Anda di halaman 1dari 18

A.

Concept Of Diseases
1. Anatomy And Fisiology
Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan
dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur bersendi
dengan acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah dengan tibia
dan patella untuk membentuk articulatio genus. Ujung atas femur memiliki caput,
collum, trochanter major, dan trochanter minor.
Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os
coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang
berguna sebagai tempat melekatnya ligamentun capitis femoris. Sebagian suplai darah
untuk caput femoris dari arteri obturatoriadihantarkan melalui ligamentum ini dan
memasuki tulang melalui fovea capitis.
Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah, belakang,
dan lateral serta membentuk sudut 125° dan lebuh kecil pada perempuan dengan
sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah karena adanya
penyakit.
Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut antara
collum dan corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter ini di
bagian anterior, tempat melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian posterior
oleh crista intertrochanterica yang menonjol, pada crista ini terdapat tuberculum
quadratum.
Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan
permukaan posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini
melekat otot-otot dan septa intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan ke
bawah. Tepi medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris medialis yang
menuju ke tuberculum adductorum pada condylus medial. Tepi lateral melanjutkan
diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior
corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea sebagai tempat
melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah ujung distalnya dan
membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya yang disebut facies
poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condyli medialis dan lateralis yang bagian
posteriornya dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus
ikut serta dalam pembentukan articulatio genus. Diatas condyli terdapat epicondylus
lateralis dan medialis. Tuberkulum adductorum dilanjytkan oleh epicondylus
medialis.
Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus iliacus,
musculus psoas, musculus pectineus dan musculus cuadriceps femoris. Dipersarafi
oleh nervus femoralis ruang anterior facia tungkai atas dialiri pembuluh darah arteri
femoralis. Ruang fascia medial tungkai atas diisi oleh musculus gracilis, musculus
adductor longus, musculus adductor magnus, musculus obturatorius externus dengan
dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang fascial medial diperdarahi oleh arteri
profunda femoris dan arteri obturatoria. Ruang fascia posterior tungkai atas diisi oleh
musculus biceps femoris, msculus semitendinosus, musculus semimembranosus, dan
sebagian kecil musculus adductor magnus (otot-otot hamstring)/ dipersarafi oleh
nervus ischiadicus ruang fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-cabang
arteri profunda femoris.
2. Definition Of Diseases
Salah satu kejadian fraktur ekstremitas bawah adalah fraktur tulang intercondylar
femur. Fraktur tulang intercondylar femur ini adalah hilangnya kontinuitas tulang
intercondylar pada femur. Tulang intercondylar femur merupakan lekukan dalam
yang terletak di antara permukaan belakang epicondylus lateral dan epicondylus
medial dari femur (Snell, 2007).
 Klasifikasi
Fraktur dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai klasifikasinya.
Berdasarkan ada tidaknya hubungan fraktur dengan dunia luar dibagi menjadi 2,
fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup adalah patahnya tulang yang
tidak menyebabkan robekan pada kulit, sedangkan fraktur terbuka menyebabkan
fragmen tulang merobek kulit dan jenis ini memiliki factor infeksi yang cukup
tinggi. Menurut Sjamsuhidajat, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat sesuai
derajat lukanya (Sjamsuhidajat, 2010).

Fraktur juga dibagi berdasarkan garis frakturnya yaitu fraktur komplet,


inkomplet, transversal, oblik, spiral, kompresi, simple, kominutif, segmental,
kupu-kupu, dan impaksi (Sjamsuhidajat, 2010).
Fraktur suprakondiler femur terletak disekitar daerah metafisi femur distal
dan proximal condylus femur (wilayah yang meliputi 9-15cm distal femur).
Terdapat beberapa sistem klasifikasi pada fraktur suprakondiler ini seperti
klasifikasi Neer yang mengklasifikasikan fraktur suprakondiler berdasarkan
derajat & arah pergeseran condylus dan klasifikasi Seinsheimer yang
mengklasifikasikan fraktur suprakondiler femur berdasarkan gangguan pada
artikular, namun sistem klasifikasi yang aling sering digunakan yaitu sistem
lasifikasi AO/OTA. Sistem klasifikasi ini mencakup tiga kelompok besar yaitu :
type A (ekstra artikular, gambar 2.2), type B (atikular parsial/unicondylar, gambar
2.3) dan type C (artikular lengkap/bicondylar, gambar 2.3) (Sheth & Lonner,
2009).

3. Etiology
Penyebab paling umum dari fraktur ini adalah kecelakaan lalulintas. Hal ini
terjadi karena meningkatnya jumlah kendaraan dan kurang tertibnya pengguna
lalulintas. Selain itu fraktur ini juga dapat diakibatkan oleh jatuh dari ketinggian dan
akibat luka tembak (Gupta, Rani, & Kumar, 2016).
Penyebab fraktur juga terbagi menjadi beberapa yaitu:
1) Fraktur traumatik, cedera ini merupakan cedera traumatik pada tulang yang
dapat sibebakan oleh :
2) Cedera langsung merupakan trauma langsung yang dialami oleh tulang
contohnya seperti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah.Pada
cedera tulang ini dapat menyeabkan terjadinya open fraktur.
3) Cedera tidak langsung merupakan trauma yang terjadi jauh dari daerah fraktur
namun menyebabkan tulang tersebut patah, contohnya jatuh dari ketinggian.
4) Cedera yang diakibatkan oleh kontraksi yang berlebihan atau kontraksi yang
keras dari otot yang kuat.

Fraktur patologik, cedera ini disebabkan adanya gangguan pada tulang berupa
penyakit yang mana apabila terjadi sedikit trauma dapat menyebabkan fraktur.
Adapun beberapa penyakit tulang sebaga berikut :

1) Tumor tulang (jinak atau ganas), adanya pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan bersifat progresif.
2) Infeksi tulang (osteomielitis), adanya infeksi yang menyerang tulang dan
menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
3) Rakhitis, hal ini terjadi akibat defisiensi vitamin D yang biasanya terjadi
akibat kegagalan absorbsi vitamin D atau terjadi juga akibat kurangnya
asupan kalsium atau fosfat dalam tubuh.
4) Fraktur spontan yang disebaban oleh stres tulang yang berlangsung terus
menerus, contohnya pada kasus polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
4. Clinical Menifestations
Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur (Brunner & Suddarth, 2002 : 2359)
adalah sebagai berikut :
a) Nyeri
b) Deformitas akibat kehilangan kelurusan (alignment) yang dialami.
c) Pembengkakan akibat vasodilatasi dalam infiltrasi leukosit serta selselmast.
d) Saat ekstremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. tanda ini terjadi setelah beberapa
jam atau beberapa hari.
f) Krepitasi.
g) Spasme otot.
5. Patway/Pathophysiology
Saat terjadi fraktur yang diakibatkan oleh jatuh dari ketinggian, terjadi
pembebanan yang berlebih pada tulang femur sehingga tulang tidak mampu menahan
beban dan terjadilah fraktur. Patahnya fragmen tulang ini menyebabkan robeknya
pembuluh darah pada tulang dan jaringan lunak disekitarnya sehingga terjadinya
hematoma (Nasar, Marwoto, Himawan, 2010).
Nyeri timbul beriringan dengan rusaknya jaringan sekitar fragmen tulang dan
adanya proses hematoma. Kondisi ini akan menyebabkan pasien atau penderita
membatasi pergerakannya bahkan enggan untuk bergerak karena khawatirakan rasa
nyeri yang timbul (Bhandari, M. 2012). Tidak terjadinya gerakan berarti tidak adanya
aktifitas dari otot yang dapat mengurangi kekuatan otot.
Menurut Kisner, saat terjadi gangguan pada jaringan lunak baik akibat cedera
mekanis (termasuk pasca operasi) maupun iritasi kimia, memiliki respon sel dan
vaskuler yang sama. Kisner membagi respon tersebut menjadi tiga tahap, yaitu :
1. Acute stage
Tahap ini biasanya terjadi 4-6 hari. Pada tahap ini terjadi bengkak,
nyeri saat istirahat dan kehilangan fungsi. Nyeri yang timbul diakibatkan
oleh teriritasinya saraf oleh cairan kimia lokal didaerah cedera (oedem).
Saat adanya gerakan, nyeri akan timbul dan menyebabkan pasien
cenderung menahan atau membatasi gerakan. Apabila hal ini terjadi
secara terus menerus dalam waktu yang lama akan megakibatkan
perunan aktifitas otot dan kekakuan sendi.
2. Subacute stage
Pada tahap ini sudah terjadi penurunan nyeri progresif. Nyeri saat
adanya gerakan sudah berkurang atau nyeri timbul saat adanya gerakan
maksimal. Pada tahap ini terjadi kelemahan otot akibat dari tahap
sebelumnya dan mengakibatkan keterbatasan fungsional. Tahap ini
biasanya berlangsung selama 10-17 hari.
3. Chronic stage
Pada tahap ini tanda-tanda peradangan sudah tidak lagi muncul.
Keterbatasan gerak masih terjadi akibat dari adanya kontraktur atau
adhesi serta adanya kelemahan otot yang menyebabkan keterbatasan
fungsional. Selain kelemahan otot, penyebab dari terjadinya.
keterbatasan fungsional juga dikarenakan oleh daya tahan otot yang
berlangsung 6bulan-1tahun tergantung tingkat kerusakan dari
jaringannya (Kisner & Colby, 2007).
6. Supporing Investigation/Diagnostik
1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan.
5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau
cedera hati (Doengoes, 2000 dalam Wijaya & Putri,2013 : 241).
7. Management
Penanganan medis yang diberikan untuk menangani fraktur intercondylar femur
ini dapat dilakukan metode konservatif atau non operatif dan metode operatif. Metode
konservatif atau non operatif adalah penanganan fraktur berupa reduksi atau reposisi
tertutup. Sedangkan metode operatif adalah penanganan fraktur dengan reduksi
terbuka yaitu membuka daerah yang mengalami fraktur dan memasangkan fiksasi
internal maupun eksternal. Pada kasus fraktur intercondylar femur dalam karya tulis
ilmiah ini dilakukan penanganan secara operatif yaitu dengan pemasangan Open
Reduction and Internal Fixation (ORIF) berupa plate and screw. ORIF adalah suatu
bentuk pembedahan medis yang bertujuan untuk mengatur posisi tulang dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Internal fiksasi
yang digunakan mengacu pada fiksasi plate and screw untuk mengaktifkan atau
memfasilitasi penyembuhan (Brunner, 2003).
1. Terapi konservatif.
Traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson.
 Cast-bracing.
 Spika panggul.
2. Terapi operatif.
Karena fraktur ini bersifat intra-artikuler, maka sebaiknya dilakukan terapi
operatif dengan fiksasi interna yang rigid untuk memperoleh posisi anatomis
sendi dan segera dilakukan mobilisasi.
8. Complication
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada fraktur intercondylar femur dengan
pemasangan ORIF, diantaranya adalah kerusakan arteri, compartment syndrome, Fat
Embolism Syndrom (FES), infeksi, pembengkakan pada area yang dipasang internal
fiksasi, gerakan pada perangkat keras yang terpasang, dan lain lain (Price, 2005).
1. Komplikasi Awal
a. Syok,
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Pada fraktur femur dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah besar sebagai akibat trauma.
Penangannnya meliputi memeprtahankan volume darah, mengurangi nyeri
yang di derita pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan
melindungi pasien dari cedera lebih lanjut (Brunner& Suddarth, 2002 :
2365).
b. Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple, atau
cedera remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda
(20 sampai 30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat
masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam alira darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain.
Gejala yang muncul berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan
pireksia, respons pernapasan meliputi takipnea, dyspnea, krepitasi, mengi,
sputum putih kental banyak. Gas darah menunjukkan PO2 dibawah 60
mm Hg, dengan alkalosis respiratori lebih dulu dan kemudian asidosis
respiratori.Dengan adanya emboli sistemik pasien Nampak pucat. Tampak
ada ptekie pada membrane pipi dan kantung konjungtiva, pada palatum
durum, pada fundud okuli, dan diatas dada dan lipatan ketiak depan.
Lemak bebas dapat ditemukan dalam urine bila emboli mencapai ginjal,
dapat terjadi gagal ginjal (Brunner & Suddarth, 2002 : 2365).
c. Sindrom Kompertemen
d. Infeksi
2. Komplikasi Lanjut
a. Terjadi Non-Union
b. Delayed Union
c. Mal-Union
d. Pertumbuhan Terhambat
e. Arthritis
f. Distrofi Simpatik (reflex) pasca trauma (R.Borley, 2007 : 85).
B. The Basic Concept Of Nursing Care
1. Assesment
a) Nursing History
1. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa
nyeri.Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri
pasien, perawat dapat menggunakan PQRST.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan
degenerative dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan
jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan,
pucat/perubhan warna kulit dan kesemutan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur femur) atau pernah
punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis, arthritis, dan
tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
b) Physical Exami Anation
Adanya fraktur pada femur akanmengganggu secara lokal baik fungsi
sensorik, motorik maupun peredaran darah.
1. Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur terbuka, umumnya di
dapatkan hal-hal berikut ini.
a. Look
Terlihat adanya luka terbuka pada paha dengan deformitas yang
jelas. Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji
apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah
terdapat adanya kerusakan pada arteri yang beresiko akan
meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal trauma sering
didapatkan adanya serpihan di dalam luka terutama pada trauma
kecelakaan lalu lintas darat yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi
infeksi.
b. Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
c. Move
Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan
karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar
ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu
melakukan pergerakkan pada sisi yang patah (Helmi,2014 : 511).
2. Pada pemeriksaan fisik regional fraktur femur tertutup, umumnya
didapatkan hal-hal berikut.
a. Look
Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union, non-
union, dan malunion. Kondisi yang paling sering didapatkan di klinik
adalah terdapatnya malunion terutama pada pasien fraktur femur yang
telah lama dan telah mendapat intervensi dari dukun patah. Pada
pemeriksaan lookakan didapatkan adanya pemendekan ekstremitas dan
akan lebih jelas derajat pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi
tungkai dari spina iliaka ke maleolus.
b. Feel
Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha.
c. Move
Pemeriksaan yang didapat seperti adanya gangguan/keterbatasan
gerak tungkai.Didapatkan ketidakmampuan menggerakkan kaki dan
penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dan melakukan
pergerakkan.
c) Supporing Investigation
2. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
3. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
4. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
5. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan.
6. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal.
7. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi atau cedera hati (Doengoes, 2000 dalam Wijaya & Putri,2013 :
241).
8. Nursing Diagnoses
Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons
manusia (status kesehatan atau risiko perubahan pola) dari individu atau kelompok
dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara akuntabilitas (carpanito, 2000 dalam Nursalam,2011 : 59).
Diagnosis keperawatan yang muncul pada fraktur femur menurut (NANDA,2015
dalam Nurarif & Kusuma,2015 : 11) adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan prifer berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
4. Hambatan mobilitas berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
5. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan paha.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer,
perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasive dan
kerusakan kulit
7. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume darh
akibat trauma (fraktur).
8. Ansietas yang berhubungan dengan krisis siuasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran
9. Gangguan citra diri penampilan peran berhubungan dengan perubahan bentuk
tubuh atau kehilangan bagian tubuh.
9. Nursing Intervention
Intervensi adalah penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan
untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi masalah-masalah pasien.
Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan yang
membutuhkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, diantarannya pengetahuan
tentang kekuatan dan kelemahan dari pasien, nilai dan kepercayaan pasien, batasan
praktik keperawatan, peran dari tenaga ksehatan lainnya, kemampuan dalam
memcahkan msalah, mengambil keputusan, menulis tujuan, serta memilih dan
membuat strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis instruksi
keperawatan, dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain (Setiadi, 2012 : 45).
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
Intervensi Rasional
Mandiri 1. Nyeri dipengaruhi oleh
1. Kaji nyeri dengan skala 0-4. kecemasan,
2. Atur posisi imobilisasi pada ketegangan, suhu, distensi kandung
paha. kemih, dan berbaring lama.
3. Bantupasien dalam 2. Imobilisasi yang adekuat dapat
mengidentifikasi faktor mengurangi pergerakan fragmen
pencetus. tulang yang menjadi unsur utama
4. Jelaskan dan bantu pasien penyebab nyeri pada daerah paha.
terkait dengan tindakan pereda 3. Nyeri dipengaruhi oleh
nyeri nonfarmakologi dan kecemasan,
noninvasif. ketegangan, suhu, distensi kandung
5. Ajarkan relaksasi : teknik- kemih, dan berbaring lama.
teknik mengurangi ketegangan 4. Pendekatan dengan menggunakan
otot rangka yang dapat relaksasi dan non farmakologi
mengurangi intensitas nyeri. lainnya efektif dalam mengurangi
Tingkatkan relaksasi masase. nyeri.
6. Ajarkan metode distraksi 5. Teknik ini kan melancarkan
selama nyeri akut. peredaran
7. Berikan kesempatan waktu darah sehingga kebutuhan oksigen
istirahat bila terasa nyeri dan pada jaringan terpenuhi dan nyeri
berikan posisi yang nyaman, berkurang.
misalnya waktu tidur, belakang 6. Mengalihkan perhatian pasien
tubuh pasien dipasang bantal terhadap nyeri ke hal-hal yang
kecil. menyenangkan.
8. Tingkatkan pengetahuan 7. Istirahat merelaksasi semua
tentang sebab-sebab nyeri dan jaringan
hubungkan dengan berapa lama sehingga akan meningkatkan
nyeri akan berlangsung. kenyamanan.
9. Observasi tingkat nyeri dan 8. Pengetahuan tentang sebab-sebab
respons motorikpasien 30 nyeri membantu mengurangi nyeri.
menit setelah pemberian obat Hal ini dapat membantu
analgesik untuk mengkaji meningkatkan
efektivitasnya dan 1-2 jam kepatuhan pasien terhadap rencana
setelah tindakan perawatan terapeutik.
selama 1-2 hari. 9. Dengan pengkajian yang optimal,
Kolaborasi perawat akan mendapatkan data
10. Pemberian analgesik. yang
11. Pemasangan traksi kulit atau objektif untuk mencegah
traksi tulang. kemungkinan
12. Operasi untuk pemasangan komplikasi dan melakukan
fiksai internal. intervensi
yang tepat.
10. Analgesik memblok lintasan
nyeri
sehingga nyeri akan berkurang.
11. Traksi yang efektif akan
memberikan
dampak pada penurunan pergeseran
fragmen tulang dan memberikan
posisi
yang baik untuk penyatuan tulang.
12. Fiksasi internal dapat membantu
imobilisasi fraktur femur sehingga
pergerakan fragmen berkurang.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan prifer berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan.
Intervensi Rasional
1. Monitor adanya daerah tertentu yang 1. Indicator umum status sirkulasi
hanya peka terhadap dan
panas/dingin/tajam/tumpul. keadekuatan perfusi.
2. Monitor adanya paretese. 2. Edema jaringan pascaoperasi,
3. Intstruksikan keluarga untuk pembentukan hematoma, atau
mengobservasi kulit jika ada isi atau balutan terlalu ketat dapat
laserasi. mengganggu sirkulasi pada punting,
4. Gunakan sarung tangan untuk yang mengakibatkan nekrosis
proteksi. jaringan.
5. Batasi gerakan pada kepala, leher 3. Mungkin dilakukan pada
dan punggung. keadaan
6. Monitor kemampuan BAB. darurat untuk menghilangkan
7. Kolaborasi pemberian analgetik. restriksi sirkulasi yang diakibatkan
8. Monitor adanya tromboplebitis. oleh pembentukan edema pada
9. Diskusikan mengenai penyebab ekstremitas yang cedera.
perubahan sensasi. 4. Untuk mencegah penyebaran
infeksi.
5. Agar tidak terjadi trauma
tambahan
pada pasien.
6. Untuk meningkatkan evakuasi
usus.
7. Untuk mengurangi rasa nyeri
yang
muncul.
8. Untuk mengobservasi tanda-
tanda
infeksi.
9. Mengetahui penyebab untuk
mengetahui penatalaksanaan
selanjutnya.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan


traksi (pen, kawat, sekrup).
Intervensi Rasional
1. Kaji kulit dan identifikasi pada 1. Mengetahui sejauh mana
tahap perkembangan luka. perkembangan luka mempermudah
2. Kaji lokasi, ukuran, warmna, bau, dalam melakukan tindakan yang
serta jumlah dan tipe cairan luka. tepat.
3. Pantau peningkatan suhu tubuh. 2. Mengidentifikasi tingkat keparahan
4. Berikan perawatan luka dengan luka akan mempermudah intervensi.
teknik aseptic. Balut luka dengan 3. Suhu tubuh yang meningkat dapat
kasa kering dan steril, gunakan diidentifikasikan sebagai adanya
plester kertas. proses peradangan.
5. Jika pemulihan tidak terjadi 4. Teknik aseptic membantu
kolaborasi tindakan lanjutkan, mempercepat penyembuhan luka dan
misalnya debridement. mencegah terjadinya infeksi.
6. Setelah debridement, ganti balutan 5. Agar benda asing atau jaringan
sesuai kebutuhan. yang
7. Kolaborasi pemberian antibiotic terinfeksi tidak menyebar luas pada
sesuai dengan indikasi. area kulit normal lainnya.
6. Balutan dapat diagnti satu atau dua
kali sehari tergantung kondisi
parah/tidaknya luka, agar tidak
terjadi infeksi.
7. Antibiotic berguna untuk
mematikan
mikroorganisme pathogen pada
daerah yang beresiko terjadi infeksi.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).

4. Hambatan mobilitas berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuscular,


nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
Intervensi Rasional
1. Mengobservasi immobilitas akibat 1. Dengan mengetahui persepsi
cedera dan persepsi klien terhadap terhadap immobilitas dapat
immobilitas. menentukan intervensi selanjutnya.
2. Libatkan pasien untuk melakukan 2. Aktivitas terapeutik dapat
aktivitas terapeutik dan rekreasi, mempertahankan harga diri dan
misalnya mendengarkan music, menurunkan isolasi sosial pasien.
menonton tv, atau berkomunikasi 3. Latihan gerak pasif aktif dapat
dengan teman. meningkatkan aliran darah ke otot,
3. Bantu dan ajarkan pasien memberikan latihan gerak sendi dan
melakukan mencegah kontraktur.
latihat rentang gerak pasif dan aktif. 4. Personal hygiene dapat
4. Bantu kebutuhan ADL pasien. meningkatkan kebersihan diri
5. Bantu aktivitas klien dengan pasien.
memperhatikan adanya vertigo, 5. Imobilisasi dini dapat menurunkan
mual muntah dan hipotensi. resiko komplikasi dari tirah baring
6. Hindari dari gerakan mendadak. yang lama.
7. Kolaborasi pemberian analgesic. 6. Pasien immobilitas membutuhkan
adaptasi pergerakan secara bertahap
untuk mengembalikan fungsi
anggota tubuh.
7. Immobilitas yang lama
memungkinnkan penimbunan laktat
sehingga menimbulkan nyeri.
Penggunaan alanlgesik dapat
dilakukan sebagai usaha
menurunkan nyeri.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).
5. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan paha.
Intervensi Rasional
1. Mengobservasi immobilitas akibat 1. Dengan mengetahui persepsi
cedera dan persepsi klien terhadap terhadap immobilitas dapat
immobilitas. menentukan intervensi
2. Libatkan pasien untuk melakukan selanjutnya.
aktivitas terapeutik dan rekreasi, 2. Aktivitas terapeutik dapat
misalnya mendengarkan music, mempertahankan harga diri dan
menonton tv, atau berkomunikasi menurunkan isolasi sosial pasien.
dengan teman. 3. Latihan gerak pasif aktif dapat
3. Bantu dan ajarkan pasien meningkatkan aliran darah ke otot,
melakukan latihat rentang gerak memberikan latihan gerak sendi
pasif dan aktif. dan mencegah kontraktur.
4. Bantu kebutuhan ADL pasien. 4. Personal hygiene dapat
5. Bantu aktivitas klien dengan meningkatkan kebersihan diri
memperhatikan adanya vertigo, pasien.
mual muntah dan hipotensi. 5. Imobilisasi dini dapat menurunkan
6. Hindari dari gerakan mendadak. resiko komplikasi dari tirah baring
7. Kolaborasi pemberian analgesic. yang lama.
6. Pasien immobilitas membutuhkan
adaptasi pergerakan secara
bertahap untuk mengembalikan
fungsi anggota tubuh.
7. Penggunaan analgesik dapat
dilakukan sebagai usaha
menurunkan nyeri.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer,
perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasive dan
kerusakan kulit.
Intervensi Rasional
1. Kaji dan pantau luka operasi setiap 1. Mendeteksi secara dini gejala-
hari. gejala
2. Lakukan perawatan luka secara inflamasi yang mungkin timbul
steril. sekunder akibat adanya luka pasca
3. Pantau atau batasi kunjungan. operasi.
4. Bantu perawatan diri dan 2. Teknik perawatan luka secara steril
keterbatasan aktivitas sesuai dapat mengurangi kontaminasi
toleransi. Bantu program latihan. kuman.
5. Tingkatkan intake nutrisi. 3. Mengurangi resiko kontak infeksi
6. Monitor tanda dan gejala infeksi dengan orang lain.
sistemik dan lokal. 4. Menunjukkan kemampuan secara
7. Monitor hitung granulosit, WBC. umum, kekuatan otot dan
8. Kolaborasi pemberian antibiotic merangsang pengembalian sistem
sesuai indikasi. imun.
5. Intake yang adekuat meningkatkan
pengembalian sistem imun dan
energy untuk pasien.
6. Mendeteksi secara dini gejala-
gejala
inflamasi yang mungkin timbul.
7. Mendeteksi secara dini gejala
inflamasi yang muncul.
8. Satu atau beberapa agens diberikan
yang bergantung pada sifat patogen
dan infeksi yang terjadi.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).

7. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume darh


akibat trauma (fraktur).
Intervensi Rasional
1. Dorong masukan cairan dengan 1. Untuk meningkatkan hidrasi.
tepat. 2. Untuk mencegah dehidrasi,
2. Setelah rehidrasi berikan diet menurunkan jumlah defekasi dan
regular penurunan berat badan serta
pada anak yang sesuai toleransi. pemendekan durasi penyakit.
3. Hindari masukan cairan jernih, 3. Karena cairan tinggi karbohidrat
seperti jus buah, minuman karbonat, rendah elektrolit
dan gelatin. mempunyaiesmolalitas tinggi.
4. Kolaborasi dalam memberikan 4. Untuk menjamin hasil optimum
terapi yang tepat untuk mengetahui dan
keluaran cairan dan tanda dehidrasi. memperbaiki kebutuhan terhadap
aturan terapeutik.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).
8. Ansietas yang berhubungan dengan krisis siuasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Intervensi Rasional
1. Gunakan pendekatan yang 1. Reaksi verbal atau non verbal
menenangkan. dapat
2. Jelaskan semua prosedur dan apa menunjukkan rasa marah dan
yang dirasakan selama prosedur. gelisah.
3. Pahami perspektif pasien 2. Konfrontasi dapat meningkatkan
terhadap situasi stress. rasa
4. Temani pasien untuk marah, menurunkan kerjasama dan
memberikan keamanan dan mungkin memperlambat
mengurangi takut. penyembuhan.
5. Dorong keluarga untuk 3. Mengurangi rangsangan ekstrernal
menemani. yang tidak perlu.
6. Lakukan back/neck rub. 4. Control sensasi pasien (dalam
7. Intruksikan pasien menggunakan mengurangi ketakutan) dengan cara
teknik relaksasi. memberikan informasi tentang
keadaan pasien. Menekankan
penghargaan terhadap sumbersumber
koping (pertahanan diri)
yang positif, membantu latihan
relaksasi dan teknik-teknik
pengalihan, serta memberikan umpan
balik yang positif.
5. Orientasi tahap-tahap prosedur
dapat
mengurangi ansietas.
6. Dapat menghilangkan ketegangan
terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7. Member latihan relaksasi nafas
dalam dapat meningkatkan rasa
nyaman dan rileks pasien.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).
9. Gangguan citra diri penampilan peran berhubungan dengan perubahan bentuk
tubuh atau kehilangan bagian tubuh.
Intervensi Rasional
1. Kaji secara verbal dan nonverbal 1. Pasien yang memandang
respon klien terhadap tubuhnya. perubahan
2. Monitor frekuensi mengkritik bentuk tubuh atau hilangnya bagian
dirinya. tubuh akibat cedera traumatic akan
3. Jelaskan tentang pengobatan, merespon dengan cepat sebagai
perawatan, kemauan dan keggalan dan berada pada risiko
prognosis penyakit. tinggi gangguan konsep diri.
4. Dorong klien mengungkapkan 2. Ekspresi perasaan mmbantu pasien
perasaannya. mulai menerima kenyataan dan
5. Identifikasi arti pengurangan realitas hidup.
melalui pemakaian alat bantu. 3. Memberikan kesempatan untuk
6. Fasilitasi kontak dengan individu menanyakan dan mulai menerima
dan dalam kelompok kecil. perubahan gambaran diri dan fungsi,
7. Fasilitasi kontak dengan individu yang dapat membantu penyembuhan.
dan dalam kelompok kecil. 4. Dukungan yang cukup dari orang
terdekat dan teman dapat membantu
proses rehabilitasi.
5. Membantu mengartikan masalah
sehubungan dengan pola hidup
sebelumnya dan membantu
pemecahan masalah.
Sebagai contoh takut kehilangan
kemandirian, kemampuan bekerja
dan lain sebagainya.
6. Meningkatkan kemandiriran dan
perasaan harga diri meskipun
penyatuan sisa cacat atau hilangnya
bagian tubuh dalam gambaran diri
dapat memerlukan waktu
berbulanbulan
bahkan bertahun-tahun.
Melihat dan mendengar pernyataan
positif dapat membantu pasien dalam
penerimaan.
7. Teman senasib yang telah
mengalami hal yang sama bertindak
sebagai model peran dan dapat
memberikan keabsahan pernyataan
juga harapan untuk pemulihan dan
masa depan normal.
(NANDA, 2015 dalam Nurarif dan Kusuma, 2015 : 296).

Anda mungkin juga menyukai