I
PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang
dikutip maupun yang dirujuk telah dinyatakan dengan benar:
NIM : 1910412151
I
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
NIM : 1910412147
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty ini,
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawar dan mempublikasikan skripsi selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai Penulis/Pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
II
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 1910412147
Disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UPN “Veteran” Jakarta
III
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini tepat waktu. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta. Judul yang dipilih penulis pada kesempatan kali ini adalah
“PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS
NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY
NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN
2021”
iv
atas arahan dan motivasi selama masa bimbingan pembuatan skripsi
ini hingga akhir.
5. Bapak Dr. Bambang Susanto, MA selaku dosen penguji sidang
proposal.
6. Anangga Dwipasoca, Fellanita Ayudya, Naufal Pranasetyo, Nafiis
Lazuardi, Indracapa Bhuwana, Nadhirastya Delnitira, dan Nabila
Enofalifa selaku saudara penulis tercinta, my survival kit, yang selalu
mendoakan dan memberikan dukungan yang terbaik.
7. My blue, Mukmin Putra Bungsu yang selalu menemani penulis
disertai doa dan dukungan agar dapat menyelesaikan skripsi tepat
waktu.
8. Agnes Florince, Risty Khairiendra, dan Tarisya Alifia yang telah
menemani penulis selama 4 tahun di masa perkuliahan, since day
one.
10. Maysista Deviani dan Hansya Alfiatin selaku sahabat penulis sejak
SMP yang setia hingga saat ini selalu mendoakan dan mendukung
penulis.
11. Amalia Az-zahra selaku sahabat penulis sejak SMA yang setia hingga
saat ini selalu mendoakan dan mendukung penulis.
12. Segenap rekan-rekan seperjuangan Hubungan Internasional 2019
yang sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi.
13. Willie dan anak-anaknya selaku peliharaan penulis sebagai my free
therapy, penghibur dan pelepas penat penulis dalam melakukan
penelitian.
v
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
membantu penulis dalam penelitian skripsi hingga akhir.
15. Terima kasih ke pada diri saya sendiri. Terima kasih sudah kuat,
bertahan, dan berjuang hingga saat ini. You’re great, we’re great. This
one’s for you.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi dalam
bidang penelitian yang penulis teliti. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih
memiliki keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan yang
bersifat membangun penulis harapkan demi perbaikan dan pengembangan
penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.
vi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS.........................................................................I
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................III
KATA PENGANTAR..........................................................................................IV
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN.........................................................................................x
DAFTAR TABEL.................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiii
ABSTRAK...........................................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN
vii
2.1.1 Keamanan Siber....................................................................................18
2.3 HIPOTESIS....................................................................................................26
3.4.2 Wawancara.............................................................................................29
viii
4.1 PENGEMBALIAN ASET DI INDONESIA................................................35
BAB VI PENUTUP
6.1 KESIMPULAN...............................................................................................79
6.2 SARAN............................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................84
LAMPIRAN
ix
DAFTAR SINGKATAN
x
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
LoI : Letter of Intent
Menko : Menteri Negara Koordinator
MoU : Memorandum of Understanding
MLA : Mutual Legal Assistance
NCB : National Central Bureau
NCB Asset Forfeiture : Non-conviction Bassed Asset Forfeiture
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PN : Prioritas Nasional
Polhukam : Politik, Hukum, dan Keamanan
Polkamwil : Perjanjian Internasional, Direktorat Politik, Keamanan,dan
Kewilayahan
PP : Program Prioitas
PPA : Pusat Pemulihan Aset
RKP : Rencana Kerja Pemerintah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RUU PA : Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
SDM : Sumber Daya Manusia
StAR : Stolen Asset Recovery
TPPU : Tindak Pidana Pencucian Uang
UNCAC : United Nations Convention against Corruption
UNODC : United Nations Office on Drugs and Crimes
UNTOC : United Nations of Transnational Organized Crime
UU : Undang-Undang
UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945
xi
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
ABSTRAK
xv
ABSTRACT
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1
energi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerja sama pembangunan trilateral
dengan negara lain.
Pada tahun 2020, hubungan bilateral Indonesia-Belanda kembali memasuki
momentum bersejarah dengan kunjungan Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima
ke Indonesia pada 9-13 Maret 2020. Sejak kunjungan Ratu Beatrix XXV tahun lalu,
kunjungan Raja Belanda ke Indonesia dinilai bersejarah. Kunjungan Raja Willem
juga menjadi pendorong untuk memperkuat kerja sama bilateral kedua negara,
khususnya di bidang ekonomi dan sumber daya manusia. Dengan kedatangan Raja
Belanda beserta rombongan, niat utamanya adalah melanjutkan berbagai kesepakatan
yang telah dicapai kedua negara selama beberapa tahun terakhir. Dalam
kesempatannya, Raja Willem menyampaikan bahwa Indonesia adalah anggota G20
serta anggota terkemuka di ASEAN. Indonesia berperan besar dalam menjaga
kestabilan keamanan di Asia Tenggara. Indonesia juga tengah menjabat sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020. Sebagai negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia dan salah satu ekonomi terbesar di Asia, Indonesia
dinilai memegang peran kepemimpinan. Salah satunya dalam upaya bersama untuk
mempromosikan dan melindungi tatanan internasional berbasis aturan. Indonesia
memiliki tradisi yang lama dalam bidang toleransi agama dan dalam hal ini bisa
memainkan peran yang konstruktif. Sangat penting untuk melanjutkan kerja sama
dalam pemeliharaan perdamaian, keadilan dan perlindungan bagi kaum minoritas,
dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan dan integritas.
Raja Willem-Alexander juga menyampaikan banyak orang Belanda yang
memiliki ikatan kuat dengan Indonesia. Ikatan ini terlihat dari jumlah pelajar
Indonesia yang belajar di Belanda. Dalam kesempatan acara Winner yang diinisiasi
oleh Dutch Research Council, Kedutaan Besar di Belanda, Royal Netherlands
Academy of Arts and Science, dan NUFFIC NESO dalam kolaborasi dengan LIPI dan
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Menteri Edukasi, Budaya, dan Sains Belanda,
Ingrid van Engelshoven menyampaikan bahwa kerja sama dalam bidang edukasi dan
budaya antara Belanda dan Indonesia semakin berkembang. Hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya jumlah pertukaran pelajar dan semakin eratnya kerja sama di
2
antara universitas-universitas kedua negara. Ia menyampaikan banyaknya pemuda
yang hadir saat ini membuktikan bahwa kedua negara dapat melanjutkan hubungan
dan kolaborasi lebih jauh lagi, dengan kesempatan yang semakin banyak, dan
semakin melihat ke depan.
Fokus utama hubungan bilateral RI-Belanda adalah peningkatan hubungan
ekonomi, pengembangan kapasitas SDM RI, serta sumber transfer teknologi dan
inovasi. Dimulai pada acara King’s Day pada tanggal 30 April 2019, Menteri
Perhubungan Republik Indonesia, Budi Karya, dalam kesempatannya menyampaikan,
latar belakamg dan sejarah antara Indonesia dan Belanda yang membuat kedua negara
ini semakin erat dan dinamis. Tidak hanya di bidang transportasi, kerja sama
Indonesia dengan Belanda juga dilakukan di bidang perdagangan, investasi,
infrasturktur, pertanian, maritim, pendidikan dan pariwisata. Dalam Forum Maritim
Bilateral Ketiga antara Indonesia dan Belanda pada bulan Februari 2019 lalu, kedua
negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama yang efektif di bidang pelatihan
kejuruan di bidang transportasi, pembuatan kapal, pengembangan pelabuhan dan
bidang operasional lainnya. Pada akhir sambutannya, Menhub Budi menginisiasi agar
Indonesia dan Belanda dapat lebih memperdalam setiap potensi yang dimiliki oleh
kedua negara serta meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Belanda.
Kerja sama antara kedua negara berlanjut dengan penerimaan kunjungan
resmi dari Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mark Rutte oleh Presiden Joko Widodo
di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 7 Oktober. Dalam pertemuan
tersebut, keduanya sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi baik di bidang
perdagangan maupun investasi. Presiden Jokowi menjelaskan Belanda merupakan
salah satu mitra penting Indonesia di Eropa. Di antara negara-negara Eropa, Belanda
merupakan mitra perdagangan nomor dua terbesar, mitra investasi nomor satu dan
mendatangkan wisatawan nomor empat terbesar dari Eropa. Presiden Jokowi
menyampaikan kerja sama ini akan terus diperkuat dengan menggunakan kerangka
kemitraan komprehensif yang sudah dimiliki oleh kedua negara. Di bidang
perdagangan, Indonesia dan Belanda sepakat untuk terus meningkatkan perdagangan
yang terbuka dan adil. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi kembali menyampaikan
3
kekhawatiran Indonesia untuk kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit. Presiden
Jokowi menyampaikan apresiasinya terhadap kerja sama yang ditandatangani oleh
Indonesia dan Belanda di New York tanggal 26 September 2019 yang lalu, mengenai
pengembangan kapasitas petani kecil sawit untuk menghasilkan kelapa sawit yang
lestari. Di pengujung pernyataannya, Presiden Jokowi turut menyampaikan
apresiasinya kepada pemerintah Belanda yang secara konsisten tegas menghormati
kedaulatan negara Indonesia.
Pada tahun 2021, Indonesia mendorong penjalinan kerja sama bilateral yang
lebih luas dengan Belanda. Kerja sama itu meliputi perdagangan, investasi,
penanganan Covid-19, dan dukungan untuk Presidensi G20 oleh Indonesia dalam
satu tahun ke depan. Hal tersebut dibahas di dalam pertemuan virtual antara Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dengan Menteri Perdagangan
Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Belanda Tom De Bruijn pada tanggal 16
November 2021. Dari sisi ekonomi, hubungan ekonomi Indonesia dan Belanda kini
bersifat "from aid to trade" yang menegaskan kerja sama kedua negara sebagai mitra
yang setara. Belanda menempatkan Indonesia sebagai mitra prioritas bisnis Belanda
di Asia setelah RRT. Belanda merupakan salah satu negara mitra dagang utama
Indonesia, dan juga mitra penanaman modal atau investasi. Menurut Menko
Perekonomian, Airlangga Hartanto, sebagai mitra strategis, masih banyak potensi
perdagangan dan investasi yang bisa dieksplorasi lebih dalam dari kedua negara.
Nilai perdagangan kedua negara meningkat 26,27 persen atau sebesar US$2,9 miliar
pada periode Januari-Juli 2021, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Terkait dengan investasi, total investasi Belanda di Indonesia adalah lebih dari
US$1,4 miliar pada 2020. Realisasi investasi sektor riil Belanda di Indonesia pada
tahun 2021 menempati urutan ke-5 terbesar setelah Singapura, RRT, AS, dan Jepang.
Sedangkan diantara negara Eropa, Belanda selalu menempati peringkat ke-1 sejak
tahun 2018. Beberapa perusahaan Belanda yang sudah mempunyai nama besar di
Indonesia seperti Unilever, Lux, Frisian Flag, dan Phillips.
Hubungan bilateral Indonesia dan Belanda berada pada tataran yang sangat
baik dengan menunjukkan perkembangan positif serta berorientasi ke masa depan
4
untuk memanfaatkan potensi dan peluang kerja sama kedua negara secara maksimal.
Berbicara mengenai potensi dan peluang kerja sama, kedua negara berhasil meraih
capaian baru dalam kerja sama di bidang keamanan pada tahun 2021. Adanya kasus
perusahaan di Belanda yang menjadi korban jaringan tindak pidana siber lintas negara
dalam pembayaran pembelian peralatan medis untuk penanganan COVID-19 melalui
modus pembajakan email korespondensi. Kejahatan siber menjadi salah satu jenis
kejahatan yang mengalami peningkatan cukup tinggi dengan modus yang beragam,
terlebih lagi selama masa pandemi COVID-19, antara lain oknum yang meminta
sumbangan dengan mengatasnamakan korban pandemi, pencurian data dan
pembobolan rekening. Pelaku memanfaatkan dan mengeksploitasi kerentanan,
ketidakberdayaan dan keterbatasan masyarakat selama pandemi. Sasaran pelaku
adalah perangkat, perangkat keras, perangkat lunak, atau data pribadi korban. Sifat
kejahatan dunia maya ini adalah bahwa baik pelaku maupun korbannya tidak terlihat
sehingga membuat kejahatan ini memiliki kompleksitasnya sendiri. Pelaku potensial
dari jenis kejahatan ini, bisa dari kelompok yang geologis ataupun kelompok yang
berbisnis secara illegal, dan juga individu tertentu.
Dengan memperhatikan hal tersebut, ruang siber perlu mendapatkan
perlindungan yang layak guna menghindari potensi yang dapat merugikan pribadi,
organisasi bahkan negara. Oleh karena itu, keamanan siber menjadi isu prioritas di
berbagai negara termasuk Indonesia. Dari perspektif negara Indonesia, perhatian
khusus perlu diberikan pada kejahatan lintas batas mengingat posisi Indonesia yang
sangat strategis dan rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan lintas batas yang ada.
Seiring perkembangannya, Indonesia menaruh perhatian khusus pada kejahatan
internasional yang muncul seperti perdagangan manusia dan penyelundupan manusia,
korupsi dan pencucian uang, kejahatan hutan, kejahatan satwa liar, kejahatan
penangkapan ikan, perdagangan kekayaan budaya, serta narkoba dan kejahatan
narkoba. Untuk itu, Indonesia terus memperkuat kerja sama internasional untuk
memerangi kejahatan transnasional guna melindungi kepentingan dan kedaulatan
nasional Indonesia. Indonesia telah memasukkan keamanan siber ke dalam agenda
pembangunan prioritas nasional (PN) 7 Rencana Pembangunan Jangka Menengah
5
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu memperkuat stabilitas politik, hukum,
pertahanan, keamanan (polhukhankam), maupun Program Prioritas (PP) 5 dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022.
Melalui berbagai forum internasional, salah satu upaya yang dilakukan
Indonesia ialah berusaha untuk mendorong pengarusutamaan kejahatan lintas negara.
Hal ini dilakukan mengingat kejahatan lintas negara baru belum banyak mendapat
perhatian khusus dari dunia internasional, serta belum memiliki studi, definisi, dan
kriminalisasi yang mencukupi. Pada tahun 2010, Conference of States
Parties (CoSP), United Nations Convention on Transnational Organized Crime
(UNTOC) yang kelima telah mengidentifikasi beberapa Kejahatan Lintas Negara
Baru dan Berkembang (New and Emerging Crimes), antara lain cybercrime, identity-
related crimes, perdagangan gelap benda cagar budaya, kejahatan lingkungan,
pembajakan di atas laut, dan perdagangan gelap organ tubuh. Saat ini, teknologi
informasi dan komunikasi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua
aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi, masyarakat, budaya, pendidikan,
dan kesehatan. Pertumbuhan teknologi dan informasi di Indonesia sendiri
berkembang sangat pesat terutama dalam kaitannya dengan penggunaan internet.
Jumlah pengguna internet di Indonesia akan mencapai 196,7 juta atau 73,7% pada
kuartal kedua tahun 2020, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dari tahun 2019 hingga kuartal
pertama tahun 2020, meningkat 64,8% dibandingkan tahun 2018. Di satu sisi,
peningkatan pengguna internet ini merupakan berita baik atas meningkatnya
kapabilitas masyarakat dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi, namun di
sisi lain ancaman keamanan siber pun turut semakin meningkat. Peningkatan lalu
lintas internet telah menarik pelaku-pelaku kriminal siber dan berakibat pada
banyaknya kasus serangan siber di Indonesia. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
menemukan, serangan siber mencapai 495,3 juta pada 2020, meningkat 41% dari
2019 sebanyak 290,3 juta. Sama halnya dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Bareskrim), yang melihat adanya peningkatan laporan
6
kejahatan siber. Pada 2019, 4.586 laporan polisi diajukan melalui Patrolisiber, naik
dari 4.360 laporan tahun sebelumnya pada 2018 (Patroli Siber, 2020).
Serangan siber adalah serangan terhadap sistem komputer atau jaringan
komputer untuk mendapatkan kontrol atau akses tidak sah ke sistem komputer target
(Maurer & Morgus, 2014). kejahatan siber, di sisi lain, adalah aktivitas ilegal yang
menggunakan atau bertujuan pada sistem atau jaringan komputer (International
Telecommunication Union, 2012). Dalam definisi lain, kejahatan siber adalah istilah
yang mengacu pada aktivitas kriminal yang menggunakan komputer atau jaringan
komputer sebagai alat, sasaran, atau lokasi kejahatan (Abidin, 2017), yang
mengakibatkan kerugian yang berwujud atau tidak berwujud bagi pihak yang dituju
(Wilson, 2008). Kejahatan siber umumnya mengacu pada aktivitas kriminal di mana
komputer atau jaringan komputer menjadi elemen kunci. Istilah tersebut juga
digunakan untuk kegiatan kriminal tradisional yang menggunakan komputer atau
jaringan komputer untuk memfasilitasi atau memungkinkan terjadinya kejahatan
(Saragih & Azis, 2020).
Kejahatan lintas negara merupakan bentuk kejahatan yang menjadi ancaman
serius terhadap keamanan dan kemakmuran global mengingat sifatnya yang
melibatkan berbagai negara. Untuk menanggulangi kejahatan tersebut, diciptakan
sebuah perjanjian internasional yang disebut dengan UNTOC. Ditetapkan pada tahun
2000, UNTOC adalah panduan mendasar bagi negara-negara untuk memerangi
kejahatan transnasional. Negara-negara di seluruh dunia, terutama negara-negara
berkembang yang kekurangan sumber daya untuk menandingi keterampilan dan
kreativitas para penjahat, menghadapi rintangan hukum ketika berurusan dengan aset
curian. Kasus korupsi dan pencucian uang yang kompleks biasanya membutuhkan
upaya lintas batas. Penelusuran dan pengembalian aset oleh penegak hukum dapat
memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena prinsip kedaulatan
membatasi kemampuan otoritas domestik untuk mengambil tindakan investigasi,
hukum, dan penegakan hukum di yurisdiksi asing. Upaya penelusuran dan
pengembalian yang berhasil seringkali bergantung pada bantuan dari yurisdiksi asing,
sebuah proses yang diperlambat dan diperumit oleh perbedaan dalam tradisi hukum,
7
hukum dan prosedur, bahasa, zona waktu, dan kapasitas yang bervariasi. Dalam
konteks ini, kerja sama internasional sangat penting untuk keberhasilan pengembalian
aset yang disimpan di luar negeri. Contoh bentuk kerja sama utama termasuk bantuan
informal, pengungkapan informasi spontan, tim investigasi bersama, Mutual Legal
Assistance (MLA), transfer proses ke yurisdiksi lain, implementasi hukum domestik
yang memungkinkan pengembalian langsung, penegakan atau pendaftaran
pengekangan sementara atau perintah konfeksi dari yurisdiksi lain, dan ekstradisi.
Keputusan tentang bentuk kerja sama dan proses bervariasi sesuai dengan kasus yang
ditangani.
Masalah pengembalian aset semakin meningkat sejak awal 2000-an dengan
adopsi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan UNTOC.
UNCAC secara khusus memiliki bab tentang pemulihan aset dan jaringan pemulihan
aset baru. Direktori ini mengkaji kemungkinan strategi kerja sama internasional
pertama dan perbedaan antara permintaan bantuan hukum formal MLA dan bantuan
hukum informal. Kedua, direktori tersebut mencantumkan jaringan pemulihan aset,
bersama dengan informasi tentang struktur dan operasinya, sehingga para profesional
pemulihan aset dapat mengakses jaringan yang sesuai untuk membantu upaya
penegakan kriminal yang kritis. Dengan membantu negara-negara membangun sistem
untuk mengumpulkan informasi tentang asal, tujuan, dan penerima manfaat akhir dari
hasil kejahatan. Jaringan pemulihan aset global yaitu terdapat The International
Criminal Police Organization (INTERPOL)/Stolen Asset Recovery Initiative (StAR)
Global Focal Point Network. Kemudian, pada wilayah regional terdapat Asset
Recovery Interagency Network for the Asia Pacific (ARIN-AP), Asset Recovery
Interagency Network for the East Africa (ARIN-EA), South Africa (ARINSA), Asset
Recovery Interagency for the Network West Africa (ARIN-WA), Asset Recovery
Interagency Network for the Caribbean (ARIN-CARIB), dan Camden Asset Recovery
Interagency Network (CARIN).
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti mengenai salah satu jejaring
pemulihan aset di wilayah Eropa yakni CARIN sebagai penghubung antara Indonesia
dan Belanda dalam penanganan pengembalian aset milik Belanda. Kedua negara
8
tersebut bekerja sama di bawah kerangka CARIN dengan pendekatan baru dalam
penanganan pengembalian aset. Bantuan informal dapat mengarah pada identifikasi
aset yang lebih cepat, mengkonfirmasi bantuan yang dibutuhkan, dan memberikan
dasar yang tepat untuk permintaan MLA. Bantuan informal biasanya terdiri dari
dukungan resmi yang diberikan di luar konteks permintaan MLA. Meskipun
"informal" dibandingkan dengan permintaan MLA, konsep ini seringkali masih
disahkan dalam undang-undang MLA dan tetap melibatkan otoritas formal.
Pentingnya bantuan informal juga telah ditekankan dalam berbagai perjanjian
internasional. Berbeda dengan permintaan MLA, bantuan informal lebih seperti
informasi intelijen atau latar belakang yang dapat digunakan untuk mengembangkan
penyelidikan.
Untuk meneliti tentang topik Kerja sama Indonesia dan Belanda dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda melalui
CARIN, penulis menggunakan lima jurnal. Dalam memahami isu pencucian uang
yang didapat melalui kejahatan siber, penulis meneliti jurnal karya Iskandar Wibawa
sebagai permulaan. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa pencucian uang
merupakan upaya untuk menyamarkan asal usul dana hasil kejahatan melalui
berbagai transaksi, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk melacak aset
dan membuktikan apakah dana tersebut legal atau sah. Perbuatan jahat yang
dilakukan di lingkungan elektronik ini cukup sulit penanggulangannya, karena untuk
menanganinya diperlukan keahlian khusus, prosedur investigasi serta kekuatan dasar
hukum yang kemungkinan besar belum dipunyai oleh aparat penagak hukum.
Kesulitan lain adalah jika sudah melampaui batas-batas negara (lintas negara).
Permasalahan yang timbul berkaitan dengan hubungan antara negara dalam kebijakan
adalah bahwa kewenangan suatu negara di bidang jurisdiksi legislative ini bisa
berbeda dan bahkan saling berbenturan dengan kewenangan negara lain. Barda
Nawawi Arief berpandangan bahwa dalam menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah
berupa “Cyber Crime” perlu digunakan asas universal, atau prinsip “ubikuitas”,
yakni prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan sebagian di batas
9
wilayah negara dan sebagian di luar batas suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam
yurisdiksi masing-masing negara yang bersangkutan (Wibawa, 2017).
Dengan tujuan untuk lebih memahami upaya dalam peningkatan kapasitas
penanganan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara ditinjau
dari segi hukum, penulis menggunakan jurnal dari Fikry Latukau, Widati Wulandari.
Tujuan pengembalian aset adalah untuk menemukan, melindungi, dan memelihara
aset, termasuk membekukan, menghapus, dan menghancurkannya. Pengembalian aset
dapat dilakukan di bawah hukum pidana, perdata, dan administratif. Penegakan
hukum pidana pada hakikatnya bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku
tindak pidana agar memberikan efek jera, tetapi bertujuan memulihkan kerugian yang
diderita oleh korban secara finansial akibat dari perbuatan pelaku tersebut, yang mana
semua ini sesuai dengan asas dominus litis yang merupakan tugas tanggung jawab
penegak hukum. Terkait dengan subtansi hukum (legal substance), hambatan yang
ditemukan adalah aturan perundang-undangan yang belum memadai (Latukau &
Wulandari, 2019).
Melalui jurnal karya Achmad Firdaus dan Handoyo Prasetyo dijelaskan
beberapa upaya yang dilakukan Indonesia saat ini seperti, Bantuan Hukum Timbal
Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance), Ekstradisi, Perjanjian
Pertukaran Informasi (Memorandum of Understanding on Exchange
Information/MoU), dan Perjanjian Pemindahan Terpidana (Transfer of Sentenced
Person). Perbedaan antara MoU dan MLA yaitu objek MoU adalah perjanjian yang
hanya meliputi penyidikan tindak pidana, sedangkan di sisi lain kerja sama MLA
meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC,
mekanisme pengembalian aset masih belum diatur secara jelas atau rinci. Selain itu,
perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lain seringkali menjadi
kendala dalam pengembalian aset. Diperlukan berbagai metode hukum yang maju,
yakni melakukan pembuatan dan revisi aturan hukum pidana terkait pengembalian
aset, menerapkan Non Conviction Based Asset Forfeiture kedalam sistem peradilan
dengan tujuan kemanfaatan hukum, mempromosikan perluasan StAR Initiative,
10
pengembangan MLA untuk mengkonsolidasikan sinkronisasi lembaga penegak
hukum (Firdaus & Prasetyo, 2021).
Membahas peran lembaga negara dan aparat penegak hukum yang menjadi
faktor yang sangat penting dalam usaha untuk menangani pengembalian aset hasil
tindak pidana siber lintas negara. Untuk ini penulis memakai jurnal dari Ridwan
Arifin, Indah Sri Utari, dan Herry Subondo. Beberapa lembaga negara dan aparat
penegak hukum memiliki kewenangan untuk mengembalikan aset sebagaimana
diamanatkan baik oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, maupun UU khusus lainnya.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Otoritas Pusat Kementerian Hukum dan HAM (Central Authority), National
Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia, dan Kementerian Luar Negeri, khususnya
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Direktorat Politik,
Keamanan, dan Kewilayahan (Polkamwil) (Arifin, Utari, & Subondo, 2016).
Lembaga-lembaga tersebut di atas memiliki tugas, pokok, dan fungsinya
dalam upaya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, khususnya aset yang berada
di luar negeri. Kelima lembaga tersebut di atas, tergabung dalam Tim Terpadu yang
diketuai oleh Kejaksaan Agung berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor:
Kep-23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang tim terpadu
pencari terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi. Peran KPK dalam
pemulihan aset ini bukan hanya dalam hal penindakan (perampasan aset) tetapi juga
tindakan penyelamatan kebocoran keuangan negara. Sementara itu, tugas, fungsi dan
peran NCB Interpol Indonesia, adalah sebagai penyelenggara kerja sama/koordinasi
melalui wadah International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol dalam
rangka mendukung upaya penanggulangan kejahatan internasional/ transnasional dan
kegiatan “peace keeping operation” di bawah bendera PBB serta menyelenggarakan
kerja sama internasional/antar negara dalam rangka mendukung pengembangan
Kepolisian Republik Indonesia. Kemudian, Peran Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) adalah sebagai Otoritas Pusat dalam hal pengajuan dan penanganan
masalah ekstradisi dan MLA. Kementerian Luar Negeri RI terutama Polkamwil
11
hanya memiliki peran pendukung. Peran Kemenlu sebagai penghubung antara
lembaga-lembaga terkait di Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Setelah memahami peran masing-masing lembaga negara dalam penanganan
pemulihan aset, penulis memahami lebih dalam mengenai peran Pusat Pemulihan
Aset (PPA) Kejaksaan. Dalam jurnal karya Aghia Khumaesi Suud dijelaskan bahwa
PPA sebagai satuan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggung jawab
memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia dengan sistem pemulihan
aset terpadu (Integrated Asset Recovery System) secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel. Dengan melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan,
dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan. Sistem ini
akan memudahkan kinerja PPA dalam pemulihan aset karena setiap tahapan akan
diinput secara digital oleh Jaksa di Pidana Khusus saat menyelesaikan kasus. PPA
tidak hanya memulihkan aset di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, tetapi
dapat menerima dan melaksanakan pemulihan aset dari Kementerian atau lembaga
lain dengan persetujuan Jaksa Agung RI (Suud, 2020). Inilah kewenangan besar
Kejaksaan dibandingkan dengan instansi lain seperti Kementerian Hukum dan HAM
sebagai pemegang fungsi Otoritas Pusat yang tidak terlibat langsung dalam praktik
penegakan hukum. Namun, jumlah kasus pemulihan aset yang dilakukan PPA masih
sedikit dan urgensi keberadaannya masih dipertanyakan mengingat ruang lingkupnya
hampir sama dengan Labuksi KPK dan Rupbasan pada Kemenkumham yang secara
tidak langsung menimbulkan tarik-menarik kewenangan antara unit aparat penegak
hukum tersebut. PPA masih harus terus berbenah dari segala aspek termasuk banyak
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki tugas dan
fungsi untuk memulihkan aset maksimal bagi Negara. Untuk mencapai optimalisasi
ini, berbagai langkah perlu dilakukan. Langkah-langkah tersebut meliputi perbaikan
sistem, koordinasi yang kuat, rekruitmen sumber daya manusia dari pengetahuan
multidisiplin, dan peningkatan kemampuan bahasa asing bagi staf PPA secara
keseluruhan. Hal ini harus dilakukan agar visi yang diusung PPA sebagai sistem
pemulihan aset yang terintegrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan hasil
pemulihan aset menjadi lebih optimal.
12
Melalui jurnal karya Ridwan Arifin, Indah Sri Utari, dan Herry Subondo pula
penulis menemukan penjelasan perbedaan antara kerja sama dalam pemulihan aset
suatu negara baik melalui proses prosedural undang-undang yang berlaku (formal)
maupun melalui proses diplomasi (informal). Baik jalur formal maupun informal
keduanya memiliki titik tekan dan fokusnya masing-masing. Keduanya juga memliki
kelemahan dan kelebihannya jika dilihat dari sudut upaya pemulihan aset, tapi baik
jalur formal ataupun informal kedua-duanya selalu diupayakan oleh pemerintah. Titik
tekan keduanya tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Mengambil bukti atau pernyataan yang Mencari saksi, tersangka atau buron
dapat diterima
Melayani dokumen Melacak hasil kejahatan
Melaksanakan penggeledahan dan Memberikan catatan publik yang tidak sensitif (KTP,
penyitaan catatan criminal, registrasi kendaraan, pendaftaran
properti, kepemilikan saham perusahaan, catatan
imigrasi)
Melakukan investigasi bersama Berbagi petunjuk investigasi
Pengambilan keterangan saksi Jenis bantuan lainnya sesuai dengan hukum domestik
Menegakkan perintah pengadilan asing Baik untuk tujuan investigasi dan pelacakan aset
(penyitaan, pembekuan penyitaan hasil bukan untuk penuntutan atau proses pengadilan
kejahatan)
Baik untuk pemulihan aset
Tindakan pemaksaan Tindakan tanpa pemaksaan
Sumber: (Suprapdiono, 2012)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa antara jalur formal dan jalur
informal keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jalur
13
formal sebagian besar berada di bawah pengaturan MLA dan Ekstradisi, sedangkan
jalur informal lebih kepada kegiatan-kegiatan pengawasan dan aktivitas intelejen.
Kedua jalur tersebut dalam pemulihan aset di Indonesia saling menyempurnakan
kekurangan yang ada. Berbagai kejahatan antarnegara yang terjadi telah mendapat
berbagai respon dan reaksi institusi penegak hukum serta berbagai konvensi
internasional. Dengan semangat penyatuan Eropa yang mengemuka di berbagai
negara Eropa, maka pada tahun 2004 diselenggarakan kongres tahunan pertama
CARIN, sedangkan StAR Initiative baru terwujud pada tahun 2007 (Arifin, Utari, &
Subondo, 2016). Tahap proses hukum dalam upaya pemulihan aset tergantung
bagaimana yurisdiksi hukum nasional negara yang bersangkutan maupun konvensi-
konvensi internasional ataupun perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara
tersebut. Indonesia secara aktif melakukan upaya pemulihan aset melalui cara-cara,
baik itu formal melalui MLA maupun informal. Namun, jika belum adanya perjanjian
MLA, maka digunakan asas hubungan baik antara Indonesia dengan negara yang
bersangkutan dan bersedia membantu dalam pelacakan asset.
Setelah melakukan penelitian terhadap lima jurnal yang dinilai relavan dalam
tujuan penelitian penulis kali ini, kelima jurnal sangat membantu penulis dalam
merumuskan penelitian yang ingin dilakukan. Tetapi setelah melakukan kajian
literatur terhadap kelima jurnal yang dinilai relevan, penulis menemukan celah dalam
penelitian tersebut yaitu belum adanya jurnal penelitian mengenai Perbedaan
Prosedur Antara Kerja Sama Jalur Formal dan Informal dalam Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Siber Lintas Negara. Penulis menggunakan direktori yang
dipublikasikan oleh StAR di bawah naungan The World Bank dan United Nations
Office on Drugs and Crimes (UNODC).
14
kehidupan bernegara agar dapat dilakukan lebih efektif dan efisien melalui hubungan
diplomatik. Dalam hal ini khususnya mengidentifikasi usaha-usaha yang dilakukan
kedua negara bersangkutan yaitu Indonesia dan Belanda dalam penanganan
pengembalian aset milik Belanda yang berada di Indonesia akibat tindak pidana siber
khususnya metode dan mekanisme pelaksanaan yang dilakukan oleh kedua negara.
Mengacu pada penjelasan diatas, peneliti merumuskan masalah dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
15
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut terkait
jalur informal dalam pengembalian aset suatu negara.
Untuk memahami alur pemikiran penelitian ini, maka tulisan ini dibagi dalam
bagian-bagian yang terdiri dari bab dan sub-bab. Sistematika penulisan tersebut
membagi hasil penelitian ke dalam V bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
16
BAB V KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS NEGARA
MILIK BELANDA MELALUI CARIN
Dalam bab ini, penulis melakukan penelitian mengenai mekanisme kerja sama
Indonesia dan Belanda yang berlangsung pada tahun 2021 dalam penanganan
pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara melalui CARIN.
BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini, sebagai penutup, penulis memberikan kesimpulan dan saran dari
keseluruhan penelitian yang penulis lakukan.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
18
Sejarah cyber security atau keamanan siber sebagai konsep sekuritisasi
dimulai dengan disiplin Ilmu Komputer dan Informasi di mana yang pertama kali
menggunakan cyber security adalah dalam laporan Computer Science and
Telecommunications Board (CSTB) pada tahun 1991, di mana keamanan di era
informasi dalam istilah “security” didefinisikan sebagai perlindungan terhadap
pengungkapan yang tidak diinginkan, modifikasi, atau kerusakan data dalam suatu
sistem dan juga untuk pengamanan sistem itu sendiri. Dalam hal ini ancaman dalam
keamanan siber tidak hanya diakibatkan oleh agen atau aktor tertentu tetapi juga oleh
sistem itu sendiri sehingga muncul istilah “computer security”. Nissenbaum
menunjukkan bahwa mayoritas ilmuwan komputer mengadopsi wacana teknis yang
difokuskan pada pengembangan program yang baik dengan sejumlah bug dan sistem
yang sulit ditembus oleh penyerang luar sehingga “computer security” bergeser ke
“cyber security” di mana cyber security dapat dilihat sebagai “keamanan komputer”
dan “sekuritisasi” (Hansen & Nissenbaum, 2009, p. 1160). Global Cyber Security
dibangun di atas lima bidang kerja (Ardiyanti, 2016): Kepastian Hukum (undang-
undang yang mengatur kejahatan siber), Teknis dan Tindakan Prosedural (pengguna
akhir dan bisnis (pendekatan langsung dan penyedia layanan dan perusahaan
perangkat lunak), Struktur Organisasi (struktur organisasi sangat berkembang,
menghindari tumpang tindih), Capacity Building dan Pendidikan Pengguna
(kampanye publik dan komunikasi terbuka dari ancaman kejahatan siber terbaru),
Kerjasama Internasional (termasuk di dalamnya kerja sama timbal balik dalam upaya
mengatasi ancaman siber).
19
disebut dengan fungsionalisme siber. Dalam konsep geometripolitika, membagi
fungsionalisme siber menjadi dua domain utama, yaitu: pertama, pemanfaatan siber
dalam geometrik militer meliputi menciptakan, menangkal, dan melindungi berbagai
serangan terhadap infrastruktur siber yang terhubung dengan teknologi nuklir,
teknologi pembangkit listrik nasional, teknologi maritim, teknologi penerbangan dan
antariksa, serta penyerangan terhadap fasilitas negara yang terhubung dengan
teknologi siber yang mengarah pada perang siber. Perang siber adalah perang yang
terjadi akibat bertemunya pemanfaatan ruang siber yang ditujukan untuk kekuasaan
dan dapat menyebabkan perang di dunia nyata. Dengan berkembangnya ruang
lingkup keamanan dan kekuasaan, maka ancamannya pun ikut berkembang sejalan
dengan kemajuan teknologi yang mengarah pada penguasaan dan pengendalian
aktivitas masyarakat di ruang siber, yakni pemanfaatan siber dalam geometrik sipil
seperti serangan terhadap fasilitas internet sipil antara lain, situs web, jebolnya akun
nasabah bank, pencurian data untuk motif ekonomi, penyebaran identitas pribadi,
kejahatan terhadap aktivitas sosial media, dan lain-lain, yang mana membantu
pemahaman penulis dalam penelitian sebagaimana isu yang diangkat oleh penulis
mengenai tindak pidana pencucian uang melalui ruang siber.
20
Urgensi keamanan siber ditujukan untuk mengantisipasi datangnya ancaman-
ancaman dan serangan siber yang terjadi dan menjelaskan posisi ketahanan saat ini
sehingga diperlukan kesiapan dan ketanggapan dalam menghadapi ancaman serta
memiliki kemampuan untuk memulihkan akibat dampak serangan yang terjadi di
ranah siber. Munculnya ancaman kejahatan siber harus mendorong kesadaran baik
negara maupun masyarakat internasional harus memanfaatkan, mengembangkan, dan
mengonsolidasikan semua unsur untuk strategi kooperatif dalam memberikan
perhatian lebih terhadap sistem pertahanan negara masing-masing. Diperlukan
inisiatif antar negara untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan bersama yang
mengikat terkait pengamanan dunia siber secara internasional. Kerja sama
internasional baik dalam infrastruktur, sarana prasarana maupun dalam
pengembangan kemampuan SDM dalam bidang keamanan siber baik secara bilateral,
regional ataupun internasional.
Pada era teknologi sekarang ini, semakin banyak terjadinya kejahatan dalam
bidang teknologi atau yang lebih dikenal sebagai kejahatan siber, yang mana
kejahatan-kejahatan tersebut selalu berkembang setiap tahunnya. Umumnya suatu
masyarakat yang mengalami perubahan akibat kemajuan teknologi, banyak
melahirkan masalah-masalah sosial. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas
perkembangan kejahatan siber antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan
manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah
kompleksitas tersebut. Hal itu terjadi karena kondisi masyarakat itu sendiri yang
belum siap menerima perubahan atau dapat pula karena nilai-nilai masyarakat yang
telah berubah dalam menilai kondisi yang tidak lagi dapat diterima.
Kejahatan siber ialah keseluruhan bentuk kejahatan yang ditunjukan terhadap
komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan
tradisional yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer. Masalah
21
kejahatan siber menjadi sebuah masalah serius seiring banyaknya akses dalam bidang
ekonomi, politik, pertahanan negara melalui jaringan sistem internet, sehingga hal ini
menimbulkan masalah yang serius terutama dalam keamanan akses data tersebut.
Kualifikasi kejahatan siber, sebagaimana dalam buku Barda Nawawi Arief,
Convention on Cybercrime 2001, yaitu illegal access, sengaja memasuki atau
mengakses sistem komputer tanpa hak. Phishing, ransomware, dan pelanggaran data
hanyalah beberapa contoh ancaman dunia maya saat ini, sementara jenis kejahatan
dunia maya baru muncul setiap saat. Penjahat dunia maya semakin gesit dan
terorganisir, mengeksploitasi teknologi baru, menyesuaikan serangan mereka, dan
bekerja sama dengan cara baru. Kejahatan siber meliputi tindak pidana penipuan,
penggelapan, hacking, pidana di bidang komunikasi, atau pengrusakan sistem
komputer yang belum seluruhnya dapat dijangkau dengan undang-undang yang
berlaku. Kejahatan siber berpotensi merusak atau mengganggu kehidupan, negara,
dan bahkan seluruh dunia. Kejahatan dunia maya dapat lebih luas daripada tindak
pidana konvensional, karena para pelaku tidak dibatasi oleh waktu dan geografis
sehingga wilayah terjadinya tidak hanya secara lokal atau nasional tetapi juga
transnasional.
Kejahatan transnasional (transnational crime) merupakan tindak pidana atau
kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara
internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan PBB yang membahas
pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB telah mengidentifikasi 18 jenis
kejahatan transnasional, yaitu pencucian uang, terorisme, pencurian benda sei dan
budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan
pesawat, pembajakan laut, penipuan asuransi, kejahatan komputer, kejahatan
lingkungan, perdagangan orang, perdagangan bagian tubuh manusia, perdagangan
narkoba, penipuan kepailitan, infiltrasi bisnis, korupsi, dan penyuapan pejabat publik
atau pihak tertentu. Suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
transnasional atau bukan dapat dilihat dari: Melintasi batas negara, pelaku lebih dari
satu, bisa nation-state actor ataupun yang lain, memiliki efek terhadap negara
22
ataupun aktor internasional (misalnya individu dalam pandangan kosmopolitan) di
negara lain, dan melanggar hukum di lebih dari satu negara.
Sehingga dapat didefinisikan bahwa konsep tindak pidana siber lintas negara
ialah bentuk kejahatan dengan memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer,
internet atau perangkat digital lainnya sebagai alat, sasaran, tempat atau penggunanya
yang melintasi batas suatu negara. Oleh karena itu, istilah kejahatan transnasional
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan yang sebenarnya milik negara
(dalam batas suatu negara) tetapi dalam beberapa kasus melibatkan negara lain,
individu, negara, objek, kepentingan publik dan swasta. Kejahatan transnasional
dapat dilakukan secara individual dan/atau kelompok terorganisir.
Kerja sama adalah cara yang paling efektif bagi suatu negara untuk dapat
mencapai kepentingannya dan mempertahankan eksistensinya di dunia internasional.
Suatu negara tidak akan dapat bertahan hanya dengan kekuatannya sendiri, dalam hal
ini dengan mengandalkan sumber daya alam, sumber daya manusia atau teknologi
yang dimiliki negara tersebut. Hal ini terlihat dalam kerja sama yang dilakukan oleh
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Rusia dan negara-negara maju
lainnya. Selain untuk mempertahankan eksistensi di dunia internasional, kerja sama
internasional dapat terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai
bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan,
pertahanan, dan keamanan (Rizka, 2016). Hal–hal inilah yang memunculkan
berbagai perbedaan kepentingan antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh
sebab itu, untuk bisa membuatnya lebih mudah maka perlu dibentuk suatu kerja
sama antara beberapa negara agar kepentingan tersebut dapat tercapai berdasarkan
pada keuntungan yang didapatkan oleh masing–masing pihak (Rizka, 2016).
23
merupakan kerja sama yang dilakukan oleh dua negara saja. Hubungan kerja sama
bilateral merupakan suatu kondisi yang menggambarkan hubungan timbal balik
antara dua pihak yang melakukan kerja sama, dengan aktor utamanya adalah negara
(Perwita & Yani, 2005). Dapat diartikan disini bahwa hubungan kerja sama bilateral
yang dilakukan oleh kedua negara merupakan sebuah hubungan timbal balik, yang di
mana kedua negara bekerja sama berdasarkan keinginan untuk mendapatkan
keuntungan dari hasil kerja sama yang dilakukan. Keuntungan yang dimaksud adalah
kepentingan nasional yang ingin diwujudkan kedua negara yang bekerja sama yang
dimanifestasikan dalam bentuk kooperasi. Pola kerja sama bilateral meliputi proses
(Perwita & Yani, 2005): Respon atau kebijakan aktual dari negara yang menginisiasi,
persepsi dari respon tersebut oleh pembuat keputusan di negara penerima, aksi balik
dari negara penerima keputusan, persepsi oleh pembuat keputusan dari negara
penginisiasi.
Kerja sama bilateral dalam penelitian ini berfokus pada bidang keamanan
non-tradisional dengan kasus tindak pindana siber lintas negara. Kerja sama
keamanan menggunakan kombinasi program dan kegiatan di mana mendorong dan
memungkinkan negara dan organisasi untuk bermitra dengan negara lain untuk
mencapai tujuan strategis. Bantuan luar negeri terdiri dari sejumlah program yang
disahkan secara hukum yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori umum bantuan
pembangunan, bantuan kemanusiaan, dan bantuan keamanan dengan tujuan strategis
untuk mempromosikan negara tuan rumah untuk jangka panjang dan stabilitas
regional. Dalam hal ini, seperti dibentuknya jaringan pemulihan aset yang diteliti
oleh penulis. Kegunaan kerja sama keamanan antar negara diharapkan dapat
membangun pertahanan secara domestik, pertahanan dan pembangunan internal
adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk mendorong
pertumbuhannya dan melindungi dari subversi, pelanggaran hukum, pemberontakan,
terorisme, dan ancaman lain terhadap keamanannya. Hal ini berfokus pada keamanan
dan membangun lembaga-lembaga sipil, sosial, dan ekonomi yang layak yang
menanggapi kebutuhan penduduk negara itu.
24
2.2 Alur Pemikiran
25
2.3 Hipotesis
26
BAB III
METODE PENELITIAN
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerja sama
antara Indonesia dan Belanda dalam menangani pengembalian asset melalui jejaring
pemulihan aset. Permintaan bantuan hukum Pemerintah Belanda kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang dikirim pada tanggal 10 November 2020 dan 22 Desember
2020. Aktor yang menandatangani permohonan bantuan hukum ini adalah Jaksa
Penuntut Umum, di Arnhem, mr. M. ten Velde, untuk pihak Belanda pada tanggal 10
November 2020 dan Kepala Komisi Pusat Belanda untuk Bantuan Hukum Timbal
Balik Dalam Perkara Kriminal, Ms K.G. Scheepers, untuk pihak Belanda pada
tanggal 22 Desember 2020. Permintaan bantuan hukum ini tentunya diharapkan dapat
memperat hubungan diplomasi antara kedua negara, juga dalam pertukaran informasi
serta kerja sama dalam ruang siber. Dengan keberadaan kerja sama ini, diharapkan
Indonesia dapat mengembangkan kerja sama keamanan siber dengan bekerja sama
dengan negara yang besar seperti Belanda.
Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah deskriptif,
dapat diartikan penelitian deskriptif memberikan gambaran dengan menggunakan
kata-kata untuk masalah penelitian. Memberikan gambaran juga ke suatu keadaan
atau peristiwa berdasarka fakta yang ada atau sebagaimana mestinya kemudian
diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan (Nugrahani, 2014). Dengan
menggunakan jenis penelitian deskriptif, penulis mencoba mengumpulkan fakta-fakta
kejahatan siber, jenis-jenis kejahatan siber, penanganan pemulihan aset, kerja sama
dalam menangani permasalahan tersebut oleh kedua negara yaitu Indonesia dan
27
Belanda, bentuk perjanjian yang ditanda tangani kedua negara, dan mekanisme kerja
sama yang telah dilakukan.
3.3 Pendekatan Penelitian
28
3.4.1 Studi Kepustakaan
3.4.2 Wawancara
29
kuesioner. Oleh karena itu, wawancara paling tepat di mana sedikit yang sudah
diketahui tentang fenomena studi atau di mana wawasan rinci diperlukan dari masing-
masing peserta (Gill, Stewart, Treasure, & Chadwick, 2008).
3.5 Sumber Data
Dalam penelitian ini, sumber data merupakan aspek yang sangat krusial dalam
menentukan kualitas hasil penelitian dan juga keabsahan dari penelitian itu sendiri.
Oleh karena itu, sumber data akan dikumpulkan menggunakan metode data primer
dan data sekunder.
3.5.1 Data Primer
Menurut (Hasan, 2002, p. 82) data asli adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di tempat oleh orang yang melakukan penelitian atau personel
terkait yang membutuhkannya. Data utama dapat diperoleh dari orang dalam yaitu
individu, seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data mentah tersebut
meliputi catatan wawancara, observasi lapangan, dan data informan.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan orang dari
sumber yang ada untuk penelitian (Hasan, 2002, p. 58). Data ini digunakan untuk
mendukung informasi utama yang diperoleh dari bahan pustaka, literatur, penelitian
sebelumnya, buku, dan lain-lain.
30
3.6.1 Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai data yang diperoleh dari lapangan
dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga diperlukannya perncatatan secara teliti
dan rinci. Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah untuk penelitian selanjutnya dalam pengumpulan data (Sugiyono,
2013). Reduksi data yang akan dilakukan penulis merupakan data yang diterima dari
hasil wawancara dengan narasumber, studi pustaka seperti laporan, jurnal, ataupun
dokumen resmi tentang kerja sama antara Indonesia dan Belanda. Data – data tersebut
akan penulis rangkum dan diteiliti serta pilih untuk menjadikan data tersebut dapat
digunakan atau tidak. Dilakukannya reduksi data dengan tujuan untuk memudahkan
informasi yang ada untuk dimasukan kedalam penulisan penelitian ini yang
dilakukan.
Hal terakhir yang harus dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah menarik
kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya (Sugiyono, 2013). Pada tahap
akhir ini penulis akan melakukan penarikan kesimpulan melalui data dan informasi
31
yang sudah ada yang telah dikaji kembali. Dengan ini, setelah semua tahap dilalui
akan memungkinkan penulis untuk mengambil sebuah kesimpulan yang telah
diverifikasi agar dapat membuat penelitian tersebut memiliki suatu kualitas, dan dapat
berkontribusi dalam pengembangan kerja sama siber Indonesia.
Teknik triangulasi yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah teknik
triangulasi sumber, Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi
tertentu dengan menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek
yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.
32
3.8 Tabel Rencana Waktu
2. Studi
Pendahulua
n
3. Penyusunan
Proposal
4. Ujian
Proposal
5. Revisi
Proposal
6. Pengambila
n Data
7. Pengolahan
Data
8. Penyusunan
Hasil
Penelitian
9. Ujian
Skripsi
10. Revisi
Skripsi
33
3.8.2 Tempat Penelitian
Proses pencarian data penelitian penulis mengenai lokasi wawancara dan studi
dokumentasi akan mencoba untuk disesuaikan dengan kondisi ketersediaan sumber
dan narasumber terkait, baik secara daring melalui platform Zoom Meeting, maupun
akan dilakukan secara luring, mengingat kondisi saat ini sedang dalam masa transisi
pandemi COVID-19. Adapun tempat rencana penelitian:
34
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
35
Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan antara lain adalah
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi. Dalam hal ini termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU TPPU
memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim
untuk memblokir sementara bahkan hingga merampas Harta Kekayaan
yang telah disita apabila Terdakwa meninggal dunia (Pasal 79 ayat (4) UU
TPPU).
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik
Dalam Masalah Pidana.
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption.
Untuk mekanisme perampasan aset didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) UU
Tipikor yang menyatakan: “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut”. Berdasarkan pasal tersebut, maka tindakan perampasan aset telah
diatur dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagai
upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan tersebut. Kemudian dalam Undang-
undang Korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan
melalui dua instrument hukum yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata
(Nugraha, 2020)
36
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengaturan mengenai
pengembalian aset negara dimasukkan ke dalam pidana tambahan yaitu perampasan
barang-barang tertentu, dan pengembalian aset dapat diganti dengan kurungan badan
jika tidak dapat diserahkan atau dibayarkan. Mengacu pada sistem yang terkandung
dalam KUHP tersebut, terlihat bahwa perampasan aset diidentifikasikan sama
dengan perampasan barang-barang yang termasuk ke dalam pidana tambahan, dan
apabila barang rampasan tidak diserahkan atau tidak dapat dibayar maka diganti
dengan kurungan penjara. Sedangkan dalam KUHAP, pengaturan mengenai
perampasan barang diatur lebih rinci. Sebagai peraturan pidana, kedua peraturan
tersebut tentunya menggunakan menggunakan asas dalam hukum pidana dimana
pengembalian aset hasil tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan terhadap tuntutan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Di satu sisi
pemerintah menginginkan aset negara yang dicuri dikembalikan kepada kas negara,
namun di pihak lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memberikan kemudahan dengan adanya uang pengganti tersebut, dan apabila tidak
dapat dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Upaya pidana tidak
memungkinkan untuk dikerahkan atau diberikan, hal ini dikarenakan tidak
ditemukan cukup bukti, tersangka/terdakwa/terpidana meninggal dunia, terdakwa
diputus bebas, adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas
untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.
37
untuk pengembalian kerugian keuangan negara. Selain itu, seperti umumnya
penanganan kasus perdata, mekanisme membutuhkan waktu yang sangat panjang
sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, hukum
acara perdata cenderung menghambat efektifitas pengembalian aset dikarenakan
memerlukan waktu yang relatif lama sampai putusan atas aset tersebut dapat
dieksekusi. Selain itu, beberapa hambatan lainnya seperti adanya biaya yang harus
dibayar oleh penggugat, adanya kemungkinan gugatan perlawanan dari pihak ketiga
terhadap aset yang akan dieksekusi, tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara,
tidak ada hakim ad hoc, adanya proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana
yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya
proses perdamaian yang harus ditempuh, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan
kesulitan dalam proses penegakan hukum perdata karena negara sebagai penggugat
harus mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan tergugat adalah pelaku tindak
pidana serta pembuktian tentang seberapa besarnya kerugian negara akibat tindak
pidana tersebut setelah terjadinya proses hukum dalam ruang lingkup hukum pidana
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 18 ayat (1) huruf b,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktiknya, UU Tipikor dinilai belum
cukup optimal untuk menjadi sarana pengembalian kerugian negara melalui jalur
perampasan aset secara pidana maupun perdata dikarenakan Undang-Undang saat ini
masih menitikberatkan pada putusan hukuman terhadap pelaku dibanding
pengembalian aset negara yang hilang untuk dikembalikan kepada negara sehingga
dibutuhkan produk hukum yang baru dalam mengatur mengenai mekanisme
pengembalian aset hasil tindak pidana.
38
penegak hukum dengan mengadopsi sistem hukum perampasan aset tindak pidana
tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana (non conviction based forfeiture)
(Nugraha, 2020). Sistem NCB asset forfeiture mengatur suatu negara untuk memiliki
kesempatan yang luas dalam merampas segala aset yang diduga merupakan hasil
tindak pidana dan aset-aset lain yang patut diduga sebagai sarana untuk melakukan
tindak pidana, khususnya yang termasuk dalam kategori transnational organized
crime. Adapun mekanisme NCB asset forfeiture didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu dengan proses
pengembalian aset dilakukan dengan cara penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan
perampasan aset. Secara formal, RUU PA Tindak Pidana tercantum di antara 189
judul RUU di dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019, tetapi RUU itu
tidak masuk ke dalam daftar prioritas tahunan. Istilah NCB asset forfeiture memang
belum dikenal jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga
belum ada definisi yang jelas terkait hal ini. Meskipun demikian, mekanisme
perampasan aset melalui sistem NCB asset forfeiture telah sejalan dengan beberapa
konvensi Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, seperti
International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism yang
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 dan UNCAC yang
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, dan memenuhi standar 40
Recommendations Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang
juga menggariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan, sehingga
sistem NCB asset forfeiture tetap dapat diterapkan. Dalam penelitiannya, penulis
menemukan terdapat beberapa negara yang telah berhasil dalam penerapan peraturan
tentang NCB asset forfeiture seperti Amerika, Inggris, Thailand, dan negara lainnya.
Selain konvensi internasional, Indonesia juga menetapkan beberapa peraturan yang
mendukung penerapan NCB asset forfeiture seperti:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
39
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
40
ini akan banyak mengundang argumentasi jika tidak diperolehnya kejelasan, alur
pikir, dan keseluruhan konsep yang ada di dalam RUU PA. Selain itu, terkait
kekuatan yang diandalkan pada informasi dan direksi penyidik diatur pada Pasal 8
Ayat 2 tentang Kejaksaan, Polri, KPK, dan PPNS untuk mengembangkan dan
bertindak berdasar dugaan/patut diduga (menduga). Verifikasi atas kemungkinan
perbedaan ragam, jenis, jumlah, dan nilai aset yang disita dari hasil dugaan para
penyidik baik Kejaksaan, Polri, KPK, atau penyidik pegawai negeri sipil (PPNS),
kemudian diserahkan ke Jaksa Agung, akan melibatkan kerja audit untuk keberanian
dan keahlian yang tidak sederhana. Berdasarkan perbandingan tersebut dapat
diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah sistem
penegakan hukum di Indonesia belum memiliki kerangka regulasi yang secara
komprehensif mengatur skema perampasan aset tanpa pemidanaan dan belum dapat
memaksimalkan pengembalian aset terutama dalam peraturan perundang-undangan
baik yang berkaitan dengan hukum materiil maupun hukum acaranya.
Tindak pidana yang mengambil hak suatu negara tidak saja semata-mata
merugikan keuangan negara, namun juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat sehingga dikategorikan sebagai extraordinary crime.
Penanganannya pun mengalami perubahan paradigma, dari penghukuman dan
penjeraan kepada penitikberatan pada pengembalian aset hasil tindak pidana yang
ditempatkan di negara lain. Oleh karena itu, PBB menetapkan penyitaan dan
perampasan hasil dan tindak pidana, terlihat dalam ketentuan sebagai berikut:
41
pada tanggal 20 April
2009
3. Drugs Convention 27 Maret 1989 Undang-Undang No. 7 24 Mei 1999
Tahun 1997
Sumber: (Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2023)
42
dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.”
Kemudian, khusus untuk membantu menghadapi masalah berat pencurian aset publik
dari negara berkembang, World Bank bermitra dengan UNODC, meluncurkan StAR
Initiative pada bulan September 2007. StAR Initiative merupakan bagian integral dari
Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan
perlunya bantuan terhadap negara berkembang dalam pengembalian aset curian. StAR
Initiative juga dapat untuk membantu memonitor penggunaan atau pemanfaatan aset
yang sudah dikembalikan kepada negara berkembang (Herdiansah, 2011). Kerja sama
legal internasional dari StAR Initiative ini disediakan oleh UNCAC. Prakarsa StAR
mendorong negara-negara untuk meratifikasi dan menerapkan kerangka kerja yang
telah ditetapkan dalam UNCAC.
Salah satunya adalah dengan perjanjian bantuan timbal balik masalah pidana
atau MLA. Pembentukan MLA dilatarbelakangi oleh adanya kondisi bahwa
perbedaan sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya
keinginan masing-masing negara untuk menggunakan sistem hukumnya sendiri
secara mutlak sehingga penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit.
Menyikapi hal tersebut, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana yang berlaku sejak 3 Maret 2006
(Wardani, 2021). Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam
Undang-Undang ini adalah didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana,
perjanjian antarnegara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional
(Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2008). UU
MLA tidak mengatur dalam ketentuan atau pasal khusus mengenai mekanisme untuk
perampasan aset, tetapi hanya mengatur secara umum prosedur yang harus dilalui
ataupun tata cara dalam memberikan atau meminta bantuan, UU ini mengatur secara
rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan
Pemerintah Republik Indonesia kepada negara diminta antara lain menyangkut
pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan bantuan untuk mencari atau
mengidentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk
mengupayakan kehadiran orang. Pasal 5 menentukan bahwa: 1. Bantuan dapat
43
dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, 2. Adanya perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan
prinsip reprositas. Undang-undang ini dimaksudkan untuk meletakkan landasan
hukum yang kuat guna mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah
pidana, sebagai pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta
dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan membuat
perjanjian dengan negara lain. Selama ini, Indonesia telah aktif dalam menginisiasi
perjanjian MLA dengan negara lainnya untuk membantu penegakan hukum dalam
negeri. Sampai saat ini, Indonesia telah mengesahkan sebelas perjanjian MLA baik
secara bilateral maupun regional antara lain dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
44
Vietnam Tahun 2015 ditetapkan pada 2015
tanggal 18 November 2015
8. Republik Indonesia – 2 Februari 2014 Undang-Undang No. 6 6 Juni 2019
Uni Emirat Arab Tahun 2019 ditetapkan pada
tanggal 13 Maret 2019
9. Republik Indonesia – 14 Desember Undang-Undang No. 10 13 Oktober 2019
Iran Tahun 2019 ditetapkan pada
tanggal 1 Agustus 2019
10. Republik Indonesia – Undang-Undang No. 5 14 September
Swiss Tahun 2020 ditetapkan pada 2021
tanggal 6 Agustus 2020
11. Republik Indonesia – Undang-Undang No. 5 18 Desember
Rusia Tahun 2021 ditetapkan pada 2021
tanggal 19 Oktober 2021
Sumber: (Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2023)
45
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, tidak ada satupun dari peraturan tersebut yang
mengatur mengenai mekanisme atau tata cara serta lembaga mana yang berwenang
menerima dan mengelola pengembalian aset negara hasil tindak pidana yang mana
akibatnya sering terjadi bahwa hasil dari tindak pidana tersebut diambil alih oleh
penegak hukum seperti Kejaksaan (Nugraha, 2020). PPA sebagai satuan kerja
Kejaksaan terbentuk berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Per006/A/JA/3/2014 tanggal 20 Maret 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: PER-009/A/ JA/01/2011 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
2021), bertanggung jawab memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia
secara optimal. Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa melalui PPA Kejaksaan, Indonesia mengadopsi sistem baru dalam penanganan
pengembalian aset dengan Integrated Asset Recovery System secara efektif, efisien,
transparan dan akuntabel serta dengan value (nilai-nilai) yang ditanamkan untuk
dipedomani oleh SDM PPA. Sistem ini dilakukan dengan mengintegrasikan dan
mengoptimalkan seluruh agensi, instansi dengan kewenangan-kewenangan yang ada
untuk berfokus kepada aset. PPA mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pemulihan
aset yang menjadi kewenangan Kejaksaan RI sesuai peraturan perundang-undangan
serta koordinasi dengan jaringan kerja sama nasional maupun internasional dalam
pemulihan aset. Penerapan prinsip dasar UNCAC di Indonesia melalui PPA sendiri
dalam pengembalian aset sudah dilakukan berbagai langkah-langkah baik melalui
jalur formal maupun informal. Kerja sama formal sering kali memakan waktu,
membutuhkan banyak sumber daya, serta memerlukan keahlian. Seiring dengan
perkembangan global, komunitas internasional berusaha menginisiasi upaya baru
melalui jalur informal guna melengkapi prosedur formal. Meskipun waktu
pembentukan PPA masih dini, PPA sudah mampu menjalin jaringan
internasional. Indonesia bergabung menjadi pengamat pada CARIN, jejaring
pemulihan aset informal di wilayah Eropa dengan PPA Kejaksaan sebagai kontak
poin untuk CARIN di Indonesia.
46
4.2 Pengembalian Aset di Belanda
47
penangkapan aset sebelum penilaian. Praktik ini melibatkan pembekuan dan
penyitaan sumber daya keuangan untuk mencegahnya digunakan untuk melakukan
kegiatan kriminal lebih lanjut atau menghindari keadilan. Alat hukum utama yang
digunakan oleh pemerintah Belanda untuk tujuan ini adalah Wet op de voorlopige
hechtenis (Wvh). Melalui undang-undang ini, kejaksaan berwenang untuk meminta
perintah dari hakim yang memungkinkan mereka untuk membekukan atau menyita
aset sebelum memulai proses penuntutan terhadap individu atau organisasi terdakwa.
Pengadilan harus terlebih dahulu diyakinkan bahwa ada cukup bukti kegiatan
terlarang sebelum mengeluarkan perintah. Setelah dikeluarkan, aset yang ditangkap
tidak dapat dilepaskan kecuali dikembalikan oleh jaksa pada akhir penyelidikannya,
atau sampai diperintahkan lain oleh keputusan pengadilan setelah persidangan. Dalam
kasus ini, jaksa juga dapat mempertimbangkan untuk mengajukan tuntutan
berdasarkan undang-undang lain yang berlaku serta melalui Wvh. Hal ini dapat
mencakup dana yang diperoleh secara curang, pencucian uang, penggelapan pajak,
dan pelanggaran pendanaan teroris. Dalam setiap kasus, jaksa penuntut perlu
membuktikan tanpa keraguan bahwa kejahatan telah dilakukan agar sanksi pidana
dapat diterapkan dengan sukses. Proses pidana terhadap mereka yang diduga terlibat
dalam kegiatan tersebut dapat dimulai jika ada cukup bukti yang mendukung klaim
tersebut. Kemudian jaksa dapat memutuskan untuk melanjutkan tuntutan pidana
untuk pencucian uang atau tidak tergantung pada penilaian dan penyelidikan kasus
tersebut.
48
dijatuhkan. Perintah tersebut mencegah hilangnya aset atau penghancuran bukti
potensial apa pun sebelum persidangan dan memungkinkan lembaga penegak hukum
mengamankan properti yang mereka yakini digunakan atau diperoleh dengan hasil
yang dihasilkan melalui aktivitas ilegal seperti pencucian uang. Pembekuan aset pra-
penilaian di Belanda adalah salah satu cara paling ampuh untuk menjaga aset sampai
persidangan dan memfasilitasi pemulihan sesudahnya. Hal ini memungkinkan pihak-
pihak yang terlibat dalam perselisihan untuk mencegah pihak ketiga men transfer
atau menyembunyikan aset selama menunggu persidangan. Penyitaan pra-peradilan
dapat dilakukan melalui perintah pengadilan atau melalui keputusan administratif.
Dalam hal penyitaan aset, hukum Belanda memberikan prosedur yang jelas untuk
barang berwujud dan tidak berwujud. Comtohnya, ketika menjalankan perintah
pengadilan, aset bergerak apa pun dapat disita jika pemilik telah diberikan
pemberitahuan tentang proses tersebut sebelumnya. Sedangkan untuk barang tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan harus terlebih dahulu diperoleh kuasa hukumnya
sebelum dapat dilakukan penyitaan. Selanjutnya, rekening bank hanya dapat
dibekukan setelah proses pelayanan pada pemegang rekening dan izin yang diberikan
oleh pengadilan. Risiko penyalahgunaan tindakan pra-penilaian juga tidak boleh
diabaikan. Untuk memastikan perlindungan yang tepat terhadap penyalahgunaan
sementara, ada beberapa perlindungan dalam hukum Belanda yang membatasi
bagaimana perintah ini digunakan. Ini termasuk membatasi ruang lingkup barang
yang akan disita, menetapkan tenggat waktu khusus untuk pengajuan aplikasi, dan
mewajibkan pemberitahuan kepada semua pihak yang berkepentingan sebelum
pelaksanaan perintah penyitaan.
49
melihat catatan keuangan, seperti rekening bank atau investasi, untuk menetapkan
kepemilikan dan hak hukum atas mereka. Setelah diidentifikasi, aset-aset ini perlu
dilindungi agar tidak dihamburkan oleh mereka yang menahannya sambil menunggu
proses pengadilan. Untuk memastikan pelestarian aset ini, mungkin perlu dilakukan
perintah penyitaan (conservatoir derdenbeslag) terhadap pihak ketiga yang
bertanggung jawab untuk pembayaran atas nama orang lain, atau bahkan perintah
penyitaan (vreemdelingenbeslagen) jika ada bukti bahwa orang asing warga negara
telah menggunakan bank yang berlokasi di Belanda untuk kegiatan pencucian uang.
Selain itu, dapat juga dilakukan tindakan penindakan terhadap barang bergerak yang
dikuasai oleh pihak lain yang mempunyai hubungan dengan mereka. Dalam hal ini
termasuk menangkap kapal, pesawat terbang dan kendaraan lain yang digunakan oleh
individu yang terkait; penjualan surat berharga yang diperintahkan pengadilan; dan
menyita barang berwujud sampai pembayaran diterima.
50
jangkauan. Penggunaan pelacakan aset dan akuntansi forensik telah menjadi semakin
umum dalam investigasi kriminal yang melibatkan penangkapan pra-penilaian aset di
Belanda karena keefektifannya dalam mengungkap kekayaan tersembunyi dan
mencegahnya hilang selamanya. Melalui analisis dan investigasi yang cermat,
penyelidik dapat menemukan bahkan sumber keuangan yang dijaga ketat sehingga
keadilan dapat ditegakkan.
51
pelaksanaan putusan asing. Sedangkan MLA untuk tindakan non-koersif dapat
diberikan tanpa adanya tindak pidana bersifat ganda. Sampai saat ini, Belanda
memiliki perjanjian bilateral tentang MLA dengan 21 negara.
52
Negara untuk menandatangani Ljubljana-The Hague Convention on International
Cooperation in the Investigation and Prosecution of the Crime of Genocide, Crimes
against Humanity, War Crimes dan kejahatan internasional lainnya. Dalam hal ini,
dapat disimpulkan bahwa Belanda terbuka untuk segala upaya penanganan
pengembalian aset baik melalui jalur formal maupun informal. Implementasi
penanganan pengembalian aset yang dilakukan Belanda yang efektif patut mendapat
pengakuan sebagai keberhasilan.
53
waktu yang relatif lama. Seiring perkembangan global terhadap berbagai
perancangan, pengadopsian hingga penetapan peraturan mengenai pengembalian aset
disertai dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang beragam dalam
pengimplementasiannya, diciptakannya inisiasi upaya baru pengembalian aset dengan
menggunakan jalur informal. Salah satunya melalui jejaring pemulihan aset yang
mana dalam penelitian ini membahas kerangka informal CARIN dalam menangani
kasus pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara antara Indonesia dan
Belanda. Pada dasarnya, kerja sama yang dilakukan oleh negara-negara anggota
jejaring pemulihan aset berdasarkan atas rasa kepercayaan walaupun belum adanya
hubungan diplomatik antar negara.
54
Permulaan resmi CARIN berlangsung selama Kongres Pendirian CARIN di
Den Haag, 22-23 September 2004. Tujuan kongres ini adalah pembentukan jaringan
informal para praktisi dan pakar dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan
bersama tentang metodologi dan teknik di bidang identifikasi lintas batas,
pembekuan, penyitaan, dan penyitaan hasil kejahatan. Diharapkan dengan jaringan ini
akan meningkatkan kerjasama internasional antara lembaga penegak hukum dan
peradilan, yang ke depannya akan memberikan pelayanan yang lebih efektif. Negara
bagian dan yurisdiksi berikut yang menghadiri kongres peluncuran adalah Austria,
Belgia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman,
Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg, Malta,
Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Republik Slovakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris Raya (termasuk Dependensi Kerajaan Inggris Raya
Isle of Man, Guernsey, Jersey, dan Gibraltar), dan AS. Sekretariat permanen CARIN
berbasis di Markas Besar Europol di Den Haag. Anggota CARIN bertemu secara
rutin pada Annual General Meeting (AGM) atau Rapat Umum Tahunan. Organisasi
ini diatur oleh Steering Group atau Kelompok Pengarah yang terdiri dari sembilan
anggota dan Kepresidenan tahunan bergilir. Kepresidenan CARIN saat ini diduduki
oleh Amerika Serikat pada periode tahun 2022-2023. Kepresidenan sebelumnya
diduduki oleh Polandia pada tahun 2018, kemudian Rumania pada tahun 2019, Belgia
pada tahun 2020, Spanyol pada tahun 2021-2022, dan kepresidenan berikutnya akan
diduduki oleh Prancis 2023-2024.
55
2014 Spanyol
2015 Guernsey
2016 Belanda
2017 Swedia
2018 Polandia
2019 Rumania
2020 Belgia
2021-2022 Spanyol
2022-2023 Amerika Serikat
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)
56
2012 Bulgaria, Czechia, Perancis, Guernsey, Hungaria, Irlandia,
Belanda, Spanyol, Amerika Serikat
2013 Bulgaria, Czechia, Perancis, Guernsey, Hungaria, Irlandia,
Spanyol, Swiss, Amerika Serikat
2014 Bulgaria, Czechia, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda,
Spanyol, Swiss, United States of America
2015 Bulgaria, Czechia, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda,
Spanyol, Swiss, Amerika Serikat
2016 Bulgaria, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda, Roman, Spanyol,
Swiss, Britania Raya
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)
Berbeda dengan anggota, status pengamat tersedia untuk negara bagian dan
yurisdiksi yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota status, dan badan-
badan bukan pribadi yang bersangkutan dengan identifikasi dan penyitaan hasil dari
kejahatan. Setiap anggota pengamat dapat mencalonkan dua wakil untuk menjadi
kontak jaringan. Negara atau yurisdiksi pengamat dapat mencalonkan satu dari
Penegak Hukum Agensi dan satu dari Otoritas Yudisial untuk menjadi kontak CARIN
mereka. Kantor Pemulihan Aset dapat mewakili penegakan hukum atau peradilan.
Status pengamat tidak memberikan hak kepada anggota untuk pemungutan suara
pada rapat pleno atau keanggotaan Kelompok Pengarah. Pengamat-pengamat CARIN
ialah Albania, Andorra, ARIN-AP, ARIN-CARIB, ARIN-EA, ARIN-SA, ARIN-WA,
57
Australia, Bosnia dan Herzegovina, Kanada, Grup Egmont, EUROHANYA, EROPA,
FYR Makedonia, Georgia, Islandia, Indonesia, Pengadilan Pidana Internasional,
Interpol, Israel, Kazakstan, Kosovo, Moldova, Monako, Montenegro, OLAF, RRAG,
Rusia, Serbia, Afrika Selatan, Thailand, Ukraina. Status rekanan untuk badan yang
meskipun tidak terlibat dengan operasional pertukaran penegakan hukum dan
informasi peradilan, tetapi menunjukkan strategi pelengkap untuk berperan dalam
pengidentifikasian dan penyitaan hasil tindak pidana. Setiap anggota asosiasi dapat
mencalonkan dua perwakilan untuk menjadi kontak jaringan. Rekanan tidak berhak
untuk memberikan suara pada rapat pleno atau keanggotaan Kelompok Pengarah.
Status rekanan CARIN adalah Council of Europe, International Monetary Fund
(IMF), UNODC, dan World Bank.
58
26. Islandia Pengamat
27. International Criminal Court (ICC) Pengamat
28. International Monetary Fund (IMF) Asosiasi
29. Interpol Pengamat
30. Irlandia Anggota
31. Isle Of Man Anggota
32. Israel Pengamat
33. Italia Anggota
34. Jerman Anggota
35. Jersey Anggota
36. Kanada Pengamat
37. Kosovo Pengamat
38. Kroasia Pengamat
39. Latvia Anggota
40. Liechtenstein Anggota
41. Lithuania Anggota
42. Luxembourg Anggota
43. Macedonia Pengamat
44. Malta Anggota
45. Moldova Pengamat
46. Monako Pengamat
47. Montenegro Pengamat
48. Norway Anggota
49. OLAF Pengamat
50. Perancis Anggota
51. Polandia Anggota
52. Portugal Anggota
53. Red de Recuperacion de Activos de GAFISUD (RRAG) Pengamat
54. Roman Anggota
55. Russia Pengamat
56. Serbia Pengamat
57. Slovak Anggota
58. Slovenia Anggota
59. Spanyol Anggota
60. Swedia Anggota
61. Swiss Anggota
62. Turki Anggota
63. Ukraina Pengamat
64. UNODC Pengamat
65. Yunani Anggota
66. World Bank Asosiasi
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)
59
CARIN saat ini memiliki 61 yurisdiksi anggota terdaftar, termasuk 27 negara
anggota UE dan 13 organisasi internasional. Hal ini membantu untuk menghindari
duplikasi, meningkatkan jangkauan geografis jaringan regional dan memungkinkan
titik kontak untuk terlibat di seluruh dunia ketika kasus melibatkan negara di luar
wilayah mereka sendiri. Pemohon dapat meminta bantuan dari jaringan CARIN
melalui telepon atau e-mail dengan menemukan kontak CARIN wilayah pemohon
dan menempatkan mereka untuk bekerja untuk pemohon dalam penyelidikan
keuangan dan penyitaan atau proses penyitaan. Kontak CARIN wilayah pemohon
akan bekerja dengan kontak CARIN lainnya untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan pemohon. Pemohon juga dapat berkomunikasi langsung dengan otoritas
yang tepat di yurisdiksi lain, dengan fasilitasi dari kontak CARIN pemohon. Kontak
CARIN mendukung proses pemulihan aset yang lengkap, mulai dari titik awal
penyelidikan yang melibatkan pelacakan aset, hingga pembekuan dan penyitaan,
pengelolaan, dan terakhir penyitaan/penyitaan, termasuk pembagian aset yang
diperlukan antar yurisdiksi. Perwakilan negara anggota disebut "titik kontak
nasional".
60
6. Bertindak sebagai kelompok penasihat untuk otoritas lain yang sesuai
7. Memfasilitasi, jika memungkinkan, pelatihan dalam semua aspek
penyitaan hasil kejahatan
8. Menekankan pentingnya kerjasama dengan pihak swasta
9. Mendorong para anggotanya untuk mendirikan kantor pemulihan aset
nasional.
61
perampasan, jika pihak pemohon ingin memastikan aset yang disita di
luar negeri akan dipulangkan atau dikembalikan kepada korban, jika
pihak pemohon khawatir tentang bagaimana repatriasi tersebut akan
berhasil dalam kasus pihak pemohon.
Cara kerja CARIN terbagi menjadi 3 yaitu identify atau identifikasi, secure
atau aman, dan confiscate atau sita. CARIN bekerja dimulai dengan mengidentifikasi
lokasi hasil kejahatan dimana pelaku mencoba menyembunyikan aset mereka dengan
membawanya melintasi perbatasan. Ketika aset kriminal teridentifikasi, titik kontak
CARIN akan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa aset tersebut
dilindungi dan diamankan. Titik kontak CARIN dapat memperoleh perintah
pembekuan, mengambil alih aset, atau menggunakan daya lain yang tersedia
untuknya. Langkah terakhir adalah penyitaan aset kriminal setelah penetapan akhir
oleh pengadilan. Permintaan bantuan atau penerimaan informasi melalui jalur jejaring
pemulihan aset yang tidak dilakukan secara resmi tanpa pengesahan atas dokumen,
bukti, atau pernyataan mengakibatkan adanya keterbatasan seperti informasi yang
diterima tidak dapat digunakan di depan pengadilan, namun kewenangan sepenuhnya
ada pada pengadilan, sehingga informasi yang berkaitan dapat digunakan sebagai
bukti di depan pengadilan jika pihak terdakwa atau pengacara tidak keberatan dengan
penggunaan informasi di pengadilan. Seandainya pihak terdakwa keberatan dengan
penggunaan informasi tersebut, maka pihak polisi atau jaksa dapat mengajukan
permohonan resmi yaitu MLA. Aset atau hasil bersih dari pelepasan aset tersebut
kemudian akan dialihkan ke negara atau ke badan yang ditetapkan pada putusan
pengadilan. CARIN dapat membantu setiap tahap proses pemulihan aset sebagai
berikut:
1. Pelacakan Aset:
62
a. Menemukan rekening bank dan investasi, real estat, perusahaan, mobil,
kapal, dan pesawat terbang, melalui penegakan hukum atau informasi
publik
b. Menemukan di mana dan bagaimana aset yang terkait dengan
tersangka dapat disembunyikan atau disembunyikan melalui
penggunaan struktur perusahaan, nominee, trust, dan lain-lain.
2. Pembekuan dan Penyitaan Aset
Permintaan pihak negara pemohon terhadap yurisdiksi lain untuk
membekukan atau menyita aset dalam kasus atau penyelidikan.
3. Manajemen aset
a. Permintaan pihak negara pemohon untuk otoritas asing menjaga aset
yang dibekukan dan mempertahankan nilainya sampai kasus selesai.
b. Permintaan pihak negara pemohon untuk otoritas asing tidak menjual
aset sebelum keputusan akhir.
4. Penyitaan/penyitaan aset
Permintaan pihak negara pemohon untuk meminta yurisdiksi lain
melaksanakan keputusan atau perintah penyitaan.
5. Berbagi Aset
Permintaan pihak negara pemohon untuk dapat mencapai kesepakatan
tentang repatriasi aset atau nilainya kepada pemerintah pihak negara
pemohon dari yurisdiksi yang telah menyita dan/atau melikuidasi aset
dalam kasus atau penyelidikan.
CARIN memiliki Strategic Plan atau Rencana Strategis yang disusun untuk
diimplementasikan selama 4 tahun. Setelah publikasi Laporan Tahunan ke-3,
Kelompok Pengarah akan mulai merevisi kembali daftar rencana untuk tahun-tahun
berikutnya. Berikut adalah CARIN Strategic Plan Actions for 2018 – 2021:
63
a. Menjalin Kerja Sama dengan Yurisdiksi di Luar ARIN
Menetapkan titik kontak; untuk memberikan pelatihan, nasihat teknis
dan bantuan; untuk mendukung inisiatif pemulihan aset: dan
mengundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan CARIN.
b. Menghubungkan Jaringan ARIN
Meningkatkan kerja sama dan pertukaran informasi antar ARIN, untuk
mendukung pengembangan ARIN, dan untuk memfasilitasi kontak
antar titik kontak yang berbeda ARIN
c. Perluas Hubungan dengan Mitra Internasional yang Bertujuan Untuk
Mengatasi Kejahatan Terorganisasi
Mengembangkan kontak dengan organisasi pengamat CARIN dan
untuk menjalin kontak dengan mitra lain (termasuk status
keanggotaan/pengawasan).
d. Meningkatkan Partisipasi Anggota CARIN Dalam Jaringan
Meningkatkan partisipasi dan keterlibatan titik kontak CARIN dalam
kegiatan jaringan dengan menyusun dan menerapkan standar untuk
keanggotaan dan membuat kelompok kerja.
2. Meningkatkan pertukaran informasi antar kontak poin CARIN
a. Mengamankan Pertukaran Informasi Antara Kontak Poin Carin
Mengidentifikasi sarana pertukaran informasi yang ada dan kebutuhan
Kontak Poin CARIN dan untuk mempromosikan penggunaan bentuk
pertukaran informasi yang aman yang ada.
b. Standardisasi Carin Permintaan Informasi dan Tanggapan
Menyiapkan panduan operasional berdasarkan Inisiatif Swedia dan
untuk mempromosikan penerapannya.
c. Pengumpulan Statistik
Menciptakan mekanisme pelaporan yang efisien dan melaksanakan
implementasinya.
3. Mengembangkan CARIN sebagai center of excellence
64
a. Membantu Dan Mendukung Anggotanya dengan Memberikan
Keahlian dan Pengalaman di Bidang Pemulihan Aset
Menyiapkan daftar pelatih CARIN untuk disebarluaskan kepada pihak-
pihak yang meminta; untuk memberikan pelatihan kepada yurisdiksi
yang meminta; mengumpulkan dan menyiapkan bahan pelatihan.
b. Mengembangkan dan Mempertahankan Kontak Dekat dan Kerjasama
dengan Lembaga Pelatihan Internasional
Menjalin kontak dengan lembaga pelatihan terkait; untuk memberikan
pelatihan, nasihat teknis dan bantuan; meningkatkan kerjasama dengan
lembaga pelatihan dengan mengikuti pertemuan, pelatihan dan
seminar; untuk mengambil bagian dalam penilaian kebutuhan
pelatihan dari lembaga-lembaga ini.
c. Memfasilitasi Berbagi Pengetahuan Tentang Sistem Hukum
Anggotanya dan Undang-Undang yang Terkait dengan Investigasi
Keuangan dan Prosedur Pemulihan Aset
Mengumpulkan informasi yang relevan dan menyebarluaskannya di
antara Titik Kontak CARIN
d. Pengumpulan dan Diseminasi Praktik Terbaik
Mengumpulkan contoh-contoh kerja sama antara kontak poin CARIN,
materi pelatihan, dan mempublikasikannya di situs web CARIN.
4. Mempengaruhi Kebijakan yang Terkait dengan Pemulihan Aset Kriminal.
a. Analisis Perundang-Undangan
Melakukan analisis undang-undang pemulihan aset dalam CARIN
untuk mengidentifikasi kesamaan yang akan membantu kerja sama dan
bantuan timbal balik, dan perbedaan atau hambatan yang dapat
mempengaruhi kerja sama.
b. Harmonisasi Hukum
Setelah analisis undang-undang, rekomendasi akan dibuat untuk
harmonisasi untuk meningkatkan kerjasama lintas batas.
c. Berbagi Aset
65
Mengidentifikasi dan menganalisis praktik saat ini dengan maksud
untuk mengembangkan posisi kebijakan yang dapat dipromosikan oleh
anggota CARIN.
d. Investasi Kembali Aset yang Dikembalikan ke Dalam Penegakan
Hukum dan Penuntutan
Mengidentifikasi skema dan undang-undang yang sudah ada dalam
CARIN dan untuk mengembangkan kebijakan atau praktiknya.
e. Penyitaan Berbasis Non Conviction
Mengidentifikasi anggota CARIN yang memiliki penyitaan berbasis
tanpa keyakinan dan mengidentifikasi hambatan yang ada dalam
kerjasama lintas batas.
f. Standar Internasional
Melakukan analisis perjanjian internasional dan standar FATF untuk
pemulihan aset. Bagaimana mereka dapat digunakan/diubah untuk
meningkatkan pemulihan aset baik secara domestik maupun
internasional.
66
BAB V
KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM PENGEMBALIAN
ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS NEGARA MILIK BELANDA
MELALUI CARIN
67
Gambar 5. 1 Penandatanganan LoI antara Indonesia dan Belanda oleh Kepala
BSSN dan Menteri Luar Negeri Belanda pada Tahun 2018
68
Gambar 5. 2 Pelaksanaan The 1st Cybersecurity Dialogue antara Indonesia dan
Belanda pada Tahun 2021
69
Secara substansi, diskusi cyber dialogue ini terbagi dalam enam agenda etama yaitu
Agenda I – Hukum Siber Internasional – United Nations Group Of Governmental
Experts (GGE) – Open-Ended Working Group (OEWG); Agenda II – Pembangunan
Kapasitas dan Kerjasama Bilateral; Agenda III, Kejahatan Siber Multilateral; Agenda
IV – Disinformasi; Agenda V – Strategi dan Kebijakan Siber selama Masa Pandemi;
dan Agenda VI – Terorisme Siber. Dalam kesempatan ini, delegasi Belanda yang
dipimpin oleh Duta Besar Siber Belanda, Nathalie Jaarsma, menyampaikan
intensinya untuk dapat melanjutkan dan meningkatkan kerja sama dengan Indonesia
ke depannya dalam bentuk MoU (Safitri, 2020).
Kerja sama kedua negara berlanjut dengan penandatanganan MoU pada hari
Senin, 9 Maret 2021 oleh Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi bersama Menteri
Luar Negeri Belanda Stephanus Abraham Blok, di Jakarta. Adapun dua MoU yang
ditandatangani adalah Memorandum of Understand Kerja Sama Pelatihan Diplomat
Indonesia serta Letter of Intent on Enhancing Bilateral Cooperation in the Field of
Women, Peace and Security. Dalam LoI kedua, mengenai isu women, peace and
security, yang dikatakan oleh Menlu Retno Marsudi sebagai salah satu isu prioritas
dalam politik luar negeri Indonesia.
70
Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, kedua negara
bekerja sama dalam menangani pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas
negara milik Belanda. Kesepakatan untuk bekerja sama antar kedua negara di bidang
keamanan juga didukung oleh hubungan yang sudah terjalin sejak lama di mana
kedua negara bergabung dalam organisasi jejaring pemulihan aset CARIN.
71
Pada masa pandemi COVID-19, kebutuhan dalam peralatan kesehatan
meningkat. Pandemi menciptakan kondisi yang sangat rentan karena tidak bisa
memproduksi obat dan alat kesehatan secara mandiri. Dalam upaya mengatasi
pandemi yang melanda seluruh dunia dalam kurun waktu hampir satu tahun ini,
dibutuhkannya solidaritas dan keterlibatan setiap negara untuk saling mendukung
dalam menghadapi krisis dan lonjakan kasus COVID-19 diantaranya dengan saling
mengirimkan bantuan berupa peralatan kesehatan, obat-obatan, vaksin maupun
oksigen. Sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda melalui Konsorsium Nasional
Alat Bantu atas nama pemerintah Belanda menugaskan Mediphos Medical Supplies
B.V. untuk memasok alat tes corona pada awal bulan September 2020. Nilai
keseluruhan pesanan adalah USD 6.880.750. Mediphos Medical Supplies B.V adalah
perusahaan yang berspesialisasi dalam impor, pemasaran, dan distribusi tes dan
instrument diagnostic untuk laboratorium klinis di Belanda, Belgia, dan Luxembourg.
Mediphos Medical Supplies B.V bekerja sama dengan perusahaan SD-Biosensor di
Korea sejak tahun 2016 sebagai pemasok berbagai tes, termasuk dalam pengadaan
alat kesehatan untuk penanganan COVID-19. SD-Biosensor adalah perusahaan
diagnostik in-vitro profesional yang bertujuan berkontribusi pada kualitas hidup yang
lebih tinggi dengan mendiagnosis penyakit secara akurat dan cepat. SD-Biosensor
mengembangkan dan menyediakan produk diagnostik yang memungkinkan analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif penyakit. Kedua perusahaan melakukan
korespondensi melalui e-mail sampai akhirnya disepakati untuk pembelian alat
kesehatan beserta jumlah dan harga yang sudah ditetapkan dari SD-Biosensor. Pada
tanggal 26 Oktober 2020, Mediphos Medical Supplies B.V masih belum menerima
alat kesehatan dari SD-Biosensor. Mediphos Medical Supplies B.V segera
menghubungi SD-Biosensor untuk memastikan pengiriman yang sudah disepakati,
namun pihak SD-Biosensor mengatakan bahwa tidak menerima pembayaran dari
Mediphos Medical Supplies B.V. Mediphos Medical Supplies B.V pun memeriksa
kembali riwayat korespondensi e-mail dengan SD-Biosensor dan ditemukan bahwa
mereka telah menjadi korban penipuan. Para pelaku kejahatan rupanya sudah
memantau selama proses korespondensi dan memperoleh akses e-mail korespondensi
72
antara kedua perusahaan. Mereka mendaftarkan nama domain internet yang baru,
yang sangat mirip dengan nama domain yang sebenarnya dari Mediphos Medical
Supplies B.V. dan SD-Biosensor, dan menggunakan ini untuk mengirim
korespondensi email palsu dan menyesatkan ke kedua perusahaan itu. Nama domain
sdbiosensor.com ternyata telah diubah menjadi sdbiosensor.co, nama domain
mediphos.com ternyata telah diubah menjadi medihpos.com. Sekitar tanggal 14
Oktober 2020, Mediphos Medical Supplies B.V. menerima permintaan melalui e-mail
untuk mengubah akun kontra ke mana jumlah sisa yang disepakati harus ditransfer. E-
mail ini dikirim oleh pelaku seakan-akan terlihat serupa berasal dari SD-Biosensor
dan tidak ada kecurigaan yang muncul di antara kedua perusahaan itu. Dengan
demikian, Mediphos Medical Supplies B.V. telah melakukan pembayaran sejumlah €
2.637.335,46 (US $ 3.065.375,00) pada tanggal 15 Oktober 2020 dan pelunasan pada
tanggal 20 Oktober 2020 sejumlah € 454.274,01 (US $ 532.500,-) seluruhnya dengan
total US $ 3.597.875,- masuk ke rekening BRI cabang Serang di Indonesia di mana
pembayaran yang seharusnya ditujukan kepada SD-BIOSENSOR melalui
Internasional Bank of Korea.
Pada hari Jumat, 30 Oktober 2020, A.C. van der Mark sebagai direktur
Mediphos Medical Supplies B.V. melaporkan penipuan dan / atau pelanggaran
komputer dan diduga dari perkumpulan kriminal terorganisir yang melibatkan tiga
orang atau lebih kepada Kesatuan Polisi Oost-Nederland dengan penyidik, Jorg
Ingmar Lefers (GLM04775), Brigadir Satuan polisi Oost-Nederland. Proses verbal ini
ditutup dan tandatangani di Apeldoorn pada tanggal 30 Oktober 2020 yang kemudian
dilimpahkan kepada Kejaksaan Daerah parket Belanda Timur. Di bawah tanggung
jawab mr. M. ten Velde, Jaksa Penuntut Umum, di Arnhem, dl bawah parket/nomor
berkas kejaksaan, dibuka penyidikan pidana terhadap N.N. yang mana diduga
bersalah atas: penipuan, pelanggaran komputer, pencucian uang, dan pencurian.
Pemerintah Belanda mengirimkan permintaan bantuan hukum kepada otoritas
Indonesia yang berwenang pada tanggal 10 November 2020. Kemudian, Kepala
Komisi Pusat Belanda, Ms K.G. Scheepers, mengirimkan kembali permintaan MLA
73
pada tanggal 22 Desember 2020 untuk mengkonfirmasi permintaan pembekuan dana
oleh Financial Intelligence Unit (FlU) di Belanda, kepada FlU di Indonesia (PPATK)
pada hari Rabu, 4 November 2020 dan permintaan bantuan hukum yang sudah
dikirimkan sebelumnya. Proses permintaan bantuan hukum ini difasilitasi oleh
jejaring pemulihan aset wilayah eropa, CARIN, yang mana contact point CARIN di
Indonesia yaitu Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia.
Sidang pertama dilakukan pada bulan April 2021 di Kejaksaan Negeri Serang
terhadap empat terdakwa. Pada proses persidangan, Tim JPU di Kejaksaan Negeri
Serang berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Besar Belanda di Indonesia serta kuasa
dari perusahaan Belanda dalam pemeriksaan keterangan atau kesaksian korban secara
virtual yang difasilitasi oleh Law Officer (LO) pada Kedutaan Besar Belanda di
Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, terbukti bahwa uang yang
dibekukan dalam rekening terdakwa tersebut adalah hasil dari kejahatan. Maka dari
itu, JPU menuntut barang bukti berupa uang tersebut untuk dikembalikan kepada
Mediphos Medical Supplies B.V. sebagai pihak yang berhak atau pihak korban.
74
Setelah dituntut, hakim menilai tuntutan tersebut sesuai dengan surat dakwaan yang
menjadi acuan pembuktian perkara di mana dalam putusannya majelis hakim
Pengadilan Negeri Serang memutuskan selain terdakwa bersalah dan dihukum
penjara, barang bukti ditemukannya uang ini diputus dan dikembalikan kepada
Mediphos. Perkara ini memperoleh kekuatan hukum tetap di mana dalam Putusan
salah satu terpidana, yakni Be’elen Ahdhiwijaya Als Dani, nomor Putusan
240/Pid.Sus/2021/PN.Srg tanggal 19 Agustus 2021, terhadap barang bukti uang
sejumlah total Rp. 27.922.883.136,- dikembalikan kepada Mediphos Medical
Supplies B.V.
75
Agung Kuntadi, Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro, dan Kabag TU Pimpinan
Hapsari Dewi dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Serang Freddy
Simanjuntak. Sedangkan dari Belanda dihadiri oleh Duta Besar Kerajaan Belanda
untuk Indonesia Yang Mulia Lambert Grijns didampingi Atase Kepolisian Belanda
pada Kedutaan Besar Belanda di Jakarta Gerard van Heerwaarde, dan dari Italia
adalah Duta Besar Italia untuk Indonesia Yang Mulia Benedetto Latteri didampingi
Sekretaris I pada Kedutaan Besar Italia di Jakarta Giovanni Brignone. Aset tersebut
diserahkan dalam bentuk simbolis berupa setoran Bank Mandiri Cabang Kota Serang
dari JAM Pidum, Fadil Zumhana, kepada Duta Besar Belanda dengan jumlah
Rp27.922.726.057.
Jaksa Agung juga menerima penghargaan dari Duta Besar Kerajaan Belanda
untuk Indonesia. Penghargaan ini diberikan karena keberhasilan Kejagung dalam
mengembalikan aset perusahaan di Belanda terkait tindak pidana pencucian uang atau
TPPU.
76
Gambar 5. 6 Penerimaan Penghargaan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk
Indonesia
77
hukum yang ada di negaranya. Meskipun tidak semua negara yang tergabung dalam
jejaring pemulihan aset memiliki hubungan diplomatik, justru dengan adanya jejaring
pemulihan aset ini dapat menjadi fondasi hubungan antar negara untuk melakukan
kerja sama di masa yang akan datang. Sehingga penggunaan jalur informal melalui
jejaring pemulihan aset diharapkan akan terus bertahan dalam jangka waktu yang
panjang.
78
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
79
penjeraan pelaku hingga penitikberatan pada pengembalian aset hasil tindak pidana.
Oleh karena itu, PBB menetapkan UNCAC pada tahun 2003 sebagai pedoman
penanganan tindak pidana korupsi di negara-negara anggota konvensi. UNCAC
menetapkan MLA menjadi jalur utama dalam penanganan pengembalian aset hasil
tindak pidana. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan MLA tidak selalu mudah
dikarenakan keputusan tergantung pada negara yang diminta untuk bantuan timbal
balik dengan hak untuk menolak karena suatu alasan tertentu. Maka dari itu,
diperlukan pembuatan perjanjian bilateral ataupun multilateral antar negara dalam
penanganan masalah-masalah tindak pidana dalam hal ini yang bersifat transnasional
sehingga ke depannya dapat menjadi dasar atau payung hukum dalam melakukan
kerja sama internasional. Namun, pada kenyataannya, proses pembuatan perjanjian
antar negara juga membutuhkan waktu yang relatif lama. Maka dari itu, UNCAC
menjadikan pengembalian aset sebagai prinsip dasar dari konvensi ini yang mana
berarti diharuskan untuk negara-negara pihak melakukan usaha seluas-luasnya dalam
bekerja sama dan memberi bantuan untuk penyelamatan aset sehingga
diperbolehkannya pengambilan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam hal ini,
diciptakannya inisiasi baru untuk upaya pengembalian aset yang lebih efektif dan
efisien dengan menggunakan jalur informal atas dasar itikad baik, kesungguhan,
kemauan, kemampuan, dan kepercayaan antar negara seperti dibentuknya jejaring
pemulihan aset.
Dalam penelitian ini, Indonesia dan Belanda melakukan kerja sama dalam
menangani pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda
pada tahun 2021 melalui jejaring pemulihan aset di wilayah Eropa yaitu CARIN.
Kerja sama ini dapat dilakukan berlandaskan konvensi UNTOC yang mana kedua
negara telah meratifikasi dan memberlakukan penggunaan hukumnya. Berdasarkan
hasil penelitian ini, implementasi penggunaan kerangka informal jejaring pemulihan
aset CARIN dalam penanganan kasus pengembalian aset hasil tindak pidana siber
lintas negara antara Indonesia dan Belanda dinyatakan berhasil tanpa hambatan dan
kendala sampai pada tahap pengembalian aset kepada Belanda. Dalam proses
80
pengimplementasian kerja sama, kedua negara melalui lembaga yang berwenang
dalam menangani kasus ini sudah sesuai dengan pola pendekatan penegakan hukum
pengembalian aset dengan pendekatan follow the asset, serta memperluas jangkauan
deteksi terhadap beneficial ownership. Peran dari jejaring pemulihan aset sendiri
sudah sesuai dengan yang diharapkan sebagai sebuah metode alternatif penanganan
pengembalian aset dengan mekanisme yang lebih mudah, efektif, dan efisien.
Penulis menarik kesimpulan bahwa upaya pengembalian aset merupakan
suatu proses yang kompleks, dan multidisiplin, bahkan dalam keadaan yang ideal
sekalipun. Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
pengembalian aset hasil tindak pidana yang bersifat transnasional. Pertama, kemauan
politik negara, baik itu kemauan politik pemerintah, parlemen maupun lembaga
yudikatif. Kemauan politik parlemen berkaitan dengan seperangkat aturan hukum
yang harus disiapkan dalam rangka pengembalian aset, sedangkan kemauan politik
pemerintah dan lembaga yudikatif dibutuhkan untuk mengambil langkah hukum
dalam penegakan aturan tersebut tanpa suatu tekanan psikologis ataupun tekanan
politik. Kedua, sistem hukum. Terkait pengembalian aset, yang sangat dipentingkan
adalah harmonisasi perundang-undangan dan sistem peradilan. Harmonisasi bertujuan
agar tidak terjadi tumpang tindih antar berbagai undang-undang, karena dalam
konteks Indonesia, kejahatan yang berpotensi mencuri aset negara mempunyai rezim
hukum tersendiri sehingga proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan
tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu proses pengembalian
aset kejahatan korupsi harus dilakukan secara efisien, efektif dan koordinatif di antara
institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk itu dengan pembagian
tugas yang proporsional dan profesional. Ketiga, kerja sama kelembagaan. Berkaitan
dengan pengembalian aset tindak pidana, kerja sama kelembagaan yang dimaksud
adalah kerjasama antar lembaga-lembaga yudisiil dan lembaga-lembaga ekstra
yudisiil. Hal ini karena pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan
kejahatan, dapat saja aset tersebut berada dalam rezim hukum keperdataan sehingga
tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga terhadap aset tersebut.
Selain itu, tidak selamanya pula aset yang akan dikembalikan berwujud uang,
81
deposito, giro atau sejenisnya, akan tetapi aset tersebut juga dapat berwujud benda
termasuk di antaranya adalah tanah. Keempat, kerja sama internasional. Dalam
rangka pengembalian aset kejahatan, kerja sama internasional mutlak diperlukan
karena aset yang dicuri biasanya disimpan di luar wilayah teritorial Indonesia.
Berkaitan dengan kerjasama internasional, paling tidak ada dua prinsip yang harus
dipenuhi yaitu prinsip kepercayaan dan prinsip resiprokal. Prinsip kepercayaan
didasarkan pada kepercayaan penuh bahwa di luar wilayah teritorial suatu negara
semua telah ditetapkan secara benar atas dasar suatu kerjasama. Sedangkan prinsip
resiprokal atau prinsip timbal balik adalah jika suatu negara mengharapkan
perlakukan yang baik dari negara lain maka negara tersebut juga harus memberi
perlakuan yang baik terhadap negara lain.
Oleh karena itu, inisiasi upaya baru melalui jalur informal merupakan sebuah
pelengkap prosedur formal. Baik jalur formal melalui MLA, maupun jalur informal
melalui jejaring pemulihan aset, keduanya saling menyempurnakan kekurangan yang
ada. Namun, dalam rangka percepatan penyelesaian pengembalian aset hasil tindak
pidana, kerja sama melalui jalur informal menjadi sebuah terobosan yang dinilai lebih
efektif. Kerja sama melalui jejaring pemulihan ini akan memberikan dampak positif
bagi suatu negara, tidak hanya meningkatkan citra di mata dunia internasional tetapi
juga akan membangun hubungan diplomatik yang baik dan membentuk, serta
meningkatkan kerja sama dalam sinergitas penegakan hukum yang mumpuni, sigap
dan siap untuk menghadapi konflik di masa yang akan datang.
6.2 Saran
82
yang tergabung dalam perjanjian dan organisasi internasional, yang mana hal ini perlu
untuk terus ditingkatkan.
Dengan adanya peristiwa hukum yang dialami oleh Perusahaan Belanda yang
berada di wilayah hukum Indonesia, maka hal ini dapat menjadi momentum bagi
kedua negara terutama Indonesia untuk dapat melakukan kerja sama yang lebih intens
dan berkelanjutan seperti dituangkan ke dalam perjanjian resmi mengenai program
kerja sama di bidang hukum. Bentuk kerja sama ini selain untuk meningkatkan
kemitraan, tetapi juga dalam rangka meningkatkan upaya untuk menghadapi
kejahatan transnasional sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara masing-masing. Hal ini mengingat bahwa kejahatan lintas
negara, seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, ekonomi, siber, narkotika,
lingkungan, maupun perdagangan orang, serta dalam hal ini terkait pengembalian
aset, semakin canggih, modern, dan memiliki modus operandi yang tidak sederhana.
Bentuk kerja sama lainnya dalam rangka penegakan supremasi hukum, juga dapat
dilakukan dengan mengadakan workshop atau pelatihan Bersama antara negara
seperti pertukaran keahlian dan praktik-praktik terbaik pada topik-topik yang menjadi
kepentingan bersama, pertukaran materi hukum mengenai undang-undang, sistem
hukum, dan institusi hukum pada negara masing-masing, pertukaran informasi terkait
metodologi dan mekanisme penanganan tindak pidana, serta peningkatan dan
pengembangan kontak profesional antara para pemerintah yang berwenang. Selain
itu, keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah instrumen
hukum internasional maupun hukum nasional yang ada, merupakan suatu
keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai suatu kesatuan undang-undang oleh
Indonesia sehingga terdapat mekanisme yang komprehensif dalam pelaksanaannya.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, D. (2017). Kejahatan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Processor.
Arianto, A. R., & Anggraini, G. (2019). Membangun Pertahanan dan Keamanan Siber
Nasional Indonesia Guna Menghadapi Ancaman Siber Global Melalui Indonesia
Security Incident Response Team On Internet Infrastructure (ID-SIRTH). Jurnal
Pertahanan & Bela Negara, Volume 9, No. 1.
Arifin, R., Utari, I. S., & Subondo, H. (2016). Upaya Pengembalian Aset Korupsi yang
Berada di Luar Negeri (Asset Recovery) dalam Penegakan Hukum Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law Studies, Volume 1, Nomor
1.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. (2008). Analisis dan
Evaluasi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Retrieved from Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
RI: https://bphn.go.id/dpage/reports/res_anev
Badan Siber dan Sandi Negara. (2021, Januari 21). Badan Siber dan Sandi Negara. Retrieved
from Badan Siber dan Sandi Negara: https://bssn.go.id/tingkatkan-kerjasama-
bilateral-bssn-gelar-the-1st-cybersecurity-dialogue-indonesia-belanda/
Chairuddin, M. (2021). Dubes Italia dan Belanda Beri Penghargaan kepada Jaksa Agung RI.
Jakarta: Ulasan.co.
84
Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. (2023). OTORITAS PUSAT REPUBLIK INDONESIA untuk Bantuan
Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana dan Ekstradisi KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA. Retrieved from
https://centralauthority.kemenkumham.go.id/mla-and-extradition-treaties:
https://centralauthority.kemenkumham.go.id/mla-and-extradition-treaties
Firdaus, A., & Prasetyo, H. (2021). Pengembalian Aset (Asset Recovery) Dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang Lintas Negara. Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora,
Volume 8, Nomor 3.
Gill, P. W., Stewart, K. F., Treasure, E., & Chadwick, B. (2008). Methods of Data Collection
In Qualitative Research: Interviews and Focus Groups. British Dental Journal,
Volume 204.
Hansen, L., & Nissenbaum, H. (2009). Digital Disaster, Cyber Security, and the Copenhagen
School. International Studies Quarterly, Volume 53, Nomor 4.
Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Edisi: Cet.
1. Bogor: Ghalia Indonesia.
Helaluddin, & Wijaya, H. (2019). Analisis Data Kualitatif Sebuah Tinjauan Teori dan
Praktik. Edisi Pertama, Cetakan Ke-1. Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.
Herdiansah, H. (2011). In Mekanisme dan Tata Kelola Pengembalian Aset Negara Hasil
Tindak Pidana Korupsi (p. 58). Depok.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. (2021). Peran Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai
Upaya Pengembalian Kerugian Negara. Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
85
Kuhlthau, C. C., Maniotes, L. K., & Caspari, A. K. (2012). Guided Inquiry Design: A
Framework for Inquiry in Your School. Santa Barbara: Libraries Unlimited.
Latukau, F., & Wulandari, W. (2019). Pengadopsian Uncac Mengenai Pengembalian Aset
Hasil Korupsi Yang Dibawa Atau Disimpan Ke Luar Negeri Dalam Penegakan
Hukum Indonesia. Jurnal Belo, Volume V, Nomor 1.
Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Maurer, T., & Morgus, R. (2014). Compilation of Existing Cybersecurity and Information
Security Related Definitions. New America Research Report.
Merdeka.com. (2018). Indonesia dan Belanda perkuat kerja sama bidang keamanan siber.
Merdeka.com.
Perwita, A., & Yani. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Safitri, K. (2020). Pelatihan Diplomat, Indonesia Kerja Sama dengan Belanda. Kompas.com.
Saragih, Y. M., & Azis, D. A. (2020). Perlindungan Data Elektronik Dalam Formulasi
Kebijakan Kriminal Di Era Globalisasi. Soumatera Law Review, Volume 3, Issue 2.
Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
86
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suud, A. K. (2020). Optimization Of The Role Of Asset Recovery Center (PPA) Of The
Attorney-General"s Office Of The Repunlic Of Indonesia In Asset Recovery Of
Corruption Crime Results. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 9, Nomor 2.
Triwahyuni, D., & Wulandari, T. A. (2016). Strategi Keamanan Cyber Amerika. Jurnal Ilmu
Politik dan Komunikasi, Volume VI, Nomor 1.
United Nations Convention against Corruption. (2007). United Nations Treaty Series Vol.
2349 Pasal 51. In UNCAC 2003 (p. Pasal 51). New York: United Nations.
Wardani, A. Y. (2021). Menelah Potensi Mutual Legal Assistance dalam Penegakan Hukum
di Indonesia. Jurnal Verstek Volume 9 Nomor 3 Bagian Hukum Acara Universitas
Sebelas Maret, 546.
Wibawa, I. (2017). Cyber Money Laundering (Salah satu bentuk White Collar Crime abad
21). Yudisia, Volume 8, Nomor 2.
87
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pertanyaan oleh:
Naudy Finomitya Fitrah Alyalira
Mahasiswa Hubungan Internasional S1
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Judul Skripsi: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER
LINTAS NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY
NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN 2021
Narasumber : Banu Laksmana, SH, LLM
Tanggal Wawancara : 7 Juni 2023