Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Henti jantung atau cardiac arrest merupakan keadaan yang mengancam
jiwa dan dapat memerlukan tindakan segera. Hilangnya fungsi jantung secara
tiba-tiba akan menyebabkan berhentinya aliran darah ke semua organ, sehingga
kondisi perfusi dan metabolisme dari organ yang mendukung fungsi masing-
masing juga hilang. Kerusakan yang bersifat irreversible ini dapat terjadi
apabila tidak dilakukan resusitasi dalam beberapa menit untuk mengembalikan
fungsi organ seperti otak dan jantung. Otak adalah organ yang sangat
tergantung dengan ketersediaan oksigen, apabila aliran darah berhenti menuju
otak pada henti jantung akan menyebabkan masalah serius mengingat otak
merupakan organ yang mengatur sebagian besar fungsi fisiologis dan
haemostasis tubuh (Paradis dkk 2016)
Kejadian cardiac arrest dapat terjadi setiap saat, dimana saja dan pada
siapa saja yang mengharuskan setiap tenaga medis ataupun orang awam
memiliki kemampuan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan baik
dan efektif. Tindakan RJP merupakan suatu paket berupa penilaian dan
penatalaksanaan masalah: jalan nafas, Airway (A); pernapafasan, Breathing
(B); dan sirkulasi, Circulation (C) yang sering disebut Basic Life Support
(BLS) dan dapat dilanjutkan ke peneanganan yang lebih lanjut dengan Drugs
(D), pemeriksaan dan penatalaksanaan masalah disritmia yang mengancam
jiwa, EKG (E) dan terapi Fibrillation (F) bila terindikasi yang disebut
Advanced Life Support (ALS) dan bila harus masuk perawatan intensif seperti
di Intensive Care Unit (ICU) disebut sebagai Prolonged Life Support (Paradis
dkk 2016).
Untuk meningkatkan angka harapan hidup pada pasien yang mengalami
henti jantung, diperlukan pengetahuan dan keterampilan bagi penolong dalam
hal pertolongan pertama pada pasien henti jantung. Berdasarkan latar belakang
di atas, kelompok kami tertarik untuk membuat makalah mengenai cardiac
arrest.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan cardiac arrest?
2. Apa etiologi dari cardiac arrest?
3. Sebutkan manifestasi klinis dari cardiac arrest?
4. Jelaskan patofisiologi cardiac arrest?
5. Bagaimana penatalaksanaan cardiac arrest?
6. Apa saja komplikasi dari cardiac arrest?
7. Bagaimana algoritma cardiac arrest?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian cardiac arrest
2. Untuk mengetahui etiologi cardiac arrest
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis cardiac arrest
4. Untuk mengetahui patofisiologi cardiac arrest
5. Untuk mengetahui komplikasi cardiac arrest
6. Untuk mengetahui algoritma cardiac arrest

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cardiac Arrest


1. Definisi
Henti jantung adalah berhentinya aktivitas mekanis jantung, ditandai
oleh kurangnya denyut nadi, pernapasan, dan hilangnya kesadaran. (Lenjani,
Basri et al, 2014).
Henti jantung adalah suatu keadaan ketika jantung seseorang
berhenti memompa darah ke seluruh tubuh yang mengakibatkan perubahan
frekuensi pernapasan. Henti jantung pada orang dewasa sering terjadi karena
orang tersebut mengalami serangan jantung. Seseorang yang mengalami
serangan jantung dapat menyebabkan irama jantung yang cepat dan
berbahaya sehingga akan berakibat fatal dan menyebabkan henti jantung.
(British Heart Foundation, 2011).
2. Etiologi
Menurut British Heart Foundation (2011) ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan henti jantung, yaitu:
a. Penyakit jantung dan peredaran darah (misalnya serangan jantung)
b. Kehilangan darah atau cairan yang ekstrim
c. Suhu tubuh yang ekstrim (terlalu tinggi atau terlalu rendah)
d. Kadar kalium darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
e. Kekurangan oksigen
f. Paru-paru tertusuk
g. Gumpalan darah di paru-paru atau arteri koroner
h. Keracunan
i. Kumpulan darah di sekitar jantung, biasanya setelah cedera seperti
menusuk.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Muttaqin (2009) tanda dan gejala yang dapat muncul pada
cardiac arrest antara lain:

3
a. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen termasuk otak
b. Hipoksia serebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan
kehilangan kesadaran (collapse)
c. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam
5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit
d. Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
e. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri
f. Tidak ada denyut jantung
g. Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak ireversibel 50%
4. Klasifikasi
Advance Life Support Group (2017), mengklasifikasikan cardiac
arrest menjadi dua antara lain:
a. Shockable
1) Ventricular Fibrillation (VF)
VF merupakan penyebab yang sering pada cardiac arrest
pasien dewasa dan dianggap merespon baik dengan terapi defibrilasi.
Irama yang menunjukkan gelombang VF dapat dilihat pada gambar
berikut:

Gambar 2.1 Ventricular Fibrillation


2) Ventricular Takikardi (VT) tanpa nadi
Irama yang menunjukkan golombang VT dapat dilihat pada
gambar berikut:

4
Gambar 2.2 Ventricular Takikardi
Kedua irama ini lebih jarang terjadi pada anak-anak tetapi bisa
juga diduga terjadi kolaps mendadak, dan pada mereka yang
menderita hipotermia, racun oleh antidepresan trisiklik dan penyakit
jantung. Penatalaksanaan untuk ventrikel fibrilasi dan ventrikel
takikardia tanpa nadi adalah sama dan ditunjukkan pada gambar
berikut:

Gambar 2.3 Penatalaksanaan VF dan VT


b. Non-Shockable
1) Asistol
Ini adalah irama henti jantung paling umum yang terjadi pada
anak-anak, karena respons jantung yang masih muda terhadap
hipoksia berat dan asidosis yang berkepanjangan menimbulkan
bradikardia progresif yang mengarah ke asistol.
EKG akan membedakan asistol dari fibrilasi ventrikel (VF),
takikardia ventrikel (VT), dan aktivitas listrik tanpa denyut (PEA).
Tampilan EKG asistol menunjukkan garis yang hampir lurus; kadang-

5
kadang gelombang P terlihat. Namun. Irama Asistol juga dapat
disebabkan oleh kesalahan teknis, seperti ada kawat yang longgar atau
elektroda yang terlapas.

Gambar 2.4 Irama Asistol


2) Pulseless Electrical Activity (PEA)
PEA merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya denyut
nadi yang teraba atau tanda-tanda sirkulasi lain meskipun ada pada
monitor EKG yang biasanya menghasilkan denyut nadi.
Penatalaksanaan PEA sama seperti asistol dan sering menjadi keadaan
pra-asistolik.
Aktivitas kelistrikan yang tidak berdenyut mungkin disebabkan
oleh penyebab yang dapat diidentifikasi dan dapat berulang
(reversible). Pada anak-anak, trauma paling sering dikaitkan dengan
penyebab PEA yang yang dapat berulang (reversible). Ini dapat
disebabkan oleh hipovolemia berat, tension pneumotoraks atau
tamponade perikardial. PEA juga terlihat pada pasien dengan
hipotermia dan pada pasien dengan kelainan elektrolit, termasuk
hipokalsemia akibat overdosis calcium channel blocker. Jarang pada
anak-anak terlihat setelah tromboembolus massive pada paru.

Gambar 2.5 Irama PEA


5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan VT dan VF (Paradis dkk 2016)
Defibrilasi dilakukan pada kondisi cardiac arrest yang shockable
yaitu dengan irama ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardia dengan

6
tanpa nadi. Segera setelah 5 siklus RJP dilakukan dan dilakukan
penilaian dan masih ditemukan VF atau VT tanpa nadi maka dapat segera
dilakukan terapi defibrilasi dan langsung dilanutkan dengan CPR selama
5 siklus atau 2 menit kemudian dilakukan penilaian ulang.
Adanya Automatic External Defibrilator (AED) ditempat umum
sangat membantu keberhasilan resusitasi pada cardiac arrest karena dapat
defibrilasi dapat dilakukan oleh tenaga seperti polisi, personil pemadam
kebakaran, keamanan dan bahkan orang awam sekalipun. Melalui
analisis frekuensi, amplitudo dan gambaran signal ECG, alat AED
tersebut dapat digunakan untuk indikasi shock atau tidak ada indikasi
untuk shock. AED dipicu secara manual tidak secara otomatik
mendefibrillasi pasien.
Penilaian ulang RJP harus dinilai segera setelah dilakukan shock
tanpa harus istirahat untuk memeriksa pulse atau ritme dan harus
dilanjutkan sampai lima siklus (atau kira kira 2 menit bila pasien
terintubasi) sebelum ritme dinilai ulang. Penolong harus memeriksa
denyut nadi karotis bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana
tidak ada pulse atau tidak ada indikasi shock dengan AED, RJP harus
dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus
a) Intubasi, harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi
dada dan seminimal mungkin dan tanpa menunda defibrillasi, akan
mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2 selama resusitasi.
Bila ada alatnya dikonfirmasi dengan kapnografi. Jalur endotrakeal ini
bisa dipakai untuk memberikan obat bila akses Intra Vena sulit,
misalnya naloxone, atropine, vasopressine, epinephrine dan lidocaine
(”NAVEL”). Obat diencerkan dengan 10ml NaCl steril dan diberikan
2 sampai 3 kali.
b) Defibrillasi. Ventricle Tachycardia (VT) dan Ventricle Fibrillation
(VF) bila berlangsung lama aktifitas jantung menurun dan akan sulit
untuk dikonversi ke ritme yang normal. Beberapa jenis terapi energy
defibrilasi yang dapat dilakukan sesuai indikasi disrtimia yang terjadi
pada pasien :

7
1)) Biphasic waveform defibrillations. Energi optimal untuk
mengakhiri VF yang dipakai bergantung pada spesifikasi alat
antara 120 – 200 Joule, bila tidak ada pakai yang 200J. Bilamana
VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, shock berikut gunakan
energi yang sama.
2)) Monophasic waveform defibrillators, masih digunakan di banyak
institusi, memberikan energi secara unidirectional. Energi awal
dan energi harus 360J.
3)) Cardioversion untuk atrial flutter, disritmia supraventrikuler,
seperti paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT), dan VT
dengan hemodinamik yang stabil umumnya memerlukan energi
50 – 100 J monophasic, lebih kecil dibandingkan dengan atrial
fibrillation (AF) 100 – 120J. Energi optimal untuk kardioversi
dengan biphasic waveform belum diketahui. Energi 100 – 120J
efektif dan dapat diberikan pada takiaritmia yang lain.
Kardioversi tidak akan efektif untuk terapi takikardia junctional
atau takicardia ektopik atau multifokal.
c) Pacing, Heart block high-grade dengan bradikardia yang menonjol
adalah etiologi cardiac arrest. Pacing temporer harus dipasang bila
heart rate tidak meningkat dengan terapi farmakologik.. Pacing
transcutaneus adalah cara yang mudah untuk meningkatkan rate
ventrikel.
d) Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil.
Tempat terbaik adalah vena sentral, vena jugularis interna, vena
jugularis externa, vena subclavia, vena femoralis atau vena perifer
dengan kateter panjang, atau pendek tetapi aliran harus lancar.
e) Obat obatan. Obat obat yang dipakai pada keadaan hemodinamik tak
stabil, iskemia atau infark miokard dan aritmia.
1)) Epinephrine masih merupakan terapi farmakologik utama pada
cardiac arrest, meskipun sedikit bukti akan memperbaiki survival.
Efek vasokonstriksi alpha-adrenergik pembuluh noncerebral dan
noncoroner menimbulkan kompensasi shunting darah ke otak dan

8
jantung. Dosis tinggi tidak dianjurkan karena dapat ikut
menimbulkan disfungsi miokard. Dosis tinggi diindikasikan pada
overdosis beta-blockers atau Ca-channel blockers. Dosis yang
dianjurkan adalah 1.0 mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau
pemberian infus 1-4mikro/menit. Epinephrine juga dipakai untuk
bradikardia simptomatik ( bradikardia 0.01 mikro/kg; pulse arrest:
0.01mg/kg)
2)) Atropine bermanfaat pada bradikardia atau A-V block. Ini
meningkatkan laju irama sinus dan meningkatkan konduksi A V
node oleh karena efek vagolitik. Dosisi atropine untuk
bradikardia atau A-V block adalah 0.5mg diulang tiap 3-5 menit
sampai dososis total 0.04mg/kg. Untuk asystole, atropine
diberilan 1mg bolus diulang tiap 3 – 5 menit bila perlu. Blok
vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3 mg. ( 0.02mg/kg; dosis
minimal 0.1mg, dosisi maksimal 0.5mg pada anak, 1.0 mg pada
orang dewasa )
3)) Lidocaine dapat bermanfaat mengendalikan (bukan profilaksis)
ektopik ventrikel selama infark miokard akut. Dosis initial cardiac
arrest adalah 1.0 – 1.5 mg/kg, dan ini dapat diulang 0.5 – 0.75
mg/kg bolus setiap 3 – 5 menit sampai dosis total 3mg/kg. Infus
kontinyu lidocaine 2 sampai 4 mg/menit diberikan setelah
resusitasi berhasil. Dosis lidocaine harus diturunkan pada pasien
dengan cardiac output menurun, fungsi hepar terganggu, atau
umur lanjut. (1mg/kg; infus, 20 -50mikro/kg/menit).
4)) Amiodarone obat yang paling bermanfaat dalam ACLS.
Memiliki sifat sifat antiaritmia, memperpanjang aksi potensial,
blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini sangat
efektif dan tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga disukai
sebagai antidisritmia pada gangguan fungsi kardiak yang berat.
Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg diencerkan
dalam 20 – 30 ml NaCl 0.9% atau Dextrose 5% secara cepat.
Untuk pasien dengan kondisi lebih stabil dosis 150mg diberikan

9
dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infus 1mg/menit
selama 6 jam kemudian 0,5mg/menit. Dosis maksimal adalah 2 g
sehari. Efek samping yang timbul segera adalah bradikardia dan
hipotensi. Pada anak anak dosis loading 5mg/kg, dosis maksimum
15mg/kg/hari. Indikasi penggunaan amiodarone adalah: (1) VT
tidak stabil (2) VF sesudah gagal dilakukan defibrilasi elektrik
dan terapi adrenalin. (3) Mengendalikan laju jantung selama VT
yang monomorphic dan VT polymorphik (4) Mengendalikan laju
ventrikel pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi
digitalis. Atau bilamana takikardia sekunder oleh jalur lain. (5)
Bagian dari kardioversi elektrik PSVT yang refrakter atau
takikardia atrial.
5)) Dopamine memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang
dari 2mcg/kg/menit), beta-adrenergik (pada 2–5mcg/kg/menit),
dan alpha adrenergik (pada 5– 10mcg/kg/menit). Tapi efek
adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah sekalipun.
Mulai dengan 150 mcg/menit dan titrasi sampai efek yang
diinginkan (urine, tekanan darah meningkat, heart rate
meningkat).
6)) Beta blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol) sudah dipakai
untuk pasien pasien dengan unstable angina, infark miokard. Obat
obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal, VF
postinfark. Berbeda dengan Penghambat calcium, beta blockers
bukan inotrop negatif secara langsung. Esmolol, berguna pula
untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter, ectopic atrial
tachycardia. . Dosis initial dan lanjut bila tolerans adalah:
atenolol, 5mg selama 5 menit, ulangi sekali pada 10menit;
metoprolol, 5mg sebanyak tiga kali setiap 5menit; propranolol,
0,1mg/kg dibagi dalam tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol,
0.5mg/kg dalam 1menit dilanjutkan dengan infus mulai dari
50mikrogram/menit.dan titrasi sampai 200mikrogram/menit.
Kontraindikasi adalah heart block derajat dua atau tiga, hipotensi

10
dan congetsive heart failure berat. Atenolol dan metoprolol, relatif
lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada propranolol pada
pasien dengan jalan napas reaktif. Sebagian besar pasien dengan
penyakit obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-
blockers.
7)) Calcium channel blockers: Verapamil dan diltiazem
melambatkan konduksi dan meningkatkan masa refrakter di AV-
node. Keduanya dipakai untuk mengobati PSVT narrow complex
yang tidak respons terhadap manuver vagal atau adenosine.
Keduanya dapat pula dipakai untuk mengendalikan laju respons
ventrikel pada AF atau atrial flutter. Dosis verapamil initial
adalah 2.5 – 5.0 mg IV , dengan dosis selanjutnya 5 sampai 10mg
IV diberikan tiap 15 – 30 menit. Diltiazem diberikan dengan dosis
initial bolus 0.25mg/kg sampai 0.35mg/kg dan infus 5 -15mg/jam
bilamana perlu. Efek samping hipotensi, eksaserbasi congestive
heart failure, bradikardia. Hipotensi dapat direverse dengan
Calcium Chloride 0.5 – 1.0g IV
f) Pengakhiran RJP. Tidak ada guidelines yang mutlak menentukan
kapan mengehentikan resusitasi yang tidak berhasil, tetapi peluang
survival kecil setelah berlangsung 30 menit. Ini merupakan keputusan
yang harus diambil oleh dokter yang bertugas untuk menentukan
kapan kardiovaskular gagal merespons bantuan hidup dasar maupun
bantuan hidup lanjut dan bahwa dinyatakan bahwa pasien telah
meninggal.
b. Penatalaksanaan PEA dan Asistol
Hal pertama yang paling penting adalah memberikan ventilasi dan
kompresi dada secara efektif. Ventilasi awalnya disediakan oleh kantong
dan masker dengan oksigen konsentrasi tinggi. Pastikan jalan napas
paten, dengan mengggunakan manuver jalan napas untuk membuka jalan
napas dan menstabilkannya dengan jalan napas tambahan.

11
Gambar 2.6 Penatalaksanaan PEA dan Asistol
Memberikan tekanan dada yang efektif pada kecepatan 100 per
menit dengan rasio kompresi / ventilasi 15: 2. Anak harus memiliki
monitor jantung terpasang dan irama jantung dinlilai. Meskipun prosedur
untuk menstabilkan jalan napas dan mendapatkan akses sirkulasi sekarang
dijelaskan secara berurutan, prosedur tersebut harus dilakukan secara
simultan di bawah arahan pemimpin tim resusitasi.
Jika diidentifikasi adanya asistol atau PEA, berikan adrenalin
(epinefrin) 10 mikrogram secara intravena atau intraosseus. Adrenalin
(epinefrin) adalah obat lini pertama untuk asistol. Melalui adrenergik-α
dimediasi vasokonstriksi, tindakan ini untuk meningkatkan tekanan aorta
diastolik selama kompresi dada dan tekanan perfusi sehingga arteri
koroner dan pengiriman darah beroksigen ke jantung dapat maksimal. Ini
juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan merangsang kontraksi
spontan. Dosis intravena atau interoseus adalah 10 mikrogram / kg (0,1
ml larutan 1: 10.000). Ini paling baik diberikan melalui garis pusat tetapi
jika tidak ada di tempat itu dapat diberikan melalui garis perifer. Pada
anak tanpa akses intravena yang ada, rute intraoseus direkomendasikan
sebagai rute pilihan karena cepat dan efektif. Dalam setiap kasus
adrenalin (epinefrin) diikuti oleh flush salin normal (2-5 ml).
Jika akses peredaran darah tidak dapat diperoleh, tracheal tube
dapat digunakan tetapi ini adalah rute yang paling tidak memuaskan dan
harus dihindari jika mungkin karena dapat menyebabkan efek adrenergik

12
β yang mengurangi perfusi koroner. Jika rute digunakan, sepuluh kali
dosis intravena (100 mikrogram / kg) harus diberikan. Obat harus
disuntikkan dengan cepat ke kateter sempit di luar ujung tracheal tube
dan kemudian dibilas dengan 1 atau 2 ml salin normal.
Operator yang terampil dan berpengalaman harus mengintubasi
jalan napas anak. Ini akan mengontrol dan melindungi jalan napas dan
memungkinkan kompresi dada diberikan terus menerus, sehingga
meningkatkan perfusi koroner. Setelah anak diintubasi dan kompresi tidak
terganggu, laju ventilasi harus 10 per menit. Penting bagi pemimpin tim
untuk menilai bahwa ventilasi tetap memadai ketika kompresi dada terus
menerus.
Pada interval sekitar 2 menit, jeda sebentar dalam pemberian
kompresi dada untuk menilai irama pada monitor. Jika asistol tetap ada,
lanjutkan RJP sambil kembali memeriksa posisi dan kontak elektroda.
Jika ada irama terorganisir, periksa denyut nadi atau tanda-tanda sirkulasi.
Jika kembalinya sirkulasi spontan (ROSC), lanjutkan perawatan pasca
resusitasi. Jika tidak ada denyut nadi dan tidak ada tanda-tanda sirkulasi
lanjutkan penatalaksanaan. Berikan adrenalin (epinefrin) setiap 4 menit
dengan dosis 10 mikrogram per kilogram (Advance Life Support Group,
2017).
6. Komplikasi
Menurut Neumar, dkk (2008) komplikasi yang dapat ditimbulkan
akibat cardiac arrest antara lain:
a. Sindrom post cardiac arrest
1) Cedera otak pasca henti jantung
Ketika jantung berhenti, maka system vaskularisasi terhenti
dimana jantung tidak dapat/berhenti memompa darah ke seluruh organ
dan bagian tubuh. Setelah BLS (Basic Life Support)/resusitasi jantung
paru berhasil maka jantung akan mengalami ROSC (Return of
Spontaneous Circulation) yaitu kembalinya aktivitas jantung perfusi
berkelanjutan terkait dengan upaya pernapasan yang signifikan setelah
henti jantung. Oleh karena otak memiliki keterbatasan toleransi

13
terhadap iskemik dan respon otak terhadap reperfusi, maka orang yang
selamat dari henti jantung akan mengalami perubahan homeostasis,
terbentuk radikal bebas, kaskade protease yang patologis, dan aktivasi
sinyal apoptosis maupun nekrosis neuron sehingga terjadi cedera otak,
mikrosirkulasi otak terganggu karena thrombosis.
2) Disfungsi miokardial pasca henti jantung
Orang yang mengalami pasca henti jantung, maka
kemungkinan akan mengalami disfungsi miokardial yang mana
keadaan ini bersifat reversible dan harus cepat dideteksi. Adapun
caranya adalah dengan melihat cardiac output yang rendah (<2.2
L/menit/m2), takikardia, peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel
kiri, diikuti hipotensi 6 jam setelahnya. Masa pemulihan 1-2 hari
setelah ROSC dengan tata laksana yang adekuat.
3) Iskemik sistemik/respon reperfusi
Ketika jantung dan paru terhenti maka vaskularisasi dan
metabolisme terganggu, upaya CPR/resusitasi jantung paru hanya bisa
mengembalikan sebagian sistem yang terganggu, hal ini
mengakibatkan saturasi oksigen akan menurun dari normal yang akan
menyebabkan disfungsi miokardial, hemodinamik yang tidak stabil,
dan kegagalan mikrosirkulasi. Kedaan ini mengakibatkan pengiriman
oksigen ke jaringan terganggu walaupun setelah terjadi ROSC
sehingga pasokan O2 tidak adekuat dan menyebabkan kegagalan multi
organ.
b. Kematian

14
B. Algoritma Cardiac Arrest

Sumber: Advance Life Support Group (2017)


Gambar 2.7 Algoritma Cardiac Arrest

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Henti jantung adalah berhentinya aktivitas mekanis jantung, ditandai
oleh kurangnya denyut nadi, pernapasan, dan hilangnya kesadaran. Kerusakan
otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama, karena sirkulasi
oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan otak. Hal
tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP harus
dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan
menunjang kelangsungan hidup korban.
Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban,
apapun teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada
di tempat yang aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat
banyak kekurangan. Besar harapan kami kepada para pembaca untuk bisa
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini
menjadi lebih sempurna.

16
DAFTAR PUSTAKA

Advance Life Support Group. 2017. The Management of Cardiac Arrest.


Manchester: Guarantee. Tersedia:
(https://www.alsg.org/fileadmin/_temp_/Specific/Ch06_CA.pdf pada 21
diakses pada 22 Februari 2019 pukul 17.51 wita).
British Heart Foundation. 2011. Cardiac Arrest. London: BHF.
Lenjani, Basri et al. 2014. Cardiac Arrest ― Cardiopulmonary Resuscitation. Los
Angeles: University Clinical Centre of Kosovo.
Neumar, RW dkk. 2008. Post Cardiac Arrest Syndrome Journal of The American
Heart Association Circulation.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Paradis, Norman A dkk. 2016. Cardiopulmonary Cerebral Rescucitation (CPCR).
Makassar: Universitas Hasanuddin. Tersedia:
(https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/bahan-
cpcr.pdf diakses pada 23 Februari 2019 pukul 18.19 wita).

17

Anda mungkin juga menyukai