Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT MATA

KATARAK SENILIS IMATUR OKULI DEXTRA SINISTRA

Pembimbing:
dr. Karliana Kartasa Taswir, Sp. M

Penulis:
Devita Widjaja (01073170028)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
PERIODE 19 MARET 2018 – 21 APRIL 2018
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Bpk. EM

Jenis kelamin : Pria

Tanggal lahir : 22 Maret 1966

Nomor rekam medis : RSUS.00-01-82-XX

Nomor telepon : 0878-2134-xxxx

Alamat : Tangerang

Agama : Kristen

Status perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Karyawan swasta

Pendidikan terakhir : S1

Tanggal masuk RS : 4 April 2018

Tanggal pemeriksaan : 4 April 2018

ANAMNESIS
 Autoanamnesis
 Tempat : Poli Mata RSUS
 Waktu : 17.00 WIB

Keluhan Utama
Penglihatan kedua mata dirasakan buram sejak 10 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli mata Rumah Sakit Umum Siloam (RSUS) dengan keluhan
penglihatan kedua matanya menjadi buram sejak sekitar 10 bulan yang lalu. Buram pada
mata kanan dirasakan lebih parah dari mata kiri. Pandangan menjadi buram secara gradual

1
dan semakin memburuk selama beberapa bulan terakhir. Pasien merasa pandangannya
menjadi berkabut. Pasien merasa silau jika terkena cahaya, sehingga pasien kesulitan
menyetir di malam hari. Pasien tidak merasakan nyeri, pusing, mata merah, mata gatal, mata
berair, belekan, penglihatan ganda, titik-titik hitam pada area penglihatan, maupun melihat
cincin berwarna pelangi saat melihat lampu. Tingkat keparahan penyakit adalah 7/10 karena
mengganggu produktivitas pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah didiagnosa menderita kanker nasofaring stadium 2 sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien menjalani radioterapi 33 kali dan kemoterapi 6x. Pada bulan Juni 2017 pasien
telah dinyatakan sembuh berdasarkan hasil MRI kepala dan leher. Pasien tidak memiliki
keluhan gangguan pendengaran maupun neurologis.
Pasien tidak pernah mengalami gejala serupa. Pasien tidak pernah mengalami trauma
pada kedua mata. Pasien tidak pernah memakai kacamata atau soft lens. Pasien tidak pernah
menjalani operasi mata. Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi, diabetes, kolesterol
tinggi, penyakit jantung, stroke, maupun asma. Pasien tidak mengetahui serta memperhatikan
adanya riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun zat-zat tertentu.

Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah mengkonsumsi obat tetes mata Insto selama sekitar 1 bulan untuk mengobati
keluhannya, namun berhenti karena tidak membaik. Satu tahun yang lalu, pasien menerima
radioterapi daerah kepala-leher sebanyak 2 Gy dalam 33 fraksi dan kemoterapi cisplatin 6
siklus. Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat steroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ayah pasien pernah terdiagnosa katarak mata kanan dan telah menjalani operasi katarak.
Anggota keluarga pasien tidak memiliki riwayat kanker, darah tinggi, diabetes, penyakit
jantung, stroke, asma maupun alergi.

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Pribadi :


Pasien datang dengan menggunakan BPJS kelas I. Pasien bekerja sebagai karyawan swasta.
Pasien tidak pernah merokok maupun mengkonsumsi minuman beralkohol dan NAPZA.

2
PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 4 April 2018 pukul 17.00 WIB di poli mata RSUS

Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis

Status Oftalmologis
Okuli Dextra (OD) Okuli Sinistra (OS)

Inspeksi

2/60 Visus 6/30


6/60 Koreksi 6/15
+2,25 Addisi +2,25
S-1,00 Kacamata S -0,75

Gerak Bola
Mata

Tidak ada Nistagmus Tidak ada

Kedudukan Bola Mata


Ortotrofia
Tidak ada Eksoftalmus Tidak ada
Tidak ada Enoftalmus Tidak ada
Tidak ada Eksotropia Tidak ada

3
Tidak ada Esotropia Tidak ada
Tidak ada Eksoforia Tidak ada

Supra Silia
Tidak ada Madarosis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada

Palpebra Superior
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ektropion Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Benjolan/Massa Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Pseudoptosis Tidak ada
Tidak ada Lagoptalmus Tidak ada
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Eksteropion Tidak ada

Palpebra Inferior
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Entropion Tidak ada
Tidak ada Ekstropion Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Benjolan/Massa Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Pseudoptosis Tidak ada
Tidak ada Lagoptalmus Tidak ada
Tidak ada Blefarospasme Tidak ada
Tidak ada Eksteropion Tidak ada

4
Area Lakrimal dan Pungtum Lakrimal
Ada Lakrimasi Ada
Tidak ada Epifora Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Bengkak Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Benjolan/massa Tidak ada
Tidak ada Fistula Tidak ada

Margo Palpebra Superior et Silia


Tidak ada Bengkak Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada

Margo Palpebra Inferior et Silia


Tidak ada Bengkak Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada

Konjungtiva Tarsalis Superior


Tidak ada Lithiasis Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Kalazion Tidak ada

5
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Simblefaron Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Anemis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Membran/
Tidak ada Tidak ada
Pseudomembran

Konjungtiva Tarsalis Inferior


Tidak ada Lithiasis Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Kalazion Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Simblefaron Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Anemis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Membran/
Tidak ada Tidak ada
Pseudomembran

Konjungtiva Bulbi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Kemosis Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Perdarahan
Tidak ada Tidak ada
Subkonjungtiva
Tidak ada Injeksi Siliar Tidak ada
Injeksi
Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva

6
Injeksi
Tidak ada Tidak ada
Episklera
Tidak ada Pterigium Tidak ada
Tidak ada Pinguekula Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Massa/benjolan Tidak ada

Sklera
Putih Warna Putih
Tidak ada Nodul Tidak ada
Tidak ada Stafiloma Tidak ada
Tidak ada Ruptur Tidak ada

Kornea
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Arkus Senilis Tidak ada
Tidak ada Edema Tidak ada
Korpus
Tidak ada Tidak ada
Alienum
Tidak dilakukan Tes Fluoresein Tidak dilakukan
Positif Refleks Kornea Positif
Tidak ada Nebula Tidak ada
Tidak ada Makula Tidak ada
Tidak ada Leukoma Tidak ada

COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak ada Hipopion Tidak ada
Tidak ada Hifema Tidak ada
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada IOL Tidak ada

7
Iris
Coklat Warna Coklat
Ada Kripta Ada
Tidak ada Atrofi Tidak ada
Tidak ada Sinekia Anterior Tidak ada
Sinekia
Tidak ada Tidak ada
Posterior
Gambaran
Baik Baik
Radier
Tidak ada Eksudat Tidak ada
Tidak ada Rubeosis Iris Tidak ada
Tidak ada Iris Tremulans Tidak ada
Tidak ada Iris Bombe Tidak ada
Tidak ada Iridodialisis Tidak ada

Pupil
Positif Bentuk isokor Positif
3 mm Besar 3 mm
Refleks Cahaya
Positif Positif
Langsung
Refleks Cahaya
Positif Positif
Tidak Langsung
Relative
Negatif Afferent Negatif
Pupillary Defect
Tidak ada Seklusio Pupil Tidak ada
Tidak ada Oklusio Pupil Tidak ada
Positif Leukokoria Positif

Lensa
Keruh Kejernihan Keruh
Positif Shadow Test Positif
Negatif Refleks Kaca Negatif

8
Vitreus
Detail sulit dinilai Kejernihan Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Flare Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Sel Radang Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Sel Eritrosit Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Fibrosis Detail sulit dinilai

Funduskopi
Negatif Refleks Fundus Negatif
Detail sulit dinilai Media Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Bentuk Papil Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Warna Papil Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Batas Papil Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Cup Disc Ratio Detail sulit dinilai
Rasio Arteri :
Detail sulit dinilai Detail sulit dinilai
Vena
Detail sulit dinilai Makula Lutea Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Retina Sentral Detail sulit dinilai
Detail sulit dinilai Retina Perifer Detail sulit dinilai

TIO
Normal Palpasi Normal
Tonometri
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Schiotz
Digital NCT
14 17
(mmHg)

Konfrontasi
Sama dengan pemeriksa Campus Sama dengan pemeriksa

9
RESUME
 Anamnesis
o Laki-laki berusia 52 tahun
o Pandangan kedua mata kabur secara gradual sejak sekitar 10 bulan lalu dan
bertambah parah. Buram pada mata kanan dirasakan lebih parah. Pandangan
seperti berkabut, terasa silau jika terkena cahaya, dan mengganggu produktivitas
karena pasien sulit menyetir di malam hari.
o Pasien terdiagnosa kanker nasofaring stadium 2 sejak 1 tahun yang lalu dan telah
menjalani radioterapi leher-kepala 2 Gy sebanyak 33 fraksi dan kemoterapi
cisplatin 6 siklus. Pasien dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan MRI pada
bulan Juni 2017.

 Status Generalis
o Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis

 Status Oftalmologis
Hasil pemeriksaan yang bermakna ditemukan yaitu :
Okuli Dextra (OD) Okuli Sinistra (OS)
2/60 Visus 6/30
6/60 Koreksi 6/15
+2,25 Addisi +2,25
S-1,00 Kacamata S -0,75
Positif Leukokoria Positif
Kejernihan
Keruh Keruh
Lensa
Positif Shadow Test Positif

DIAGNOSIS KERJA
 Okuli dextra = Katarak senilis imatur, presbiopia, miopia
 Okuli sinistra = Katarak senilis imatur, presbiopia, miopia

TATALAKSANA
 Slit-lamp
 Oftalmoskopi

10
 Biometri
 Kampimetri
 Retinometri
 Pemeriksaan lab BT, CT, PT, APTT, GDS

TERAPI
 Non-medikamentosa
o Edukasi pasien tentang katarak
o Edukasi pasien untuk menghindari faktor pencetus katarak
 Medikamentosa
o Kacamata bifokal
o Rencana operasi katarak okuli dextra dengan teknik fakoemulsifikasi dan
penanaman lensa intraokuler.

PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam
 Ad sanactionam : dubia ad bonam

11
PEMBAHASAN

Bapak EM, berusia 52 tahun, datang ke poliklinik mata Rumah Sakit Umum Siloam
dengan keluhan pandangan kedua mata kabur sejak 10 bulan lalu. Buram pada mata kanan
dirasakan lebih parah dari mata kiri. Pandangan dirasa seperti berkabut, terasa silau jika
terkena cahaya, dan mengganggu produktivitas pasien. Visus mata kanan pasien 2/60 dan
mata kiri pasien 6/30. Lensa pada kedua mata pasien keruh, leukokoria positif pada kedua
mata, dan shadow test pada kedua mata pasien (+) menunjukkan katarak imatur.

Keluhan pasien sangat sesuai dengan karakteristik penyakit katarak senilis imatur.
Pada pemeriksaan fisik mata secara menyeluruh, kedua bola mata pasien normal selain
penurunan visus kedua mata, kedua lensa keruh serta shadow test (+) katarak imatur. Pasien
didiagnosa dengan penyakit katarak senilis imatur okuli dextra dan sinistra. Akan tetapi,
standar baku diagnosa katarak adalah dengan pemeriksaan slit-lamp untuk menentukan jenis
dan grade katarak, serta untuk menghilangkan kemungkinan penyakit orbita lainnya.

Pemeriksaan fisik pada laporan ini masih kurang adekuat. Snellen chart sebaiknya
dilakukan dalam keadaan ruangan terang dan saat ruangan remang untuk mngetahui
perbedaan visus pada siang dan malam hari. Kampimetri dan retinometri dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya penurunan lapang pandang dan retinopati akibat efek
toksik dari radioterapi. Oftalmoskopi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit orbita
lainnya seperti glaukoma, edema makula, dan untuk mengetahui apakah terdapat penyulit
operasi. Pemeriksaan biometri bertujuan untuk mengetahui spesifikasi lensa agar IOL yang
ditanam sesuai dengan target visus terbaik. Diperlukan pula pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui fungsi sistemik pasien dan apakah pasien layak operasi. Karena pada pasien ini
didapatkan shadow test (+), maka pasien didiagnosa katarak senilis imatur.

Pasien memiliki riwayat terdiagnosa kanker nasofaring stadium II dan menjalani 33


kali radioterapi dan 6 kali kemoterapi. Paparan terhadap zat toksik kemoterapi dan radikal
bebas radioterapi mempercepat mekanisme agregasi protein pada pasien ini. Oleh karena itu,
diagnosa banding pada pasien ini adalah chemoradiotherapy induced cataract. Oleh karena
efek toksik ini bersifat luas, dikhawatirkan terjadi kerusakan pada organ orbita lainnya,
terutama retina. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan retinometri dan
kampimetri untuk diagnosis lebih lanjut. Akan tetapi, kasus katarak akibat radioterapi
ataupun kemoterapi sangat jarang terjadi. Selain itu, jika terjadi komplikasi, biasanya disertai

12
dengan penurunan fungsi pendengaran dan neurologis, yang tidak ditemukan pada pasien ini.
Oleh sebab itu, etiologi katarak pasien dicurigai lebih cenderung akibat proses penuaan.

Pada pasien ini ditemukan kelainan refraksi berupa presbiopia dan miopia okuli
dekstra sinistra. Presbiopia umum terjadi pada orang berusia di atas 40 tahun, dan pada pasien
berusia 52 tahun ini dibutuhkan lensa addisi sekitar +2.00 D. Karena sebelumnya pasien tidak
pernah menggunakan kacamata maupun kontak lensa, besar kemungkinan miopia pasien
disebabkan oleh kataraknya. Tatalaksana untuk kelainan refraksi ini adalah kacamata
progresif bifokal.

Tatalaksana untuk katarak adalah operasi phacoemulsification dan insersi lensa


intraokuler. Pada kasus ini, pasien layak menjalani operasi mata kanan karena visus nya 2/60.
Selain itu, katarak sudah mengganggu produktivitas sehari-hari pasien. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pula tidak ditemukan adanya penyulit, sehingga operasi
secara efektif dapat memajukan visus mata kanan pasien. Pasien pun dianjurkan untuk
menjalani pemeriksaan penunjang.

13
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Lensa
Lensa manusia adalah struktur bikonveks yang transparan yang berfungsi
untuk menjaga kejernihan dirinya sendiri, refraksi cahaya, serta menyediakan
akomodasi. Lensa dapat merefraksikan cahaya karena memiliki indeks refraksi yang
berbeda dari cairan aqueous dan vitreous di sekelilingnya. Lensa yang tidak
berakomodasi memiliki daya 15-20 dioptri (D).
Lensa terletak di posterior iris dan di anterior badan vitreous. Lensa manusia
terdiri atas kapsul, epitel, korteks, dan nukleus. Kutub anterior dan posterior lensa
dihubungkan oleh garis imajiner yang disebut optic axis. Meridien adalah garis di
permukaan yang menghubungkan kedua kutub, dimana garis terpanjang disebut
equator(1).
Lensa manusia terus menerus bertumbuh, awalnya berukuran 6,4 x 3,5 mm
dengan berat 90 mg di masa kanak-kanak, hingga berukuran 9 x 5 mm dengan berat
255 mg di usia dewasa. Indeks refraksi lensa semakin berkurang seiring pertambahan
usia akibat menumpuknya protein yang tidak dapat larut keluar dari lensa. Tidak ada
sel yang keluar dari lensa. Sel-sel terus bermitosis dan menumpuk, dengan lapisan sel
tertua terletak di tengah. Lapisan korteks lensa merupakan lapisan terluar dan terdiri
atas sel-sel yang baru terbentuk.
Kapsul lensa merupakan membran basal yang elastik dan transparan. Kapsul
terdiri atas jaringan ikat kolagen tipe IV yang dihasilkan oleh sel epitel. Kapsul
membungkus lensa dan menyebabkan perubahan bentuk lensa seiring berubahnya
daya akomodasi. Lapisan luar kapsul disebut lamella zonular dan berfungsi sebagai
tempat perlekatan serat zonular. Ketebalan kapsul tidak sama, bagian preequatorial
anterior dan posterior kapsul tebal, sementara bagian posterior kapsul sangat tipis.
Lensa diikat oleh serat zonules of Zinn yang tipis namun kuat. Jaringan ikat
zonular berasal dari lamina basalis epitelium tidak terpigmentasi dari pars plana dan
pars plikata badan silier. Seiring bertambahnya usia, serat zonular melemah sehingga
daya akomodasi pun melemah.
Epitel lensa terletak di balik bagian anterior kapsul lensa. Sel epitel ini aktif
secara metabolik mensintesis DNA, RNA, protein, lemak, dan ATP. Sel epitel ini juga
aktif bermitosis, terutama sel yang terletak di zona germinativa. Sel-sel epitel akan
bermigrasi menuju equator dan berdiferensiasi menjadi jaringan ikat. Pada tahap akhir

14
diferensiasi, sel epitel akan mengalami pertambahan kadar protein di dalam sel, dan
sel kehilangan nukleus, mitokondria, serta ribosom. Sel epitel pun menjadi sel serat
lensa yang transparan saat bermigrasi menuju bow region. Akibat tidak memiliki
organel, sel ini sepenuhnya bergantung pada glikolisis untuk pembentukan energi.
Lensa manusia tidak mendapatkan suplai pembuluh darah maupun inervasi dan
bergantung sepenuhnya pada aqueous humor untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya dan mengangkut produk sisa metabolisme(2).

B. Biokimia Lensa
Hampir separuh massa lensa terdiri atas protein. Protein lensa terbagi menjadi
protein larut air (80%) dan tidak larut air (20%). Protein larut air terdiri atas kelompok
protein kristalinα (terbagi jadi A dan B) dan kristalinβɣ (Dibagi jadi β dan ɣ). Protein
tidak larut air terdiri atas protein larut urea dan tidak larut urea. Protein tidak larut
urea membentuk major intrinsic protein (MIP) yang membentuk aquaporin 0,
berfungsi sebagai saluran air dan molekul pengikat antar sel serat lensa(3).
Semakin bertambahnya usia, perubahan oksidatif menyebabkan terbentuknya
ikatan protein-protein dan protein-glutathione disulfide. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kadar glutathione bebas di lensa, sehingga memicu agregasi protein.
Akibatnya, protein larut air berikatan menjadi partikel besar, yakni protein tidak larut
air. Hal ini menyebabkan lensa mengeruh seiring pertambahan usia(4).
Radikal bebas dapar berasal dari aktivitas metabolik sel internal dan dari
sumber radiasi eksternal. Radikal bebas mudah menyebabkan kerusakan DNA.
Radikal bebas yang sangat reaktif dapat menyebabkan kerusakan serat lensa. Melalui
proses peroksidasi lemak, terbentuk peroksida lemak (LOOH) yang dapat membentuk
malondialdehida (MDA). MDA bereaksi dengan membran lemak dan protein di lensa
sehingga menjadi malfungsi. Tidak ada mekanisme perbaikan untuk kerusakan sel
lensa. Pada area lensa yang malfungsi, akan terjadi polimerisasi dan ikatan silang
antara lemak dan protein yang menyebabkan bertambahnya kandungan protein tidak
larut air(5).
Lensa dilengkapi dengan mekanisme pertahanan dari radikal bebas, sebagai
berikut :
 Glutathione peroksidase yang mengkatalisis reaksi glutathione dan LOOH
menjadi glutathione disulfida, LOH, dan H2O. Glutathione disulfida kemudian
dikonversi kembali menjadi glutathione oleh glutathione reduktase.
15
 Katalase yang memecah H2O2 menjadi H2O
 Superoksida dismutase yang mengkatalisis destruksi anion O2- dan
menghasilkan H2O2

C. Fisiologi Lensa
Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah menjaga transparensi. Lensa
mendapatkan energi ATP dari siklus metabolisme glukosa. Glukosa dari aqueous
humor memasuki lensa melalui simple diffusion dan facilitated diffusion. Mayoritas
dari glukosa ini diubah oleh enzim heksokinase menjadi glucose-6-phosphate (G6P).
Selanjutnya, G6P memasuki jalur metabolik glikolisis anaerobik atau hexose
monophosphate (HMP). Akibat kadar oksigen yang rendah di lensa, hanya 3%
glukosa lensa yang melalui siklus Krebs dan menghasilkan ATP(6). Sekitar 4% dari
glukosa dalam lensa di metabolisme melalui sorbitol pathway. Produk sisa
metabolisme dikeluarkan dari lensa melalui difusi sederhana.

Mekanisme fisiologis lensa lainnya yang penting adalah kontrol keseimbangan


air dan elektrolit, yang sangat diperlukan bagi transparensi lensa. Normalnya lensa
manusia mengandung 66% air dan 33% protein. Korteks lensa lebih terhidrasi

16
dibandingkan nukleus lensa. Keseimbangan kation merupakan hasil dari transpor
pasif melalui permeabilitas membran sel, dan transpor aktif melalui pompa di
membran sel epitel dan sel serat lensa. Gabungan kedua mekanisme disebut juga
mekanisme teori pump-leak.
Epitel lensa berfungsi sebagai media transportasi aktif. Kalium dan asam
amino ditransportasi secara aktif dari aqueous humor ke dalam lensa. Kemudian
mereka berdifusi secara pasif melalui gradien konsentrasi ke belakang lensa.
Sebaliknya, natrium berdifusi secara pasif dari vitreous humor ke dalam lensa.
Kemudian pompa Na+, K+-ATPase di epitel kapsul anterior dan jaringan korteks
superfisial secara aktif memompa natrium ke luar dari lensa serta memompa kalium
ke dalam lensa. Konsentrasi natrium lebih tinggi di belakang lensa, sementara
konsentrasi kalium lebih tinggi di depan lensa. Distribusi elektrolit yang tidak merata
ini menciptakan energi elektrik potensial. Homeostasis kalsium juga memainkan
peranan penting dalam menjaga kejernihan lensa. Membran sel lensa relatif tidak
permeabel terhadap kalsium dan keseimbangan kalsium dijaga oleh pompa kalsium
Ca2+-ATPase. Seiring pertambahan usia, fungsi enzim ini terganggu dan
menyebabkan gangguan keseimbangan kation dan air(7).

D. Embriologi
Perkembangan lensa kristalin manusia dimulai sejak usia gestasi 25 hari.
Kedua evaginasi lateral yang disebut juga vesikel optik terbentuk dari otak, semakin
membesar dan berlekatan dengan permukaan ektoderm. Sel ektoderm ini merupakan

17
sebuah lapisan sel kuboidal yang berubah menjadi sel kolumnar pada hari ke 27
gestasi. Area dengan penebalan sel ini disebut juga plakode lensa. Selanjutnya,
perkembangan lensa membutuhkan bone morphogenetic protein (BMP). Pada hari ke-
29, terbentuk perlipatan plakode lensa yang menciptakan kantung untuk vesikel lensa.
Kantung terus membesar seiring invaginasi, sementara terjadi degenerasi apoptosis sel
penghubung lensa dengan ektoderm permukaan sehingga memisahkan keduanya.
Pada hari ke-30, terbentuklah vesikel lensa yang merupakan sebuah lapisan sel
kuboidal yang terbungkus dalam mebran basal (kapsul) sebesar 0,2 mm. Pada waktu
yang sama, vesikel optik membentuk kedua lapisan cawan optik.
Sel di lapisan posterior vesikel lensa berhenti bermitosis dan mulai
memanjang untuk mengisi lumen, pada hari ke-40 lumen pun penuh. Sel-sel yang
memanjang ini disebut serat utama lensa. Seiring dengan maturasi sel serat, mereka
kehilangan organel agar menjadi transparan. Sel di lapisan anterior vesikel lensa
merupakan selapis sel kuboidal dan berfungsi sebagai epitel lensa. Kapsul lensa
terbentuk dari epitel lensa di anterior dan serat lensa di posterior. Pada usia gestasi
bulan 2-8, sel epitel di dekat equator lensa memanjang membentuk serat lensa
sekunder. Aspek anterior dari setiap serat lensa memanjang ke kutub anterior lensa di
bawah epitel lensa. Aspek posteriorya memanjang ke kutub posterior lensa. Melalui
kedua proses ini, serat-serat lensa yang baru terus menerus terbentuk(8).
Lensa manusia pada umumnya memiliki massa 90 mg ketika lahir, dan terus
meningkat 2 mg/tahun. Seiring pertambahan usia, nukleus lensa menjadi lebih keras
dan daya akomodasi berkurang(1).

E. Definisi Katarak
Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies dan Latin cataracta yang
berarti air terjun. Katarak adalah kekeruhan pada lensa kristalin dimana penglihatan
tampak seperti tertutup air terjun. Katarak adalah kondisi kekeruhan lensa yang terjadi
akibat hidrasi lensa dan denaturasi protein lensa. Katarak senilis adalah semua
kekeruhan lensa yang terdapat pada pasien usia lanjut, yakni di atas usia 50 tahun(9).

F. Epidemiologi
Berdasarkan World Health Organization (WHO), katarak merupakan
penyebab utama kebutaan dan gangguan visual di dunia. Katarak juga merugikan
individu dalam segala aspek, terutama sosio-ekonomi dan produktivitas. Pada tahun
18
2002, WHO mendata bahwa katarak menyebabkan kebutaan reversibel pada
17.000.000 orang, sebesar 47,8% dari total kasus kebutaan di dunia. WHO
meramalkan bahwa di tahun 2020 angka kebutaan akibat katarak dapat mencapai
40.000.000, sehingga dibutuhkan peningkatan tindakan operasi katarak(10).
Prevalensi katarak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara,
yakni 1,8%. Katarak lebih umum dibandingkan glaukoma, penyakit kornea, atau
penyakit segmen posterior mata. Sebesar 0,78% populasi Indonesia mengalami
kebutaan akibat katarak yang tidak ditangani dan diobati. Umumnya katarak
ditemukan pada orang berusia 50-65 tahun. Akibat iklim di Indonesia, katarak terjadi
15 tahun lebih awal dari usia populasi yang tinggal di iklim sub tropis(11).
Berikut adalah epidemiologi katarak berdasarkan jenisnya(12) :

G. Klasifikasi
Katarak diklasifikasikan berdasarkan usia, lokasi dan bentuk, derajat
maturitas, serta grade. Berdasarkan usia, katarak terbagi menjadi (9) :
a. Katarak kongenital pada bayi berusia di bawah 1 tahun
b. Katarak juvenil pada individu berusia di atas 1 tahun dan di bawah 50 tahun
c. Katarak senilis pada individu berusia di atas 50 tahun

Penyebab katarak senilis hingga kini masih belum diketahui pasti. Banyak
faktor yang turut memainkan peran dalam proses penuaan dan kekeruhan lensa.
Berdasarkan lokasinya, katarak dibedakan menjadi 3 jenis, yakni (13):
a. Katarak Nuklearis
Sklerosis nukleus ringan dan perubahan warna lensa menjadi kuning umum
terjadi pada lansia. Untuk menentukan jenis katarak nuklearis, diperlukan
pemeriksaan slit-lamp dengan dilatasi pupil. Katarak nuklearis umumnya

19
bilateral dan cenderung berkembang lambat. Biasanya dampak terhadap visus
penglihatan jauh lebih besar dibandingkan visus penglihatan dekat. Pada tahap
awal pengerasan nukleus, pasien presbiopia menjadi dapat membaca tanpa
bantuan kacamata progresifnya. Terkadang dapat terjadi diplopia monokular
akibat perubahan indeks refraksi. Perubahan warna lensa menyebabkan pasien
sulit membedakan warna, terutama warna biru. Pada tahap lanjut, nukleus
lensa menjadi coklat buram, disebut katarak nuklearis brunescent.
b. Katarak Kortikalis
Katarak kortikalis dihubungkan dengan perubahan lokal dari struktur sel serat
matur. Saat terjadi gangguan pada membran integritas, komponen metabolit
penting hilang dari sel tersebut sehingga terjadi oksidasi dan presipitasi
protein. Katarak kortikalis umumnya bilateral, disertai rasa silau jika terkena
cahaya terang (lampu mobil). Progresifisitas katarak jenis ini berbeda pada
setiap individu.
Gejala utama katarak kortikalis pada pemeriksaan slit-lamp adalah vakuol dan
celah air di korteks anterior-posterior. Lamella kortikalis dapat dipisahkan oeh
cairan. Terbentuk kekeruhan seperti roda pedati pada perifer lensa, dengan
ujung lancipnya mengarah pada titik tengah lensa. Pada retroiluminasi,
kekeruhan tampak seperti bayangan gelap. Ketika kekeruhan sudah menutupi
bagian tengah lensa, maka katarak dikatakan matur. Katarak hipermatur terjadi
saat materi korteks yang berdegenerasi bocor melalui kapsul lensa, sehingga
kapsul menjadi keriput. Katarak morgagni terjadi jika pencairan korteks lebih
lanjut menyebabkan nukleus dapat bergerak bebas di dalam kantung kapsul.
Secara histopatologis katarak kortikalis dikarakterisasikan oleh pembengkakan
lokal dan degenerasi sel serat lensa.
c. Katarak Subkapsular Posterior
Umumnya ditemukan pada pasien berusia muda. Katarak jenis ini terletak
pada lapisan kortikalis posterior dan biasanya aksial. Pemeriksaannya melalui
slit-lamp dengan retroiluminasi dan dilatasi pupil. Pada slit-lamp, Indikasi
pertama katarak subkapsular posterior adalah pembentukan kilau iridescent
halus di lapisan kortikalis posterior. Pada tahap lanjut, muncul kekeruhan
granular dan kekeruhan seperti plak. Pasien umumnya mengeluhkan gejala
silau dan sulit melihat pada ruangan yang terang dikarenakan cahaya
menginduksi miosis mata sehingga katarak lebih menutupi apertur pupil.
20
Visus penglihatan dekat lebih berkurang dibandingkan visus jauh. Secara
histopatologis, terdapat migrasi posterior sel epitel lensa dari equator ke aksis
di permukaan dalam kapsul posterior disertai dengan pembengkakan sel (Wedl
cells).

Katarak senilis memiliki berbagai stadium klinis, yakni sebagai berikut (9) :
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Normal Bertambah (air Normal Berkurang (air
Lensa masuk) dan isi lensa
keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Normal Dangkal Normal Dalam
anterior
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow Normal Sempit Normal Terbuka
test
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
glaukoma

Jika proses katarak terus berjalan, maka korteks akan tampak seperti sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat.
Stadium ini disebut katarak morgagni.

H. Etiologi dan Pathogenesis


Seiring dengan perkembangan manusia lensa berkembang menjadi lebih berat dan
tebal, serta mengalami penurunan daya akomodasi. Sejak perkembangan manusia
dalam janin, tidak ada sel lensa yang hilang, sehingga lapisan sel baru terus menerus
menekan nukleus lensa dan mengubahnya menjadi keras (sklerosis nukleus).
Modifikasi kimiawi struktur kristalin menciptakan agregat protein yang mengurangi
transparensi dan mendispersikan cahaya. Selain itu, perubahan ini menyebabkan lensa

21
semakin berwarna kuning-kecoklatan. Katarak disebabkan oleh banyak faktor-faktor
yang saling berikatan yang mekanisme nya masih belum diketahui sepenuhnya.
a. Usia
Usia lanjut merupakan etiologi katarak yang paling umum.
b. Genetik (14)
Studi menunjukkan bahwa 50% katarak kortikalis dan 35-50% katarak
nuklearis diturunkan. Masih belum diketahui jelas gen yang memainkan
peranan pentig dalam herediter katarak.
c. Obat
i. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang, baik itu dalam
bentuk sistemik, tetes mata, topikal, subkonjungtival, maupun inhalasi
dapat menginduksi pembentukan katarak. Insidensi katarak
subkapsular posterior tergantung pada dosis obat dan lama pemakaian.
Secara histopatologis dan klinis, katarak akibat kortikosteroid tidak
dapat dibedakan dengan katarak akibat penuaan.
ii. Miotika
Penggunaan zat antikolinesterase dalam jangka panjang dan dosis
tinggi dapat menyebabkan katarak. Sebanyak 20% pasien terkena
katarak setelah menggunakan pilocarpine. Awalnya katarak ini timbul
sebagai vakuola kecil di dalam kapsul posterior dan anterior lensa pada
pemeriksaan slit-lamp dengan retroiluminasi.
d. Trauma
i. Kontusio
Trauma tumpul pada mata dapat menyebabkan timbulnya vossius ring.
Trauma tumpul dapat menyebabkan kekeruhan berbentuk stellate atau
rosette pada kapsul posterior lensa.
ii. Radiasi Ion
Lensa mata sangat sensitif terhadap radiasi ion. Umumnya katarak
timbul dalam jangka 20 tahun setelah terkena radiasi, namun periode
laten bergantung pada dosis radiasi dan usia pasien. Awalnya muncul
kekeruhan di kapsul posterior dan subkapsular anterior yang merambat
menuju equator lensa. Sinar X (0,001 – 10,0 nm) sebesar 200 rad
dalam satu fraksi dapat menimbulkan katarak pada orang tertentu.
22
iii. Radiasi Ultraviolet(15)
Paparan sinar matahari dalam jangka panjang dapat menyebabkan
katarak kortikalis. Dapat dicegah dengan menggunakan lensa yang
dapat menyerap sinar UV, kacamata hitam, atau memakai topi
pelindung.
iv. Luka Kimiawi
Luka yang disebabkan bahan alkali dapat menyebabkan katarak, dan
luka pada kornea, konjungtiva, serta iris. Kadar pH mata meningkat
dan kadar glukosa serta asam amino di aqueous humor menurun.
Pembentukan katarak kortikalis terjadi secara akut atau gradual.
Trauma bahan kimia asam cenderung lebih tidak berbahaya sehingga
jarang menimbulkan katarak.
e. Metabolik
i. Diabetes Mellitus (DM)
Penderita diabetes melitus dapat terkena katarak pada usia yang lebih
dini dibandingkan populasi normal. Penderita diabetes mellitus
memiliki kadar gula darah yang tinggi akibat kekurangan hormon
insulin. Kadar gula darah yang tinggi menyebabkan kadar glukosa di
aqueous humor meningkat pula. Karena glukosa masuk ke lensa
melalui gradien difusi, maka kadar glukosa di lensa juga menjadi
tinggi. Sebagian glukosa (4%) tersebut diubah menjadi sorbitol oleh
enzim aldolase reduktase. Jika kadar gula terlalu tinggi, maka banyak
NADP yang dihasilkan oleh sorbitol pathway. NADP dalam kadar
berlebih menginduksi penutupan shunt HMP. Akibatnya, sorbitol dan
fruktosa terakumulasi dalam lensa, menyebabkan tekanan osmotik
lensa meningkat dan air berdifusi secara osmotik ke lensa. Hal ini
menyebabkan pembengkakan lensa, hancurnya struktur sel, serta
kekeruhan pada lensa.
Katarak pada penderita diabetes melitus umumnya bilateral, onset
cepat, dan terjadi di subkapsular. Pada pemeriksaan slit-lamp terlihat
kekeruhan putih keabuan multipel seperti serpihan salju di korteks
lensa anterior dan posterior.
ii. Galaktosemia(16)

23
Galaktosemia adalah kelainan yang diturunkan, dimana penderita tidak
dapat mengkonversi galaktosa menjadi glukosa akibat kekurangan
enzim galaktosa 1-fosfat uridyltransferase (klasik), galaktokinase, atau
UDP galaktosa 4-epimerase. Sebanyak 75% penderita galaktosemia
klasik akan terkena katarak pada minggu awal kehidupan. Akumulasi
galaktosa dan galaksitol di sel lensa menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik intraseluler dan influks cairan ke lensa. Pada pemeriksaan slit-
lamp ditemukan tanda khas “oil droplet”. Galaktosemia yang
disebabkan oleh defisiensi kedua enzim yang lain biasanya terjadi di
usia dewasa.
iii. Atopik dermatitis
Sebanyak 25% pasien atopik dermatitis terkena katarak. Katarak
umumnya bilateral, terjadi pada pasien berusia 20-30 tahun. Katarak
terjadi pada subkapsular anterior dan berbentuk seperti plak perisai.
f. Nutrisi
Makanan mempengaruhi pembentukan senyawa radikal bebas di lensa.
Suplemen vitamin A, C, E, niasin, tiamin, riboflavin, beta karoten, dan protein
menghasilkan efek protektif terhadap pembentukan katarak. Selain itu, lensa
manusia hanya mengandung lutein dan zeaxanthin, memakan makanan tinggi
lutein seperti bayam dan brokoli dapat menurunkan resiko terkena katarak.
g. Rokok
Merokok dapat meningkatkan kadar radikal bebas di tubuh sehingga memicu
pembentukan katarak.
h. Terapi Okular(17)
Sebanyak 60-95% pasien yang menjalani vitrektomi dapat terkena katarak
nuklearis dalam jangka 2 tahun setelah menjalani prosedur tersebut. Umumnya
fenomena ini terjadi pada pasien berusia di atas 50 tahun.

I. Diagnosis Katarak
Berikut adalah pertanyaan penting untuk diagnosis dan tatalaksana katarak :
 Apakah operasi penggantian lensa dapat memperbaiki visus pasien secara
efektif?
 Apakah pasien cukup sehat untuk menjalani operasi katarak?

24
 Apakah pasien dan caregiver dapat mengikuti anjuran dokter untuk perawatan
post-operasi?
 Apakah kekeruhan lensa disebabkan oleh kondisi sistemik, atau menghalangi
diagnosis dan tatalaksana penyakit okuler yang lain?

Berikut adalah proses diagnosis katarak :

i. Gejala dan Tanda


Pada umumnya pasien katarak datang dengan keluhan pandangan
buram dan mata seperti tertutup kabut/tirai. Biasanya pasien mencari
pertolongan medis setelah mengalami gangguan produktivitas dan
aktivitas sehari-hari.
Jenis katarak yang berbeda menimbulkan efek berbeda pada visus
mata, tergantung pada pencahayaan, ukuran pupil, dan derajat miopia.
Berikut adalah tabel perbandingan gejala dari ketiga jenis katarak.

.
Progresifitas katarak subkapsularis posterior lebih cepat dibandingkan
katarak lainnya. Pasien katarak juga sering mengeluhkan sensitivitas
terhadap sorotan cahaya, mulai dari penurunan sensitivitas kontras di
ruangan yang terang, hingga gangguan aktivitas di siang hari atau
ketika menyetir malam hari. Selain itu, kataraj dapat meningkatkan
dioptri lensa sehingga menyebabkan miopia ringan-sedang. Umumnya
pasien presbiopia menjadi dapat melihat jarak dekat tanpa kacamata
adisi plus. Akan tetapi, seiring progresifisitas katarak, terjadi
anisometropia. Diplopia monokular dapat terjadi akibat perubahan
nuklear terjadi pada lapisan dalam nukleus lensa.
ii. Pemeriksaan Diagnostik
 Pen light
Pen light digunakan untuk memeriksa shadow test. Shadow test
atau uji bayangan iris adalah pemeriksaan untuk mengetahui
derajat kekeruhan lensa. Berdasarkan pemeriksaan ini, dapat
ditemukan :
o Tidak ad katarak = Shadow test (-)

25
Lensa jernih
o Katarak imatur = Shadow test (+)
Bayangan iris pada lensa terlihat lebih besar dan
letaknya jauh terhadap pupil (lensa belum keruh
sepenuhnya).
o Katarak matur = Shadow test (-)
Lensa tampak keruh seluruhnya sehingga bayangan iris
kecil dan dekat terhadap pupil
 Snellen Chart
Pemeriksaan Snellen dalam kondisi gelap dan terang sangat
penting. Pada sebagian pasien katarak, kemampuan penurunan
visus baru signifikan pada kondisi ruangan terang. Penglihatan
jarak jauh dan jarak dekat harus diperiksa untuk menentukan
visus terbaik, sehingga spesialis mata dapat menentukan mata
dengan prognosis perbaikan terbaik.
 Refraksi
Refraksi pada kedua mata wajib diperiksa untuk perencanaan
kekuatan lensa intraokuler yang akan ditanam pada saat
operasi.
 Pupil
Refleks cahaya langsung, tidak langsung, dan RAPD wajib
diperiksa untuk mengidentifikasi kelainan jaras nervus II dan
III. Selain itu, ukuran pupil yang kecil menjadi salah satu
penyulit operasi katarak.
 Lapang Pandang
Setiap pasien katarak wajib menjalani pemeriksaan konfrontasi
lapang pandang untuk mendeteksi adanya penurunan lapang
pandang yang disebabkan oleh penyakit lain selain katarak,
cotohnya penyakit glaukoma, nervus optikus, dan abnormalitas
retina.
 Gerakan Bola Mata

26
Kesejajaran bola mata dan kelancaran gerak bola mata harus
dievaluasi untuk mendeteksi adanya strabismus dan ambliopia
yang menyebabkan penurunan visus.
 Uji Sensitiviti Kontras
o Pelli-Robson
o Hamilton Veale
o CSV-1000E
 Kuesioner
o VF-14
o ADVS
o QWB-SA
 Oftalmoskopi
Oftalmoskopi direk maupun indirek dilakukan untuk
mengevaluasi makula, nervus optikus, pembuluh darah retina,
dan area perifer retina. Degenerasi makula, retinopati diabetik,
ablasio retina, serta edema makula harus diwaspadai karena
dapat membatasi perbaikan visus. Diperiksa pula cup disk ratio
untuk mendeteksi glaukoma dan atrofi papil.
 USG
Jika media refraksi anterior terlalu keruh untuk diperiksa
dengan oftalmoskopi, maka dapat digunakan USG untuk
mendeteksi ablasio retina, kekeruhan pada vitreous humor,
tumor posterior, serta stafiloma.
 Slit Lamp
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa abnormalitas pada
konjungtiva dan kornea yang dapat menjadi penyulit operasi.
Selain itu, diperiksa pula bilik anterior mata untuk
menyingkirkan diagnosis glaukoma, sinekia anterior, dan
neovaskularisasi. Selain itu, ukuran pupil setelah dilatasi juga
harus diukur. Jika dilatasi pupil terlalu kecil, maka dapat
dilakukan iridotomi radial, iridektomi sektoral, serta retraksi
iris. Posisi lensa dan integritas serat zonular juga menjadi
pertimbangan dalam memilih metode operasi.

27
 Biometri
Pengukuran panjang aksis lensa yang akurat menggunakan
biometri wajib dilakukan untuk mempertimbangkan kekuatan
lensa intraokuler.
 Topografi kornea
Pemeriksaan ini menghasilkan peta kontur kornea. Pemeriksaan
ini berguna bagi pasien dengan astigmatisme ireguler,
keratokonus, atau dengan riwayat operasi keratorefraktif.
 Pakimetri kornea
Merupakan suatu metode untuk mengukur ketebalan kornea
dan sangat berguna untuk menilai fungsi endotel secara indirek.
Semakin tebal endotel kornea, semakin tinggi resiko
dekompensasi kornea post-operasi.
 Mikroskop spekular
Digunakan untuk memeriksa jumlah sel / mm2 dari endotel
kornea. Hal ini dilakukan karena operasi katarak menyebabkan
hilangnya sebagian sel endotel dan beresiko menyebabkan
dekompensasi kornea.
 Retinometri
Dilakukan untuk menilai fungsi retina.
 Pemeriksaan laboratorium
Pasien katarak yang akan dioperasi wajib menjalani
pemeriksaan laboratorium lengkap yang mencakup gula darah
sewaktu untuk menyingkirkan komplikasi infeksi post-operasi.
Selain itu diperiksa pula bleeding time, clotting time, serta
fungsi hati.

J. Tatalaksana Katarak
1. Medikamentosa
a. Non-Surgikal
 Kacamata
Pada pasien yang tidak dapat dioperasi atau karena suatu alasan tidak
dapat segera dioperasi, dapat diberikan kacamata sesuai dengan hasil

28
perbaikan terbaik untuk memaksimalkan visus pasien. Dapat juga
diberikan monokular tangan agar lebih fleksibel.
 Dilatasi pupil
Pada katarak aksial, dilatasi pupil melalui midriatik ataupun laser
pupilloplasty dapat memperbaiki fungsi visus. Melalui dilatasi pupil,
lebih banyak cahaya masuk ke daerah perifer lensa.
 Inhibitor aldose reduktase
Penelitian untuk obat pencegah katarak sedang berkembang. Studi pada
hewan yang dikondisikan diabetes menunjukkan bahwa inhibitor
aldose reduktase secara signifikan mencegah pembentukan katarak.
 Vitamin antioksidan(18)
Vitamin E,C, beta karoten, dan zinc tidak menghambat pembentukan
katarak.
b. Surgikal
Indikasi utama untuk operasi katarak adalah keinginan pasien untuk
perbaikan visus. Indikasi untuk operasi tidak hanya dibatasi oleh penurunan
visus, melainkan oleh severitas gangguan aktivitas pasien. Kuesioner VF-14
(Visual Function Index), QWB (Quality of Well-Being Scale), serta ADVS
(Actvities of Daily Vision Scale) dapat digunakan sebagai standar untuk
evaluasi pasien(19). Selain itu, operasi harus dilakukan pada kasus pasien
dengan katarak yang menghalangi pemeriksaan fundus dan retina yang
dapat berakibat fatal. Pada pasien dengan katarak bilateral, mata yang
dioperasi lebih dahulu adalah mata dengan tingkat katarak lebih parah. Pada
pasien dengan penyulit sehingga tindakan operasi sangat beresiko dan
kemungkinan hanya 1 mata yang dapat dioperasi, maka operasi diutamakan
untuk mata yang memiliki prognosis perbaikan visus lebih baik.
Terdapat 4 macam metode operasi katarak, yakni operasi ekstraksi
katarak ekstrakapsular (EKEK), ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK),
manual small incission cataract surgery (MSICS) serta fakoemulsifikasi.
EKEK dan EKIK adalah teknik operasi manual, dimana lubang insisi pada
kornea cukup besar dan berkemungkinan besar menimbulkan efek samping
astigmatisme. Pada EKIK, sebuah cryoprobe masuk ke dalam COA untuk
mengangkat lensa beserta kapsulnya. Pada EKEK, hanya bagian nukleus

29
dan korteks lensa yang diangkat melalui inssi berdiameter 8-10 mm. Setelah
itu, lensa PMMA yang kaku dimasukkan menggantikan lensa yang
diangkat. MSICS merupakan teknik modifikasi EKEK dimana insisi dibuat
di sklera sejauh 2 cm dari kornea. Kelebihan dari prosedur ini adalah tidak
ada efek samping astigmatisma namun operasi membutuhkan waktu lama.
Teknik fakoemulsifikasi adalah teknik terbaru yang menggunakan
gelombang ultrasonik untuk memecahkan nukleus lensa dan sebuah alat
pompa untuk menghisapnya. Kemudian sebuah lensa lipat dimasukan
melalui celah kecil menggantikan lensa yang diangkat. Kelebihan dari
teknik ini adalah proses pengerjaannya cepat, hanya membutuhkan insisi
kecil dan proses penyembuhan lebih cepat.
2. Non-medikamentosa
a. Edukasi pasien mengenai penyakit katarak
b. Modifikasi gaya hidup untuk menghindari faktor resiko pencetus katarak

K. Komplikasi Katarak
Katarak dapat menyebabkan endoftalmitis, keratopati bulosa, malposisi lensa
intraokuler, cystoid macular edema, retinal detachment, posterior capsule
opacification, toxic Anterior Segment Syndrome, serta degenerasi makula.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kuszak, Clark JL, Cooper KE, et al J. Biology of the Lens : Lens Transparency as A
Function of Embryology, Anatomy and Physiology. 2nd ed. Philadelphia: Saunders;
2000. 1355-1408 p.

2. Snell, Lemp MA R. Clinical Anatomy of the Eye. Boston: Blackwell; 1998. 197-204 p.

3. Andley, Liang JJN, Lou MF U. Biochemical mechanisms of age-related cataract.


Philadelphia: Saunders; 2000. 1428-1449 p.

4. Bloemendal, Jong W, Jaenicke R, Lubsen NH, Slingsby C, Tardieu A H. Aging and


Vision : Structure, Stability and Function of Lens Crystallins. Prog Biophys Mol Biol.
2004;86(3):407–85.

5. Beebe DC. Adler’s Physiology of the Eye : Clinical Application. St. Louis: Mosby;
2003. 117-158 p.

6. Heys, Cram SL, Truscott RJ K. Massive Increase in the Stiffness of the Human Lens
Nucleus with Age : the Basis for Presbyopia? Mol Vis. 2004;10:956–63.

7. Winkler, Wirbelauer C, Frank V, Laqua H J. Quantitative Distribution of


Glycosaminoglycans in Young and Senile (Cataractous) Anterior Lens Capsules. Exp
Eye Res. 2001;72(3):311–8.

8. Kuszak, Clark JL, Cooper KE, et al J. Embryology and Anatomy of Human Lenses.
Philadelphia: Saunders; 2002. 1-20 p.

9. Ilyas, Yuliantu R S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. 214 p.

10. Gregory Skuta, Louis B. Cantor, Jayne S. Weiss L. Epidemiology of Cataracts. In:
Lens and Cataract. Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2012. p. 71–4.

11. Ratnaningsih, Rauhan A, Hutauruk J, Paramita R, et al N. IAPB Vision 2020


Workshop Indonesia. In: Report of Vision 2020 IAPB Workshop Indonesia. 2014. p.
3.

12. Abraham AG, Condon NG, Gower EW. The New Epidemiology of Cataract.
Ophthalmol Clin N Am. 2006;19:415–25.

13. Albert, Jakobiec FA D. Principles and Practice of Ophthalmology. Philadelphia:

31
Saunders; 1994. 564-575 p.

14. Hammond, Duncan DD, Snieder H, et al C. The Heritability of Age-Related Cortical


Cataract: The Twin Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2001;42(3):601–5.

15. Cruickshanks, Klein BE, Klein R K. Ultraviolet Light Exposure and Lens Opacities :
the Beaver Dam Eye Study. Am J Public Heal. 1992;82:1658–62.

16. Burke, O’Keefe M, Bowell R, Naughten ER J. Ophthalmic Findings in Classical


Galactosemia : A Screened Population. J Pediatr Ophthalmul Strabismus.
1989;26:165–8.

17. Melberg, Thomas MA N. Nuclear Sclerotic Cataract After Vitrectomy in Patients


Younger than 50 Years of Age. Ophthalmology. 1995;102(10):1446–71.

18. McNeil, Robman L, Tikellis G, Sinclair MI, McCarty CA, Taylor HR J. Vitamin E
Supplementation and Cataract : Randomized Controlled Trial. Ophthalmology.
2004;111:75–84.

19. Rosen, Kaplan RM, David K P. Measuring Outcomes of Cataract Surgery Using the
Quality of Well-Being Scale and VF-14 Visual Function Index. J Cataract Refract
Surg. 2005;31(2):369–78.

32

Anda mungkin juga menyukai