Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kemajuan kehidupan di masyarakat telah banyak mengalami
perubahan, salah satunya pada bidang transportasi. Banyak
perusahaan transportasi yang menawarkan produk-produk
kendaraan bermotor kepada masyarakat. Di Indonesia, dimana
penduduk golongan menengah kebawah berjumlah lebih banyak
dibanding penduduk golongan ekonomi menengah
keatas, lebih memilih atau menyukai kendaraan pribadi jenis
sepeda motor. Hal ini membuat jumlah kendaraan bermotor yang
melintas di jalan kian banyak. Banyaknya jumlah kendaraan
bermotor ini menurut data kepolisian juga berdampak pada
banyaknya kasus kecelakaan yang terjadi. Kecelakaan merupakan
pembunuh nomor 3 di Indonesia (Dephub, 2010). Selain
kematian, kecelakaan dapat menimbulkan dampak lain yaitu
fraktur yang dapat menjadi kecacatan apabila tidak ditangani
secara tepat dan cepat.
Ropyanto (2011) menyebutkan bahwa kecelakaan lalu
lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa di seluruh dunia, atau
3000 kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta
orang setiap tahunnya (Depkes, 2007 dan WHO, 2011). Kejadian
fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahunnya dengna
jumlah penduduk 238 juta jiwa, merupakan terbesar di Asia
Tenggara. Fraktur ekstremitas bawah memiliki frekuensi sekitar
46,2% dari insiden kecelakaan. Hasil tim survei Depkes RI
(2007) didapatkan 25% penderita fraktur mengalami kematian,
45% mengalami cacat fisik, dan 15% mengalami stres psikologis
bahkan depresi, serta 10% mengalami kesemmbuhan dengan
baik. Data yang penulis dapatkan watu praktik lab klinik di unit
gawat darurat Rumah Sakit Kristen Mojowarno Jombang pada
tanggal 9 Maret sampai 22 Maret 2015 menunjukkan bahwa dari
512 klien yang datang ke UGD, sebanyak 8 klien datang dengan
kasus fraktur, dimana kasus CF (close fracture) menempati
urutan pertama, yaitu sebanyak 5 kasus (CF Klavikula 3 orang,
CF Radius 1/3 Distal Sinistra 1 orang, dan CF manus (D) 1
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsi (Smeltzer,
2001). Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak.
Peran perawat dalam melakukan tindakan keperawatan pada
kasus fraktur adalah melalui tindakan keperawatan yang telah
direncanakan secara cepat dan tepat mengingat kasus fraktur dapat
menjadi berat dan berujung pada perdarahan apabila tidak segera
ditangani. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain baik dalam
tindakan pemberian obat-obatan untuk mengatasi masalah sekunder
yang muncul akibat fraktur, dan juga perencanaan untuk proses
rehabilitasi dapat dilakukan, agar perawatan yang diberikan dapat
berjalan dengan komprehensif dan maksimal demi kesembuhan klien
yang dirawat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan
masalah adalah sebagai berikut.
Bagaimana karakteristik klien dengan diagnosa Close
Fracture Manus (D) di Rumah Sakit Kristen
Mojowarno Jombang?
Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan
Close Fracture Manus (D) ?
Apa saja intervensi yang dapat dilakukan pada klien dengan
Close Fracture Manus (D) ?
Bagaimana pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien dengan
Close Fracture Manus (D) ?
Bagaimana evaluasi yang dapat dilakukan setelah
melakukan tindakan keperawatan ?

Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan adalah
sebagai berikut.
Mampu mengetahui karakteristik klien dengan diagnosa Close
Fracture Manus (D).
Mampu mendiagnosa klien dengan Close Fracture Manus (D).
Mampu mengintervensi klien dengan diagnosa Close Fracture
Manus (D).
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan
diagnosa Close Fracture Manus (D).
Selaku mahasiswa mampu mengetahui cara mendiagnosa dan
intervensi apa saja yang dapat dilakukan untuk menangani
klien dengan diagnosa Close Fracture Manus (D).

BAB 2
TINJAUAN TEORI

Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan
otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-
organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya
fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrim (Brunner & Sudarth, 2002). Fraktur atau
patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Klasifikasi
Berdasarkan tempat
Fraktur Humerus, Tibia, Klavikula, Ulna, Radius, dst.
Berdasarkan komplit dah ketidak komplitan fraktur
Fraktur komplit, yaitu garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
garis penampang tulang.
Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
Fraktur komunitif, garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
Fraktur segmental, garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
Fraktur multipel, garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
Berdasarkan posisi fragmen
Fraktur Undisplaced (tidak bergeser), garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen tulang.
Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan duni aluar, disebut juga fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0, fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak,
Tingkat 1, fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan,
Tingkat 2, fraktur yang lebih berat dengan kontusio
jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan, dan
Tingkat 3, cedera berat dengna kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen.
Fraktur terbuka (open/compound fracture), bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi
beberapa grade yaitu:
Grade I, luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm,
Grade II, luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan luak
yang ekstensi, dan
Grade III, sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
Berdasarkan posisi Fraktur
fraktur 1/3 proksimal
fraktur 1/3 medial
fraktur 1/3 distal
Fraktur Kelelahan
Fraktur yang terjadi akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Etiologi
Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat diman bagian tersebut mendapat
ruda paksa (misalnya benturan dan pukulan yang mengkaibatkan patah
tulang).
Trauma tidak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat
terjadi fraktur pada pergelangan tangan.
Trauma ringan
Terjadi bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang
mendasari yang biasanya disebut dengan fraktur patologis.
Kekerasan akibat tarikan otot
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, dan penarikan.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekatan dan gaya begas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematom di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi fraktur dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik;
tekanan dari luar yanga bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur, dan faktor
intrinsik; kapasitas absorbsi, tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan
tulang.
Manifestasi Klinis
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontrasksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Framgmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 – 5 cm.
Saat ekstremitas diperiksa secara palpasi, teraba adanya krepitasi yang terjadi
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
Pembengkakkan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikut fraktur. Tanda ini dapat terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Pemeriksaan Penunjang
X-ray, untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
Bone scans, Tomogram atau MRI scans.
Arteriogram, dlakukan bila ada kerusakan vaskuler.
CCT, apabila diduga terjadi kerusakan otot.
Pemeriksaan darah lengkap.

Komplikasi
Komplikasi awal, seperti kerusakan arteri, sindrom kompartemen, emboli lemak,
infeksi, avaskuler nekrosis, shock, dan osteomyelitis.
Komplikasi dalam waktu lama, seperti delayed union, non-union, dan mal-union
pada proses penyatuan tulang.

Penatalaksanaan Medis
Terdapat empat tujuan utama dalam penatalaksanaan medis pada kasus
fraktur, yaitu:
Menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun
karena adanya luka di sekitar jaringan tulang yang patah. Untuk
mengaurangi nyeri tersebut, dapat diberika obat penghilang rasa nyeri dan
dengan teknik imobilisasi, yang dapat dicapai dengan cara pemsangan gips
atau bidai.
Menghasilkan dan Mempertahankan Posisi yang Ideal dari Fraktur
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih baik seperti pemasangan
traksi kontinyu, fiksasi internal, atau fiksasi eksternal tergantung dari dari
jenis frakturnya sendiri.
Penyatuan Tulang Kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu
dan akan menyatu dengan sempurna daam waktu 6 bulan. Namun
terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga
dibutuhkan graft tulang.
Mengembalikan Fungsi Seperti Semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan
kakunya sendiri. Maka dari itu, diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin dengan menggunakan alat bantu mobilisasi seperti walker, cruck,
dan lainnya.

Asuhan Keperawatan secara Teori


Pengkajian Keluhan
Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung lamanya serangan.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang
Dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit sehingga bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Riwayat penyakit dahulu
Dilakukan untuk menentukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit tertentu seperti Paget’s atau Ca tulang yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk disambung. Selain itu
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kroni dan menghambat proses
penyembuhan tulang.
Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

Pemeriksaan Fisik (Review of Systems)


B1 – Breath (Pernafasan)
MEmperhatikan pola nafas klien. Pola nafas yang cepat dan ireguler
mengindikasikan klien merasakan nyeri pada angota bagian tubuhnya.
B2 – Blood (Kardiovaskuler)
LaporanAsuhanKeperawatanGawatDarurat|9
Memperhatikan irama dan frekuensi denyut jantung, reguler/ireguler.
Perabaan denyut nadi perifer untuk mengindikasikan kemungkinan
adanya perdarahan didalam dekat jaringan yang mengalami fraktur,
sehingga nadi teraba cepat namun lemah.
B3 – Brain (Perkemihan)
Tingkat kesadaran klien dapat dikaji lewat pertanyaan-pertanyaan
seperti nama dan alamat klien, dan menentukan nilai GCS klien.
B4 – Bladder (Perkemihan)
Memeriksan jumlah, warna, dan karaktersitik urine. Ada atau tidaknya
distensi kandung kemih.
B5 – Bowel (Pencernaan)
Penilaian apda rongga mulut, ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah menunjukkan adanya dehidrasi. Ada atau
tidaknya bising usus. Ada atau tidaknya distensi abdomen.
B6 – Bone (Muskuloskeletal)
Perhatikan warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. Kebiruan
menunjukkan sianosis, kemerahan menunjukkan adanya infeksi atau
perdarahan. Warna kulit pucat menandakan klien memiliki kadar
Hemoglobin (Hb) yang rendah. Mengkaji rentang gerak dan kekuatan
ekstremitas klien, dan juga melihat integritas atau keutuhan kulit klien.

Diagnosa Keperawatan
Resiko trauma b/d kehilangan integritas tulang (fraktur).
Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema, trauma pada
jaringan lunak, stres, dan cemas.
Resiko terjadi disfungsi neuromuskular periferal b/d trauma jaringan,
edema, adanya trombus, hipovolemia dan terhambatnya aliran darah.
Resiko terjadi gangguan pertukaran gas b/d gangguan peredaran darah/
emboli lemak dan perubahan membran alveolar.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskular, nyeri, restrictive
therapy, dan imobilisasi.
L a p o r a n A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t | 10
Resiko terjadi gangguan integritas kulit/ jaringan yang berhubungan
dengan adanya fraktur, pemasangan gips/ traksi dan gangguan
sirkulasi.
Resiko terjadi infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan primer (rusak kulit/
jaringan, prosedur invasif, traksi tulang).

Perencanaan Keperawatan
Resiko terjadi trauma b/d kehilangan integritas tulang (fraktur)
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan stabilisasi dan alignment fraktur,
Mendemonstrasikan mekanika tubuh untuk mempertahankan
stabilitas posisi tubuh, dan
Menunjukkan pertumbuhan valus yang baru pada bagan fraktur.
Rencana Tindakan:
Anjurkan bed-rest dengan memberikan penyangga saat mencoba
menggerakkan bagian yang fraktur. R/ Meningkatkan kemampuan,
mereduksi kemungkinan pengobatan.
Letakkan klien pada tempat tidur ortopedis. R/ Kelembutan dan
kelenturan alas dapat mempengaruhi bentuk gips yang basah.
Beri penyangga pada fraktur dengan bantal, pertahankan posisi netral
dengan menahan bagian yang fraktur dengan bantalan pasir, bidai,
trochanter-roll, dan papan kaki. R/ Mencegah penakanan sehingga
menghindari deformitas pada gips.
Evaluasi pergerakan bidai untuk menghindari edema. R/ Bidai
digunakan untuk memberikan imobilisasi ada fraktur dan untuk
mencegah terjadinya bengkak pada jaringan. Edema akan hilang
dengan pemberian bidai.
Pertahankan posisi dan integritas dari traksi. R/ Tarikan pada traksi
dilakukan pada tulang panjang yang fraktur dan kemudian
menjadikan otot tegang sehingga memudahkan alignment.
L a p o r a n A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t | 11
Follow-up pemeriksaan X-ray. R/ Mengetahui proses tumbuhnya
calus untuk menentukan tingkat aktivitas dan memerlukan
perubahan atau tambahan terapi.
Pertahankan fisioterapi jika perlu. R/ Membantu menguatkan
pertumbuhan tulang dalam penyembuhan.

Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema,


traksi/imobilisasi karena penggunaan alat, stres dan kecemasan.
Hasil yang diharapkan:
Klien mengerti penyebab nyeri,
Klien mampu mengontrol nyeri, dan
Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

Rencana tindakan:
Lakukan imobilisasi (bed-rest, gips, bidai dan traksi). R/ Mengurangi
nyeri dan mencegah perubahan posisi tulang serta luka pada
jaringan.
Tinggikan dan sangga daerah luka. R/ Meningkatkan aliran vena,
mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
3) Tinggikan bagian depan tempat tidur. R/ Memberikan rasa
nyaman.
Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi nafas dalam. R/
Meningkatkan kemampuan mengurangi rasa nyeri.
Lakukan latihan range of motion. R/ Mempertahankan kemampuan
otot dan menghindari pembengkakan pada jaringan yanag luka.
Kolaborasi untuk pemberian obat sesuai terapi. R/ Meningkatkan
relaksasi otot dan menekan rangsangan nyeri.
Evaluasi rasa nyeri, lokasi, dan karakteristik, termasuk intensitas.
Perhatikan juga rasa nyeri non-verbal (tanda vital, emosi,
pergerakan/ perilaku). R/ Monitor keefektifan intervensi, tingkat
kecemasan dapat menunjukkan reaksi dari nyeri.
L a p o r a n A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t | 12

Resiko terjadi gangguan integritas kulit/jaringan b/d compound


fracture, pemasangan traksi, gangguan sensasi, sirkulasi dan
imobilisasi fisik.
Hasil yang

diharapkan:

Rencana

tindakan:

Periksa kulit sekitar luka, kemerahan, perdarahan, perubahan


warna kulit. R/ Memberikan informasi gangguan
sirkulasi kulit dan masalah-masalah yang mungkin
disebabkan oleh penggunaakn traksi dan terbentuknya
edema.
Masase kulit dan tempat yang menonjol, menjaga alat tenun
tetap kering, memberikan alas yang lembut pada siku dan
tumit. R/ Mengurangi penekanan pada daerah yang
beresiko lecet dan rusak.
Ubah posisi selang-seling sesuai indikasi. R/ Mengurangi
penekanan yang terus menerus pada posisi tertentu.
Kaji posisi splint ring traksi. R/ salah posisi akan
menyebabkan kerusakan kulit.
Pakai bed-matras/ air-matras. R/ Mencegah perlukaan setiap
anggota tubuh, dan untuk anggota tubuh yang kurang
gerak efektif untuk mencegah penurunan sirkulasi.

Implementasi Keperawatan
Merupakan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan agar kebutuhan klien terpenuhi secara optimal.
Pelaksanaan tindakan keperawatan dapat dilaksanakan sebagian
oleh klien, perawat secara mandiri, atau bekerjasama dengan tim
kesehatan lain. Dalam hal ini perawat adalah sebagai perencana
dan pelaksana asuhan keperawatan yaitu memberikan pelayanan
perawatan dengan menggunakan proses keperawatan.
Evaluasi Keperawatan
Merupakan tahap akhir proses keperawatan yang merupakan
aktivitas berkesinambungan dari tahap awal (pengkajian) sampai
tahap akhir (evaluasi) dan melibatkan klien/ keluarga. Evaluasi
bertujuan untuk menilai efektivitas rencana dan strategi asuhan
keperawatan. Ada tiga alternatif dalam menafsirkan hasil
evaluasi, yaitu:
Masalah teratasi, apabila klien menunjukkan perubahan perilaku
dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria
pencapaian tujuan yang ditetapkan.
Masalah sebagian teratasi, apabila klien menunjukkan perubahan
dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Masalah belum teratasi, jika klien sama sekali tidak
menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan
kesehatan atau bahkan timbul masalah baru.
WOC
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8.
Jakarta: EGC.

Doengoes, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed.3. Jakarta:
EGC.

IAI. 2012. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol.47 – 2012 s/d 2013
ISSN 0854-4492. Jakarta: Isfi Penerbitan.

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.4. Jakarta: Media


Aesculapicus.

Smeltzer, C. Suzanne. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8. Jakarta: EGC.

Wilkinson, M. Judith, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosisi


Keperawatan; Diagnosisi NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
HOC. Ed.9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai