Anda di halaman 1dari 23

REFERAT DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA

TRANSSEKSUALISME

Disusun oleh:
Alexsandro I. S. Lao
01073170180

Pembimbing:
dr. Ashwin Kandouw, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA SANATORIUM


DHARMAWANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE
6 AGUSTUS – 8 SEPTEMBER 2018
JAKARTA
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
2.1 Definisi..........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..................................................................................................4
2.3 Etiopatogenesis..............................................................................................5
2.3.1 Biologis...................................................................................................5
2.3.2 Psikososial...............................................................................................8
2.4 Klasifikasi......................................................................................................8
2.5 Penegakan Diagnosis.....................................................................................8
2.6 Diagnosis Banding.......................................................................................13
2.7 Penatalaksanaan...........................................................................................13
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

2
BAB I
PENDAHULUAN
Transeksual merupakan kondisi dimana individu baik laki-laki maupun
perempuan yang sepanjang hidupnya merasa bahwa dirinya terperangkap di tubuh
yang salah dan berupaya untuk mengubah jenis kelaminnya baik secara hormonal
maupun operatif.1 Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) V, transeksual atau saat ini disebut sebagai disforia gender,
didefinisikan sebagai sebagai perasaan ketidakpuasan secara afektif dan kognitif
mengenai jenis kelamin saat lahir.3
Transeksual terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Transeksual
dapat terjadi pada usia 15-64 tahun. Transeksual lebih sering terjadi pada jenis
kelamin laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 pada usia dewasa,
5:1 pada usia remaja.4 Sebuah penelitian menyebutkan bahwa terdapat 1:7.750
laki-laki dewasa dan 1:13.120 perempuan dewasa yang mengubah nama secara
legal serta 1:10.154 laki-laki dewasa dan 1:27.668 perempuan dewasa yang
menjalani terapi hormonal.5 Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa
terdapat 1:30.000 laki-laki dewasa dan 1:100.000 perempuan dewasa yang
menjalani operasi perubahan jenis kelamin.6
Penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan. Di Indonesia, penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan
berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ).
Sedangkan secara internasional, penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan
berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).7
Terapi yang dapat dilakukan pada individu transeksual adalah konseling dan
terapi psikologis, terapi hormonal, dan perubahan kelamin secara operatif.
Konseling dan terapi psikologis bertujuan untuk meningkatkan kepuasan terhadap
gender biologisnya dengan cara memfasilitasi pengurangan gejala disforia gender.
Terapi hormonal dilakukan dengan melakukan supresi kadar testosteron dengan
menggunakan preparat spironolakton, cyproterone acetate, dan agonis GnRH.
Sedangkan operasi perubahan kelamin dapat dilakukan pada pasien yang berusia
diatas 18 tahun dan gagal respon dengan terapi psikologis, terapi RLE, terapi
hormonal selama 12 bulan terturut-turut.11,12

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Transeksual merupakan kondisi dimana individu baik laki-laki maupun
perempuan yang sepanjang hidupnya merasa bahwa dirinya terperangkap di
tubuh yang salah dan berupaya untuk mengubah jenis kelaminnya baik secara
hormonal maupun operatif.1 Sedangkan Perhimpunan Dokter Jiwa Indonesia
(PDJI) menyebutkan bahwa transeksual merupakan kondisi dimana individu
mengalami ketidakcocokan antara identitas gender dengan harapan sosialnya
maupun stereotipe yang berkaitan dengan pembagian jenis kelamin secara
biner yaitu laki-laki dan perempuan serta adanya upaya untuk mengubah jenis
kelaminnya.2
Transeksual merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
individu yang mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan
berkeinginan untuk mengubahnya. Transeksual disebut juga sebagai gender
variant, gender nonconforming, gender queer, genderfluid, bigender,
genderneutral, agender, andnonbinary, disforia gender, dan transgender.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
V, transeksual atau saat ini disebut sebagai disforia gender, didefinisikan
sebagai sebagai perasaan ketidakpuasan secara afektif dan kognitif mengenai
jenis kelamin saat lahir.3

2.2 Epidemiologi
Transeksual terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Transeksual
dapat terjadi pada usia 15-64 tahun. Transeksual lebih sering terjadi pada jenis
kelamin laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 pada usia
dewasa, 5:1 pada usia remaja.4 Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
terdapat 1:7.750 laki-laki dewasa dan 1:13.120 perempuan dewasa yang
mengubah nama secara legal serta 1:10.154 laki-laki dewasa dan 1:27.668
perempuan dewasa yang menjalani terapi hormonal.5 Sedangkan penelitian
lain menyebutkan bahwa terdapat 1:30.000 laki-laki dewasa dan 1:100.000
perempuan dewasa yang menjalani operasi perubahan jenis kelamin.6

4
2.3 Etiopatogenesis
Etiopatogenesis dari transeksual dibagi menjadi dua yaitu secara biologis dan
psikososial.

2.3.1 Biologis
A. Genetik
Dalam keadaan normal, individu dengan jenis kelamin
perempuan memiliki kromosom tipe XX, sedangkan individu dengan
jenis kelamin laki-laki memiliki kromosom tipe XY. Namun pada
kondisi tertentu, dapat terjadi kelainan kromosom dengan tipe XXY
dan XYY. Selain kelainan kromosom, terjadinya transeksual juga
dihubungkan dengan gen CYP17 dan polimorfisme gen ERβ.9
Pada laki-laki, dapat didapatkan kelainan kromosom yang
terjadi pada kromosom XY seperti yang terjadi pada sindrom
Klinefelter (47, XXY) yang akan bermanifestasi klinis sebagai laki-
laki yang mengalami ginekomastia, pertumbuhan bulu yang minimal,
serta suara yang kecil. Sedangkan pada perempuan, dapat didapatkan
kelainan kromosom yang terjadi pada kromosom XX seperti yang
terjadi pada sindrom Turner (45X) yang akan bermanifestasi klinik
sebagai perempuan yang mengalami hambatan pertumbuhan
payudara, tidak mengalami menstruasi, dan infertilitas.7,8
Sumber lain menyebutkan bahwa adanya mutasi genetik yang
berkaitan dengan steroid-seksual dapat menyebabkan adanya kelainan
perkembangan seksual terutama pada proses diferensiasi organ
genitalia baik interna maupun eksterna. Selain itu, adanya
polimorfisme kromosom juga diduga dapat menyebabkan kelainan
seksual ini.

B. Kelainan anatomi
Secara normal, terdapat beberapa perbedaan struktur dalam
otak manusia antara laki-laki dan perempuan. Terdapat beberapa
struktur yang berukuran lebih besar pada perempuan, meliputi

5
nukleus kaudatus, hipokampus, area Broca, komisura anterior, dan
lobus parietal dekstra. Sedangkan pada laki-laki, struktur seperti
hipokampus, stria terminalis, dan amigdala berukuran lebih besar
daripada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan fisiologi dan biokimia
yang terjadi pada keduanya.10
Pada aspek fisiologis, laki-laki memiliki kelebihan dalam hal
visuospatial spesifik seperti rotasi mental dan memecahkan masalah
matematika. Sedangkan perempuan memiliki kelebihan dalam hal
pelafalan verbal, artikulasi, dan tes memori verbal. Pada aspek
biokimia, laki-laki lebih sensitif terhadap rangsangan kolinergik
terhadap aksis hipothalamus, hipofisis, dan kortisol adrenal daripada
perempuan.10
Pada transeksual tipe transwoman ditemukan karakteristik
seksual spesifik di otak yang lebih menyerupai perempuan daripada
laki-laki, terutama pada bagian tengah dari nukleus stria terminalis
dan nukleus interstitial dari hipotalamus anterior yang berukuran
lebih kecil daripada pada laki-laki sehingga menyerupai perempuan.
Hal ini akan mempengaruhi proses regulasi hormonal terutama
hormon estrogen.10
Selain itu, adanya kelainan anatomi pada substansia grissea
terkait dengan ketebalan korteks pada regio orbito-frontal, insular,
dan occipital media; putamen, serta mikrostruktur dari substansia alba
yang terkait dengan koneksivitas intra-hemisfer antara subkortikal
dekstra serta lobus frontal dan temporal dekstra yang dianggap
sebagai penyebab dari terjadinya kondisi transeksual. Hal ini
berkaitan dengan adanya perubahan proses fisiologi neurologis dan
endokrin yang disebabkan oleh adanya kelainan anatomi tersebut.7

C. Hormonal
Steroidogenesis merupakan proses produksi hormon steroid
yang terdapat pada gonad dan glandula adrenal. Kolesterol
merupakan prekusor utama yang akan dikonversi secara biologis
menjadi pregnenolone. Pregnenolone akan diproses oleh P450c17

6
menjadi steroid 17-alpha-hydroxylase. Steroid 17-alpha-hydroxylase
dan 17,20-lypase activity akan diproses di glandula adrenal dan gonad
untuk mensintesis glukokortikoid 17-alpha-hydroxylase dan steroid
seks seperti DHEA.
DHEA akan dikonversi menjadi androgen, yang nantinya akan
diproses menjadi androstenedione dan testosterone. Testosterone akan
mengalami katalisis oleh 5-alpha-reductase menjadi
dihidrotestosterone. Dihidrotestosteron ini akan mempengaruhi
perkembangan genitalia eksterna laki-laki, uretra, dan prostat selama
embriogenesis dan maturasi organ seksual laki-laki saat remaja.
Selain itu, cP450 aromatase akan mengkatalisis hormon androgen
menjadi estrogen yang berperan dalam reproduksi perempuan. Selain
itu, terdapat hormon progesteron yang merupakan derivat dari
pregnenolone dan diproduksi oleh corpus luteum. Kedua hormon ini
berkaitan dengan siklus menstruasi dan kehamilan pada perempuan.10
Adanya diferensiasi seksual jaringan somatis dapat disebabkan
oleh paparan hormon androgen terhadap fetus saat proses kehamilan.
Munculnya fenotip maskulin dapat disebabkan oleh karena adanya
kadar hormon androgen yang cukup, sedangkan fenotip feminin
disebabkan oleh karena tidak adanya kadar hormon androgen.
Hormon seksual ini akan berefek pada otak yang selanjutnya akan
mempengaruhi pembentukan alat genitalia. Selain itu, berkurangnya
aktivasi hormon GnRHa pada lobus temporalis superior dekstra dan
kadar hormon serotonin yang berbeda pada kedua hemisfer dapat
dianggap berhubungan dengan seksual genetik, gender, dan kejadian
transeksual.7

2.3.2 Psikososial

Pengaruh psikososial terhadap kejadian transeksual berkaitan


dengan beberapa faktor seperti pola asuh orangtua, dominasi peran
orangtua, dan pengaruh lingkungan sekitar. Pola asuh orangtua
memegang pengaruh yang besar dalam perkembangan psikologis anak

7
yang terkait dengan gender. Selain itu, dominasi peran orangtua dalam
mengasuh anak juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan
psikologis anak. Dominasi peran ayah pada anak perempuan akan
menyebabkan proses replika sehingga timbul sifat maskulinisme,
sedangkan dominasi peran ibu pada anak laki-laki akan menimbulkan
sifat feminisme.3,7

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi transeksual dibagi berdasarkan Sex Orientation Scale (SOS)
menjadi tiga jenis yaitu sebagai berikut.
1. Tanpa operasi, dimana terdapat gejala yang mencolok namun tidak ada
keinginan maupun usaha untuk mengubah jenis kelamin
2. Intensitas sedang, dimana terdapat gejala yang mencolok yang disertai
dengan keinginan untuk mengubah jenis kelamin, namun tidak ada usaha
untuk mewujudkannya
3. Intensitas tinggi, dimana terdapat gejala yang mencolok yang disertai
dengan usaha untuk mengubah jenis kelamin7

2.5 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan. Di Indonesia, penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan
berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ).
Sedangkan secara internasional, penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan
berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).

1. PPDGJ
Dalam PPDGJ IV, transeksual dijelaskan dalam kode F64.0.
Menurut PPDGJ V, diagnosis transeksual ditegakan apabila terdapat
kriteria sebagai berikut.

8
a. Adanya identitas transeksual yang menetap selama minimal 2 tahun
dan bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti
skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik,
maupun kromosom.
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari
kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau
ketidakserasian dengan anatomi seksual biologisnya
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan
pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan
jenis kelamin yang diinginkan8
2. DSM
Transeksual, atau menurut DSM-5 saat ini disebut sebagai disforia
gender, dibedakan antara disforia gender yang terjadi pada usia anak-anak
dan dewasa. Pada usia anak-anak, penolakan gender biologis ditandai
dengan adanya perubahan cara bermain, berpakaian, berhubungan sosial,
dan kadang karakteristik seksual primer. Sedangkan pada usia dewasa,
penolakan gender biologis ditandai dengan adanya perubahan
karakteristik seksual sekunder. Disforia gender pada usia dewasa biasanya
bersifat persisten, sedangkan pada usia anak-anak cenderung dapat
menghilang seiring dengan pertambahan kedewasaan.7
Berdasarkan DSM-5, diagnosis disforia gender pada anak-anak
ditegakkan apabila terdapat kriteria sebagai berikut.
a. Terdapat minimal 6 dari 8 gejala yang terjadi menetap selama
minimal 6 bulan, yaitu sebagai berikut.
1) Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki gender yang
berbeda dengan gender biologisnya
2) Adanya keputusan yang kuat untuk menggunakan jenis pakaian
gender yang berbeda dengan gender biologisnya
3) Adanya keputusan yang kuat untuk melakukan peran gender yang
berbeda dengan gender biologisnya
4) Adanya keputusan yang kuat untuk memilih jenis alat permainan
dan permainan gender yang berbeda dengan gender biologisnya

9
5) Adanya keputusan yang kuat untuk memilih teman bermain yang
memiliki gender yang berbeda dengan gender biologisnya
6) Adanya penolakan yang kuat terhadap jenis alat permainan dan
permainan yang sesuai dengan gender biologisnya
7) Adanya ketidaksukaan yang kuat terhadap sebuah anatomi
seksual
8) Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual
baik primer maupun sekunder yang dimiliki oleh gender yang
berbeda dengan gender biologisnya
b. Adanya distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan
sekitar7
Berdasarkan DSM-5, diagnosis disforia gender pada usia dewasa
ditegakan apabila terdapat kriteria sebagai berikut.
a. Terdapat minimal 2 dari 6 gejala yang terjadi menetap selama
minimal 6 bulan yaitu sebagai berikut.
1) Adanya ketidaksesuaian yang jelas antara gender yang diinginkan
dengan karakteristik seksual baik primer maupun sekunder
2) Adanya keinginan yang kuat untuk menghilangkan karakteristik
seksual baik primer maupun sekunder karena tidak sesuai dengan
gender yang diinginkan
3) Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual
baik primer maupun sekunder dari gender yang diinginka
4) Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang
diinginkan
5) Adanya usaha yang kuat untuk menjadi gender yang diinginkan
6) Adanya keyakinan yang kuat bahwa dirinya memiliki keterkaitan
secara perasaan dan reaksi terhadap gender yang diinginkan
b. Adanya distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan
sekitar.
c. Adanya afek depresi, kecemasan, dan gangguan kebiasaan.7
Pemeriksaan psikiatri dapat dilakukan pada individu transeksual dengan
menggunakan beberapa pilihan sistem skoring antara lain Gender

10
Identity/Gender Dysphoria Questionnaire for Adolescents and Adults
(GIDYQ-AA), Gender Identity Interview for Children (GIIC), Gender
Identity Questionnaire for Children (GIQC), dan Genderqueer Identity Scale
(GIS). Sedangkan penilaian mengenai tubuh dengan menggunakan sistem
skoring Utrecht Gender Dysphoria Scale, Body Image Scale, Body
Uneasiness Test, dan Hamburg Body Drawing Scale.7

Gambar 1. Genderqueer Identity Scale7

11
Gambar 2. Hamburg Body Drawing Scale.7

Pemeriksaan klinis pada pasien yang mengalami transeksual dilakukan


dengan pemeriksaan fisik generalis, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan psikiatri. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan
pemeriksaan rutin, hormonal, dan genetik.
1. Pemeriksaan rutin, meliputi kadar elektrolit serum dan kadar gula darah
2. Pemeriksaan hormonal, meliputi kadar estrogen, testosteron, LH, FSH,
GnRH, dan prolaktin.

12
3. Pemeriksaan genetik, berupa karyotipe. Sebagian besar pasien yang
mengalami transeksual memiliki kariotipe kromosom seks yang normal.
Namun pada beberapa pasien yang mengalami transeksual terdapat
abnormalitas kromosom yang terkait dengan kromosom X. Pada laki-laki,
dapat didapatkan kelainan kromosom yang terjadi pada sindrom
Klinefelter (47, XXY).7

2.6 Diagnosis Banding


Berikut merupakan gangguan jiwa sebagai diagnosis banding dari
transeksual.
1. Body dysmorphic disorder (BDD)
BDD merupakan perasaan ketidakpuasan yang ekstrim terhadap
penampilan yang dimilikinya dimana seseorang akan merasa cemas
secara terus-menerus terhadap adanya kekurangan fisik yang dimilikinya
yang bersifat minor maupun imajiner dan disertai dengan gangguan
aktivitas sehari-hari.7
2. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi area fungsi individu yang meliputi kemampuan berfikir,
komunikasi, interpretasi realitas, menunjukan emosi, dan berperilaku
dengan sikap yang dapat diterima secara sosial oleh masyarakat sekitar.
Skizofrenia ditandai dengan adanya gejala positif dan gejala negatif.7

2.7 Penatalaksanaan
Terapi yang dapat dilakukan pada individu transeksual adalah
konseling dan terapi psikologis, terapi hormonal, dan perubahan kelamin
secara operatif.
1. Konseling dan terapi psikologis
Konseling dan terapi psikologis bertujuan untuk meningkatkan
kepuasan terhadap gender biologisnya dengan cara memfasilitasi
pengurangan gejala. Selain itu, dapat dilakukan metode Real-Life
Experience (RLE) yang dilakukan selama 12 bulan dengan melakukan

13
dua peran yaitu gender biologis dan gender yang diinginkan secara
bergantian.7
2. Terapi hormonal
Terapi hormonal dianggap sebagai terapi yang paling efektif bagi
individu yang mengalami transeksual. Terapi hormonal yang biasa
dilakukan adalah terapi hormonal cross-sex. Terapi hormonal dilakukan
dengan melakukan supresi kadar testosteron dengan menggunakan
preparat spironolakton, cyproterone acetate, dan agonis GnRH. Namun
terapi hormonal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi medis
seperti tromboemboli, infark myokard, dan osteoporosis.11,12
Terapi hormonal pada individu yang mengalami transeksual
dilakukan pada pasien yang berusia lebih dari 18 tahun serta gagal
berespon dengan terapi psikoterapi dan RLE selama 3 bulan berturut-
turut. Terapi hormonal dibagi menjadi tiga stadium, yaitu preoperasi yang
bertujuan untuk menghambat timbulnya karakteristik seksual biologis,
preoperasi yang bertujuan untuk merangsang tumbuhnya karakteristik
seksual yang diinginkan, dan paska operasi.11,12
Berikut merupakan kontraindikasi penggunaan terapi hormonal
pada pasien dengan transeksual baik secara absolut maupun relatif.11,12
a. Hipertensi berat
b. Penyakit jantung iskemia
c. Trombofeblitis dan tromboemboli
d. Penyakit serebrovaskular
e. Disfungsi hepar
f. Kegagalan fungsi ginjal
g. Diabetes melitus
h. Hiperprolaktinemia
i. Riwayat penyakit keluarga berupa karsinoma mammae
j. Konsumsi rokok yang berlebihan
k. Obesitas sentral
l. Dislipidemia

14
Terapi hormonal pada pasien yang mengalami transeksual
dilakukan berdasarkan jenis kelamin.
a. Trans-woman
Berikut merupakan terapi hormonal yang dapat diberikan pada
trans-woman.
1) Estrogen
Hormon yang berpengaruh terhadap feminisasi pada trans-
woman adalah estrogen. Selain berpengaruh terhadap proses
feminisasi pada trans-woman, estrogen juga berfungsi untuk
menurunkan kadar kolesterol dalam plasma, mengatur deposisi
mineral dalam tulang, dan mengatur gairah seksual. Pada pasien
trans-woman yang menjalani terapi hormonal selama 3-36 bulan,
estrogen berperan dalam melembutkan kulit, menstimulasi
perkembangan mammae, dan merangsang penimbunan lemak
sesuai dengan distribusi normal pada wanita.11
Pemberian terapi hormonal dengan menggunakan estrogen
dilakukan dengan dosis titrasi. Terapi estrogen diinisiasi dengan
dosis rendah yang dinaikan secara bertahap setiap 2-3 bulan.
Pengukuran kadar hormon dalam darah perlu dilakukan setiap 3
bulan. Pasien yang memiliki kadar testosteron yang tinggi secara
persisten perlu diterapi kombinasi dengan menggunakan
spironolakton.11
Efek samping yang perlu diperhatikan setelah pemberian
estrogen jangka panjang adalah trombosis vena, mual, muntah,
gangguan fungsi hati, kolelitiasis, depresi, infertilitas, nyeri
kepala, dan peningkatan intoleransi glukosa. Selain itu, dapat
terjadi peningkatan kadar prolaktin dan meningkatkan risiko
terjadinya prolaktinoma tipe jinak. Kejadian neoplasma pada
mammae dan prostat pernah dilaporkan pada penggunaan
estrogen jangka panjang.11,12

15
Beberapa ahli menyebutkan penggunaan estrogen dengan
dosis tinggi dapat meningkatkan efektivitas terapi. Terapi
tambahan yang dapat diberikan adalah phytoestrogen. Efek
samping phytoestrogen dan interaksi obat dengan estrogen belum
diketahui secara jelas, namun diduga dapat menyebabkan
komplikasi seperti estrogen yaitu berupa gangguan
kardiovaskular.12
Setelah penggunaan terapi estrogen selama 2 tahun, perlu
dilakukan pemeriksaan yang terkait dengan komplikasi berupa
kadar prostate spesific antigen (PSA), kadar prolaktin, profil
lipid, dan fungsi hepar. Pemeriksaan terhadap PSA dilakukan
secara rutin setiap 6-12 bulan pada pasien yang berusia lebih dari
50 tahun untuk skrining adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan
terhadap profil lipid dan fungsi hepar dilakukan secara rutin
setiap 3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan kadar prolactin dan
mammografi dilakukan setiap 12 bulan untuk mengetahui adanya
komplikasi berupa prolactinoma.11,12
Oleh karena adanya komplikasi yang cukup serius ini,
maka dikembangkan penggunaan terapi hormon estrogen secara
transdermal dalam bentuk pacth. Estrogen patch ini berfungsi
dalam menghambat metabolisme pertama dalam hati sehingga
tidak berefek pada enzim hati. Estrogen dalam bentuk ini diyakini
aman digunakan pada trans-woman yang berusia lebih dari 40
tahun dengan dosis 100 mcg per hari. Efek samping dari
penggunaan terapi estrogen bentuk patch ini adalah iritasi kulit
akibat perlengketan patch. Alternatif terapi yang lain adalah
dengan menggunakan Ethynil Estradiol (EE) dengan dosis 50
mcg setiap 8 jam secara oral atau hormon estrogen terkonjugasi
seperti estradiol valerate 2 mg per hari.11,12
2) Gonadotrophin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
GnRHa merupakan analog dari Gonadotrophin Releasing
Hormone (GnRH) yang dapat menimbulkan efek sebagai

16
gonadektomi kimiawi. Hormon ini diproduksi oleh hipofisis.
Stimulasi terhadap hipofisis yang berlebihan dapat menyebabkan
kondisi dekompensasi hipofisis, sehingga produksi gonadotropin
mengalami penurunan. Selanjutnya kadar Luteinizing Hormone
(LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH) juga akan
mengalami penurunan, yang akan menghambat produksi hormon
androgen dan estrogen pada perempuan. Agen GnRHa yang
sering digunakan adalah goserelin dan leuprorelin.11,12
3) Antiandrogen
Antiandrogen merupakan terapi hormonal yang cukup
penting diberikan pada trans-woman. Antiandrogen berperan
dalam mensupresi kadar androgen dengan cara melakukan
blokade terhadap reseptor androgen. Bersamaan dengan estrogen,
antiandrogen juga diperlukan untuk mensupresi hormon
testosteron, yang akan menimbulkan reduksi terhadap proses
ereksi. Setelah penggunaan kedua terapi hormonal ini selama 6-
36 bulan, akan terjadi efek berupa berkurangnya pertumbuhan
rambut di tubuh. Sebagian besar sisi maskulinisme dapat ditekan
kecuali suara dan prominensia laringeal atau sering disebut
sebagai Adam’s apple sehingga perlu dilakukan tindakan operasi
untuk menghilangkannya.11,12
Agen androgen yang sering digunakan adalah cyproterone
acetat dan spironolactone. Efek samping yang sering timbul
akibat penggunaan cyproterone acetat adalah malaise, depresi,
dan kegagalan fungsi hepar. Sedangkan efek samping yang dapat
ditimbulkan akibat penggunaan spironolactone adalah gangguan
gastrointestinal, hiperkalemia, dan hipotensi. Finasteride dan
dutasteride berperan dalam menghambat konversi testosteron
menjadi dihidrotestosterone yang dapat menyebabkan
berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh.11

17
Berikut merupakan rekomendasi terapi hormonal yang dapat
dilakukan pada individu trans woman.
1) Penghambat sekresi androgen
a. Goreselin, dengan dosis 3,6 mg secara subcutan sebanyak 4
kali per minggu
b. Alternatif :
1) Cyprosteron dengan dosis 50-100 mg per hari
2) Spironolacton dengan dosis 100-400 mg per hari
3) Finasteride dengan dosis 5 mg, diberikan terutama pada
laki-laki yang mengalami korontokan rambut
c. Progesteron tidak diindikasikan, dengan alasan tidak adanya
reseptor signifikan secara biologis pada laki-laki
2) Feminisasi
Estradiol dengan dosis 1-6 mg per hari secara oral, atau
estrogen 50-150 mcg sebanyak 2-3 kali per minggu secara
transdermal terutama diberikan pada individu yang berusia di atas
40 dan berisiko tinggi mengalami trombosis11,12
Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat dilakukan
pada pasien transeksual dengan trans woman.
1) Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap,
ureum, elektrolit, tes fungsi hepar, profil glukosa, profil lipid,
kadar hormon tiroid, testosteron, dan estradiol
2) Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap,
ureum, elektrolit, tes fungsi hepar, profil glukosa, profil lipid,
kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, dan prolactin selama
24 jam setelah pemberian terapi hormonal
3) Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko
osteoporosis, kanker mammae, dan kanker prostat11,12

18
b. Trans-men
Pada laki-laki biologis, androgen berperan dalam
perkembangan genitalia baik internal maupun eksternal selama
perkembangan fetus dan menentukan karakteristik seksual sekunder.
Selain itu, androgen juga berperan dalam menstimulasi eritropoesis
dan perubahan kebiasaan sosial pada laki-laki dewasa. Pada trans-
men dilakukan terapi hormonal berupa induksi testosteron dengan
dosis 250-400 mg secara injeksi intramuskular setiap 2-3 minggu dan
agen GnRHa seperti leuprorelin acetate.11,12
Hasil yang diharapkan dari terapi hormonal pada trans-men
adalah supresi siklus menstruasi, penurunan distribusi lemak tubuh,
pembesaran klitoris, suara yang membesar, dan peningkatan volume
rambut tubuh secara ireversibel serta peningkatan berat badan,
peningkatan hasrat seksual dan sosial, dan penurunan lemak pinggul
secara reversibel. Efek samping yang dapat timbul akibat penggunaan
terapi hormonal ini adalah polisitemia, kegagalan fungsi hepar,
hiperplasia endometrium, jerawat, infertilitas, diabetes melitus, dan
penyakit jantung.12
Terapi hormonal yang direkomendasikan adalah analog GnRH
seperti goserelin dan leuprorelin, testosteron enanthate dengan dosis
250-500 mg secara injeksi intamuskular setiap 2-6 minggu, atau
testosteron gel dengan dosis 50 mg/5 gram gel per hari, atau
testosteron undecanoate dengan dosis 120-160 mg per hari secara
oral. Sebelum dilakukan terapi hormonal perlu dilakukan
pemeriksaan kadar dihidrotestosteron (DHT) dalam darah. Selain itu,
dilakukan edukasi untuk berhenti merokok, olahraga teratur, dan
menghindari konsumsi alkohol yang berlebihan. Berikut merupakan
rekomendasi evaluasi yang dilakukan pada trans-men.12

19
Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat
dilakukan pada pasien trans-men.12
1) Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap,
ureum, elektrolit, tes fungsi hepar, profil glukosa, profil lipid,
kadar hormon tiroid, prolaktin, testosteron, dan estradiol
2) Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap,
ureum, elektrolit, tes fungsi hepar, profil glukosa, profil lipid,
kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, prolactin, dan DHT
selama 2-4 jam setelah pemberian terapi hormonal
3) Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko
osteoporosis dan kanker mammae
3. Operasi perubahan kelamin
Operasi perubahan kelamin dapat dilakukan pada pasien yang
berusia diatas 18 tahun dan gagal respon dengan terapi psikologis, terapi
RLE, terapi hormonal selama 12 bulan terturut-turut. Prosedur operasi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
a. Manipulasi genitalia
Manipulasi genitalia dilakukan dengan tindakan vaginoplasti,
palloplasti, orchiektomi, penektomi, clitoroplasti, labiaplasti,
scrotoplasti, uretroplasti, implant testis, vulvoplasti, coloproktostomi,
dan uretromeatoplasti.
b. Operasi rekonstruksi wajah, yang dapat menciptakan penampilan
maskulin dan feminin.
c. Manipulasi payudara
d. Manipulasi Adam’s apple7

20
BAB III
KESIMPULAN

1. Transeksual merupakan kondisi dimana individu baik laki-laki maupun


perempuan yang sepanjang hidupnya merasa bahwa dirinya terperangkap di
tubuh yang salah dan berupaya untuk mengubah jenis kelaminnya baik secara
hormonal maupun operatif.
2. Penegakan diagnosis penyakit jiwa dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan menurut PPDGJ maupun DSM ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium berupa pemeriksaan serum, hormonal, dan genetik.
3. Terapi yang dapat dilakukan pada individu transeksual adalah konseling dan
terapi psikologis, terapi hormonal, dan perubahan kelamin secara operatif.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Heidi M. Levitt PhD & Maria R. Ippolito MS. (2014) Being Transgender:
The Experience of Transgender Identity Development, Journal of
Homosexuality, 61:12, 1727-1758, DOI: 10.1080/00918369.2014.951262
2. Nova Primadina. (2010) Operasi Transeksual pada Kelainan Sex Ambigua.
Qanun Medika 1(1): 1-9.
3. Drescher, Jack. (2010) Transsexualism, Gender Identity Disorder and the
DSM. Journal of Gay & Lesbian Mental Health14(2): 109-122.
4. Beek TF, Cohen-Kettenis PT, Bouman WP, de Vries ALC,Steensma TD,
WitcombGL, et al. (2010) Gender Incongruence of Adolescence and
Adulthood: Acceptability and Clinical Utility of the World Health
Organization’s ProposedICD-11 Criteria. PLoS ONE 11(10): e0160066. DOI:
10.1371/ journal.pone.0160066
5. Jody L. Herman, Andrew R. Flores, Taylor N.T. Brown, Bianca D.M. Wilson,
and Kerith J. Conron. (2017) Age of Individuals who Identify as Transgender.
The Williams Institute.
6. Rebekah Thomas. (2017) Ensuring an inclusive global health agenda for
transgender people. Bulletin of World Health Organization 95:154–156. DOI:
http://dx.doi.org/10.2471/BLT.16.183913
7. Kenneth J. Zucker. (2016) The Annual Review of Clinical Psychology
12:217–47
8. Walter Pierre Bouman, Annelou LC de Vries & Guy T’Sjoen (2016) Gender
Dysphoria and Gender Incongruence: An evolving inter-disciplinary field,
International Review of Psychiatry, 28:1, 1-4, DOI:
10.3109/09540261.2016.1125740
9. Julie L. Nagoshi and Stephanie Brzuzy. (2010) Transgender Theory:
Embodying Research and Practice. Journal of Women and Social Work 25(4)
431-443. DOI: 10.1177/0886109910384068.

22
10. Daniel Klink and Martin Den Heijer. Genetic Aspects of Gender Identity
Development on Gender Dysphoria and Disorders of Sex Development:
Progress in Care and Knowledge, Focus on Sexuality Research. DOI
10.1007/978-1-4614-7441-8_2
11. Kevan Richard Wylie. (2009) Recommendations of endocrine treatment for
patients with gender dysphoria. Sexual and Relationship Therapy 24(2): 175–
187
12. Wylie C. Hembree. (2017) Endocrine Treatment of Gender-Dysphoric/
Gender-Incongruent Persons: An Endocrine Society Clinical Practice
Guideline. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 102(11):
3869–3903.

23

Anda mungkin juga menyukai