Dulu, kabupaten Semarang termasuk wilayah kesultanan Demak. Daerah ini diperintah oleh seorang Bupati bernama
Prabu Panandaran dan mempunyai istri bernama Nyai Pandanaran . Beliau seorang Bupati yang ditaati rakyat. Selain
berwibawa, beliau juga kaya raya. Akan tetapi, lama kelamaan beliau makin memperkaya diri sendiri. Beliau tidak lagi
mempedulikan rakyatnya. Sunan Kalijaga penasehat Sultan Demak, bermaksud mengingatkan sang Bupati.
Di suatu hari ketika Prabu Panandaran sedang memungut pajak, Sunan Kalijaga datang Dengan berpakaian compang-
camping, beliau menyamar sebagai tukang rumput. Ki Ageng Pangandaran yang saat itu melihat tukang rumput pun
menghentikan laju kudanya......
Tukang Rumput : “ Mohon maaf Gusti Prabu, Rumput ini untuk makan ternak kami Gusti “
Prabu Panandaran : “ Sudahlah, nanti kan kisana bisa menyabit lebih banya lagi, pengawal bawa Ikatan – ikatan
Tukang Rumput : ( hanya diam melihat apa yang dilakukan para pengawal )
Prabu Panandaran : “ini sekeping uang untukmu, anggap saja imbalan dariku untuk rumputmu ini, pergilah“
Tanpa diketahui Prabu Panandaran, sang Tukang Rumput menyelipkan kembali uang itu dalam tumpukan rumput yang
akan dibawa. Kemudian rumput itu dibawa oleh Prabu Panandaran. Sesampainya di Kerajaan Prabu Panandaran
memerintahkan pengawalnya untuk memberikan rumput – rumput itu kepada ternak kudanya. Sang Pengawal kerajaan
lantas melakukan perintahnya. Sang Pengawal menemukan uang di dalam tumpukan Rumput itu.
Pengawal 1 : “ bukankah ini uang yang tadi diberikan Gusti Prabu kepada Tukung Rumput itu, aku harus
Memberi tahu gusti prabu.” ( berlari menuju singgasana, sambil membawa uang itu )
( menundukkan badannya )
Pengawal : “ Hamba Menemukan ini pada Tumpukan Rumput tadi Gusti Prabu ( memberikan satu
Keping uang ), kalau tidak salah itu uang yang Gusti Prabu berikan kepada si tukang rumput
Tadi gusti.”
Prabu Panandaran : “ Apa Maksud Tukang Rumput itu tidak menerima uang pemberianku !”
Pengawal : “ Mungkin dia tidak sengaja menjatuhkan uangnya Gusti.” ( semakin menundukkan kepala )
Begitulah hal itu terjadi berulang-ulang. Sampai suatu ketika Sang Prabu menyadari perbuatan tukang rumput tersebut.
Pengawal : “ Gusti Prabu ini sudah ke sekian kalinya hamba menemukan uang ini, setiap Gusti Prabu
Prabu Panandaran : “ Kurang ajar ini sudah di luar batas kesabaranku, kisana itu telah menghinaku, bawa tukang
Dibawalah sang Tukang Rumput itu kehadapan Prabu Panandaran, dan marahlah Prabu Panandaran pada tukang
rumput itu.
Pengawal 2 : “ kami telah membawanya kehadapanmu Gusti Prabu.” ( menarik Tukang rumput )
Prabu Panandaran : “ kerja bagus pengawal, sekarang tinggalkan aku dengan Kisana ini “
Prabu Panandaran : “Orang miskin yang sombong ! Kau menolak pemberianku ! Kau telah menghinaku kisana “
Tukang Rumput : “ Kalau Gusti berbicara mengenai uang itu, saya tidak bermaksud menghina, Saya hanya tidak
Memerlukan harta duniawi karena semua itu tidak ada yang abadi. Lagi pula Saya bisa
mendapatkan Emas hanya dengan sekali cangkul gusti prabu.”
Prabu Panandaran : “ hahaha memangnya kau siapa bisa melakukan hal seperti itu, aku ingin kau membuktikan
Prabu Panandaran : “ kalau ucapanmu tidak terbukti maka aku akan menjatuhkan hukuman kepadamu, bersedia
Tukang Rumput : ( menganggukkan kepala dengan perlahan ) “ saya bersedia Gusti Prabu “
Tukang Rumput : “ baiklah, Saya meminta izin Gusti Prabu “ ( berjalan menuju halaman istana )
(sebelum mencangkul, tukang rumput / sunan kalijaga membaca doa terlebih dahulu )
Dalam sekalih cangkulan terlihatlah bongkahan bongkahan emas yang muncul dari tanah yang di cangkul tukang
rumput / sunan kalijaga itu, semua orang terherang tak terkecuali Prabu Panandaran.
Prabu Panandaran : ( menghampiri Tukang Rumput ) “ sesungguhnya siapakah dirimu wahai Kisana ?, mengapa kau
Tukang Rumput : ( caping dan baju lusuhnya) “sesungguhnya aku adalah sunan kalijaga”
Prabu Panandaran yang mengetahaui bahwa tukang rumput itu sebenarnya adalah Sunan Kalijaga langsung meminta
maaf.
Prabu Panandaran : ( membungkuk kan badan dan menangkupkan kedua telapak tangan )
Sunan Kalijaga : ( menepuk bahu Prabu Pandanaran ) “ aku maafkan , tapi aku minta
Kau harus tinggalkan kebiasaan burukmu yang terlalu mencintai kenikmatan duniawi itu. “
Prabu Panandaran : ( menegakkan badannya ) “ baiklah, kanjeng sunan, tapi bolehkah saya mengikuti kanjeng
Sunan Kalijaga : ( memberikan senyuman ) “ sesungguhnya tidak ada manusia yang mampu mencegah orang
Lain Untuk Berbuat baik, apabila orang itu sudah memiliki niat yang besar.”
Sunan Kalijaga : “ kalau begitu aku permisi dulu Assalamu’alaiku Warahmatullahi Wabarakaatuhu “
( memegang tasbih )
Seperginya Sunan Kalijaga Prabu Panandaran lantas menemui istrinya untuk menyampaikan keinginannya untuk
mempelajari ilmu agama lebih dalam lagi kepada sunan kalijaga.
Prabu Panandaran : ( Berdiri disamping istrinya ) “ istriku, sesungguhnya aku ingin menyampaikan bahwa aku akan
melepaskan jabatanku Sebagai bupati dan memilih untuk mempelajari ilmu agama kepada
sunan kalijaga, Apakah Kau setuju dengan keputusanku istriku ? “
Nyai Panandaran : ( memandang suaminya dan tersenyum ) “ sesungguhnya aku menyetujui apapun yang kau
Lakukan suamiku.”
Prabu Panandaran : (tersenyum memandang istrinya ) “ syukurlah kalau begitu, kau boleh ikut denganku tetapi
ingatlah kita tidak boleh membawa barang- barang yang kita miliki. Berikan barang-barang itu
kepada fakir miskin.” ( menatap serius istrinya )
Karena Nyai Panandaran masih tak rela jika hartanya harus diberikan kepada fakir miskin, ia mencari cara bagaimana
hartanya tetap bisa dia bawa tanpa sepengetahuan Prabu Panandaran.
Nyai Panandaran : ( berfikir )” Pergilah terlebih dahulu suamiku nanti aku akan menyusulmu.”
Prabu Panandaran : ( mengangguk ) “ baiklah, jagalah dirimu baik – baik ketika di perjalanan, aku pergi dulu”
Seperginya Prabu Panandaran mengikuti sunan kalijaga, Nyai Panandaran lantas memasukkan seluruh emas dan
permata miliknya kedalam tongkat bambu.
Nyai Panandaran : “ aku tidak akan membiarkan orang lain memiliki harta kekayaanku.” ( memasukkan hartanya
Nyai Panandaran pun menyusul Prabu Panandaran dan sunan Kalijaga dengan membawa tongkat tersebut. Ditengah
perjalanan Prabu Panandaran dan Sunan Kalijaga di hadang oleh tiga orang perampok.
Sunan Kalijaga :” kalian tidak akan mendapatkannya, karena kami tidak membawa apa – apa , ( menoleh ke
Belakang ) tapi Jika kalian ingin barang berharga, tunggulah. Sebentar lagi, akan lewat seorang
perempuan tua. Cegat dia. Kau akan mendapatkan emas permata dalam tongkat bambunya”
Sunan Kalijaga dan Prabu Panandaran Lantas meninggalkan tiga penyamun itu, setelah itu Muncullah Nyai
Pandanarang yang berjalan tertatih dengan tongkat bambu. Ketiga penyamun tersebut menghadang dan merampas
tongkat bambu yang ia pegang.
Perampok : ( menunjuk tongkat bambu ) “ berikan tongkatmu itu atau tidak kau akan mati “
Perampok : “ sudah jangan banyak bicara, berikan tongkatnya” ( merampas tongkat dari tangan nyai )
Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya para perampok itu segera meninggalkan nyai pandanaran. Nyai
Pandanarang tidak dapat berbuat apa-apa selain merelakan hartanya dirampas. Ketika berhasil bertemu dengan
suaminya dan Sunan Kalijaga, ia menceritakan kejadian perampokan yang dialaminya sambil menangis.
Nyai Pandanaran : ( berlari mengejar sunan kalijaga dan suaminya ) “ Sunan Kalijaga, sunan tunggu saya”
( Sunan Kalijaga & Prabu Panandaran menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.)
Nyai Panandaran : ( menangis tersedu )” Suamiku, tolong harta benda kita diambil oleh perampok ketika aku di
jalan tadi.”
Prabu Panandaran : (menatap tajam istrinya ) “ jadi kau menyusulku dengan membawa harta benda kita, kau tidak
Menuruti apa yang aku katakan, tapi sudahlah biarkan yang penting kau selamat.”
Nyai Panandaran : ( menangis semakin kencang ) “ tapi, suamiku.. bagaimana dengan harta benda kita ?
suamimu. Untuk berguru denganku, kalian harus meninggalkan harta duniawi. Jadi, kejadian
ini adalah salahmu sendiri.”
Prabu Panandaran : “ Maafkan Kekhilafan Istri saya Kanjeng Sunan.” ( menunduk kepalanya hormat kepada sunan )
Sunan Kalijaga : ( menghembuskan nafas ) “ Sudahlah, Ada tiga pihak yang melakukan kesalahan di sini, yaitu
kau sendiri, istrimu dan para penyamun itu. Aku akan menamai derah ini dengan nama SALAH
TIGA Semoga Kelak, tempat ini akan menjadi kota yang ramai.”
Sunan Kalijaga, Prabu Panandaran dan Nyai Panandaran pu melanjutkan perjalanan dan menggunakan kejadian tadi
sebagai pelajaran khususnya bagi Nyai Panandaran.
Pada perkembangannya, nama Salah Tiga bergeser ucapannya menjadi Salatiga. Kini Salatiga menjadi kota yang ramai
seperti yang pernah diucapkan oleh Sunan Kalijaga.
Selesai
Amanat Cerita ini : harta benda tidak selamanya akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan. Kadang kala,
justru bisa menjadi sumber malapetaka.
Diceritakake wonten zaman riyen, nalika Semarang anggadahi Adipati kanthi asma Pandanarang ingkang
nggadhahi garwa ingkang lakung kagungan nami Nyai Pandanarang. Piyambakipun dikenal dados Adipati
ingkang jujur, ananging amarga banda donyane ingkang kathah damel Prabu Pandanarang dados adipati
ingkang gembede(sombong) lan ugi remen dening banda dunya. Lan sipat kirang sae Adipati menika kamireng
dening Sunan Kalijaga, satiyang wali ingkang arif sanget saha wicaksana. Sunan Kalijaga kangungan
pangangkah ngelingaken Prabu Pandanarang kanthi cara nylamur dados tukang ngarit suket utawa bakul
suket. Nalika suket badhe dipun sade lan medal ing plataran Kadipaten, Adipati Pandanarang ngenyang
suketipun kanthi regi andhap sanget.
Panyade rumput punika sarujuk uga ngaturaken suketipun ing kandang. Sadereng kesah, piyambakipun
nyimpin arta gangsal sen ing antawis tumpukan suket wau. Arta kesebat dipunpanggihaken dening abdi dalem
Pandanarang.
Abdi dalem : “ Opo iki ora duit sing diwenehne bakul suket mau, aku kudu nglaporke iki ng gusti Prabu".( mlayu
menyang Prabu lan nggowo duit kui mau )
Abdi dalem : "nyuwun pangapunten gusti, kawula badhe ngaturaken kadadeyan kala wau.."
Abdi dalem : "kawula kala wau nemu arta, arta ingkang njenengan caoske wonten bakul suket".
Prabu : "lha iki maksud e apa ninggal-ninggal duit ng kene? Opo wes ra butuh duit".
Abdi dalem :
Kedadosan menika terus mawon kedadosan salebetipun setunggal minggu. Pandanarang gumun kenging
punapa bakul suket kesebat mboten nate nakokake wonten pundi artanipun. Nalika bakul suket punika
wangsul malih, Pandanarang nangletaken asal saking bakul suket menika. Piyambakipun ugi nangletaken
kenging punapa piyambakipun kados mboten mbetahaken arta. Bakul suket ingkang mboten sanes nggeh
menika Sunan Kalijaga nuli njawab pitakon saking Pandanarang menawi piyambakipun mboten betah banda
ndunya ingkang luwih, amargi sedayanipun mboten enten ingkang lestantun. Piyambakipun ugi sanjang
menawi enten Emas k ingkang sampun ditanem ing lebet plataran kadipaten.
Pandanarang lajeng duka mireng wangsulan punika. Piyambakipun rumaos saweg diece dening bakul suket
punika. Nanging, kasunyatane, tembung-tembung tiyang punika leres. Enten Emas ing lebet siti kadipaten.
Akhiripun, Adipati Pandanarang nyumerepi menawi tiyang punika nggeh menika Sunan Kalijaga. Adipati
punika lajeng nyuwun pangapunten uga nyuwun konjuk dados murid Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga ngijinaken
kahti syarat supados Pandanarang cucul saking katrisnan banda ndunya ingkang linuwih.
Isteri Adipati ugi kersa ndherek semahipun. Nanging, piyambakipun mboten sudi mengker banda
ndunyanipun uga ngabritaken dhateng tiyang fakir. Piyambakipun ngengken semahipun budhal langkung
rumiyen. Lajeng, Nyai Pandanarang ndelekake Emas ing lebet tekenipun ingkang kedamel saking pring.
Ing radin, piyambake sedaya diadang dening telung perampok ingkang badhe ngrampok Kanjeng Sunan lan
Adipati, ananging Sunan Kalijaga lajeng ngendika:
“Yen siro pengen bondo, tunggunen. Sedelo maneh, bakal lewat wong wadon tuo. Cegaten. Siro kabeh bakal
oleh Emas saka teken pring sing digawa piyambake”.
Lajeng mboten dangu, Nyai Pandanarang mlampah kaliyan tekenipun. Perampok banjur nyegat uga ngrampok
teken saking pring menika ingkang Nyai Pandanarang cepeng.
Nyai Pandanarang mboten saget tumindak menapa-menapa kajawi nglepasake bandanipun. Nalika kepanggih
kaliyan semahipun uga Sunan Kalijaga, piyambakipun nyeriosaken kedadosan wau kaliyan nangis.
“Panjenengan mboten mirengaken pangandikan semah njenengan. Konjuk ngguru kaliyan kula, panjenengan
kedah mengker banda ndunya. Dados, kedadean niki wae salah panjenengan piyambak,” ngendikan Sunan
Kalijaga.
Konjuk ngeling kedadosan kesebat, Sunan Kalijaga paring nami daerah punika kaliyan nami Salah Telu amergi
enten tigang tiyang ingkang numindakake kalepatan ing mriki, nggeh menika panjenengan piyambak, semah
panjenengan, uga para perampok wau. Mbenjang, wonten ing mriki badhe dados kitha ingkang rame,”
ngendikan Kanjeng Sunan.