Anda di halaman 1dari 7

Temu Misti Pelestari Tarian Gandrung Banyuwangi

29 April, 2013 - 07:52


SENI BUDAYA
BANYUWANGI, (PRLM).- Temu Mistyi menari gandrung sejak masih berusia 15
tahun. Perempuan kelahiran Banyuwangi, 20 April 1953 ini menari dan
menembang dari malam hingga pagi seperti tak mengenal lelah. Kini, meski sudah
tak lagi muda, ia tetap menari. Kecintaannya pada tari khas Banyuwangi itu juga
membuatnya masih terus melatih anak-anak muda menari Gandrung.
Tahun lalu, dia juga dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Banyuwangi untuk melatih 24 remaja menari gandrung. Upaya Temu ternyata
tidak sia-sia. Setidaknya, satu dari 24 muridnya itu kini menjadi penari gandrung
profesional.
Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak dimiliki
gandrung lain. Melengking tinggi dengan cengkok Using khas. Ia juga satu-satunya
yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu
Banyuwangi modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah
sebuah eksotisme timur.
Dia mempertahankan pakem Gandrung di tengah bermunculannya penari
Gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Meski tak lulus
Sekolah Rakyat, tapi ia tahu betul bagaimana menjaga dan merawat eksistensi
Gandrung di tengah gempuran budaya modern.
Namun Temu tak bisa seratus persen mengandalkan penghasilan dari upah
manggung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia memilih bertani. Tak
hanya itu, karena hasil panen tidak mampu digunakan menutup seluruh
kebutuhan hidupnya, Temu juga beternak ayam kampung.
Gandrung merupakan salah satu kesenian khas dari Banyuwangi. Di awal
kemunculannya, sekitar tahun 1900-an, penari gandrung adalah laki-laki.
Gandrung dengan gending-gendingnya, dimainkan sebagai bentuk perlawanan
masyarakat Banyuwangi terhadap kolonialisme bangsa barat. Gandrung dengan
penari perempuan baru muncul pada 1895, setelah Islam masuk dan melarang
laki-laki menjadi penari.
Ada beberapa penari perempuan dengan pakaian khas yang akan menari
dan menyanyi diringi dengan 5 sampai 7 penabuh gending laki-laki. Mereka juga
akan menari bersama-sama para tamu dan juga ada tradisi “nyawer” di antara
penari Gandrung dan para tamu. Gandrung biasanya tampil di hajatan seperti
sunatan dan perkawinan.
Sebagai seorang maestro, Temu mengawali karir di kelompok kesenian
Gandrung Sopo Ngiro yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dia lahir di Dusun
Kedaleman Desa Kemiren yang terkenal sebagai basis seni Banyuwangi.(A-
147)*** Temu Misti Pelestari Tarian Gandrung Banyuwangi
29 April, 2013 - 07:52
KetikakitaBerbicara seni dan budaya kabupaten banyuwangi kita tidak akan
pernah terlepas dengan salah satu icon bumi blambangan ini,apalagi kalau bukan
Tari Gandrung Banyuwangi yang sudah melegenda ini. Sebagai anak keluarga
seniman Mas Say Laros sejak masih TK sudah dikenalkan dengan berbagai jenis
tari khas bumi blambangan ini mulai jejer gandrung, tari jaran goyang, jejer jaran
dawuk dsb. Jadi seni budaya banyuwangi seakan-akan sudah mendarah daging
dalam tubuh mas say laros. Meskipun kadang-kadang ini semua juga sering kontra
dengan keluarga dari ibu yang memegang ajaran islam sangat ketat dan anti
budaya lokal.
Dari kesekian penari tari gandrung yang masih eksis di banyuwangi ada
seseorang yang bisa dibilang maestronya atau legendanya tari gandrung
banyuwangi , Masyarakat banyuwangi biasa mengenal dengan sebutan Gandrung
Temuk atau Mbok Temu. Masyarakat banyuwangi telah lama mengenal sosok
yang bersahaja ini apalagi kaset-kaset VCD gandrung banyuwangi saat ini
didominasi oleh suara khas sang maestro ini.
Mungkin mas say laros menganggap suatu hal yang wajar jika gandrung
temuk ini kita jadikan sebagai Legendanya Tari Gandrung banyuwangi karena
memang pengabdian beliau sudah lebih dari 45 tahun untuk mempertahankan
seni tari gandrung banyuwangi.
Maestro yang berumur 57 tahun ini menari gandrung sejak masih umur
15 tahun (1969 tahun silam). Beliau menyanyi dan menari dari malam hingga pagi
hari seakan-akan tidak mengenal lelah sedikitpun.
Entah karena bakat alam atau faktor lain, Temuk dengan cepat menguasai
tarian asli Banyuwangi tersebut. Bahkan tiga tahun berselang, karirnya sebagai
penari gandrung semakin melesat. “Ngetop-ngetopnya saya ya pada tahun 1972
itu,” paparnya. Kini usia Temuk sudah 57 tahun. Meski sudah tua, dia tetap eksis
manggung di pentas seni tradisional. Bahkan pada tanggal 16 Juni mendatang, dia
masih dipercaya menjadi penari gandrung di acara hajatan yang digelar warga
Wonosari, Kecamatan Glagah.
Kecintaan Temuk terhadap Tari Gandrung memang tidak perlu diragukan.
Demi regenerasi, dia kerap kali melatih anak-anak muda menari Gandrung.
Beberapa bulan yang lalu, dia juga dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Banyuwangi untuk melatih 24 remaja menari gandrung. “Saya
berkewajiban melestarikan tarian asli Banyuwangi ini,” terangnya. Upaya Temuk
ternyata tidak sia-sia. Setidaknya, satu dari 24 muridnya itu kini menjadi penari
gandrung profesional.
Hidayati –nama murid Temuk tersebut lantas bergabung dalam grup Sopo
Ngiro bersama sang guru. Sebagai seniman panggung, Temuk tentu tidak bisa
seratus persen mengandalkan penghasilan dari upah manggung. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Temuk memilih bertani. “Alhamdulillah
saya punya sawah walaupun luasnya tidak sampai setengah hektare (ha). Hasilnya
bisa untuk menyambung hidup,” katanya.
Tidak hanya itu, karena hasil panen tidak mampu digunakan menutup
seluruh kebutuhan hidupnya, Temuk juga beternak ayam kampung. Ironisnya,
akhir bulan April yang lalu, ratusan ayam ternak miliknya mendadak mati. Modal
sebesar Rp 2 juta pun melayang. “Padahal pagi ayam-ayam itu sehat. Eh sore hari
kok tiba-tiba mati semua. Kemungkinan kena flu burung,” katanya.
Gandrung merupakan salah satu kesenian khas dari Banyuwangi yang
mempunyai satu sisi seperti tarian Tayub yang terkenal di Jawa Tengah. Ada
beberapa penari perempuan dengan pakaian khas yang akan menari dan
menyanyi diringi dengan 5 sampai 7 penabuh gending laki-laki. Mereka juga akan
menari bersama-sama para tamu dan juga ada tradisi “nyawer” di antarapenari
Gandrung dan para tamu. Gandrung biasanya tampil di hajatan seperti sunatan
dan perkawinan. Biasanya dimulai jam 9 malam hingga menjelang Shubuh.
Sebagai seorang maestro Ia mengawali karir di kelompok kesenian
Gandrung Sopo Ngiro yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dia lahir di Dusun
Kedaleman Desa Kemiren yang terkenal sebagai basis seni Banyuwangi. Sejak kecil
ia sudah sangat mencintai dunia Gandrung walaupun orang tuanya sangat
menentang keinginan Temu. Semasa kecil, anak tunggal Mustari dan Supiah ini
sakit-sakitan. Hampir putus asa keluarganya membawa Temu berobat ke dukun.
Suatu hari sepulang berobat ke dukun, ibunya mampir ke salah seorang seniman
gandrung, Mbah Ti’ah. Di sana, Temu meminta makan. “Saya makan dengan
lahap,” kata Temu. Si empu gandrung lantas berpesan: “Jadikan dia gandrung
kalau besar nanti,”
Akhirnya Temu menari dari satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Dia
mempertahankan pakem gandrung ditengah bermunculannya penari gandrung
lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus
sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukan kesenian murahan.
Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak dimiliki gandrung
lain. Melengking tinggi dengan cengkok using khas. Selain menari, ia biasa
menjadi sinden gandrung dalam setiap pagelaran. Ia juga satu-satunya yang
mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu Banyuwangi
modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah sebuah eksotisme
timur.
Suara Temu dianggap komersil sehingga di tahun 1970-an dia masuk dapur
rekaman. Album pertamanya adalah lagu-lagu yang dibawakan saat pementasan
Gandrung. Saat itu, albumnya dijual seharga Rp. 75. Tahun 1980, suara emas
Temu direkam Smithsonian Folkways, Amerika Serikat, milik Philip Yampolsky.
Dalam album Songs Before Dawn yang dirilis 1991, Temu menyanyi sebelas lagu
gandrung, antara lain, delimoan, Chandra dewi, dan seblang lukinto. Bertahun-
tahun, rupanya Temu tak pernah tahu kalau album itu dijual di sejumlah situs
bisnis di Amerika dan Eropa. Di situs Amazone.com, misalnya, CD Songs Before
Dawn dijual seharga 16,98 US Amerika. Yang Temu tahu, kalau saat itu suaranya
direkam untuk kegiatan penelitian kebudayaan Indonesia. Ia dibayar Rp 250 ribu,
tanpa sebuah surat kontrak.
Temu baru mengetahui sekitar tahun 2007 dari Farida Indriastuti,
kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang
multikulturalisme. Konon kabarnya, album Temu itu mencetak penjualan
miliyaran rupiah. Namun penghargaan kepada Temu, tak lebih dari sebuah figura
berbingkai kayu coklat polos, berisi sampul album Songs Before Dawn. Figura itu
dipajang Temu di dinding rumahnya. Temu mengaku bangga dan kecewa setiap
melihat figura yang harganya tak lebih dari lima ribu
rupiah. (www.tempointeraktif.com)
Bahkan ada salah seorang yang “pernah” memanfaatkan suara eksotik
Temu. Namanya sangat terpandang bukan hanya di lokal Banyuwangi tapi juga
dikalangan nasinal dan Internasioanal. Dimana-mana di elu-elukan banyak orang
dan mendapat tempat duduk yang layak di ruang VIP. Tapi dia lupa, bahwa dia
besar dari seorang Temu. Perempuan Gandrung yang semakin terpinggirkan dan
bahkan tetap hidup melarat dan menjanda di usia senjanya. Namun meskipun
pengalaman beliau begitu pahit dia hanya mengatakan, “Kang Kuoso hang
mbales. isun byaen heng ngamuk, apuwo riko hang muring. Ojo pati wangkot, ”
(Tuhan yang akan membalasnya, saya saja tidak marah, keanpa kamu yang uring-
uringan. Jangan keras kepala)
Saat ini Mbok Temu masih aktif menyanyi, lagu-lagunya lebih modern.
Salah satu single hits yang meledak di pasaran berjudul Ojo Cilik Ati. Upah
rekaman tidak dihitung berdasarkan royalti atau banyaknya kaset yang laku.
Melainkan dihitung per paket, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per lagu. Tanpa ada
surat kontrak . Sebagai seniman tradisional, Temu tak pernah pernah menggugat
dengan urusan hak cipta intelektual atau tetek bengeknya. Saat menjadi
gandrung, bayaran satu kelompok memang besar, yakni Rp 2 juta. Tapi setelah
dibagi-bagi dengan lima penabuh, dan seorang tukang rias, bersih ia hanya terima
Rp 250 ribu. Karena itu ia tak pernah protes dengan upahnya rekaman.
Mbok Temu tidak akan mundur dari dunia Gandrung selama ia masih kuat
menari dan menyanyi. Ia ingin sekali ada generasi baru yang meneruskan tradisi
Gandrung dengan pakem-pakemnya. Pada tahun 1995 ia sempat melatih 10 anak
gadis di desanya tapi semua gagal, karena susah mencari pengganti yang mau
menari karena benar-benar mencintai Gandrung.
Sungguh Temu gundah, sebagai janda tanpa anak. Tubuhnya kian tua,
sering kali pegal di bagian sendi dan punggungnya, biarpun masih bertenaga.
“Tapi suara Temu tak sekuat dulu,” kata Basuki suatu hari dari balik panggung. Di
Kemiren ia hanya mengasuh cucu keponakan (yang memiliki kekurangan fisik
“bisu”) dan merawat kakak ibunya yang sudah teramat tua. Siapa yang kelak
diharapkan Temu bila tubuhnya tak sintal dan tulangnya rapuh di gerogoti usia?
Belum tentu 10 tahun ke depan Temu masih kuat melenggok, mengibaskan
sampurnya di atas panggung.
Gandrung adalah napas hidup Temu. Ia telah berjanji tak akan
meninggalkan panggung gandrung, kecuali tubuhnya tak mampu digerakkan lagi.
Temu, perempuan santun yang mampu menahan urat marahnya, secara sukarela
(tanpa diupah) tetap mengajari anak-anak di kedua desa, Kemiren dan Olehsari,
menari juga menyanyi.
Sang maestro ini adalah seorang yang penuh konsisten dalam
mempertahankan seni tradisi.Seperti yang dikatakan gandrung cilik bernama
Wulan (14), “Kalau kita ikut gandrung, sama Mbok Temu dikasih Rp 75.000.” Santi
(13) menimpali, “Kata Mbok Temu, kalau menari diingat-ingat gimana urutannya.”
Hidup Temu adalah loyalitas dan pengabdian terhadap seni tradisi. Ia selalu
membagi rata setiap rezeki yang diterima dengan panjaknya (pun) dengan rasa
syukur. Seperti yang diajarkan (alm) Anwar, seniornya di pentas gandrung
Memang kita yakini jika Mbok Temu benar-benar seorang Maestro sejati.
Bukan hanya dari kemampuannya menari, menyanyi tapi sebagai keikhlasannya
menghargai sebuah seni dan tradisi tanpa pernah dinilai dengan materi.

Anda mungkin juga menyukai