Anda di halaman 1dari 14

USHUL FIQIH

SEBAGAI METODE ILMIAH ISLAM

Oleh:
Eko Suryaddin Zain, Lc, M.Pd.I

MAHASISWA PASCASARJANA
AL IMAM MUHAMMAD IBN SUUD ISLAMIC UNIVERSITY
RIYADH-SAUDI ARABIA

2013


 
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama ilmu. Sejak awal kemunculannya, Islam telah
menekankan kepada umatnya untuk terus belajar dan menambah ilmu. Hal ini
dapat dibuktikan dengan ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW
yang menyerukan untuk membaca sebagai salah satu instrumen pembelajaran.
Bahkan di berbagai ayat lain, Allah SWT banyak menggunakan term yang
mengindikasikan seruan untuk menggunakan segala potensi -terutama akal- yang
sudah diberikan untuk mereguk sebanyak mungkin ilmu, baik yang terdapat pada
kitab mandhur (alam) maupun kitab masthur (al Quran dan as Sunnah).
Hal ini menjadikan kaum muslimin di rentang perjalanan sejarah yang
panjang menjadi inspirator bagi kemajuan peradaban dunia. Banyak ilmu-ilmu
baru yang muncul ketika umat Islam memegang tampuk peradaban, bahkan tidak
sedikit pula penemuan-penemuan yang berhasil dikembangkan melalui perantara
al Quran dan as Sunnah dengan berbagai metode ilmiah yang sebagiannya lantas
menjadi panduan dan isnpirasi bagi dunia Barat untuk bangkit dari masa
kegelapan (dark age).
Akan tetapi, ketika peradaban Barat mencapai puncak kejayaan dan
sebaliknya Islam sedang meluncur menuju titik nadir keterbelakangan, orang-
orang mulai ramai mengklaim bahwa ilmu-ilmu Islam tidak pantas disebut
sebagai ilmu karena ilmu-ilmu yang ada dalam agama Islam tidak dibangun di
atas fondasi dan prinsip-prinsip dasar keilmuan standar yang meliputi ontologi,
epistomologi dan aksiologi. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, Islam dan
ilmu-ilmu yang ada di dalamnya tidak bisa dipertanggungjawabkan
keilmiahannya.
Pada hakikatnya, anggapan ini muncul akibat dari kedangkalan
pemahaman mereka akan worldview Islam dan Barat yang shohih, atau karena
mereka mempelajari Islam hanya dari tampilan luarnya saja, belajar yang tidak
tuntas atau sepenggal-penggal, bisa juga disebabkan karena pandangan yang
tersilaukan oleh gemerlapnya peradaban Barat. Padahal jika mereka mau
menyelam lebih dalam untuk mempelajari Islam dengan segala jenis ilmunya –


 
terutama bahasa Arab yang banyak digunakan sebagai media pemaparan- serta
melihat sejarah panjang yang dilalui oleh umat Islam, maka tentu tudingan
ketidakilmiahan Islam dan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya tidak akan pernah
muncul dan ada.
Sebagai contoh adalah serangan yang ditujukan kepada ilmu fiqih yang
diklaim tidak dibangun atas metodologi penelitian yang ilmiah. Akan tetapi, jika
dilihat lebih seksama, akan didapatkan bahwa ilmu fiqih dibangun di atas filsafat
ilmu dan metodologi penelitian hukum yang sangat canggih, dengan kata lain
ilmu fiqih sangat ilmiah. Filsafat ilmu dan metodologi penelitian yang digunakan
dalam ilmu fiqih adalah ushul fiqih. Jika dalam metodologi penelitian modern
dikenal metode induktif1, maka dalam ushul fiqih dikenal istilah al istiqra’2.
Demikian juga yang disebut sebagai metode deskriptif analitis, eksperimental dan
lain-lain, semuanya dapat ditemukan dalam istilah-istilah yang terdapat dalam
ilmu ushul fiqih, seperti masalik al ‘illah, as sabr wa at taqsim, takhrij al manath,
tanqih al manath, tahqiq al manath dan lain-lain3.
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan gambaran kepada
para pembaca bahwa ilmu ushul fiqih merupakan salah satu bagian dari
keilmiahan metode yang dimiliki oleh Islam, dengan harapan agar klaim-klaim
yang mengatakan agama Islam dibangun di atas metodologi yang tidak kuat atau
bahkan sama sekali tidak disandarkan pada prinsip-prinsip dasar keilmuan dapat
hilang dari paradigma kaum muslimin secara umum dan para ahli ilmu yang
pikirannya banyak tercuci oleh peradaban Barat secara khusus.

                                                            
1
  Metode  induktif  adalah  sebuah  metode  penelitian  yang  dimulai  dari  fakta  yang  kongkrit 
kemudian  menuju  kepada  generalisasi  yang  bersifat  umum,  atau  metode  yang  proses 
pengambilan  kesimpulannya  (pembentukan  hipotesis)  didasarkan  pada  satu  atau  dua  fakta 
bahkan  lebih  (lihat  Bambang  Sugono,  Metodologi  Penelitian  Hukum,  Jakarta:  Rajawali  Press, 
2010, hal. 12‐13). 
2
  Al  Istiqra  dalam  ushul  fiqih  berarti  perpindahan  dari  fakta  parsial  menuju  kesimpulan  yang 
general  (lihat  Ali  Sami  an  Nasysyar,  Manahij  al  Bahts  ‘inda  Mufakkir  al  Islam,  Beirut:  Dar  an 
Nahdhoh al Arabiyah, 1984, hal. 71) 
3
 Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2011, hal. v‐vi. 


 
BAB II
SEKILAS PANDANG USHUL FIQIH

A. PENGERTIAN USHUL FIQIH

Secara etimologi ushul fiqih berasal dari bahasa arab yang merupakan
gabungan dua kata, yaitu ushul yang merupakan bentuk jama’ dari ashl yang
artinya dasar dari sesuatu4, juga berarti sesuatu yang menjadi landasan bagi yang
lain5, dan kata fiqh yang maknanya kecerdasan6, mengetahui dan memahami
sesuatu7 (terutama hal-hal yang berkaitan dengan ilmu agama karena keutamaan
dan kemuliaannya di atas ilmu-ilmu yang lain)8.
Fiqih sendiri sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam mempunyai
pengertian sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dengan dalil-dalil yang terperinci dan spesifik9. Jadi
obyek pembahasan fikih adalah perbuatan manusia dalam segala aspek dan
dimensinya, baik secara pribadi atau sosial, maupun secara transendental atau
horizontal yang didasarkan pada hukum syara’ yang berasal dari khabar shodiq
yang datang dari Allah SWT dan rasulNya. Hal ini sangat diperlukan karena
hukum positif terbukti tidak mampu memberikan kemaslahatan yang mutlak
untuk kehidupan manusia, hal ini disebabkan oleh ketidaksempurnaan hukum
buatan manusia sehingga perlu adanya sebuah sistem langit yang mengatur hal itu
semua agar tercipta keadilan yang paripurna.
Dua kata yang tergabung dengan menggunakan model tarkib idhofi ini,
secara terminologi mempunyai banyak versi, di antaranya adalah pendapat al
Ghozali dalam al Mushtashfa yang mengatakan bahwa ushul fikih adalah dalil-
dalil berbagai hukum syariah dan metode penggunaannya (untuk menetapkan

                                                            
4
 Ahmad bin Faris ar Razi, Maqoyis al Lughoh, Beirut: Dar al Fikr, 1979, hal. 109 juz 1. 
5
 Ali bin Muhammad al Jurjani, at Ta’rifat, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1983, hal. 28 juz 1. 
6
 Murtadho az Zabidi, Taj al Arus, Dar al Hidayah, tt, hal. 456 juz 36. 
7
 Ahmad bin Faris ar Razi, Op.Cit, hal. 442 juz 4. 
8
 Ibn Mandzur, Lisan al Arab, Beirut: Dar Shodir, 1414 H, hal. 552 juz 13. 
9
 Sya’ban Muhammad Ismail, Ushul Fiqih Tarikhuh wa Rijaluh, Riyadh: Dar al Marikh, 1981, hal. 
10. 


 
hukum-hukum syariah) secara global bukan secara spesifik10. Pendapat ini hampir
sama seperti yang diungkapkan oleh Ibn Qudamah11 dalam Raudhah an Nadhir,
hal ini tidak mengherankan karena Raudhoh merupakan ringkasan dari al
Mustashfa. Sedangkan al Baidhawi mendefinisikannya sebagai sebuah ilmu
tentang dalil-dalil fiqih secara umum, dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-
dalil tersebut serta orang-orang yang berhak untuk melakukannya12.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan antara ilmu fiqih dengan
ilmu ushul fiqih, di antara perbedaan tersebut adalah:
NO FIQIH USHUL FIQIH
1 Obyeknya perbuatan mukallaf Obyeknya dalil-dalil syar’i yang
umum
2 Menghasilkan hukum syara’ dari Mengetahui metode menghasilkan
dalil hukum dari dalil
3 Dalil yang digunakan adalah dalil Dalil yang digunakan adalah dalil
tafshily mujmal

B. SEJARAH USHUL FIQIH

Ushul fiqih pertama kali dikodifikasikan pada akhir abad ke dua Hijriah
ketika Imam Syafi’i menulis buah pikirannya berkaitan dengan metode untuk
menghasilkan hukum syariah dari dalil-dalil syar’i yang terangkum dalam kitab ar
Risalah dan kemudian menjadi magnum opus-nya, oleh karena itulah ar Risalah
dianggap sebagai masterpiece ilmu ushul fiqih. Walaupun demikian, metode yang
digunakan untuk menghasilkan sebuah hukum syariah sebenarnya sudah ada sejak
kemunculan fiqih itu sendiri13.

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, setiap masalah yang


ditemukan dalam kehidupan sehari-hari akan dikembalikan kepada Nabi agar

                                                            
10
 Abu Hamid al Ghozali, al Mustashfa, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, hal. 5. 
11
  Ibn  Qudamah,  Raudhah  an  Nadhir  wa  Jannah  al  Manadhir,  Lebanon:  Muassasah  ar  Rayyan, 
2002, hal. 54 juz 1. 
12
 Ibid, hal. 9 juz 1. 
13
 Lihat Sya’ban Muhammad Ismail, Op. Cit, hal. 20‐21. 


 
diberikan jawaban yang dilandaskan kepada wahyu ilahi, kadang juga ijtihad Nabi
SAW bahkan ra’yu para sahabat yang kadang ditetapkan dan dikuatkan oleh
khabar shodiq. Akan tetapi pasca kematian Nabi SAW pada tahun 11 Hijriah,
maka para sahabat mulai mengambil peran untuk menjawab kebutuhan
masyarakat muslim akan fatwa dalam menghadapi seluruh problematika yang
mereka hadapi dengan menggunakan berbagai metode seperti ijma’ dan qiyas (al
asybah wa al amtsal) serta maqoshid dan mashlahah jika tidak mendapatkan
hukumnya dalam al Quran maupun as Sunnah14.

Sejalan dengan berlalunya masa para sahabat, muncul setelahnya masa


para tabi’in. Pada masa ini, wilayah kekuasan Islam semakin luas dan pemeluk
agama yang hanya diridhoi Allah SWT ini semakin banyak dan heterogen. Dan
seiring dengan perkembangan yang sangat pesat ini, maka semakin banyak
problematika baru yang dihadapi oleh kaum muslimin dengan kompleksitas yang
semakin tinggi dibanding yang dihadapi oleh para sahabat. Oleh karena itulah,
para tokoh hukum Islam dari kalangan tabi’in membutuhkan metode-metode baru
dalam mengambil dan menyimpulkan sebuah hukum.

Walaupun sebagian tabi’in –terutama ahl al hijaz- masih banyak yang


berpegang teguh pada mekanisme istinbath al ahkam sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat, akan tetapi tidak sedikit yang menempuh langkah-
langkah baru dalam mengambil rujukan, seperti ijma’ shahabah, ijma’ ahl
madinah, fatwa shahabi, mashlahah mursalah, juga istihsan dan sad adz dzari’ah.
Adanya kedua kelompok tabi’in dengan metode pengambilan hukum dari nash-
nash syar’i yang berbeda tersebut merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar
dalam ilmu ushul fiqih, yaitu aliran mutakallimin dan aliran fuqoha15.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, upaya sistematisasi dan kodifikasi


ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu pertama kali dilakukan oleh Imam Syafi’i
melalui magnum opus-nya yang berjudul ar Risalah. Dalam kitab masterpiece
tersebut Imam Syafi’i banyak mengambil manfaat dari dua gurunya yang
                                                            
14
 Ibid, hal. 21. 
15
 Ali Hasbullah, Ushul at Tasyri’ al Islami, Kairo: Dar al Ma’arif, 1976, hal. 7. 


 
mempunyai pandangan yang berbeda dalam metode istinbath al ahkam, yaitu
Imam Malik sebagai Imam Ahl al Madinah yang banyak bersandar pada hadits
dan Muhammad asy Syaibani sebagai salah satu murid Imam Abu Hanifah yang
berdomisili di Irak dan banyak bersandar pada ra’yu karena keterbatasan
riwayat16. Salah satu metode yang sangat ditekankan oleh Imam Syafi’i dalam ar
Risalah adalah qiyas, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa al ijtihad huwa al
qiyas17 yang berarti ijtihad untuk melakukan istinbath hukum-hukum syariah
tidak lain merupakan analogi dari nash-nash syar’i karena adanya kesatuan ‘illat
(sebab).

Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai puncak perkembangan ilmu ushul


fiqih, bahkan kemajuannya hampir sampai pada tahap kesempurnaan. Para ulama
dari berbagai madzhab mengembangkan pemikiran Imam Syafi’i yang
mendasarkan istinbath al ahkam pada empat dalil utama yaitu al Quran, as
Sunnah, al Ijma’ dan al Qiyas dengan berbagai metode pendekatan. Ulama
Hanafiyah misalnya banyak mengembangkan pembahasan tentang al istihsan dan
al ‘urf, sedangkan ulama Hanabilah banyak mengembangkan pembahasan tentang
ijma ahl almadinah, sad adz dzari’ah dan al mashlahah al mursalah18.

C. HUBUNGAN USHUL FIQIH DENGAN FILSAFAT, ILMU KALAM


DAN LOGIKA

Pada hakikatnya, ilmu ushul fiqih bertujuan untuk mengatur tata cara
pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil yang bersifat umum, dan juga
mengatur metode ijtihad. Artinya ushul fiqih hanya berkaitan dengan masalah-
masalah amaliyah dan tidak berhubungan dengan masalah i’tiqodiyah (teologi).
Bahkan jika diteliti lebih mendalam, maka akan didapat bahwa Imam Syafi’i yang

                                                            
16
 Lihat Abdurrahman Dahlan, Op. Cit, hal.22‐26. 
17
 Muhammad bin Idris asy Syafi’i, ar Risalah, Beirut: Maktabah al Ilmiyah, tt, hal.477. 
18
 Lihat Abdurrahman Dahlan, Op.Cit, hal. 27‐29. 


 
menjadi rujukan utama dalam pengembangan metodologi ilmu ushul fiqih juga
membebaskan ar Risalah dari pembahasan ilmu kalam19.

Akan tetapi setelah era Imam Syafi’i berakhir, dan diganti dengan
kemunculan ulama-ulama Mu’tazilah dan Asy’ariyah, maka dimulai pula era
bercampurnya ilmu ushul fiqih dengan perkara-perkara teologis-filosofis, dan
termasuk di dalamnya isu epistemologi yang banyak berkaitan dengan ilmu
kalam. Al Qodhi Abdul Jabbar dari Mu’tazilah melalui bukunya yang berjudul
Kitab al ‘Umad dan dan al Qodhi Abu Thoyyib al Baqillany dari kalangan
Asy’ariyah dengan bukunya al Taqrib wa al Irsyad menjadi tokoh yang pertama
kali memasukkan masalah-masalah teologis-filosofis termasuk isu epistomologi
ke dalam Ushul Fiqih dengan argumen bahwa dalil dan madlul, hukum akal dan
syara’ serta hal-hal lainnya merupakan obyek ilmu (ma’lumat) yang tidak bisa
diketahui tanpa mengetahui esensi dari ilmu itu sendiri. Oleh sebab itulah,
pembahasan masalah dalil dalam ilmu ushul fiqih tidak terlepas dari pembahasan
tentang ilmu20.

Kaitan ushul fiqih dengan filsafat ilmu lebih kuat lagi pada periode-
periode selanjutnya, hingga mencapai puncaknya pada masa Imam al Ghozali.
Bahkan al Ghazali dianggap tokoh yang paling bertanggung jawab dalam proses
integrasi antara ushul fiqih dengan ilmu manthiq. Pada akhirnya, ketika ushul
fiqih sudah menyatu dan tidak bisa dipisahkan dari ilmu manthiq dan ilmu kalam
karena ia merupakan prinsip dasar epistomologi ilmu-ilmu Islam maka peran
ushul fiqih-pun berubah, dari sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang metode
pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syar’i menjadi disiplin ilmu yang
membahas tentang epistomologi Islam21.

                                                            
19
 Ghoits Hilmy al Malkawi, Tarikh Ilm Ushul wa Jadaliyat ‘Alaqotihi bi Ilm al Kalam, resensi buku 
Tathowwur Ilm Ushul Al Fiqh wa Tajadduduh wa Taatstsuruh bi al Mabahits al Kalamiyah karya 
Abdus  Salam  al  Balaji,  Dar  Ibn  Hazm,  2010,  situs 
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=304499, di akses tanggal 7 Mei 2013. 
20
 Lihat Nirwan Syafrin, Konstruk Epistomologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh, Majalah 
Islamia, Tahun II no. 5, Juni 2005, hal 39. 
21
 Ibid, hal. 39‐40. 


 
BAB III
USHUL FIQIH SEBAGAI METODE ILMIAH ISLAM
Islam yang integral mempunyai hukum yang universal. Universalitas
hukum Islam syarat nilai dengan kepentingan Islam itu sendiri sebagai agama
tauhid yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan seluruh ciptaan Allah SWT yang ada di alam
semesta. Seluruhnya berorientasi kepada pembebasan penghambaan manusia
kepada manusia dan alam kepada penghambaan manusia kepada Allah SWT.
Oleh karena itu sumber kebenaran di dalam Islam bukan ada pada manusia
ataupun alam semesta, tetapi ada pada wahyu dan akal yang mu’tabar, yang
menyadari keterbatasannya dan menyandarkannya kepada wahyu. Disinilah
perbedaan mendasar antara peradaban Islam dan Barat. Ada garis pemisah yang
sangat kentara dalam menjustifikasi sebuah kebenaran. Jika hukum Islam yang
menjaga dan melindungi masyarakat muslim bersumberkan kepada wahyu Al-
Qur’an, al-Sunnah, akal, pengalaman, dan intuisi, dengan pendekatan tawhidi.
Berbeda dengan Barat yang bersumberkan kepada rasio dan spekulasi filosofis,
dengan pendekatan dikotomis22.
Ushul fiqih sebagai kerangka teoritik atau metodologi pengambilan hukum
syar’i adalah salah satu intaj fikri kaum muslimin yang mempunyai urgensi sangat
tinggi dalam kajian ilmu-ilmu Islam. Dengan ushul fiqih seorang faqih mampu
berinteraksi dengan narasi-narasi yang terdapat pada khabar shodiq untuk
menyimpulkan sebuah hukum syar’i dari padanya. Fungsi ushul fiqih sangat mirip
logika dalam filsafat, oleh karena itulah korelasi keduanya sangat erat
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya. Jika logika dapat menghindarkan
seseorang dari berbuat kesalahan dalam berargumentasi, maka Ushul fiqih
mencegah seorang ulama dari berbuat kesalahan dan penderivasian hukum. Oleh
karena itulah, tidak berlebihan jika para ulama menjadikan ilmu ushul fiqih
sebagai salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid23.

                                                            
22
 Hamid  Fahmi  Zarkasyi,  Liberalisasi Pemikiran Islam;  Gerakan Bersama  Missionaris,  Orientalis, 
dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS‐ISID‐Gontor, 2008, hal. 20. 
23
 Lihat Nirwan Syafrin, Op. Cit, hal. 38. 


 
Dalam perkembangannya ushul fikih tidak hanya menjadi sekedar
metodologi penderivasian hukum, akan tetapi juga sebuah disiplin ilmu yang
memiliki prinsip-prinsip epistemologi. Misalnya dalam masalah qath’i dan
dhanni, mutawatir dan ahad, yang merupakan beberapa contoh yang sangat kental
muatan epistemologinya, sebab menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas
ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis qath’i berarti pasti, yakin,
dan tidak mengandung keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan. Berbeda
dengan dhanni yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti seperti qath’i.
Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qath’i atau dhanni tergantung pada
sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qath’i, maka dengan sendirinya ilmu yang
dihasilkan juga bersifat qath’i (pasti dan yakin). Dan begitu juga sebaliknya, bila
sumbernya diragukan, maka ilmu yang disandarkan kepadanya sudah tentu
diragukan juga24.

Al Jabiri menjelaskan bahwa Imam Syafi’i sendiri yang dianggap sebagai


pencetus ilmu ushul fiqih menggunakan konsep bayani dalam menjelaskan
epistemologi ushul fikih25. Ia menyatakan bahwa imam al-Syafi’i telah
menggariskan 5 tingkatan bayan terhadap al-Qur’an. Pertama, bayan yang tidak
memerlukan penjelasan. Kedua, bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan
penjelasan al-Sunnah. Ketiga, bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan
membutuhkan penjelasan al-Sunnah. Keempat, bayan yang terdapat dalam al-
Qur’an, namun terdapat pula dalam al-Sunnah. Kelima, bayan yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Poin kelima inilah yang kemudian
memunculkan qiyas sebagai metode ijtihad. Dari lima tingkatan bayan tersebut,
imam al-Syafi’i merumuskan dasar pokok agama, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah,
Ijma’, dan qiyas26. Dalam karya monumentalnya, al-Risālah, al-Syafi’i dengan
jelas menyatakan, “Tak ada seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal

                                                            
24
 Ibid. 
25
  Menurut  ‘Abid  al‐Jabiri,  kajian  bayani  terbagi  kepada  dua,  yaitu:  aturan‐aturan  penafsiran 
wacana dan syarat‐syarat memproduksi makna. 
26
 Mohammad ‘Abid al‐Jabiri, Bunyah al‐Aql al‐‘Arabī, Beirut: al‐Markaz al‐Tsaqafi al‐‘Arabi, 1993, 
hal.  22‐23  dalam  Muhammad  Muslih,  Filsafat  Ilmu;  Kajian  atas  Asumsi  Dasar,  Paradigma  dan 
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 182‐183 


 
atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada
di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.”27

Format hirarkis sumber ilmu dan kebenaran tersebut telah memberikan


pengaruh yang cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti dalam
rentangan sejarah, format hirarkis tersebut tidak menuai protes, kritik, dan
gugatan, kecuali hal tersebut terjadi sekarang setelah merebaknya globalisasi yang
esensinya westernisasi, yang memaksa kaum muslimin untuk serta merta
mengikuti konsep-konsep Barat, termasuk dalam berpikir28. Hal ini pun
dibenarkan pula oleh ‘ulama setelah al-Syafi’i, seperti al-Ghazali yang
menyatakan bahwa dalil-dalil hukum itu adalah Al-Qur’an, al-Sunnah, dan
Ijma’29.

Hirarki sumber hukum tersebut diatas merupakan konsep referensi teratur


dalam naungan worldview Islam yang melihat kebenaran secara proporsional,
begitu juga dengan menempatkan posisi akal pada tempatnya, tanpa harus
diagungkan melebihi wahyu, ataupun dikucilkan. Justifikasi kebenaran hirarki
sumber hukum tersebut diatas merupakan gambaran dari riwayat naqli, yakni
hadits Rasulullah saw. ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman untuk
menjadi qādhī disana.

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman


bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya
diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan
hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila
engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’
ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan
dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab:
Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi

                                                            
27
 Lihat Muhammad bin Idris asy Syafi’i, Op. Cit, hal. 39 dan 508. 
28
 Nirwan Syafrin, Op. Cit, hal. 43. 
29
 Abu Hamid al Ghozali, Op. Cit, hal. 6 dalam Nirwan Syafrin, Op. Cit, hal. 43. 

10 
 
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada
utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”30

Bahkan Abu Hanifah yang dikenal sebagai imam ahl al-ra’y tetap
mengedepankan nash al-Qur’an dan al-Sunnah atas akal. Terbukti Abu Hanifah
pernah menulis surat kepada Khalifah al-Mansur untuk menolak tuduhan orang
tentang kecenderungannya menggunakan akal. Ia menulis: “.. Ceritanya bukan
seperti yang sampai kepadamu ya amīr al-mukminīn. Aku berbuat sesuai dengan
Kitab Allah, Sunnah Rasulullah saw, keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan ‘Ali ra., serta sahabat-sahabat yang lain. Aku melakukan
qiyas, jika aku mendapati mereka berbeda pendapat.”31 Jelas hal ini menunjukan
bahwa imam Abu Hanifah mengikuti hirarki otoritas dalam epistemologi Islam.

Dengan konsep dan sumber hukum Islam yang khas, akan menafikan
adanya penyimpangan dan kesalahan dalam memproduksi hukum. Segala jenis
ilmu dari berbagai sumber referensi ilmu, baik al-Sunnah, pengalaman, akal, atau
intuisi disesuaikan dengan standar al-Qur’an. Oleh karena al-Qur’an tidak ada
persinggungan sedikit pun di dalamnya, baik isi atau pun maknanya, berdasarkan
firman Allah Ta’ala:

“Maka tidaklah mereka menghayati Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an ini


bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya.”32.

Maka dalam menyeleksi tafsir ataupun istinbath hukum pun disesuaikan dengan
al-Qur’an33.

Wallahu A’lam bi ash Showab.

                                                            
30
 Abu Dawud as Sajistani, Sunan Abu Dawud, Beirut: al Maktabah al Ashriyah, tt, hal. 303 juz 3. 
31
 Thaha Jabir al‐‘Ulwani, Ushul al‐Fiqh, hal. 77 dalam Nirwan Syafrin,  Op. Cit,  hal. 41 
32
 Surat An Nisa: 82. 
33
  Daden  Rabi  Rahman,  Filsafat  Ilmu  Ushul  Fiqih,  situs 
http://robirahman.blogspot.com/2009/10/filsafat‐ilmu‐ushul‐fikih.html, diakses 8 Mei 2013. 

11 
 
KESIMPULAN

Ushul fikih sebagai filsafat hukum Islam mempunyai ciri khas tersendiri
dalam menderivasi hukum syari’at. Kekhasan tersebut dapat dilihat dari kaca mata
filsafat ilmu, dimana ushul fikih kental dengan muatan epistemologinya. Di dalam
ushul fikih dibahas persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran
ilmu. Seluruhnya membentuk sebuah produk hukum yang universal dengan
pijakan sumber hukum universal pula. Dimana dalam hirarki sumber dan referensi
hukum didasarkan pada wahyu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Standar
kebenaran utama ada pada wahyu al-Qur’an dengan universalitasnya dan prinsip
umum yang dimilikinya. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam al-Sunnah,
pengalaman, akal, atau pun intuisi, akan diseleksi kebenarannya dengan
disesuaikan dengan garis-garis besar yang dituangkan dalam Al-Qur’an34.

Khususnya tentang kebebasan akal dan logika, filsafat hukum Islam


menempatkannya secara proporsional. Dimana akal dengan potensi luar biasa
dibebaskan untuk berkarya dan berpikir dalam penderivasian hukum dengan
naungan dan sinaran wahyu. Oleh karena itu, tidak akan terjadi pengagungan akal,
bahkan sampai menuhankannya, ataupun mendiskreditkannya untuk di
“kerangkeng” untuk tidak berinisiatif dan jumud. Kemajuan dan tantangan zaman
yang berkembang akan menuntut mobilisasi akal dalam merespon dan memberi
solusi atas berbagai tantangan tersebut dengan ijtihad-ijtihad yang digariskan
ushul fikih, tanpa harus menanggalkan kekuatan iman35.

                                                            
34
 Ibid. 
35
 Ibid. 

12 
 
DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud as Sajistani, Sunan Abu Dawud, Beirut: al Maktabah al Ashriyah, tt.
al Ghozali, Abu Hamid, al Mustashfa, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993.
al Jurjani, Ali bin Muhammad, at Ta’rifat, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1983.
an Nasysyar, Ali Sami, Manahij al Bahts ‘inda Mufakkir al Islam, Beirut: Dar an
Nahdhoh al Arabiyah, 1984.
ar Razi, Ahmad bin Faris, Maqoyis al Lughoh, Beirut: Dar al Fikr, 1979.
asy Syafi’i, Muhammad bin Idris, ar Risalah, Beirut: Maktabah al Ilmiyah, tt.
az Zabidi, Murtadho, Taj al Arus, Dar al Hidayah, tt.
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2011.
Hasbullah, Ali, Ushul at Tasyri’ al Islami, Kairo: Dar al Ma’arif, 1976.
Ismail, Sya’ban Muhammad, Ushul Fiqih Tarikhuh wa Rijaluh, Riyadh: Dar al
Marikh, 1981.
Mandzur, Ibn, Lisan al Arab, Beirut: Dar Shodir, 1414 H.
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008.
Qudamah, Ibn, Raudhah an Nadhir wa Jannah al Manadhir, Lebanon: Muassasah
ar Rayyan, 2002.
Sugono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Syafrin, Nirwan, Konstruk Epistomologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul
Fiqh, Majalah Islamia, Tahun II no. 5, Juni 2005.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2008.
http://www.ahlalhdeeth.com/
http://robirahman.blogspot.com/
 

13 
 

Anda mungkin juga menyukai