Anda di halaman 1dari 8

Tata Urutan Perayaan Ekaristi

Disusun oleh:

Yolanda S/XISc/21

SMAK FRATERAN
Surabaya
Tata urutan perayaan Ekaristi dalam Gereja Katholik meliputi 4 bagian,
yaitu:

a. Ritus pembuka
- meliputi bagian-bagian yang mendahului liturgi sabda yaitu: perarakan
masuk,salam, pengantar, pernyataan tobat,tuhan kasihanilah kami-
Kemuliaan,doa pembuka. Semua bagian ini memiliki ciri khas sebagai
pembuka,pengantar,dan persiapan. Tujuan ritus ini adalah mempersatukan
umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka supaya dapat
mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian dan mengikuti ekaristi
dengan layak.
- Jika perayaan ekaristi dimulai dengan percikan umat dengan air suci,
maka upacara tobat ditiadakan; percikan ini boleh dilakukan pada semua
misa hari minggu. Demikian juga kalau perayaan ekaristi didahului
dengan pendasaran-pendasaran mazmur dari ibadat harian,maka upacara
pembukaan dipersingkat seturut petunjuk dari Pedoman Ibadat Harian.
- mempunyai suatu tujuan definitif, yaitu “mempersatukan umat yang
berhimpun dan mempersiapkan mereka, supaya dapat mendengarkan
Sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan
layak” (Pedoman Umum Misale Romawi, No. 46). Sejak masa awal
Gereja, umat beriman berkumpul sebagai suatu persekutuan pada hari
Tuhan (Didaché, no. 14). Sementara mereka berkumpul, seringkali
mazmur-mazmur didaraskan sebagai persiapan merayakan Misa.
- Guna memulai Misa dengan suatu tindakan yang definitif, sejak masa-
masa awal, suatu Perarakan Masuk berkembang di mana imam bergerak
masuk melewati komunitas untuk mendaraskan doa pertama. Pada
akhirnya, imam masuk dengan diiringi paduan suara. Tradisi-tradisi lain
pun dimasukkan juga, seperti pendupaan dan asperges. Ritual Pendupaan
berasal dari Timur. Asap yang terberkati dimaksudkan untuk
menggambarkan dan membangkitkan perasaan pemurnian dan
pengudusan. Mazmur 51, Miserere, dimadahkan. Patut diingat bahwa
pada masa Perjanjian Lama, dupa dipergunakan untuk mengusir setan
sekaligus untuk menguduskan kurban persembahan bagi Tuhan.
- Asperges, atau pemercikan dengan air suci, serupa dengan penggunaan
dupa. Juga, asperges membangkitkan dalam benak umat beriman ingatan
akan pembaptisan mereka dan dengan demikian diingatkan akan kelahiran
mereka kembali dalam Kristus. Lagi, Miserere biasanya didaraskan. Baik
melalui pendupaan ataupun asperges, umat beriman diajak untuk
menyesali dosa-dosa mereka, imam berdoa mohon pengampunan dosa
bagi dirinya sendiri dan bagi seluruh komunitas.
- Tata cara sapaan resmi di awal Misa dicatat dalam Kota Tuhan yang
ditulis oleh St. Agustinus. Sejak masa awal Gereja, Misa dimulai dengan
Tanda Salib. Tertulianus (wafat ± thn 250) menggambarkan kebiasaan
membuat tanda salib: “Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali
kami datang maupun pergi, saat mengenakan sepatu, saat mandi, saat
makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, saat duduk, dalam segala
apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda
Salib” (De corona, 30).
- Ritus Tobat ditulis oleh Didaché sebagai berikut: “Pada Hari Tuhan,
berkumpullah bersama, memecah-mecahkan roti dan mengucap syukur,
setelah mengakukan dosa-dosamu agar kurban persembahanmu kudus”
(no. 14). Ritus ini meliputi pemeriksaan batin dan pengakuan dosa secara
umum sebelum masuk dalam Perayaan Ekaristi. Namun demikian, ritus
tobat ini jangan disamaartikan dengan Sakramen Tobat, yang tetap amat
diperlukan bagi pengampunan dosa berat.
- Dalam susunan Misa yang sekarang, setelah salam, imam memimpin
salah satu: Asperges atau Ritus Tobat - Confiteor dilanjutkan dengan
Kyrie, suatu ritus tobat singkat, atau Kyrie dengan seruan-seruan.
Confiteor (“Saya mengaku…) berasal dari sekitar abad kedelapan, tetapi
confiteor yang kita serukan sekarang pada dasarnya berasal dari Misa
yang diajarkan oleh Paus St. Pius V (thn 1570). Pendarasan Kyrie
menyebar ke segenap Gereja sekitar abad keenam dan selalu didahului
dengan doa imam. Madah “Tuhan kasihanilah kami, Kristus kasihanilah
kami” berasal dari awal abad keempat dalam liturgi Antiokhia -
Yerusalem. Kyrie dipergunakan untuk mengakhiri berbagai seruan. Di
Timur, didaraskan sebanyak 42 seruan. Hingga abad kedelapan, litani
akan terus didaraskan hingga paus (atau imam) memberi tanda untuk
berhenti. Pada abad kesembilan, ditetapkan sembilan seruan, dan
sekarang, tiga seruan. Sekarang, dalam Perayaan Misa, Kyrie dimadahkan
setelah Confiteor, atau tiga seruan didaraskan dengan diakhiri “Tuhan
kasihanilah kami” atau “Kristus kasihanilah kami.”
- Gloria adalah Madah Kemuliaan. Ayat pembuka diambil dari warta para
malaikat kepada para gembala saat kelahiran Kristus (Luk 2:14). Versi
Yunani muncul sekitar tahun 380 dalam Konstitusi Apostolik dan Codex
Alexandrinus Perjanjian Baru (abad kelima), dalam keduanya didapati
Gloria hampir tepat sama perkataannya dengan yang dipergunakan
sekarang. Sekitar abad keenam, Gloria dilambungkan pada hari Minggu
dan hari-hari pesta. Gloria dihilangkan selama Masa Adven dan Masa
Prapaskah guna menekankan suasana persiapan dan tobat. Gloria adalah
pemakluman kemuliaan Allah. Bersekutu dalam Misa Kudus, umat
beriman memadahkan kemuliaan bagi Tuhan. Madah Kemuliaan terdiri
dari dua bagian utama: Dalam bagian pertama, kita memuji dan mengucap
syukur kepada Bapa Surgawi yang telah mengungkapkan, lewat
penciptaan dan sepanjang sejarah keselamatan, kemuliaan-Nya kepada
umat-Nya. Dalam bagian kedua, madah berfokus pada Yesus, bukan
hanya sebagai Anak Domba kurban, melainkan juga sebagai Kristus yang
menang jaya. Madah Kemuliaan berakhir dengan aklamasi Tritunggal
Mahakudus.
- Doa Pembuka atau Collecta (bahasa Latin, suatu doa yang merangkum
doa-doa jemaat) mengakhiri Ritus Pembuka. Collecta ditujukan kepada
Tuhan, Allah Bapa, dan apa yang sedang kita rayakan pada hari itu
(misalnya pesta tertentu) atau menekankan semangat masa liturgi.
Collecta dilambungkan kepada Bapa “dengan pengantaraan Yesus
Kristus,” satu-satunya pengantara (“…Tidak ada seorangpun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” - Yoh 14:6), dalam persatuan
dengan Roh Kudus, Parakletos dan Penghibur, yang adalah persekutuan
antara Bapa dan Putra, dan juga juga daya pemersatu antara Gereja dan
Tuhan. Dalam doa pembuka, kita berdoa mohon pertolongan ilahi dari
Tuhan sementara kita memulai Perayaan Misa.

b. Liturgi Sabda
- Setelah Ritus Pembuka, Misa masuk ke dalam LITURGI SABDA. Pada
masa Gereja Perdana, pemilihan dan jumlah bacaan dari Kitab Suci
bervariasi untuk setiap liturgi. Di Barat, berkembang pola di mana satu
bacaan dari salah satu epistula akan mendahului bacaan Injil, karena
Paskah merupakan peristiwa Perjanjian Baru. Kitab para nabi dari
Perjanjian Lama juga diberi prioritas. Aklamasi “Syukur kepada Allah”
(Deo gratias) dipergunakan sejak abad keempat. Lebih lanjut, Gereja
menetapkan bahwa hanya kitab-kitab para Nabi atau para Rasul (yaitu
kitab-kitab dari Kitab Suci kita sekarang) dibacakan kepada umat beriman
dalam Perayaan Misa (bdk. The Muratorian Fragment, c. 155).
- Graduale atau Mazmur Tanggapan disisipkan di antara bacaan-bacaan. Di
kemudian hari, seorang pemazmur maju dengan buku madah mazmur
(Cantatorium). Umat akan menyanyikan bagian ulangan dari madah
mazmur. Pemazmur bernyanyi sambil berdiri pada anak tangga ambo dari
mana bacaan-bacaan diwartakan. Anak tangga mimbar ini disebut
“gradus” (Latin).
- Alleluia atau Bait Pengantar Injil dinyanyikan sebelum Injil dibacakan.
Tradisi ini juga berasal dari Misa awali. Alleluia merupakan warta Paskah.
- Injil senantiasa mendapat tempat terhormat. Selalu seorang dari kaum
klerus yang membacakan Injil. Dalam liturgi Romawi, imam atau diakon
akan mengambil Kitab Injil (Evangeliarium) dari altar dan membawanya
ke ambo dalam suatu perarakan kecil dengan para akolit membawa lilin
dan pedupaan. St. Hieronimus menceritakan bahwa perarakan serupa
dilakukan ketika seorang yang terhormat memasuki ruangan dalam
pengadilan kuno. Sekitar abad keempat, aklamasi “Dimuliakanlah Tuhan”
(Gloria tibi, Domini) diserukan di awal pembacaan Injil, dan aklamasi
“Terpujilah Kristus” (Laus tibi, Christe), diserukan di akhir pembacaan
Injil, guna mengekspresikan keyakinan akan kehadiran Kristus dalam Injil
yang diwartakan. Untuk alasan yang sama, umat beriman berdiri saat Injil
dibacakan, sementara mereka duduk saat bacaan-bacaan lain dibacakan.
Pada abad kesembilan, di awal pembacaan Injil, umat beriman membuat
tanda salib di dahi, bibir dan hati, menandakan akal budi yang terbuka
untuk menerima Sabda Kristus, yang diakui dengan bibir, dan dicamkan
dalam hati.
- Setelah Bacaan Injil, imam biasanya menyampaikan homili yang
berfungsi sebagai pengajaran. Tujuan homili adalah untuk membantu
umat beriman memahami bacaan Kitab Suci dan menjadikan Sabda Allah
relevan dengan kehidupan sekarang. Lagipula, homili harus mampu
menghubungkan Sabda Tuhan dengan Ekaristi Kudus. Konstitusi tentang
Liturgi Suci mengajarkan, “Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat
dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan misteri-
misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab
Suci” (no. 52).
- Syahadat atau Pernyataan Iman merupakan tanggapan atas pewartaan
Sabda Tuhan dan homili. Syahadat yang didaraskan dalam Perayaan Misa
sekarang ditetapkan dalam Konsili Nicea pada tahun 325 dengan bagian
terakhir ditambahkan pada Konsili Konstantinopel tahun 381; dikenal
sebagai Syahadat Nicea-Konstantinopel. Sebenarnya, pada masa Gereja
Perdana, pembaptisan seringkali dilaksanakan dalam konteks Misa,
sesudah Injil; sekarang, pernyataan iman didaraskan dengan maksud [1]
agar umat beriman dapat mengiyakan atau mengamini dan menanggapi
Sabda Allah yang baru saja didengarkan dalam bacaan-bacaan dan homili,
dan [2] agar umat beriman dapat mengingat kembali pokok-pokok iman
kepercayaannya sebelum mulai merayakan Liturgi Ekaristi.* Meskipun
Syahadat secara resmi dimasukkan ke dalam Misa sekitar tahun 500-an,
pada umumnya Syahadat telah didaraskan sebelum masa itu. Syahadat
versi singkat, yang dikenal sebagai “Syahadat Para Rasul”, dapat
didaraskan dalam Misa untuk menggantikan Syahadat Nicea-
Konstantinopel yang lebih panjang.
- Doa Umat, Doa Permohonan atau Doa Umat Beriman juga senantiasa
didaraskan sejak masa awal Gereja. St. Paulus dalam Surat Pertamanya
kepada St. Timotius mengatakan, “aku menasihatkan: Naikkanlah
permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk
raja-raja dan untuk semua pembesar” (2Tim:1-2). Doa Umat mengikuti
struktur tiga bagian: ajakan untuk berdoa, ujud-ujud dan doa penutup oleh
imam. St. Yustinus mengatakan bahwa permohonan-permohonan haruslah
mengingat kepentingan Gereja; ujud-ujud bapa uskup dan klerus;
perdamaian dunia; panen yang baik; negara dan bangsa; mereka yang
sakit, miskin dan berkekurangan; mereka yang telah meninggal dunia;
pengampunan dosa; dan mohon kematian bahagia. Di kemudian hari, doa
umat ditiadakan dari kerangka Perayaan Misa; tetapi Konsili Vatikan II
menginstruksikan agar Doa Umat dimasukkan kembali ke dalam Misa
(Konstitusi tentang Liturgi Suci no. 53). Sekarang, pada umumnya urutan
ujud-ujud dalam Doa Umat adalah sebagai berikut: [a] untuk kepentingan
Gereja; [b] untuk para penguasa negara dan kesejahteraan seluruh dunia;
[c] untuk orang-orang yang sedang menderita kesengsaraan; [d] untuk
umat setempat.

c. Liturgi Ekaristi
- Liturgi Ekaristi diawali dengan Persiapan Persembahan: roti, anggur dan
air, dihantar kepada imam. St. Yustinus mencatat, “Ia mengambilnya,
melambungkan pujian dan syukur kepada Bapa semesta alam atas nama
Putera dan Roh Kudus dan menyampaikan ucapan terima kasih, karena
kami dianggap layak menerima anugerah-anugerah ini dari-Nya”
(Apologiæ, No. 65).
- Umat beriman juga membawa persembahan-persembahan lain - uang,
makanan, obat-obatan, pakaian - yang akan dipersembahkan kepada
Tuhan dan dipergunakan oleh Gereja. Setelah Misa, persembahan-
persembahan lain ini akan dibagi-bagikan kepada mereka yang
membutuhkannya. Lagi, St. Yustinus mencatat, “Siapa yang mempunyai
milik dan kehendak baik, memberi sesuai dengan kemampuannya, apa
yang ia kehendaki, dan apa yang dikumpulkan, diserahkan kepada
pemimpin. Dengan itu ia membantu yatim piatu dan janda, atau mereka
yang karena sakit atau karena salah satu alasan, membutuhkannya, para
narapidana dan orang asing yang ada dalam jemaat; singkatnya ia adalah
pemelihara untuk semua orang yang berada dalam kesusahan” (Apologiæ,
No. 67). Pada abad ke-11, persembahan semacam ini pada umumnya
disampaikan dalam bentuk uang kolekte.
- Pada tahun 300-an, berkembang suatu perarakan persembahan yang
resmi. Umat beriman membawa ke altar roti dan anggur yang akan
dipersembahkan, terkadang mereka didampingi oleh putera altar yang
membawa pedupaan, lilin dan salib perarakan. Perarakan resmi ini
menggambarkan Kristus yang menuju kurban persembahan-Nya Sendiri.
- Rumusan Doa Persiapan Persembahan untuk roti dan anggur didapati
dalam Didaché, tetapi sesungguhnya berasal dari berkat bangsa Yahudi.
Rumusan yang baru, “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, …” mengandung tiga
gagasan: Roti dan anggur adalah hasil dari ciptaan yang menjadi santapan
kita, dan karenanya melambangkan bumi kita dan hidup kita sendiri. Roti
dan anggur juga melambangkan hasil usaha dan karya manusia, dan
karenanya merupakan persembahan diri kita. Akhirnya, roti dan anggur
adalah bahan-bahan samaran karena nantinya mereka akan diubah dalam
misteri Ekaristi.
- Doa-doa saat pencampuran air dan anggur didapati dalam Buku Misa
(sacramentarium) Romawi abad ke-11, “Dengan misteri air dan anggur
ini, semoga kita beroleh bagian dalam keilahian Kristus yang
merendahkan Diri dengan ambil bagian dalam kemanusiaan kita.” St.
Siprianus (± 250) menekankan bahwa tindakan ini melambangkan Yesus
ilahi yang menjadi manusia dan mengenakan juga kodrat manusiawi.
- Setelah Doa Persiapan Persembahan, imam melakukan “lavabo” atau
mencuci tangan. Imam mengatakan, “Ya Tuhan, bersihkanlah aku dari
kesalahanku dan cucilah aku dari dosaku.” Berasal dari abad keempat,
“lavabo” kadang-kadang dilakukan pada awal Liturgi Ekaristi. Pencucian
tangan ini melambangkan kemurnian batin dengan mana imam hendak
masuk ke dalam misteri kudus.
- Di masa-masa awal Gereja, imam mendaraskan semua doa-doa persiapan
persembahan dalam hati, sebab hanya dia yang akan masuk ke dalam
Yang Mahakudus dari Yang Kudus di hadapan Tuhan. Doa Persiapan
Persembahan kemudian dilanjutkan dengan “Orate, fratres et sorores...”
(“Berdoalah Saudara-saudari…”) mengundang kongregasi untuk sekarang
berpartisipasi. Praktek ini muncul sekitar abad kedelapan.
- Anafora atau Doa Syukur Agung adalah jantung Liturgi Ekaristi. Doa
Syukur Agung terdiri dari beberapa bagian:
- Prefasi juga berasal dari masa-masa awal Gereja. Dialog Pembukaan /
Dialog Ajakan (misalnya, Imam: “Tuhan sertamu,” Umat: “Dan sertamu
juga.” Imam: “Arahkanlah hatimu kepada Tuhan,” dst) hampir tepat sama
kata-katanya dengan yang didapati dalam Traditio Apostolica St.
Hipolitus. Sekarang, prefasi-prefasi yang berbeda dipergunakan,
tergantung pada perayaan atau masa liturgi. Prefasi merupakan “perkataan
sebelum” bagian utama Doa Syukur Agung, dalam memuliakan dan
mengucap syukur kepada Allah - “Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus
untuk segala karya-Nya, untuk penciptaan, penebusan dan pengudusan”
(Katekismus Gereja Katolik, no. 1352). Di sini, Gereja di dunia
dipersatukan dengan Gereja di Surga, dengan segenap malaikat dan orang
kudus, untuk bersatu dalam satu madah pujian.
- “Sanctus” atau Aklamasi Kudus mengakhiri Prefasi. Sanctus juga muncul
dalam bentuk-bentuk Misa awali, kemungkinan sejak jaman para rasul.
Dalam beberapa dokumen dari abad keempat dan kelima terdapat catatan
tentang Sanctus, tetapi yang mengejutkan, Sanctus hilang dari Doa
Syukur Agung St. Hipolitus. Madah ini diilhami oleh ayat mengenai
penglihatan Yesaya (Yes 6:2-3), yang dimasukkan dalam ibadat di
Sinagoga pada abad kedua sesudah Kristus.
- Benedictus Sanctus (“Terberkatilah yang datang…”) adalah aklamasi
dengan mana orang banyak menyambut Yesus pada hari Minggu Palma
(Mat 21:9). Juga merefleksikan pujian Wahyu “bagi Dia dan bagi Anak
Domba” (Why 5:13). Benedictus kemungkinan ditambahkan ke dalam
Sanctus sekitar abad kelima. Menariknya, kongregasi selalu menyanyikan
Sanctus.
- Canon atau Doa Syukur (bagian terpenting dari Doa Syukur Agung)
terdiri dari beberapa elemen penting: Pertama, permohonan kepada Tuhan
agar menerima serta memberkati persembahan, Gereja mohon pada Bapa
agar mengutus Roh Kudus. Doa mohon turunnya Roh Kudus ini disebut
“epiklesis” (Imam, yang biasanya memanjatkan doa dengan kedua tangan
terentang dan terbuka, menangkupkan kedua tangannya dan
menempatkannya di atas roti dan anggur yang dipersembahkan dan
memberkatinya.) Imam berdoa agar melalui kuasa Roh Kudus roti dan
anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan kita, Yesus Kristus.
- Kedua, Doa Konsekrasi atau Kisah Institusi, adalah kata-kata Kristus
yang dimaklumkan-Nya pada Perjamuan Terakhir, seperti dicatat dalam
Injil Matius, Markus maupun Lukas. Doa Konsekrasi ini penuh kuasa.
Dengan kuasa Roh Kudus dan melalui Kristus yang bertindak melalui
imam-Nya yang ditahbiskan sah, doa konsekrasi mengubah substansi roti
dan anggur dan secara sakramental menghadirkan Tubuh dan Darah
Kristus. Pada awal doa konsekrasi, transsubstansiasi terjadi. Lonceng altar
atau gong biasanya dibunyikan saat konsekrasi guna menegaskan
terjadinya peristiwa mukjizat ini. Sebagai tanggapan atas mukjizat yang
baru saja terjadi di altar, imam menyerukan agar umat beriman
mewartakan misteri iman.
- Ketiga, Aklamasi Anamnesis yang adalah kenangan. Keseluruhan Misa
dalam arti tertentu merupakan suatu anamnesis, suatu kenangan akan
sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Umat beriman juga mengingat
bahwa Kristus akan datang kembali dalam kemuliaan. Secara istimewa
imam mengingatkan kembali mandat Kristus untuk mengenang-Nya, apa
yang dilakukan-Nya, dan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan.
- Keempat, Doa Kurban atau Persembahan, yaitu ketika Gereja
mempersembahkan kepada Bapa persembahan Kristus yang
mendamaikan kita dengan-Nya. Imam berdoa kepada Tuhan agar
menerima kurban ke altar surgawi-Nya, agar mereka yang menerima
Tubuh dan Darah Kristus kiranya “dipenuhi dengan rahmat dan berkat”
(Doa Syukur Agung I).
- Akhirnya, sejak awal abad keempat, Doa Syukur Agung menyertakan Doa
Permohonan. Kita mohon bantuan doa para kudus, teristimewa Santa
Perawan Maria, St. Yosef, para rasul dan martir. Sebagai tanda persatuan
seluruh Gereja, Paus dan Uskup setempat didoakan. Seluruh anggota
Gereja, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal, juga dibawa
dalam doa.
- Di dalam Missale Romanum, secara resmi hanya ada empat Doa Syukur
Agung: Doa Syukur Agung I (Canon Roma) dalam bentuknya yang
seperti sekarang berasal dari Misa Paus Pius V (1570). Dalam revisi Misa
pada tahun 1969, tiga Doa Syukur Agung baru disetujui dengan
keistimewaan masing-masing sebagai berikut:
- Doa Syukur Agung II pada dasarnya adalah yang ditulis oleh St. Hipolitus
dari Roma sekitar tahun 215. Dengan Prefasinya tersendiri yang khusus,
DSA ini memiliki kejelasan yang sederhana dalam doa syukurnya dan
ringkas. DSA II tidak diperuntukkan bagi perayaan Misa hari Minggu,
melainkan untuk Misa harian.
- Doa Syukur Agung III merefleksikan tradisi Roma. Mengikuti pola
tradisional Canon Roma, DSA ini mempergunakan Prefasi yang bervariasi
dengan canon yang tetap. Canon panjangnya sedang dan berfokus pada
karya penebusan Tuhan dan menghimpun umat ke dalam Gereja.
- Doa Syukur Agung IV mengikuti anafora Siria Barat. Dengan Prefasinya
tersendiri, DSA menggambarkan sejarah keselamatan dalam pengantar
sesudah Sanctus, dengan menggunakan banyak sekali ungkapan dan
gambaran Biblis. (Patut dicatat bahwa ada juga Doa Syukur Agung
dengan tema khusus, misalnya untuk Tobat [DSA V & VI] dan untuk Misa
Anak-anak [DSA VIII, IX, X]). Doa Syukur Agung berakhir dengan
Doksologi, “Dengan pengantaraan Kristus…,” yang didaraskan atau
dinyanyikan saat Tubuh dan Darah Kudus diangkat tinggi-tinggi. Praktek
ini telah dilakukan sejak abad ketiga.
- Kemungkinan, Paus Gregorius Agung (wafat 604) menambahkan Doa
Bapa Kami agar didaraskan setelah Doa Syukur Agung. Doa Bapa Kami,
seperti ditemukan dalam Injil St. Matius (6:9-13) dan St. Lukas (11:2-4),
adalah satu-satunya doa yang diajarkan Kristus kepada kita.
Kesempurnaan Doa Bapa Kami dipandang sebagai persiapan yang baik
untuk menerima Komuni Kudus. Embolisme, “Sebab Engkaulah raja -
yang mulia dan berkuasa …, “ ditemukan dalam Didaché, tetapi bukan
bagian dari teks Injil yang asli (baru disisipkan ke dalam Injil Matius
sekitar abad pertama atau kedua Masehi).
- Ritus Damai. Tertulianus (± 220) menceritakan Salam atau Cium Damai
dalam Perayaan Misa. Pada awalnya, Salam Damai dilakukan setelah
Liturgi Sabda guna menggambarkan persaudaraan dan persekutuan dalam
komunitas sebelum mempersembahkan kurban (bdk. Mat 5:23-24).
Tetapi, Paus Inosensius I pada tahun 416 menetapkan urutannya seperti
yang sekarang. Salam Damai pada akhirnya tidak diperkenankan bagi
imam selebran dan para pelayan altar, tetapi diperkenankan kembali
dalam Misa oleh Paus Paulus VI.
- Gambaran Anak Domba Allah melambangkan sengsara sekaligus
kemenangan Kristus, sebab Dialah anak domba paskah yang baru, seperti
dimaklumkan oleh St. Yohanes Pembaptis dalam Yoh 1:29 dan dalam
Kitab Wahyu. Pada abad ketujuh, madah Agnus Dei, dinyanyikan saat
pemecahan roti yang telah dikonsekrir. Pada bagian ini, imam, berdoa
dalam hati, memecahkan sepotong kecil Hosti Kudus (fermentum) dan
memasukkannya ke dalam piala anggur. Tindakan pencampuran
(commixtio) ini mengandung makna persatuan Tubuh dan Darah Kristus,
dan persatuan kurban meskipun terjadi dalam dua konsekrasi yang
terpisah.
- Dalam Komuni Kudus, umat beriman menyantap Ekaristi Kudus,
mempersatukan diri dalam persekutuan dengan Tuhan, satu dengan yang
lainnya dalam kongregasi, dan dengan Gereja universal. St. Yustinus
menegaskan, “Karena roti dan anggur ini - sesuai dengan satu ungkapan
lama - di`ekaristi'kan, kita menamakan makanan ini ekaristi. Seorang pun
tidak boleh mengambil bagian dalamnya, kecuali orang yang mengakui
ajaran kita sebagai yang benar, telah menerima Pembaptisan untuk
pengampunan dosa dan kelahiran kembali dan hidup sesuai dengan
petunjuk Kristus” (Apoligiæ No. 66)..

d. Ritus penutup
- Setelah membagi Komuni Kudus dan membersihkan piala, imam
mendaraskan Doa Sesudah Komuni. Misa diakhiri dengan RITUS
PENUTUP - berkat dan pengutusan, penghormatan altar dan perarakan
keluar.
- Acara penutup terdiri dari: salam dan berkat imam yang kadang-kadang
diperpanjang ” Doa Berkat atas Umat” atau dengan berkat meriah lainnya,
dan pengutusan. Pada bagian pengutusan ini, imam mengutus tiap anggota
jemaat untuk melakukan perbuatan baik sambil memuji dan memuliakan
Tuhan.
- Nyanyian penutup merupakan kegiatan manasuka. Idealnya:
salam,berkat,pengutusan,dan nyanyian penutup atau musik instrumental
merupakan satu tindakan bersambung yang sebaiknya memuncak pada
tegur sapa dan percakapan ramah antara imam dengan umat di pintu
gereja.

Anda mungkin juga menyukai