasi pada peraturan di bidang
perparkiran. Langkah-langkah untuk menerapkan fasilitas parkir berbasis zona dan tarif
adalah
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 25
Gambar 6.10 Tahapan Aplikasi Tarif Parkir di Badan Jalan Berbasis Zona dan
Waktu
Transportasi Perkotaan
Area Parkir 26
Proses pengumpulan retribusi parkir dapat terbagi berdasarkan cara konvensional dan
sistem teknologi. Proses pengumpulan secara konvensional dilakukan dengan membayar
langsung kepada juru parkir yang selanjutnya disetorkan langsung kepada institusi/operator
terkait. Sedangkan untuk penggunaan teknologi dilakukan dengan cara menggunakan smart
card, parking meter, dll.
Kota-kota di Indonesia yang memiliki dana investasi terbatas untuk biaya
infrastruktur parkir perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi digital mobile dan
menghindari investasi meteran parkir di jalan, dengan pertimbangan:
Fokus pada pilihan dengan biaya modal yang rendah dan biaya transaksi yang rendah. Pay-
by-telephone juga cocok untuk pengguna sepeda motor pada kota-kota di Indonesia. Di
banyak kota di dunia, pembayaran parkir digunakan dengan ponsel dalam proporsi yang
berarti, meskipun tetap mempertahankan parking meter di jalan.
Pengumpulan retribusi parkir secara konvensional sebenarnya sangat mudah dan lebih
murah untuk diimplementasikan. Selain itu, sistem konvensional juga lebih fleksibel dan
padat karya, sehingga dapat menjadi pertimbangan di kota-kota dengan tingkat pengangguran
cukup tinggi.
Transportasi Perkotaan
Daftar Pustaka 27
Daftar Pustaka
GIZ SUTIP. 2016. Langkah Jitu Pembenahan Angkutan Umum Perkotaan. Kementrian PPN/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta
GIZ SUTIP. 2016. Manajemen Parkir di Perkotaan Kementrian PPN/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. Jakarta
GIZ SUTIP. 2016. Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan RAD GRK. Kementrian
PPN/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta
GIZ SUTIP. 2014. Perencanaan Bus Rapid Transit TransJogja: Paket Kajian Institusional.
Dinas Perhubungan Provinsi DIY. Yogyakarta
GIZ SUTIP. 2014. Perencanaan Bus Rapid Transit TransJogja: Paket Kerangka Hukum.
Dinas Perhubungan Provinsi DIY. Yogyakarta
GIZ SUTIP. 2016. Bus Management Company untuk Reformasi Angkutan Umum Kota
Bogor. Dinas Perhubungan. Bogor
Kamar, Syamsul. 2015. Analisis Pergerakan Kereta Rel Listrik Untuk Disain Sistem
Keselamatan Kereta Api Otomatis. Jurnal, Pusta Teknologi Industri dan Sistem
Transportasi, Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa
Transportasi Perkotaan