Pembimbing:
Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M.Kes
dr. Umie Kulsum, MM
Penyusun:
Kusuma S. W. Puteri (01073170092)
Henny Chyntya (01073170074)
DI PUSKESMAS CIKUYA
Disusun oleh :
(Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M. Kes) (dr. Umie Kulsum, MM)
Disusun oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya laporan penilitian berjudul
“HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG
HIPERTENSI TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA
PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS CIKUYA” ini
dapatdiselesaikan dengan baik dan tepat waktu, sebagai persyaratan
kelulusan dalam program Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Pelita Harapan Periode Juni – Agustus 2019.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah ikut ambil bagian dalam penyelesaian penelitian ini, baik
melalui bimbingan, masukan dan bantuan yang membangun, antara lain:
1. Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M.Kes, selaku dosen
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat, yang
telah membawakan bimbingan dan masukan yang membantu dalam
penyusunan laporan penelitian ini.
2. dr. Umie Kulsum, MM, selaku kepala Puskesmas Cikuya, yang
telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, kritik dan saran yang
konstruktif dalam penyusunan laporan penelitian ini.
3. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penyelesaian laporan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih memiliki
kekurangan, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk
memperbaiki kualitas penulis di masa mendatang.
Penulis
ABSTRAK
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG
HIPERTENSI TERHADAP KEPATUHAN MINUM
OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS
CIKUYA
Kusuma S. W. Puteri1, Henny Chynthya2, Shirley Ivonne Moningkey3,
Umie Kulsum4
Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi
merupakan peningkatan tekanan darah di arteri yang terjadi secara persisten. Hal itu merupakan
masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 34,1% sesuai dengan data
Riskesdas 2018. Di samping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan
yang efektif banyak tersedia. Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan faktor penting dalam
kesehatan lanjutan dan kesejahteraan pasien hipertensi. Pengetahuan pasien tentang hipertensi
dan obat-obatan dibutuhkan dalam mencapai kepatuhan yang lebih tinggi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan hipertensi dengan kepatuhan minum
obat pada pasien hipertensi di Poliklinik Umum, Poliklinik Lansia dan Puskesmas Keliling
yang di laksanakan di daerah sekitar Puskesmas Cikuya, Kabupaten Tangerang, periode Juni -
Agustus 2019. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non-eksperimental dengan
rancangan analisis cross sectional. Penelitian dilakukan pada 50 responden dengan teknik
pengambilan sampel purposive sampling. Penlitian ini menggunakan Alat yang digunakan
kuesioner dari Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) dan kusinoner dari
Hypertension Knowledge-Level Scale (HK-LS). Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa hubungan tingkat pengetahuan pasien dengan kepatuhan meminum obat
darah tinggi didapatkan sebanyak 13 (68,4%) orang yang memiliki pengetahuan tinggi, patuh
mengkonsumsi obat darah tinggi. Sedangkan sebanyak 40 (85,1%) orang yang memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah tidak patuh mengkonsumsi obat darah tinggi. Hasil analisa diperoleh
nilai p value 0.000 dan nilai odd ratio (OR) 9,712 dengan CI 95% 3,522 –12,381 yang artinya
ada hubungan sebab akibat antara tingkat pengetahuan mengenai darah tinggi dan kepatuhan
mengkonsumsi obat darah tinggi.
Kata Kunci: Pengetahuan, Hipertensi, Kepatuhan
ABSTRACT
THE ASSOCIATION BETWEEN THE KNOWLEDGE
LEVELS OF HYPERTENSION AND HYPERTENSION
DRUG COMPLIANCE IN HYPERTENSIVE PATIENTS
IN PUSKESMAS CIKUYA
Kusuma S. W. Puteri1, Henny Chynthya2, Shirley Ivonne Moningkey3,
Umie Kulsum4
PENDAHULUAN
1
yang rendah, sikap mereka terhadap pengobatan berupa respon yang bersifat
negatif. Pendidikan pasien, motivasi dan edukasi publik penting untuk menambah
pengetahuan mereka. Peningkatan pengetahuan penderita hipertensi tentang
penyakit akan mengarah pada kemajuan berpikir tentang perilaku kesehatan yang
lebih baik sehingga berpengaruh terhadap terkontrolnya tekanan darah.2,3
2
1.4 Tujuan Penelitian
3
2. Bagi Peneliti Lain
Memberikan informasi kepada peneliti selanjutnya tentang salah satu faktor
risiko hipertensi dan upaya pencegahan hipertensi serta meningkatkan
kewaspadaan tentang penyakit hipertensi. Hasil dari penelitian juga dapat
menjadi sarana referensi, pengetahuan dan sumber data yang mendukung
penelitian berikutnya, terutama mengenai penyakit hipertensi dan
pengembangan ilmu berkaitan dengan kepatuhan minum obat pada pasien
dengan hipertensi.
4. Bagi Masyarakat
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hampir semua konsensus atau pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah
peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.5
2.1.2 Klasifikasi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi
sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik
(isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik
tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada
usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri
apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan
tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.5
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik,
biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik
terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,
sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan
5
dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara
dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan
sistolik dan diastolik. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi
dua golongan, yaitu:5
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95
% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-
angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5%
kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma,
koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan
lain-lain.
6
arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau "mean"tekanan arteri pulmonalis
lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas
dan tidak didapatkan adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit
myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.5
7
darah tinggi (elevated), dan hipertensi tahap 1 atau 2. Kategorisasi ini
berbeda dari yang sebelumnya direkomendasikan dalam laporan JNC 7,
dengan hipertensi stadium 1 sekarang didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik 130-139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg, dan
dengan hipertensi stadium 2 di menyajikan dokumen yang sesuai dengan
tahap 1 dan 2 pada JNC tujuh.6
8
Figur 2. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan ESC/ESH 20187
2.1.3 Epidemiologi
Hipertensi merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
darah yang dapat memberikan dampak berbahaya pada organ-organ tubuh.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun
2018, berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi
pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2018 di Indonesia adalah
sebesar 34,1 persen. Berdasarkan pembagian menurut provinsi, prevalensi
hipertensi tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Selatan yaitu setinggi
44.1% dan prevalensi hipertensi terendah terdapat di provinsi Papua yaitu
20,1 persen. Hasil penelitian dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
menemukan bahwa dari keseluruhan pasien dengan hipertensi, 32,3%
pasien tidak rutin minum obat dan 13,3% tidak meminum obat sama sekali.
Penelitian dari RISKESDAS juga ditemukan bahwa angka tertinggi
penyebab tidak meminum obat hipertensi adalah karena pasien merasa
sudah sehat. Sebanyak 59,8% pasien memilih untuk tidak mengkonsumsi
obat-obatan hipertensi yang telah diberikan karena pasien sudah merasa
sehat, dan 31,3% pasien memilih untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan
hipertensi yang telah diberikan karena pasien tidak rutin untuk datang ke
fasyankes.4
2.1.4 Patofisiologi
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat
berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan. Mekanisme yang mengontrol konstriksi
9
dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di
otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut
ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.8
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan
hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
10
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer.8
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
tekanan perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan
tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam
yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah
jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh
tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam
tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah
secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem
pengendalian tekanan darah sangat kompleks.8
Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat
misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor,
respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri
pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat
diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya
perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang
dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem
yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan
tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan
tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor
genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel,
aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta
obesitas dan faktor endotel.8
Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain
penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini
disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan
11
atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada
bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain
yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada
organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung
berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban
kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah,
sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus)
dan dunia terasa berputar.8
12
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain.8
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan melakukan alur pemeriksaan
dasar. Dimulai dari anamnesis, umumnya ditemukan bahwa pasien tidak
merasakan ada keluhan atau asimptomatik. Namun, ada pula beberapa
pasien yang mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar,
atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah
hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi
hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala
paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal
sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko
kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR,
dan riwayat keluarga.5
Pada pemeriksaan fisik, penilaian tekanan darah dilakukan dengan
sphygmomanometer, dengan pemeriksaan yang dilakukan lebih dari satu
kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas
meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan
sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang.
Pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke
dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih
kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah
harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat
(setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.5,8
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi
yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti
darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam
urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung
berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan
13
ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat
dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat.
Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4,
FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer
berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen,
peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam
urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar
metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar
kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT
angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.5,8
2.1.7 Komplikasi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan
berbahaya sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat
menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh
darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi,
kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya
adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi
yang dimilikinya. Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian
menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui
akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek
tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian
lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap
garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya
kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming
growth factor-β (TGF-β). Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan
kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi
contohnya adalah pada jantung, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri,
14
angina, infark miokardium atau gagal jantung. Pada sistem saraf pusat dapat
terjadi stroke atau transient ishemic attack. Pada organ ginjal dapat
menyebabkan kerusakan ginjal, dan pada organ mata dapat menyebabkan
retinopati.6
Non-Farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi
derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup
sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya
selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan
penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi
farmakologi. Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target
indeks massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9
kg/m2), kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan,
sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak total,
penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan adalah <
6 g/hari.8,9
Diet yang dianjurkan adalah DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) yang terdiri atas diet tinggi buah, tinggi sayur dan produk
susu yang rendah lemak. Kurangi juga asupan garam sampai dengan enam
gram NaCl (garam dapur) per hari. Yang dimaksud dengan diet rendah
garam adalah garam natrium seperti yang terdapat di dalam garam dapur
15
(NaCl), soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate, dan vetsin
(mono sodium glutamate). Makanan sehari-hari biasanya cukup
mengandung natrium yang dibutuhkan, sehingga tidak ada penetapan
kebutuhan natrium sehari. Asupan natrium yang berlebihan, terutama dalam
bentuk natrium klorida, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan
tubuh, sehingga menyebabkan edema atau asites dan atau hipertensi. Dalam
keadaan demikian asupan garam natrium perlu dibatasi.
Tujuan diet garam rendah adalah membantu menghilangkan retensi
garam atau air dalam jaringan tubuh dan menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi. Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema
atau asites dan atau hipertensi seperti yang terjadi pada penyakit
dekompensasio kordis, sirosis hati, penyakit ginjal tertentu, toksemia pada
kehamilan, dan hipertensi esensial. Diet ini mengandung cukup zat-zat gizi.
Sesuai dengan keadaan penyakit dapat diberikan berbagai tingkat diet garam
rendah:9
Diet Garam Rendah I (200‒400 mg Na)
Diet garam rendah satu diberikan kepada pasien dengan edema ,
asites dan atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak
ditambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi
kadar natriumnya.
Diet Garam Rendah II (600‒800 mg Na)
Diet garam rendah dua diberikan kepada pasien dengan edema,
asites, dan atau hipertensi tidak terlalu berat. Pemberian makanan
sehari sama dengan diet garam rendah satu. Pada pengolahan
makanannya boleh menggunakan ½ sdt garam dapur (dua gr).
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natrium nya.
Diet Garam Rendah III (1000‒1200 mg Na)
Diet garam rendah tiga diberikan kepada pasien dengan edema dan
atau hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet
garam rendah satu. Pada pengolahan makanannya boleh
menggunakan satu sdt (empat gr) garam dapur.
16
Setiap penurunan berat badan 10 kg dapat mengurangi tekanan darah
sebesar 5‒20 mmHg. Begitu pula dengan diet rendah garam dapat
menurunkan 2‒8 mmHg. Latihan fisik atau olah raga teratur juga dapat
menurunkan tekanan darah 4‒9 mmHg. Beberapa hal lain yang disarankan
adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3
hari dalam seminggu. Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga
secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan menurunkan tekanan
darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak
dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah.9
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada
pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah
setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan
hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,
yaitu:5
• Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
• Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat
mengurangi biaya
• Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun )
seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor
komorbid
• Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers
(ARBs)
• Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai
terapi farmakologi
• Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana
17
hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension:
18
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
ACE-Inhibitor
Obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang
dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul
adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang
tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta
metoprolol.
Berdasarkan pedoman Joint National Comitte VIII yang
dipublikasikan pada tahun 2014, terapi awal yang disarankan berasal dari
satu dari empat kelas obat untuk hipertensi, yaitu diuretic, calcium channel
blockers (CCB), penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE-I) serta
angiotensin receptor blockers (ARB). Saat ini, menurut JNC VIII, Beta
19
Blocker tidak lagi direkomendasikan sebagai agen lini pertama. JNC 8
mengutip perubahan ini setelah serangkaian meta-analisis menunjukkan
peningkatan risiko stroke dan penurunan kemanjuran dengan BB pada
pasien usia lanjut. Namun, meta-analisis menunjukkan hal itu pada pasien
di bawah 60 tahun, BB menurunkan risiko stroke dan kematian. Sementara
BB mungkin tidak tepat untuk digunakan pada pasien hipertensi tanpa
komplikasi yang berusia di atas 60 tahun, mungkin terlalu ekstrim untuk
menghilangkan penggunaannya bersama sebagai lini pertama agen pada
pasien yang lebih muda. Memang rekomendasi dari Kanada menunjukkan
BB dapat digunakan secara efektif lini pertama untuk mengobati hipertensi
tanpa komplikasi pada pasien di bawah usia 60 tahun.5,6,7
20
makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dalam perkembangan definsinya, teori
Bloom ini dimodifikasi untuk pengujuran hasil pendidikan kesehatan yakni
utamanya adalah pengetahuan.10
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis
besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:2,10
a) Tahu (Know) diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau
mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan –
pertanyaan.
b) Memahami (Comprehension) suatu objek bukan sekedar tahu terhadap
objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus
dapat menginterpresentasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut.
c) Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah
memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan
prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d) Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk
menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara
komponen– komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada
tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut.
e) Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang
untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
21
komponenkomponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang telah ada.
f) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang
untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat.
Upaya penanganan penyakit hipertensi dan komplikasi yang mungkin
terjadi perlu ditingkatkan untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas, dan
oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya preventif yang diberikan melalui
pemahaman, pengetahuan, dan pengaturan pola hidup pasien hipertensi. Tingkat
pengetahuan serta pemahaman pasien hipertensi terkait penyakitnya dapat
menunjang keberhasilan terapi sehingga tekanan darah pasien dapat terkontrol
dengan baik. Semakin pasien memahami penyakitnya, maka pasien akan semakin
sadar akan pentingnya menjaga pola hidup, teratur minum obat, dan tingkat
kepatuhan pasien juga akan semakin meningkat.10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinsikan pengetahuan
sebagai segala sesuatu yang diketahui. Dalam arti lain, pengetahuan merupakan
fakta, informasi, keterampilan yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau
edukasi; pemahaman praktikal atau teoritis terhadap suatu topik (KBBI).
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan diperoleh dari usaha seseorang mencari
tahu terlebih dahulu terhadap rangsangan berupa objek dari luar melalui proses
sensori dari interaksi antara dirinya dengan lingkungan sehingga memperoleh
pengetahuan baru tentang suatu objek. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan antara lain:10,11
1. Sosial – ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan sesorang,
sedang ekonomi dikaitkan pendidikan. Ekonomi baik tingkat pendidikan
akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi pula.
22
2. Minat
Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu
hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
3. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan dan pada
aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis
besar ada empat kategori perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua,
perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama, keempat, timbulnya
ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek
psikologis atau mental taraf berpikir semakin matang dan dewasa.
5. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan, maka akan mudah menerima hal – hal baru dan
mudah menyesuaikan diri dengan hal baru tersebut.
6. Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu
mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
7. Pengalaman
Pengalaman disini dikaitkan dengan umur dan pendidikan, seseorang, yang
berarti pendidikan yang tinggi maka pengalaman juga luas. Dan semakin
tua umur seseorang, maka pengalaman juga semakin banyak.
23
2.3 Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti,
disiplin. Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu
tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan
ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila
orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan
terhalangnya kesembuhan. Kepatuhan atau ketaatan merupakan tingkat penderita
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau
yang lain. Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan.
Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang
dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah
ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa
yang dianjurkan oleh petugas. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam
mencapai tujuan terapi. Kepatuhan dapat digunakan sebagai parameter tingkat
pengetahuan pasien melakukan instruksi dari tenaga medis yang berupa
pengetahuan tentang resep, meminum obat secara teratur dan tepat dan merubah
gaya hidup. Tujuan pengobatan pada penderita hipertensi adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, akan tetapi banyak yang berhenti berobat ketika
tubuhnya sedikit membaik, sehingga diperlukan kepatuhan pasien yang menjalani
pengobatan hipertensi agar didapatkan kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Menurut Suparyanto, kepatuhan dipengaruhi oleh:12,13
24
2. Tingkat pendidikan.
Menurut Stein 1986, tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan
kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan
yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu
(Suparyanto, 2010). Menurut Gunarso 1990 mengemukakan bahwa
semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya
bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses
perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan
demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur
tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu
seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya
tingkat pendidikan yang rendah.13
25
5. Dukungan Keluarga
Menurut Baekeland dan Lundawall, dukungan keluarga dapat menjadi
faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai
kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan
mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan
mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat dimana seseorang
terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif
berhubungan dengan kepatuhan.13
6. Tingkat ekonomi
Menurut Park 2002, tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial
untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita
TB Paru sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber
keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program
pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi
menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya
tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.13
7. Dukungan sosial
Menurut Meichenbaun 1997, dukungan sosial dalam bentuk dukungan
emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor
penting dalam kepatuhan contoh yang sederhana, jika tidak ada transportasi
dan biaya dapat mengurangi kepatuhan penderita. Keluarga dan teman dapat
membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu,
mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka
seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan.
Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti Indonesia yang
memiliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-negara
barat.13
26
8. Perilaku sehat.
Menurut Dimatteo 1984, Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan,
oleh karena itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk
mengubah perilaku tetapi juga dapat mempertahankan perubahan tersebut.
Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri,
evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang
baru tersebut.13
27
BAB III
28
3.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang hipertensi dengan tingkat kepatuhan konsumsi obat hipertensi.
29
3 Tingkat Patuh: skor Morisky Kebiasaan pasien Ordinal
kepatuhan 6-8 Medication dengan hipertensi
pasien dalam Adherence Scale dalam
mengkonsu Tidak patuh: 8 (MMAS-8) mengkonsumsi obat
msi obat skor 1-5 hipertensi secara
rutin
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
31
4.4 Populasi Penelitian
1. Populasi target adalah pasien hipertensi
2. Populasi terjangkau adalah pasien hipertensi di wilayah Puskesmas Cikuya.
3. Sampel penelitian adalah pasien hipertensi di Puskesmas Cikuya yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.
Za = Konstanta (1,96)
Zb = Konstanta power (0,84)
P1 = Proporsi efek yang diteliti (0,29)
P2 = Proporsi efek standard (0,4)
P = (P1+P2)/2 (0,345)
Q1 = (1-P1) (0,21)
Q2 = (1-P2) (0,1)
Q = (1-P) (0,155)
32
Dari rumus di atas, didapatkan bahwa jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah 33 sampel. Pada penelitian ini, peneliti mengambil 66
sampel dikarenakan penelitian ini tidak berpasangan.
33
4.7 Alur Penelitian
34
4.10 Estimasi Biaya Penelitian
35
BAB V
HASIL PENELITIAN
2 Usia
a. 40-50 21 31
b. 51-60 27 41
c. ≥ 61 18 28
3 Alamat
a. Desa Cikuya 26 39
b. Desa Cikasungka 18 27
12 18
c. Desa Cibogo Dukuh
10 16
d. Desa Cirendeu
4 Tingkat pendidikan
a. Tidak Sekolah 18 27
b. SD 31 47
11 17
c. SMP
6 9
d. SMA
5 Pekerjaan
a. Ibu Rumah Tangga 38 58
b. Pedagang 12 18
c. Petani 9 14
5 7
d. Buruh
2 3
e. Supir
6 Lama menderita HT
a. 1 tahun 10 15
8 12
b. 2 tahun
9 13
c. 3 tahun 11 17
d. 4 tahun 15 23
e. 5 tahun 13 20
f. >5 tahun
36
7 Obat yang dikonsumsi
a. Amlodipin 5 mg 33 50
b. Amlodipin 10 mg 6 9
c. Captopril 12,5 mg 14 21
d. Captopril 25 mg 5 8
e. Tidak ingat/tidak tahu 8 12
37
secara rutin (skor 6-8) adalah sebanyak 13 orang (20%) dan subjek yang tidak patuh
mengkonsumsi obat hipertensi (skor 0-5) berjumlah 53 orang (80%).
38
BAB VI
PEMBAHASAN
39
Sesuai dari hasil univariat dari penelitian ini, menunjukkan bahwa sebanyak
53 subjek (80%) memiliki pengetahuan yang rendah mengenai penyakit hipertensi,
dimana hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar belum mempunyai informasi
yang cukup mengenai hipertensi. Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dimana 71%
pasien mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi.
Perbedaan dari hasil ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan yang
signifikan dari distribusi tingkat pendidikan pasien diatara kedua daerah tempat
yang diteliti. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, sebagian besar pasien memiliki tingkat pendidikan SMA (33%) dan
Diploma/S1/S2/S3 (35%) sehingga edukasi yang diterima serta informasi yang
dimiliki dan didapatkan mengenai hipertensi pun lebih tinggi, sedangkan pada
penelitian ini yang dilakukan di Puskesmas Cikuya, sebagian besar pasien hanya
mengenyam bangku pendidikan sekolah dasar (SD) yang jumlahnya mencapai 47
persen. Hal lain yang mungkin dapat mempengaruhi adalah dikarenakan kurangnya
paparan dari media massa baik cetak maupun elektronik yang mungkin diterima
oleh pasien hipertensi di Puskesmas Cikuya, dimana kemungkinan besar bahwa
pada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pasien hipertensi
pada rumah sakit tersebut sudah terpapar dengan informasi yang lebih banyak
mengenai hipertensi dibandingkan dengan di Puskesmas Cikuya.
Hasil univariat dalam penelitian ini juga memperlihatkan tingkat kepatuhan
konsumsi obat hipertensi. Sebanyak 80% dari pasien hipertensi di Puskesmas
Cikuya tidak patuh dalam mengkonsumsi obat secara rutin. Hasil ini juga bertolak
belakang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dimana jumlah pasien yang tidak patuh mengkonsumsi obat secara rutin
hanya 34% dan yang patuh mencapai 66 persen. Alasan dari hasil yang bertolak
belakang ini kembali disebabkan akibat perbedaan dari distribusi tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh pasien mengenai penyakit hipertensi di kedua
tempat. Tingkat pengetahuan yang tinggi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
sebanyak 71%, menghasilkan tingkat kepatuhan konsumsi obat pun meningkat,
sedangkan di Puskesmas Cikuya, pasien yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi
40
tentang hipertensi hanya 29% sehingga tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat pun juga rendah.
Dari hasil analisa bivariat mengenani hubungan tingkat pengetahuan
tentang hipertensi dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di
Puskesmas Cikuya menunjukan adanya hasil yang signifikan dan hubungan yang
bermakna (nilai p= 0.000; OR adjusted= 9.712 CI 95%= 3.522 – 12.381). Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa pasien dengan tingkat pengetahuan tentang hipertensi
yang rendah memiliki resiko 9,712 kali lebih tinggi untuk tidak patuh
mengkonsumsi obat secara rutin dibandingkan yang tingkat pengetahuannya tinggi.
Adanya hubungan asosiasi positif antara tingkat pengetahuan tentang hipertensi
dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi dan hubungannya bermakna
secara stastistik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan tentang hipertensi dengan kepatuhan minum obat dengan nilai
p= 0.000 dan OR adjusted= 11.712.
41
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini didapatkan adanya hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan pasien mengenai hipertensi dengan
kepatuhan mengkonsumsi obat hipertensi di Puskesmas Cikuya. Sebanyak 71%
pasien hipertensi di Puskesmas Cikuya memiliki pengetahuan yang rendah dan
sebanyak 80% pasien hipertensi memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Dari 66
subjek, 85,1% pasien hipertensi dengan tingkat pengetahuan tentang hipertensi
yang rendah tidak patuh mengkonsumsi obat secara rutin dan terdapat 68,4% pasien
hipertensi dengan tingkat pengetahuan tentang hipertensi yang tinggi dan patuh
mengkonsumsi obat secara rutin. Pasien dengan tingkat pengetahuan tentang
hipertensi yang rendah akan 9,712 kali lebih mungkin untuk tidak patuh
mengkonsumsi obat secara rutin dibandingkan dengan pasien yang tingkat
pengetahuannya tinggi. Nilai p dari penelitian ini 0.000, maka, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan bermakna yang sifatnya berbanding lurus antara tingkat
pengetahuan tentang hipertensi dengan kepatuhan dalam mengonsumi obat di
kalangan pasien hipertensi.
7.2 Saran
Penulis memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan dalam
penyempurnaan dan perbaikan pada penelitian selanjutnya.
42
dari sumber yang akurat, atau menghadiri penyuluhan mengenai hipertensi
yang diadakan oleh puskesmas dan menyaranakan untuk melakukan
konsultasi ke petugas kesehatan apabila ada pertanyaan seputar materi yang
terkait dengan penyakit hipertensi yang belum dimengerti.
43
mengenai hipertensi dan cara-cara mereka dalam mengingat untuk
mengkonsumsi obat hipertensi setiap hari. Dalam peer-group ini nantinya
dapat dilakukan kegiatan rutin setiap bulannya, misalnya kegiatan jalan
sehat bersama ataupun senam hipertensi sehingga semakin meningkatkan
rasa kebersamaan antar pasien hipertensi.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas kesehatan yang terlibat
dalam program Prolanis, Posbindu PTM dan Puskesmas Keliling di
Puskesmas Cikuya untuk mempermudah pemberian edukasi mengenai
hipertensi dan pemantauan tingkat kepatuhan konsumsi obat hipertensi.
44
BAB VIII
LAMPIRAN
Lampiran 1.
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UNTUK IKUT SERTA DALAM
PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan tanpa paksaan.
Banten, 2019
Responden Penelitian
(........................................)
45
Lampiran 2.
Data pribadi
Nama : ______________________ Pendidikan :
____________________
Umur : _____tahun Status Pernikahan : ____________________
Jenis Kelamin : L / P Alamat : ____________________
Isilah pertanyaan berikut dengan menuliskan tanda centang (P) pada jawaban
yang menurut anda paling tepat!
46
10 Penderita hipertensi boleh makan makanan asin
selama mereka minum obat penurun tekanan darah
teratur
11 Penderita hipertensi boleh minum minuman
beralkohol
12 Penderita hipertensi tidak boleh merokok
13 Penderita hipertensi harus sering makan buah dan
sayur
14 Cara masak terbaik untuk penderita hipertensi adalah
dengan digoreng
15 Cara masak terbaik untuk penderita hipertensi adalah
dengan direbus atau dipanggang
47
Lampiran 3.
Nama : Jenis kelamin :
Umur : Pendidikan :
48
DAFTAR PUSTAKA
49
10. Sinuraya R, Siagian B, Taufik A, Destiani D, Puspitasari I, Lestari K et al.
Assessment of Knowledge on Hypertension among Hypertensive Patients
in Bandung City: A Preliminary Study. Indonesian Journal of Clinical
Pharmacy. 2017;6(4):290-297.
11. Notoatmodjo, S. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
12. Prihantana A, Wahyuningsih s. HUBUNGAN PENGETAHUAN
DENGAN TINGKAT KEPATUHAN PENGOBATAN PADA PASIEN
TUBERKULOSIS DI RSUD dr. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN.
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis. 2016;2(1).
13. Suparyanto.2010. Konsep Kepatuhan 1. Terdapat pada:
http://drsuparyanto.blogspot.com/2010/10/ko nsep-kepatuhan-1.html.
Diakses pada tanggal 11 Desember 2010.
50