Anda di halaman 1dari 119

Judul Skripsi:

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS


NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY
NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA
TAHUN 2021

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi prasyarat awal memperoleh gelar


sarjana Ilmu Hubungan Internasional (Strata-1)

Nama : Naudy Finomitya Fitrah


Alyalira NIM: 1910412147

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2023
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS
NEGARA
MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY NETWORK
(CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN 2021

Diajukan untuk melengkapi dan


memenuhi prasyarat awal memperoleh gelar
sarjana Ilmu Hubungan Internasional
(Strata-1)
Disusun oleh:

Naudy Finomitya Fitrah Alyalira-


1910412151

Dosen Pembimbing 1: Adi Rio Arianto, S.IP., MA

Dosen Pembimbing 2: M. Chairil Akbar Setiawan, S.I.P., MA

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS


ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
JAKARTA
2023

I
PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang
dikutip maupun yang dirujuk telah dinyatakan dengan benar:

Nama : Naudy Finomitya Fitrah Alyalira

NIM : 1910412151

Program Studi : Hubungan Internasional

Bilamana pada kemudian hari ditemukan ketidak-sesuaian


dengan pernyataan saya ini, maka saya bersedia untuk bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Jakarta, Juni 2023

(Naudy Finomitya Fitrah Alyalira)

I
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,


saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Naudy Finomitya Fitrah Alyalira

NIM : 1910412147

Program Studi : Hubungan Internasional

Konsentrasi : Kerja Sama Internasional

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Hak bebas Royalti Non
Eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya saya yang berjudul :

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS NEGARA


MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY NETWORK (CARIN)
ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN 2021

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty ini,
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawar dan mempublikasikan skripsi selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai Penulis/Pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, Juni 2023

(Naudy Finomitya Fitrah Alyalira)

II
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi diajukan oleh:

Nama : Naudy Finomitya Fitrah Alyalira

NIM : 1910412147

Program Studi : Hubungan Internasional

Judul Skripsi : “PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK


PIDANA SIBER LINTAS NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET
RECOVERY INTERAGENCY NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA
DAN BELANDA PADA TAHUN 2021”

Telah berhasil dipertahankan dihadapkan Tim Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana pada
Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Adi Rio Arianto, S.IP., MA M. Chairil Akbar Setiawan, S.IP., MA

Mengetahui
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UPN “Veteran” Jakarta

Andi Kurniawan, S.Sos., M.Si

III
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini tepat waktu. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta. Judul yang dipilih penulis pada kesempatan kali ini adalah
“PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS
NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY
NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN
2021”

merupakan hasil dari upaya penulis dalam mengeksplorasi dan


menyampaikan pengetahuan serta pemahaman yang penulis peroleh terkait topik
yang sedang dibahas. Penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik
tanpa adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak selama penyusunan
penelitian ini. Oleh karennya, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, inspirasi, dan
bantuan dalam proses penyusunan penelitian ini. Ucapan terima kasih ini penulis
tujukan kepada:

1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia, petunjuk serta


berbagai nikmat termasuk rezeki dan kesehatan bagi peneliti sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.
2. Mama dan Bapak, selaku orang tua penulis yang selalu mendoakan
dan memberikan dukungan yang luar biasa dalam segala aspek.
3. Bapak Andi Kurniawan, S.Sos., M.Si selaku Kepala Program Studi
Hubungan Internasional.
4. Bapak Adi Rio Arianto, S.IP., MA dan Bapak M. Chairil Akbar
Setiawan, S.IP., MA selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih

iv
atas arahan dan motivasi selama masa bimbingan pembuatan skripsi
ini hingga akhir.
5. Bapak Dr. Bambang Susanto, MA selaku dosen penguji sidang
proposal.
6. Anangga Dwipasoca, Fellanita Ayudya, Naufal Pranasetyo, Nafiis
Lazuardi, Indracapa Bhuwana, Nadhirastya Delnitira, dan Nabila
Enofalifa selaku saudara penulis tercinta, my survival kit, yang selalu
mendoakan dan memberikan dukungan yang terbaik.
7. My blue, Mukmin Putra Bungsu yang selalu menemani penulis
disertai doa dan dukungan agar dapat menyelesaikan skripsi tepat
waktu.
8. Agnes Florince, Risty Khairiendra, dan Tarisya Alifia yang telah
menemani penulis selama 4 tahun di masa perkuliahan, since day
one.

9. Mayasti Dyah Pramadewi, sisters by heart, yang selalu mendoakan,


memberikan dukungan, meluangkan waktu dan tenaga untuk
membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini berjalan.

10. Maysista Deviani dan Hansya Alfiatin selaku sahabat penulis sejak
SMP yang setia hingga saat ini selalu mendoakan dan mendukung
penulis.

11. Amalia Az-zahra selaku sahabat penulis sejak SMA yang setia hingga
saat ini selalu mendoakan dan mendukung penulis.
12. Segenap rekan-rekan seperjuangan Hubungan Internasional 2019
yang sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi.
13. Willie dan anak-anaknya selaku peliharaan penulis sebagai my free
therapy, penghibur dan pelepas penat penulis dalam melakukan
penelitian.

v
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
membantu penulis dalam penelitian skripsi hingga akhir.
15. Terima kasih ke pada diri saya sendiri. Terima kasih sudah kuat,
bertahan, dan berjuang hingga saat ini. You’re great, we’re great. This
one’s for you.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi dalam
bidang penelitian yang penulis teliti. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih
memiliki keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan yang
bersifat membangun penulis harapkan demi perbaikan dan pengembangan
penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, Juni 2023

(Naudy Finomitya Fitrah Alyalira)

vi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS.........................................................................I

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK


KEPENTINGAN AKADEMIS............................................................................II

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................III

KATA PENGANTAR..........................................................................................IV

DAFTAR ISI.........................................................................................................vii

DAFTAR SINGKATAN.........................................................................................x

DAFTAR TABEL.................................................................................................xii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiii

ABSTRAK...........................................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................14

1.3 TUJUAN PENELITIAN................................................................................15

1.4 MANFAAT PENELITIAN............................................................................15

1.4.1 Manfaat Akademis.................................................................................15

1.4.2 Manfaat Praktis.....................................................................................16

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN......................................................................16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KERANGKA PEMIKIRAN..........................................................................18

vii
2.1.1 Keamanan Siber....................................................................................18

2.1.2 Tindak Pidana Siber Lintas Negara....................................................21

2.1.3 Kerja Sama Bilateral.............................................................................23

2.2 ALUR PEMIKIRAN......................................................................................25

2.3 HIPOTESIS....................................................................................................26

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 OBJEK PENELITIAN..................................................................................27

3.2 JENIS PENELITIAN.....................................................................................27

3.3 PENDEKATAN PENELITIAN....................................................................28

3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA.............................................................28

3.4.1 Studi Kepustakaan................................................................................29

3.4.2 Wawancara.............................................................................................29

3.5 SUMBER DATA.............................................................................................30

3.5.1 Data Primer............................................................................................30

3.5.2 Data Sekunder.......................................................................................30

3.6 TEKNIK ANALISIS DATA..........................................................................30

3.6.1 Reduksi Data..........................................................................................31

3.6.2 Penyajian Data.......................................................................................31

3.6.3 Penarikan Kesimpulan/Verifikasi........................................................31

3.7 TEKNIK KEABSAHAN DATA....................................................................32

3.8 TABEL RENCANA WAKTU........................................................................33

3.8.1 Waktu Penelitian...................................................................................33

3.8.2 Tempat Penelitian..................................................................................34

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

viii
4.1 PENGEMBALIAN ASET DI INDONESIA................................................35

4.2 PENGEMBALIAN ASET DI BELANDA....................................................47

4.3 CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY NETWORK...................53

4.3.1 Pengembalian Aset Melalui Camden Asset Recovery Interagency


Network (CARIN)...........................................................................................62

BAB V KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM


PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS
NEGARA MILIK BELANDA MELALUI CARIN

5.1 KESEPAKATAN INDONESIA DAN BELANDA.......................................67

5.2 MEKANISME KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM


PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS
NEGARA MILIK BELANDA MELALUI CARIN..........................................71

5.3 PENGEMBALIAN ASET MILIK BELANDA OLEH INDONESIA.......75

BAB VI PENUTUP

6.1 KESIMPULAN...............................................................................................79

6.2 SARAN............................................................................................................82

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................84

LAMPIRAN

ix
DAFTAR SINGKATAN

APJII : Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia


ARIN-AP : The Asset Recovery Interagency Network for Asia Pacific
ARIN-CARIB : The Asset Recovery Interagency Network for the
Caribbean
ARIN-EA : The Asset Recovery Interagency Network for East Africa
ARINSA : The Asset Recovery Interagency Network for Southern
Africa
ARIN-WA : The Asset Recovery Interagency Network for West Africa
Bareskrim : Badan Reserse Kriminal
BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional
BSSN : Badan Siber dan Sandi Negara
CARIN : Camden Asset Recovery Interagency Network
CSTB : Computer Science and Telecommunications Board
CoSP : Conference of States Parties
ECOSOC : Economic and Social Council
FAO : Food and Agriculture Organization
FATF : Financial Action Task Force
HAM : Hak Asasi Manusia
ICPO : International Criminal Police Organization
ILO : International Labour Organization
IMF : International Monetary Fund
INTERPOL : The International Criminal Police Organization
JPN : Jaksa Pengacara Negara
JPU : Jaksa Penuntut Umum
Kemenkumham : Kementerian Hukum dan HAM
Kemenlu : Kementerian Luar Negeri
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

x
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
LoI : Letter of Intent
Menko : Menteri Negara Koordinator
MoU : Memorandum of Understanding
MLA : Mutual Legal Assistance
NCB : National Central Bureau
NCB Asset Forfeiture : Non-conviction Bassed Asset Forfeiture
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PN : Prioritas Nasional
Polhukam : Politik, Hukum, dan Keamanan
Polkamwil : Perjanjian Internasional, Direktorat Politik, Keamanan,dan

Kewilayahan
PP : Program Prioitas
PPA : Pusat Pemulihan Aset
RKP : Rencana Kerja Pemerintah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RUU PA : Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
SDM : Sumber Daya Manusia
StAR : Stolen Asset Recovery
TPPU : Tindak Pidana Pencucian Uang
UNCAC : United Nations Convention against Corruption
UNODC : United Nations Office on Drugs and Crimes
UNTOC : United Nations of Transnational Organized Crime
UU : Undang-Undang
UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945

xi
xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Tingkat Paksaan (Coerciveness) dan Formalitas (Formality)........13

Tabel 3. 1 Tabel Waktu........................................................................................33

Tabel 4. 1 Konvensi Internasional PBB..............................................................41

Tabel 4. 2 Perjanjian MLA Indonesia dalam Bilateral dan Regional.............44

Tabel 4. 3 Kepresidenan CARIN 2003-2022......................................................55

Tabel 4. 4 Kelompok Pengarah CARIN 2003-2016...........................................56

Tabel 4. 5 Keanggotaan CARIN.........................................................................58

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Alur Pemikiran...............................................................................25

Gambar 5. 1 Penandatanganan LoI antara Indonesia dan Belanda oleh


Kepala BSSN dan Menteri Luar Negeri Belanda pada Tahun 2018...............68

Gambar 5. 2 Pelaksanaan The 1st Cybersecurity Dialogue antara Indonesia


dan Belanda pada Tahun 2021............................................................................69

Gambar 5. 3 Penandatanganan MoU dan LoI antara Indonesia dan Belanda


oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Belanda pada Tahun
2021........................................................................................................................70

Gambar 5. 4 Mekanisme Kerja Sama Indonesia dan Belanda dalam


Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Siber Lintas Negara Milik Belanda
Melalui CARIN....................................................................................................71

Gambar 5. 5 Acara Penyerahan Pengembalian Aset oleh Pemerintah Indonesia


kepada Pemerintah Belanda...................................................................................76

Gambar 5. 6 Penerimaan Penghargaan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk


Indonesia...............................................................................................................77

xiv
ABSTRAK

Pengembalian aset merupakan rangkaian proses atau tahapan yang dimulai


dari pengumpulan bahan keterangan atau intelijen, bukti-bukti, penelusuran aset,
pembekuan dan penyitaan aset, proses persidangan, pelaksanaan penetapan atau
putusan pengadilan, hingga penyerahan aset kepada negara. Dalam penegakan
hukum pidana suatu negara, terkadang negara sulit untuk mengejar pelaku
kejahatan transnasional karena sifatnya yang melampaui batas teritorial suatu
negara, sehingga adanya perbedaan yurisdiksi antar negara menyulitkan
penegakkan hukum. Perjanjian internasional merupakan metode penting untuk
mengefektifkan pengembalian aset hasil tindak pidana dari luar negeri seperti
Mutual Legal Assistant (MLA) merupakan bentuk perjanjian internasional utama
yang digunakan antar negara sebagai dasar kesepahaman untuk pengembalian
aset. Dalam praktiknya, pelaksanaan MLA masih belum optimal dikarenakan
negara termohon memiliki hak untuk menolak. Penelitian ini difokuskan untuk
menekankan pada aspek teknis pelaksanaan kerja sama bahwa upaya yang
dilakukan dapat melalui jalur informal. Penelitian ini merupakan hasil penelitian
deskriptif normatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara
terhadap narasumber terkait. Berdasarkan hasil penelitian penulis, selain
ketentuan tersebut, ada beberapa ketentuan internasional lainnya yang terdapat
dalam United Nations Convention Againts Corruption, 2003 yang dapat diadopsi
dan diterapkan dalam perundang-undangan guna mengefektfikan kerja sama
pengembalian aset, salah satunya melalui jalur informal jejaring pemulihan aset.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang mekanisme kerja sama dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara melalui jalur informal
jejaring pemulihan aset CARIN antara Indonesia dan Belanda pada tahun 2021.
Kata kunci: pemulihan aset, pengembalian aset, kejahatan transnasional, jalur
informal, jaringan pemulihan aset

xv
ABSTRACT

Asset return is a series of processes or stages starting from gathering


information or intelligence, evidence, tracing assets, freezing and confiscating
assets, court proceedings, carrying out court decisions or decisions, to handing
over assets to the state. In enforcing the criminal law of a country, it is sometimes
difficult for the state to pursue perpetrators of transnational crimes because of
their nature that exceeds the territorial boundaries of a country, so that
differences in jurisdiction between countries make it difficult to enforce the law.
International agreements are an important method for making effective return of
assets resulting from criminal acts from abroad such as Mutual Legal Assistant
(MLA) is the main form of international agreement used between countries as a
basis for agreements for returning assets. In practice, the implementation of MLA
is still not optimal because the respondent country has the right to object asset
recovery assistance. This research is focused on emphasizing the technical aspects
of the implementation of cooperation that efforts can be made through informal
channels. This research is the result of normative descriptive research conducted
by means of literature studies and interviews with related informants. Based on
the results of the author's research, besides these provisions, there are several
other international provisions contained in the United Nations Convention
Against Corruption, 2003 which can be adopted and implemented in legislation to
make asset recovery cooperation effective, one of which is through informal asset
recovery networks. This study aims to find out about the mechanism of
cooperation in returning assets resulting from cross-border cybercrimes through
the informal channel of the CARIN asset recovery network between Indonesia and
the Netherlands in 2021.
Keywords: asset recovery, asset return, transnational crime, informal channel,
asset recovery interagency network

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdamaian dan keamanan internasional merupakan hal yang sangat penting


bagi suatu negara. Indonesia, salah satunya, turut berperan aktif dalam menciptakan
perdamaian dunia. Berdasarkan gagasan politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif, negara Indonesia aktif terlibat dalam kerja sama bilateral, regional, dan
multilateral. Tujuan pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri Indonesia pada
dasarnya terdiri dari dua aspek yang berkaitan erat. Pertama adalah perwujudan
kepentingan nasional, dan yang kedua adalah kontribusi terhadap tatanan dunia yang
diamanatkan dalam UUD 1945. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah
berhasil meningkatkan kerja sama internasional di berbagai bidang untuk kepentingan
rakyat. Saat ini Indonesia telah menjalin kerjasama bilateral dengan 162 negara serta
satu teritori khusus yang berupa non-self governing territory. Negara-negara mitra
kerjasama Indonesia ini terbagi dalam delapan kawasan (Afrika, Timur Tengah, Asia
Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah, Amerika Utara dan Tengah, Amerika
Selatan dan Karibia, Eropa Barat, dan Eropa Tengah dan Timur).
Salah satu negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia ialah
Belanda, negara yang selalu hangat diperbincangkan ketika berhubungan dengan
Indonesia. Terlepas dari aspek sejarah dan dinamika hubungan yang
melatarbelakanginya, saat ini kedua negara memiliki hubungan persahabatan yang
lebih baik dan erat di berbagai bidang. Hubungan kedua negara telah mencapai
tingkat kemitraan yang komprehensif dengan kerjasama yang luas. Perjanjian
kemitraan komprehensif yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Belanda Mark
Rutte dalam kunjungannya ke Indonesia pada November 2013 mencakup format 5+6.
Angka 5 mewakili lima sektor utama: perdagangan dan investasi, infrastruktur dan
logistik, pengelolaan sumber daya air, ketahanan pangan, dan pendidikan. Angka 6
menunjukkan enam bidang kerja sama, antara lain pariwisata, kesehatan, industri,

1
energi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerja sama pembangunan trilateral
dengan negara lain.
Pada tahun 2020, hubungan bilateral Indonesia-Belanda kembali memasuki
momentum bersejarah dengan kunjungan Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima
ke Indonesia pada 9-13 Maret 2020. Sejak kunjungan Ratu Beatrix XXV tahun lalu,
kunjungan Raja Belanda ke Indonesia dinilai bersejarah. Kunjungan Raja Willem
juga menjadi pendorong untuk memperkuat kerja sama bilateral kedua negara,
khususnya di bidang ekonomi dan sumber daya manusia. Dengan kedatangan Raja
Belanda beserta rombongan, niat utamanya adalah melanjutkan berbagai kesepakatan
yang telah dicapai kedua negara selama beberapa tahun terakhir. Dalam
kesempatannya, Raja Willem menyampaikan bahwa Indonesia adalah anggota G20
serta anggota terkemuka di ASEAN. Indonesia berperan besar dalam menjaga
kestabilan keamanan di Asia Tenggara. Indonesia juga tengah menjabat sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020. Sebagai negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia dan salah satu ekonomi terbesar di Asia, Indonesia
dinilai memegang peran kepemimpinan. Salah satunya dalam upaya bersama untuk
mempromosikan dan melindungi tatanan internasional berbasis aturan. Indonesia
memiliki tradisi yang lama dalam bidang toleransi agama dan dalam hal ini bisa
memainkan peran yang konstruktif. Sangat penting untuk melanjutkan kerja sama
dalam pemeliharaan perdamaian, keadilan dan perlindungan bagi kaum minoritas,
dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan dan integritas.
Raja Willem-Alexander juga menyampaikan banyak orang Belanda yang
memiliki ikatan kuat dengan Indonesia. Ikatan ini terlihat dari jumlah pelajar
Indonesia yang belajar di Belanda. Dalam kesempatan acara Winner yang diinisiasi
oleh Dutch Research Council, Kedutaan Besar di Belanda, Royal Netherlands
Academy of Arts and Science, dan NUFFIC NESO dalam kolaborasi dengan LIPI dan
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Menteri Edukasi, Budaya, dan Sains Belanda,
Ingrid van Engelshoven menyampaikan bahwa kerja sama dalam bidang edukasi dan
budaya antara Belanda dan Indonesia semakin berkembang. Hal ini dibuktikan
dengan meningkatnya jumlah pertukaran pelajar dan semakin eratnya kerja sama di

2
antara universitas-universitas kedua negara. Ia menyampaikan banyaknya pemuda
yang hadir saat ini membuktikan bahwa kedua negara dapat melanjutkan hubungan
dan kolaborasi lebih jauh lagi, dengan kesempatan yang semakin banyak, dan
semakin melihat ke depan.
Fokus utama hubungan bilateral RI-Belanda adalah peningkatan hubungan
ekonomi, pengembangan kapasitas SDM RI, serta sumber transfer teknologi dan
inovasi. Dimulai pada acara King’s Day pada tanggal 30 April 2019, Menteri
Perhubungan Republik Indonesia, Budi Karya, dalam kesempatannya menyampaikan,
latar belakamg dan sejarah antara Indonesia dan Belanda yang membuat kedua negara
ini semakin erat dan dinamis. Tidak hanya di bidang transportasi, kerja sama
Indonesia dengan Belanda juga dilakukan di bidang perdagangan, investasi,
infrasturktur, pertanian, maritim, pendidikan dan pariwisata. Dalam Forum Maritim
Bilateral Ketiga antara Indonesia dan Belanda pada bulan Februari 2019 lalu, kedua
negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama yang efektif di bidang pelatihan
kejuruan di bidang transportasi, pembuatan kapal, pengembangan pelabuhan dan
bidang operasional lainnya. Pada akhir sambutannya, Menhub Budi menginisiasi agar
Indonesia dan Belanda dapat lebih memperdalam setiap potensi yang dimiliki oleh
kedua negara serta meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Belanda.
Kerja sama antara kedua negara berlanjut dengan penerimaan kunjungan
resmi dari Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mark Rutte oleh Presiden Joko Widodo
di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 7 Oktober. Dalam pertemuan
tersebut, keduanya sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi baik di bidang
perdagangan maupun investasi. Presiden Jokowi menjelaskan Belanda merupakan
salah satu mitra penting Indonesia di Eropa. Di antara negara-negara Eropa, Belanda
merupakan mitra perdagangan nomor dua terbesar, mitra investasi nomor satu dan
mendatangkan wisatawan nomor empat terbesar dari Eropa. Presiden Jokowi
menyampaikan kerja sama ini akan terus diperkuat dengan menggunakan kerangka
kemitraan komprehensif yang sudah dimiliki oleh kedua negara. Di bidang
perdagangan, Indonesia dan Belanda sepakat untuk terus meningkatkan perdagangan
yang terbuka dan adil. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi kembali menyampaikan

3
kekhawatiran Indonesia untuk kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit. Presiden
Jokowi menyampaikan apresiasinya terhadap kerja sama yang ditandatangani oleh
Indonesia dan Belanda di New York tanggal 26 September 2019 yang lalu, mengenai
pengembangan kapasitas petani kecil sawit untuk menghasilkan kelapa sawit yang
lestari. Di pengujung pernyataannya, Presiden Jokowi turut menyampaikan
apresiasinya kepada pemerintah Belanda yang secara konsisten tegas menghormati
kedaulatan negara Indonesia.
Pada tahun 2021, Indonesia mendorong penjalinan kerja sama bilateral yang
lebih luas dengan Belanda. Kerja sama itu meliputi perdagangan, investasi,
penanganan Covid-19, dan dukungan untuk Presidensi G20 oleh Indonesia dalam
satu tahun ke depan. Hal tersebut dibahas di dalam pertemuan virtual antara Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dengan Menteri Perdagangan
Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Belanda Tom De Bruijn pada tanggal 16
November 2021. Dari sisi ekonomi, hubungan ekonomi Indonesia dan Belanda kini
bersifat "from aid to trade" yang menegaskan kerja sama kedua negara sebagai mitra
yang setara. Belanda menempatkan Indonesia sebagai mitra prioritas bisnis Belanda
di Asia setelah RRT. Belanda merupakan salah satu negara mitra dagang utama
Indonesia, dan juga mitra penanaman modal atau investasi. Menurut Menko
Perekonomian, Airlangga Hartanto, sebagai mitra strategis, masih banyak potensi
perdagangan dan investasi yang bisa dieksplorasi lebih dalam dari kedua negara.
Nilai perdagangan kedua negara meningkat 26,27 persen atau sebesar US$2,9 miliar
pada periode Januari-Juli 2021, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Terkait dengan investasi, total investasi Belanda di Indonesia adalah lebih dari
US$1,4 miliar pada 2020. Realisasi investasi sektor riil Belanda di Indonesia pada
tahun 2021 menempati urutan ke-5 terbesar setelah Singapura, RRT, AS, dan Jepang.
Sedangkan diantara negara Eropa, Belanda selalu menempati peringkat ke-1 sejak
tahun 2018. Beberapa perusahaan Belanda yang sudah mempunyai nama besar di
Indonesia seperti Unilever, Lux, Frisian Flag, dan Phillips.
Hubungan bilateral Indonesia dan Belanda berada pada tataran yang sangat
baik dengan menunjukkan perkembangan positif serta berorientasi ke masa depan

4
untuk memanfaatkan potensi dan peluang kerja sama kedua negara secara maksimal.
Berbicara mengenai potensi dan peluang kerja sama, kedua negara berhasil meraih
capaian baru dalam kerja sama di bidang keamanan pada tahun 2021. Adanya kasus
perusahaan di Belanda yang menjadi korban jaringan tindak pidana siber lintas negara
dalam pembayaran pembelian peralatan medis untuk penanganan COVID-19 melalui
modus pembajakan email korespondensi. Kejahatan siber menjadi salah satu jenis
kejahatan yang mengalami peningkatan cukup tinggi dengan modus yang beragam,
terlebih lagi selama masa pandemi COVID-19, antara lain oknum yang meminta
sumbangan dengan mengatasnamakan korban pandemi, pencurian data dan
pembobolan rekening. Pelaku memanfaatkan dan mengeksploitasi kerentanan,
ketidakberdayaan dan keterbatasan masyarakat selama pandemi. Sasaran pelaku
adalah perangkat, perangkat keras, perangkat lunak, atau data pribadi korban. Sifat
kejahatan dunia maya ini adalah bahwa baik pelaku maupun korbannya tidak terlihat
sehingga membuat kejahatan ini memiliki kompleksitasnya sendiri. Pelaku potensial
dari jenis kejahatan ini, bisa dari kelompok yang geologis ataupun kelompok yang
berbisnis secara illegal, dan juga individu tertentu.
Dengan memperhatikan hal tersebut, ruang siber perlu mendapatkan
perlindungan yang layak guna menghindari potensi yang dapat merugikan pribadi,
organisasi bahkan negara. Oleh karena itu, keamanan siber menjadi isu prioritas di
berbagai negara termasuk Indonesia. Dari perspektif negara Indonesia, perhatian
khusus perlu diberikan pada kejahatan lintas batas mengingat posisi Indonesia yang
sangat strategis dan rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan lintas batas yang ada.
Seiring perkembangannya, Indonesia menaruh perhatian khusus pada kejahatan
internasional yang muncul seperti perdagangan manusia dan penyelundupan manusia,
korupsi dan pencucian uang, kejahatan hutan, kejahatan satwa liar, kejahatan
penangkapan ikan, perdagangan kekayaan budaya, serta narkoba dan kejahatan
narkoba. Untuk itu, Indonesia terus memperkuat kerja sama internasional untuk
memerangi kejahatan transnasional guna melindungi kepentingan dan kedaulatan
nasional Indonesia. Indonesia telah memasukkan keamanan siber ke dalam agenda
pembangunan prioritas nasional (PN) 7 Rencana Pembangunan Jangka Menengah

5
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu memperkuat stabilitas politik, hukum,
pertahanan, keamanan (polhukhankam), maupun Program Prioritas (PP) 5 dalam
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022.
Melalui berbagai forum internasional, salah satu upaya yang dilakukan
Indonesia ialah berusaha untuk mendorong pengarusutamaan kejahatan lintas negara.
Hal ini dilakukan mengingat kejahatan lintas negara baru belum banyak mendapat
perhatian khusus dari dunia internasional, serta belum memiliki studi, definisi, dan
kriminalisasi yang mencukupi. Pada tahun 2010, Conference of States
Parties (CoSP), United Nations Convention on Transnational Organized Crime
(UNTOC) yang kelima telah mengidentifikasi beberapa Kejahatan Lintas Negara
Baru dan Berkembang (New and Emerging Crimes), antara lain cybercrime, identity-
related crimes, perdagangan gelap benda cagar budaya, kejahatan lingkungan,
pembajakan di atas laut, dan perdagangan gelap organ tubuh. Saat ini, teknologi
informasi dan komunikasi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua
aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi, masyarakat, budaya, pendidikan,
dan kesehatan. Pertumbuhan teknologi dan informasi di Indonesia sendiri
berkembang sangat pesat terutama dalam kaitannya dengan penggunaan internet.
Jumlah pengguna internet di Indonesia akan mencapai 196,7 juta atau 73,7% pada
kuartal kedua tahun 2020, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dari tahun 2019 hingga kuartal
pertama tahun 2020, meningkat 64,8% dibandingkan tahun 2018. Di satu sisi,
peningkatan pengguna internet ini merupakan berita baik atas meningkatnya
kapabilitas masyarakat dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi, namun di
sisi lain ancaman keamanan siber pun turut semakin meningkat. Peningkatan lalu
lintas internet telah menarik pelaku-pelaku kriminal siber dan berakibat pada
banyaknya kasus serangan siber di Indonesia. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
menemukan, serangan siber mencapai 495,3 juta pada 2020, meningkat 41% dari
2019 sebanyak 290,3 juta. Sama halnya dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Bareskrim), yang melihat adanya peningkatan laporan

6
kejahatan siber. Pada 2019, 4.586 laporan polisi diajukan melalui Patrolisiber, naik
dari 4.360 laporan tahun sebelumnya pada 2018 (Patroli Siber, 2020).
Serangan siber adalah serangan terhadap sistem komputer atau jaringan
komputer untuk mendapatkan kontrol atau akses tidak sah ke sistem komputer target
(Maurer & Morgus, 2014). kejahatan siber, di sisi lain, adalah aktivitas ilegal yang
menggunakan atau bertujuan pada sistem atau jaringan komputer (International
Telecommunication Union, 2012). Dalam definisi lain, kejahatan siber adalah istilah
yang mengacu pada aktivitas kriminal yang menggunakan komputer atau jaringan
komputer sebagai alat, sasaran, atau lokasi kejahatan (Abidin, 2017), yang
mengakibatkan kerugian yang berwujud atau tidak berwujud bagi pihak yang dituju
(Wilson, 2008). Kejahatan siber umumnya mengacu pada aktivitas kriminal di mana
komputer atau jaringan komputer menjadi elemen kunci. Istilah tersebut juga
digunakan untuk kegiatan kriminal tradisional yang menggunakan komputer atau
jaringan komputer untuk memfasilitasi atau memungkinkan terjadinya kejahatan
(Saragih & Azis, 2020).
Kejahatan lintas negara merupakan bentuk kejahatan yang menjadi ancaman
serius terhadap keamanan dan kemakmuran global mengingat sifatnya yang
melibatkan berbagai negara. Untuk menanggulangi kejahatan tersebut, diciptakan
sebuah perjanjian internasional yang disebut dengan UNTOC. Ditetapkan pada tahun
2000, UNTOC adalah panduan mendasar bagi negara-negara untuk memerangi
kejahatan transnasional. Negara-negara di seluruh dunia, terutama negara-negara
berkembang yang kekurangan sumber daya untuk menandingi keterampilan dan
kreativitas para penjahat, menghadapi rintangan hukum ketika berurusan dengan aset
curian. Kasus korupsi dan pencucian uang yang kompleks biasanya membutuhkan
upaya lintas batas. Penelusuran dan pengembalian aset oleh penegak hukum dapat
memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena prinsip kedaulatan
membatasi kemampuan otoritas domestik untuk mengambil tindakan investigasi,
hukum, dan penegakan hukum di yurisdiksi asing. Upaya penelusuran dan
pengembalian yang berhasil seringkali bergantung pada bantuan dari yurisdiksi asing,
sebuah proses yang diperlambat dan diperumit oleh perbedaan dalam tradisi hukum,

7
hukum dan prosedur, bahasa, zona waktu, dan kapasitas yang bervariasi. Dalam
konteks ini, kerja sama internasional sangat penting untuk keberhasilan pengembalian
aset yang disimpan di luar negeri. Contoh bentuk kerja sama utama termasuk bantuan
informal, pengungkapan informasi spontan, tim investigasi bersama, Mutual Legal
Assistance (MLA), transfer proses ke yurisdiksi lain, implementasi hukum domestik
yang memungkinkan pengembalian langsung, penegakan atau pendaftaran
pengekangan sementara atau perintah konfeksi dari yurisdiksi lain, dan ekstradisi.
Keputusan tentang bentuk kerja sama dan proses bervariasi sesuai dengan kasus yang
ditangani.
Masalah pengembalian aset semakin meningkat sejak awal 2000-an dengan
adopsi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan UNTOC.
UNCAC secara khusus memiliki bab tentang pemulihan aset dan jaringan pemulihan
aset baru. Direktori ini mengkaji kemungkinan strategi kerja sama internasional
pertama dan perbedaan antara permintaan bantuan hukum formal MLA dan bantuan
hukum informal. Kedua, direktori tersebut mencantumkan jaringan pemulihan aset,
bersama dengan informasi tentang struktur dan operasinya, sehingga para profesional
pemulihan aset dapat mengakses jaringan yang sesuai untuk membantu upaya
penegakan kriminal yang kritis. Dengan membantu negara-negara membangun sistem
untuk mengumpulkan informasi tentang asal, tujuan, dan penerima manfaat akhir dari
hasil kejahatan. Jaringan pemulihan aset global yaitu terdapat The International
Criminal Police Organization (INTERPOL)/Stolen Asset Recovery Initiative (StAR)
Global Focal Point Network. Kemudian, pada wilayah regional terdapat Asset
Recovery Interagency Network for the Asia Pacific (ARIN-AP), Asset Recovery
Interagency Network for the East Africa (ARIN-EA), South Africa (ARINSA), Asset
Recovery Interagency for the Network West Africa (ARIN-WA), Asset Recovery
Interagency Network for the Caribbean (ARIN-CARIB), dan Camden Asset Recovery
Interagency Network (CARIN).
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti mengenai salah satu jejaring
pemulihan aset di wilayah Eropa yakni CARIN sebagai penghubung antara Indonesia
dan Belanda dalam penanganan pengembalian aset milik Belanda. Kedua negara

8
tersebut bekerja sama di bawah kerangka CARIN dengan pendekatan baru dalam
penanganan pengembalian aset. Bantuan informal dapat mengarah pada identifikasi
aset yang lebih cepat, mengkonfirmasi bantuan yang dibutuhkan, dan memberikan
dasar yang tepat untuk permintaan MLA. Bantuan informal biasanya terdiri dari
dukungan resmi yang diberikan di luar konteks permintaan MLA. Meskipun
"informal" dibandingkan dengan permintaan MLA, konsep ini seringkali masih
disahkan dalam undang-undang MLA dan tetap melibatkan otoritas formal.
Pentingnya bantuan informal juga telah ditekankan dalam berbagai perjanjian
internasional. Berbeda dengan permintaan MLA, bantuan informal lebih seperti
informasi intelijen atau latar belakang yang dapat digunakan untuk mengembangkan
penyelidikan.
Untuk meneliti tentang topik Kerja sama Indonesia dan Belanda dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda melalui
CARIN, penulis menggunakan lima jurnal. Dalam memahami isu pencucian uang
yang didapat melalui kejahatan siber, penulis meneliti jurnal karya Iskandar Wibawa
sebagai permulaan. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa pencucian uang
merupakan upaya untuk menyamarkan asal usul dana hasil kejahatan melalui
berbagai transaksi, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk melacak aset
dan membuktikan apakah dana tersebut legal atau sah. Perbuatan jahat yang
dilakukan di lingkungan elektronik ini cukup sulit penanggulangannya, karena untuk
menanganinya diperlukan keahlian khusus, prosedur investigasi serta kekuatan dasar
hukum yang kemungkinan besar belum dipunyai oleh aparat penagak hukum.
Kesulitan lain adalah jika sudah melampaui batas-batas negara (lintas negara).
Permasalahan yang timbul berkaitan dengan hubungan antara negara dalam kebijakan
adalah bahwa kewenangan suatu negara di bidang jurisdiksi legislative ini bisa
berbeda dan bahkan saling berbenturan dengan kewenangan negara lain. Barda
Nawawi Arief berpandangan bahwa dalam menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah
berupa “Cyber Crime” perlu digunakan asas universal, atau prinsip “ubikuitas”,
yakni prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan sebagian di batas

9
wilayah negara dan sebagian di luar batas suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam
yurisdiksi masing-masing negara yang bersangkutan (Wibawa, 2017).
Dengan tujuan untuk lebih memahami upaya dalam peningkatan kapasitas
penanganan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara ditinjau
dari segi hukum, penulis menggunakan jurnal dari Fikry Latukau, Widati Wulandari.
Tujuan pengembalian aset adalah untuk menemukan, melindungi, dan memelihara
aset, termasuk membekukan, menghapus, dan menghancurkannya. Pengembalian aset
dapat dilakukan di bawah hukum pidana, perdata, dan administratif. Penegakan
hukum pidana pada hakikatnya bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku
tindak pidana agar memberikan efek jera, tetapi bertujuan memulihkan kerugian yang
diderita oleh korban secara finansial akibat dari perbuatan pelaku tersebut, yang mana
semua ini sesuai dengan asas dominus litis yang merupakan tugas tanggung jawab
penegak hukum. Terkait dengan subtansi hukum (legal substance), hambatan yang
ditemukan adalah aturan perundang-undangan yang belum memadai (Latukau &
Wulandari, 2019).
Melalui jurnal karya Achmad Firdaus dan Handoyo Prasetyo dijelaskan
beberapa upaya yang dilakukan Indonesia saat ini seperti, Bantuan Hukum Timbal
Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance), Ekstradisi, Perjanjian
Pertukaran Informasi (Memorandum of Understanding on Exchange
Information/MoU), dan Perjanjian Pemindahan Terpidana (Transfer of Sentenced
Person). Perbedaan antara MoU dan MLA yaitu objek MoU adalah perjanjian yang
hanya meliputi penyidikan tindak pidana, sedangkan di sisi lain kerja sama MLA
meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC,
mekanisme pengembalian aset masih belum diatur secara jelas atau rinci. Selain itu,
perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lain seringkali menjadi
kendala dalam pengembalian aset. Diperlukan berbagai metode hukum yang maju,
yakni melakukan pembuatan dan revisi aturan hukum pidana terkait pengembalian
aset, menerapkan Non Conviction Based Asset Forfeiture kedalam sistem peradilan
dengan tujuan kemanfaatan hukum, mempromosikan perluasan StAR Initiative,

10
pengembangan MLA untuk mengkonsolidasikan sinkronisasi lembaga penegak
hukum (Firdaus & Prasetyo, 2021).
Membahas peran lembaga negara dan aparat penegak hukum yang menjadi
faktor yang sangat penting dalam usaha untuk menangani pengembalian aset hasil
tindak pidana siber lintas negara. Untuk ini penulis memakai jurnal dari Ridwan
Arifin, Indah Sri Utari, dan Herry Subondo. Beberapa lembaga negara dan aparat
penegak hukum memiliki kewenangan untuk mengembalikan aset sebagaimana
diamanatkan baik oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, maupun UU khusus lainnya.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Otoritas Pusat Kementerian Hukum dan HAM (Central Authority), National
Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia, dan Kementerian Luar Negeri, khususnya
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Direktorat Politik,
Keamanan, dan Kewilayahan (Polkamwil) (Arifin, Utari, & Subondo, 2016).
Lembaga-lembaga tersebut di atas memiliki tugas, pokok, dan fungsinya
dalam upaya pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, khususnya aset yang berada
di luar negeri. Kelima lembaga tersebut di atas, tergabung dalam Tim Terpadu yang
diketuai oleh Kejaksaan Agung berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor:
Kep-23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang tim terpadu
pencari terpidana dan tersangka perkara tindak pidana korupsi. Peran KPK dalam
pemulihan aset ini bukan hanya dalam hal penindakan (perampasan aset) tetapi juga
tindakan penyelamatan kebocoran keuangan negara. Sementara itu, tugas, fungsi dan
peran NCB Interpol Indonesia, adalah sebagai penyelenggara kerja sama/koordinasi
melalui wadah International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol dalam
rangka mendukung upaya penanggulangan kejahatan internasional/ transnasional dan
kegiatan “peace keeping operation” di bawah bendera PBB serta menyelenggarakan
kerja sama internasional/antar negara dalam rangka mendukung pengembangan
Kepolisian Republik Indonesia. Kemudian, Peran Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) adalah sebagai Otoritas Pusat dalam hal pengajuan dan penanganan
masalah ekstradisi dan MLA. Kementerian Luar Negeri RI terutama Polkamwil

11
hanya memiliki peran pendukung. Peran Kemenlu sebagai penghubung antara
lembaga-lembaga terkait di Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
Setelah memahami peran masing-masing lembaga negara dalam penanganan
pemulihan aset, penulis memahami lebih dalam mengenai peran Pusat Pemulihan
Aset (PPA) Kejaksaan. Dalam jurnal karya Aghia Khumaesi Suud dijelaskan bahwa
PPA sebagai satuan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggung jawab
memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia dengan sistem pemulihan
aset terpadu (Integrated Asset Recovery System) secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel. Dengan melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan,
dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan. Sistem ini
akan memudahkan kinerja PPA dalam pemulihan aset karena setiap tahapan akan
diinput secara digital oleh Jaksa di Pidana Khusus saat menyelesaikan kasus. PPA
tidak hanya memulihkan aset di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, tetapi
dapat menerima dan melaksanakan pemulihan aset dari Kementerian atau lembaga
lain dengan persetujuan Jaksa Agung RI (Suud, 2020). Inilah kewenangan besar
Kejaksaan dibandingkan dengan instansi lain seperti Kementerian Hukum dan HAM
sebagai pemegang fungsi Otoritas Pusat yang tidak terlibat langsung dalam praktik
penegakan hukum. Namun, jumlah kasus pemulihan aset yang dilakukan PPA masih
sedikit dan urgensi keberadaannya masih dipertanyakan mengingat ruang lingkupnya
hampir sama dengan Labuksi KPK dan Rupbasan pada Kemenkumham yang secara
tidak langsung menimbulkan tarik-menarik kewenangan antara unit aparat penegak
hukum tersebut. PPA masih harus terus berbenah dari segala aspek termasuk banyak
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki tugas dan
fungsi untuk memulihkan aset maksimal bagi Negara. Untuk mencapai optimalisasi
ini, berbagai langkah perlu dilakukan. Langkah-langkah tersebut meliputi perbaikan
sistem, koordinasi yang kuat, rekruitmen sumber daya manusia dari pengetahuan
multidisiplin, dan peningkatan kemampuan bahasa asing bagi staf PPA secara
keseluruhan. Hal ini harus dilakukan agar visi yang diusung PPA sebagai sistem
pemulihan aset yang terintegrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan hasil
pemulihan aset menjadi lebih optimal.

12
Melalui jurnal karya Ridwan Arifin, Indah Sri Utari, dan Herry Subondo pula
penulis menemukan penjelasan perbedaan antara kerja sama dalam pemulihan aset
suatu negara baik melalui proses prosedural undang-undang yang berlaku (formal)
maupun melalui proses diplomasi (informal). Baik jalur formal maupun informal
keduanya memiliki titik tekan dan fokusnya masing-masing. Keduanya juga memliki
kelemahan dan kelebihannya jika dilihat dari sudut upaya pemulihan aset, tapi baik
jalur formal ataupun informal kedua-duanya selalu diupayakan oleh pemerintah. Titik
tekan keduanya tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 1. 1 Tingkat Paksaan (Coerciveness) dan Formalitas (Formality)


FORMAL INFORMAL
Sebagian besar berada di bawah Melakukan pengawasan dan kegiatan
MLA dan ekstradisi Intelijen

Mengambil bukti atau pernyataan yang Mencari saksi, tersangka atau buron
dapat diterima
Melayani dokumen Melacak hasil kejahatan
Melaksanakan penggeledahan dan Memberikan catatan publik yang tidak sensitif (KTP,
penyitaan catatan criminal, registrasi kendaraan, pendaftaran
properti, kepemilikan saham perusahaan, catatan
imigrasi)
Melakukan investigasi bersama Berbagi petunjuk investigasi
Pengambilan keterangan saksi Jenis bantuan lainnya sesuai dengan hukum domestik

Menegakkan perintah pengadilan asing Baik untuk tujuan investigasi dan pelacakan aset
(penyitaan, pembekuan penyitaan hasil bukan untuk penuntutan atau proses pengadilan
kejahatan)
Baik untuk pemulihan aset
Tindakan pemaksaan Tindakan tanpa pemaksaan
Sumber: (Suprapdiono, 2012)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa antara jalur formal dan jalur
informal keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jalur

13
formal sebagian besar berada di bawah pengaturan MLA dan Ekstradisi, sedangkan
jalur informal lebih kepada kegiatan-kegiatan pengawasan dan aktivitas intelejen.
Kedua jalur tersebut dalam pemulihan aset di Indonesia saling menyempurnakan
kekurangan yang ada. Berbagai kejahatan antarnegara yang terjadi telah mendapat
berbagai respon dan reaksi institusi penegak hukum serta berbagai konvensi
internasional. Dengan semangat penyatuan Eropa yang mengemuka di berbagai
negara Eropa, maka pada tahun 2004 diselenggarakan kongres tahunan pertama
CARIN, sedangkan StAR Initiative baru terwujud pada tahun 2007 (Arifin, Utari, &
Subondo, 2016). Tahap proses hukum dalam upaya pemulihan aset tergantung
bagaimana yurisdiksi hukum nasional negara yang bersangkutan maupun konvensi-
konvensi internasional ataupun perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara
tersebut. Indonesia secara aktif melakukan upaya pemulihan aset melalui cara-cara,
baik itu formal melalui MLA maupun informal. Namun, jika belum adanya perjanjian
MLA, maka digunakan asas hubungan baik antara Indonesia dengan negara yang
bersangkutan dan bersedia membantu dalam pelacakan asset.
Setelah melakukan penelitian terhadap lima jurnal yang dinilai relavan dalam
tujuan penelitian penulis kali ini, kelima jurnal sangat membantu penulis dalam
merumuskan penelitian yang ingin dilakukan. Tetapi setelah melakukan kajian
literatur terhadap kelima jurnal yang dinilai relevan, penulis menemukan celah dalam
penelitian tersebut yaitu belum adanya jurnal penelitian mengenai Perbedaan
Prosedur Antara Kerja Sama Jalur Formal dan Informal dalam Pengembalian Aset
Hasil Tindak Pidana Siber Lintas Negara. Penulis menggunakan direktori yang
dipublikasikan oleh StAR di bawah naungan The World Bank dan United Nations
Office on Drugs and Crimes (UNODC).

1.2 Rumusan Masalah

Sejalan dengan pengadopsian yang dicanangkan UNCAC, jejaring pemulihan


aset dibentuk sebagai bentuk aksi dari perwujudan harapan masyarakat internasional
dalam menangani tindakan kejahatan siber lintas negara yang sangat merugikan bagi

14
kehidupan bernegara agar dapat dilakukan lebih efektif dan efisien melalui hubungan
diplomatik. Dalam hal ini khususnya mengidentifikasi usaha-usaha yang dilakukan
kedua negara bersangkutan yaitu Indonesia dan Belanda dalam penanganan
pengembalian aset milik Belanda yang berada di Indonesia akibat tindak pidana siber
khususnya metode dan mekanisme pelaksanaan yang dilakukan oleh kedua negara.
Mengacu pada penjelasan diatas, peneliti merumuskan masalah dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana mekanisme kerja sama Indonesia dan Belanda dalam


pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda melalui
CARIN?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan


penelitian ini adalah untuk menganalisa mekanisme pelaksanaan dalam Kerja Sama
Indonesia dan Belanda dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Siber Lintas
Negara Milik Belanda melalui CARIN.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Secara akademis, manfaat penelitian ini adalah untuk peneliti dapat


memahami dengan baik mengenai peranan CARIN sebagai sebuah jejaring
pemulihan aset dalam mendukung khususnya dalam mengatasi pemulihan aset hasil
tindak pidana siber lintas negara. Dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan serta menambah wawasan dan berkontribusi bagi ilmu Hubungan
Internasional.

15
1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut terkait
jalur informal dalam pengembalian aset suatu negara.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memahami alur pemikiran penelitian ini, maka tulisan ini dibagi dalam
bagian-bagian yang terdiri dari bab dan sub-bab. Sistematika penulisan tersebut
membagi hasil penelitian ke dalam V bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai pembahasan dari literatur-literatur
yang memiliki korelasi dengan topik penelitian. Tujuan dari penulisan tinjauan
pustaka ini adalah untuk dapat mengidentifikasi literatur terkait denan topik
permasalahan yang diteliti. Bab ini berisi penjelasan mengenai kerangka teori, alur
pemikiran, dan asumsi terkait dengan hasil penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh
penulis, bagaimana penulis melakukan penelitian beserta sumber data yang penulis
gunakan untuk penelitian ini didapatkan.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai mekanisme pengembalian aset di
Indonesia, mekanisme pengembalian aset di Belanda, dan pengenalan CARIN serta
mekanisme pengembalian aset melalui CARIN.

16
BAB V KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS NEGARA
MILIK BELANDA MELALUI CARIN
Dalam bab ini, penulis melakukan penelitian mengenai mekanisme kerja sama
Indonesia dan Belanda yang berlangsung pada tahun 2021 dalam penanganan
pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara melalui CARIN.

BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini, sebagai penutup, penulis memberikan kesimpulan dan saran dari
keseluruhan penelitian yang penulis lakukan.

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Pemikiran

Dalam kerangka pemikiran ini, penulis menggunakan tiga teori dalam


membantu proses penelitian tulisan. Teori yang pertama ialah teori keamanan siber
yang didukung oleh pendekatan fungsionalisme siber untuk menjadi fondasi atau
dasar dari teori yang sudah diambil. Selain menggunakan teori keamanan siber,
penulis juga akan menggunakan teori tindak pidana siber lintas negara dalam
memahami penyalahgunaan teknologi melalui jaringan internet di dalam modus
operandinya. Terakhir, penulis akan menggunakan teori kerja sama bilateral. Teori ini
dianggap penting bagi penelitian penulis, sebab dengan teori ini penulis dapat
menjelaskan fenomena utama dari penelitian yang diambil, yakni hubungan dan
mekanisme kerja sama antara Indonesia dan Belanda. Teori-teori ini akan penulis
gunakan serta elaborasi dengan berbagai macam literatur lainnya guna memperluas
makna dan interpretasi sehingga dapat disesuaikan dengan penelitian yang penulis
ambil. Di bawah ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan lebih detil mengenai
teori keamanan siber, tindak pidana siber lintas negara, dan kerja sama bilateral.

2.1.1 Keamanan Siber

Keamanan siber adalah kemampuan untuk menciptakan perlindungan secara


geometris dan tak terbatas terhadap segala aktivitas matra maya, perlindungan
terhadap segala informasi strategis berupa transformasi data aktual menjadi data
elektronik yang tersimpan dan terhubung oleh suatu netika atau jaringan komputerik
dan sibernetik membentuk lalu lintas informasi, dan perlindungan terhadap kualitas
lalu lintas informasi berupa pengadaaan, penghilangan, distribusi, kecepatan,
percepatan, perlambatan, variasi, dan volume data (Arianto & Anggraini, 2019, p.
19).

18
Sejarah cyber security atau keamanan siber sebagai konsep sekuritisasi
dimulai dengan disiplin Ilmu Komputer dan Informasi di mana yang pertama kali
menggunakan cyber security adalah dalam laporan Computer Science and
Telecommunications Board (CSTB) pada tahun 1991, di mana keamanan di era
informasi dalam istilah “security” didefinisikan sebagai perlindungan terhadap
pengungkapan yang tidak diinginkan, modifikasi, atau kerusakan data dalam suatu
sistem dan juga untuk pengamanan sistem itu sendiri. Dalam hal ini ancaman dalam
keamanan siber tidak hanya diakibatkan oleh agen atau aktor tertentu tetapi juga oleh
sistem itu sendiri sehingga muncul istilah “computer security”. Nissenbaum
menunjukkan bahwa mayoritas ilmuwan komputer mengadopsi wacana teknis yang
difokuskan pada pengembangan program yang baik dengan sejumlah bug dan sistem
yang sulit ditembus oleh penyerang luar sehingga “computer security” bergeser ke
“cyber security” di mana cyber security dapat dilihat sebagai “keamanan komputer”
dan “sekuritisasi” (Hansen & Nissenbaum, 2009, p. 1160). Global Cyber Security
dibangun di atas lima bidang kerja (Ardiyanti, 2016): Kepastian Hukum (undang-
undang yang mengatur kejahatan siber), Teknis dan Tindakan Prosedural (pengguna
akhir dan bisnis (pendekatan langsung dan penyedia layanan dan perusahaan
perangkat lunak), Struktur Organisasi (struktur organisasi sangat berkembang,
menghindari tumpang tindih), Capacity Building dan Pendidikan Pengguna
(kampanye publik dan komunikasi terbuka dari ancaman kejahatan siber terbaru),
Kerjasama Internasional (termasuk di dalamnya kerja sama timbal balik dalam upaya
mengatasi ancaman siber).

Berkenaan dengan keamanan siber global, internet menyebabkan manusia


terintegrasi dengan aktivitas dunia maya. Internet telah menyebabkan terjadinya satu
lompatan besar dalam kinerja umat manusia. Internet tidak bebas nilai, oleh karena
itu siber pun tidak bebas nilai saat bersentuhan dengan politik yang berujung pada
pembentukan kekuasaan. Kekuasaan atas dunia maya dapat mendorong berbagai
aktivitas strategis. Dalam menelaah akibat yang dihasilkan atas pemanfaatan tersebut,
penulis memahami lebih mendalam mengenai pemanfaatan ruang siber yang bisa

19
disebut dengan fungsionalisme siber. Dalam konsep geometripolitika, membagi
fungsionalisme siber menjadi dua domain utama, yaitu: pertama, pemanfaatan siber
dalam geometrik militer meliputi menciptakan, menangkal, dan melindungi berbagai
serangan terhadap infrastruktur siber yang terhubung dengan teknologi nuklir,
teknologi pembangkit listrik nasional, teknologi maritim, teknologi penerbangan dan
antariksa, serta penyerangan terhadap fasilitas negara yang terhubung dengan
teknologi siber yang mengarah pada perang siber. Perang siber adalah perang yang
terjadi akibat bertemunya pemanfaatan ruang siber yang ditujukan untuk kekuasaan
dan dapat menyebabkan perang di dunia nyata. Dengan berkembangnya ruang
lingkup keamanan dan kekuasaan, maka ancamannya pun ikut berkembang sejalan
dengan kemajuan teknologi yang mengarah pada penguasaan dan pengendalian
aktivitas masyarakat di ruang siber, yakni pemanfaatan siber dalam geometrik sipil
seperti serangan terhadap fasilitas internet sipil antara lain, situs web, jebolnya akun
nasabah bank, pencurian data untuk motif ekonomi, penyebaran identitas pribadi,
kejahatan terhadap aktivitas sosial media, dan lain-lain, yang mana membantu
pemahaman penulis dalam penelitian sebagaimana isu yang diangkat oleh penulis
mengenai tindak pidana pencucian uang melalui ruang siber.

Terdapat beberapa penyalahgunaan dalam pemanfaatan teknologi sehingga


dapat menimbulkan ancaman kejahatan di bidang teknologi informasi yang dikenal
dengan kejahatan siber, salah satunya jenis kejahatan transnasional karena melibatkan
pelaku yang berasal dari dua negara atau lebih, korbannya bisa lebih dari satu negara,
modus operasinya di dunia maya dengan menggunakan perangkat komputer dan
internet, dan alat buktinya berupa alat bukti elektronik sehingga memerlukan proses
penegakan hukum yang modern dan canggih. Konsep keamanan siber kemudian
berkembang di mana menurut Saco dan Deibert ancaman dari keamanan siber juga
telah melanggar batas-batas negara sehingga mengancam secara internasional.
Dengan demikian, ancaman keamanan siber tidak lagi dipandang pada masalah teknis
keamanan komputer semata, melainkan mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya dan keamanan nasional.

20
Urgensi keamanan siber ditujukan untuk mengantisipasi datangnya ancaman-
ancaman dan serangan siber yang terjadi dan menjelaskan posisi ketahanan saat ini
sehingga diperlukan kesiapan dan ketanggapan dalam menghadapi ancaman serta
memiliki kemampuan untuk memulihkan akibat dampak serangan yang terjadi di
ranah siber. Munculnya ancaman kejahatan siber harus mendorong kesadaran baik
negara maupun masyarakat internasional harus memanfaatkan, mengembangkan, dan
mengonsolidasikan semua unsur untuk strategi kooperatif dalam memberikan
perhatian lebih terhadap sistem pertahanan negara masing-masing. Diperlukan
inisiatif antar negara untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan bersama yang
mengikat terkait pengamanan dunia siber secara internasional. Kerja sama
internasional baik dalam infrastruktur, sarana prasarana maupun dalam
pengembangan kemampuan SDM dalam bidang keamanan siber baik secara bilateral,
regional ataupun internasional.

2.1.2 Tindak Pidana Siber Lintas Negara

Pada era teknologi sekarang ini, semakin banyak terjadinya kejahatan dalam
bidang teknologi atau yang lebih dikenal sebagai kejahatan siber, yang mana
kejahatan-kejahatan tersebut selalu berkembang setiap tahunnya. Umumnya suatu
masyarakat yang mengalami perubahan akibat kemajuan teknologi, banyak
melahirkan masalah-masalah sosial. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas
perkembangan kejahatan siber antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan
manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
pesat. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah
kompleksitas tersebut. Hal itu terjadi karena kondisi masyarakat itu sendiri yang
belum siap menerima perubahan atau dapat pula karena nilai-nilai masyarakat yang
telah berubah dalam menilai kondisi yang tidak lagi dapat diterima.
Kejahatan siber ialah keseluruhan bentuk kejahatan yang ditunjukan terhadap
komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan
tradisional yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer. Masalah

21
kejahatan siber menjadi sebuah masalah serius seiring banyaknya akses dalam bidang
ekonomi, politik, pertahanan negara melalui jaringan sistem internet, sehingga hal ini
menimbulkan masalah yang serius terutama dalam keamanan akses data tersebut.
Kualifikasi kejahatan siber, sebagaimana dalam buku Barda Nawawi Arief,
Convention on Cybercrime 2001, yaitu illegal access, sengaja memasuki atau
mengakses sistem komputer tanpa hak. Phishing, ransomware, dan pelanggaran data
hanyalah beberapa contoh ancaman dunia maya saat ini, sementara jenis kejahatan
dunia maya baru muncul setiap saat. Penjahat dunia maya semakin gesit dan
terorganisir, mengeksploitasi teknologi baru, menyesuaikan serangan mereka, dan
bekerja sama dengan cara baru. Kejahatan siber meliputi tindak pidana penipuan,
penggelapan, hacking, pidana di bidang komunikasi, atau pengrusakan sistem
komputer yang belum seluruhnya dapat dijangkau dengan undang-undang yang
berlaku. Kejahatan siber berpotensi merusak atau mengganggu kehidupan, negara,
dan bahkan seluruh dunia. Kejahatan dunia maya dapat lebih luas daripada tindak
pidana konvensional, karena para pelaku tidak dibatasi oleh waktu dan geografis
sehingga wilayah terjadinya tidak hanya secara lokal atau nasional tetapi juga
transnasional.
Kejahatan transnasional (transnational crime) merupakan tindak pidana atau
kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara
internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan PBB yang membahas
pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB telah mengidentifikasi 18 jenis
kejahatan transnasional, yaitu pencucian uang, terorisme, pencurian benda sei dan
budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan
pesawat, pembajakan laut, penipuan asuransi, kejahatan komputer, kejahatan
lingkungan, perdagangan orang, perdagangan bagian tubuh manusia, perdagangan
narkoba, penipuan kepailitan, infiltrasi bisnis, korupsi, dan penyuapan pejabat publik
atau pihak tertentu. Suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
transnasional atau bukan dapat dilihat dari: Melintasi batas negara, pelaku lebih dari
satu, bisa nation-state actor ataupun yang lain, memiliki efek terhadap negara

22
ataupun aktor internasional (misalnya individu dalam pandangan kosmopolitan) di
negara lain, dan melanggar hukum di lebih dari satu negara.
Sehingga dapat didefinisikan bahwa konsep tindak pidana siber lintas negara
ialah bentuk kejahatan dengan memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer,
internet atau perangkat digital lainnya sebagai alat, sasaran, tempat atau penggunanya
yang melintasi batas suatu negara. Oleh karena itu, istilah kejahatan transnasional
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan yang sebenarnya milik negara
(dalam batas suatu negara) tetapi dalam beberapa kasus melibatkan negara lain,
individu, negara, objek, kepentingan publik dan swasta. Kejahatan transnasional
dapat dilakukan secara individual dan/atau kelompok terorganisir.

2.1.3 Kerja Sama Bilateral

Kerja sama adalah cara yang paling efektif bagi suatu negara untuk dapat
mencapai kepentingannya dan mempertahankan eksistensinya di dunia internasional.
Suatu negara tidak akan dapat bertahan hanya dengan kekuatannya sendiri, dalam hal
ini dengan mengandalkan sumber daya alam, sumber daya manusia atau teknologi
yang dimiliki negara tersebut. Hal ini terlihat dalam kerja sama yang dilakukan oleh
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Rusia dan negara-negara maju
lainnya. Selain untuk mempertahankan eksistensi di dunia internasional, kerja sama
internasional dapat terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai
bidang, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan,
pertahanan, dan keamanan (Rizka, 2016). Hal–hal inilah yang memunculkan
berbagai perbedaan kepentingan antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh
sebab itu, untuk bisa membuatnya lebih mudah maka perlu dibentuk suatu kerja
sama antara beberapa negara agar kepentingan tersebut dapat tercapai berdasarkan
pada keuntungan yang didapatkan oleh masing–masing pihak (Rizka, 2016).

Dalam konsep kerja sama internasional, kerja sama dapat dikategorikan


berdasarkan jumlah negara yang melakukan kerja sama. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan konsep kerja sama bilateral yang di mana kerja sama bilateral

23
merupakan kerja sama yang dilakukan oleh dua negara saja. Hubungan kerja sama
bilateral merupakan suatu kondisi yang menggambarkan hubungan timbal balik
antara dua pihak yang melakukan kerja sama, dengan aktor utamanya adalah negara
(Perwita & Yani, 2005). Dapat diartikan disini bahwa hubungan kerja sama bilateral
yang dilakukan oleh kedua negara merupakan sebuah hubungan timbal balik, yang di
mana kedua negara bekerja sama berdasarkan keinginan untuk mendapatkan
keuntungan dari hasil kerja sama yang dilakukan. Keuntungan yang dimaksud adalah
kepentingan nasional yang ingin diwujudkan kedua negara yang bekerja sama yang
dimanifestasikan dalam bentuk kooperasi. Pola kerja sama bilateral meliputi proses
(Perwita & Yani, 2005): Respon atau kebijakan aktual dari negara yang menginisiasi,
persepsi dari respon tersebut oleh pembuat keputusan di negara penerima, aksi balik
dari negara penerima keputusan, persepsi oleh pembuat keputusan dari negara
penginisiasi.

Kerja sama bilateral dalam penelitian ini berfokus pada bidang keamanan
non-tradisional dengan kasus tindak pindana siber lintas negara. Kerja sama
keamanan menggunakan kombinasi program dan kegiatan di mana mendorong dan
memungkinkan negara dan organisasi untuk bermitra dengan negara lain untuk
mencapai tujuan strategis. Bantuan luar negeri terdiri dari sejumlah program yang
disahkan secara hukum yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori umum bantuan
pembangunan, bantuan kemanusiaan, dan bantuan keamanan dengan tujuan strategis
untuk mempromosikan negara tuan rumah untuk jangka panjang dan stabilitas
regional. Dalam hal ini, seperti dibentuknya jaringan pemulihan aset yang diteliti
oleh penulis. Kegunaan kerja sama keamanan antar negara diharapkan dapat
membangun pertahanan secara domestik, pertahanan dan pembangunan internal
adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk mendorong
pertumbuhannya dan melindungi dari subversi, pelanggaran hukum, pemberontakan,
terorisme, dan ancaman lain terhadap keamanannya. Hal ini berfokus pada keamanan
dan membangun lembaga-lembaga sipil, sosial, dan ekonomi yang layak yang
menanggapi kebutuhan penduduk negara itu.

24
2.2 Alur Pemikiran

Gambar 2. 1 Alur Pemikiran

Sumber: (Penulis, 2023)

Berdasarkan pada rumusan masalah dan kerangka pemikiran yang diangkat,


penulis di bagian awal akan menjelaskan mengenai permasalahan yang muncul
adalah di mana di tengah perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, semakin
banyak terjadinya kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan siber. Kejahatan siber
mengalami perkembangan pesat tanpa mengenal batas wilayah negara lagi
(borderless state). Setelah itu penulis akan menjelaskan terkait kasus yang diangkat
dalam penelitian ini, suatu perusahaan di Belanda menjadi korban jaringan tindak
pidana siber dalam pembayaran pembelian peralatan medis untuk penanganan
COVID-19 yang dilakukan dengan pembajakan e-mail korespondensi. Kemudian
penjelasan di akhir akan menjelaskan mekanisme kerja sama antara Indonesia dan
Belanda melalui keanggotaannya dalam jejaring pemulihan aset di wilayah Eropa
bernama CARIN dalam pengembalian aset milik Belanda dilakukan di bawah
kerangka informal CARIN.

25
2.3 Hipotesis

Penulis memberikan jawaban sementara bahwa implementasi kerja sama


dalam pengembalian aset yang dilakukan oleh Belanda dan Indonesia melalui jejaring
pemulihan aset dianggap mampu meningkatkan indikasi keberhasilan pengembalian
aset. Dalam proses pengimplementasian kerja sama, pemerintah Indonesia
diperkirakan melakukan banyak upaya dengan pola pendekatan penegak hukum yang
tidak lagi hanya berupaya untuk menghukum pelaku secara konvensional dengan
pendekatan follow the suspect, melainkan juga pada pendekatan follow the asset, serta
memperluas jangkauan deteksi terhadap beneficial ownership yakni penerima
manfaat agar dapat memutus mata rantai kejahatan. Upaya Indonesia dalam
mengimplementasikan kerja sama melalui jejaring pemulihan ini akan memberikan
dampak positif pada Indonesia yakni meningkatkan citra Indonesia di mata dunia
internasional. Selain itu keberhasilan dari kerja sama ini akan membentuk kerja sama
yang mumpuni, sigap dan siap akan prospek terjadinya konflik, baik konflik yang
terjadi di Indonesia atau di belahan dunia lain melalui jejaring pemulihan aset. Secara
singkat, penulis melihat bahwa peranan dari jejaring pemulihan aset sudah sesuai
dengan peranan yang diharapkan sebagai sebuah upaya penyelesaian pengembalian
aset dengan mekanisme yang lebih mudah, efektif, dan efisien, hanya masih
rendahnya penelitian terhadap jejaring pemulihan aset dan perlunya program-program
pemerintahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan keterlibatan negara-negara
lain, terlebih negara berkembang.

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerja sama
antara Indonesia dan Belanda dalam menangani pengembalian asset melalui jejaring
pemulihan aset. Permintaan bantuan hukum Pemerintah Belanda kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang dikirim pada tanggal 10 November 2020 dan 22 Desember
2020. Aktor yang menandatangani permohonan bantuan hukum ini adalah Jaksa
Penuntut Umum, di Arnhem, mr. M. ten Velde, untuk pihak Belanda pada tanggal 10
November 2020 dan Kepala Komisi Pusat Belanda untuk Bantuan Hukum Timbal
Balik Dalam Perkara Kriminal, Ms K.G. Scheepers, untuk pihak Belanda pada
tanggal 22 Desember 2020. Permintaan bantuan hukum ini tentunya diharapkan dapat
memperat hubungan diplomasi antara kedua negara, juga dalam pertukaran informasi
serta kerja sama dalam ruang siber. Dengan keberadaan kerja sama ini, diharapkan
Indonesia dapat mengembangkan kerja sama keamanan siber dengan bekerja sama
dengan negara yang besar seperti Belanda.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah deskriptif,
dapat diartikan penelitian deskriptif memberikan gambaran dengan menggunakan
kata-kata untuk masalah penelitian. Memberikan gambaran juga ke suatu keadaan
atau peristiwa berdasarka fakta yang ada atau sebagaimana mestinya kemudian
diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan (Nugrahani, 2014). Dengan
menggunakan jenis penelitian deskriptif, penulis mencoba mengumpulkan fakta-fakta
kejahatan siber, jenis-jenis kejahatan siber, penanganan pemulihan aset, kerja sama
dalam menangani permasalahan tersebut oleh kedua negara yaitu Indonesia dan

27
Belanda, bentuk perjanjian yang ditanda tangani kedua negara, dan mekanisme kerja
sama yang telah dilakukan.
3.3 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dalam upaya


untuk membuktikan serta menjawab, mengenai permasalahan penelitian yang sedang
dibahas. Menurut definisi (Creswell, 2008), metode penelitian kualitatif adalah
metode atau pencarian untuk mengeksplorasi dan memahami fenomena sentral.
Untuk memahami fenomena sentral, peneliti mewawancarai peserta penelitian dengan
mengajukan pertanyaan umum dan cukup luas. Kemudian kumpulkan informasi
berupa kata-kata atau teks. Kemudian menganalisis informasi yang dikumpulkan.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis kemudian mendeskripsikannya dengan
penelitian-penelitian sebelumnya oleh ilmuwan lain. Hasil akhir penelitian kualitatif
disajikan dalam bentuk laporan tertulis. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini
dipilih oleh penulis beradasrkan tujuan penelitian yang ingin mendapatkan gambaran
proses implementasi kerja sama Indonesia dan Belanda dalam pengembalian aset
hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda melalui CARIN.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan data


yang diperlukan sesuai dengan tata cara penelitian sehingga memperoleh data yang
dibutuhkan, Sugiyono dalam karyanya mengatakan bahwa teknik pengumpulan data
adalah langkah yang paling strategis dalam melakukan penelitian, mengumpulkan
data adalah tujuan utama dari penelitian (Sugiyono, 2013). Metode penelitian
kualitatif juga memiliki empat teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang
efektif, menurut buku (Bryman, 2012) langkah-langkah tersebut adalah focus group
discussion (FGD), studi literatur, wawancara kualitatif, dan observasi partisipasi.

28
3.4.1 Studi Kepustakaan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis/metode penelitian dengan


bentuk penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
menggunakan berbagai bahan yang ada di perpustakaan, seperti dokumen, buku,
majalah, dan cerita sejarah, untuk mengumpulkan informasi dan data (Mardalis,
1999). Penelitian kepustakaan juga dapat mempelajari hasil dari berbagai buku
referensi dan penelitian sejenis sebelumnya, yang membantu untuk memperoleh
landasan teori atas masalah yang akan diteliti (Sarwono, 2006).
Penelitian kepustakaan juga berarti teknik pengumpulan data dengan
berkonsultasi dengan buku, literatur, catatan, dan berbagai laporan yang berkaitan
dengan masalah yang akan dipecahkan (Nazir, 1988). Sedangkan menurut para ahli
lain, penelitian kepustakaan adalah sejenis penelitian teoritis, literatur referensi, dan
literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai, dan norma, yang
dikembangkan dalam konteks sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012). Adapun langkah-
langkah dalam penelitian kepustakaan adalah sebagai berikut (Kuhlthau, Maniotes, &
Caspari, 2012): Pemilihan topik, eksplorasi informasi, menentukan fokus penelitian,
pengumpulan sumber data, persiapan penyajian data, penyusunan laporan.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data kualitatif, yang


digunakan untuk mengumpulkan data apabila, peneliti akan melakukan studi
pendahuluan dan mengetahui lebih detail dan rinci mengenai respon dari responden,
dalam hal ini obyek yang di teliti. Selain wawancara, penulis juga dapat menjadi non-
partisipan dengan melakukan observasi lapangan, peneliti hanya sebagai pengamat
dan tidak terlibat langsung (Sugiyono, 2013).
Tujuan dari wawancara penelitian adalah untuk menggali pandangan,
pengalaman, keyakinan dan/atau motivasi individu tentang hal-hal tertentu. Metode
kualitatif, seperti wawancara, diyakini memberikan pemahaman 'lebih dalam' tentang
fenomena sosial daripada yang diperoleh dari metode kuantitatif murni, seperti

29
kuesioner. Oleh karena itu, wawancara paling tepat di mana sedikit yang sudah
diketahui tentang fenomena studi atau di mana wawasan rinci diperlukan dari masing-
masing peserta (Gill, Stewart, Treasure, & Chadwick, 2008).
3.5 Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data merupakan aspek yang sangat krusial dalam
menentukan kualitas hasil penelitian dan juga keabsahan dari penelitian itu sendiri.
Oleh karena itu, sumber data akan dikumpulkan menggunakan metode data primer
dan data sekunder.
3.5.1 Data Primer

Menurut (Hasan, 2002, p. 82) data asli adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan langsung di tempat oleh orang yang melakukan penelitian atau personel
terkait yang membutuhkannya. Data utama dapat diperoleh dari orang dalam yaitu
individu, seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data mentah tersebut
meliputi catatan wawancara, observasi lapangan, dan data informan.

3.5.2 Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan orang dari
sumber yang ada untuk penelitian (Hasan, 2002, p. 58). Data ini digunakan untuk
mendukung informasi utama yang diperoleh dari bahan pustaka, literatur, penelitian
sebelumnya, buku, dan lain-lain.

3.6 Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif.


Karena permasalahan pada penelitian ini tidak terungkap melalui data statistik atau
angka. Sehingga teknik data analisis data kualitatif berupa kata-kata atau penjelasan.
Menurut Sugiyono analisis data kualitatif dibagi dalam tiga cara, yaitu:

30
3.6.1 Reduksi Data

Reduksi data dapat diartikan sebagai data yang diperoleh dari lapangan
dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga diperlukannya perncatatan secara teliti
dan rinci. Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah untuk penelitian selanjutnya dalam pengumpulan data (Sugiyono,
2013). Reduksi data yang akan dilakukan penulis merupakan data yang diterima dari
hasil wawancara dengan narasumber, studi pustaka seperti laporan, jurnal, ataupun
dokumen resmi tentang kerja sama antara Indonesia dan Belanda. Data – data tersebut
akan penulis rangkum dan diteiliti serta pilih untuk menjadikan data tersebut dapat
digunakan atau tidak. Dilakukannya reduksi data dengan tujuan untuk memudahkan
informasi yang ada untuk dimasukan kedalam penulisan penelitian ini yang
dilakukan.

3.6.2 Penyajian Data

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah penyajian data. Biasanya


dalam penelitian kualitatif penyajian data bias dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antara kategori, dan sejenisnya (Sugiyono, 2013). Penulis akan
menyajikan data dalam bentuk narasi yaitu menjelaskan dan menggambarkan data
dan informasi yang didapat dari kerja sama antara Indonesia dan Belanda, untuk
mendukung asumsi utama penulis pada penelitian ini, bahwasannya kerja sama dalam
pengembalian aset dengan bantuan informal dapat menjadi sebuah alternatif yang
lebih efektif.

3.6.3 Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

Hal terakhir yang harus dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah menarik
kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya (Sugiyono, 2013). Pada tahap
akhir ini penulis akan melakukan penarikan kesimpulan melalui data dan informasi

31
yang sudah ada yang telah dikaji kembali. Dengan ini, setelah semua tahap dilalui
akan memungkinkan penulis untuk mengambil sebuah kesimpulan yang telah
diverifikasi agar dapat membuat penelitian tersebut memiliki suatu kualitas, dan dapat
berkontribusi dalam pengembangan kerja sama siber Indonesia.

3.7 Teknik Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji


kredibilitas (perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, analisis
kasus negatif, menggunakan bahan referensi, atau mengadakan membercheck,
transferabilitas, dependabilitas, maupun konfirmabilitas. Teknik keabsahan data
dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi. Menurut (Sugiyono, 2015, p. 83)
triangulasi data merupakan teknik pengumpulan data yang sifatnya menggabungkan
berbagai data dan sumber yang telah ada. Tujuan triangulasi adalah untuk
meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari penelitian
kualitatif. Menurut (Helaluddin & Wijaya, 2019, pp. 120-121) triangulasi data
merupakan teknik pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
berbagai waktu. Maka terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan
data dan triangulasi waktu.

Teknik triangulasi yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah teknik
triangulasi sumber, Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi
tertentu dengan menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek
yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.

32
3.8 Tabel Rencana Waktu

3.8.1 Waktu Penelitian

Tabel 3. 1 Tabel Waktu


No Kegiatan Bulan
. Oktobe Novembe Desembe Januar Februar Maret April Mei Juni
r r r i i 2023 2023 2023 2023
2022 2022 2022 2023 2023
1. Bimbingan      
  

2. Studi
    

Pendahulua   
n
3. Penyusunan 
       
Proposal
4. Ujian  
Proposal

5. Revisi 
Proposal

6. Pengambila 
n Data
7. Pengolahan 
Data
8. Penyusunan 
Hasil
Penelitian
9. Ujian
Skripsi

10. Revisi
Skripsi

Sumber: (Penulis, 2023)

33
3.8.2 Tempat Penelitian

Proses pencarian data penelitian penulis mengenai lokasi wawancara dan studi
dokumentasi akan mencoba untuk disesuaikan dengan kondisi ketersediaan sumber
dan narasumber terkait, baik secara daring melalui platform Zoom Meeting, maupun
akan dilakukan secara luring, mengingat kondisi saat ini sedang dalam masa transisi
pandemi COVID-19. Adapun tempat rencana penelitian:

1. Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Republik Indonesia


Merupakan narasumber kunci dalam penelitian ini. Informasi yang penulis
butuhkan yaitu mengenai mekanisme kerja sama antara Indonesia dan
Belanda dalam pengembalian aset hasil tindak pidana siber di bawah kerangka
informal CARIN.

34
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengembalian Aset di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan yang dapat


dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam upaya pemerintah untuk mengembalikan
kerugian keuangan suatu negara sebagai akibat dari tindak pidana namun dalam
instrumen hukum nasional yang berlaku di Indonesia, pengembalian aset belum diatur
secara tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang khusus. Upaya-upaya
dimaksud antara lain diatur dalam:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Perampasan aset dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 10
b KUHP dimana termasuk kedalam jenis pidana tambahan. Selanjutnya,
Ketentuan umum yang menjadi dasar hukum untuk perampasan barang
adalah kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 39
sampai dengan Pasal 42. Ketentuan ini pada dasarnya menegaskan bahwa
barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau
yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 194 KUHAP yang mengatur mengenai perampasan asset pada
pokoknya menegaskan pengembalian aset kepada pihak yang paling
berhak dalam putusan bebas atau lepas kecuali apabila memang telah
ditetapkan bahwa barang tersebut dirampas untuk kepentingan Negara
atau dimusnahkan atau rusak.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Korupsi)

35
Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan antara lain adalah
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi. Dalam hal ini termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU TPPU
memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim
untuk memblokir sementara bahkan hingga merampas Harta Kekayaan
yang telah disita apabila Terdakwa meninggal dunia (Pasal 79 ayat (4) UU
TPPU).
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik
Dalam Masalah Pidana.
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption.
Untuk mekanisme perampasan aset didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) UU
Tipikor yang menyatakan: “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut”. Berdasarkan pasal tersebut, maka tindakan perampasan aset telah
diatur dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagai
upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan tersebut. Kemudian dalam Undang-
undang Korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan
melalui dua instrument hukum yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata
(Nugraha, 2020)

36
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengaturan mengenai
pengembalian aset negara dimasukkan ke dalam pidana tambahan yaitu perampasan
barang-barang tertentu, dan pengembalian aset dapat diganti dengan kurungan badan
jika tidak dapat diserahkan atau dibayarkan. Mengacu pada sistem yang terkandung
dalam KUHP tersebut, terlihat bahwa perampasan aset diidentifikasikan sama
dengan perampasan barang-barang yang termasuk ke dalam pidana tambahan, dan
apabila barang rampasan tidak diserahkan atau tidak dapat dibayar maka diganti
dengan kurungan penjara. Sedangkan dalam KUHAP, pengaturan mengenai
perampasan barang diatur lebih rinci. Sebagai peraturan pidana, kedua peraturan
tersebut tentunya menggunakan menggunakan asas dalam hukum pidana dimana
pengembalian aset hasil tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan terhadap tuntutan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Di satu sisi
pemerintah menginginkan aset negara yang dicuri dikembalikan kepada kas negara,
namun di pihak lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memberikan kemudahan dengan adanya uang pengganti tersebut, dan apabila tidak
dapat dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Upaya pidana tidak
memungkinkan untuk dikerahkan atau diberikan, hal ini dikarenakan tidak
ditemukan cukup bukti, tersangka/terdakwa/terpidana meninggal dunia, terdakwa
diputus bebas, adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas
untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.

UU Pemberantasan Tipikor tidak hanya memberikan peluang hukum pidana,


tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum perdata. Secara teknis-
yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara (JPN)
dalam melakukan gugatan perdata dikarenakan hukum acara perdata yang digunakan
sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang menganut asas pembuktian
formal. Beban pembuktian terletak pada JPN yang mana sebagai penggugat harus
membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara yakni, 1. kerugian
keuangan negara yang diakibatkan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana, 2.
adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan

37
untuk pengembalian kerugian keuangan negara. Selain itu, seperti umumnya
penanganan kasus perdata, mekanisme membutuhkan waktu yang sangat panjang
sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, hukum
acara perdata cenderung menghambat efektifitas pengembalian aset dikarenakan
memerlukan waktu yang relatif lama sampai putusan atas aset tersebut dapat
dieksekusi. Selain itu, beberapa hambatan lainnya seperti adanya biaya yang harus
dibayar oleh penggugat, adanya kemungkinan gugatan perlawanan dari pihak ketiga
terhadap aset yang akan dieksekusi, tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara,
tidak ada hakim ad hoc, adanya proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana
yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya
proses perdamaian yang harus ditempuh, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan
kesulitan dalam proses penegakan hukum perdata karena negara sebagai penggugat
harus mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan tergugat adalah pelaku tindak
pidana serta pembuktian tentang seberapa besarnya kerugian negara akibat tindak
pidana tersebut setelah terjadinya proses hukum dalam ruang lingkup hukum pidana
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 18 ayat (1) huruf b,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktiknya, UU Tipikor dinilai belum
cukup optimal untuk menjadi sarana pengembalian kerugian negara melalui jalur
perampasan aset secara pidana maupun perdata dikarenakan Undang-Undang saat ini
masih menitikberatkan pada putusan hukuman terhadap pelaku dibanding
pengembalian aset negara yang hilang untuk dikembalikan kepada negara sehingga
dibutuhkan produk hukum yang baru dalam mengatur mengenai mekanisme
pengembalian aset hasil tindak pidana.

Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia melalui Badan Pembinaaan


Hukum Nasional (BPHN) menyusun Naskah Akademik yang ditulis oleh Dr.
Ramelan, S.H., M.H., sebagai landasan pembentukan RUU Perampasan Aset (RUU
PA) pada tahun 2012. RUU PA memiliki terobosan yang dibutuhkan oleh para

38
penegak hukum dengan mengadopsi sistem hukum perampasan aset tindak pidana
tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana (non conviction based forfeiture)
(Nugraha, 2020). Sistem NCB asset forfeiture mengatur suatu negara untuk memiliki
kesempatan yang luas dalam merampas segala aset yang diduga merupakan hasil
tindak pidana dan aset-aset lain yang patut diduga sebagai sarana untuk melakukan
tindak pidana, khususnya yang termasuk dalam kategori transnational organized
crime. Adapun mekanisme NCB asset forfeiture didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu dengan proses
pengembalian aset dilakukan dengan cara penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan
perampasan aset. Secara formal, RUU PA Tindak Pidana tercantum di antara 189
judul RUU di dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019, tetapi RUU itu
tidak masuk ke dalam daftar prioritas tahunan. Istilah NCB asset forfeiture memang
belum dikenal jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga
belum ada definisi yang jelas terkait hal ini. Meskipun demikian, mekanisme
perampasan aset melalui sistem NCB asset forfeiture telah sejalan dengan beberapa
konvensi Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, seperti
International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism yang
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 dan UNCAC yang
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, dan memenuhi standar 40
Recommendations Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang
juga menggariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan, sehingga
sistem NCB asset forfeiture tetap dapat diterapkan. Dalam penelitiannya, penulis
menemukan terdapat beberapa negara yang telah berhasil dalam penerapan peraturan
tentang NCB asset forfeiture seperti Amerika, Inggris, Thailand, dan negara lainnya.
Selain konvensi internasional, Indonesia juga menetapkan beberapa peraturan yang
mendukung penerapan NCB asset forfeiture seperti:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

39
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor


20 Tahun 2001
3. Undang-Undang 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

4. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana


Korupsi

5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara


Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan
Perkara Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan
dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa peraturan yang


menghambat penerapan NCB asset forfeiture yakni sebagaimana yang sudah
dijelaskan penulis sebelumnya, bahwa belum disahkannya RUU PA, belum adanya
hukum acara terkait mekanisme NCB asset forfeiture dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, pembatasan
perampasan harta dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tantangan lainnya yang harus
dihadapi pemerintah diantaranya terkait dengan isu hak atas harta kekayaan dan juga
proses peradilan yang adil. Dalam pengimplementasian RUU PA, pemerintah
setidaknya harus menegaskan bahwa mekanisme yang digunakan tidak untuk
membuktikan kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu aset
merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Kemudian, dalam pemberlakuan ketentuan
terhadap “yang diduga” atau “patut diduga” terkait, perlu diberikan kewaspadaan
yang besar karena dilingkupi oleh kandungan nuansa politik, filosofi, dan HAM. Hal

40
ini akan banyak mengundang argumentasi jika tidak diperolehnya kejelasan, alur
pikir, dan keseluruhan konsep yang ada di dalam RUU PA. Selain itu, terkait
kekuatan yang diandalkan pada informasi dan direksi penyidik diatur pada Pasal 8
Ayat 2 tentang Kejaksaan, Polri, KPK, dan PPNS untuk mengembangkan dan
bertindak berdasar dugaan/patut diduga (menduga). Verifikasi atas kemungkinan
perbedaan ragam, jenis, jumlah, dan nilai aset yang disita dari hasil dugaan para
penyidik baik Kejaksaan, Polri, KPK, atau penyidik pegawai negeri sipil (PPNS),
kemudian diserahkan ke Jaksa Agung, akan melibatkan kerja audit untuk keberanian
dan keahlian yang tidak sederhana. Berdasarkan perbandingan tersebut dapat
diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah sistem
penegakan hukum di Indonesia belum memiliki kerangka regulasi yang secara
komprehensif mengatur skema perampasan aset tanpa pemidanaan dan belum dapat
memaksimalkan pengembalian aset terutama dalam peraturan perundang-undangan
baik yang berkaitan dengan hukum materiil maupun hukum acaranya.
Tindak pidana yang mengambil hak suatu negara tidak saja semata-mata
merugikan keuangan negara, namun juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat sehingga dikategorikan sebagai extraordinary crime.
Penanganannya pun mengalami perubahan paradigma, dari penghukuman dan
penjeraan kepada penitikberatan pada pengembalian aset hasil tindak pidana yang
ditempatkan di negara lain. Oleh karena itu, PBB menetapkan penyitaan dan
perampasan hasil dan tindak pidana, terlihat dalam ketentuan sebagai berikut:

Tabel 4. 1 Konvensi Internasional PBB


No. Perjanjian Penandatanganan Hukum Ratifikasi Pemberlakuan

1. UNCAC 18 Desember 2003 Undang-Undang No. 7 19 September


Tahun 2006 ditetapkan 2006
pada tanggal 19
September 2006
2. UNTOC 12 Desember 2000 Undang-Undang No. 5 20 April 2009
Tahun 2009 ditetapkan

41
pada tanggal 20 April
2009
3. Drugs Convention 27 Maret 1989 Undang-Undang No. 7 24 Mei 1999
Tahun 1997
Sumber: (Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2023)

UNCAC sebagai pedoman penanganan tindak pidana korupsi di negara-


negara anggota konvensi mewajibkan kepada setiap negara untuk membuat peraturan
khusus yang mengatur pengembalian aset dalam rangka memberantas tindak pidana
yang diatur dalam Bab 5 Pasal 51-58 tentang Asset Recovery. Pasal 51 UNCAC
menyatakan bahwa prinsip dasar konvensi ini adalah pengembalian aset, maka
diharuskan untuk negara-negara pihak melakukan usaha seluas-luasnya dalam bekerja
sama dan memberi bantuan untuk penyelamatan aset sehingga memperbolehkan
pengambilan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengadili pelaku tindak
pidana maupun aset hasil tindak pidana tanpa adanya putusan pengadilan dalam
pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil
sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku (United Nations Convention against
Corruption, 2007). Hal ini berarti dibutuhkannya kerja sama di antara negara-negara
terkait merupakan tujuan yang paling mendasar dari usaha-usaha pemulihan aset
terutama untuk aset yang berada di negara lain. Pengembalian aset hasil tindak pidana
melalui kerja sama internasional diberikan justifikasi normatif tentang “International
Cooperation” tercantum pada Pasal 43 sampai dengan Pasal 50, termasuk di
dalamnya ketentuan mengenai ekstradiksi, mutual assistance in criminal matters,
transfer of proceedings, transfer of sentenced persons dan joint investigation. Strategi
pengembalian aset ini diatur dalam pembukaan UNCAC paragraf 8 menentukan,
bahwa: “Determined to prevent, detect and deter in a more effective manner
international transfers of illicitly acquired assets and to strengthen international
cooperation in asset recovery” (United Nations Convention against Corruption, 2004)
atau “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih
efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah,

42
dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.”
Kemudian, khusus untuk membantu menghadapi masalah berat pencurian aset publik
dari negara berkembang, World Bank bermitra dengan UNODC, meluncurkan StAR
Initiative pada bulan September 2007. StAR Initiative merupakan bagian integral dari
Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan
perlunya bantuan terhadap negara berkembang dalam pengembalian aset curian. StAR
Initiative juga dapat untuk membantu memonitor penggunaan atau pemanfaatan aset
yang sudah dikembalikan kepada negara berkembang (Herdiansah, 2011). Kerja sama
legal internasional dari StAR Initiative ini disediakan oleh UNCAC. Prakarsa StAR
mendorong negara-negara untuk meratifikasi dan menerapkan kerangka kerja yang
telah ditetapkan dalam UNCAC.
Salah satunya adalah dengan perjanjian bantuan timbal balik masalah pidana
atau MLA. Pembentukan MLA dilatarbelakangi oleh adanya kondisi bahwa
perbedaan sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya
keinginan masing-masing negara untuk menggunakan sistem hukumnya sendiri
secara mutlak sehingga penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit.
Menyikapi hal tersebut, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana yang berlaku sejak 3 Maret 2006
(Wardani, 2021). Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam
Undang-Undang ini adalah didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana,
perjanjian antarnegara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional
(Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2008). UU
MLA tidak mengatur dalam ketentuan atau pasal khusus mengenai mekanisme untuk
perampasan aset, tetapi hanya mengatur secara umum prosedur yang harus dilalui
ataupun tata cara dalam memberikan atau meminta bantuan, UU ini mengatur secara
rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan
Pemerintah Republik Indonesia kepada negara diminta antara lain menyangkut
pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan bantuan untuk mencari atau
mengidentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk
mengupayakan kehadiran orang. Pasal 5 menentukan bahwa: 1. Bantuan dapat

43
dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, 2. Adanya perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan
prinsip reprositas. Undang-undang ini dimaksudkan untuk meletakkan landasan
hukum yang kuat guna mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah
pidana, sebagai pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta
dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan membuat
perjanjian dengan negara lain. Selama ini, Indonesia telah aktif dalam menginisiasi
perjanjian MLA dengan negara lainnya untuk membantu penegakan hukum dalam
negeri. Sampai saat ini, Indonesia telah mengesahkan sebelas perjanjian MLA baik
secara bilateral maupun regional antara lain dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 4. 2 Perjanjian MLA Indonesia dalam Bilateral dan Regional


No Perjanjian Penandatanganan Hukum Ratifikasi Pemberlakuan
.
1. ASEAN MLAT 29 November 2004 Undang-Undang No. 15 9 September
Tahun 2008 ditetapkan pada 2008
tanggal 30 April 2008
2. Republik Indonesia – 27 Oktober 1995 Undang-Undang No. 1 17 Juli 1999
Australia Tahun 1999 ditetapkan pada
tanggal 27 Januari 1999
3. Republik Indonesia – 24 Juli 2000 Undang-Undang No. 8 28 Juli 2006
Republik Rakyat Tahun 2006 ditetapkan pada
Tiongkok tanggal 18 April 2006
4. Republik Indonesia – 30 Maret 2002 Undang-Undang No. 8 3 April 2014
Korea Tahun 2004 ditetapkan pada
tanggal 11 Maret 2004
5. Republik Indonesia – 3 April 2008 Undang-Undang No. 3 15 Juni 2012
Hong Kong Tahun 2012 ditetapkan pada
tanggal 28 Maret 2012
6. Republik Indonesia – 25 Januari 2011 Undang-Undang No. 9 11 Maret 2014
India Tahun 2014 ditetapkan pada
tanggal 11 Maret 2014
7. Republik Indonesia – 27 Juni 2013 Undang-Undang No. 13 18 November

44
Vietnam Tahun 2015 ditetapkan pada 2015
tanggal 18 November 2015
8. Republik Indonesia – 2 Februari 2014 Undang-Undang No. 6 6 Juni 2019
Uni Emirat Arab Tahun 2019 ditetapkan pada
tanggal 13 Maret 2019
9. Republik Indonesia – 14 Desember Undang-Undang No. 10 13 Oktober 2019
Iran Tahun 2019 ditetapkan pada
tanggal 1 Agustus 2019
10. Republik Indonesia – Undang-Undang No. 5 14 September
Swiss Tahun 2020 ditetapkan pada 2021
tanggal 6 Agustus 2020
11. Republik Indonesia – Undang-Undang No. 5 18 Desember
Rusia Tahun 2021 ditetapkan pada 2021
tanggal 19 Oktober 2021
Sumber: (Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2023)

Sebagai upaya dalam mendukung keefektifan dalam pengembalian aset dan


penyempurnaan Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang bantuan Timbal Balik
Dalam Masalah Pidana di masa yang akan datang diharapkan tugas dari Otoritas
Pusat untuk mendapatkan alat bukti dari negara asing, maka diperlukan kerja sama di
dalam negeri meliputi Kementerian Luar Negeri, POLRI, Kejaksaan Agung, KPK,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Hukum dan
HAM dengan tujuan untuk mengetahui aset-aset yang dapat disita, digeledah, diblokir
oleh instansi yang berwenang di negara asing serta diharapkan Undang-undang
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang akan datang dapat mengakomodir
segala bentuk aspek tindak pidana. Namun, baik dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-undang Nomor 17

45
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, tidak ada satupun dari peraturan tersebut yang
mengatur mengenai mekanisme atau tata cara serta lembaga mana yang berwenang
menerima dan mengelola pengembalian aset negara hasil tindak pidana yang mana
akibatnya sering terjadi bahwa hasil dari tindak pidana tersebut diambil alih oleh
penegak hukum seperti Kejaksaan (Nugraha, 2020). PPA sebagai satuan kerja
Kejaksaan terbentuk berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Per006/A/JA/3/2014 tanggal 20 Maret 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: PER-009/A/ JA/01/2011 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
2021), bertanggung jawab memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia
secara optimal. Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa melalui PPA Kejaksaan, Indonesia mengadopsi sistem baru dalam penanganan
pengembalian aset dengan Integrated Asset Recovery System secara efektif, efisien,
transparan dan akuntabel serta dengan value (nilai-nilai) yang ditanamkan untuk
dipedomani oleh SDM PPA. Sistem ini dilakukan dengan mengintegrasikan dan
mengoptimalkan seluruh agensi, instansi dengan kewenangan-kewenangan yang ada
untuk berfokus kepada aset. PPA mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pemulihan
aset yang menjadi kewenangan Kejaksaan RI sesuai peraturan perundang-undangan
serta koordinasi dengan jaringan kerja sama nasional maupun internasional dalam
pemulihan aset. Penerapan prinsip dasar UNCAC di Indonesia melalui PPA sendiri
dalam pengembalian aset sudah dilakukan berbagai langkah-langkah baik melalui
jalur formal maupun informal. Kerja sama formal sering kali memakan waktu,
membutuhkan banyak sumber daya, serta memerlukan keahlian. Seiring dengan
perkembangan global, komunitas internasional berusaha menginisiasi upaya baru
melalui jalur informal guna melengkapi prosedur formal. Meskipun waktu
pembentukan PPA masih dini, PPA sudah mampu menjalin jaringan
internasional. Indonesia bergabung menjadi pengamat pada CARIN, jejaring
pemulihan aset informal di wilayah Eropa dengan PPA Kejaksaan sebagai kontak
poin untuk CARIN di Indonesia.

46
4.2 Pengembalian Aset di Belanda

Belanda memiliki sistem penyitaan aset yang ketat dalam pelaksanaan


penyitaan aset secara legal sebagai bagian dari proses perdata dan pidana. Pembekuan
properti merupakan elemen penting dari proses ini yang mana memastikan bahwa
setiap aset yang berisiko disita disimpan sampai dapat ditentukan hasil akhirnya
melalui proses peradilan. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah untuk memberikan
restitusi yang efektif bagi para korban dan memastikan kepatuhan terhadap perintah
pengadilan mengenai disposisi properti yang disita. Dengan adanya perlindungan
komprehensif seperti itu, jelas bahwa penangkapan aset sebelum penghakiman di
Belanda ditanggapi dengan serius. Dalam proses pidana, perintah pengekangan dapat
dikeluarkan oleh pengadilan Belanda untuk mencegah aset dihamburkan atau dibuang
sebelum dapat disita setelah dinyatakan bersalah. Selain itu, perintah pembekuan
tersedia di bawah hukum Belanda yang memungkinkan individu atau organisasi yang
asetnya terkena investigasi pencucian uang untuk mempertahankan hak milik mereka
sampai masalah hukum diselesaikan. Perintah ini juga berlaku ketika penyelidikan
atas dugaan kejahatan keuangan mengungkapkan bahwa ada risiko hilangnya dana
atau bukti relevan lainnya. Kedua belah pihak harus bekerja sama satu sama lain dan
menyepakati cara terbaik untuk melindungi kepentingan yang dipertaruhkan. Perlu
juga dicatat bahwa pengaturan tersebut tidak hanya membantu memastikan
perlindungan terhadap pencucian uang, tetapi juga memainkan peran penting dalam
mencegah dampak buruk perekonomian negara lebih lanjut. Hal ini membantu
menjaga keseimbangan yang adil antara semua pihak berkepentingan yang terlibat
dengan memberikan penyelesaian yudisial yang cepat dalam kasus-kasus yang
melibatkan kesalahan dalam penggunaan keuangan. Dengan demikian, langkah-
langkah yang diperlukan kemudian dapat diambil menuju penyitaan properti oleh
instansi pemerintah jika diperlukan.

Dalam menangani kasus ini, pemerintah Belanda telah mengadopsi sejumlah


strategi untuk mengadili para tersangka. Salah satu strategi tersebut adalah

47
penangkapan aset sebelum penilaian. Praktik ini melibatkan pembekuan dan
penyitaan sumber daya keuangan untuk mencegahnya digunakan untuk melakukan
kegiatan kriminal lebih lanjut atau menghindari keadilan. Alat hukum utama yang
digunakan oleh pemerintah Belanda untuk tujuan ini adalah Wet op de voorlopige
hechtenis (Wvh). Melalui undang-undang ini, kejaksaan berwenang untuk meminta
perintah dari hakim yang memungkinkan mereka untuk membekukan atau menyita
aset sebelum memulai proses penuntutan terhadap individu atau organisasi terdakwa.
Pengadilan harus terlebih dahulu diyakinkan bahwa ada cukup bukti kegiatan
terlarang sebelum mengeluarkan perintah. Setelah dikeluarkan, aset yang ditangkap
tidak dapat dilepaskan kecuali dikembalikan oleh jaksa pada akhir penyelidikannya,
atau sampai diperintahkan lain oleh keputusan pengadilan setelah persidangan. Dalam
kasus ini, jaksa juga dapat mempertimbangkan untuk mengajukan tuntutan
berdasarkan undang-undang lain yang berlaku serta melalui Wvh. Hal ini dapat
mencakup dana yang diperoleh secara curang, pencucian uang, penggelapan pajak,
dan pelanggaran pendanaan teroris. Dalam setiap kasus, jaksa penuntut perlu
membuktikan tanpa keraguan bahwa kejahatan telah dilakukan agar sanksi pidana
dapat diterapkan dengan sukses. Proses pidana terhadap mereka yang diduga terlibat
dalam kegiatan tersebut dapat dimulai jika ada cukup bukti yang mendukung klaim
tersebut. Kemudian jaksa dapat memutuskan untuk melanjutkan tuntutan pidana
untuk pencucian uang atau tidak tergantung pada penilaian dan penyelidikan kasus
tersebut.

Pihak berwenang Belanda telah menerapkan langkah-langkah yang bertujuan


untuk menyimpan bukti yang berpotensi membantu untuk mendukung setiap klaim
yang dibuat sehubungan dengan tindak pidana pencucian uang, antara lain,
pembekuan aset, penyitaan dokumen, dan catatan terkait transaksi keuangan serta
memperoleh keterangan dari tersangka dan saksi yang terlibat dalam kasus yang
sedang diperiksa terkait tindak pidana pencucian uang. Selain itu, beberapa jenis
perintah penahanan juga dapat dikeluarkan oleh pengadilan selama proses penyitaan
untuk memastikan bahwa barang milik terdakwa dipertahankan sampai putusan

48
dijatuhkan. Perintah tersebut mencegah hilangnya aset atau penghancuran bukti
potensial apa pun sebelum persidangan dan memungkinkan lembaga penegak hukum
mengamankan properti yang mereka yakini digunakan atau diperoleh dengan hasil
yang dihasilkan melalui aktivitas ilegal seperti pencucian uang. Pembekuan aset pra-
penilaian di Belanda adalah salah satu cara paling ampuh untuk menjaga aset sampai
persidangan dan memfasilitasi pemulihan sesudahnya. Hal ini memungkinkan pihak-
pihak yang terlibat dalam perselisihan untuk mencegah pihak ketiga men transfer
atau menyembunyikan aset selama menunggu persidangan. Penyitaan pra-peradilan
dapat dilakukan melalui perintah pengadilan atau melalui keputusan administratif.
Dalam hal penyitaan aset, hukum Belanda memberikan prosedur yang jelas untuk
barang berwujud dan tidak berwujud. Comtohnya, ketika menjalankan perintah
pengadilan, aset bergerak apa pun dapat disita jika pemilik telah diberikan
pemberitahuan tentang proses tersebut sebelumnya. Sedangkan untuk barang tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan harus terlebih dahulu diperoleh kuasa hukumnya
sebelum dapat dilakukan penyitaan. Selanjutnya, rekening bank hanya dapat
dibekukan setelah proses pelayanan pada pemegang rekening dan izin yang diberikan
oleh pengadilan. Risiko penyalahgunaan tindakan pra-penilaian juga tidak boleh
diabaikan. Untuk memastikan perlindungan yang tepat terhadap penyalahgunaan
sementara, ada beberapa perlindungan dalam hukum Belanda yang membatasi
bagaimana perintah ini digunakan. Ini termasuk membatasi ruang lingkup barang
yang akan disita, menetapkan tenggat waktu khusus untuk pengajuan aplikasi, dan
mewajibkan pemberitahuan kepada semua pihak yang berkepentingan sebelum
pelaksanaan perintah penyitaan.

Pedoman hukum ini memberikan wawasan tentang faktor-faktor apa yang


perlu dipertimbangkan saat mengevaluasi aset potensial selama proses litigasi.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua pihak terkait yang terlibat dan peran
mereka masing-masing, karena hal ini akan menentukan undang-undang mana yang
akan digunakan. Investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan nilai aset
atau jaminan apa pun yang terkait dengan kasus yang ditangani yaitu melibatkan

49
melihat catatan keuangan, seperti rekening bank atau investasi, untuk menetapkan
kepemilikan dan hak hukum atas mereka. Setelah diidentifikasi, aset-aset ini perlu
dilindungi agar tidak dihamburkan oleh mereka yang menahannya sambil menunggu
proses pengadilan. Untuk memastikan pelestarian aset ini, mungkin perlu dilakukan
perintah penyitaan (conservatoir derdenbeslag) terhadap pihak ketiga yang
bertanggung jawab untuk pembayaran atas nama orang lain, atau bahkan perintah
penyitaan (vreemdelingenbeslagen) jika ada bukti bahwa orang asing warga negara
telah menggunakan bank yang berlokasi di Belanda untuk kegiatan pencucian uang.
Selain itu, dapat juga dilakukan tindakan penindakan terhadap barang bergerak yang
dikuasai oleh pihak lain yang mempunyai hubungan dengan mereka. Dalam hal ini
termasuk menangkap kapal, pesawat terbang dan kendaraan lain yang digunakan oleh
individu yang terkait; penjualan surat berharga yang diperintahkan pengadilan; dan
menyita barang berwujud sampai pembayaran diterima.

Mengungkap dana tersembunyi adalah tahap yang rumit, membutuhkan teknik


dan keahlian khusus. Salah satu teknik yang sering digunakan adalah pelacakan aset,
yang memerlukan identifikasi dan penempatan semua aset terdakwa. Proses ini
dimulai dengan mendapatkan bukti seperti laporan bank, pengembalian pajak, laporan
kartu kredit dan dokumen lain yang mungkin menunjukkan transfer uang antar
rekening yang dikendalikan oleh terdakwa. Penyelidik kemudian melacak dana
tersebut untuk menentukan di mana mereka disimpan atau ditransfer dengan cara
penggeledahan komputer atau wawancara dengan saksi yang mengetahui transaksi
yang melibatkan keuangan terdakwa. Metode lain yang digunakan adalah akuntansi
forensik, yang melibatkan analisis data keuangan yang diperoleh selama penelusuran
aset untuk mendeteksi penipuan atau penyalahgunaan dana dengan memeriksa pola
aktivitas dari waktu ke waktu. Akuntan forensik menganalisis sejumlah besar
informasi dengan cepat dan akurat untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian yang
mungkin menunjukkan kesalahan pada pihak terdakwa. Mereka juga mencari
kejanggalan dalam dokumen keuangan yang dapat memberikan petunjuk lebih lanjut
tentang potensi pelanggaran terkait penyembunyian atau pengalihan aset di luar

50
jangkauan. Penggunaan pelacakan aset dan akuntansi forensik telah menjadi semakin
umum dalam investigasi kriminal yang melibatkan penangkapan pra-penilaian aset di
Belanda karena keefektifannya dalam mengungkap kekayaan tersembunyi dan
mencegahnya hilang selamanya. Melalui analisis dan investigasi yang cermat,
penyelidik dapat menemukan bahkan sumber keuangan yang dijaga ketat sehingga
keadilan dapat ditegakkan.

Mekanisme pengembalian aset di Belanda sudah berjalan dengan baik karena


didukung oleh kerangka hukum yang komprehensif dalam penanganan pengembalian
aset. Belanda merupakan salah satu negara yang ketat dalam aturan dalam hal ini
penanganan pemulihan aset hasil tindak pidana. Untuk memastikan penanganan
hingga penuntutan yang efektif atas jenis pelanggaran ini, pemerintah Belanda
menggunakan segala teknik dan alat yang tersedia saat mengumpulkan bukti yang
diperlukan dan mengejar pelaku dengan integritas. Oleh karena itu, Belanda juga
terikat dengan perjanjian internasional guna mengoptimalisasi upaya pengembalian
aset hasil tindak pidana. Belanda menandatangani UNCAC pada tanggal 10
Desember 2003 dan diusulkan ke Parlemen untuk persetujuan oleh Menteri Luar
Negeri pada bulan September 2006, yang kemudian diratifikasi pada tanggal 31
Oktober 2006. Belanda telah ditunjuk sebagai otoritas pusat untuk permintaan
bantuan hukum timbal balik Departemen Kerjasama Hukum Internasional tentang
Masalah Pidana Kementerian Keamanan dan Kehakiman. Belanda tidak memiliki
undang-undang menyeluruh untuk penyediaan MLA, tetapi Belanda dapat menyetujui
dan melaksanakan MLA secara langsung berdasarkan Consumer Protection
Cooperation (CPC). Dalam regulasi CPC, otoritas yudisial diizinkan untuk
menanggapi permintaan MLA dalam arti upaya seluas mungkin. Pelaksanaan MLA
dapat dilakukan sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam permintaan, selama
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Belanda. Kerja sama masih
dapat terjadi tanpa adanya perjanjian dengan catatan tidak melibatkan tindakan
pemaksaan. Belanda menerima tindak pidana yang bersifat ganda untuk jenis bantuan
hukum tertentu yang melibatkan tindakan pemaksaan, dan untuk melakukan

51
pelaksanaan putusan asing. Sedangkan MLA untuk tindakan non-koersif dapat
diberikan tanpa adanya tindak pidana bersifat ganda. Sampai saat ini, Belanda
memiliki perjanjian bilateral tentang MLA dengan 21 negara.

Adapun inisiasi yang dilakukan Belanda terhadap pengadopsian MLA yaitu


MLA Initiative, yang muncul setelah pertemuan ahli yang diselenggarakan oleh
Belanda, Belgia dan Slovenia di Den Haag pada bulan November 2011. Inisiasi ini
dilatarbelakangi oleh pandangan yang sama antara ketiga negara tersebut terhadap
adanya kesenjangan hukum dalam bantuan hukum timbal balik dan ekstradisi antara
negara untuk ajudikasi nasional genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang. Maksud dari inisiasi ini untuk membuat perjanjian multilateral
prosedural modern tentang MLA dan ekstradisi yang akan memfasilitasi kerja sama
yang lebih praktis dan efisien antara negara-negara yang menyelidiki dan menuntut
suatu tindak pidana. Kelompok inti negara-negara yang memimpin MLA Initiative
kemudian diperbesar dengan Argentina, Senegal, dan Mongolia. MLA Initiative
beroperasi di luar Forum PBB. Sejak 2011, kelompok inti MLA Initiative difokuskan
untuk mendapatkan dukungan dari negara lain, baik secara bilateral maupun dalam
forum multilateral. Konferensi pembahasan rancangan konvensi MLA Initiative
dimulai di Doorn, Belanda pada tanggal 16-19 Oktober 2017 yang dihadiri lebih dari
40 negara pendukung. Rancangan konvensi dibahas lebih lanjut pada konferensi
kedua yang diadakan di Noordwijk, Belanda, pada tanggal 11-14 Maret 2019.
Kemudian konsultasi dilanjutkan secara virtual sebanyak tiga kali selama bulan Juni-
November 2021 dan bulan Juni 2022 dikarenakan adanya wabah pandemi COVID-19
untuk menyiapkan draf komprehensif yang akan menjadi dasar negosiasi di
konferensi. Setelah memperoleh dukungan ekstensif, dilakukannya sebuah negosiasi.
Akhirnya, konferensi ketiga dilakukan secara langsung di Ljubljana dari tanggal 15-
26 Mei 2023 dan Konvensi Ljubljana-The Hague berhasil diadopsi pada Sidang
Pleno ke-18 Konferensi Diplomatik MLA di Ljubljana, Slovenia, pada 26 Mei 2023.
Konvensi ini akan terbuka untuk semua negara untuk ditandatangani pada tahun 2024
pada tanggal yang akan ditentukan di Den Haag. Konferensi mengundang semua

52
Negara untuk menandatangani Ljubljana-The Hague Convention on International
Cooperation in the Investigation and Prosecution of the Crime of Genocide, Crimes
against Humanity, War Crimes dan kejahatan internasional lainnya. Dalam hal ini,
dapat disimpulkan bahwa Belanda terbuka untuk segala upaya penanganan
pengembalian aset baik melalui jalur formal maupun informal. Implementasi
penanganan pengembalian aset yang dilakukan Belanda yang efektif patut mendapat
pengakuan sebagai keberhasilan.

4.3 Camden Asset Recovery Interagency Network

Dalam praktiknya, tidak selalu mudah untuk melakukan pelaksanaan MLA.


Negara yang diminta untuk bantuan timbal balik memiliki hak untuk menolak karena
berbagai alasan selain dari ketentuan dalam pasal UU MLA dengan adanya perjanjian
yang disepakati sebelumnya. Alasan tersebut antara lain seperti kasus tindak pidana
yang sedang diproses oleh negara yang diminta bantuan adalah kejahatan politik atau
yang ada hubungannya dengan masalah politik, atau kejahatan dengan masalah ras,
etnik, agama, dan kepercayaan, serta paham politik yang dianut oleh orang yang
bersangkutan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran hak asasinya. Ataupun
dengan alasan lain seperti seperangkat alat-alat buktinya juga sedang dibutuhkan di
negaranya dengan kasus yang sedang diperiksa oleh negara lain yang
membutuhkannya, sehingga tidak mungkin untuk diserahkan kepada negara yang
meminta. Disamping itu, adanya ketentuan hubungan diplomatik antara negara dapat
menentukan keberhasilan kesepakatan penindaklanjutan MLA, akan tetapi tidak
memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang,
penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang,
pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara. Oleh karena itu, perlunya pembuatan
perjanjian bilateral ataupun multilateral antar negara dalam penanganan masalah-
masalah tindak pidana dalam hal ini yang bersifat transnasional sehingga ke depannya
dapat menjadi dasar atau payung hukum dalam melakukan kerja sama internasional.
Pada kenyataannya, proses pembuatan perjanjian antar negara juga membutuhkan

53
waktu yang relatif lama. Seiring perkembangan global terhadap berbagai
perancangan, pengadopsian hingga penetapan peraturan mengenai pengembalian aset
disertai dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang beragam dalam
pengimplementasiannya, diciptakannya inisiasi upaya baru pengembalian aset dengan
menggunakan jalur informal. Salah satunya melalui jejaring pemulihan aset yang
mana dalam penelitian ini membahas kerangka informal CARIN dalam menangani
kasus pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara antara Indonesia dan
Belanda. Pada dasarnya, kerja sama yang dilakukan oleh negara-negara anggota
jejaring pemulihan aset berdasarkan atas rasa kepercayaan walaupun belum adanya
hubungan diplomatik antar negara.

Camden Asset Recovery Interagency Network yang dikenal sebagai CARIN,


didirikan pada tahun 2004. CARIN adalah jaringan penegakan hukum informal,
praktisi peradilan, dan spesialis di bidang pelacakan aset, pembekuan, penyitaan.
Setiap negara anggota diwakili oleh seorang petugas penegak hukum dan seorang ahli
yudisial baik jaksa, hakim investigasi, dan/atau tergantung pada system hukumnya.
Pada bulan Oktober 2002, diadakan sebuah konferensi di Camden Court Hotel Dublin
yang diselenggarakan bersama oleh Biro Aset Kriminal Irlandia dan Europol.
Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari semua Negara Anggota Uni Eropa
dan beberapa negara pemohon bersama dengan Europol dan Eurojust. Peserta diambil
dari lembaga penegak hukum dan otoritas peradilan di negara-negara anggota.
Lokakarya diadakan antara praktisi dengan tujuan menyajikan rekomendasi yang
berhubungan dengan subjek mengidentifikasi, melacak dan menyita keuntungan dari
kejahatan. Salah satu rekomendasi yang muncul dalam lokakarya tersebut adalah
melihat pembentukan jaringan kontak informal dan kelompok kerja sama di bidang
identifikasi dan pemulihan aset kriminal. Nama yang disetujui untuk grup tersebut
adalah Camden Assets Recovery Interagency Network. Terdapat nilai tambah bahwa
keanggotaan kelompok akan meningkatkan kerja sama lintas batas dan antarlembaga
serta pertukaran informasi, di dalam dan di luar Uni Eropa.

54
Permulaan resmi CARIN berlangsung selama Kongres Pendirian CARIN di
Den Haag, 22-23 September 2004. Tujuan kongres ini adalah pembentukan jaringan
informal para praktisi dan pakar dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan
bersama tentang metodologi dan teknik di bidang identifikasi lintas batas,
pembekuan, penyitaan, dan penyitaan hasil kejahatan. Diharapkan dengan jaringan ini
akan meningkatkan kerjasama internasional antara lembaga penegak hukum dan
peradilan, yang ke depannya akan memberikan pelayanan yang lebih efektif. Negara
bagian dan yurisdiksi berikut yang menghadiri kongres peluncuran adalah Austria,
Belgia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman,
Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg, Malta,
Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Republik Slovakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris Raya (termasuk Dependensi Kerajaan Inggris Raya
Isle of Man, Guernsey, Jersey, dan Gibraltar), dan AS. Sekretariat permanen CARIN
berbasis di Markas Besar Europol di Den Haag. Anggota CARIN bertemu secara
rutin pada Annual General Meeting (AGM) atau Rapat Umum Tahunan. Organisasi
ini diatur oleh Steering Group atau Kelompok Pengarah yang terdiri dari sembilan
anggota dan Kepresidenan tahunan bergilir. Kepresidenan CARIN saat ini diduduki
oleh Amerika Serikat pada periode tahun 2022-2023. Kepresidenan sebelumnya
diduduki oleh Polandia pada tahun 2018, kemudian Rumania pada tahun 2019, Belgia
pada tahun 2020, Spanyol pada tahun 2021-2022, dan kepresidenan berikutnya akan
diduduki oleh Prancis 2023-2024.

Tabel 4. 3 Kepresidenan CARIN 2003-2022


Tahun Negara
2003-2004 Belgia dan Belanda
2005 Irlandia
2006 Austria
2007 Britania Raya
2008 Perancis
2009 Amerika Serikat
2010 Czechia
2011 Bulgari
2012 Hungaria
2013 Irlandia

55
2014 Spanyol
2015 Guernsey
2016 Belanda
2017 Swedia
2018 Polandia
2019 Rumania
2020 Belgia
2021-2022 Spanyol
2022-2023 Amerika Serikat
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)

Keanggotaan Kelompok Pengarah dirotasi secara berkala hingga tiga anggota


menawarkan untuk mundur setiap tahun agar Anggota lain dapat bergabung dengan
Kelompok Pengarah. Jika jumlah kandidat melebihi jumlah lowongan, pemungutan
suara dari semua Anggota dilakukan. Kelompok Pengarah mengawasi administrasi
jaringan, menerima permohonan keanggotaan dan status pengamat dan memutuskan
apakah suatu negara bagian, yurisdiksi, atau pihak ketiga memenuhi kriteria
keanggotaan. Europol dan Eurojust berstatus permanent observer di Kelompok
Pengarah. Kelompok Pengarah dapat membentuk kelompok kerja untuk memeriksa
dan melaporkan masalah hukum dan praktis. Kelompok Pengarah juga membantu
dalam penyusunan agenda Rapat Umum Tahunan dan mengidentifikasi hal-hal yang
perlu dipertimbangkan dalam rapat pleno.

Tabel 4. 4 Kelompok Pengarah CARIN 2003-2016

Tahun Kelompok Pengarah


2003-2004 Austria, Belgia, Jerman, Irlandia, Belanda, Britania Raya
2005 Austria, Belgia, Jerman, Irlandia, Belanda, Britania Raya
2006 Austria, Belgia, Czechia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jersey,
Belanda, Britania Raya
2007 Austria, Belgia, Czechia, Perancis, Jerman, Jersey, Belanda,
Britania Raya, Amerika Serikat
2008 Belgia, Bulgaria, Czechia, Perancis, Jerman, Jersey, Belanda,
Britania Raya, Amerika Serikat
2009 Belgia, Bulgaria, Czechia, Perancis, Jersey, Belanda, Spanyol,
Britania Raya, Amerika Serikat
2010 Belgia, Bulgaria, Czechia, Perancis, Hungaria, Belanda, Spanyol,
Britania Raya, Amerika Serikat
2011 Bulgaria, Czechia, Perancis, Guernsey, Hungaria, Irlandia,
Belanda, Spanyol, Amerika Serikat

56
2012 Bulgaria, Czechia, Perancis, Guernsey, Hungaria, Irlandia,
Belanda, Spanyol, Amerika Serikat
2013 Bulgaria, Czechia, Perancis, Guernsey, Hungaria, Irlandia,
Spanyol, Swiss, Amerika Serikat
2014 Bulgaria, Czechia, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda,
Spanyol, Swiss, United States of America
2015 Bulgaria, Czechia, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda,
Spanyol, Swiss, Amerika Serikat
2016 Bulgaria, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Belanda, Roman, Spanyol,
Swiss, Britania Raya
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)

Keanggotaan CARIN terbagi menjadi 3 yaitu member atau anggota, observer


atau pengamat, dan associate atau rekan. Status anggota CARIN terbuka untuk
negara anggota UE dan negara bagian serta yurisdiksi yang diundang peluncuran
kongres CARIN pada tahun 2004. Setiap anggota dapat mencalonkan dua perwakilan,
satu dari Badan Penegakan Hukum dan satu dari Otoritas Yudisial untuk menjadi
kontak CARIN mereka. Kantor Pemulihan Aset dapat mewakili penegakan hukum
atau peradilan. Anggota-anggota CARIN terdiri dari Austria, Belgia, Bulgaria,
Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman,
Gibraltar, Yunani, Guernsey, Hungaria, Irlandia, Pulau manusia, Italia, Jersey, Latvia,
Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Norway, Polandia, Portugal,
Rumania, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Britania
Raya, Amerika Serikat.

Berbeda dengan anggota, status pengamat tersedia untuk negara bagian dan
yurisdiksi yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota status, dan badan-
badan bukan pribadi yang bersangkutan dengan identifikasi dan penyitaan hasil dari
kejahatan. Setiap anggota pengamat dapat mencalonkan dua wakil untuk menjadi
kontak jaringan. Negara atau yurisdiksi pengamat dapat mencalonkan satu dari
Penegak Hukum Agensi dan satu dari Otoritas Yudisial untuk menjadi kontak CARIN
mereka. Kantor Pemulihan Aset dapat mewakili penegakan hukum atau peradilan.
Status pengamat tidak memberikan hak kepada anggota untuk pemungutan suara
pada rapat pleno atau keanggotaan Kelompok Pengarah. Pengamat-pengamat CARIN
ialah Albania, Andorra, ARIN-AP, ARIN-CARIB, ARIN-EA, ARIN-SA, ARIN-WA,

57
Australia, Bosnia dan Herzegovina, Kanada, Grup Egmont, EUROHANYA, EROPA,
FYR Makedonia, Georgia, Islandia, Indonesia, Pengadilan Pidana Internasional,
Interpol, Israel, Kazakstan, Kosovo, Moldova, Monako, Montenegro, OLAF, RRAG,
Rusia, Serbia, Afrika Selatan, Thailand, Ukraina. Status rekanan untuk badan yang
meskipun tidak terlibat dengan operasional pertukaran penegakan hukum dan
informasi peradilan, tetapi menunjukkan strategi pelengkap untuk berperan dalam
pengidentifikasian dan penyitaan hasil tindak pidana. Setiap anggota asosiasi dapat
mencalonkan dua perwakilan untuk menjadi kontak jaringan. Rekanan tidak berhak
untuk memberikan suara pada rapat pleno atau keanggotaan Kelompok Pengarah.
Status rekanan CARIN adalah Council of Europe, International Monetary Fund
(IMF), UNODC, dan World Bank.

Tabel 4. 5 Keanggotaan CARIN


No. Negara, Yuridiksi dan Organisasi Status Anggota
1. Albania Pengamat
2. Afrika Selatan Pengamat
3. Amerika Serikat Anggota
4. ARIN-AP Pengamat
5. ARIN-SA Pengamat
6. Australia Pengamat
7. Austria Anggota
8. Belanda Anggota
9. Belgia Anggota
10. Bosnia dan Herzegovina Pengamat
11. Britania Raya Anggota
12. Bulgaria Anggota
13. Cyprus Anggota
14. Czechia Anggota
15. Denmark Anggota
16. Egmont Group Pengamat
17. Estonia Anggota
18. Eurojust Pengamat (Permanen)
19. Europol Sekretariat
20. Finlandia Anggota
21. Georgia Pengamat
22. Gibraltar Anggota
23. Guernsey Anggota
24. Hungaria Anggota
25. Indonesia Pengamat

58
26. Islandia Pengamat
27. International Criminal Court (ICC) Pengamat
28. International Monetary Fund (IMF) Asosiasi
29. Interpol Pengamat
30. Irlandia Anggota
31. Isle Of Man Anggota
32. Israel Pengamat
33. Italia Anggota
34. Jerman Anggota
35. Jersey Anggota
36. Kanada Pengamat
37. Kosovo Pengamat
38. Kroasia Pengamat
39. Latvia Anggota
40. Liechtenstein Anggota
41. Lithuania Anggota
42. Luxembourg Anggota
43. Macedonia Pengamat
44. Malta Anggota
45. Moldova Pengamat
46. Monako Pengamat
47. Montenegro Pengamat
48. Norway Anggota
49. OLAF Pengamat
50. Perancis Anggota
51. Polandia Anggota
52. Portugal Anggota
53. Red de Recuperacion de Activos de GAFISUD (RRAG) Pengamat
54. Roman Anggota
55. Russia Pengamat
56. Serbia Pengamat
57. Slovak Anggota
58. Slovenia Anggota
59. Spanyol Anggota
60. Swedia Anggota
61. Swiss Anggota
62. Turki Anggota
63. Ukraina Pengamat
64. UNODC Pengamat
65. Yunani Anggota
66. World Bank Asosiasi
Sumber: (Camden Asset Recovery Inter-agency Network, 2015)

59
CARIN saat ini memiliki 61 yurisdiksi anggota terdaftar, termasuk 27 negara
anggota UE dan 13 organisasi internasional. Hal ini membantu untuk menghindari
duplikasi, meningkatkan jangkauan geografis jaringan regional dan memungkinkan
titik kontak untuk terlibat di seluruh dunia ketika kasus melibatkan negara di luar
wilayah mereka sendiri. Pemohon dapat meminta bantuan dari jaringan CARIN
melalui telepon atau e-mail dengan menemukan kontak CARIN wilayah pemohon
dan menempatkan mereka untuk bekerja untuk pemohon dalam penyelidikan
keuangan dan penyitaan atau proses penyitaan. Kontak CARIN wilayah pemohon
akan bekerja dengan kontak CARIN lainnya untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan pemohon. Pemohon juga dapat berkomunikasi langsung dengan otoritas
yang tepat di yurisdiksi lain, dengan fasilitasi dari kontak CARIN pemohon. Kontak
CARIN mendukung proses pemulihan aset yang lengkap, mulai dari titik awal
penyelidikan yang melibatkan pelacakan aset, hingga pembekuan dan penyitaan,
pengelolaan, dan terakhir penyitaan/penyitaan, termasuk pembagian aset yang
diperlukan antar yurisdiksi. Perwakilan negara anggota disebut "titik kontak
nasional".

Tujuan CARIN adalah untuk meningkatkan keefektifan upaya anggotanya,


secara multi-lembaga, untuk merampas aset hasil tindak pidana. Dalam upaya
memenuhi tujuan yang dinyatakannya, CARIN:
1. Menyiapkan jaringan titik kontak di berbagai yurisdiksi
2. Berfokus pada hasil dari semua kejahatan, dalam lingkup kewajiban
internasional
3. Bekerja untuk memantapkan diri sebagai pusat keahlian dalam segala
aspek penanggulangan hasil kejahatan
4. Mempromosikan pertukaran informasi dan praktik yang baik
5. Membuat rekomendasi kepada badan-badan seperti European
Commission (EC), the Council of the European Union, dan the Financial
Action Task Force (FTAF) misalnya, berkaitan dengan semua aspek
penyitaan hasil kejahatan

60
6. Bertindak sebagai kelompok penasihat untuk otoritas lain yang sesuai
7. Memfasilitasi, jika memungkinkan, pelatihan dalam semua aspek
penyitaan hasil kejahatan
8. Menekankan pentingnya kerjasama dengan pihak swasta
9. Mendorong para anggotanya untuk mendirikan kantor pemulihan aset
nasional.

Kriteria pihak-pihak yang dapat menggunakan CARIN ialah:

1. Jika pihak pemohon adalah petugas penegak hukum (polisi/bea


cukai/badan penegak hukum lainnya), jaksa, hakim atau hakim, atau
pejabat dari kantor pemulihan aset atau kantor manajemen aset;
2. Jika pihak pemohon seorang penyelidik, otoritas yudisial, atau struktur
administratif yang terlibat dalam proses pemulihan aset yang
mengidentifikasi dan melacak aset dan/atau hasil kejahatan, jika aset
tersebut berpotensi disita atau disita
3. Jika para pelaku berlokasi di yurisdiksi lain
4. Jika tersangka memiliki hubungan dengan yurisdiksi lain yang mungkin
termasuk memiliki aset atau melakukan transaksi di luar negeri
5. Jika pihak pemohon tertarik untuk membekukan atau menyita aset yang
berlokasi di yurisdiksi lain yang dapat disita atau disita
6. Jika pihak pemohon ingin meminta agar yurisdiksi lain melaksanakan
perintah pembekuan atau penyitaan/penyitaan atas nama pemerintah Anda
7. Jika pihak pemohon khawatir tentang bagaimana aset yang dibekukan
atas nama pemerintah pihak pemohon di yurisdiksi lain akan dikelola,
jika aset akan dijual, jika yurisdiksi pihak pemohon diharuskan
menanggung biaya perawatan aset, atau jika pihak pemohon harus
mengelola aset menggunakan kekuatan domestik pihak pemohon.
8. Jika pihak pemohon memiliki pertanyaan tentang bagaimana aset yang
disita akan dibagi antara yurisdiksi pihak pemohon dan yurisdiksi yang
memberikan bantuan hukum yang mengakibatkan penyitaan atau

61
perampasan, jika pihak pemohon ingin memastikan aset yang disita di
luar negeri akan dipulangkan atau dikembalikan kepada korban, jika
pihak pemohon khawatir tentang bagaimana repatriasi tersebut akan
berhasil dalam kasus pihak pemohon.

4.3.1 Pengembalian Aset Melalui Camden Asset Recovery Interagency Network


(CARIN)

Cara kerja CARIN terbagi menjadi 3 yaitu identify atau identifikasi, secure
atau aman, dan confiscate atau sita. CARIN bekerja dimulai dengan mengidentifikasi
lokasi hasil kejahatan dimana pelaku mencoba menyembunyikan aset mereka dengan
membawanya melintasi perbatasan. Ketika aset kriminal teridentifikasi, titik kontak
CARIN akan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa aset tersebut
dilindungi dan diamankan. Titik kontak CARIN dapat memperoleh perintah
pembekuan, mengambil alih aset, atau menggunakan daya lain yang tersedia
untuknya. Langkah terakhir adalah penyitaan aset kriminal setelah penetapan akhir
oleh pengadilan. Permintaan bantuan atau penerimaan informasi melalui jalur jejaring
pemulihan aset yang tidak dilakukan secara resmi tanpa pengesahan atas dokumen,
bukti, atau pernyataan mengakibatkan adanya keterbatasan seperti informasi yang
diterima tidak dapat digunakan di depan pengadilan, namun kewenangan sepenuhnya
ada pada pengadilan, sehingga informasi yang berkaitan dapat digunakan sebagai
bukti di depan pengadilan jika pihak terdakwa atau pengacara tidak keberatan dengan
penggunaan informasi di pengadilan. Seandainya pihak terdakwa keberatan dengan
penggunaan informasi tersebut, maka pihak polisi atau jaksa dapat mengajukan
permohonan resmi yaitu MLA. Aset atau hasil bersih dari pelepasan aset tersebut
kemudian akan dialihkan ke negara atau ke badan yang ditetapkan pada putusan
pengadilan. CARIN dapat membantu setiap tahap proses pemulihan aset sebagai
berikut:

1. Pelacakan Aset:

62
a. Menemukan rekening bank dan investasi, real estat, perusahaan, mobil,
kapal, dan pesawat terbang, melalui penegakan hukum atau informasi
publik
b. Menemukan di mana dan bagaimana aset yang terkait dengan
tersangka dapat disembunyikan atau disembunyikan melalui
penggunaan struktur perusahaan, nominee, trust, dan lain-lain.
2. Pembekuan dan Penyitaan Aset
Permintaan pihak negara pemohon terhadap yurisdiksi lain untuk
membekukan atau menyita aset dalam kasus atau penyelidikan.
3. Manajemen aset
a. Permintaan pihak negara pemohon untuk otoritas asing menjaga aset
yang dibekukan dan mempertahankan nilainya sampai kasus selesai.
b. Permintaan pihak negara pemohon untuk otoritas asing tidak menjual
aset sebelum keputusan akhir.
4. Penyitaan/penyitaan aset
Permintaan pihak negara pemohon untuk meminta yurisdiksi lain
melaksanakan keputusan atau perintah penyitaan.
5. Berbagi Aset
Permintaan pihak negara pemohon untuk dapat mencapai kesepakatan
tentang repatriasi aset atau nilainya kepada pemerintah pihak negara
pemohon dari yurisdiksi yang telah menyita dan/atau melikuidasi aset
dalam kasus atau penyelidikan.

CARIN memiliki Strategic Plan atau Rencana Strategis yang disusun untuk
diimplementasikan selama 4 tahun. Setelah publikasi Laporan Tahunan ke-3,
Kelompok Pengarah akan mulai merevisi kembali daftar rencana untuk tahun-tahun
berikutnya. Berikut adalah CARIN Strategic Plan Actions for 2018 – 2021:

1. Memperkuat kerja sama antara titik kontak CARIN dan mitra


internasional

63
a. Menjalin Kerja Sama dengan Yurisdiksi di Luar ARIN
Menetapkan titik kontak; untuk memberikan pelatihan, nasihat teknis
dan bantuan; untuk mendukung inisiatif pemulihan aset: dan
mengundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan CARIN.
b. Menghubungkan Jaringan ARIN
Meningkatkan kerja sama dan pertukaran informasi antar ARIN, untuk
mendukung pengembangan ARIN, dan untuk memfasilitasi kontak
antar titik kontak yang berbeda ARIN
c. Perluas Hubungan dengan Mitra Internasional yang Bertujuan Untuk
Mengatasi Kejahatan Terorganisasi
Mengembangkan kontak dengan organisasi pengamat CARIN dan
untuk menjalin kontak dengan mitra lain (termasuk status
keanggotaan/pengawasan).
d. Meningkatkan Partisipasi Anggota CARIN Dalam Jaringan
Meningkatkan partisipasi dan keterlibatan titik kontak CARIN dalam
kegiatan jaringan dengan menyusun dan menerapkan standar untuk
keanggotaan dan membuat kelompok kerja.
2. Meningkatkan pertukaran informasi antar kontak poin CARIN
a. Mengamankan Pertukaran Informasi Antara Kontak Poin Carin
Mengidentifikasi sarana pertukaran informasi yang ada dan kebutuhan
Kontak Poin CARIN dan untuk mempromosikan penggunaan bentuk
pertukaran informasi yang aman yang ada.
b. Standardisasi Carin Permintaan Informasi dan Tanggapan
Menyiapkan panduan operasional berdasarkan Inisiatif Swedia dan
untuk mempromosikan penerapannya.
c. Pengumpulan Statistik
Menciptakan mekanisme pelaporan yang efisien dan melaksanakan
implementasinya.
3. Mengembangkan CARIN sebagai center of excellence

64
a. Membantu Dan Mendukung Anggotanya dengan Memberikan
Keahlian dan Pengalaman di Bidang Pemulihan Aset
Menyiapkan daftar pelatih CARIN untuk disebarluaskan kepada pihak-
pihak yang meminta; untuk memberikan pelatihan kepada yurisdiksi
yang meminta; mengumpulkan dan menyiapkan bahan pelatihan.
b. Mengembangkan dan Mempertahankan Kontak Dekat dan Kerjasama
dengan Lembaga Pelatihan Internasional
Menjalin kontak dengan lembaga pelatihan terkait; untuk memberikan
pelatihan, nasihat teknis dan bantuan; meningkatkan kerjasama dengan
lembaga pelatihan dengan mengikuti pertemuan, pelatihan dan
seminar; untuk mengambil bagian dalam penilaian kebutuhan
pelatihan dari lembaga-lembaga ini.
c. Memfasilitasi Berbagi Pengetahuan Tentang Sistem Hukum
Anggotanya dan Undang-Undang yang Terkait dengan Investigasi
Keuangan dan Prosedur Pemulihan Aset
Mengumpulkan informasi yang relevan dan menyebarluaskannya di
antara Titik Kontak CARIN
d. Pengumpulan dan Diseminasi Praktik Terbaik
Mengumpulkan contoh-contoh kerja sama antara kontak poin CARIN,
materi pelatihan, dan mempublikasikannya di situs web CARIN.
4. Mempengaruhi Kebijakan yang Terkait dengan Pemulihan Aset Kriminal.
a. Analisis Perundang-Undangan
Melakukan analisis undang-undang pemulihan aset dalam CARIN
untuk mengidentifikasi kesamaan yang akan membantu kerja sama dan
bantuan timbal balik, dan perbedaan atau hambatan yang dapat
mempengaruhi kerja sama.
b. Harmonisasi Hukum
Setelah analisis undang-undang, rekomendasi akan dibuat untuk
harmonisasi untuk meningkatkan kerjasama lintas batas.
c. Berbagi Aset

65
Mengidentifikasi dan menganalisis praktik saat ini dengan maksud
untuk mengembangkan posisi kebijakan yang dapat dipromosikan oleh
anggota CARIN.
d. Investasi Kembali Aset yang Dikembalikan ke Dalam Penegakan
Hukum dan Penuntutan
Mengidentifikasi skema dan undang-undang yang sudah ada dalam
CARIN dan untuk mengembangkan kebijakan atau praktiknya.
e. Penyitaan Berbasis Non Conviction
Mengidentifikasi anggota CARIN yang memiliki penyitaan berbasis
tanpa keyakinan dan mengidentifikasi hambatan yang ada dalam
kerjasama lintas batas.
f. Standar Internasional
Melakukan analisis perjanjian internasional dan standar FATF untuk
pemulihan aset. Bagaimana mereka dapat digunakan/diubah untuk
meningkatkan pemulihan aset baik secara domestik maupun
internasional.

66
BAB V
KERJA SAMA INDONESIA DAN BELANDA DALAM PENGEMBALIAN
ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER LINTAS NEGARA MILIK BELANDA
MELALUI CARIN

5.1 Kesepakatan Indonesia dan Belanda

Berdasarkan dokumen yang penulis dapatkan dari PPA Kejaksaan, Indonesia


dan Belanda melakukan kerja sama dalam menangani pengembalian aset hasil tindak
pidana siber lintas negara milik Belanda tahun 2021 dilandasi dengan konvensi yang
berlaku antara Belanda dan Indonesia yaitu UNTOC yang disetujui di Palermo, Italia
pada tanggal 15 November 2000. Perjanjian internasional ini dapat digunakan untuk
memfasilitasi kerja sama yang dilakukan Indonesia dan Belanda karena kedua negara
menandatangani perjanjian tersebut. Perjanjian ini juga diperkuat dengan adanya
perjanjian-perjanjian bilateral antara Indonesia dan Belanda yang telah penulis teliti
pada periode 2018 sampai 2021. Untuk memulai kerja sama kedua negara pada
bidang keamanan, telah ditandatangani Letter of Intent (LoI) di bidang kerja sama
siber oleh Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Menteri Luar Negeri
Belanda yang disaksikan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno L.P Marsudi, pada hari
Selasa, 3 Juli di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Penandatangan LoI ini
merupakan langkah awal dan bentuk komitmen Indonesia dan Belanda seperti
berbagi informasi dalam bidang hukum, kebijakan nasional dan strategi kebijakan
manajemen yang terkait dengan ranah siber, pertukaran sudut pandang, pengalaman,
pembelajaran dan penerapan terbaik terkait ranah siber dan penguatan kapasitas dan
perbantuan kelembagaan dan pengembangan teknologi di bidang keamanan siber.
Melalui jaringan dan program pelatihan dan pendidikan, pertukaran kunjungan
kenegaraan, analisis dan studi lapangan, seminar dan konferensi. Kerja sama yang
dilakukan bersifat sejajar dan saling menguntungkan, Indonesia tidak hanya
menerima bantuan saja tetapi juga dapat memiliki kesempatan untuk menyampaikan
apa yang dimiliki Indonesia dalam bidang keamanan siber sebagai sarana dalam
pengembangan kapasitas SDM di bidang keamanan siber di kedua negara.

67
Gambar 5. 1 Penandatanganan LoI antara Indonesia dan Belanda oleh Kepala
BSSN dan Menteri Luar Negeri Belanda pada Tahun 2018

Sumber: (Merdeka.com, 2018)

Dalam pengimplementasian kerja sama pada bidang keamanan, salah satu


upaya yang dilakukan Indonesia melalui Badan Siber Sandi Negara menggelar The 1st
Cybersecurity Dialogue antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 21 Januari 2021
yang tercantum pada Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri Tahun 2021 Buku II.
Pertemuan ke-1 Dialog Keamanan Siber Indonesia dan Belanda merupakan tindak
lanjut dari LoI antara BSSN dengan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda
dalam rangka meningkatkan kerjasama bilateral ranah siber yang telah terselenggara
pada tanggal 3 Juli 2018.

68
Gambar 5. 2 Pelaksanaan The 1st Cybersecurity Dialogue antara Indonesia dan
Belanda pada Tahun 2021

Sumber: (Badan Siber dan Sandi Negara, 2021)

69
Secara substansi, diskusi cyber dialogue ini terbagi dalam enam agenda etama yaitu
Agenda I – Hukum Siber Internasional – United Nations Group Of Governmental
Experts (GGE) – Open-Ended Working Group (OEWG); Agenda II – Pembangunan
Kapasitas dan Kerjasama Bilateral; Agenda III, Kejahatan Siber Multilateral; Agenda
IV – Disinformasi; Agenda V – Strategi dan Kebijakan Siber selama Masa Pandemi;
dan Agenda VI – Terorisme Siber. Dalam kesempatan ini, delegasi Belanda yang
dipimpin oleh Duta Besar Siber Belanda, Nathalie Jaarsma, menyampaikan
intensinya untuk dapat melanjutkan dan meningkatkan kerja sama dengan Indonesia
ke depannya dalam bentuk MoU (Safitri, 2020).

Kerja sama kedua negara berlanjut dengan penandatanganan MoU pada hari
Senin, 9 Maret 2021 oleh Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi bersama Menteri
Luar Negeri Belanda Stephanus Abraham Blok, di Jakarta. Adapun dua MoU yang
ditandatangani adalah Memorandum of Understand Kerja Sama Pelatihan Diplomat
Indonesia serta Letter of Intent on Enhancing Bilateral Cooperation in the Field of
Women, Peace and Security. Dalam LoI kedua, mengenai isu women, peace and
security, yang dikatakan oleh Menlu Retno Marsudi sebagai salah satu isu prioritas
dalam politik luar negeri Indonesia.

Gambar 5. 3 Penandatanganan MoU dan LoI antara Indonesia dan Belanda


oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Belanda pada Tahun
2021

Sumber: (Safitri, 2020)

70
Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, kedua negara
bekerja sama dalam menangani pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas
negara milik Belanda. Kesepakatan untuk bekerja sama antar kedua negara di bidang
keamanan juga didukung oleh hubungan yang sudah terjalin sejak lama di mana
kedua negara bergabung dalam organisasi jejaring pemulihan aset CARIN.

5.2 Mekanisme Kerja Sama Indonesia dan Belanda dalam Pengembalian


Aset Hasil Tindak Pidana Siber Lintas Negara Milik Belanda Melalui CARIN

Gambar 5. 4 Mekanisme Kerja Sama Indonesia dan Belanda dalam


Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Siber Lintas Negara Milik Belanda
Melalui CARIN

Sumber: (Penulis, 2023)

71
Pada masa pandemi COVID-19, kebutuhan dalam peralatan kesehatan
meningkat. Pandemi menciptakan kondisi yang sangat rentan karena tidak bisa
memproduksi obat dan alat kesehatan secara mandiri. Dalam upaya mengatasi
pandemi yang melanda seluruh dunia dalam kurun waktu hampir satu tahun ini,
dibutuhkannya solidaritas dan keterlibatan setiap negara untuk saling mendukung
dalam menghadapi krisis dan lonjakan kasus COVID-19 diantaranya dengan saling
mengirimkan bantuan berupa peralatan kesehatan, obat-obatan, vaksin maupun
oksigen. Sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda melalui Konsorsium Nasional
Alat Bantu atas nama pemerintah Belanda menugaskan Mediphos Medical Supplies
B.V. untuk memasok alat tes corona pada awal bulan September 2020. Nilai
keseluruhan pesanan adalah USD 6.880.750. Mediphos Medical Supplies B.V adalah
perusahaan yang berspesialisasi dalam impor, pemasaran, dan distribusi tes dan
instrument diagnostic untuk laboratorium klinis di Belanda, Belgia, dan Luxembourg.
Mediphos Medical Supplies B.V bekerja sama dengan perusahaan SD-Biosensor di
Korea sejak tahun 2016 sebagai pemasok berbagai tes, termasuk dalam pengadaan
alat kesehatan untuk penanganan COVID-19. SD-Biosensor adalah perusahaan
diagnostik in-vitro profesional yang bertujuan berkontribusi pada kualitas hidup yang
lebih tinggi dengan mendiagnosis penyakit secara akurat dan cepat. SD-Biosensor
mengembangkan dan menyediakan produk diagnostik yang memungkinkan analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif penyakit. Kedua perusahaan melakukan
korespondensi melalui e-mail sampai akhirnya disepakati untuk pembelian alat
kesehatan beserta jumlah dan harga yang sudah ditetapkan dari SD-Biosensor. Pada
tanggal 26 Oktober 2020, Mediphos Medical Supplies B.V masih belum menerima
alat kesehatan dari SD-Biosensor. Mediphos Medical Supplies B.V segera
menghubungi SD-Biosensor untuk memastikan pengiriman yang sudah disepakati,
namun pihak SD-Biosensor mengatakan bahwa tidak menerima pembayaran dari
Mediphos Medical Supplies B.V. Mediphos Medical Supplies B.V pun memeriksa
kembali riwayat korespondensi e-mail dengan SD-Biosensor dan ditemukan bahwa
mereka telah menjadi korban penipuan. Para pelaku kejahatan rupanya sudah
memantau selama proses korespondensi dan memperoleh akses e-mail korespondensi

72
antara kedua perusahaan. Mereka mendaftarkan nama domain internet yang baru,
yang sangat mirip dengan nama domain yang sebenarnya dari Mediphos Medical
Supplies B.V. dan SD-Biosensor, dan menggunakan ini untuk mengirim
korespondensi email palsu dan menyesatkan ke kedua perusahaan itu. Nama domain
sdbiosensor.com ternyata telah diubah menjadi sdbiosensor.co, nama domain
mediphos.com ternyata telah diubah menjadi medihpos.com. Sekitar tanggal 14
Oktober 2020, Mediphos Medical Supplies B.V. menerima permintaan melalui e-mail
untuk mengubah akun kontra ke mana jumlah sisa yang disepakati harus ditransfer. E-
mail ini dikirim oleh pelaku seakan-akan terlihat serupa berasal dari SD-Biosensor
dan tidak ada kecurigaan yang muncul di antara kedua perusahaan itu. Dengan
demikian, Mediphos Medical Supplies B.V. telah melakukan pembayaran sejumlah €
2.637.335,46 (US $ 3.065.375,00) pada tanggal 15 Oktober 2020 dan pelunasan pada
tanggal 20 Oktober 2020 sejumlah € 454.274,01 (US $ 532.500,-) seluruhnya dengan
total US $ 3.597.875,- masuk ke rekening BRI cabang Serang di Indonesia di mana
pembayaran yang seharusnya ditujukan kepada SD-BIOSENSOR melalui
Internasional Bank of Korea.

Pada hari Jumat, 30 Oktober 2020, A.C. van der Mark sebagai direktur
Mediphos Medical Supplies B.V. melaporkan penipuan dan / atau pelanggaran
komputer dan diduga dari perkumpulan kriminal terorganisir yang melibatkan tiga
orang atau lebih kepada Kesatuan Polisi Oost-Nederland dengan penyidik, Jorg
Ingmar Lefers (GLM04775), Brigadir Satuan polisi Oost-Nederland. Proses verbal ini
ditutup dan tandatangani di Apeldoorn pada tanggal 30 Oktober 2020 yang kemudian
dilimpahkan kepada Kejaksaan Daerah parket Belanda Timur. Di bawah tanggung
jawab mr. M. ten Velde, Jaksa Penuntut Umum, di Arnhem, dl bawah parket/nomor
berkas kejaksaan, dibuka penyidikan pidana terhadap N.N. yang mana diduga
bersalah atas: penipuan, pelanggaran komputer, pencucian uang, dan pencurian.
Pemerintah Belanda mengirimkan permintaan bantuan hukum kepada otoritas
Indonesia yang berwenang pada tanggal 10 November 2020. Kemudian, Kepala
Komisi Pusat Belanda, Ms K.G. Scheepers, mengirimkan kembali permintaan MLA

73
pada tanggal 22 Desember 2020 untuk mengkonfirmasi permintaan pembekuan dana
oleh Financial Intelligence Unit (FlU) di Belanda, kepada FlU di Indonesia (PPATK)
pada hari Rabu, 4 November 2020 dan permintaan bantuan hukum yang sudah
dikirimkan sebelumnya. Proses permintaan bantuan hukum ini difasilitasi oleh
jejaring pemulihan aset wilayah eropa, CARIN, yang mana contact point CARIN di
Indonesia yaitu Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia.

Menindaklanjuti permintaan pemulihan aset Belanda tersebut, PPA melakukan


koordinasi dan memfasilitasi dalam penanganan perkara baik secara formal maupun
informal. Berdasarkan hasil koordinasi PPA dengan PPATK pada tanggal 9 November
2020 di mana permintaan pembekuan rekening dari PPATK Belanda telah dipenuhi
oleh PPATK Indonesia, namun yang berhasil dibekukan adalah sebesar USD ±
1.948.936,27 atau setara Rp ± 27 milyar atau kurang lebih setengah dari nilai yang
ditransfer telah dicairkan. Setelah itu, dimulailah proses hukum pada umumnya di
Indonesia dengan koordinasi domestik. PPA melanjutkan koordinasi dengan POLRI
yang mana memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan oleh penyidik siber
Bareskrim. Setelah penyidikan selesai, sesuai dengan proses hukum Indonesia,
POLRI menyerahkan baik tersangka, barang bukti berupa uang yang dibekukan
dalam rekening tersangka ke JPU untuk dilakukan penuntutan. Sebelum masuk ke
tahap penuntutan, adanya penelitian berkas oleh Jaksa Peneliti pada Jaksa Agung
Muda Bidang Tindak Pidana Umum.

Sidang pertama dilakukan pada bulan April 2021 di Kejaksaan Negeri Serang
terhadap empat terdakwa. Pada proses persidangan, Tim JPU di Kejaksaan Negeri
Serang berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Besar Belanda di Indonesia serta kuasa
dari perusahaan Belanda dalam pemeriksaan keterangan atau kesaksian korban secara
virtual yang difasilitasi oleh Law Officer (LO) pada Kedutaan Besar Belanda di
Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, terbukti bahwa uang yang
dibekukan dalam rekening terdakwa tersebut adalah hasil dari kejahatan. Maka dari
itu, JPU menuntut barang bukti berupa uang tersebut untuk dikembalikan kepada
Mediphos Medical Supplies B.V. sebagai pihak yang berhak atau pihak korban.

74
Setelah dituntut, hakim menilai tuntutan tersebut sesuai dengan surat dakwaan yang
menjadi acuan pembuktian perkara di mana dalam putusannya majelis hakim
Pengadilan Negeri Serang memutuskan selain terdakwa bersalah dan dihukum
penjara, barang bukti ditemukannya uang ini diputus dan dikembalikan kepada
Mediphos. Perkara ini memperoleh kekuatan hukum tetap di mana dalam Putusan
salah satu terpidana, yakni Be’elen Ahdhiwijaya Als Dani, nomor Putusan
240/Pid.Sus/2021/PN.Srg tanggal 19 Agustus 2021, terhadap barang bukti uang
sejumlah total Rp. 27.922.883.136,- dikembalikan kepada Mediphos Medical
Supplies B.V.

5.3 Pengembalian Aset Milik Belanda oleh Indonesia

Pengembalian adalah bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan di mana


yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan adalah Jaksa.
Maka, berdasarkan KUHAP, untuk melakukan eksekusi atas barang bukti dilakukan
pengembalian berupa barang bukti uang dari rekening yang menyimpan kepada
Mediphos pada bulan September oleh Jaksa Eksekutor. Dalam rangka pelaksanaan
putusan pengembalian uang dimaksud, telah dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober
2021 melalui pemindahbukuan dari rekening penampungan Kejaksaan Negeri Serang
ke rekening yang telah dilakukan verifikasi yaitu Mediphos Medical Supplies B.V di
Belanda. Pada hari Senin, 15 November 2021, diadakannya acara penyerahan
pengembalian aset oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Belanda di Lantai
10 Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kejaksaan Agung (Kejagung) Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan. Dalam acara penyerahan itu, Jaksa Agung, ST Burhanuddin
didampingi oleh Jaksa Agung Muda (JAM) Pembinaan Dr. Bambang Sugeng
Rukmono SH., MH., JAM Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana, JAM Tindak
Pidana Khusus Dr. Ali Mukartono, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Dr. Reda
Manthovani SH., LL.M., Kepala Pusat Pemulihan Aset Elan Suherlan SH., MH.,
Kepala Pusat Penerangan Hukum Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH., MH., Kepala
Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Asep Maryono SH., Asisten Umum Jaksa

75
Agung Kuntadi, Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro, dan Kabag TU Pimpinan
Hapsari Dewi dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Serang Freddy
Simanjuntak. Sedangkan dari Belanda dihadiri oleh Duta Besar Kerajaan Belanda
untuk Indonesia Yang Mulia Lambert Grijns didampingi Atase Kepolisian Belanda
pada Kedutaan Besar Belanda di Jakarta Gerard van Heerwaarde, dan dari Italia
adalah Duta Besar Italia untuk Indonesia Yang Mulia Benedetto Latteri didampingi
Sekretaris I pada Kedutaan Besar Italia di Jakarta Giovanni Brignone. Aset tersebut
diserahkan dalam bentuk simbolis berupa setoran Bank Mandiri Cabang Kota Serang
dari JAM Pidum, Fadil Zumhana, kepada Duta Besar Belanda dengan jumlah
Rp27.922.726.057.

Gambar 5. 5 Acara Penyerahan Pengembalian Aset oleh Pemerintah Indonesia kepada


Pemerintah Belanda

Sumber: (Chairuddin, 2021)

Jaksa Agung juga menerima penghargaan dari Duta Besar Kerajaan Belanda
untuk Indonesia. Penghargaan ini diberikan karena keberhasilan Kejagung dalam
mengembalikan aset perusahaan di Belanda terkait tindak pidana pencucian uang atau
TPPU.

76
Gambar 5. 6 Penerimaan Penghargaan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk
Indonesia

Sumber: (GemaNusantara.id, 2021)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber, tidak ditemukannya


kendala selama proses kerja sama berlangsung di bawah kerangka informal CARIN
mulai dari tahap penyidikan sampai eksekusi. Menurut narasumber, metode utama
dalam kerja sama internasional dalam hal ini penanganan pengembalian aset adalah
MLA. MLA memegang peranan yang sangat penting pada tingkat internasional dalam
upaya pencegahan hingga pemberantasan tindak pidana transnasional. Namun, hal
yang harus dipahami adalah bahwa pada dasarnya, keseluruhan sistem MLA adalah
permohonan bantuan. Maka, dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut masih
sangat tergantung dari masing-masing negara. Dari penjelasan tersebut, maka
hadirlah jejaring pemulihan aset sebagai sebuah metode alternatif dalam kerja sama
penanganan pengembalian aset suatu negara yang didapat dari hasil tindak pidana.
Narasumber juga menambahkan pernyataan bahwa selain didasarkan pada rasa
kepercayaan untuk tercapainya kesepakatan kerja sama melalui jejaring pemulihan
aset, hal ini juga tergantung pada keyakinan negara yang diminta terhadap sejauh
mana negara tersebut dapat menghargai dan memaksimalkan upaya-upaya atau proses

77
hukum yang ada di negaranya. Meskipun tidak semua negara yang tergabung dalam
jejaring pemulihan aset memiliki hubungan diplomatik, justru dengan adanya jejaring
pemulihan aset ini dapat menjadi fondasi hubungan antar negara untuk melakukan
kerja sama di masa yang akan datang. Sehingga penggunaan jalur informal melalui
jejaring pemulihan aset diharapkan akan terus bertahan dalam jangka waktu yang
panjang.

78
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kejahatan lintas negara merupakan bentuk kejahatan yang serius terhadap


keamanan dan kemakmuran global dikarenakan mengakibatkan terlibatnya lebih dari
satu negara untuk menangani kejahatan tersebut. Negara-negara di seluruh dunia,
terutama negara-negara berkembang yang kekurangan sumber daya mengalami
kesulitan untuk menandingi keterampilan dan kreativitas para penjahat, terlebih
ketika menghadapi rintangan dalam sistem maupun mekanisme hukum untuk
menangani pengembalian aset. Pada dasarnya, tujuan pengembalian aset adalah untuk
menemukan, melindungi, dan memelihara aset, termasuk membekukan, menghapus,
dan menghancurkannya, sesuai dengan putusan pengadilan. Dalam penelitian ini,
baik Indonesia maupun Belanda, kedua negara tersebut telah menetapkan berbagai
peraturan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam upaya
pengembalian kerugian keuangan suatu negara yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Namun, terdapat sebuah perbedaan antara kedua negara tersebut. Di Indonesia,
instrumen hukum nasional tentang pengembalian aset belum diatur secara tersendiri
dalam peraturan perundang-undangan yang khusus. Dalam praktiknya, UU Tipikor
belum cukup optimal untuk mengembalikan kerugian negara melalui jalur
perampasan aset secara pidana maupun perdata dikarenakan Undang-Undang terkait
masih menitikberatkan pada putusan hukuman terhadap pelaku dibanding
pengembalian aset negara yang hilang untuk dikembalikan kepada negara, sehingga
dibutuhkan produk hukum yang baru dalam mengatur mengenai mekanisme
pengembalian aset hasil tindak pidana. Sedangkan mekanisme pengembalian aset di
Belanda sudah berjalan dengan baik karena didukung oleh kerangka hukum yang
komprehensif dalam penanganan pengembalian aset. Namun, Belanda juga tidak
memiliki undang-undang menyeluruh untuk penyediaan MLA.
Adanya kekurangan dalam mekanisme pengembalian aset tersebut mendorong
perubahan paradigma dalam penanganannya baik dari tahap penghukuman dan

79
penjeraan pelaku hingga penitikberatan pada pengembalian aset hasil tindak pidana.
Oleh karena itu, PBB menetapkan UNCAC pada tahun 2003 sebagai pedoman
penanganan tindak pidana korupsi di negara-negara anggota konvensi. UNCAC
menetapkan MLA menjadi jalur utama dalam penanganan pengembalian aset hasil
tindak pidana. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan MLA tidak selalu mudah
dikarenakan keputusan tergantung pada negara yang diminta untuk bantuan timbal
balik dengan hak untuk menolak karena suatu alasan tertentu. Maka dari itu,
diperlukan pembuatan perjanjian bilateral ataupun multilateral antar negara dalam
penanganan masalah-masalah tindak pidana dalam hal ini yang bersifat transnasional
sehingga ke depannya dapat menjadi dasar atau payung hukum dalam melakukan
kerja sama internasional. Namun, pada kenyataannya, proses pembuatan perjanjian
antar negara juga membutuhkan waktu yang relatif lama. Maka dari itu, UNCAC
menjadikan pengembalian aset sebagai prinsip dasar dari konvensi ini yang mana
berarti diharuskan untuk negara-negara pihak melakukan usaha seluas-luasnya dalam
bekerja sama dan memberi bantuan untuk penyelamatan aset sehingga
diperbolehkannya pengambilan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam hal ini,
diciptakannya inisiasi baru untuk upaya pengembalian aset yang lebih efektif dan
efisien dengan menggunakan jalur informal atas dasar itikad baik, kesungguhan,
kemauan, kemampuan, dan kepercayaan antar negara seperti dibentuknya jejaring
pemulihan aset.

Dalam penelitian ini, Indonesia dan Belanda melakukan kerja sama dalam
menangani pengembalian aset hasil tindak pidana siber lintas negara milik Belanda
pada tahun 2021 melalui jejaring pemulihan aset di wilayah Eropa yaitu CARIN.
Kerja sama ini dapat dilakukan berlandaskan konvensi UNTOC yang mana kedua
negara telah meratifikasi dan memberlakukan penggunaan hukumnya. Berdasarkan
hasil penelitian ini, implementasi penggunaan kerangka informal jejaring pemulihan
aset CARIN dalam penanganan kasus pengembalian aset hasil tindak pidana siber
lintas negara antara Indonesia dan Belanda dinyatakan berhasil tanpa hambatan dan
kendala sampai pada tahap pengembalian aset kepada Belanda. Dalam proses

80
pengimplementasian kerja sama, kedua negara melalui lembaga yang berwenang
dalam menangani kasus ini sudah sesuai dengan pola pendekatan penegakan hukum
pengembalian aset dengan pendekatan follow the asset, serta memperluas jangkauan
deteksi terhadap beneficial ownership. Peran dari jejaring pemulihan aset sendiri
sudah sesuai dengan yang diharapkan sebagai sebuah metode alternatif penanganan
pengembalian aset dengan mekanisme yang lebih mudah, efektif, dan efisien.
Penulis menarik kesimpulan bahwa upaya pengembalian aset merupakan
suatu proses yang kompleks, dan multidisiplin, bahkan dalam keadaan yang ideal
sekalipun. Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
pengembalian aset hasil tindak pidana yang bersifat transnasional. Pertama, kemauan
politik negara, baik itu kemauan politik pemerintah, parlemen maupun lembaga
yudikatif. Kemauan politik parlemen berkaitan dengan seperangkat aturan hukum
yang harus disiapkan dalam rangka pengembalian aset, sedangkan kemauan politik
pemerintah dan lembaga yudikatif dibutuhkan untuk mengambil langkah hukum
dalam penegakan aturan tersebut tanpa suatu tekanan psikologis ataupun tekanan
politik. Kedua, sistem hukum. Terkait pengembalian aset, yang sangat dipentingkan
adalah harmonisasi perundang-undangan dan sistem peradilan. Harmonisasi bertujuan
agar tidak terjadi tumpang tindih antar berbagai undang-undang, karena dalam
konteks Indonesia, kejahatan yang berpotensi mencuri aset negara mempunyai rezim
hukum tersendiri sehingga proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan
tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu proses pengembalian
aset kejahatan korupsi harus dilakukan secara efisien, efektif dan koordinatif di antara
institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk itu dengan pembagian
tugas yang proporsional dan profesional. Ketiga, kerja sama kelembagaan. Berkaitan
dengan pengembalian aset tindak pidana, kerja sama kelembagaan yang dimaksud
adalah kerjasama antar lembaga-lembaga yudisiil dan lembaga-lembaga ekstra
yudisiil. Hal ini karena pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan
kejahatan, dapat saja aset tersebut berada dalam rezim hukum keperdataan sehingga
tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga terhadap aset tersebut.
Selain itu, tidak selamanya pula aset yang akan dikembalikan berwujud uang,

81
deposito, giro atau sejenisnya, akan tetapi aset tersebut juga dapat berwujud benda
termasuk di antaranya adalah tanah. Keempat, kerja sama internasional. Dalam
rangka pengembalian aset kejahatan, kerja sama internasional mutlak diperlukan
karena aset yang dicuri biasanya disimpan di luar wilayah teritorial Indonesia.
Berkaitan dengan kerjasama internasional, paling tidak ada dua prinsip yang harus
dipenuhi yaitu prinsip kepercayaan dan prinsip resiprokal. Prinsip kepercayaan
didasarkan pada kepercayaan penuh bahwa di luar wilayah teritorial suatu negara
semua telah ditetapkan secara benar atas dasar suatu kerjasama. Sedangkan prinsip
resiprokal atau prinsip timbal balik adalah jika suatu negara mengharapkan
perlakukan yang baik dari negara lain maka negara tersebut juga harus memberi
perlakuan yang baik terhadap negara lain.
Oleh karena itu, inisiasi upaya baru melalui jalur informal merupakan sebuah
pelengkap prosedur formal. Baik jalur formal melalui MLA, maupun jalur informal
melalui jejaring pemulihan aset, keduanya saling menyempurnakan kekurangan yang
ada. Namun, dalam rangka percepatan penyelesaian pengembalian aset hasil tindak
pidana, kerja sama melalui jalur informal menjadi sebuah terobosan yang dinilai lebih
efektif. Kerja sama melalui jejaring pemulihan ini akan memberikan dampak positif
bagi suatu negara, tidak hanya meningkatkan citra di mata dunia internasional tetapi
juga akan membangun hubungan diplomatik yang baik dan membentuk, serta
meningkatkan kerja sama dalam sinergitas penegakan hukum yang mumpuni, sigap
dan siap untuk menghadapi konflik di masa yang akan datang.

6.2 Saran

Dalam praktiknya, upaya pengembalian aset hasil tindak pidana merupakan


hal yang tidak sederhana. Hal tersebut melibatkan koordinasi, kolaborasi, dan
kepercayaan antara negara. Upaya kerja sama dalam pengembalian aset hasil tindak
pidana melalui jalur informal merupakan harapan baru bagi penegakan hukum di
seluruh dunia. Oleh karena itu, bentuk kerja sama dalam rangka penegakan hukum
pengembalian aset hasil tindak pidana dapat dilakukan melalui sarana keanggotaan

82
yang tergabung dalam perjanjian dan organisasi internasional, yang mana hal ini perlu
untuk terus ditingkatkan.

Dengan adanya peristiwa hukum yang dialami oleh Perusahaan Belanda yang
berada di wilayah hukum Indonesia, maka hal ini dapat menjadi momentum bagi
kedua negara terutama Indonesia untuk dapat melakukan kerja sama yang lebih intens
dan berkelanjutan seperti dituangkan ke dalam perjanjian resmi mengenai program
kerja sama di bidang hukum. Bentuk kerja sama ini selain untuk meningkatkan
kemitraan, tetapi juga dalam rangka meningkatkan upaya untuk menghadapi
kejahatan transnasional sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara masing-masing. Hal ini mengingat bahwa kejahatan lintas
negara, seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, ekonomi, siber, narkotika,
lingkungan, maupun perdagangan orang, serta dalam hal ini terkait pengembalian
aset, semakin canggih, modern, dan memiliki modus operandi yang tidak sederhana.
Bentuk kerja sama lainnya dalam rangka penegakan supremasi hukum, juga dapat
dilakukan dengan mengadakan workshop atau pelatihan Bersama antara negara
seperti pertukaran keahlian dan praktik-praktik terbaik pada topik-topik yang menjadi
kepentingan bersama, pertukaran materi hukum mengenai undang-undang, sistem
hukum, dan institusi hukum pada negara masing-masing, pertukaran informasi terkait
metodologi dan mekanisme penanganan tindak pidana, serta peningkatan dan
pengembangan kontak profesional antara para pemerintah yang berwenang. Selain
itu, keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah instrumen
hukum internasional maupun hukum nasional yang ada, merupakan suatu
keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai suatu kesatuan undang-undang oleh
Indonesia sehingga terdapat mekanisme yang komprehensif dalam pelaksanaannya.

83
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, D. (2017). Kejahatan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Processor.

Ardiyanti, H. (2016). Cyber-security dan Tantangan Pengembangannya di Indonesia. Jurnal


Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional,
Volume 5, Issue 1.

Arianto, A. R., & Anggraini, G. (2019). Membangun Pertahanan dan Keamanan Siber
Nasional Indonesia Guna Menghadapi Ancaman Siber Global Melalui Indonesia
Security Incident Response Team On Internet Infrastructure (ID-SIRTH). Jurnal
Pertahanan & Bela Negara, Volume 9, No. 1.

Arifin, R., Utari, I. S., & Subondo, H. (2016). Upaya Pengembalian Aset Korupsi yang
Berada di Luar Negeri (Asset Recovery) dalam Penegakan Hukum Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law Studies, Volume 1, Nomor
1.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. (2008). Analisis dan
Evaluasi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Retrieved from Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM
RI: https://bphn.go.id/dpage/reports/res_anev

Badan Siber dan Sandi Negara. (2021, Januari 21). Badan Siber dan Sandi Negara. Retrieved
from Badan Siber dan Sandi Negara: https://bssn.go.id/tingkatkan-kerjasama-
bilateral-bssn-gelar-the-1st-cybersecurity-dialogue-indonesia-belanda/

Bryman, A. (2012). Social Research Methods. 4th edition.

Camden Asset Recovery Inter-agency Network. (2015). Retrieved from


https://www.carin.network/: https://www.carin.network/

Chairuddin, M. (2021). Dubes Italia dan Belanda Beri Penghargaan kepada Jaksa Agung RI.
Jakarta: Ulasan.co.

Creswell, J. W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating


Quantitative and Qualitative Research. 3rd Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

84
Direktorat Kewenangan Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. (2023). OTORITAS PUSAT REPUBLIK INDONESIA untuk Bantuan
Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana dan Ekstradisi KEMENTERIAN
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA. Retrieved from
https://centralauthority.kemenkumham.go.id/mla-and-extradition-treaties:
https://centralauthority.kemenkumham.go.id/mla-and-extradition-treaties

Firdaus, A., & Prasetyo, H. (2021). Pengembalian Aset (Asset Recovery) Dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang Lintas Negara. Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora,
Volume 8, Nomor 3.

GemaNusantara.id. (2021). Pulihkan Kerugian Korban, Dubes Belanda Berikan


Penghargaan kepada Jaksa Agung. Jakarta: GemaNusantara.id.

Gill, P. W., Stewart, K. F., Treasure, E., & Chadwick, B. (2008). Methods of Data Collection
In Qualitative Research: Interviews and Focus Groups. British Dental Journal,
Volume 204.

Hansen, L., & Nissenbaum, H. (2009). Digital Disaster, Cyber Security, and the Copenhagen
School. International Studies Quarterly, Volume 53, Nomor 4.

Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Edisi: Cet.
1. Bogor: Ghalia Indonesia.

Helaluddin, & Wijaya, H. (2019). Analisis Data Kualitatif Sebuah Tinjauan Teori dan
Praktik. Edisi Pertama, Cetakan Ke-1. Makassar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.

Herdiansah, H. (2011). In Mekanisme dan Tata Kelola Pengembalian Aset Negara Hasil
Tindak Pidana Korupsi (p. 58). Depok.

International Telecommunication Union. (2012). Measuring the Information Society. Geneva:


International Telecommunication Union. Retrieved from International
Telecommunication Union:
https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Documents/publications/mis2012/
MIS2012_without_Annex_4.pdf

Kejaksaan Agung Republik Indonesia. (2021). Peran Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai
Upaya Pengembalian Kerugian Negara. Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

85
Kuhlthau, C. C., Maniotes, L. K., & Caspari, A. K. (2012). Guided Inquiry Design: A
Framework for Inquiry in Your School. Santa Barbara: Libraries Unlimited.

Latukau, F., & Wulandari, W. (2019). Pengadopsian Uncac Mengenai Pengembalian Aset
Hasil Korupsi Yang Dibawa Atau Disimpan Ke Luar Negeri Dalam Penegakan
Hukum Indonesia. Jurnal Belo, Volume V, Nomor 1.

Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Maurer, T., & Morgus, R. (2014). Compilation of Existing Cybersecurity and Information
Security Related Definitions. New America Research Report.

Merdeka.com. (2018). Indonesia dan Belanda perkuat kerja sama bidang keamanan siber.
Merdeka.com.

Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nugraha, S. P. (2020). KEBIJAKAN PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA


KORUPSI. National Conference For Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju
Era Digital Society, (p. 2). Jakarta.

Nugrahani, F. (2014). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa.


Solo: Cakra Books.

Patroli Siber. (2020, Januari 10). https://patrolisiber.id/. Retrieved from


https://patrolisiber.id/.

Perwita, A., & Yani. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Safitri, K. (2020). Pelatihan Diplomat, Indonesia Kerja Sama dengan Belanda. Kompas.com.

Saragih, Y. M., & Azis, D. A. (2020). Perlindungan Data Elektronik Dalam Formulasi
Kebijakan Kriminal Di Era Globalisasi. Soumatera Law Review, Volume 3, Issue 2.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

86
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suud, A. K. (2020). Optimization Of The Role Of Asset Recovery Center (PPA) Of The
Attorney-General"s Office Of The Repunlic Of Indonesia In Asset Recovery Of
Corruption Crime Results. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 9, Nomor 2.

Triwahyuni, D., & Wulandari, T. A. (2016). Strategi Keamanan Cyber Amerika. Jurnal Ilmu
Politik dan Komunikasi, Volume VI, Nomor 1.

United Nations Convention against Corruption. (2004). Preamble. In United Nations


Convention against Corruption (p. 6). New York: United Nations Office on Drugs
and Crime.

United Nations Convention against Corruption. (2007). United Nations Treaty Series Vol.
2349 Pasal 51. In UNCAC 2003 (p. Pasal 51). New York: United Nations.

Wardani, A. Y. (2021). Menelah Potensi Mutual Legal Assistance dalam Penegakan Hukum
di Indonesia. Jurnal Verstek Volume 9 Nomor 3 Bagian Hukum Acara Universitas
Sebelas Maret, 546.

Wibawa, I. (2017). Cyber Money Laundering (Salah satu bentuk White Collar Crime abad
21). Yudisia, Volume 8, Nomor 2.

Wilson, C. (2008). Botnets, Cybercrime, and Cyberterrorism: Vulnerabilities and Policy


Issues for Congress. Congressional Research Service.

87
LAMPIRAN
Lampiran 1

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA PUSAT PEMULIHAN ASET


KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Pertanyaan oleh:
Naudy Finomitya Fitrah Alyalira
Mahasiswa Hubungan Internasional S1
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Judul Skripsi: PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA SIBER
LINTAS NEGARA MELALUI CAMDEN ASSET RECOVERY INTERAGENCY
NETWORK (CARIN) ANTARA INDONESIA DAN BELANDA PADA TAHUN 2021
Narasumber : Banu Laksmana, SH, LLM
Tanggal Wawancara : 7 Juni 2023

1. Apakah Indonesia dan Belanda mempunyai perjanjian untuk melakukan


kerja sama bantuan hukum timbal balik sebelum adanya perkara pada
periode 2018-2021?
Jawaban: Jika perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah MLA,
Indonesia dan Belanda belum mempunyai perjanjian. Namun,
terdapat ada perjanjian internasional yang dapat digunakan untuk
memfasilitasi kerja sama antar negara yang mana Indonesia dan
Belanda sama-sama menandatangani perjanjian tersebut seperti
UNCAC dan UNTOC. Maka dari itu, kesepakatan kerja sama antara
Indonesia dan Belanda dalam penyelesaian kasus ini tidak
menggunakan perjanjian MLA, tetapi dilandasi oleh UNTOC.

2. Membahas mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana. Kejaksaan RI


merupakan lembaga yang menjadi aktor penting dalam usaha penanganan
pengembalian aset sehingga akhirnya dibentuk Pusat Pemulihan Aset
sebagai tim khusus penanganan pengembalian aset di Indonesia. Selama
periode 2018-2021, apakah Kejaksaan melakukan kerja sama secara
langsung bersama lembaga dari Belanda? dengan badan manakah
Kejaksaan bekerja? Bagaimana signifikansi kerja sama tersebut dalam
tindak?
Jawaban: Selama periode 2018-2021, Kejaksaan tidak melakukan
kerja sama dengan lembaga manapun di Belanda. Namun, hubungan
antara Kejaksaan dengan Belanda terjalin dengan baik dalam artian
tidak adanya konflik yang berarti. Kemudian berbicara mengenai
PPA, sebelum dibentuknya PPA di bawah Kejaksaan RI, Indonesia
berdiskusi dengan Belanda dari Kejaksaan Agung Kerajaan Belanda
untuk membahas pembentukan PPA pada tahun 2013. Hal ini karena
Belanda juga mempunyai satuan kerja khusus penanganan
pemulihan aset bernama Beureu Ontnemingswetgeving Openbaar
Ministrie (BOOM) yang berada di bawah Kejaksaan Agung Kerajaan
Belanda. Maka, pembahasan yang dilakukan lebih kepada arahan
dan masukan.

3. Bagaimana mekanisme kerja sama antara Indonesia dan Belanda di bawah


kerangka informal CARIN? Apakah CARIN mempunyai ketentuan khusus
terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh negara yang sedang bekerja
sama?
Jawaban: Awal mulanya, Mediphos Medical Supplies B.V. melaporkan
penipuan kepada Kesatuan Polisi Oost-Nederland yang kemudian
laporan tersebut diterima dan Pemerintah Belanda mengirimkan
permintaan bantuan hukum kepada Indonesia. Permintaan bantuan
tersebut berisikan, pertama, terkait pembekuan dana kepada PPATK.
Kedua, permintaan bantuan hukum berlandaskan perjanjian
UNTOC. Proses permintaan bantuan hukum ini difasilitasi oleh
jejaring pemulihan aset wilayah eropa, CARIN, yang mana
permintaan bantuan hukum dari Belanda langsung dikirimkan ke
contact point CARIN di Indonesia yaitu Pusat Pemulihan Aset
Kejaksaan Republik Indonesia. Menindaklanjuti permintaan
pembekuan tersebut, PPA melakukan koordinasi dengan PPATK yang
kemudian ditemukan bahwa para pelaku sudah menarik setengah
dari jumlah yang didapatkan sehingga pembekuan aset yang berhasil
dilakukan sejumlah Rp ± 27 milyar kurang lebih setengah dari nilai
yang ditransfer telah dicairkan. Setelah itu, dimulailah proses hukum
pada umumnya di Indonesia dengan koordinasi domestik. PPA
melanjutkan koordinasi dengan POLRI yang mana memiliki
kewenangan untuk melakukan penyidikan oleh penyidik siber
Bareskrim. Setelah penyidikan selesai, sesuai dengan proses hukum
Indonesia, POLRI menyerahkan baik tersangka, barang bukti berupa
uang yang dibekukan dalam rekening tersangka ke JPU untuk
dilakukan penuntutan. Sidang pertama dilakukan pada bulan April
2021 di Kejaksaan Negeri Serang. Pada proses persidangan, Tim JPU
di Kejaksaan Negeri Serang berkoordinasi dengan pihak Kedutaan
Besar Belanda di Indonesia serta kuasa dari perusahaan Belanda
dalam pemeriksaan keterangan atau kesaksian korban secara virtual
yang difasilitasi oleh LO pada Kedutaan Besar Belanda di Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, terbukti bahwa uang
yang dibekukan dalam rekening terdakwa tersebut adalah hasil dari
kejahatan. Maka dari itu, JPU menuntut barang bukti berupa uang
tersebut untuk dikembalikan kepada Mediphos Medical Supplies B.V.
sebagai pihak yang berhak atau pihak korban. Setelah dituntut,
hakim menilai tuntutan tersebut sesuai dengan surat dakwaan yang
menjadi acuan pembuktian perkara di mana dalam putusannya
majelis hakim Pengadilan Negeri Serang memutuskan selain
terdakwa bersalah dan dihukum penjara, barang bukti ditemukannya
uang ini diputus dan dikembalikan kepada Mediphos.
4. Dalam penentuan tujuan dan juga target bagi suatu kerja sama tentunya
ada berbagai faktor yang menjadi indikator kesuksesan kerja sama
tersebut. Apa saja yang menjadi indikator dalam rangka mencapai tujuan
dalam kerja sama pengembalian aset antara Indonesia dan Belanda di
bawah kerangka informal CARIN? dan apa tantangan yang dihadapi dalam
mewujudkan hal tersebut?
Jawaban: Dalam kasus ini, tidak adanya kendala selama mekanisme
berlangsung. Namun demikian, secara umum, keberhasilan dalam
kasus kerja sama melalui jalur informal dalam hal ini jejaring
pemulihan aset tergantung pada sejauh mana negara yang diminta
menghargai dan dapat memaksimalkan upaya-upaya atau proses
hukum yang ada di negaranya. Dengan contoh, Indonesia mempunyai
aset yang dilarikan ke negara lain. Data-data yang berkaitan dengan
kasus sudah lengkap di Indonesia, tetapi Indonesia tidak mempunyai
kerangka hukum yang komprehensif untuk menangani kasus. Ketika
dikomunikasikan dengan negara yang diminta, mereka mempunyai
kerangka hukum yang komprehensif dan menilai data-data yang ada
di Indonesia sudah cukup untuk menjalani proses hukum, yang hasil
akhirnya akan diserahkan kembali kepada Indonesia. Perlu dicatat
bahwa negara tersebut juga dapat menolak sehingga sebagai negara
pemohon tidak dapat mengganggu keputusan yang sudah diambil.

5. Apakah penggunaan jejaring pemulihan aset dalam penanganan


pengembalian aset mempunyai ketentuan khusus terhadap tingkat
kompleksitas kasus yang akan ditangani? dan apakah dapat bertahan dalam
jangka waktu yang lama mengingat jaringan ini sebagai metode alternatif
dalam penanganan pengembalian aset?
Jawaban: Tidak ada ketentuan khusus untuk tingkat kompleksitas
kasus yang akan ditangani. Namun, kedua negara baik negara
pemohon dan negara yang diminta harus menjadi bagian dari
organisasi jejaring pemulihan aset. Menilai dari hal tersebut, dapat
dikatakan bahwa penggunaan jejaring pemulihan aset akan tetap
dipertahankan ke depannya karena dapat menjadi sebuah
penghubung untuk suatu negara menjalin hubungan diplomatik
dengan negara lain baik yang belum dilakukan maupun yang sudah
dilakukan menjadi lebih meningkat. Hal ini tentunya mendukung
perdamaian dan keamanan dunia.
Lampiran 2: Pernyataan Proses Verbal Mediphos oleh Kepolisian Belanda

Sumber: (Kejaksaan RI, 2021)


Lampiran 3: Pernyataan Proses Verbal Mediphos oleh Kepolisian Belanda
Sumber: (Kejaksaan RI, 2021)
Lampiran 4: Permohonan Bantuan Hukum Belanda kepada Indonesia
Sumber: (Kejaksaan RI, 2021)

Lampiran 5: Permohonan Bantuan Hukum Belanda kepada Indonesia


Sumber: (Kejaksaan RI, 202)
Lampiran 6: Permohonan Bantuan Hukum Belanda kepada Indonesia
Sumber: (Kejaksaan RI, 2021)
Lampiran 7: Dokumentasi Wawancara

Sumber: (Penulis, 2023)

Anda mungkin juga menyukai