Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai logam di sekitar kita,
misalnya penggunaan logam pada peralatan masak penggunaan logam pada alat-
alat rumah tangga dan penggunaan logam sebagai bahan konstruksi bangunan.
Selain terlihat secara kasat mata, logam juga terdapat di dalam air yang tidak
terlihat, misalnya pada air sungai, air sumur, maupun pada air waduk atau air
bendungan.
Titrasi redoks adalah titrasi terhadap larutan analit berupa reduktor atau
oksidator dengan titran berupa larutan dari zat standar reduktor atau oksidator.
Prinsip yang digunakan dalam titrasi redoks adalah reaksi reduksi dan oksidasi.
Dalam titrasi redoks digunakan indikator yang dapat berubah warnanya ketika
terjadi reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Dalam titrasi redoks ada istilah titrasi
permanganometri, yaitu titrasi redoks yang menggunakan larutan standar kalium
permanganat (KMnO4). Kalium permanganat merupakan oksidator yang mudah
diperoleh, murah dan tidak memerlukan indikator (autoredoks) untuk
menunjukkan perubahan warna yang terjadi.
Oleh karena itu dilakukan percobaan tentang penentuan kadar besi secara
titrasi redoks untuk mengetahui volume titrasi pada standarisasi KMnO4 dengan
H2C2O4, untuk mengetahui konsentrasi KMnO4 sesungguhnya pada standarisasi
KMnO4 dengan H2C2O4, untuk mengetahui volume titrasi pada penentuan kadar
Fe2+ dengan metode permanganometri, untuk mengetahui kadar Fe2+ pada
penentuan kadar Fe2+ dengan metode permanganometri, untuk mengetahui
volume titrasi pada penentuan kadar Fe2+ dengan metode bikromatometri, untuk
mengetahui kadar Fe2+ pada penentuan kadar Fe2+ dengan metode bikromatometri
sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Tujuan Percobaan


 Untuk mengetahui konsentrasi KMnO4 sesungguhnya pada standarisasi
KMnO4 dengan H2C2O4

144
145

 Untuk mengetahui kadar Fe2+ pada penentuan kadar Fe2+ dengan metode
permanganometri
 Untuk mengetahui kadar Fe2+ pada penentuan kadar Fe2+ dengan metode
bikromatometri
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Reaksi-reaksi kimia melibatkan oksidasi-reduksi lebih sering digunakan


dalam analisa titrimetri dari pada reaksi-reaksi asam basa, pembentukan kompleks
ataupun pengendapan. Ion-ion dari berbagai unsur hadir dalam wujud oksidasi
yang berbeda-beda mengakibatkan timbulnya begitu banyak kemungkinan reaksi
reaksi oksidasi reduksi (redoks). Kebanyakan dari reaksi-reaksi ini layak
digunakan dalam analisa titrimetri dan aplikasinya sangat beraneka ragam (Day,
2002).
Oksidasi adalah kehilangan satu atau lebih elektron yang dialami oleh suatu
atom molekul atau ion sementara reduksi adalah perolehan elektron. Tidak dapat
elektron bebas dalam sistem kimiawi yang biasa dan kehilangan elektron yang
dialami oleh suatu spesies kimiawi selalu disertai oleh perolehan elektron pada
bagian yang lainnya istilah reaksi transfer elektron terakhir yang dipergunakan
untuk reaksi-reaksi redoks (Day, 2002).
Kestimbangan redoks dapat dipahami dengan mudah dengan cara meninjau
gaya elektromitif sel-sel Galvani. Suatu sel galvanik adalah sel di mana reaksi
kimia muncul secara spontan melepaskan energi listrik yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan. Gaya gerak listrik (ggl) diukur dalam satuan volt dan
disebut sebagai voltase atau potensial dan sel tersebut. Satu wilt adalah ggl yang
diperlukan untuk memberikan 1 Joule energi pada sebuah muatan listrik sebesar 1
coulumb (C) (Day, 2002).
Adalah menarik untuk membandingkan reaksi-reaksi oksidasi-reduksi
dengan asam basa untuk melihat keasaman dan perbedaan antara transfer elektron
dan transfer proton. Kita bisa memandang sebagai contoh Fe2+ dan Fe3+ dan Cr3+
dan Cr4+ sebagai pasangan-pasangan konjugat dengan analogi pada asam-asam
dan basa-basa konjugat Bronsted :

146
147

Bagaimanapun juga, ada perbedaan-perbedaan penting antara transfer elektron


dengan transfer proton. Sebagai contoh elektron dapat bergerak melalui kabel-
kabel sementara proton tidak dapat. Sehingga untuk transfer proton, asam1 dan
basa2 harus bertemu secara langsung dalam larutan yang sama. Transfer elektron
dapat terjadi secara langsung, namun penyumbang dan penerima berada pada
larutan yang berbeda jika kita inginkan, elektron-elektron kemudian akan
bergerak dari satu larutan ke larutan lainnya melalui sebuah konduktor (Day,
2002).
Reaksi redoks ialah reaksi yang menyebabkan terjadinya perubahan
bilangan oksidasi pada atom-atom yang bersangkutan, misalnya :

Dalam hal ini :

Mekanisme reaksi redoks ada 2 macam, yaitu:


a. Mekanisme transfer elektron, disini terjadi pemindahan elektron dari atom
satu ke atom lain.
b. Mekanisme transfer atom, disini reduktor dan oksidator terikat satu dengan
yang lain, dengan jembatan atom molekul atau ion melalui jembatan ini
elektron berpindah dari atom satu ke atom lain.
(Sukardjo, 1992).
Anggota awal dari setiap periode mempunyai bilangan oksidasi
maksimum yang berhubungan dengan partisipasi semua elektron s dan terluar
dalam ikatan ionik atau kovalen jadi unsur dalam golongan skandium hanya
memiliki bilangan oksidasi +3 dan mangan mempunyai bilangan oksidasi
maksimum +7 seperti halnya unsur lain dalam golongannya membentuk senyawa
seperti HClO4 dan cairan merah tua Mn2O, suatu kecenderungan menarik ialah
meningkatnya kecenderungan ke arah bilangan oksidasi yang lebih tinggi
diantaranya unsur golongan utama jadi kimia besi didominasi oleh bilangan
148

oksidasi +2 dan +3 seperti dalam oksida-oksida yang umum dan FeO dan Fe2O3
tapi bilangan oksidasi +8 yang tidak ada pada besi sangat penting untuk anggota
akhir dari golongan besi yaitu ruthunium dan osmium. Contohnya oksida O2S2O4
ialah padatan yang kuning atsiri yang meleleh pada suhu 41°C dan mendidih pada
suhu 130°C. Reaksi selektifnya dengan ikatan rangkap C=C membuatnya dalam
sintesis organik dan sebagai zat pewarna biologis. Kimia nikel hampir
sepenuhnya berkaitan dengan bilangan oksidasi +2 tetapi unsur akhir dari kecil
yaitu palladium dan platinum memiliki kimia yang semakin didominasi oleh
bilangan oksidasi +4. Sebagai contoh NiF2 adalah satu-satunya florida yang stabil
tetapi baik PdF2 maupun PdF4 ada PtF2 tidak dijumpai tetapi baik PtF4 maupun
PtF6 sudah disintesis (Oxtoby, 2003).
Titrasi redoks merupakan titrasi terhadap larutan analit berupa reduktor atau
oksidator. Dengan titran berupa larutan atau zat standar oksidator atau reduktor.
Prinsip yang digunakan dalam titrasi redoks adalah reaksi reduksi oksidasi atau
dikenal dengan reaksi redoks. Reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan
penangkapan atau pelepasan elektron sehingga terjadi perubahan bilangan
oksidasi. Reaksi redoks yang dapat digunakan dalam analisis titrimetri harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Hanya ada satu reaksi yang terjadi pada keadaan tertentu.
b. Reaksi harus berkesadahan pada titik ekuivalen, dan
c. Harus ada indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan titik akhir
titrasi
(Pursitasari, 2014).
Indikator redoks merupakan zat atau senyawa yang dapat berubah warnanya
karena terjadi reaksi reduksi oksidasi (redoks). Seperti halnya pada indikator yang
digunakan dalam titrasi asam basa, titrasi pembentukan kompleks, maupun titrasi
pengendapan, maka indikator redoks juga memperlihatkan warna yang berbeda
pada keadaan teroksidasi dan warna tereduksi (Pursitasari, 2014).
Indikator redoks reversible merupakan indikator redoks yang tidak
tergantung pada salah satu zat, tetapi tergantung pada perubahan potensial larutan
selama titrasi. Oleh karena itu, indikator reversible digunakan secara luas dalam
149

penentuan titik akhir titrasi redoks. Indikator ini dapat dioksidasi dan direduksi
secara reversible (bolak-balik). Hubungan antara perubahan warna indikator
reversibel dengan potensial elektrokimia dapat anda perhatikan dari setengah
reaksi untuk indikator yaitu :

dengan In oks adalah indikator dalam bentuk oksidator dan In red adalah indikator
dalam bentuk reduktor (Pursitasari, 2014).
Indikator redoks khusus merupakan indikator yang dapat bereaksi dengan
salah satu komponen pereaksi dan tidak dipengaruhi oleh potensial membentuk
kompleks berwarna biru tua dengan iodium. Penggunaan amilum berdasarkan
pada reaksi pembentukan kompleks amilum dengan iodium. Reaksi yang terjadi
adalah:
I2 + Amilum Iod.Amilum(biru)
2-
Iod.Amilum + S2O3 Warna hilang (tak berwarna)
(Pursitasari, 2014).
Reaksi antara iod dengan amilum membentuk kompleks iod-amilum yang
berwarna biru tua. Pada waktu penambahan titran ion tiosulfat, maka kompleks
iod-amilum pecah. Sehingga ketika konsentrasi iod habis, maka warna biru tua
tadi akan hilang. Pada saat inilah anda harus segera menghentikan titrasi
(Pursitasari, 2014).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi
kenaikan bilangan oksidasi sedangkan reduksi digunakan untuk dengan oksidasi
berarti proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron sedangkan reduksi
memperoleh elektron oksidasi adalah senyawa dimana atom yang terkandung,
mengalami penurunan bilangan oksidasi sebaliknya pada reduktor atom yang
terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi oksidasi reduksi harus selalu
berlangsung bersama dan saling mengkondensasi satu sama lain. Istilah oksidator
reduktor mengacu kepada suatu senyawa tidak kepada atomnya saja. Jika suatu
reagen berperan baik sebagai reduktor dan oksidator maka di katakan zat tersebut
mengalami auto indikasi atau disproporsionasi (Khopkar, 2008).
150

Banyak sekali metode volumetri yang berprinsip kan pada transfer elektron
pemisahan oksidasi reduksi menjadi komponen komponennya yaitu reaksi
paruhnya adalah cara untuk menunjukkan masing-masing spesies yang
memperoleh maupun kehilangan elektron reaksi oksidasi reduksi berasal dari
transfer langsung elektron dan donor ke aseptor. Bermacam reaksi redoks dapat
digunakan untuk analisis titrasi volumetri asalkan keseimbangan yang tercapai
setiap penambahan titran dapat berlangsung dengan cepat. Dan diperlukan juga
adanya indikator yang mampu menunjukkan titik ekuivalen stoikiometri
(Khopkar, 2008).
Titrasi redoks merupakan titrasi terhadap larutan analit berupa reduktor atau
oksidator. Dengan titran berupa larutan atau zat standar oksidator atau reduktor.
Prinsip yang digunakan dalam titrasi redoks adalah reaksi reduksi oksidasi atau
dikenal dengan reaksi redoks. Reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan
penangkapan atau pelepasan elektron sehingga terjadi perubahan bilangan
oksidasi. Contoh reaksi redoks adalah:
Sn2+(aq) + I2(aq) Sn4+(aq) + 2I-
Cu(s) + 4HNO3(aq) pekat Cu(NO3)2(aq) + 2NO2(g) + 2H2O(l)

Reaksi redoks yang dapat digunakan dalam analisis titrimetri harus


memenuhi syarat sebagai berikut:
d. Hanya ada satu reaksi yang terjadi pada keadaan tertentu.
e. Reaksi harus berkesadahan pada titik ekuivalen, dan
f. Harus ada indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan titik akhir titrasi
(Pursitasari, 2014).
Pada titrasi redoks, karena didalamnya melibatkan reaksi redoks, maka
perubahan potensial yang menyertai reaksi dapat digunakan sebagai parameter
reaksi. Oleh karena itu, maka kurva titrasi redoks dapat dinyatakan melalui
hubungan antara volume oksidator/reduktor yang ditambahkan dengan potensial
sel yang terukur selama berlangsungnya titrasi (Pursitasari, 2014).
Seperti halnya pada titrasi lain, pada titrasi redoks apabila titik akhir titrasi
tidak dapat diamati secara nyata, perlu digunakan indicator. Prinsip penggunaan
151

indikator pada dasarnya sama yaitu indikator dapat memberikan perubahan warna
pada saat titik ekivalen tercapai (Pursitasari, 2014).
Indikator redoks merupakan zat atau senyawa yang dapat berubah warnanya
karena terjadi reaksi reduksi oksidasi (redoks). Seperti halnya pada indikator yang
digunakan dalam titrasi asam basa, titrasi pembentukan kompleks, maupun titrasi
pengendapan, maka indikator redoks juga memperlihatkan warna yang berbeda
pada keadaan teroksidasi dan warna tereduksi. Jenis indikator yang dapat
digunakan dalam titrasi redoks adalah:
a. Indikator redoks reversible
Indikator redoks reversible merupakan indikator redoks yang tidak
tergantung pada salah satu zat, tetapi tergantung pada perubahan potensial
larutan selama titrasi. Oleh karena itu, indikator reversible digunakan secara
luas dalam penentuan titik akhir titrasi redoks. Indikator ini dapat dioksidasi
dan direduksi secara reversible (bolak-balik) (Pursitasari, 2014).
b. Indikator redoks khusus
Indikator redoks khusus merupakan indikator yang dapat bereaksi dengan
salah satu komponen pereaksi dan tidak dipengaruhi oleh potensial membentuk
kompleks berwarna biru tua dengan iodium. Penggunaan amilum berdasarkan
pada reaksi pembentukan kompleks amilum dengan iodium. Reaksi yang
terjadi adalah:
I2 + Amilum Iod.Amilum(biru)
Iod.Amilum + S2O32- Warna hilang (tak berwarna)
Reaksi antara iod dengan amilum membentuk kompleks iod-amilum yang
berwarna biru tua. Pada waktu penambahan titran ion tiosulfat, maka kompleks
iod-amilum pecah. Sehingga ketika konsentrasi iod habis, maka warna biru tua
tadi akan hilang. Pada saat inilah anda harus segera menghentikan titrasi
(Pursitasari, 2014).
Beberapa contoh indikator redoks yang sering digunakan antara lain:
1. Kompleks Fe(II)-ortofenantrolin
Ortofenantrolin (1, 10-fenantrolin) merupakan golongan senyawa organik
yang mampu membentuk senyawa kompleks yang stabil dengan Fe(II) dan ion-
152

ion lain melalui kedua atom N pada struktur induknya. Ikatan antara ion Fe2+
dengan tiga buah molekul fenantrolin membentuk struktur ketat. Senyawa
kompleks yang dihasilkan adalah feroin yang untuk penyederhanaan rumus
strukturnya sering dinyatakan sebagai (Ph)3Fe2+. Besi yang terikat dalam feroin
tersebut dapat mengalami reaksi oksidasi reduksi secara reversible;
(Ph)3Fe3+ + e- (Ph)3Fe2+
biru muda (Ferroin) merah gelap (Ferroin)
(Pursitasari, 2014).
2. Difenilamin dan turunannya
Indikator difenilamin sering digunakan untuk titrasi ion Fe2+ dengan
larutan standar bikromat (titrasi dikromatometri). Difenilamin merupakan
senyawa yang sangat sulit larut dalam air, sehingga harus dilarutkan dalam
asam sulfat pekat. Bentuk reduksinya tak warna, sedangkan bentuk
teroksidasinya berwarna ungu tua (Pursitasari, 2014).
Titrasi redoks terdiri dari berbagai jenis. Penggolongan jenis titrasi redoks
berdasarkan pada jenis oksidator maupun reduktor yang digunakan sebagai titran
atau larutan standar. Kelima jenis titrasi redoks tersebut adalah: (a)
Permanganometri (larutan standar: KMnO4); (b) Bikrometri (larutan standar:
K2Cr2O7); (c) Bikromatometri (larutan standar: KbrO3); (d) Iodimetri (larutan
standar: I2) dan iodometri (larutan standar: Na2S2O3). Penjelasan secara rinci dari
masing-masing jenis titrasi redoks tersebut adalah sebagai berikut (Day, 1998).
Titrasi permanganometri merupakan titrasi redoks yang menggunakan
larutan standar larutan kalium permangat (KMnO4). Kalium permanganat
meruapak oksidator yang mudah diperoleh, murah, dan tidak memerlukan
indikator (autoredoks) untuk menunjukkan perubahan warna yang terjadi. Setetes
larutsn KMnO4 0,1 N memberikan warna merah muda yang jelas. Apabila belum
tercapai titik ekuivalen, maka warna tersebut akan hilang kembali ketika
dilakukan pengadukan atau pengocokan. Pada saat warna larutan analit berubah
menjadi merah muda dan warna tersebut relatif permanen, maka Anda harus
segera menghentikan proses titrasi (Pursitasari, 2014).
153

Larutan kalium permanganat merupakan larutan standar sekunder karena


larutan tersebut mudah terurai oleh cahaya, temperatur tinggi, dan asam atau basa.
Oleh karena itu, larutan kalium permanganat harus distandarisasi terlebih dahulu
sebelum digunakan untuk analisis kimia (Pursitasari, 2014).
Titrasi permanganometri dapat digunakan untuk menentukan besi dalam
bijih besi. Bijih besi terlebih dahulu dilarutkan dalam asam klorida dan biasanya
ditambahkan timah(II) klorida untuk membantu proses pelarutan dan mereduksi
seluruh besi (III) yang ada menjadi besi (II). Larutan yang terjadi selanjutnya
dititrasi dengan larutan permanganat yang telah distandarisasi. Reaksi yang terjadi
adalah:
5Fe3+ + MnO4- + 8H+ 5Fe2+ + Mn2+ + 4H2O
(Pursitasari, 2014).
Titrasi dikromatometri merupakan titrasi redoks yang menggunakan larutan
dikromat (Cr2O72-) sebagai larutan standar. Senyawa kalium dikromat merupakan
oksidator yang kuat namun lebih lemah daripada kalium permanganat. Reaksi
reduksi dan potensial reduksi dari kalium dikromat adalah:
CrO72- + 14H+ + 6e- 2Cr3+ + 7H2O Eo = 1,33 V
(Pursitasari, 2014).
Keuntungan menggunakan kalium dikromat sebagai larutan standar adalah
harganya tidak mahal, larutannya sangat stabil, dan merupakan standar primer.
Penggunaan utamanya adalah untuk titrasi besi (II) dalam larutan asam klorida
([HCl] < 2 M). Indikator yang cocok digunakan adalah asam difenilaminsulfonat
(Eo = 0,85 V) atau natrium difinilbenzidin (Eo = 0,87 V). Reaksi yang terjadi
antara ion besi (II) dengan ion dikromat adalah:
CrO72- + 6Fe2+ + 14H+ 2Cr3+ + 6Fe3+ + 7H2O
(Pursitasari, 2014).
Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi reduksi dipergunakan secara
luas dalam analisa titrimetri. Unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang
berbeda-beda. Menghasilkan kemungkinan terjadi banyak reaksi redoks. Banyak
154

ini memenuhi syarat untuk digunakan dalam analisa titrimetri dan penerapan-
penerapannya cukup banyak (Underwood, 2002).
Kalium permanganat telah banyak dipergunakan sebagai agen pengoksidasi
selama lebih dari 100 tahun. Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak
mahal, dan tidak membutuhkan oksidator terkecuali untuk larutan yang aman
encer. Permanganat mengalami beragam reaksi kimia, karena mangan dapat hadir
dalam kondisi-kondisi oksidasi 2+, 3+, 4+, 6+, 7+ (Underwood, 2002).
Beberapa unsur transisi dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi
merupakan zat pengoksidasi yang baik, sebagaimana dinyatakan dengan potensial
reduksi positif yang tinggi. Contohnya ialah larutan asam dari ion permanganate;
MnO4- + 8H2O + 5e- Mn2+ + 12H2O Eo = + 1,51 V
dan ion dikromat;
CrO72- + 14H3O+ + 6e- 2Cr3+ + 21H2O Eo = + 1,33 V
(Nachtrjeb, 2003).
Mekanisme redoks ada 2 macam, yaitu:
a. Mekanisme transfer electron, disini terjadi pemindahan elektron dari atom satu
ke atom lain.
b. Mekanisme transfer atom, disini reduktor dan oksidator terikat satu dengan
yang lain, dengan jembatan atom molekul atau ion melalui jembatan ini
elektron berpindah dari atom satu ke atom lain (Sukardjo, 1992).
Metode penetapan kadar secara kimia terdiri atas metode analisis volumetri
dan gravimetrik. Metode tersebut berhubungan dengan reaksi-reaksi kimia.
Metode yang didasari pada pengukuran sifat fisik yang dikenal sebagai metode
fisika kimia. Metode analisis secara fisika ini adalah metode-metode yang tidak
benar-benar mengikutsertakan suatu reaksi kimia. Sebagian besar metode
pengukuran secara fisika ini adalah metode instrumental (Khopkar, 2010).
Reaksi-reaksi kimia melibatkan oksidasi-reduksi lebih sering digunakan
dalam analisa titrimetri dari pada reaksi-reaksi asam basa, pembentukan kompleks
ataupun pengendapan ion-ion dari berbagai unsur hadir dalam wujud oksidasi
yang berbeda-beda mengakibatkan timbulnya begitu banyak kemungkinan reaksi
155

reaksi oksidasi reduksi. Kebanyakan dari reaksi-reaksi ini layak digunakan dalam
analisa titrimetri dan aplikasinya sangat beraneka ragam (Underwood, 1998).
Oksidasi adalah kehilangan satu atau lebih elektron yang dialami oleh suatu
atom molekul atau ion sementara reduksi adalah perolehan elektron. Tidak dapat
elektron bebas dalam sistem kimiawi yang biasa dan kehilangan elektron yang
dialami oleh suatu spesies kimiawi selalu disertai oleh perolehan elektron pada
bagian yang lainnya istilah reaksi transfer elektron terakhir yang dipergunakan
untuk reaksi-reaksi redoks (Underwood, 1998).
Kestimbangan redoks dapat dipahami dengan mudah dengan cara meninjau
gaya elektromitif sel-sel Galvani. Suatu sel galvanik adalah sel di mana reaksi
kimia muncul secara spontan melepaskan energi listrik yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan. Gaya gerak listrik (ggl) diukur dalam satuan volt dan
disebut sebagai voltase atau potensial dan sel tersebut. Satu wilt adalah ggl yang
diperlukan untuk memberikan 1 Joule energi pada sebuah muatan listrik sebesar 1
coulumb (C) ( Underwood, 1998).
Indikator-indikator redoks yang menjadi acuan dalam bab ini adalah
molekul molekul organik yang mengalami perubahan-perubahan struktur melalui
oksidasi atau reduksi indikator-indikator seperti ini lebih sedikit jumlahnya
daripada indikator asam basa dan sifat kimiawi mereka belum banyak dipelajari
bagaimanapun juga perubahan perubahan struktur yang menyebabkan perbedaan
warna ini diketahui terjadi pada jumlah substansi kita hanya akan membahas dua
contoh di sini natrium diphenlymine sulfonat dan besI (III) O- phenantrolin (
Feroin) (Underwood, 1998).
Diphenylamine adalah salah satu dari indikator redoks yang pertama kali
digunakan secara luas dalam analisa titrimetri pengingat senyawa ini amat sulit
larut dalam air dan karena ion Cl dan raksa (II) klorida mengganggu aksi ion ini
garam barium atau garam natrium dari asam diphenylaminesulfonat lebih sering
dipergunakan. Bentuk reduksi dari indikator yang tidak berwarna dan tidak dan
bentuk teroksidasi yang berwarna ungu gelap (Underwood, 1998).
Dalam banyak prosedur analisis analitnya memiliki lebih dari sutu kondisi
oksidasi sehingga harus dikonversi menjadi satu kondisi oksidasi tunggal sebelum
156

dititrasi. Sebuah contoh yang sering kita jumpai adalah penentuan besi dalam
suatu bijih besi berarti bijih besi tersebut dilarutkan besi akan hadir baik dalam
keadaan oksidasi +2 maupun keadaan oksidasi +3. Besi tersebut harus direduksi
seluruhnya ke kondisi +2 sebelum penitraan dengan sebuuah larutan standar
dilalui sebuah agen harus dapat mengkonversi dengan cepat dan sempurna ke
dalam kondisi oksidasi yang diinginkan. Kelebihan dari reagen ini biasanya
ditambahkan kita harus dapat membuang kelebihan tersebut sehingga kelebihan
tersebut tidak bereaksi dalam titrasi selanjutnya (Underwood, 1998).
Indikator redoks merupakan contoh senyawa yang dapat berubah warnanya
karena erjadi reaksi reduksi oksidasi redoks seperti halnya pada indikator yang
digunakan dalam titrasi asam basa titrasi redoks juga memperhatikan warna yang
berbeda pada keadaan teroksidasi dan warna tereduksi. Jenis indikator yang dapat
digunakan dalam titrasi redoks (Pursitasari, 2014).
Titrasi redoks merupakan titrasi terhadap larutan analit berupa reduktor atau
oksidator dengan titran berupa larutan dan zat standar oksidator atau reduktor
prinsip yang digunakan dalam titrasi redoks adalah reaksi reduksi oksidasi atau
dikenal dengan reaksi redoks. Reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan
penangkapan dan pelepasan elektron sehingga terjadi perubahan bilangan oksidasi
(Pursitasari, 2014).
Titrasi redoks terdiri dari beberapa jenis penggolongan jenis titrasi redoks
berdasarkan pada jenis indikator maupun reduktor yang digunakan sebagai titran
atau larutan standar. Kelima jenis titrasi redoks tersebut adalah (a)
permanganometri (larutan standar KMnO4) (b) Bikromatometri (larutan standar
K2Cr2O4) (c) Brokometri (laruran standar KBrO3) serta (d) Iodometri (larutan
standar iodometri (larutan standar( Na2S2O3) (Pursitasari, 2014).
Anggota awal dari setiap periode mempunyai bilangan oksidasi maksimum
yang berhubungan dengan partisipasi semua elektron s dan terluar dalam ikatan
ionik atau kovalen jadi unsur dalam golongan skandium hanya memiliki bilangan
oksidasi +3 dan mangan mempunyai bilangan oksidasi maksimum +7 seperti
halnya unsur lain dalam golongannya membentuk senyawa seperti HClO4 dan
cairan merah tua Mn2O, suatu kecenderungan menarik ialah meningkatnya
157

kecenderungan ke arah bilangan oksidasi yang lebih tinggi diantaranya unsur


golongan utama jadi kimia besi didominasi oleh bilangan oksidasi +2 dan +3
seperti dalam oksida-oksida yang umum dan FeO dan Fe2O3 tapi bilangan
oksidasi +8 yang tidak ada pada besi sangat penting untuk anggota akhir dari
golongan besi yaitu ruthunium dan osmium. Contohnya oksida O2S2O4 ialah
padatan yang kuning atsiri yang meleleh pada suhu 41°C dan mendidih pada suhu
130°C. Reaksi selektifnya dengan ikatan rangkap C=C membuatnya dalam
sintesis organik dan sebagai zat pewarna biologis. Kimia nikel hampir
sepenuhnya berkaitan dengan bilangan oksidasi +2 tetapi unsur akhir dari kecil
yaitu palladium dan platinum memiliki kimia yang semakin didominasi oleh
bilangan oksidasi +4. Sebagai contoh NiF2 adalah satu-satunya florida yang stabil
tetapi baik pdF2 maupun PdF4 ada PiF2 tidak dijumpai tetapi baik PiF4 maupun
PiF8 sudah disintesis (Oxtoby, 1986).
Senyawa yang unsur logam transisinya mempunyai bilangan oksidasi tinggi
cenderung agak kovalen sedangkan dan bilangan oksidasinya lebih rendah
cenderung lebih ionik (Oxtoby, 1986).
Kenaikan muatan nukleus juga menyebabkan elektron menjadi lebih dekat
dan jari-jari atom terpanjang masing-masing periode akan tetapi di dekat ujung
masing-masing periode meningkatnya tolakan elektron elektron dalam kulit yang
hampir penuh akan mengalahkan efek muatan nukleus dan memaksa atom untuk
mengembang atom-atom unsur periode kelimma dari (natrium sampai kardium)
lebih besar daripada unsur periode keempat, tetapi hampir tidak ada lagi pengisian
kulit 4f menjelang unsur transisi periode karena membuat elektron d terluar
merasakan muatan efektif yang lebih besar dan menyebabkan atom lebih kecil
daripada seharusnya jari-jari atom dan ion natrium dalam periode keenam, pada
dasarnya sama dengan elektron dalam periode kelima. Oleh karena hampir sama
dalam hal konfigurasi valensi dan ukuran kedua unsur ini memiliki sifat yang
agak mirip dan sulit dibedakan satu sama lain (Oxtoby, 1986).
Titrasi permanganometri merupakan titrasi redoks yang menggunakan
larutan standar larutan kalium permanganat (KMnO4). Kalium permanganat
merupakan oksidator yang mudah diperoleh murah dan tidak memerlukan
158

indikator autoredoks untuk menunjukkan perubahan warna yang terjadi mengapa


demikian? Setetes larutan KMnO4 0,1 N memberikan warna merah muda yang
jelas apabila belum tercapai titik ekivalen maka warna tersebut akan hilang
kembali dilakukan pengadukan atau pengocokan pada saat warna larutan analit
berubah menjadi merah muda dan warna tersebut relatif permanen maka anda
segera menghentikan proses titrasi ( Pursitasari, 2014).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi
kenaikan bilangan oksidasi sedangkan reduksi digunakan untuk dengan oksidasi
berarti proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron sedangkan reduksi
memperoleh elektron oksidasi adalah senyawa dimana atom yang terkandung,
mengalami penurunan bilangan oksidasi sebaliknya pada reduktor atom yang
terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi oksidasi reduksi harus selalu
berlangsung bersama dan saling mengkondensasi satu sama lain. Istilah oksidator
reduktor mengacu kepada suatu senyawa tidak kepada atomnya saja. Jika suatu
reagen berperan baik sebagai reduktor dan oksidator maka di katakan zat tersebut
mengalami auto indikasi atau disproporsionasi ( Khopkar, 2010).
Banyak sekali metode volumetri yang berprinsip kan pada transfer elektron
pemisahan oksidasi reduksi menjadi komponen komponennya yaitu reaksi
paruhnya adalah cara untuk menunjukkan masing-masing spesies yang
memperoleh maupun kehilangan elektron reaksi oksidasi reduksi berasal dari
transfer langsung elektron dan donor ke aseptor. Bermacam reaksi redoks dapat
digunakan untuk analisis titrasi volumetri asalkan keseimbangan yang tercapai
setiap penambahan titran dapat berlangsung dengan cepat (Khopkar, 2010).
Mekanisme reaksi redoks ada dua macam yaitu
(1) Mekanisme transfer elektron di sini terjadi pemindahan elektron dan atom 1
ke atom lain
(2) Mekanisme transfer atom di sini reduktor dan oksidator selarut satu dengan
yang lain dengan jembatan atau atom molekul atau ion melalui jembatan ini
elektron berpindah dari atom satu ke atom lain (Soekardjo, 1992).
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
- Erlenmeyer
- Pipet ukur
- Bulp
- Buret
- Tiang statif
- Klem
- Gelas ukur
- Pipet tetes
- Gelas beaker
3.1.2. Bahan
- Larutan H2C2O4 0,1 N
- Larutan H2SO4 4 N
- LarutanKMnO4 0,1 N
- Sampel air bendungan
- Larutan H2SO4(p)
- Indikator ferroin
- Larutan K2Cr2O7
- Tisu
- Kertas saring
- Kanebo
- Sabun cair
- Alumunium foil

3.2. Prosedur Percobaan


3.2.1. Standarisasi KMnO4 dengan H2C2O4
- Diambil 10 mL H2C2O4 0,1N kedalam Erlenmeyer
- Ditambahkan 10 mL H2SO4 4N

159
160

- Dipanaskan pada suhu 60-70oC


- Dititrasi dengan KMnO4 0,1N hingga berubah warna menjadi merah
lembayung
- Diamati
- Dicatat volume titrasi
- Dihitung kadar KMnO4 sesungguhnya
3.2.2. Penentuan Kadar Fe2+ dengan Metode Permanganometri
- Diambil 40 mL sampel
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer
- Ditambahkan 5 mL H2SO4 4N
- Dipanaskan pada suhu 60-70oC
- Dititrasi dengan KMnO4 0,1N hingga berubah warna menjadi merah
lembayung
- Diamati
- Dicatat volume titrasi
- Dihitung kadar Fe2+
3.2.3. Penentuan Kadar Fe2+ dengan Metode Bikromatometri
- Diambil 10 mL sampel
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer
- Ditambahkan 3 mL H2SO4(p)
- Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin
- Dititrasi dengan K2Cr2O7 0,1N hingga berubah warna menjadi hijau
- Diamati
- Dicatat volume titrasi
- Dihitung kadar Fe2+
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan


No. Perlakuan Data Pengamatan
1. Standarisasi KMnO4 dengan
H2C2O4
- Diambil 10 ml H2C2O4 0,1N - Larutan bening
kedalam Erlenmeyer
- Ditambahkan 10 mL H2SO4 4N - Larutan bening
- Dipanaskan pada suhu 60-70oC
- Dititrasi dengan KMnO4 0,1N - Larutan berwarna merah
lembayung
- Diamati
- Dicatat volume titrasi - Volume titrasi sebesar 10,5 mL
- Dihitung konsentrasi KMnO4 - Konsentrasi sebesar 0,0952 N
2. Penentuan Kadar Fe2+ dengan
metode permanganometri
- Diambil 40 mL sampel - Sampel bening
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer
- Ditambahkan 5 mL H2SO4 4N - Larutan bening
- Dipanaskan pada suhu 60-70oC
- Dititrasi dengan KMnO4 0,1N
- Diamati - Larutan berwarna merah
lembayung
- Dicatat volume titrasi - Volume titrasi sebesar 0,4 mL
- Dihitung kadar Fe2+ - Kadar Fe2+ sebesar 0,0009 N
3. Penentuan Kadar Fe2+ dengan
metode bikromatometri
- Diambil 10 mL sampel - Sampel bening
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer

161
162

- Ditambahkan 3 mL H2SO4(p) - Larutan bening


- Ditambahkan 3 tetes indikator
ferroin
- Dititrasi dengan K2Cr2O7 0,1N - Larutan berwarna hijau
- Diamati
- Dicatat volume titrasi - Volume sebesar 0,4 mL
2+
- Dihitung kadar Fe - Kadar Fe2+ sebesar 0,004N

4.2 Reaksi
4.2.1 Reaksi antara KMnO4 dengan H2C2O4
163

4.2.2 Reaksi antara KMnO4 dengan Fe2+

Oksidasi : Fe2+ Fe3+


Fe2+ Fe3+ + e-
Reduksi : MnO4- Mn2+
MnO4- Mn2+ + 4H2O
MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O
Oksidasi : Fe2+ Fe3+ + e- x5
Reduksi : MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O x1

Oksidasi : 5Fe2+ 5Fe3+ + 5e-


Reduksi : MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O
1/2 Reaksi : 5Fe2+ + MnO4- + 8H+ 5Fe3+ + 2Mn2+ + 4H2O
Reaksi lengkap: 2KMnO4 + 10FeSO4 + H2SO4 5Fe(SO4)2 + 4H2O + K2SO4

4.2.3 Reaksi antara K2Cr2O7 dengan Fe2+


164

4.3 Perhitungan
4.3.1 Penentuan Konsentrasi KMnO4

Jadi konsentrasi KMnO4 sebesar 0,0952 N


4.3.2 Penentuan kadar Fe2+ dengan metode permanganometri

Jadi, kadar Fe2+ secara permanganometri adalah sebesar 0,000952 N


4.3.3 Penentuan kadar Fe2+ dengan metode bikromatometri

Jadi, kadar Fe2+ secara bikromatometri adalah sebesar 0,000952 N


165

4.4 Pembahasan
Prinsip yang digunakan pada penentuan kadar Fe dengan metode
permanganometri adalah berdasarkan reaksi redoks di mana menggunakan
oksidator kuat KMnO4 sebagai larutan standar dengan sampel yang mengandung
Zn atau Fe yang bersifat reduktor seperti Fe2+ yang akan dioksidasi menjadi Fe3+
dalam suasana asam dan KMnO4 akan tereduksi dari MnO4- menjadi Mn2+ dimana
titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi merah lembayung.
Prinsip yang digunakan pada penentuan kadar Fe dengan metode
bikromatometri adalah berdasarkan reaksi redoks dimana menggunakan oksidator
kuat K2Cr2O7 sebagai larutan standar primer dengan sampel yang mengandung Zn
atau Fe yang bersifat reduktor seperti Fe2+ yang akan dioksidasi menjadi Fe3+
dalam suasana asam dan K2Cr2O7 akan tereduksi dari Cr2O72- menjadi Cr3+
dimana digunakan indikator ferroin untuk menentukan titik akhir titrasi di mana
titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi berwarna hijau.
Pada percobaan pertama yaitu standarisasi KMnO4 dengan H2C2O4 yang
bertujuan untuk menentukan konsentrasi KMnO4 yang sesungguhnya. Mula-mula
diambil 10 mL H2C2O4 ke dalam Erlenmeyer di mana larutan H2C2O4 bening dan
berfungsi sebagai larutan standar untuk membakukan larutan KMnO4. Selanjutnya
ditambahkan 10 mL H2SO4 4 N bening yang berfungsi sebagai katalisator karena
H2SO4 merupakan asam kuat yang stabil. Kemudian dipanaskan pada suhu 60-
700C untuk mempercepat terjadinya reaksi. Suhu 60-700C merupakan suhu yang
optimum. Jika digunakan suhu <600C maka akan terbentuk endapan MnO2 yang
akan mengganggu dan menyebabkan zat peniter dan zat yang dititer sehingga
tidak ekuivalen. Sedangkan jika digunakan suhu >700C maka akan terbentuk gas
CO2 yang dapat menyebabkan sampelnya terurai. Selanjutnya dititrasi dengan
KMnO4 0,1N, di mana KMnO4 berfungsi sebagai titran, autoindikator dan sebagai
oksidator kuat menghasilkan larutan berwarna merah lembayung yang
menandakan telah tercapainya titik akhir titrasi. Kemudian dicatat volume titrasi
dan diperoleh volume titrasi sebesar 10,5 mL. Kemudian dihitung konsentrasi
KMnO4 sesungguhnya dan diperoleh konsentrasi KMnO4 sesungguhnya sebesar
0,0952 N.
166

Pada percobaan kedua yaitu penentuan kadar Fe2+ dengan metode


permanganometri bertujuan untuk mengetahui kadar Fe2+ yang terkandung dalam
sampel. Mula-mula diambil 40 mL sampai bening yang berfungsi untuk mencari
kandungan Fe2+. Kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan
dengan 5 mL H2SO4 4 N bening yang berfungsi sebagai katalisator karena H2SO4
merupakan asam kuat yang stabil. Kemudian dipanaskan pada suhu 60-700C
karena suhu tersebut merupakan suhu yang optimum. Jika digunakan suhu <600C
maka akan terbentuk endapan MnO2 yang akan mengganggu dan menyebabkan
zat peniter dengan zat yang dititrasi menjadi tidak ekuivalen. Sedangkan jika
digunakan suhu >700C maka akan terbentuk gas CO2 yang menyebabkan
sampelnya terurai. Kemudian dititrasi dengan KMnO4 0,1N di mana KMnO4
berfungsi sebagai titran, autoindikator dan oksidator kuat menghasilkan larutan
berwarna merah lembayung yang menandakan telah tercapai nya titik akhir titrasi.
Selanjutnya di catat volume titrasi yaitu sebesar 0,4 mL dan dihitung kadar Fe2+
dalam cuplikan yaitu sebesar 0,000952 N.
Pada percobaan ketiga yaitu penentuan kadar Fe2+ dengan metode
bikromatometri bertujuan untuk mengetahui kadar Fe2+ yang terkandung dalam
sampel. Mula-mula diambil 10 mL sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
di mana sampel bening dan berfungsi untuk mencari kandungan Fe2+. Kemudian
ditambahkan 3 mL H2SO4(p) yang berfungsi sebagai katalisator karena H2SO4(p)
merupakan asam kuat yang stabil. Pada metode ini tidak dipanaskan karena sudah
digunakan larutan H2SO4(p) yang sifatnya eksoterm. Selanjutnya ditambahkan
dengan 3 tetes indikator ferroin yang berfungsi untuk mendeteksi adanya Fe2+ dan
menentukan titik akhir titrasi. Kemudian dititrasi dengan K2Cr2O7 0,1N yang
berfungsi sebagai titran dan larutan standar primer menghasilkan larutan berwarna
hijau yang menandakan telah tercapainya titik akhir titrasi. Kemudian dicatat
volume titrasi dan diperoleh volume titrasi sebesar 0,4 mL. Kemudian dihitung
kadar Fe2+ dan diperoleh kadar Fe2+ dalam sampel sebesar 0,004 N.
Adapun sifat-sifat pengoksidator yaitu :
 Mampu mengoksidasi unsur lain
 Semakin mudah menangkap elektron maka semakin kuat sifat oksidatornya
167

 Dalam satu golongan maka semakin ke bawah akan semakin kuat sifat
oksidatornya
 Dalam satu periode semakin ke kanan maka akan semakin kuat sifat
oksidatornya
 Mengalami reduksi
Adapun jenis-jenis indikator yaitu :
 Kertas lakmus. Senyawa dapat diketahui bersifat asam atau basa dengan
kertas lakmus dengan mengamati perubahan warna yang terjadi.
 Indikator alami. Beberapa tanaman dapat digunakan sebagai indikator alami
misalnya kubis ungu, bunga sepatu, dan kunyit.
 Larutan indikator. Indikator yang sering digunakan pada titrasi antara lain
indikator PP, metil merah, KMnO4 dan indikator ferroin.
Adapun macam-macam titrasi redoks yaitu :
 Permanganometri, merupakan titrasi yang dilakukan dengan menggunakan
larutan KMnO4. KMnO4 adalah oksidator kuat. Pada titrasi ini tidak
membutuhkan indikator karena KMnO4 dapat berperan sebagai
autoindikator. Titik akhir titrasi nya ditandai dengan perubahan warna
menjadi merah lembayung.
 Titrasi iodin (iodometri dan iodimetri). Iodometri (titrasi tak langsung)
digunakan untuk menetapkan senyawa kimia yang mempunyai potensial
oksidasi lebih besar dari sistem iodium iodida. Iodimetri (titrasi langsung)
yaitu titrasi redoks yang melibatkan iodin yang bereaksi secara langsung.
Iodin akan mereduksi senyawa yang mempunyai potensial reduksi lebih
kecil.
 Titrasi bromo (bromometri dan bromatometri). Bromatometri merupakan
salah satu metode penetapan kadar suatu zat dengan prinsip reaksi reduksi
oksidasi dengan menggunakan ion bromat.
 Titrasi serimetri. Larutan serium (IV) sulfat dalam asam sulfat encer
merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan lebih stabil daripada kalium
permanganat dengan satu syarat H2SO4 cukup mampu menghindari
hidrolisis dan pengendapan garam basanya.
168

 Titrasi bikromatometri merupakan salah satu jenis titrasi redoks dengan


menggunakan larutan K2Cr2O7 sebagai larutan standarnya dan
menggunakan indikator yang sesuai.
Adapun syarat larutan dapat menjadi indikator yaitu :
 Larutan cenderung memiliki bilangan oksidasi yang besar
 Larutan mampu mengoksidasi titrat
 Larutan memberikan perubahan warna yang khas bila mencapai titik akhir
titrasi
 Larutan mampu bereaksi dengan titran
Pada percobaan ini digunakan larutan standar KMnO4 dan K2Cr2O7 dimana
kekuatan oksidator KMnO4 lebih besar dibandingkan dengan kekuatan oksidator
dari K2Cr2O7. K2Cr2O7 juga merupakan oksidator kuat namun tidak sekuat larutan
KMnO4.
Menurut Dismenkes nomor 4971, jumlah kadar besi dalam air yang dapat
dikonsumsi yaitu sebesar 0,5 mg/L. Berdasarkan percobaan pada metode
permanganometri diperoleh kadar Fe2+ sebesar 0,009N dan pada metode
bikromatometri diperoleh kadar Fe2+ sebesar 0,004N sehingga sampel yang
digunakan tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi.
Adapun faktor kesalahan yang terjadi selama praktikum yaitu :
 Pemanasan yang dilakukan kurang sehingga terbentuk endapan MnO2
berwarna coklat
 Kurang tepat dalam mengukur volume larutan sehingga hasil yang didapat
menjadi kurang akurat.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Berdasarkan percobaan konsentrasi KMnO4 sesungguhnya pada standarisasi
KMnO4 dengan H2C2O4 adalah sebesar 0,0952 N.
 Berdasarkan percobaan kadar Fe2+ dengan metode permanganometri adalah
sebesar 0,000952 N.
 Berdasarkan percobaan kadar Fe2+ dengan metode bikromatometri adalah
sebesar 0,004 N.

5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya digunakan sampel lain seperti air
tambang batubara di Tenggarong sehingga diperoleh hasil yang bervariasi.

169
DAFTAR PUSTAKA

Day, R. A., dkk. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Khopkar, S.M., 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Khopkar, S. M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Nachtrjeb. 2003. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.
Oxtoby, D. W., dkk. 1986. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga
Pursitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar. Bandung: AlfaBeta.
Sukardjo. 1992. Kimia Koordinasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Underwood, A.L. 1998. Analisa Kimia Kualitatif. Jakarta. Erlangga
Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
LAMPIRAN

1. Pembakuaan larutan KMnO4 dengan larutan H2C2O4.

2. Penentuan kadar Fe2+ dengan metode permangnometri.

3. Penentuan kadar Fe2+ dengan metode bikromatometri.

Anda mungkin juga menyukai