Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU BEDAH JOURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN January 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

The impact of peritoneal dialysis-related peritonitis on

Mortality in peritoneal dialysis patients

Oleh:
APRILIA T. WARKEY
NIM. 2012-83-014

Pembimbing:
dr. Lidya Kurniawan, M. Biomed, Sp.B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON

2019

Dampak peritonitis terkait dialisis peritoneal terhadap mortalitas pada pasien


dengan dialisis peritoneal

Abstrak
Latar belakang: Hasil mengenai hubungan antara peritonitis terkait dialisis peritoneal dan

mortalitas pada pasien dialisis peritoneal belum dapat disimpulkan, karena satu alasan potensial

yaitu efek peritonitis tergantung waktu (time-dependent) yang jarang dipertimbangkan dalam

penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah peritonitis


memiliki dampak negatif terhadap mortalitas pasien dialisis peritoneal dalam studi kohort besar.

Perubahan dampak peritonitis terhadap mortalitas pasien sehubungan dengan durasi masa follow

up juga dievaluasi.

Metode: Studi kohort retrospektif ini mengikutsertakan pasien yang menjalani dialisis peritoneal

mulai 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2011. Episode peritonitis dicatat pada saat kejadian

(onset), dan peritonitis diparameterkan sebagai variabel yang tergantung waktu untuk dianalisis.

Penelitian ini menggunakan model regresi Cox untuk menilai apakah peritonitis memiliki

dampak negatif terhadap mortalitas.

Hasil: Sebanyak 1.321 pasien diikutsertakan. Usia rata-rata adalah 48,1 ± 15,3 tahun, 41,3%

adalah perempuan, dan 23,5% dengan diabetes mellitus. Median (interkuartil) waktu follow up

adalah 34 (21-48) bulan. Setelah menyesuaikan factor perancu, peritonitis secara independen

berhubungan dengan 95% peningkatan risiko pada semua penyebab mortalitas (HR, 1,95; CI

95% : 1,46-2,60), 90% peningkatan risiko pada mortalitas akibat penyakit kardiovaskular (HR,

1,90; CI 95%: 1,28-2,81) dan hampir 4 kali lipat peningkatan risiko kematian akibat infeksi

(HR, 4,94; CI 95%: 2,47-9,86). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peritonitis tidak

berhubungan secara signifikan dengan mortalitas dalam 2 tahun setelah dimulainya dialisis

peritoneal, tetapi sangat mempengaruhi mortalitas pada pasien yang didialisis lebih lama dari 2

tahun.

Kesimpulan: Peritonitis secara independen berhubungan dengan peningkatan risiko lebih tinggi

dari semua penyebab mortalitas,mortalitas kardiovaskular dan mortalitas yang berhubungan

dengan infeksi pada pasien dialisis peritoneal, dan dampaknya pada mortalitas lebih signifikan

pada pasien dengan periode dialisis yang lebih lama.

Kata kunci: Dialisis peritoneal, Peritonitis, Mortalitas, variabel tergantung waktu


Latar Belakang

Jumlah pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir (end-stage renal disease/ESRD)

yang menerima terapi dialisis peritoneal (peritoneal dyalisis/PD) telah meningkat di seluruh

dunia, karena kemajuan teknik PD yang pesat berkembang seiring krlangsungan hidup pasien..

Peritonitis terkait PD tetap menjadi penyebab utama kegagalan teknik dalam terapi PD. Namun,

data mengenai dampak peritonitis terhadap mortalitas pada pasien yang menjalani PD masih

kontroversial.

Beberapa studi menunjukkan bahwa peritonitis berhubungan dengan peningkatan risiko

dari semua penyebab mortalitas pada pasien PD, meskipun hal ini tidak dikonfirmasi oleh

beberapa studi lainnya. Baru-baru ini, Hsieh, dkk. melaporkan bahwa pasien dengan peritonitis

memiliki risiko lebih rendah terhadap mortalitas secara keseluruhan dibandingkan dengan pasien

tanpa peritonitis.

Penjelasan untuk hasil yang membingungkan ini mungkin berhubungan dengan

kesulitan dalam mengevaluasi secara statistik hubungan antara peritonitis dan mortalitas,

khususnya yang berhubungan dengan efek tergantung waktu; secara spesifik, pasien peritonitis

yang bertahan hidup lebih lama dengan PD memiliki risiko lebih tinggi mengalami peritonitis.

Fakta bahwa onset peritonitis pada pasien yang menjalani PD dengan durasi yang lebih lama

berhubungan dengan hasil akhir yang buruk, juga menunjukkan bahwa secara potensial terdapat

efek bergantung waktu pada peritonitis terhadap mortalitas.

Dalam beberapa studi telah dipertimbangkan efek tergantung waktu ini pada metode

statistik ketika mengevaluasi pengaruh peritonitis terhadap mortalitas pada pasien PD. Oleh

karena itu, dalam penelitian ini, peneliti mengevaluasi apakah peritonitis memiliki dampak
negatif terhadap mortalitas pada kohort besar pasien PD dengan parameter peritonitis sebagai

parameter variabel tergantung waktu. Peneliti juga menilai perubahan dampak peritonitis pada

mortalitas pasien berdasarkan durasi follow up.

Metode

Populasi Penelitian

Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif. Insidensi pasien PD di pusat PD rumah

sakit Affiliated, Universitas Sun Yat-sen, mulai 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2011

diinklusi dalam penelitian. Pasien yang berusia < 18 tahun, drop out PD dalam 90 hari, atau

pasien dengan hemodialisis jangka panjang atau yang mengalami gagal ginjal kronis sebelum

memulai PD, dieksklusi dari penelitian. Kateter Tenckhoff dipasang menggunakan teknik bedah

yang steril dan cairan konvensional PD (Dianeal 1,5%, 2,5% atau dextrose 4,25%; Baxter

Healthcare, Guangzhou, Cina), dan Y-set dan sistem kantong ganda digunakan pada lebih dari

98% pasien PD. Pasien dan perawatnya menjalani program pelatihan standar setelah kateterisasi.

Protokol penelitian berdasarkan prinsip-prinsip etika Deklarasi Helsinki dan disetujui oleh

Komite Etik rumah sakit Affiliated, Universitas Sun Yat-sen. Semua peserta dimintakan

kesediaan untuk menggunakan data medisnya dalam studi non-komersial, dan informed-consent

diperoleh dari peserta pada saat inisiasi follow up PD.

Follow up dan hasil

Data demografis, termasuk usia, jenis kelamin, penyebab ESRD, dan kondisi

komorbiditas, dikumpulkan pada saat inisiasi PD. Riwayat penyakit kardiovaskular

(cardiovascular disease/CVD), yang termasuk penyakit serebrovaskular, penyakit jantung


iskemik, gagal jantung kongestif, dan penyakit pembuluh darah perifer, juga ditinjau. Data

laboratorium dasar diperoleh selama 1-3 bulan pertama setelah memulai PD. Semua pasien di

follow up hingga dinyatakan meninggal, atau tereliminasi secara administratif (termasuk

transplantasi ginjal, beralih ke hemodialisis, transfer ke pusat PD lain, mangkir, dan menarik diri

dari pengobatan), atau hingga akhir studi periode follow up (31 Desember 2013). Sehingga,

kematian selama pelaksanaan PD dianggap sebagai mortalitas dalam penelitian ini. Hasil akhir

utama adalah semua penyebab mortalitas. Hasil akhir sekunder adalah mortalitas terkait infeksi

dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular (CV).

Definisi operasional

Peritonitis terkait PD didiagnosis berdasarkan setidaknya dua darinkriteria berikut: (1)

nyeri abdominal atau cairan PD yang keruh; (2) jumlah leukosit dalam cairan PD> 100/μL

dengan >50% leukosit polimorfonuklear; dan (3) kultur positif pada cairan PD. Kematian CV

didefinisikan sebagai kematian karena penyakit jantung iskemik, aritmia, kematian jantung

mendadak, gagal jantung kongestif, penyakit jantung lainnya, atau gangguan serebrovaskular.

Kematian terkait peritonitis didefinisikan sebagai kematian pasien dengan peritonitis aktif, atau

dirawat dengan peritonitis atau sedang mengalami episode peritonitis dalam waktu 2 minggu.

Saat membahas penyebab kematian, tim PD, yang terdiri dari tiga ahli nefrologi di pusat PD

kami, meninjau rincian catatan medis individu. Karena terdapat kesulitan dalam menentukan

penyebab kematian akibat infeksi atau kejadian kardiovaskular, peneliti cenderung menetapkan

alasan utama rawat inap sebagai penyebab kematian, jika kedua sebab diatas menyertai.

Analisis statistik
Hasil dinyatakan sebagai frekuensi dan persentase untuk variable kategorik, mean ±

standar deviasi (SD) untuk variabel kontinu, dan median dan rentang interkuartil (IQR) untuk

distribusi kecondongan. Probabilitas dari ratio kumulatif episode peritonitis dan mortalitas

dievaluasi dengan metode Kaplan-Meier. Asumsi bahaya porposional diuji dengan menggunakan

kovariat tergantung waktu dalam model regresi Cox.

Ketika kejadian peritonitis dimasukkan ke dalam model penelitian sebagai kovariat

biner konvensional, proporsional asumsi bahaya dilanggar (file tambahan 1: Tabel S1),

menunjukkan kejadian peritonitis sebagai prediktor biner konvensional tidak tepat untuk

menganalisis efek peritonitis pada kelangsungan hidup. Dan jika hanya mempertimbangkan

peritonitis pertama dalam model Cox untuk hasil penelitian, modelnya berbeda (file tambahan 1:

Tabel S2).

Dengan demikian, waktu onset semua episode peritonitis dicatat, dan peritonitis

diparameterisasi sebagai variabel tergantung waktu (file tambahan 1: Tabel S3), sesuai dengan

metode yang disarankan oleh studi yang diterbitkan sebelumnya. Untuk pasien dengan kejadian

peritonitis, waktu dari mulai follow up hingga onset peritonitis dan waktu dari onset peritonitis

ke kejadian mortalitas keduanya dihitung masing-masing. Hubungan antara peritonitis dan

semua penyebab mortalitas terkait infeksi, dan mortalitas CV kemudian dinilai menggunakan

asumsi bahaya proporsional model regresi Cox. Potensi perancu, termasuk usia, jenis kelamin,

diabetes mellitus (DM), riwayat CVD, output urin dalam 24 jam, hemoglobin, serum fosfor, dan

serum albumin, beberapa di antaranya diidentifikasi sebagai faktor risiko mortalitas dalam

penelitian kami sebelumnya, juga disesuaikan pada model regresi COX multivariabel.

Menimbang bahwa efek peritonitis pada mortalitas mungkin berubah selama periode

follow up, peneliti menganalisis hubungan keduanya semakin meningkat dari tahun ke tahun
dengan model regresi Cox; Sementara itu, analisis bertingkat oleh periode waktu follow up juga

dilakukan untuk menentukan perbedaannya. Perangkat lunak statistik SPSS (versi 19.0; SPSS

Inc. dan IBM Inc.) digunakan untuk analisis data. Semua nilai p yang dilaporkan adalah two-

tailed, dan signifikansi statistik didefinisikan sebagai p <0,05.

Hasil

Populasi penelitian

Sebanyak 1473 pasien menjalani terapi PD di pusat PD antara 1 Januari 2006 dan 31

Desember 2011. Pasien yang lebih muda dari 18 tahun (n=17), dikeluarkan dari PD dalam waktu

90 hari (n=72), ditransfer dari hemodialisis permanen (n=54), dan memiliki riwayat transplantasi

ginjal (n=9) dieksklusi. Total dari 1321 pasien akhirnya dimasukkan dalam penelitian ini

(Gambar 1). Usia rata-rata seluruh kelompok adalah 48,1 ± 15,3 tahun; 58,7% adalah laki-laki,

23,5% memiliki DM, dan 36,3% memiliki riwayat CVD. Karakteristik demografis dan data

klinis pasien dalam dua kelompok ditunjukkan pada Tabel 1.

Episode peritonitis

Selama median 34 (IQR: 21-48) bulan follow up, 372 (28,2%) pasien mengalami

episode peritonitis. Di antara mereka, 234 (62,9%) memiliki satu episode peritonitis, 72 (19,4%)

memiliki dua episode, dan 66 (5,5%) memiliki tiga episode atau lebih (Tabel 2). Tingkat kejadian

peritonitis adalah 0,16 pasien per tahun (95% [CI] 0,14-0,18). Gambar 2 menunjukkan distribusi

pasien yang mengalami peritonitis dengan lamanya dialisis. Pada tahun pertama inisiasi PD, 169
(13%) pasien mengalami episode peritonitis, dan proporsi pasien dengan peritonitis berfluktuasi

dari 8% hingga 13% di tahun-tahun berikutnya. Seperti yang diperkirakan oleh Analisis survival

Kaplan-Meier, risiko kumulatif mengalami kejadian peritonitis dan semua penyebab kematian

meningkat seiring dengan perpanjangan durasi PD (Gbr. 3).

Hubungan antara peritonitis dan mortalitas

Pada akhir periode follow up, 261 (19,8%) dari 1321 pasien meninggal, 111 (8,4%)

dipindahkan ke hemodialisis, 218 (16,5%) menerima transplantasi ginjal, dan 611 (46,3%) tetap

menjalani PD (Tabel 2). Tingkat mortalitas pasien adalah 0,07 per tahun (95% CI: 0,06-0,08).

Sebanyak 147 (56,3%) pasien meninggal karena penyakit kardiovaskular, sementara 46 (17,6%)

meninggal karena penyakit menular, 19 di antaranya (41,3%) terkait peritonitis. Rincian etiologis
dari semua penyebab kematian dan kematian terkait infeksi dalam kelompok ditunjukkan pada

Gambar. 1 dan Tabel 3, masing-masing. Begitu pula risikonya untuk peritonitis dan kematian

keduanya meningkat selama durasi PD diperpanjang (Gbr. 2).

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4, peritonitis dihubungkan dengan peningkatan

risiko semua penyebab mortalitas, mortalitas terkait infeksi, dan mortalitas CV pada populasi

penelitian. Setelah penyesuaian usia, jenis kelamin, DM, riwayat CVD, output urin dalam 24

jam, hemoglobin, serum fosfor, dan serum albumin, peritonitis secara independen terkait dengan

risiko lebih tinggi dari semua penyebab mortalitas (rasio bahaya [SDM] = 1,95, 95% CI: 1,46-

2,60, p <0,001), mortalitas terkait infeksi (HR = 4,94, 95% CI: 2.47-9.96, p <0.001), dan

mortalitas CV (HR = 1,90, 95% CI: 1,28-2,81, p <0,001).


Untuk usia juga secara independen terkait dengan penyebab semua mortalitas,

mortalitas terkait infeksi dan CV, peneliti lebih lanjut menganalisis efek interaksi antara usia

dan peritonitis pada mortalitas. Namun, tidak ada efek interaksi yang signifikan secara statistik

(Tambahan file 1: Tabel S4).

Perubahan efek peritonitis pada mortalitas selama periode follow up.

Dampak negatif peritonitis pada mortalitas berubah pada periode follow up (Gbr. 4).

Hazard ratio (HR) yang disesuaikan pada peritonitis untuk semua penyebab mortalitas dan

mortalitas terkait infeksi adalah 0,80 (95% CI: 0,46-1,38) dan 1,06 (95% CI: 0,26-4,32) pada

pasien dalam 2 tahun setelah inisiasi PD masing-masing, secara bertahap meningkat menjadi

1,74 (95% CI: 1.28-2.36) dan 4.44 (95% CI: 2.14-9.22) setelah 5 tahun PD, selanjutnya nilai HR

tetap (untuk rincian data lihat file tambahan 1: Tabel S5). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan

pada Gambar. 4, kami selanjutnya melakukan analisis bertingkat berdasarkan periode waktu

follow up dalam model regresi Cox. Untuk pasien dalam waktu 2 tahun PD, HR peritonitis yang

disesuaikan untuk semua penyebab mortalitas dan mortalitas terkait infeksi adalah 0,80 (95% CI:
0,46-1,30 dan 1,06 (95% CI: 0,26-4,32) masing-masing, saat itu jauh lebih tinggi pada pasien

yang menjalani dialisis lebih dari 2 tahun, dengan HR yang disesuaikan sebesar 3,98 (CI 95%:

2,70-5,86) dan 9.33 (95% CI: 3.56–24.47), masing-masing. Tes interaksi juga menunjukkan

bahwa peritonitis dan periode follow up untuk semua penyebab mortalitas dan mortalitas terkait

infeksi memiliki hubungan yang signifikan secara statistik (Tabel 5).

Diskusi

Dalam studi kohort ini yang mencakup 1.321 pasien dengan PD, menunjukkan bahwa

peritonitis independen terkait dengan risiko lebih tinggi dari semua penyebab mortalitas,

mortalitas terkait infeksi, dan mortalitas akibat CV. Lebih lanjut, analisis menunjukkan bahwa

dampak peritonitis terhadap mortalitas lebih signifikan pada pasien dengan durasi PD yang lebih
lama. Kesimpulan kontroversial dibuat pada studi sebelumnya tentang dampak peritonitis pada

kematian pasien yang menjalani PD. Fried, dkk. menemukan bahwa kejadian peritonitis adalah

faktor risiko independen untuk keseluruhan mortalitas pada 516 pasien PD dewasa di satu pusat

perawatan di Pittsburgh. Boudville, dkk., menggunakan case-crossover design, menunjukkan

bahwa ada peningkatan sekitar 6 kali lipat dalam peluang peritonitis di 30 hari sebelum kematian

dibandingkan dengan 6 bulan sebelum kematian. Namun, dalam studi retrospektif dari 565

pasien PD di Spanyol, kejadian peritonitis tidak berhubungan secara signifikan dengan semua

penyebab mortalitas setelah penyesuaian untuk perancu potensial. Lebih lagi, Hsieh, dkk.

melaporkan baru-baru ini bahwa pasien dengan riwayat episode peritonitis memiliki risiko lebih

rendah dari semua penyebab kematian pada analisis Kaplan-Meier dan regresi Cox multivarian

di populasi Taiwan dengan tingkat episode peritonitis 0,196 per tahun. Kesimpulan yang

kontroversial ini dapat dikaitkan dengan kesulitan dalam mengevaluasi dampak peritonitis pada

mortalitas. Pertama, saat ini tidak ada definisi standar mortalitas terkait peritonitis. Kedua, efek

jangka panjang tidak langsung peritonitis pada kematian, yang dimediasi oleh keadaan

peradangan, status gizi buruk, dan/atau perubahan membran peritoneum setelah kejadian

peritonitis, mungkin tidak jelas dan sulit untuk didefinisikan. Apalagi eksplorasi awal kami

menemukan bahwa ketika peristiwa peritonitis sebagai konvensional kovariat biner dimasukkan

ke dalam Model regresi Cox tergantung waktu, asumsi bahaya proporsional dilanggar (file

tambahan 1: Tabel S1), menunjukkan bahwa peristiwa peritonitis tergantung pada waktu

kovariat untuk kematian, yang jarang dipertimbangkan dalam metode statistik sebagian besar

studi sebelumnya.
Dalam studi observasional, perawatan sering kali dilakukan tergantung waktu dari awal

follow up hingga inisiasi pengobatan, tanpa kejadian studi terjadi, adalah dikenal sebagai waktu

imortal dalam studi epidemiologi, dan salah penanganan waktu imortal dapat menyebabkan

estimasi efek pengobatan terlalu tinggi, kadang-kadang bahkan menyebabkan penarikan

kesimpulan yang terbalik. Mirip dengan perawatan, peritonitis juga tergantung waktu. Waktu dari

awal follow up ke waktu onset peritonitis harus diperlakukan sebagai jenis lain dari waktu

imortal, yang dilakukan dengan benar ditangani akan menjadi sangat penting ketika menilai

dampak peritonitis pada hasil. Mengacu pada saran oleh penulis artikel yang diterbitkan di atas,

anggapan pengobatan sebagai variabel yang bervariasi waktu dalam model regresi COX akan

menjadi pilihan sebelumnya untuk mengendalikan bias waktu imortal. Karena itu, dengan

parameterisasi peritonitis sebagai variabel tergantung waktu, peneliti menggunakan model

regresi Cox untuk menilai efek peritonitis pada mortalitas, dan menunjukkan bahwa peritonitis

secara independen terkait dengan risiko yang lebih tinggi pada kelompok pasien kohort PD.
Tidak sulit untuk memahami dampak negatif dari peritonitis pada mortalitas pasien PD.

Pertama, peritonitis berat dan/atau peritonitis persisten dapat menyebabkan komplikasi serius

seperti obstruksi usus, perforasi usus dan sepsis, yang secara langsung dapat menyebabkan

kematian. Karena itu, peritonitis yang berat dan/atau persisten dapat segera terjadi dan dikaitkan

sebagai penyebab kematian pasien PD. Kedua, efek jangka panjang tidak langsung dari

peritonitis pada mortalitas, sebagaimana telah disebutkan, telah ditekankan dalam tahun terakhir.

Apalagi pasien yang rawan mengalami episode peritonitis mungkin mengalami infeksi lain,

karena mungkin mengalami faktor risiko yang sama. Misalnya, penurunan serum albumin, yang

diverifikasi sebagai faktor risiko yang luar biasa untuk episode peritonitis pada pasien PD, juga

ditunjukkan menjadi faktor risiko independen untuk pneumonia pada studi sebelumnya. Seperti

yang juga ditunjukkan dalam penelitian ini, pasien dengan episode peritonitis memiliki risiko

lebih tinggi yang signifikan terhadap mortalitas terkait infeksi, meskipun peritonitis hanya

menyumbang 41,3% dari kejadian langsung penyebab mortalitas terkait infeksi.


Peneliti juga menemukan bahwa efek negatif dari peritonitis pada mortalitas meningkat

diantara pasien PD dengan waktu follow up yang lebih lama. Studi sebelumnya telah melaporkan

bahwa episode pertama peritonitis memiliki hasil yang lebih baik daripada yang berikutnya, dan

durasi PD yang lebih lama terkait dengan hasil klinis peritonitis yang lebih buruk, yang mungkin

sebagian mendukung temuan kami. Dalam studi yang dilakukan oleh Xu, dkk., diantara pasien

dengan episode peritonitis berikutnya, mereka dengan durasi PD lebih lama mengalami drop-out

yang secara signifikan lebih tinggi (didefinisikan sebagai tingkat kematian atau transfer ke

hemodialisis lain) dibandingkan dengan mereka yang dengan durasi lebih pendek (30,6% vs

9,7%). Sebagai tambahan, Krishnan, dkk. telah melaporkan peritonitis non-resolusi yang lebih

tinggi (24,4% vs 16,5%) pada pasien dengan PD selama lebih dari 2,4 tahun daripada mereka

yang menjalani PD kurang dari 2,4 tahun.


Dibandingkan dengan studi ini, temuan kami tidak secara langsung menunjukkan durasi PD itu

mempengaruhi dampak peritonitis terhadap mortalitas, tetapi memang menunjukkan bahwa

risiko mortalitas meningkat pada pasien dengan durasi PD yang lebih lama yang mengalami

peritonitis. Mekanisme dari fenomena ini tetap tidak jelas. Di satu sisi, mekanisme pertahanan

tubuh yang terganggu mungkin karena paparan jangka panjang dari dialisat glukosa

konvensional dan malnutrisi sebagai kontributor utama untuk hasil yang buruk pada pasien

dengan PD jangka panjang ketika terkena episode peritonitis, meskipun gagasan ini perlu

diklarifikasi. Di sisi lain, sebaliknya, durasi PD yang lebih lama juga dapat dikaitkan dengan

peradangan kronis dan kalsifikasi kardiovaskular, yang merupakan faktor risiko untuk

keseluruhan dan mortalitas CV pada pasien PD. Selain itu, ESRD pasien yang menjalani dialisis

selama beberapa tahun dikaitkan dengan kadar alkali fosfatase yang lebih tinggi yang secara

tradisional merupakan penanda tulang yang tinggi pada pasien ESRD, tetapi baru-baru ini

ditemukan menjadi prediktor independen untuk hasil yang merugikan pada pasien PD yang

mengalami peritonitis.
Kesimpulan

Kekuatan penelitian ini termasuk ukuran sampel yang besar, dan catatan lengkap

peritonitis dan kejadian mortalitas dalam kelompok. Selain itu, metodologi yang kami gunakan

dilakukan secara memadai dengan fitur yang tergantung waktu (time-dependent) dari peritonitis.

Namun, ada beberapa keterbatasan. Pertama, sebagai semua pasien termasuk dari pusat PD

tunggal, bias seleksi tidak dapat dikecualikan, meskipun pasien berasal dari beragam distrik di

Cina selatan. Kedua, studi kami adalah penelitian retrospektif, beberapa efek perancu potensial

tidak dapat sepenuhnya diabaikan. Ketiga, penelitian ini tidak bisa menjawab pertanyaan berapa

lama efek negatif peritonitis akan bertahan pada mortalitas, yang mungkin bervariasi pada setiap

pasien. Akhirnya, jumlahnya pasien dengan penyebab mortalitas yang tidak diketahui dalam

kelompok bebas peritonitis jauh lebih tinggi dari pada kelompok peritonitis, dan distribusi yang

tidak merata tersebut dapat mengganggu keseimbangan pengamatan.


Kesimpulannya, peritonitis secara independen terkait dengan risiko lebih tinggi semua

penyebab mortalitas, mortalitas terkait infeksi dan kardiovaskular pada pasien dengan dialisis

peritoneal yang lebih lama dari 2 tahun yang mengalami peritonitis. Mengingat buruknya hasil

peritonitis pada pasien PD jangka panjang, mengurangi tingkat kejadian peritonitis tetap menjadi

tantangan terpenting dalam pengelolaan populasi pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai