Anda di halaman 1dari 120

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

OPTIMALISASI PERAN KOMUNITAS INTELIJEN DAERAH


DALAM DETEKSI DINI KONFLIK KOMUNAL
DI KOTA PONTIANAK

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Magister dalam bidang Ilmu Pertahanan

WULANDA ANJASWARI
1 2014 01 03032

FAKULTAS STRATEGI PERTAHANAN


PROGRAM STUDI DAMAI DAN RESOLUSI KONFLIK

BOGOR
2016

i
LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Wulanda Anjaswari


NPM : 120140103032
Program Studi : Damai dan Resolusi Konflik
Judul Tesis : Optimalisasi Peran Komunitas Intelijen Daerah Dalam
Deteksi Dini Konflik Komunal di Kota Pontianak.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister
Sains dalam bidang pertahanan pada Program Studi Damai dan Resolusi
Konflik, Fakultas Strategi Pertahanan, Universitas Pertahanan Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. M.D. La Ode, M.Si ( )

Pembimbing II : Dr. Supandi Halim, S.Sos, M.Si ( )

Penguji I : Kolonel Inf. Dr. Ahwan Ismadi, S.Pdi., S.H., M.H ( )

Penguji II : Brigjen TNI Lasmono, M.Si (Han) ( )

Penguji III : Letkol Kav. Rahman, M.Sc ( )

Ditetapkan di : Bogor
Tanggal : Maret 2016

i
PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat

karya atau bagian karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan jenjang apapun di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat istilah, frasa, kalimat, paragraf,

subbab, atau bab dari karya yang pernah ditulis atau diterbitkan kecuali

yang secara tertulis dirujuk dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar

Referensi.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa terdapat plagiat dalam

tesis ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan dan

undang-undang yang berlaku.

Bogor, Maret 2016

Wulanda Anjaswari

i
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Pertahanan Indonesia, saya yang


bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Wulanda Anjaswari
NPM : 120140103032
Program Studi : Damai dan Resolusi Konflik
Fakultas : Strategi Pertahanan
Jenis karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan


kepada Universitas Pertahanan Indonesia Hak Bebas Royalti
Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah
saya yang berjudul: OPTIMALISASI PERAN KOMUNITAS INTELIJEN
DAERAH DALAM DETEKSI DINI KONFLIK KOMUNAL DI KOTA
PONTIANAK. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas
Pertahanan Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta/Karya Intelektual dari
tesis ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan kesadaran penuh tanpa


paksaan dari pihak manapun.

Bogor, Maret 2016


Yang menyatakan

i
Wulanda
Anjaswari

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan ridha-Nya lah, sehingga penulis mampu menempuh dan
menyelesaikan tesis yang berjudul “
Optimalisasi Peran Komunitas Intelijen
Daerah Dalam Deteksi Dini Konflik Komunal Di Kota Pontianak”
.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan kuliah pada program Magister Sains Ilmu Pertahanan
Program Studi Damai dan Resolusi Konflik Fakultas Strategi Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia.
Rasa syukur dan terima kasih bahwa beberapa kendala dan
hambatan yang dijumpai dalam penulisan tesis ini telah dapat diatasi
dengan baik, karena banyak pihak yang telah berkontribusi dalam
memberikan masukan, ide dan semangat kepada penulis terkait karya tulis
ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Letjen TNI I Wayan Midhio, M.Phil selaku Rektor Universitas
Pertahanan Indonesia.
2. Mayjen TNI I Gede Sumertha KY, PSC., M.Sc selaku Dekan Fakultas
Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
3. Kolonel Laut (KH) Dr. Adnan Madjid, S.H., M.Hum selaku Kepala
Program Studi Damai dan Resolusi Konflik.
4. Dr. M.D. La Ode, M.Si selaku pembimbing I yang banyak memberikan
ide, masukan, saran ilmiah dan bimbingan bagi penulis dan juga
memacu penulis penulis untuk dapat berkarya bagi kemajuan ilmu
pengetahuan khususnya mengenai konflik dan politik etnis.
5. Dr. Supandi Halim, S.Sos, M.Si selaku pembimbing II yang telah
memberikan waktu dan tenaga dalam mengarahkan serta memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis untuk terus maju dan

v
mengatasi berbagai kendala yang muncul dalam menyelesaikan tesis
ini.
6. Walikota Pontianak dan seluruh jajaran Pemerintah Kota Pontianak
yang telah memberikan bantuan baik materil maupun moril sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.
7. Seluruh Anggota Kominda Kota Pontianak dan Narasumber yang telah
berkontribusi penuh dalam penyelesaian tesis ini dan memberikan
masukan dan motivasi positif selama penyusunan tesis.
8. Seluruh Purna Praja Kota Pontianak yang telah membantu
memberikan bantuan, masukan, ide dan dorongan dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
9. Suharno Faris, SH, Suami tercinta, beserta Putri kami, Rayya Adiva
Naira yang telah tulus ikhlas mengizinkan penulis mengikuti
pendidikan dan memberikan dukungan, semangat melalui cinta dan
doa yang tak henti setiap waktu.
10. H. Abdi Buana dan Hj. Sri Mulyani, orang tua penulis yang senantiasa
memberikan doa restu dan bantuan yang tak terhingga banyaknya
selama ananda menempuh proses pendidikan di Universitas
Pertahanan,
11. Adik-adikku, Tirta Arifin, Akhmad Zikri Ardillah, dan Fahmi Setiadi yang
senantiasa memberikan bantuan untuk mendukung penulis selama
pendidikan dan menyelesaikan penelitian ini.
12. Teman-teman Prodi Damai dan Resolusi Konflik Cohort 3, teman
mess, dan sahabat yang terus memberikan semangat serta dukungan
kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
13. Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Damai dan
Resolusi Konflik dan Fakultas Strategi Pertahanan yang telah banyak
membantu penulis selama proses belajar dan penulisan tesis ini.
14. Berbagai pihak yang tidak penulis sebut satu per satu, yang telah
memberikan bantuan, masukan, serta dukungan bagi penulis sejak
dimulainya perkuliahan sampai dengan selesainya penyusunan tesis
ini.

v
Penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi
kita semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
peningkatan kesadaran kepada masyarakat luas mengenai pentingnya
deteksi dini, intelijen dan pemahaman mengenai konflik komunal.

Bogor, Maret 2016

Wulanda Anjaswari

v
DAFTAR SINGKATAN

BIN Badan Intelijen Negara

CEWERS Conflict Early Warning and Early Response System

FKUB Forum Kerukunan Umat Baragama

FKDM Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat

FPK Forum Pembauran kebangsaan

FORKOPIMDA Forum Komunikasi Pimpinan Daerah

KABINDA Kepala Badan Intelijen Negara Daerah

KOMINDA Komunitas Intelijen Daerah

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

PCR Peace and Conflict Resolution

RPI Roda Perputaran Intelijen

SARA Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan

v
ABSTRAK

Nama : Wulanda Anjaswari


Program Studi : Damai dan Resolusi Konflik
Judul Tesis : Optimalisasi Peran Komunitas Intelijen Daerah
dalam Deteksi Dini Konflik Komunal di Kota
Pontianak

Kominda merupakan wadah koordinasi kerjasama dan koordinasi unsur-


unsur intelijen di daerah. Tujuan utama dibentuknya kominda adalah
dalam rangka deteksi dini dan cegah dini setiap ancaman nasional di
daerah termasuk konflik komunal. Namun dalam pelaksanaan peran
deteksi dini pada kominda masih terdapat masalah koordinasi dan
komunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan
optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal di Kota
Pontianak serta faktor-faktor yang menghambat optimalisasi peran
tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif untuk menggambarkan keadaan subjek/objek penelitian
berdasarkan fakta-fakta yang tampak di lapangan. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi.
Hasil analisis data dilapangan dengan menggunakan teori deteksi dini dan
teori koordinasi disimpulkan bahwa optimalisasi peran kominda dalam
deteksi dini konflik komunal dilakukan dengan perbaikan kualitas
koordinasi melalui rapat rutin kominda dan pertemuan informal, namun
belum berjalan baik dan optimal. Kendala yang dihadapi Kominda dalam
optimalisasi peran deteksi dini diakibatkan oleh perbedaan struktur dan
pembagian tugas yang tumpang tindih antara tugas aparat intelijen dalam
kominda dan tugas pada instansi utama. Selain itu perbedaan sumber
daya dan status serta arus pekerjaan juga ikut menghambat pelaksanaan
optimalisasi peran tersebut. Saran yang ditawarkan adalah dengan
melakukan penguatan koordinasi dan kerjasama diantara anggota
kominda, peningkatan koordinasi pemerintah daerah dengan aparat
intelijen sehingga deteksi dini dapat berjalan secara efektif.

Kata kunci : intelijen, deteksi dini, konflik komunal, koordinasi

i
ABSTRACT

Name : Wulanda Anjaswari


Study Program : Peace and Conflict Resolution
Thesis Title : Optimization of Role of Regional Intelligence
Community in Communal Conflict Early Detection in
Pontianak.

Regional Intelligence Community (kominda) is a platform for cooperation


and coordination of intelligence elements in regions. The main purpose of
kominda is for early detection and early prevention of every national threat,
including communal conflict. However, in the implementation of early
detection of kominda, there are still problems in coordination and
communications. This research aims to understand the optimization of the
role of kominda in communal conflict early detection in Pontianak and the
factors that hamper the optimization. Research method used in this
research is descriptive qualitative method to describe the condition of
subject/object of research based on facts on field. The data gathering
techniques consist of observation, in-depth interview and documentation.
The results of data analysis using early detection theory and coordination
theory show that optimization of role of kominda in communal conflict early
detection is implemented with improvement of coordination quality through
regular meetings and informal meetings. However, it has not gone
smoothly. The obstacles faced by kominda in early detection optimization
are caused by structural differences and overlapping division of tasks
between intelligence officials of kominda and duties of the main agency.
Moreover, differences in human resources, status and work flow also
hinder the role optimization. Suggestions for optimization are
strengthening of coordination and cooperation between kominda members
and improvement of coordination between the regional government and
intelligence officials so that early detection can operate effectively.

Keywords : intelligence, early detection, communal conflict, coordination

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... ii


PERNYATAAN ORISINALITAS.............................................................. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK


KEPENTINGAN AKADEMIS.................................................................... iv

KATA PENGANTAR................................................................................. v

DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. viii


ABSTRAK................................................................................................. ix

ABSTRACK............................................................................................... x

DAFTAR ISI.............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL....................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xvi


BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah............................................................ 9


1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian.................................... 10

1.4 Manfaat Penelitian............................................................. 10

1.5 Ruang Lingkup dan Gambaran Desain Penelitian............. 11


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN........... 13

2.1 Tinjauan Pustaka............................................................... 13

2.1.1 Optimalisasi Peran Kominda...................................... 13


2.1.2 Intelijen dalam Deteksi Dini ..................................... 15

2.1.3 Urgensi Strategi dalam Intelijen dan Pencegahan 21


Konflik ..

2.1.4 Komunitas Intelijen Daerah....................................... 21

x
2.1.5 Koordinasi dalam Kominda........................................ 22

2.1.6 Konflik Komunal........................................................ 24


2.2 Penelitian Terdahulu...................................................... 27

2.3 Kerangka Pemikiran....................................................... 33

BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................. 35


3.1 Desain Penelitian........................................................... 35

3.2 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian............................ 36

3.2.1 Subjek Penelitian.................................................... 36


3.2.2 Objek Penelitian...................................................... 37

3.3 Prosedur Penelitian......................................................... 37

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data......................................... 37


3.3.2 Teknik Analisis Data................................................ 38

3.4 Jadwal Penelitian.............................................................. 40

BAB 4 Analisis Data dan Pembahasan................................................. 41


4.1 Gambaran Lokasi Penelitian.............................................. 41

4.1.1 Kondisi Umum Wilayah Kota..................................... 41

4.1.1.1 Keadaaan Geografi Kota Pontianak................. 41


4.1.1.2 Gambaran Demografi Kota Pontianak.............. 43

4.1.2 Komunitas Intelijen Daerah Kota Pontianak............. 45

4.1.2.1 Sekretariat Kominda.......................................... 49


4.2 Analisis Data Hasil Penelitian............................................ 51

4.2.1 Optimalisasi Peran Komunitas Intelijen Daerah


Dalam Deteksi Dini Konflik Komunal di Kota
Pontianak.................................................................. 51
4.2.2.1 Kerawanan dan Potensi Konflik Komunal di
Kota Pontianak ................................................ 51
4.2.2.2 Peran Komunitas Intelijen Daerah dalam
Deteksi Dini ..................................................... 61
4.2.2.3 Optimalisasi Peran Deteksi Dini melalui
Koordinasi dalam Komunitas Intelijen Daerah 76

x
4.2.2.4 Pelaksanaan Fungsi sekretariat Kominda........ 83

4.3 Faktor yang menghambat peran Kominda dalam deteksi


dini konflik Komunal di Kota Pontianak.............................. 88

4.3.1 Masalah-masalah dalam koordinasi......................... 89


4.3.1.1 Perbedaan dalam orientasi sasaran-sasaran
khusus. ........................................................... 89
4.3.1.2 Perbedaan dalam orientasi waktu.................... 89
4.3.2.3 Perbedaan dalam orientasi antar
perseorangan................................................... 91

4.3.1.4 Perbedaan dalam formalitas struktur............... 91


4.3.2 Sebab-sebab timbulnya masalah koordinasi............ 92

4.3.2.1 Kondisi Organisasi dan Koordinasi................... 92

4.3.2.2 Faktor Manusia dan Koordinasi........................ 94


BAB 5 PENUTUP.................................................................................. 98

5.1 Simpulan........................................................................... 98

5.2 Saran................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 101

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Input, Process dan Ouput dari Siklus Intelijen 19

2.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu 31


Tabel 3.1 Daftar Narasumber............................................................. 36

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian............................................................. 40

Tabel 4.1 Batas Wilayah Administrasi Kota Pontianak..................... 43


Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Pontianak Tahun 2013................ 44

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Menurut Etnis Bangsa Kota


Pontianak Tahun 2012...................................................... 44

Tabel 4.4 Anggota Tim Kominda Kota Pontianak.............................. 46

Tabel 4.5 Sumber Potensi Konflik dan Kerawanan di Kota


Pontianak........................................................................... 56

Tabel 4.6 Kelompok yang terlibat Konflik di Kota Pontianak............. 57


Tabel 4.7 Hasil Pemetaan konflik dan Kerawanan di Kota Pontianak
Tahun 2013-2015............................................. 57
Tabel 4.8 Capaian Pelaksanaan Koordinasi Kominda Kota
Pontianak Tahun 2014....................................................... 65
Tabel 4.9 Susunan Tim Sekretariat Kominda.................................... 86

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Insiden Konflik Kekerasan di Kalimantan Barat Tahun 7


1997-2012........................................................................

Gambar 1.2 Insiden dan Dampak Konflik Kekerasan di Kalimantan 7


Barat...................................................................................

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran........................................................... 33

Gambar 3.1 Teknis Analisis Data Miles dan Huberman........................ 39

Gambar 4.1 Citra Satelit Kota Pontianak............................................... 41

Gambar 4.2 Wilayah Kota Pontianak..................................................... 42

Gambar 4.3 Tiga Etnis Dominan di Kota Pontianak.............................. 45

Gambar 4.4 Struktur Organisasi Kominda Kota Pontianak.................... 47

Gambar 4.5 Masyarakat etnis Dayak yang turun ke jalan dalam 54


bentrok dengan FPI tahun 2012........................................

Gambar 4.6 Sultan Abubakar di Halaman Istana Kadariah pada saat 55


terjadi klaim ganda Takhta Kesultanan Pontianak.............

Gambar 4.7 Mekanisme Koordinasi Kominda....................................... 78

Gambar 4.8 Struktur Organisasi Kominda Kota Pontianak................... 93

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Kerawanan Daerah Kota Pontianak............................ 106

x
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai kerawanan yang melekat dengan kondisi geografis dan
demografis Indonesia merupakan realitas umum yang sudah sangat
dipahami oleh bangsa Indonesia. Komposisi masyarakat majemuk di
Indonesia yang terdiri dari berbagai Etnis, ras, agama, golongan yang
tersebar lebih di lebih dari belasan ribu pulau, membawa sejumlah
konsekuensi yang akan selalu mewarnai dinamika kehidupan nasional
hingga kapanpun (Dirjen strahan; 2012). Dalam masyarakat yang
majemuk, terjadinya konflik dalam hubungan atau interaksi antar kelompok
sangat mungkin terjadi sehingga salah satu konsekuensinya adalah
kesiapan untuk menghadapi konflik sosial yang merupakan konflik yang
mudah menyebar dan berpotensi menimbulkan kekerasan baik kekerasan
struktural maupun kekerasan fisik.
Pecahnya konflik akan berdampak pada kepentingan
dipertahankannya kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan
keselamatan bangsa atas gangguan dan ancaman terhadap keutuhan
bangsa dan negara. Dalam beberapa tahun terakhir indonesia mengalami
konflik horizontal yang menimbulkan korban yang tidak sedikit. Daerah-
daerah yang dilanda konflik seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara menjadi salah satu bukti
ancaman internal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Potensi ancaman ini apabila tidak diantisipasi secara dini, maka akan
melahirkan bibit disintegrasi bangsa (Jamal Baked dkk, 2002).
Andi Wijayanto dan Artanti Wardani (2008) dalam tulisannya
Hubungan Intelijen-Negara 1945-2004, menyatakan hambatan utama
dalam pembangunan di Indonesia adalah kondisi ketidakamanan sebagai
akibat dari instabilitas, kemiskinan sementara Kemiskinan dan kekerasan
komunal saling menguat satu sama lain. Hal ini memberi arti bahwa antara
pembangunan dan keamanan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Integrasi antara konsep kemananan, pembangunan, dan hak-hak sipil

x
1

rakyat sebagai suatu tujuan pembangunan, seharusnya


diimplementasikan sebagai kerangka penyelesaian menyeluruh bagi
masalah-masalah keamanan seperti penegakan hukum, perlindungan hak
-hak sipil dengan kebutuhan untuk melakukan reformasi institusional di
tubuh TNI, POLRI, serta dinas-dinas Intelijen. Hal ini dilakukan untuk
mencegah jatuhnya Indonesia dalam kategori Failed State sebagai akibat
ketidakmampuan negara memproyeksi kapasitas kewenangan yang
dimilikinya sehingga reformasi sistem keamananan harus menyentuh
sistem intelijen nasional (Andi Wijayanto dan Artanti Wardhani; 2008)
Ketiadaan landasan hukum mengenai mekanisme kerja intelijen
melalui undang-undang yang mengatur dan mendasari sistem operasi
intelijen menyebabkan koordinasi, kewenangan dan tanggung jawab
intelijen negara menjadi tidak jelas. Menurut Hendropriyono (2013) bahwa
harus diakui sejak awal reformasi, kerjasama intelijen antarlembaga di
Indonesia tidak baik, karena berkembangnya sifat arogansi sektoral yang
datang seiring liberal individualisme.
Dalam rangka menyikapi kondisi tersebut pemerintah memandang
perlu mengambil langkah-langkah nyata, khususnya guna
mengkoordinasikan unit-unit intelijen dari berbagai lembaga yang ada
sehingga dapat dilakukan deteksi dini, peringatan atas ancaman,
Tantangan, Hambatan dan gangguan (ATHG) terhadap stabilitas nasional
dapat dicegah (Edy Haryanta; DB Paranoan; Rita Kalalinggi, 2013).
Keberadaan unit-unit intelijen tentunya sangat dibutuhkan dalam
memberikan informasi-informasi dalam intelijen dan analisis intelijen
terhadap potensi, gejala, dan peristiwa saat ini dan prediksi masa depan.
Mendukung pernyataan di atas Irawan Sukarno mengatakan bahwa upaya
-upaya intelijen itu adalah memberi masukan dalam rangka penggarisan
kebijakan atau mengamankan kebijakan yang telah diambil tetapi
berhadapan dengan ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan) dari dalam maupun dari luar negeri (Sukarno; 2012).
Sejalan dengan perkembangan lingkungan strategis dan
perubahan bentuk ancaman pemerintah melalui menteri dalam negeri

Universitas Pertahanan
1

kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun


2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) baik tingkat provinsi
maupun kabupaten/Kota yang tugasnya diatur dalam pasal 7, antara lain
merencanakan, mencari mengumpulkan, mengoordinasikan, dan
mengomunikasikan informasi/bahan keterangan dan intelijen dari berbagai
sumber mengenai potensi, gejala atau peristiwa yang menjadi ancaman
stabilitas nasional di daerah; dan memberikan rekomendasi sebagai
bahan pertimbangan bagi Gubernur mengenai kebijakan yang berkaitan
dengan deteksi dini, peringatan dini, dan pencegahan dini terhadap
ancaman stabilitas nasional di daerah.
Keanggotaan Kominda diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2011 Tentang perubahan atas peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen
Daerah terdiri dari beberapa unsur yaitu Gubernur (Ketua), Kepala Badan
Intelijen Daerah (Pelaksana harian), Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik (Sekretaris), serta anggota yang berasal dari unsur intelijen dari
Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Republik Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai
dan Instansi terkait lainnya.
Dalam kerangka keamanan nasional, menurut Peter Gill
(sebagaimana dikutip dalam Wijayanto, 2008) fungsi Intelijen yang
dilakukan suatu negara tergantung pada persepsi pemimpin nasional
tentang apa yang disebut keamanan nasional, yang secara operasional
diterjemahkan sebagai spektrum ancaman yang menghadang pencapaian
kepentingan nasional. Dengan konsep ini diperlukan sebuah kesamaan
persepsi terhadap ancaman kemanan nasional antara aparat intelijen dan
pemimpin nasional yang dalam konteks Indonesia termasuk pemimpin-
pemimpin nasional di daerah yang meliputi Gubernur, Bupati dan Walikota
sebagai user atau pengguna intelijen sehingga pada pelaksanaannya
kepala daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota menjai penanggung
jawab dan pembina Kominda di Daerah.

Universitas Pertahanan
2

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2011 , bahwa tugas dan kewajiban kepala
daerah meliputi membina dan memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya ancaman stabilitas nasional
di daerah, mengkoordinasikan bupati/walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban dan
perlindungan masyarakat, dengan meningkatkan peran dan fungsi
Kominda, mengkoordinasikan fungsi dan kegiatan instansi vertikal di
provinsi sebagai jaringan intelijen dan menjamin terlaksananya kegiatan
operasional Kominda di daerah.
Untuk wilayah Kabupaten Kota tugas dan kewajiban
Bupati/Walikota meliputi membina dan memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya ancaman
stabulitas nasional di daerah, mengkoordinasikan fungsi dan kegiatan
instansi vertikal di kabupaten/kota sebagai jaringan intelijen dan menjamin
terlaksananya kegiatan operasional Kominda di Kabupaten/Kota . Oleh
karena itu berjalan atau tidaknya kegiatan Kominda di daerah, juga
menjadi tanggung jawab Kepala Daerah, mengingat peran yang
dibebankan kepada Kominda, yaitu memberikan rekomendasi sebagai
bahan pertimbangan bagi Kepala Daerah mengenai kebijakan yang
berkaitan dengan deteksi dini, peringatan dini dan pencegahan dini
terhadap berbagai kemungkinan yang dapat menjadi ancaman stabilitas
nasional di daerah yang salah satu bentuknya berupa konflik komunal.
Sebagai sebuah aktivitas yang mendukung Policy Maker,
dukungan kerja intelijen dilakukan dalam sebuah upaya-upaya intelijen
melalui fungsi Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan atau yang
lebih dikenal dengan jargon “
lidpamgal”(Sukarno;2011). Produk yang
dihasilkan dalam keseluruhan kegiatan intelijen adalah informasi intelijen
yang akan diolah menjadi bahan masukan bagi Policy Makers. Maka dari
itu fungsi penyelidikan yang dilakukan oleh aparat intelijen harus dilakukan
secara cepat, benar dan relevan. Dalam keseluruhan proses pengumpulan
informasi oleh anggota Kominda menuntut dilaksanakannya proses

Universitas Pertahanan
2

komunikasi dan koordinasi yang efektif diantara anggota Kominda


sehingga menghasilkan formulasi rekomendasi yang benar-benar efektif
dalam pengambilan kebijakan oleh pengguna dalam rangka pencegahan
dini terhadap konflik. Dengan demikian, resiko pecahnya Konflik Komunal
yang mungkin terjadi dapat dicegah.
Koordinasi yang dilakukan oleh Kominda berfungsi untuk
memelihara hubungan baik dalam berbagai kegiatan. Sebagai sebuah
wadah komunikasi yang bersifat lintas sektoral, fungsi koordinasi menjadi
salah satu hal yang sangat penting dilakukan oleh Kominda karena dalam
pelaksanaan tugas pokoknya mengumpulkan informasi, Kominda akan
melibatkan banyak orang. Dalam pelaksanaan Kominda kebutuhan
koordinasi merupakan sesuatu yang tidak bisa terelakkan (conditio sine
qua non) karena sekelompok orang bertanggung jawab atas
kesempurnaan suatu proses (Armawy, 2011).
Berdasarkan laporan dari Deputi Bidang Intelijen Dalam Negeri
BIN Tahun 2013 tentang Kondisi keamanan nasional dan penanganannya,
hambatan dalam pelaksanaan peran Kominda di daerah adalah masih
adanya kecenderungan ego sektoral institusi intelijen, sehingga
menghambat koordinasi dalam menangani permasalahan yang timbul.
Selain itu, Kurangnya respon kepala daerah atau instansi-instansi teknis
terhadap informasi yang disampaikan oleh Kominda. Sesuatu yang telah
diputuskan/direkomendasikan dalam rapat Kominda, tidak dilaksanakan
secara cepat di lapangan sehingga masalah menjadi berkembang.
Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki
sejarah konflik berkepanjangan (extended violence) dengan puncak konflik
besar yang terjadi di akhir 1990-an dan awal 2000-an. Sejarah panjang
Konflik Kekerasan di Kalimantan Barat membawa efek yang
berkepanjangan terhadap kerawanan wilayah Kota Pontianak.
Berdasarkan sejarah tersebut, Konflik kekerasan antar komunitas di
Kalimantan barat memiliki pola yang khas dibandingkan dengan tiga
wilayah Kalimantan lainnya. Kekhasan tersebut menurut Alqadrie, bersifat
Keras (violent), berlangsung berkali-kali (terjadi 15 kali sejak 1960-1990-

Universitas Pertahanan
2

an), dan Sulit diantisipasi (Alqadrie, 2015). Seringkali konflik yang terjadi
dimulai dari hal-hal yang bersifat sepele seperti kecelakaan dan
perbedaan paham kemudian berubah menjadi kekerasan kelompok yang
selama ini dikenal dengan konflik kekerasan antar kelompok etnis dan
agama. Pola kekerasan ini diperkuat dengan pernyataan Victor King
(dalam Alqadrie;2015) yang menyebutkan bahwa potensi konflik fisik dari
gerakan etnis dan keagamaan dalam masyarakat Dayak Kalimantan Barat
jauh lebih besar, keras dan dahsyat (much more violent) dibanding dengan
gerakan etnis keagamaan pada tiga Provinsi lainnya di Kalimantan Barat.
Berdasarkan Hipotesis Kerja Al-Qadrie dalam bukunya Matahari
Akan Terbit di Barat (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan catatan
sejarah terjadinya pertikaian di Kalimantan Barat, kekerasan antar
komunitas atau antar kelompok etnis di Kalimantan Barat telah terjadi
dalam hampir setiap periode 30 tahunan sekali. Pertikaian terjadi dalam 4
lingkaran 30 tahunan yakni : (1) 1900-an, (2). 1930-an, (3). 1960-an, dan
(4) 1990-an. Pada lingkaran kelima 30 tahunan berikutnya yaitu tahun
2020-an diprediksikan pertikaian besar-besaran kemungkinan akan terjadi
lagi. Sebagai sebuah hipotesis, bukan tidak mungkin hal ini akan terjadi
diharapkan dengan adanya hipotesis kerja tersebut maka seharusnya
menjadi sebuah Early Warning System bagi Pemerintah sehingga klausul-
klausul yang ada dalam hipotesis tersebut tidak terpenuhi.
Berdasarkan data dari SNPK pada tahun 2014 kecenderungan
konflik di Kalimantan pada tahun 2003 hingga 2013 cenderung menurun,
meskipun pada tahun 1997 hingga tahun 2002 terjadi peningkatan
kecenderungan konflik dengan eskalasi konflik dimulai pada tahun 1999
hingga tahun 2003 dan puncak konflik pada tahun 2001 hingga 2003, hal
ini dapat dilihat dalam gambar berikut :

Universitas Pertahanan
2

Sumber : Data SNPK, The Habibie Center, 2014


Gambar 1.1 Insiden Konflik Kekerasan di Kalimantan Barat
Tahun 1997-2013
Sementara itu untuk jenis konflik yang terjadi di Kalimantan Barat,
digambarkan oleh The Habibie Center berdarkan jumlah Insiden dan
dampaknya seagai berikut :

Sumber : Data SNPK,The Habibie Center, 2014


Gambar 1.2 Insiden dan Dampak Konflik kekerasan
di Kalimantan Barat periode 1999-2013

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa konflik kekerasan


di Kalimantan Barat di dominasi oleh main hakim sendiri dengan jumlah
insiden 1.755. Data tersebut juga menyebutkan 3 Daerah dengan
kekerasan tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat adalah Kota Pontianak
(1.411 insiden), Kebupaten pontianak (529 insiden), dan Kabupaten Kubu
Raya (264 insiden).
Kota Pontianak sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Barat
merupakan wilayah yang terkena dampak besar dari konflik yang terjadi

Universitas Pertahanan
2

pada wilayah kabupaten di sekitarnya . Posisi Kota Pontianak sebagai


pusat kegiatan pemerintahan, swasta dan sosial budaya menyebabkan
konsentrasi penduduk dan aktivitas perekonomian lebih dominan berada
dan terjadi Kota Pontianak. Sebagai akibatnya, komposisi masyarakat
Kota Pontianak cenderung lebih multikultural dibandingkan daerah lain di
sekitarnya. Dengan konstruksi masyarakat yang multikultural, tentu saja
membawa dampak negatif dan positif dalam dinamika hubungan sosial
masyarakat di wilayah ini. Secara positif masyarakat akan saling
membutuhkan satu sama lain sehingga membentuk relasi antar kelompok
masyarakat yang ada secara menguntungkan, sedangkan secara negatif
bahwa proses relasi tersebut juga menghadirkan sumber kekerasan antar
kelompok masyarakat. Berdasarkan data pemetaan potensi konflik di
wilayah Hukum Polda Kalimantan Barat di sepanjang tahun 2013
menyebutkan, terdapat 3 potensi konflik terkait Poleksosbud dan 1
potensi konflik SARA yang terjadi di Kota Pontianak. Dalam pencegahan
konflik yang terjadi, peran Kominda belum diwujudkan secara optimal
melalui koordinasi antar unsur-unsur Kominda. Pelaksanaan forum
intelligence community belum intensif dilaksanakan sehingga tugas-tugas
pengumpulan informasi belum sinergis (wawancara dengan Edwin Saleh,
21 Oktober 2015).
Bertolak dari latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai peran Kominda dalam Deteksi Dini Konflik
Sosial Komunal di daerah. Fokus kajian penelitian ini adalah tentang
optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik sosial komunal di
Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui arti penting peran komunitas intelijen daerah
dalam deteksi dini komunal di Kota Pontianak. Hal tersebut dianggap
penting untuk diteliti karena Konflik Komunal merupakan konflik yang
berpotensi menjadi konflik terbuka dan melibatkan kelompok yang lebih
besar. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi
yang tepat ditengah-tengah konflik-konflik yang muncul dengan fenomena
yang bernuansa identitas kelompok tersebut.

Universitas Pertahanan
2

Dengan penelitian ini peneliti juga akan memberikan gambaran


bagaimana seharusnya Komunitas Intelijen Daerah berupaya menciptakan
keamanan dan kesejahteraan di Kota Pontianak. Selanjutnya hasil dari
penelitian ini diharapkan akan dapat menemukan rumusan deteksi dini
dan pencegahan dini konflik yang lebih komprehensif, yakni dengan
adanya keterlibatan aktif dari pemerintah, institusi keamanan dan
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Sebagai sebuah aktivitas, intelijen melaksanakan tugas dan
fungsinya untuk mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi
yang diperlukan kepada pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan
yang tepat dalam pencegahan ancaman konflik di daerah. Dalam
pelaksanaan deteksi dini oleh Kominda, produk yang dihasilkan berupa
informasi intelijen yang bersifat perkiraan (intelligence estimate) yang
berisi pilihan-pilihan alternatif dan strategi dalam pembuatan kebijakan dan
pengambilan keputusan. Sehingga dalam proses pengumpulan data dan
analisis informasi yang dilakukan oleh anggota Kominda harus dilakukan
secara sistematis dan terpadu melalui sebuah komunikasi dan koordinasi
yang efektif diantara anggota Kominda sehingga menghasilkan formulasi
rekomendasi yang benar-benar efektif dalam pengambilan kebijakan oleh
pengguna dalam rangka pencegahan dini terhadap konflik.
Pada pelaksanaannya, proses pengumpulan dan analisis
informasi intelijen dilakukan oleh masing-masing instansi intelijen untuk
kepentingan institusi masing-masing. Unsur-unsur Kominda belum
berperan secara aktif melalui wadah komunikasi dan koordinasi dalam
Kominda untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam penanganan
konflik terutama deteksi dini dalam rangka pencegahan konflik, sehingga
tujuan pelaksanaan Kominda menjadi tidak optimal. Berkenaan dengan
hal tersebut dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
mengenai optimalisasi peran komunitas intelijen daerah dalam deteksi dini
Konflik komunal .

Universitas Pertahanan
2

Rumusan masalah ini berfokus pada Optimalisasi Peran


Komunitas Intelijen Daerah Dalam Deteksi Dini Konflik Komunal di Kota
Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Mendasari perumusan masalah
penelitian tersebut peneliti berusaha melihat dan menganalisis beberapa
hal sebagai berikut :
1. Bagaimana optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini Konflik
komunal di Kota Pontianak?
2. Faktor-faktor apa yang menghambat optimalisasi peran Kominda
dalam deteksi dini?

1.3 Tujuan dan Signifikansi Masalah


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Menganalisis pelaksanaan optimalisasi peran Kominda dalam deteksi
dini konflik komunal di Kota Pontianak
b. Mengetahui faktor-faktor yang menghambat optimalisasi peran
Kominda dalam deteksi dini konflik komunal.
Adapun signifikansi penelitian ini adalah sebagai bagian dari upaya
penguatan peran Kominda untuk mendeteksi dini konflik sosial
Komunal yang terjadi di Kota Pontianak sehingga dengan optimalisasi
tersebut berdampak pada pengurangan resiko akibat konflik yang
tidak diinginkan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis sebagai aset pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan
khususnya dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan politik dan
otonomi daerah.

1.4.2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu sosial dan politik, khususnya sebagai

Universitas Pertahanan
2

referensi dalam pengambilan kebijakan bagi pemerintah dalam


penyelenggaraan politik di daerah.

1.5 Ruang Lingkup dan Gambaran Desain Penelitian


1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam kerangka ruang lingkup ilmu
pertahanan sebagai cabang ilmu sosial yang multidimensional dimana
didalam lingkup kajian pertahanan tidak akan terlepas dari kajian tentang
konflik dan resolusi konflik. Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada
optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal di Kota
Pontianak . Dengan pertimbangan bahwa lokus yang dipilih merupakan
daerah yang memiliki potensi konflik komunal. Dengan demikian
diharapkan hasil dari penelitian ini akan lebih terarah dalam memaparkan
permasalahan yang dihadapi dalam optimalisasi peran Kominda dan dapat
memberikan rekomendasi untuk mengatasi ancaman dan hambatan
terhadap penyelenggaraan deteksi dini konflik dalam rangka menjaga
stabilitas nasional untuk pertahanan negara.

1.5.2 Gambaran Desain Penelitian


Penulisan tesis ini terdiri dari 5 Bab yang disusun dengan
sistematika sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan.
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakangpenelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian dan signifikasi penelitian, manfaat penelitian,
serta ruang lingkup dan gambaran desain penelitian.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran.
Bab ini memuat tentang teori, definisi dan konsep yang berkaitan
tentang peran komunitas intelijen daerah dalam deteksi dini Konflik
Komunal di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan barat.
Bab III Metodologi penelitian.
Dalam bab ini berisi uraian tentang sumber data/subyek/obyek
penelitian, desain penelitian, dan prosedur peneitian.

Universitas Pertahanan
2

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan.


Bab ini berisi tentang sumber data, desain penelitian dan prosedur
penelitian, pengolahan data, dan analisa hasil pengolahan data mengenai
optimalisasi peran komunitas intelijen daerah dalam deteksi dini Konflik
Komunal di Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Bab V Penutup.
Pada bab ini memuat tentang kesimpulan dan saran.

Universitas Pertahanan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. TINJAUAN PUSTAKA


Dalam melaksanakan penelitian mengenai Optimalisasi Peran
Komunitas Intelijen Daerah dalam deteksi dini konflik Komunal di Kota
Pontianak peneliti menggunakan beberapa teori dan konsep pemikiran
yang berkaitan dengan variabel dalam penelitian yang dilakukan. Tinjuan
pustaka akan menjadi instrumen penting dalam menginterpretasikan
temuan-temuan pada penelitian yang akan dilakukan nantinya. Beberapa
teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
2.1.1. Optim alisasi Peran Kominda
Optimal artinya paling menguntungkan, tertinggi, terbaik
(Depdiknas, 2001). Optimal adalah berusaha untuk memaksimumkan
sesuatu yang diinginkan (Sisdjiatmo, 1983). Sehingga Optimalisasi
merupakan proses, cara, atau perbuatan mengotimalkan. Mengoptimalkan
berarti menjadikan paling baik, paling menguntungkan, dan paling tinggi.
Pengertian peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat (E. St. Harahap Dkk, 2007). Menurut
Sardjono Soekanto (2002), Peran merupakan aspek dinamis kedudukan
(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
hak dan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran.
Dalam Teori Peran (Role theory) menurut Bruce J. Cohen (1992)
peran memiliki beberapa bagian , yaitu:
1. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul
dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan.
2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang
diharapkan masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan tertentu.
3. Konflik peranan (Role Conflict) adalah suatu kondisi yang dialami
seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut
harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain.

x
3

4. Kesenjangan Peranan (Role Distance) adalah Pelaksanaan Peranan


secara emosional.
5. Kegagalan Peran (Role Failure) adalah kagagalan seseorang dalam
menjalankan peranan tertentu.
6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya
kita contoh, tiru, diikuti.
7. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan
seseorang dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan
perannya.
8. Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila
seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan
peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang
bertentangan satu sama lain.
Pendapat lain tentang peran dikemukakan oleh Gross, Mason dan A.W
McEachern sebagaimana dikutip oleh David Berry yang mendefisikan
peran sebagai seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang
menduduki kedudukan sosial tertentu (Berry, 1983)
Dari beberapa pengertian tersebut Peran didefinisikan sebagai
seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang
menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan merupakan aspek dinamis
berupa tindakan, perilaku yang dilaksanakan oleh lembaga yang berada
dalam sistem sosial. Di dalam kedudukan sosial sosial tersebut terdapat
tugas-tugas yang sebelumnya telah disusun berdasarkan harapan-
harapan yang diinginkan, sehingga apabila dalam pelaksanaan tugas-
tugas tersebut tidak sesuai dengan harapan, maka orang ataupun
lembaga yang menjalankan peran dapat dikatakan belum berhasil
menjalankan perannya dengan baik.
Dengan demikian pengertian peran dalam penelitian ini merujuk
pada penjelasan peran yang dikemukan oleh Sardjono Soekanto yaitu
peran sebagai aspek dinamis berupa tindakan atau perilaku yang
dilaksanakan oleh Komunitas Intelijen Daerah dalam Deteksi Dini Konflik
Komunal di Kota Pontianak. Dalam hal ini Komunitas intelijen daerah

Universitas Pertahanan
3

menjalankan mekanisme tugas dan kewajibannya dalam deteksi dini


Konflik Komunal.
Sehingga optimalisasi peran Komunitas Intelijen Daerah dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai proses, cara dan upaya untuk
memaksimumkan peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal.

2.1.2. Intelijen dalam Deteksi Dini


Secara umum intelijen selalu diasumsikan dan berhubungan
dengan kemanan nasional baik itu dari aspek pertahanan, kebijakan luar
negeri dan beberapa aspek yang berkaitan dengan tanah air dan internal
security. Untuk memahami intelijen dengan lebih jelas Lowenthal (2009)
mendefinisikan intelijen menjadi 3 definisi, yaitu :
Intelligence as aprocess, intelligence can be thaught of as the means

by which certain types of information are required and requested,
colected, analyzed and disseminated, and as the way in which certain
types of covert action are conceived and conducted. Intelligence as a
product, intelligence can be thought of as the product of these
processes, that is, as the analyses and intelligence operation
themselves. Intelligence as organization, intellogence can be thought
of as the units that carry out its various functions”
.
Sejalan dengan pengertian tersebut penjelasan umum UU nomor
17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara memuat 3 pengertian universal
dari intelijen yang meliputi :
a. Pengetahuan, yaitu informasi yang sudah diolah sebagai bahan
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan;
b. Organisasi, yaitu suatu badan yang digunakan sebagai wadah yang
diberi tugas dan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi dan
aktivitas intellijen
c. Aktivitas, yaitu semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan
penyelenggaraan fungsi penyelidikan, pengamanan dan
penggalangan.

Universitas Pertahanan
3

Sehingga lingkup kerja intelijen pada dasarnya adalah mengumpulkan dan


mengolah informasi yang kemudian dijadikan dasar pengambilan
keputusan. Lebih lanjut Lowenthal (2009) menjelaskan bahwa :
“Intelligence seems little different from information, except that it is
probably secret. However, distinguishing between the two is important.
Information is any thing that can be known, regardless of how it is
discovered. Inteligent refers to information that meets the states or
understood of needs of policy makers and hass been collected
processed and narrowed to meet those needs. Inteliigent is a subset of
the broader category of information. Intelligence and the entire process
by which it is identified, obtained and analyzed respond to the needs of
policy makers. All intelligence is information, not all information is
information” .

Menurut John Ferris sebagaimana dikutip dalam Alexandra Retno


Wulan (2006), Hakekat mendasar dari keberadaan intelijen bukan
merupakan salah satu bentuk power dari negara melainkan instrumen bagi
negara yang memberikan panduan dalam penggunaan power yang
dimilikinya. Pernyataan ini mengandung makna bahwa tujuan intelijen
adalah untuk memahami sifat ancaman bagi keamanan dan
mengantisipasi perubahan-perubahan yang bersifat radikal.
Dalam Konteks Indonesia, Pengaturan dan Pelaksanaan Intelijen
diatur melalui UU Nomor 17 tahun 2011 pasal 3 disebutkan bahwa hakikat
intelijen negara merupakan lini pertama dalam sitem keamananan
nasional. Lebih lanjut terkait peran, tujuan, dan fungsi dijabarkan dalam
Bab II Undang-undang Inteijen Negara bahwa Peran Intelijen seperti
tercantum dalam pasal 4, adalah Intelijen negara berperan melakukan
upaya, pekerjaan kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan
dini dalam rangka pencegahan, peningkatan dan penanggulangan
terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam
kepentingan kemananan nasional, sedangkan Tujuan Intelijen Negara
yang tercantum dalam Pasal 5 adalah adalah mendeteksi,
mengidentifikasi, menilai menganalisis, menafsirkan dan menyajikan
intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan

Universitas Pertahanan
3

nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta


peluang yang ada bagi kepentingan kemananan nasional.
Dengan melakukan pendekatan tugas, intelijen dapat diartikan
sebagai sebuah sebuah upaya Deteksi Dini, peringatan dini, dan perkiraan
dengan dilengkapi tindakan preventif penanganan masalah yang dihadapi.
Menurut Soegirman (2012) yang dimaksud dengan deteksi dini adalah
kemampuan untuk melakukan identifikasi terdapatnya gejala awal-indikasi
awal ke arah kemungkinan terdapatnya faktor yang dapat berkembang ke
arah ancaman. Deteksi dini dikategorikan sebagai tahap indikasi dengan
gejala-gejala awal. Setiap gejala awal harus bisa diantisipasi oleh intelijen
agar tidak menjadi salah satu dampak dari kegagalan intelijen. Setiap
upaya deteksi dini selalu digambarkan dalam sebuah ilustrasi atau
gambaran tentang resiko yang timbul di masa mendatang.
Yudhana (dalam Hamardiono, 2012) menjelasakan pengertian
Deteksi Dini sebagai sebuah rangkaian upaya dan atau kegiatan mencari
dan menemukan hal-hal, kejadian-kejadian atau situasi tertentu yang
dapat atau mungkin merupakan gejala atau awal terjadinya
ancaman/gangguan sehingga petugas pengamanan dapat
mempersiapkan dan mengerahkan kekuatan dan kemampuan untuk
tindakan antisipasi agar ancaman/gangguan tersebut tidak terjadi serta
penanganan atau penindakan apabila ancaman/gangguan benar-benar
terjadi.
Sistem deteksi dini yang berjalan di tingkat kewilayahan akan
menghasilkan informasi intelijen yang diperoleh melalui suatu proses
pengolahan dari bahan keterangan yang didapat. Oleh karena itu deteksi
dini dalam intelijen dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Early
Warning System (EWS). Dalam berbagai literatur pelaksanaan Early
Warning System (EWS) dengan mencakup berbagai inisiatif yang terkait
dengan pengumpulan data secara sistematik, analisis dan formulasi
rekomendasi, termasuk risk assessment dan penyebaran informasi, baik
yang sifatnya kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi antara keduanya
(Institut Titian Damai, 2005).

Universitas Pertahanan
3

Menurut Ian White dan Possy Bullman (2010; p.2) Efektivitas EWS
harus mencakup Identity the cause of conflict- (triggers of violence),
Anticipate the possible direction in the escalation of conflict, dan Help
mitigate conflict by providing strategic advice to decision makers, sejalan
dengan hal tersebut Ichsan Malik (2013) menyatakan bahwa konflik dan
kekerasan dapat dicegah lebih dini dengan melakukan deteksi dini
terhadap kondisi (conditioning), kecermatan dalam mengorganisasi gejala-
gejala sebagai deteksi awal dan analisis faktor konflik, serta efektifitas
koordinasi antara berbagai pihak yang berkompeten untuk terlibat dalam
fungsi analisis, fungsi pengorganisasian dan fungsi database.
Sebagai sebuah aktivitas, fungsi deteksi dini yang dilakukan
intelijen berkaitan dengan penginderaan awal atau dalam kajian konflik
dikenal dengan (Conflict Early Warning And Early Response System
(CEWERS). CEWERS sendiri diasumsikan sebagai aktivitas penting yang
bisa dilakukan dalam tahap Pencegahan konflik. Dalam pelaksanaan
fungsi organik intelijen Early warning dan Early response ini dilakukan
dengan menganut doktrin Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan.
Pelaksanaan Fungsi tersebut dilakukan dengan menganut Doktrin
Intelligence Cycle atau Roda Perputaran Intelijen (RPI). Sementara itu
dalam Central Intelligence Agency (dalam Rob Johnson; 2005), proses
intelligence cycle yang digunakan adalah The Traditional Intelligence
Cycle atay Daur Intelijen Konvensional. daur Intelijen Konvensional terdiri
dari 5 tahapan siklus yang meliputi Planning and Direction, Collection,
Processing, Analysis and Production dan Dissemination. Penjelasan dari
tahapan ini disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Universitas Pertahanan
3

Tabel 2.1 Input, Process dan Output dari Siklus Intelijen.

Sumber : Rob Johnson; 2005

Di Indonesia, doktrin Roda Perputaran Intelijen yang digunakan


adalah doktrin yang terdiri atas empat daur yaitu daur perencanaan
(Planning and Direction), daur pengumpulan informasi (collection), daur
pengolahan (processing) dan daur persentasi (penyajian atau pemaparan)
(Soekarno, 2011). Lebih lanjut menurut Soekarno (2011) koleksi informasi
merupakan bagian yang sangat penting dalam dunia intelijen. Sehingga
hampir dikatakan bahwa tanpa adanya disiplin koleksi informasi, tidak
akan ada intelijen. Maka dari itu koleksi informasi harus direncanakan
dengan sebaik-baiknya. Perencanaan informasi harus dilakukan dengan

Universitas Pertahanan
3

sebaik-baiknya agar bisa berguna dalam perumusan kebijakan bagi


pengambilan keputusan oleh user. Dalam konteks pelaksanaan kominda
unit perencana harus benar-benar mengetahui apa need to know dari
policy maker (Walikota) yang terdiri dari dua aspek yaitu want to know
(hal-hal yang ingin diketahui) oleh policy maker dan aspek ought to know (
aspek-aspek yang harus diketahui) oleh policy maker. Sehingga pemimpin
biasanya akan memerintahkan bagian intelijen untuk mencari informasi
apa yang dibutuhkan oleh policy maker. Setelah kegiatan perencanaan
dilakukan, unit perencana akan memerintahkan kepada aparat intelijen
untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan oleh policy maker
terkait kondisi dan situasi di wilayah berupa fakta, data, barang bukti, peta,
perencanaan, strategi dan lain-lain yang relevan. Setelah unit pengumpul
menyediakan data yang dibutuhkan tahap selanjutnya adalah pengolahan.
Pengolahan adalah kegiatan-kegiatan untuk menghasilkan produk intelijen
dari bahan-bahan informasi yang terkumpul. Proses pengolahan melalui
tahap-tahap pencatatan, penilaian, penafsiran dan kesimpulan (Y. Wahyu
Saronto dan Jasir Karwita, 2001). Setelah keseluruhan informasi
terkumpul dan diolah menjadi kesimpulan, tahapan selanjutnya adalah
penyajian data atau persentasi. Penyajian data produk intelijen
disesuaikan dengan urgensinya, tingkat kerahasiaan, kecepatan,
ketepatan dan keamanan.
Menurut Sun-Tzu dalam War and Management (seperti dikutip
dalam Irawan Soekarno, 2011), intelijen berperan sebagai feedback
mechanism berupa strategic control yang dilakukan oleh aparat intelijen
dengan menyampaikan tahap feedback kepada tahap perkiraan keadaan
berlanjut pada penentuan goals dan strateginya, lalu tahap evaluasi dari
strategi dan terakhir tahap implementasi. Dengan demikian intelijen
melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengumpulkan, menganalisis
dan memberikan informasi yang diperlukan kepada policy maker untuk
menentukan kebijakan yang tepat dalam pencegahan dini terhadap
ancaman konflik di daerah.

Universitas Pertahanan
3

2.1.3 Urgensi Stretegi dalam Intelijen dan Pencegahan Konflik


Kata Strategi berasal dari bahasa Yunani yang artinya memimpin
perang, dan jenderal-jenderalnya yang disebut strategos-strategos
memikirkan upaya-upaya untuk memenangkan perang. Maka strategi
kemudian disebut sebagai The art if generalship yaitu seni para jenderal
mengatur manuver-manuver dari tentaranya untuk to win the war (Irawan
Soekarno; 2011). Karl van Clause Witz (dalam Irawan Soekarno; 2011)
mengatakan bahwa strategi adalah seni untuk menggunakan pertempuran
sebagai sarana untuk mencapai tujuan perang. Sementara lidel Hart
menyebutkan, strategi adalah seni dalam mendistribusikan dan
mengerahkan sarana-sarana militer untuk mencapai tujuan politik.
Menurut Sun-Tzu (dalam Irawan Soekarno; 2011), dalam
penyelenggaraan perang yang dihancurkan terlebih dahulu adalah strategi
musuh, bukan militernya. Maka staregi atau planning menjadi hal yang
sangat vital bagi sebuah negara. Begitupun dengan konteks intelijen yang
dalam pelaksanaan tugasnya menjalankan peran sebagai policy support
dan strategic kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
yang terkait dengan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan di
daerah.

2.1.4 Komunitas Intelijen Daerah


Alur komunikasi dan koordinasi Intelijen diwadahi dalam sebuah
forum Komunitas Intelijen daerah atau disingkat Kominda. Secara
konsepnya Kominda dibentuk untuk mengoptimalisasikan kinerja
komunitas intelijen daerah melalui kegiatan koordinasi antar aparat unsur
intelijen secara profesional. Penyelenggaraan Kominda di masing-masing
provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia berpedoman pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2011 tentang komunitas Intelijen
Daerah. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat
terhadap kemungkinan timbulnya ancaman stabilitas nasional di daerah
yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui Gubernur Harus
dikoordinasikan kepada Walikota/Bupati dalam tugasnya sebagai

Universitas Pertahanan
3

penyelenggara di bidang ketentraman, ketertiban, dan perlindungan


masyarakat dengan meningkatkan peran dan fungsi Kominda.
Dalam pasal 6 ayat (1) peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16
Tahun 2011 tentang Komunitas Intelijen Daerah, Keanggotaan Kominda
terdiri dari Unsur Intelijen dari BIN, TNI, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai, Pajak, Perbankan
dan unsur-unsur yang terkait lainnya..Kominda diketuai oleh Gubernur
dan sebagai pelaksana harian Kominda adalah Kepala Badan Intelijen
Daerah dengan sekretaris Kominda adalah Kepala Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik.
Kominda mempunyai tugas merencanakan, mencari,
mengumpulkan mengkoordinasikan, dan mengkomunikasikan
informasi/bahan keterangan intelijen dari berbagai sumber mengenai
potensi, gejala, atau peristiwa yang menjadi ancaman stabilitas nasional di
daerah. Kominda juga memberikan rekomendasi sebagai bahan
pertimbangan bagi unsur pimpinan daerah mengenai kebijakan yang
berkaitan dengan deteksi dini, peringatan dini, dan pencegahan dini
terhadap ancaman stabilitas nasional di tingkat provinsi atau
kabupaten/kota (Permendagri Nomor 16 Tahun 2011 (p.7.)). Berkaitan
dengan hal tersebut peneliti ingin menggali lebih mendalam optimalisasi
peran Kominda dalam Deteksi Dini Konflik Komunal di Kota Pontianak

2.1.5 Koordinasi dalam Komunitas Intelijen Daerah


Koordinasi adalah penyelarasan secara teratur atau penyusunan
kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari Individu untuk
mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1994). Koordinasi menjadi bagian
yang penting dalam organisasi-organisasi yang kompleks, karena
didalamnya terdapat banyak banyak kegiatan berlainan yang dilakukan
oleh banyak orang dalam banyak bagian. Dengan alasan tersebut Tripathi
dan Reddy (dalam Moekijat, 1994; p.3), kemudian mendefinisikan
koordinasi sebagai manajemen keadaan saling bergantung dalam situasi
pekerjaan.

Universitas Pertahanan
3

Dalam sebuah organisasi, selain masalah bagaimana membagi


atau mengkhususkan dalam bagian-bagian penting, sangat perlu untuk
diketahui juga bagaimana bagian-bagian itu harus dikoordinasikan.
Kegagalan mencapai koordinasi yang memadai sering menunjukkan
gejala-gejala seperti hilangnya pengawasan, terlalu banyaknya
pertentangan, pemisahan wewenang dan kemampuan, dan pengabaian
tanggung jawab (Moekijat, 1994).
Menurut Drs. Soewarno Handayaningrat (dalam Moekijat, 1994).
Ciri-ciri koordinasi adalah:
a. Tanggung Jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu
koordinasi adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab pimpinan.
Dikatakan bahwa pimpinan itu berhasil karena ia telah melakukan
koordinasi dengan baik.
b. Koordinasi adalah suatu usaha kerja sama. Hal ini dikarenakan
karena koordinasi merupakan syarat mutlak terselenggaranya
koordinasi dengan sebaik-baiknya.
c. Koordinasi adalah proses terus-menerus (continues process), artinya
suatu proses yang bersifat kesinambungan dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.
d. Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur. Hal ini
disebabkan kerena koordinasi adalah konsep yang diterapkan di
dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu tetapi sejumlah
individu yang bekerja sama di dalam kelompok untuk mencapai
tujuan bersama
e. Konsep kesatuan tindakan. Kesatuan tindakan adalah inti dari pada
koordinasi. Hal ini berarti bahwa pimpinan harus mengatur usaha-
usaha atau tindakan dari setiap kegiatan individu sehingga diperoleh
adanya keserasian dalam mencapai hasil bersama.
f. Tujuan Koordinasi adalah tujuan bersama (common purpose).
Kesatuan usaha/tindakan meminta kesadaran atau pengertian
kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan
bersama sebagai kelompok dimana mereka bekerja.

Universitas Pertahanan
4

Lawrence dan Lorsch (dalam Moekijat; 1994) mengatakan bahwa


pembagian pekerjaan tidak hanya mengandung perbedaan dalam
kegiatan-kegiatan pekerjaan, tetapi juga memperngaruhi bagaimana kita
memandang organisasi . perbedaan-perbedaan ini akan menyulitkan
tugas koordinasi dalam organisasi secara efektif. Perbedaan tersebut
meliputi;
a. Perbedaaan dalam orientasi terhadap sasaran-sasaran khusus.
b. Perbedaan dalam orientasi waktu.
c. Perbedaan dalam orientasi antar perseorangan.
d. Perbedaan dalam formalitas struktur.
Sebagai sebuah kebutuhan, koordinasi dalam Kominda menjadi
salah satu bagian yang tidak dapat dielakkan kerena sekelompok orang
yang berada dalam komunitas sebagai sebuah organisasi tersebut
bertanggung jawab penuh terhadap kesempurnaan suatu proses kegiatan
intelijen berupa perencanaan, pencarian, pengumpulan, pengkoordinasian
dan pengkomunikasian informasi intelijen sehingga dapat dijadikan bahan
rekomendasi dalam pertimbanga pengambilan kebijakan kepala daerah.
Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila seluruh proses
kegiatan tersebut dapat dikoordinasikan secara baik pula.

2.1.6 Konflik Komunal


Secara umum konflik diartikan sebagai sebuah proses dimana dua
orang atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran
yang tidak sejalan (Mitchell, 1981). Menurut Lewis A Coser seperti dikutip
dalam Novri Susan (2010), Konflik adalah sebuah perjuangan mengenai
nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan dengan maksud untuk
menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan. Sementara itu
menurut Maswadi Rauf (dalam Syntha, 2013), Konflik adalah pertentangan
atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok.
Lebih lanjut, Maswadi Rauf (dalam La Ode, 2012; p.58) “
terdapat dua
substansi dalam konflik yaitu konflik lisan dan konflik fisik. Konflik lisan
atau konflik non fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam
perbedaan pandangan. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia

Universitas Pertahanan
4

dapat meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda


fisik dalam perbedaan pendapat (dalam syntha, 2013).
Pengertian Komunalisme dalam Darmawan (2006) adalah etika
yang ditandai oleh semangat kolektivitas berwawasan identitas sempit
(narrow mindedness) yang dianut oleh individu-individu yang terikat dalam
suatu kelompok atau ikatan sosial-kemasyarakatan tertentu dimana basis
ikatan sosial biasanya dibangun melalui pengembangan ciri identitas
ideologi atau keyakinan tertentu. Setiap warga atau anggota yang berada
dalam ikatan-sosial tersebut akan selalu memandang bahwa
kelompoknyalah yang terpenting dan paling-berhak untuk eksis dalam
kehidupan, dibanding warga dari kelompok lain. Salah satu ciri etika
komunalisme adalah ditemukannya ciri in-group feeling yang sangat kuat
(bahkan cenderung berlebihlebihan) dan menafikan eksistensi kelompok
lain dalam jejaring hubungan sosial masyarakat yang dibangunnya.
Menurut Geertz (1973; 261), ragam budaya dalam masyarakat
majemuk seringkali memunculkan sikap-sikap primordialisme. Primordial
sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis
tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis masa
suatu kelompok yang dapat digerakkan. Terkait dengan hal tersebut lebih
lanjut menurut Geertz (1973), terdapat 6 elemen pembentuk ikatan
primordial, yaitu; ikatan kekerabatan (assumed blood ties), ras (race),
bahasa (language), wilayah (region), agama (religion) dan adat istiadat
(customs). Lebih lanjut La Ode (2012) menyebutkan bahwa elemen
tersebut telah menjadi faktor pemicu konflik, baik lisan maupun fisik, faktor
latar belakang timbulnya sentimen primordialisme dalam masyarakat yang
pluralistik atau masyarakat yang mengembangkan pluralisme seluruhnya
dipicu oleh keenam elemen ikatan primordial tersebut dengan kata lain hal
tersebut dapat menjadi sumber konflik yang diaktualisasikan oleh
masyarakat Kalbar dan Kota Pontianak pada khususnya.
Burton (1990) menyatakan bahwa konflik komunal yang
menggunakan identitas agama dan etnis untuk memobilisasi massa
adalah konflik yang sangat rumit dan dilematis serta tidak dapat

Universitas Pertahanan
4

dinegosiasikan (non-negotiable needs), karena identitas berkaitan


langsung dengan eksistensi dan kebutuhan dasar manusia.
Sejalan dengan pemahaman teori di atas, konflik komunal dapat
terjadi sebagai akibat dari krisis pluralitas-sosio budaya dan bernuansa
identitas sosial. Dalam konflik bernuansa etno-komunal, pihak-pihak yang
berkonflik akan membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-
keagamaan, identitas kelompok atau juga perbedaan mahzab pada
agama yang sama (konflik sektarian), serta perbedaan asal-usul
keturunan sebagai pembeda utama kelompok yang saling menggungat,
pelancaran klaim atau persoalan yang disengketakan (Dharmawan, 2006).
Lebih lanjut Arya Hadi Dharmawan mengemukakan bahwa adanya
radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme serta dianutnya
bounded rationality sehingga memicu kesadaran kelas (Karl Marx) dalam
kelompok-kelompok tersebut yang merupakan kesamaan bentuk konflik
yang terjadi pada setiap konflik di Indonesia.
Menurut Dahrendorf (1959), Konflik pada dasarnya memiliki dua
makna, pertama konflik sebagai akibat dari proses integrasi di dalam satu
masyarakat yang tidak tuntas. Berdasarkan makna ini, konflik merupakan
sebuah ancaman laten yang dapat merusak harmonisasi dalam
masyarakat. sehingga dalam konflik dengan skala tertentu apalagi yang
bersifat komunal akan berdampak kepada stabilitas di daerah hingga
berdampak pada sistem dan stabilitas negara. Kedua, konflik dapat pula
dipahami sebagai sebuah kondisi alamiah yang bertujuan merekonstruksi
sistem sosial. konflik merupakan sebuah strategi untuk menghilangkan
disintegrasi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna
Berdasarkan beberapa pengertian konflik dan konflik komunal
yang dikemukakan di atas, akan dijadikan sebagai pandangan konteks
konflik yang terjadi di kota Pontianak sebagai bahan analisis peran
Kominda dalam deteksi konflik komunal di Kota Pontianak.

2.2 Penelitian Terdahulu


Dalam rangka mendapatkan informasi tentang substansi yang
relevan dengan tema penelitian, sebelumnya peneliti melakukan

Universitas Pertahanan
4

pelacakan penelitian yang sejenis dengan tujuan menggali informasi


tentang penelitian terdahulu sehingga peneliti dapat memposisikan diri
pada kedudukan penelitian yang sedang dilakukan. Hasil pelacakan
penelitian dijadikan sebagai referensi maupun data pendukung yang
berkaitan dengan topik penelitian yang akan diteliti. Dalam hal ini fokus
penelitian terdahulu yang dijadikan acuan adalah terkait masalah deteksi
dini dan konflik komunal. sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini
dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti
yaitu penelitian Triatno Hamardiyono dan Wahyu Haminarko dan Alinipia
Pasaribu.

2.2.1 Penelitian Triatno Hamardiyono


Penelitian Triatno Hamardiyono berjudul “
Implementasi Kebijakan
Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) dalam Deteksi dan Peringatan Dini
(studi kerusuhan massa di Kabupaten Temanggung). Tujuan penelitiannya
adalah melihat bagaimana pelaksanaan kebijakan dari deteksi dini dan
peringatan dini yang dikakukan oleh Kominda. Hasil penelitian
Hamardiyono menyimpulkan bahwa kasus kerusuhan dengan melibatkan
massa yang terjadi secara tiba-tiba dan terlihat tidak bisa diantisipasi tidak
mengidentikkan bahwa kerusuhan tersebut tidak dapat diprediksi.
Kemampuan untuk membaca gejala dan pola konflik menjadi tuntutan
yang harus dimiliki oleh setiap personil dalam intelinjen. Kasus kerusuhan
yang terjadi di temanggung berupa penangkapan pelaku teroris dan protes
massa yang berujung pada kerusuhan massal pada dasarnya telah
menunjukkan indikasi-indikasi dan peningkatan eskalasi konflik namun
kasus tersebut tampak seperti tidak bisa diantisipasi oleh pihak intelijen
yang tergabung dalam Kominda. Faktor -faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan Kominda dalam Deteksi dini dan pencegahan dini
adalah komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap, dalam artian sikap
atau komitmen dalam melaksanakan kebijakan tersebut serta struktur
birokrasi.
Perbedaan mendasar Penelitian terdahulu adalah Pertama, dari segi
objek penelitian dimaan penelitian terdahulu memfokuskan pada

Universitas Pertahanan
4

implemetasi kebijakan deteksi dini dan pencegahan dini di kabupaten


Temanggung sedangkan penelitian ini memfokuskan pada Peran Kominda
dalam Detekki Dini. Kedua, penelitian terdahulu memfokuskan penelitian
pada kasus kerusuhan massa di temanggung, sedangkan pada penelitian
ini memfokuskan pada gejala-gejala potensi konflik komunal di Kota
Pontianak, Ketiga adalah penelitian terdahulu mengambil wilayah
penelitian di Kabupaten Temanggung sedangkan Penelitian ini akan
mengambil lokus pada wilayah Kota Pontianak. Meskipun terdapat
perbedaan yang signifikan antara penelitian terdahulu dengan penelitian
yang dilakukan penulis namun penelitian terdahulu tersebut relevan untuk
dijadikan referensi dalam tesis yang akan dibuat oleh peneliti.
2.2.2 Penelitian Wahyu Haminarko
Penelitian Wahyu Haminarko berjudul Optimalisasi Peran Intelijen
Dalam Rangka Pelaksanaan Kebijakan Daerah dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Wilayah (Studi di Komunitas Intelijen Daerah Kabupaten
Mojokerto Provinsi Jawa Timur). Penelitian ini bertujuan mengetahui
optimalisasi peran intelijen dalam rangka pelaksanaan kebijakan daerah
Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur dan untuk mengetahui implikasi
peran intelijen terhadap ketahanan wilayah Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur.
Dalam penelitian ini disebutkan bahwa peran intelijen daerah
Kabupaten Mojokerto, menunjukkan komitmen politik pemerintah daerah
dalam melaksnakan kebijakan untuk meningkatkan perekonomian melalui
pemanfaatan intelijen daerah utuk melakukan deteksi dini dan cegah dini
setiap perkembangan dan gejolak di lapangan sehingga pemerintah
daerah melalui perangkatnya dapat menyangkal kekuatan maupun niat
dari pihak lain yang ingin mengganggu stabilkitas keamanan daerah.
Peran intelijen membantu pemerintah secara terus menerus dengan
fungsinya sebagai penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dengan
mencari, mengumpulkan setiap perkembangan untuk dianalisa sebagai
data intelijen yang selanjutnya digunakan sebagai bahan pertimbangan
kebijakan dan keputusan pimpinan. Kebijakan yang tidak didasari akurasi

Universitas Pertahanan
4

data intelijen dapat menimbulkan kerawanan nbahkan ancaman baik


langsung maupun tidak langsung.
Peran intelijen diukur dengan perkembangan gejolak yang ada di
daerah atas kebijakan pemerintah untuk peningkatan ekonomi daerah.
Gejolak, dalam hal ini merupakan aksi penolakan atas kebijakan
pemerintah yang dilakukan masyarakat maupun organisasi masyarakat
karena merasa dirugikan atas kebijakan tersebut sehingga stabilitas
keamanan daerah terganggu. Kompleksitas perkembangan dinamika
politik menuntut aparat intelijen untuk memiliki pengetahuan serta
kepekaan terhadap perubahan, agar dapat melakukan fungsinya secara
terus menerus dalam membantu pimpinan dalam mengambil kebijkan.
Untuk itu optimalisasi peran intelijen merupakan langkah dalam
pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto yang
diwujudkan dalam menjalankan fungsi intelijen yang sesuai dengan visi
misi pembangunan daerah. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah dalam
perannya, eksistensi intelijen menunjukkan akurasinya dalam mengikuti
pergeseran perubahan aspek sosial di masyarakat untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah. Dalam rangka
mengoptimalisasikan perannya, koordinasi antar anggota Kominda sangat
diperlukan mengingat pentingnya data intelijen dalam rangka pengambilan
kebijakan pimpinan daerah untuk perencanaan pelaksanaan
pembangunan daerah. Peran intelijen dalam rangka pelaksanaan
kebijakan daerah memiliki implikasi positif terhadap ketahanan wilayah di
Kabupaten Mojokerto, karena situasi yang aman dan kondusif serta diikuti
tatanan peri kehidupan pada berbagai kegiatan dapat dilakukan dengan
baik.
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah dengan fokus
tugas intelijen dalam deteksi dini konflik komunal, sehingga penelitian yang
dilakukan oleh Wahyu Harminarko cukup relevan untuk dijadikan sebagai
bahan bahan referensi dalam melakukan penelitian.
2.2.3 Penelitian Alinipia Pasaribu

Universitas Pertahanan
4

Penelitian ini berjudul optimalisasi peran datasemen intelijen dan


Implikasinya terhadap ketahanan wilayah (studi kasus Denitel Kodam
Iskandar Muda). Penelitian ini lebih difokuskan pada pemberdayaan
wilayah pertahanan melalui penambahan satuan kodim meskipun disadari
akan memberikan kontribusi yang positif pada peningkatan ketahanan
wilayah. Penelitian ini mengkaji penerapan kebijakan tentang fungsi
intelijen, sehingga penelitian ini termasuk penelitian terapan atau yang
dikenal dengan penelitian kebijakan (policy research), karena melakukan
penelitian dan analisis terhadap suatu kebijakan yang dimulai dari
deskriptif, preskriptif hingga pada prediktif. Hasil-hasil penelitian dapat
direkomendasikan kepada pembuatan keputusan untuk bertindak secara
praktis dalam menyelesaikan masalah kebijakan, agar relevan bagi
perbaikan kebijakan di masa mendatang. Hambatan yang dialami oleh
deninteldam Iskandarmuda dalam melaksanakan fungsi intelijen TNI AD
yang juga merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pertahanan negara,
selain faktor internal (kurangnya sarana-prasarana dan kurangnya
kuantitas dan kualitas personil) juga faktor eksternal.
Beberapa faktor eksternal yang perlu mendapat perhatian terutama
adanya indikasi disintegrasi bangsa yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat tertentu, dan masih adanya kecemburuan sosial baik dalam
implementasi otonomi daerah maupun pelaksanaan pembangunan di
provinsi NAD. Selain itu pembinaan politik dan organisasi kemasyarakatan,
serta dukungan anggaran yang belum memadai baik alam biaya untuk
melakukan operasional (transportasi maupun pengadaan alutsista yang
terkait dengan alat untuk melakukan tugas intelijen/ alat komunikasi
khusus). Implementasi peran deniteldam Iskandarmuda dalam
melaksanakan fungsi intelijen TNI AD seperti penyelidikan, pengamanan,
dan Penggalangan serta pembinaan satuan telah dilakukan sesuai dengan
arah kebijakan baik Panglima Kodam Iskandarmuda maupun Panglima
TNI, yang dalam hal ini adalah pelaksanaan fungsi pertahanan negara
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ketahanan wilayah.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan

Universitas Pertahanan
4

penelitian ini adalah pada orientasi pelaksanaan fungsi intelijen dalam


Komida dalam deteksi dini Konflik Komunal.
Tabel 2.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Judul Metode Hasil
1. Triatmo Implementasi Kualitatif Kemampuan sumber
Hamardiono kebijakan daya Kominda yang
Kominda masih rendah terutama
dalam dalam komunikasi antar
Deteksi dini masing-masing angota
dan dan sikap atau
peringatan komitmen dalam
dini (studi melaksanakan
kerusuhan kebijakan tersebut
massa di sehingga Kominda tidak
kabupaten bisa mengantisipasi
Temanggung kejadian kerusuhan.
2. Wahyu Optimalisasi Dalam melaksanakan
perannya, keberadaaan
Haminarko Peran
intelijen menunjukkan
Intelijen ketepatan posisi
dalam intelijen untuk mengikuti
perubahan sosial dalam
pelaksanaan
masyarakat untuk
kebijakan mendukung
daerah dan pelaksanaan kebijakan
Implikasisnya pemerintah daerah.
Sebagai bahan
terhadap
masukan optimalisasi
Ketahanan peran intelijen
wilayah diperlukan koordinasi
antar Kominda dalam
(Studi di
pengumpulan data
Kominda Kab. intelijen dalam rangka
Mojokerto) pengambilan kebijakan
pimpinan di daerah
untuk perencanaan
pelaksanaan

Universitas Pertahanan
4

pembangunan daerah
karena pada akhirnya
dengan berjalannya
fungsi intelijen memiliki
implikasi positif
terhadap ketahanan
wilayah di Kabupaten
Mojokerto.
3. Edy Implementasi Kualitatif Implementasi
Haryanta, Peraturan Permendagri Nomor 16
DB. Menteri Tahun 2011 belum
Paranoan, dalam Negeri berjalan dengan baik
Rita Nomor 16 dikarenakan belum
Kalalinggi Tahun 2011 adanya sosialisasi
tentang kepada masyarakat
Komunitas mengenai Kominda,
Intelijen masih rendahnya
Daerah di kemampuan dan
Provinsi pengetahuan tentang
Kalimantan keintelijenen bagi
Timur sebagian angota
Kominda dan belum
adanya pembagian
tugas yang jelasa
antara anggota
Kominda.

Universitas Pertahanan
4

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN


Berdasarkan tinjauan pustaka dan pelacakan penelitian terdahulu,
maka peneliti merumuskan model/kerangka penelitian yang akan
dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Konflik Komunal yang terjadi di Kota Pontianak pada dasarnya


bukan terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat dideteksi. Dalam pendekatan
tugas yang dilakukan oleh intelijen melalui Kominda, deteksi dini
merupakan salah satu tindakan preventif terhadap ancaman stabilitas
nasional di daerah berupa konflik komunal. Dengan menganalisi peran
yang dilakukan oleh Kominda dalam deteksi dini konflik komunal akan
diperoleh model-model implementasi konsep deteksi dini sesuai bidang
tugas Kominda dan Doktrin Intelligence Cycle (RPI).
Pendalaman tentang optimalisasi peran akan dianalisis melalui
konsep komunikasi yang efektif mengingat dalam konteks organisasi,

Universitas Pertahanan
5

Kominda terdiri dari berbagai unsur-unsur organisai intelijen sehingga


komunikasi menjadi salah satu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.
Sebagai sebuah kebutuhan, koordinasi dalam Kominda menjadi salah satu
bagian yang tidak dapat dielakkan kerena sekelompok orang yang berada
dalam komunitas sebagai sebuah organisasi tersebut bertanggung jawab
penuh terhadap kesempurnaan suatu proses kegiatan intelijen berupa
perencanaan, pencarian, pengumpulan, pengkoordinasian dan
pengkomunikasian informasi intelijen sehingga dapat dijadikan bahan
rekomendasi dalam pertimbangan pengambilan kebijakan kepala daerah.
Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila seluruh proses
kegiatan tersebut dapat dikoordinasikan secara baik pula.
Diharapkan dengan optimalisasi peran secara profesional, baik
dan benar maka ancaman konflik komunal dapat diatasi melalui
pencegahan dini secara cepat dan tepat melalui sinergi unsur-unsur
intelijen di Kota Pontianak.

Universitas Pertahanan
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan bentuk
penyajian berupa deskriptif analitis. Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian
kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati
(Moleong, 2006). Penelitian Kualitatif adalah penelitian penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan
(Moleong, 2006).
Menurut Sugiyono (2002) penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat
perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain sedangkan
menurut Surakhmad (2002), Metode deskriptif adalah menuturkan dan
menafsirkan data yang ada, permasalahannya ada dan sudah dialami,
suatu hubungan, suatu kegiatan dengan kegiatan lain, pandangan yang
nampak atau tentang suatu proses yang sedang berlangsung. Pemilihan
penelitian kualitatif didasarkan pada keinginan penulis untuk mendapatkan
gambaran yang komperhensif tentang potensi konflik yang terjadi dengan
menggali dan menganalisis informasi secara mendetail dengan aktor-
aktor yang terlibat dalam upaya deteksi dini konflik. Sesuai dengan bentuk
permasalahan yang ada peneliti menggunakan jenis penelitian dengan
sifat deskriptif sehingga dapat menggambarkan secara jelas suatu
fenomena yang didasarkan pada data-data, fakta atau dokumen yang
terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya peneliti akan
menganalisis dan membandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang
berlangsung pada saat ini dan selanjutnya mencoba mmberi masukan dan
solusi menangani masalah yang dihadapi.

l
5

3.2 Sumber data/Subjek/Objek Penelitian


Penelitian mengenai Optimalisasi Peran Kominda dalam Deteksi
Dini Konflik Komunal di Kota Pontianak ini menggunakan dua jenis sumber
data, yaitu data primer yang terdiri dari subjek penelitian dan objek
penelitian, serta data sekunder yang terdiri atas berbagai dokumen tertulis
yang berkaitan dengan tema penelitian.

3.2.1 Subjek penelitian

Subjek penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat langsung


yang akan digali data atau informasinya. Istilah lain yang digunakan untuk
meyebut subjek penelitian adalah informan atau narasumber. Subjek
penelitian dalam penelitian ini adalah aparat intelijen yang terlibat dalam
aktivitas Kominda. Teknik yang digunakan dalam pemilihan narasumber
adalah teknik Purposive Random Sampling (sampel bertujuan) dengan
sasaran mereka yang diasumsikan mempunyai informasi yang dibutuhkan.
Selain itu target wawancara juga akan dikembangkan dengan teknik
snowballing (bola salju) sebagai salah satu cara pendalaman data dari
narasumber yang ditemui langsung di lapangan . Adapun yang menjadi
subjek penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Narasumber
No. Nama/Jabatan
1. Kepala Kantor kesbangpol Kota Pontianak
2. Kepala Bin Pos Kota Pontianak
3. Kasat IPP Kepolisian Kota Besar Kota Pontianak
4. Perwira Seksi Intel Kodim 1207 Pontianak
5. Asisten Intelijen Danlantamal XII / Pasi Intel TNI AL Pontianak
6. Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Pontianak
7. Kasi Wasdakin Imigrasi Pontianak

Penggalian informasi subjek penelitian dilakukan melalui


wawancara mendalam melalui tatap muka langsung. Data yang diperoleh
dari subjek penelitian akan diolah dalam bentuk transkrip dan catatan
observasi lapangan.

Universitas Pertahanan
5

3.2.2 Objek penelitian.


Objek penelitian adalah benda-benda yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Objek penelitian dapat berupa tulisan atau gambar,
seperti transkrip data, catatan lapangan yang sudah ada sebelumnya,
hasil penelitian terdahulu, notulen rapat, naskah pidato, peta/denah, dan
sebagainya selain itu objek penelitian dapat berbentuk abstrak, seperti
prosedur, sistem kerja dan sebagainya. Sehingga objek penelitian ini
difokuskan pada sumber data yang mendukung optimalisasi peran
Kominda dalam deteksi dini Konflik Komunal di Kota Pontianak.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah mencari data
sebanyak-banyaknya mengenai obejek yang akan diteliti. Teknik
pengumpulan data merupakan bagian yang sangat penting dalam
melakukan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
teknik-teknik studi penelitian kepustakaan (library research), penelitian
lapangan (field research) melalui observasi dan wawancara. Teknik yang
digunakan untuk memperoleh data primer akan dilakukan melalui
wawancara secara terbuka (open-ended) dan wawancara secara
terstruktur. Adapun uraian pengumpulan data akan dijelaskan dengan
uraian sebagai berikut :
Pertama, studi kepustakaan (library research). Pada tahap ini
penelitian dilaksanakan dengan terlebih dahulu mengumpulkan data
sekunder yang berasal dari literatur-literatur yang relevan dengan topik
penelitian.sumber data sekunder berasal dari literatur, buku-buku, jurnal,
undang-undang, naskah, prosedur tetap, media cetak dan media
elektronik melelui internet.
Kedua, studi penelitian lapangan (field research), penelitian ini
dilaksanakan dengan cara melihat langsung objek penelitian . Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara terutama
dengan personel pelaksana intelijen dan pengambil keputusan pada
tataran strategis operasional dan teknis yang terkait langsung dengan

Universitas Pertahanan
5

optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik Komunal .


Tujuannnya adalah untuk mengetahui peran dan upaya yang dilakukan
Kominda dalam deteksi dini Konflik Komunal.
Pada penelitian dengan metode kualitatif digunakan wawancara
mendalam (in-depth interview) yaitu proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
peneliti sebagai pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara. Pengumpulan data primer pada penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan data selengkap mungkin tentang optimalisasi peran
Kominda dalam deteksi dini konflik Komunal dan permasalahan yang
dihadapi optimalisasi peran tersebut. Penelitian ini bersifat fleksibel artinya
pengumpulan data dapat dilaksanakan dengan menggunakan perangkat
elektronik seperti pesawat telpon, handphone, faksimil, email ataupun
internet.
3.3.2 Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisisi kualitatif.
Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono bahwa Aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan dengan cara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, hingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data, penyajian data,
kesimpulan/verivikasi seperti dalam gambar berikut :

Universitas Pertahanan
5

Catatan Lapangan

Obsevasi

Wawancara

Data Skunder : Dokumen terkait

Reduksi Data

Memilih yang penting

Membuat Katagori

Membuang yang tidak terpakai

Display Data/ Peyajian Data

SIMPULAN

Gambar 3.1 Teknis Analisis Data Miles dan Huberman

Tahapan proses analisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :


Pertama, melaksanakan pengumpulan data dan perekaman data mentah
(hasil wawancara, studi lapangan, dan studi literatur) tentang Optimalisasi
Peran Kominda dalam Deteksi Dini Konflik Komunal.
Kedua, melaksanakan Reduksi Data berupa pembuatan koding,
kategorisasi data (memilah-milah dari tataran stategis, operasional dan
teknis), triangulasi yaitu proses check and rechecked antar sumber data,
selanjutnya dikumpulkan, disusun dan dideskripsikan, selanjutnya
dianalisis.
Ketiga,melaksanakan penyajian data melalui uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, maupun flowcahart dan bentuk lainnya.

Universitas Pertahanan
5

Keempat, melaksanakan penyimpulan dari tahap pertama sampai


dengan tahap keempat dengan diulang, jika dianggap belum memadai
kesimpulan akhir ditentukan jika data sudah tidak bisa diproses lagi.

3.4 Jadwal Penelitian


Penelitian akan dilakukan di wilayah Kota Pontianak Provinsi
Kalomantan Barat, dengan jangka waktu penelitian selama 6 bulan yaitu
mulai bulan Agustus 2015 hingga Januari 2015 dengan jadwal kegiatan
sebagai berikut :
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
Kegiatan Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar

Studi literatur

Penyusunan Proposal
penelitian

Sidang Proposal
Penelitian

Revisi hasil sidang


Proposal Penelitian

Pengumpulan Data
Primer di Lapangan

Pengolahan Data

Penyusunan Laporan
Hasil Penelitian

Sidang Tesis

Revisi hasil sidang tesis

Universitas Pertahanan
BAB 4

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1 Kondisi Umum Wilayah Kota Pontianak

4.1.1.1 Keadaan Geografi Wilayah Kota Pontianak

Sumber : Profil Kota Pontianak, 2015

Gambar 4.1. Citra Satelit Kota Pontianak.


Kota Pontianak yang didirikan oleh Sultan Syarief Abdurrahman
Alkadrie pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771 bertepatan dengan
tanggal 14 Radjab 1185, sampai dengan saat ini merupakan Ibukota dari
Propinsi Kalimantan Barat dengan luas keseluruhan wilayahnya mencapai
107,82 Km2. Secara administrasi Kota Pontianak dibagi menjadi 6 (enam)
Kecamatan dan 29 (Dua Puluh Sembilan) Kelurahan diantaranya
Kecamatan Pontianak Barat (16,92 Km2), Kecamatan Pontianak Kota
((15,51 Km2) Kecamatan Pontianak Selatan (14,54 Km2), Kecamatan
Pontianak Tenggara (14,83 Km2), Kecamatan Pontianak Timur (8,78 Km2)
dan Kecamatan Pontianak Utara (27,22 Km2). Letak Kota Pontianak
memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang
ada di Indonesia, ini dikarenakan Kota Pontianak berada diposisi garis
khatulistiwa dengan letak posisi pada koordinat 00 02’
24”LU-00 5’37”LS
dan 109 16’25 BT-109 23’04 BT, dengan batas barat kota berjarak sekitar
14,5 Km dari muara Sungai Kapuas Besar dan terdapat muara Sungai
Landak yang mengalir dari arah Timur.

l
5

Secara umum ketinggian tanah di Kota Pontianak relatif merendah


di tengah kota dan meninggi di pinggiran kota. Menurut keadaan topografi,
Kota Pontianak terletak di dataran rendah dan dilalui Sungai Kapuas dan
Sungai Landak yang membentuk delta tepat di wilayah kota. Dengan
ketinggian tanah 1-3 meter di atas permukaan laut dan mempunyai
kemiringan lahan melandai ke arah aliran sungai dengan kemiringan rata-
rata 0,8-1,5 meter. Lebar rata-rata setiap permukaan sungai ± 400 meter
dan kedalam air antara 12-16 meter. Keadaan pasang surut Sungai
Kapuas merupakan aspek hidrologis yang sangat berperan dan
berpengaruh terhadap Kota Pontianak. Ada dua faktor fisik utama yang
berpengaruh terhadap aspek hidrologis ini, yaitu keadaan topografi yang
rata-rata rendah di atas permukaan laut dan posisi Kota Pontianak yang
berada pada garis khatulistiwa. Besarnya pengaruh pasang dan curah
hujan yang tinggi terutama terjadi pada daerah-daerah pinggiran sungai.
Besarnya pengaruh ini pasang surut ini berkisar antara 1-2 meter. (www.
Pontianakonline.com)
Letak wilayah Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan
langsung dengan wilayah Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu
Raya, dengan rincian seperti gambar dan tabel berikut.

Sumber : Profil Kota Pontianak Tahun 2015

Gambar 4.2 Wilayah Kota Pontianak

Universitas Pertahanan
5

Tabel 4.1
Batas Wilayah Administrasi Kota Pontianak

No Uraian Batas Wilayah


1 Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Siantan (Desa Wajok Hulu)
Kecamatan Sungai Ambawang (Desa Kuala Ambawang, Desa
Mega Timur & Desa Jawa Tengah)

2 Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Sungai Kakap (Desa Punggur


Kecil), dan Kecamatan Timur Kab. Kubu Raya

3 Sebelah Timur Berbatasan dengan Kecamatan Sungai Ambawang (Mega


Timur dan Ambawang Kuala) dan Sungai Raya (Kapur dan
Sungai Raya) Kab. Kubu Raya

4 Sebelah Barat Berbatasan dengan Kecamatan Sungai Kakap (Sungai Rengas)


Kab. Kubu Raya dan Siantan (Wajok Hulu) Kab. Pontianak

5 Sebelah Tenggara Berbatasan dengan Kecamatan Sungai Kakap dan Sungai


Raya (Desa Punggur Kecil) Kab Kubu Raya, Kecamatan
Pontianak Timur dan Selatan

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak

4.1.1.2 Gambaran Demografi Kota Pontianak


Penduduk merupakan aspek strategis dalam berbagai indikator
pembangunan selain menempatkannya sebagai subjek sekaligus menjadi
objek dalam pembangunan, penduduk juga merupakan modal dasar
pembangunan. Dilihat dari perkembangan jumlah penduduk dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun terakhir periode 2013, dimana pada tahun 2013
jumalh penduduk Kota Pontianak sementara adalah 587.169 Jiwa yang
terdiri dari 293.017 Laki-laki dan 294.154 Perempuan.
Berdasarkan sebaran wilayah, Kecamatan Pontianak adalah
Kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 130.202 Jiwa dari
seluruh penduduk Kota Pontianak. Diikuti dengan kecamatan Pontianak
Utara sebanyak 119.150 jiwa dari penduduk Kota Pontianak. Kecamatan
dengan penduduk terkecil adalah Kecamatan Pontianak Tenggara dengan
jumlah penduduk sebesar 47.474 jiwa dari penduduk Kota Pontianak.

Universitas Pertahanan
6

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Pontianak Tahun 2013

Jenis K elamin
No K ecamat an
L P L+P
1. Pontianak Selatan 42.935 43.666 86.601
2. Pontianak Tenggara 23.136 24.338 47.474
3. Pontianak Timur 43.742 43.457 87.199
4. Pontianak Barat 65.097 65.105 130.202
5. Pontianak Kota 57.802 58.741 116.543
6. Pontianak Utara 60.305 58.845 119.150
Jumlah 293.017 294.152 587.169
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak.

Sebagian besar penduduk Kota Pontianak memeluk agama Islam


(75,4 %). Kemudian disusul oleh agama Budha (12, 03%), Katolik (6%),
Protestan (4,98%), Kong Hu Cu (1,31%), Hindu (0,07%), dan Lainnya (0,
12 %).
Sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Barat serta pusat kegiatan
pemerintahan, swasta dan sosial budaya, Kota Pontianak juga dijadikan
sebagai kota tempat para pendatang baik dari dalam maupun dari luar
propinsi. Diliihat dari keberadaannya berbagai etnis bangsa yang ada di
Indonesia terwakili menjadi warga Kota Pontianak sehingga Kota
Pontianak tergolong wilayah yang heterogen karena di sana bermukim
berbagai macam etnis. Adapun etnis bangsa tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 4.3
Komposisi Penduduk Menurut Etnis Bangsa Kota Pontianak Tahun 2012
No Suku Persentase
1. Melayu 34,50
2. Tionghoa 18,81
3. Bugis 7,92
4. Jawa 13,84
5. Madura 11,95
6. Lain-lain 12,98
Jumlah 100,00

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pontianak

Dengan komposisi keetnisan yang ada sebagian besar Kota Pontianak

Universitas Pertahanan
6

didiami oleh Etnis Melayu sehingga membuat budaya Melayu lebih


dominan dijadikan sebagai wadah pembauran. Hal ini akan sangat
berbeda jika dibandingkan dengan komposisi masyarakat dalam wilayah
provinsi. Secara keseluruhan jumlah kompisisi penduduk dengan etnis
Dayak dan Melayu hampir seimbang sehingga menjadikan Kalimantan
Barat tidak memiliki budaya yang dominan untuk dijadikan sebagai wadah
pembauran masing-masing etnis yang ada. (Riza Sihbudi dan Moch
Nurhasim, 2001).

Sumber : Profil Kota Pontianak, 2015

Gambar 4.3 Tiga Etnis Dominan di Kota Pontianak


Sedangkan dari segi kebangsaan, bangsa asing yang ada di
Pontianak persentasenya sangat kecil. Dari pengamatan di lapangan
hanya terdapat bangsa Tionghoa atau Cina, dan India yang sebagian
besar telah menjadi Warga Negara Indonesia dan menetap secara turun
temurun di Pontianak. Mereka sebagian besar hidup secara berkelompok
di pusat kota.

4.1.2 Komunitas Intelijen Daerah Kota Pontianak

Sebagai sebuah organisasi, Komunitas Intelijen Daerah sebagai


wadah koordinasi lintas sektoral yang memiliki fungsi sebagai pelaksana
operasional intelijen di daerah perlu diatur dengan jelas struktur dan tata
kerjanya. Dasar pelaksanaan tugas Komunitas Intelijen Daerah Kota
Pontianak adalah Surat Keputusan Walikota Pontianak Nomor
132/Kesbangpol/Tahun 2015 Tentang pembentukan Komunitas Intelijen
Daerah Kota Pontianak. Keanggotaan Kominda seperti yang diatur dalan
Surat keputusan tersebut terdiri dari unsur satuan kewilayahan di Kota

Universitas Pertahanan
6

Pontianak yang memiliki fungsi Intelijen. Keanggotaan Kominda seperti


yang diatur dalam Keputusan WaliKota Pontianak terdiri dari :
Tabel 4.4 Anggota Tim Kominda Kota Pontianak
No Jabatan Pokok Jabatan Dalam
Tim
1. WaliKota Pontianak Ketua
2. Wakil WaliKota Pontianak Wakil Ketua
3. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial Sekretaris
Politik Kota Pontianak
4. Badan Intelijen Negara Pos Kota Pontianak Pelaksana Harian
5. Kepala Satuan Intelijen Kepolisisn Resort Anggota
Kota Pontianak
6. Perwira Seksi Intelijen Komando Distrik Militer Anggota
1207 Pontianak
7. Perwira Seksi Intelijen Pangkalan Angkatan Anggota
Laut Pontianak
8. Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Anggota
Pontianak
9. Kepala Seksi Penindakan Keimigrasian Anggota
Kantor Imigrasi Kelas 1 Pontianak
10. Kepala Seksi Penindakan dan penyidikan Bea Anggota
dan Cukai Kota Pontianak
11. Kepala Bidang Penegakan Peraturan Anggota
Perundang-undangan satuan Polisi Pamong
Praja Kota Pontianak
12. Inspektur Pembantu wilayah III Inspektorat Anggota
Kota Pontianak
13. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Kota Anggota
Pontianak
Sumber : SK WaliKota Pontianak No. 132/Kesbangpol/Tahun 2015

Komunitas intelijen daerah sebagai kesatuan komunitas memiliki

Universitas Pertahanan
6

struktur sederhana yang dapat dijabarkan dalam struktur organisasi


sebagai berikut :

Sumber : Diolah dari hasil penelitian

Gambar 4.4 Struktur Organisasi Kominda Kota Pontianak


Komunitas Intelijen Daerah Kota Pontianak mempunyai tugas :
a. Merencanakan, mencari, mengumpulkan, mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan informasi atau bahan keterangan dan keterangan
intelijen dari berbagai sumber mengenai potensi gejala atau peristiwa
yang menjadi ancaman stabilitas nasioanal di daerah; dan
b. Memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi unsur
pimpinan daerah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan deteksi
dini dan peringatan dini terhadap ancaman stabilitas nasional di Kota
Pontianak.
Sebagai sebuah wadah koordinasi dan komunikasi intelijen guna
menjembatani kebutuhan pemerintah dan pemerintah daerah dalam

Universitas Pertahanan
6

menjaga stabilitas nasional di daerah, interaksi antara masing-masing


anggota tidak dibatasi oleh kondisi dan struktur tersebut. Interaksi dan
komunikasi harus tetap dapat berjalan dengan baik meskipun masing-
masing anggota berasal dari institusi intelijen yang berbeda.
Pembentukan Kominda di Kota Pontianak dilaksanakan dalam
rangka menjalankan kewajiban daerah seperti yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
mengenai urusan pemerintahan wajib dan pelayanan dasar yang
diserahkan kepada daerah terkait dengan ketentraman, ketertiban umum,
dan perlindungan masyarakat. Hal inipun diatur dalam permendagri Nomor
16 Tahun 2011, Pasal 4 ayat (1) dan (2) bahwa pelaksanaan tugas dan
kewajiban Walikota/Bupati meliputi; a). membina dan memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya
ancaman stabilitas nasional di daerah; b). mengkoordinasikan fungsi dan
kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota sebagai jaringan intelijen, dan
c). Menjamin terlaksananya kegiatan operasional Kominda di
Kabupaten/Kota. Dalam pasal 2 kemudian disebutkan bahwa peaksanaan
tugas dan kewajiban tersebut didelegasikan kepada unsur intelijen Polisi
Republik Indonesia. Pada pelaksanaannya di Kota Pontianak, delegasi
tugas dan kewajiban dalam pasal 4 tersebut dilaksanakan oleh Kaposbin
Kota Pontianak, hal ini dikarenakan dalam rapat awal pembentukan
Kominda Kota Pontianak telah disepakati bersama untuk penunjukan
pelaksana harian berdasarkan senioritas, sehingga Kaposbin Kota yang
menjabat sebagai pelaksana harian. Alasan lain dari pemilihan kaposbin
Kota Pontianak sebagai pelaksana harian adalah dalam rangka
mempermudah hubungan koordinatif antara Kominda Kota Pontianak dan
Kominda Provinsi yang dipimpin oleh Kabinda Provinsi sehingga secara
hierarki pertanggungjawaban dan koordinasi ke tingkat provinsi lebih
efektif.
Dalam permendagri 16 Tahun 2011 pasal 4 ayat (1) point c juga
telah diatur bahwa salah satu Tugas dan kewajiban derah melalui Walikota
adalah menjamin terlaksananya operasional Kominda di Kabupaten/Kota.

Universitas Pertahanan
6

Realisasi operasional Kominda Kota Pontianak dibebankan kepada


Anggaran Pembelanjaan Daerah Kota Pontianak pada tahun yang
bersangkutan dalam Anggaran pada Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial
Politik Kota Pontianak. Sebagai sebuah program kerja pemerintah daerah,
fasilitasi Kominda menjadi salah satu bagian dari Program Pembinaan
Kesatuan Bangsa dengan besaran Anggaran Kegiatan untuk Fasilitasi
Kominda pada tahun 2014 sebesar Rp. 153. 348.000 (seratus lima puluh
tiga juta, tiga ratus empat puluh depan ribu rupiah) (Kesbangpol, 2014).

4.1.2.1 Sekretariat Kominda


Untuk mendukung operasional Kominda Kota Pontianak dalam
melaksanakan tugasnya, Komunitas Intelijen Daerah dibantu dan
difasilitasi secara administrasi oleh Sekretariat Komunitas Intelijen Daerah.
Sekretariat Komunitas Intelijen Daerah bertempat di Kantor Kesatuan
Bangsa dan Sosial Politik Kota Pontianak. Susunan anggota sekretariat
Komunitas Intelijen Daerah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial Politik Kota Pontianak selaku
Sekretaris Kominda Kota Pontianak. Tugas Sekretariat Kominda adalah
memfasilitasi pertemuan atau rapat anggota Komunitas Intelijen daerah
dengan rincian tugas antara lain sebagai berikut :
a. Menyusun Agenda rapat Kominda Kota Pontianak baik dilakukan
secara periodik/ berkala maupun rapat-rapat yang bersifat insidentil
atau khusus.
b. Menghimpun dan menyalin hasil rapat kedalam notulen rapat
Komunitas Intelijen Daerah.
c. Menyajikan dan mendistribusikan hasil rapat kepada para anggoota
Kominda dan ditindak lanjuti.
d. Melakukan tugas-tugas administrasi Sekretariat Kominda Kota
Pontianak.
Dalam pelaksanaan tugas sekretariat Kominda, Kantor kesatuan
Bangsa dan Sosial Poltik Kota Pontianak menjalankan sasaran strategis
dengan Prioritas utamanya adalah fasilitasi Kominda. Fasilitasi Kominda

Universitas Pertahanan
6

dilaksanakan untuk menyikapi berbagai masalah yang relatif komplek


yang terjadi di Kota Pontianak dan sistem pendekatan dan solusi untuk
dapat menangkap sekaligus meredam dan mengantisipasi efek yang
mungkin ditimbulkan (Kesbangpol, 2014).
Kedudukan sekretariat Kominda memegang peranan yang penting
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kominda secara keseluruhan.
Sebagai pelaksana kegiatan dan fasilitasi kegiatan Kominda, sekretariat
Kominda menjadi penyedia informasi yang dibutuhkan Policy Maker
dengan menghimpun data-data dilapangan melalui kerjasama dan
koordinasi dengan aparat intelijen. Sekretariat Kominda bekerja dengan
agenda rapat yang ditentukan oleh ketua Kominda yang berkedudukan
sebagai kepala intelijen bagi kepentingan pemerintahan daerah maupun
inisiatif pelaksana harian Kominda sehingga sesuai dengan tugasnya
sekretariat Kominda menjadi fasilitator bagi alur pertukaran dan kompilasi
semua informasi yang masuk dari aparat intelijen yang digunakan sebagai
evaluasi pelaksanaan kegiatan Kominda dan tindak lanjut yang dilakukan
sebagai langkah pencegahan terjadinya kerawanan di daerah dan
menjaga stabilitas di daerah.
Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut tujuan dibentuknya
Kominda adalah dalam rangka menghimpun dan mengolah informasi
intelijen sebagai bahan rekomendasi kepada pengguna informasi dalam
hal ini kepala daerah selaku user dan tanggung jawab dan tugas Kepala
Daerah untuk memelihara Ketentraman dan Ketertiban masyarakat.

4.2 Analisis Data Hasil Penelitian

4.2.1 Optim alisasi Peran Komunitas Intelijen Daerah Dalam Deteksi


Dini Konflik Komunal di Kota Pontianak

4.2.2.1 Kerawanan dan Potensi Konflik Komunal di Kota Pontianak

Universitas Pertahanan
6

Konflik adalah fenomena sosial yang selalu saja terjadi dalam


kehidupan setiap komunitas dan konflik tidak dapat dimusnahkan (Turner,
1982 dalam Alqadrie; 2015). Konflik merupakan sebuah keniscayaan
dalam masyarakat, di mana masyarakat yang terdiri atas manusia sebagai
makhluk sosial selalu berinteraksi dengan manusia lain. Ketika interaksi
antar manusia baik secara individu maupun kelompok terjadi sebagai
bagian dari masyarakat, interaksi tersebut selalu terdiri dari adanya dua
hal, yaitu konflik dan konsesensus. Tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya. Konflik bisa terjadi disebabkan hubungan antara dua
pihak atau lebih baik secara individu atau kelompok yang memiliki atau
merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan. Kerena itu konflik dapat
dikatakan sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan dalam
bagian kehidupan manusia atau masyarakat. (Dirjen Strahan; 2012).
Dalam kehidupan masyarakat, konflik sosial sebenarnya
merupakan kewajaran selama tidak menggunakan unsur pemaksaan dan
kekerasan sebagai jalan keluar penyelesaian masalah. Perbedaan
kepentingan dalam masyarakat tidak selalu berkembang menjadi konflik,
karena bisa saja masing-masing pihak memiliki kesadaran untuk
menyelesaikan konflik tersebut secara damai untuk kepentingan bersama
yang lebih besar. Sementara itu apabila masing-masing pihak tidak mau
mengalah dan berimbas pada penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar
penyelesaian konflik akan menimbulkan eskalasi konflik berupa konflik
dengan menggunakan kekerasan. Konflik yang menggunakan kekerasan
merupakan kerawanan sosial yang berdampak pada kerugian daerah, dan
berpengaruh terhadap stabilitas nasional. Sehingga konflik yang terjadi di
suatu wilayah harus dapat dicegah sedini mungkin agar tidak berimbas
kepada kekacauan dan disintegrasi nasional.
Dinamika konflik yang terjadi di Kota Pontianak tak pernah lepas
dari posisi strategis wilayah ini sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.
Sebagai pusat aktivitas pemerintahan, ekonomi dan sosial sehingga
membuat Kota Pontianak sering terkena dampak dari konflik yang terjadi

Universitas Pertahanan
6

di wilayah kabupaten sekitarnya. Komposisi penduduk yang Multietnis


cenderung menimbulkan kerawanan akibat benturan perbedaan paham,
persepsi dan pandangan yang dapat menimbulkan konflik horizontal.
Pasca konflik pada periode tahun 2000. Kondisi Kalimantan Barat,
khususnya Kota Pontianak, jauh lebih damai dan kondusif. Meskipun
begitu, Kalimantan Barat tetap menjadi perhatian khusus terhadap
pertikaian Komunal (communal violent conflict) . Meskipun konflik ini tidak
terjadi secara terbuka bukan berarti Kota Pontianak tidak menyimpan
potensi konflik. Berdasarkan analisis data di lapangan, beberapa kejadian
yang melibatkan pertikaian antar kelompok tak akan lepas dari identifikasi
etnis dan agama dari setiap pihak yang bertikai. Sejarah panjang konflik
etnis di masa lalu pada akhirnya menciptakan sebuah pola identifikasi
terhadap identitas kelompok yang bertikai. Masyarakat cenderung
menganggap setiap konflik berdasarkan identitas etnis maupun agama.
Karena selama ini konflik yang telah terjadi adalah antara unsur kelompok
etnis asli dan etnis pendatang seperti etnis Dayak dengan Madura, etnis
Dayak dengan etnis Melayu, antara etnis Dayak dengan etnis Cina
Indonesia ataupun etnis Melayu dengan etnis Cina Indonesia. Masing-
masing kelompok yang pernah bertikai tersebut juga berbeda Agama.
Kondisi ini tentunya menjadi sebuah potensi terbesar di Kota
Pontianak. Seperti yang dikatakan oleh Heru Istiono, Kepala BINDA
Provinsi Kalimantan Barat, mengemukan bahwa :
“Kami menganggap potensinya besar, artinya ada. Karena memang
secara historis Kalimantan Barat pernah terjadi konflik dan itu
menjadi kerawanan. Dalam hal ini konteks konflik yang terjadi pada
zaman dulu dan sekarang tak akan pernah bisa kita lepaskan dari
Kekuasaan. Jika dulu ketika ada suatu kelompok merasa
termarjinalkan, sumber konflik selalu berasal dari bawah, karena
adanya ketidakpuasan terhadap kelompok elit, konflik ini selalu
dijadikan alat untuk alat politik, bahkan hanya karena disebabkan
masalah sepele seperti kecelakaan dan masalah perempuan maka
konflik akan meluas. Yang terjadi saat ini ada pergeseran pola
konflik, ketika kelompok yang termarginalkan sudah eksis dalam
politik maka pola konflik akan berubah di luar kelompok. Karena di
Kota Pontianak masyarakatnhya heterogen, banyak pendatang
sehingga terbatas dan tidak mungkin mempresentasikan etnis
sebagai identitas politik. Yang terjadi saat ini adalah dengan

Universitas Pertahanan
6

menggunakan keyakinan (agama)”


.(wawancara, 25 Januari 2016)

Dengan kondisi ini potensi konflik dan kekerasan yang dominan


terjadi karena diakibatkan oleh hal sepele atau kriminal murni yang meluas
pada kekerasan kelompok dengan pelibatan identitas etnis maupun
agama. Bahkan dalam beberapa kasus konflik yang terjadi bukan karena
hanya karena pertarungan yang berbasis identitas-identitas yang
ditonjolkan namun lebih kepada aspek yang lebih dalam dengan
penggunaan identitas-identitas tersebut kepada tujuan ekonomi dan politik.
Sebagai contoh bentuk konflik yang menimbulkan kerawanan terhadap
konflik komunal yang terjadi di Kota Pontianak adalah :
a. Bentrok antara Masyarakat Dayak dan FPI . Konflik yang terjadi
pada tanggal 16 Maret 2012, antara ormas FPI Kota Pontianak dan
persatuan masyarakat dayak bermula dari penolakan masyarakat
dayak terhadap kehadiran Habib Riziq dan pelantikan FPI Kalbar
melalui pemasangan spanduk oleh ‘
Kamuda Moreng”yang berisikan
tulisan “
Kami Masyarakat Dayak Menyatakan Penolakan Kehadiran
Habib Riziq dan Pelantikan FPI Kalbar”
. Hal ini memicu
ketersinggungan dan kemarahan pihak FPI yang didominasi oleh
etnis Melayu dengan menggelar sweeping terhadap kesatuan
mahasiswa dayak dari Jalan Tanjung Pura II menuju jalan Imam
Bonjol dan simpang 4 Pasar Flamboyan hendak menuju Rumah
Betang, sehingga terjadi benturan antara Massa FPI dan Masyarakat
Dayak. Kericuhan yang terjadi selama 3 hari ini sempat membuat
kekhawatiran bagi aparat keamanan dan masyarakat Kota Pontianak.
Bahkan saat itu untuk menghindari terjadinya Chaos, aparat
keamanan dari Brimob Kelapa dua juga ikut diturunkan guna
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan (Kesbangpol, 2012).

Universitas Pertahanan
7

Sumber : bolosrewu.blogspot.co.id, 2012

Gambar 4.5 Masyarakat Etnis Dayak yang turun ke jalan dalam


bentrok antara Dayak dan FPI Tahun 2012.

b. Bentrok yang terjadi antara Kelompok Sultan Sy. Abubakar Alkadrie


dan Kelompok Sy.Toto Thaha Alkadrie terkait masalah pengukuhan
Sy. Toto Thaha Alqadrie sebagai Sultan Pontianak ke X. Padahal
saat itu Sultan Sy. Abubabakar Alqadrie masih berstatus Sultan
Pontianak ke IX. Hal tersebut menyebabkan terjadinya sengketa
jabatan dan memicu terjadinya bentrok antara Kerabat kesultanan
Kadriah Pontianak. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini antara
lain Kerabat Keraton yang didukung FPI, dan pihak kelompok
pendukung Sy. Toto Thaha Alqadrie didukung Pemuda Pancasila.
Bentrok ini juga didukung oleh warga kelompok Etnis Melayu dan
Madura. (Polresta Kota Pontianak, 2015).

Universitas Pertahanan
7

Sumber : ericopieter.blogspot.co.id

Gambar 4.6 Sultan Abubakar di Halaman Istana Kadariah pada


saat terjadi klaim ganda Takhta Kesultanan Pontianak.
c. Bentrok yang terjadi antara Pemuda Melayu di sekitar wilayah Kota
Baru dan Pemuda Dayak Rumah Radakng yang diakibatkan
masalah parkir pada saat diadakan event-event/ konser/gawai
dayak. Masing-masing pihak didukung oleh ormas-ormas seperti
FPI yang mendukung Pemuda Melayu dan DAD yang mendukung
Pemuda Dayak Rumah Radakng. Bentrok fisik hampir terjadi pada
saat diadakan even-even gawai dayak di sekitar rumah Radakng.
Dengan bentuk konflik yang terjadi berupa perkelahian, bentrokan
fisik, pengrusakan, penyerangan dan keributan yang masih
berlangsung hingga saat ini. (Polresta Kota Pontianak, 2015).
Sehingga dari beberapa peristiwa tersebut terindikasi bahwa
sensitifitas masyarakat terhadap isu konflik yang melibatkan identitas etnis
dan agama masiah tergolong tinggi. Dengan ikatan emosional tersebut
akan sangat rawan jika dipergunakan sebagai alat politik sehingga sangat
rentan dan memungkinkan terjadi persaingan, pergesekan dan
permasalahan terkait identitas kelompok yang memicu konflik dan
kekerasan komunal dalam masyarakat.
Lebih lanjut salah seorang akademisi sekaligus Koordinator
Indonesian Conflict and Peace Studies Network (ICPSN), Prof. Syarif
Ibrahim Alqadrie, dalam wawancara pada tanggal 26 Januari 2016
mengemukakan bahwa identitas kelompok yang diakibatkan oleh

Universitas Pertahanan
7

identifikasi etnis dan keagamaan tersebut cenderung membentuk


solidaritas dan loyalitas etnis yang solid dan terpadu. Masalah etnisitas
seperti itu cenderung bertambah dengan munculnya kesadaran etnis yang
secara teoritis dengan mudah dapat berbenturan dengan anggota
kelompok etnis lain yang berbeda dalam budaya dan agama. Sehingga
dengan kesadaran etnisitas yang telah ada pada masyarakat dapat
mengarah pada perpecahan sosial dalam masyarakat.
Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentangPenanganan
Konflik Sosial terdapat 4 Jenis Potensi Konflik, yaitu yang bersumber dari
Poleksosbud, SARA, Batas Wilayah, dan Sumber Daya Alam. Dengan
dasar tersebut dan hasil pengolahan data di lapangan, Potensi kerawanan
di Kota Pontianak dapat bersumber dari hal-hal sebagai berikut :
Tabel 4.5 Sumber Potensi Konflik dan Kerawanan di Kota
Pontianak

No. Sumber Potensi Konflik dan Kerawanan


1. Sengketa Lahan
2. Ganti Rugi Lahan
3. Kebijakan Pemerintah
4. keterlambat pembayaran gaji karyawan
5. Pemutusan Hubungan Kerja
6. Penolakan terhadap kebijakan perusahaan
7. Take Over Lahan
8. Pemilu/Pemilukada
9. Distribusi BBM Bersubsidi
10. Penolakan terhadap Ormas (FPI)
11. Penggusuran Lahan
12. Penyebaran Aliran Ahmadiyah/Salafi
13. Penolakan Etnis Tertentu (Madura atau Cina)
14. Kebijakan Renovasi Pasar
15. Kecemburuan Sosial
16. Kontroversi Perayaan Cap Go Meh
16. Miras

Universitas Pertahanan
7

17. Lahan Parkir


18. Dampak Kejahatan
19. Perdagangan Lintas Batas

Sumber : diolah dari hasil penelitian

Sementara jika dilihat dari Aktor dan Kelompok yang terlibat dalam
konflik terdiri dari :
Tabel 4.6 Kelompok yang terlibat dalam konflik di Kota Pontianak
Kelompok Antara Kelompok
1. Warga/Masyarakat Adat >< Perusahaan
2. Karyawan >< Perusahaan
3. Pemilik Lahan >< Pemerintah
4. Warga/Kelompok Masyarakat >< Pemerintah
5. Perusahaan >< Pemerintah
6. Warga >< Warga
7. Warga >< Ormas/LSM
8. Ormas/LSM >< Perusahaan
Sumber : Ditintelkam Polda Kalbar, 2013
· Keterangan : >< = pihak yang bertikai

Secara keseluruhan potensi konflik yang terdapat di Wilayah Kota


Pontianak dapat dilihat dari tabel berikut :
TABEL 4.7 Hasil Pemetaan Konflik dan Kerawanan di Kota
Pontianak Tahun 2013-2015.
Potensi Konflik
Tahun Poleksosbud SARA Batas SDA
Wilayah
2013 18 - 1 -
2014 10 - 0 -
2015 22 3 - -
Jumlah 50 3 1 -
Sumber : diolah dari hasil penelitian

Berdasarkan data tersebut dapat dipahami bahwa konflik merupakan


pertentangan-pertentangan antar orang dalam satu kelompok atau
kelompok yang satu dengan orang lain, atau kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain.
Menurut Dahrendorf (1959), Konflik pada dasarnya memiliki dua

Universitas Pertahanan
7

makna, pertama konflik sebagai akibat dari proses integrasi di dalam satu
masyarakat yang tidak tuntas. Berdasarkan makna ini, konflik merupakan
sebuah ancaman laten yang dapat merusak harmonisasi dalam
masyarakat. sehingga dalam konflik dengan skala tertentu apalagi yang
bersifat komunal akan berdampak kepada stabilitas di daerah hingga
berdampak pada sistem dan stabilitas negara. Kedua, konflik dapat pula
dipahami sebagai sebuah kondisi alamiah yang bertujuan merekonstruksi
sistem sosial. konflik merupakan sebuah strategi untuk menghilangkan
disintegrasi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna.
Sehingga dalam konteks konflik yang terjadi di Kota Pontianak
dijadikan sebagai penguat ikatan kemasyarakatan dalam kesatuan. Jika
kemudian masyarakat tidak bisa diintegrasikan kedalam sebuah ikatan-
ikatan dengan aspek yang lebih luas seperti rasa kedaerahan bahkan
nasionalisme, maka akan menjadi sebuah potensi yang bersifat laten
yang sewaktu dapat memuncak menjadi konflik dengan atribut identitas
etnis maupun agama. Contoh kasus ini adalah yang terjadi pada konflik
FPI dan Dayak pada tahun 2012. Seharusnya mayarakat memiliki
kesadaran sebagai sebuah satu kesatuan utuh dari masyarakat
Kalimantan Barat maupun sebagai warga Kota Pontianak, yang secara
penuh mengerti bagaimana perbedaaan-perbedaaan paham dan
kepentingan dapat dikelola sehingga tidak menimbulkan gesekan-gesekan
yang berdampak pada konflik fisik hingga kekerasan komunal.
Menanggapi hal ini dalam wawancara dengan Kepala BINDA, Heru
Istiono terkait dengan pengalaman konflik dan potensi konflik di Kota
Pontianak sebagai berikut :
“Dalam kasus FPI tahun 2012 kemarin, yang terjadi adalah
penggunaan atribut etnis dan agama, padahal jika dilihat awal
mulanya hanya bentrok antar kelompok ormas, jadi ketika pagi,
mereka masih bentrok antara kelompok Dayak dengan Pemuda FPI,
siangnya mereka sudah menggunakan ikat kuning, malam hari
sudah berganti menggunakan ikat kepala putih. Jadi provokasi terus
terjadi, dan opini terus bergulir. Pada akhirnya yang terjadi adalah
bukan masalah kebenaran tapi bagaimana menarik kekuatan
dengan ikatan emosional” . (wawancara, 25 Januari 2016).

Universitas Pertahanan
7

Dengan fenomena ini terlihat jelas bagaimana konflik yang terjadi di


masyarakat kemudian termobilisasi atau bahkan di mobilisasi menjadi
sebuah alat bagi kelompok-kelompok tertentu dengan menggunakan
ikatan tersebut sebagai kekuatan untuk menggerakkan kesadaran
kelompok dalam masyarakat. hak ini sejalan dengan yang diungkapkan
oleh Geertz (1963) mengenai primordial sentiment, yang membahas
mengenai bagaimana identitas komunal digunakan untuk memperoleh
kekuasaan dalam masyarakat majemuk, terutama yang berkaitan dengan
etnis, agama, masyarakat pribumi (indeginous community) atau
masyarakat lokal (local communities).
Untuk menganalisis potensi konflik komunal yang ada di Kota
Pontianak dibutuhkan analisis mengenai sebab-sebab yang menjadi
pemicu konflik dan bagaimana konflik itu dapat terbentuk. Menurut Geertz,
terdapat 6 elemen pembentuk ikatan primordial, yaitu; ikatan kekerabatan
(assumed blood ties), ras (race), bahasa (language), wilayah (region),
agama (religion) dan adat istiadat (customs). Lebih lanjut La Ode (2012)
menyebutkan bahwa elemen tersebut telah menjadi faktor pemicu konflik,
baik lisan maupun fisik, faktor latar belakang timbulnya sentimen
primordialisme dalam masyarakat yang pluralistik atau masyarakat yang
mengembangkan pluralisme seluruhnya dipicu oleh keenam elemen ikatan
primordial tersebut, dengan kata lain hal tersebut dapat menjadi sumber
konflik yang diaktualisasikan oleh masyarakat Kalbar dan Kota Pontianak
pada khususnya.
Seperti yang dikatakan oleh Geertz, (1973), bahwa ragam budaya
dalam masyarakat majemuk seringkali memunculkan sikap-sikap
primordialisme. Primordial sering digunakan sebagai politik identitas etnis,
dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat
sebagai basis masa suatu kelompok dapat digerakkan. Pada
kenyataannya sejarah panjang Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat
yang identik dengan persepsi identitas etnisitas sehingga bersifat
rasial.Bentuk politisasi etnis terlihat dari pembentukan dan pemilihan
lembaga-lembaga adat yang ada ada di tingkat Kota maupun Provinsi

Universitas Pertahanan
7

seperti Dewan Adat Dayak (DAD) dan Lembaga Adat Melayu (LAM).
Pemilihan ketua DAD yang dijabat oleh Gubernur yang dalam konteks
politik merupakan pimpinan partai politik (PDIP) dan Kedudukan pimpinan
atau Ketua LAM juga dipimpin oleh figur yang berasal dari partai politik
(Golkar). Sementara di Kalimantan Barat dan di Kota Pontianak,
identifikasi etnis akan sangat berkaitan dengan identifikasi agama karena
setiap perbedaan etnis akan melekat dengan perbedaan agama. Dengan
gejala-gejala yang ada artinya masing-masing elit dalam kelompok
menyadari bahwa kompetisi politik dengan menggunakan identitas dan
simbol-simbol etnis dan agama merupakan sebuah kekuatan politik besar
bagi kepentingan politiknya.
Sehingga dengan indikator tersebut potensi konflik yang terjadi bisa
saja disebabkan oleh mobilisasi dan strategi yang digunakan oleh
kelompok-kelompok dengan basis etnis dan keagamaan tersebut dengan
mengaktifkan ikatan emosial kelompok masyarakat yang berkonflik di
masa lampau. Dengan demikian bahwa konflik pada dasarnya telah
terinternalisasi dan secara tidak langsung diwariskan ke dalam pola
hubungan politik masyarakat dan akan sangat mudah diaktifkan kembali
melalui ingatan luka-luka di masa lalu. Sehingga mendorong adanya
penguatan perasaan identitas kelompok.
Dengan kejadian konflik yang ada berikut potensi konflik dan
kerawanan di Kota Pontianak, peneliti berpendapat bahwa kerawanan
konflik di Kota Pontianak akan berhubungan dengan rasa keterikatan
dalam kesatuan sosial dan solidaritas sosial yang berhubungan dengan
kesamaan identitas etnis maupun agama. Dengan solidaritas sosial
tersebut akan mendorong kesadaran sebagai bagian dari kelompok
sehingga dalam kondisi tertentu kesadaran kelompok tersebut akan
memicu penggerakan massa yang lebih besar dan bersifat komunal.
Bahkan karena kesadaran kelompok yang timbul sebagai bentuk
solidaritas meyebabkan pemahaman yang bias mengenai akar masalah
penyebab konflik. Yang diperjuangkan bukan mengenai benar atau
tidaknya melainkan bagaimana kelompok tersebut dapat bertahan karena

Universitas Pertahanan
7

telah berhubungan dengan harga diri dan eksistensi kelompok. Hal ini juga
berhubungan dengan teori Burton (1990) yang menyatakan bahwa konflik
komunal yang menggunakan identitas agama dan etnis untuk
memobilisasi massa adalah konflik yang sangat rumit dan dilematis serta
tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable needs), karena identitas
berkaitan langsung dengan eksistensi dan kebutuhan dasar.

4.2.2.2 Peran Komunitas intelijen daerah dalam Deteksi Dini


a. Peran Intelijen Daerah sebagai Komunitas.
Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai hak dan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran (Sardjono Soekanto;
2002). Menurut Bruce J. Cohen (1992) peran memiliki beberapa bagian,
salah satunya adalah peranan nyata (anacted Role). Peranan nyata
didefinisikan sebagai suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang
dalam menjalankan suatu peranan.
Komunitas dalam penelitian ini didefinisikan sebagai Komunitas
Intelijen (intelligence community) atau masyarakat intelijen. Dalam istilah
generik intelijen yang terdapat dalam buku Irawan Soekarno (2011),
Intteligence Community yaitu seluruh insan intelijen dari berbagai
diferensiasi dan stratifikasi penyelenggara intelijen negara, baik yang
melaksanakan fungsi-fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan
secara menyeluruh maupun parsial. Sehingga dalam penelitian ini
komunitas intelijen negara akan tergabung dalam sebuah forum komunitas
intelijen daerah sebagai sebuah konsep yang dibentuk untuk
mengoptimalisaikan kinerja intelijen daerah melalui koordinasi antara
unsur-unsur intelijen secara profesional.
Peranan nyata yang akan dibahas dalam penelitian ini melibatkan
seperangkat aturan yang terdapat dalam regulasi normatif yang diatur oleh
pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun
2011 Tentang Komunitas Intelijen Daerah untuk kemudian pada level
daerah diatur kembali secara teknis melalui Peraturan Daerah yang
dikeluarkan oleh kepala daerah.

Universitas Pertahanan
7

Peranan Komunitas Intelijen Daerah di Kota Pontianak


dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor
132/Kesbangpol/Tahun 2015 Tentang Pembentukan Komunitas Intelijen
Daerah. Tugas utama Kominda yaitu :
1) Merencanakan , mencari, mengumpulkan, mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan informasi atau bahak keterangan dan intelijen
dari berbagai sumber mengenai potensi, gejala atau peristiwa yang
menjadi ancaman stabilitas nasional di daerah, dan
2) memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi unsur
pimpinan daerah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan deteksi
dini terhadap ancaman stabilitas nasional di Kota Pontianak.
Pelaksanaan tugas tersebut merupakan peran vital yang dilaksanakan
oleh Kominda sebagai bagian dari upaya deteksi dini dalam rangka
pencegahan terhadap Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan di
Kota Pontianak.
Lebih lanjut tentang pmbentukan komunitas intelijen daerah Kota
Pontianak, Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pontianak,
Drs. Zulkarnain, M.Si mengatakan bahwa :
“Objek deteksi merupakan bentuk kewaspadaan, untuk itu aparat
intelijen yang tergabung dalam Kominda diharapkan dapat
merumuskan permasalahan secara akurat, tepat dan cermat dalam
bentuk produk resume saran sebagai bentuk wacana aksi “
(wawancara, 12 Januari 2015).

Sehingga dalam konteks tugas komunitas intelijen daerah , aparat


intelijen yang tergabung dalam Kominda berfungsi sebagai penyedia
informasi bagi policy maker di daerah. Sehingga lingkup tugas intellijen
dalam komunitas ini berada pada pengumpulan infomasi dalam rangka
deteksi dini. deteksi dini dilakukan dengan mengumpulkan dan
menghimpun semua informasi yang berkaitan dengan objek kerawanan
yang ada di Kota Pontianak melalui komunikasi dan koordinasi dengan
aparat intelijen di daerah yang ada di daerah. Dengan adanya Kominda
diharapkan dapat merumuskan permasalahan secara akurat dengan
menyampaikan saran tindak lanjut yang ada pada kewenangan policy

Universitas Pertahanan
7

maker sehingga dapat lebih fokus menangkap permasalahan dan


memberikan solusi untuk memecahkan masalah di lapangan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Kominda adalah dalam rangka
mendukung kebijakan kepala daerah agar dapat mengambil keputusan
dengan cepat dan tepat dalam rangka pencegahan trerhadap ATHG yang
ada. Dukungan yang dilakukan oleh Kominda dilakukan dengan fungsi
organik intelijen yaitu fungsi Penyelidikan, Pengamanan dan
Penggalangan.
Dalam Konteks Kominda sebagai sebuah Organisasi Intelijen yang
mewadahi instansi intelijen Lintas sektoral deteksi dini dilakukan dengan
perannya untuk menjalin koordinasi kepada aparat-aparat tersebut.
Koordinasi dilakukan melalui rapat rutin yang dijadwalkan oleh Sekretariat
Kominda sebagai media pertukaran informasi intelijen dalam rangka
deteksi dini. Pada saat pelaksanaan rapat koordinasi. Bahan dan materi
rapat Kominda akan disesuaikan sengan kebutuhan kejadian di lapangan
termasuk juga unsur-unsur intelijen yang terlibat. Mekanisme koordinasi
yang dilakukan adalah setiap anggota melaporkan kondisi dan informasi
aktual yang ditangani serta permasalahan yang timbul di bidang tugas
penanganan masing-masing satuan intelijen. Hal ini seperti yang
diungkapkan salah satu anggota Kominda, Prayitno sebagai berikut :
“dalam rapat koordinasi, kami memaparkan informasi dan
permasalahan yang timbul terkait dengan bidang tugas yang kami
tangani. Lengkap dengan potensi serta prediksi yang muncul
ketika masalah ini lambat ditangani dan dibiarkan terjadi” .
(Wawancara, 21 Januari 2016) .

Penghimpunan informasi intelijen dilakukan oleh sekretariat


Kominda yang dilakukan pada saat rapat koordinasi Kominda. Mekanisme
penghimpunan informasi, dilakukan dengan koleksi disiplin informasi
seluruh aparat intelijen dalam rapat Kominda. Setelah informasi terkumpul,
informasi akan diolah melalui proses pengolahan dan perencanaan
rekomendasi program kegiatan yang akan ditindak lanjuti oleh Kominda
melalui perencanaan kegiatan pencegahan dan penyusunan rekomendasi
kebijakan kepada pembuat keputusan. Terkait kontribusi informasi yang

Universitas Pertahanan
8

diberikan masing-masing anggota Kominda Kepala Kantor Kesatuan


Bangsa dan Politik, Drs. Zulkarnain, M.Si menjelaskan bahwa :
“kontribusi seluruh anggota dalam pengumpulan informasi selama
ini diberikan sesuai bidang tugasnya masing-masing, jika terdapat
hal-hal yang berkaitan dengan konflik dan keamananan wilayah
maka akan lebih banyak diberikan oleh Polri, TNI dan BINDA. dan
mereka yang lebih banyak berperan untuk memberikan informasi
awal dalam deteksi dini”(wawancara,12 Januari 2016).

Sehingga dari pelaksanaan peran tersebut peneliti berpendapat


bahwa peranan intelijen sebagai pengumpul informasi lebih banyak
dilaksanakan oleh instansi-instansi yang memang langsung berkaitan
dengan penanganan konflik di daerah. Seperti POLRI yang secara tugas
bertanggung jawab terhadap kondisi ketentraman dan ketertiban
masyarakat di daerah, sedangkan TNI bertanggung terhadap penanganan
yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Sementara tugas
Pokok BINDA adalah sebagai Koordinator penyelenggara intelijen dengan
tujuan pencapaian tujuan nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
pelaksanaan peran deteksi dini lebih dominan dilakukan oleh aparat yang
langsung bertanggung jawab terhadap kondisi kerawanan dan konflik di
daerah. Sehingga tidak seluruh informasi dapat terhimpun secara
maksimal dalam pertemuan dan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda
Kota Pontianak.
Terkait dengan pelaksanaan peran Kominda secara administrsi
didapatkan data di lapangan mengenai capaian kinerja fasilitasi Kominda
Tahun 2014 sebagai berikut :

Tabel 4.8 Capaian Pelaksanaan Koordinasi Kominda Kota Pontianak


Tahun 2014
No Indikator Target Realisasi
1. Merencanakan , mencari, 12 Kali 12 Kali

Universitas Pertahanan
8

mengumpulkan,
mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan
informasi atau bahan
keterangan dan intelijen dari
berbagai sumber mengenai
potensi, gejala atau peristiwa
yang menjadi ancaman
stabilitas nasional di daerah
2. memberikan rekomendasi 12 Kali 12 Kali
sebagai bahan pertimbangan
bagi unsur pimpinan daerah
mengenai kebijakan yang
berkaitan dengan deteksi dini
terhadap ancaman stabilitas
nasional di Kota Pontianak
Sumber : diolah dari hasil penelitian

Berdasarkan data tersebut diperoleh hasil pengolahan data berupa


kegiatan fasilitasi Kominda dengan target jumlah informasi intelijen yang
terhimpun sebagai dasar pengambilan kebijakan lebih lanjut telah
terealisasi sebanyak 12 informasi dengan jumlah pertemuan/rapat tertutup
sebanyak 12 kali.
Menurut Sun-Tzu dalam War and Management (dalam Irawan
Soekarno; 2011) intelijen berperan sebagai feedback mechanism berupa
strategic control yang dilakukan yang dilakukan oleh aparat intelijen
dengan menyampaikan feedback kepada tahap perkiraan keadaan, dan
berlanjut pada penentuan goals dan strateginya, lalu tahap evaluasi dari
strategi dan terakhir tahap implementasi. Agar intelijen dapat memberikan
masukan yang efektif kepada pembuat kebijakan,maka fungsi yang
digunakan dalam peran ini adalah fungsi penyelidikan dilakukan dengan
menganut doktrin Intelligence Cycle atau RPI (Roda Perputaran Intelijen)
yang diilustrasikan dalam 5 langkah daur process., yaitu Planning and

Universitas Pertahanan
8

Direction, Collection, Processing, Analysis and Production dan


Disemination (Judith Meister Johnston; Rob Johnston, 2005). Dalam
konteks Kominda pelaksanaan fungsi penyelidikan dalam rangka deteksi
dini yang dilakukan dengan metode RPI ini dijabarkan dalam tugas
sekretariat Kominda yang bertindak sebagai fasilitator kegiatan Kominda.
Lebih lanjut, dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk melihat
peran Kominda dalam pelaksanaan tugasnya akan dilakukan dengan
menggunakan Doktrin Roda Perputaran Intelijen yang bertujuan untuk
melihat secara lebih mendalam mengenai peran Kominda dalam
menjalankan tugas yang diberikan dalam keputusan WaliKota Pontianak.
Pertama. Planning and Dir ection.
Planning atau perencanaan diartikan sebagai sebagai langkah-langkah
yang memungkinkan organisasi intelijen untuk mencapai tujuan. Direction
diartikan sebagai arahan yang digunakan sebagai petunjuk kerja kepada
aparat intelijen agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan jelas.
Planning dan direction berhubungan dengan pelaksanaan manajemen
internal yang berhubungan dengan permintaan konsumen dalam hal ini
adalah pembuat kebijakan. Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian
diperoleh bahwa pelaksanaan peran perencanaan belum terlaksana
dengan baik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa peran Walikota sebagai
Ketua Kominda masih dirasa belum maksimal dalam mendukung
pelaksanaan tugas Kominda. indikator yang dapat dijadikan sebagai
identifikasi pelaksanaan peran yang belum maksimal adalah pada
pelaksanaan rapat yang belum pernah diambil alih langsung oleh Walikota
atau bahkan memerintahkan sekretariat Kominda untuk melaksanakan
koordinasi sebagai penguatan fungsi dan fasilitasi. Menurut pandangan
peneliti belum maksimalnya peran Walikota selaku ketua Kominda
diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a) Persepsi terhadap kondisi Kota Pontianak yang cenderung damai
sehingga koordinasi hanya dilakukan sesuai kebutuhan kondisi dan
situasi.
b) Kurang memahami pentingnya Kominda sebagai wadah komunikasi

Universitas Pertahanan
8

dan koordinasi dalam rangka deteksi dini konflik.


c) Dualisme fungsi koordinasi antara Kominda dan Forkopimda, sehingga
seringkali informasi terkait kondisi daerah langsung disampaikan
kepada kepala daerah dan tidak dilaporkan secara paralel melalui
Kominda baik melalui laporan lisan maupun tulisan.
Kedua. Collection
Collection atau Koleksi Informasi diartikan sebagai pengumpulan informasi
yang terkait dengan pengorganisasian data acak menjadi kumpulan data
yang dibutuhkan. Pengumpulan data dapat dilaksanakan dengan teknik
terbuka atau tertutup. Dalam konteks Kominda informasi yang dibutuhkan
terkait pada informasi ancaman-ancaman terhadap keamanan nasional di
suatu negara. Dalam pelaksanaan di lapangan proses pengumpulan
dilakukan dalam rapat koordinasi berupa penyampaian-penyampaian
informasi dari masing-masing intelijen. Masing-masing aparat melaporkan
informasi dan kondisi terkait ancaman dan potensi gangguan yang terjadi
di lapangan. Dalam realisasi kegiatan pengumpulan informasi ditemui
beberapa masalah terkait urgensi informasi yang diberikan. Kejadian yang
dilaporkan bersifat umum dan tidak spesifik. Beberapa informasi yang
bersifat intelijen tidak di sharing melalui Kominda. hal ini menyebabkan
Kominda harus melakukan strategi pendekatan kepada apintel dengan
melakukan pendekatan-pendekatan informal diantaranya yang bersifat
personal yang dianggap akan lebih efektif.

Ketiga. Processing
Processing diartikan sebagai kegiatan mengkonversikan data yang
bersifat acak menjadi data yang siap pakai untuk digunakan sebagai
bahan analisis. Pentingnya elemen ini disebabkan informasi yang
diperoleh sangat banyak, terpecah-pecah (fragmented) dan bahkan
kerapkali bertentangan antara satu dengan lainnya (ambiguous). Dengan
kondisi tersebut mengharuskan dilakukannya suatu pengolahan sehingga
diharapkan dapat menghasilkan interpretasi dan penilaian yang tepat dan
bermanfaat dalam pengambilan kebijakan. Laporan yang berasal dari
masing-masing intelijen akan dicatat dan dihimpun dalam rapat untuk

Universitas Pertahanan
8

kemudian dipilih berdasarkan keinginan pembuat kebijakan. Sehubungan


pelaksanaan planning dan direction yang tidak berjalan dengan maksimal
dan pelaporan yang hanya bersifat umum maka informasi yang di proses
hanya bersifat rutin dalam artian tidak seluruh informasi strategis dapat
dilaporkan dan dianalisis ke tahapan selanjutnya. Kendala sumber daya
juga tak akan bisa dilepaskan dalam konteks proses pengolahan informasi.
Di Kominda sendiri tidak tersedia sumber daya yang memiliki kemampuan
intelijen yang cukup sehingga akan mengalami kesulitan mengkategorikan
informasi apakah bersifat biasa atau urgen dan strategis.

Keempat. Analysis and Production


Analisis diartikan dengan menjabarkan proses evaluasi data berdasarkan
informasi yang telah diproses. Analisis yang dilakukan harus berdasarkan
evaluasi informasi yang akurat, aktual, berhubungan dan terintegrasi
dengan informasi yang di butuhkan oleh pengambil kebijakan. Hasil
analisis harus berfokus pada isu-isu yang berada pada garis depan
pembuat kebijakan yang harus segera ditindaklanjuti. Pada realisasi di
lapangan laporan dari apintel yang paling mendesak untuk segera
ditangani dan ditindaklanjuti dengan disertai analisis potensi dan
kerawanan yang akan terjadi serta perencanaan tindakan bersama apintel
untuk menanggulangi hal tersebut. Hasil analisis tersebut disajikan dalam
bentuk laporan atensi intelijen yang berisi catatan kronologis kejadian,
ketegangan dan bentuk antisipasi yang akan dijadikan laporan kepada
WaliKota Pontianak sebagai rekomendasi dan bahan perumusan
kebijakan lebih lanjut.

Kelima. Disemination
Diseminasi diartikan sebagai distribusi produk intelijen kepada
pengguna dalam hal ini adalah pengambil kebijakan. Dalam konteks
Kominda pengguna informasi adalah Kepala Daerah atau bahkan
Pimpinan Daerah yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan
daerah (Forkopimda). Pada pelaksanaan diseminasi oleh Kominda peran
ini dilaksanakan oleh sekretariat Kominda untuk mendistribusikan hasil

Universitas Pertahanan
8

keputusan rapat yang telah dianalisis menjadi bahan keterangan intelijen


dan disampaikan kepada pembuat kebijakan sebagai bahan rekomendasi
pengambilan keputusan lebih lanjut.
Dengan demikian pelaksanaan peran Kominda telah berjalan
sesuai manajemen administrasi organisasi Kominda yang menggunakan
Daur intelijen tersebut. Secara umum Kominda telah melaksanakan
melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengumpulkan, menganalisis
dan memberikan informasi yang diperlukan kepada policy maker untuk
menentukan kebijakan yang tepat dalam pencegahan dini terhadap
ancaman konflik di daerah. Meskipun ada beberapa kendala terkait
pelaksanaan peran Kominda yang berkaitan dengan sumber daya
manusia, sarana prasarana dan komunikasi internal maupun ekstrenal
yang terjadi di dalam Kominda.

b. Pelaksanaan Deteksi Dini Konflik Komunal oleh Komunitas


Intelijen Daerah

Intelijen sebagai sebuah fungsi deteksi dini selalu dituntut untuk


memiliki kemampuan untuk melakukan identifikasi gejala awal ke arah
kemungkinan terjadinya ancaman. Fungsi penting dari deteksi dini adalah
agar aparat dapat mempersiapkan tindakan antisipasi agar ancaman dan
gangguan tersebut tidak terjadi serta mempersipkan tata cara dan
persiapan penanganan apabila ancaman tersebut benar-benar terjadi.
Setiap tindakan antisipasi yang dilaksanakan oleh Intelijen bertujuan
memberikan peringatan dini terhadap berbagai kemungkinan bentuk dan
sifat ancaman yang potensial dan nyata.
Pentingnya pendekatan Intelijen dalam deteksi dini ancaman,
Tantangan, Gangguan dan Hambatan tersebut diungkapkan salah satu
Anggota Kominda, Yusrizal yang menyatakan bahwa :
“dengan ancaman yang ada saat ini, untuk skala Provinsi dan Kota,
peran penting aparat intelijen sangat diperlukan melalui budaya
deteksi dini, lapor dini dan cegah dini. Hal ini menjadi skala prioritas
peran aktif anggota Kominda agar dapat memberikan masukan
kepada pimpinan untuk dapat mengambil keputusan dan
menentukan cara bertindak dalam mengatasi segala bentuk
ancaman yang dapat mengganggu stabilitas nasional di daerah” .

Universitas Pertahanan
8

(wawancara, 27 Januari 2016).

Penekanan pada pentingnya perolehan informasi secara cepat


menuntut peran aparat intelijen yang berada Kominda untuk memiliki
kemampuan melakukan identifikasi gejala awal ke arah kemungkinan
terjadinya ancaman. Terkait pelaksanaan peran Kominda dalam deteksi
dini kepala Pos BIN Wilayah Kota Pontianak, Tarwo Kusnarno,
menyatakan bahwa:
salah satu bentuk deteksi dini yang dilakukan Kominda adalah dengan

mengumpulkan informasi yang secara cepat, bisa diterima dan
dengan perolehan informasi tersebut akan mendukung penanganan
yang secara tepat pula”(wawancara, 11 Januari 2016).

Secara normatif deteksi dini dalam kerangka tugas sebuah tugas


Komunitas Intelijen Daerah erat kaitannya dengan proses komunikasi dan
Koordinasi yang dilakukan dalam wadah tersebut. Kominda sebagai
wadah fasilitasi kerjasama dan koordinasi satuan intelijen yang berasal
dari institusi intelijen yang berbeda harus dapat melaksanakan
harmonisasi, koordinasi dan sinergitas antar anggota Kominda, melalui
sharing informasi potensi kerawanan yang berkembang di tengah-tengah
lingkungan masyarakat secara terbuka agar dapat diambil langkah atau
cara bertindak yang cepat dalam mengatasi permasalahan kerawanan di
daerah.
Sistem Deteksi dini yang dilaksanakan merujuk pada pendekatan
Conflict Early Warning Sytem (CEWERS). Menurut Ian White dan Possy
Bullman (2010; p.2) efektifitas CEWERS harus mencakup Identity the
Cause of Conflict-(trigger of Violence), Anticipate the Possible direction in
the Escalation of Conflict, dan Help to Mitigate conflict by providing
strategic advice to decision makers. Dalam pelaksanaan CEWERS, fungsi
intelijen merupakan sebuah penginderaan awal yang kemudian dijabarkan
dalam tugas intelijen untuk mengumpulkan, menganalisa dan memberi
informasi kepada pengguna dan pembuat kebijakan. Sistem deteksi dini
mencakup berbagai inisiatif yang terkait dengan pengumpulan data secara
sitematik, analisis dan formulasi rekomendasi, termasuk risk assesment

Universitas Pertahanan
8

dan penyebaran informasi, baik yang sifatnya kuantitatif, kualitatif, maupun


kombinasi antara keduanya (Institut Titian Damai, 2005).
Terkait potensi konflik komunal di Kota Pontianak dan pelaksanaan
deteksi dini , konflik pada dasarnya dapat diidentifikasi berdasarkan faktor-
faktor yang menjadi potensi konflik maupun bentuk eskalasi yang terjadi
pada tahap awal sengketa atau ketegangan. Pemerintah daerah
seharusnya paham dengan mendalam bahwa Kota Pontianak menyimpan
potensi yang besar terhadap Konflik Komunal. Dengan demikian
diperlukan kesadaran bahwa konflik tidak akan terjadi secara tiba-tiba,
tetapi selalu diawali dengan adanya potensi secara historis sudah
mengakar dalam masyarakat. potensi itu sewaktu-waktu dapat
berkembang menjadi ketegangan-ketegangan dan akhirnya memuncak
dan pecah menjadi konflik fisik sehingga memicu terjadinya konflik dengan
kekerasan secara komunal.
Menurut Maswadi Rauf (dalam La Ode; 2012), bahwa dalam “
konflik terdapat dua substansi yang terdiri konflik lisan dan konflik fisik”
.
Lebih lanjut Syntha (2013) menyebutkan bahwa substansi tersebut
menjadi dua tahapan konflik yang dimulai dari konflik lisan yang bisa
disebabkan oleh pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling
tidak dua orang atau kelompok. Dalam konflik lisan atau non fisik konflik
dimulai dengan dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan
pandangan. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat
meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik
dalam perbedaan pendapat.
Hal yang demikian terjadi pada saat konflik antara FPI dan Pemuda
Dayak yang terjadi pada tanggal 16 Maret 2013, antara ormas FPI Kota
Pontianak dan persatuan masyarakat dayak. Kejadian yang bermula dari
penolakan masyarakat dayak terhadap kehadiran Habib Riziq dan
pelantikan FPI Kalbar melalui pemasangan spanduk oleh ‘
Kamuda
Moreng”yang berisikan tulisan “
Kami Masyarakat dayak menyatakan
penolakan kehadiran Habib Riziq dan Pelantikan FPI Kalbar”
. sehingga
memicu ketersinggungan dan kemarahan pihak FPI yang didominasi oleh

Universitas Pertahanan
8

suku Melayu dengan menggelar sweeping terhadap kesatuan mahasiswa


dayak dari Jalan Tanjung Pura II menuju jalan Imam Bonjol dan simpang 4
Pasar Flamboyan hendak menuju Rumah Betang, sehingga terjadi
benturan antara Massa FPI dan Masyarakat Dayak (Polrestabes; 2013).
Dalam wawancara lebih lanjut dengan Kepala Pos BIN Kota Pontianak,
Tarwo Kusnarno, menjelaskan bahwa :
“waktu itu, pak Gubernur sedang tidak ada di tempat, Wagub
(Wakil Gubernur) sedang berada di Cikeas, yang berada di tempat
saat itu, Sekda, Panglima dan Kapolda. Kami mendengar informasi
akan ada penolakan terhadap kehadiran FPI malam itu juga kita
kumpulkan, rapat, pertemuan, dan kita informasikan kepada wagub,
wagub kemudian melaporkan kepada Presiden mengenai kondisi di
wilayah, Presiden kemudian menginstruksikan ke kelapa dua untuk
antisipasi dan cegah dini. Saat itu juga bandara di buka tengah
malam dan langsung menuju ke lokasi. Ini merupakan antisipasi
yang dilakukan secara cepat, karena FPI, pengurusnya adalah
bagian dari keraton, pembesar-pembesar FPI sebagian berasal dari
Keraton yang saat itu sudah mengangkat bendera kuning (bendera
perang). Sehingga masyarakat sekitar, secara hierarki juga akan
mendukung penuh pihak keraton. Ribuan manusia telah berkumpul,
di satu sisi ribuan manusia berkumpul mendukung FPI, di sisi lain
sudah berkumpul masyarakat dayak, yang hanya terpisah
sungai.Saat itu kapolda langsung mengambil langkah
mengumpulkan seluruh tokoh masyarakat yang berpengaruh,
Pangdam turun ke lapangan, termasuk juga Kabinda”

Dengan contoh kejadian konflik yang pernah terjadi di Kota


Pontianak dapat terlihat bahwa secara prosedural sistem deteksi dini telah
dijalankan melalui inisiatif pengumpulan informasi dan kronologis kejadian
yang akan memudahkan proses pemetaan dan perkiraan eskalasi konflik
yang akan terjadi. termasuk pada tindakan dari risk assesment dari konflik
tersebut yang ditindaklanjuti dengan pertemuan para tokoh dan pimpinan
yang berpengaruh dalam konflik tersebut dengan tahapan hierarkis dan
terpadu melalui rapat dan koordinasi. Sehingga dapat diberikan
rekomendasi kebijakan bagi para pemangku kepentingan di Kota
Pontianak dan Kalimantan Barat.
Keberhasilan pencegahan konflik oleh aparat keamanan menjadi
sebuah refleksi deteksi dini dan pencegahan dini yang dilakukan oleh
aparat intelijen dan pemerintah di daerah. Respon cepat masing-masing

Universitas Pertahanan
8

aparat intelijen untuk mengumpulkan informasi, mengolah dan melaporkan


kondisi serta merekomendasikan bahan kebijakan kepada pengguna
informasi untuk melaksanakan pencegahan konflik lebih lanjut dengan
melaksanakan penggalangan oleh pimpinan kewilayahan sehingga
bentrok dan ketegangan yang mengandung ancaman konflik komunal
dapat diminimalisir dan dilokalisir. Sehingga tugas utama dari deteksi dini
berupa pengumpulan dan pengolahan informasi secara cepat dan bisa
ditangkap dengan baik oleh semua unsur intelijen sehingga akan
mendukung penanganan yang cepat dan efektif sebagai upaya
pencegahan konflik .
c. Strategi Pencegahan Konflik Komunal
Menurut Sun-Tzu (dalam Irawan Soekarno; 2011), dalam
penyelenggaraan perang yang dihancurkan terlebih dahulu adalah strategi
musuh, bukan militernya. Strategi atau dalam konteks kominda disebut
dengan planning atau perencanaan atau program atau kebijakan, akan
sangat penting bagi penyelenggaraan peran intelijen dan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Intelijen dalam perannya
sebagai policy support, melakukan upaya-upaya untuk menjaga kondisi
wilayah agar tetap stabil dan terkendali. Disamping itu inteljen dalam
Kominda juga berperan sebagai strategic control atau alat kontrol strategis
dalam rangka pengamanan terhadap kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pengambil kebijakan di daerah. Dengan demikian,
kalangan intelijen harus menyadari benar akan potensi konflik yang ada
dan berkembang di dalam masyarakat .
Upaya-upaya yang dilakukan Kominda dilaksanakan melalui
dukungan kebijakan Pemerintah Daerah melalui program-program kerja
yang dibuat oleh Pemerintah Kota Pontianak. Secara strategis upaya-
upaya yang dilakukan dalam rangka antisipasi konflik dan cegah dini
konflik dilakukan dengan upaya pembangunan budaya damai yang dimulai
dengan program peningkatan hamonisasi dan kualitas hidup
barmasyarakat dan beragama berupa peningkatan pemahaman tentang
wawasan kebangsaan dan program yang bertujuan meningkatkan situasi

Universitas Pertahanan
9

keamananan dan ketertiban yang kondusif melalui program kegiatan


peningkatan stabilitas daerah, salah satunya pembentukan Kominda,
pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Pembauran Kebangsaan
(FPK) serta pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Dan Pemantauan
Orang Asing, Organisasi Masyarakat Asing, dan Tenaga Kerja Asing yang
teragendakan dalam program kerja Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial
Politik Kota Pontianak (Kesbangpol; 2014). Selain itu Pemerintah Kota
Pontianak juga membentuk sebuah Tim terpadu dalam rangka penaganan
gangguan keamanan dalam negeri yang merupakan tindak lanjut dari
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Penanganan Gangguan Keamanan dalam Negeri Tahun 2013, yang
dalam realisasinya hingga penelitian ini dilaksanakan belum disahkan dan
ditandatangi oleh Walikota Pontianak, namun dapat terlihat bahwa
pembentukan Tim terpadu tersebut merupakan sebuah inisitaif dan upaya
perencanaan yang telah dilakukan oleh Kominda dan Pemerintah Daerah.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong
dan membangun program perdamaian dengan penggunaan simbol-simbol
perdamaian sebagai bentuk politik etalase berupa kolaborasi seni dan
budaya, baik berupa tarian, kegiatan sosial maupun sosialisasi untuk
membangkitkan kesadaran pentingnya hidup berdampingan secara
harmonis di Kota Pontianak. Terkait hal ini dalam wawancara dengan
Kepala BINDA Provinsi Kalimantan Barat, Heru Istiono mengatakan bahwa
“yang diinginkan sebenarnya adalah bagaimana melakukan
konsolidasi tapi tanpa harus mengetahui bahwa itu sebuah bentuk
peleburan, rekonsiliasi atau penggalangan”(wawancara, 27 Januari
2016) .

Bentuk konsolidasi yang dilakukan berupa pembinaan kepada


lembaga-lembaga adat. Karena dalam realitanya kelompok-kelompok
tersebut cenderung dijadikan sebagai alat politik dan memicu potensi
konflik yang sangat besar. Namun di satu sisi apabila pemerintah dapat
mengkondisikan dengan baik, lembaga-lembaga ini kan menjadi simpul
yang bisa mengendalikan grass root hingga ke tingkat bawah. Dengan

Universitas Pertahanan
9

demikian harus ada upaya dari pemerintah untuk menggabungkan


kelompok tersebut dalam kolaborasi yang lebih besar .
Namun terbatas hanya pada fungsi Intelijen dalam deteksi dini,
dalam pelaksanaan tugasnya Kominda hanya dapat memberikan saran
dan masukan untuk dijadikan sebagai rekomendasi kebijakan Kepala
Daerah tanpa memiliki kewenangan untuk menjadi eksekutor dalam
penindakan konflik. Kominda sebagai sebuah Inteliigence Community
tentunya memiliki masalah dalam pelaksanaan tugasnya. Harus disadari
dengan mendalam bahwa secara struktur Kominda merupakan organisai
yang dibentuk oleh pemerintah dengan anggotanya yang berasal dari
berbagai instansi intelijen yang ada di daerah.
Dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat kendala yang dihadapi
oleh Kominda dalam menjalankan perannya sebagai sebuah fungsi
deteksi dini. Salah satunya adalah adalah kurangnya kesadaran sharing
informasi dari masing-masing satuan. Apabila satuan intelijen tersebut
tidak memberikan informasi terkait ancaman dan potensi konflik melalui
Kominda, maka bagaimana Kominda akan menindaklanjuti informasi dan
isu yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Terkait hal ini Kepala
kantor kesatuan Bangsa dan Politik, Drs. Zulkarnain, M.Si bahwa :
“proses pertukaran informasi memang sudah berjalan, namun saya
melihat dalam pelaksanaan Kominda, informasi yang bersifat
intelijen tidak langsung disampaikan melalui Kominda, mungkin saja
karena bersifat rahasia sehingga kita kurang bebas mengakses
informasi dan mengkonsumsi informasi tersebut. Terkadangpun,
ketika tidak kami konfirmasi kepada aparat intelijen, tidak ada yang
menyampaikan secara langsung kepada kami. Mungkin ya,
mungkin, karena sudah ada forum Forkopimda maka Kominda tidak
menjadi akses utama keluar masuk informasi penting dalam skala
daerah” . (wawancara, 12 Januari 2016).

Dengan kata lain, pertukaran informasi yang terjadi pada saat


pertemuan Kominda hanya penyampaian laporan yang bersifat umum dan
tidak detail. Padahal dalam pelaksanaan deteksi dini, informasi sekecil
apapun harus tetap dipantau sebagai sebuah proses penginderaan awal
tehadap kejadian yang mungkin terjadi sehingga sudah seharusnya arus
informasi harus terkendali melalui Kominda sebagai bagian dari

Universitas Pertahanan
9

pelaksanaan tugas dan peran Kominda.


Sehingga secara umum Deteksi Dini Kominda di Kota Pontianak
telah berjalan namun belum maksimal. Terkait dengan kegiatan
penyelidikan yang dilakukan oleh Kominda peneliti melihat bahwa peran
penyelidikan yang dilakukan oleh Kominda masih terbatas pada proses
monitoring dan evaluasi kegiatan secara umum. Kegiatan penyelidikan
lebih banyak dilakukan oleh anggota Kominda yang benar-benar terkait
dengan kondisi dan permasalahan sesuai bidang tugasnya. Belum ada
sebuah perencanaan dan penyelidikan yang dilakukan secara bersama
dan terpadu dalam sebuah kerangka deteksi dini dan pencegahan konflik.

4.2.2.3 Optim alisasi Peran Deteksi Dini melalui Koordinasi dalam


Komunitas Intelijen Daerah
Koordinasi adalah penyelerasan secara teratur atau penyusunan
kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari individu-individu
untuk mencapai tujuan bersama. Koordinasi mutlak diselaraskan dengan
tepat apabila ingin dicapai hasil yang maksimal dari tujuan organisasi.
Demikian pula dengan pelaksanaan kegiatan komunitas Intelijen daerah.
Berkaitan upaya melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap
ancaman, tantangan dan ganggguan yang mungkin timbul dan
mengancam kepentingan dan keamanan nasioanal yang terjadi Kota
Pontianak, idealnya setiap instansi intelijen di daerah memiliki tanggung
jawab untuk melakukan koordinasi. Koordinasi antar lembaga intelijen
merupakan sesuatu yang wajib dalam penanggulangan konflik sosial yang
bersifat komunal di Kota Pontianak. Kominda sebagai wadah yang
memfasilitasi pengkoordinasian dan pengkomunikasian lembaga intelijen
yang ada di daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan
koordinasi antar lembaga tersebut.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun
2013, tentang Koordinasi Intelijen Negara, BIN selaku koordinator Intelijen
negara memiliki mekanisme koordinasi Intelijen Negara baik di Pusat
maupun Daerah yang dilaksanakan melalui rapat koordinasi secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan atau sewaktu-

Universitas Pertahanan
9

waktu sesuai dengan kebutuhan. Dalam rapat tersebut membahas,


merumuskan dan menetapkan permasalahan strategis yang
mempengaruhi keamanan nasional di daerah hingga tingkat regional dan
Global, permasalahan aktual yang mempengaruhi nasional dan pimpinan
daerah, pertukaran informasi intelijen, harmonisasi, sinkronisasi dan
integrasi kegiatan dan produk intelijen, perumusan kegiatan dan operasi
intelijen bersama dan rekomendasi tindakan yang dilakukan. Hasil rapat ini
yang kemudian menjadi pedoman untuk dilaksanakan oleh masing-masing
penyelenggara intelijen negara sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Meskipun dalam permendagri Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Kominda tidak diatur secara jelas mekanisme pelaksanaan koordinasi
Kominda pada tingkat/Kabupaten Kota, secara garis besar mekanisme
penyelenggaraan koordinasi Intelijen Negara pada level Kabupaten/Kota
dapat dilihat pada gambar berikut :

Sumber : diolah dari hasil penelitian


Gambar 4.7 Mekanisme Koordinasi Kominda

Pada pelaksanaannya di Kabupaten atau Kota, koordinasi internal

Universitas Pertahanan
9

Kominda akan dipimpin oleh Pelaksana Harian Kominda dalam rangka


menjalankan perannya untuk deteksi dini. Deteksi dini dilakukan dengan
menjalankan fungsi penyelidikan melalui anggota Kominda yang berfungsi
sebagai jaring intelijen dengan pengumpulan informasi kondisi di lapangan.
Perolehan informasi berupa potensi, gejala atau peristiwa aktual dan
strategis yang menjadi ancaman stabilitas nasional di daerah. Hasil dari
koordinasi tersebut akan diolah menjadi sebuah analisa kondisi yang
aktual untuk selanjutnya akan dirumuskan menjadi bahan keterangan
intelijen. Bahan keterangan intelijen tersebut akan dilaporkan sebagai
saran masukan dan rekomendasi kepada unsur pimpinan daerah yang
berkaitan dengan antisipasi dan pencegahan dini terhadap ancaman
stabilitas nasional di Kabupaten / Kota.
Dalam pelaksanaannya koordinasi yang dilakukan oleh Kominda
Kota Pontianak dilaksanakan melalui rapat koordinasi yang dijadwalkan
secara periodik dan berkala maupun rapat-rapat yang bersifat insidentil
atau khusus. Koordinasi Kominda dilakukan melalui rapat secara formal
untuk membahas hal-hal yang bersifat rutin dan formal. Pertemuan secara
informal dilaksanakan untuk mendiskusikan hal-hal yang bersifat
mendesak dan strategis. Secara formal rapat Kominda dipimpin oleh
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial Politik selaku Sekretaris
Kominda. Sementara untuk rapat informal dipimpin oleh BINDA melalui
Kaposbin. Dalam wawancara di lapangan Kepala Pos BIN Kota
Pontianak, Tarwo Kusnarno yang menyatakan :
“koordinasi yang kita lakukan lebih sering tidak teragendakan,
sehingga pertemuan yang dilakukan lebih sering diinisiasi oleh
BINDA. Misalnya bincang-bincang, diskusi untuk membahas hal-
hal yang bersifat strategis dan pertukaran informasi secara
informal.”
(wawancara, 11 Januari 2016).

Lebih lanjut mengenai koordinasi yang dilaksanakan dalam rapat


rutin Kominda, pelaksanaan rapat yang langsung dipimpin oleh Walikota
atau Wakil Walikota termasuk jarang dilakukan sehingga secara rutin rapat
koordinasi lebih sering dilaksanakan melalui pertemuan-pertemuan
informal (Tarwo Kusnarno dalam wawancara, 11 Januari 2016). Padahal

Universitas Pertahanan
9

untuk mendukung peran Kominda dalam deteksi dini kegiatan koordinasi


yang dilakukan baik melalui pertemuan atau rapat koordinasi merupakan
langkah strategis untuk merumuskan bersama permasalahan aktual yang
terjadi di daerah yang terkait dengan peran Kominda dalam fungsi deteksi
dini. Terkait dengan koordinasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah
melalui Kominda, dikatakan oleh kepala kesatuan bangsa dan sosial politik,
Drs. Zulkarnain, M.Si bahwa :
“pelaksanaan rapat Kominda, seharusnya rutin dilaksanakan, tapi
dengan kesibukan masing-masing rata-rata kita hanya mampu
melaksanakan koordinasi secara formal dengan personil yang
lengkap dan bahasan yang substantif, sekitar 2 sampai 3 kali
dalam setahun, selebihnya dilaksanakan secara informal melalui
BINDA” . (wawancara, 12 Januari 2016)

Dalam setiap pertemuan Kominda Kota Pontianak paling tidak


dihadiri oleh 15 orang termasuk anggota Kominda dan Tim Sekretariat
Kominda. Hanya saja karena kesibukan kegiatan dan tugas internal aparat
intelijen pada satuan masing-masing cenderung sulit untuk menentukan
waktu rapat koordinasi agar rapat bisa dihadiri oleh seluruh unsur
Kominda. Seringkali rapat tidak dihadiri pimpinan unsur Kominda, bagi
anggota Kominda yang berhalangan akan mengirimkan staf atau
bawahannya sebagai perwakilan dari satuan. Ini juga menjadi salah satu
kendala di lapangan, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik, Drs. Zulkarnain, M.Si sebagai berikut :
“yang datang pada saat rapat, bukan pimpinan intelijen, tapi staff
intel atau anak buahnya, sehingga eksistensi Kominda tidak terlalu
sesuai dengan harapan, bagaimana fungsi koordinasi bisa
berjalan optimal jika Kominda hanya sebatas koordinasi internal
menengah yang dalam pelaksanaannya hanya memberikan
informasi yang bersifat umum.(wawancara, 12 Januari 2016).

Hal ini mengindikasikan masih adanya masalah dalam pelaksanaan


koordinasi intelijen daerah. Aparat intelijen cenderung terfokus pada pada
tugas di satuan masing-masing untuk kepentingan institusi daripada
organisasi Kominda. Belum adanya pengaturan kegiatan dalam organisasi
Kominda juga menjadi salah satu sebab tidak berjalannya koordinasi
secara optimal. Hal ini sesuai dengan penyataan salah satu anggota

Universitas Pertahanan
9

Kominda, Yudha yang mengatakan bahwa :


“secara umum koordinasi yang berjalan cukup baik, namun dalam
pelaksanaannya tidak adanya pembagian kerja yang jelas dalam
Kominda mengakibatkan anggota Kominda tidak merasa terikat
dengan struktur organisasi Kominda. sehingga wajar jika aparat
intelijen akan lebih fokus pada tugas pokok di satuan masing-
masing, semoga kedepannya ada klausul yang mengatur dan
mengikat masing-masing anggota agar jelas juga tugas dan
perannya dalam Kominda” . (wawancara, 23 Desember 2015)

Koordinasi berhubungan dengan keefektifan organisasi dan unit-


unitnya. Dalam Kominda efektifitas organisasi secara keseluruhan masih
belum tampak sebagai sebuah keberhasilan peran Kominda dalam fungsi
sebuah organisasi. Berjalannya fungsi deteksi dini melalui penyelidikan
masih dilakukan oleh masing-masing intelijen tanpa melalui wadah
Kominda bahkan tidak ada inisistif dari aparat untuk mengkomunikasikan
dan mengkoordinasikan informasi strategis mengenai kondisi kerawanan
kota. Pelibatan keseluruhan anggota Kominda dalam koordinasi juga
belum dilaksanakan secara maksimal. Dalam pelaksanaan rapat informal
saja dapat terlihat bahwa pelibatan aparat hanya terkait dengan materi
yang dibahas dalam pertemuan informal. Pendekatan-pendekatan yang
lebih sering dilakukan adalah pendekatan personal yang dianggap lebih
efektif.
Sebagai sebuah proses pengintegrasian tujuan, koordinasi
merupakan proses pengaturan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
individu, kelompok, perusahaan (company), dan bahkan lingkup dunia
dalam waktu dan tertentu yang dilakukan untuk memelihara hubungan
antara unsur-unsur tersebut sehingga dapat terpelihara sesuai dengan
kebutuhan situasi tertentu (Moekijat; 1994). Dalam Pelaksanaan peran
Kominda sebagai fungsi deteksi dini, koordinasi menjadi sebuah bagian
penting yang tidak bisa dipisahkan dalam Kominda. Koordinasi menjadi
sebuah kebutuhan karena setiap bagian seharusnya bertanggung jawab
penuh terhadap seluruh proses pelaksanaan tugas Kominda. Menurut
Soewarno Handayaningrat (dalam Moekijat; 1994) ciri-ciri pelaksanaan
koordinasi meliputi :

Universitas Pertahanan
9

a. Tanggung Jawab koordinasi terletak pada pimpinan.


b. Koordinasi adalah suatu usaha kerja sama.
c. Koordinasi adalah proses terus-menerus (continues process).
d. Adanya pengaturan usaha kelompok secara teratur.
e. Konsep kesatuan tindakan.
f. Kesatuan pemahaman tujuan bersama (common purpose).
Dalam Kominda, idealnya proses pengintegrasian tujuan tersebut
dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh bagian-bagian
anggota dalam intelijen, artinya koordinasi akan baik jika keseluruhan
bentuk dan ciri koorinasi telah terlaksana dengan baik. Untuk itu peneliti
menggunakan teori tersebut sebagai alat analisis untuk mengupas
permasalahan koordinasi yang ada pada Kominda.
a. Tanggung Jawab Koordinasi.
Tanggung jawab koordinasi terletak pada pimpinan. Oleh karena itu
tugas koordinasi merupakan tugas pimpinan. Dikatakan bahwa pimpinan
organisasi telah berhasil karena ia telah melaksanakan koordinasi dengan
baik. Dalam konteks Kominda, teanggung jawab koordinasi terletak pada
pimpinan Kominda yang dijabat oleh WaliKota Pontianak. Namun karena
dalam organisasi Kominda juga terdapat pelaksana harian untuk
mendukung pelaksanaan tugas Kominda sehari-hari maka tanggung
jawab tersebut secara tidak langsung telah didelegasikan kepada pejabat
pelaksana harian yang dijabat oleh Ketua Pos BIN Kota Pontianak. Sesuai
dengan konsep planning and direction sebagai salah satu proses dalam
daur intelijen seharusnya untuk menjalankan fungsi dan tugasnya
pelaksana harian menerima perintah atau order dari pimpinan langsung
Kominda atau Walikota. Pada pelaksanaan di lapangan ternyata inisiatif
koordinasi lebih sering digagas oleh pelaksana harian Kominda. dalam
artian peran walikota selaku ketua harian Kominda belum berjalan secara
optimal karena jarang memerintahkan langsung atau mendelegasikan
tugas koordinasi tersebut pada pelaksana harian atau sekretariat Kominda.
Dengan demikian tanggung jawab koordinasi yang dilakukan belum dapat
dikatakan optimal.

Universitas Pertahanan
9

b. Kerjasama dalam koordinasi.


Koordinasi adalah usaha kerjasama. Hal ini disebabkan karena
kerjasama merupakan syarat mutlak terselenggarnaya koordinasi dengan
sebaik-baiknya. Koordinasi tidak dapat terlaksana tanpa kerjasama begitu
juga dengan kerjasama, tudak akan terselanggara tanpa koordinasi yang
baik. Kerjasama dalam point ini masih terkait dengan tugas pimpinan
dalam memimpin koordinasi. Pimpinan tidak tidak mungkin mengadakan
koordinasi apabila mereka tidak melaksanakan kerjasama.
Kominda sebagai sebuah organisasi yang dalam tugasnya juga
menuntut peran untuk melakukan kerjasama dengan unsur-unsur
pelaksana tugas deteksi dini. Pada pelaksanaanya hasil kerjasama yang
dilakukan Kominda belum terlihat secara maksimal dilakukan. proses
deteksi dini lebih dominan dilakukan oleh masing-masing unsur intelijen
melalui instituti asal aparat intel tersebut. Begitu juga dengan pencegaha.
Meskipun telah ada upaya kerjasama pencegahan yang dilakukan
bersama-sama namun hanya terbatas pada situasi yang betul-betul urgen.
Dengan kata lain kerjasama dan koordinasi dilakukan hanya sesuai
kebutuhan dan tidak dibangun secara terpadu dalam proses yang kontinu.
c. Kontinuitas Koordinasi.
Koordinasi adalah sebuah proses yang terus menerus artinya
koordinasi merupakan sebuah proses yang berksinambungan dan harus
dikembangkan sehingga tujuan organisai dapat tercapai dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan mengenai Kontinuitas koordinasi
yang terlaksana pada Kominda Kota Pontianak disimpulkan belum optimal.
Secara formal koordinasi tidak dilakukan secara kontinu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Kesbangpol Kota
Pontianak bahwa dari keseluruhan jawdal yang diagendakan setiap
bulannya, hanya terealisasi sekitar 2-3 kali setiap tahun. Dengan kata lain,
tidak setiap bulan koordinasi rutin dilakukan. bentuk koordinasi lebih sering
dilakukan secara informal. Sementara dalam pertemuan formal tidak
semua anggota Kominda dapat terlibat langsung karena dalam pertemuan
tersebut lebih sering membahas hal-hal yang bersifat urgen dan

Universitas Pertahanan
9

mendesak untuk ditangani sehingga hanya terbatas pada anggota yang


berasal dari satuan yang terkait dengan masalah yang ditangani.
d. Pengaturan Usaha Kelompok.
Sebagai sebuah konsep yang diterapkan dalam kelompok,
koordinasi mengharuskan setiap anggota saling bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama. Adanya aturan dan tata kerja yang jelas dari
masing-masing orang mengharuskan orang-orang tersebut saling
berkerjasama dan berkoordinasi untuk kelancaran pelaksanaan tugas
tersebut.
Pada pelaksanaannya pembagian tugas dalam Kominda disusun
berdasarkan bidang tugas pada tugas pokok di satuan asal aparat intelijen
tersebut. Namun dalam realisasi pelaksanaan koordinasi belum dapat
dikatakan optimal. Hal ini terjadi karena dalam struktur dan organisasi
tidak terdapat pembagian tugas dan pengaturan kerja yang jelas mengikat
anggota Kominda untuk maksimal menjalankan perannya sebagai bagian
Kominda sehingga sistem kerja yang berjalan hanya merupakan formalitas.
Aparat intelijen cenderung berfokus pada tugas pokok di satuan masing-
masing. Dengan demikian diperlukan pembagian format kerja yang jelas
dengan disertai perencanaan kegiatan pencarian informasi sehingga
aparat intelijen yang tergabung dalam Kominda dapat mendeteksi dini
ancaman yang ada.
e. Kesatuan Tindakan.
Kesatuan tindakan merupakan inti dari koordinasi. Hal ini berarti
bahwa pimpinan harus mengatur usaha-usaha/tindakan-tindakan dari
setiap kegiatan individu sehingga diperoleh adanya keserasian di dalam
mencapai hasil bersama. Bentuk kesatuan tindakan dalam Kominda belum
terlihat secara jelas dalam pelaksanaan tugas Kominda. Hasil kegiatan
Kominda Kota Pontianak belum dapat dikatakan sebagai hasil dari
kegiatan koordinasi karena masih terlihat adanya ego sektoral dalam
pelaksanaan tugasnya. Dimulai dari pelaporan informasi yang hanya
bersifat umum, pelaksanaan pertemuan informal yang tidak melibatkan
seluruh anggota Kominda bahkan tidak ada planning dan direction yang

Universitas Pertahanan
1

jelas mengenai kegiatan Kominda dalam deteksi dini ancaman dan


gangguan di Kota Pontianak.
f. Kesatuan Tujuan.
Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama (common purpose).
Kesatuan usaha atau tindakan meminta kesadaran atau pengertian
kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan bersama
sebagai kelompok dimana mereka bekerja.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan mengenai pemahaman
tugas dan tanggung jawab anggota Kominda terhadap tugas dan tujuan
dibentuknya Kominda didapatkan hasil bahwa masing-masing personil
paham mengenai tujuan dibentuknya Kominda. hanya saja karena belum
adanya pengaturan tugas yang bersifat mengikat dan belum jelas
sehingga pemahaman hanya sebatas pemahaman (asal tau) tanpa
adanya gerak nyata sebagai bagian dari kelompok organisasi.
Dengan demikian, sebagai sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan
(Conditio sine qua non), koordinasi menjadi tanggung jawab seluruh
bagian yang tergabung dalam Kominda. Koordinasi yang dilakukan
melalui rapat koordinasi yang dijadwalkan dilaksanakan rutin pada setiap
bulannya belum kontinu dan efektif dilakukan. Sementara itu pertemuan
yang dilakukan secara informal belum memenuhi syarat efektif dalam
konteks koordinasi dalam organisasi karena pengumpulan informasi
dengan metode pendekatan personal dan tidak semua anggota Kominda
bisa terlibat. Jika saja kegiatan ini dilakukan secara kontinu dengan
kesadaran dari masing-masing anggota Kominda maka hasil yang
diharapkan pasti akan menjadi lebih efektif terhadap keseluruhan sistem
organisasi Kominda. Termasuk pada siklus pertukaran informasi akan
menjadi lebih cepat sehingga membawa pengaruh pada tindakan yang
akan dilakukan bersama dalam Kominda. Pada pelaksanaanya,
pertukaran informasi hanya terjadi jika ada permintaan secara formal
melalui surat, belum ada inisiatif dan kesadaran dari keseluruhan anggota
Kominda untuk melaporkan setiap hasil penyelidikan dari satuan yang
terkait dengan ancaman dan kerawanan Kota Pontianak. Selain itu

Universitas Pertahanan
1

informasi yang di dapat lebih banyak berasal dari Polres, Kodim dan
BINDA. Pelaporan hanya terbatas pada informasi yang bersifat umum dan
tidak bersifat spesifik sehingga dalam laporan Kominda pun peneliti tidak
bisa menemukan informasi yang akurat mengenai kejadian-kejadian aktual
yang terjadi di Kota Pontianak. Dengan demikian, diharapkan kedepannya
Kominda dapat membuat sebuah sistem pembagian kerja melalui fungsi
penyelidikan yang terarah dan terencana sebagai bagian dari
perencanaan pengambilan keputusan dan pencegahan konflik yang
merupakan tugas pokok dari Kominda.

4.2.2.4 Pelaksanaan Fungsi Sekretariat Kominda


Dalam melaksanakan tugasnya, Kominda dibantu oleh Sekretariat
Kominda yang berada di bawah tanggung jawab Kepala Kantor Kesatuan
Bangsa dan Sosial Politik Kota Pontianak. Sebagai salah satu bagian yang
diberi amanat sebagai fasilitator Kominda, tugas sekretariat Kominda
adalah :
a. Menyusun agenda rapat Kominda Kota Pontianak baik yang dilakukan
secara periodik/berkala maupun rapat-rapat yang bersifat insidentil
atau khusus.
b. Menghimpun dan menyalin hasil rapat kedalam notulen rapat
Komunitas Intelijen Daerah
c. Menyajikan dan mendistribusikan hasil rapat kepada para anggota
Kominda dan ditindak lanjuti.
d. Melakukan tugas-tugas administrasi sekretariat Kominda Kota
Pontianak.
Sekretariat Kominda bertempat di Kantor Kesatuan Bangsa dan
Sosial Politik Kota Pontianak, sehingga personil sekretariat berasal dari
PNS yang berada pada Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial Politik Kota
Pontianak. Dalam melaksanakan tugas sekretariat Kominda Kota
Pontianak, susunan Keanggotaan Tim Sekretariat Kominda terdiri dari :
Tabel 4. 9 Susunan Tim Sekretariat Kominda
No Nama/Jabatan Kedudukan dalam Tim

Universitas Pertahanan
1

1. Ka. Seksi Kesatuan Bangsa Ketua


Kesbangpol Kota Pontianak
2. Ka. Subbag Tata Usaha Kesbangpol Sekretaris
Kota Pontianak
3. Hermin Widyasari Anggota
4. Elly Muriyani Anggota
Sumber : Kesbangpol Kota Pontianak, 2015

Sebagai hasil dari koordinasi informasi intelijen melalui Kominda,


Sepanjang tahun 2014, telah dihasilkan sebanyak 12 rumusan laporan
intelijen terkait berbagai isu penting sebagai dasarpengambilan kebijakan
lebih lanjut, diantaranya :
1. Laporan Atensi potensi kelangkaan gas elpiji 12 kg dan antisipasi
kenaikan harga elpiji 12 k di Kota Pontianak dan laporan Kondisi
Kalbar khususnya Kota Pontianak dalam rangka natal Oikumene serta
unjuk rasa yang dilakukan oleh puluhan pemuda/mahasiswa di kantor
Gubernur Kalimantan Barat pada Bulan Januari 2014.
2. Laporan kejadian unjuk rasa yang dilakukan sekitar 50 orang supir truk
dikarenakan kesulitan mendapatkan solar dan situasi Kota Pontianak
dalam rangka menghadapi imelk bulan Februari 2014
3. Laporan atensi dalam rangka masa tenang Pemilihan Umum dan
laporan atensi tentang masuknya gula ilegal sekrta sekitar 15 (lima
belas) orang mengatasnamakan Forum Bersama Lintas Kepemudaan
Kota Pontianak mendatangi Kantor BNN Pontianak dengan tujuan
untuk membentuk wadah pemberantasan narkoba di Kota Pontianak
Bulan Maret 2014.
4. Laporan atensi dalam rangka situasi dan Kondisi Kota Pontianak pada
pemilu tanggal 9 April dan laporan atensi penyelundupan 30 Ton solar
Bulan April 2014.
5. Laporan Atensi unjuk rasa dalam rangka memperingati hari buruh
(May Day) dengan tututan menolak bentuk politik upah murah kepada
buruh dan sistem kerja Outsourching yang masih banyak dilakukan
pemilik modal harus dikaji kembali bulan Mei 2014

Universitas Pertahanan
1

6. Laporan atensi tentang kebakaran pasar tengah dan aksi damai FPI
ke polresta Pontianak serta Laporam Atensi tentang keberadaan ISIA
di Kota Pontianak Bulan Juli 2014
7. Laporan atensi tentang wacana kenaikan harga BBM dan tentang
persediaan solar subsidi di Kalbar bulan Agustus 2014.
8. Laporan Atensi bentroknya mahasiswa Fisip dan Hukum Untan serta
unjuk rasa mahasiswa dan aktivis pada pelantikan anggota DPRD
Kalbar periode 2014-2019 Bulan September 2014.
Dengan demikian pelaksanaan fungsi koordinasi pelaporan secara
administrasi telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme kerja yang ada
dalam ketentuan. Hal ini sesuai dengan wawancara dengan kepala
kesbangpol, Drs. Zulkarnain M.Si mengatakan bahwa :
“Sejauh ini kesbangpol sudah melaksanakan fungsinya secara
normatif, sesuai peraturan untuk melaksanakan koordinasi dan
fasilitasi. Hasilnya seperti yang sudah kami laporkan, berjalan
secara formal. Jadi kami rasa, itu yang maksimal yang kami
perbuat” . (wawancara, 12 Januari 2016).

4.3 Faktor yang menghambat peran Kominda dalam deteksi dini


konflik komunal di Kota Pontianak

Kominda sebagai sebuah organisasi yang didalamnya terdiri dari


sumber daya, proses manajemen dan tujuan organisasi. Seluruh sumber
daya baik manusia, sarana prasana maupun budgetting dimanfaatkan
dalam proses manajemen secara maksimal dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi. Proses pengelolaan keseluruhan sumber daya tersebut
memerlukan koordinasi antar bagian dalam organisasi. Sebagai bagian
dari manajemen, koordinasi menjadi salah satu bagian penting dari fungsi
manajemen.
Menurut Henry Fayol (dalam Hasibuan, 2008; 38) fungsi-fungsi
manajemen meliputi; perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pengarahan (commanding), pengkoordinasian (coordinating),
pengendalian (controlling). Dalam teori Fayol tersebut koordinasi diartikan
sebagai proses penyatuan dan pengintegrasian serta pengarahan kepada
bagian-bagian dalam organisasi agar tujuan dari organisasi dapat tercapai

Universitas Pertahanan
1

dengan baik. Tanpa koordinasi tugas dan pekerjaan dari setiap individu
dan sumber daya dalam organisasi tidak akan tercapai. Dalam kominda
setiap bagian atau anggota kominda melakukan tugas dan pekerjaan yang
berbeda baik dari kepentingan maupun tujuan. Untuk itu masing-masing
pekerjaan dan kegiatan yang terkait dengan tugas dan peran dalam
kominda harus disatukan diarahkan dan diintegrasikan agar tujuan
dibentuknya kominda sebagai wadah koodinasi dan kerjasama dalam
rangka deteksi dini setiap ancaman stabilitas nasional di daerah dapat
tercapai.
Menurut Hasibuan (2001; 86) koordinasi menjadi bagian yang
sangat penting dalam organisasi, dengan alasan :
a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percekcokan dan kembaran
atau kekosongan pekerjaan.
b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan
untuk pencapaian tujuan organisasi
c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.
d. Supaya semua unsur manajemen dan pekerjaan masing-masing
individu karyawan harus membantu tercapainya tujuan organisasi.
Optimalisasi peran Kominda Kota Pontianak dilakukan melalui
Koordinasi yang dilakukan dalam rangka deteksi dini Konflik Komunal.
Koordinasi menjadi suatu hal yang wajib dalam upaya yang dilakukan
Kominda untuk deteksi dini dan pencegahan konflik. Sebagai sebuah
organisasi, Kominda memfasilitasi keseluruhan proses kerjasama dan
koordinasi antara lembaga intelijen yang berbeda tugas dan tanggung
jawab. Bukan menjadi hal yang mudah bagi Kominda untuk menyatukan
unsur-unsur yang berbeda menjadi sebuah organisasi yang efektif bagi
tujuan Kominda sendiri. Banyak masalah koordinasi yang timbul karena
unit-unit dalam organisasi yang berlainan bertanggung jawab terhadap hal
yang berbeda dalam satu waktu.
4.3.1 Masalah-masalah dalam koordinasi
Paul R. Lawrence dan dan Jay W. Lorch (dalam Handoko, 2003)
mengungkapkan 4 tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang

Universitas Pertahanan
1

mempersulit tugas pengkoordinasian terdiri dari :


e. Perbedaaan dalam orientasi terhadap sasaran-sasaran khusus.
f. Perbedaan dalam orientasi waktu.
g. Perbedaan dalam orientasi antar perseorangan.
h. Perbedaan dalam formalitas struktur.
Untuk menganailis faktor-faktor yang menghambat optimalisasi peran
Kominda dalam deteksi dini konflik komunal di Kota Pontianak, peneliti
akan membahasnya berdasarkan teori mengenai masalah koordinasi
berdasarkan Lawrence and Lorsch sebagai berikut.
4.3.1.1 Perbedaan dalam orientasi terhadap sasaran-sasaran khusus.
Masing-masing dari anggota dari bagian-bagian yang berlainan
mengembangkan sudut pandangan mereka sendiri tentang bagaimana
cara yang terbaik untuk memajukan kepentingan organisasi. Dengan kata
lain setiap anggota mempunyai standar masing-masing mengenai cara
untuk mencapai tujuan. Dalam pelaksanaan tugas kominda, aparat
intelijen berasal dari institusi intelijen yang berbeda. Masing-masing aparat
mempunyai pemahaman dan cara yang berbeda mengenai konflik karena
sudut pandang dan lingkup tugas di satuan yang berbeda tujuan. Hal ini
mengakibatkan setiap aparat intelijen memiliki standar yang berbeda
mengenai potensi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang
terjadi di Kota Pontianak. Adanya spesialisasi-spesialisasi dalam tugas
dan lingkup tugas juga turut menjadi kendala dalam pelaksanaan deteksi
dini. Di satu pihak menganggap bahwa penanganan masalah ketertiban
keamanan dalam Kota menjadi tanggung jawab pihak tertentu seperti Polri
sehingga penanganan masalah terus diserahkan kepada unsur tersebut.
Termasuk pada peran TNI, dimana lingkup tugasnya berfokus pada
ancaman militer atau peran imigrasi yang berfungsi dalam lingkup
keimigrasian ataupun kejaksaan yang menagani masalah yustisi. Kondisi
ini yang mengakibatkan adanya ego sektoral karena masing-masing pihak
merasa mempunyai standar yang berbeda untuk menyelesaikan masalah.
4.3.1.2 Perbedaan dalam orientasi waktu.
Beberapa anggota organisasi, seperti kepala divisi akan lebih

Universitas Pertahanan
1

banyak berhubungan dengan masalah-masalah yang menuntut untuk


segera diselesaikan sementara anggota-anggota dari divisi lain juga
mungkin sedang sangat fokus pada masalah-masalah lain yang dianggap
lebih penting berkaitan dengan pokoknya. Hal ini pula yang terjadi pada
Kominda Kota pontianak, dimana masing-masing unsur begitu sibuk
dengan tugas pokoknya di instansi masing-masing sehingga sering
mengabaikan peran pentingnya dalam Kominda. hal ini terlihat dalam
pelaksanaan pertemuan rutin yang jarang sekali didapat kecocokan waktu
dari keseluruhan aparat intelijen. Alasan utamanya adalah karena sibuk
dan bersamaan waktunya dengan tugas pokonya pada institusinya masing
-masing. Kejadian ini pun tidak seharusnya terjadi jika di dalam organisasi
komind sendiri mempunyai format pembagian tugas yang jelas sehingga
aparat intelijen mengerti pentingnya menjadi bagian dari Komunitas
Intelijen dan perannya dalam deteksi dini melalui koordinasi dan
kerjasama dalam menjalankan tugas.
4.3.1.3 Perbedaan dalam orientasi antar perseorangan.
Dalam beberapa kegiatan organisasi, secara relatif, mungkin
terdapat kondisi-kondisi yang mengharuskan bagian-bagian dalam
organisasi melakukan komunikasi secara mendadak. Keputusan-
keputusan mungkin dibuat dengan cepat untuk menggerakkan sesuatu.
Dalam kegiatan lainnya gaya komunikasi mungkin akan diangap lebih
mudah sehingga masing-masing pihak didorong untuk menyampaikan ide-
idenya. Dalam pelaksanaan kominda, hal ini berkaitan dengan keputusan-
keputusan yang diambil dalam pelaksanaan pertemuan proses daur
intelijen yang seharusnya melibatkan seluruh anggota kominda dalm
proses pengumpulan, pengolahan dan analisis. Namum dalam
realisasinya gaya komunikasi yang diterapkan masih bersifat kaku dan
saling menunggu inisiatif dari masing-masing anggota. Sehingga dalam
kadaaan tertentu seperti tidak ada integrasi yang baik antara masing-
masing anggota dalam kominda.
4.3.1.4 Perbedaan dalam formalitas struktur.
Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkinh mempunyai metode-

Universitas Pertahanan
1

metode dan standar-standar yang berbeda untuk mengevaluasi program


terhadap tujuan organisasi. Begitu juga sistem balas jasa yang diberikan
bagi masing-masing personil di satuan masing.
Sementara dalam kominda sebagai sebuah organisasi yang
dibentuk oleh pemerintah daerah untuk mengkoordinasikan dan kerjasama
dalam rangka memperoleh informasi intelijen dhanya ditempatkan sebagai
organisai binaan. Hal ini berdampak pada bentuk organisasi Kominda
yang secara struktur hanya merupakan formalitas normatif. Sehingga baik
secara organisasi maupun pelaksanaannya belum dapat dikatakan
standar sebagai sebuah organisai yang penting fungsi dan perannya bagi
pemerintah. misalnya, dari segi Sumber daya yang masih minim, sarana
dan prasarana yang terbatas, anggaran yang tidak maksimal dan
cenderung kecil yang berdampak pada motivasi masing-masing anggota
untuk terlibat secara lebih jauh dalam kegiatan-kegiatan kominda. jika
dibandingkan dengan instansi asal aparat intelijen tersebut, dengan bentuk
organisasi yang jelas dan terjamin keberlangsungan organisasinya, jelas
pembagian tugas dan fungsinya, jelas reward dan punishmentnya, bahkan
termasuk bentuk insentif yang diberikan kepada aparat intelijen dalam
melaksanakan tugasnya.

4.3.2 Sebab-sebab timbulnya masalah koordinasi.


Menurut Tossi dan Carrol (dalam Moekijat;1994), masalah-masalah
koordinasi timbul karena dua hal, yakni karena kondisi organisasi dan
karena masalah manusia. Sehubungan dengan masalah koordinasi yang
dihadapai kominda dalam melaksanakan perannya dengan deteksi dini
konflik komunal di kota pontianak, peneliti akan menggunakan teori
tersebut untuk menganalisis faktor-faktor tersebut.
4.3.2.1 Kondisi organisasi dan koordinasi.
Masalah yang timbul karena kondisi organisasi adalah masalah
organisasi yang terjadi karena unit-unit berlainan mempunyai kegiatan
yang berlainan yang harus diselesaikan, tetapi kegiatan tersebut
mempunyai jadwal waktu yang berlainan.
a. Beberapa kegiatan subsitem organisasi dilakukan dalam bagian-

Universitas Pertahanan
1

bagian formal yang berlainan


Sebagai sebuah organisasi yang mewadahi koordinasi dan kerjasama
lintas sektoral, tentu saja anggota kominda berasal dari institusi-institusi
yang berlain struktur dan bagiannya secara formal. Sehingga pelaksanaan
tugas-tugas aparat intelijen dalam kominda dilakukan dalam bagian formal
yang berlainan. Sebagai contoh bentuk struktur organisasi kominda.

Gambar 4.8 Struktur organisasi Kominda Kota Pontianak.

Berdasarkan struktur tersebut terlihat keadaan di dalam kominda di


mana beberapa pimpinan intelijen pada lembaga vertikal di daerah
tergabung menjadi anggota kominda. kegiatan pelaksanaan tugas di
instansi masing-masing mempunyai fokus tugas yang lebih jelas dengan
hasil yang ditujukan kepada instansi masing-masing, sedangkan di
kominda dengan tugas dan fungsinya sebagai pelaporan dan koordinasi
saja, akan tetapi secara metode menggunakan cara-cara yang sama

Universitas Pertahanan
1

dengan cara atau metode yang digunakan dalam pelaksanaan tugas pada
instansi pokoknya.
Dalam artian produk yang dihasilkan dari kedua aktivitas dalam
organisasi adalah berupa informasi intelijen. Namun kedua pimpinan
organisasi atau institusi belum dapat mengkoordinasikan dengan baik hasil
-hasil kerja dari bagian-bagian yang memiliki fungsi yang sama tersebut
karena masing-masing institusi tunduk pada kebijaksanaan yang berlainan,
dalam institusi masing-masing yang ditentukan oleh kepala instansi
masing-masing dan untuk kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain
pada satu waktu aparat kominda harus bekerja pada dua pengguna
produk tetapi dengan hierarki dan bentuk serta hubungan organisasi yang
berbeda.
b. Perbedaan jadwal waktu.
Pada kenyataannya kebanyakan kegiatan dalam organisasi
memerlukan jumlah waktu yang berlainan untuk menyelesaikan pekerjaan
dalam organisasinya. Dalam kaitan dengan kominda, masalah perbedaan
jadwal waktu akan dikaitkan dengan perbedaan prioritas kegiatan yang
dilaksanakan oleh masing-masing apintel terhadap kominda dan terhadap
instansi asal. Dalam pelaksanaannya hal ini menimbulkan persepsi
penting dan tidak penting. Hal ini terlihat dengan waktu pelaksanaan rapat
rutin yang sering tidak terealisasi pada waktu yang telah ditetapkan dan
tingkat kehadiran pada saat rapat. Pendelegasian perwakilan dari masing-
masing instansi sering dirasa tidak tepat dengan pengiriman personil yang
tidak dapat mengambil keputusan secara langsung maupun dalam proses
analisis informasi yang berkaitan dengan deteksi dini . Tentunya hal ini
menghambat pelaksanaan koordinasi dalam kominda terkait perannya
dalam kegiatan deteksi dini.
4.3.2.2 Faktor Manusia dan Koordinasi.
Masalah yang timbul karena masalah atau faktor manusia adalah
masalah atau faktor yang berhubungan dengan maslah yang berkembang
diantara orang-orang, kelompok-kelompok dan bagian-bagian. Beberapa
masalah koordinasi disebabkan oleh perbedaan di antara orang-orang dan

Universitas Pertahanan
1

diantara kelompok ketimbang disebabkan oleh masalah koordinasi.


Perasaan pribadi dapat diperoleh karena hubungan kerja dengan orang
lain. Satu kelompok atau bagian dapat saling melengkapi terkait dengan
sumber daya ataupun status.
Dalam menyikapi hubungan yang berjalan dalam organisasi dapat
dikatakan bahwa personil dalam organisasi tersebut bersinergi, berguna
atau tidak sinergi, bertentangan atau bahkan saling merusak. Namun
demikian kita tentu tidak menganggap bahwa kerja sama dalam kelompok
itu baik dan pertentangan antar kelompok itu jelek bagi organisasi.
Beberapa pertentangan bahkan membawa strategi baru bagi peningkatan
mutu koordinasi sehingga mendukung pelaksanaan tugas organisasi
(Moekijat; 1994). Namun tidak sedikit pula faktor-faktor yang berlainan
tersebut bahkandapat menghambat kinerja organisasi. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
a. Perbedaan Sumber daya.
Kelompok-kelompok dapat bekerja lebih mudah dan sasaran
kelompok dapat tercapai apabila dalam kelompom tersebut mempunyai
sumber daya, uang, orang atau modal fisik yang memadai. Akan tetapi jika
sekelompok orang bergantung pada sumber daya yang terbatas, maka
ada kemungkinan akan terjadi persaingan perolehan sumber daya. Tetapi
dalam konteks kominda permasalahan sumber daya akan dikaitkan
dengan motivasi aparat untuk terlibat langsung dengan kegiatan kominda.
Pertama. Sumber Daya Manusia.
Sumber daya Manusia diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
peran kominda. sumber daya memegang peranan yang penting dalam
keseluruhan peran koordinasi dan komunikasi kominda. sesuai dengan
tugas dan fungsi yang diberikan, fungsi penting penyelidikan dilakukan
dengan menggunakan Roda Perputaran Intelijen (RPI), yang menuntut
adanya sumber daya yang potensial mulai dari kemampuan membuat
perencanaan hingga analisis laporan. Pada kenyataannya di dalam
kominda sendiri tidak memiliki sumber daya tetap yang memiliki kualifikasi
analis intelijen. sehingga beban pekerjaan analisa terletak pada satu orang.

Universitas Pertahanan
1

Selam ini analisa dilakukan oleh kepala kesbangpol yang bahkan belum
pernah mengikuti diklat atau pendidikan dasar intelijen.
Kedua. Anggaran yang terbatas.
Salah satu kendala yang paling sering dihadapi oleh organisasi
dalam proses pencapaian tujuan adalah masalah anggaran. Dalam
pelaksanaan operasionalisasi Kominda, Dukungan anggaran yang
diberikan untuk kegiatan Kominda melekat pada Kantor Kesatuan Bangsa
dan Sosial Politik Kota Pontianak. Dalam Dokumen Anggaran untuk
kegiatan fasilitasi Kominda, dukungan operasional yang diberikan berupa
Honorarium Panitia Pelaksana Kegiatan yang besarannya mungkin tidak
sebanding dengan kegiatan dan usaha apintel dalam memperoleh
informasi yang tentu saja melibatkan tidak sedikit personil. secara riil,
kurangnya dukungan dari pemerintah daerah tentu saja akan berpengaruh
terhadap distribusi dan pertukaran informasi sehingga akan
memmpengaruhi peran Kominda secara keseluruhan.
Ketiga. Keterbatasan sarana dan prasarana.
Tersedianya sarana dan prasarana yang cukup dan dengan
kualitas yang baik akan turut menunjang keberhasilan pelaksanaan tujuan
organisasi. Tanpa saran dan prasarana yang baik mustahil tujuan
organisasi akan tercapai secara efektif dan optimal. Sarana dan prasarana
dalam hal ini meliputi kantor dan alat-alat pendukung tugas lain.
Dalam pelaksanaannya Kominda Kota Pontianak memiliki
sekretariat yang ditempatkan pada Kantor Kesatuan Bangsa dan Sosial
Politik Kota Pontianak. Namun dalam peninjauan secara langsung di
lapangan bahwa kelengkapan sekretariat kominda masih dapat dikatakan
terbatas. Baik dari segi administrasi maupun alat pendukung pelaksanaan
tugas intelijen. dari segi administrasi dilihat bahwa tidak tersedia data-data
pendukung yang meliputi rencana kerja, peta konflik, peta kerawanan
bahkan inventarisai data belum dilakukan dengan baik.
Hal ini dikarenakan di sekretariat juga tidak tersedia ruangan yang
representatif sebagai pendukung kegaitan. Begitu juga dengan komputer,
alat komunikasi dan pendukung tugas intelijen lain. Padahal sarana dan

Universitas Pertahanan
1

prasana tersebut akan sangat membantu dan dukung pelaksanaan tugas


intelijen dalam kominda karena dengan ketersediaan alat-alat yang cukup
tentunya akan ikut memotivasi personil dalam mensukseskan kegiatan
kominda. sehingga penting bagi pemerintah daerah untuk turut
memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana bagi Kominda.
b. Perbedaan dalam status dan arus pekerjaan
Koordinasi yang kurang baik berkembang, tidak hanya urutan arus
pekerjaan dalam organisasi, tetapi juga dalam hubungan kerja terjalin
antara bagian staf, pimpinan secara struktural dan fungsional dalam
organisasi. Kendalanya adalah ketika ada personil dalam kominda yang
tampak memberitahukan sesuatu ataupun informasi kepada orang-orang
dalam organisasi yang statusnya lebih tinggi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan. kelompok dengan status yang lebih tinggi mungkin
berusaha menunjukkan kebebasan dan kekuasaan dengan menunda
mengerjakan apa yang diminta oleh personil tersebut. Seperti contohnya
dalam hal pengumpulan informasi intelijen secara langsung, akan berbeda
perlakuan dan pemenuhan informasi jika yang meminta informasi langung
adalah staf dibandingkan dengan kepala instansi atau organisasi kominda.
hal ini menunjukkan masih adanya ego struktural dalam bagian-bagian
institusi intelijen mengenai status dalam koordinasi.

Universitas Pertahanan
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.1.1 Optim alisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal
di Kota Pontianak
Optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal di
Kota Pontianak dilakukan melalui peningkatan hubungan koordinasi yang
dilakukan melalui rapat rutin kominda maupun pertemuan informal untuk
membahas hal-hal urgen. Berdasarkan fungsi tugas kominda dalam
deteksi dini , peran yang dilaksanakan meliputi dua aspek , yaitu :;
a. Pengumpulan dan penghimpunan Informasi intelijen melalui koordinasi
antar aparat intelijen yang berkaitan dengan objek kerawanan yang
ada di Kota Pontianak.
b. Rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan deteksi dini terhadap
ancaman kerawanan yang ada di Kota Pontianak
Pada pelaksanaannya koordinasi yang dilakukan belum dapat dikatakan
optimal karena tidak semua indikator dalam koordinasi menurut
Handayaningrat dapat terpenuhi.
5.1.2 Faktor-faktor yang menghambat Optim alisasi Peran
Kominda.
Masalah-masalah yang dihadapi Kominda Kota Pontianak terkait
dengan optimalisasi peran Kominda dalam deteksi dini konflik komunal di
Kota Pontianak meliputi malah-masalah yang timbul karena faktor
organisasi yang diakibatkan oleh adanya beban kerja terhadap tugas yang
bersamaan yang harus dilakukan tetapi dibawahi oleh institusi dan
organisasi yang berbeda. Dengan struktur yang berbeda, dan waktu
pelaksanaan yang berbeda atau bahkan menuntut sama. Sehingga akan
menimbulkan persepsi penting dan tidak penting dalam pelaksanaan tugas
tersebut.
Masalah lain yang menghambat koordinasi adalah yang terkait dengan
faktor manusia dan koordinasi. Kendala-kendala koordinasi yang dihadapi
dalam faktor ini terkait dengan masalah perbedaan sumber daya yang

c
1

meliputi perbedaan sumber daya manusia, keterbatasan anggaran dalam


operasionalisasi Kominda, dan keterbatasan sarana dan Prasarana
pendukung kegiatan Kominda. dimana hal ini berhubungan dengan
kesanggupan dan motivasi dalam rangka optimalisasi peran melalui
koordinasi. Serta perbedaan dalam status dan arus pekerjaan, hal ini
berkaitan dengan masalah ego sektoral dan ego struktural dan dalam
pelaksanaan koordinasi dan pertukaran informasi intelijen antara masing-
masing aparat intelijen.

5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, peneliti melihat bahwa perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan dalam menunjang optimalisasi peran
kominda dalam deteksi dini konflik komunal di Kota Pontianak. Saran-
saran yang dapat diberikan adalah :
5.2.1 Saran Teoritis
1. Konflik merupakan situasi yang sangat dinamis, cepat berubah dan
tidak statis, untuk itu sangat penting memiliki cara pandang yang
dinamis dan holistik untuk memahami konflik
2. Dibutuhkan pemahaman intelijen untuk meningkatkan kepekaan dari
seluruh pemangku kepentingan di daerah karena dengan kondisi yang
ada di Kota Pontianak konflik kecil dapat mengakibatkan konflik
Komunal yang berdampak pada stabilitas nasional di daerah
5.2.2 Saran Praktis
1. Penguatan kemampuan aparat intelijen dalam kominda untuk
mendeteksi secara dini potensi dan kerawanan yang dapat memicu
terjadinya Konflik Komunal.
2. Penguatan kemampuan aparat pemerintah untuk melakukan cegah
dini terhadap potensi dan kerawanan yang memicu terjadinya Konflik
Komunal
3. Peningkatan koordinasi internal antara aparat kominda sebagai bagian
dari unsur organisasi sehingga tidak ada gap antar anggota
4. Peningkatan Koordinasi antar bagian dalam Kominda sebagai bagian

Universitas Pertahanan
1

dari sub organisasi kominda sehingga ego sektoral dapat diminimalisir


5. Peningkatan Koordinasi antara anggota Kominda dengan pimpinan
kominda, sehingga aparat yang bertugas di lapangan tahu apa yang
dibutuhkan oleh pembuat kebijakan.
6. Peningkatan sinergi antara pemerintah daerah dan aparat intelijen,
sehingga proses deteksi dini dapat berjalan secara efektif.

Universitas Pertahanan
1

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alqadrie, S. I. (2012). Matahari akan terbit di Barat. Pontianak: Borneo


Tribune Press.

Alqadrie, S. I. (2015). Kalimantan dan Kalimantan Barat : Potensi,


Fenomena dan Dinamika Sosial, Budaya& Politik dan Tantangan Ke
Depan (jilid I). Pontianak: TopIndonesia.
Alqadrie, S. I. (2015). Kalimantan dan Kalimantan Barat : Potensi,
Fenomena dan Dinamika Sosial, Budaya& Politik dan Tantangan Ke
Depan (jilid II). Pontianak: TopIndonesia.

Alqadrie, S. I. (2015). Ide & Pemikiran : keprihatinan, Kerisauan, dan


Kegalauan Terhadap Realitas Sosial . Pontianak: TopIndonesia.

Astuti Buchari, Dr. Sri. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Bake, Jamal, Muhammad Abbas dan Rinusu. (2000). Netralitas Yang


Semu: mengungkap Keberadaan Aparat Keamanan Dalam
Berbagai Konflik Etnik di Indonesia”
. Jakarta: PSKP.

Brooks, Ian. (2003). Organisational Behaviour; Individual, Groups and


Organization. London: Prentice Hall.

Burton, J. (1990). Conflict: Human Needs Theory. New York: St Martin’


s
Press.

Coser, L. A. (1956). The Function of Social Conflict. New York: The Free
Press.

Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Direktorat Jenderal Pertahanan. (2012). Analisa Potensi Konflik Horizontal


dan Vertikal Serta Pengaruhnya Terhadap Pertahanan Negara.
Jakarta: Kementrian Pertahanan RI.

Effendi Sofian dan Masri Singarimbun. (1987). Metode Penelitian Survay .


Jakarta: LP3ES.

Friedman, G. (1997). The Intelligence Edge : How To Profit in The


Information Age .

Geertz, Clifford (ed.). (1963) .Old societies and new states: the quest for

Universitas Pertahanan
1

modernity in Asia and Africa. USA: The Free Press of Glencoe &
London UK.

Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Culture. New York : Basic


Books dalam https://books.google. co.id

Gurr, T. R. (1993). Minorities at Risk: A Critical View of Ethnopolitical


Conflict. Washington DC: Institute of Peace Press.
Harris, P dan Ben reilly. (2000). Demokrasi dan konflik yang mengakar;
sejumlah pilihan untuk negosiator. Jakarta: International IDEA.
Handoko, T.Hani. (2003), Manajemen. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu S.P. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia.


Jakarta: Bumi Aksara
Hendropriyono, A. (2013). Filsafat Intelejen Negara Republik Indonesia.
Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse. (2002). Resolusi
Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Institut Titian Perdamaian. 2005. Mari Mencegah Konflik:Memahami
Sistem Peringatan Dini Berbasis jaringan Komunitas. Jakarta: Tifa
Foundation.

Juliet, C dan Anselm Staruss. (2003). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif :


Tatalangka dan Teknis Teoritisasi Data (terjemahan Muhamad
Shodiq dan Imam Muttaqien). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Johnston, Rob. (2005). Analytic Culture In The US Intelligence
Community, An Ethnographic Study, Washington, DC. Central
Intelligence Agency.

Kesbangpol, K. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintahan (LAKIP) Kantor Kesbangpol. Pontianak: Pemerintah
Kota Pontianak.
Kesbangpol, K. (2012). Laporan Atensi Intelijen Bulan Maret. 2012: Kota
Pontianak.

Krizan, L. (1999). Intelligence Essential for Everyone,. Washington DC:


Joint Military Intelligent College.

Komaruddin. (1994). Ensiklopedia Manajemen . Jakarta: Bumi Aksara.

La Ode, M.D. (2012). Etnis Cina Indonesia Dalam Politik: Politik Etnis Cina
Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor.

Universitas Pertahanan
1

Lowenthal, M. (2009). Intelligence, From Secret To Policy. Washington DC:


QC Press.

Malik, I. (2013). Strategi Pencegahan Konflik. Jakarta.

Miles, B.M. dan Michael Huberman. (2009). Analisis Data Kualitatif : Buku
Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.
Mitchell, C. (1981). The Structure of International Conflict. London:
Macmillan.
Moekijat, D. (1994). Koordinasi (Suatu Tinjauan Teoritis). Bandung:
Mandar Maju.
Moleong, L. J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Novri Susan, M. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer . Jakarta: Kencana.
Prayitno, R. (2009). Intelijen Bertawaf. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Retno Wulan, Alexandra, dkk. (2006). Negara, Intel, dan Ketakutan.
Jakarta: Pacifis UI.
Riduwan, DR. (2014). Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian .
Bandung: Alfabeta.
Ritzer, G, dan Douglas J. Goodman. (2007). Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prenda Media Group.
Schmid, A. P. (2000). Theosaurus and Glossary of Early Warning and
Conflict Prevention terms. Synthesis Foundation Erasmus
University.

Saronto, W dan Karwita Jasir. (2008). Intelijen, Teori, Aplikasi dan


Modernisasi. Jakarta: PT. Multindo Mega Pratama.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soegirman. (2012). Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh. Jakarta:


Media Bangsa.

Soekanto, S dan S. Mamudji. (1998). Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto, S. (2002). Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Surakhmad, W. (2002). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan


Teknik. Bandung: Tarsito.

Universitas Pertahanan
1

The Habibie Center (THC). (2015). Kapasitas Lembaga dan Dinamika


Pencegahan Konflik: Studi Kasus Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Barat. Jakarta: SNPK-THC

Van Klinken, Gerry. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan
Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KTTLV.

Wijayanto, Andi; Artanti Wardhani. (2008). Hubungan Intelijen-Negara


1945-2004. Jakarta: Pacifis.

Website

http://www.lemhannas.go.id, diakses pada tanggal 1 September 2015

Jurnal, Paper dan Makalah Ilm iah

Armawy, A. (2011). Kajian Penguatan Komunitas Intelijen Daerah.


Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada .

Arya Hadi Dharmawan. M. A, DR.Ir. (2006). Konflik Sosial dan Resolusi


Konflik : Analisis Sosi-Budaya 9dengan fokus perhatian Kalimantan
Barat)

Davidson, J. S. (2002). Violence and Politics in West Kalimantan,


Indonesia. Washington: University of Washington.

Galtung, J.(1978). Peace and Social Structure. Prio Monograph, 486- 491.

Istania, R. (2009). Potensi Konflik Etnis Religius di tingkat Lokal. Dinamika


Politik Lokal, 2.

Judith Meister Johnston; Rob Johnston. (2005). Testing the Intelligent


Cycle Through System Modelling and Somulation. Analytic Culture
In The US Intelligence Community. , 45.

Jumadi. (2013). Etnisitas Sebagai Instrumen Politik Dan Keamanan di


Kalimantan Barat Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik .
Tanasaldy, T. (2014). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat . Dalam h.
S. Klinken, Politik Lokal di Indonesia (hal. 476). Jakarta: Buku Obor.

White, Ian, and Posy Bullman. (2010). Estabilishing a Community based


early Warning system and Response mechanism in the Communities of St
Martin and Martissant. P. 2

Universitas Pertahanan
1

Tesis dan Desertasi

Hamardiyono, Triatmo (2011). Implementasi Kebijakan Komunitas Intelijen


Daerah Dalam Deteksi Dini Dan Peringatan Dini (Studi Kerusuhan
Massa Di Kabupaten Temanggung), Yogyakarta. Universitas
Gadjahmada

Haminarko, Wahyu (2012). Optimalisasi Peran Intelijen Dalam Rangka


Pelaksanaan Kebijakan Daerah dan Implikasinya Terhadap
Ketahanan Wilayah (Studi Di Komunitas Intelijen Daerah Kabupaten
Mojokerto Provinsi Jawa Timur), Yogyakarta, Universitas
Gadjahmada

Pasaribu, Alinipia (2011). Optimalisasi Peran Datasemen Intelijen dan


Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Kasus Denintel
Kodam Iskandar Muda), Universitas Pertahanan Indonesia

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 Tentang Intelijen Negara

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik


Sosial

Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2013 Tentang Koordinasi Intelijen


Negara

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 tentang


Komunitas Intelijen Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2011 Tentang


perubahan atas peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Komunitas Intelijen Daerah
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan
Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gangguan
Keamanan Dalam Negeri Tahun 2014

Universitas Pertahanan

Anda mungkin juga menyukai