26 Serikat Puisi Zen Hae PDF
26 Serikat Puisi Zen Hae PDF
Zen Hae
1
Pada mulanya esai ini dimuat dalam buku Goenawan Mohamad, Potret Seorang
Penyair Sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), 9-20. Esai itu
kemudian dimuat lagi dalam Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 55-66. Komentar dalam kurung dari penulis.
Selanjutnya ditulis Kesusastraan dan Kekuasaan.
2
Goenawan Mohamad, Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, suntingan Ayu Utami dan
Sitok Srengenge (Jakarta: Metafor, 2001). Sebagian besar pembahasan puisi-
puisi Goenawan Mohamad dalam esai ini bersumber pada buku ini, selain 70
Puisi (Jakarta: Tempo dan Grafiti Pres, 2011) dan Don Quixote (Jakarta: Tempo
& Grafiti Pers, 2011).
1
Kalam 26 / 2014
2
Kalam 26 / 2014
pemikir kebudayaan yang aktif di masa itu, menyebut kriris sastra itu
sebagai akibat dari “krisis kepemimpinan politik”.4
Memang, saat itu telah muncul satu generasi sastrawan baru
yang cukup menonjol—seperti Kirjomulyo, Ajip Rosidi, Rendra,
Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardoyo—
tetapi dengan kualitas dan orientasi budaya yang berbeda dari
Angkatan 45. Setidaknya, mereka tidak lagi sibuk dengan proyek
meraih pengakuan sebagai “ahli waris kebudayaan dunia”—
sebagaimana dinyatakan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”.5
Mereka lebih tergolong ke dalam generasi pengarang yang “menjadi
Indonesia”, sebuah situasi kebudayaan yang berlangsung sepanjang
1950-1965.6 Malah, Nugroho Notosusanto, dalam esainya “Situasi
1954”, bagian 4, esai yang ditulisnya untuk Ramadhan K.H. dan dimuat
di majalah Kompas, mencirikan generasi sastrawan baru ini sebagai
generasi yang orientasinya kepada sastra dunia “tidak seluas mereka
4
Soedjatmoko, “Mengapa Konfrontasi” dalam majalah Konfrontasi, edisi I/1954.
Baca juga uraian Ajip Rosidi tentang krisis ini dalam Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia (Jakarta: Binacipta, cetakan ketiga, 1992), 135-140.
5 Esai karangan Asrul Sani yang bertitimangsa “Jakarta, 18 Februari 1950” ini
kerap disebut sebagai pandangan umum Angkatan 45. Esai ini muncul pertama
kali dalam lembar seni dan sastra “Gelanggang” di majalah Siasat edisi 22
Oktober 1950. Sebelumnya, pernah pula dibacakan dalam sebuah pertemuan
budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes, Jakarta, pada Juni 1950.
Informasi terakhir ini saya peroleh dari skripsi Alex Supartono, “LEKRA vs
MANIKEBU: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta: STF
Driyarkara, 2000).
6
Dalam pengantar untuk bunga rampai yang disuntingnya bersama Maya H.T.
Liem, Jennifer Lindsay menulis: “Menjadi Indoneisa pada tahun 1950 adalah
menjadi modern. Ada rasa girang terhadap ‘kebaruan’ menjadi ‘terlahir’ sebagai
bangsa dan warga baru, dan kata-kata ‘baru’, lahir’ dan ‘modern’ merembes pada
tuisan periode tersebut.” Baca, Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli
Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Denpasar: Pustaka Larasan,
Jakarta: KITLV, 2011), 18.
3
Kalam 26 / 2014
Yang terakhir ini adalah sebutan Chairil Anwar untuk generasi Pujangga Baru.
8
4
Kalam 26 / 2014
9
Kirjomulyo, Romance Perjalanan (1957). Pada 1979 buku ini diterbitkan kembali
bersama buku puisi Romansa Perjalanan II dengan judul Romansa Perjalanan.
10
Sepanjang dasawarsa 1950 Ajip Rosidi menerbitkan tiga buku puisi: Ketemu di
Jalan (bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan, 1956), Pesta (1956), Cari Muatan
(1959) dan Surat Cinta Enday Rasidin (1960).
11
Buku puisi Rendra yang dimaksud adalah Ballada Orang-Orang Tercinta (1957).
Berkat buku ini Rendra meraih Hadiah Sastra Nasional dari BMKN. Tentang
pengaruh Lorca pada sajak-sajak awal Rendra, sila baca Subagio Sastrowardoyo
“Kerancuan Kepribadian Rendra-Lorca” dalam Sosok Pribadi dalam Sajak
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 169-212.
5
Kalam 26 / 2014
12
Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita: Kumpulan Sajak 1956 (1958). Buku ini
mendapat Hadiah Pertama BMKN (1957-1958).
13
Uraian ringkas tentang kemunculan generasi mereka baca A. Teeuw, Modern
Indonesian Literature II (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), 1-11.
6
Kalam 26 / 2014
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Cleanth Brooks, Modern Poetry and the Tradition (Chapel Hill: The University
14
of North Carolina Press, 1967), 71. Selanjutnya ditulis Modern Poetry and the
Tradition.
7
Kalam 26 / 2014
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh:—Datanglah!
8
Kalam 26 / 2014
adalah bukti adanya ide yang mencuat dalam sajak suasana ini. Kata
itu memanggil seseorang atau sesuatu datang ke tengah panorama
ini, menjadi semacam disonansi citraan. Ia sebenarnya memanggil
suara penyair yang di bait berikutnya akan tampak jelas maunya.
Pola ini kemudian diulang pada bait kedua, di mana permainan
rima akhir tampak lebih beragam. Dua larik pertama di bait ini,
yang masih memainkan rima akhir “ah” (merah, tengadah) menjadi
semacam pengembangan dari rima akhir pada dua larik terakhir bait
pertama tadi. Dua larik ini akan bersilangan bunyi akhirnya dengan
dua larik berikutnya (tekukur, terulur). Tetapi enjabemen pada larik
keempat (. . .terulur. Pula/ada menggasing. . .) membuat tegangan
beralih dari “bunyi dan makna” menjadi “sintaksis dan semantik”.
Secara sintaksis larik keempat tampak gerumpung, tetapi secara
semantik ia berhubungan dengan larik berikutnya. Setelah itu, di
larik-larik berikutnya, yang muncul adalah dominasi rima akhir “i”,
sebagaimana pada bait pertama, dengan seruan yang sepola dengan
dua baris terakhirnya. Bandingkan dan sebuah kata merekah/diucapkan
ke ruang yang jauh:—Datanglah! pada bait pertama dengan dalam kristal
kata/dalam pesona pada bait terakhir. Keduanya tampak sejajar bukan
hanya dalam bunyi, tetapi juga dalam makna.
Jika optimisme di bait pertama baru sekadar harapan, maka
pada bait kedua ia tampil dengan pemerian yang lebih lengkap.
Manusia akan terpesona, akan hidup kembali perasaannya, begitu
menyaksikan bumi yang bangkit dengan pelbagai pesonanya,
sebagaimana telah diungkapkan di bait pertama. Sementara puisi yang
mengungkapkan semua pesona itu, hanya sebatas mengungkapkan,
seakan bisu abadi. Di sinilah kembali dimainkan tegangan yang telah
menjadi permanen dalam puisi. Sajak akan bisu di hadapan pesona
9
Kalam 26 / 2014
10
Kalam 26 / 2014
11
Kalam 26 / 2014
12
Kalam 26 / 2014
13
Kalam 26 / 2014
Cambridge
70 camar pucat
hinggap
di gelombang yang beku.
14
Kalam 26 / 2014
15
Kalam 26 / 2014
16
Kalam 26 / 2014
17
Kalam 26 / 2014
18
Kalam 26 / 2014
puisi ini bergerak dari “beranda ini” ke “langit terlepas”, dari sepi
yang terasa sempit kepada yang sepi yang mahaluas tetapi mendesak,
sebelum akhirnya ia kembali ke ruang dengan yang kesepian yang
lain lagi, ruang yang “menunggu malam hari”. Itulah ruang yang
mengalami personifikasi dan telah mengambil alih tugas si kita dalam
menunggu malam, momen perpisahan.
Frasa “langit terlepas” itu sendiri adalah kasus menarik dalam
puisi ini. Ia menawarkan sejumlah kemungkinan pemaknaan karena
strukturnya yang gerumpung. Apakah ia berarti langit yang terlepas
dari gantungan dan jatuh menimpa kita? Seperti langit-langit kamar?
Atau ia langit yang terlepas seperti burung yang kian meluaskan
dirinya. Atau ia langit yang terlepas dari tatapan kita? Atau ia memang
citraan yang secara sengaja diselipkan dalam kesejajaran antara
“beranda” dan “ruang”, yang keduanya adalah bagian dari rumah.
Kecuali langit-langit, langit tentu saja bukan bagian dari bangunan
sebuah rumah. Tetapi, dengan begitu, “langit terlepas” menimbulkan
kontras pada kalimat berikutnya: “ruang menunggu malam hari”.
Yang satu terkesan teramat luasnya dan tidak bisa dijangkau, yang
lain terukur dan gampang dijelajahi. Dengan begitu pula, frasa
“langit terlepas” memperkuat unsur disonansi dalam puisi ini. Tapi
dalam puisi puisi Goenawan Mohamad, disonansi bukan sekadar
disharmoni bunyi, bunyi lain yang menyeleweng dari tertib irama,
tetapi juga disharmoni citraan yang muncul sebagai efek montase
tadi. Sebab puisi, sebagaimana musik, pada akhirnya bukan semata-
mata keindahan belaka, tetapi “organisasi citraan”. Sebagaimana
dikatakan Northrop Frye, “music is concerned not with the beauty but
with the organization of sound.”18
Alex Premiger dan T.V.F. Brogan, The New Princeton Encyclopedia of Poetry and
18
19
Kalam 26 / 2014
20
Kalam 26 / 2014
2010).19 Di sini, detik adalah metonimi dari jarum jam, dari waktu
secara keseluruhan, yang mengalami personifikasi dan sejajar dengan
kereta. Keduanya kini ditempatkan sebagai yang visual dan aural
sekaligus. Visual jika dalam jarak pandang tertentu kita masih bisa
melihat kereta (dan detik) yang meninggalkan stasiun. Aural jika kita
mendengar deru atau pluit kereta, juga detak detik, yang melaju di
luar jarak pandang kita.
Akan tetapi, gerak detik mengacu kepada waktu, dari awal
ke akhir, sementara gerak kereta merujuk kepada tempat atau ruang,
dari sini ke sana, atau sebaliknya. Inilah penyejajaran yang akhirnya
mengguncangkan nalar semantik kita. Sang penyair mungkin tidak
membayangkan betapa berisikonya jukstaposisi dua matra yang
berbeda ini, terutama jika kita memikirkan ke mana tujuan atau akhir
keberangkatan detik dan kereta itu. Mungkin ia sedang mengejar efek
surrealisme, suasana yang juga bisa kita temukan dalam pantun.20 Tetapi
19
Mengorek logika metafora seperti ini memang bisa tampak sebagai pertanyaan
orang awam yang letih. Kita bisa tidak ambil peduli atau menerima saja
permainan metafora itu seperti apa adanya, toh pada akhirnya kita akan paham
sesuai kadar kepahaman kita. Dalam sebuah puisinya “Di Depan Sancho
Panza” (Don Quixote, 62) Goenawan melukiskan sikap tidak ambil peduli atau
ketidakmengertian seseorang pada permainan metafora yang ajaib, seperti ini:
“Di sepan Sancho Panza yang lelah, / seorang perempuan bercerita / tentang sajak /
yang disisipkan ke dalam hujan /yang tak tidur. // Tentu saja Sancho tak mengerti /
bagaimana sajak disisipkan / ke dalam hujan, tapi ia mengerti / cinta yang sungguh.
Dipegangnya tangan / perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”
20
Dalam permainan petak umpet anak-anak di Betawi ada pantun seperti ini:
“Tengkeroeng ketimun bonteng / Kuda lari di atas genteng / Capcipcup bondol ijo /
Kaki Kuncup berak melinjo.” Kita bisa membayangkan betapa ajaibnya kuda yang
berlari di atas genteng atau kakek yang berak melinjo, tetapi suasana surreal itu
tercipta tanpa menimbulkan tanda tanya. Salah satu sebabnya, karena kita telah
dibikin nyaman oleh permainan rima akhir pada pantun itu, oleh rangsangan
petualangan dalam permainan kanak-kanak itu. Kesejajaran bunyi dan
rangsangan rasa menjadi lebih penting ketimbang kesejajaran semantik.
21
Kalam 26 / 2014
yang juga masuk akal adalah bahwa sang penyair ingin mencapai akibat
keberangkatan itu: suasana ketergesa-gesaan dan sepi pada segala yang
ditinggalkan. Hari bertambah malam, yang berangkat kiat menjauh,
yang ditinggalkan kian sendirian, kesepian kian terasa di rumah itu.
Lebih jauh dari itu, larik kesatu bait kedua menunjukkan
kondisi intertekstualitas. Bisa jadi Rubayyat yang dimaksud mengacu
kepada rubayyat apa pun yang pernah ada di dunia ini. Tetapi jika
rubayyat dalam larik ini mengacu kepada Rubayyat karya Omar
Khayyam, pujangga Persia Klasik itu, jelaslah bagaimana pertautan
keduanya. Dalam Rubayyat Omar Khayyam hasil terjemahan dan
suntingan Edward FitzGerald, terutama kuplet kedua dan ketiga,
terlukis begini:
Dalam dua contoh ini momen boleh berbeda: subuh pada Omar
Khayyam, senja pada Goenawan Mohamad. Tetapi suasananya lebih-
kurang sama: perintah untuk pergi secepatnya. Yang pertama, dengan
prinsip “Carpe Diem”, mendesak agar seseorang keluar dari rumah
untuk menyongsong pagi, memberi makna pada yang sebentar (motif
Edward FitzGerald, Rubaiyat Omar of Khayyam (New York: Oxford University
21
22
Kalam 26 / 2014
23
Kalam 26 / 2014
Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya
hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.
Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal di luar, di atas
cakrawala aspal.
Bagi saya, soal utama puisi ini adalah permainan citraan yang
sudah sampai taraf gila-gilaan dan tergelincir pada kegelapan—jika
bukan melejitkan humor dan parodi. Bayangkan jika gerimis yang telah
menjadi logam itu jatuh di atap seng akan riuh sekali suaranya, atau siapa
saja yang berjalan di bawahnya, pasti akan benjol-benjol atau terluka
kepalanya. Tetapi permainan citraan yang gila-gilaan ini terkesan
disengaja karena ada frasa yang mendahuluinya “kata orang”. Frasa ini
24
Kalam 26 / 2014
25
Kalam 26 / 2014
26
Kalam 26 / 2014
27
Kalam 26 / 2014
HAMPA
28
Kalam 26 / 2014
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setak bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
29
Kalam 26 / 2014
Sydney
30
Kalam 26 / 2014
Matsuo Bashō, Bashō’s Haiku, terjemahan, anotasi, pengantar oleh David Landis
23
31
Kalam 26 / 2014
itu selalu ada garis lurus antara keheningan alam dengan keheningan
dalam batin penyair, kekosongan. Tema yang juga penting dalam Zen.
Menunda manusia untuk menginterupsi alam, itulah
tantangan utama puisi suasana.
Sehubungan dengan itu, puisi “Pastoral” (2002) berhasil dengan
wataknya yang ganda: puisi suasana sekaligus puisi ide. Sebagai puisi
suasana ia menyadap tenaga haiku dengan amat baiknya karena dua
hal. Pertama, larik-lariknya, bahkan bait, ditata sedemikian baik,
sehingga kepadatan dan keringkasan terselenggara di sana. Kedua,
subyek liriknya sendiri berhasrat mengosongkan diri dari puisi untuk
membiarkan alam berbicara sebagai semacam perlambang untuk
dirinya. Sebagai puisi ide ia menyajikan pernyataan subyek lirik yang
tidak terperangkap pada abstraksi. Ia tidak diskursif tetapi metaforis.
Saya kutipkan enam bagian pertama:
Pastoral
I
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing, dan
seseorang hingar menggusah burung,
seseorang turun ke kali dan menyanyi,
seseorang mencicipi alir,
mengikuti bunyi
kercap dingin
liang hutan,
arus yang menyisir batu
batu yang, seperti pundak kerbau, menahanmu
32
Kalam 26 / 2014
II
Terkadang aku ingin
Kita hilang seperti kadal
di ilalang
seperti kilau –
III
Mungkin sudah tiba saatnya
kita membiarkan kata
terpesona pada luas lumut
atau pada jeram
dan parit
yang menciut
IV
Sementara di selatan
jerami telah dihimpun,
dan orang hingar
menggusah burung,
sebaris bangau
membubuhkan putihnya
pada padi
V
Katakan, kenapa di tubuhmu yang sempurna
sungai seperti tak menyentuh
apa-apa?
33
Kalam 26 / 2014
VI
Misalkan terkait
teratai
pada air
misalkan terkait
air
pada hijau
misalkan terkait
kekal
pada daun
aku akan tetap takut
sengak maut
pada petang yang rembang
seperti dosa
34
Kalam 26 / 2014
VII
Detik adalah lugut
yang bertebar
di tengah oktober
dan hari gatal,
dan ajal turun,
pada jam yang menyulap kapas
ke dalam embun
VIII
Saat kau sentuh putrimalu
kau lihat
tangkai waktu
35
Kalam 26 / 2014
IX
Yang sementara
tak akan menahan
bintang hilang
di bimasakti
Yang bergetar
akan terhapus
Yang bercinta
akan berhenti
36
Kalam 26 / 2014
XII
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang
pada tebing. Terkadang aku ingin
kita jatuh, seperti rama-rama jatuh
dari dahan
37
Kalam 26 / 2014
Mutlu Konuk Blasing, Lyric Poetry: The Pain and The Pleasure of Words
25
38
Kalam 26 / 2014
39
Kalam 26 / 2014
Meski bermula dari Spanyol dan Cervantes diakui sebagi penulisnya, Don
26
40
Kalam 26 / 2014
41
Kalam 26 / 2014
manusia dalam dunianya yang baru, dan itu semua karena tenung,
hidup adalah tenung itu sendiri. Seperti terlukis dalam senandika
dalam dua bait pertama puisi “Justru” (2007):
Justru
42
Kalam 26 / 2014
43
Kalam 26 / 2014
Utara, baca Jahan Ramazani, A Transnational Poetics (Chicago dan London: The
University of Chicago Press, 2009).
44