2017 Rmiklloi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 100

ANALISIS BENDA CAGAR BUDAYA

SEBAGAI POTENSI KAWASAN WISATA PERKOTAAN


KOTA BOGOR

RIDHA MUHAMMAD ICHSAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Benda Cagar
Budaya sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Ridha Muhammad Ichsan


NIM A156120111
RINGKASAN
RIDHA MUHAMMAD ICHSAN. Analisis Benda Cagar Budaya sebagai Potensi
Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan
SATYAWAN SUNITO
Pengelolaan kawasan cagar budaya memiliki manfaat yang lebih luas dalam
pengembangan wilayah perkotaan. Pemanfaatannya menjadi kawasan wisata
perkotaan menjadi sangat relevan bagi kota-kota besar yang membutuhkan
sumber ekonomi baru ditengah peningkatan penduduk yang semakin tinggi,
kebutuhan wilayah yang semakin meningkat namun dengan keterbatasan sumber
daya alam yang dimiliki. Kota Bogor memiliki potensi besar dalam keberadaan
warisan cagar budaya ditandai dengan hadirnya 484 bangunan cagar budaya yang
menyebar membentuk kawasan cagar budaya di enam kecamatan dan 31
kelurahan.
Terdapat 442 bangunan atau sekitar 91.32% berkondisi baik, 17 bangunan
memiliki multi-fungsi dan 26 bangunan multi-akses yang menjadi asset bagi
sebuah perencanaan ke depan. Dengan menggabungkan metode Kernel Density,
pembobotan dan skoring sederhana, serta metode skalogram, diketahui bahwa
terdapat lima kelurahan (Kelurahan Babakan, Kelurahan Paledang, Kelurahan
Sempur, Kelurahan Babakan Pasar, dan Kelurahan Pabaton) yang memiliki
potensi besar sehingga menjadi kawasan prioritas untuk dikembangkan menjadi
kawasan wisata budaya perkotaan. Namun keberadaan kawasan cagar budaya
yang berada di pusat kota dengan laju perubahan fungsi lahan yang sangat tinggi,
menjadi perhatian penting dalam merumuskan program-program prioritas dalam
pengelolaan dan pengembangan kawasan cagar budaya pada masa yang akan
datang. Melalui metode AHP, persepsi tokoh kunci menunjukkan bahwa
pemberdayaan dan penyadaran masyarakat menjadi program prioritas diantara
program lain yang harus dilakukan.

Keywords : Kawasan Cagar Budaya, Wisata Perkotaan, Kernel Density,


Analytical Hierarchy Process.
SUMMARY
RIDHA MUHAMMAD ICHSAN. Heritage Analysis as the Urban Tourism
Potential Areas in City of Bogor. Supervised by ATANG SUTANDI dan
SATYAWAN SUNITO
Management cultural heritage become urban tourist areas are particularly
relevant for big cities that require a new economy resource amid the population
growth, increasing of the region needs, but the other fact also in limited natural
resources to be owned. Bogor city has great potential in the presence of heritage
cultural heritage characterized by the presence of 484 heritage buildings that
established the heritage area which spread at six districts and 31 sub-districts.
There are 442 buildings in good condition, 17 buildings had multi-function
and 26 buildings multi-access that become an asset for future planning.
Combining the Kernel Density method, weighting and skalogram methods, it was
known that there were five sub-districts that has great potential and priority area to
be developed into urban cultural tourism. The existence of the heritage area which
located at very high potential of land use change, was important concern to
formulating priority programs in the management and development of the area of
cultural heritage in the future. Using AHP method, the perception of key figures
show that the empowerment and awareness became a priority program among
other programs might be done.

Keywords : Kawasan Cagar Budaya, Wisata Perkotaan, Kernel Density,


Analytical Hierarchy Process.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS BENDA CAGAR BUDAYA
SEBAGAI POTENSI KAWASAN WISATA PERKOTAAN KOTA
BOGOR

RIDHA MUHAMMAD ICHSAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Yayat Supriatna, MSP
Judul Tesis : Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan Wisata
Perkotaan Kota Bogor
Nama : Ridha Muhammad Ichsan
NIM : A156120111

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. Dr. Satyawan Sunito


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 22 Agustus 2016 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga proposal penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2015 ini ialah
pemanfaatan kawasan cagar budaya perkotaan dalam konteks pengembangan
wilayah, dengan judul Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan
Wisata Perkotaan Kota Bogor.
Penulisan karya ilmiah ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D., dan Dr. Satyawan Sunito selaku Ketua dan
Anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang
diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Yayat Supriatna, MSP selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
perbaikan dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, yang juga telah mendorong dan memberi
kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB.
4. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Orang tuaku tercinta Maman Pudjaswara, Alm. dan Komariah atas segala
curahan kasih sayangnya, kesabaran dan doa yang selalu senantiasa dipanjatkan.
6. Istriku Yeni Herliana dan Anakku Salman Muhammad Ichsan atas segala
dorongan dan kesabaran yang senantiasa diberikan selama ini.
7. Kakak-kakakku Rita Nurvita dan Rivan Juniawan, Alm. yang selalu memberikan
doa, dorongan dan dukungannya selama ini.
8. Arief Rahman M.Si. selaku Ketua Divisi Perencanaan dan Pemberdayaan
Masyarakat, P4W LPPM-IPB, beserta seluruh rekan divisi yang telah
memberikan dukungan, ruang dan kepercayaan dalam menjalani studi S2 di IPB.
9. Reza Adhiatma selaku Ketua Kampoeng Bogor beserta seluruh anggota dan
simpatisan komunitas yang berjuang bersama penulis dalam mengangkat isu
cagar budaya di Kota Bogor.
10. Seluruh Anggota TP4 Kota Bogor
11. Rekan-rekan PWL angkatan 2012 yang selama ini berjuang bersama-sama dan
saling menyemangati dalam menyelesaikan studi di IPB.
12. Rita Yulisa, M.Si. dan Galuh Syahbana Indraprahasta, M.Si, atas kesediaan
meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis terkait penyelesaian
penelitian ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam
penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, Semoga karya ilmiah ini
menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua
pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Bogor, September 2016

Ridha Muhammad Ichsan


v

DAFTAR ISI

PRAKATA .................................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vii
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................................... 4
1.6. Kerangka Pemikiran .................................................................................................... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 7
2.1. Definisi Cagar Budaya ................................................................................................. 7
2.2. Kawasan Cagar Budaya dan Penataan Ruang ................................................. 8
2.3. Kawasan Cagar Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan ................... 11
2.4. Kota dan Perkembangan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya ............ 12
2.5. Zonasi Dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya .......................................... 14
2.6. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan ................. 16
2.7. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan ................. 17
2.8. Penelitian Terdahulu ................................................................................................ 21
3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 23
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................ 23
3.2. Jenis dan Sumber Data............................................................................................. 24
3.3. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 25
3.3.1. Penentuan Informan Kunci .................................................................... 25
3.3.2. Kuisioner ......................................................................................................... 25
3.3.3. Survei GPS ....................................................................................................... 25
3.4. Teknik Analisis Data ................................................................................................. 25
3.4.1. Analisis Kepadatan (Kernel Density) ................................................ 25
3.4.2. Analisis Pusat dan Hierarki Pelayanan ............................................. 26
3.4.3. Analisis Pembobotan Rank Order Centroid (ROC) ....................... 27
3.4.4. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) .................................. 28
4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ............................................... 31
4.1. Letak Administrasi .................................................................................................... 31
4.2. Kondisi Fisik Wilayah .............................................................................................. 32
4.2.1. Topografi ......................................................................................................... 32
4.2.2. Iklim ................................................................................................................... 35
4.2.3. Geologi .............................................................................................................. 35
4.2.4. Tanah ................................................................................................................ 36
4.2.5. Penggunaan Lahan ..................................................................................... 36
vi

4.2.6. Kemampuan Lahan .....................................................................................37


4.2.7. Hidrologi ..........................................................................................................38
4.2.8. Rencana Tata Ruang Wilayah ................................................................39
4.3. Sosial Budaya Ekonomi ............................................................................................45
4.3.1. Kependudukan ..............................................................................................45
4.3.2. Budaya ...............................................................................................................45
4.3.3. Pendidikan ......................................................................................................47
4.3.4. Perekonomian ...............................................................................................47
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 48
5.1. Kawasan Cagar Budaya di Kota Bogor .............................................................48
5.2. Keunggulan Bangunan Cagar Budaya ...............................................................51
5.3. Ketersediaan Sarana Prasarana Pendukung Potensi Wisata Cagar
Budaya .............................................................................................................................54
5.4. Kawasan Prioritas Pengembangan ....................................................................56
5.4.1. Kelurahan Babakan .....................................................................................57
5.4.2. Kelurahan Paledang ....................................................................................59
5.4.3. Kelurahan Sempur .......................................................................................62
5.4.4. Kelurahan Babakan Pasar ........................................................................65
5.4.5. Kelurahan Pabaton ......................................................................................68
5.5. Arah Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor .....................70
6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 76
6.1. Simpulan .........................................................................................................................76
6.2. Saran .................................................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 77
LAMPIRAN ............................................................................................................... 79
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................... 85

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota ................................................................... 16


Tabel 2. Penelitian Terdahulu Terkait Tema Cagar Budaya ...................................... 21
Tabel 3. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data,
teknik analisis dan output pada setiap tahapan penelitian ......................... 24
Tabel 4. Penentuan nilai selang kelas hirarki untuk Analisis Skalogram .................. 27
Tabel 5. Keterangan Masing-masing Bobot ............................................................... 29
Tabel 6. Pemberian Bobot pada Pilihan Berpasangan ............................................... 29
Tabel 7. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bogor ...................................... 31
Tabel 8. Ketinggian Kota Bogor Menurut Kecamatan.............................................. 33
Tabel 9. Tingkat Kemiringan Daerah Menurut Kecamatan di Kota Bogor ............... 34
Tabel 10. Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2015 ....................................... 35
Tabel 11. Kondisi Geologi Menurut Kecamatan di Kota Bogor ................................ 36
vii

Tabel 12. Kondisi Fisik dan Lingkungan Menurut Jenis Tanah Per Kecamatan
di Kota Bogor ............................................................................................ 36
Tabel 13. Luas Lahan Pertanian Menurut Kecamatan ............................................... 37
Tabel 14. Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan ........................................ 37
Tabel 15. Kemampuan Lahan Kota Bogor ................................................................ 38
Tabel 16. Hasil Pengukuran Debit Tahun 2004 ......................................................... 39
Tabel 17. Rencana Pusat Pelayanan ........................................................................... 40
Tabel 18. Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah
Tangga dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bogor ............ 46
Tabel 19. Penduduk Menurut Agama di Kota Bogor ................................................ 46
Tabel 20. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Kecamatan ....................... 48
Tabel 21. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Jenis Bangunan ................ 48
Tabel 22. Keterangan Penilaian Kriteria Masing-masing Objek dan
Bangunan Cagar Budaya ........................................................................... 51
Tabel 23. Tabel Jumlah Kondisi, Fungsi dan Akses Untuk Masing-masing
Kriteria Penilaian Bangunan Cagar Budaya .............................................. 52
Tabel 24. Tabel Bobot pada Setiap Kriteria Menggunakan Rank Order Centroid.... 52
Tabel 25. Nilai Bangunan pada masing-masing Kelurahan yang Memiliki
Bangunan Cagar Budaya ........................................................................... 53
Tabel 26. Tingkat Pertumbuhan Kelurahan yang Memiliki Bangunan
Cagar Budaya di Kota Bogor..................................................................... 55
Tabel 27. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan berdasarkan Rencana
Pola Ruang Kawasan Budidaya. ................................................................ 57
Tabel 28. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan. ............. 58
Tabel 29. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Paledang berdasarkan Rencana Pola
Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ......... 60
Tabel 30. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. ............ 61
Tabel 31. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Sempur berdasarkan Rencana Pola
Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ......... 63
Tabel 32. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. ............... 63
Tabel 32. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan Pasar berdasarkan Rencana
Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. . 65
Tabel 32. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ... 66
Tabel 35. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Pabaton berdasarkan Rencana Pola
Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ......... 68
Tabel 36. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. .............. 69

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 6


Gambar 2. Pelestarian Pusaka Urban ......................................................................... 13
Gambar 3. Kelompok Kota Pusaka ............................................................................ 14
Gambar 4. Daya Tarik Wisata Kawasan Cagar Budaya Perkotaan ........................... 18
Gambar 5. Konsep Spektrum Peluang Wisata Perkotaan .......................................... 19
Gambar 6. Model Pengembangan Spektrum Peluang Pariwisata .............................. 19
Gambar 7. Indeks Komponen Daya Tarik Wisata ..................................................... 20
viii

Gambar 8. Tipologi Kawasan Cagar Budaya ............................................................. 20


Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 23
Gambar 10. Ilustrasi Input-Output pada Arcgis Menggunakan Kernel Density ........ 26
Gambar 11. Kerangka Hirarki pengembangan Kawasan Cagar Budaya sebagai
Potensi Wisata Perkotaan Kota Bogor ................................................... 28
Gambar 12. Peta Administrasi Kota Bogor ................................................................ 32
Gambar 13. Peta Kelas Ketinggian Kota Bogor......................................................... 33
Gambar 14. Peta Lereng Kota Bogor ......................................................................... 34
Gambar 15. Rencana Struktur Ruang Kota Bogor ..................................................... 41
Gambar 16. Rencana Pola Ruang Kota Bogor ........................................................... 43
Gambar 17. Piramida Penduduk Kota Bogor, 2014 ................................................... 46
Gambar 18. Peta Sebaran Bangunan Cagar Budaya Kota Bogor............................... 49
Gambar 19. Peta Kepadatan Bangunan Cagar Budaya Menggunakan
Metode Kernel Density ........................................................................... 50
Gambar 20. Peta Peringkat Kepadatan Kelurahan yang Memiliki Bangunan
Cagar Budaya ......................................................................................... 50
Gambar 21. Contoh Bangunan Cagar Budaya yang Tidak Utuh dan
Tidak Terawat......................................................................................... 51
Gambar 22. Peta Potensi Bangunan Cagar Budaya ................................................... 54
Gambar 23. Peta Tingkat Pertumbuhan Kelurahan Bangunan Cagar Budaya ........... 54
Gambar 24. Peta Kelurahan Prioritas Pengembangan Kawasan Wisata
Cagar Budaya Kota Bogor...................................................................... 56
Gambar 25. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran
Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan. .................................. 58
Gambar 26. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan....................... 59
Gambar 27. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran
Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. .................................. 61
Gambar 28. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. ..................... 62
Gambar 29. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran
Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. .................................... 64
Gambar 30. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. ....................... 65
Gambar 28. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran
Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ......................... 66
Gambar 32. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ............ 67
Gambar 33. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran
Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. ................................... 69
Gambar 34. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. ....................... 70
Gambar 35. Program Prioritas yang Mendukung Pengembangan Kawasan
Wisata Cagar Budaya. ............................................................................ 71
Gambar 36. Prioritas dalam Pemberdayaan dan Penyadaran Masyarakat ................. 72
Gambar 37. Prioritas dalam Perlindungan Kawasan .................................................. 72
Gambar 38. Grafik Prioritas dalam Sarana dan Prasarana Pendukung ...................... 75
Gambar 39. Grafik Prioritas Penguatan Citra Kawasan ............................................. 75
Gambar 40. Kerangka Prioritas Pengembangan Kawasan Cagar Budaya
Kota Bogor. ............................................................................................ 75
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan suatu wilayah idealnya dilakukan berdasarkan potensi yang


dimiliki wilayah tersebut. Namun seringkali pembangunan yang dilakukan malah
mengeleminasi potensi yang ada. Seperti halnya terhadap keberadaan suatu kawasan
cagar budaya di wilayah perkotaan. Keberadaan kawasan cagar budaya dengan
segala bentuk objek cagar budaya yang ada di dalamnya perlahan semakin hilang
digeser oleh pembangunan perkotaan yang semakin pesat seperti halnya terjadi di
Kota Bogor. Perkembangan kota yang berorientasi memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan berbagai sarana prasarana perkotaan guna memenuhi target pembangunan,
pada prakteknya tidak pernah berjalan bersamaan dengan pengelolaan aset cagar
budaya. Merubah fungsi lahan menjadi kawasan yang semata-mata hanya memenuhi
kebutuhan komersil, seringkali berada pada satu ruang yang sama.
Kawasan cagar budaya perkotaan atau dikenal juga dengan urban heritage
adalah kawasan yang pernah menjadi pusat-pusat dari sebuah kompleksitas fungsi
kegiatan ekonomi, sosial, budaya yang mengakumulasi makna kesejarahan
(historical significance). Kawasan tersebut memiliki kekayaan tipologi dan
morfologi urban heritage yang berupa historical site, historical distric dan historical
cultural (Shirvani 1985, dalam Ramadhani 2012). Namun seperti halnya Kota Bogor,
kawasan pusat kota berkembang dari kawasan yang pada masa lalu memiliki aktifitas
tinggi karena lokasinya yang strategis, sehingga pusat kota saat ini dan kawasan
cagar budaya seringkali berada pada lokasi yang sama. Kondisi kawasan cagar
budaya menjadi sangat rentan karena pusat kota memiliki alih fungsi lahan yang
tinggi.
Kawasan-kawasan seperti pemukiman lama Etnis Tionghoa disepanjang Jalan
Suryakencana-Siliwangi dan sekitarnya, pemukiman Arab di sekitar Empang dan
Bondongan, serta pemukiman Eropa di sebagian wilayah Bogor Barat, harus
terhimpit dan perlahan tergantikan oleh pesatnya pembangunan ruko, hotel dan pusat
perbelanjaan di Kota Bogor. Kota yang tumbuh dengan sejarah, kehidupan sosial dan
budaya, kaya akan bangunan cagar budaya, namun dalam beberapa kasus juga
merupakan kawasan yang penuh dengan permasalahan ekonomi, sosial dan
lingkungan (Cortie, et al., 1993 dalam Verbeke, 1999). Tidak kurang sebanyak 650
entry data bangunan cagar budaya di Kota Bogor yang berhasil disurvey oleh modern
Asian Architecture Network (mAAN) yang merupakan jejaring kerjasama antar
individu maupun institusi yang berbagi wawasan mengenai pelestarian warisan
arsitektur dan kota-kota di Asia pada tahun 2007 bekerjasama dengan Universitas
Tarumanegara. Selanjutnya pada tahun 2010, Dinas Kebudayaan Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Kota Bogor hanya berhasil mendata sebanyak 487 bangunan cagar
budaya yang ada.
Negara menaruh perhatian terhadap pentingnya keberadaan cagar budaya
dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya yang memperbaharui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud kawasan
cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya
atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang
2

khas. Sedangkan situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air
yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur
cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan
perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola
secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam
rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Maka untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam
pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sehingga
cagar budaya baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu
dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta
masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.
Dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya tersebut, maka
diperlukan juga keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis
guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kemudian dalam konteks penataan ruang, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai
parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang. Hal ini mengandung makna tema budaya menjadi salah satu faktor determinan
dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan,
sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Lingkup
Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan
Cagar Budaya di darat dan di air sehingga upaya pelestarian sangat berkaitan pula
dengan penataan ruang.
Pengelolaan kawasan cagar budaya memiliki manfaat yang lebih luas dalam
pengembangan wilayah perkotaan. Perlindungan cagar budaya tidak hanya
berkontribusi pada kualitas dalam membangun lingkungan tapi juga sangat penting
bagi masyarakat dan bagi identitas budaya serta membantu dalam menentukan
karakter sebuah tempat. Dengan melakukan pelestarian suatu cagar budaya, dan
menghidupkannya kembali dengan cara yang baru, merupakan salah satu bentuk
realisasi pembangunan berkelanjutan yang efektif (Rui, 2008). Dalam masyarakat
yang semakin multi-kultur yang mengalami tekanan ekstrim penyeragaman
globalisasi, masalah apa yang harus dilindungi telah mengemuka dalam perdebatan
tentang kawasan cagar budaya. Isu yang berkembang tentang kota berkelanjutan
selalu mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan emisi karbon, pemanfaatan
energi terbarukan, dan pengelolaan limbah, atau pada aspek ekonomi dari
pertumbuhan kota. Namun keberadaan warisan budaya akhirnya menjadi bagian
yang diakui dapat mendorong kesejahteraan sosial pada kelompok-kelompok
masyarakat yang hidup dalam kota yang semakin kosmopolitan (Tweed dan
Sutherland, 2007).
Hal yang paling nyata dalam pemanfaatan cagar budaya oleh para praktisi
pengembangan wilayah adalah bagaimana menarik perhatian banyak orang ke dalam
wilayah tersebut terutama kaitannya dalam wisata cagar budaya (Timothy, 2007
dalam Eversole, 2006). Wisata budaya dipandang merupakan sebuah segmen dengan
pertumbuhan tercepat di pasar pariwisata (Richards 1996). Pengembangan minat
potensi cagar budaya, di tempat-tempat bersejarah dan kota-kota yang menawarkan
3

agenda budaya yang beragam, membuka perspektif baru bagi perekonomian


perkotaan (Van den Borg et al. 1996).

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan kota yang cukup pesat, pada sisi lain telah berdampak pada
menghilangnya satu persatu bangunan cagar budaya yang merupakan asset Kota
Bogor. Bangunan-bangunan tersebut yang selama ini telah membentuk kawasan
cagar budaya dan memiliki nilai penting dalam pengembangan wilayah Kota Bogor.
Jika hal ini terus terjadi, maka Kota Bogor tidak hanya kehilangan salah satu potensi
penting yang menjadi bagian kota, namun juga kehilangan identitas dan tidak
memiliki alternative dalam pengembangan wilayah di masa yang akan datang
terutama dalam pengembangan wisata perkotaan. Hingga kini belum diketahui lagi
jumlah eksisting bangunan semenjak survey yang dilakukan oleh modern Asian
Architecture Network (mAAN) pada tahun 2007 dan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bogor pada tahun 2010. Kemudian survey yang dilakukan oleh
Program Pelestarian dan Pengembangan Kota Pusaka (P3KP) pada tahun 2012 hanya
mempertegas kawasan yang sebelumnya tercantum pada Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bogor 2011-2030. Hingga saat ini, belum terdapat lagi survey atau
inventarisir untuk mengetahui sejauh mana keberadaaan bangunan cagar budaya di
Kota Bogor.
Perhatian dan upaya pengelolaan Kawasan Cagar Budaya oleh pemerintah
daerah dalam hal ini dinilai belum maksimal, dimana upaya pengelolaan kawasan
yang dilakukan terhenti pada proses pendataan saja, yang hanya menghasilkan
catatan jumlah bangunan yang semakin hari semakin berkurang. Keberadaan
kawasan cagar budaya belum dijadikan bagian yang menjadi satu struktur kesatuan
perkotaan. Hal ini seringkali dikaitkan dengan fokus pembangunan daerah yang
memiliki prioritas pada kebutuhan lain yang dinilai lebih mendesak dibandingkan
upaya pengelolaan cagar budaya. Padahal Kota Bogor tetap membutuhkan alternative
upaya pengembangan wilayah khususnya pada pusat kota yang cenderung mulai
mengalami kejenuhan dan kelebihan beban, sehingga kota mulai kehilangan daya
tarik. Kota memerlukan inisiatif dalam mengembangkan ekonomi baru perkotaan dan
menggeliatkan kembali sector unggulan ditengah menurunnya kontribusi PDRB oleh
sektor perdagangan hotel dan restoran pada lima tahun terakhir.
Perkembangan Kota Bogor yang terjadi selama ini diharapkan dapat menjadi
penunjang pengembangan kawasan cagar budaya, sehingga menjadi bagian dalam
pembangunan kota yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan bukan menjadi hal yang
saling meniadakan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait dengan potensi
wisata kawasan cagar budaya perkotaan sebagai bagian dalam pengembangan
wilayah di Kota Bogor.
Permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Belum diketahuinya kondisi eksisting kawasan cagar budaya di Kota Bogor;
2. Belum diketahuinya potensi wisata kawasan cagar budaya yang ada di Kota
Bogor;
3. Belum diketahuinya keterkaitan antara perkembangan wilayah dan potensi
kawasan cagar budaya Kota Bogor
4. Belum adanya arahan pengembangan kawasan cagar budaya Kota Bogor.
4

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka disusun pertanyaan


penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi bangunan cagar budaya di Kota Bogor saat ini?
2. Apakah kawasan cagar budaya yang ada memiliki potensi wisata untuk
dikembangkan?
3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah pada masing-masing kawasan cagar
budaya?
4. Bagaimana arah pengembangan kawasan cagar budaya sebagai potensi wisata
perkotaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan


penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi bangunan serta kawasan cagar budaya Kota Bogor secara
spasial.
2. Menganalisis potensi wisata kawasan cagar budaya perkotaan di Kota Bogor.
3. Menganalisis tingkat pertumbuhan masing-masing kawasan cagar budaya Kota
Bogor.
4. Menyusun arah pengembangan kawasan cagar budaya sebagai potensi wisata
perkotaan Kota Bogor.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat pada beberapa aspek antara lain,
menambah khasanah informasi tentang aspek pengelolaan aset sejarah dan budaya di
kawasan perkotaan, memberikan informasi kondisi eksisting kawasan cagar budaya
di Kota Bogor, memberikan alternatif arahan pengembangan kawasan cagar budaya
sebagai komponen penting dalam pengembangan wilayah, sehingga menjadi
masukan upaya perencanaan pada masa-masa yang akan datang serta sebagai acuan
untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup substansial meliputi batasan penelitian yang terkait dengan potensi-


potensi yang ada pada setiap kawasan cagar budaya Kota Bogor berikut fasilitas yang
tersedia. Potensi setiap kawasan menjadi dasar arah pengembangan dengan tambahan
masukan pengelolaan dari masyarakat yang diintegrasikan dengan kriteria dan
ketentuan pengelolaan suatu kawasan cagar budaya.
Kawasan cagar budaya tersebar di enam kecamatan dan di beberapa kelurahan
yang ada di Kota Bogor. Berdasarkan RTRW Kota Bogor 2011-2030, kawasan
tersebut merupakan bagian dari kawasan lindung budaya dan kawasan strategis yang
secara lebih lanjut dituangkan dalam rencana pengembangan Kota Pusaka Kota
Bogor yang dapat menjadi dasar pemetaan awal pada proses penelitian.
5

1.6. Kerangka Pemikiran

Menempatkan kawasan cagar budaya menjadi salah satu prioritas


pembangunan memang bukan merupakan hal yang mudah dalam kebijakan
pemerintah daerah. Dampak perkembangan dari pengelolaan sebuah kawasan tidak
dapat dirasakan dalam jangka waktu yang pendek. Namun kota tetap memerlukan
proyeksi investasi jangka panjang dalam kerangka pembangunan dan upaya
pengembangan wilayah. Seperti idealnya sebuah perkotaan, investasi mau tidak mau
harus dilakukan untuk membangun daya tarik kota, kemudian mengemasnya dalam
wisata perkotaan, dan menyerap pendapatan daerah melalui sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Faktanya pembangunan fisik di Kota Bogor tidak hanya memiliki
dampak positif dari sisi ketersediaan fasilitas perkotaan namun juga memiliki
dampak negative terhadap kenyamanan dan daya tarik kota. Semakin menurunnya
kualitas kawasan cagar budaya akibat perubahan fungsi yang selalu berorientasi pada
pendapatan daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan kawasan yang seringkali
tidak sesuai dengan peruntukkan yang kemudian mengakibatkan daya tarik kota
semakin menurun.
Kota Bogor yang tidak banyak memiliki daya tarik dari sisi keberadaan objek
wisata yang tersedia, patut mempertimbangkan kawasan cagar budaya menjadi
potensi wisata perkotaan dalam rangka menghadirkan kembali daya tarik kota. Daya
tarik Kota Bogor diperkirakan semakin meningkat jika keberadaan kawasan cagar
budaya dikelola dengan baik dimana berbagai fasilitas perkotaan yang telah
disediakan oleh laju pembangunan dapat menjadi penunjang dalam pengembangan
ke depan. Namun untuk menjadi objek wisata perkotaan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi daya tarik wisatawan seperti akses terhadap lokasi, waktu yang
tersedia untuk mengakses objek tersebut, adanya fasilitas pendukung, dan faktor lain
sehingga objek tersebut memiliki daya tarik bagi wisatawan. Faktor tersebut menjadi
variable-variabel yang kemudian diintegrasikan dengan potensi kawasan cagar
budaya yang saat ini ada.
Potensi daya tarik wisata kawasan cagar budaya harus memenuhi kriteria baik
dari segi fisik maupun non fisik. Kondisi fisik bangunan cagar budaya yang ada pada
tiap kawasan menjadi faktor pertama yang harus diamati. Pengamatan kondisi
bangunan dilakukan sekaligus dengan memetakan jumlah sebaran dan distribusi
bangunan pada masing-masing kawasan. Melalui penilaian faktor-faktor daya tarik
wisata, setiap kawasan cagar budaya akan dinilai seberapa besar kawasan tersebut
memiliki daya tarik untuk dijadikan objek wisata perkotaan. Sehingga arahan
pengembangan kawasan cagar budaya dapat disusun sebagai pertimbangan dalam
pengembangan wilayah pada masa perencanaan pembangunan dan ruang kota
selanjutnya.
6

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.


7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Cagar Budaya

Peranan penting cagar budaya telah tertuang dalam produk hukum negara
mulai dari tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan munculnya Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Negara menganggap bahwa
cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan
perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola
secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam
rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Maka untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam
pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sehingga
cagar budaya baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu
dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta
masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya.
Dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya tersebut, maka
diperlukan juga keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis
guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya lebih lanjut
menjelaskan beberapa pengertian terkait cagar budaya diantaranya seperti dijelaskan
pada beberapa uraian berikut di bawah ini:
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia,
baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk
menampung kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau
Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian
pada masa lalu.
8

6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua
Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Suatu objek dapat ditetapkan menjadi benda cagar budaya dengan melalui
tahapan proses sebagai berikut:
1. Pendaftaran, adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi,
dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya
kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia di luar negeri
dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya.
2. Penetapan, adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan,
struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Dimana proses tersebut dilakukan terhadap benda, bangunan, atau struktur
dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau
Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

2.2. Kawasan Cagar Budaya dan Penataan Ruang

Sebelum masa kemerdekaan Indonesia merupakan negara yang tumbuh dengan


perjalanan sejarah yang panjang, dimana kerajaan-kerajaan nusantara tumbuh dan
saling berebut kekuasaan hingga masa berganti memasuki masa penjajahan. Setelah
berabad-abad lamanya, menjadikan potensi warisan budaya yang kaya dan beragam
menyebar diseluruh nusantara. Potensi-potensi tersebut hadir dalam bentuk kesenian,
adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan
keragaman warisan budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kota-
kota di Indonesia, sehingga masyarakat kota dengan proses budayanya, telah
membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas melekat pada setiap kota
serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan identitas kota. Hal ini
menjadi bagian penting dari sebuah wilayah sehingga patut pula menjadi bagian
sebuah dari perencanaan baik rencana tata ruang maupun rencana pembangunan
daerah.
Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2010 disebutkan bahwa cagar budaya
merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku
kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat
melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka
memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
itu negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan cagar budaya juga dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
9

prosesnya. Penenkanan pelaksanaan pelestarian cagar budaya perlu memperhatikan


keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemahaman tersebut di atas kemudian diterjemahkan Undang-Undang Cagar
Budaya ke dalam tujuan Pelestarian Cagar Budaya yang meliputi:
1. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
3. Memperkuat kepribadian bangsa;
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
5. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat
internasional.
Kemudian dalam konteks penataan ruang, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai
parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang. Hal ini mengandung makna tema budaya menjadi salah satu faktor determinan
dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan,
sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Lingkup
Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan
Cagar Budaya di darat dan di air sehingga upaya pelestarian sangat berkaitan pula
dengan penataan ruang. Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan
Cagar Budaya apabila:
1. Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan;
2. Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50
(lima puluh) tahun;
3. Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia
paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;
4. Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan
ruang berskala luas;
5. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
6. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan
manusia atau endapan fosil.
Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) telah menetapkan tiga peninggalan budaya yang termasuk dalam
Kawasan Strategis Nasional (KSN), yakni Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
Tana Toraja. Namun tidak menutup kemungkinan situs-situs lain akan ditetapkan
sebagai KSN apabila telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam RTRWN. Lebih
lanjut Kebijakan/Arahan Pengembangan Kawasan Heritage dan Bangunan Cagar
Budaya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah diwujudkan dalam:
1. Kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian
dari Kawasan Lindung yang meliputi implementasi antara lain:
- Menetapkan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
- Meningkatkan nilai kawasan bersejarah dan/atau bernilai arsitektur
tinggi; dan
- Mengembangkan potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki
nilai sejarah.
2. Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian
dari Kawasan Budidaya dapat berupapengaturan pengembangan kawasan
10

budidaya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung mengendalikan


pengembangan kawasan pusat kota.
3. Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian
dari Kawasan Strategis Sosial Budaya dimana strategi pengembangannya
dapat berupa menata kawasan dalam rangka perlindungan terhadap
kelestarian lingkungan dan menata kawasan dalam rangka perlindungan
peninggalan budaya.
Kota Bogor seperti kota/kabupaten lainnya di luar hasil realisasinya di
lapangan, telah mengakomodir kebutuhan ruang dalam RTRW yang telah ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah. Dalam Rencana Kawasan Lindung RTRW Kota Bogor
2011-2031, dinyatakan bahwa yang masuk ke dalam Kawasan Cagar Budaya
meliputi:
1. Istana Bogor di Jl.Ir.H.Juanda;
2. Istana Batu Tulis di Jl.BatuTulis;
3. Gedung Karasidenan Bogor/ Bakorwil di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 4;
4. Balai Kota Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 10;
5. Markas KODIM 0606 Bogor di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 33;
6. Markas KOREM 061/Surya Kencana di Jl. Merdeka Nomor 6;
7. Gedung Blenong/Badan PertanahanNasionalBogordiJl.JalakHarupat;
8. Gedung RRIRegional II Bogor di Jl. Pangrango Nomor 34;
9. Balai Penelitian Bio Teknologi Perkebunan Republik Indonesia di Jl.
Taman Kencana;
10. Kantor Pos Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 5;
11. Museum Zoologi Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 9;
12. Monumen dan Museum Peta di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 35;
13. Makam Raden Saleh di Jl. Pahlawan gg. Raden Saleh;
14. Gereja Kathedral di Jl. KaptenMuslihat Nomor 22;
15. Gereja Zebaothdi Jl. Ir. H. Juanda Nomor 3;
16. Kapel Regina Pacis, Kompleks diJl. Ir. H. Juanda;
17. Gedung SMA YZA 2 Bogor di Jl. Semeru Nomor 41;
18. Gedung SMP Negeri 2 Bogor di Jl. Gedong Sawah IV Nomor 9;
19. Gedung SMA-SMP Negeri 1 Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 16;
20. Stasiun Kereta Api Bogor di Jl. Nyi Raja Permas Nomor 1;
21. Rumah Sakit Salak di Jl. Jenderal Sudirman Nomor8;
22. Rumah Panti Asuhan “Bina Harapan” di Jl, Jenderal Sudirman No 7;
23. Hotel Salak di Jl. Ir. H. Juanda;
24. Mesjid Empang di Jl. Empang;
25. Klenteng Dhanagun/ Hok Tek Bio di Jl. Suryakencana Nomor 1;dan
26. Prasasti Batu Tulis di Jl. Batu Tulis.
Kawasan Cagar Budaya tersebut direncanakan untuk mempertahankan
karakteristik bangunan dan lingkungan sekitarnya serta merevitalisasi kawasan cagar
budaya. Selain itu terdapat juga Kawasan Strategis Kota dimana salah satu nya
terdapat Kawasan Strategis Sosial Budaya yang meliputi:
1. Kawasan perdagangan lama di Pasar Bogor, Pecinan di Jalan
Suryakencana dan Kampung Arab di Empang;
2. Kawasan Istana Batutulis dan sekitarnya;dan
3. Kawasan perumahan berarsitektur khas di Taman Kencana.
Upaya penataan yang dilakukan terhadap kawasan perdagangan lama yaitu:
11

1. Menata bangunan dan lingkungan;


2. Meningkatkan kualitas lingkungan;
3. Mempertahankan nilai sejarah kawasan; dan
4. Mempertahankan fungsi kawasan sebagai pusat perekonomian dan
kawasan wisata.
Untuk penataan Kawasan Istana Batutulis upaya yang dilakukan adalah
perlindungan terhadap kawasan bersejarah dan pengendalian lingkungan sekitar
kawasan. Sedangkan untuk penataan kawasan perumahan berarsitektur khas, upaya
yang dilakukan berupa pelestarian bangunan bersejarah dan pengendalian terhadap
perubahan arsitektur bangunan.

2.3. Kawasan Cagar Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan

Kurangnya pemahaman yang mendetail terkait dengan definisi pembangunan


berkelanjutan, memungkinkan terbukanya beragam interpretasi para stakeholder
dalam merasakan kenyamanan sehingga tidak jarang memunculkan perdebatan.
Kesulitan dalam menyikapi hal tersebut adalah dalam menentukan aktifitas-aktifitas
yang dibutuhkan untuk menjamin sebuah pembangunan keberlanjutan. Model tiga
pilar (Keiner, 2005; UNIDO, 2005) bagaimanapun berjalan untuk menjelaskan
masalah dengan mengidentifikasi tiga dimensi yang meliputi lingkungan hidup,
ekonomi dan sosial.
Dimensi lingkungan menjadi perhatian yang dominan dalam pembangunan
berkelanjutan terutama diarahkan pada penggunaan sumber daya alam dan
lingkungan, dan karena hal tersebut merupakan topik penelitian yang mudah diukur,
aspek pengembangannya dilihat sebagai yang paling mudah dikerjakan. Keunggulan
yang senantiasa terjadi pada dimensi ini terjamin karena memenuhi kebutuhan yang
mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Sampai saat ini fokus lingkungan pada
kawasan cagar budaya diutamakan dalam membahas masalah-masalah teknis
mempertahankan struktur bangunan yang ada, misalnya dalam menangani serangan
dari polutan kimia di lingkungan perkotaan. Walaupun pada umumnya terletak pada
satu lokasi yang sama, aktivitas pada kawasan cagar budaya akan berbeda dengan
sebuah kawasan pusat perkotaan. Aktifitas pusat kota yang seringkali menyebabkan
menurunnya kualitas lingkungan, daya dukung dan tampung lingkungan tentu akan
berubah ketika upaya pelestarian kawasan budaya dilakukan. Hal ini ditegaskan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan, yang pada dasarnya tidak memperkenankan
hilangnya nilai-nilai sejarah bangunan, arsitektur dan budaya.
Dimensi ekonomi dipandang sebagai syarat paling penting untuk pemenuhan
kebutuhan manusia dan perbaikan taraf hidup warga negara. Saat ini diakui juga
bahwa baik pertumbuhan ekonomi secara umum, maupun pertumbuhan pendapatan
pada tingkat pribadi telah cukup menjamin kemajuan dari seluruh masyarakat.
Peningkatan pada aspek-aspek kualitatif dilihat sebagai bagian penting adanya
perbaikan. Dengan kata lain, hal ini tidak lagi memuaskan jika menghadirkan
pertumbuhan ekonomi yang diisolasi dari semua aspek lain dari pengembangan.
Namun pada perkembangannya peran bangunan-bangunan bersejarah dalam
mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui regenerasi perkotaan sekarang
diakui, setidaknya di Inggris (ODPM, 2004). Kawasan cagar budaya menarik
12

wisatawan, khususnya untuk kota cagar budaya yang telah mapan, yang mampu
meningkatkan ekonomi baik skala nasional maupun lokal. Wisata budaya
berkelanjutan merupakan topik penelitian utama dari proyek PICTURE (Pro-active
management of the Impact of Cultural Tourism upon Urban Resources and
Economies) SSPA-CT-2003-502491 (PICTURE, 2005).
Dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan menekankan terpenuhinya
kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup untuk semua warga negara dengan
meningkatkan pendapatan dasar dan meningkatkan keadilan sosial, sehingga semua
kelompok memiliki akses yang adil terhadap pendidikan, mata pencaharian dan
sumber daya (Tweed dan Sutherland, 2007). Dimensi ini merupakan hal yang paling
relevan dengan kebutuhan untuk mempertimbangkan kawasan cagar budaya sebagai
bagian dari pembangunan berkelanjutan. Relevansi khusus untuk diskusi ini adalah
gagasan kesetaraan antar generasi, dimana pelestarian cagar budaya kota yang
dilakukan generasi saat ini (Bourdieu, 1984) untuk kepentingan generasi yang akan
datang (UNIDO, 2005).

2.4. Kota dan Perkembangan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun


2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah
bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan
karya yang istimewa dari lebih 500 (lima ratus) suku bangsa di tanah air Indonesia,
secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya
dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup
pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana
adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan
memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud,
serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam
wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola
secara efektif.
Selanjutnya Kota pusaka di Indonesia adalah kota/kabupaten yang dinilai
memiliki beragam situs maupun peninggalan yang penting bagi kehidupan komunitas
dan masyarakat luas pada umumnya. Terdapat peninggalan yang diklasifikasikan
sebagai pusaka yang formal, namun terdapat pula pusaka yang belum terklasifikasi
secara formal karena belum adanya penetapan dari pemerintah.
Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam rangka perwujudan kota pusaka ini
adalah inisiasi kerjasama dengan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Berbagai
kegiatan yang dilakukan dalam kerjasama tersebut antara lain adalah mendorong
semangat pelestarian dan percaya diri, membantu capacity building dan penataan
ruang, serta membantu komunikasi dengan berbagai lembaga. Hal ini diharapkan
dapat menunjang realisasi kota pusaka mengingat JKPI memiliki keanggotaan hingga
47 pemerintah kabupaten/kota anggota di seluruh Indonesia.
13

Gambar 2. Pelestarian Pusaka Urban.

Kota Pusaka diharapkan dapat diakui UNESCO menjadi World Heritage City.
Dari 962 World Heritage Sites yang diakui oleh UNESCO, delapan di antaranya
berasal dari Indonesia. Namun, di antara delapan situs tersebut, tidak ada yang
termasuk dalam kategori World Heritage City. Untuk itu, sebagai upaya untuk
mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh
UNESCO, Kementerian PU menginisiasi pelaksanaan Program Penataan dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), sekaligus sebagai bentuk implementasi RTRW
konsisten pada tema-tema budaya/pusaka berbasis penataan ruang.
Dari 26 kota/kabupaten yang telah menunjukkan keseriusan dan menyatakan
komitmennya untuk berpartisipasi di dalam P3KP, tim evaluator proposal
mengelompokkan hasil ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yang pada intinya
disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman
substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program
P3KP (yang telah dan akan dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait.
Setiap kelompok akan mendapatkan "treatment" atau tindak lanjut yang
berbeda-beda sesuai pengkategoriannya. Kelompok tersebut yaitu: 1) kota dan
kabupaten kelompok A yang telah memiliki kesiapan dan pengalaman dalam
pengelolaan kawasan pusaka dan kepadanya akan diberikan fasilitasi penyusunan
Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan), fasilitasi awal
dukungan pemangku kepentingan, dan fasilitasi kampanye publik; 2) kota dan
kabupaten kelompok B yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun
pengelolaannya masih terbatas dan kepadanya akan diberikan pendampingan
capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi
penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan);
serta 3) kota dan kabupaten kelompok C yang masih pada tahap persiapan dan
kepadanya akan diberikan pendampingan capacity building tingkat dasar dan
kemudian dipersiapkan untuk memperoleh fasilitasi capacity building tingkat
lanjutan.
14

Gambar 3. Kelompok Kota Pusaka.

2.5. Zonasi Dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya

Salah satu bentuk pelindungan cagar budaya adalah zonasi atau pemintakatan.
Dalam konteks penerapannya di Indonesia, pemintakatan atau zonasi telah diatur
dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No.5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya yang masih tetap berlaku. Dalam ketentuan umum UU No. 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan “Pelindungan adalah upaya mencegah
dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara
Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya”.
Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar
Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.Dengan demikian,
dalam pelaksanaan pelestarian zonasi merupakan tahapan penting yang perlu
dilakukan sebagai bentuk pelindungan terhadap cagar budaya.
Undang-Undang Cagar Budaya pada Paragraf 3 Pasal 72 memuat Zonasi dalam
beberapa tahapan. Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-
15

batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil
kajian. Sistem Zonasi ini ditetapkan oleh:
1. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup
2 (dua) provinsi atau lebih;
2. Gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau
mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau
3. Bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan
Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.
Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif,
edukatif, apresiatif, dan/atau religi.Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar
Budaya, baik vertikal maupun horizontal.Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat
dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air.
Sistem Zonasi dapat terdiri atas:
1. zona inti;
2. zona penyangga;
3. zona pengembangan; dan/atau
4. zona penunjang.
Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian
dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam
pelaksanaannya di lapangan, telah sering dilakukan zonasi cagar budaya di beberapa
situs purbakala yang terdapat di wilayah Indonesia.Kegiatan zonasi cagar budaya
selama ini dilakukan oleh UPT Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di setiap
wilayah kerjanya masing-masing yang tersebar di Indonesia.Peraturan zonasi pada
dasarnya adalah suatu alat untuk pengendalian yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), dimana
blok/zona peruntukan yang menjadi acuan ditetapkan melalui rencana rinci tata
ruang. Peraturan zonasi ini lebih dikenal dengan istilah popular zoning regulation,
dimana kata zoning yang dimaksud merujuk pada pembangian lingkungan kota ke
dalam zona-zona pemanfaatan ruang dimana di dalam tiap zona tersebut ditetapkan
pengendalian pemanfaatan ruang atau diberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-
beda (Barnet, 1982 dalam Mulyadi, 2012).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan cagar
budaya, peraturan zonasi ini menjadi penting artinya terutama yang berkenaan
dengan upaya pemanfatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan
cagar budaya.Selama ini implementasi rencana tata ruang yang telah disusun bukan
merupakan suatu perkara yang mudah. Kepentingan publik dengan kepentingan
pribadi serta kepentingan pelestarian seringkali berbenturan sehingga apa yang telah
disusun dan ditetapkan dalam suatu rencana tata ruang tidak sejalan dengan
pembangunan yang ada. Dalam kondisi ini peraturan zonasi cagar budaya sebagai
salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cagar
budaya menjadi penting artinya, karena peraturan zonasi ini dapat menjadi rujukan
dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatan
dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, serta dapat menjadi
panduan teknis dalam pengembangan/pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya.
Dengan adanya acuan yang jelas dan operasional mengenai bagaimana suatu rencana
tata ruang dapat diterapkan, maka persoalan penyimpangan pembangunan terhadap
rencana tata ruang setidaknya dapat dihindari dan dicegah.
16

2.6. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Saat ini, keberhasilan dalam menarik wisatawan untuk tujuan wisata perkotaan
sangat terkait dengan 'kebangkitan budaya dalam masyarakat dan pada kemasan
pariwisata pada khususnya. Wisata budaya dipandang merupakan sebuah segmen
dengan pertumbuhan tercepat di pasar pariwisata (Richards, 1996). Pengembangan
minat potensi cagar budaya, di tempat-tempat bersejarah dan kota-kota yang
menawarkan agenda budaya yang beragam, membuka perspektif baru bagi
perekonomian perkotaan (Van den Borg et al., 1996). Ini berarti tantangan baru bagi
industri pariwisata, untuk pengelolaan fasilitas budaya dan lembaga-lembaga publik
(Swarbrooke, 1994 dalam Verbeke et al., 1999).

Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota.


FAKTOR UMUM FAKTOR KHUSUS
1. Unik dan Menarik Banyak yang dilihat dan dilakukan
Tempat yang menarik
Menjadi pengalaman yang unik
2. Daya Tarik Budaya dan Landmark yang mudah dikenal
Pemandangan Arsitektur yang menarik
Catatan sejarah
Museum dan Galeri yang baik
Masyarakat yang menarik
Perbedaan budaya dan cara hidup
Kebiasaan dan tradisi setempat
3. Hiburan Suasana malam hari yang menyenangkan
Tempat perbelanjaan yang menarik
Pertunjukkan musik
Seni dan teater
Festival dan pertunjukkan
4. Makanan dan Akomodasi Hotel yang nyaman
Restoran
Makanan khas
Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Hubungan saling menguntungkan antara budaya dan pariwisata mengarahkan


kedua sektor dalam mencapai target ekonomi secara bersama-sama. Konservasi
sumber daya budaya dan proses transformasi menjadi produk pariwisata, dapat
menjadi insentif yang nyata untuk proses menghidupkan kembali identitas budaya
pada masyarakat atau pada tingkat regional. Pada gilirannya proses ini dapat
menciptakan iklim yang menguntungkan untuk pengembangan dan investasi proyek-
proyek pariwisata baru, yang mana pasar pariwisata saat ini membutuhkan sebuah
inovasi dan diversifikasi. Hal tersebut merupakan asumsi umum bahwa budaya dan
pariwisata yang saling ketergantungan (Ashworth, 1993 dalam Verbeke, 1999).
Mengingat tingginya biaya yang dibutuhkan dalam konservasi cagar budaya
dan pengadaan berbagai fasilitas budaya, jelas pendapatan pariwisata sangat
dibutuhkan. Dinamika budaya dalam bentuk dan ekspresi yang berbeda, dalam
banyak kasus dapat memberi dukungan yang murni dalam pariwisata. Dari sudut
17

pandang budaya, pariwisata juga dilihat sebagai cara untuk melegitimasi dukungan
politik, justifikasi sosial (dan ekonomi), sarana terhadap konservasi dan insentif
untuk inovasi. Pasar pariwisata perlu sumber daya cagar budaya untuk
mengembangkan produk baru. Produk-produk tersebut beserta fasilitasnya
memberikan nilai tambah bagi pengalaman wisatawan, sehingga kepentingan kedua
sektor kebudayaan dan pariwisata merupakan hal yang sangat kompatibel.
Hubungan budaya dan wisata semakin erat bahkan telah menjadi tak
terelakkan. Dari sudut pandang pariwisata, budaya dalam definisi yang paling luas
dipandang sebagai sebagai sumber daya yang ada dimana-mana dan dapat
dikembangkan menjadi produk wisata (Ashworth, 1995). Setiap kota pasti memiliki
sejarah, setiap monumen memiliki ceritanya masing-masing, yang menjadikannya
sebagai potensi yang tampaknya tak terbatas. Hal yang lain, proses transformasi dari
sumber daya budaya menjadi produk wisata belum tentu memiliki investasi dengan
biaya yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan proyek-proyek infrastruktur
pariwisata lainnya. Mungkin salah satu insentif yang paling relevan untuk
berinvestasi pada produk wisata budaya adalah kenyataan bahwa kadang tidak
adanya izin yang jelas untuk sumber daya cagar budaya, sering kali tidak ada
kepemilikan yang dapat diakui. Dalam banyak kasus objek-objek cagar budaya
merupakan barang publik, kepemilikan bersama di mana setiap pengembang
pariwisata kreatif dapat memanfaatkannya (Healy, 1994 dalam Verbeke 1999).
Sumber daya cagar budaya memainkan peran kunci dalam pengembangan
pariwisata perkotaan. Namun keyakinan tersebut disisi lain apakah didukung juga
oleh perubahan struktural disisi permintaan, menjadi pertanyaan yang mengemuka.
Peneliti akademis, marketing pariwisata dan manajer dalam bisnis pariwisata
ditantang untuk memahami lebih baik karakteristik segmen pasar 'budaya', dengan
faktor pendorong (push factor) pada sisi permintaan dan faktor penarik (pull factor)
di sisi penawaran.

2.7. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Fungsi wisata dari bangunan cagar budaya tergantung kepada kemudahan akses
bagi para wisatawan seperti akses untuk publik, waktu yang tersedia untuk
mengakses tempat tersebut, kegunaan saat ini, dan fungsi serta kompleksitas
bangunan. Transformasi penting dari bangunan cagar budaya adalah dapat berubah
dari fungsi tunggal dimana pengunjung lebih terspesifik menjadi multifungsi yaitu
menghadirkan serangkaian kombinasi kegiatan seperti budaya, rumah makan, pusat
dan perbelanjaan. Bangunan cagar budaya dapat dibuka untuk wisatawan umum dan
memiliki fungsi yang eksklusif, atau memiliki kegunaan yang multifungsi. Dalam
beberapa kasus bangunan tersebut tidak secara langsung digunakan sebagai tempat
wisata seperti halnya bangunan rumah tinggal, tapi tetap saja menambah
pemandangan dan pengembangan nilai historis kota tersebut.
Dalam analisis fungsi wisata kelompok cagar budaya, terdapat indeks
fungsional yang mengacu pada kombinasi dari akses bagi wisatawan dan tingkat dari
kegunaan/fungsi dalam sebuah kawasan. Skor fungsi tertinggi diberikan kepada
bangunan yang memiliki fungsi utama dalam objek wisata, dimana fungsi wisata
yang spesifik dan secara harian dapat diakses oleh para wisatawan. Hal ini
didasarkan pada apresiasi objek wisata yang berbeda dalam kota sebagai elemen
18

utama atau elemen pendukung (Jansen-Verbeke 1994). Model konseptual dari objek
wisata yang diterapkan dalam analisis ini adalah alat untuk mengidentifikasi cluster
cagar budaya dan memberikan peringkat dalam posisi morfologi dan secara
fungsinya (Gambar 4).

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 4. Daya Tarik Wisata Kawasan Cagar Budaya Perkotaan.

Prinsip dasar dari model analitis ini adalah kedekatan interaksi antara bentuk
dan fungsi dalam pengembangan cluster cagar budaya yang menarik. Terdapat
gradasi yang jelas antara cluster cagar budaya yang berfungsi sebagai elemen utama
produk wisata perkotaan, baik dari sisi karakteristik morfologi, posisi dan
kemudahan akses, dibandingkan dengan fungsi wisata dan bangunan cagar budaya
yang tidak terintegrasi yang bukan merupakan hal yang menarik untuk kebanyakan
wisatawan.
Langkah pertama dalam analisis, yaitu terfokus pada kelompok cagar budaya
dalam kota bersejarah tanpa memperhitungkan struktur fungsi keseluruhan dan
zonasi di pusat kota. Fungsi wisata sebuah kota bersejarah tidak dapat dipandang
sebagai sesuatu yang hanya menempel pada struktur perkotaan. Sebaliknya, hal
tersebut bagaimanapun juga merupakan bagian dari sistem perkotaan (Ashworth et
al., 1990 dalam Verbeke, 1999). Semakin pentingnya fungsi wisata secara bertahap
mengubah campuran fungsi di pusat kota dan dampak dari kegiatan pariwisata
mempengaruhi kualitas dan karakteristik lingkungan. Harmonisasi dan interaksi
antara pariwisata dan kegiatan ekonomi lain, dalam hal penggunaan ruang, sangat
tergantung bagaimana kelompok cagar budaya secara fisik dan fungsi terintegrasi
dengan sistem perkotaan.
Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan spektrum peluang wisata
perkotaan meliputi:
 Aksesibilitas menuju dan dalam area destinasi;
 Kemungkinan terdapatnya pilihan dari berbagai kegiatan dan memenuhi
beragam preferensi;
19

 Kombinasi aktifitas dengan anggaran yang spesifik;


 Pengaturan tata ruang dari tempat-tempat menarik (jaringan, jalan);
 Sinergitas fungsi antar fasilitas perkotaan;
 Interaksi antar aktivitas.

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 5. Konsep Spektrum Peluang Wisata Perkotaan.

Interpretasi awal dari hasil studi ini mengarah pada pendefinisian tiga dimensi
yang relevan dalam model pengembangan spektrum peluang wisata perkotaan
(Gambar 6.). Tantangan saat ini terletak pada analisis yang lebih mendalam dari
masing-masing dimensi, terutama untuk menilai peran cluster warisan dalam
pengembangan spektrum/jangkauan yang menarik untuk berbagai jenis wisatawan.

Gambar 6. Model Pengembangan Spektrum Peluang Pariwisata.


20

Komponen indeks daya tarik wisata yang merupakan kombinasi dari indeks
posisi morfologi dan indeks fungsi menawarkan sebuah kerangka untuk pengelolaan
spektrum peluang Wisata perkotaan (Gambar 7). Untuk menggunakan pendekatan
analisis ini secara efektif sebagai alat perencanaan, maka informasi yang diperlukan
pada komponen daya tarik wisata, kegiatan serta preferensi wisatawan harus tersedia
lebih banyak. Khususnya pembangunan jalur bertema dan peran intervensi peluang
yang membutuhkan tinjauan lapangan lebih lanjut.

Gambar 7. Indeks Komponen Daya Tarik Wisata.

Memahami komponen yang berbeda dari daya tarik perkotaan bagi wisatawan
budaya bukan menjadi tujuan akhir tapi sebagai dasar untuk pengembangan strategi
manajemen. Konsep dan model di atas juga dapat diimplementasikan sebagai alat
perencanaan kota dimana pariwisata telah mencapai batas kapasitasnya. Menilai
objek wisata dengan cara yang analitis dan kritis membuka perspektif baru tentang
pembangunan berkelanjutan. Pemahaman tentang tipologi cluster cagar budaya,
menuju penghitungan karakteristik lokasi dan fungsi, kemudian membentuk dasar
yang kuat untuk pilihan pembangunan. Pilihan tersebut sebagai contoh adalah untuk
memperkuat fungsi wisata cluster cagar budaya yang menghubungkan area utama,
atau menambahkan kegiatan pada kawasan cagar budaya yang kini hanya berfungsi
sebagai wisata pemandangan saja (Gambar 8).

Gambar 8. Tipologi Kawasan Cagar Budaya.


21

2.8. Penelitian Terdahulu

Isu kawasan cagar budaya menjadi tema yang umum dalam penelitan mengenai
lanskap sejarah termasuk yang dilakukan di Kota Bogor. Beberapa penelitian hanya
mengkaji salah satu objek atau salah satu kawasan saja seperti kawasan Kebun Raya
Bogor, Kawasan Suryakencana, atau Kawasan Empang. Analisa potensi wisata juga
telah dilakukan pada penelitian sebelumnya terkait keberadaan cagar budaya kota
khususnya dari lanskap sejarah dan pengembangan jalur wisata sejarah, namun pada
penelitian tersebut metodelogi yang digunakan belum mengakomodir analisa secara
kuantitatif dan perbedaan potensi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.
Namun dengan keberadaan penelitian-penelitian tersebut, tentu penelitian kali ini
memiliki tambahan wawasan dan dasar dalam menentukan kerangka pemikiran.

Tabel 2. Penelitian Terdahulu Terkait Tema Cagar Budaya.


No Nama Tahun Judul Penelitian
1. Wulan Sari Lestari 2009 Rencana Pelestarian Konsep
Garden City Kota Bogor Lama
(Buitenzorg), Jawa Barat
2. Krishta Paramita Kurnadi 2009 Studi Lanskap Bersejarah
Kawasan Pecinan
Suryakencana, Bogor
3. Ira Puspa Kencana, 2010 Studi Potensi Lanskap Sejarah
Nurhayati Hadi Susilo Untuk Pengembangan Wisata
Arifin Sejarah Di Kota Bogor
4. Rani Angraeni 2011 Assessment Lanskap Sejarah
Kawasan Empang Untuk
Mendukung Perencanaan Tata
Ruang Kota Bogor
5. Mayang Humaira 2012 Analisis Lanskap Untuk
Wibisono Penentuan Zona Penyangga
Kebun Raya
6. Febri Nur Wirawan 2014 Pengembangan Jalur Wisata
Sejarah Sebagai Penunjang
Wisata Sejarah Kota Bogor

Hasil penelitian Lestari (2009) bahwa Kota Bogor berkembang dari sebuah
konsep garden city dengan pusat kota lama dengan Kebun Raya sebagai pusat
dikelilingi oleh berbagai aktifitas disekitarnya. Proses pembangunan menyebabkan
zona terluar dari kota lama mengalami perubahan yang paling tinggi, sehingga
diperlukan penataan yang tetap memperhatikan konsep dasar pengembangan garden
city di tahun-tahun ke depan. Lebih lanjut Wibisono (2012) pada hasil penelitiannya
memberikan perhatian terhadap kawasan sekitar Kebun Raya dengan menerapkan
kawasan yang menjadi zona penyangga dengan mempertimbangkan infrastruktur dan
elemen alami yang mendukung terbentuknya zona penyangga tersebut. Namun
terdapat kendala yaitu mengenai lemahnya aturan terkait pembangunan disekitar
22

kawasan tersebut, sehingga dapat membuat kawasan kehilangan ciri khas dan
identitas.
Kurnadi (2009) pada hasil penelitiannya memaparkan kondisi salah satu
kawasan cagar budaya yang menjadi pusat perdagangan dan pembauran etnis di Kota
Bogor. Kawasan Pecinan Kota Bogor masih memiliki kekayaan tinggalan sejarah
baik berupa fisik bangunan maupun berupa aktifitas budaya yang masih dilakukan
sampai saat ini. Namun karena proses pembangunan yang sangat cepat, ditambah
kawasan pecinan yang menjadi pusat aktifitas ekonomi, maka ancaman terhadap
upaya pelestarian cagar budaya menjadi tinggi. Hal ini yang menyebabkan kawasan
tersebut menjadi semrawut dan tampak kumuh, sehingga upaya mendorong
kepedulian masyarakat dan perhatian pemerintah daerah menjadi hal yang
direkomendasikan. Serupa seperti di Kawasan Pecinan, Angraeni (2011) melalui
penelitiannya menyatakan bahwa terdapat potensi yang besar di Kawasan Empang
(Kampung Arab) terkait keberadaan kawasan cagar budaya. Namun upaya
pelestarian dan pengelolaan lanjut belum dilakukan secara optimal.
Kencana dan Arifin (2010) pada penelitiannya mulai menginventarisir potensi
cagar budaya yang dapat dikembangkan menjadi objek wisata. Kemudian dilanjutkan
oleh Wirawan (2014) dengan memperinci potensi-potensi tersebut dan dikaitkan
dengan rencana pengembangan wisata. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
terhadap penelitian-penetian tersebut di atas, maka umumnya penelitian masih
bersifat pendataan dan analisis secara deskriftif masing-masing kawasan serta potensi
yang dapat dikembangkan. Penelitian belum memaknai keterkaitan antar bangunan di
dalam suatu kawasan, dan keterkaitan antar satu kawasan dengan kawasan yang lain
serta factor-faktor penunjang lain yang menjadi struktur kesatuan sebuah perkotaan.
23

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bogor yang secara geografis terletak di antara


6o30’30”-6o41’00” Lintang Selatan dan 106o43’30”-106o51’00” Bujur Timur serta
mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter di atas
permukaan laut. Kota Bogor dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor dengan batas
wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec.
Sukaraja Kabupaten Bogor.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi,
Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas,
Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin,
Kabupaten Bogor.
Luas wilayah Kota Bogor mencapai 11.850 Ha yang terdiri dari enam
kecamatan dan 68 kelurahan. Waktu Penelitian mulai dari penyusunan proposal
sampai penulisan tesis dilaksanakan pada periode bulan Juli 2015 sampai dengan
bulan Desember 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian.


24

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, observasi, wawancara dan
kuisioner, pengambilan data koordinat, serta dokumentasi atau sketsa maupun visual
berupa gambar dan foto. Data sekunder diperoleh dari sumber tertulis yang telah ada
berkaitan dengan materi yang akan dicari seperti dari buku, laporan, peta dan data
instansional di Kota Bogor antara lain:
1. Data penduduk dan potensi kelurahan dari Badan Pusat Statistik.
2. Dokumen Grand Design, RTRW, RDTR, dan RPJMD dari Bappeda
dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Pemukiman.
3. Laporan hasil pemetaan Kota Pusaka Kota Bogor dari Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).
4. Dokumen Renstra Pariwisata dan Rencana Induk Pariwisata Daerah
dari Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor.
5. Laporan pendataan Bangunan Cagar Budaya dari Dinas Pariwisata
Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor.
6. Literatur yang berkaitan dengan kawasan cagar budaya di Kota Bogor.
7. Sumber lain yang relevan dengan topik penelitian.
Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat
lunak ArcGIS 9.3, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Peralatan penunjang berupa
printer, GPS, kamera digital, dan peralatan menulis. Jenis dan sumber data, teknik
pengumpulan dan analisis data serta keluaran (output) yang diharapkan ditunjukkan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis
dan output pada setiap tahapan penelitian.
No Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Teknik Output
data Analisis
1. Mengidentifikasi Data Survei Kernel Kondisi eksisting
bangunan serta bangunan Lapang Density dan lokasi
kawasan cagar budaya cagar budaya Kawasan Cagar
Kota Bogor secara Budaya Kota
spasial. Bogor
2. Menganalisis potensi - Data kriteria Survei Pembobotan Potensi wisata
wisata kawasan cagar fisik/visual Lapang, sederhana perkotaan
budaya perkotaan di dan non fisik Bappeda kawasan cagar
Kota Bogor. kawasan budaya
cagar budaya
3. Menganalisis tingkat - Data jumlah Bapeda, Skalogram Tingkat
pertumbuhan masing- dan jenis BPS, Pertumbuhan
masing kawasan cagar fasilitas Kelurahan Kawasan Cagar
budaya Kota Bogor. perkotaan Budaya
4. Menyusun arah - Persepsi Kuisioner, AHP Arahan
pengembangan tokoh kunci pengembangan
kawasan cagar budaya Kawasan Cagar
sebagai potensi wisata Budaya
perkotaan Kota Bogor.
25

3.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode


pengumpulan data sekunder yang diperoleh sumber tertulis dan beberapa instansi
terkait. Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan
urutan sebagai berikut:

3.3.1. Penentuan Informan Kunci


Penentuan informan kunci merupakan proses penting sebelum dilakukannya
proses wawancara mendalam. Informasi yang didapat diharapkan menjadi data yang
bisa digunakan dalam kepentingan penelitian. Informan kunci yang ditentukan yaitu
tokoh masyarakat, pemerintah setempat, praktisi dan pihak-pihak yang terkait dengan
upaya pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya.

3.3.2. Kuisioner
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuisioner
dengan beberapa orang informan kunci (key informan) yang telah ditetapkan
sebelumnya. Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui
formulirformulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis
pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan
dan informasi yang diperlukan oleh peneliti (Mardalis, 2008).
Kuesioer berisikan daftar pertanyaan yang dibuat secara berstruktur dengan
bentuk pertanyaan pilihan program menggunakan skala prioritas. Metode ini
digunakan untuk memperoleh data tentang persepsi pengembangan kawasan cagar
budaya dari responden.

3.3.3. Survei GPS


Pengumpulan data koordinat dilakukan dengan melakukan survey objek dan
bangunan cagar budaya di enam kecamatan Kota Bogor dengan menggunakan alat
GPS (Global Positioning System). GPS adalah suatu sistem navigasi yang
memanfaatkan satelit. Penerima GPS (alat GPS) memperoleh sinyal dari beberapa
satelit yang mengorbit bumi. GPS dapat memberikan informasi posisi dan waktu
dengan ketelitian sangat tinggi. Data-data yang diambil berbentuk titik dari bangunan
cagar budaya. Data waypoints bersifat seperti titik yang menginformasikan posisi
secara akurat dan tepat mengenai bangunan cagar budaya.

3.4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, teknik analisis data yang
digunakan dapat diuraikan sebagai berikut;

3.4.1. Analisis Kepadatan (Kernel Density)


Keberadaan bangunan cagar budaya Kota Bogor hampir tersebar diseluruh
kecamatan dengan kondisi yang berbeda-beda satu sama lain. Konsentrasi bangunan
cagar budaya secara spasial atau cagar budaya sebagai sebuah kawasan pada sebuah
kota dianggap memiliki daya tarik wisata dibandingkan dengan satu bangunan cagar
budaya yang saling terpisah jauh dari bangunan lainnya. Pandangan ini berdasarkan
26

hasil analisa ruang dan waktu, yang mengindikasikan referensi para wisatawan untuk
berkunjung dan berkumpul (Dietvorst 1995). Untuk itu setelah dilakukan proses
inventarisir, proses pengelompokkan bangunan cagar budaya merupakan hal yang
perlu dilakukan dalam menilai dan melakukan analisis lebih lanjut.
Konsentrasi bangunan cagar budaya secara spasial atau cagar budaya sebagai
sebuah kawasan pada sebuah kota dianggap memiliki daya tarik wisata dibandingkan
dengan satu bangunan cagar budaya yang saling terpisah jauh dari bangunan lainnya.
Dalam mengukur kepadatan sebaran bangunan cagar budaya maka digunakan metode
Kernel Density. Kernel Density mengukur kepadatan objek dengan menghitung
kedekatan jarak antara satu objek terhadap objek yang lain secara kontinyu. Lingkup
analisa Kernel Density bekerja pada titik-titik bangunan cagar budaya secara
kontinyu dengan Kota Bogor sebagai batas wilayah analisa dan tidak melakukan
analisis berdasarkan wilayah administrasi kelurahan. Hal tersebut membutuhkan
proses selanjutnya yaitu dengan melakukan overlay peta jenis kepadatan bangunan
cagar budaya dengan batas wilayah administrasi kelurahan di Kota Bogor.
Kernel Density menelusuri radius pencarian yang disebut dengan bandwidth
dengan persamaan sebagai berikut:
1
Search Radius = 0.9 ∗ min 𝑆𝐷 ∗ 𝐷𝑚 ∗ 𝑛−0.2
ln 2
dimana:
 SD adalah jarak standar
 Dm adalah jarak median
 n adalah jumlah titik atau jumlah populasi

Gambar 10. Ilustrasi Input-Output pada Arcgis Menggunakan Kernel Density.

3.4.2. Analisis Pusat dan Hierarki Pelayanan


Kawasan-kawasan cagar budaya yang terbentuk memiliki keterkaitan dengan
wilayah administrasi baik kelurahan maupun kecamatan. Menghitung pertumbuhan
wilayah berdasarkan wilayah administrasi dapat dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana wilayah tersebut dapat mendukung keberadaan kawasan cagar budaya.
Perkembangan wilayah diketahui dengan mengukur sejauh mana wilayah tersebut
berkembang dengan ciri perkembangan perkotaan yang meliputi jumlah dan jenis
fasilitas perkotaan yang telah ada, dengan menggunakan Analisis Skalogram.
Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan
hirarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia.
Analisis ini menggunakan data Potensi Desa dengan parameter yang diukur meliputi
27

bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan,


sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk disetiap kelurahan di Kawasan Cagar
Budaya Kota Bogor. Tahapan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram
adalah: (1). Melakukan pemilihan terhadap data yang bersifat kuantitatif; sehingga
hanya data yang relevan saja yang digunakan; (2). Melakukan rasionalisasi data; (3).
Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel
untuk analisis skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan masing-masing
wilayah; (4). Melakukan standarisasi data terhadap variabel tersebut sebelum
menentukan indeks perkembangan desa/kelurahan (IPD) di masing-masing kelurahan
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝒏 𝑰𝒊𝒋 − 𝑰𝒊 𝒎𝒊𝒏
𝑰𝑷𝑫𝒋 = 𝒊 𝑰′𝒊𝒋 dimana 𝑰′𝒊𝒋 = 𝑺𝑫𝒊

Keterangan :
 IPDj Iij =Indeks Perkembangan Desa ke-j
 I’ij =Nilai (skor) sarana prasarana ke-i desa ke-j
 Ii min =Nilai (skor) sarana prasarana ke-i terkecil (minimum)
 SDi = Simpangan baku sarana prasarana ke-i

Setelah proses pembakuan selesai, kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku


tersebut untuk setiap kelurahan. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi
data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan
atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom kiri. Indeks Perkembangan
Wilayah dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu; hirarki I (tinggi), hirarki
II (sedang), hirarkki III (rendah). Penentuannya didasarkan pada nilai hasil standar
deviasi IPD dan nilai rataannya, sehingga mendapat selang hirarki untuk menentukan
kelas hirarki seperti pada ditunjukkan Tabel 4.

Tabel 4. Penentuan nilai selang kelas hirarki untuk Analisis Skalogram.


No Kelas Nilai Selang Tingkat Hirarki
1 Hirarki I X > [rataan + (St Dev.IPW)] Tinggi
2 Hirarki II rataan < X < (St Dev.IPW) Sedang
3 Hirarki III X < rataan Rendah

3.4.3. Analisis Pembobotan Rank Order Centroid (ROC)


Metode ini disebut dengan pembobotan rank order centroid (ROC) karena
bobot tersebut mencerminkan pusat dari gugus data yang didefinisikan oleh peringkat
kriteria. Dengan kriteria yang lebih banyak, kesalahan untuk peringkat kriteria akan
jauh lebih sedikit. Istilah "rank order centroid" diciptakan oleh F. H. Barron dan B.
E. Barrett, yang juga berpendapat dapat digunakan dalam pembuat keputusan multi-
atribut. Idenya adalah untuk mengkonversi peringkat (pertama, kedua, ketiga,
keempat) ke dalam nilai-nilai yang dinormalisasi pada skala interval 0.0-1.0. Cara
yang jelas untuk mencapai ini adalah dengan mengasumsikan setiap peringkat
didistribusikan secara merata dalam interval satuan. Metode ini merupakan cara
sederhana dalam memberikan bobot sejumlah peringkat menurut kepentingan. Para
pembuat keputusan biasanya dapat lebih mudah menentukan peringkat daripada
memberikan bobot kepada mereka. Metode ini menjadikan peringkat sebagai input
dan mengubahnya menjadi bobot untuk masing-masing kriteria.
28

Pendekatan metode rank order centroid menghasilkan perkiraan bobot yang


meminimalisir tingkat kesalahan maksimum setiap pembobotan dengan
mengidentifikasi pusat dari semua kemungkinan bobot dalam mempertahankan
urutan peringkat dari kepentingan tujuan. Barron dan Barrett [1996a] menemukan
bahwa bobot yang diperoleh dengan cara ini ternyata sangat stabil. Jika diketahui
urutan peringkat bobot sebenarnya, tetapi informasi kuantitatif lainnya tidak
diketahui, maka dapat diasumsikan bahwa bobot merata pada urutan peringkat bobot
secara searah, wr1 ≥ wr2 ≥ … ≥ wrn, dimana wr1 + wr2 + … + wrn = 1 dan ri adalah
posisi peringkat dari wri.
Sebagai contoh jika n = 2 dan wr1 ≥ wr2 hal ini berarti 0.5 ≤ wr1 ≤ 1. Jika
pembuat keputusan tidak mengetahui nilai wr1, maka dapat diasumsikan probalilitas
sebaran wr1 adalah merata antara 0.5 dan 1. Nilai yang diharapkan adalah E(wr1) =
0.75 yang berarti E(wr2) = 0.25. Barron dan Berret (1996) membuat generalisasi pada
kondisi n > 2, dengan nilai yang diharapkan dari sebuah bobot dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑛
1 1
𝑤𝑗 𝑅𝑂𝐶 =
𝑛 𝑟𝑘
𝑘 =𝑗
dimana:
n : jumlah kriteria
wj : bobot untuk kriteria j

Contoh lain jika terdapat 4 kriteria, maka kriteria peringkat pertama akan
diperoleh (1 + 1/2 + 1/3 + 1/4) / 4 = 0,521, kedua akan diperoleh (1/2 + 1/3 + 1/4) / 4
= 0,271, ketiga (1/3 + 1/4) / 4 = 0,146, dan yang terakhir (1/4) / 4 = 0,062.

3.4.4. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)


Dalam menentukan arah pengembangan yang diimplementasikan secara
teknis melalui program prioritas yang harus dilakukan, maka dibangun sebuah hirarki
tujuan dan variabel yang diidentifikasi melalui persepsi para tokoh kunci tentang
prioritas program pengembangan terkait pelestarian dan pengelolaan cagar budaya
melalui metode AHP (Analytic Hierarchy Process). Terdapat hirarki empat program
utama dan 11 sub-program yang ditawarkan kepada para tokoh kunci seperti
ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 11. Kerangka Hirarki pengembangan Kawasan Cagar Budaya sebagai


Potensi Wisata Perkotaan Kota Bogor.
29

Responden akan memberikan bobot berdasarkan variabel yang dinilai berapa


kali lebih penting dari variabel lainnya secara berpasangan. Bobot tersebut diberi
nilai 1 sampai 9 dengan keterangan masing-masing bobot sebagai berikut:

Tabel 5. Keterangan Masing-masing Bobot.


BOBOT ARTI KETERANGAN
1 = Sama penting Kedua pilihan berkontribusi sama penting
terhadap tujuan
3 = Sedikit lebih penting Salah satu pilihan sedikit lebih diminati
dibandingkan pilihan lainnya
5 = Agak lebih penting Salah satu pilihan lebih diminati dibandingkan
pilihan lainnya
7 = Jauh lebih penting Sangat nyata lebih penting dan terbukti dari
beberapa fakta sangat lebih penting
dibandingkan pilihan lainnya
9 = Mutlak lebih penting Jelas dan sangat meyakinkan jauh lebih penting
dibandingkan dengan pilihan lainnya
2,4,6, = Nilai antara angka ganjil di Dipilih jika perlu kompromi antara 2 pilihan
8 atas yang dibandingkan

Contoh pengisian tabel dengan bobot yang diberikan pada pilihan variable
berpasangan seperti ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 6. Pemberian Bobot pada Pilihan Berpasangan.

FAKTOR A B C

A 1 3 1/5
B 1/3 1 9
C 5 1/9 1

Tabel di atas menyatakan bahwa Faktor A dianggap sedikit lebih penting (3)
daripada faktor B. Demikian pula Faktor B dianggap mutlak lebih penting (9)
daripada faktor C. Namun Faktor C dianggap agak lebih penting (5) daripada faktor
A.
Penentuan Ranking Prioritas dilakukan dengan menggunakan Vektor Eigen
sebagai berikut:
VE i  n (N i1 X N i2 X N i3 .......X N in )
i  1, ............, n
dengan Indeks Konsitensi:
𝐼𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑛
𝐼𝐾 =
𝑛 −1
30

Proses AHP melibatkan sembilan tokoh kunci sebagai responden dalam


membangun perpsepsi melalui pengisian kusioner. Para tokoh kunci merupakan
mereka yang memiliki jabatan strategis atau dengan latar belakang kepakaran yang
terkait dengan cagar budaya, wisata dan hal-hal yang terkait di dalamnya. Tokoh
kunci tersebut terdiri dari:
1. Kepala Dinas, Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor.
2. Kepala Bidang Fisik, Badan Perencana Pembangunan Kota Bogor.
3. Kepala Bidang Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Dinas
Pengawasan Bangunan dan Permukiman Kota Bogor.
4. Ketua Divisi Perencanaan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM-IPB.
5. Praktisi dan pegiat arsitektur perkotaan.
6. Konsultan City Branding, Gambaran Brand.
7. Anggota Komunitas peduli cagar budaya, Kampoeng Bogor.
8. Direktur Eksekutif, Badan Pelestari Pusaka Indonesia.

Karena terdapat persepsi dari beberapa tokoh kunci, maka perlu menyatukan terlebih
dahulu persepsi tersebut dengan menggunakan persamaan rata-rata geometri sebagai
berikut:
𝑛
𝐺𝑀 = 𝑋1 𝑋2 … (𝑋𝑛 )

Dimana:
GM = Geometric Mean
X1 = Pakar ke-1
X2 = Pakar ke-2
Xn = Pakar ke-3
31

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Letak Administrasi

Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT –


106°51’00”BT dan 6°30’30”LS – 6°41’00”LS. Kedudukan geografi Kota Bogor
berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat
dengan DKI Jakarta. Jarak Kota Bogor dengan Kota Jakarta kurang lebih 60
kilometer dan dengan Kota Bandung sekitar 120 kilometer. Hal ini menjadi potensi
yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat
kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan
pariwisata. Berdasarkan hasil foto udara diketahui sebagian dari total wilayah Kota
Bogor merupakan kawasan yang sudah terbangun, kecuali di wilayah Kecamatan
Bogor Selatan. Area terbangun paling luas berada di wilayah Kecamatan Bogor
Tengah.
Secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor
dengan batas wilayah sebagai berikut :
1 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor.
2 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi,
Kabupaten Bogor.
3 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Bogor.
4 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin,
Kabupaten Bogor.
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 hektar yang terdiri dari enam
kecamatan dan 68 kelurahan. Keenam kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Bogor
Selatan, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor
Tengah, Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal. Kecamatan Bogor
Barat mempunyai luas wilayah terbesar yaitu 3.285 hektar dan terdiri dari 16
kelurahan sedangkan Kecamatan Bogor Tengah mempunyai luas wilayah terkecil
yaitu 813 hektar dan terdiri dari 11 kelurahan. Untuk luas wilayah menurut
kecamatan tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bogor.


Luas Wilayah
No Kecamatan
Ha %
1. Bogor Selatan 3,081 26.00
2. Bogor Timur 1,015 8.57
3. Bogor Utara 1,772 14.95
4. Bogor Tengah 813 6.86
5. Bogor Barat 3,285 27.72
6. Tanah Sareal 1,884 15.90
Jumlah 11,850
(Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2015).
32

Gambar 12. Peta Administrasi Kota Bogor.

4.2. Kondisi Fisik Wilayah

4.2.1. Topografi
Aspek topografi wilayah Kota Bogor pada dasarnya bervariasi antara datar
dan berbukit (antara 0 - 200 mdpl sampai dengan >300 mdpl). Kedudukan topografis
Kota Bogor yang berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya
yang dekat dengan ibukota negara merupakan potensi yang strategis untuk
perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Untuk lebih jelasnya, uraian luas
wilayah berdasarkan ketinggian Kota Bogor menurut kecamatan dapat dilihat pada
Tabel 8 dan Gambar 13.
33

Tabel 8. Ketinggian Kota Bogor Menurut Kecamatan.


Ketinggian (Ha)
No Kecamatan Jumlah (Ha)
0 ─ 200 201─ 250 251─ 300 >300
1. Bogor Utara 869.18 853.68 49.14 0.00 1,772.00
2. Bogor Timur 0.00 46.00 348.00 620.00 1,015.00
3. Bogor Selatan 0.00 24.00 480.00 2,577.00 3,081.00
4. Bogor Tengah 0.00 317.33 491.27 4.40 813.00
5. Bogor Barat 1,639.80 1,318.96 326.24 0.00 3,285.00
6. Tanah Sareal 1,519.13 364.84 0.00 0.00 1,884.00
Jumlah 4,028.11 2,924.81 1,694.65 3,201.40 11,850.00
(Sumber : Kota Bogor Dalam Angka, Tahun 2015).

(sumber: Dokumen Teknis RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031)

Gambar 13. Peta Kelas Ketinggian Kota Bogor.

Kota Bogor mempunyai wilayah dengan kontur berbukit dan bergelombang


dengan ketinggian bervariasi, ketinggian minimum 190 meter dan ketinggian
maksimum 330 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kota Bogor
memiliki lahan datar dengan kemiringan berkisar 0−2 persen, untuk luasan lahan
datar seluas 1.763,94 hektar dan tersebar di enam kecamatan. Seluas 8.091,19 hektar
merupakan lahan landai dengan kemiringan berkisar 2−15 persen, seluas 1.109,92
hektar merupakan lahan agak curam dengan kemiringan 15−25 persen, seluas 765,21
34

hektar merupakan lahan curam dengan kemiringan 25−40 persen dan lahan sangat
curam seluas 119,74 hektar dengan kemiringan lebih dari 40 persen.

(sumber: Dokumen Teknis RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031)

Gambar 14. Peta Lereng Kota Bogor.

Kecamatan Bogor Selatan merupakan daerah di Kota Bogor yang tergolong


sangat peka terhadap erosi, karena mempunyai kemiringan lebih dari 40 persen atau
sangat curam sehingga daerah tersebut sangat peka terhadap erosi. Untuk lebih
jelasnya, tingkat kemiringan daerah menurut kecamatan telah tersaji dalam Tabel 9.

Tabel 9. Tingkat Kemiringan Daerah Menurut Kecamatan di Kota Bogor.


Tingkat Kemiringan (Ha)
Agak Sangat
No Kecamatan Datar Landai Curam
Curam Curam Jumlah
<2% 2−15% 25−40%
15−25% >40%
1. Bogor Selatan 169,10 1.418,40 1.053,89 350,37 89,24 3.081
2. Bogor Timur 182,30 722,62 56,03 44,25 9,80 1.015
3. Bogor Utara 137,85 1.565,65 0 68 0,50 1.772
4. Bogor Tengah 125,44 560,47 0 117,54 9,55 813
5. Bogor Barat 618,40 2.502,14 0 153,81 10,65 3.285
6. Tanah Sareal 530,85 1.321,91 0 31,24 0 1.884
Jumlah 1.763,94 8.091,19 1.109,92 765,21 119,74 11.850
(Sumber : Kota Bogor Dalam Angka, Tahun 2015).
35

4.2.2. Iklim
Kota Bogor sepanjang tahun 2015 mempunyai suhu rata-rata tiap bulan
34,2°C dengan suhu terendah 20,0°C dan suhu tertinggi 33,7°C. Suhu seperti itu
antara lain dipengaruhi kelembaban udara sebesar 89,9 persen serta jumlah curah
hujan setiap bulannya. Jumlah curah hujan di Kota Bogor pada tahun 2015,
memperlihatkan bahwa Pos Hujan Atang Sanjaya memiliki jumlah rata-rata curah
hujan terbesar yaitu 335,3. Menurut Stasiun Klimatologi, bulan November menjadi
bulan dengan curah hujan terbesar pada tahun 2015 di Kota Bogor dengan Pos Hujan
Empang terbesar yaitu 996,6. Sedangkan untuk curah hujan rata-rata dalam rentang
tiga tahun terakhir, dari tahun 2012 sampai dengan 2015 mengalami naik turun yang
berkisar antara 236,3 sampai 535,3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di Tabel 10
dan Tabel 11.

Tabel 10. Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2015.


Pos Hujan Empang Stasiun
No. Bulan
Empang Katulampa Atang Sanjaya Klimatologi
1. Januari 354,0 413,0 557,8 250,0
2. Februari 411,0 372,4 478,4 350,8
3. Maret 494,0 396,0 461,4 374,3
4. April 279,0 479,0 285,4 205,7
5. Mei 182,0 95,0 337,8 204,6
6. Juni 56,0 22,0 118,8 90,2
7. Juli 25,0 0,0 1,0 1,6
8. Agustus 83,0 121,0 189,9 112,4
9. September 91,0 39,0 25,0 79,8
10. Oktober 175,0 79,0 112,1 110,6
11. November 996,6 805,0 702,7 854,9
12. Desember 453,0 407,0 753,7 579,7
Rata-rata 2015 300,0 269,0 335,3 267,9
2014 417,4 395,4 576,1 352,5
2013 415,0 380,8 630,2 333,0
2012 329,3 305,7 535,3 304,5
(Sumber : Kota Bogor Dalam Angka, Tahun 2015).
Kualitas udara Kota Bogor secara keseluruhan dapat dikatakan baik atau
sehat. Beberapa parameter kualitas udara Kota Bogor relatif tidak membahayakan
lingkungan, karena gas-gas dan partikulat tersuspensi yang dihasilkan, pada
umumnya masih di bawah ambang batas baku mutu udara ambien. Namun kadar
debu dan tingkat kebisingan pada beberapa lokasi masih berada di atas persyaratan
ambang batas yang ditentukan.

4.2.3. Geologi
Kondisi geologi di Kota Bogor yaitu tufa dengan luasan 3.395,17 hektar yang
tersebar di enam kecamatan dengan Kecamatan Bogor Selatan menjadi kecamatan
dengan penyebaran kondisi geologi tufa terbesar. Sedangkan kipas aluvial dengan
luasan 3.249,98 hektar dan Kecamatan Bogor Utara menjadi kecamatan dengan
36

penyebaran kondisi geologi kipas aluvial. Untuk lebih jelasnya mengenai penyebaran
kondisi geologi menurut kelurahan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kondisi Geologi Menurut Kecamatan di Kota Bogor.


Kondisi Geologi (Ha)
Lanau
No Kecamatan Aliran Kipas Breksi
Endapan Tufa Jumlah
Andesit Aluvial Tufan dan
Capili
1. Bogor Selatan 445,01 0 0 1.838,81 797,18 3.081
2. Bogor Timur 0 304,21 0 710,79 0 1,015
3. Bogor Utara 0 1.766,64 0 5,36 0 1.772
4. Bogor Tengah 0 226,98 0,17 582,81 3,04 81
5. Bogor Barat 1.012,45 348,89 1.372,51 238,81 312,34 3.285
6. Tanah Sareal 1.262,15 603,26 0 18,59 0 1.884
Jumlah 2.719,61 3.249,98 1.372,68 3.395,17 1.112,56 11.850
(Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2013).

4.2.4. Tanah
Jenis tanah hampir diseluruh wilayah Kota Bogor adalah latosol coklat
kemerahan dengan luasan 8.496,35 hektar, kedalaman efektif tanah lebih dari 90
centimeter dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi.
Kemudian jenis tanah lain yang juga menyebar di enam Kecamatan yaitu aluvial
kelabu dengan luasan 1.157,9 hektar. Kondisi fisik dan lingkungan menurut jenis
tanah per kecamatan di Kota Bogor tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12. Kondisi Fisik dan Lingkungan Menurut Jenis Tanah Per Kecamatan di
Kota Bogor.
Jenis Tanah (Ha)
Latosol Latosol Podzolik
No Kecamatan Aluvial Latosol Androsol Jumlah
Coklat Merah Merah Regosol
Kelabu Coklat Coklat (Ha)
Kemerahan Kekuningan Kuning
1 Bogor Selatan 175,41 271,88 1.860,67 0 0 732,19 40,85 3.081
2 Bogor Timur 218,51 0 796,49 0 0 0 0 1.015
3 Bogor Utara 141.30 0 1.576,95 53,75 0 0 1.772
4 Bogor Tengah 162,82 0 650,18 0 0 0 813
5 Bogor Barat 397,63 0 1.928,61 0 26,35 85,27 847,14 3.285
6 Tanah Sareal 62,26 0 1.683,45 138,29 0 0 0 1.884
Jumlah 1.157,9 271,88 8.496,35 192,04 26,5 732,19 85,27 11.850
(Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2013).

4.2.5. Penggunaan Lahan


Luas lahan sawah di enam kecamatan pada tahun 2014 yaitu 750 hektar dan
luas bukan sawah yaitu 2.476 hektar. Kecamatan Bogor Selatan mempunyai luasan
lahan sawah dan lahan bukan sawah terbesar masing-masing yaitu 283 hektar dan
580 hektar. Untuk lebih jelasnya mengenai luasan lahan pertanian menurut
kecamatan, dapat dilihat pada Tabel 13.
37

Jenis penggunaan lahan bukan sawah dapat dibedakan menjadi beberapa


klasifikasi, yaitu: Tegal, Ditanami Pohon, Kolam, Tidak Diusahakan dan Lainnya.
Lahan tegal mempunyai luasan yang paling besar yaitu 960 hektar dan Kecamatan
Bogor Selatan mempunyai luas lahan bukan sawah terbesar di Kota Bogor.

Tabel 13. Luas Lahan Pertanian Menurut Kecamatan Kota Bogor, Tahun 2014.
No Kecamatan Lahan Sawah (Ha) Lahan Bukan Sawah (Ha)
1. Bogor Selatan 283 580
2. Bogor Timur 178 383
3. Bogor Utara 5 493
4. Bogor Tengah 0 22
5. Bogor Barat 270 574
6. Tanah Sareal 14 424
Jumlah
2014 750 2.476
2013 750 2.476
2012 750 2.374
2011 750 2.374
(Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2015)

Tabel 14. Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan Kota Bogor, Tahun 2014
Luas Lahan Bukan Sawah (Ha)
No Kecamatan Ditanami Tidak Jumlah
Tegal Kolam Lainnya
Pohon Diusahakan
1. Bogor Selatan 282 73 19 11 195 580
2. Bogor Timur 137 54 18 7 167 383
3. Bogor Utara 195 93 13 0 192 493
4. Bogor Tengah 3 3 5 0 11 22
5. Bogor Barat 124 102 8 4 336 574
6. Tanah Sareal 219 71 12 4 118 424
Jumlah
2014 960 396 75 26 1.019 2.476
2013 964 396 75 22 1.019 2.476
2012 964 366 75 27 942 2.374
2011 964 366 75 27 942 2.374
(Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2015).

4.2.6. Kemampuan Lahan


Kemampuan lahan di Kota Bogor terbagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Lahan yang tidak dapat dikembangkan (restricted area)
Lahan yang tidak dapat dikembangkan adalah lahan yang sudah ditetapkan
mempunyai fungsi perlindungan dan lahan yang ditetapkan tidak dapat
dialihfungsikan ke penggunaan lain yang tidak sesuai. Secara umum lahan ini adalah
lahan peril ndungan setempat, kawasan perlindungan plasma nutfah dan hutan kota.
Lahan ini terbagi menjadi dua kawasan yaitu kawasan perlindungan plasma nutfah
dan hutan kota, serta kawasan perlindungan setempat. Berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
pada Pasal 60, bahwa kawasan perlindungan plasma nutfah adalah Kebun Raya
38

Bogor. Wilayah Hutan Kota yang dapat dijadikan potensi RTH Kota Bogor kedepan
adalah hutan-hutan penelitian yang notabene adalah milik departemen/kantor pusat
yang sewaktu-waktu bisa dialihkan fungsinya menjadi fungsi komersial diantaranya:
Hutan Penelitian Biotrop dan Kebun Penelitian IPB.
2. Lahan yang dapat dikembangkan dengan persyaratan (limited area)
Lahan yang dapat dikembangkan dengan persyaratan adalah lahan belum
terbangun yang dapat dialihfungsikan untuk kegiatan perkotaan dengan persyaratan
tertentu seperti pengaturan bangunan atau penggunaan teknologi tertentu. Di Kota
Bogor lahan ini terdiri dari lahan resapan air dimana pembangunannya memerlukan
pengaturan KDH dan/atau pemberlakukan aturan penyediaan sumur resapan.
3. Lahan yang dapat dikembangkan (developed area)
Lahan yang dapat dikembangkan adalah lahan terbangun atau lahan tidak
terbangun yang dapat dialihfungsikan penggunaannya untuk keperluan aktivitas
budidaya perkotaaan, seperti perumahan dan prasarananya, industri, perdagangan dan
jasa. Dalam kecenderungannya lahan tidak terbangun cenderung beralih fungsi
menjadi lahan perumahan dan prasarananya atau industri. Sedangkan kegiatan
komersial perkotaan berupa perdagangan dan jasa cenderung berubah dari
penggunaan lahan perumahan atau lahan terbangun lainnya.

Tabel 15. Kemampuan Lahan Kota Bogor.


Lahan dapat
Lahan tidak dapat Lahan yang dapat
dikembangkan
Dikembangkan Dikembangkan
Terbatas
Kawasan
No Kecamatan Daerah
Perlindungan Kawasan Lahan Potensial Kawasan Jumlah
Resapan/
Plasma nutfah Perlindungan untuk yang sudah
Konservasi
dan Hutan setempat Pengembangan terbangun
Air Tanah
Kota
1 Bogor Barat 51,16 114,30 1.166,41 1.011,42 - 2.343,29
2 Bogor Selatan - 139,22 1.927,60 944,12 282,30 3.293,24
3 Bogor Tengah 108,84 63,76 47,18 561,34 - 781,12
4 Bogor Timur - 107,61 390,88 536,73 19,84 1.055,06
5 Bogor Utara - 106,55 898,95 886,57 - 1.892,07
6 Tanah Sareal - 103,78 1.162,96 1.053,97 - 2.320,70
Jumlah 160,00 635,23 5.593,97 4.994,13 302,14 11.685,4
9
(Sumber: Laporan akhir KLHS RTRW Kota Bogor, 2011-2031).

4.2.7. Hidrologi
Di wilayah Kota Bogor terdapat enam lokasi mata air, empat lokasi air tanah
dalam dan dua lokasi air tanah dangkal yang biasa digunakan untuk air minum non
perpipaan. Kapasitas sumber mata air dan air tanah dalam mengalami penurunan
dibanding tahun 2011. Demikian pula kapasitas air tanah dalam, dari tahun 2011 ke
tahun 2012 mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya
resapan air karena semakin bertambahnya daerah pemukiman di wilayah Kota Bogor.
Lahan di Kota Bogor hingga tahun 2012 masih banyak lahan tidak kritisnya yaitu
sekitar 81,45 persen (9.651,98 ha). Sementara lahan kritisnya mencapai 1,82 persen
39

(215,47 ha). Sisanya agak kritis 2,49 persen (295,07 ha) dan potensial kritis 14,24
persen (1.687,48 ha). Lahan kritis banyak terdapat di wilayah Kecamatan Bogor
Selatan. Semua Kelurahan di daerah tersebut mengandung lahan kritis kecuali
Kelurahan Cikaret. Lahan potensial kritis selain di Kecamatan Bogor Selatan juga
banyak terdapat di Kecamatan Bogor Barat. Beberapa danau, situ dan kolam di Kota
Bogor ada yang berfungsi untuk irigasi, retensi dan rekreasi. Situ Gede, Situ Panjang
dan Situ Curug difungsikan sebagai irigasi dan retensi. Danau Bogor Raya, Kolam
Retensi Cimanggu dan Kolam Retensi Taman Sari Persada selain difungsikan
sebagai retensi juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Danau atau situ terluas di
Kota Bogor adalah Situ Panjang (4,5 ha) dan Situ Gede (4 ha).
Di wilayah Kota Bogor dilalui oleh dua buah sungai, yaitu Sungai Cisadane
dan Sungai Ciliwung. Sungai Cisadane mempunyai luas pengaliran 185 kilometer
persegi dan Sungai Ciliwung mempunyai luas pengaliran 211 kilometer persegi.
Menurut hasil pengukuran debit tahun 2004, setiap satu kilometer persegi Sungai
Cisadane memiliki debit 75,8 liter per detik dan setiap satu kilometer persegi Sungai
Ciliwung memiliki debit 74,1 liter per detik. Untuk kualitas air, pada umumnya
kualitas air sungai di wilayah Kota Bogor kurang memenuhi persyaratan
sebagaimana yang ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.
Hal itu disebabkan beberapa unsur seperti sulfat, fosfat, nitrat dan jumlah total
coliform dalam air sungai, melebihi kriteria baku. Kondisi yang mirip juga terdapat
pada air situ yang umumnya berkualitas di bawah persyaratan baku mutu. Sedangkan
air sumur penduduk, nilai pH-nya cenderung fluktuatif, dan di beberapa lokasi
kandungan detergen dan bakteri e-colli sedikit diatas kriteria yang disyaratkan.

Tabel 16. Hasil Pengukuran Debit Sungai di Kota Bogor, Tahun 2004.
Luas
Tinggi Volume x
No. Sungai Daerah Rata-rata Aliran/Km²
Aliran 106
Pengaliran
1 Cisadane 185,0 Km² 14 m³/det 75,8 Lt/det 2388,3 mm 441 m³
2 Ciliwung 211,0 Km² 15,6 m³/det 74,1 Lt/det 2335,4 mm 492 m³
(Sumber : Masterplan SPAM Kota Bogor, 2008).

4.2.8. Rencana Tata Ruang Wilayah

4.2.8.1. Struktur Ruang


Pusat Pelayanan
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011 – 2031,
direncanakan Kota Bogor memiliki 1 pusat kota, 4 subpusat (pusat Wilayah
Pelayanan/ WP) dan 14 subpusat WP (pusat lingkungan).

Rencana Transportasi
A. Rencana Jaringan Jalan
Pembangunan jalan yang akan dikembangkan meliputi jaringan jalan Bogor
Outer Ring Road tahap 2 dan 3 (Simpang Narkoba – Yasmin – Dramaga), Lanjutan
Jalan R3 ( Villa Duta – Wangun), Bogor Inner Road (Harjasari – Pasir Kuda), Tol
Ciawi – Sukabumi, pembukaan jalan akses poros Barat – Timur dan Utara – Selatan
40

di Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Utara, Pembangunan Jalan disisi jalan tol
Jagorawi di Kecamatan Bogor Utara dan Bogor Timur, pembangunan jalan-jalan
tembus, serta peningkatan kapasitas jalan eksisting (pelebaran).

Tabel 17. Rencana Pusat Pelayanan RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031.
Wilayah Cakupan & Penduduk
WP Wilayah Cakupan
Pelayanan 2028
Bogor Tengah Bogor Tengah
Batu Tulis, Bondongan,
Sebagian Bogor Selatan
A Empang 296,180
Sebagian Bogor Timur Baranangsiang, Sukasari
Sebagaian Bogor Barat Menteng
Sebagian Besar Bogor Barat 216,065
B Sebagian BeBogor Barat
Wilayah perbatasan
Tanah Sareal Tanah Sareal
C Cilendek Barat, Cilendek 427,718
sebagian Bogor Barat TImur, Curugmekar, Semplak,
Curug
D Sebagian besar Bogor Utara Sebagian besar Bogor Utara 382,509
Bogor Selatan Bogor Selatan
E Bogor Timur Bogor Timur 353,554
Sebagian Bogor Utara Katulampa, Tanah baru
(Sumber : Materi Teknis RTRW Kota Bogor).
B. Rencana Pengembangan Angkutan Kereta Api
Rencana pengembangan meliputi penataan stasiun Bogor dan sekitarnya,
pembangunan stoplate Sukaresmi, dan pembangunan perlintasan tidak sebidang
(underpass/overpass).
C. Rencana Pengembangan Simpul Terminal
Pengembangan terminal meliputi optimalisasi terminal tipe A yang ada
(Baranangsiang) sebelum terminal tipe A baru terbangun, membangun terminal
penumpang diwilayah perbatasan (Muarasari, Cibuluh, Cibadak), membangun
terminal barang di wilayah utara dan selatan, dan mengembangkan terminal
Agribisnis di Selatan (Bojongkerta).
D. Rencana Pengembangan Angkutan Umum
Prioritas pengembangan angkutan umum pada masa depan diarahkan pada
moda angkutan massal. Rute angkutan dalam kota akan dikembangkan potensi Trans
Pakuan, Monorail dalam kota, dan feeder trans pakuan. Rute antar kota akan
dikembangkan frekuensi kereta api dan feeder bus way ke Jakarta.
41

(sumber: Dokumen Teknis RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031)

Gambar 15. Rencana Struktur Ruang Kota Bogor.

Rencana Utilitas
A. Air Minum
Pelayanan air minum direncanakan akan mencapai 86% penduduk terlayani
pada 2028 dengan basis pelayanan tahun eksisting sebesar 42%. Potensi sumber air
akan didapatkan dari sumber mata air Tangkil, Kota Batu, Bantar Kambing, serta
pengolahan air Cisadane (WTP Dekeng). Pada wilayah yang tidak terlayani oleh
jaringan PDAM akan dikembangkan sistem non perpipaan dengan memanfaatkan
mata air dan sumur dangkal kolektif. Wilayah prioritas pelayanan adalah Kecamatan
Bogor Selatan, Bogor Barat, dan Tanah Sareal.
B. Air Limbah
Pengembangan instalasi pengolah air limbah (IPAL) kolektif di
pengembangan perumahan baru untuk efisiensi lahan dan pencegahan pencemaran
air tanah, Pembangunan Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja (IPLT) di Kayumanis,
optimalisasi IPLT Tegal Gundil, serta pencegahan pemanfaatan sungai untuk
pembuangan limbah rumah tangga maupun limbah lainnya.
42

C. Drainase
Pengembangan sistem drainase makro dan mikro secara terpadu,
pengendalian debit air pada wilayah genangan, peningkatan peran serta masyarakat
dalam rehabiliatsi dan pemeliharaan drainase, serta pengamanan daerah-daerah
sekitar jaringan drainase dari kegiatan pembangunan fisik.
D. Persampahan
Rencana persampahan adalah mengembangkan sistem pengelolaan sampah
terpadu. Rencana pengembangan antara lain optimalisasi lahan TPA Galuga,
operasionalisasi TPA terpadu Nambo, Pembangunan Tempat Pemrosesan Sampah
Terpadu (TPST) dan Stasiun Peralihan Antara (SPA) Kayumanis, serta
pengembangan pengelolaan sampah skala lingkungan berbasis komunitas dengan 3
R.
E. Listrik dan Telekomunikasi
Pada sektor energi listrik dikembangkan peningkatan kualitas dan jangkuan
pelayanan listrik dengan mengembangkan sistem pengamanan untuk mengurangi
jumlah kehilangan listrik dan pelayanan keseluruh wilayah kota. Pada sektor
telekomunikasi dikembangkan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan
telekomunkasi dengan mendorong penggunan tower bersama. Pada jaringan utilitas
(air, listrik, telephon, dan gas) akan dikembangkan sistem terpadu dengan jaringan
bersama (ducting system).

Rencana Pedestrian
Pengembangan rencana pedestrian diarahkan pada membangun jalur-jalur
pejalan kaki pada pusat-pusat kegiatan yang berorientasi pada keselamatan dan
kenyamanan pejalan kaki, penataan kembali jalur pejalan kaki dengan
mengembalikan fungsi jalur pejalan kaki yang difungsikan selain kegiatan pejalan
kaki, dan meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki yang sudah ada.

Rencana Ruang Evakuasi Bencana


Sebagai antisipasi berbagai bencana, terutama bencana yang sering terjadi di
Kota Bogor maka direncanakan penyediaan ruang dan jalur evakuasi bencana yang
tersebar diseluruh wilayah terutama pada wilayah rawan bencana. Bencana yang
sering terjadi antara lain longsor, banjir, dan kebakaran. Pada masing-masing wilayah
telah ditetapkan melting point dan jalur evakuasi bencana. Pada kawasan padat
penduduk harus diantisipasi bahaya kebakaran.

4.2.8.2. Rencana Pola Ruang


Arahan rencana pola ruang terbagi menjadi 2 yaitu arahan pengembangan
kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kawasan Lindung
Kawasan lindung yang dilindungi dan dilestarikan antara lain :
1. Areal Sempadan Sungai
2. Areal Sempadan Situ
3. Areal Sempadan Mata Air
43

4. Kawasan Plasma Nutfah (Kebun Raya Bogor & Hutan Cifor)


5. Kawasan Cagar Budaya (Heritage)

Gambar 16. Rencana Pola Ruang Kota Bogor.

Kawasan Budidaya
A. Perumahan
Rencana sektor perumahan diarahkan pada penataan, pengendalian dan
pengembangan berdasarkan karakteristik wilayah. Penataan dikembangkan dengan
merevitalisasi, rehabilitasi, dan relokasi kawasan kumuh. Pengendalian diarahkan
agar kecenderungan pertumbuhan perumahan kepadatan tinggi yang cenderung
membetuk kekumuhan tidak terjadi. Pengembangan diarahkan agar terjadi distribusi
ruang perumahan yang memenuhi standar teknis pengembangan. Perumahan
kepadatan rendah diarahkan pada wilayah Bogor bagian selatan dan sebagian
wilayah Bogor Barat. Perumahan kepadatan sedang diarahkan kesebagian Kecamatan
Bogor Barat, Tanah Sareal, sebagian Kecamatan Bogor Utara, sebagian besar
Kecamatan Bogor Timur dan sebagaian Bogor Tengah. Perumahan kepadatan tinggi
diarahkan :
1. Pembangunan perumahan baru, diarahkan ke sebagian kecamatan
Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Tanah Sareal.
44

2. Penataan dan peremajaan kawasan perumahan padat tidak teratur di


bantara sungai
3. Penataan dan perbaikan perumahan melalui program perbaikan
kampung
4. Pembangunan rumah vertikal diarahkan di kawasan pusat kota
(terkait dengan peremajaan), kawasan pusat WP (pengembangan
baru), permukiman padat (sekitar koridor rel kereta api, sempadan
sungai)
B. Perdagangan dan Jasa
Kawasan pusat perkantoran dan perdagangan jasa primer (skala kota dan
regional) diarahkan di daerah pusat kota serta pada kawasan sekitar Jalan Arteri
seperti:
1. Jalan Sholeh Iskandar – Abdullah Bin Nuh
2. Jalan Adnawijaya
3. Rencana Jalan R3
Kawasan pusat perkantoran, perdagangan jasa sekunder (skala WP)
diarahkan:
1. Di daerah subpusat kota / pusat WP dan dikembangkan secara terpadu
(superblok)
2. Jalan kolektor yang masih memiliki daya dukung transportasi/ lalu lintas
3. Mengarahkan lokasi kegiatan perdangan dan jasa tematik di pusat WP
4. Jasa akomodasi : WP B dan WP E
5. Sentra otomotif : WP E
6. Sentra elektronik : WP C
7. Kegiatan MICE diarahkan pada WP E
8. Jasa perkantoran diarahkan pada WP B dan WP D
C. Industri
1. Mengendalikan kegiatan industri yang telah ada dari dampak polusi dan
lalu lintas
2. Membatasi perkembangan industri yang telah ada pada lokasi industri
yang ada saat ini
3. Mengarahkan lokasi industri dan pergudangan di koridor Jalan Raya
Pemda (Kec Bogor Utara)
4. Mengembangkan industri rumah tangga dalam bentuk sentra
5. Sentra industri alas kaki
6. Sentra tas
7. Sentra kerajinan tangan

D. Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Pencapaian RTH 30% akan dikembangkan melalui berbagai jenis RTH,
antara lain
1. Mempertahankan dan membangun RTH Lindung (Sempadan Sungai,
Sempadan Situ, sempadan mata air dan hutan kota)
2. Membangun dan mempertahankan RTH Budidaya (Taman Kota/City
Park, Taman Lingkungan, Lapangan Olahraga/Sport Centre, Taman
Rekreasi, Taman Pemakaman Umum/TPU, Pertanian Kota)
45

3. Mengembangkan RTH Infrastruktur (Jalur hijau jalan, pulau jalan, jalur


hijau SUTET, jalur hijau sempadan kereta api.
E. Rencana Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH)
Rencana dalam penyediaan RTNH Kota Bogor meliputi:
1. Meningkatkan fungsi, luasan dan kualitas ruang terbuka non hijau
sebagai salah satu ruang publik kota.
2. Membangun RTHN baru di setiap WP dengan standar penyediaan luasan
sesuai dengan kebutuhan dan standar yang berlaku
F. Rencana Sektor Informal
Sektor informal akan dikembangkan dengan arahan rencana penataan ruang
kegiatan sektor informal yang ada, pengalokasian ruang baru untuk kegiatan sektor
informal, dan pelibatan masyarakat dalam pengendalian ruang untuk sektor informal.

4.3. Sosial Budaya Ekonomi

4.3.1. Kependudukan
Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 terdapat sebanyak 1.004.831 jiwa
yang terdiri atas 510.884 orang laki-laki dan sebanyak 493.947 orang perempuan.
Dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2012
bertambah sebanyak 37.433 orang atau meningkat sebanyak 3,87 persen. Dengan
luas wilayah 118,50 kilometer persegi, kepadatan penduduk di Kota Bogor pada
tahun 2012 mencapai 8.480 jiwa perkilometer persegi. Jumlah Rumah Tangga di
Kota Bogor sebanyak 243.665 Rumah Tangga dengan rata-rata anggota rumah
tangga sebanyak empat orang.
Kecamatan dengan jumlah penduduk tertinggi adalah Kecamatan Bogor Barat
dengan jumlah penduduk 223.168 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk tertinggi sesuai
golongan umur di Kota Bogor pada tahun 2012 berada dikisaran 25-29 tahun. Pada
tahun 2013 jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 1.023.923 jiwa dengan kepadatan
penduduk mencapai 8.606 jiwa per kilometer persegi. Untuk rincian luas wilayah,
jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, jumlah rumah tangga dan kepadatan
penduduk telah tersaji pada Tabel 18.

4.3.2. Budaya
Penduduk Kota Bogor pada umumnya adalah suku Sunda yang menggunakan
bahasa Sunda, namun seiring perkembangannya Kota Bogor telah menjadi kota yang
multi-budaya. Bahkan hal tersebut terjadi mulai dari masa penjajahan Hindia Belanda
saat akhirnya Kota Bogor dijadikan pusat pemerintahan Hindia Belanda pada tahun
1815. Tidak hanya pribumi yang tinggal, namun bangsa Eropa, Thionghoa dan Arab
sudah mulai datang dan menetap. Sampai saat ini para pendatang terus berdatangan
hingga menjadikan budaya di Kota Bogor cukup beragam. Produk akulturasi masih
dapat ditemukan melalui makanan khas, kesenian dan festival yang kerap masih
berlangsung. Kondisi struktur penduduk menurut agama di Kota Bogor, mayoritas
penduduk memeluk agama Islam yang selanjutnya diikuti oleh Agama Protestan.
46

Tabel 18. Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga
dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bogor, Tahun 2012.
Luas Jumlah Penduduk
Rumah Laju Kepadatan
Kecamatan wilayah Laki-
Perempuan Jumlah Tangga Pertumbuhan (per Km2)
(Km2) laki
Bogor Selatan 30,81 97.698 92.837 190.535 45.714 2,5 6.184
Bogor Timur 10,15 50.553 49.430 99.983 24.052 2,5 9.851
Bogor Utara 17,72 91.874 88.973 180.847 44.218 3,0 10.206
Bogor Tengah 8,13 52.720 51.550 104.270 26.404 1,4 12.825
Bogor Barat 32,85 113.373 109.795 223.168 53.656 2,8 6.794
Tanah Sareal 18,84 104.666 101.362 206.028 49.621 3,9 10.936
Jumlah
2012 118,50 510.884 493.947 1.004.831 243.665 3,87 8.480
2011 118,50 493.761 473.637 967.398 238.227 4,06 8.164

Sumber: Laporan Keterangan Pertanggung JawabanWalikota Bogor, 2013.

Gambar 17. Piramida Penduduk Kota Bogor, 2014.

Tabel 19. Penduduk Menurut Agama di Kota Bogor, Tahun 2014.


Kecamatan Islam Katholik Protestan Hindu Budha Konghucu Lain- Jumlah
nya
Bogor Selatan 179.005 4.645 7.914 144 2.296 95 80 194.179
Bogor Timur 89.138 4.656 6.578 75 1.508 26 3 101.984
Bogor Utara 172.716 3.494 8.628 402 773 41 44 186.098
Bogor Tengah 90.922 4.102 5.960 95 2.910 81 50 104.120
Bogor Barat 219.384 2.805 5.577 267 742 63 22 228.860
Tanah Sareal 204.543 3.392 6.625 239 615 34 31 215. 479
Total 2014 955.708 23.094 41.282 1.222 8.844 340 230 1.030.720
2013 932.703 24.374 40.357 5.250 10.335 - 1.013.019
2012 877.498 23.350 38.433 4.956 9.933 - 954.170
2011 800.926 23.350 33.798 4.669 9.933 - 872.676
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2016.
47

4.3.3. Pendidikan
Tingkat pendidikan di Kota Bogor berjenjang mulai dari Taman kanak-kanak
(TK) hingga peruruan tinggi. Pada tahun 2015, jumlah sekolah TK sebanyak 359 (1
TK negeri) dengan jumlah murid 20.248 siswa (140 siswa negeri) dan jumlah guru
sebanyak 2.213 guru (18 guru negeri). Jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 301 (229
SD negeri) dengan jumlah murid 103.865 siswa (85.366 siswa SD negeri) dan guru
sebanyak 4.764 guru (3.558 guru SD negeri). Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) sebanyak 110 (20 SLTP negeri) dengan jumlah murid 47.011 siswa
(18.116 siswa negeri) dan guru sebanyak 2.725 guru (866 guru SLTP negeri).
Selanjutnya jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 52 (10 SLTA
negeri) dengan jumlah murid 19.131 siswa (8.098 siswa SLTA negeri) dan jumlah
guru sebanyak 1.134 guru (465 guru SLTA negeri).
Sementara sarana pendidikan sekolah Islam mulai dari tingkat awal (Mi)
sampai yang tingkat atas (Ma) sebanyak 110 sarana pendidikan dengan jumlah murid
sebanyak 25.811 siswa. Pada tingkat perguruan tinggi dan akademi terdapat 11
perguruan tinggi/akademi yang terdata di Badan Pusat Statistik Kota Bogor pada
tahun 2015 dengan jumlah total mahasiswa sebanyak 51.017 mahasiswa (Kota Bogor
Dalam Angka 2016).

4.3.4. Perekonomian
Berdasarkan hasil SUSENAS 2013, Kota Bogor memiliki pengeluaran rata-
rata perkapita sebulan sebesar Rp 891.425,-. Nilai tersebut lebih tinggi jika
dibandingkan Provinsi Jawa Barat yang memiliki pengeluaran rata-rata perkapita
sebulan sebesar Rp 729.315,-, dan tingkat nasional yang memiliki pengeluaran rata-
rata perkapita sebulan sebesar Rp 703 561,-. Kemudian untuk Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Tahun 2014 atas dasar harga berlaku menurut
lapangan usaha sebesar Rp 29.102.228.9 Juta, yang mana nilai tersebut mengalami
kenaikan bila dibandingkan PDRB tahun 2013 yaitu sebesar Rp 26.057.306.7 Juta.
Struktur perekonomian suatu wilayah dapat menggambarkan sektor-sektor
yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah (engine growth). Di Kota Bogor
yang menjadi motor penggerak utama pertumbuhannya adalah sektor Perdagangan
Hotel dan Restoran yang menyumbang PDRB sebesar 22.25%, hal tersebut terbukti
dari peranan sektor Perdagangan Hotel dan Restoran yang mendominasi
perekonomian di Kota Bogor dari tahun ke tahun. Kemudian sektor lain yang ikut
mendorong perekonomian di Kota Bogor adalah sektor Industri Pengolahan yang
menyumbang PDRB sebesar 18.53%. (Kota Bogor Dalam Angka, 2016).
48

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kawasan Cagar Budaya di Kota Bogor

Pendataan dan pemetaan dilakukan dengan mengacu pada daftar bangunan


cagar budaya yang dimiliki oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Kota Bogor. Hasil pendataan bangunan cagar budaya di Kota Bogor menunjukkan
terdapat 494 bangunan yang tersebar di enam kecamatan yang ada di Kota Bogor.
Dari 68 kelurahan yang ada di Kota Bogor, terdapat 32 kelurahan yang memiliki
bangunan cagar budaya yang ada di wilayah nya masing-masing dengan jumlah dan
kondisi yang berbeda-beda. Keberadaan bangunan cagar budaya cenderung memusat
pada pusat kota dengan Istana Bogor dan wilayah sekitar Kebun Raya Bogor sebagai
porosnya. Hal ini menjadikan sebaran bangunan cagar budaya dimiliki oleh
kecamatan-kecamatan yang dekat dengan Istana dan Kebun Raya Bogor. Kecamatan
Bogor Tengah memiliki jumlah bangunan cagar budaya terbanyak yaitu berjumlah
332 bangunan atau sebesar 67.21% dari total jumlah bangunan yang ada. Sedangkan
Kecamatan Bogor Barat memiliki jumlah bangunan cagar budaya paling sedikit yaitu
berjumlah 20 bangunan atau hanya sebesar 4.05% dari total jumlah bangunan.

Tabel 20. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Kecamatan.


No Kecamatan Jumlah Persen
1. Bogor Barat 20 4.05
2. Bogor Selatan 44 8.91
3. Bogor Tengah 332 67.2
4. Bogor Timur 41 8.30
5. Bogor Utara 36 7.29
6. Tanah Sareal 21 4.25
Diantara semua bangunan cagar budaya, jenis bangunan yang paling banyak
merupakan bangunan perumahan dengan jumlah 333 bangunan atau sekitar 67.41%
dari semua bangunan yang ada. Sedangkan museum merupakan bangunan paling
sedikit yaitu sebanyak tiga bangunan atau sekitar 0.61% dari seluruh bangunan.

Tabel 21. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Jenis Bangunan.


No Jenis Bangunan Jumlah Persen
1. Fasilitas Umum dan Sosial 17 3.44
2. Kesehatan 9 1.82
3. Militer 4 0.81
4. Museum 3 0.61
5. Pendidikan 17 3.44
6. Perdagangan dan Jasa 41 8.30
7. Peribadatan 13 2.63
8. Perkantoran dan Pemerintahan 29 5.87
9. Perumahan 333 67.4
10. Situs 28 5.67
49

Analisa kepadatan menggunakan metode Kernel Density menghasilkan tiga


jenis kepadatan yang terdiri dari: (i) Sangat Padat dengan total luas mencapai
0.172368 km2; (ii) Cukup Padat dengan total luas mencapai 0.833234 km 2; dan (iii)
Kurang Padat dengan total luas mencapai 3.227005 km 2. Lingkup analisa Kernel
Density bekerja pada titik-titik bangunan cagar budaya secara kontinyu dengan Kota
Bogor sebagai batas wilayah analisa dan tidak melakukan analisis berdasarkan
wilayah administrasi kelurahan. Hal tersebut membutuhkan proses selanjutnya yaitu
dengan melakukan overlay peta jenis kepadatan bangunan cagar budaya dengan batas
wilayah administrasi kelurahan di Kota Bogor. Hasil overlay menghasilkan
pembagian tiga kelas terhadap kelurahan-kelurahan yang memiliki objek dan
bangunan cagar budaya. Tiga kelas tersebut meliputi:
1. Kelas I merupakan kelurahan dengan total luas area kepadatan yang
dikalikan nilai bobot kriteria berjumlah antara 0.0597 – 0.1598 km2.
2. Kelas II merupakan kelurahan dengan total luas area kepadatan yang
dikalikan nilai bobot kriteria berjumlah antara 0.0249 – 0.0524 km2.
3. Kelas III merupakan kelurahan dengan total luas area kepadatan yang
dikalikan nilai bobot kriteria berjumlah antara 0.0000 – 0.0216 km2.
Melalui overlay peta kepadatan dengan peta administrasi kelurahan maka
diketahui kelurahan-dengan dengan tingkat kepadatan masing-masing. Terdapat
empat kelurahan yang dengan tingkat kepadatan Kelas I yang meliputi Kelurahan
Babakan, Kelurahan Paledang, Kelurahan Sempur dan Kelurahan Babakan Pasar.
Keempat kelurahan tersebut memiliki lingkup area kepadatan yang cukup luas dan
merata dibanding kelurahan lain, sehingga menjadi kelurahan yang memiliki modal
dasar dalam pengembangan kawasan dinilai dari sisi keberadaan bangunan cagar
budaya.

Gambar 18. Peta Sebaran Bangunan Cagar Budaya Kota Bogor.


50

Gambar 19. Peta Kepadatan Bangunan Cagar Budaya Menggunakan


Metode Kernel Density.

Gambar 20. Peta Peringkat Kepadatan Kelurahan yang Memiliki


Bangunan Cagar Budaya.

Kelurahan dengan kepadatan Kelas II masih memiliki modal yang cukup


besar, namun diperlukan keberadaan potensi lain dalam mendukung pengembangan
kawasan sebagai kawasan wisata cagar budaya. Kelurahan dengan peringkat
51

kepadatan Kelas II tersebut meliputi Kelurahan Pabaton, Kelurahan Ciwaringin,


Kelurahan Gudang, Kelurahan Baranangsiang, Kelurahan Sukasari, dan Kelurahan
Empang. Kelurahan dengan kepadatan Kelas III dinilai sangat kurang berpotensi
untuk dikembangkan, sehingga mutlak perlu dukungan yang sangat besar dari
keberadaan potensi lain.

5.2. Keunggulan Bangunan Cagar Budaya

Tidak semua bangunan cagar budaya berkondisi dan dapat berfungsi dengan
baik. Sehingga walaupun memiliki nilai sejarah tinggi, namun jika tidak lagi
berkondisi dan berfungsi baik, bangunan tersebut tidak memiliki nilai potensial
sebagai objek pembangun kawasan wisata cagar budaya perkotaan. Terdapat tiga
kriteria dasar yang dapat menjadikan sebuah bangunan berpotensi menjadi wisata
cagar budaya, yaitu akses, fungsi, dan kondisi bangunan. Masing-masing nilai
didapat dari pengamatan langsung terhadap 494 bangunan cagar budaya yang ada di
Kota Bogor. Pengamatan yang dilakukan bersifat subyektifitas peneliti dengan
berdasarkan panduan penentuan penilaian bangunan cagar budaya sebagai berikut:

Tabel 22. Keterangan Penilaian Kriteria Masing-masing Objek


dan Bangunan Cagar Budaya.
KRITERIA KETERANGAN
Kondisi Bangunan
baik bangunan utuh dan terawat
sedang bangunan utuh tapi tidak terawat atau bangunan tidak utuh tapi terawat
kurang bangunan tidak utuh dan tidak terawat
Akses terhadap Bangunan
baik terbuka untuk umum dapat diakses setiap waktu
sedang terbuka untuk umum dibatasi oleh waktu
kurang tidak terbuka untuk umum dan dibatasi oleh waktu
Fungsi Bangunan
baik memiliki lebih dari dua fungsi
sedang hanya memiliki dua fungsi
kurang hanya memiliki satu fungsi

Gambar 21. Contoh Bangunan Cagar Budaya yang Tidak Utuh dan Tidak Terawat.
52

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari keseluruhan bangunan cagar


budaya di Kota Bogor terdapat 454 bangunan atau sekitar 91.9% berkondisi baik, dan
hanya delapan bangunan atau sekitar 1.62% berkondisi kurang baik. Namun lebih
lanjut hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa dari seluruh bangunan cagar
budaya yang ada, hanya terdapat 17 bangunan atau sekitar 3.44% yang bersifat multi-
fungsi dan 25 bangunan atau sekitar 5.06% yang sangat mudah untuk diakses. Hal ini
menunjukkan bahwa bangunan cagar budaya yang ada masih memiliki fungsi dan
akses yang rendah terhadap kegiatan wisata perkotaan.

Tabel 23. Tabel Jumlah Kondisi, Fungsi dan Akses Untuk Masing-masing
Kriteria Penilaian Bangunan Cagar Budaya.
Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 454 91.9 17 3.44 25 5.06
Sedang 32 6.48 119 24.1 121 24.5
Kurang 8 1.62 358 72.5 348 70.5

Selanjutnya setiap kriteria dilakukan pembobotan guna mendapatkan


peringkat dalam penentuan kelurahan mana yang memiliki nilai potensi bangunan
paling tinggi. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode rank order
centroid (ROC), dimana kriteria diurutkan berdasarkan prioritas atau kepentingan
seperti ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 24. Tabel Bobot pada Setiap Kriteria


Menggunakan Rank Order Centroid.
Tingkat Prioritas Bobot
Baik (1+1/2+1/3)/3 = 0.61
Sedang (1/2+1/3)/3 = 0.28
Kurang (1/3)/3 = 0.11
JUMLAH 1

Hasil analisis dengan pembobotan sederhana dan pemeringkatan melalui


pembagian tiga hirarki, menghasilkan empat kelurahan dengan peringkat Potensi I
yang meliputi Kelurahan Babakan, Kelurahan Paledang, Kelurahan Babakan Pasar,
dan Kelurahan Sempur. Kelurahan Babakan memiliki bangunan cagar budaya yang
walaupun sebagian besar merupakan bangunan rumah tinggal yang memiliki
keterbatasan akses, namun kondisi bangunan rumah tinggal secara umum terjaga
dengan baik sehingga mendorong tingginya nilai akumulasi bangunan secara
keseluruhan. Banyaknya bangunan tidak selalu mengindikasikan tingginya nilai
potensi bangunan yang dimiliki, dimana hal tersebut ditunjukkan oleh Kelurahan
Babakan Pasar yang memiliki jumlah bangunan lebih sedikit dibandingkan dengan
Kelurahan Sempur, namun memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal yang sama terjadi
juga pada Kelurahan Empang, dimana jumlah bangunan yang dimiliki lebih sedikit
dari Kelurahan Baranangsiang dan Kelurahan Gudang, namun memiliki nilai potensi
bangunan yang lebih tinggi.
53

Tabel 25. Nilai Bangunan pada masing-masing Kelurahan yang Memiliki


Bangunan Cagar Budaya.

JUMLAH NILAI PERINGKAT


NO KELURAHAN
BANGUNAN BANGUNAN POTENSI

1 Babakan 114 96.8 Potensi I


2 Paledang 54 51.7 Potensi I
3 Babakan Pasar 38 37.0 Potensi I
4 Sempur 39 36.3 Potensi I
5 Ciwaringin 38 33.3 Potensi II
6 Pabaton 33 30.8 Potensi II
7 Sukasari 19 18.2 Potensi II
8 Empang 16 17.0 Potensi II
9 Baranangsiang 19 15.5 Potensi II
11 Gudang 18 14.7 Potensi II
10 Bondongan 15 13.5 Potensi III
12 Tanah Sareal 13 12.2 Potensi III
13 Kebon Kelapa 14 11.7 Potensi III
14 Pasir Jaya 9 8.83 Potensi III
16 Cibogor 7 8.17 Potensi III
17 Lawang Gintung 7 7.67 Potensi III
19 Batutulis 6 7.50 Potensi III
15 Kebon Pedes 8 7.33 Potensi III
18 Menteng 7 7.17 Potensi III
21 Bantarjati 3 4.83 Potensi III
20 Panaragan 3 3.50 Potensi III
28 Pasir Mulya 2 2.00 Potensi III
23 Kedung Badak 1 1.83 Potensi III
24 Katulampa 1 1.83 Potensi III
22 Pasir Kuda 2 1.67 Potensi III
26 Tegal Lega 1 1.50 Potensi III
25 Gunung Batu 2 1.33 Potensi III
29 Rangga Mekar 1 1.00 Potensi III
30 Cikaret 1 1.00 Potensi III
27 Tanah Baru 1 0.83 Potensi III
31 Cibuluh 1 0.83 Potensi III
32 Ciparigi 1 0.33 Potensi III
54

Gambar 22. Peta Potensi Bangunan Cagar Budaya.

5.3. Ketersediaan Sarana Prasarana Pendukung Potensi Wisata Cagar Budaya

Dalam kaitan pengembangan wisata kawasan cagar budaya, ketersediaan


sarana prasarana merupakan hal yang sangat penting karena dapat membatu
keberlangsungan dan kenyamanan penyelenggaraan aktifitas wisata. Menggunakan
metode skalogram dengan membandingkan 32 kelurahan yang memiliki bangunan
cagar budaya, maka didapat hirarki pertumbuhan seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 23.

Gambar 23. Peta Tingkat Pertumbuhan Kelurahan Bangunan Cagar Budaya.


55

Terdapat dua kelurahan berstatus Hirarki I yaitu Kelurahan Pabaton yang


berada di Kecamatan Bogor Tengah dan Kelurahan Pasirjaya yang berada di
Kecamatan Bogor Barat. Kemudian terdapat sebelas kelurahan berstatus Hirarki II
yang meliputi, Kelurahan Lawang Gintung, Batutulis, Paledang, Gudang, Babakan
Pasar, Sempur, Cibogor, Panaragan, Kebonkelapa, Ciwaringin, dan Tanah Sareal.
Sedangkan 18 kelurahan lainnya memiliki status Hirarki III.

Tabel 26. Tingkat Pertumbuhan Kelurahan yang Memiliki Bangunan Cagar


Budaya di Kota Bogor.

No Kelurahan Kecamatan Penduduk IPD Jumlah Jenis Hirarki


1 Pabaton Bogor Tengah 2693 817.5 152 Hirarki I
2 Pasirmulya Bogor Barat 5075 463.6 159 Hirarki I
3 Lawang Gintung Bogor Selatan 7491 294.5 159 Hirarki II
4 Batutulis Bogor Selatan 10091 202.5 150 Hirarki II
5 Paledang Bogor Tengah 11735 206.5 165 Hirarki II
6 Gudang Bogor Tengah 7198 288.9 142 Hirarki II
7 Babakan Pasar Bogor Tengah 9809 208.1 145 Hirarki II
8 Sempur Bogor Tengah 8053 225.1 142 Hirarki II
9 Cibogor Bogor Tengah 7453 262.2 148 Hirarki II
10 Panaragan Bogor Tengah 7372 289.4 144 Hirarki II
11 Kebonkelapa Bogor Tengah 11211 198.2 153 Hirarki II
12 Ciwaringin Bogor Tengah 7628 268.1 150 Hirarki II
13 Tanah Sareal Tanah Sareal 8690 231.4 139 Hirarki II
14 Ranggamekar Bogor Selatan 14221 124.3 141 Hirarki III
15 Bondongan Bogor Selatan 13291 141.4 146 Hirarki III
16 Empang Bogor Selatan 17127 123.0 157 Hirarki III
17 Cikaret Bogor Selatan 18376 103.2 155 Hirarki III
18 Katulampa Bogor Timur 31421 35.1 93 Hirarki III
19 Baranangsian Bogor Timur 27314 50.1 152 Hirarki III
20 Sukasari Bogor Timur 11126 182.2 146 Hirarki III
21 Bantarjati Bogor Utara 24531 57.5 147 Hirarki III
22 Tanahbaru Bogor Utara 25647 65.6 145 Hirarki III
23 Cibuluh Bogor Utara 18834 104.5 153 Hirarki III
24 Tegallega Bogor Tengah 20114 68.6 140 Hirarki III
25 Babakan Bogor Tengah 10854 171.9 144 Hirarki III
26 Pasirkuda Bogor Barat 14700 122.0 157 Hirarki III
27 Pasirjaya Bogor Barat 21533 78.0 140 Hirarki III
28 Gunungbatu Bogor Barat 18372 91.1 151 Hirarki III
29 Menteng Bogor Barat 16262 108.2 147 Hirarki III
30 Kebonpedes Tanah Sareal 22089 68.0 141 Hirarki III
31 Kedungbadak Tanah Sareal 29081 50.0 147 Hirarki III
56

5.4. Kawasan Prioritas Pengembangan

Dalam menentukan kelurahan mana yang memiliki potensi terbesar untuk


dijadikan prioritas dalam pengembangan kawasan wisata cagar budaya Kota Bogor,
maka tahap selanjutnya adalah menggabungkan hasil analisis sebelumnya yang
terdiri dari Kelas Kepadatan, Tingkat Potensi Bangunan, dan Hirarki Kelurahan
menjadi Kawasan Prioritas di kelurahan untuk dikembangkan. Hasil pembobotan dan
pemeringkatan sederhana menunjukkan bahwa, dalam pengembangan kawasan cagar
budaya menjadi kawasan wisata perkotaan dapat dilakukan pada kelurahan-kelurahan
Prioritas I yang meliputi Kelurahan Babakan, Kelurahan Paledang, Kelurahan
Sempur, Kelurahan Babakan Pasar, dan Kelurahan Pabaton. Kelima kelurahan
tersebut berada disatu wilayah administrasi kecamatan yaitu Kecamatan Bogor
Tengah.

Gambar 24. Peta Kelurahan Prioritas Pengembangan


Kawasan Wisata Cagar Budaya Kota Bogor.

Berdasarkan data dan analisa sebelumnya, dinyatakan bahwa Kecamatan


Bogor Tengah selain memiliki bangunan cagar budaya paling banyak, juga
merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dibanding kecamatan
lainnya. Ditengah kondisi tersebut status lain Kecamatan Bogor Tengah juga sebagai
pusat pelayanan kota yang berfungsi sebagai pusat pelayanan sosial, budaya,
ekonomi, dan/atau administrasi masyarakat yang melayani wilayah kota. Dalam
memaknai perpaduan kondisi dan potensi saat ini serta rencana-rencana terkait
kawasan, pengembangan cagar budaya menjadi wisata perkotaan juga perlu melihat
lebih jauh dinamika yang terdapat pada masing-masing kelurahan prioritas seperti
dijelaskan pada uraian berikut.
57

5.4.1. Kelurahan Babakan


Kelurahan Babakan merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah
administrasi Kecamatan Bogor Tengah. Dengan jumlah penduduk berjumlah 10,854
jiwa pada tahun 2014 dan luas wilayah sebesar 1.22 km 2, Kelurahan Babakan
memiliki kepadatan penduduk 8,897 per km2. Hal tersebut yang juga mendorong
pergerakkan orang di Kelurahan Babakan cukup tinggi, yang mana pada tahun 2011
pergerakkan orang per hari sejumlah 12,259 orang/hari dan diprediksikan pada tahun
2016 meningkat menjadi 13,740 orang/hari atau sebesar 5,015,087 orang/tahun.
Ketersediaan sarana prasarana yang tak sebanding dengan jumlah penduduk,
mengakibatkan Kelurahan Babakan memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah dan
berada pada Hirarki III dengan indeks pertumbuhan wilayah sebesar 171.9 pada
tahun 2014. Hal tersebut berdampak pada kesanggupan wilayah dalam mendukung
pengembangan wisata secara umum.
Dalam rencana struktur ruang yang terdapat pada RTRW Kota Bogor Tahun
2011-2031, Kelurahan Babakan sebagai bagian dari Kecamatan Bogor Tengah
diarahkan menjadi pusat pelayanan kota yang berfungsi sebagai pusat pelayanan
sosial, budaya, ekonomi, dan/atau administrasi masyarakat yang melayani wilayah
kota. Hal tersebut diikuti dengan rencana peningkatan dan pengembangan jaringan
jalan, utilitas, pedestrian dan ruang evakuasi bencana. Sedangkan dalam rencana pola
ruang kawasan budidaya yang terdapat pada RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031,
Kelurahan Babakan masih diutamakan untuk perumahan kepadatan sedang dengan
luas mencapai 64.7% dari seluruh luas wilayah kelurahan. Selain diperuntukkan
sebagai perumahan, Kelurahan Babakan diarahkan juga sebagai kawasan jasa dengan
proporsi luas sebesar 19.8% dan perdagangan dengan proporsi luas sebesar 8.14%
dari seluruh luas kelurahan.

Tabel 27. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan berdasarkan Rencana


Pola Ruang Kawasan Budidaya.
Luas
No Rencana Pola Ruang
km persegi persen
1 Sempadan Saluran 0.0013 0.09
2 Hutan Kota 0.0008 0.06
3 Jasa 0.2856 19.8
4 Perdagangan 0.1172 8.14
5 Fasilitas Pendidikan 0.0416 2.89
6 RTH Taman Lingkungan 0.0121 0.84
7 Fasilitas Kesehatan 0.0459 3.19
8 Pemerintahan 0.0039 0.27
9 Rumah Sedang 0.9316 64.7
Total 1.4398 100

Kelurahan Babakan merupakan kelurahan yang memiliki jumlah bangunan


cagar budaya terbanyak dibandingkan dengan kelurahan lain di Kota Bogor.
Kawasan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan dibangun oleh bangunan pusat
penelitian dan perumahan elite para pejabat yang bekerja pada pemerintahan
kolonial. Saat ini bangunan tersebut sebagian besar masih berfungsi hanya saja
58

beberapa rumah tinggal telah berubah fungsi menjadi tempat penyediaan akomodasi
dan makan minum. Kelurahan Babakan memiliki 114 bangunan cagar budaya yang
96% diantaranya berkondisi baik. Dengan dominasi bangunan rumah tinggal, maka
akses dan fungsi wisata pada keseluruhan bangunan memiliki nilai yang rendah.
Terbukti dengan 90% dari seluruh bangunan memiliki akses yang kurang baik dan
92% memiliki fungsi yang kurang baik untuk aktifitas wisata.

Tabel 28. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan.


Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 110 96.5 0 0.00 0 0.00
Sedang 3 2.63 11 9.65 9 7.89
Kurang 1 0.88 103 90.4 105 92.1
Jumlah 114 100 114 100 114 100

Gambar 25. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan
Cagar Budaya di Kelurahan Babakan.

Sebagian besar fungsi ruang Kelurahan Babakan diperuntukkan untuk


pemukiman sehingga pengembangan wisata yang mendorong bangkitan aktifitas
ekonomi mengalami keterbatasan. Namun demikian Kelurahan Babakan memiliki
jumlah bangunan cagar budaya terbanyak yang sebagian besar merupakan rumah
59

tinggal. Status kepemilikan rumah tinggal yang dapat sewaktu-waktu berpindah,


menimbulkan ketidakpastian terhadap upaya pelestarian. Pemilik bangunan harus
mendapatkan manfaat dari terbentuknya kawasan wisata cagar budaya di Kelurahan
Babakan dalam bentuk-bentuk yang disesuaikan.
Keberadaan Jalan Raya Pajajaran yang membelah Kelurahan Babakan selain
memudahkan akses terhadap bangunan cagar budaya, dan juga memfasilitasi
berkembangnya kawasan jasa dan perdagangan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman
ataupun sebaliknya menjadi pendukung berkembangnya kawasan cagar budaya di
Kelurahan Babakan. Upaya yang dilakukan secara umum dalam konteks keruangan
adalah mensinergikan kawasan perdagangan dan jasa terhadap perumahan cagar
budaya yang ada. Bentuk perdagangan dan jasa harus mendukung konsep dan tema
cagar budaya yang ada, sedangkan keberadaan perumahan dibatasi kemungkinan-
kemungkinan perubahan bangunan, sehingga bentuk bangunan secara unsur cagar
budaya masih tetap terjaga.
Rumah tinggal bernuansa elite Eropa, didukung dengan keberadaan café-café
bernuansa yang sama, dapat menjadi kesamaan tema yang dapat dikembangkan.
Memanfaatkan taman dan mendorong kehadiran galeri-galeri atau tempat
pertunjukkan terbatas menjadi hal yang kemudian layak untuk diupayakan. Kawasan
wisata cagar budaya di Kelurahan Babakan kemudian didorong untuk segmentasi
wisata terbatas dengan target wisatawan menengah ke atas. Beberapa bangunan cagar
budaya rumah tinggal yang ada dapat didorong menjadi homestay bagi para
wisatawan yang datang dari luar kota.

Gambar 26. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan.

5.4.2. Kelurahan Paledang


Pada tahun 2014 Kelurahan Paledang memiliki jumlah penduduk yang
mencapai 11,735 jiwa. Dengan luas wilayah wilayah sebesar 1.78 km 2, maka
kepadatan penduduk Kelurahan Paledang mencapai 6,593 per km 2. Sebagai bagian
wilayah yang berada di pusat kota, Kelurahan Paledang memiliki pergerakan aktifitas
yang cukup tinggi. Pada tahun 2011 diketahui bahwa total pergerakan di Kelurahan
Paledang mencapai 13,232 orang per hari, dan diprediksikan meningkat menjadi
14,830 orang per hari pada tahun 2016 atau mencapai 5,412,879 orang per tahun. Hal
60

ini yang mendorong tingkat pertumbuhan di Kelurahan Paledang berada pada Hirarki
II dengan nilai indeks perkembangan wilayah sebesar 206.5 pada tahun 2014.
Kehadiran Kebun Raya Bogor, mendorong peruntukkan rencana pola ruang
kawasan budidaya di Kelurahan Paledang didominasi untuk hutan kota dengan
proporsi luas mencapai 62.2% dari keseluruhan luas wilayah kelurahan. Selanjutnya
peruntukkan ruang diarahkan untuk perumahan dengan kepadatan sedang dengan
proporsi luas mencapai 11% dan pemerintahan dengan proporsi luas mencapai
6.08%. Hal tersebut seperti yang tertuang pada RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031
dengan proporsi rencana pola ruang budidaya yang ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 29. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Paledang berdasarkan Rencana


Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031.
Luas
No Rencana Pola Ruang
km persegi persen
1 Sempadan Sungai 0.0562 3.26
2 Sempadan Saluran 0.0005 0.03
3 Sempadan Rel KA 0.0513 2.98
4 Hutan Kota 1.0728 62.2
5 TPU 0.0069 0.40
6 Sungai 0.0585 3.39
7 Fasilitas Pendidikan 0.0324 1.88
8 Militer 0.0080 0.46
9 Pemerintahan 0.1049 6.08
10 Fasilitas OR dan Rekreasi 0.0001 0.01
11 RTH Kebun Penelitian 0.0002 0.01
12 RTH Taman Kota 0.0004 0.03
13 RTH 0.0086 0.50
14 Jasa 0.0321 1.86
15 Perdagangan 0.0362 2.10
16 Rumah Tinggi 0.0623 3.61
17 Rumah Sedang 0.1894 11.0
18 Fasilitas Peribadatan 0.0037 0.21
Total 1.7246 100

Kawasan cagar budaya di Kelurahan Paledang dibangun dengan poros pusat


pemerintahan yang ditandai dengan kehadiran Istana Bogor dan pusat botani yang
ditandai dengan kehadiran Kebun Raya Bogor. Kawasan ini sangat mempengaruhi
perkembangan kawasan disekitarnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan aktifitas
yang saling terkait. Kantor-kantor pemerintahan, pusat-pusat penelitian, perumahan
dan pasar berkembang dengan Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor sebagai
porosnya. Kelurahan Paledang memiliki 54 bangunan cagar budaya yang 85.19%
diantaranya berkondisi baik, 12.96% berkondisi sedang dan hanya 1.85% saja yang
berkondisi kurang baik. Dari jumlah bangunan cagar budaya yang ada, hanya
terdapat tiga bangunan atau sekitar 5.56% dari keseluruhan bangunan yang bersifat
multi fungsi dan dua bangunan atau sekitar 3.70% dengan akses yang baik. Namun
61

bangunan cagar budaya di Kelurahan Paledang masih berpeluang untuk ditingkatkan


dari sisi fungsi dan akses karena terdapat 18 bangunan atau sekitar 33.3% yang
berfungsi sedang dan terdapat 24 bangunan atau sekitar 44.4% yang juga berakses
sedang. Upaya yang dilakukan terhadap bangunan tersebut untuk dapat
menyesuaikan dengan aktifitas wisata, dapat mendorong bangunan cagar budaya di
Kelurahan Paledang menjadi kawasan wisata yang cukup potensial.

Tabel 30. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang.


Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 46 85.19 3 5.56 2 3.70
Sedang 7 12.96 18 33.33 24 44.44
Kurang 1 1.85 33 61.11 28 51.85
Jumlah 54 100.00 54 100.00 54 100.00

Gambar 27. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan
Cagar Budaya di Kelurahan Paledang.

Kebun Raya Bogor tetap menjadi magnet utama wisata di Kelurahan


Paledang. Selain memiliki koleksi keanekaragaman hayati, Kebun Raya Bogor juga
menyimpan sejumlah bangunan cagar budaya yang masih terjaga dengan baik.
Bangunan cagar budaya tersebut diantaranya meliputi, Laboratorium Treub, Lady
62

Raffles Memorial, Monumen J.J. Smith, Dutch Graveyard, dan Monumen C.G.K
Reindwart. Sedangkan di luar kawasan Kebun Raya Bogor, Kelurahan Paledang
memiliki sejumlah bangunan cagar budaya yang sebagian juga terkait dengan Kebun
Raya diantaranya meliputi, Museum Zoologi Bogor, Gedung Arsip Nasional, Balai
Besar Industri Agro (BBIA), Kantor Direktorat Jenderal PHKA, Kantor Dinas
Kebersihan, dan Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air. Selain itu terdapat juga
Gereja Protestan Zebaoth, Gereja Katedral Bogor BMU, dan Seminaris Stella Maris,
serta beberapa bangunan cagar budaya lain yang memperkuat kawasan cagar budaya
di Kelurahan Paledang.
Tema besar kawasan wisata cagar budaya yang dapat ditawarkan adalah
dengan memadukan antara wisata budaya dan ilmu pengetahuan. Setiap bangunan
cagar budaya yang merupakan perkantoran atau juga rumah peribadatan, membuka
kunjungan diluar atau disesuaikan baik dengan jam kantor ataupun waktu berdoa
pada termpat peribadatan. Walaupun upaya mengatur rumah tinggal berbenturan
dengan ranah private dan memiliki nilai yang rendah dalam akses dan fungsi wisata,
namun keberadaan perumahan yang masih memenuhi unsur cagar budaya sangat
penting dalam menambah nilai pemandangan yang jadi salah satu bagian dalam
membangun wisata budaya dalam kawasan. Sehingga aturan merubah bentuk
bangunan perlu dibatasi dengan sebuah peraturan yang disertai kompensasi bagi
pemilik bangunan seperti halnya dalam membayar pajak bangunan. Sama halnya
seperti di Kelurahan Babakan, beberapa bangunan cagar budaya rumah tinggal yang
ada dapat didorong menjadi homestay bagi para wisatawan yang datang dari luar
kota.

Gambar 28. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang.

5.4.3. Kelurahan Sempur


Kelurahan Sempur memiliki jumlah penduduk mencapai 8,053 jiwa yang
berarti dengan luas wilayah sebesar 0,63 km2, Kelurahan Sempur memiliki kepadatan
penduduk sebesar 12,783 km2 pada tahun 2014. Total pergerakan orang di Kelurahan
Sempur mencapai 10,410 orang per hari pada tahun 2011 dan diprediksikan
meningkat menjadi 11,669 orang per hari atau mencapai 4,259,032 orang per tahun
pada tahun 2016. Hal ini mengakibatkan Kelurahan Sempur memiliki tingkat
63

pertumbuhan pada Hirarki II dengan nilai indeks pertumbuhan wilayah sebesar 225.1
pada tahun 2014.

Tabel 31. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Sempur berdasarkan Rencana Pola
Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031.
Luas
No Rencana Pola Ruang
km persegi persen
1 Sempadan Sungai 0.0354 6.40
2 Hutan Kota 0.0023 0.41
3 Sungai 0.0247 4.48
4 Pemerintahan 0.0042 0.76
5 Fasilitas OR dan Rekreasi 0.0215 3.89
6 Jasa 0.0089 1.62
7 Fasilitas Pendidikan 0.0074 1.34
8 Militer 0.0079 1.43
9 Perdagangan 0.0269 4.87
10 RTH Taman 0.0199 3.60
11 RTH Taman Lingkungan 0.0037 0.67
12 RTH Taman Kota 0.0114 2.07
13 Rumah Tinggi 0.0744 13.5
14 Rumah Sedang 0.3039 55.0
Total 0.5526 100

Perumahan menjadi bagian yang mendominasi peruntukkan rencana pola


ruang kawasan budidaya di Kelurahan Sempur seperti tertuang dalam RTRW Kota
Bogor 2011-2031. Hal tersebut ditunjukkan oleh proporsi ruang untuk perumahan
dengan kepadatan sedang yang mencapai 55% dan perumahan dengan kepadatan
tinggi yang mencapai 13.5% dari seluruh wilayah kelurahan. Selanjutnya keberadaan
Sungai Ciliwung yang melintas dan membelah Kelurahan Sempur, menyebabkan
peruntukkan ruang sempadan sungai dengan proporsi 6.40% dari total luas wilayah.

Tabel 32. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur.


Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 37 94.87 2 5.13 3 7.69
Sedang 2 5.13 7 17.95 5 12.82
Kurang 0 0.00 30 76.92 31 79.49
Jumlah 39 100 39 100 39 100

Kelurahan Sempur memiliki 39 bangunan cagar budaya yang 94.9%


diantaranya masih berkondisi baik, 5.13% berkondisi sedang, dan tidak ada satupun
yang berkondisi kurang baik. Dari sisi fungsi dan akses wisata, masih terdapat 30
bangunan atau sekitar 76.92% yang masih kurang memiliki fungsi wisata dan
terdapat 31 bangunan atau sekitar 79.49% yang masih kurang memiliki akses untuk
kegiatan wisata. Namun demikian, peningkatan potensi bangunan terhadap aktifitas
64

wisata masih dapat dilakukan terhadap 7 bangunan atau sekitar 17.95% yang
memiliki fungsi sedang dan 5 bangunan atau sekitar 12.82% yang memiliki akses
sedang.
Bangunan cagar budaya Kelurahan Sempur, hadir berdasarkan konsep
perumahan garden city yang diinisiasi oleh perencana kota bernama Thomas Karsten
pada sekitar tahun 1930. Namun seperti kelurahan lain di Kota Bogor, Kelurahan
Sempur telah berkembang pesat dengan menutup eksistensi keberadaan bangunan
cagar budaya yang ada. Tema cagar budaya sudah sangat sulit untuk menjadi sesuatu
yang dapat diangkat menjadi tema keseluruhan kawasan di Kelurahan Sempur atau
dengan kata lain keberadaan bangunan cagar budaya di Kelurahan Sempur tidak
dapat muncul sebagai bagian utama atau yang mendominanasi tema kawasan.

Gambar 29. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan
Cagar Budaya di Kelurahan Sempur.

Perhatian dan upaya pelestarian terhadap bangunan cagar budaya tetap


dilakukan dan mensinergikan dengan potensi lain yang saat ini telah berkembang.
Potensi lain tersebut terkait dengan keberadaan RTH baik RTH Taman, RTH Taman
Lingkungan, dan RTH Taman Kota yang memiliki akumulasi proporsi luas mencapai
6.34% dari keseluruhan luas kelurahan. Ditandai dengan keberadaan Taman Kencana
dan Lapangan Sempur yang merupakan bagian dari cagar budaya, kemudian Taman
Ekspresi dan Taman Skate yang merupakan produk kekinian. Ruang publik bagi
keluarga dan sarana penuangan kreatifitas anak muda menjadi warna potensi
kawasan Kelurahan Sempur saat ini dan patut untuk dikembangkan ke depan.
65

Konsep kawasan wisata diperuntukkan utamanya bagi wisatawan lokal dengan


mendorong sektor ekonomi informal yang dikelola secara baik. Penambahan
teknologi informasi dengan penyediaan spot wifi gratis dapat dihadirkan sebagai nilai
lebih ruang publik yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Gambar 30. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur.

5.4.4. Kelurahan Babakan Pasar


Kelurahan Babakan Pasar memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup
tinggi diantara kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah. Dengan
jumlah penduduk mencapai 9,809 jiwa pada tahun 2014 dan luas wilayah 0.41 km2,
kepadatan penduduk Kelurahan Babakan Pasar mencapai 23,924 per km 2. Hal
tersebut menjadikan Kelurahan Babakan Pasar memiliki tingkat kepadatan penduduk
tertinggi ketiga diantara seluruh kelurahan yang ada di Kota Bogor setelah Kelurahan
Panaragan (27,304 km2) dan Kelurahan Kebon Kalapa (24,532 km2). Total
pergerakan orang di Kelurahan Babakan Pasar pada tahun 2011 telah mencapai
12,937 orang per hari dan diprediksikan mencapai 14,500 orang per hari pada tahun
2016 atau 5,292,412 orang per tahun. Kondisi-kondisi tersebut telah menjadikan
Kelurahan Babakan memiliki tingkat pertumbuhan wilayah pada Hirarki II dengan
indeks pertumbuhan wilayah sebesar 208.1 pada tahun 2014.

Tabel 33. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan Pasar berdasarkan


Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor
Tahun 2011-2031.
Luas
No Rencana Pola Ruang
km persegi persen
1 Sempadan Sungai 0.012733 3.843414007
2 Hutan Kota 0.000041 0.012375715
3 Sungai 0.014449 4.361382941
4 Perdagangan 0.153035 46.19310944
5 Rumah Sedang 0.000015 0.0045277
6 Rumah Tinggi 0.151021 45.58519019
Total 0.331294 100
66

Kelurahan Babakan Pasar memiliki 38 bangunan cagar budaya yang 84.2%


persen diantaranya berkondisi baik, 13.2% berkondisi sedang, dan 2.63% lainnya
berkondisi kurang baik. Dari sisi fungsi dan akses wisata, masih terdapat 19
bangunan atau sekitar 50% yang masih kurang memiliki fungsi wisata dan terdapat
18 bangunan atau sekitar 47.4% yang masih kurang memiliki akses untuk kegiatan
wisata. Namun demikian, peningkatan potensi bangunan terhadap aktifitas wisata
masih dapat dilakukan terhadap 18 bangunan atau sekitar 47.4% yang memiliki
fungsi sedang dan 18 bangunan atau sekitar 47.4% yang memiliki akses sedang.

Tabel 34. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya


di Kelurahan Babakan Pasar.
Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 32 84.2 1 2.63 2 5.26
Sedang 5 13.2 18 47.4 18 47.4
Kurang 1 2.63 19 50.0 18 47.4
Jumlah 38 100 38 100 38 100

Gambar 31. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan
Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar.
67

Kelurahan Babakan Pasar dan Pasar Bogor telah menjadi pusat aktifitas
ekonomi bahkan dari masa pemerintahan kolonial. Penamaan jalan yang awalnya
bernama Handelstraat yang berarti jalan perdagangan, kemudian berubah menjadi
Jalan Perniagaan pada masa kemerdekaan, dan akhirnya saat ini menjadi Jalan
Suryakencana, telah menjadi bagian yang sangat berpengaruh terhadap
perekonomian Kota Bogor. Keberadaan pasar dengan dampak positif dan negatif
terhadap kawasan, telah menjadi bagian yang sulit untuk dipisahkan. Permasalahan
yang identik dengan kawasan ini meliputi sampah, macet, dan tidak berfungsinya
sarana pedestrian. Di sisi lain Kelurahan Babakan Pasar tidak hanya meninggalkan
tinggalan cagar budaya berupa fisik seperti bangunan-bangunan yang masih ada,
namun juga masih menyisakan aktifitas budaya yang sampai saat ini masih terjaga.
Kawasan Pecinan Kota Bogor tetap menjadi tema kawasan cagar budaya di
Kelurahan Babakan Pasar. Selain menjadi pusat aktifitas keagamaan, Vihara
Dhanagun telah menjadi pusat aktifitas budaya etnis Thionghoa yang masih terjaga
dari masa ke masa. Selain itu Vihara Dhanagun dapat didorong menjadi pusat
informasi cagar budaya yang ada di Kelurahan Babakan. Cap Go Meh merupakan
sebuah produk budaya yang telah mampu menjaga dan melestarikan budaya dengan
mengkolaborasikan bentuk-bentuk budaya lintas etnis budaya dan lintas masa.
Perpaduan seni budaya tradisional dan modern, menjadikan Cap Go Meh menjadi
salah satu street festival terbesar di tingkat nasional. Pagelaran-pagelaran kecil selain
Cap Go Meh masih bisa dilakukan baik dalam jangka waktu dua atau empat bulan
sekali, sehingga semarak warna Pecinan dapat menyala sepanjang tahun.
Keberadaan Pulo Geulis sebagai sebuah kawasan yang mencakup dua RW di
Kelurahan Babakan Pasar, juga dapat menjadi daya tarik lain yang telah menjadi
bukti akulturasi yang terjadi sekian lama di Kota Bogor. Salah satu bangunan yang
ada di Pulo Geulis adalah Vihara Mahabrahma yang tidak hanya menjadi tempat
ibadah saja, namun menjadi sarana sosial bagi warga sekitar. Kelurahan Babakan
Pasar juga masih memiliki bangunan rumah tinggal khas yang bergaya etnis seperti
Rumah Luitenant Lie Beng Hok, dan bangunan rumah tinggal lain yang diantaranya
ada yang tidak terawat. Bangunan cagar budaya rumah tinggal yang mulai tidak
terawat, dapat dijadikan museum atau galeri produk budaya Thionghoa atau bahkan
homestay. Wisata kuliner khas dapat diadakan pada malam hari dengan
memanfaatkan beberapa ruas jalan yang ada.

Gambar 32. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar.


68

5.4.5. Kelurahan Pabaton


Kelurahan Pabaton merupakan kelurahan yang memiliki jumlah penduduk
terkecil dan terpadat diantara kelurahan prioritas lainnya. Dengan jumlah penduduk
mencapai 2,693 jiwa dan luas wilayah sebesar 0.63 km 2, Kelurahan Pabaton
memiliki kepadatan penduduk sebesar 4,275 per km 2 pada tahun 2014. Hal ini
mengakibatkan pergerakan orang di Kelurahan Pabaton berada di bawah empat
kelurahan prioritas lain yaitu sejumlah 3,888 orang per hari pada tahun 2011 dan
diprediksikan mencapai 4,361 orang per hari atau sekitar 1,591,822 orang per tahun
pada tahun 2016. Ketersediaan fasilitas dan jumlah penduduk mendorong Kelurahan
Pabaton memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi di Kota Bogor dan berada pada
Hirarki I dengan nilai indeks pertumbuhan wilayah sebesar 817,5 pada tahun 2014.
Dalam rencana pola ruang kawasan budidaya yang terdapat pada RTRW Kota
Bogor Tahun 2011-2031, wilayah Kelurahan Pabaton diarahkan untuk kawasan
perumahan kepadatan sedang dengan proporsi luas mencapai 38.1%, kawasan militer
dengan proporsi luas mencapai 21.8%, dan kawasan perdagangan dengan proporsi
luas mencapai 17.6% dari seluruh luas wilayah kelurahan. Hal tersebut seperti
ditunjukkan pada tabel berikut di bawah ini.

Tabel 35. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Pabaton berdasarkan Rencana Pola
Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031.
Luas
No Rencana Pola Ruang
km persegi persen
1 Sempadan Saluran 0.0008 0.12
2 Hutan Kota 0.0000 0.00
3 Militer 0.1387 21.8
4 Pemerintahan 0.0487 7.67
5 RTH Kebun Penelitian 0.0006 0.09
6 RTH 0.0092 1.45
7 Jasa 0.0578 9.09
8 Perdagangan 0.1120 17.6
9 Fasilitas Pendidikan 0.0254 4.00
10 Fasilitas Peribadatan 0.0000 0.01
11 Rumah Sedang 0.2421 38.1
Total 0.6353 100

Keberadaan kawasan militer dengan luas mencapai 0.14 km 2, menjadi ciri


khas Kelurahan Pabaton dibandingkan dengan kelurahan prioritas lain. Keberadaan
berbagai fasilitas militer tersebut tidak lepas dari keberadaan istana sebagai pusat
pemerintahan yang membutuhkan jaminan keamanan dalam berjalannya roda
pemerintahan. Kelurahan Pabaton memiliki 33 bangunan cagar budaya yang 90.9%
diantaranya berkondisi baik, 6.06% berkondisi sedang, dan 3.03% lainnya berkondisi
kurang baik. Walaupun terdapat 21 bangunan atau sekitar 63.6% bangunan yang
kurang memiliki fungsi wisata dan 20 bangunan atau sekitar 60.6% bangunan yang
kurang memiliki akses yang baik untuk aktifitas wisata, namun masih terdapat 33.3%
bangunan yang memiliki fungsi sedang dan 39.4% bangunan yang memiliki akses
sedang untuk aktifitas wisata. Upaya peningkatan dan penyesuaian bangunan yang
69

bernilai sedang terhadap aktifitas wisata, dapat menambah nilai potensi kawasan
sebagai kawasan wisata cagar budaya.

Tabel 36. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton.


Kondisi Fungsi Akses
Kriteria
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Baik 30 90.9 1 3.03 0 0.00
Sedang 2 6.06 11 33.3 13 39.4
Kurang 1 3.03 21 63.6 20 60.6
Jumlah 33 100 33 100 33 100

Gambar 33. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan
Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton.

Keberadaan fasilitas pemerintahan seperti Balaikota Bogor, Gedung


Karesidenan Bogor (BKPP Wilayah I), Dinas Pengawasan Bangunan dan
Pemukiman, dan fasilitas militer seperti Markas KODIM 0606, Monumen dan
Museum PETA, Pusdikzi, menjadikan kawasan cagar budaya Kelurahan Pabaton
kental dengan nuansa pusat pemerintahan dan militer jika dibandingkan dengan
kelurahan prioritas lainnya. Konsep umum aktifitas wisata yang dapat dilakukan
tidak berbeda jauh seperti pada Kelurahan Paledang. Tema besar kawasan wisata
cagar budaya yang dapat ditawarkan adalah dengan memadukan antara wisata
70

budaya, pendidikan bidang pemerintahan dan kemiliteran. Setiap bangunan cagar


budaya yang merupakan perkantoran atau fasilitas militer, dapat membuka
kunjungan diluar atau disesuaikan dengan jam kantor. Target wisatawan lebih
cenderung pada wisatawan lokal baik umum ataupun pelajar.

Gambar 34. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton.

5.5. Arah Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor

Dalam menentukan arah pengembangan yang diimplementasikan secara


teknis melalui program prioritas yang harus dilakukan, maka dibangun sebuah hirarki
tujuan dan variabel yang diidentifikasi melalui persepsi para tokoh kunci tentang
prioritas program pengembangan terkait pelestarian dan pengelolaan cagar budaya
melalui metode AHP (Analytic Hierarchy Process). Dari kerangka program yang
telah dibangun, terdapat empat program utama dalam pengembangan kawasan cagar
budaya menjadi wisata perkotaan yang meliputi:
1. Perlindungan Kawasan, terkait dengan kepastian dan perlindungan secara
hukum, melalui bentuk-bentuk upaya legal yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
2. Sarana Prasarana Pendukung, terkait dengan penyediaan infrastruktur yang
mendukung upaya pengembangan dan pemanfaatan kawasan cagar budaya
sehingga memiliki nilai tambah.
3. Pemberdayaan dan Penyadaran Masyarakat, terkait dengan upaya-upaya
yang dilakukan terhadap masyarakat lokal yang berada di kawasan cagar
budaya dan masyarakat pada umumnya.
4. Penguatan Citra Kawasan, terkait dengan upaya mengembalikan,
memperbaiki, menambah cagar budaya baik berupa fisik maupun non
fisik.
Prioritas pertama dari keempat program yang mendukung pengembangan
kawasan cagar budaya menjadi kawasan wisata perkotaan, adalah pemberdayaan dan
penyadaran terhadap masyarakat yang diikuti oleh program perlindungan terhadap
kawasan. Dua hal tersebut dinilai sangat penting dilakukan terlebih dahulu sehingga
program pengadaan sarana dan prasarana pendukung serta penguatan citra kawasan
dapat dilakukan setelahnya.
71

Gambar 35. Program Prioritas yang Mendukung Pengembangan


Kawasan Wisata Cagar Budaya.

Dalam aspek pemberdayan dan penyadaran masyarakat, terdapat tiga program


penting yang menjadi bagian di dalamnya. Ketiga program beserta penjelasan singkat
masing-masing program diuraikan sebagai berikut:
a. Kelembagaan
Pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya memerlukan keberpihakan dan
keterlibatan berbagai unsur, baik dari pemerintah maupun unsur lain yang ada
di masyarakat. Agar upaya tersebut dapat berjalan dengan baik, maka
diperlukan peran-peran antar para pihak yang terorganisir secara baik.
Adanya koordinasi harmonis antar lembaga, diharapkan dapat mendukung
pelestarian cagar budaya. Kelembagaan dapat berasal dari lingkungan
Pemerintahan Kota Bogor meliputi Dinas teknis di bawahnya seperti Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Bina Marga, serta Dinas Pengawasan
Bangunan dan Permukiman. Kelembagaan lain dapat juga dari instansi
vertikal, institusi pendidikan, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Namun salah satu bagian terpenting adalah mendorong mulculnya
kelembagaan lokal yang aktif dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan.
Munculnya inisiatif-inisiatif lokal sebagai bagian terdekat dari sebuah
kawasan cagar budaya menjadikan upaya pelestarian dan pemanfaatan dapat
lebih efektif.
b. Partisipasi Masyarakat
Partispasi masyarakat merupakan modal dan kunci keberhasilan
pembangunan baik dari sisi perencanaan, pengawasan maupun pelaksanaan.
Hal tersebut termasuk dalam proses pelestarian dan pengembangan sebuah
kawasan cagar budaya. Masyarakat menjadi merasa memiliki atas rencana
yang disusun bersama, kemudian lebih diberdayakan dengan menerima
tanggung jawab yang makin bertambah atas pengembangan dan pelaksanaan
rencana. Pembuat keputusan terpusat pada masyarakat, dimana masyarakat
mengembangkan rencana tindakan dan mengelola kegiatan mereka berdasar
prioritas dan gagasan mereka sendiri. Bentuk partisipasi untuk pelestarian
bangunan cagar budaya melibatkan juga pemilik atau pengelola bangunan
cagar budaya dengan pihak lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan
pemilik bangunan dalam usaha pelestarian bangunan cagar budaya. Bentuk
72

partisipasi yang diterapkan untuk pelestarian bangunan cagar budaya antara


lain (Titik et al., 2011) berbagi informasi, konsultasi, kolaborasi dan
pemberdayaan.
c. Kampanye
Upaya pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya termasuk mendorong
kawasan cagar budaya menjadi salah satu potensi wisata kota membutuhkan
gerakan massal yang tidak hanya dilakukan dan dipahami sebagian orang
saja. Di tengah massive nya perubahan kota, jika perhatian yang diberikan
hanya sedikit dan oleh sebagian orang saja, maka bukan tidak mungkin
keberadaan cagar budaya dapat hilang begitu saja. Oleh karena itu dibutuhkan
tidak hanya sekedar publikasi namun juga upaya mempengaruhi, gerakan
penyadaran, pemberian pemahaman, mendorong perhatian, dan pencapaian
dukungan terhadap upaya pelestarian cagar budaya sehingga pemanfaatannya
termasuk menjadikannya sebagai potensi wisata perkotaan dapat dilakukan
secara optimal. Hal tersebut dapat dilakukan melalui media, kegiatan-kegiatan
pendidikan, workshop, pameran dan sebagainya, dari mulai sasaran
terspesifik seperti pelajar sampai umum.
Prioritas pertama dalam mendukung pemberdayaan dan penyadaran
masyarakat, adalah pembentukan dan penguatan kelembagaan yang terkait dengan
pengelolaan dan pelestarian kawasan cagar budaya di Kota Bogor. Setelah itu
program yang dilakukan selanjutnya adalah mendorong partisipasi masyarakat secara
umum dan upaya kampanye tentang pentingnya pelestarian dan pengelolaan kawasan
cagar budaya.

Gambar 36. Prioritas dalam Pemberdayaan Gambar 37. Prioritas dalam Perlindungan
dan Penyadaran Masyarakat Kawasan

Dalam aspek perlindungan kawasan, terdapat tiga program penting yang


menjadi bagian di dalamnya. Ketiga program beserta penjelasan singkat masing-
masing program diuraikan sebagai berikut:
a. Payung Hukum
Keberadaan Cagar Budaya telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan didukung dasar hukum lain seperti
yang termuat juga pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Namun dalam implementasi di daerah seperti di Kota Bogor, undang-
undang tersebut perlu didampingi oleh peraturan daerah sehingga upaya
pelestarian dapat berlangsung secara lebih operasional. Selain keberadaan
peraturan daerah perlu didukung pula dalam dokumen lain salah satunya yang
terkait dengan ruang dan kawasan adalah dokumen Rencana Tata Ruang
73

Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Pendekatan


kawasan yang dinilai dapat melindungi keberadaan cagar budaya yang ada di
dalamnya, memerlukan juga zonasi kawasan dimana penetapan batas kawasan
disertai aturan yang mengikat pada kawasan tersebut dapat menjamin
keberlangsungan upaya pelestarian.
b. Masterplan
Berbagai upaya terkait pelestarian dan pemanfaatan di lingkungan Kota
Bogor akan bergantung pula salah satunya pada proses perencanaan yang
menyeluruh (komprehensif) dan terpadu (integratif) yang kemudian dapat
diimplementasikan pada program pembangunan daerah. Program-program
pembangunan yang diarahkan pada upaya pelestarian dan pemanfaatan ini lah
yang harus dipastikan dapat menjamin segala kebutuhan dalam upaya
pelestarian dan pemanfaatan kawasan cagar budaya pada masa-masa yang
akan datang. Hal lain adalah bahwasanya pengembangan sebuah kawasan
memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga perlu koridor
pengembangan yang bertahap dan berkesinambungan, sehingga perlu sebuah
panduan dengan target-target yang perlu dicapai.
c. Dokumentasi
Pentingnya kegiatan pendokumentasian cagar budaya pada umumnya
didasarkan atas hakikat data arkeologi, selain itu juga dikarenakan keberadaan
cagar budaya yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya. Keterbatasan
dari data itu menuntut upaya dokumentasi apapun bentuk, ukuran, dan
kondisinya. Pendokumentasian merupakan upaya pencatatan dan perekaman
dalam rangka pelestarian cagar budaya pada saat ditemukan atau pada saat
didokumentasikan. Dalam kegiatan pendokumentasian cagar budaya tercakup
dokumentasi secara verbal (deskripsi/narasi) dan dokumentasi secara piktorial
(gambar, foto, dan video) pada semua jenis objek cagar budaya baik berupa
benda, bangunan, struktur, situs, maupun kawasan.
Prioritas pertama dalam perlindungan terhadap kawasan cagar budaya adalah
dengan mendorong adanya payung hukum terhadap keberadaan kawasan cagar
budaya pada saat ini dan di masa yang akan datang. Untuk mendukung upaya
tersebut pula, maka program yang dilalukan selanjutnya adalah dokumentasi segala
bentuk cagar budaya yang saat ini masih ada di Kota Bogor. Setelah itu maka
pembuatan masterplan dilakukan dalam menjamin program-program terkait
pelestarian dan pengelolaan kawasan cagar budaya di Kota Bogor dapat berjalan.
Dalam aspek sarana dan prasarana pendukung, terdapat tiga program penting
yang menjadi bagian di dalamnya. Ketiga program beserta penjelasan singkat
masing-masing program diuraikan sebagai berikut:
a. Jalan dan sarana pedestrian
Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor berada di pusat kota dimana tingginya
segala aktifitas yang menumpuk pada suatu kawasan yang sama. Hal tersebut
menimbulkan beberapa dampak seperti kemacetan dan hilangnya fungsi
sarana pedestrian. Melakukan upaya pengaturan/penataan, peningkatan, dan
perbaikan akses jalan dari dan menuju kawasan cagar budaya menjadi
kebutuhan dalam meningkatkan kemudahan dan kenyamanan bagi banyak
orang untuk berkunjung. Peningkatan, pemeliharaan, dan penertiban sarana
pedestrian dapat menjadi daya tarik tambahan untuk menikmati suasana
kawasan.
74

b. Fasilitas Ekonomi
Fasilitas ekonomi dan kawasan cagar budaya memiliki hubungan yang saling
terkait satu sama lain. Fasilitas ekonomi seperti pasar tradisional, toko,
supermarket, rumah makan dan bank, selain dapat menjadi salah satu tujuan
wisata, dapat juga menjadi pelengkap aktifitas wisata di suatu kawasan.
Kebutuhan wisatawan melakukan aktifitas belanja dalam berwisata telah
menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Walaupun rata-rata kawasan cagar
budaya Kota Bogor berada di pusat kota dengan berbagai fasilitas ekonomi
yang tersedia, namun fasilitas ekonomi yang ideal tentunya adalah fasilitas
mendukung tema kawasan yang akan dikembangkan.
c. Fasilitas Wisata
Kawasan cagar budaya Kota Bogor saat ini belum memiliki citra sebagai
sebuah kawasan wisata, termasuk dalam hal memberikan pelayanan dan
segala kebutuhan wisatawan. Sebuah kawasan cagar budaya yang akan
dikembangkan sebagai kawasan wisata setidaknya harus memiliki fasilitas
seperti media petunjuk wisata, pusat informasi, gedung pertunjukkan, dan
penginapan. Hal tersebut menjadi bagian yang penting dalam
mengembangkan sebuah kawasan wisata dan menata kawasan secara terpadu.
Sedangkan alam aspek penguatan citra kawasan, terdapat dua program
penting yang menjadi bagian di dalamnya. Kedua program beserta penjelasan singkat
masing-masing program diuraikan sebagai berikut:
a. Revitalisasi Budaya
Cagar budaya selain dapat berupa fisik (tangible) juga dapat berupa non fisik
(intangible) yang memiliki kesamaan nilai penting dalam pelestarian dan
pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya non fisik tersebut meliputi tradisi,
cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu,
drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat
setempat. Hal tersebut selain merupakan aset juga dapat menjadi daya tarik
yang dapat memperkuat citra kawasan cagar budaya. Bentuk revitalisasi
budaya dapat diupayakan dengan menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi
positif yang pernah berkembang dan menjadi keseharian masyarakat. Salah
satunya dengan meningkatkan kegiatan social dan ekonomi lingkungan
bersejarah, yang sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya. Dalam kepentingan
promosi budaya dan meningkatkan potensi wisata revitalisasi dapat
diupayakan juga dengan mengemas pertunjukkan budaya dalam bentuk
festival. Kemasan dapat didorong kembangkan menjadi festival berskala kota,
nasional bahkan internasional.
b. Pemeliharaan Bangunan dan Kawasan
Bangunan cagar budaya banyak mengalami ancaman dari tingginya frekuensi
aktifitas dan kebutuhan perkotaan sehingga rentan mengalami kerusakan, alih
bentuk dan fungsi, serta menurunnya nilai historis dan manfaat yang bisa
dikembangkan. Hal tersebut dapat mengurangi daya tarik khususnya pada
sebuah kawasan cagar budaya yang akan dikembangkan menjadi kawasan
wisata. Oleh karena itu dibutuhkan pemeliharaan dengan intensitas dan
perlakuan tertentu tergantung sejauh mana bangunan tersebut mengalami
penurunan kualitas. Kegiatan pemeliharaan suatu tempat atau bangunan guna
mempertahankan nilai kulturnya antara lain meliputi: Restorasi, yaitu upaya
mengembalikan kondisi fisik seperti semula sesuai aslinya; Restorasi,
75

merupakan bentuk pelestarian yang paling konservatif; Rehabilitasi,


mengembalikan kondisi bangunan yang rusak/menurun sehingga berfungsi
lagi seperti semula; Renovasi, merubah sebagian atau seluruh interior
bangunan sehubungan dengan perlunya adaptasi bangunan terhadap fungsi
baru; Rekonstruksi, upaya mengembalikan/membangun kembali penampilan
orisinil suatu kawasan/bangunan sesuai informasi kesejarahan dapat
digunakan bahan baru/lama; Adaptasi,yaitu segala upaya dalam mengubah
suatu tempat agar dapat digunakan untuk fungsi baru yang sesuai.
Prioritas pertama dalam mendukung sarana dan prasarana pendukung, adalah
pembangunan dan peningkatan jalan dan sarana pedestrian yang utamanya berada di
kawasan cagar budaya di Kota Bogor. Berturut-turut selanjutnya diikuti oleh program
pembangunan dan peningkatan fasilitas ekonomi dan fasilitas wisata. Sedangkan
untuk prioritas pertama dalam mendukung penguatan citra kawasan yaitu revitalisasi
budaya yang kemudian diikuti oleh pemeliharaan bangunan dan kawasan.

Gambar 38. Grafik Prioritas dalam Sarana Gambar 39. Grafik Prioritas Penguatan
dan Prasarana Pendukung Citra Kawasan

Gambar 40. Kerangka Prioritas Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor.
76

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, diperoleh


simpulan sebagai berikut:
1. Keberadaan bangunan cagar budaya bersamaan ruang dengan pusat kota yang
memiliki aktifitas dan frekuensi perubahan lahan yang cukup tinggi. Hal ini
menjadikan keberadaan bangunan cagar budaya sangat rentan, sehingga
perhatian terhadap keberadaan dan pelestarian perlu ditingkatkan baik melalui
pendekatan pengaturan ruang maupun pengendalian program pembangunan.
2. Bangunan cagar budaya yang ada masih memiliki fungsi dan akses yang rendah
terhadap kegiatan wisata perkotaan. Sehingga perlu mendorong program
pembangunan fisik yang tidak hanya berorientasi pada kebutuhan dasar, namun
juga pada hadirnya penunjang aktifitas wisata.
3. Pengembangan kawasan cagar budaya menjadi kawasan wisata perkotaan dapat
dilakukan pada lima kelurahan prioritas yang meliputi Kelurahan Babakan,
Kelurahan Paledang, Kelurahan Sempur, Kelurahan Babakan Pasar, dan
Kelurahan Pabaton. Kelima kelurahan tersebut memiliki karakter yang dapat
menjadi pembeda satu sama lain, sehingga perlu mengangkat tema dan
mendorong daya tarik untuk masing-masing kawasan wisata cagar budaya.
4. Program prioritas pertama dalam mendukung pengembangan kawasan cagar
budaya menjadi kawasan wisata perkotaan adalah dengan melakukan
pemberdayaan dan penyadaran terhadap masyarakat. Hal tersebut menjadikan
keberadaan dan pelibatan komunitas lokal yang sudah ada di masing-masing
kelurahan menjadi hal yang penting juga untuk dilakukan.
5. Diantara semua bangunan cagar budaya di Kota Bogor, jenis bangunan yang
paling banyak merupakan bangunan perumahan dengan jumlah 334 bangunan
atau sekitar 67.75% dari semua bangunan cagar budaya yang ada. Hal ini
mendorong perlunya pelibatan pemilik bangunan dalam penyusunan rencana
program dan pemberian insentif disinsentif bagi pemilik bangunan dalam
mendukung hadirnya sebuah kawasan wisata cagar budaya.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, diperoleh


saran sebagai berikut:
1. Persepsi terkait program pengembangan kawasan cagar budaya menjadi potensi
wisata dalam penelitian ini masih menurut pendapat para ahli, namun perlu juga
persepsi masyarakat atau komunitas yang berada disekitar kawasan cagar budaya
sehingga kebermanfaatan program bagi masyarakat dapat lebih realistis.
2. Walaupun sangat penting namun isu cagar budaya menjadi isu yang tidak
popular di masyarakat umum dan seringkali juga dalam konteks pembangunan.
Namun dalam level perencana dan pemegang keputusan pada proses
pengembangan wilayah yang mengedepankan skema keberlanjutan dan jangka
panjang, cagar budaya menjadi investasi yang bernilai bagi kota dari segala
aspek baik ekonomi, sosial dan lingkungan.
77

DAFTAR PUSTAKA

Alfita, R. 2012. Decision Support System of Reserve Building Cultural


Revitalization Determination Using Simple Multiattribute Rating
Technique Exploiting Rank Method. Fakultas Teknik Universitas
Trunojoyo.
Ashworth, G.J. 1993. ‘Culture and tourism, conflict or symbiosis in Europe?’,
in W. Pompl and P. Lavery (eds) Tourism in Europe, London: Mansell.
13–35
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2014. Kota Bogor
Dalam Angka 2013. Pemerintah Daerah Kota Bogor.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2014. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bogor 2015-2019.
Pemerintah Daerah Kota Bogor.
Bourdieu, P., 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.
Routledge, London.
Capello, R. 2001. Urban growth in Italy: economic determinants and socio-
environmental consequence. Report 10: CERUM.
Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor Jilid I. Pemerintah Daerah Kotamadya
DT II Bogor.
Keiner, M. 2005. History, definition(s) and models of sustainable development.
ETH e-Collection. Diambil dari
http://ecollection.ethbib.ethz.ch/cgibin/show.pl?type= bericht&nr=416
Martokusumo, W. 2002. Urban Heritage Conservation in Indonesia -
Experiences from the inner city of Bandung and Jakarta Kota.Centre for
Urban Design Studies. Department of Architecture, Institut Teknologi
Bandung, Indonesia.
Mulyadi, Y. 2012. Mengoptimalkan Zonasi Sebagai Upaya Pelestarian Cagar
Budaya. Buletin Somba Opu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Makassar. 15 (19) ISSN 1411-2930.
Mulyana, B. 2012. Pengembangan Kota Bogor Sebagai Destinasi Pariwisata
Internasional. Jurnal Ilmiah Pariwisata Universitas Udayana. 2 (1) 109-
222.
Myriam Jansen-Verbeke, MJ,. Lievois, E. 1999. Analysing Heritage Resources
for Urban Tourism in European Cities, Contemporary Issues in Tourism
Development. Taylor & Francis or Routledge’s.
ODPM, 2004. Government Response to ODPM Housing, Planning Local
Government and the Regions Committee Report on the Role of Historic
Buildings in Urban Regeneration. ODPM, Cm 6420, HMSO.
P3KP, Tim. 2013. Laporan Penyusunan Program Penataan dan Pelestarian
Kota Pusaka Kota Bogor. Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota
78

Bogor.
Ramadhani, A. 2012. Komposisi Insentif Bagi Rumah Tinggal di Situs Cagar
Budaya Darmo Surabaya Berdasarkan Preferensi Pemilik Lahan. Institut
Teknologi Surabaya.
Richards, G. 1996. Production and consumption of cultural tourism in Europe.
Annuals of Tourism Research.
Eversole, R. 2006. Heritage and Regional Development: A Process – and
Outcomes Typology. Institute for Regional Development, University of
Tasmania.
Rui, Li. 2008. Urban Heritage Conservation by GIS under Urban Renewal: A
case Study of Hankou Historical Distric in Wuhan, China. 44th ISOCARP
Congress.
Serageldin, I. 1997. The Architecture of Empowerment. Singapore Academy
Editions an imprint of Academy Group Ltd.
Shirvani, H. 1985. The Urban Design Process. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Timothy, D.J. 2007. The Heritage Tourist Experience, Critical Essays.
Aldershot, UK: Ashgate.
Titik, Y., Dewi, T. N., & Susanti, T. 2011. Model Pengelolaan Bangunan Cagar
Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian
Warisan Budaya. Seri Kajian Ilmiah. 14 (11) 52-73.
Tweed, C., Sutherland, M. 2007. Built cultural heritage and sustainable urban
development. Landscape and Urban Planning, vol. 83 (1) 62‐69.
United Nations Industrial Development Organisation (UNIDO). 2005. The
Three Dimensions: Defining Sustainable Development. Diambil dari
http://www.unido.org/en/doc/ 3563.
Van den Borg, J., Costa, P., and Gotti, G. 1996. Tourism in European heritage
cities. Annals of Tourism Research 23 (2) 306–21.
Vaz, Cabral, Caetano, Nijkamp, Painho. 2011. Urban heritage endangerment
at the interface of future cities and past heritage: A spatial vulnerability
assessment. Habitat International.
Zhang, Y. 2011. Boundaries of power: politics of urban preservation in two
Chicago neighborhoods. Urban Affairs Review.
79

LAMPIRAN
80

KUESIONER AHP
Kuisioner AHP dalam rangka penelitian dengan judul “Analisa Benda Cagar Budaya
sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan di Kota Bogor”. Kuisioner ini dibangun
untuk mengidentifikasi persepsi tentang pilihan program pengembangan menurut
persepsi tokoh kunci yang terkait.

PENGANTAR MATERI KUISIONER

Kuisioner ini merupakan alat yang digunakan untuk salah satu metode dari empat
metode analisis yang digunakan dalam kajian analisis kawasan cagar budaya sebagai
potensi wisata perkotaan Kota Bogor. Kuisioner yang berhasil dikumpulkan akan
digunakan untuk membangun metode AHP dimana persepsi para tokoh kunci akan
menentukan pilihan prioritas dalam pengembangan kawasan cagar budaya untuk
menjadi wisata perkotaan Kota Bogor. Sebagai catatan, metode lain yang digunakan
adalah Analisis Cluster yang bertujuan untuk mengetahui kawasan-kawasan yang
terbentuk dari sebaran bangunan cagar budaya yang ada di Kota Bogor, Analisis
SMARTER untuk mengetahui potensi wisata yang ada di masing-masing kawasan,
dan Analisis Skalogram untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari fasilitas yang
dimiliki masing-masing kawasan.
Dalam metode AHP ini telah dibangun kerangka hirarki dari tujuan dan variabel
yang ditunjukkan pada gambar dan uraian berikut:

Gambar Kerangka Hirarki pengembangan Kawasan Cagar Budaya sebagai Potensi Wisata Perkotaan Kota Bogor

PETUNJUK PENGISIAN

Responden dimohon untuk memberikan bobot berdasarkan variabel yang dinilai


berapa kali lebih penting dari variabel lainnya secara berpasangan. Bobot tersebut
diberi nilai 1 sampai 9 dengan keterangan masing-masing bobot sebagai berikut:
81

Tabel Keterangan Bobot


BOBOT ARTI KETERANGAN
1 = Sama penting Kedua pilihan berkontribusi sama penting terhadap
tujuan
3 = Sedikit lebih penting Salah satu pilihan sedikit lebih diminati
dibandingkan pilihan lainnya
5 = Agak lebih penting Salah satu pilihan lebih diminati dibandingkan
pilihan lainnya
7 = Jauh lebih penting Sangat nyata lebih penting dan terbukti dari
beberapa fakta sangat lebih penting dibandingkan
pilihan lainnya
9 = Mutlak lebih penting Jelas dan sangat meyakinkan jauh lebih penting
dibandingkan dengan pilihan lainnya
2,4,6,8 = Nilai antara angka ganjil di atas Dipilih jika perlu kompromi antara 2 pilihan yang
dibandingkan

Berikut contoh pengisian tabel dengan bobot yang diberikan pada pilihan variable
yang berpasangan:

FAKTOR A B C

A 1 3 1/5
B 1/3 1 9
C 5 1/9 1

Tabel di atas menyatakan bahwa Faktor A dianggap sedikit lebih penting (3)
daripada faktor B. Demikian pula Faktor B dianggap mutlak lebih penting (9)
daripada faktor C. Namun Faktor C dianggap agak lebih penting (5) daripada faktor
A.
IDENTITAS SUMBER INFORMASI

Nama : ..........................................................................................................
Usia : ..........................................................................................................
Instansi : Pemerintah/Dunia Usaha/Masyarakat*
Jabatan : ..........................................................................................................
Pendidikan : ..........................................................................................................
Terakhir
Bidang Keahlian : ..........................................................................................................
82

FORM ISIAN

1. Dalam upaya pengembangan kawasan cagar budaya menjadi wisata perkotaan


Kota Bogor, terdapat empat aspek yang dianggap dapat menentukan
keberhasilan. Keempat faktor tersebut (mempunyai kedudukan setara) adalah:
a. Perlindungan Kawasan
b. Sarana dan Prasarana Pendukung
c. Pemberdayaan dan Penyadaran Masyarakat
d. Penguatan Citra Kawasan
Jika bobot penting dan tidaknya suatu aspek diberi skor/nilai 1-9, menurut
Bapak/Ibu berapa kali lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan yang
lain?

Sarana dan Pemberdayaan Penguatan


Perlindungan
FAKTOR Prasarana dan Penyadaran Citra
Kawasan
Pendukung Masyarakat Kawasan
Perlindungan 1
Kawasan
Sarana dan Prasarana 1
Pendukung
Pemberdayaan dan 1
Penyadaran
Masyarakat
Penguatan Citra 1
Kawasan

2. Dalam aspek perlindungan kawasan, terdapat tiga kriteria penting yang menjadi
bagian di dalamnya. Ketiga kriteria tersebut meliputi:
d. Payung Hukum
e. Masterplan
f. Dokumentasi
Jika bobot penting dan tidaknya suatu aspek diberi skor/nilai 1-9, menurut
Bapak/Ibu berapa kali lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan yang
lain?

FAKTOR Payung Hukum Masterplan Dokumentasi

Payung Hukum 1
Masterplan 1
Dokumentasi 1
83

3. Dalam aspek sarana dan prasarana pendukung, terdapat tiga kriteria penting yang
menjadi bagian di dalamnya. Ketiga kriteria tersebut meliputi:
d. Jalan dan sarana pedestrian
e. Fasilitas Ekonomi
f. Fasilitas Wisata
Jika bobot penting dan tidaknya suatu aspek diberi skor/nilai 1-9, menurut
Bapak/Ibu berapa kali lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan yang
lain?

Jalan dan sarana


FAKTOR Fasilitas Ekonomi Fasilitas Wisata
pedestrian
Jalan dan sarana 1
pedestrian
Fasilitas Ekonomi 1
Fasilitas Wisata 1

4. Dalam aspek pemberdayan dan penyadaran masyarakat, terdapat tiga kriteria


penting yang menjadi bagian di dalamnya. Ketiga kriteria tersebut meliputi:
d. Kelembagaan
e. Partisipasi Masyarakat
f. Kampanye
Jika bobot penting dan tidaknya suatu aspek diberi skor/nilai 1-9, menurut
Bapak/Ibu berapa kali lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan yang
lain?

Partisipasi
FAKTOR Kelembagaan Kampanye
Masyarakat

Kelembagaan 1
Partisipasi Masyarakat 1
Kampanye 1

5. Dalam aspek penguatan citra kawasan, terdapat dua kriteria penting yang menjadi
bagian di dalamnya. Kedua kriteria tersebut meliputi:
c. Revitalisasi Budaya
d. Pemeliharaan Bangunan dan Kawasan
84

Jika bobot penting dan tidaknya suatu aspek diberi skor/nilai 1-9, menurut
Bapak/Ibu berapa kali lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan yang
lain?

Pemeliharaan Bangunan
FAKTOR Revitalisasi Budaya
dan Kawasan

Revitalisasi Budaya 1

Pemeliharaan Bangunan dan 1


Kawasan
85

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 08 Januari 1982 dari Bapak Maman
Pudjaswara dan Ibu Komariah sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis saat
ini bertempat tinggal di Kota Bogor.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah tingkat
pertama di Kota Bogor, Jawa Barat. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 7
Bogor dan kemudian melajutkan ke Universitas Ibn. Khaldun Bogor. Penulis
diterima di jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik dan menyelesaikan studi pada
jenjang sarjana pada tahun 2005. Setelah lulus sarjana penulis berkesempatan bekerja
sebagai asisten tenaga ahli bidang perencanaan dan pemberdayaan masyarakat di
Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W), LPPM-IPB. Pada
tahun 2012, penulis melanjutkan studi pendidikan magister di Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah (PWL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
menggunakan biaya sendiri.
Bagian dari Tesis ini akan di submit pada Tataloka, Jurnal Ilmiah Bidang
Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, pada publikasi Volume 18
N0. 2 tahun 2016, dengan judul “Analisis Benda Cagar Budaya sebagai Potensi
Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor”.

Anda mungkin juga menyukai