Anda di halaman 1dari 63

UNIVERSITAS INDONESIA

DESAIN SET SEBAGAI SIMULASI ARSITEKTURAL UNTUK


MEMBANGUN HIPERREALITAS PADA TAYANGAN TELEVISI
Studi Kasus: Desain Set Ini Talk Show NET. TV

SKRIPSI

DINA ANDRIANI
1106052884

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
DEPOK
JANUARI 2016
UNIVERSITAS INDONESIA

DESAIN SET SEBAGAI SIMULASI ARSITEKTURAL UNTUK


MEMBANGUN HIPERREALITAS PADA TAYANGAN TELEVISI
Studi Kasus: Desain Set Ini Talk Show NET. TV

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Arsitektur

DINA ANDRIANI
1106052884

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
DEPOK
JANUARI 2016
TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama Dina Andriani

NPM

Tanda Tangan \"J

Tanggal 11 Januari 2016

Universitas lndonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Dina Andriani

NPM : 1 106052884

Program Studi : Arsitektur

Judul Skripsi : Desain Ser sebagai Simulasi Arsitektural untuk

Membangun Hiperrealitas pada Tayangan


Televisi
Studi Kasus: Desain SetIni Talk Show NET. TV

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperolah gelar Saq'ana Arsitektur
pada Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ir. Herlily, M. Urb. Des.

Penguji : Moh. Nanda Widyarta, B. Arch., M. Arch. t -7_> )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 1l Januari 2016

111 Universitas lndonesia


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur saya haturkan kepada Allah


SWT atas nikmat dan karunia yang telah Ia berikan sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya bersyukur atas berbagai kemudahan
yang Ia berikan selama penulisan berjalan.

Skripsi ini saya tulis sebagai bagian dari persyaratan untuk meraih gelar
Sarjana Arsitektur pada Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia, tahun ajaran 2015/2016.

Penulisan skripsi ini telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu,
saya menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Ibu Ir. Herlily, M. Urb. Des. sebagai pembimbing skripsi saya yang telah
memberi berbagai saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
2. Ibu Rini Suryantini, S.T., M. Sc. sebagai dosen pembimbing akademis
pada semester terakhir saya serta selaku koordinator skripsi.
3. Ibu Dra. Iriantine Karnaya A, M.Ars. sebagai dosen pembimbing
akademis pada 4 tahun awal perkuliahan saya. Terima kasih atas berbagai
bantuannya.
4. Bapak Moh. Nanda Widyarta, B. Arch., M. Arch. serta Ibu Enira Arvanda,
S. T., M. Dipl. selaku penguji yang telah memberikan kritik dan masukan.
5. PT. Net Mediatama Televisi dan staf, khususnya Cyndi Adissa Lianita, S.
Ars selaku set designer kantor yang telah membantu banyak dalam
pengambilan data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini. Juga kepada
kak Pinka selaku set designer program Ini Talk Show yang bersedia
memberikan keterangan mengenai set program tersebut. Kepada Bapak
Lucky selaku Art Section Head, Mbak Nadya Yuniska selaku supervisor
dan atasan langsung saya selama periode magang, serta seluruh staf
wardrobe dan teman-teman magang yang telah mendukung secara moral.
6. Juga kepada Ibu Naniek Ekowati yang tak pernah berhenti mendukung
saya. Kepada Bapak Wing Widyarto yang telah memberikan berbagai

iv Universitas Indonesia
bentuk dukungan baik moral maupun material. Mas Dito, Mbak Giling,
Ade, dan Azzam Faisal Rashad yang selalu menjadi support system saya.
Maaf terlambat, tetapi akhirnya saya sampai juga.
7. Zenithesa, Syifanie, Sheila, Luthfan, Rizki, Firman, Aziz dan Dharma,
serta seluruh anggota UKM Sinematografi UI. Tanpa kalian saya tidak
akan pernah terpikirkan untuk menulis skripsi dengan topik desain set.
8. Mas Miko, Yustinus, dan Raden yang telah membantu saya mencoba
memahami teori hiperrealitas dan simulacra. Terima kasih sudah
memberikan pencerahan.
9. Irfan Febriandi yang selalu sabar menanyakan perkembangan penulisan
skripsi saya dan menyimak keluh kesah selama penulisan. Terima kasih,
nanti gantian ya.
10. Kak Yoerliansyah yang telah mengizinkan untuk menggunakan skripsinya
sebagai salah satu pedoman penulisan skripsi saya.
11. Seluruh teman-teman 2011 yang berjuang bersama menyelesaikan skripsi
di semester 9 ini, serta kepada Anwar Bahir, Nadia, Isnat, dll yang telah
membantu banyak dalam kehidupan akademis saya. Allah yang balas.
12. Seluruh pihak yang telah membantu baik banyak maupun sedikit, namun
tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Saya sadar skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu saya
memohon masukan, saran, dan kritik yang membangun sehingga saya dapat
menghasilkan karya yang lebih baik lagi nantinya. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan seluruh pihak yang membutuhkan.

Depok, 11 Januari 2016

Dina Andriani

1106052884

v Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : DinaAndriani
NPM :1106052884
Program Studi : Arsitektur
Departemen :Arsitektur
Fakultas :Teknik
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Desain Ser sebagai Simulasi Arsitektural

untuk Membangun Hiperrealitas

pada Tayangan Televisi

Studi Kasus: Desain Sel Ini Talk Show NET. TV

beserta perangkat yang ada fiika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmediakarVformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tidak
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal:
1 1 Januai 2016
Yang menyatakan

ffi;
( Dina Andriani )

V1 Universitas lndonesia
ABSTRAK

Nama : Dina Andriani

Program Studi : Arsitektur

Judul : Desain Set sebagai Simulasi Arsitektural untuk Membangun


Hiperrealitas pada Tayangan Televisi

Studi Kasus: Desain Set Ini Talk Show NET. TV

Tayangan televisi merupakan sebuah bentuk hiburan yang ditonton setiap


harinya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun sesungguhnya
tayangan televisi merupakan bagian dari hiperrealitas, sebuah lapisan kehidupan
dimana batas antara kenyataan dan kepalsuan menjadi kabur. Sadar atau tidak
sadar, tayangan televisi menjadi produk yang terus dikonsumsi oleh masyarakat
sehingga produksi tayangan televisi pun semakin berkembang. Dengan tuntutan
tersebut, tayangan televisi dibuat dengan berbagai metode untuk menghasilkan
tontonan yang menarik. Arsitektur memiliki peran dalam produksi tayangan
televisi. Melalui desain set, arsitektur disimulasikan sehingga dapat membangun
dan memperkuat tayangan televisi yang diproduksi.

Kata Kunci: Tayangan Televisi, Hiperrealitas, Simulasi, Desain Set

vii Universitas Indonesia


ABSTRACT

Name : Dina Andriani

Study Program: Arsitektur

Title : Set Design as Architectural Simulation to Build Hyperreality in


Television Shows

Case Study: Ini Talk Show NET. TV Set Design

Television show is a form of entertainment watched everyday by most


Indonesians. However, television shows actually belong to hyperreality, a layer
where the border between reality and artificiality is blurred. Conciously or not,
television show becomes a product that keeps being consumed by people, thus
developing the production of television shows. With that kind of demand,
television shows must be produced in various methods to have interesting results.
Architecture plays a role in television production. Through set design, architecture
is simulated so it can build and strengthen television products.

Kata Kunci: Television Show, Hyperreality, Simulation, Set Design

viii Universitas Indonesia


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH.....................................................vi
ABSTRAK.............................................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1


1.2 Permasalahan......................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
1.4 Metode Pembahasan...........................................................................................3
1.5 Sistematika Penulisan.........................................................................................3

BAB 2 KAJIAN TEORI........................................................................................5

2.1 Program Televisi di Indonesia...........................................................................5


2.2 Produksi Tayangan Televisi...............................................................................8
2.3 Desain Set dalam Tayangan Televisi...............................................................10
2.4 Simulacra dan Simulasi....................................................................................13
2.5 Hiperrealitas.....................................................................................................14

BAB 3 PEMBAHASAN.......................................................................................19

3.1 Simulasi dan Hiperrealitas dalam Arsitektur...................................................19


3.2 Hiperrealitas pada Tayangan Televisi..............................................................23
3.3 Desain Set sebagai Simulasi Arsitektural untuk Membangun
Hiperrealitas pada Tayangan Televisi..............................................................27

ix Universitas Indonesia
BAB 4 STUDI KASUS........................................................................................30

4.1 Contoh Kasus..................................................................................................30


4.2 Ini Talk Show..................................................................................................36

BAB 5 KESIMPULAN........................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................48

x Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tayangan Bajaj Bajuri Ep. Makan Malam Minggu Malah Kabur......5

Gambar 2.2 Tayangan Opera Van Java.................................................................10

Gambar 2.3 Lyndon Johnson Library....................................................................15

Gambar 2.4 Palace of The Living Arts..................................................................16

Gambar 2.5 Disneyland..........................................................................................17

Gambar 3.1 Perbandingan Display Toko Furnitur.................................................20

Gambar 3.2 Taman Bermain..................................................................................21

Gambar 3.3 Interior Rumah Ibadah.......................................................................22

Gambar 3.4 Lance dan Pat Louds Sedang Direkam..............................................23

Gambar 3.5 Contoh Desain Set Kapal pada Pementasan Teater...........................28

Gambar 4.1 Studio Islam Itu Indah Trans TV.......................................................31

Gambar 4.2 Referensi Elemen Dekoratif pada Tayangan Islam Itu Indah............32

Gambar 4.3 Set Yuk Keep Smile Trans TV............................................................33

Gambar 4.4 Program Sitcom Office Boy Episode Saingan Odah..........................34

Gambar 4.5 Ini Talk Show Episode 8 Desember 2015..........................................36

Gambar 4.6 Studio Ini Talk Show..........................................................................37

Gambar 4.7 Layout set studio Ini Talk Show.........................................................38

Gambar 4.8 Set Dapur Rumah Ini Talk Show........................................................39

Gambar 4.9 Set Ruang Keluarga Rumah Ini Talk Show........................................40

xi Universitas Indonesia
Gambar 4.10 Set Area Kerja Rumah Ini Talk Show...............................................41

Gambar 4.11 Set Area Ruang Tamu Rumah Ini Talk Show...................................42

Gambar 4.12 Tampilan Outdoor pada Set..............................................................43

Gambar 4.13 Material pada Desain Set Rumah Ini Talk Show..............................44

xii Universitas Indonesia


1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur merupakan ilmu yang mempelajari ruang aktivitas manusia.


Kebutuhan manusia akan tempat bernaung dan berlindung dari gejala-gejala alam
seperti perubahan cuaca dan iklim serta kehidupan satwa liar menjadi alasan
utama terbangunnya berbagai macam gedung dan bangunan lainnya. Ketika
kebutuhan tersebut terpenuhi, bentuk bangunan dipengaruhi oleh ego dan
keinginan manusia sehingga menjadi seperti yang sekarang ini kita lihat.

Kebutuhan akan ruang yang spesifik tidak lagi hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Arsitektur sekarang dapat digunakan sebagai alat untuk
membangun sebuah lapisan realita yang dapat dikomersilkan. Arsitektur dapat
digunakan untuk membangun kembali sejarah yang sudah silam, untuk membuat
suatu fantasi ataupun cerita fiksi menjadi sebuah kenyataan, dan dapat pula
digunakan sebagai alat yang mengaburkan antara kebenaran dan kepalsuan.
Dalam konteks ini, arsitektur yang dimaksud merupakan arsitektur yang
hiperrealistis.

Produk tayangan televisi yang disajikan di layar kaca setiap harinya tentu
erat kaitannya dengan hiperrealitas. Berbagai macam tayangan disiarkan melalui
pancaran frekuensi UHF maupun satelit sehingga dapat ditonton oleh puluhan juta
konsumen televisi di Indonesia. Program televisi yang dapat ditonton meliputi
tayangan berita yang bersifat faktual, program sinetron yang fiktif, maupun
berbagai genre acara yang mencampurkan berbagai fakta dalam alur cerita fiksi.
Tayangan televisi merupakan sebuah entitas yang kuat dalam lapisan hiperrealitas,
yang diwujudkan dengan melakukan berbagai macam simulasi.

Universitas Indonesia
2

Pada proses simulasi tersebut, arsitektur memiliki peran penting dalam


mewujudkan hiperrealitas dalam televisi. Sebagai cara untuk memenuhi
kebutuhan manusia, arsitektur digunakan untuk menyediakan ruang aktivitas
dalam proses produksi tayangan televisi. Namun sebagai sebuah simulasi,
arsitektur dapat dibentuk dan ditampilkan untuk menjadikan tayangan televisi
semakin meyakinkan bagi penonton yang menyaksikannya.

Arsitektur yang disimulasikan tentu memiliki bentuk ruang yang berbeda


dengan arsitektur yang benar-benar digunakan untuk kebutuhan manusia. Dalam
penulisan skripsi ini, saya akan mencoba mempelajari bentuk simulasi arsitektural
dalam bentuk desain set untuk membangun hiperrealitas pada tayangan televisi.

1.2 Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini terdapat dua permasalahan yang akan coba
dijawab terkait dengan latar belakang di atas, yaitu:

a. Bagaimana desain set mendukung produksi tayangan televisi?


b. Bagaimana desain set menjadi simulasi arsitektural untuk mewujudkan
hiperrealitas dalam tayangan televisi?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mempelajari televisi dan proses produksinya, teori simulasi, serta


hiperrealitas secara terpisah.
2. Mempelajari tujuan penggunaan desain set dalam produksi tayangan
televisi.
3. Mendalami desain set sebagai sebuah simulasi arsitektur.

Universitas Indonesia
3

1.4 Metode Pembahasan

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi:

1. Studi Kepustakaan
Mempelajari berbagai macam teori yang dibutuhkan melalui literatur.

2. Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan menyimak berbagai tontonan yang
disiarkan di televisi dan diunggah di media internet. Program yang
ditonton khususnya yang menggunakan desain set dan secara umum
menerima animo tinggi dari masyarakat.

3. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan mendatangi langsung sebuah studio
televisi yang menggunakan desain set pada produksi tayangannya.
Dengan pengamatan secara langsung diharapkan dapat menghasilkan
observasi yang lebih maksimal dan mendetail.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN
Membahas mengenai bagian pembukaan tulisan berisi latar belakang,
permasalahan, tujuan penulisan, metode pembahasan, serta sistematika penulisan.

BAB 2 KAJIAN TEORI


Membahas mengenai teori-teori yang diperlukan seperti teori produksi
televisi, teori simulasi, serta teori hiperrealitas.

BAB 3 PEMBAHASAN
Mendalami teori-teori pada Bab 2 dan mengkaitkannya pada kehidupan
sehari-hari.
Universitas Indonesia
4

BAB 4 STUDI KASUS


Mendalami berbagai contoh kasus penggunaan desain set dalam tayangan
televisi melalui pengamatan tidak langsung serta studi lapangan.

BAB 5 KESIMPULAN
Merupakan sebuah kesimpulan yang menutup penulisan skripsi

Universitas Indonesia
5

BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1. Program Televisi di Indonesia

Seorang pria berambut pendek dan memakai baju bola terlihat keluar dari
pintu rumahnya dan kemudian mengendap-endap ke pintu rumah sebelahnya. Pria
tersebut yang bernama Ucup kemudian mengambil salah satu kaus milik Said dan
memakainya, namun Said menangkapnya basah dan memarahinya. Ucup berusaha
menjelaskan bahwa ia berniat meminjam kaus untuk kencan namun sayangnya
tidak dipinjamkan. Di sela-sela percakapan terdengar suara gelak tawa yang
menanggapi adegan tersebut.

Gambar 2.1 Tayangan Bajaj Bajuri Ep. “Makan Malam Minggu Malah Kabur”
Sumber (telah diolah kembali) : http://www.youtube.com (Dec 1, 2015)

Adegan tersebut merupakan adegan pembuka salah satu tayangan televisi


bergenre sitcom berjudul Bajaj Bajuri. Bajaj Bajuri merupakan sebuah acara yang
ditayangkan di stasiun televisi Trans TV dari tahun 2002 hingga 2005. Bajaj

Universitas Indonesia
6

Bajuri berkisah mengenai keseharian hidup seorang supir bajaj bernama Bajuri
yang tinggal bersama istri dan mertuanya. Plot cerita ini juga diramaikan oleh
suasana kehidupan di pemukiman padat di kawasan Jakarta. Budaya Betawi terasa
begitu kental dalam program ini. Bajaj Bajuri menerima animo yang besar selama
periode penayangannya akibat kontennya yang ringan dan lucu. Bajaj Bajuri pun
pernah menerima anugerah “Sinetron Komedi Terpuji” dari Festival Film
Bandung pada tahun 2004.

Masih banyak program televisi lainnya yang mengambil format suasana


kehidupan masyarakat Indonesia. Selain Bajaj Bajuri, program sitcom lainnya
seperti Office Boy (RCTI, tayang 2006-2008), Suami-suami Takut Istri (Trans TV,
tayang 2007-2010), dan Tetangga Masa Gitu? (NET. TV, tayang 2014-sekarang)
merupakan program sitcom yang mengambil ide cerita dari kehidupan sehari-hari
di tempat kerja maupun di tempat tinggal dan naik daun karenanya. Selain genre
sitcom, program televisi bergenre lain juga kerap mengambil suasana kehidupan
masyarakat Indonesia baik secara umum maupun secara khusus. Misalnya saja
pada genre talkshow, program Ceriwis (Trans TV, tayang 2003-2010) dan Ini Talk
Show (NET. TV, tayang 2014-sekarang) memiliki setting seakan-akan terjadi
pada kehidupan pribadi para hostnya yang mengundang tamu ke rumah mereka.
Kemudian juga program edutainment anak Si Bolang (Trans 7, tayang 2006-
sekarang) dan program Eagle Documentary Series (Metro TV, tayang 2005-
sekarang) menayangkan kehidupan masyarakat Indonesia secara khusus
menyoroti budaya maupun fenomena yang terjadi di suatu tempat.

Selain jenis program televisi yang disebutkan sebelumnya, masih banyak


jenis program televisi lainnya. Menurut lembaga riset media Nielsen pada tahun
2005 (dalam Sunarto, 2009, p. 104-105), program televisi dikategorikan
berdasarkan: (1) seri (series) terdiri dari drama, action/adventure, horror/mystery,
sitcom/comedy, (2) film (movie) terdiri dari drama, action/adventure,
horror/mystery, sitcom/comedy, animation/puppet, (3) hiburan (entertainment)
terdiri dari traditional, light entertainment, music, variety show, quiz, game show,
reality show, comedy, (4) anak-anak (children) terdiri dari series, series
Universitas Indonesia
7

animation/puppet, light entertainment, music/variety, quiz/game show,


infotainment/edutainment, (5) informasi (information) terdiri dari talkshow,
documentary, infotainment, infomercial, tv magazine, education, skill/hobbies, (6)
berita (news) terdiri dari special news, hard news, talkshow, feature, (7) agama
(religious) terdiri dari preach, special event, variety show, (8) olahraga (sport)
terdiri dari journal/highlights, match, exercise, special event, (9) khusus (special)
terdiri dari special event, (10) pengisi jeda (filler) terdiri dari news, public
announcement, music, quiz, others.

Munculnya berbagai macam tayangan dari belasan stasiun televisi nasional


meningkatkan jumlah penonton televisi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa
konsumsi media pada kota-kota besar di Indonesia masih didominasi televisi pada
angka 95%. Angka ini naik ketika area survey dipersempit menjadi kota-kota
besar di luar Jawa, yaitu menjadi 97%. Jika mengacu kepada jumlah orang yang
disurvey, yaitu sejumlah 49,525,104 individu berusia 5 tahun ke atas, dapat
dipastikan bahwa sekitar 47 juta masyarakat Indonesia merupakan penonton
televisi (Nielsen, 2014). Jumlah tersebut setara dengan sekitar 20% populasi
penduduk di Indonesia pada tahun 2014. Jumlah tersebut belum ditambah dengan
sisa populasi yang tidak tersurvei oleh lembaga Nielsen.

Meskipun terdapat perbedaan antara penonton televisi di Jawa dan luar


Jawa, ternyata presentase ini sama-sama mencapai puncaknya pada jam-jam
tayang utama atau prime time (Nielsen, 2014). Prime time merupakan jam-jam
ramai penonton dan di Indonesia biasanya dimulai pukul 18.00 WIB (Nielsen,
2007). Hal ini menimbang penonton televisi yang umumnya selesai berkegiatan
selepas pukul 5 sore dan tiba di rumah masing-masing pada waktu tersebut
sehingga terjadi lonjakan penonton. Program Bajaj Bajuri yang sebelumnya
dibahas juga menempati jam tayang utama saat masih disiarkan dulu.

Dengan jumlah yang tak bisa dibilang sedikit tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sebagian masyarakat Indonesia menyempatkan diri untuk menonton
televisi setiap harinya. Hasil survey Nielsen pada tahun 2012 menyebutkan bahwa
Universitas Indonesia
8

penonton televisi di Indonesia menghabiskan 4,5 jam setiap harinya untuk


menonton televisi (Silalahi, 2013). Ditengah perkembangan yang semakin
menuntut waktu, ternyata masih banyak yang menyisihkan waktu untuk
menyaksikan apa yang ditayangkan di layar kaca. Bukan hanya televisi yang
menjadi penting bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat Indonesia pun
penting bagi keberlangsungan televisi. Selain mengandalkan masyarakat untuk
menjadi penonton, televisi juga menjadikan masyarakat sebagai sumber tontonan
maupun ide cerita yang diselipkan ke dalam tontonan, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Hubungan antara masyarakat Indonesia dan televisi
merupakan hubungan timbal balik yang bersifat kebergantungan.

2.2. Produksi Tayangan Televisi

Menurut Millerson dan Owens (2009), akademisi dari Asbury University,


televisi biasanya mengacu kepada media penyiaran tempat program-program
didistribusikan melalui pemancar darat, kabel, maupun satelit. Program-program
tersebut didistribusikan kepada penonton umum dan ditonton secara tidak
langsung sebagai bagian dari pelayanan masyarakat yang teratur. Stasiun televisi
yang kemudian mengatur, memproduksi, dan menayangkan berbagai program dan
acara yang menarik untuk kita tonton. Pendapat lain disebutkan oleh Wurtzel dan
Rosenbaum (1995). Mereka menyebutkan bahwasanya televisi merupakan media
yang digunakan untuk menyampaikan berbagai fakta dan opini menggunakan
berbagai macam teknologi yang sekarang sudah semakin pesat. Dari dua pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa televisi merupakan sebuah media elektronik
berbasis penyiaran yang menggunakan berbagai macam teknologi untuk
mendistribusikan berbagai program dan tayangan yang dapat ditonton oleh
masyarakat umum. Namun dibalik program dan tayangan tersebut tentunya
dibutuhkan proses produksi televisi yang bertahap.

Wurtzel dan Rosenbaum (1995), akademisi dari Ithaca College,


menjelaskan dalam buku mereka yang berjudul Television Production bahwa
terdapat 4 tahap produksi televisi. Tahapan tersebut adalah perencanaan pra
produksi, persiapan dan latihan, proses produksi (pengambilan gambar dan suara),

Universitas Indonesia
9

serta paska produksi. Pada perencanaan pra produksi para produser acara
merumuskan konsep, tujuan, serta metode pembuatan acara guna kelancaran
proses produksi. Tahap selanjutnya yaitu persiapan dan latihan. Tahapan ini
biasanya digunakan untuk membangun tempat atau desain set yang akan dibahas
lebih dalam kemudian. Tahapan ini juga digunakan oleh pengisi acara untuk
berlatih sesuai dengan konten acara yang sudah dikonsepkan oleh produser.
Berikutnya tahap produksi, yaitu saat ketika program atau tayangan televisi
direkam untuk kemudian ditayangkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Setelah proses produksi tayangan selesai, tibalah tahap terakhir yaitu
tahap paska produksi. Tahapan ini digunakan untuk menyunting dan merapikan
tayangan, serta mendistribuskan tayangan ke khalayak umum.

Secara teknis, produksi tayangan televisi tentunya menggunakan berbagai


macam teknologi. Salah satunya adalah kamera. Seorang mantan produser stasiun
televisi ABC, Roone Arledge (dalam Millerson dan Owens, 2009, p. 4)
menyatakan, “Anda harus menggunakan kamera dan mikrofon untuk
memproduksi apa yang otak persepsikan, bukan sekedar apa yang mata lihat.
Hanya kemudian anda dapat menciptakan ilusi realita.” Terhadap pendapat
tersebut, Millerson dan Owens (2009) menyetujui. Dalam buku Television
Production, mereka menyebutkan mengenai satu kebenaran yang mendasar yaitu
bahwa kamera selalu berbohong. Kamera dan mikrofon dapat
mentransformasikan kenyataan. Posisi kamera, sudut lensa, tata cahaya,
penyuntingan, dan latar suara dapat mempengaruhi bagaimana penonton
menginterpretasikan ruang, dimensi, atmosfir, dan waktu pada tayangan yang
mereka lihat. Kesadaran akan hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses
produksi televisi. Millerson dan Owen kemudian menjelaskan bahwa penonton
akan lebih menerima dan menikmati adegan yang terlihat “nyata”.

Proses produksi yang berbelit-belit menggunakan teknik yang spesifik dan


teknologi yang mutakhir semua dilakukan untuk satu tujuan, yaitu untuk menarik
penonton untuk menikmati tayangan yang para produser televisi ciptakan.
Tayangan yang dipersiapkan secara matang untuk telihat sempurna akan membuat

Universitas Indonesia
10

penonton terhanyut dalam alurnya. Semakin “nyata” suatu tayangan, akan


semakin meyakinkan tayangan tersebut. “Nyata” tidak harus selalu berkaitan
dengan sesuatu yang benar-benar terjadi di dunia ini, tetapi bisa berupa sesuatu
yang fiktif namun dibawakan dengan cara yang meyakinkan. Proses produksi
yang baik memungkinkan kualitas tersebut hadir dalam setiap tayangan yang
disiarkan di televisi.

2.3. Desain Set dalam Tayangan Televisi

Tayangan Opera Van Java (Trans 7, tayang 2008-2014) merupakan


sebuah program komedi berbentuk drama wayang orang yang sempat ramai
menghibur masyarakat. Salah satu ciri khas dari Opera Van Java, selain pemain
wayangnya yang tetap, juga latar tempat yang dihadirkan terlihat fiktif dan dibuat-
buat. Dalam satu episode, Opera Van Java dapat memiliki dua atau tiga latar yang
berbeda-beda untuk mendukung keberlangsungan plot.

Gambar 2.2 Tayangan Opera Van Java


1. Episode 9 Oktober 2013; 2. Episode 9 Agustus 2013
Sumber (telah diolah kembali) : http://www.youtube.com (Dec 4, 2015)

Opera Van Java membawakan cerita yang berbeda-beda tiap episodenya,


sehingga latar yang dipakai kerap berubah setiap harinya. Karena kerap berganti
tampilan maka latar tersebut bersifat temporer. Opera Van Java juga terkenal
dengan ciri khas properti yang terbuat dari bahan styrofoam, yang digunakan oleh
para pemain wayang untuk membuat adegan terlihat semakin lucu. Latar pada
Opera Van Java memberikan konteks waktu dan tempat terhadap cerita sehingga
Universitas Indonesia
11

penonton dapat memahami plotnya. Latar buatan yang dimaksud kerap disebut
dengan set.

Millerson dan Owens (2009) menjelaskan bahwa latar tempat


(background) bukanlah hanya sekedar apa saja yang ditampilkan di belakang
subjek produksi, namun juga berpengaruh langsung terhadap program yang
dibuat. Latar yang dipilih, bersamaan dengan cara pengambilan gambar, dapat
mempengaruhi nilai persuasif yang ingin dikomunikasikan terhadap penonton.
Latar tempat dapat diambil menggunakan berbagai macam cara, diantaranya
menggunakan tempat yang nyata (contoh: Gurun Sahara), menggunakan tempat
substitusi atau tempat lain yang mirip dengan tempat yang nyata (contoh: Gurun
Gobi), menggunakan desain set (membangun tempat seolah-olah seperti Gurun
Sahara), menggunakan lokasi yang disugestikan (contoh: mengambil gambar di
padang pasir di Yogyakarta dan disugestikan bahwa tempat tersebut seakan-akan
Gurun Sahara menggunakan properti maupun tulisan), dan menggunakan lokasi
virtual (contoh: mengambil gambar Gurun Sahara dan disuntingkan ke dalam
tayangan).

Wurtzel dan Rosenbaum (1995) menyebutkan bahwa desain set, bersama


dengan pencahayaan, kostum, tata rias dan sebagainya kerap disebut sebagai
“plastik”. Hal ini mengindikasikan bahwa desain set hanya dianggap sebagai
elemen tambahan pada produksi. Padahal, desain set mempertemukan ilmu
arsitektur, desain, dan tata kamera untuk menghasilkan tayangan dengan kualitas
visual tertentu yang ingin direpresentasikan oleh para pembuatnya. Millerson &
Owens (2009) menyebutkan bahwa desain set menyediakan lingkungan yang
sesuai untuk proses produksi dan membuat suasana spesifik terhadap program
yang dibuat.

Wurtzel dan Rosenbaum (1995) menyebutkan ada 4 fungsi dari desain set.
Yang pertama, desain set menyediakan latar dan lingkungan fisik bagi tayangan
dan pengisi acara. Desain set menjadi ruang berkegiatan bagi para pengisi acara
dan pembuatnya. Selanjutnya desain set berfungsi untuk memberi identitas waktu
dan tempat serta mood pada suatu tayangan. Tanpa adanya desain set penonton
Universitas Indonesia
12

akan kesulitan memaknai waktu dan tempat, yang dapat berujung ke tidak
sampainya ide acara ke penonton. Kemudian desain set memberi suatu gaya
(style) tertentu yang menyatukan berbagai elemen visual. Style yang digunakan
umumnya ada tiga, style netral, style realis atau representasional (dibuat mirip
dengan tempat yang sudah ada), dan style ekspresionis atau abstrak. Fungsi yang
terakhir yaitu desain set berfungsi sebagai elemen produksi yang efektif yang
menyempurnakan keseluruhan acara. Dengan adanya desain set, tayangan televisi
terlihat semakin lengkap dan menarik. Dari fungsi-fungsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa meskipun desain set terkesan tidak penting, ia memiliki
peranan besar bagi kualitas visual dari sebuah acara.

Seorang akademisi dari Denmark, Hanne Bruun (1999) menjelaskan


dalam tayangan televisi berjenis talk show terdapat 3 karakteristik yang
fundamental. Karakteristik tersebut adalah host atau pembawa acara, wawancara
yang dilakukan terhadap bintang tamu, dan yang terakhir yaitu studio televisi
tempat talkshow tersebut direkam. Studio televisi yang menjadi tempat
dibangunnya desain set merupakan ruang dari program tersebut. Keberadaan set
dan desainnya memberi karakter waktu dan tempat, sehingga memberikan
informasi kepada penonton mengenai kapan dan di mana terjadinya program
tersebut. Apabila ditayangkan secara langsung, maka karakter waktu dan tempat
dapat diartikan sebagai “sekarang” dan “di sini”. Kedua, tujuannya adalah untuk
menciptakan sebuah pengalaman dari pergabungan ruang program dan ruang
pemirsa, sedemikian rupa sehingga pemirsa merasa seolah-olah mereka adalah
peserta dalam program dan bukannya penonton. Hal ini meningkatkan rasa
partisipatif dari penonton televisi yang tidak berada di set.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa identitas tempat


sangatlah penting bagi suatu tayangan. Latar tempat yang sesuai dengan konten
acara yang dibawakan membuat penonton semakin memahami apa yang pembuat
acara ingin sampaikan. Selain itu latar tempat juga mengakomodir aktivitas
pengisi dan pembuat acara sehingga mereka dapat menghasilkan produk tayangan
yang memuaskan. Desain set bukanlah satu-satunya opsi untuk menghadirkan
Universitas Indonesia
13

latar tempat pada produksi tayangan televisi, namun merupakan opsi yang kerap
dipilih akibat kemudahannya untuk diatur tepat sesuai kebutuhan.

2.4. Simulacra dan Simulasi

Teori yang dipopulerkan oleh sosiolog berkebangsaan Prancis, Jean


Baudrillard (1981) ini membahas mengenai simbol dan representasi. Untuk
membahas simulasi, ia membandingkannya dengan kepura-puraan, dalam hal ini
ia sebut dengan istilah to dissimulate. Dissimulate mengindikasikan bahwa
seseorang berpura-pura tidak memiliki sesuatu yang sebenarnya ia miliki.
Simulasi mengindikasikan bahwa seseorang berlaku seakan-akan ia memiliki
sesuatu yang tidak ia miliki. Sepintas terdengar mirip, namun keduanya
merupakan hal yang jauh berbeda. Simulasi mengimplikasikan kehadiran, dan
dissimulate mengimplikasikan ketidakhadiran.

Baudrillard kemudian memberikan contoh kasus untuk menjelaskan


perbedaan antara simulasi dan dissimulate. Seseorang yang berpura-pura sakit
bisa dengan mudah beristirahat di tempat tidur dan membuat orang-orang percaya
bahwa ia sedang sakit. Pada kasus ini, orang tersebut berpura-pura tidak memiliki
kesehatan, padahal sebenarnya ia memilikinya. Ini merupakan sebuah
dissimulation. Namun, seseorang yang mensimulasikan suatu penyakit dapat
menghasilkan gejala penyakit tersebut dalam tubuhnya. Ia berlaku seakan-akan ia
memiliki penyakit yang tidak ia derita. Meskipun penyebab terjadinya gejala
penyakit tersebut tidak nyata, tubuh tetap mensimulasikan gejala-gejalanya. Dari
contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa simulasi mengancam perbedaan antara
“benar” dan “salah”, serta “nyata” dan “imajiner”.

Simulasi berbeda dengan representasi. Representasi berakar dari prinsip


kesetaraan antara simbol dengan kenyataan. Representasi berusaha untuk
memahami simulasi dengan menafsirkannya sebagai representasi yang palsu,
sedangkan simulasi menyelubungi keseluruhan representasi sebagai simulacra.
Simulacra dapat disimpulkan sebagai produk dari proses simulasi.
Universitas Indonesia
14

Berikut merupakan fase-fase simulacra yang dijabarkan oleh


Baudrillard.

1. Sesuatu menjadi cerminan atas kenyataan


2. Sesuatu menutupi dan mengubah kenyataan
3. Sesuatu menutupi atas ketidakberadaan kenyataan
4. Sesuatu tidak memiliki hubungan apapun dengan kenyataan,
kemudian sesuatu tersebut menjadi simulacra

Dari contoh dan penjelasan Baudrillard di atas, dapat disimpulkan bahwa


simulasi merupakan upaya mengadakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Upaya tersebut berupa imitasi terhadap suatu hal yang sudah ada atau terjadi,
kemudian seiring terjadinya replikasi mengalami perubahan sehingga tidak lagi
mirip dengan aslinya dan menjadi simulacra. Simulasi dan simulacra dapat
ditemui dalam setiap aspek kehidupan manusia. Berbagai macam produk, konsep,
bahkan sistem yang digunakan manusia dalam membangun kehidupannya
merupakan sesuatu yang telah berulang kali disimulasikan dan akhirnya berujung
menjadi simulacra. Simulasi juga tidak lepas dari arsitektur dan tayangan televisi,
dua hal yang menjadi topik utama dalam penulisan skripsi ini.

2.5. Hiperrealitas

Di dalam buku Simulacra and Simulation juga, Baudrillard (1981)


membahas mengenai hiperrealitas. Ia mengambil contoh dari cerita seorang
penulis berkebangsaan Argentina, Jorge Luis Borges, mengenai sebuah kekaisaran
yang memiliki seorang pembuat peta. Ia membuat peta akan area kekaisaran
tersebut secara detail. Ketika kekaisaran tersebut runtuh dan area kekaisaran
tersebut berubah menjadi area lain, peta tersebut kemudian tidak lagi
merepresentasikan apa-apa. Peta tersebut kemudian menjadi suatu entitas lain,
sebuah hiperrealitas. Baudrillard menjelaskan bahwa hiperrealitas merupakan
sebuah generasi dengan model yang nyata tanpa asal muasal atau realitas.
Universitas Indonesia
15

Baudrillard menganggap bahwa dunia yang kita tinggali saat ini merupakan dunia
hiperrealitas, dunia yang sudah disimulasikan dan tidak lagi nyata. Peta tersebut
kemudian ia hubungkan dengan fase kedua simulacra.

Dalam buku Travels in Hyperreality, Umberto Eco (1990) menjelaskan


mengenai berbagai tempat di Amerika. Perpustakaan yang dibangun oleh mantan
presiden Amerika Serikat, Lyndon Johnson Library, ia deskripsikan sebagai
sebuah ‘benteng kesendirian’. Perpustakaan ini memang berisi berbagai macam
benda yang berhubungan dengan Lyndon Johnson seperti foto-foto, film, patung,
berbagai barang yang ia terima selama masa pemerintahannya, serta reproduksi
ulang terhadap ruang Oval (kantor kepresidenan AS) dalam skala 1:1. Umberto
Eco menyimpulkan fenomena ini menjadi sebuah pemikiran bahwa sejarah harus
diawetkan dan dirayakan dengan salinan berskala asli, suatu filsafat akan
keabadian dalam bentuk duplikasi.

Gambar 2.3 Lyndon Johnson Library


1. Tampak Luar; 2. Mobil Kepresidenan Johnson; 3. Replika Ruang
Kepresidenan
Sumber: http://www.lbjlib.utexas.edu/johnson/museum.hom/directions.shtm,
http://www.lbjlibrary.org/exhibits/lbjs-presidential-limousine &
http://travelphotobase.com/v/USTX/TXTL21.HTM (Dec 4, 2015)
Universitas Indonesia
16

Umberto Eco kemudian membahas mengenai tempat bernama Palace of


Living Arts di Los Angeles. Palace of Living Arts memajang berbagai duplikat
akan karya-karya terkenal seniman ternama. Namun duplikat tersebut bukan
hanya sekedar salinan melainkan dialihkan dalam media seni yang lainnya.
Seperti lukisan Monalisa oleh Leonardo da Vinci yang terkenal, dialihkan dalam
media patung yang menggambarkan sosok da Vinci yang sedang melukis
Monalisa (juga dalam bentuk patung) dalam pose tersenyum yang terkenal
tersebut. Patung David dan Patung Dying Slave karya Michelangelo yang aslinya
dibuat dari batu pualam yang berwarna putih, terpajang dalam bentuk salinan
patung yang berwarna jika diimajinasikan dalam bentuk manusia. Hal ini
memberikan pengalaman menarik bagi pengunjung yang melihat duplikat-
duplikat tersebut. Duplikat yang sudah dialihbentukkan tersebut memberikan
pandangan yang berbeda mengenai karya asli seniman-seniman terkemuka. Eco
kemudian menarik kesimpulan bahwa Palace of Living Arts memiliki filsafat
“Kami memberi anda sebuah reproduksi sehingga anda tidak membutuhkan yang
asli.”

Gambar 2.4 Palace of The Living Arts


1. Leonardo Da Vinci melukis Monalisa; 2. The Dying Slave dalam warna
natural
Sumber: https://miniatureworlds.wordpress.com/2009/09/30/palaceofliving-art/ &
http://housesofwax.blogspot.co.id/2010/09/palace-of-living-art-captive.html (Dec 4, 2015)

Universitas Indonesia
17

Baudrillard dan Eco kemudian sama-sama membahas mengenai taman


bermain Disneyland. Menurut Baudrillard (1981), Disneyland merupakan contoh
simulacra yang sempurna. Disneyland dipertunjukkan kepada para
pengunjungnya sebagai sebuah dunia khayalan sehingga mereka dibuat percaya
bahwa selebihnya adalah dunia yang nyata, sedangkan Los Angeles dan area
Amerika Serikat yang mengelilinginya merupakan sesuatu yang tidak nyata,
sesuatu yang hiperrealistis, sebuah simulacra. Pertanyaan mengenai apakah hal
tersebut merupakan representasi palsu dari kenyataan bukanlah yang utama, tetapi
bahwa fakta mengenai kenyataan tidak lagi nyata menjadi terkaburkan, tertutupi,
sehingga prinsip realitas pun terselamatkan. Ini merupakan contoh simulacra
dalam fase ketiga, yaitu sesuatu (Disneyland) menutupi ketidakberadaan akan
kenyataan (bahwa tidak ada tempat penuh fantasi seperti itu).

Gambar 2.5 Disneyland


1. Kastil Disneyland; 2. Jalanan Utama Disneyland
Sumber: https://www.thinglink.com/scene/659740978185240577 &
http://www.wdwinfo.com/disneyland-california/disneyland-mainst.htm (Dec 4, 2015)

Umberto Eco (1990) melihat Disneyland sebagai tempat yang dipenuhi


hal-hal yang direproduksi, dalam hal ini terkesan bahwa Eco percaya bahwa
Disneyland penuh dengan kepalsuan. Jalanan utama (Main Street), bangunan-
bangunan, binatang, tanaman, dan dekorasinya merupakan kopian yang dibuat
serealistis mungkin. Ketika kepalsuan itu kita abaikan, maka kita baru bisa
menikmati Disneyland secara realistis. Disneyland mencoba membangkitkan
bahwa cerita fantasi yang kita baca dan tonton semasa kanak-kanak menjadi

Universitas Indonesia
18

sesuatu yang dapat kita alami secara langsung, dan diwujudkan dalam bentuk
yang cukup mendetail. Tidak seperti pada Lyndon Johnson Library atau Palace of
Living Arts yang memberikan informasi bahwa barang-barang yang mereka
pajang merupakan tiruan, Disneyland benar-benar memberikan sebuah reproduksi
akan fantasi. Memasuki Disneyland akan membuat kita merasa di dalam dunia
lain yang terasa nyata, sehingga imajinasi kita akan cerita-cerita masa kecil akan
terpuaskan.

Dari pendapat tokoh-tokoh tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa


hiperrealitas merupakan suatu lapisan kenyataan yang dikonstruksi dari berbagai
bentuk reproduksi, atau simulasi dalam istilah Baudrillard. Manusia membuat
duplikasi dan reproduksi akan suatu hal dengan berbagai alasan: memperbaharui
teknologi untuk mempermudah kehidupan kita, untuk mereservasi sejarah seperti
pada Lyndon Johnson Library, untuk menghilangkan keinginan terhadap barang
orisinilnya seperti karya-karya Michelangelo di Palace of Living Arts, maupun
untuk mewujudkan imajinasi seperti pada Disneyland. Apapun alasannya,
duplikasi, reproduksi, maupun simulasi yang kita buat telah terjadi berulang-ulang
kali sehingga keaslian telah hilang dan tergantikan. Saat ini kita tengah hidup
dalam berbagai bentuk simulacra yang telah membangun hiperrealitas, sebuah
lapisan yang saat ini kita hidup di tengahnya.

Universitas Indonesia
19

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1. Simulasi dan Hiperrealisme dalam Arsitektur

Penjelasan mengenai simulasi dan hiperrealisme berdasarkan teori Jean


Baudrillard dan Umberto Eco dapat pula ditemukan dalam aspek-aspek spasial di
kehidupan manusia. Meskipun Eco banyak menggunakan contoh berbagai
bangunan dan tempat untuk menjelaskan elemen hiperrealisme, masih banyak
contoh-contoh elemen hiperrealisme dan simulasi dalam ruang aktivitas manusia.
Berikut merupakan upaya analisis simulasi dan hiperrealisme dalam contoh-
contoh ruang yang kerap kita temui di kehidupan sehari-hari.

IKEA merupakan perusahaan multinasional yang menjual berbagai macam


furnitur, perlengkapan, dan aksesoris rumah tangga. Pada toko-toko furnitur yang
kerap ditemui di pinggir jalan, produk yang dipajang biasanya hanya diletakkan
berdempetan demi penghematan ruang. Namun pada toko IKEA, penempatan
furnitur diatur sedemikian rupa sehingga membentuk suasana ruang yang homey
dan memiliki kualitas yang menarik pengunjung. Sofa, meja, nakas, televisi, dan
lampu diatur sedemikian rupa sehingga terlihat seperti sebuah ruang keluarga
yang nyaman untuk ditinggali. Furnitur yang dipajang tersebut bukan merupakan
simulacra, mereka tetap merupakan produk-produk yang dijual. Namun
pengaturan furniture tersebut, jika mengacu pada teori Baudrillard, merupakan
simulacra fase kedua, yakni sesuatu menutupi kenyataan. Pengaturan yang
menarik membuat pengunjung lupa bahwa furnitur tersebut merupakan produk
yang dijual oleh IKEA. Pengunjung seperti “dirayu” untuk membeli produk IKEA
demi mendapatkan sensasi ruang yang menyenangkan seperti yang mereka
rasakan saat melewati ruang display di toko tersebut. Sensasi dan suasana yang
tercipta menjadi elemen yang hiperrealistis karena dapat mengaburkan fakta
bahwa sesungguhnya pengaturan tersebut hanyalah strategi marketing belaka.

Universitas Indonesia
20

Gambar 3.1 Perbandingan Display Toko Furnitur


1. Toko Furnitur biasa; 2. Toko Furnitur IKEA
Sumber: http://www.kompasiana.com/asep_mm/tips-trik-belanja-
furniture_552fbed36ea834cb2c8b456d & http://tigerlilysbook.blogspot.co.id/2014/12/ikea-
indonesia.html (Dec 7, 2015)

Disneyland seperti yang sebelumnya dibicarakan Baudrillard (1981) dan


Eco (1990) dapat disimpulkan sebagai sebuah simulasi arsitektural. Disneyland
pada hakikatnya adalah sebuah taman bermain yang berisi berbagai macam
wahana, permainan, dan toko-toko souvenir. Sebuah taman bermain dapat
memiliki bentuk yang bermacam-macam sesuai tema yang diusung, seperti
Legoland yang wahananya memiliki bentuk seperti produk mainan anak-anak
Lego, atau Hello Kitty Town yang menampilkan tokoh kartun kucing tersebut
pada permainan-permainannya. Pada Disneyland, tema yang diusung merupakan
dunia fantasi dalam kisah-kisah Walt Disney. Maka dari itu kastil yang kerap
muncul pada film-film Disney, dibangun dalam setiap taman bermain Disneyland
di berbagai kota, dan menjadi simulasi adanya cerita-cerita fantasi seperti
Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, dan lain sebagainya. Apakah kastil
tersebut merupakan sebuah tempat tinggal anggota kerajaan ataupun peninggalan
sejarah? Tentu saja tidak, kastil tersebut hanya memberikan suasana “antik” yang
diasosiasikan dengan cerita-cerita Disney. Kastil tersebut merupakan bentuk
simulacra fase ketiga yakni sesuatu menutupi ketidakberadaan kenyataan. Tidak
ada yang benar-benar tinggal di kastil tersebut, namun tetap dibangun demi
mewujudkan elemen hiperrealistis pada keseluruhan taman bermain Disneyland.

Universitas Indonesia
21

Gambar 3.2 Taman Bermain


1. Legoland Florida; 2. Hello Kitty Town Malaysia; 3. Disneyland California
Sumber: http://www.traveltimetransportation.com/blog/legoland-florida-transportation-near-
lakeland.html, http://blog.malaysia-asia.my/2012/08/hello-kitty-town-johor.html &
https://www.thinglink.com/scene/659740978185240577 (Dec 7, 2015)

Tempat-tempat ibadah yang dikunjungi berbagai umat beragama juga


merupakan gabungan dari berbagai simulasi akan keagungan Tuhan dan aturan-
aturannya dalam bentuk fisik. Manusia cenderung mengasosiasikan Tuhan dengan
kebesaran-Nya, sehingga cara paling mudah untuk menghadirkan suasana
ketuhanan adalah dengan menggunakan skala besar pada bangunan-bangunan
tempat ibadah. Kebesaran Tuhan disimulasikan sesederhana membuat rumah
peribadatan yang besar dan megah. Interiornya dibuat lapang dan jarak antara
lantai dengan langit-langit dibuat begitu tinggi. Perasaan kita saat memasuki
tempat ibadah pun menjadi khusyuk dan merasa kecil. Jemaat rumah ibadah pun
dapat merasakan kehadiran Tuhan pada rumah ibadah tersebut. Hal ini juga
merupakan contoh simulasi akan kehadiran Tuhan dalam rumah peribadatan.

Universitas Indonesia
22

Gambar 3.3 Interior Rumah Ibadah


1. Interior Masjid Istiqlal Jakarta; 2. Interior Gereja Katedral Jakarta
Sumber: http://www.kompasberita.com/2012/07/sambut-ramadhan-masjid-istiqlal-percantik-diri/
& http://incity.co/cantiknya-gereja-katedral-jakarta/ (Dec 7, 2015)

Setelah membahas beberapa contoh di atas, semakin disadari bahwa


arsitektur tidak lepas dari simulasi dalam istilah Baudrillard. Bukan hanya display
toko maupun taman bermain seperti yang dijelaskan, tetapi sebetulnya banyak hal
yang disimulasikan dalam ruang yang kita gunakan sehari-hari. Kualitas-kualitas
yang kita inginkan pada bangunan kita biasanya kita wujudkan dalam bentuk
replikasi. Beberapa orang menginginkan elemen tradisional dalam rumah tinggal
mereka, maka mereka menyisipkan elemen-elemen rumah tradisional pada
bagian-bagian rumah kita. Jika hanya terdapat sebagian elemen, maka tentunya
rumah tersebut secara keseluruhan tidak dapat disebut sebagai rumah tradisional.
Simulasi elemen tradisional dihadirkan, membuat rumah tersebut menjadi
hiperrealistis. Bahkan jika diteliti, bentuk rumah yang sekarang pada umumnya
merupakan simulasi dari bentuk gua, tempat manusia menetap (dwelling) dahulu.
Simulasi terus dilakukan sehingga bentuk rumah menjadi seperti yang sekarang
banyak terbangun. Tidak mengherankan apabila Baudrillard berpendapat bahwa
dunia yang sekarang kita tinggali merupakan dunia yang hiperrealistis dan telah
tersimulasi sepenuhnya.

Universitas Indonesia
23

3.2. Hiperrealitas pada Tayangan Televisi

Dalam Simulacra and Simulation, Baudrillard (1981) kemudian membahas


mengenai program dokumenter yang berjudul An American Family yang
ditayangkan di Amerika Serikat melalui stasiun televisi PBS. An American Family
merupakan sebuah eksperimen televisi terhadap keluarga Louds yang terdiri dari
pasangan suami istri dan lima orang anak. Eksperimen ini dilakukan pada tahun
1971 dan memakan waktu selama tujuh bulan lamanya, menghasilkan lebih dari
300 jam tayangan. Eksperimen ini dilakukan tanpa adanya skenario apapun, dan
menyorot kehidupan pribadi keluarga Louds sehari-harinya. Selama proses
syuting, pasangan suami istri Louds memutuskan untuk bercerai dan hal tersebut
tersorot dan ditayangkan di televisi.

Gambar 3.4 Lance dan Pat Loud sedang direkam


Sumber: http://image.pbs.org/video-assets/WNET/pioneers-
thirteen/68254/images/Mezzanine_841.jpg (Dec 6, 2015)

Baudrillard menyebutkan proses syuting dokumenter tersebut


dilaksanakan seakan-akan memberikan ilusi bahwa “televisi” tidak ada disana.
Penonton dibuat percaya bahwa keluarga Louds hidup seakan-akan kru produksi
dokumenter tidak berada di antara mereka. Baudrillard menganggap hal tersebut
Universitas Indonesia
24

sebagai sebuah paradoks. Ia menyebutkan bahwa pengalaman menonton keluarga


Louds seakan-akan tidak ada kru televisi disana setara dengan menonton
kehidupan keluarga Louds seakan-akan penonton berada langsung di antara
mereka. Hal ini ia sebut demi terwujudnya sensasi keaslian. Hal tersebut ia
anggap sebagai upaya berlebihan dalam mencapai keterbukaan dalam jarak jauh,
dalam skala yang terdistorsi. Pertanyaan tentang pelanggaran privasi dan
kerahasiaan dalam rumah tangga seseorang menjadi tak terjawab demi
membangun kualitas orisinil dalam program dokumenter tersebut.

Baudrillard mengindikasikan bahwa televisi lah yang kini membangun


kenyataan, namun kenyataan tersebut bukan lagi kenyataan seperti refleksi pada
cermin. Para pembuat tayangan televisi melakukan berbagai macam upaya untuk
membuat kenyataan tersebut dibangun sesuai dengan selera penonton. Perkataan
bahwa “anda tidak lagi menonton televisi, tetapi televisi yang menonton anda”
menjadi relevan disini mengingat tayangan televisi dibuat berdasarkan tuntutan
mayoritas penonton. Televisi bukan lagi media yang tontonan, dan bahkan tidak ia
anggap lagi sebagai media dalam arti yang harfiah. Televisi telah menjadi
mencampurkan fiksi dengan kenyataan, dan berada dalam lapisan hiperrealitas.

Dalam tulisannya yang berjudul The Gulf War Did Not Take Place (1995),
Baudrillard membahas peran televisi dalam Perang Teluk. Baudrillard
berpendapat bahwa Perang Teluk sebenarnya tidak terjadi. Perang Teluk hanyalah
sekedar tontonan yang dilebih-lebihkan untuk meramaikan media. Baudrillard
mengatakan bahwa kita semua adalah sandera racun media, yang dibuat percaya
bahwa perang tersebut benar-benar terjadi. Bukan berarti Perang Teluk tidak
terjadi sama sekali, namun Perang Teluk diliput dan ditayangkan secara
berlebihan. Layar televisi kita pada saat itu dibombardir dengan berbagai liputan
mengenai Perang Teluk. Baudrillard menyebutkan bahwa media mempromosikan
perang, dan perang mempromosikan media. Hal ini menunjukkan bahwa media
dan perang sama-sama diuntungkan. Penonton disuguhkan dengan berbagai
liputan perang tersebut sehingga kemudian menerima kesan bahwa Perang Teluk
merupakan perang yang besar, padahal menurut Baudrillard yang terjadi hanyalah
Universitas Indonesia
25

beberapa pertempuran saja. Hal ini menunjukkan bahwa televisi telah membantu
mengkonstruksi informasi yang tidak sepenuhnya nyata.

Chung Chin Yi, seorang akademisi dari National University of Singapore


membahas mengenai hal yang serupa dalam tulisannya yang berjudul
“Hyperreality, the Question of Agency, and the Phenomenon of Reality
Television” dalam Nebula (2007). Chung menyatakan bahwa acara realitas
(reality television) merepresentasikan kejayaan dari tayangan yang hiperreal dan
dibuat-dibuat dan bukan hanya sekedar mengaburkan batas antara yang nyata
dengan yang tidak. Ketika kesadaran seseorang kehilangan kemampuannya untuk
membedakan kenyataan dengan fantasi sehingga kemudian menjadi terhanyut
dalam khayalan tanpa dapat menyadarinya, orang tersebut telah berpindah ke
dalam lapisan hiperrealitas.

Chung kemudian mendalami teori Jacques Derrida pada bukunya yang


berjudul Echographies of Television. Derrida (dalam Chung, 2007) menyebutkan
bahwa acara realitas menarik bagi para penontonnya dikarenakan elemen siaran
langsung (live), telepresensi (kehadiran dari jarak jauh), dan adanya ruang yang
disediakan untuk “kedatangan” suatu event, yang ekspektasinya terbuat dari
“nonekspektasi”. Chung menyimpulkan bahwa elemen-elemen tersebut
dimaksudkan untuk menawarkan keragaman dan spontanitas yang jarang
ditemukan dalam program televisi berskenario. Meskipun banyak acara realitas
yang memiliki skenario, tetapi tetap dapat menarik penonton karena acara tersebut
menawarkan ilusi akan spontanitas dan tidak tersutradarai. Ilusi tersebut terjadi
karena kerap menyorot aspek-aspek yang tidak menyenangkan dari karakter yang
berada di layar kaca. Namun sayangnya, dalam menyimak penderitaan dari
karakter tersebut, para penonton secara tak sadar merayakan kenyamanannya.
Chung berpendapat bahwa seperti ada elemen yang sadis ketika penonton seakan-
akan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, dalam hal ini karakter yang
ditampilkan.

Universitas Indonesia
26

Selanjutnya Chung juga membahas mengenai partisipasi penonton dalam


acara realitas pada televisi. Derrida (dalam Chung, 2007) berpendapat bahwa
penonton acara realitas menyukai ketika mereka disebutkan atau dipanggil dalam
acara tersebut. Hal tersebut disebabkan karena penonton merasa semakin
dilibatkan dalam produksi acara tersebut. Bentuk-bentuk perlibatan penonton
disebutkan Derrida seperti contohnya adegan pengakuan di acara realitas, maupun
reportasi pada acara penyiaran, serta pemungutan suara atau voting penonton pada
acara kontes bakat seperti American Idol. Dengan adanya keterlibatan penonton
dalam acara realitas, elemen ‘kenyataan’ semakin menguat. Adanya hubungan
dua arah antara penonton di rumah dengan pengisi acara di layar kaca
memperkuat hubungan antara keduanya.

Pendapat lain datang dari seorang ahli teori Marxisme berkebangsaan


Prancis yang bernama Guy Debord. Dalam tulisannya yang berjudul The Society
of Spectacle (1994), Debord membuat kritikan terhadap masyarakat tontontan.
Dalam tesis nomor 24, ia mendeskripsikan tontonan yang ia maksud adalah media
massa. Menurut Debord, media massa merupakan sebuah badan yang hadir
ditengah masyarakat yang bersifat tidak netral. Media massa hanya akan
mengikuti kebutuhan atas dinamika internal yang terjadi. Meskipun media massa
telah menyediakan komunikasi yang “instan”, hal tersebut ia anggap diakibatkan
karena komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi satu arah saja. Hal
tersebut kemudian mengarah kepada terjadinya monopoli dalam media massa.

Televisi merupakan salah satu bentuk dari media massa. Televisi yang
dianggap menjadi sumber informasi dapat menjadi tidak netral akibat
kepentingan pihak internal. Apa yang masyarakat tonton dengan harapan
menerima informasi sesuai dengan yang sebenarnya terjadi dapat menjadi bias
akibat sudut pandang dan cara menyampaikan informasi tersebut. Hal ini
menunjukkan betapa hiperrealistis informasi yang kita peroleh dari televisi.
Komunikasi yang terjadi pada televisi juga memang terjadi satu arah. Meskipun
terdapat beberapa program yang menghadirkan penonton baik secara langsung
maupun dengan berbagai media, hal tersebut hanya menjadi sedikit representasi
Universitas Indonesia
27

dari banyaknya massa penonton televisi. Komunikasi dalam televisi pun juga
hiperrealistis mengingat seakan-akan benar terjadi komunikasi dua arah antara
setiap penonton yang berada di rumah.

Meskipun begitu, sadar maupun tak sadar, penonton Indonesia masih saja
meluangkan waktu untuk menonton hiperrealitas yang terkonstruksi dalam
televisi. Ini tidak terjadi pada satu atau dua orang, tapi pada hampir 20%
masyarakat Indonesia, itupun jumlah yang tersurvei. Orang-orang berbondong-
bondong menyaksikan sesuatu yang ditawarkan sebagai “kenyataan yang lebih
nyata” yang padahal direkayasa sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pihak
pembuat acara televisi juga sudah semakin terjebak dalam pakem keorisinilan,
bahwa tayangan harus dibuat semeyakinkan mungkin, semasuk akal mungkin
sehingga masyarakat mau menonton acara yang mereka buat. Bukan hanya pada
program dokumenter saja seperti yang dicontohkan Baudrillard, namun pada
tayangan sinetron, variety show, program religi, hingga ke acara berita yang kita
anggap “faktual dan terpercaya”. Kenyataan kemudian dikonstruksi, dan bukan
direkam. Hal ini ditakutkan dapat membuat masyarakat semakin sukar untuk
menentukan batas antara kebenaran yang nyata dengan suatu cerita yang dibuat-
buat.

3.3. Desain Set sebagai Simulasi Arsitektural untuk Membangun


Hiperrealitas pada Tayangan Televisi

Mengacu pada contoh kasus simulasi pada teori Baudrillard (1981) yang
sudah dibahas sebelumnya, suatu ruang binaan dapat diparalelkan terhadap contoh
tersebut. Seseorang yang tidak sakit, namun dengan alasan tertentu membuat
dirinya mensimulasikan penyakit pada tubuhnya, sehingga gejala penyakit pun
timbul. Apakah orang tersebut sakit atau tidak, merupakan pertanyaan yang sulit
dijawab, karena gejala yang timbul sama nyatanya dengan apabila penyakit
tersebut muncul dengan sendirinya. Hal ini dapat dibandingkan dengan simulasi
arsitektural.
Universitas Indonesia
28

Pada pementasan teater, dibutuhkan latar tempat untuk memberi konteks


ruang pada cerita, seperti layaknya pada acara televisi. Simulasi akan tempat pun
dilakukan. Misalnya, suatu pementasan membutuhkan latar dengan suasana
seperti berada di atas kapal yang sedang berlayar. Tentunya akan sulit apabila
pementasan tersebut dilakukan di atas kapal layar yang sebenarnya. Maka dari itu
simulasi terhadap kapal layar pun dibuat. Material yang digunakan mungkin tidak
sama dengan material pada kapal kayu ataupun kapal pesiar yang sesungguhnya,
namun dapat terbuat dari material yang lebih ringan dan mudah didapat. Dalam
kasus ini, pementasan teater membutuhkan simulasi akan kapal yang
sesungguhnya tidak ada. Namun setelah disimulasikan dalam bentuk desain set,
tempat tersebut pun tetap terjadi. Seperti halnya gejala penyakit yang
disimulasikan pada kasus yang dicontohkan Baudrillard, hal-hal yang umumnya
berada di sekitar kapal pun dihadirkan, seperti tiang-tiang, layar kapal, kemudi,
juga air laut tempat kapal tersebut mengambang. Sensasi seperti berada di atas
kapal yang sedang berlayar muncul pada desain set tersebut. Dalam konteks yang
seperti ini, desain set merupakan simulacra pada fase ketiga.

Gambar 3.5 Contoh Desain Set Kapal pada Pementasan Teater


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/406942516306362480/ & http://mtwrentals.org/?p=2276 (Dec
9, 2015)

Pada televisi, desain set kemudian dirancang dalam bentuk tertentu dengan
alasan tuntutan konsep acara, keorisinilan, dan menghindari plagiarisme.
Meskipun kadang desain set mencontoh suatu tempat yang sudah ada, jarang
sekali terjadi desain set menjadi replika asli suatu tempat. Biasanya terjadi

Universitas Indonesia
29

penyesuaian di beberapa sudut dan titik untuk membuatnya lebih cocok dalam
kamera, lebih memudahkan proses produksi acara, lebih menarik untuk
dipertontonkan. Ini yang membuat desain set menjadi suatu simulacra seperti
yang dideskripsikan Baudrillard. Semakin kompleks dan berbeda bentuknya,
maka ia semakin tidak mirip dengan bentuk aslinya, dan semakin ia mirip dengan
dirinya sendiri. Hal ini membuat desain set sesuai dengan simulacra dalam fase
keempat.

Desain set merupakan salah satu diantara berbagai macam simulasi


arsitektural yang ada. Desain set merupakan upaya untuk mensimulasikan
identitas tempat terhadap tayangan televisi. Desain set dapat dikategorikan ke
dalam simulacra fase ketiga, yang berarti sesuatu menutupi ketidakberadaan
kenyataan, namun dapat pula dikategorikan ke dalam simulacra fase ke empat,
yang berarti sesuatu tersebut tidak ada hubungannya dengan kenyataan dan
menyerupai dirinya sendiri. Desain set digunakan sebagai alat untuk membangun
hiperrealisme pada tayangan televisi, agar tersajinya kualitas tayangan yang
“nyata” dan meyakinkan. Desain set menjadi penting karena memiliki
kemampuan untuk memberikan reaksi yang berbeda dari penontonnya, seperti
yang dikatakan Millerson & Owens (2009). Desain set sebagai unit terpisah
maupun kesatuan dalam tayangan televisi dapat membangun layer kehidupan
yang kompleks yang menjadi menarik untuk dipelajari dan diperdalam. Maka dari
itu selanjutnya akan dibahas mengenai studi kasus terhadap desain set pada
tayangan televisi yang ada di Indonesia.

Universitas Indonesia
30

BAB 4

STUDI KASUS

Berbagai program-program televisi yang disiarkan di Indonesia memilih


opsi penggunaan desain set sebagai simulasi akan tempat pada produksi
tayangannya. Genre-genre program yang biasanya menggunakan desain set adalah
program berita, program entertainment, program anak-anak, program informasi,
program special event (pertunjukan), bahkan terkadang juga program religi.
Berikut merupakan contoh-contoh program dan desain setnya.

4.1. Contoh Kasus

Acara religi yang kerap disiarkan pada dini hari kerap menggunakan
desain set sebagai opsi menghadirkan latar tempat. Program religi Islam Itu Indah
yang dipandu oleh Ustadz Maulana dan Ustadzah Okky Setiana Dewi berisi
ceramah agama Islam yang disampaikan dengan gaya yang lucu dan mudah untuk
dicerna. Seperti program-program siraman rohani lain yang tayang pada jam yang
sama, Islam Itu Indah juga menghadirkan penonton di studio pada proses
syutingnya. Penonton yang mayoritas berasal dari kalangan ibu rumah tangga ini
dimaksudkan sebagai audiens yang memberikan umpan balik terhadap ceramah
dan slogan-slogan dari para pemandu acara. Program ini saya ambil sebagai
contoh kasus karena set yang digunakan relevan dengan simulacra fase pertama.

Universitas Indonesia
31

Gambar 4.1 Studio Islam Itu Indah Trans TV


Sumber: https://pbs.twimg.com/media/B4E2PViCAAEikYp.jpg (Dec 10, 2015)

Program Islam Itu Indah menampilkan set yang lebih sederhana pada
studionya jika dibandingkan dengan kemeriahan set pada program-program
televisi lainnya. Hal ini dapat dikorelasikan dengan konten ceramah yang ringan
dan sederhana. Elemen-elemen keruangan yang menonjol adalah elemen dekoratif
yang dibuat seperti layaknya lengkung bangunan masjid yang kerap ditemui.
Lengkung atau arch pada elemen dekoratif tersebut dilihat sebagai upaya
mensimulasikan tempat ibadah umat Muslim ke dalam ruang studio Islam Itu
Indah. Selain itu kita juga dapat melihat pola geometris bintang dengan 8 sudut
yang sering muncul pada arsitektur Islami. Pola yang bernama Rub el Hizb
tersebut umumnya ditemukan pada kaligrafi Arab maupun dalam Al Quran
(Ancient Symbols, 2014). Pola tersebut merupakan bagian dari elemen dekoratif
sebagai upaya mensimulasikan nuansa Islami pada studio, yang penggunaan
aslinya bukanlah sebagai tempat ibadah.

Universitas Indonesia
32

Gambar 4.2 Referensi Elemen Dekoratif pada Tayangan Islam Itu Indah
1. Lengkungan khas Masjid Sheikh Zayed Abu Dhabi; 2. Rub el-Hizb
Sumber: http://www.canvas-of-light.com/2011/03/photo-essay-sheikh-zayed-mosque-uae/ &
http://www.ancient-symbols.com/symbols-directory/rub_el_hizb.html (Dec 10, 2015)

Elemen dekoratif tersebut dapat diparalelkan dengan simulacra fase


pertama yaitu sesuatu menjadi cerminan atas kenyataan. Upaya dalam
menghadirkan nuansa Islam dilakukan dengan cara yang cukup sederhana yaitu
dalam bentuk motif-motif yang digambarkan pada lantai dan dekorasi yang
dipasang pada dinding studio. Dekorasi tersebut merupakan cerminan atas
lengkungan masjid dan simbol Rub el-Hizb, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Set Islam Itu Indah tidak sampai menutupi kenyataan bahwa syuting
dilaksanakan di studio. Set tersebut hanya membuat acara memiliki nuansa Islami
secara visual. Maka dari itu, set Islam Itu Indah dapat disimpulkan sebagai
simulacra fase pertama.

Yuk Keep Smile (YKS) merupakan tayangan bergenre variety show atau
acara varietas yang menampilkan komedi, musik, dan kuis interaktif. YKS tayang
di Trans TV sejak tahun 2013 dan berhenti tayang pada 28 Juni 2014 akibat
terkena sanksi dari KPI (Kompas, 2014). Acara yang terkenal akan berbagai
gerakan tarian ini menggunakan set yang terlihat sebagai suasana perkotaan.
Panggung tempat pengisi acara tampil disajikan sebagai sebuah jalan yang diapit
berbagai macam toko. Latar belakang atau pun backdrop yang ditampilkan

Universitas Indonesia
33

menggambarkan suasana kota Jakarta di malam hari, terlihat dari gambar Monas
yang menjulang tinggi.

Gambar 4.3 Set Yuk Keep Smile Trans TV


Sumber: https://i.ytimg.com/vi/dYJTyqpxuVM/maxresdefault.jpg &
http://i.ytimg.com/vi/vI1WGU4qpRQ/hqdefault.jpg (Dec 10, 2015)

Program Yuk Keep Smile terlihat menggunakan set yang terlihat seperti
perkotaan. Suasana perkotaan pun disimulasikan dalam bentuk desain set seperti
yang terlihat pada gambar. Di sisi kanan dan kiri panggung terdapat set yang
menyerupai toko-toko yang terlihat palsu dan artifisial. Kualitas artifisial tersebut
terlihat disengajakan untuk mensimulasikan konsep ketidakseriusan pada acara.
Hal tersebut dirasa wajar mengingat acara Yuk Keep Smile mengandung unsur
komedi. Selain itu toko-toko palsu tersebut juga bermanfaat sebagai tempat
berbagai brand sponsor untuk mengiklankan produknya.

Di bagian belakang, backdrop yang terpajang menampilkan langit yang


terlihat gelap. Hal tersebut dimaksudkan sebagai simulasi identitas waktu.
Program Yuk Keep Smile dahulu tayang pada pukul 18.00 WIB dan disiarkan
langsung pada hari-hari tertentu serta disiarkan tunda pada hari-hari lainnya.
Simulasi identitas waktu pada backdrop memungkinkan program ini untuk
melakukan syuting siaran tunda pada pagi dan siang hari tanpa merusak konteks
waktu dengan jam tayang program. Jika merujuk pada teori Wurtzel dan
Rosenbaum, set yang digunakan Yuk Keep Smile memiliki style realis-
ekspresionis.

Universitas Indonesia
34

Jika dianalisis lebih dalam, bagian-bagian set yang dibahas sebelumnya


merupakan simulacra fase kedua. Toko-toko dihadirkan sebagai alat untuk
berbagai produk dapat beriklan dalam acara Yuk Keep Smile. Toko-toko menutupi
kenyataan bahwa terjadi kegiatan promosi dalam program variety show tersebut
setiap kali logo produk tersorot dalam kamera. Selanjutnya backdrop yang
menggambarkan suasana malam. Ketika program direkam pada siang hari untuk
siaran tunda, suasana malam yang terlihat dapat menutupi kenyataan mengenai
waktu syuting tersebut. Hal-hal tersebut yang membuat saya yakin bahwa set Yuk
Keep Smile merupakan simulacra fase kedua, yaitu sesuatu menutupi kenyataan.

Contoh terakhir merupakan program bergenre sitcom berjudul Office Boy


yang pernah tayang di stasiun televisi RCTI pada tahun 2006 hingga 2008. Office
Boy bercerita mengenai kehidupan karyawan bagian HRD di stasiun televisi fiktif
OKTV serta para office boy dan office girl yang juga bekerja di kantor tersebut.
Tayangan sitcom ini juga menggunakan opsi desain set untuk menghadirkan latar
tempat dalam cerita. Karena bercerita mengenai aktivitas karyawan di kantor,
maka latar yang dihadirkan berbentuk ruangan kantor yang berisi meja-meja
kerja, ruang lobby, toilet, serta pantry yang menjadi tempat office boy, karakter
utama dalam program ini, beraktivitas.

Gambar 4.4 Program Sitcom Office Boy Episode Saingan Odah


1. Set Pantry; 2. Set Kantor
Sumber (telah diolah kembali): http://www.youtube.com & http://www.youtube.com (Dec 10,
2015)

Universitas Indonesia
35

Karena Office Boy merupakan tayangan sitcom, maka program tersebut


ditampilkan dalam plot yang berkesinambungan. Kantor stasiun fiktif OKTV pun
dibagi menjadi beberapa set, misalnya saja set pantry tempat para office boy
bekerja, serta set kantor utama yaitu bagian HRD tempat para karakter sampingan
bekerja. Tayangan sitcom yang bersifat naratif membuat set yang digunakan
ditampilkan lebih serius dan mendetail dibandingkan dengan set pada program
varietas Yuk Keep Smile yang sebelumnya dibahas. Pada set pantry ditampilkan
dapur dengan berbagai peralatannya serta sebuah meja makan dengan sebuah
asbak di atasnya. Pada set kantor terlihat pengaturan yang rapi dan professional.
Pada meja karakter Saschya terlihat berbagai pernak pernik yang memperkuat ciri
khas karakternya. Set tayangan Office Boy ini terlihat cukup menyerupai tipikal
ruangan kantor dan pantry. Hal-hal yang membuatnya terlihat palsu adalah bagian
dinding yang terlihat tipis dan tidak kokoh serta tampilan luar jendela yang
terlihat dibuat-buat. Namun untuk sebuah simulasi akan ruang kantor yang tidak
nyata, set Office Boy cukup terlihat meyakinkan dalam tampilan di layar kaca.
Gaya yang digunakan pada set Office Boy merupakan gaya realis.

Melanjutkan apa yang sudah dibahas, set Office Boy dapat dikategorikan
sebagai simulacra fase ketiga. Set yang begitu mendetail tersebut dapat membuat
penonton percaya bahwa kantor OKTV merupakan kantor yang nyata, setidaknya
secara fisik. Tentunya hal ini tidak terjadi hanya karena tampilan visualnya yang
cukup meyakinkan, melainkan didukung dengan akting para aktornya yang dapat
berinteraksi dengan set sedemikian rupa sehingga ruang kantor terasa nyata. Set
Office Boy menutupi ketidakberadaan ruangan kantor OKTV baik sebagai stasiun
televisi maupun sebagai ruang kantor tempat pegawainya bekerja. Hal tersebut
tentu menjadi bukti bahwa set Office Boy merupakan simulacra fase ketiga.

Selanjutnya akan memasuki bahasan studi kasus yang lebih mendalam.


Desain set tayangan televisi yang akan dipelajari berasal dari tayangan Ini Talk
Show yang diproduksi dan disiarkan oleh NET. TV.

Universitas Indonesia
36

4.2. Ini Talkshow

Acara dibuka dengan Andre selaku co-host yang berinteraksi dengan


penonton di studio dibantu oleh kawannya Yujeng. Tidak lama kemudian Sule
sebagai host utama datang masuk ke tengah panggung dan berinteraksi dengan
Andre. Selanjutnya masuklah Arie Kriting yang merupakan bintang tamu
membawa sosok yang memakai sarung dan kepalanya ditutupi kain hitam. Arie
menuduh sosok tersebut terlihat mencurigakan dan telah mencuri sepasang sepatu.
Sule dan Andre pun bergantian menginterogasi sosok tersebut. Akhirnya kain
penutup dibuka dan sosok tersebut ternyata merupakan Parto dan kejadian
pencurian tersebut hanyalah sebuah kesalahpahaman. Sule kemudian memberikan
slogan “Disini Aja” yang menandakan masuknya jeda pariwara.

Gambar 4.5 Ini Talk Show Episode 8 Desember 2015


1. Andre yang membuka acara; 2. Adegan komedi Sule, Andre, Parto, dan
Arie Kriting
Sumber (telah diolah kembali): http://www.youtube.com & http://www.youtube.com (Dec 10,
2015)

Adegan tersebut merupakan adegan sketsa komedi yang menjadi segmen


pembuka program Ini Talk Show yang diproduksi dan disiarkan NET. TV pada 8
Desember 2015 lalu. Ini Talk Show adalah program talk show yang dikemas
dengan suasana santai, membahas isu-isu hangat yang ada di masyarakat dengan
cara sederhana. Di program ini juga akan memperlihatkan suasana rumah dan
karakter-karakter yang ada di rumah tersebut. Dengan peran Sule sebagai Host,
Andre Taulany sebagai Consultant-Host, didukung oleh Yurike sebagai Mama
Sule, Sas Widjanarko sebagai Om Sule, Maya Septha sebagai Asisten Rumah

Universitas Indonesia
37

Tangga, dan Haji Bolot sebagai Pak RT (Netmedia, n.d.). Selain itu program Ini
Talk Show juga didukung oleh Parto, Yujeng, serta Nunung.

Alasan saya memilih set Ini Talk Show sebagai studi kasus saya yang
pertama karena program ini mencampurkan adegan fiktif seperti adegan maling
yang dideskripsikan sebelumnya, dengan wawancara talk show seperti yang
umumnya dilakukan. Hal tersebut mengaburkan batas antara konten acara yang
sebenarnya dengan adegan-adegan yang bersifat gimmick, sehingga program ini
terasa hiperrealistis. Yang kedua karena set yang digunakan memiliki sifat naratif
yang mencerminkan karakter-karakter dalam acara. Set tersebut sejalan dengan
konsep acara yang melakukan talk show seperti seorang pemiliki rumah yang
sedang menerima tamu. Sifat naratif tersebut membuat set program Ini Talk Show
menjadi menarik.

Gambar 4.6 Studio Ini Talk Show


Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Universitas Indonesia
38

Saya berkesempatan mengunjungi studio tempat Ini Talk Show diproduksi.


Studio tersebut berada di Graha Mitra, Jl. Guru Mughni, tidak jauh dari kantor
utama PT. Net Mediatama Indonesia yang berlokasi di Mega Kuningan, Jakarta.
Gedung studio Graha Mitra juga digunakan untuk produksi program-program
NET. TV lainnya seperti Celebrity Lipsync Battle Indonesia dan The Remix.
Gambar 4.7 Layout set studio Ini Talk Show

Sumber (telah diolah kembali): Database PT. Net Mediatama Televisi

Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, Ini Talk Show


memperlihatkan suasana interior rumah tinggal. Dalam foto tersebut dapat dilihat
bahwa set didesain untuk terlihat seperti suasana rumah di malam hari. Ruang-
ruang yang kerap ada pada tipikal rumah tinggal terlihat pada set Ini Talk Show.
Di pojok sebelah kiri kita dapat melihat terdapat dapur yang lengkap dengan
kitchen set serta berbagai perabotannya. Di area tengah bagian belakang terdapat
ruang keluarga dengan televisi, sofa, dan area kerja di belakangnya. Di pojok
sebelah kanan kita dapat melihat pintu masuk dan halaman rumah, serta apa yang
terlihat sebagai sebuah perapian dengan sebuah foto Sule berukuran besar di
atasnya. Di tengah panggung kita dapat melihat ruang tamu yang dijadikan
sebagai area talkshow atau tempat di mana wawancara dilakukan.

Universitas Indonesia
39

Gambar 4.8 Set Dapur Rumah Ini Talk Show


Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Keberadaan set dapur pada program Ini Talk Show diperlukan mengingat
acara tersebut memiliki karakter asisten rumah tangga bernama Maya yang kerap
berakting seolah-olah menyiapkan minuman dan cemilan bagi para bintang tamu
yang diundang. Meskipun begitu, akting menyiapkan minuman dan cemilan
tersebut terlihat hanya dilakukan sekenanya, mengingat Maya yang selalu terlihat
langsung membawa minuman atau makanan yang sudah jadi ke area ruang tamu.
Set dapur memang diperlukan, namun pada gambar di atas terlihat kitchen set
yang dibuat serta properti yang diletakkan memberi kesan bahwa ini merupakan
dapur yang benar-benar digunakan untuk beraktifitas. Material yang digunakan
pada kitchen set terlihat kuat dan kokoh seakan-akan kitchen set tersebut
digunakan oleh ibu rumah tangga yang menyiapkan masakan untuk keluarganya.
Hal yang membuat set ini terlihat artifisial adalah kebersihan meja konter yang
terlihat jarang digunakan serta ketidakhadiran berbagai perlengkapan dapur
seperti kompor, kulkas, bak pencuci piring dan lain sebagainya yang
keberadaannya vital terhadap kegunaan dapur yang asli digunakan. Area dapur
pada set hanya berfungsi untuk mensimulasikan suasana dapur yang sebenarnya
tidak ada, dan dapat disimpulkan sebagai simulacra fase ketiga.

Universitas Indonesia
40

Gambar 4.9 Set Ruang Keluarga Rumah Ini Talk Show


Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Pada area ruang keluarga terdapat sofa dan televisi yang khas ada di tipikal
rumah tinggal masyarakat Indonesia. Ruang ini terlihat cukup kecil untuk
mengakomodasi “keluarga” Ini Talk Show yang terdiri dari banyak karakter.
Televisi yang dipajang memutar video berisi iklan-iklan program NET. TV tanpa
henti selama studio Ini Talk Show digunakan. Area ini terlihat jarang digunakan
oleh karakter pengisi acara bahkan untuk berakting gimmick komedi. Area ini
terasa dihadirkan hanya sebagai pelengkap untuk membuat tampilan set interior
rumah semakin meyakinkan secara menyeluruh.

Di belakang area keluarga terdapat area kerja (workstation) yang terdiri


dari meja kerja lengkap dengan laptop dan telepon kabel, serta rak tinggi yang
dipenuhi buku-buku palsu dan berbagai pajangan. Jika dilihat secara lebih detil,
buku-buku palsu tersebut memiliki judul yang lucu dan asal-asalan. Buku-buku
palsu dan pajangan seperti bola dunia dan miniatur menara Eiffle juga
mensimulasikan karakter pemilik rumah yang seakan-akan hobi membaca dan
berkeliling dunia. Meja kerja dan laptop memberi kesan seakan-akan Sule sebagai
karakter pemilik rumah memiliki pekerjaan dan kesibukan lain di luar “rumah”.
Area ini seperti pada area ruang keluarga, juga jarang digunakan untuk adegan-
adegan rekayasa pada program Ini Talk Show sehingga saya menyimpulkan
bahwa area ini dimaksudkan untuk fungsi estetika dan pelengkap saja.

Universitas Indonesia
41

Gambar 4.10 Set Area Kerja Rumah Ini Talk Show


Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Area panggung utama merupakan simulasi akan ruang tamu pada “rumah”
keluarga Ini Talk Show. Pada area ini wawancara terhadap bintang tamu dilakukan
dan area ini merupakan titik utama di mana kamera diarahkan. Berbagai adegan
komedi yang diselipkan diantara wawancara pun juga sering dilakukan di area ini.
Jika melihat kembali ke gambar studio Ini Talk Show akan terlihat bahwa dimensi
area ruang tamu ini lebih besar ketimbang area-area lainnya pada set. Hal ini
ditujukan untuk mengakomodasi pergerakan karakter-karakter pengisi acara.
Selain itu dimensi yang besar juga untuk mengantisipasi tampilan ruang di kamera
yang biasanya terlihat lebih sempit dibandingkan dengan kenyataan.

Di sebelah kanan dan kiri area panggung terdapat elemen-elemen dekoratif


yaitu jendela dan perapian. Jendela yang berada pada sisi sebelah kiri panggung
terlihat tinggi dan di sampingnya ditempatkan sepasang bangku dan sebuah meja
kecil seakan-akan merupakan area duduk santai bagi pemilik rumahnya. Di sisi
sebelah kanan terdapat sesuatu yang terlihat seperti sebuah perapian dengan
berbagai pajangan serta di atasnya tergantung foto Sule yang berukuran besar.
Elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi lain selain pelengkap dan penguat
karakter cerita pada acara, karena jendela tersebut tidak menampilkan view

Universitas Indonesia
42

dengan jelas, area duduk di sampingnya tidak terlihat digunakan pada adegan-
adegan pengisi, perapian tersebut bahkan tidak memiliki lubang sehingga tidak
bisa menyala, serta foto Sule yang dipajang memperlihatkan tampilannya dalam
karakter host yang ia perankan dan bukan sebagai dirinya sendiri.

Gambar 4.11 Set Area Ruang Tamu Rumah Ini Talk Show
1. Area Interview; 2. Jendela; 3. Perapian
Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Pada set rumah Ini Talk Show juga terdapat tampilan suasana luar ruang
(outdoor) yang juga ikut diperhatikan. Jika melihat pada “pintu” rumah yang
digunakan sebagai main entrance oleh para bintang tamu untuk masuk ke tengah-
tengah studio, terdapat sebuah backdrop yang menggambarkan suasana
perumahan di malam hari. Di belakang pintu tersebut juga dipasang karpet rumput
sintetis untuk mensimulasikan halaman rumput pada rumah tinggal. Pada area
ruang keluarga juga terdapat jendela yang jika diperhatikan, menampilkan
pemandangan rumah tetangga di seberangnya, yang juga dalam kondisi
Universitas Indonesia
43

pencahayaan yang remang-remang. Hal ini menunjukkan upaya simulasi karakter


rumah tinggal dalam kehidupan bertetangga, sehingga secara keseluruhan tidak
terlihat janggal. Tampilan suasana outdoor yang gelap juga merupakan simulasi
identitas waktu yang korelatif terhadap jam tayang Ini Talk Show yaitu pukul
19.30 WIB. Hal tersebut berguna ketika Ini Talk Show disiarkan secara tunda
sehingga produksi acara dapat dilakukan di siang hari tanpa merusak konteks
waktu.

Gambar 4.12 Tampilan Outdoor pada Set


1. Dari Pintu Masuk; 2. Dari Jendela Ruang Tengah
Sumber: Dokumentasi Pribadi (Dec 8, 2015)

Pada set, kita juga dapat melihat berbagai kombinasi material yang
ditampilkan. Pada dinding terlihat kayu, batu alam, bata expose, dan gambar
berpola. Lantai terlihat menggunakan papan kayu atau parquet. Namun karena
sifat set yang temporer, tidak mungkin menggunakan material yang asli untuk
membangunnya. Karena itu, material-material tersebut disimulasikan dalam
bentuk kertas dinding. Gambar berpola dihadirkan dalam bentuk wallpaper, hal ini
tentu sudah biasa ditemui di berbagai ruangan tempat kita beraktifitas. Namun
batu alam dan bata expose yang terlihat juga ditampilkan dalam bentuk kertas
Universitas Indonesia
44

dinding dengan tekstur yang terlihat seperti itu. Pada lantai juga bukan parquet
asli yang digunakan, melainkan material berbahan vinyl dengan pola lantai kayu
yang tercetak. Simulasi terhadap material bangunan juga dilakukan pada set
rumah Ini Talk Show.

Gambar 4.13 Material pada Desain Set Rumah Ini Talk Show
Sumber (telah diolah kembali): Dokumentasi Pribadi

Desain set program Ini Talk Show yang berbentuk seperti rumah terdiri
dari bagian-bagian yang cukup detail. Area-area pada rumah, furnitur, perabotan,
pajangan, dan material yang disimulasikan saling mendukung satu sama lain
untuk mewujudkan tampilan set yang lengkap dan menyeluruh. Merujuk pada
teori Baudrillard, set program Ini Talk Show baik sebagian maupun keseluruhan
dapat disimpulkan sebagai simulacra pada fase ketiga, bahkan mengarah ke fase
keempat. Suasana rumah yang dihasilkan membuat acara Ini Talk Show semakin
hiperrealistis, mengingat elemen-elemen palsu (jendela, buku-buku pada rak,
kitchen set tanpa perlengkapan, wallpaper) bercampur dengan elemen-elemen asli
(furnitur seperti sofa, kursi, meja yang benar-benar digunakan) sehingga sulit
untuk dibedakan. Simulasi kualitas homey pada set juga mendukung berjalannya
plot acara yang bersifat naratif mengingat jumlah adegan-adegan komedi yang
menjadi pengisi di antara wawancara dengan bintang tamu. Desain set Ini Talk
Show merupakan contoh simulasi arsitektural yang berhasil membangun
hiperrealitas pada tayangannya.

Desain set sebagai suatu bidang yang terpisah merupakan sebuah


simulacra fase ke empat yang berarti ia merupakan sesuatu yang saat ini sudah
dianggap nyata dengan sendirinya. Namun desain set sebagai elemen pendukung
Universitas Indonesia
45

produksi televisi merupakan simulacra fase ke tiga yang berarti ia menutupi


ketidakberadaan akan sebuah tempat yang nyata. Ketidakberadaan tempat,
bersama dengan ketidakberadaan elemen-elemen yang nyata lainnya pada
tayangan televisi membuktikan betapa hiperrealistis tayangan televisi secara
keseluruhan. Hiperrealitas ini menjadi sesuatu yang sangat digemari masyarakat
dan dikonsumsi setiap harinya oleh puluhan juta orang di Indonesia.

Universitas Indonesia
46

BAB 5

KESIMPULAN

Tayangan televisi merupakan sebuah produk yang bersifat hiperrealistis.


Genre program apapun yang ditonton oleh masyarakat, baik program berita,
liputan, dan dokumenter yang bersifat faktual dan ilmiah, kemudian program
drama, sinetron, dan film yang bersifat fiktif dan telah direkayasa, serta program-
program yang mencampurkan elemen faktual dan fiktif di dalamnya semua berada
dalam lapisan hiperrealitas. Merujuk kepada teori produksi televisi oleh Wurtzel
dan Rosenbaum (1995) serta Millerson dan Owens (2009), program televisi
diproduksi dengan berbagai macam upaya untuk menghasilkan tayangan yang
meyakinkan untuk ditonton. Millerson dan Owens sendiri mengakui bahwa
kamera dan mikrofon yang digunakan untuk merekam tayangan dapat
mentransformasikan kenyataan. Elemen-elemen pendukung, dalam konteks
penulisan skripsi ini desain set, juga ikut mengambil peran dalam merekayasa
tampilan dalam tayangan televisi.

Hiperrealitas secara sederhana merupakan lapisan tempat batas antara


kenyataan dan kepalsuan menjadi kabur. Pada tayangan televisi, kenyataan yang
disajikan, misalnya berupa informasi dan berita, diolah dengan berbagai macam
rekayasa sesuai dengan arahan sutradara. Dalam tayangan Ini Talk Show,
interview yang dilakukan merupakan elemen yang nyata. Namun adegan-adegan
komedi yang diselipkan merupakan hal yang dibuat-buat demi menghibur
penonton. Sule dan Andre yang menyapa penonton menyadarkan kita bahwa ini
merupakan acara talkshow, namun adegan yang memberikan kesan bahwa Sule
dan Andre berada di rumah dan berinteraksi dengan karakter-karakter keluarganya
membuat kita merasa tayangan tersebut juga bersifat dramatis. Hal tersebut
memperkuat lapisan hiperrealitas dalam tayangan Ini Talkshow.

Universitas Indonesia
47

Hiperrealitas juga diperkuat dengan adanya simulasi. Sesuai dengan


pemaparan Baudrillard (1981), simulasi merupakan upaya mengadakan sesuatu
yang tidak nyata. Sesuatu yang disimulasikan dapat menjadi simulacra melalui
replikasi dan duplikasi yang terjadi dan mengalami pergeseran. Simulasi dan
simulacra dapat ditemui di sekitar kita, dalam bentuk karya seni, teknologi,
sistem, termasuk juga arsitektur. Simulasi dalam arsitektur dapat dilakukan untuk
menghadirkan elemen tertentu dalam bentuk keruangan, juga sebaliknya untuk
menghadirkan elemen keruangan yang utuh dalam bentuk yang lain.

Pada tayangan Ini Talk Show, desain set menjadi simulasi untuk
menghadirkan elemen keruangan dalam program televisi. Tayangan tersebut ingin
menghadirkan suasana rumah dalam tampilannya sehingga dibuatlah sebuah
desain set yang menyerupai keadaan interior sebuah rumah. Simulasi arsitektural
pada desain set Ini Talk Show berwujud hadirnya berbagai area-area yang kerap
ditemukan dalam rumah tinggal, seperti area dapur, area kerja, ruang keluarga,
dan area ruang tamu. Selain itu, penempatan berbagai macam furnitur, peralatan
rumah tangga, kitchen set, dan pajangan juga memperkuat area-area dalam set
sebagai wujud simulasi arsitektural. Dalam kasus Ini Talk Show, rumah tersebut
bersifat tidak nyata, namun disimulasikan pada tayangan sehingga terasa nyata.
Ketika tayangan tersebut berakhir, maka keberadaan rumah tersebut pun hilang.

Desain set menjadi sebuah simulasi arsitektural dengan menghadirkan


ruang dengan fungsi tertentu tanpa memfungsikan ruang tersebut sebagaimana
yang dimaksudkan. Hal tersebut menjadikan ruang memiliki bentuk yang terjadi
untuk mengakomodasi aktivitas tertentu namun hanya digunakan untuk
menghadirkan identitas keruangan serta suasana tertentu pada tayangan televisi.
Seperti pada studi kasus Ini Talk Show, desain set secara umum telah berhasil
membangun hiperrealitas pada tayangan televisi yang ia dukung.

Universitas Indonesia
48

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, M. A. (2013). Opera Van Java, Operanya Wong Indonesia.


December 22, 2015. http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/opera-van-
java-operanya-wong-indonesia_552899d26ea834da248b45a9

Ancient Symbols (n.d.). Rub el Hizb Symbols. December 10, 2015.


http://www.ancient-symbols.com/symbols-directory/rub_el_hizb.html

Azhar, A. (Director). (2006). Saingan Odah [Television series episode]. In Office


Boy. Jakarta: RCTI. December 10, 2015.
https://www.youtube.com/watch?v=xVOi5RE-Mts

Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation (S. Glaser, Trans.). Michigan:


University of Michigan Press.

Baudrillard, J. (1995). The Gulf War Did Not Take Place (P. Patton, Trans.).
Indianapolis: Indiana University Press.

Bruun, H. (2001). The Aesthetics of Television Talk Shows. In G. Agger & J.H.
Jensen (Ed.). The Aesthetics of Television (pp. 229-255). Aalborg: Aalborg
University Press.

Chung Chin Yi (2007, March). Hyperreality, the Question of Agency, and the
Phenomenon of Reality Television. Nebula 4.1.

Da Ferry, S. (Producer). (2011). Islam Itu Indah. [Television broadcast]. Jakarta:


Trans TV.

Debord, G. (1994). The Society of The Spectacle (D. Nicholson-Smith, Trans.).


New York: Zone Books.

Universitas Indonesia
49

Eco, U. (1990). Travels in Hyperreality (W. Weaver, Trans.). New York:


Harcourt Brace & Company.

Kurniawan, I. (Exc. Producer). (2013). Yuk Keep Smile. [Television broadcast].


Jakarta: Trans TV. December 10, 2015.
https://www.youtube.com/watch?v=dYJTyqpxuVM

Maullana, I. (2014, June 26). KPI Resmi Jatuhkan Penghentian “YKS”.


December 10, 2015.
http://entertainment.kompas.com/read/2014/06/26/1523557/KPI.Resmi.Jatuhka
n.Sanksi.Penghentian.YKS.

Millerson, G. & Owens, J. (2009). Television Production (14th ed.). Oxford:


Focal Press.

Netmedia (n.d.). About The Show. Ini Talk Show. December 11, 2015.
http://www.netmedia.co.id/program/107/Ini-Talk-Show

Nielsen (2007, August). Ketatnya Pertarungan di Awal Prime Time. AGB Nielsen
Media Research Newsletter, 1. November 8, 2015.
http://agbnielsen.com/Uploads/Indonesia/AGB%20Nielsen%20Newsletter%20
Aug-Ind.pdf

Nielsen (2014, May 21). Nielsen: Konsumsi Media Lebih Tinggi di Luar Jawa.
November 8, 2015. http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-
konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html

Nugraha, A. (Exc. Producer). (n.d.). Makan Malam Minggu Malah Kabur


[Television series episode]. In Bajaj Bajuri. Jakarta: Trans TV. December 1,
2015. https://www.youtube.com/watch?v=0-kQcgmeggA

Universitas Indonesia
50

Pramita, Y. (Producer). (2013, August 9). Opera Van Java [Television broadcast].
Jakarta: Trans 7. December 4, 2015.
https://www.youtube.com/watch?v=4MlKjVB3nuo

Pramita, Y. (Producer). (2013, October 9). Opera Van Java [Television


broadcast]. Jakarta: Trans 7. December 4, 2015.
https://www.youtube.com/watch?v=RrP_uDF2l9M

Silalahi, M. (2013, March 6). Pemirsa Indonesia Habiskan 197 Jam Untuk
Menonton Sinetron. November 8, 2015. http://mix.co.id/brand-
insight/research/pemirsa-indonesia-habiskan-197-jam-untuk-menonton-
sinetron

Sunarto (2009). Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku


Kompas.

Wicaksono, E. (Producer). (2015, December 8). Ini Talk Show [Television


broadcast]. Jakarta: NET. TV. December 10, 2015.
https://www.youtube.com/watch?v=GX9PBmnQOw8

Wurtzel, A. & Rosenbaum, J. (1995). Television Production (4th ed.). New York:
McGraw-Hill.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai