Disebut Angkatan Dua Puluhan karna novel yang pertama kali terbit adalah novel Azab dan
Sengsara yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh Merari siregar. Disebut pula sebagai Angkatan
Balai Pustaka karna karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka.
Periode ‘45
Disebut juga sebagai Angkatan Chairil Anwar kerna perjuangan Chairil Anwar dalam
melahirkan angkatan ’45 ini. Disebut juga sebagai angkatan kemerdekaan karna dilahirkan pada
tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Angkatan ‘66
Nama Ankatan ’66 dicetuskan oleh Hans Bague Jassin melalui bukunya yang berjudul Angkatan
’66 bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yan tengah kacau akibat PKI.
Angkatan ’70-an
Sekitar tahun ’70-an, muncul karya-karya sastra yang lain dari sebelumnya yang dimana tidak
menekankan pada makna kata yang kemudian digolongkan kedalam jenis sastra kontemporer.
Angkatan ’80-an
Karya sastra Indonesia pada setelah tahun 1980 ditandai dengan banyaknya roman pecintaan
karya sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut.
Tumbuh sastra
beraliran pop Ronggen Dukuh Ahmad Tohari
Paruk
Lupus Hilman Hariwijaya
Karya sastra
tersebar luas diberbagai
majalah dan penerbitan
umum
Angkatan Reformasi
Munculnya ankatann ini ditandai dengan dengan maraknya karya sastra yang bertemakan seputar
reformasi. Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan social dan politik yang terjadi
pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Angkatan 2000
Angkatan ini ditandai dengan oleh karya-karya yang cenderung berani an vulgar dan kebanyakan
mengadopsi begitu saja moral pergaulan bebas ala remaja Amerika. Tetapi pada masa ini,
muncul jua fiksi-fiksi islami.
Kalau kami bitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudajaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudajaan baru jang sehat.
- Surat Kepercayaan Gelanggang (hal. xi)
Tiga Menguak Takdir adalah cita-cita dari ketiga penggagasnya: Chairil Anwar, Rivai Apin, dan
Asrul Sani. Ide dasar atas terbitnya buku ini sudah ada di kepala mereka sejak satu setengah tahun
sebelum mereka mendirikan 'Gelanggang'. Gelanggang sendiri adalah sebuah rubrik kebudayaan
yang mengisi warta mingguan 'Siasat'. Tabloid Siasat mulanya diasuh oleh Chairil Anwar dan Ida
Nasution. Kemudian, dilanjutkan oleh Rivai Apin, Asrul Sani, Siti Nuraini, dan terakhir oleh
Ramadhan K.H.
Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu,
Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian
(Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan
bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada
dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok
Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup,
suatu tujuan takdir.
Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian
yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya
mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus
mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh
jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.
"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami,
tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu,
bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.
Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin,
dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka
sebut sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka
perjuangkan?
Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal
dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan
mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di
tanah air kami sendiri belum selesai.
Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah
memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan.
Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau
berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan
pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.
Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan
pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang.
Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para
pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar
menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada
Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".
Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama
pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban
atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah
memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah
ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap
kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan
sendirinya.
Catatan Personal
Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu
kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang
merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah
Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di
masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan
dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas
dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.
Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu,
apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-
karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki
satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi
atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir?
Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman
perang kemerdekaan.
Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya
lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa
menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya,
barangkali.
Pengarang : Trisnoyuwono (5 Desember 1926) Penerbit : Djambatan Tahun : 1963 Herman dan
toto adalah dua sahabat karib. Keduanya termasuk pemuda pejuang yang sudah sejak tahun 1946
melakukan tugas penyelundupan ke daerah musuh. Kali ini pun keduanya mendapat tugas dari
Markas Besar Tentara di Yogyakarta untuk pergi ke Semarang mencari berita tentang
keberadaan Kapten Kresna yang kini tak diketahui nasibnya. Diperkirakan, kapten itu tertangkap
pihak Belanda dan ditahan di Markas IVG di daerah Jawa Tengah yang terkenal keganasannya.
Untuk menjalankan tugas itu, Herman dan Toto menyamar sebagai pedagang dan bergabung
dengan pedagang lainnya pergi ke Semarang. Ternyata, akibat laporan dua orang penduduk desa
yang menjadi mata-mata Belanda, penyamaran kedua pemuda itu dapat diketahui. Di jalan antara
Magelang dan Ambarawa, pihak Belanda menyergap mereka. Esok harinya, kedua pemuda itu
dibawa ke Markas IVG di Salatiga; sebuah kamp tawanan yang sudah terkenal dengan siksaan-
siksaan kejinya. Di kamp inilah Herman dan Toto diperiksa secara ketat oleh seorang sersan
pribumi bernama Djajusman. Sersan itulah yang kemudian banyak melakukan berbagai
penyiksaan terhadap Herman, Toto, dan para tawanan lainnya. “Herman mengalami siksaan yang
mengerikan. Ia ditelanjangi, disiram kopi panas, dilistrik hingga meraung-raung seperti anjing
kena jerat, dan Herman yang terus tabah, akhirnya tak ubahnya dengan boneka sinyo Mechael
yang tidak disukai lagi, dibanting-banting, dirobek-robek dan dicampakkan” (hlm. 21).
Seminggu lamanya kedua pejuang itu diinterogasi dan disiksa. Sekali waktu pemeriksaan
dihadiri seorang letnan Belanda dan –anehnya- pemeriksaan justru lebih “manusiawi”. Namun,
Herman tak juga dibebaskan. Toto juga mengingkari segala tuduhan hingga akhirnya Sersan
Djajusman kewalahan. Mereka pun lalu dipindahkan ke penjara umum yang dipimpin Sersan
Mayor Koenen. Pemimpin penjara ini selalu melakukan kewajibannya dengan bersih dan selalu
berpedoman pada perikemanusiaan. Ia dibantu oleh Boy, seorang kopral Belanda yang berbadan
besar dan serba kasar dalam sikap dan sifat. Mula-mula kedatangan Herman dan Toto dalam
kamp itu disambut dengan kecurigaaan tawanan lain. Akan tetapi, setelah mereka berkenalan
dengan Parman –yang ternyata dialah Kapten Kresna- suasana pun berubah menjadi lain. Kepada
tawanan lain, Parman mengaku priayi dan guru, memperkenalkan kedua pemuda itu sebagai
kawannya. Di kamp ini, Herman dan Toto ditempatkan sekamar dengan Pak Lurah, Harjono,
Gimin, Parman, Usman, Wahab, dan Umar. Selain tahanan pria, kamp ini juga memuat tahanan
wanita sehingga tidaklah mengherankan jika banyak terjadi kisah cinta yang terjalin di sana.
Parman atau Kapten Kresna adalah seorang yang cerdik dan licin; penyamarannya sebagai guru
di Yogya dipercayai semua orang. Serma Koenen yang gemar bermain catur dengannya pun
tampak akrab dan sayang kepadanya. Dengan hadirnya Herman dan Toto, Parman lalu menyusun
siasat agar mereka berdua dapat melarikan diri dari kamp yang begitu ketat dikungkung pagar
kawat berduri. Akhirnya, pada suatu malam, dengan berbekal sebuah catut yang berhasil dicuri
Parman sewaktu ia bermain dengan Pieter Koenen di kamar sersan mayor Belanda, kedua
pemuda itu mencoba melarikan diri. Sungguh malang, ternyata usaha pelarian itu tidak
sepenuhnya berhasil sesuai rencana mereka. Toto tertembak dan tewas saat itu juga dengan tubuh
bermandikan darah, dengan tangan masih menggenggam catut itu. Namun, Herman berhasil
meloloskan diri dengan membawa surat rahasia Kapten Kresna. Sementara itu, catut yang berada
dalam genggaman tangan Toto kini dijadikan barang bukti. Serma Koenen sadar bahwa catut itu
miliknya. Oleh karena itu, tidak salah lagi jika catut itu telah dicuri oleh seseorang yang sudah
biasa keluar-masuk kamarnya, yaitu Parman. Dengan barang bukti itu, Parman tak dapat lagi
menyangkal. Kopral Boy segera memerintahkan untuk menembak mati Parman. Menjelang
pelaksanaan hukuman mati bagi Parman, Koenen yang merasa telah gagal melaksanakan
tugasnya, bunuh diri dengan cara menembak dirinya. Ia amat kecewa terhadap Parman yang
telah dipercayainya, ternyata lebih suka membela bangsanya. Setelah mengetahui sersan
mayornya bunuh diri, Kopral Boy memerintahkan menembak mati Parman. Kematian Parman
ternyata menumbuhkan perasaan malu para tawanan lainnya. Parman yang oleh sesame tawanan
lain dianggap tidak memperlihatkan diri sebagai pejuang, ternyata seorang pejuang sejati. Para
tawanan itu sadar bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang mempunyai tanggung jawab
untuk membela bangsa dan negaranya. *** Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono ini
merupakan kisah revolusi yang terjadi sekitar tahun 1949. Pada tahun 1963, novel perjuangan ini
dilayarperakkan dengan judul yang sama hasil garapan sutradara Asrul Sani dan Perusahaan Film
Kedjora. Setahun kemudian, novel ini memperoleh penghargaan sebagai pemenang hadiah sastra
Yayasan Yamin. Studi terhadap novel Pagar Kawat Berduri sejauh ini baru dilakukan oleh Djwa
Hong Nio (FS UI, 1963) dan Suharni (FS UGM, 1974). Keduanya masih berupa skripsi sarjana
muda yang belum mendalam. Terima kasih telah berkunjung di web kami. Pembaca yang baik
selalu memberikan komentar, kritik, dan saran karena sangat kami butuhkan untuk membangun
dan memberikan yang terbaik bagi anda sahabat Imbas. Jangan lupa bookmark kami agar anda
selalu dapat memantau web edukasi materi bahasa indonesia dan karya sastra ini. Terimakasih
Source: https://www.ilmubahasa.net/2015/01/pagar-kawat-berduri.html#
Disalin www.ilmubahasa.net, Gudangnya Materi Ilmu Bahasa, Media Karya Sastra dan
Informasi.