Anda di halaman 1dari 5

Reza Fadillah Achmad Fakultas Farmasi

1706027710 PB-26

PHARMACEUTICALS IN DISASTERS

Dr. Arry Yanuar, M.S., Apt.

Stok obat dalam penanganan medis untuk korban bencana merupakan hal yang esensial atau
penting. Dalam keadaan bencana biasanya obat itu susah diperoleh, dan hanya melimpah di satu
tempat. Saat sulit diperoleh harus melakukan predistribusi atau melakukan semacam dari rumah
sakit tersekat yang memiliki stok culup, tapi biasanya rumah sakitnya kena bencana juga
sehingga susah mendapatkan mendapatkan di instalasi tersebut karena banyaknya reruntuhan.
Saat bencana bantuan itu sangat masive dan melimpah karena banyak banyuan dan kirimin dari
berbagai tempat. Karena tenaga medis yang terbatas maka obat-obat yang melimpah tersebut
tidak ditangani atau terbengkalai, karena butuh waktu yang lama dan tenaga medis yang cukup
untuk mensortir obat-obatan yang melimpah tersebut. Selain itu transportasi pun merupakan
salah satu masalah daalam pendiatribusian obat karena terputusnya atau sulitnya akses ke lokasi
bencana.

Kasus lainnya adalah kapasitas gudang yang terbatas pada saat bencana. Contoh kasus adalah
seperti kejadian bencana gempa di Amerika tahun 1988, 5000 ton obat dan kepentingan medis
lainnya didonasikan untuk menangani kejadian bencana tersebut yang membuat tenaga medis
kewalahan atau kelelahan. Hanya sekitar 70% yang dapat disimpan di dalam gudang dengan
baik, sebagian lagi terbengkalai penyimpanannya. Sehingga obat sisanya banyak rusak karena
lembab dan sebagainya. Kasus lainnya pada tahun 1992-1996 hampir 30000 metric ton obat dan
suplai medis di donasikan ke Bosnia dan Herzegovina, namun 50-60% dari obat yang
didonasikan tidak sesuai atau tidak dibutuhkan oleh warga sekitar. Hal ini kurang baik karena
obat-obat yang tidak terpakai menjadi tidak digunaka dan akan terjadi drug dumping.

Obat yang datang ke lokasi bencana dalam bentuk yang sudah disortir atau belum disortir. Label
dari suatu obat sangat penting, yaitu untuk membedakan obat yang satu dengan obat yang
lainnya. Label yang tidak jelas akan menyulitkan tenaga medis dalam membedakan atau
menyortir obat tersebut. Obat yang datang belum disortir akan menyusahkan tenaga medis dan
relawan 2-3 kali identifikasi untuk memisahkan suatu obat berdasarkan kebutuhan.

Drug dumping adalah donasi berupa obat yang useless or unusable. Terjadi karena banyak
orang-orang yang simpati kepada korban bencana sehingga ingin membantu korban tersebut
salah satunya dengan cara mengirimkan bantuan berupa mengirimkan obat-obatan tanpa
memikirkan obat tersebut terpakai atau tidak. Drug dumping biasanya berasal dari donor
perusahaan yang mendonasikan obat ke tempat terjadi bencana. Obat yang didonorkan oleh
perusahaan-perusahaan biasanya sudah mendekati tanggal kadaluarsanya, hal ini sebaiknya tidak
dilakukan. Obat yang baik untuk didonorkan adalah obat yang kadaluarsanya masih lebih dari 6
bulan.

Masalah logistik dapat bersumber dari kemasan dan transport dari obat tersebut walaupun sudah
tersortir dengan baik. Paket kecil yang berisi obat-obatan sebaaiknya diangkat oleh 1 atau 2
orang. Kemasan harus diberi yang sesuai juga agar tidak tercampur antara obat yang satu dengan
obat yang lainnya. Daalam kemasan harus terdapat, tahan pada cuaca apa, nama generik obat
tersebut, tanggal kadaluarsa , harus disimpan dalam kondisi bagaimana, harus ada kode
internasional (hijau untuk obat-obatan, merah untuk makanan, biru untuk baju)

Overpackaging juga menjadi masalah. Kemasan yang keras atau sulit dibuka menjadi salah satu
masalah, karena sulitnya kemasan tersebut untuk dibuka hal ini menyulitkan tenaga medis dan
relawan yang lainnya.

Kadaluarsa obat juga merupaka hal yang sangata penting juga. Obat kadaluarsa sebaiknya tidak
didonasikan karena sudah tidak baik kandungannya. Banyak sekali kasus -kasus mengenai
donasi obat-obatan yang kadaluarsa salah satunya di amerika dan georgenia.

Penyimpanan obat. Kestabilan obat dan penyimpanan obat harus terdapat pada label obat
tersebut, dan garus diperhatikan untuk penyimpanan obat tersebut agar tidak mudah rusak.
Masalah stabilitas harus sangat diperhatikan saat bencana pada pengiriman donor obat tersebut,
sehingga pengemasan dan pengirimannya pun sesuai dengan kondisi obat. Dan sebaiknya
mengirim obat yang dibutuhkan oleh warga sekitar agar tidak terjadi penumpukan yang dapat
menyebabkan penyimpanan obat tidak sesuai.
Farmasi dengan tenaga kesehatan lain saling bekerjasama. Farmasis pun ikut mengecek korban
terkena bencana. Setelah dokter mengecek korban, lalu farmasis yang memberi obat di apotek
darurat yang ada.

DISASTER VICTIMS IDENTIFICATION

dr. Tami

Pengertian DVI (Disaster victim identification) yaitu sebuah prosedur yang dipakai untuk
mengidentifikasi korban meninggal akibat sebuah bencana secara massal, prosedur ini mengikuti
guideline dari Interpol atau international police. Bencana terbagi menjadi 4 yaitu, natural disaster
,unnatural disaster, Closed disaster dan open disaster. Natural disaster adalah bencana yag
disebabkan oleh alam, sedangkan unnatural disaster disebabkan oleh manusia, bisa juga
disebabkan oleh umur sebuah barang yang sudah teralu lama sehingga berpotensial
menimbulkan bencana. Contoh dari unnatural disaster adalah robohnya gedung, terrorism, dll.
Closed disaster adalah bencana yang dapat diketahui nama korbannya , tetapi tidak sellau list
tenaga evakuasi sesuai dengan yang ditemukan di lapangan. Akan tetapi, minimal tenaga
evakuasi mempunyai nama yang terkena bencana. Berbeda dengan open disaster. Open disaster
adalah bencana yang tidak bisa prediksi korban dan tidak diketahui nama korbannya, jumlah
korban biasannya jutaan. Contoh bencana tersebut adalah tsunami di aceh, kecelakaan pesawat
TNI AU yang jatuh di pemukiman

Interpole membuat panduan DVI, yaitu memisahkan korban non manusia dan bukan
manusia lalu korban manusia di bagi lagi menjadi mati dan injured. Bila masuk tahap injured
maka akan ke disaster medicine. Bila masuk tahap mati maka akan ditangani oleh DVI
Indonesia. Interpole membuat struktur organisasi DVI. Di negara Indonesia DVI nasional
terbentuk atas kerjasama anatara polri dengan tenaga kesehatan. Secara operasi polisi memegang
kekuasaan paling tinggi, nantinya polisi akan menunjuk seseorang yang sudah terlatih yang akan
menjadi DVI commander. DVI commander membawahi divisi-divisi lainnya. Biasanya tim
medis ditetapkan dibagian yyang menetapkan atau mengidentifikasi korban.

Regionalisasi DVI di Indonesia terbagi menjadi 4, yaitu Komite DVI Regional Barat 1
(Aceh sampai Jambi), Komite DVI Regional Barat 2 (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Jawa Barat, Sumatra Selatan, sampai Jogja dan Jawa Tengah) , Komite DVI Regional Tengah
(Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jwa Timur, Bali dan Nusa Tenggara ) , dan Komite
Regional Timur (Sulawesi sampai dengan Papua). Bila sebuah bencana terjadi pada salah satu
regional maka tim yang diterjunkan adalah DVI dari regional tersebut. Struktur DVI Indonesia
adalah komite DVI nasional, komite DVI regional, komite DVI provinsi. Prosedur DVI
diperlukan untuk hak asasi menusia. Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk dapat
diidentifikasi apabila dia mati dalam bencana dan jasad nya bisa dikenali agar dapat
dikembalikan ke keluarganya untuk dikuburkan atau bisa diproses sesuai agamanya. DVI juga
bisa menjadi bagian dari sebuah investigasi dari kriminal. DVI diperlukan karena prosedur ini
menjaga agar tidak terjadi metode identifikasi yang tidak bagus hasilnya dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, prosedur DVI ini diperlukan agar setiap individu
yang menjadi korban bisa menerima hak-haknya kembali.

Tahapan DVI dibagi menjadi 4 yaitu, Phase 1-Scene, Phase 2- Post Mortem, Phase 3-
Ante Mortem, Phase 4-Reconciliation. Phase 1 terjadi saat kejadian bencana, di dalam fase ini
anggota DVI bertugas mengumpulkan dan mengamankan barang bukti korban, yang bisa dipakai
untuk menentukan identitas korban. Phase-1 melakukan tahapan searching yaitu mencari semua
barang bukti bisa berbentuk barang, jasad manusia, tau bagian tubuh. Lalu Labeling dan
mencatat data secara detail. Lalu mengumpulkan serpihan-serpihan yang bisa diduga berkaitan
dengan jasad. Lalu melakukan evaluasi. Jika ditemukan manusia beri label berwarna kuning,
sedangjan barang beri label berwarna hijau. Dalam pencatatan, gunakan formulir DVI berwarna
pink. Formulir itu diisi untuk data-data korban bencana sesudah kematian terjadi.

Phase 2 adalah konsentrasi di mortuary atau kamar jenazah untuk memeriksa lebih lanjut
terhadap korban bencana. Phase ini melakukan pemeriksaan secara umum, lalu didokumentasi
oleh tim photography, ahli patologi forensik yang mencari tahu penyebab kematian, ada ahli
dokter gigi forensik dan ahli DNA. Di fase 2 pengisian dari formulir pink di fase 1. Pada fase 2
dibagi 2 metode identifikasi yaitu primer dan sekunder. Identifikasi Primer berupa sidik jari,
data gigi, daan profil DNA. Sedangkan, identifikasi sekunder bisa melalu properti pribadi dari
korban misalnya tatto, bekas luka, dan hal-hal yang bisa ditemukan ditubuh korban.

Phase 3 yaitu ante mortem, tugas DVI ini adalah mengumpulkan data dari keluarga
korban atau kerabat korban. Untuk warga negara asing bisa meminta bantuan kedutaan atau
interpol. Tujuannya adalah catatan sidik jari dari ijazah, pencatatan medical/dental record, dan
sampel DNA pembanding dari keluarga. Pencatatan dilakukan pada formulir yang berwarna
kuning yaitu formulir sebelum kematian. Dalam tim ante mortem yang bertugas ada koordinator
yang sudah berpengalaman mengalami bencana, first responders, volunteers, ahli DNA, personil
dukcapil, dan tim quality control. Phase 4 yaitu reconciliation, para ahli menggabungkan data
dari fase 2 dan fase 3 sampai ada kecocokan yang mengarah ke identitas korban. Phase ini
memiliki tahapan identifikasi, jika sudah berhasil mengumpulkan data namun belum bisa
diterima maka statusnya mungkin (possible), jika bisa menemukan data tambahan sehingga
mengarah pada identifikasi yang lebih pasti maka bisa ditingkakan menjadi probable, dan yang
terakhir adalah jika sudah cocok maka sudah dibisa dinyatakan positive identification

Anda mungkin juga menyukai