PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43
2017
PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43
2017
ii
PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43
DEWAN EDITOR
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselenggaranya kegiatan ilmiah
tahunan Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (PPI KIM)
ke-43 pada tanggal 18 ~ 19 Juli 2017 bertempat di Puslit Metrologi – LIPI Tangerang Selatan
dengan mengusung tema Diseminasi Ilmu dan Teknologi Pengukuran untuk Peningkatan
Mutu Pangan dan Energi.
Pada kegiatan PPI KIM ke-43 ini, telah dilakukan penerimaan makalah sebanyak 34
makalah, yang berasal dari berbagai instansi penelitian dan perguruan tinggi. Setelah dilakukan
penyaringan oleh Dewan Editor, makalah yang lolos seleksi untuk dipresentasikan dan
diterbitkan pada Publikasi Ilmiah PPI KIM ke-43 sebanyak 28 makalah. Dari ke-28 makalah
terseleksi tersebut, telah dilakukan penyusunan dan penerbitan Publikasi Ilmiah PPI KIM.
Publikasi Ilmiah PPI KIM ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Panitia
Pelaksana PPI KIM ke-43 kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam kegiatan ini.
Panitia PPI KIM ke-43 menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam mensukseskan penyelenggaraan kegiatan PPI
KIM ke-43 dan penerbitan Publikasi Ilmiah PPI KIM. Semoga Publikasi Ilmiah ini bermanfaat
sebagai sumber informasi dan wadah komunikasi berbagai pihak dan secara luas memberi
dampak bagi kemajuan ilmu dan teknologi pengukuran untuk peningkatan mutu pangan dan
energi.
iv
SUSUNAN PANITIA
v
DAFTAR ISI
Halaman
vi
9. Studi Pengujian Kontainer Bahan Acuan Gas (Berbentuk Silinder): Kasus
Gas CO2 dalam Matriks N2
Oleh : M. Rizky Mulyana, Oman Zuas, dan Harry Budiman ……………… 104
13. Analisis Kalibrasi Load Cell Tarik Tipe Pancake dengan Metode Kalibrasi
Tekan
Oleh : Dinar Nurcahyono ……………………………………………..…… 154
vii
20. Unjuk Kerja Time Transfer System - 3 (TTS-3) Puslit Metrologi – LIPI
untuk Menjamin Ketertelusuran Standar Waktu di Indonesia
Oleh : Ratnaningsih, A.M. Boynawan, dan Yulita Ika Pawestri ………… 244
viii
PENGUKURAN KINERJA KIPAS PENDINGIN RADIATOR
DENGAN METODA FREE INLET DUCTING OUTLET
Subagyo, Basir
Balai Besar Teknologi Aerodinamika Aeroelastika dan Aeroakustika (BBTA3) –BPPT
Kawasan PUSPIPTEK, Tangerang Selatan, Indonesia
subagyo@bppt.go.id
INTISARI
Mesin kendaraan pada saat dioperasikan menghasilkan panas yang harus dibuang ke lingkungan
dengan cepat. Hal ini dilakukan agar kinerja mesin dapat dipertahankan terkait dengan
temperatur kerja mesin. Kipas pendingin dirancang dan diperkirakan kinerjanya dengan simulasi
perlu diverifikasi dengan metoda eksperimen. Dalam tulisan ini dipaparkan metoda pengukuran
yang digunakan dan hasil pengukuran kinerja kipas pada Rotation Per Minute (RPM) 1000 dan
1500. Perbandingan hasil perkiraaan dan pengukuran menunjukkan nilai yang berdekatan dengan
kapasitas alir 0.48 m3/s pada RPM 1000 dan 0.75 m3/s pada RPM 1500.
Kata Kunci: Kipas pendingin, mesin kendaraan, metoda eksperimen, Rotation Per
Minute, kapasitas alir
ABSTRACT
Vehicle engine when operated generates heat that must be removed to the environment quickly.
This is done so that the engine performance can be maintained relating to the working
temperature of the engine. The cooling fan was designed and estimated performance by the
simulation needs to be verified with the experimental method. In this paper described the
measurement methods used and the results of performance measurement at the fan Rotation per
Minute (RPM) 1000 and 1500. Comparison of estimates and measurements showed values of
flow capacity adjacent to 0.48 m3 / s at 1000 RPM and 0.75m3 / s at RPM 1500.
Keywords: Cooling fan, vehicle engine, experimental methods, Rotation Per Minute,
flow capacity
1. PENDAHULUAN
Mesin otomotif merupakan sistem penggerak kendaraan. Prinsip kerja[1] mesin
adalah siklus periodik dengan salah satu langkahnya adalah menyemprotkan uap bahan
bakar didalam ruang bakar kemudian dibakar oleh sistem pembakaran. Hasil pembakaran
berupa ekspansi kemudian diteruskan oleh piston dan memutar sumbu crank. Hasil
pembakaran di dalam mesin selain menghasilkan energi gerak juga menghasilkan panas
2. TEORI DASAR
Pengukuran kinerja fan pada dasarnya mengukur jumlah udara yang dapat
dipindahkan oleh kipas persatuan waktu. Hal tersebut dapat diukur dengan teknik
menghitung kecepatan udara V m/s melalui penampang ducting dengan luas A m2 bila
diketahui densitas udara ρ (kg/m3). Kecepatan V dapat dihitung dengan mengukur
tekanan total Ptot di bidang ukur. Apabila berdasarkan pengukuran di bidang ukur
tekanan total Ptot ( N/m2) maka kecepatan V[5] dapat dihitung dengan rumus;
Q=AV ................................................................................................... 2
Berdasarkan prinsip tersebut pengukuran kinerja kipas distandardkan dengan
empat skema teknik pengukuran standard AMCA 210-07 yakni:
Free inlet free outlet
Free inlet ducting outlet
Ducting inlet free outlet
Ducting inlet ducting outlet
Dengan mempertimbangkaan biaya pembuatan dan kehandalan alat ukur skema
pengukuran fasilitas uji fan BBTA3 menggunakan skema Free inlet ducting outlet.
Skema yang digunakan memiliki aliran yang diseragamkan dibagian downstream fan
dengan straightener sehingga pada bidang pengukuran berupa besaran tekanan total,
tekanan statik, temperatur kering dan basah menjadi lebih akurat dibandingkan dengan
skema free inlet free outlet.
3. METODOLOGI
Metoda pengukuran kinerja kipas dengan fasilitas yang dimiliki oleh BBTA3-
BPPT seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Dengan PL.1, PL.2 dan PL.3 adalah
bidang 1, bidang 2 dan bidang 3.
Selanjutnya dengan menerapkan teori dasar untuk pengukuran aliran didalam duct pada
Gambar 2 rumus untuk aliran dan tekanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Kecepatan di bidang 3 :
Selanjutnya apabila hasil pengolahan data pada Tabel 3 disajikan dalam bentuk
grafik karakteristif kipas dapat dilihat pada Gambar 4 untuk RPM 1000 dan Gambar 5
untuk RPM 1500.
Gambar 4. Grafik Tekanan Total dan Tekanan Statik terhadap Q untuk RPM
kipas 1000
Gambar 5. Grafik Tekanan Total dan Tekanan Statik terhadap Q untuk RPM
kipas 1500
Tabel 4. Perbandingan Hasil Pengukuran dan CFD untuk RPM 1000 dan 1500
Pengukuran Prediksi CFD
RPM Ps(Pa) Q(m3/s) Ps(Pa) Q(m3/s)
1000 43.61 0.48 43 0.48
1500 112.75 0.75 114 0.76
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Richard Stone and Jeffrey K. Ball. 2004. Automotive Engineering Fundamentals.
SAE International. Warrendale USA.
[2] http://seno1983.blogspot.co.id/2012/09/sistem-pendingin.html
[3] Subagyo. 2014. Rancangan dan Optimasi Fan Blade untuk Peningkatan Kapasitas
Aliran. Bunga Rampai Penguasaan Teknologi Aerodinamika Untuk Penguatan
Industri Nasional. Halaman 129-136. Trim Komunikata Publishing House. Cimahi.
[4] ANSI/AMCA STANDARD 210-07, ANSI/ ASHRAE STANDARD 51-07. 2008.
Laboratory Methods of Testing Fans for Certified Aerodynamic Performance
Rating. AMCA International and ASHRAE. Atlanta USA.
[5] E.L. Houghton, P.W. Carpenter, Steven H. Collicott and Daniel T. Valentine. 2006.
Aerodynamics for Engineering Students. Butterworth-Heinemann. Waltham USA.
HASIL DISKUSI
Nama penanya: Dodi Rusjadi
Pertanyaan :
Apakah uji noise pada penelitian ini tidak dilakukan?
Jawaban :
Kami melakukan juga pengukuran noise, tapi disini tidak disebutkan.
INTISARI
Proses pemantauan kondisi cuaca pada umumnya menggunakan beberapa alat ukur konvensional
yang terpasang pada suatu modul dengan datang langsung ke tempat pengambilan data. Metode
konvensional menyebabkan kesulitan untuk menempatkan beberepa alat ukur yang sulit
dijangkau. Sebuah stasiun pemantau cuaca yang sedehana dan mampu mengambil data beberapa
parameter cuaca dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi cuaca pada suatu tempat. Proses
pengambilan data dapat dilakukan dengan memanfaatkan media komunikasi nirkabel (wireless).
Sedangkan untuk mengukur beberapa parameter cuaca diantaranya yaitu suhu, kelembaban, arah
dan kecepatan angin serta curah hujan dapat memanfaatkan sensor DHT11, dan seperangkat
weather meter yang terdiri dari wind vane, anemometer dan rain gauge. Mikrokontroler sebagai
media akuisisi data. Hasilnya berupa sebuah prototype stasiun cuaca yang mampu menampilkan
5 parameter cuaca yang terdiri dari suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin serta curah
hujan secara cepat dan mampu mengirimkan data secara otomatis
ABSTRACT
The process of monitoring weather conditions in general uses some conventional measuring
tools mounted on a module by coming directly to where the data is taken. The conventional
method causes difficulties to place some hard-to-reach measuring instruments. A simple weather
station and able to retrieve data on some weather parameters can be used to determine the
weather conditions in a place. The data retrieval process can be done by utilizing wireless
communication media. Meanwhile, to measure some weather parameters such as temperature,
humidity, wind direction and speed and rainfall can utilize DHT11 sensor, and a set of weather
meters consisting of wind vane, anemometer and rain gauge. Microcontroller as data acquisition
medium. The result is a weather station prototype capable of displaying 5 weather parameters
consisting of temperature, humidity, wind direction and speed as well as rainfall quickly and
capable of sending data automatically
1. PENDAHULUAN
Pemantauan kondisi cuaca saat ini dirasakan cukup penting. Informasi tentang
kondisi cuaca dapat dimanfaatkan sebagai ramalan kondisi cuaca untuk beberapa hari
mendatang. Proses pemantauan kondisi cuaca pada umumnya menggunakan alat ukur
2. Weather Meter
Weather Meter adalah seperangkat instrumen buatan sparkfun untuk mengukur
beberapa elemen cuaca. Perangkat ini terdiri atas wind vane untuk mengukur arah angin,
anemometer untuk mengukur kecepatan angin, dan rain gauge untuk mengukur curah
hujan [3].
3. DHT11
DHT11 adalah sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban udara di
sekitarnya. Sensor ini sangat mudah digunakan bersama dengan Mikrokontroler.
Memiliki tingkat stabilitas yang sangat baik serta fitur yang sangat akurat [4].
5. METODOLOGI PENELITIAN
Secara garis besar tahapan penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu perancangan
perangkat keras, perancangan perangkat lunak, karakterisasi sensor dan pengujian di
lapangan. Perancangan perangkat keras berupa pembuatan sistem sensor dari masing-
masing parameter cuaca meliputi anemometer, wind vane dan rain gauge serta DHT11.
Perancangan perangkat lunak berupa pembuatan program dengan online compiler
Mbed.com dan pengaturan perangkat nirkabel Xbee Pro S2B dengan software XCTU.
Setelah semua proses sudah selesai barulah bisa dilakukan pengujian yang meliputi
karakterisasi sensor, dan pengambilan data cuaca di lapangan.
Hasil dari proses pengambilan data selama 1 minggu dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Pengambilan data arah mata angin selama 1 minggu
Tanggal 15 16 17 18 19 20 21
(Februari) 2017
Arah angin Barat Timur Barat Timur Timur Timur Tenggara
Daya Daya Laut Laut laut
Tanggal (Februari) 15 16 17 18 19 20 21
2017
Kec. Angin Rata- 4.43 2.55 3.24 1.76 1.64 1.23 1.84
rata (km/h)
Suhu Rata-rata (oC) 30.2 27.1 24.4 27.6 25.5 24.1 25.1 26.8
Kelembaban Rata- 75 82.5 80 81.3 93.3 93.3 89.6 84.4
rata (%RH)
Suhu Max (o C) 50 44 45 41 32 32 33 40
Suhu Min (oC) 22 14 11 22 21 21 20 19
Kelembaban 95 95 95 95 95 95 95 95
Max(%RH)
Kelembaban Min 32 40 46 52 80 80 69 57
(%RH)
Analisis
Analisis dari sistem AWS ini mencakup hasil dari akuisisi tiap sensor yang dilakukan
mikrokontroler sampai dengan muncul data di komputer secara real time. Akuisisi data
Dapat terlihat dari gambar 6 terdapat hubungan antara suhu dan kelembaban. Naik
turunnya suhu dan kelembaban diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah intensitas dan lama waktu penyinaran matahari. Semakin lama waktu
penyinaran matahari mengakibatkan suhu naik karena semakin banyak panas yang
diterima. Karena pada siang hari matahari berada pada posisi tengah mengakibatkan
suhu naik, lain halnya dengan kelembaban yang terlihat semakin menurun, akibat
Curah hujan
Akuisisi data curah hujan yang dihasilkan oleh rain gauge menunjukan bahwa hujan
terjadi selama satu minggu kecuali pada tanggal 18 Februari 2017 tidak terjadi hujan.
Berikut hasil plot data curah hujan harian selama satu minggu :
Curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 21 Februari 2017, dengan curah hujan
sebesar 45,06 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada tanggal 19 Februari
2017 dengan curah hujan sebesar 2,24 mm. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan
bahwa curah hujan pada bulan Februari dikawasan LIPI Serpong dan sekitarnya menurut
BMKG tergolong hujan ringan dengan rata-rata intensitas curah hujan 15 mm/hari [7].
Kecepatan angin
Hasil akuisisi data kecepatan angin selama satu minggu dapat dikatakan logis. Hasil
menunjukan bahwa kecepatan angin tertinggi terjadi pada 3 hari berturut-turut yaitu pada
hari pertama pengambilan data tanggal 15 Februari sampai dengan tanggal 17 Februari.
Puncak tertinggi kecepatan angin terjadi pada hari pertama tanggal 15 Februari yaitu
sebesar 28,8 km/jam atau 8 m/s. Pada tanggal 16 – 17 Februari kecepatan angin juga bisa
dibilang cukup tinggi yaitu sebesar 19,2 km/h atau 5.3 m/s. Menurut skala Beaufort,
kecepatan angin pada hari pertama tergolong angin keras yang menyebabkan batang
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 15
pohon bergerak, Sedangkan pada 2 hari berikutnya tergolong angin sedang yang hanya
menyebabkan ranting pohon bergerak [8].
Arah angin
Pada bulan Oktober – April, matahari berada pada belahan bumi selatan, sehingga
benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia.
Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia
terdapat pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin
dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini biasa disebut juga angin
muson barat. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka
banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim
penghujan[9]. Terdapat ketidaksesuaian antara hasil akuisisi data arah angin dengan
keadaan real. Hasil akuisisi data selama satu minggu terlihat pada tabel 1. Hasil
menunjukan bahwa arah angin selama satu minggu lebih dominan dari arah timur laut
Sedangkan seharusnya pada bulan Oktober – April arah angin dari arah Barat daya,
tentunya banyak faktor yang mempengaruhi ketidaksesuainya hasil akuisisi data dengan
keadaan real salah satunya perubahan kecepatan angin yang berbeda dan faktor eksternal
lainnya seperti terjadinya angin pusing (whirl wind), badai guntur, dan puting beliung.
Meski hasil akuisisi data selama satu minggu menunjukan arah angin lebih dominan dari
arah timur laut, akan tetapi pada tanggal 15 dan 17 Februari hasil menunjukan arah angin
sesuai dengan keadaan real yaitu arah angin dari Barat daya.
Analisis dengan melakukan perbandingan data dengan BMKG
Gambar 9 merupakan hasil pengukuran suhu udara oleh AWS dan BMKG. Data suhu
AWS diperoleh mendekati pola data suhu BMKG tetapi beberapa data ada sedikit
perbedaan dari grafik suhu BMKG. Perbedaan data suhu AWS dengan data suhu BMKG
diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya berkaitan dengan perbedaan
banyaknya sinaran matahari yang berbeda antara stasiun AWS yang dipasang di kawasan
Gambar 10 merupakan hasil pengukuran kelembaban udara oleh AWS dan BMKG.
Data kelembaban AWS diperoleh mendekati pola data kelembaban BMKG. Sama halnya
seperti suhu data kelembaban juga mengalami beberapa sedikit perbedaan dari grafik
kelembaban BMKG. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya berkaitan dengan perbedaan suhu udara antara stasiun AWS yang dipasang di
kawasan LIPI Serpong dan BMKG di wilayah Ciputat. Karena kelembaban berbanding
terbalik dengan suhu [10].
Dari semua parameter cuaca yang telah diukur menggunakan AWS. Data arah angin
AWS diperoleh sangat tidak sesuai dengan pola data arah angin BMKG. Hasil akuisisi
data arah angin oleh BMKG menunjukan kesesuaian dengan keadaan real, arah angin
lebih dominan dari arah Barat daya (300 0). Sebaliknya hasil akuisisi data oleh AWS
lebih dominan dari arah Timur laut (50 0). Perbedaan data arah angin AWS dengan data
dari BMKG diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya perubahan kecepatan
angin yang berbeda. Bila bertiupnya angin lokal kemudian kecepatan angin menurun
menyebabkan arah angin berubah-ubah. Kejadian ini juga merupakan tanda akan
bergantinya bertiup angin lokal lawannya. Misalnya dari angin laut kemudian menjadi
angin darat dan sebaliknya. Perubahan arah angin sangat mendadak umumnya terjadi
ketika dilewati awan fenomena skala kecil, misalnya angin pusing (whirl wind), badai
[12]
guntur, dan puting beliung . Hasil akuisisi data oleh AWS juga menunjukan
kesesuainya dengan keadaan real pada tanggal 15 dan 17 Februari 2017.
9. DAFTAR PUSTAKA
[1] Saefullah, A., Sunarya, A., Fakhrizal, D. (2015). Prototype Weather Station
Berbasis Arduino Yun. CCIT Journal Vol.8 No.2, ISSN : 1978 – 8282
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
Pada verifikasi data dengan BMKG Ciputat dasarnya apa?
Jawaban :
Karena di Fisika LIPI tidak ada data pembanding, dan data pembanding yang ada bisa
diambil dari BMKG. Berhubung pada saat proses pengambilan data dilaksanakan pada
bulan Februari, dimana pada bulan Februari sedang terjadi musim penghujan. Oleh
karena itu masih terdapat kesamaan keadaan cuaca local di wilayah Tangerang Selatan.
Idealnya memang alat ukur ini diletakkan dekat dengan alat ukur BMKG sehingga
datanya bisa lebih dapat dibandingkan.
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan bentuk persamaan pengukuran tinggi muka air
danau menggunakan sensor pipa tercelup pada rentang ukur 0 – 5 m, menggunakan pipa sensor
ukuran diameter dalam 16 mm dan panjang 6,5 m yang diintegrasikan dengan pressure
transmitter yang mempunyai rentang masukan 0 – 500 mbar dan rentang luaran 4 – 20 mA. Dari
hasil percobaan diperoleh persamaan untuk menentukan tekanan pada pipa sensor y = 58.27 x
dan persamaan untuk menentukan luaran (output) sensor y = 1,865 x + 4. Kedua persamaan
tersebut memiliki nilai koefisien determinasi R2=1, mempunyai makna bahwa 100% (secara
keseluruhan) variasi tekanan dan luaran sensor (y) dapat dinyatakan oleh tinggi muka air (x).
Kondisi tersebut mengindikasikan semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi.
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the shape of the equation of measurement of lake water
level using dipped pipe sensor in the range of 0-5 m, using sensor pipe inside diameter 16 mm
and length 6.5 m which is integrated with pressure transmitter which has input range 0 - 500
mbar and an output range of 4 - 20 mA. From the experimental result, the equation for pressure
determination on the sensor pipe y = 58.27 x and the equation for determining sensor output y =
1.865 x + 4. The two equations have the coefficient of determination R2 = 1, meaning that 100%
or overall pressure variation and sensor output (y) can be expressed by the water level (x). The
condition indicates that all observation points are right on the regression line.
1. PENDAHULUAN
Keterbatasan akses air bersih di daerah pertambangan seperti Pulau Bangka
mendorong masyarakat setempat terpaksa menjadikan air kolong (danau bekas tambang)
sebagai sumber air baku andalan untuk kebutuhan sehari-hari. Karena pentingnya kolong
tersebut, PDAM setempat sebagai pengelola memandang perlu danau-danau tersebut
untuk diukur dan dimonitor tinggi muka (level) airnya. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran tinggi muka air kolong tersebut menggunakan
sensor pipa tercelup.[1]
2. TEORI DASAR
Prinsip pengukuran tinggi muka air dengan menggunakan sensor pipa tercelup
adalah dengan memanfaatkan perubahan tekanan dan volume pada suatu rongga tertutup.
Tekanan awal yang berada pada rongga pipa yang salah satu ujungnya tertutup rapat dan
diletakan secara vertikal dan tegak lurus terhadap permukaan air pada suatu wadah,
setelah didesak oleh kenaikan tinggi muka air yang berada pada wadah tersebt, tekanan
dalam rongga pipa akan mengalami kenaikan dengan karakteristik yang khas. .[1]
Demikian sebaliknya pada saat permukaan air pada wadah tersebut turun, maka
turun pula tekanan pada rongga pipa. Kenaikan dan penurunan tekanan tersebut
merepresentasikan kenaikan tinggi muka air pada wadah. Perubahan tekanan tersebut
dapat dideteksi oleh pengukur tekanan yang memiliki luaran salah satunya dapat
menggunakan pressure transmitter yang memiliki nilai luaran hasil ukur.
Tinggi muka air menjadi masukan bagi pressure transmitter dan luaran pressure
transmitter mengindikasikan tingginya tinggi muka air yang diukur. Hubungan masukan
dan luaran dapat direpresentasikan oleh persamaan berikut:
dengan:
y = luaran
ymak = luaran maksimum
ymin = luaran minimum
x = nilai masukan yang diketahui
xmak = masukan maksimum
xmin = masukan minimum
Karena pada saat sensor tinggi muka air kolong/danau dipasang, kita hanya
mendapatkan 1 (satu) hasil ukur sesuai dengan kondisi tinggi muka air tersebut yang
belum tentu tinggi muka aiar tersebut adalah tinggi muka air maksimum. Untuk dapat
menentukan nilai luaran sensor pada saat tinggi muka air maksimum dapat menggunakan
persamaan linier dua titik sebagamana tersaji pada persamaan 2.[4],[5]
Titik pertama adalah nilai masukan dan luaran minimum dan titik kedua adalah nilai
masukan dan luaran yang sudah diketahui.
y 2 x - y1 x + y1 x 2 ……………………………….… 2
y
x2
dengan:
y = luaran sensor
y1 = luaran sensor minimal
y2 = luaran sensor pada saat pengukuran awal
x = tinggi muka air/level
x1 = tinggi muka air/level minimal
x2 = tinggi muka air/level pada saat pengukuran awal
Karakteristik sensor pipa tercelup dipengaruhi oleh ukuran panjangn dan luasan
penampang dalam pipa sensor. Karakteristik dapat dicirikan dengan faktor kooefisien.
Factor kooefisien sensor dapat diperoleh dari perbandingan nilai rentang ukur tinggi
muka air maksimum dengan nilai tekanan sensor maksimum.
Dengan nge-plot hubungan tinggi muka air dengan tekanan dan luran sensor
dapat diperoleh persamaan linier sistem pengukuran terpasang. Persamaan tersebut
dijadikan alat untuk memprediksi atau memvalidasi hasil pengukuran.
Kemudian perhatikan dan catat tinggi muka air yang ditunjukan oleh papan
ukur. Pada kondisi tersebut ukur dan catat luaran sensor. Dengan data-data
tersebut, tentukan nilai luaran untuk titik ukur maksimum dengan menggunakan
persamaan (2). Dengan demikian dapat diketahui nilai rentang luaran sesuai
dengan nilai rentang pengukuran.
Dengan:
R2: Koefisien determinasi
yi : Nilai data ke-i pada sumbu-y, tekanan dan output sensor.
y : Rerata nilai data pada sumbu-y, tekanan dan output sensor.
fi : Nilai prediksi fungsi data ke-i .
Rentang ukur tinggi muka air danau telah diditentukan 0 – 5 m yang diindikasikan
oleh papan ukur yang telah terpasang sebelumnya. Untuk menyesuaikan dengan
kondisi yang ada, ditetapkan tinggi sensor pipa tercelup yang terbuat dari pipa pvc
0,5 inci (diameter dalam 16 mm) setinggi 6,5 m yang diintregrasikan dengan
pressure transmitter yang mempunyai rentang ukur 0 – 500 mbar dan mempunyai
rentang luaran (output) 4 – 20 mA.
Gambar 3. Papan ukur (kiri), dan Sensor pipa tercelup terpasang (kanan)
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan dan analisis untuk pipa sensor berukuran setengah
inchi (ukuran pasar) berdiameter dalam 16 mm dengan panjang 6,5 m yang
diintegrasikan dengan pressure transmiitter yang mempunyai rentang masukan 0 – 500
mbar dan rentang luaran 4 – 20 mA, diterapakan pada pengukuran tinggi muka air
danau/kolong pada rentang ukur 0 – 5 m, mempunyai faktor koofesien 0,017 m/mbar
dan memiliki persamaan untuk menentukan tekanan sensor, y = 58.27 x dan persamaan
untuk menentukan luaran sensor, y = 1,865 x + 4. Kedua persamaan tersebut memiliki
nilai koefisien determinasi, R2=1 yang mempunyai makna bahwa 100% (secara
keseluruhan) variasi tekanan dan output sensor (y) dapat dinyatakan oleh tinggi muka air
(x). Kondisi tersebut mengindikasikan semua titik pengamatan berada tepat pada garis
regresi.
30 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada pengelola Program Unggulan LIPI tahun 2016 Subprogram
Ketahanan dan Daya Saing Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang telah
mendanai penelitian ini, Peneliti Kepala dan seluruh anggota Tim Penelitian
Implementasi Sistem Pemantauan Pengolahan dan Distribusi Air Minum untuk PDAM
Bangka Barat yang telah berkontribusi pada pelaksanaan penelitian dan terbitnya
makalah ini, serta kepada Pimpinan dan Staf PDAM Bangka Barat yang telah
memberikan kesempatan dan dukungan yang maksimal.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Rustandi, Dadang dan Harimawan, Achmad. 2014. Karakterisasi Sensor Pipa
Tercelup yang digunakan untuk Pengukuran Tinggi Muka Air. Seminar Fisika
Nasional, Pusat Penelitian Fisika LIPI, Tangerang Selatan.
[2] Henny, Cynthia dan Susanti, Evi. 2009. Karakteristik Limnologis, Kolong Bekas
Tambang Timah di Pulau Bangka. Limnotek volume XVI, Nomor 2, Pusat Penelitian
Limnologi LIPI, Cibinong-Bogor.
[3] Henny, C (2010), “Kolong” Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka: Permasalahan
Kualitas Air Dan Aternatif Solusi Untuk Pemanfaatan, , Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia, 37(1):135-154.
[4] Rustandi, Dadang. 2016. Aplikasi Sensor Pipa Tercelup 500 mbar pada Pengukuran
Tinggi Muka Air Danau dengan Rentang Ukur 0 – 5 meter. AMTeQ, P2SMTP LIPI,
Tangerang Selatan.
[5] Tan (2008), Straight Lines and Linier Functions, Chapter 1, p9-13,
http://www.math.tamu.edu/~shatalov/Tan_chpt1.pdf
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hidayat Wiriadinata
Pertanyaan :
1. Bagaimana pengaruh massa jenis air danau terhadap metode pengukuran?
2. Bagaimana perhitungan ketidakpastiannya?
3. Biasanya dari nilai interpolasi ada kesalahan, mengapa tidak disebutkan?
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 31
Jawaban :
1. Masa jenis air danau mempunyai pengaruh terhadap metode pengukuran, karena
prinsip dasar pengukuran tinggi muka air menggunakan sensor tercelup didasari oleh
adanya tekanan hidrostatis (P) yang ditimbulkan oleh tinggi muka air. Secara
matematis tekanan hidrostatis, P = ρgh, dengan ρ adalah masa jenis air dan g adalah
percepatan gravitasi. Tekanan hidrostatis tersebut mendesak dan mempengaruhi
tekanan udara yang terdapat pada rongga pipa sensor. Besarnya tekanan pada rongga
pipa sensor tersebut proporsional dengan tinggi muka air yang diukur. Penjelasan
lebih rinci dapat diperoleh pada pustaka [1].
2. Perhitungan ketidakpastian belum bisa disajikan karena masih ada elemen-elemen
penentu nilai ketidakpastian belum teramati.
3. Nilai hasil interpolasi pada percobaan/penelitian ini digunakan sebagai nilai acuan.
Nilai kesalahan dapat disajikan bila nilai pengukuran pada titik ukur lainnya sudah
diperoleh.
INTISARI
Motor DC memiliki manfaat yang banyak dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri. Pada
umumnya performansi motor DC dilihat dari parameter torsi dan kecepatan. Parameter tersebut
dapat diketahui dengan menggunakan tachometer optik untuk kecepatan dan sensor strain gauge
untuk pengukuran torsi. Kekurangan dari tachometer optik adalah tidak reliable di kondisi
lingkungan ekstrim. Kelemahan pengukuran torsi dengan strain gauge yaitu mahal, pemasangan
dan perawatan yang rumit, lifetime yang relatif pendek, dan tidak tahan di temperatur tinggi.
Penyebab kelemahan pengukuran torsi karena pengukurannya yang menggunakan prinsip
kontak. Salah satu metoda non-kontak pengukuran torsi adalah berdasarkan prinsip
Magnetoelastic Effect. Prinsip kerjanya adalah apabila suatu bahan ferromagnetik diberi gaya
maupun torsi maka akan mengalami perubahan medan magnet yang nilainya akan sebanding
dengan torsi yang diterima. Sedangkan prinsip kerja pengukuran kecepatan adalah mendeteksi
perubahan polaritas ring magnet selama berputar dan terbaca sebagai sinyal digital oleh sensor,
dan digunakan untuk mencari kecepatan dari putaran motor. Dalam proses pengujian digunakan
kalibrator tachometer optik untuk pengukuran kecepatan dan pengukuran torsi menggunakan
nilai torsi teoritis yang diperoleh dari hasil pengukuran gaya (F) dari loadcell dikalikan dengan
panjang lengan (L). Tachometer yang dibuat memiliki error 104,18 % pada input 1,2 V
(minimum), error -2,5 % pada input 6 V (tengah), dan error 4,76 % pada input 12 V
(maksimum), Linearitas naik sebesar 0,9979 dan linearitas turun 0,9978. Sensitivitas naik 152,45
dan sensitivitas turun 153,09. Histerisis input 0,031 dan histerisis output 5,077. Selain itu didapat
hubungan antara torsi yang diterima oleh shaft dari bahan ferromagnetik dengan perubahan
medan magnetnya dengan persamaan y = -623,31x - 40,861. Dimana y : medan magnet (Gauss),
x : torsi (Nm), nilai -623,31 adalah konstanta k dengan dimensi satuan Gauss/Nm, dan -40,861
merupakan konstanta yang tidak berdimensi. Alat ukur torsi motor DC berdasarkan prinsip
Magnetoelastic Effect dapat dipenuhi, dengan rentang pengukuran yang linear 0,05 sampai 0,1
Nm.
Kata Kunci: Motor DC, Torsi, Kecepatan, Magnetoelastic Effect, Sensor Hall
Effect, Loadcell, Tachometer Optik
ABSTRACT
DC motors have many benefits in everyday life and industry. In general, DC motor performance
is seen from the parameters of torque and speed. These parameters can be determined by using
optical tachometers for speed and strain gauge sensors for torque measurement. Disadvantages
of the optical tachometer are not reliable in extreme environmental conditions. Weakness of
torque measurement with strain gauge is expensive, complicated installation and maintenance,
relatively short lifetime, and can not stand at high temperatures. The cause of the weakness of
torque measurement due to its measurement using contact principle. One method of non-contact
torque measurement is based on the principle of Magnetoelastic Effect. The working principle is
1. PENDAHULUAN
Motor listrik merupakan perangkat elektromagnetik yang mengubah energi listrik
menjadi energi mekanik[1]. Salah satu jenis motor listrik adalah motor DC, yaitu
perangkat yang memerlukan tegangan yang searah pada kumparan medan untuk diubah
menjadi energi mekanik. Data pengukuran seperti kecepatan motor diperlukan untuk
mengetahui performansi serta spesifikasi sistem sehingga pengguna motor DC dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan. Selain kecepatan, dibutuhkan informasi data yang
lebih teliti seperti torsi untuk sistem yang berotasi. Torsi adalah ukuran kemampuan
motor untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah suatu energi. Besaran torsi adalah besaran
turunan yang biasa digunakan untuk menghitung energi yang dihasilkan dari benda yang
berputar pada porosnya. Pengukuran torsi sangat dibutuhkan untuk menjamin ketelitian
dalam perancangan dan pemasangan mesin, peningkatan performansi mesin, dan kontrol
sistem transmisi daya. Kebutuhan akan pengukuran torsi senantiasa meningkat seiring
dengan peningkatan kapasitas produk mesin[2]. Dari hasil perkalian kecepatan dan torsi
akan didapatkan nilai daya yang ditransmisikan ke shaft[3].
Pengukuran kecepatan motor biasanya menggunakan alat yang dinamakan
tachometer. Tachometer konvensional menggunakan metode kontak sehingga lifetime
relatif lebih pendek dibanding tachometer non-kontak. Sedangkan tachometer non-
kontak yang banyak di pasaran saat ini menggunakan prinsip optik. Tachometer optik
2. TEORI DASAR
A. Motor DC
Motor listrik merupakan perangkat elektromagnetis yang mengubah energi listrik
menjadi energi mekanik[1]. Motor DC memerlukan tegangan yang searah pada kumparan
medan untuk diubah menjadi energi mekanik. Kumparan medan pada motor DC disebut
stator (bagian yang tidak berputar) dan kumparan jangkar disebut rotor (bagian yang
berputar). Jika terjadi putaran pada kumparan jangkar dalam pada medan magnet, maka
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 35
akan timbul tegangan (GGL) yang berubah-ubah arah pada setiap setengah putaran.
Bentuk motor paling sederhana memiliki kumparan satu lilitan yang bisa berputar bebas
di antara kutub-kutub magnet permanen seperti pada Gambar 1. Catu tegangan DC
menuju ke lilitan melalui sikat yang menyentuh komutator, dua segmen yang terhubung
dengan dua ujung lilitan. Kumparan satu lilitan pada gambar di atas disebut angker
dinamo. Angker dinamo adalah komponen yang berputar di antara medan magnet.
Mekanisme kerja untuk seluruh jenis motor secara umum arus listrik dalam medan
magnet akan memberikan gaya. Jika kawat yang membawa arus dibengkokkan menjadi
sebuah lingkaran / loop, maka kedua sisi loop, yaitu pada sudut kanan medan magnet,
akan mendapatkan gaya pada arah yang berlawanan. Pasangan gaya menghasilkan
tenaga putar / torsi / torque untuk memutar kumparan. Motor memiliki beberapa loop
pada dinamo untuk memberikan tenaga putaran yang lebih seragam dan medan
magnetnya dihasilkan oleh susunan elektromagnetik yang disebut kumparan medan.
Untuk mengetahui spesifikasi dan performansi motor DC sendiri diperlukan
pengujian, diantaranya adalah pengujian torsi dan kecepatan putar.
................................................................................. 1
dimana:
.............................................................................. 3
dimana:
Konstanta mesin
Sedangkan
............................................................................... 4
Jadi dari persamaan di atas diperoleh
................................................................................... 5
Dengan persamaan 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa kecepatan putar motor DC
dapat diperoleh dengan mengubah-ubah fluks magnet, pengaturan arus armatur atau
dengan pengubahan tegangan sumber[6]. Yang akan dibahas di penelitian ini adalah
pengaturan kecepatan putar motor DC dengan pengaturan sumber tegangan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa variasi tegangan akan mempengaruhi besarnya arus,
kondisi dimana arus bervariasi akan menyebabkan variasi penguatan medan armatur,
sehingga akan mempengaruhi kecepatan putar.
Dalam dunia industri, ISO 9000 dan kualitas spesifikasi kontrol dewasa ini juga
mengharuskan perusahaan untuk mengukur torsi selama proses produksi.
C. Pengukuran Torsi
Torsi adalah ukuran kemampuan mesin untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah
suatu energi. Besaran torsi adalah besaran turunan yang biasa digunakan untuk
menghitung energi yang dihasilkan dari benda yang berputar pada porosnya. Adapun
perumusan dari torsi adalah sebagai berikut. Apabila suatu benda berputar dan
mempunyai besar gaya sentrifugal sebesar F, benda berputar pada porosnya dengan jari-
jari sebesar b, dengan data tersebut torsinya adalah seperti persamaan 6 :
T= F.d ..................................................................................... 6
dimana:
Sensor Hall Effect UGN3505 adalah sensor yang berfungsi untuk mendeteksi
medan magnet. Sensor Hall Effect memberikan output berupa tegangan yang
proporsional dengan kekuatan medan magnet yang diterima oleh sensor tersebut. Sensor
Hall Effect ini dibangun dari sebuah lapisan silikon dan dua buah elektroda pada masing-
masing sisi silikon. Pada saat tanpa ada pengaruh dari medan magnet maka beda
potensial antar kedua elektroda tersebut 0 Volt karena arus listrik mengalir ditengah
kedua elektroda. Ketika terdapat medan magnet mempengaruhi sensor ini maka arus
yang mengalir akan berbelok mendekati/menjauhi sisi yang dipengaruhi oleh medan
magnet. Hal ini menghasilkan beda potensial diantara kedua elektroda dari sensor Hall
Effect, dimana beda potensial tersebut sebanding dengan kuat medan magnet yang
diterima oleh sensor ini [9].
Di dalam sensor ini sudah dibangun sebuah penguat yang memperkuat sinyal dari
rangkaian sensor dan menghasilkan tegangan output ditengah-tengah tegangan supply.
Sensor ini dapat merespon perubahan kekuatan medan magnet yang statis dan dinamis
dengan frekuensi sampai 20 kHz. Perbedaan mendasar UGN3505U dengan HI 400
adalah jenis sinyal output-nya. UGN3505U mempunyai sinyal output analog, sedangkan
HI 400 output-nya digital.
shaft
kopling alumunium
kopling
shaft besi
kopling
lengan
Gambar 9. Main Body Torsimeter
Grafik Pengujian
Kalibrasi Sensor Hall Effect
UGN3503U
1000
Medan Magnet (Gauss)
500
sensor 1
0
sensor 2
0 1 2 3 4
-500 gaussmeter
-1000
Posisi ke-
Berdasarkan hasil grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa baik pada pengukuran naik
maupun turun, masing-masing memiliki linearitas yang baik. Terlihat pada Gambar 14
dan Gambar 15 harga koefisien korelasinya yang mendekati nilai satu (R2 ≈ 1), yaitu
(0,9979 ≈ 1) dan (0,9978 ≈ 1). Sedangkan untuk nilai sensitivitasnya, pada pengukuran
naik nilainya 152,45 dan pada pengukuran turun nilainya 153,09. Kedua nilai sensitivitas
Berdasarkan data yang diperoleh, grafik pembacaan perubahan medan magnet pada
sensor 2 adalah seperti Gambar 19.
R² = 0.7645
150
hubungan tegangan
100 dengan perubahan
fluks
50 Linear (hubungan
tegangan dengan
0 perubahan fluks)
0 5 10 15
Tegangan Masukan (V)
Terlihat bahwa hasil pembacaan sensor 1 lebih linear dibanding sensor 2. Hal ini
ditunjukan oleh harga koefisien korelasinya yang mendekati nilai satu (R2 ≈ 1), yaitu
(0,8287 ≈ 1) untuk sensor 1 dan (0,7113 ≈ 1) untuk sensor 2. Sedangkan untuk nilai
sensitivitasnya, pada pengukuran naik sensor 1 nilainya -623,31 dan pada pengukuran
naik sensor 2 nilainya 669,26.
Selain itu, pada titik uji sensor 1 kuat medan magnet material shaft besi dapat
kembali seperti nilai awal setelah tidak mendapat torsi yaitu -7,512 Gauss. Sedangkan
pada titik uji sensor 2 menunjukkan pembacaan 112,68 Gauss walaupun sudah tidak ada
torsi. Hal ini berarti material di titik tersebut mengalami saturasi. Dapat disimpulkan
bahwa titik uji pada sensor 1 lebih merepresentasikan hubungan torsi dengan perubahan
medan magnet dengan persamaan 9:
y = -623,31x - 40,861 ................................................................................... 9
dimana:
y∶ Medan magnet (Gauss)
x∶ Torsi (Nm)
dengan rentang pengukuran yang linear 0,05 sampai 0,1 Nm. Dimana nilai -623,31
adalah konstanta k dengan dimensi satuan Gauss/Nm dan -40,861 merupakan konstanta
yang tidak berdimensi.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Zuhal. 1988. Dasar Teknik Tenaga Listrik dan Elektronika Daya. Jakarta: Gramedia.
[2] Yeon Doo Cheong, Ji Woong Kim, Se Hoon Oh and Chong Won Lee. 1999. Analysis
and development of the angular twist type torque-sensor. Composite Structures 47:
457-462.
[3] V. Lemarquand and G. Lemarquand. 1991. Magnetic differential torque sensor.
IEEE Transactions Magnetics, 31: No. 6.
HASIL DISKUSI:
Nama Penanya : Hafid
Pertanyaan :
1. Pada pengukuran 0.05 – 0.1 Nm apakah ada evaluasi ketidakpastiannya?
2. Persamaan pada Torsi itu didapat darimana?
Jawaban :
Pada prototype ini kami baru menemukan korelasi antara hubungan torsi dan nilai fluks,
sehingga belum ada ketidakpastiannya. Persamaan pada torsi didapat dari percobaan
(experimental equation)
Pertanyaan :
1. Menurut abstrak, Pada input 1.2 volt errornya sangat besar, kenapa tetap
menggunakan input tersebut?
2. Dalam batasan masalah disebutkan tachometer tidak bisa digunakan di kondisi
ekstrim, tapi ternyata alat ini juga tidak digunakan di kondisi ekstrim, jadi apa
kelebihannya?
Jawaban :
1. Input 1.2 volt digunakan karena itu adalah tegangan minimum
2. Dalam pengujian ini, kami belum menguji di kondisi ekstrim, secara teori harusnya
bisa
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan daerah ukur terbaik pada tabung 5.000 ml
dengan metode volumetrik untuk digunakan dalam sistem pengujian sensor curah hujan.
Dari hasil pengukuran volume air pada rentang ukur (0~4000) ml diperoleh bahwa
hubungan antara tinggi muka air (h) dengan volume air (V) berbanding lurus secara
linear tetapi tidak sempurna (R2=0,999) berdasarkan persamaan V=19,02*h - 37,80.
Ketidaksempurnaan tersebut diperjelas dengan nilai resolusi skala ukur tabung yang
bervariasi antara 17,857~20,000 ml/mm. Daerah pengukuran tinggi muka air terbaik
dengan resolusi skala regresi 19,02 ml/mm berada di antara 135 mm (volume 2500 ml)
sampai dengan 160 mm (volume 3000 ml) dengan nilai kesalahan 0.18 %.
Kata kunci: Skala, rentang ukur, tabung, standar volume, pengujian, sensor curah hujan
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the best measurement range in a 5,000 ml tube with
volumetric method used in a rainfall sensor testing system. From the water volume measurement
results in the measurement range of 0 ml ~ 4,000 ml, it was obtained that the relationship
between the water level (h) and the water volume (V) was directly proportional but in an
imperfect linear form (R2 = 0.9994) based on the equation V = 19.02*h – 37.80. The
imperfection was strengthened by the scale resolution values of the tube that varied between
17,857 ml/mm ~ 20,000 ml/mm. The best water level measurement range at the regression scale
resolution of 19.02 ml/mm was between 135 mm (2,500 ml volume) to 160 mm (3,000 ml
volume).
Keywords: Scale, measurement range, tubes, volume standard, testing, rainfall sensor
1 PENDAHULUAN
Curah hujan atau presipitasi adalah peristiwa turunnya titik-titik air atau kristal-
kristal es dari awan sampai ke permukaan tanah[1]. Nilai curah hujan 1 (satu) mm, artinya
dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 (satu)
mm atau sebanyak 1000 ml atau 1 (satu) liter[1]. Untuk mendapatkan nilai curah hujan,
60 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
digunakan sensor curah hujan yang dapat menampung dan mengukur air hujan.
Beberapa sensor curah hujan yang lazim digunakan selama ini adalah: tipe
Tipping Bucket[2,3,4,5], Hellmann[3,5], dan Observatorium[3,5]. Sensor curah hujan tipe
Hellman dan Observatorium pengukuran dilakukan secara manual, sedangkan untuk tipe
Tipping bucket merupakan sensor curah hujan otomatis yang menggunakan prinsip
menimbang berat air hujan yang tertampung, kemudian disalurkan dengan sebuah skala
ukur (penampung) yang telah ditetapkan berdasarkan pengujian dan kalibrasi. Pada
prinsipnya apabila hujan turun, maka air akan masuk melalui corong besar dan corong
kecil, kemudian kapasitas curah hujan diukur dengan melakukan perhitungan jumlah
tumpahan pada penampung berjungkit[2].
Pada penelitian “Pembuatan Sistem Pengukur Mawar Hujan”, telah dilakukan
pembuatan sensor curah hujan tipe tipping bucket sebanyak 49 sensor[2]. Sebelum
dilakukan pemasangan pada sistem pengukur mawar hujan, dilakukan pengujian
terhadap semua sensor curah hujan, untuk mengetahui apakah sensor-sensor tersebut
dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu menghasilkan nilai yang benar dan
tertelusur ke SNSU (Standar Nasional Satuan Ukuran). Untuk itu, perlu dilakukan
pengujian dengan peralatan yang telah terkalibrasi seperti tabung ukur, pompa,
timbangan, stopwatch, dll. Tabung ukur yang tersedia di laboratorium, memiliki saluran
outlet dengan volume lebih dari 500 ml namun tidak memiliki skala pengukuran. Untuk
menggunakan suatu wadah sebagai standar volume pada pengujian sensor curah hujan
maka diperlukan skala pengukuran yang akurat. Oleh karena itu tabung beroutlet tersebut
harus ditentukan skala pengukurannya dahulu sebelum dapat digunakan sebagai standar
volume dalam sistem pengujian sensor curah hujan.
Pusat Penelitian Metrologi LIPI memiliki fasilitas standar massa yang dapat
dijadikan acuan ketertelusuran pengukuran volume tabung tersebut. Metode
penimbangan dapat digunakan untuk menjamin kebenaran nilai ukur penentuan skala
tabung dengan prinsip dasar pengukuran volume air yang merupakan definisi dari
besaran massa air terukur per densitas air yang menempati tabung tersebut[5]. Gelas ukur
100 ml yang telah dikalibrasi melalui metode gravimetrik dapat digunakan untuk
menentukan volume rujukan yang digunakan pada tabung secara volumetrik. Tujuan
penelitian ini adalah menentukan skala pengukuran tabung dengan metode volumetrik
untuk mendapatkan standar volume pada pengujian sensor curah hujan.
V h
AA
Jika luas penampang tabung diasumsikan tetap, maka volume tabung sebanding
dengan ketinggian tabung.
V A.h 2
Keterangan :
V = Volume tabung, liter
A = Luas penampang, dm2
h = Ketinggian tabung, dm
3 METODOLOGI
Untuk membangun sistem pengujian sensor curah hujan sebagaimana terlihat
pada Gambar 2 diperlukan sebuah tabung standar volume. Tabung tersebut berfungsi
Tabung gelas yang tersedia dapat menampung air 5000 ml, berukuran diameter
luar 155 mm dan tinggi 280 mm, mempunyai saluran keluaran (outlet) pada posisi 25
mm dari dasar tabung. Kekurangan tabung tersebut adalah tidak memiliki skala, sehingga
sulit untuk menentukan berapa banyak volume air yang dikeluarkan.
Untuk menanggulangi kekurangan tersebut dilakukan pemasangan skala ukur
dengan cara memasang mistar ukur stainless steel berukuran 300 mm. Mistar ukur
dipasang secara vertikal dan titik nol pengukuran ditetapkan pada posisi sejajar dengan
titik tengah saluran keluaran.
Untuk menentukan skala volume menggunakan gelas ukur terkalibrasi yang
mempunyai volume maksimum 1000 ml. Skala volume ditentukan setiap 500 ml dengan
cara menuangkan air kedalam tabung secara bertahap dan pada setiap tahap penuangan
dilakukan penyekalaan berdasarkan miniskus tinggi muka air. Gambar 3 memperlihatkan
gelas ukur yang digunakan dan tabung gelas yang sdah diberi sekala.
Berikut ini model matematis yang digunakan dalam mengukur nilai hubungan
ketinggian dan volume tabung yang tidak lain merupakan bentuk besaran luas
penampangnya sekaligus resolusi skala ukur tabung, dimodifikasi dari persamaan [2]:
V
A 3
h
Kualitas kelinieran hubungan volume dengan ketinggian, resolusi skala ukur tabung
dapat ditinjau menggunakan koefisien deteminasi, R2, berikutini :
2
(y f )
i i
R2 1 i
2
4
( y y)
i
i
J = xi+1 - xi 5
Keterangan :
A : Hubungan volume dengan ketinggian, resolusi skala tabung (mL/ mm)
V : Volume air pada tabung (mL)
h : Ketinggian air pada tabung (mm)
R2 : Koefisien determinasi, jika bernilai 1 maka hubungan linear sempurna.
yi : Nilai data ke-i pada sumbu-Y, volume air.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa untuk rentang ukur volume 0 ml – 4000 ml diperoleh
rentang skala dari 0 mm - 210 mm. Pada rentang tersebut, dengan menggunakan
persamaan (1) diperoleh 4 nilai luasan penampang (selanjutnya disebut resolusi) yang
berbeda. Kondisi tersebut menunjukan bahwa luasan penampang bagian dalam tabung
tidak linier, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 dan Gambar 6.
0 - 500 0 - 27 27 18,519
Dari Tabel 1, untuk rentang ukur 0 – 4000 ml diperoleh nilai rerata resolusi
sebesar 19,048. Sedangkan menurut grafik yang disajikan oleh Gambar 5 diperoleh
resolusi regresi sebesar 19,02 dan nilai batas bawah 37,80. Nilai volume terhitung
dengan menggunakan persamaan regresi diperoleh data sebagaimana tersaji pada Tabel
3 dan terlihat pada tabel tersebut kesalahan terendah sebesar 0,18 % berada pada
rentang ukur 135 mm (volume 2500 ml) sampai dengan 160 mm (volume 300 ml)
210 mm
185 mm
55 mm 17,857 ml/mm
0 mm
27 mm
18,519 ml/mm
0 mm
0 0
27 500 476 -4.85
55 1000 1008 0.83
83 1500 1541 2.72
109 2000 2035 1.77
135 2500 2530 1.20
160 3000 3005 0.18
185 3500 3481 -0.55
210 4000 3956 -1.09
5 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data pengukuran dengan metode volumetrik diperoleh
kesimpulan bahwa daerah ukur terbaik pada tabung 5.000 ml dengan rentang ukur 0 ml -
4.000 ml yang digunakan dalam sistem pengujian sensor curah hujan berada di antara
135 mm (volume 2500 ml) sampai dengan 160 mm (volume 3000 ml) dengan nilai
kesalahan 0.18 %, resolusi skala regresi 19,02 ml/mm, persamaan V=19,02*h - 37,80,
dan R2=0,999.
7 DAFTAR PUSTAKA
[1] Achmadi, Sahid; Simardi; Setiawan, Iwan. 2012. “Penakar Curah Hujan Otomatis
dengan Data Logger SD/MMC Berbasis SMS (Short Message Service)”. Tugas
Akhir. Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
[3] Dandan Hendayana. 2012. “Mengenal Nama dan Fungsi Alat‐alat Pemantau Cuaca
dan Iklim”. https://www.scribd.com/doc/109720160/Mengenal-Nama-Dan-Alat-Deteksi-
Cuaca-Dan-Iklim. Diakses pada 15 Juni 2012.
[4] Dr. John Gorman. 2011. “Introduction to The Tipping Bucket Rain Gauge”.
[5] Maftukhah, T., Wijonarko, S. & Rustandi, D., 2016. Comparison and Correlation
Among Measurement Results of Observatory, Hellman, and Tipping Bucket
Sensors. Instrumentasi Scientific Publication, Volume 40 No 1.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Syamsi Ismail
Pertanyaan :
1. Pada pengukuran volume, bagaimana maksud dari persamaan yang disajikan pada
abstrak?
2. Apakah error terkecil 0.18% berlaku pada titik pengukuran 135 mm saja, atau pada
rentang 135 sampai 160 mm?
Jawaban :
1. Persamaan tersebut diperoleh dari grafik berdasarkan hasil pengukuran pada daerah
ukur volume mulai dari 0 – 4000 ml. Kemudian digunakan sebagai untuk
mengestimasi nilai volume pada tiap skala tinggi muka airalam tabung.
2. Error 0.18% berlaku untuk rentang skala ukur 135 – 160 mm (volume 2500 – 3000
ml), tidak berlaku pada rentang atau daerah ukur lainnya. Rentang atau daerah ukur
tersebut ditetapkan sebagai rentang atau daerah ukur terbaik.
INTISARI
Pengukuran koefisien refleksi diperlukan untuk menentukan kualitas sinyal RF yang diserap oleh
penerima dari sumber sinyal, dan untuk mencegah kerusakan pada sumber akibat pantulan sinyal
RF. Sistem pengukuran koefisien refleksi pada rentang frekuensi 10 MHz sampai dengan 3 GHz
telah dibangun di Puslit Metrologi LIPI dengan menggunakan metode IF substitution pada VNA.
Sistem tersebut dapat digunakan untuk mengukur koefisien refleksi dari RF power sensor,
attenuator, antena, konektor dan beban. Pada penelitian ini, attenuator dan dua jenis RF power
sensor, yaitu thermocouple power sensor dan thermistor mount telah diukur. Attenuator memiliki
koefisien refleksi yang sangat kecil, yaitu mendekati 0 sehingga dapat digunakan untuk
meminimalkan mismatch error antara sumber dan penerima. Hasil ini dapat memaksimalkan
kualitas sinyal RF yang dapat diserap oleh penerima.
ABSTRACT
Measurement of reflection coefficient is required to determine the quality of a RF signal that
absorbed by a receiver from a signal source, and to prevent damage at the source due to the
reflection of the RF signal. The reflection coefficient measurement system in the frequency range
of 10 MHz to 3 GHz has been built at Research Center for Metrology LIPI using IF substitution
method at VNA. The system can be used to measure reflection coefficients of RF power sensors,
attenuators, antennas, connectors and loads. In this work, attenuator and two types of RF power
sensors, .i.e. thermocouple power sensor and thermistor mount have been measured. The
attenuator has a very small reflection coefficient, which is close to 0 so it can be used to
minimize the mismatch error between source and receiver. These results can maximize the
quality of RF signals that can be absorbed by the receiver.
1. PENDAHULUAN
Pada saluran transmisi, khususnya transmisi sinyal frekuensi radio atau radio
frequency (RF), koefisien refleksi merupakan salah satu parameter yang mendasar[1].
Koefisien refleksi selalu disertakan dalam pengukuran besaran gelombang
elektromagnetik, seperti RF power, atenuasi dan efisiensi antena. Pengukuran koefisien
2. TEORI DASAR
Koefisien refleksi adalah perbandingan amplitudo antara sinyal yang dipantulkan
oleh perangkat penerima dengan sinyal yang dikirimkan oleh sumber[1]. Sinyal yang
dipantulkan memiliki arah yang berlawanan dengan sinyal yang dikirimkan. Definisi
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 71
koefisien refleksi dinyatakan seperti pada persamaan 1, yaitu perbandingan sinyal yang
dipantulkan dengan sinyal yang dikirimkan. Sinyal yang dikirimkan melalui saluran
transmisi diterima seluruhnya oleh penerima jika tidak ada perbedaan impedansi antara
saluran transmisi dengan penerima atau disebut dengan matching impedance. Perangkat
sinyal RF pada umumnya memiliki impedansi 50 Ω. Sinyal RF memiliki rentang
frekuensi 3 kHz sampai dengan 300 GHz[2]. Dalam prakteknya, tidak ditemukan adanya
perangkat yang memiliki matching impedance yang sempurna sehingga hal ini
menimbulkan adanya koefisien refleksi[3].
V ......................................................................................................... 1
V
dimana:
Γ adalah koefisien refleksi,
V- adalah amplitudo sinyal yang dipantulkan,
V+ adalah amplitudo sinyal yang dikirimkan.
Nilai mutlak koefisien refleksi berada dalam rentang 0 dan 1. Koefisien refleksi
bernilai 0 berarti terdapat matching impedance antara saluran transmisi dengan perangkat
penerima. Dalam kondisi ideal tersebut, seluruh sinyal dari sumber diserap oleh
penerima. Sebaliknya, koefisien refleksi bernilai 1 menunjukkan bahwa saluran transmisi
dan perangkat penerima adalah fully mismatch sehingga seluruh sinyal RF dipantulkan
kembali oleh penerima. Koefisien refleksi merupakan fungsi dari perubahan impedansi
dalam saluran transmisi [4], seperti pada persamaan 2.
Zl Z0 ......................................................................................................... 2
Zl Z 0
dimana:
Zl adalah impedansi dari perangkat penerima atau load,
Z0 adalah impedansi dari saluran transmisi.
Vector Network Analyzer (VNA) merupakan salah satu perangkat yang
digunakan untuk mengukur koefisien refleksi pada sinyal RF. Dalam VNA, terdapat
sumber sinyal dan penerima (receiver). Besarnya nilai koefisien refleksi dapat diplot
dalam tampilan VNA[5]. Pada umumnya VNA memiliki interface dua port. VNA dapat
mengukur forward dan reverse dari reflection dan transmission responses (S-parameters)
pada perangkat RF.
3. SISTEM PENGUKURAN
Pengukuran koefisien refleksi menggunakan VNA memberikan hasil pengukuran
yang akurat dan presisi[7]. Hasil pengukuran ditampilkan dan dapat disimpan secara
otomatis oleh VNA sehingga proses pengukuran berjalan secara efisien. Untuk peralatan
satu port, pengukuran koefisien refleksi hanya mengunakan port 1 VNA. Ketika
mengukur peralatan dua port maka kedua port VNA digunakan. Dalam pengukuran ini,
VNA merupakan standar alat ukur yang digunakan untuk mengukur device under test
(DUT) antara lain thermocouple power sensor, thermistor mount, dan attenuator.
Pengukuran dilakukan dalam rentang frekuensi 10 MHz sampai dengan 3 GHz.
Kalibrasi internal terhadap VNA dilakukan terlebih dahulu sebelum pengukuran
koefisien refleksi. Kalibrasi internal tersebut harus dilakukan untuk memastikan error-
correction VNA. Calibration kit yang terdiri dari perangkat open, short, load dan
through digunakan untuk kalibrasi internal VNA. Pada Gambar 2 dapat dilihat proses
kalibrasi internal VNA pada kedua port. Perangkat open, short, load diukur secara
bergantian oleh port 1 VNA dan kemudian ketiga standar tesebut diukur secara
bergantian oleh port 2. Setelah itu, port 1 dan port 2 VNA dihubungkan oleh perangkat
through yaitu berupa connector dan pada tahap akhir kalibrasi internal masing-masing
port 1 dan port 2 dihubungkan dengan load. Kalibrasi internal VNA mengeliminasi
reflection tracking error, directivity error, source match error, transmission tracking
error, crosstalk error dan load match error sehingga menghasilkan pengukuran yang
akurat[8]. Ketertelusuran pengukuran diperoleh melalui calibration kit tersebut.
Diagram blok pengukuran koefisien refleksi pada peralatan 1 port dapat dilihat
pada Gambar 3, sedangkan Gambar 4 menunjukkan pengukuran koefisien refleksi untuk
peralatan 2 port. Switch pada sumber sinyal RF dapat dipilih untuk mengirimkan sinyal
melalui port 1 atau port 2. Directional coupler digunakan untuk memisahkan sinyal
input, sinyal yang dipantulkan dan sinyal yang diterima. Pada pengukuran koefisien
(b)
Gambar 4. Pengukuran koefisien refleksi pada peralatan dua port
(a) Forward direction (b) Reverse direction
5. KESIMPULAN
Sistem pengukuran koefisien refleksi pada rentang frekuensi 10 MHz sampai
dengan 3 GHz telah dapat dilakukan di Puslit Metrologi LIPI dengan menggunakan
VNA. Koefisien refleksi menentukan mismatch error dalam pengukuran RF power.
Thermocouple power sensor memiliki koefisien refleksi lebih kecil dibandingkan dengan
thermistor mount, sehingga menghasilkan mismatch error yang lebih kecil juga. Untuk
mendapatkan koefisien refleksi yang lebih kecil atau lebih baik, maka dapat menyisipkan
attenuator antara sumber sinyal dan penerima. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan ketidakpastian pengukuran koefisien refleksi dan menambah rentang
frekuensi pengukuran.
HASIL DISKUSI
Pertanyaan :
Mengapa VSWR tidak disertakan dalam tulisan?
Jawaban :
VSWR merupakan bentuk logaritmik dari koefisien refleksi, sehingga jika VSWR
dicantumkan maka menunjukkan hal yang sama dengan koefisien refleksi. Oleh karena
itu, koefisien refleksi sudah cukup memenuhi hasil pengukuran.
INTISARI
Telah dirancang sebuah alat penanganan untuk massa tambahan sebuah pressure balance
hidraulik secara otomatis. Dimana massa tambahan yang dapat diangkat maupun diturunkan
secara otomatis memiliki perubahan dengan nominal massa sebesar 1 g sampai 5 g.
Alat pengangkat massa tambahan tersebut dirancang agar dapat dipergunakan untuk menentukan
massa kesetimbangan pada saat kalibrasi cross float sebuah pressure balance dengan melakukan
kombinasi dari keadaan tanpa massa tambahan dan kombinasi massa tambahan yang akan
menghasilkan kesetimbangan tekanan.
Dengan mempergunakan alat untuk mengangkat massa tambahan tersebut dapat mempermudah
proses pengkalibrasian sebuah pressure balance terutama dalam melakukan cek antara ataupun
interlaboratory comparison (ILC) sehingga selalu diperoleh nilai yang konsisten. Dimana
perbedaan tekanan antara menggunakan cara manual dan otomatis tidak lebih dari 4 x 10-6 p.
ABSTRACT
An automatic handling device for hydraulic pressure balance additional mass has been designed.
The additional mass that can be lifted or lowered automatically by the device can be
interchangeable with nominal mass change of 1 g to 5 g.
These automatic additional mass handling device are designed to be used for balancing mass
determination during pressure balance calibration with cross float method by combining the
state of with and without additional mass combination, resulting the pressure equilibrium.
By utilizing these automatic additional mass handling device, it can support the pressure balance
calibration, especially for intermediate check or inter laboratory comparison (ILC) purposes so
that a consistent value can always be obtained, where the result difference between manual and
automatic method is not more than 4 x 10-6p.
1. PENDAHULUAN
Pada umumnya di Indonesia alat tekanan yang dikalibrasi mengunakan media oli
mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan apabila mempergunakan media lain seperti
media udara, dapat dilihat banyaknya kalibrasi alat tekanan yang dikalibrasi sampai 500 MPa
meggunakan media oli. Untuk itu diperlukan alat standar tekanan yang sesuai dan terjamin
ketertelusurannya[1], alat standar tekanan yang banyak dipergunakan untuk kalibrasi pada
................................................................................................... 1
dimana:
P adalah Tekanan yang dibangkitkan, MPa.
M adalah Massa beban, kg .
A adalah Luasan efektif piston/silinder, m2.
g adalah gravitasi lokal, ms-2
Dimana tekanan P dapat dibangkitkan dengan dengan menaruh sejumlah massa beban M
pada piston yang telah diketahui luasannya,A. Dengan menambahkan ataupun menurunkan
massa, dapat dibangkitkan tekanan yang presisi. Akan tetapi untuk membangkitkan tekanan
maksimal terkadang diperlukan menaruh massa beban sampai dengan 100 kg.
Untuk menjamin ketertelusuran kalibrasi, pressure balance perlu dikalibrasi dengan
pressure balance standar,. dalam hal ini menggunakan metode crossfloat yang
memerlukan kesetimbangan tekanan yang diatur dengan menambahkan atau
mengurangkan massa tambahan hingga 1 g sampai 50 mg.
[2-3]
Penggunaan otomatisasi telah diaplikasikan baik pada rentang pneumatik ataupun
[4-5]
hidraulik akan tetapi otomatisasi pada rentang hidraulik masih terbatas hingga massa
terkecil 100 g. Untuk itu dalam penelitian ini telah dirancang dan dibangun sebuah alat
penanganan massa tambahan yang dapat melakukan kombinasi massa dengan resolusi
terkecil sebesar 1 g.
2. PEMBANGUNAN SISTEM
Di dalam sistem cek antara pressure balance hidraulik[6] menggunakan dua
pressure balance yang identik dan mempunyai massa yang telah dapat dikontrol dengan
menggunakan Automatic Mass Handler (AMH) hingga 100 kg pada tekanan maksimum
dengan massa terkecil sebesar 100 g[5]. Untuk mencapai kesetimbangan tekanan
ditambahkan massa tambahan pada salah satu atau kedua pressure balance tersebut.
Pada penelitian ini penanganan masa tambahan dilakukan dengan menambahkan 2
sistem prototipe penanganan massa tambahan yang akan ditaruh pada bagian atas dari
pressure balance, sehingga dapat menambah atau mengurangkan massa tambahan pada
masing-masing pressure balance. Rancangan sistem prototipe penanganan massa
Adapun diagram alir program yang terdapat pada microcontroller untuk mengontrol
aktuator yang berupa stepper motor ataupun motor dc untuk mengangkat massa dapat
dilihat pada gambar 3. Dimana operator akan memerintahkan untuk masukan perintah
untuk memilih massa tambahan tertentu, kemudian program komputer akan
mengirimkan kode perintah dengan menggunakan komunikasi serial ke microcontroller
sampai perintah penanganan massa tambahan tersebut selesai dilaksanakan, baik untuk
gerakan naik/ turun ataupun berputar.
(a) (b)
Gambar 5. Prototipe alat penanganan massa tambahan secara otomatis,pengerak naik/
turun(a) mengunakan stepper motor (b) menggunakan dc motor
Massa
47,079 47,113
kesetimbangan
4. KESIMPULAN
Telah dirancang dan dibangun sebuah penanganan massa tambahan secara otomatis
untuk pressure balance hidraulik dengan rentang sampai 20 MPa, dimana perubahan
massa tambahan tiap 1 g sampai 5 g. Realisasi menghasilkan 2 prototipe yang dapat
mengangkat dan menurunkan massa tambahan. Prototipe menggunakan komputer untuk
mengontrol dua buah stepper motor/motor dc untuk menaikan/menurunkan atau
memutar massa tambahan. Perbedaan tekanan dengan menggunakan cara manual
apabila dibandingkan dengan cara otomatis adalah 4 x 10 -6 p. Diasumsikan tidak adanya
perubahan pada estimasi ketidakpastian nilai massa kesetimbangan dari hasil kalibrasi
pressure balance dengan penggunaan alat penanganan otomatis massa tambahan.
Dengan kalibrasi tekanan menggunakan pressure balance menggunakan otomatisasi
penganganan massa tambahan dapat diaplikasikan pada prosedur cek antara maupun ILC
dengan hasil yang konsisten, adapun pengembangan selanjutnya dapat diaplikasikan
pada pneumatik pressure balance pada kondisi vakum.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] EURAMET. 2010 EURAMET cg-3 ver 1. Calibration of Pressure Balances,
Braunschweig, Jerman
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 91
[2] Gove, K. 2001 APX50 : the first fully automatic absolute pressure balance in the
range 10 kPa to 1MPa. Advances in High Pressure and technology. Hal 95-98.
NPLI. New Delhi, India
[3] DH Instruments. 2004. Product Brochure PG7000-AMH
http://us.flukecal.com/products/pressure-calibration/piston-gauges/nmi-piston-
gauges/pg7000-amh-automated-mass-handler-pg70 diakses 19 Mei 2017 13.00
[4] Woo SY, Choi IM, Kim, BS.2005. New weight-handling device forcommercial oil
pressure balances.Metrologia.hal 224-226 IOP
[5] Ruska ,2004.Product brochure Model 2492 Automatic Hidraulic Pressure balance
http://web.sensoric.com:8000/jpcgqzl/download/Druck/%E6%B4%BB%E5%A1%
9E%E5%8E%8B%E5%8A%9B%E8%AE%A1/r2492e.pdf diakses 19 Mei 2017
13.10
[6] Puslit KIM-LIPI. 2014 Procedure for Intermediate Check of Hidraulic Pressure
Balance
[7] Ginanjar, Gigin. Bernadus, HS. 2007, Determinasi darititik kesetimbangan dalam
Pressure Balance mengunakna nmetode Fallrate menggunakan Sensor Kapasitif,
PPI-KIM, Tangerang, Indonesia.
[8] Puslit KIM-LIPI.2009. Serifikat Kalibrasi S.031143 anak timbangan Troemner
[9] PTB,2014 Calibration Cerificate PTB 30119/14 Braunschweig.Germany
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Syamsi Ismail
Pertanyaan :
Massa otomatis yang dibuat hanya untuk perubahan 1-5 gram, untuk DWT makin tinggi
alat, makin bagus sensitivitasnya. Bagaimana kalau titik kesetimbangan tidak didapat?
Jawaban :
Tujuan awal dibuatnya sistem ini penanganan massa tambahan ini untuk pada cek antara
dan ILC pada rentang hidraulik, yang relatif tidak memerlukan ketelitian yang besar
(100-500) mg yang memadai dengan alat yang telah dibangun. Kedepannya kami telah
merancang sistem dengan resolusi yang lebih baik terutama untuk penanganan massa
tambahan pada kondisi vakum.
INTISARI
Kebutuhan kemampuan kalibrasi iluminansi meter komersial diatas 1000 lux semakin
meningkat. Peningkatan rentang kalibrasi telah dilakukan di Puslit. Metrologi LIPI menggunakan
sumber cahaya dengan daya tinggi hingga 2000 W dengan sumber tegangan DC yang memiliki
akurasi dan kestabilan yang tinggi. Namun, sumber tegangan DC dengan daya yang tinggi
merupakan investasi yang cukup besar, dimensi yang besar, serta membutuhkan penanganan
isolasi panas yang tepat. Sehingga dikembangkan metode menggunakan sumber tegangan AC
untuk menyalakan sumber cahaya pada sistem kalibrasi illuminansi meter, karena perangkatnya
yang lebih sederhana, tidak membutuhkan ruang yang besar, dan banyak produk komersial
tersedia. Iluminansi sumber cahaya cenderung mengalami fluktuasi ketika sumber daya AC
digunakan, dilakukan penelitian pengaruh stabilitas sumber cahaya terhadap pembacaan
iluminansi meter. Menggunakan metode statistika t-test didapatkan hasil pengukuran iluminansi
dengan menggunakan sumber tegangan AC memberikan hasil yang sama dengan pengukuran
iluminansi dengan menggunakan sumber tegangan DC. Didapatkan nilai ketidakpastian terentang
sebesar 2,3 %, dengan kontribusi paling besar dari komponen voltage setting sebesar 0,974 %.
Sistem pengukuran menggunakan sumber daya AC mampu menjadi metode alternatif dengan
sistem yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan investasi yang besar.
ABSTRACT
The needs of comercial illuminance meter calibration above 1000 lux has increasing
rapidly. Puslit Metrologi has develop increased calibration range by using high power source of
2000W with DC power supply that has high acuracy and stability. However, a high voltage DC
power supply has a high cost investment, has large dimension, also require proper heat
insulation handling. Therefore a method has developed by using AC voltage source to supply
the light source in iluminance meter calibration sistem, since it was simpler, require less space,
and many comercial product.The illumination of the light source tends to fluctuate when AC
power source is used, a study of the effect of light source stability on meter illuminance readings.
From t-test statistical method, the result of illumiance measurement using AC source gives the
same result with illuminance measurement by using DC voltage source. Obtained uncertainty
value of 2.3%, with the largest contribution from the voltage setting component of 0.974%. The
measurement system using AC resources can be an alternative method with a simpler system and
does not require a large investment.
2. TEORI DASAR
Menggunakan sumber daya listrik AC untuk menyalakan lampu sumber pada
sistem kalibrasi iluminansi akan mengakibatkan sumber cahaya mengalami modulasi, hal
ini terjadi karena arus listrik yang berubah mengikuti gelombang sinusoidal. Ketika
iluminansi meter digunakan untuk mengukur iluminansi sumber cahaya yang mengalami
variasi temporal, penunjukan iluminansi meter akan mengalami penyimpangan dari nilai
rata-ratanya, ini terjadi karena frekuensi modulasi berada diluar batas kemampuan alat,
penunjukan mengalami overdrive, atau karena pembacaan melewati batas waktu
responnya[5]. Untuk mengetahui besar simpangan akibat modulasi sumber cahaya
dilakukan pengukuran menggunakan beberapa iluminansi meter dengan kelas yang
berbeda. Dimana pembacaan iluminansi meter ditentukan dengan persamaan,
...…………………………………… 1
dimana :
Cf adalah faktor koreksi untuk iluminansi meter tes
Et adalah pembacaan iluminansi meter tes, lux
Es adalah pembacaan iluminansi meter standar, lux
ccf adalah koreksi ketidaksesuaian sumber cahaya terhadap CIE illuminant A
…………..……. 2
……………...……3
dimana :
S A() adalah distribusi daya spektral relatif
adalah panjang gelombang, nm dan dua nilai eksponensial merupakan konstanta
definitif dari definisi illuminant A pertama kali pada 1931.
Untuk mendapatkan sumber cahaya illuminant A, spektrum cahaya sumber
diukur menggunakan spectroradiometer terkalibrasi pada jarak 1,5 m. Sumber cahaya
dinyalakan pada tegangan kerja, kemudian tegangan diturunkan atau dinaikan sehingga
spektrum sumber cahaya mengikuti persamaan 3. Nilai tegangan dibaca menggunakan
sebuah DVM 6 1/2 digit sehingga didapatkan pembacaan tegangan yang akurat, nilai
tegangan ini kemudian digunakan sebagai acuan menyalakan sumber cahaya pada
kondisi illuminant A.
Pengukuran iluminansi dilakukan dengan cara membandingkan pembacaan meter
standar dengan meter tes sesuai skema Gambar 1, sebanyak 10 titik pengukuran
ditentukan untuk melihat pengaruh modulasi pada rentang yang berbeda.
Supply
AC
DMM
Meter tes
lampu
Meter standar
Kelas A
Range Koreksi DC Koreksi AC
1000,0 -0,03% -0,22%
900,0 0,00% 0,28%
800,0 -0,01% -0,10%
700,0 0,00% 0,13%
600,0 0,00% -0,03%
500,0 0,00% 0,04%
400,0 0,00% 0,03%
300,0 0,00% -0,07%
200,0 0,00% -0,05%
Kelas B
Range Koreksi DC Koreksi AC
1000 5,0% 4,9%
900 4,9% 5,0%
800 5,0% 4,9%
700 5,0% 5,2%
600 5,0% 4,9%
500 5,0% 5,1%
400 5,0% 5,0%
300 4,8% 4,8%
200 4,5% 4,7%
5. KESIMPULAN
Dilakukan penelitian menggunakan sumber daya AC untuk menyalakan sumber
cahaya pada sistem pengukuran iluminansi meter sebagai metode alternatif sumber daya
DC yang umumnya digunakan pada pengukuran ini. Keuntungan menggunakan sumber
daya AC adalah tidak memerlukan investasi yang besar dari sumber daya DC daya tinggi
untuk menyalakan lampu sebesar 2000 watt atau lebih. Menggunakan sumber daya AC
dari jala-jala PLN didapatkan hasil pengukuran yang masih masuk dalam batas toleransi
kesalahan iluminansi meter, dan didapatkan nilai ketidakpastian terentang pengukuran
iluminansi meter sebesar 2,3 %, tidak jauh berbeda dengan klaim pengukuran Puslit.
Metrologi saat ini sebesar 2 %.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Yuanji, Liu et all. High Range Illuminance Meter Calibration Using Substitution
Method. CIE Midterm Meeting
[2] Ryer, Alex. 1997. The Light Measurement Handbook. International Light
Tehcnologies.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Nurul Alfiyati
Pertanyaan :
Mengapa koefisien sensitifitas (ci) komponen ketidakpastian u(xi) voltage setting pada
perhitungan ketidakpastian pengukuran iluminansi meter menggunakan sumber tegangan
AC nilainya sangat besar?
Jawaban :
Koefisien sensitifitas (ci) voltage setting pada perhitungan ketidakpastian pengukuran
menggunakan sumber AC bernilai 6,75 mempunyai nilai yang relatif sama dengan nilai
pada perhitungan ketidakpastian menggunakan sumber DC yaitu bernilai 6,10. Nilai ini
didapatkan secara eksperimental bukan dari turunan parsial model matematis
pengukuran, metode ini umum digunakan di bidang radiometri-fotometri. Bila melihat
referensi buku OSA Handbook of Applied Photometry disebutkan bahwa perubahan arus
/ tegangan memiliki korelasi terhadap keluaran sumber cahaya tipe incadascent bahkan
hingga 7 kalinya.
INTISARI
Bahan acuan gas merupakan salah satu faktor penting dalam pengukuran kadar gas yang harus
diperhatikan demi memperoleh hasil pengukuran yang akurat. Namun sebelum digunakan dalam
pengujian rutin, bahan acuan gas tersebut harus memenuhi syarat yang tertera dalam regulasi baku
mutu yang berlaku, dalam hal ini ISO 6142. Adapun ISO 6142 tidak bisa diterapkan apabila dinding
silinder yang digunakan sebagai wadah bahan acuan gas bereaksi dengan komponen didalamnya.
Selain itu, kebocoran juga dapat mempengaruhi ketepatan nilai komposisi bahan acuan gas. Oleh
sebab itu, dilakukan studi yang mempelajari pengujian silinder kontainer bahan acuan gas yang
dibahas dalam artikel ini. Hasil pengujian kebocoran untuk tekanan tinggi dan tekanan vakum pada
seluruh silinder kontainer dengan metode ANOVA menunjukkan hasil p-value lebih dari 0.05.
Demikian juga pada pengujian suitabilitas, pengamatan perubahan konsentrasi terhadap waktu dengan
metode ANOVA menunjukkan nilai p-value lebih dari 0.05 untuk seluruh silinder kontainer. Hal ini
berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang signifikan selama pengujian kebocoran pada tekanan
tinggi dan vakum, dan juga tidak ada perubahan konsentrasi yang signifikan selama pengujian
suitabilitas silinder kontainer. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa silinder uncoated yang
diujikan dalam studi ini dapat digunakan untuk pembuatan bahan acuan gas CO2 dalam matriks N2
dengan baik.
Kata Kunci: Bahan acuan gas, silinder kontainer gas, pengukuran gas
ABSTRACT
Gas reference material is an important factor in gas measurement that should be maintained in order
to achieve accurate measurement result. However, before utilization in routine work, gas reference
material should comply with the applicable standard regulation, which is ISO 6142. However, ISO
6142 cannot be applicable if the gas cylinder’s wall reacted with the components inside. Moreover,
leakage can also affect the composition of standard gases. Therefore, a study of cylinders used for the
reference gas container has been done and discussed in this article. The result of leakage test in high
pressure and vacuum for all cylinders using ANOVA method shows the p-values of more than 0.05.
Similarly for the suitability test, observation of the concentration change versus time with ANOVA
method shows the p-values of more than 0.05 for all container cylinders. These results implies that
there are no significant change of mass during the leakage test in high pressure and vacuum, and also
no significant change of concentration during tha suitability testing of the container cylinders.
Therefore, it can be concluded that the uncoated cylinders tested in this study can be used well in the
preparation of gas reference material for CO2 in N2 matrix.
2. TEORI DASAR
Dalam panduan ISO 6142 untuk preparasi campuran bahan acuan gas dengan metode
gravimetrik, pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa panduan tersebut hanya dapat
diaplikasikan untuk campuran gas yang tidak mengalami reaksi antar komponen di dalamnya,
atau antara komponen dengan dinding silinder yang menjadi wadahnya[4]. Dengan demikian,
apabila terjadi reaksi antar komponen dalam suatu bahan acuan gas, atau reaksi antara
komponen dengan dinding silinder, maka ISO 6142 tidak berlaku dan bahan acuan gas
tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan yang baku.
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 105
Adanya reaksi antar komponen dalam bahan acuan gas, atau reaksi antara komponen
dengan dinding silinder yang menjadi wadahnya, dapat diketahui dengan mengamati secara
berkala konsentrasi komponen bahan acuan gas tersebut, dalam hal ini disebut dengan uji
suitabilitas. Perubahan konsentrasi bahan acuan gas terhadap waktu pengamatan uji
suitabilitas, dapat mengindikasikan terjadinya reaksi adsorpsi/desorpsi yang tidak
diinginkan[5]. Akan tetapi, perubahan konsentrasi tersebut bisa juga disebabkan oleh
kebocoran pada silinder kontainer bahan acuan gas. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan uji
suitabilitas, silinder bahan acuan gas harus terlebih dahulu diuji kobocoran dalam tekanan
tinggi dan tekanan vakum, untuk memastikan bahwa penyebab perubahan konsentrasi tidak
diakibatkan oleh kebocoran.
Perlu diketahui bahwa pengujian suitabilitas yang dilakukan dalam studi ini bertujuan
untuk menentukan cocok (suitable) atau tidaknya silinder untuk dijadikan kontainer bahan
acuan gas yang akan dibuat berdasarkan ISO 6142[4], dan tidak dapat digunakan untuk
menentukan masa kadaluarsa (expiry date) bahan acuan gas tersebut. Untuk menentukan masa
kadaluarsa suatu bahan acuan gas, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut setelah bahan acuan
gas selesai dibuat yang biasa disebut dengan uji stabilitas bahan acuan dengan mengacu pada
ISO Guide 35[6].
3. METODOLOGI
Sebanyak sebelas buah silinder aluminium uncoated berukuran 2.5 liter dan diameter
12 cm (Shenyang Zhongfu Kejin Pressure Vessels Co. LTD, P.R. China) dipersiapkan sebagai
sampel yang diujikan dalam studi ini. Pengujian seluruh silinder tersebut mencakup pengujian
kebocoran pada tekanan tinggi dan tekanan vakum, serta pengujian suitabilitas (kecocokan)
silinder untuk campuran gas CO2 dalam matriks N2 dengan konsentrasi 1000 µmol/mol.
Untuk pengujian kebocoran pada tekanan tinggi, sejumlah gas N2 murni tipe Alphagaz
1 dengan kemurnian 99.999% (PT. Air Liquide, Indonesia) ditransfer ke dalam silinder hingga
mencapai tekanan 100 bar. Setelah itu silinder ditimbang dan dicatat hasil timbangnya pada
hari yang sama dengan pengisian. Penimbangan dan pencatatan diulangi lagi setelah 1, 7, 15,
22, dan 30 hari dari pengisian gas. Peralatan penimbangan yang digunakan dapat dilihat
spesifikasinya pada Tabel 1. Adapun silinder dinyatakan lulus uji kebocoran tekanan tinggi
apabila tidak terjadi penurunan massa yang signifikan selama periode pengujian. Signifikansi
penurunan massa tersebut dapat dianalisa dengan metode two-way analysis of variance
(ANOVA).
Untuk pengujian suitabilitas, dilakukan pencampuran gas CO2 murni tipe Alphagaz 2
dengan kemurnian 99.999% (PT. Air Liquide, Indonesia) dan N2 murni tipe Alphagaz 1
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa p-values hasil perhitungan ANOVA untuk semua
silinder nilainya lebih besar dari 0.05, yang berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang
signifikan terhadap waktu[7]. Hasil penimbangan secara berkala menunjukkan bahwa massa
silinder berisi 100 bar N2 relatif konstan hingga akhir periode pengamatan. Untuk lebih
memperjelas, tiga sampel silinder dipilih dan diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik
seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa, seperti pada pengujian kebocoran pada tekanan
tinggi, p-values hasil perhitungan ANOVA untuk semua silinder nilainya lebih besar dari
0.05, yang juga berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang signifikan terhadap waktu[7].
Hasil penimbangan secara berkala menunjukkan bahwa massa silinder vakum relatif konstan
hingga akhir periode pengamatan. Untuk lebih memperjelas, tiga sampel silinder dipilih dan
diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik seperti pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 menunjukkan pola yang sebanding dengan hasil pengujian kebocoran pada
tekanan tinggi, dimana massa silinder vakum tampak relatif stabil di sepanjang periode
pengamatan. Perubahan massa yang terjadi juga sangat kecil dibanding dengan massa silinder
keseluruhan sehingga garis-garis yang menunjukkan massa silinder masih terlihat lurus. Hasil
ini dapat dibandingkan dengan laporan uji banding internasional yang menyebutkan bahwa
ketidakpastian akibat masuknya udara ke dalam silinder setelah evakuasi sebesar 1 mg[8].
Pengujian terakhir yaitu suitabilitas silinder, juga telah dilakukan pada sebelas silinder
sampel. Analisa konsentrasi menggunakan GC-TCD telah dilakukan secara berkala selama
periode yang telah ditentukan untuk mengamati signifikansi penurunan konsentrasi CO2
terhadap waktu dengan metode ANOVA. Hasil analisa berkala tersebut dapat diamati pada
tabel 4 di bawah ini.
Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa p-values hasil perhitungan ANOVA untuk
seluruh silinder bernilai lebih besar dari 0.05, yang juga berarti bahwa tidak ada perubahan
konsentrasi yang signifikan terhadap waktu[7]. Untuk lebih memperjelas, salah satu sampel
silinder dipilih dan diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik seperti pada Gambar 2 di
bawah ini.
Pada Gambar 3, terlihat bahwa konsentrasi CO2 relatif stabil di sepanjang durasi
analisa. Perubahan konsentrasi yang terjadi relatif sangat kecil dibanding dengan target
konsentrasi CO2 hasil pencampuran. Pemanasan silinder sebelum analisa pada minggu
keenam juga tidak tampak mempengaruhi konsentrasi CO2, karena hasil analisa tidak tampak
berubah secara signifikan. Hasil ini dapat dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang
5. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, seluruh silinder sampel yang telah
diujikan dapat dinyatakan lulus uji kebocoran pada tekanan tinggi, uji kebocoran pada
tekanan vakum, serta uji suitabilitas silinder. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
silinder aluminium uncoated yang dipelajari dalam studi ini memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam ISO 6142 untuk digunakan sebagai wadah bahan acuan gas.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Ermolaev, E. 2015. Greenhouse Gas Emissions from Food and Garden Waste
Composting Effects of Management and Process Conditions. Swedish: Acta
Universitatis agriculturae Sueciae.
[2] Zuas, O. Budiman, H. Mulyana, M. R. 2016. Temperature Effect on Thermal
Conductivity Detector in Gases (Carbon Dioxide, Propane and Carbon
Monoxide) Analysis: A Gas Chromatography Experimental Study. J. Basic
Appl. Res. Int., vol. 13, no. 4, pp. 232–238,.
[3] BSN. 2008. Persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan
laboratorium kalibrasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
HASIL DISKUSI
Tidak Ada
INTISARI
Tujuan studi ini adalah untuk menyelidiki pengaruh suatu corong tambahan terhadap hasil pengujian
volume-volume sensor cawan berjungkit pada sistem pengukur mawar hujan. Studi dilakukan dengan
memakai suatu eksperimen, sedangkan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan bilangan
perbandingan En. Hasil-hasil dari dua sampel cawan berjungkit masing-masing pada volume sekitar
17,7 mL menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara pengujian melalui dan tanpa corong
tambahan, yaitu sekitar 1,8 % untuk sampel pertama dan sebesar 2,2 % untuk sampel kedua.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh adhesi yang membentuk volume mati pada dorong tambahan.
Meskipun perbedaan tersebut masih dapat ditoleransi karenabilangan perbandingan En < 1 (0,7 untuk
sampel 1 dan 0,8 untuk sampel 2), nilai koreksi sekitar 2 % untuk setiap sensor cukup bermakna
disebabkan efek bertingkat pada tahap integrasi untuk seluruh pada tahap integrasi untuk seluruh
cawan berjungkit guna membentuk sistem mawar hujan.
Kata kunci: Corong, volume mati, pengujian, cawan berjungkit, sistem pengukur mawar
hujan
ABSTRACT
The aim of this study was to investigate the influence of an additional funnel to the testing results of
tipping bucket sensor volumes for a rainrose measurement system. The study was carried out using an
experiment while the obtained data were analyzed utilizing En number. Results from 2 tipping bucket
samples for about 17,7 ml volume respectively showed that there was a difference between the testing
with and without the additional funnel, namely around 1,8 % for the first sample and 2,2 % for the
second sample. The difference was caused by the adhesion that form a dead volume at the additional
funnel. Although the difference was still tolerable because En number of each sensor was < 1 (0,7 for
sample 1 and 0.8 for sample 2), the correction number around 2 % for each sensor was significant
due to cascaded effect at the integration phase for all tipping buckets to form the rainrose
measurement system.
Keywords: funnel, dead volume, testing, tipping bucket, rainrose measurement system
2. DASAR TEORI
Curah hujan sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengukuran curah hujan sehingga dapat dibuat untuk memprediksi curah hujan mendatang[4]
dengan standar yang diterima di berbagai daerah atau Negara[5-10].
Pengukur curah hujan tipe cawan berjungkit[11 - 12] pada dasarnya terdiri dari bagian
pengumpul hujan, pembanding, pengolah data dan penyebar informasi. Air hujan
dikumpulkan dan disalurkan ke bagian pembanding yang berupa dua cawan identik yang di
bagian tengahnya berupa tuas sehingga disebut sebagai cawan berjungkit (Gambar 1).
Cawan berjungkit merupakan sensor atau bisa juga disebut sebagai pembanding karena
yang dideteksi hanya sebuah harga berat atau volume air yang sebanding dengan gaya
minimum untuk menjungkitkan salah satu cawan identik di bagian yang lebih rendah. Posisi
cawan identik ini dapat diatur dengan cara menaikkan atau menurunkan suatu baut penyetelan
di bawah cawan tersebut. Makin tinggi posisi baut penyetelannya maka akan makin sedikit
volume air pada cawan tersebut untuk satu kali menjungkit.
Pada pengukur curah hujan tipe cawan berjungkit terdapat corong yang digunakan
untuk memfokuskan aliran air menuju sensor cawan berjungkit (Gambar 2). Selain
mengarahkan, volume corong akan menjadi volume mati yang mempengaruhi pengukuran
aliran volume air yang bergerak. Pada setting cawan berjungkit, volume uji diteteskan
langsung ke pangkal lidah cawan agar lebih mudah dan praktis. Namun, pada kenyataan di
lapangan setelah semua sensor curah hujan dipasangkan pada sistem mawar hujan maka aliran
air benar-benar dilewatkan melalui corong. Oleh karena itu perlu dianalisa pengaruh corong
yaitu hasil pengujian sensor curah hujan tipe cawan berjungkit antara tanpa dan melalui
corong.
Volume mati dapat didefinisikan sebagai suatu volume di antara volume terukur
dengan sensor volume yang diuji. Karena aliran volume air dari gelas ukur harus melalui
corong sebelum menyentuh sensor cawan berjungkit maka volume corong tersebut bertindak
sebagai volume mati. Semakin besar corong maka akan semakin mempengaruhi hasil
pengukuran. Sesuai prinsip hukum kekekalan massa yaitu jumlah aliran massa air yang masuk
inlet harus sama dengan jumlah aliran massa air yang keluar melalui outlet pada suatu sistem
pengujian sensor curah hujan. Jika kondisi volume corong yang berada antara inlet dan outlet
tersebut berubah seperti perubahan temperatur dan tekanan atau pun ada sejumlah air yang
tertinggal di dalam corong maka peristiwa tersebut sangat mempengaruhi keakuratan hasil
pengukuran.
Volume mati merupakan kesalahan mutlak, bukan relatif. Jadi pada saat curah
hujannya belum menghasilkan volume air yang melebihi volume mati, maka kesalahan
pengukurannya bisa mencapai 100 %. Selanjutnya, kesalahan pengukurannya terus merosot
menuju ke arah 0 persen.
Volume mati disebabkan oleh adanya adhesi. Adhesi merupakan gaya tarik menarik
antara dua jenis molekul. Dalam studi ini, adhesi terjadi antara media padat yang dilewati oleh
air hujan. Media padat yang dilewati air hujan dalam suatu sensor tipping bucket yang dipakai
dalam hal ini berupa corong, corong pengumpul, dan tipping bucket. Untuk sensor tipping
bucket yang tidak memakai corong pengumpul, media padat yang dilewati oleh air hujannya
hanya berupa corong dan tipping bucket.
Adhesi berbeda dengan kohesi. Kohesi adalah gaya tarik menarik antara molekul yang
sejenis, misalnya air. Bila kohesi ini lebih kecil dari pada adhesi, seperti dalam studi ini, maka
meniskus yang dihasilkan berbentuk cekung.
Adhesi ini menyebabkan sebagian air melekat pada media padat yang dilewatinya. Air
yang tertinggal ini merupakan komponen kesalahan pengukuran. Kesalahan pengukuran
akibat adhesi ini terpengaruh pada luas permukaan kontak antara media yang dilewati dengan
air yang melewatinya. Makin besar luasnya, makin besar kesalahannya.
3. METODE PENGUKURAN
Pengukuran dilakukan pada kondisi ruangan dengan temperatur (26,2 ± 0,5) °C dan
kelembapan (54 ± 4) %. Tempat pengukuran dilakukan di laboratorium curah hujan
Kelompok Penelitian 4 (Pengukuran Untuk Kebutuhan Industri, Pusat Penelitian Metrologi –
LIPI) pada tanggal 25 dan 26 Januari 2017. Pusat Penelitian Metrologi - LIPI memiliki
fasilitas standar massa yang dapat dijadikan acuan ketertelusuran pengukuran volume uji yang
digunakan.
Metode penimbangan dapat digunakan untuk menjamin kebenaran nilai ukur volume uji
dengan prinsip dasar pengukuran volume air yang merupakan definisi dari besaran massa air
terukur per densitas air yang menempati wadah tertentu[6]. Gelas ukur 10 mL yang telah
dikalibrasi melalui metode gravimetric dapat digunakan dalam menentukan volume uji pada
sampel sensor curah hujan tipe cawan berjungkit ukuran 17,7 ml. Untuk memperbanyak
derajat kebebasan dan efisiensi maka pengulangan pengukuran dilakukan sebanyak 8 kali.
Volume air untuk pengujian ditentukan menggunakan gelas ukur 10 ml yang terkalibrasi
(Gambar 4).
Berikut ini model matematis yang digunakan dalam mengukur pengaruh corong pada
pengujian sensor curah hujan berupa nilai kesalahan, dimodifikasi dari persamaan [5]:
| Vcor - Vsen |
En = [6]
U vcor 2 + U vsen 2
Keterangan :
Cara analisis ini berbeda dengan cara yang dilakukan oleh penulis sebelumnya dalam
membandingkan hasil pengukuran cawan berjungkit[16-19].
Pengujian sampel sensor 1 dilaksanakan dengan dua perlakuan (Gambar 6). Pertama,
volume air langsung dituangkan pada sesnsor dan perlakuan kedua dilakukan dengan
menuangkan air melalui corong yang memiliki nilai perbandingan En number sebesar 0,7 :
Pada pengujian sampel sensor 2, nilai perbandingan En number sebesar 0,7 yang
terlihat pada grafik Gambar 7 berikut ini.
Terlihat pada Gambar 6 dan 7 bahwa hasil pengukuran volume uji sensor curah hujan
melalui corong dengan yang langsung ke sensor memiliki perbedaan nilai. Walaupun, nilai
perbedaan keduanya masih ditolerir karena memiliki nilai En kurang dari satu. Berikut ini
Tabel 1 berisi rangkuman hasil pengujian kedua sampel sensor curah hujan.
Nampak pada Tabel 1 di atas hasil pengujian cawan berjungkit yang melalui corong
lebih besar daripada yang langsung dituangkan ke sensor yaitu sekitar 1,7% pada sampel 1
dan 2,2 % pada sampel 2. Salah satu penyebab hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan
cukup banyak volume yang tersangkut pada corong terutama dengan pengulangan 8 kali
sehingga volume air yang diteteskan lebih besar. Fenomena air yang tertinggal pada corong
juga dapat menjelaskan mengapa ketidakpastian pengukuran volume air yang melalui corong
lebih besar pada sampel 2. Walaupun pengaruh corong cukup besar yaitu sekitar 2% tetapi
kedua perbedaan hasil pengukuran masih dalam batas toleransi karena memiliki bilangan En
kurang dari satu.
Pada saat seting sensor curah hujan, volume uji dialirkan langsung ke sensor tanpa
melalui corong. Padahal pada kenyataan dalam penggunaan di lapangan, volume air hujan
benar-benar melalui corong. Oleh karena itu nilai pengukuran setiap sensor curah hujan tipe
cawan berjungkit ukuran 17,7 mL harus dikoreksi nilainya sekitar 2% agar lebih akurat.
5. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian sensor curah hujan tipe cawan berjungkit ukuran 17,7 mL
didapatkan bahwa pengaruh corong mengakibatkan kesalahanr sebesar 1,7% untuk sampel 1
dan 2% untuk sampel 2. Namun pengaruh corong tersebut masih dalam batas toleransi karena
memiliki nilai perbandingan En kurang dari satu.
Berdasarkan hasil ini disarankan:
1) dilakukan uji lapangan karena karakteristik hujan sesungguhnya sulit ditiru secara tepat di
laboratorium.
2) Untuk ukuran sensor curah hujan tipe cawan berjungkit di bawah 17,7 mL perlu diuji
dengan perlakukan berbeda (tanpa dan melalui corong) dan sampel yang banyak sehingga
dapat mengetahui perkiraan kesalahan yang ditimbulkan oleh pengaruh corong.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Wijonarko, S. & Maftukhah, T., 2016. Instrumentation system for water balance
measurements on Serkuk Subbasin, Kubu Watershed,Belitung.
http://dx.doi.org/10.1063/1.4953930.
[2] Songa, Y., Hana, D. & Rico-Ramireza, M.A. (2016). High Temporal Resolution
Rainfall Information Retrieval from Tipping-Bucket Rain Gauge Measurements.
Procedia Engineering Vol 154 ( 2016 ) P 1193 – 1200.
[3] Wijonarko, S., Maftukhah, T., Rustandi, D. (2017). The compartment area calculation
for rainrose measurements. Sedang direview. BSN. (2015). SNI 8196:2015, Spesifikasi
penyajian peta curah hujan. Jakarta: BSN.
[4] Diani, Fitri., dkk. (2012). Kajian Sistem Informasi Prakiraan Cuaca BMKG Pada
BMKG Bandung. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI) 2012.
Yogyakarta: 15-16 Juni 2012.ISSN: 1907-5022.
[5] Bureau International des Poids et Mesures, (2006). The International System of Units
(SI) 8th edition. Paris: Organisation Intergouvernementale de la Convention du Mètre.
[6] WMO-No. 8 (2012). Guide to Meteorological Instruments and Methods of Observation.
WMO-No. 8. 2008 edition, updated in 2010.
[7] WMO-No. 407 (1975). International cloud atlas, volume I, revised edition 1975.
Geneva: Secretariat of the WMO.
[8] International Organisation for Standardisation. (1993). ISO/TAG 4 : 1993 – Guide to the
Expression of Uncertainty in Measurement. Paris: ISO.
[9] International Organisation for Standardisation. (2010). ISO 4787: 2010 Laboratory
glassware -- Volumetric instruments -- Methods for testing of capacity and for use.
Paris: ISO.
[10] WMO-No. 544 (2003). Manual on the global observing system, volume I (annex V to
the WMO technical regulations), global aspects, 2003 edition
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Asep Hapiddin
Pertanyaan : Kenapa ada corong tambahan? Apa dasarnya? Apakah corong sebelumnya
tidak memadai, atau hanya penelitian saja?
Jawaban : Corong berguna untuk memfokuskan aliran air hujan yang jatuh.
INTISARI
Telah dilakukan analisis curve fitting dalam penentuan parameter DWT ( dari hasil kalibrasi
DWT. Kesulitan penentuan parameter tersebut melalui analisis regresi sering dialami karena
perubahan luas efektif piston-silinder (Ap,t) terhadap tekanan memiliki karakteristik atau tendensi
yang berbeda-beda. Dari hasil analisis curve fitting yang dilakukan pada hasil kalibrasi DWT PC S/N
442 rentang tekanan 20 MPa yang dimiliki oleh Laboratorium Tekanan Puslit Metrologi LIPI pada
penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa model matematis merupakan
model matematis yang paling tepat untuk digunakan dalam menentukan parameter DWT dengan nilai
ketidakpastian relatif curve fitting terkecil yaitu sebesar 0,85 × 10-6 dengan tren kurva residual error
paling acak dibandingkan dengan model matematis lainnya. Dengan model matematis tersebut,
didapatkan nilai A0,20 sebesar (4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ± 0,1
× 10-12 ) Pa-1.
Kata Kunci: curve fitting, parameter DWT, regresi, model matematis, residual error.
ABSTRACT
Curve fitting analysis in the determination of DWT parameter ( from DWT calibration results
has been done. Difficulty in parameter determination from regression analysis often caused by the
different characteristic of effective area dependencies to the generated pressure. From the curve
fitting analysis of DWT PC S/N 442 range of 20 MPa owned by Pressure Laboratory of RCM-LIPI, it
can be concluded that mathematical model is the most appropriate model to be
used in determining DWT parameter with the smallest relative uncertainty of curve fitting by 0.85 ×
10-6 and the most random or no structure in the residual error trend curve, among the others model.
By using the most appropriate model, the DWT parameter (A0,20 and λ) are obtained with the value of
(4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 and (1,4 × 10-12 ± 0,1 × 10-12 ) Pa-1, respectively.
Keywords: curve fitting, DWT parameter, regression, mathematical model, residual error.
1. PENDAHULUAN
Pressure balance (PB) atau Dead Weight Tester (DWT) merupakan standar tertinggi di
dalam lingkup tekanan, dimana realisasi tekanan dihasilkan melalui kesetimbangan gaya
2. TEORI DASAR
Piston-silinder DWT memiliki konfigurasi seperti yang dijelaskan pada Gambar 1.
Semakin tinggi tekanan yang dibangkitkan oleh DWT, piston-silinder akan mengalami
deformasi, dimana pada umumnya piston akan mengecil dan silinder menjadi mengembang.
Perubahan luas efektif area terhadap tekanan memiliki berbagai bentuk model
persamaan matematis, seperti pada Persamaan (1) – Persamaan (4) [4].
Untuk tekanan rendah, kasus perubahan luas efektif area piston-silinder tidak terpengaruh
terhadap tekanan, atau independen terhadap tekanan, dimana fenomena tersebut sesuai
dengan model persamaan matematis pada Persamaan (1). Nilai parameter DWT pada kasus
ini dihitung pada Persamaan (5).
………..………..…………….. (5)
dengan nilai ketidakpastian pada Persamaan (5) tersebut dihitung menggunakan
Persamaan (6).
………..…………….. (6)
dimana
= luas efektif area PCA pada tiap titik tekanan dan suhu tertentu sejumlah
titik tekanan.
= Jumlah titik tekanan.
Karakteristik lain yang umum terjadi yaitu kasus perubahan luas PCA linear terhadap
tekanan, dimana fenomena tersebut sesuai dengan model persamaan matematis pada
Persamaan (2). Nilai parameter DWT pada kasus ini dihitung menggunakan Persamaan (7) –
Persamaan (9).
……...……………...…. (7)
……....……………..…. (8)
dimana :
= Tekanan pada tiap titik kalibrasi tekanan (Pa)
= Luas efektif area piston-silinder tiap titik kalibrasi tekanan (m2)
= Slope dari kurva linear fit
= Koefisien distorsi (Pa-1)
Dengan nilai ketidakpastian dan masing-masing dihitung dengan menggunakan
Persamaan (10) – Persamaan (13).
………………..…………….. (10)
………………..…………….. (11)
………..………….. (12)
………..………….. (13)
Nilai dapat bernilai positif (positive free deformation) atau bernilai negatif (negative free
deformation) seperti pada Gambar 2, tergantung dari efek perubahan luas efektif piston-
silinder terhadap tekanan.
Pada kasus tertentu, kurva linear luas efektif area PCA terhadap tekanan menyimpang
terutama pada tekanan rendah (10% dari rentang maksimum tekanan). Penyimpangan kurva
……………..…….….. (14)
…..……………..…………….. (16)
………..………….. (17)
………..………….. (18)
……..………….. (19)
X 2 ⋅ X −2 − N 2 χ 2
V ( A0 ) = ⋅ ………………….. (23)
D N −3
N ⋅ X −2 − ( X )
−2
χ2
V ( A0 λ ) = ⋅ …………………. (24)
D N −3
N ⋅ X 2 − (X )
2
χ2
V (F ) = ⋅ ……………….….. (25)
D N −3
dengan,
χ 2 = ∑ (A j − A0 − A0 λ ⋅ p j − F p j )2 …………………………………………. (26)
D = N ⋅ X 2 ⋅ X −2 − N 3 − ( X ) ⋅ X −2 + 2 N ⋅ X ⋅ X −1 − X 2 ⋅ ( X )
2 −2
………………. (27)
dan,
X = ∑ p j , X 2 = ∑ p 2j , ( X ) = (∑ p j ) , X −1 = ∑ p −j 1 , X −2 = ∑ p −j 2 , ( X ) =
2 2 −2
(∑ p ) ,
−1 2
j
Y = ∑ A j , Y 2 = ∑ A2j , (Y ) = (∑ A j ) , XY = ∑ p j ⋅ A j , YX −1 = ∑ A j p j
2 2
Evaluasi ketidakpastian curve fitting trend kurva luas efektif piston-silinder terhadap
tekanan, dilakukan dengan menghitung varians melalui nilai sum square of errors (SSE) dari
luas efektif area ( ) pada tiap titik tekanan ( ), dengan menggunakan Persamaan (28) -
(29)[6] [7].
………….….. (28)
………………..……….….. (29)
dengan :
= Standar deviasi fungsi y(x) (m2)
= Jumlah titik tekanan
= Jumlah parameter DWT yang ingin dicari
= Data luas efektif area piston-silinder tiap titik tekanan hasil kalibrasi
= Data luas efektif area piston-silinder tiap titik tekanan dari curve fitting
3. METODOLOGI
Pada penelitian ini, analisis curve fitting dilakukan pada hasil kalibrasi DWT Check
DHI PG7302 PCA S/N 442 rentang tekanan 20 MPa yang dimiliki oleh Laboratorium
Tekanan Puslit Metrologi LIPI. Penelitian ini dilakukan pada rentang tekanan rendah karena
pada tekanan rendah pada umumnya nilai luas-efektif piston-silinder menyimpang dari trend
Gambar 3. Setup dan proses kalibrasi DWT DHI PG7302 PC S/N 442
Kalibrasi dilakukan dengan metode komparasi langsung yaitu cross float terhadap
DWT Standar DHI PG7302 PCA S/N 587 rentang tekanan 20 MPa. Jumlah pengambilan
data dilakukan sebanyak sepuluh titik tekanan yaitu pada titik 10% (2 MPa), 20% (4 MPa),
30% (6 MPa), 40% (8 MPa), 50% (10 MPa), 60% (12 MPa), 70% (14 MPa), 80% (16 MPa),
90% (18 MPa) dan 100% (20 MPa), dengan dua seri pengukuran tekanan naik dan satu seri
pengukuran tekanan turun.
Parameter DWT hasil kalibrasi ( sangat tergantung dari model matematis yang
digunakan. Untuk itu, perlu ditentukan model matematis (dari keempat model matematis
yang ada) yang paling tepat melalui curve fitting dari data hasil kalibrasi untuk melihat
tendensi perubahan terhadap . Alih-alih menggunakan R-squared (R2) pada trendline
Excel, tingkat kesesuaian curve fitting pada penelitian ini dilihat berdasarkan perhitungan
nilai sum square of error (SSE) atau residual error menggunakan Persamaan (28) dan
Persamaan (29). Semakin kecil nilai SSE atau residual error dari nilai curve fitting, maka
curve fitting tersebut semakin sesuai terhadap data hasil kalibrasi. Nilai parameter DWT dan
ketidakpastiannya pada model matematis (1) dan (2) dihitung dengan menggunakan
Persamaan (5) – Persamaan (13), sesuai dengan dokumen acuan EURAMET cg 3. Namun,
untuk model matematis (1), (3), dan (4) pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan
penyelesaian matriks pada Persamaan (14) dan Persamaan (19).
4 ppm
grid
Gambar 4. Data hasil kalibrasi DWT Check S/N 442 rentang tekanan 20
MPa dengan DWT Standar S/N 587 dari 3 seri pengukuran
Terdapat penyimpangan kurva yang cukup signifikan pada titik tekanan 2 MPa (10%)
dan 4 MPa (20%) dari tiga seri pengukuran. Tampak bahwa nilai Ap,t pada titik 2 MPa (10%)
dan 4 MPa (20%) masing-masing memiliki deviasi pengukuran sebesar 4 × 10-6 dan 3 × 10-6
(4 × 10-6 per skala) dari tiga seri pengukuran, sedangkan pada titik tekanan lainnya nilai Ap,t
cenderung konsisten dengan deviasi kurang dari 1 × 10-6. Gambar 4 juga menunjukkan
bahwa nilai rata-rata Ap,t tiap titik tekanan dari ketiga seri pengukuran, memiliki trend kurva
Ap,t yang linear terhadap tekanan.
Hasil pendekatan curve fitting dari 4 model matematis Persamaan (1) – (4) terhadap
data hasil kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 5.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Curve fitting hasil kalibrasi berdasarkan model matematis :
(a) , (b) , (c) ,
(d)
Setelah dilakukan curve fitting berdasarkan keempat model matematis terhadap hasil
kalibrasi, dapat diketahui bahwa curve fitting berdasarkan model matematis (2) adalah yang
paling tepat, karena memiliki nilai ketidakpastian relatif terkecil yaitu sebesar 0,85 × 10-6.
Sedangkan ketidakpastian relatif dari model matematis lainnya (1), (3), dan (4) secara
berturut-turut adalah 22 × 10-6 , 23 × 10-6 , dan 5,7 × 10-6 (dengan nilai skala per kotak atau
per grid pada grafik sebesar 4 × 10-6).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. Residual error curve fitting model matematis : (a)
(b) , (c) , (d)
Model matematis yang tepat, cenderung memiliki trend kurva yang acak atau tanpa
struktur, karena menunjukkan bahwa tidak adanya kesalahan sistematis. Pada Gambar 6,
tampak bahwa model matematis (2) memiliki tren kurva residual error paling acak atau tanpa
struktur, dibandingkan dengan model matematis (1) dan (3) yang memiliki kurva residual
error struktur dan dependensi yang jelas. Model matematis (4) juga memiliki tren kurva
residual error yang acak, namun memiliki nilai residual error lebih besar dibandingkan model
matematis (2). Dengan demikian, metode inspeksi visual tren kurva residual error ini juga
Tabel 1. Hasil penentuan parameter DWT dari keempat model matematis curve fitting
A0,20 λ F
Model Curve Fitting 2 -1
(m ) (Pa ) (N)
1,4 × 10-12 -
4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10
± 0,1 × 10-12
4,902 086 × 10-5 ± 10,9 × 10-10 - -
-0,2 × 10-3
4,902 089 × 10-5 ± 8,5 × 10-10 -
± 1,8 × 10-3
1,8 × 10-12 4,9 × 10-4
4,901 981 × 10-5 ± 2,4 × 10-10
± 0,4 × 10-12 ± 6,1 × 10-4
Sehingga dengan pertimbangan analisis diatas, maka nilai parameter DWT yang dipilih
adalah nilai A0,20 sebesar (4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ±
0,1 × 10-12 ) Pa-1. Dari Tabel 1, dapat dilihat juga bahwa kesalahan dalam memilih model
matematis curve fitting, mengakibatkan kesalahan atau perbedaan nilai parameter DWT yang
seharusnya dilaporkan dalam sertifikat kalibrasi, seperti pada model matematis (3) yang
memiliki perbedaan maksimum nilai parameter DWT (A0,20) dengan model matematis (2)
sebesar 16 × 10-6.
5. KESIMPULAN
Penentuan parameter DWT hasil kalibrasi ( sangat tergantung dari model
matematis yang digunakan, sehingga perlu ditentukan model matematis (dari keempat model
matematis yang ada) yang paling tepat melalui analisis curve fitting dari data hasil kalibrasi
untuk melihat tendensi perubahan terhadap . Pemilihan curve fitting yang paling sesuai
dapat dilakukan dengan melihat nilai SSE atau residual error dan ketidakpastian terkecil dari
keempat model matematis tersebut terhadap data hasil kalibrasi, yang dimana pada penelitian
ini didapatkan model matematis (2) atau sebagai model matematis yang
paling sesuai dengan ketidakpastian relatif curve fitting sebesar 0,85 × 10-6 dengan tren kurva
residual error paling acak dibandingkan model matematis lainnya. Dengan pertimbangan
analisis diatas, maka nilai parameter DWT yang dipilih adalah nilai A0,20 sebesar (4,902 013
× 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ± 0,1 × 10-12 ) Pa-1.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Lewis,S. and Peggs,G., 1992, The Pressure Balance : A Practical Guide To Its Use,
National Physical Laboratory, UK.
[2] -, 2011 , Calibration Of Pressure Balances, EURAMET e.V., Germany.
[3] Rudi A.S., 2012, Master Thesis : Characterization of 1 GPa Controlled Clearance
Piston Gauge for High Pressure Standard using Finite Element Method, University of
Science and Technology, South Korea.
[4] Isabelle M., 2011, EURAMET Project 1125 : Evaluation of cross-float measurements
with pressure balances, LNE, France.
[5] Buananno G. et all, 2006, A FEM Analysis of a Negative Free Deformation Pressure
Balance Operating Up To 100 MPa, Cassino, Italy.
[6] Morrison F.A., Obtaining Uncertainty Measures on Slope and Intercept of a Least
Squares Fit with Excel’s LINEST , Michigan Technological University, USA, 2014.
[7] Montgomery D.C. and Runger G.C., 2011, Applied Statistics and Probability
for Engineers, 5th edition, Willey, New York.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Bernadus Sirenden
Pertanyaan :
Apakah metode curve fitting ini pernah diujikan untuk titik ukur yang lain, atau hanya pada
rentang 200 bar saja?
Jawaban
Metode curve fitting ini dapat diterapkan pada semua rentang ukur tekanan. Namun pada
penelitian ini, dipilih rentang ukur tekanan rendah (200 bar), karena sering terjadi
INTISARI
Makalah ini berisi proposal metode penentuan kecepatan stall pesawat udara tak berawak, (drone),
dari data uji terbangnya. Metode ini dapat digunakan penggiat drone karena kepraktisannya dalam
pengolahan data terbang tanpa mengorbankan akurasi kecepatan stall hasil perhitungan. Kecepatan
stall adalah laju gerak terendah yang masih dapat dicapai pesawat udara sesaat ketika gaya angkat
sayap berkurang drastis. Oleh karena itu, kecepatan stall ini menjadi parameter penting bagi
keselamatan penerbangan pesawat udara. Secara konvensional pengukuran kecepatan stall pada
pesawat udara berawak, dilakukan dalam uji terbang dengan metoda yang detail dan kompleks untuk
memunculkan kondisi stall yang aman untuk diobservasi. Sebaliknya, drone tidak dirancang dengan
kompleksitas setinggi pesawat udara berpenumpang, sehingga metode pengukuran kecepatan stall
dapat dibuat menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan tersebut dipaparkan pada makalah ini sehingga
menghasilkan metode pengukuran kecepatan stall yang cocok diterapkan pada uji terbang drone.
Kata Kunci: uji drone, instrumentasi drone, kecepatan stall, prestasi terbang drone
ABSTRACT
This paper proposed a method of determining the UAV stall speed from its flight data. The method is
applicable for UAV’s (or drone’s) practitioner due to its practicality in processing the flight data
without sacrificing its accuracy. The stall speed is the lowest value of velocity attained by an aircraft
in the moment before the lift decreasing abruptly from the wings. Thus, the stall speed became an
important parameter for the safety of the aircraft. Conventionally, in the manned aircraft, the stall
speed was measured in a flight test with the detailed and complicated method to exhibit the stall
condition which safe for observation. In the other hand, UAV weren’t designed with complexity as in
manned aircraft, thus the method can be simplified. The simplification—together with theoretical
bases and technical justification—were presented in this paper and resulted a suitable technique in
measuring the UAV stall speed in the flight test.
Keywords: UAV flight test, UAV instrumentation, stall speed, UAV flight performance.
1. PENDAHULUAN
Kecepatan stall adalah sebuah parameter penting dalam penerbangan pesawat udara
baik pesawat udara berawak dan juga Pesawat Udara Nir Awak (PUNA). Khusus untuk
PUNA (Gambar 1), yang dikenal juga dengam istilah drone, perlu dibuat suatu metode
pengukuran kecepatan stall yang aplikatif. Metode pengukuran tersebut akan diajukan di
Kecepatan stall pesawat udara menjadi faktor pengali pada beberapa kriteria
penerbangan pesawat udara[1]. Selain itu, investigasi terhadap karakteristik stall adalah hal
yang sangat penting dalam sertifikasi pesawat udara. Oleh karena itu, kecepatan stall
biasanya ditentukan di awal program uji terbang pesawat udara[1]. Demikian pula dengan
PUNA atau drone BPPT, kecepatan stall juga menjadi parameter yang menentukan batas-
batas keamanan terbangnya.
Fenomena stall adalah sebuah peristiwa rusaknya keteraturan aliran udara di
permukaan sayap pesawat udara yang mengakibatkan hilangnya gaya angkat secara tiba-
tiba[2]. Kondisi kritis tersebut membuat pengukuran kecepatan stall menjadi penting untuk
mengkaji dinamika terbang PUNA BPPT. Walau demikian, pengukuran kecepatan stall
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, karena kecenderungannya sebagai hal yang
berbahaya (hazardous nature)[2]. Karena faktor resiko ini pula, maka uji stall pesawat udara
menjadi penting dilakukan dengan tujuan meminimalkan resiko serupa dalam
pengoperasiannya kelak.
Berbeda dengan aktifitas pengukuran dan pengujian yang berlangsung di
laboratorium, pengukuran parameter terbang PUNA BPPT dilakukan dengan uji terbang
(flight test) yang dilangsungkan pada suatu lapangan udara (airfield) yang memiliki landas
pacu (runway). Pelaksanaan uji terbang di alam terbuka seperti ini, tidak memungkinkan
pembentukan controlled environment ataupun isolated environment untuk kemudahan
pengukuran, sehingga item uji terbang seperti pengukuran kecepatan stall memerlukan
perencanaan yang matang dan metode yang akurat namun praktikal diterapkan di lapangan.
Pada pesawat udara, stall terjadi ketika penampang sayap membentuk sudut serang
(Angle of Attack, AoA) yang terlalu besar terhadap arah aliran udara, sehingga aliran pada
permukaan atas sayap terlepas dan mengakibatkan sayap pesawat udara kehilangan gaya
angkatnya. Ilustrasi fenomena ini disajikan pada Gambar 2. Pada bagian kiri bawah ilustrasi
tersebut, terlihat bahwa aliran udara seharusnya melekat pada permukaan atas dan bawah
sayap, sehingga sayap menghasilkan gaya angkat yang dibutuhkan dalam penerbangan.
Sedangkan pada bagian kiri atas, diilustrasikan penampang sayap dengan aliran yang rusak
pada permukaan atasnya ketika terjadi stall. Di bagian kanan ilustrasi tersebut, stall
digambarkan secara menyeluruh terhadap pesawat udara.
Di bagian tengah ilustrasi Gambar 2, kurva Lift (gaya angkat) terhadap sudut serang
memperlihatkan kenaikan gaya angkat yang terjadi secara linear bila sudut serang diperbesar
terhadap arah aliran udara. Walaupun linear, namun pada suatu nilai sudut tertentu, gaya
angkat yang dihasilkan sayap akan mencapai harga maksimum lalu turun mendadak dan
menjadi nol. Di titik maksimum inilah terjadi stall, sehingga sudut serang yang bersesuaian
dinamakan sudut serang stall (stalling angle of attack, αs) dan kecepatan terbang yang
bersesuaian disebut kecepatan stall (stalling speed, Vs).
Gambar 3. Ilustrasi Profil Sudut Dongak dan Ketinggian Terbang dalam Uji Stall [10]
5. KESIMPULAN
Metode pengukuran kecepatan stall untuk drone telah diformulasikan sesuai
pemaparan di bagian akhir Bagian 3, yang terbagi atas aktifitas pelaksanaan pengukuran
kecepatan terbang dan aktifitas penentuan kecepatan stall. Implementasi metode tersebut
menunjukkan hasil yang baik seperti disajikan pada Bagian 4. Metode yang diajukan penulis
mampu mengukur kecepatan stall pada drone dengan lebih praktis, obyektif dan akurat.
Penerapan metode ini memudahkan aktifitas pilot uji, dan mengurang resiko insiden
pada uji stall karena pilot tidak dibebani untuk menentukan timing terjadinya stall. Pilot uji
dapat memusatkan perhatian pada pergerakan drone untuk memasuki kondisi stall, serta
mengantisipasi segala dinamika terbangnya selama stall dan memulihkan drone dari stall
menuju terbang normal.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijanarko
Pertanyaan:
Bagaimana pengaruh cuaca terhadap kinerja drone?
Jawaban:
Sebagai salah satu pesawat terbang, maka Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) BPPT atau
drone, sangat terpengaruh oleh angin di area operasinya. Ketika drone lepas landas dan
mendarat dengan pengendali pilot manusia, maka pada saat tersebut drone bisa dikendalikan
apabila kecepatan angin di area tersebut tidak melebihi 15 knots. Namun pada pengoperasian
di ketinggian jelajah 1500 feet, maka modus terbang autopilot akan diaktifkan sehingga
drone mampu terbang menghadapi angin hingga 30 knots dengan bantuan pengendali
elektronik automatis.
INTISARI
Kalibrasi load cell tarik seringkali terkendala ketidaksesuaian alat bantu tarik bawaan load cell
dengan holding frame mesin standar gaya yang digunakan. Pada makalah ini disampaikan metode
alternatif untuk melakukan kalibrasi pada load cell tarik tipe pancake (low profile) tanpa
menggunakan alat bantu tarik, yaitu dengan menggunakan metode tekan. Hasil pengujian pada dua
buah load cell kapasitas 10 kN dan 50 kN dengan metode tekan dan metode baku menunjukkan
kesesuaian dengan |En|<1 pada load cell 50 kN (kelas 2), sedangkan pada load cell 10 kN (kelas 0,5),
hanya titik 1 – 6 kN yang memenuhi. Rata-rata rasio ketidakpastian yang dihasilkan dengan
menggunakan metode tekan terhadap metode baku pada kedua load celladalah 1,06 dan 1,29, dengan
deviasi kurang dari 0,1 %. Berdasarkan pengujian ini, metode tekan dapat diterapkan pada load cell
kelas rendah. Diperlukan penelitian lanjutan untuk dapat menerapkan metode ini pada load cell kelas
tinggi.
Kata kunci: Load cell tarik tipe pancake, metode kalibrasi, En number.
ABSTRACT
Calibration of the tension load cell are often constrained by incompability of the load cell’s tension
adapter with the holding frame of the force standard machine used. In this paper presented an
alternative method to perform calibration on pancake (low profile) type load cell without using
tension adapter, that is by using compression method. The experiments on two load cell with
capacities of 10 kN and 50 kN by the compression method and the standard method show conformity
with | En | <1 on the 50 kN load cell (class 2), whereas in the 10 kN load cell (class 0,5), only 1 kN -
6 kN points meet. The average uncertainty ratio generated using the compression method compare to
the standard method on both load cells is 1.06 and 1.29, with deviations less than 0.1%. Based on this
experiment, compression method can be applied to low-class load cells. Additional research is
required to apply this method to high-class load cells.
1. PENDAHULUAN
Pengembangan terhadap alat ukur gaya dan metode kalibrasinya terusdilakukan untuk
mengimbangi kebutuhan terhadap layanan kalibrasi. Puslit Metrologi LIPI sebagai pengelola
teknis Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (SNSU) memiliki layanan kalibrasi load cell
tekan dari 40 N hingga 5 MN dan kalibrasi load cell tarik dari 40 N hingga 1 MN.
Pelaksanaan layanan kalibrasi load celluji tarik seringkali mengalami kendala, karena
ketidaksesuaian alat bantu tarik yang dimiliki oleh load cell dengan holding frame mesin
2. DASAR TEORI
Uji tarik adalah metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan dengan
cara memberikan beban gaya tarik yang sesumbu. Uji tarik dilakukan untuk melengkapi
informasi dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan.
Sifat mekanis yang dapat diketahui dari uji tarik adalah kekuatan dan elastisitas dari material,
terutama material logam.
Standar yang digunakan untuk melakukan uji tarik dapat berupa load cell maupun
proving ring. Load cell merupakan transduser gayayang mengukur gaya dengan cara
mengukur defleksiyang diakibatkan oleh gaya tersebut. Komponen sensor dalam load cell
yangdigunakan untuk mengukur besarnya defleksi adalah strain gauge.[1]Berdasarkan arah
gayanya, load cell dapat dibedakan menjadi load cell tekan, load cell tarik, maupun load cell
tarik-tekan.Sedangkan berdasarkan bentuknya, beberapa tipe load cell yang sering dijumpai
antara lainload cell tipe button, load cell tipe column (canister), load cell tipeS dan load cell
tipe pancake (low profile).[2]
3. METODE
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 2 buah load cellyang memiliki kapasitas
10 kN dan 50 kN. Load cell kapasitas 10 kN dikalibrasi dengan menggunakan mesin standar
gaya deadweight 20 kN dengan ketidakpastian 0,003 %. Sedangkan load cell 50 kN
dikalibrasi dengan menggunakan mesin standar gaya tipe lever 1 MN dengan ketidakpastian
0,015 %.Indikator yang digunakan adalah TCLM-1A, dengan resolusi 1 digit. Untuk
kalibrasi load cell kapasitas 10 kN, indikator disettingpada settingfull scale 10000 dan
sensitivitas 2505 mV/V. Sedangkan untuk load cell kapasitas 50 kN, indikator disetting pada
settingfull scale 50000 dan sensitivitas 2517 mV/V. Suhu ruangan selama pengambilan data
dijaga pada rentang 23 ± 1 oC.
Pengujian dilakukan sesuai prosedur kalibrasi load cell I.MM.4.01 Puslit Metrologi
yang mengacu pada ISO 376:2011. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 2 metode.
Metode pertama merupakan metode baku untuk mengkalibrasi load cell tarik, yaitu dengan
menggunakan alat bantu tarik, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Metode kedua merupakan
metode non-baku di mana load cell tarik dikalibrasi dengan menggunakan metode kalibasi
tekan. Penggunaan metode tekan ini didasari pada kesamaan arah gaya yang bekerja pada
load cell. Setting kalibrasi tarik dengan menggunakan metode tekan ditampilkan pada
Gambar 3dan4. Gambar 4.a merupakan adapter pengarah gaya yang biasa digunakan dalam
kalibrasi tekan. Gambar 4.b merupakanring bantalan tekan yang khusus digunakan untuk
melakukan pengujian metode tekan. Dan Gambar 4.c menunjukkan posisi pemasangan load
cell, ring dan adapter pada kalibrasi tarik dengan menggunakan metode tekan.
En =
(X MT - X MB ) ………………………………………………1
(W 2
MT
2
+ WMB )
dengan : XMT : Nilai yang dihasilkan denganmetode tekan
XMB : Nilai yang dihasilkan dengan metode baku
WMT : Ketidakpastian bentangan yang dihasilkan dengan metode tekan
WMB : Ketidakpastian bentangan yang dihasilkan dengan metode baku
wrot =
1
×
1
(
x ∑ Xi − X r
6 i =1,3,5
)
2
………………………………………3
Xr
X r − Xa
winp = ………………………………………………4
Xr
dengan Wstd adalah ketidakpastian bentangan mesin standar gaya, ks merupakan faktor
cakupan dari sertifikat mesin (ks = 2).
dengan k merupakan faktor cakupan yang dihasilkan dari perhitungan derajat kebebasan
(veff).
Pada kalibrasi load cell 10 kN, nilai keluaran yang diperoleh dengan menggunakan
metode tekan lebih besar daripada dengan menggunakan metode baku, dengan deviasi
maksimum 0,067 %. Sedangkan pada kalibrasi load cell 50 kN, nilai keluaran yang diperoleh
dengan menggunakan metode tekan lebih kecil daripada dengan menggunakan metode baku,
dengan deviasi maksimum 0,094 %. Sehingga, ditinjau dari besar nilai keluaran, nilai
keluaran metode tekan tidakdapat ditentukan kecenderungannya lebih besar ataulebih kecil
daripada metode baku. Namun dari kedua load cell dapat diketahui bahwa penggunaan
metode tekan menghasilkan deviasi kurang dari 0,1 %.
Besar ketidakpastian yang diperoleh dengan menggunakan kedua metode ditampilkan
pada Tabel2. Pada pengujian load cell 10 kN besar ketidakpastian yang diperoleh dengan
kedua metode hampir sama, yaitu sebesar 0,017 % - 0,2 %. Rata-rata rasio ketidakpastian
metode tekan terhadap metode baku adalah sebesar 1,06.Pada pengujian load cell 50 kN
besar ketidakpastian yang diperoleh dengan metode tekan relative lebih besar. Rata-rata rasio
ketidakpastian metode tekan terhadap metode baku adalah sebesar 1,29.Ketidakpastian yang
dihasilkan dengan menggunakan metode tekan masih relatif cukup baik, karena rata-rata
rasio ketidakpastian yang dihasilkan pada kedua load cellhanya 1,06 dan 1,29. Jika
ketidakpastian yang dihasilkan terlalu besar, ditinjau dari besarnya ketidakpastian maka
penggunaan metode tekan akan cukup merugikan.
Nilai ketidakpastian yang dihasilkan dari metode tekan yang lebih besar ini, tidak
terlepas dari hysteresis sebagai komponen ketidakpastian terbesar, di mana hysteresis yang
dihasilkan dengan metode tekan lebih besar daripada yang hysteresis yang dihasilkan dengan
metode baku. Perbandingan besarnya ketidakpastian standar tiap komponen ketidakpastian
ditampilkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Berdasarkan parameter yang diperoleh tersebut,
berdasarkan klasifikasi ISO 376:2011Table 2. Characteristics of force-proving instruments,
load cell 10 kN masuk pada kelas 0,5 sedangkan load cell 50 kN masuk pada kelas 2 yang
lebih rendah.
Pada Gambar 8 dan 9, pada kedua load cell dapat dilihat tren ketidakpastian pada titik
tinggi semakin kecil, hal ini antara lain dipengaruhi hysteresis sebagai komponen
ketidakpastian terbesar. Dengan kecilnya ketidakpastian di titik tinggi tersebut, maka nilai En
di titik tinggi menjadi besar, dan bahkan tidak memenuhi persyaratan kesesuaian
sebagaimana pada titik 7 kN – 10 kN load cell 10 kN.
Cara yang dapat dilakukan untuk dapat memenuhi persyaratan nilai Enadalah dengan
memperbesar ketidakpastian metode tekan (WMT), yangantara lain dapat dilakukan dengan
menambahkan komponen ketidakpastian penggunaan metode tekan (wmtd), misalnya
ditetapkan sebesar 0,05 %.Dengan demikian efek wmtdpada ketidakpastian di titik rendah
kecil karena ketidakpastian WMTrelatif jauh lebih besar, sedangkan pada titik tinggi efek wmtd
relatif signifikan. Selain En number terpenuhi, ketidakpastian yang besar ini lebih tepat untuk
memberikan batas aman dari kesalahan pengukuran.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Purwanto, Dwi. Rancang Bangun Load Cell sebagai Sensor Gaya pada Sistem Uji.
BPPT.
[2] Interface. 2009. Load Cells : A Primer on the Design and Use of Strain Gage Force
Sensors. Interface Inc. Arizona.
[3] Internasional Organisation for Standardisasion. 2011. ISO 376:2011 Metallic
Materials–CalibrationofForceProving Instruments Used for the Verification of
UniaxialTesting Machines. ISO. Switzerland.
[4] Puslit Metrologi-LIPI. 2016. I.MM.4.01 Force Measuring Device Calibration Using
Force Standard Machine.
[5] European Association of National Metrology Institutes. 2011. EURAMET / cg-4 / v.2
Uncertainty of Force Measurements. EURAMET. Braunschweig.
[6] Averlant, P., dan C. Duflon. 2016. EURAMET.M.F-S4 Force Euramet Supplementary
Comparison 10 kN and 20 kN. Metrologia Vol.53.
[7] Stenner, Lioba.2012. Comparison of the Calibration Results of Industrial Force
Transducer Obtained Based on the New vs. the Old Version of ISO 376. XX IMEKO
World Congress. Korea.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hafid
Pertanyaan :
Kenapa load cell 50 kN En numbernya masuk padahal deviasinya lebih besar dari devisi load
cell 20 kN, sedangkan load cell 20 kN tidak masuk padahal deviasinya lebih kecil?
INTISARI
Pusat penelitian metrologi LIPI selama ini menggunakan metode totalized dalam mengalibrasi
stopwatch-timer. Dalam metode tersebut,human reaction time bias (HRTB) dan human reaction time
standard deviation (HRTSD) memberikan nilai ketidakpastian bentangan U yang cukup signifikan.
Hipotesa awal untuk menurunkan nilai Uadalah dibuatnya sistem otomasi kalibrasi stopwatch yang
menghilangkan faktor HRTB dan HRTSD. Rancang bangun sistem otomasi inidibagi menjadi
beberapa tahapan. Salah satu tahapan terpenting adalah tahapan otomasi pengambilan data. Pada
penelitian ini telah dilakukansalah satumetode otomasi pengambilan data kalibrasi stopwatch
menggunakan aplikasi Auto Capture Controller. Metode ini menghasilkan nilai Uyang lebih kecil
dengan penurunan sekitar 10,8% dari U yang menggunakan metode totalized. Hasil ini menjadi tolok
ukur untuk mengembangkan otomasi pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan image processing,
filtering, analisis data dan penerbitan nilai ketidakpastian.
Kata Kunci : auto capture controller, human reaction time bias (HRTB), human reaction
time standard deviation (HRTSD), metoda totalized
ABSTRACT
Research center for metrology Indonesian Institute of Sciences (LIPI) has been using totalized
method to calibrate stopwatch-timer. In this calibration, human reaction time bias (HRTB) and
human reaction time standard deviation (HRTSD) provide significant expanded uncertainty U. The
initial hypothesis for lowering U values is the creation of a stopwatch calibration automation system
that eliminates the HRTB and HRTSD factors. The design of this automation system is divided into
several stages. One of the most important stages is the data retrieval automation stage This research
has been done one of the automation method of retrieving stopwatch calibration data using Auto
Capture Controller application. This method produces a smaller U value with a decrease of about
10,8% of U using the totalized method. These results become benchmarks for developing automation
in the next stage of image processing, filtering, data analysis and publishing the value of uncertainty.
Keywords : auto capture controller, human reaction time bias (HRTB), human reaction time
standard deviation (HRTSD), totalized method
1. PENDAHULUAN
Sampai saat ini, kalibrasi stopwatch dan timer di Laboratorium Waktu dan Frekuensi,
Pusat Penelitian Metrologi LIPI dilakukan menggunakan metoda totalizedPengambilan data
kalibrasi dengan metoda totalizedini dilakukan dengan cara manual sehingga sangat
dipengaruhi oleh waktu reaksi dari operator pelaksana kalibrasi atau yang lebih dikenal
Gambar 3. Skema pengambilan data dan diagram waktu otomasi kalibrasi stopwatch
14 = T(i+1)st, adalahpenunjukan waktu berikutnya (i+1) yang terlihat dari Standar, sekon
15 = T(i+1)s, adalahnominal waktu berikutnya (i+1) yang sebenarnya dari Standar, sekon
16 = Tist, adalahpenunjukan waktu ke –i yang terlihat dari Standar, sekon
17 = δ 1i , adalahwaktu yang dibutuhkan untuk mengaktivasi program, sekon
23 = ∆Ts, adalah nilai perbedaan waktu dari dua titik ukur yang sebenarnya dari Standar,
sekon
Tiut = Tiu + α iu + D.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ....2
Tist = (Tiu + α iu )δ .
= Tis + α iuδ ......................................................................................................................4
Kerangka analitik yang kali ini dibangun, pada akhirnya digunakan untuk mencari nilai
aktual dari UUT dibandingkan dengan nilai yang terdapat pada standar (Tiu). Namun hal ini
akan terkendala ketika terdapat nilai D yang merupakan besarnya perbedaan waktu ke-nol
antara T0udengan T0s. Nilai D ini merupakan representasi dari human reaction time bias yang
semestinya harus dihilangkan. Untuk itu, dibuatlah suatu modifikasi matematik yang
mengeliminasi D. Modifikasi ini diantaranya adalah membuat suatu kesetaraan matematis
antara besarnya interval waktu dengan besarnya nilai pada titik ukur yang
dikalibrasiatau ∆Tu = Tiu dimana ∆ Tu adalah besarnya Interval waktu antara dua titik
∆Tut ∆Ts
∆Tu = ..................................................................................................................7
∆Tst
dimana:
UtotKetidakpastian total hasil kalibrasi, sekon
UNAFSKetidakpastian NaFS (National Frequency Standard)besarnya sekon
Ux Ketidakpastian yang bersumber dari Kabel Coaxialbesarnya, sekon
URCnt Ketidakpastian resolusi counter, sekon
URuutKetidakpastian resolusi UUT, sekon
UD.AKetidakpastian yang berasal dari Distribution Amplifier, sekon
UrepeatKetidakpastian dari pengulangan (repeatability), sekon
∆Tu dengan menggunakan persamaan 8, maka diformulasikanlah persamaan matematis
ketidakpastian dari tipe A (keterulangan , ure) sebagaimana persamaan 9.
∂∆Tu ∂∆Tu ∂∆Tu
ure = u∆Tu = ⋅ u∆Tut + ⋅ u∆Ts + ⋅ u∆Tst ………………………..……….....….....9
∂∆Tut ∂∆Ts ∂∆Tst
2 2 2
∂∆Tu ∂∆Tu ∂∆Tu ………......…..…..…....10
u∆Tu = ⋅ u∆Tut + ⋅ u∆Ts + ⋅ u∆Tst
∂∆Tut ∂∆Ts ∂∆Tst
ketidakpastian yang berasal dari standar dianggap nol, baik yang berasal dari actual
value, maupun nilai yang terlihat pada indikator standar. Hal ini juga berarti, baik ∆Tist
maupun ∆Ts tidak memiliki keragu-raguan dalam penunjukan. Hal tersebut membuat
evaluasi ketidakpastian standard deviation of mean (SDOM)sebagai persamaan 11.
3. METODOLOGI
Sistem otomasi kalibrasi stopwatch yang dibangun menggunakan data gambar. Data-data
gambar ini menampilkan angka yang tertera pada stopwatch dan pada counter pada waktu
tertentu. Angka-angka ini merupakan Indikator selang waktu yang dicari nilai ketidak
pastiannya relatif terhadap standar.
Sumber Frekuensi
Standar Nasional
D.A 1 & 2
10 000.000 Hz 10 MHz
Sinyal Keluaran
Frequency generator =
Sinyal masukan
Frequency Counter
Kabel BNC
10 000.000 Hz
Personal
Computer
Smartphone
Penyanggah
Data yang didapatmenunjukan bahwa data diambil dengan tidak cukup presisi, selalu
berlebih antara 100 milisekon hingga 1,9 sekon. Kelemahan ini juga membuktikan
UUT menunjukan nominal yang ditunjukan oleh Unit under test yang dikalibrasikan,
Sedangkan Std menunjukan nominal yang tertera pada peralatan standar (Fluke PM6681).
Data ke-n menunjukan urutan pengambilan data secara berurutan yang didalamnya terdapat
Dari kedua tabel tersebut, didapatkan suatu tabel perbandingan dari hasil analisa tabel 2 dan 3
yang disajikan pada grafik gambar 6.Pada tabel 2 dapat pula kita perhatikan bahwa koreksi
rata-rata terhadap nilai standar menggunakan metoda otomasi bernilai -0,033. Nilai ini lebih
besar jika dibandingkan dengan koreksi rata-rata menggunakan metoda totalizedsebesar
0,0008 pada tabel 3. Hipotesa sementara mengapa hal ini terjadi adalah dikarenakan adanya
HRTB dan HRTSD pada metoda totalized. Pada beberapa sumber tertulis, HRTB dan
HRTSD menyumbangkan suatu delay sebesar 0,027 sekon dan 0,01 sekon[1][2][13]. Nilai
yang cukup besar yang mampu memotong disipasi koreksi terhadap standar menjadi lebih
kecil. Meskipun demikian, perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai HRTB dan HRTD
untuk operator dan laboratorium tertentu secara spesifik.
Pada Metoda totalizedtombol start-stop UUT dan standar/kalibrator dihadapkan. Kedua
tombol tersebut memilki sensitifitas yang berbeda sehingga memiliki perbedaan ketika
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] R. M. Graham and R. M. Graham, “Stopwatch Calibrations , Part II : The
TotalizedMethod,” vol. 5775, no. January, pp. 1–3, 2017.
[2] T. Calibrations, “Stopwatch and Timer Calibrations (2009 edition),” 2009.
[3] C. M. Tsui, Y. K. Yan, and H. M. Chan, “Calibration of Stopwatches by Utilizing
High Speed Video Recordings and a Synchronous Counter.”
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Suherlan
Pertanyaan : Ketidakpastian kurang 7.2%, dari komponen apa?
Jawaban :
Metode ini menghilangkan ketidakpastian yang berasal dari human error, tapi ada tambahan
ketidakpastian dari respon sistem komputer
INTISARI
Telah dilakukan pengukuran untuk membandingkan hasil pengujian sound transmission loss
menggunakan sumber suara white noise dan pink noise. Pengukuran dilakukan pada dua sampel, dan
dilakukan di ruang pengujian sound transmission loss. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat
tekanan suara yang diterima mikrofon di ruang penerima memiliki kontur yang sama baik itu
menggunakan sumber pink noise maupun white noise. Perbedaan selisih tingkat tekanan bunyi yang
diterima kedua mikrofon dan perbedaan nilai numerik sound transmission loss pada tiap frekuensi
maksimum 1,4 dB untuk sampel A dan 2,4 dB untuk sampel B. Rating STC yang didapatkan dengan
menggunakan kedua warna noise menunjukkan kesamaan yaitu 46 dB untuk sampel A, dan 44 untuk
sampel B. Sehingga pengujian sound transmission loss dapat menggunakan baik white noise maupun
pink noise.
ABSTRACT
Measurements have been conducted to compare the test results of sound transmission loss by using
white noise and pink noise sources. Measurements were performed on two samples, and were
performed in the sound transmission loss test chamber. The measurement results show that the sound
pressure level received by the microphone in the receiver room has the same contours using either the
pink noise source or the white noise. The difference in sound pressure level received by both
microphones and the difference of sound transmission loss numerical value at each frequency
maximum 1.4 dB for sample A and 2.4 dB for sample B. The STC rating that obtained by using both
noise colors shows the similarity of 46 dB for sample A, and 44 for sample B. So that sound
transmission loss testing can use either white noise or pink noise.
1. PENDAHULUAN
Sound Transmission loss suatu partisi dinyatakan dalam decibel merupakan ukuran
insulasi suara partisi tersebut, yang sama dengan jumlah decibel berkurangnya energi bunyi
datang pada partisi bila melewati struktur. Nilai numerik sound transmission loss hanya
bergantung pada konstruksi partisi dan berubah dengan frekuensi suara, dan tidak tergantung
pada sifat akustik kedua ruang yang dipisahkan oleh partisi itu. Sound transmission loss
partisi dapat ditentukan baik melalui tes laboratorium maupun melalui pengujian lapangan.
Gambar 1. Transmission loss partisi adalah sama dengan jumlah decibel berkurangnya energi
suara dating pada partisi ketika melewati struktur[1]
Noise diketahui ada bermacam warna, di antaranya yang paling banyak digunakan
dalam akustik adalah white noise dan pink noise. Karena karakteristik kedua noise yang
berbeda, maka biasanya white noise digunakan untuk menguji peralatan elektronik yang
mengeluarkan suara, dan biasanya pink noise digunakan untuk menguji kemampuan akustik
dari suatu bahan[2]. ISO 140-3: Acoustics – Measurement of sound insulation in buildings and
of building elements, Part 3: Laboratory measurements of airborne sound insulation of
building elements merekomendasikan sinyal yang memadai untuk diterima di ruang penerima
di frekuensi tinggi[3]. Oleh sebab itu dirasa perlu melakukan kajian perbandingan untuk
pengujian sound transmission loss menggunakan dua warna noise ini.
2. DASAR TEORI
2.1 White Noise dan Pink Noise[4,5]
White noise didefinisikan sebagai kebisingan yang memiliki daya yang sama pada
semua frekuensi.
dengan
adalah sound transmission loss (dB);
adalah rerata sound pressure level di ruang sumber (dB);
Luas ekuivalen serapan suara di ruang penerima dievaluasi dari waktu dengung yang
diukur berdasarkan ISO 354 dan menggunakan persamaan Sabine:[6]
............................................................................................... 2
dengan
adalah volume ruang penerima (m3);
adalah waktu dengung di ruang penerima (detik).
................................................................... 3
Peralatan yang dibutuhkan dalam pengujian sound transmission loss adalah dua buah
mikrofon yang masing-masing diletakkan di ruang sumber dan ruang penerima, rangkaian
speaker omnidirectional, power amplifier dan pembangkit suara sebagai sumber suara, dan
frequency analyzer yang berfungsi sebagai perekam data tingkat tekanan suara kedua
mikrofon. Dengan merujuk pada ISO 140, setup peralatan untuk pengujian sound
transmission loss dapat dilihat pada Gambar 4.
Mekanisme pengukuran sound transmission loss sebagai berikut: prosedur pengujian
sound transmission loss melibatkan dua buah ruangan yaitu ruang sumber dan ruang
penerima. Bahan uji diletakkan di antara ruang sumber dan penerima. Kemudian di ruang
sumber dibangkitkan noise dari loudspeaker yang kemudian diterima oleh mikrofon yang
diletakkan di masing-masing ruang. Sinyal yang diterima kedua mikrofon direkam oleh
frekuensi analyzer untuk diolah menggunakan pengolah data.
Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung pada dua sampel, yaitu Sampel
A dan Sampel B dengan menggunakan warna noise, yaitu pink noise dan white noise secara
bergantian. Mengingat permintaan pengujian sound transmission loss yang ditujukan ke P2
Metrologi LIPI tidaklah terlalu banyak, maka jumlah sampel yang digunakan dalam tulisan
ini menyesuaikan dengan kondisi jumlah permintaan pengujian yang diterima oleh P2
Metrologi LIPI selama bulan Maret 2017. Identitas Sampel A dan Sampel B ditunjukkan
pada Tabel 1.
Nama Sampel Hollo Core Panel Interior Hollo Core Panel Interior
Campuran pasir, semen dan Campuran pasir, semen dan
Bahan
sekam sekam
Tebal 100 mm 75 mm
Panjang x lebar 1200 mm x 600 mm 1200 mm x 600 mm
Diameter lubang 60 mm 40 mm
Jumlah lubang 4 5
Pengukuran dilakukan merujuk pada ISO 140. Sound transmission loss dihitung
menggunakan persamaan (3). Hasil pengukuran sampel A menggunakan pink noise dan white
noise diperlihatkan pada tabel 2 dan hasil pengukuran sampel B menggunakan pink noise dan
white noise diperlihatkan pada tabel 3.
Dari gambar 5 dan gambar 6, terlihat bahwa kontur tingkat tekanan suara yang
diterima di ruang penerima memiliki bentuk yang sama. Bahwa tingkat tekanan suara yang
diterima dari sumber pink noise lebih tinggi daripada white noise adalah menunjukkan bahwa
sumber suara di ruang sumber adalah jenisnya berbeda.
Dari gambar 7 dan gambar 8, terlihat bahwa kontur selisih tingkat tekanan suara yang
diterima mikrofon di ruang sumber dan ruang penerima memiliki bentuk yang hampir sama,
bahkan pada beberapa frekuensi adalah berhimpit. Deviasi terbesar adalah 1,4 dB untuk
sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel B. Nilai deviasi di bawah 3 dB biasanya diabaikan,
karena perbedaannya tidak signifikan pada pendengaran manusia. Hal ini menunjukkan
Grafik sound transmission loss yang menggambarkan performa akustik bahan pada
gambar 9 dan gambar 10 memperlihatkan bahwa konturnya pun hampir sama, bahkan pada
beberapa frekuensi adalah berhimpit. Deviasi terbesar adalah 1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4
dB untuk sampel B. Nilai deviasi di bawah 3 dB biasanya diabaikan, karena perbedaannya
tidak signifikan pada pendengaran manusia. Dari kedua gambar jika diambil rating STC
5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah dengan menggunakan sumber noise dengan
warna berbeda pada pengujian sound transmission loss didapatkan:
• Tingkat tekanan suara yang diterima oleh mikrofon di ruang penerima memiliki
kontur yang sama pada baik pengukuran yang menggunakan sumber pink noise
maupun white noise.
• Grafik yang menunjukkan selisih tingkat tekanan suara di ruang sumber dan ruang
penerima memiliki kontur yang hampir sama, baik menggunakan pink noise maupun
white noise. Selisih terbesar adalah 1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel
B, di mana selisih yang kurang dari 3 dB ini akan sulit untuk dibedakan oleh telinga.
• Grafik yang menggambarkan tren sound transmission loss dengan menggunakan pink
noise dan white noise pun memiliki kontur yang hampir sama. Selisih tertinggi adalah
1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel B. Sehingga ketika grafik sound
transmission loss dibandingkan dengan grafik acuan untuk menentukan rating sound
transmission class, menghasilkan rating STC yang sama.
• Sehingga, untuk pengujian sound transmission loss dapat menggunakan sumber noise
baik pink noise maupun white noise.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Dodi Rusjadi T.E., Bapak Husein A.
Akil dan Bapak Rukmana atas saran dan masukannya. Terima kasih pula disampaikan
kepada P2 Metrologi LIPI sebagai tempat dilakukan pengukuran.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
Dari grafik terlihat sesuatu yang tidak smooth di awal, karena apa?
Jawaban :
Pada pengukuran STC secara teori dibagi menjadi 3 area, area 1 adalah area yang ditanyakan.
Pada area 1 ini yang berperan dominan adalah karakteristik bahan. Sehingga bentuk grafik
sedemikian disebabkan oleh karakteristik bahan tersebut.
INTISARI
Standar SNI ISO/IEC 17025:2008 telah luas digunakan di Indonesia. Penerapan standar tersebut
khususnya diterapkan pada laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian sebagai persyaratan
umum kompetensinya. Penelitian ini membahas mengenai implementasi dari klausul 4.11 dari SNI
ISO/IEC 17025:2008 di laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian dimana umumnya
diterapkan ketika terdapat ketidaksesuaian pada sistem manajemen mutu. Pentingnya topik ini
diangkat karena tidak menutup kemungkinan ditemukan terjadinya ketidaksesuaian dalam
menerapkan standar SNI ISO/IEC 17025:2008 ini, misalnya adalah terdapat perbedaan antara standar
acuan dengan dokumen atau antara dokumen dengan praktik. Terdapat 5 langkah yang perlu
dilakukan dalam mengimplementasikan klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008. Mulai dari
menemukan akar penyebab permasalahan, membuat rencana dari tindakan, membuat tindakan
koreksi, membuat tindakan perbaikan, dan memeriksa efektifitas dari tindakan yang telah dilakukan.
Bagian yang terpenting dan krusial adalah menemukan akar penyebab suatu ketidaksesuaian sehingga
diperlukan investigasi. Seluruh langkah-langkah untuk menyelesaikan tindakan perbaikan tersebut
lalu dijadikan matriks yang dilengkapi dengan personil pelaksana dan tanggal penyelesaian. Peran
aktif dari manajemen puncak turut diperlukan dalam membuat keputusan yang terkait dengan
pekerjaan penyelesaian tindakan perbaikan dan tindakan koreksi.
Kata kunci: SNI ISO/IEC 17025:2008, Akar Penyebab, Tindakan Perbaikan, Tindakan
Koreksi
ABSTRACT
SNI ISO / IEC 17025:2008 standard has been widely used in Indonesia. The application of this
standard is particularly applicable to calibration laboratories and testing laboratories as a general
requirement of their competence. This research discusses the implementation of clause 4.11 of SNI
ISO / IEC 17025:2008 in the calibration laboratory and testing laboratory where it is generally
applied when there is a discrepancy in the quality management system, for example, there is a
difference between the reference standards and the documents or between the documents and the
practice. The importance of this topic was raised because it did not rule out the discovery of non-
conformity in applying this SNI ISO / IEC 17025:2008 standard. There are 5 steps that need to be
done in implementing clause 4.11 SNI ISO / IEC 17025:2008. Starting from finding the root cause of
the problem, making an action plan, making the corrective actions, making the corrective actions,
and monitoring the effectiveness of the actions that have been done. The most important and crucial
part is finding the root cause of a mismatch so that investigation is required. All steps to complete the
corrective action are then made into matrix with the person in charge and the completion date. The
active role of top management is also needed in making decisions related to corrective actions and
correction works.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Standar SNI ISO/IEC 17025:2008 merupakan persyaratan umum kompetensi bagi
laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi[3]. Standar ini merupakan dokumen acuan
yang digunakan oleh Komite Akreditasi Nasional untuk mengakreditasi laboratorium
kalibrasi dan laboratorium pengujian di Indonesia[4]. Oleh karena itu penerapan standar ini
walaupun pada umumnya bersifat voluntary, akan menjadi mandatory apabila dihubungkan
dengan kegiatan saling pengakuan, baik secara nasional maupun internasional. Terkait
dengan kegiatan penelitian ini yang berfokus terhadap penerapan klausul tindakan perbaikan
4.11. SNI ISO/IEC 17025:2008 telah menjabarkan langkah-langkah konkret yang perlu
dilakukan oleh laboratorium apabila terjadi ketidaksesuaian. Langkah-langkah tersebut
terdeskripsi pada klausul 4.11 mengenai tindakan perbaikan.
Pada klausul 4.11.2 dari standar SNI ISO/IEC 17025:2008, poin pentingnya adalah
membicarakan mengenai analisis akar penyebab. Apabila terjadi ketidaksesuaian di sistem
manajemen mutu suatu laboratorium maka perlu dicari apa faktor yang menyebabkannya.
Setiap laboratorium dituntut untuk menemukan penyebab utama dari suatu ketidaksesuaian.
Rangkaian pencarian akar penyebab dapat dilakukan melalui analisis-analisis dari suatu
pendekatan tertentu. Misalkan menggunakan metode flow chart untuk mencari akar penyebab
dan menemukan solusinya[5]. Diharapkan apabila akar penyebab dapat ditemukan berikut
dengan solusi untuk meniadakannya, maka ketidaksesuaian sejenis tidak terjadi kembali pada
masa yang akan datang.
Mulai
Ketidaksesuaian
Analisis Akar
Penyebab
Rencana Tindakan
3 4
Bukti Tindakan
Perbaikan Tindakan Bukti
Tindakan Tindakan
Koreksi
5
Iya Masih
terjadi ?
Tidak
Kesesuaian
Selesai
Hasil investigasi dari suatu ketidaksesuaian dapat beragam, sesuai dengan akar
penyebab yang ditemukan. Tindak lanjut dapat berupa pembuatan/perubahan dokumen,
perencanaan pelatihan untuk personil, sosialisasi pembuat dokumen kepada para pemegang
dokumen, serta penataan sistem manajemen mutu secara keseluruhan. Hal yang terpenting
dari proses investigasi ini adalah untuk menemukan akar penyebab yang ketika solusinya
ditemukan maka pada masa yang akan datang, ketidaksesuaian serupa tidak terjadi kembali.
Setelah laboratorium menemukan akar penyebab dan solusinya maka penunjukan person in
charge atau personil pelaksana dan tanggal penyelesaian tindakan perbaikan perlu dilakukan.
Hal ini dilakukan guna kemudahan pemantauan dari tindakan-tindakan yang dilaksanakan
untuk menghilangkan ketidaksesuaian yang terjadi.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengkombinasikan akar penyebab
yang ditemukan, tindakan koreksi, tindakan perbaikan, personil pelaksana dan tanggal
penyelesaian dalam bentuk matriks. Tabel 2 adalah matriks dari komponen-komponen
tersebut.
Tabel 2. Penyelesaian Ketidaksesuaian Sesuai Dengan Klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025
Akar Tindakan Tindakan Personil Tanggal
Ketidaksesuaian
Penyebab Perbaikan Koreksi Pelaksana Selesai
Surat Keputusan Laboratorium Prosedur Surat Lab 16 Juni
pelaksana belum perekrutan, Keputusan Dimensi 2017
kalibrasi baru di melaporkan kaderisasi dan pelaksana dan Bagian
Laboratorium lingkup pengembangan kalibrasi Personalia
Dimensi belum pekerjaan personil telah terkait telah
diterbitkan. pelaksana disempurnakan diterbitkan
kalibrasi baru. dengan oleh Bagian
Tidak terdapat menambahkan Personalia.
prosedur poin terkait
Pada tabel 2, tindakan perbaikan dibuat sebagai solusi untuk menghilangkan akar
penyebab. Sedangkan tindakan koreksi dibuat sebagai solusi untuk menghilangkan
ketidaksesuaian. Apabila personil pelaksana pembuatan tindakan perbaikan dan pelaksana
pembuatan tindakan koreksi berbeda maka perlu ditulis dengan jelas pelaksana dari masing-
masing jenis pekerjaan tersebut. Setiap tindakan yang dijanjikan, perlu mencantumkan
tanggal diselesaikannya tindakan tersebut. Setiap tindakan perlu dilengkapi dengan bukti
pengerjaannya. Bukti tersebut dapat berupa rekaman kejadian dalam bentuk salinan
dokumen, rekam jejak suatu kegiatan, dan bukti lainnya yang dapat menunjukkan suatu
kegiatan telah dilaksanakan.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan dalam menimplementasikan klausul 4.11
SNI ISO/IEC 17025:2008 ini adalah pemantauan efektifitas dari tindakan yang dilakukan.
Suatu tindakan perbaikan dan tindakan koreksi dikatakan efektif apabila dapat menjadi solusi
untuk menjawab ketidaksesuaian disertai dengan akar penyebabnya serta tidak terjadi
5. KESIMPULAN
Penerapan standar SNI ISO/IEC 17025:2008 telah banyak dilakukan pada
laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian, walaupun tidak menutup kemungkinan
diterapkan juga di industri, universitas, rumah sakit, klinik dan pemasok. Pada
implementasinya, tidak menutup kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian ataupun
penyimpangan di sistem manajemen mutu dari laboratorium. Solusi yang dilakukan untuk
menghilangkan ketidaksesuaian tersebut adalah dengan menggunakan klausul 4.11 SNI
ISO/IEC 17025:2008. Dari penelitian ini, langkah pertama yang perlu dilakukan ketika
terjadinya ketidaksesuaian adalah menemukan akar penyebab ketidaksesuaian itu terjadi.
Langkah berikutnya adalah menentukan rencana dari tindakan-tindakan yang akan dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah membuat tindakan koreksi dan tindakan perbaikan. Tindakan
perbaikan yang dibuat menjadi solusi untuk meniadakan akar permasalahan, sedangkan
tindakan koreksi yang dibuat menjadi solusi untuk menghilangkan ketidaksesuaian. Seluruh
komponen penyelesaian tindakan perbaikan perlu dibuat kedalam bentuk matriks dengan
menambahkan personil pelaksana dan tanggal penyelesaian tindakan perbaikan. Proses
monitoring efektifitas dari tindakan yang telah dilaksanakan diperlukan pada tahap akhir dari
implementasi klausul 4.11. Apabila diperlukan perlu dilaksanakan audit tambahan guna
melihat efektifitasnya.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Phopi, S. 2016. OECD Position Paper Regarding The Relationship Between The
OECD Principle of GLP and ISO/IEC 17025. Newsletter of the South African
National Accreditation System. Issue 29, December 2016.
[2] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional
Nomor 106/KEP/BSN/11/2008 Tentang Penetapan 1 (Satu) Standar Nasional
Indonesia.
[3] SNI ISO/IEC 17025:2008. Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian
dan Laboratorium Kalibrasi.
[4] Komite Akreditasi Nasional. 2012. Syarat dan Aturan Akreditasi Laboratorium dan
Lembaga Inspeksi.
[5] Harsono, A. 2008. Metode Analisis Akar Masalah Dan Solusi. Makara. Sosial
Humaniora, Vol. 12, No. 2, Desember 2008. Halaman 72-81.
[6] Tomic, B., Brkic, V.S. 2011. Effective Root Cause Analysis And Corrective Action
Process. Journal Of Engineering Management And Competitiveness (JEMC), Vol. 1.
Halaman 16-20
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
Penelitiannya sangat bagus, dari 5 langkah tersebut, kira-kira langkah mana yang akan
diimplementasikan?
Jawaban :
Semua langkah tersebut diimplementasikan pada sistem manajemen mutu di P2 Metrologi
sesuai dengan klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008
INTISARI
Mesin standar gayatipe build up5 MN yang dioperasikan oleh Puslit Metrologi-LIPI merupakan
standar nasional untuk kalibrasi alat ukur gaya dengan rentang pengukuran 100 kN – 5 MN. Idealnya
mesin standar gaya tipe build up dikalibrasi dengan mengkalibrasi masing-masing load cell penyusun
load cellbuild up, akan tetapi karena kesulitan dalam hal bongkar pasang maka kalibrasi mesin
dilakukan dengan menggunakan load cell lain sebagai transfer standar. Kalibrasi dilakukan dengan
menggunakan load cell 2 MN dan 5 MN berdasarkan ISO 376:2011 dengan sumber-sumber
ketidakpastian yang diperhitungkan adalah ketidakpastian load cell, resolusi, kemampuan balik
(hysteresis), drift, suhu, pengulangan dan interpolasi. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa
penyimpangan mesin tidak lebih dari 0,10 % dengan ketidakpastian tidak lebih dari 0,12 %.
Kata kunci : mesin standar gaya, load cell build up, kalibrasi, ISO 376:2011.
ABSTRACT
The 5 MN build up type force standard machine operated by Research Center for Metrology-LIPI is a
national standard for calibrating force measuring instrument with measurement range of 100 kN - 5
MN. Ideally a build up type force standard machine is calibrated by calibrating each load cell that
compose the build up load cell, but due to difficulties in install, machine calibration is done using
another load cell as transfer standard. The calibration was carried out using load cell 2 MN and 5
MN based on ISO 376: 2011 with uncertainty sources calculated are load cell uncertainty, resolution,
hysteresis, drift, temperature, repetition and interpolation. The calibration results indicate that the
machine deviation is not more than 0.10% with uncertainty not more than 0.12 %.
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan kalibrasi peralatan ukur gaya semakin lama semakin meningkat guna
memenuhi kebutuhan industri. Misalnya berkaitan dengan keselamatan dalam dunia
transportasi maupun konstruksi.Jika sebuah pesawat terbang tidak dilakukan pengujian
material untuk rangka pesawat, maka sangat berbahaya untuk keselamatan penerbangan.Jika
sebuah gedung dibangun tanpa adanya pengujian material betonnya, maka sangat berbahaya
2. TEORI DASAR
Mesin standar gaya memiliki empat tipe yaitu mesin standar gaya deadweight, mesin
standar gaya hidrolik, mesin standar gaya tipe lengan dan mesin standar gaya build up.Mesin
standar gayabuild up menggunakan beberapa load cell yang digabungkan menjadi satu (load
cell build up) sebagai standar/referensi nilai gaya. Umumnya load cell build up terdiri dari
tiga load cell dengan kapasitas yang sama.Load cell yang digunakan awalnya dikalibrasi
secara terpisah pada mesin standar gaya lain, kemudian digabungkan secara paralel. Nilai
gaya yang dihasilkan mesin ini dihitung dengan penjumlahan gaya yang terukur oleh masing-
masing load cell. Mesin tipe build upsecara umum memiliki ketidakpastian sekitar 0,05 %
[2].
Mesin standar gaya 5 MN Puslit Metrologi merupakan mesin standar gaya tipe build
up, dengan rentang ukur 100 kN sampai dengan 5 MN. Mesin ini menggunakan sistem
hidrolik sebagai pembangkit gaya untuk mencapai titik gaya yang ditentukan. Dalam hal ini,
Pada sistem pembebanan mesin standar gaya 5 MN piston silinder menjadi landasan
load cell build up yangmenumpu rangka pada bagian atas, sehingga rangka menarik load cell
di bagian bawah ke atas (lihat Gambar 2) . Hal ini mengakibatkan load cell build up akan
menerima beban yang sama dengan load cell yang ada di bagian bawah. Sistempembebanan
inilah yang digunakan dalam proses kalibrasi.
Piston silinder
Load cell
Rangka
Load cell build up pada mesin ini terdiri dari 1 load cell kapasitas 700 kN sebagai
standar untuk kapasitas rendah, dan 3 load cell kapasitas 1,7 MN sebagai standar kapasitas
tinggi.Mesin ini dapat dioperasikan secara manual maupun otomatis menggunakan PC[1].
(1)
X = Defleksi (mV/V)
Persamaan 1 tersebut merupakan persamaan gaya sebagai fungsi dari defleksi pada load cell
2 MN, sedangkan untuk load cell 5 MN menggunakan Persamaan 2 sebagai berikut [5].
(2)
(3)
Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa deviasi maksimum yang dihasilkan oleh
mesin adalah 0,095 %, nilai deviasi ini masih sesuai untuk kelas mesin standar gaya tipebuild
up. Ketidakpastian maksimum yang dihasilkan dengan load cell 5 MN adalah 0,099 % untuk
pembebanan naik dan 0,12 % untuk pembebanan naik/turun. Sedangkan ketidakpastian
maksimum yang dihasilkan dengan load cell 2 MN adalah 0,022 % untuk pembebanan naik
dan 0,080 % untuk pembebanan naik/turun.
Pada Gambar 5terdapat 2 titik hasil kalibrasi menggunakan load cell sebagai force
transfer standard (FTS)yang beririsan yaitu pada titik 1000 kN dan 2000 kN. Jika dihitung
nilai Error, normalized (En)[7], maka didapatkan nilai En sebesar 0,43 dan 0,29 yang berarti
bahwa dari kedua pengukuran tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan (En< 1).
Berdasarkan hasil ini kedua pengukuran tersebut dapat dianggap benar.Jika dibuat persamaan
interpolasi hasil kalibrasimaka terdapat rentang ukur yang beririsanyaitu pada 500 kN-2 MN.
Pada sebuah pengukuranload cell, akurasi terbaik diperoleh pada sekitar 40 % - 100 %
rentang ukurnya[2], sehingga dalam hal ini ketidakpastian yang digunakan untuk rentang
ukur 500 kN – 2 MN yang beririsan adalah hasil kalibrasi dengan menggunakan load cell 2
MN.
Secara keseluruhan, pada kalibrasi mesin standar gaya 5 MN ini, untuk rentang 200
kN – 2 MN yang digunakan adalah hasil kalibrasi load cell 2 MN, sedangkan untuk rentang 2
MN - 5 MN yang digunakan adalah hasil kalibrasi load cell 5 MN.Hal ini dilakukan untuk
memperoleh ketidakpastian hasil kalibrasi yang lebih baik.
5. KESIMPULAN
Metode kalibrasi menggunakan load cell sebagai transfer standar gaya mengacu pada
ISO 376 dapat diaplikasikan dengan baik untuk mesin standar gaya 5 MN. Hasil
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] GTM. 2008. Instruction manual and technical documentationfor the 5 MN Force
Standard Machine. Bickenbach, Germany : GTM-Gassmann Testing and Metrology
GmbH.
[2] EURAMET/cg-04/v.01. 2010.Uncertainty of Force Measurements. s.l. : EURAMET.
[3] ISO376:2011. Metallic materials-Calibration of force-proving instruments used for
the verification of uniaxial testing machines. s.l. : International Standard ISO.
[4] Seidel, M. 2016.Calibration Certificate . Braunschweig, Germany : Physikalisch-
Technische Bundesanstalt (PTB).PTB 1.21Se-01216_04516.
[5] Seidel, M. 2016. Calibration Certificate . Braunschweig, Germany : Physikalisch-
Technische Bundesanstalt (PTB). PTB 1.21Wu-01216_04616.
[6] JCGM100:2008. Evaluation of measurement data — Guide to the expression of
uncertainty in measurement. s.l. : Joint Committee for Guides in Metrology (JCGM),
2008.
[7] APLAC. 2008.Calibration Interlaboratory Comparisons. s.l. : Asia Pacific
Laboratory Accreditation Cooperation (APLAC).
INTISARI
Laser distance measuring instrument (LDMI) merupakan alat ukur jarak berbasis laser yang bekerja
menggunakan prinsip waktu tempuh cahaya sebagai dasar penghitungan jarak. Aplikasi LDMI sangat
luas di berbagai bidang, seperti militer, kalibrasi, survey pemetaan wilayah, industri manufaktur dan
jasa konstruksi. LDMI memiliki keunggulan dibandingkan dengan alat ukur jarak lainnya seperti pita
ukur, penggaris baja, meteran rol karena bersifat non kontak sehingga tidak merusak dan memiliki
akurasi tinggi. Metode kalibrasi LDMI yang direkomendasikan pabrikan adalah dengan
membandingkan pembacaan LDMI dengan jarak yang tertera pada rol meter terkalibrasi. Metode ini
memiliki banyak kekurangan selain rentan dengan kesalahan paralaks, akurasi rendah, juga sangat
tidak praktis dalam aplikasinya. Makalah ini membahas sistem kalibrasi LDMI yang dibangun di
Puslit Metrologi-LIPI. Metode pengukuran yang dikembangkan menggunakan rel panjang dengan
standar kalibrasi berbasis laser displacement interferometer yang memiliki akurasi tinggi. Hasil
penelitian menunjukan kalibrasi LDMI dapat dilakukan dengan baik dengan akurasi sistem kalibrasi
yang dibangun tidak lebih dari 1 mm. Rentang ukur yang dapat dipenuhi adalah sepanjang 5 m
dengan ketidakpastian pengukuran U95 = Q[1,1; 0,0041L] mm dengan L dalam m. Nilai ini masih
relevan untuk rentang ukur sampai dengan 300 m yaitu dengan nilai ketidakpastian pengukuran 1,6
mm.
ABSTRACT
Laser distance measuring instrument (LDMI) is a laser-based distance measuring device that works
using the principle of travel time of light as the basis of distance calculation. The applications of
LDMI are extensive across fields, such as military, calibration, mapping surveys, manufacturing and
construction services. LDMI have advantages compared to other distance measuring devices such as
tape measure, steel ruler and meter roller because it is non-contact and has high accuracy. The
calibration method of LDMI recommended by manufacturer is comparing the LDMI reading to the
distances reading on the calibrated meter rolls. This method has many flaws other than prone to
parallax errors, low accuracy, and also very impractical in its application. Given the vital role of
LDMI in various fields, LDMI calibration becomes a necessity. This paper discusses the LDMI
calibration system built at Research Center for Metrology-LIPI. The measurement methods were
developed using long rails with calibration standards based on laser displacement interferometer that
has high accuracy. The results showed that the calibration of LDMI can be done well with the
accuracy of calibration system built less than 1 mm. The measurable range is 5 m along with the
measurement uncertainty U95 = Q [1.1; 0.0041L] mm with L in m. This value is still relevant for the
measuring range up to 300 m with measurement uncertainty of 1.6 mm.
2. TEORI DASAR
LDMI banyak juga banyak diaplikasikan pada dunia militer untuk menentukan jarak
musuh/target, selain itu LDMI juga berperan dalam survey pemetaan. Prinsip kerja LDMI
ditunjukkan pada Gambar 1. Berkas laser ditembakkan dari transmitter menuju target yang
ingin diketahui jaraknya relatif terhadap posisi LDMI. Di saat yang bersamaan, sistem
pengukuran waktu mulai menghitung waktu saat berkas laser mulai dipancarkan. berkas laser
sebagian besar dipantulkan kembali ke beam splitter dan sebagian kecil ada yang dipantulkan
ke arah lain akibat bentuk geometris target yang tidak sempurna. Detektor pre-amplifier
mendeteksi berkas laser yang diteruskan oleh beam splitter dari hasil pemantulan target.
Sinyal ini kemudian diteruskan pada sebuah penguat sinyal (amplifier) yang memiliki sistem
automatic gain control (AGC) didalamnya. AGC diperuntukkan sebagai kompensator akibat
kondisi pengukuran yang berubah sesuai waktu. Sistem pengolah sinyal berfungsi untuk
memproses semua sinyal berupa waktu dan hasil deteksi sinyal laser untuk kemudian
dikonversi menjadi jarak yang tertampil pada display [3]
Amplifier
Transmitter
dengan AGC
Stop pulse Start Pulse
Pengukuran waktu
Pengolah
Display
................................................................................................... 1
dimana:
D adalah jarak, m
c adalah kecepatan cahaya, m/s
t adalah waktu tempuh laser, s.
. Metode yang dikembangkan melalui penelitian ini adalah menggunakan rel panjang
berbasis LDI. Metode ini dipilih karena LDI memiliki akurasi yang tinggi sampai orde
nanometer, ketersediaan rel panjang di Puslit Metrologi-LIPI, dan ruangan yang terkondisi.
Pengembangan metode kalibrasi LDMI di Puslit Metrologi-LIPI memiliki tantangan
tersendiri, dikarenakan belum diukurnya kualitas rel dari sisi geometris, target yang
digunakan, hingga alignment optik LDI yang dapat berimbas pada besarnya kesalahan
kosinus.
3. METODOLOGI
Pada penelitian ini, diperlukan suatu sistem pengukuran yang berfungsi sebagai
komparasi antara LDMI dengan LDI. Sistem pengukuran ini harus mempunyai tingkat
stabilitas yang tinggi karena digunakan sebagai komparator antara dua buah laser yang
mempunyai akurasi yang tinggi. Kondisi lingkungan selama proses pengukuran pun perlu
dijaga agar efek yang ditimbulkan akibat perubahan suhu, kelembapan dan tekanan udara
dapat diminimalisir. Berikut ini merupakan penjelasan rinci mengenai sistem pengukuran
yang tersedia di Puslit Metrologi-LIPI.
Struktur Penumpu Lintasan
Struktur penumpu yang digunakan pada lintasan ini terbuat dari plat baja yang
disusun dan didesain secara presisi sedemikian hingga dapat menopang lintasan dengan baik
tanpa adanya perbedaan ketinggian yang signifikan. Di atas struktur penumpu ini
ditempatkan dua buah lintasan parallel yang terbuat dari silinder baja tahan karat dengan
diameter 50 mm dan panjang 6 m. Lintasan ini ditopang oleh 12 buah segmen dengan
masing-masing segmen berjarak 0,5 m. Setiap segmen ini berfungsi untuk mangatur
ketinggian dan kelurusan lintasan pada bidang horizontal. Kestabilan lintasan harus dijaga
Gambar 3 menjelaskan tentang posisi LDI dan LDMI yang ditempatkan pada suatu
bidang yang dapat diatur kedudukannya untuk mempermudah proses penyetingan berkas
laser terhadap alat-alat optik. Karena meja yang digunakan untuk menempatkan beam splitter
dan reference reflector bukan meja optik atau meja rata, maka digunakanlah tilt table yang
dapat diatur kemiringannya sehingga berkas laser yang keluar dari transmitter dapat
dipantulkan kembali oleh moving reflector secara sempurna tepat sasaran pada receiver.
Moving reflector yang digunakan pada skema ini adalah retro-reflector ditempatkan pada
sebuah carriage yang bergerak dari posisi nol (A) ke posisi akhir (B) dengan jarak L, dimana
panjang total L adalah 5 m. Posisi LDMI diatur kedudukannya sehingga berkas laser dapat
menembak tepat sasaran pada target yang sudah diberi tanda baik pada posisi nol (A) maupun
pada posisi akhir (B). Target ditempatkan pada carriage yang sama dengan retro-reflector
sehingga ketika carriage bergerak maka akan terjadi perubahan jarak yang sama yang
dideteksi oleh LDI dan LDMI. Oleh karena itu perubahan jarak yang ditunjukan oleh LDMI
dapat dibandingkan dengan perubahan jarak yang ditunjukan oleh LDI, sehingga dapat
diketahui berapa kesalahan penunjukan jaraknya.
Kualitas rel menjadi faktor penting yang berpengaruh dalam kualitas hasil
pengukuran pada kalibrasi LDMI. Idealnya rel yang terbentang sepanjang 5 m ini memiliki
straightness dan parallelism yang baik sehingga ketika carriage bergerak sepanjang lintasan
(searah sumbu x) maka tidak ada perubahan posisi pada arah sumbu z dan sumbu y.
Perubahan posisi carriage pada arah sumbu z dan sumbu y yang membentuk sudut tertentu
terhadap datum (titik awal pengukuran) masing-masing istilah ini disebut dengan pitch dan
yaw [8]. Untuk mengetahui nilai pitch dan yaw maka harus dilakukan pengukuran dengan
skema seperti pada Gambar 4. Nilai pitch dan yaw ini berkontribusi pada nilai ketidakpastian
pengukuran.
Gambar 5 menunjukan nilai kesalahan maksimum yang terletak pada titik ukur 2 m
dan 3 m dengan nilai -0,9 mm. Jika dibandingkan dengan spesifikasi teknis pada Tabel 1,
maka nilai ini masih tercakup pada rentang akurasi dan kesalahan yang diklaim oleh
pabrikan. Nilai kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas rel
seperti straightness dan parallelism, target yang digunakan tidak mempunyai reflektifitas
yang tinggi, alignment optik LDI yang kurang bagus sehingga dapat berimbas pada besarnya
kesalahan kosinus, dan kesalahan abbe karena sumbu pengukuran antara LDI dan LDMI
tidak satu sumbu.
Kesalahan yang ditimbulkan oleh pitch dan yaw memiliki kontribusi yang cukup
besar dengan nilai penyimpangan maksimum sebesar -907 arcsec untuk pitch dan -1982
arcsec untuk yaw. Jika nilai di atas dikonversi menjadi derajat maka nilai tersebut menjadi -
0,25° untuk pitch dan -0,55° untuk yaw. Nilai ini akan digunakan dalam perhitungan abbe
error pada nilai ketidakpastian pengukuran.
Length dependent
Sumber Satua Distribus Ketidakpa Koef.
ci.ui (ci.ui)2
ketidakpastian n i stian baku Sens.
Estimation of
thermal 1,3E-14
/°C Rect 6E-7 0,2 L 1,2E-7 L
expansion L^2
coefficient
From Laser
calibration 95% 2,6E-16
L 1,2E-8 L 1,41 1,6E-8 L
certificate Normal L^2
(dep. Var)
Correction of
thermometer
95% 0,000012 1,6E-13
from °C 0,035 4,0E-7 L
Normal L L^2
calibration
certificate
Thermometer 0,000012 1,1E-13
°C Rect 0,029 3,3E-7 L
resolution L L^2
Temperature 0,000012 4,0E-12
°C Rect 0,173 2,0E-6 L
fluctuation L L^2
Ketidakpastian gabungan (uc ) (µm) L in mm 2,1E-6 L
Ketidakpastian terentang 95% dengan k = 2 (mm) L in m 0,0041 L
……………………………………………… 3
Berdasarkan persamaan (2) diperoleh nilai abbe error yaitu 0,44 mm yang
berkontribusi sebesar 41,15%. Untuk memperkecil pengaruh abbe error terhadap
ketidakpastian pengukuran maka perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem kalibrasi
terutama pada komponen abbe offset dan pengukuran pitch. Abbe offset dapat diperkecil
dengan menggeser sumbu pengukuran LDMI terhadap sumbu pengukuran LDI. Sedangkan
nilai pengukuran pitch dapat diperkecil dengen melakukan penyetelan terhadap base plate
yang menopang lintasan. Sehingga diharapkan dengan melakukan perbaikan sistem tersebut
dapat menurunkan nilai ketidakpastian akibat abbe error.
Sedangkan pada komponen length dependent, sumber ketidakpastian pengukuran
yang mempunyai kontribusi paling tinggi adalah fluktuasi suhu sebesar 93% dan sertifikat
kalibrasi sensor suhu sebesar 3,8%. Ketidakpastian pengukuran yang laporkan pada
penelitian ini adalah sebesar U95 = Q[1,1; 0,0041L] mm dengan L dalam m. Nilai
ketidakpastian tersebut setara dengan U95 = 1,1 mm untuk panjang rel 5 m. Jika dibandingkan
dengan nilai Maximum Permissible Error (MPE) untuk LDMI Fluke yang bernilai 2 mm [2] ,
maka nilai ketidakpastian pengukuran ini sangat relevan dan masih tercakup pada rentang
MPE nya.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian di atas, kalibrasi LDMI dengen menggunakan laser
displacement interferometer dapat dilakukan dengan baik. Rentang ukur yang dapat dipenuhi
adalah sepanjang 5 m, karena terkendala oleh panjang lintasan yang dimiliki oleh Puslit
Metrologi-LIPI. Nilai ketidakpastian pengukuran yang didapat adalah U95 = Q[1,1; 0,0041L]
mm dengan L dalam m. Nilai ini masih relevan untuk rentang ukur sampai dengan 300 m
yaitu dengan nilai ketidakpastian pengukuran 1,6 mm. Sistem ini mampu menghasilkan
kualitas pengukuran yang jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pita ukur.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Cordex instruments, Why use a Laser Distance Meter ? USA: Cordex instrument,
2010.
[2] Fluke, 414d/419d/424d Laser Distance Meter users manual, no. June. USA: Fluke,
2012.
[3] T. Bosch, M.-C. Amann, R. Myllyla, and M. Rioux, “Laser ranging: a critical review
of usual techniques for distance measurement,” Opt. Eng., vol. 40, no. 1, p. 10, 2001.
[4] Y. Liu, “Laser Distance Meter LS1501,” 2009. .
[5] M. Matus, Z. Banhidi-bergendorf, E.- Vermessungswesen, P. O. Box, F.- Espoo, F.
Pollinger, M. Wedde, D.- Braunschweig, M. Astrua, M. Pisani, I. Nazionale, and M.
Inrim, “Euramet.L-S20 Final Report: Comparison of laser distance measuring
instruments,” Euramet Proj. No. 1169, vol. 20, no. April, 2014.
[6] Barkovic, Djuro, M. Zrinjski, and B. Boric, “‘Laboratory Procedure for the
Calibration of Laser Handheld Distance Meter,’” Int. Multidiscip. Sci. GeoConference
SGEM Surv. Geol. Min. Ecol. Manag., vol. 2, p. 293, 2013.
[7] I. Johnson Level & Tool Mfg. Co., “Laser Distance Measure,” 2017. [Online].
Available: http://www.johnsonlevel.com/News/LaserDistanceMeasure55. [Accessed:
31-May-2017].
[8] H. Packard, User’s Guide : Laser Measurement System 5528A. USA: Hewlett
Packard Company, 1985.
[9] Robert Bosch Tool Corporation, “Laser Measuring,” 2017. [Online]. Available:
https://www.boschtools.com/us/en/boschtools-ocs/laser-measuring-23502-c/.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
Kiat apa yang dapat dilakukan agar alignment baik dan abbe error tidak besar?
Jawaban :
Alignment dilakukan terlebih dahulu pada masing-masing alat, diatur pitch dan yaw nya pada
titik awal dan akhir pengukuran, kemudian dicek berulang kali sampai intensitas yang
diterima laser >90%. Lakukan hal yang sama untuk LDMI. Abbe error dapat diperkecil
dengan nilai abbe offset dan pitch. Abbe offset dapat diperkecil dengan mendekatkan sumbu
pengukuran LDMI terhadap LDI. Sedangkan nilai pengukuran pitch dapat diperkecil dengan
melakukan penyetelan pada base plate yang menopang lintasan.
INTISARI
Gauge block memiliki peran penting sebagai standar panjang dalam ketertelusuran metrologi dimensi.
Secara umum metode untuk melakukan kalibrasi gauge block ada dua yaitu dengan metode
interferometri dan metode perbandingan. Pengukuran gauge block dengan metode komparasi dinilai
lebih praktis dan ekonomis dibanding metode interferometri, hanya saja pengukuran dengan metode
komparasi memerlukan gauge block standar sebagai acuan. Apabila frekuensi pemakaian gauge block
standar tergolong sering, maka perlu dilakukan pengecekan antara untuk mengetahui bahwa nilai
gauge block tersebut tidak berubah jauh dari nilai kalibrasi sebelumnya. Pengecekan antara biasanya
dilakukan di tengah periode rentang kalibrasi selanjutnya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran
reverse (berkebalikan) antara gauge block grade 0 dengan gauge block standar yang ingin dicek
antara. Gauge block grade 0 ini digunakan oleh laboratorium dimensi sebagai referensi untuk
keperluan cek antara, namun selama ini diposisikan sebagai UUT (unit under test) terhadap gauge
block yang akan dicek antara. Pada penelitian ini gauge block grade 0 akan diposisikan sebagai
referensi pada pengkuran skema 1 dan diposisikan sebagai UUT pada pengukuran skema 2. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa selisih pengukuran berkebalikan (selisih pengukuran skema 1 dan 2)
disetiap nominal sampel ( 1 5 10 50 100) mm sebesar 0.00 dengan standar deviasi maksimum sebesar
0.005270 pada nominal 10 mm. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi untuk
menyusun pembuatan prosedur pengecekan antara untuk gauge block di laboratorium dimensi.
ABSTRACT
Gauge block has important role as standard of length in the dimensional metrology. Gauge block
measurement using comparison method is more practicable compared to the interferometry method,
but measurement with comparison method needs a standard gauge block as reference. If the
frequency of the gauge block usage is often, then the standard gauge block should be intermediately
checked in order to know that the gauge block value is not change from the previous calibration
value. Intermediate check performed during in the middle of the next calibration period. This
research using reverse measurement between gauge block grade 0 and standard gauge block to be
checked. The gauge block grade 0 in dimensional laboratory is used as reference for intermediate
check intention, but it is positioned as UUT (unit under testing). In this research, the gauge block
grade 0 will be positioned as reference in measurement scheme 1 anda positioned as UUT in
measurement scheme 2. The measurement result shows that the difference of the reverse measurement
( difference of both measurement scheme 1 and 2 ) in each nominal samples (1 5 10 50 100) mm are
0.00 with maximum standard deviation is 0.00527 in nominal sample of 10 mm. This research is
expected would give information to arrange the procedure of the intermediate check gauge block in
dimensional laboratory.
2. TINJAUAN LITERATUR
Definisi gauge block adalah sebuah balok ukur yang berbentuk persegi, terbuat dari
material tahan lama, memiliki satu pasang bidang muka ukur yang paralel satu sama lain dan
dapat diwringing dengan balok ukur lain. Panjang gauge block adalah jarak antara titik pada
muka ukur gauge block dengan bidang referensi yang memiliki material yang sama dan muka
ukurnya memungkinkan untuk di wringing satu sama lain. Panjang titik tengah (central
length) adalah jarak antara titik tengah muka ukur atas dan titik tengah muka ukur bawah dari
gauge block. Variasi panjang adalah perbedaan antara panjang maksimum dan panjang
minimum dari gauge block. Ilustrasi panjang titik tengah dan variasi panjang ditunjukkan
pada Gambar 1.
Pengukuran gauge block dapat dilakukan dengan metode interferometri dan metode
perbandingan. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa hasil pengukuran gauge block
dengan kedua metode tersebut tidak jauh berbeda. Perbedaan mendasar dari kedua metode
tersebut yaitu pengukuran panjang gauge block pada metode interferometri dibandingkan
dengan panjang gelombang cahaya (realisasi definisi meter) sehingga akan dihasilkan
Berdasarkan tabel 3 dan 4, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ketidakpastian pengukuran
sekitar 0,001 µm. Untuk pengukuran dengan menggunakan gambar skema 1, diperoleh
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa hasil pengukuran, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengukuran pengecekan antara dengan pengaturan posisi gauge block sesuai gambar
skema 1 dan skema 2 memperlihatkan standar deviasi pada skema 2 lebih baik jika
dibandingkan skema 1.
2. Pengukuran pengecekan antara dari skema 1 dan skema 2 menunjukkan selisih yang
sama, sehingga peletakan gauge block reference dan uut tidak berpengaruh pada selisih
hasil pengukuran.
3. Hasil perhitungan ketidakpastian pengukuran pengecekan antara dengan menggunakan
skema 2 mempunyai nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan menggunakan
skema 1.
4. Hasil pengukuran berkebalikan ini dapat diaplikasikan untuk pengukuran pada semua
rentang nominal short gauge block karena nominal sampel uji telah mencakup rentang
minimum dan maksimum nominal short gauge block, dengan catatan nilai nominal gauge
block reference dan uut sama.
5. Pengukuran pada penelitian ini berdasarkan selisih nilai titik tengah gauge block, maka
untuk gauge block dengan material berbeda berlaku pula pengukuran berkebalikan ini.
Hasil pengukuran yang sama dapat diperoleh jika material gauge block yang digunakan
sebagai rerefence dan uut adalah sama, contohnya gauge block reference ceramic dengan
gauge block uut ceramic.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Nurul Alfiyati
Pertanyaan :
Apakah urgensi dari pengukuran pengecekan antara gauge block dengan metode berkebalikan
dengan muka ukur dibolak balik?
Jawaban :
Hal ini diperlukan untuk mengetahui reproducibility dari pengukuran gauge block tersebut.
Jika dilihat dari hasil pengukuran bolak balik muka ukur gauge block didapatkan hasil yang
sama sehingga menunjukkan bahwa hasil pengukuran yang diperoleh bukan merupakan suatu
kebetulan.
INTISARI
Telah dilakukan pengaturan sinyal 1 pulsa per second (pps) UTC(KIM) untuk mengikuti Inter
Laboratory Comparison (ILC) dengan sekitar 500 jam atom yang ada di dunia. TTS-3 mengirimkan
hasil perbandingan sinyal 1 pps UTC(KIM) yang dikeluarkan oleh Cesium HP 5071A dengan sinyal 1
pps dari GPS melalui sistem komparasi. Hasil perbandingan sinyal tersebut berupa file CGGTTS
sesuai rekomendasi. TTS-3 mengirimkan data kepada BIPM melalui File Transfer Protocol (FTP) dan
BIPM akan mengeluarkan hasil komparasi tersebut berupa Circular T sebagai bukti bahwa standar
waktu dan frekuensi yang dihasilkan oleh Cesium HP 5071A(Cs-1) telah tertelusur secara
internasional
ABSTRACT
Signal of 1 pulse per second (pps) signal of UTC(KIM) has been set up to joint Inter Laboratory
Comparison (ILC) with about 500 atomic clocks in the world. TTS-3 sending comparative value of 1
pulse per second (pps) signal UTC (KIM) generated by Cesium HP 5071A (Cs-1) and 1 pps from GPS
through a comparative time system . Comparison results are formed in CGGTTS format files as
recommended by BIPM. TTS-3 send data to BIPM via File Transfer Protocol and BIPM will publish
comparation result in Circular T as evidence of time and frequency that generate by atomic clocks
Cesium HP 5071A (Cs-1) treaceable to International.
1. PENDAHULUAN
UTC (KIM) merupakan standar waktu nasional Indonesia berbasis waktu atomik yang diperoleh
dari jam atom cesium HP 5071A (Cs-1). Untuk menjamin ketertelusuran standar waktu dan frekuensi
Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1), Puslit Metrologi-LIPI mengikuti Inter Laboratory Comparison (
ILC) yang dikelola oleh BIPM. Komparasi dilakukan dengan mengirimkan nilai perbandingan 1 pulsa
per second (pps) dari UTC(KIM) yang dihasilkan jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) dan 1 pps dari
GPS melalui sistem komparasi waktu TTS-3. Kemudian BIPM akan menerbitkan hasil ILC setiap
2. DASAR TEORI
Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) adalah sumber waktu dan frekuensi yang
mempunyai keluaran yang sangat akurat dan stabil. Sebagaimana dijelaskan pada CGPM ke-
13 tahun 1967 di BIPM “1 sekon didefinisikan sebagai lama waktu yang sama dengan 9 192
631 770 kali perioda radiasi yang bersangkutan dengan transisi antara dua tingkat hiperhalus
keadaan dasar atom Cesium-133”.[1]. Berdasarkan definisi tersebut maka jam atom Cesium
HP 5071A merupakan standard primer bagi besaran waktu dan frekuensi.
Keluaran 1 pulsa per second (pps) dari Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) digunakan
untuk melakukan komparasi dengan sekitar 400 jam atom yang ada di dunia, dan frekuensi
10 MHz digunakan sebagai referensi frekuensi [2].
3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di laboratorium waktu dan frekuensi Puslit Metrologi-LIPI,
dengan target capaian ketertelusuran Jam atom cesium HP 5071A (Cs-1) sebagai standar
nasional waktu dan frekuensi. Pengiriman sinyal 1 pps UTC(KIM) tidak mungkin dilakukan
melalui kabel atau sinyal radio ke BIPM, sehingga digunakan metode lain untuk mengirimkan
sinyal tersebut.
Pengiriman sinyal dapat dilakukan dengan bantuan TTS-3 melalui beberapa tahap,
dimulai dengan penetapan UTC(KIM) yang akan mengikuti komparasi ditunjukan pada
Gambar 2 sistem time keeping Puslit Metrologi – LIPI.
Circular T
1 pps
keluaran DA
a. Keluaran kedua sinyal memiliki timing yang sama b. Rise time kedua sinyal sesuai
dengan spesifikasi
Gambar 3. Penunjukan sinyal 1 pps keluaran dari jam atom Cesium dan sinyal 1 pps
keluaran dari distribution amplifier
Gambar 3 menunjukan bentuk sinyal 1 pps keluaran jam atom cesium yang akan dikirim
ke TTS-3. Dari Gambar 3.a. terlihat bahwa keluaran sinyal dari jam atom cesium maupun
pulse distribution amplifier memiliki timing yang sama. Hal ini memastikan bahwa
distribution amplifier tidak mempengaruhi sinyal keluaran jam atom cesium. Akan tetapi
pulse distribution amplifier memperbaiki kualitas sinyal keluaran dari jam atom cesium
ditunjukkan pada Gambar 3.b. Amplitudo keluaran yang lebih besar dari sinyal aslinya dan
memiliki bentuk rise time yang lebih kecil terlihat bahwa sinyal keluaran dari pulse
distribution amplifier lebih kotak daripada keluaran jam atom cesium. Hal ini sesuai dengan
spesifikasi kedua alat tersebut. Menurut spesifikasi rise time sinyal 1 pps dari jam atom
cesium <5 ns [2] sedangkan spesifikasi rise time dari pulse distribution amplifier <2ns [6].
Dalam pulse distribution amplifier memperbaiki kualitas sinyal sehingga memadai untuk
dideteksi oleh TTS-3.
Sinyal 1 pps dari jam atom cesium seperti yang ditunjukan di atas dan 1 pps dari GPS
yang diterima oleh antenna TTS-3 kemudian dibandingkan. Hasil perbandingan diukur oleh
time interval counter yang terdapat di dalam sistem TTS-3. Hasil perbandingan real time
ditunjukan display TTS-3 seperti pada Gambar 4 berikut.
Hasil perbandingan real time dapat dilihat pada penunjukkan counter di tampilan TTS-
3. Kolom PRN menunjukan beberapa satelit yang sedang ditracking oleh TTS-3. Masing-
masing satelit mengirimkan sinyal 1 pps. TTS-3 akan membandingkan sinyal 1 pps
UTC(KIM) dengan semua sinyal tersebut. Hasil Pengukuran dibuat dalam format CGGTTS
seperti ditunjukan Gambar 5.
5. KESIMPULAN
Keluaran 1 pps dari distribution amplifier memiliki rise time yang lebih baik
dibandingkan keluaran sinyal 1 pps dari jam atom cesium.
TTS-3 membandingkan sinyal 1 pps UTC(KIM) dengan sinyal 1 pps dari GPS dimana 1
pps GPS berfungsi sebagai pembawa sinyal 1 pps UTC(KIM).
Dari analisis sinyal 1 pps UTC(KIM) menggunakan TTS-3 menghasilkan keluaran file
CGGTTS yang merupakan referesentasi dari UTC(KIM), dan telah siap untuk mengikuti ILC
dengan jam atom di seluruh dunia.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] The International System of Units (SI), NIST Special Publication 330, 2008 Edition
[2] Operating and Programming Manual, HP 5071A Primary Frequency Standard
[3] TTS-3, Multi-Channel, Multi-System GPS/Glonass/WA-AS/Egnos Receiver, J.
Nawrocki dkk, Space Recearch Centre , Astrogeodynamic Observatory, Borowiec,
Poland
[4] Installation Guide and User’s Manual v.11 TTS-3 Time Transfer System-3, 2006
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
1. Bagaimana proses sinyal keluaran dari jam atom cesium HP-5071A bisa jadi 1 pps?
2. Mengapa menggunakan TTS 3 ?
3. Permasalahan apa yang dihadapi sampai pertanyaan penelitian muncul?
Jawaban :
1. Metrologi TF tidak mendalami proses atomiknya, tetapi menggunakan output yang
dihasilkan jam atom yaitu 1 pps, dan menggunakannya sebagai sumber ketertelusuran,
mendesiminasikan sebagai acuan standar waktu nasional .
2. Metrologi TF menggunakan TTS-3, karena baru memiliki TTS 3
3. Penelitian ini dilakukan untuk memastikan ketertelusuran standar waktu secara
internasional
INTISARI
Pergeseran nilai tahanan pada sebuah SPRT sebagai standar termometer kontak menjadi hal yang
sangat diperhatikan. Nilai tahanan dari suatu SPRT dapat berubah seiring dengan masa penggunaan.
Hal yang dapat mempengaruhi perubahan nilai tahanan pada SPRT antara lain adalah karena oksidasi,
kontaminasi, dan goncangan mekanik pada sensor SPRT. Pergeseran nilai tahanan akibat oksidasi dan
goncangan ringan dapat diperbaiki dengan cara dipanaskan pada suhu maksimumnya (thermal
annealing). Metode thermal annealing yang telah dipublikasikan oleh NIST berdasarkan metode
NIST-ITS90 memberikan pemulihan SPRT hingga 100% dengan lima kali pengulangan thermal
annealing. Artikel ilmiah ini memberikan hasil eksperimental lain dalam peningkatan unjuk kerja
SPRT. P2M-LIPI memberikan pilihan metode lain dalam proses thermal annealing dengan
memodifikasi metode yang ada. Metode thermal annealing yang dilakukan mampu memulihkan SPRT
hingga 99,6% dalam dua kali pengulangan dengan batasan nilai ∆RTPW yang ingin dicapai kurang dari
0,3 mK.
ABSTRACT
A shift in the resistance value of the SPRT as a standard in contact hermometer is a great concern.
SPRT’s use can change the resistance value of SPRT. The case which affect changed of SPRT’s
resistance such as oxidation, contamination and stress on SPRT sensor. Shifting value due to
oxidation and stress can be reduce by thermal annealing. The thermal annealing method based on the
NIST-ITS90 can recovery up to 100% within repeated five cycles. This scientific article provides other
experimental results to improving the performance of SPRT. RCM-LIPI provides the other thermal
annealing methods by modifying existing methods. This thermal annealing method is able to recover
the SPRT up to 99,6% by two times repetition with the ∆RTPW value to be achieved les than 0,3 mK.
1. PENDAHULUAN
Sampai saat ini, Standard Platinum Resistance Thermometer (SPRT) dipakai sebagai
alat interpolasi untuk merealisasikan skala ukur besaran suhu. SPRT mampu digunakan pada
rentang ukur suhu -260 ⁰C ~ 960 ⁰C dengan tingkat akurasi hingga 1 mK 1. Keunggulan dari
SPRT sebagai alat ukur suhu yaitu memiliki sensitifitas dan stabilitas yang baik. Perubahan
2. TEORI DASAR
Salah satu pemulihan SPRT dengan metode thermal annealing dijabarkan oleh NIST.
Tabel 1 menunjukkan perbedaan metode thermal annealing SPRT dengan titik ukur suhu
maksimal 660 ˚C antara proses thermal annealing yang dilakukan oleh NIST-ITS90 dan
metode yang dimodifikasi oleh P2M-LIPI. Proses thermal annealing yang dijabarkan adalah
untuk SPRT dengan titik ukur suhu maksimal 660 ˚C.
Tabel 1. Metode Annealing
NIST-ITS90 P2M-LIPI
500 ˚C ; laju 5 ˚C/menit
100 ˚C – 675 ˚C
Pra-annealing 500 ˚C - 650 ˚C; laju 1,9 ˚C/
laju 4,6 ˚C/ menit
menit
675 ˚C 650 ˚C
Annealing
selama 3 jam Selama 3 jam
diturunkan ke 500 ˚C diturunkan ke 500 ˚C
Pasca-annealing
laju 0,96 ˚C/menit selama 3 jam
Pindah ke kondisi ruang 475 ˚C 500 ˚C
Nilai RTPW < 0,2 mK < 0,3 mK
Metode thermal annealing berdasar NIST-ITS90 adalah sebagai berikut. SPRT yang
akan di annealing dibersihkan dari residu-residu yang menempel seperti minyak dan kotoran
dengan menggunakan ethanol. SPRT yang sudah dibersihkan dari residu yang menempel pada
selubung dipanaskan pada suhu 100 ˚C ke 675 ˚C dengan laju 4,6 ˚C /menit selama kurang
lebih dua jam. Ketika tungku sudah berada pada titik ukur suhu 675 ˚C, SPRT diannealing
3. METODE
Sebelum dilakukan kalibrasi dilakukan pengukuran nilai RTPW pada empat buah SPRT
R-326; ISO-156 ; 0431dan 0429. Nilai tersebut digunakan untuk menentukan perbedaan nilai
RTPW sebelum dan sesudah annealing pertama. Keempat SPRT tersebut diannealing
menggunakan tungku fluke T9117. Pengukuran nilai RTPW menggunakan dua buah TPW
yang berbeda. R-326 dan 0431 diukur menggunakan TPW PTB4, sedangkan ISO-156 dan
0429 diukur menggunakan TPW MSL. Berbeda dengan dokumen yang dikeluarkan oleh
NIST, dimana proses thermal annealing dilakukan di suhu 675 JC selama 3 jam, proses
annealing pada P2M-LIPI dilakukan pada suhu yang lebih rendah, yaitu 650 ˚C selama 3 jam
Suhu
650 JC 1,9JC/min
.
500 JC
5JC/min
Suhu ruang
0 3 4 7 9 Waktu (jam)
Gambar 1. Skema kenaikan suhu terhadap waktu
Dilakukan proses thermal annealing pada 4 buah SPRT dengan titik ukur maksimal
pada titik beku aluminium dengan menggunakan tungku vertikal fluke T9117. Keempat SPRT
dimasukkan ke dalam tungku untuk dilakukan proses thermal annealing sebelum dikalibrasi.
Tabel 2. Nilai hambatan masing masing SPRT sebelum dan sesudah annealing
No SPRT ID R(1mA), Ω R(√2mA), Ω R(0mA), Ω
Sebelum Annealing
1 R-326 25,5136166 25,5137308 25,5135025
2 ISO-156 25,5523206 25,5524090 25,5522322
3 0431 25,4908114 25,4908870 25,4907359
4 0429 25,3681098 25,3681831 25,3680365
Setelah Annealing 1
1 R-326 25,5125321 25,5126427 25,5124215
2 ISO-156 25,5519443 25,5520367 25,5518520
3 0431 25,4661889 25,4662685 25,4661094
4 0429 25,3676278 25,3677009 25,3675546
Setelah Annealing 2
1 R-326 25,512476 25,512591 25,512362
2 ISO-156 25,551971 25,552059 25,551882
3 0431 25,465729 25,465811 25,465648
4 0429 25,367318 25,367392 25,367243
Setelah Annealing 3
1 R-326 25,512459 25,512569 25,512348
2 ISO-156
3 0431 25,465629 25,465706 25,465552
4 0429 25,367162 25,367234 25,367091
Setelah Annealing 4
1 R-326
2 ISO-156
3 0431 25,4655095 25,4655850 25,4654340
4 0429 25,3670421 25,3671142 25,3669700
Keterangan : data yang tertera pada tabel adalah rata-rata dari 25 data terakhir
Pada annealing kedua terjadi penurunan nilai ∆t yang cukup signifikan untuk SPRT R-
326 dan 0431 dari 10,81 mK menjadi 0,59 mK dan dari 61,57 menjadi 1,15 mK. Sedangkan
untuk kedua SPRT lainnya yaitu ISO-156 dan 0429 besarnya nilai ∆t yang terukur adalah
0,08 mK dan 0,78 mK. Penurunan nilai ∆t dikarenakan stress yang terjadi pada sensor SPRT
berkurang akibat dilakukan thermal annealing. Dengan penurunan nilai tersebut dapat
dibuktikan bahwa thermal annealing merumakan metode yang efekif untuk memulihkan nilai
tahanan SPRT akibat dari mechanical shock pada sensor.
Batas nilai ∆t agar SPRT dapat dikalibrasi setelah melalui proses annealing yang
ditentukan pada penelitian ini adalah ≤ 0,3 mK. Dengan batas tersebut, maka SPRT ISO-156
dapat dikalibrasi setelah proses dua kali annealing. Lebih sedikitnya proses thermal annealing
pada ISO-156 dibandingkan dengan SPRT lainnya dikarenakan lama pemakaian dari SPRT
tersebut jauh dibawah dari SPRT lainnnya. Selain itu penanganan yang tepat baik dalam
proses pengepakan dan penyimpanan dapat mempengaruhi besar kecilnya drift yang dialami
Nilai ∆t dari SPRT R-326 ; 0431; dan 0429 masing-masing adalah 0,14 mK; 0,24 mK
dan 0,30 mK. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa SPRT masih dapat dikalibrasi dan
digunakan karena didapati nilai ∆t yang semakin menurun setelah annealing. Apabila setelah
annealing nilai ∆t naik atau bahakan tidak stabil, maka pergeseran nilai tahanan pada SPRT
tidak dapat dipulihkan dengan cara thermal annealing1,7.
5. KESIMPULAN
Dari hasil, dapat disimpulkan bahwa thermal annealing yang dilakukan dapat
memulihkan pergeseran nilai tahanan pada SPRT yang akan dikalibrasi. Pemulihan SPRT R-
326; ISO-156; 0431; dan 0429 masing masing memiliki nilai 98,7%; 91,5%; 99,6% ; dan
75%.
Dibandingkan dengan metode yang ditawarrkan oleh NIST, metode thermal annealing
yang dimodifikasi oleh P2M menggunakan suhu yang lebih rendah. Hal tersebut bertujuan
untuk menghindari terjadinya oksidasi pada selubung SPRT selama proses thermal annealing
berangsung.
Banyaknya pengulangan proses thermal annaling dan perubahan nilai ∆t pada setiap
SPRT bergantung pada lama waktu pemakaian dan cara penanganan dari SPRT. Hal tersebut
dapat dilihat dari jumlah pengulangaan thermal annealing pada SPRT ISO-156 dan R-326,
dimana jumlah pengulangan proses thermal annealing pada R-326 lebih banyak dibanding
ISO-156. Masa kerja yang lebih banyak dan proses penangan selama penggunaan dari R-326
mengakibatkan SPRT tersebut harus melalui proses pengulangan thermal annealing dengan
jumlah banyak untuk mencapai batas nilai ∆RTPW yang ditentukan.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sangat besar diberikan kepada laboratorium suhu Pusat peneltian
Metrologi sehingga terselesaikannya artikel ini. Semoga hasil yang didapat dari penulisan
arikel ilmiah ini mampu memberikan kontribusi pada makin baiknya pengukuran yang
dilakukan oleh laboratorium.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hidayat WR
Pertanyaan :
1. Karena ini modifikasi dari NIST, apakah prosedur sudah dibuat dan divalidasi?
2. Dalam proses annealing sebelumnya perlu dilakukan pengukuran distribusi suhu dari
tungku?
Jawaban :
1. Belum dilakukan validasi, selanjutnya akan dilakukan
2. Sudah ada data sebelumnya untuk karakterisasi tungku
Jawaban :
1. Perubahan Ro1 ke Ro2 pada TPW sebesar 99.6%
2. Pemulihan menggunakan bridge
3. Suhu sedikit diturunkan dari NIST tapi ternyata hasilnya relatif sama dan konsumsi daya
jadi lebih kecil
4. Perlu validasi lebih lanjut untuk menguji apakah unsur2 dalam metal yang dipakai, jadi
kami hanya memperkirakan hal tsb dari kontaminasi dan oksidasi.
INTISARI
Sebuah sistem semi otomatis untuk pengukuran dekade resistor box telah dibangun dimana sistem ini
dibangun untuk menghilangkan faktor subyektifitas dan human error. Sistem ini dibangun dengan
menggunakan reference multimeter Fluke 8508A sebagai standar acuan. Pengukuran dilakukan
dengan metode langsung pada rentang pengukuran dari 100 mΩ sampai dengan 10 kΩ dimana
konfigurasi pengukuran menggunakan 4-terminal. Berdasarkan hasil validasi pengukuran dekade
resistor box semi otomatis dan manual didapatkan nilai En number untuk masing-masing titik ukur
yaitu 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ dan 10 kΩ menunjukkan |En| ≤ 1 yang artinya bahwa
pengkuran dekade resistor box semi otomatis berkesuaian dengan pengukuran manual.
Kata Kunci: dekade resistor box, metode langusung, semi otomatis, validasi
ABSTRACT
Semi automatic measurement system for decade resistor box had been build where this system built for
eliminating subjectivity and human error factor. This system built using reference multimeter Fluke
8508A as reference standard. The measurement using direct method from 100 mΩ of range until 10
kΩ of range where the measurement configuration using 4 wire. Based on verification result of
decade resistor box using semi-automatic measurement and manual measurement, the En number
value obtained for each measurement point of 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ dan10 kΩ shows that
|En| ≤ 1 which means the semi-automatic decade box resistor measurements are compatible with
manual measurement
1. PENDAHULUAN
Pusat Penelitian Metrologi adalah sebuah lembaga metrologi yang mempunyai tugas
untuk mendesiminasikan nilai besaran fisis dimana salah satu caranya adalah melalui layanan
kalibrasi. Dalam melakukan layanan kalibrasi diperlukan kecermatan dan ketelitian mulai dari
proses pengambilan data sampai dengan analisa ketidakpastian sehingga sertifikat kalibrasi
yang diterbitkan merupakan sertifikat yang valid. Salah satu layanan kalibrasi yang diberikan
oleh Pusat Penelitian Metrologi adalah kalibrasi dekade resistor box yang memiliki sekitar 7
buah dial dengan masing-masing dial mempunyai kisaran 10 nominal, sehingga dalam proses
kalibrasi terdapat banyak titik-titik nominal yang harus dikalibrasi yaitu sebanyak 70 titik
pengukuran.
2. RANCANG BANGUN
Konfigurasi sistem pengukuran dekade resistor box semi otomatis terdiri dari 1 buah
dekade resistor box sebagai alat yang akan diuji (DUT), 1 buah reference multimeter Fluke
8508A sebagai ohmmeter acuan (terkalibrasi) dan 1 buah komputer yang telah terinstal
software pengukuran dekade otomatis, yang mana program tersebut berbasiskan Microsoft
Visual Basic. Konfigurasi peralatan tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Selain itu dalam
9 1
9 1 9 1 9 1
8
2
2
8
3
7
7
3
7
4
6
6
4
6
9 1
9 1 9 1
2
8
8
2
2
3
7
3
3
7
7
4
6
4
4
6
8
2
2
8
3
7
7
3
7
4
6
6
4
6
2
8
8
2
2
3
7
3
3
7
7
4
6
4
4
6
Dimana dekade resistor box sebagai DUT dihubungkan dengan menggunakan 4-terminal
yang langsung dihubungkan ke reference multimeter 8508A sebagai standar acuan.
Sedangkan konfigurasi pengukuran dekade resistor box secara manual ditunjukkan pada
gambar 2, dimana konfigurasi pengukuran hanya tidak dihubungkan dengan komputer.
3.2 VALIDASI
Validasi pengukuran dekade resistor box semi otomatis ini dilakukan dengan
menentukan derajat ekuivalensi normalized error En dari pengukuran manual dan dengan
semi otomatis. Perhitungan normalized error En ditentukan dengan persamaan 1 sebagai
berikut.
RSemiOtomatis − RManual
En =
U (RSemiOtomatis ) + U 2 (RManual ) ……………………………………………..
2
1
1 N 2
SD = ∑
N − 1 i =1
( x i − x ) ......................................................................................... 2
Dimana:
N : jumlah data
xi : Data ke-i
x : rata-rata dari data
SD
Type A = ………………………………………………………………………. 3
n
Hasil pengukuran dapat dinyatakan memiliki kesesuaian pengukuran jika memenuhi kriteria
derajat ekuivalensi, yaitu |En| ≤ 1[5][6].
Sedangkan hasil perhitungan ketidakpastian dari type A dari pengukuran dekade resistor box
manual ditunjukkan pada tabel 2.
Nilai rata-rata dan standar deviasi tersebut diperoleh dari pengukuran berulang sebanyak 5
kali. Pengukuran berulang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kesalahan acak yang
terjadi saat pengukuran dilakukan. Pengukuran berulang yang dimaksud adalah pengukuran
dengan cara mengukur satu nominal yang dilanjutkan dengan nominal lainnya sampai
nominal terakhir dan diulang sebanyak 5 kali. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi
kesalahan pembacaan yang disebabkan oleh ketidakstabilan pembacaan ohmmeter.
Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran semi otomatis maupun
pengukuran manual, menunjukkan kestabilan jangka pendek (repeatabilty) yang sama. Hal
tersebut dapat diketahui melalui selisih standar deviasi antara kedua pengukuran tersebut yang
Tabel 3. Validasi Hasil Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis dengan Manual
Rata-rata Type A Rata-rata Type A En
Nominal
Manual Manual Semi Otomatis Semi Otomatis
0,1 Ω 0,106758 1,2 x 10-5 0,106752 1,3 x 10-5 0,34
-5 -5
1 Ω 1,006637 5,1 x 10 1,006626 2,6 x10 0,19
-6 -5
10 Ω 10,00758 6,7 x 10 10,00759 2,6 x10 0,20
100 Ω 100,0143 6,0 x 10-6 100,0143 5,9 x10-6 0,24
1 kΩ 0,999999 4,9 x 10-8 0,999999 4,5 x 10-8 0,30
-7 -7
10 kΩ 9,999664 3,7 x 10 9,999665 5,5 x 10 0,30
Hasil perhitungan En pada semua titik ukur pada tabel 3 berada di antara 0 sampai
dengan 1 yang menunjukkan bahwa pengukuran dekade resistor box dengan menggunakan
semi otomatis maupun dengan menggunakan manual menunjukkan hasil yang berkesesuaian.
Dengan hasil yang berkesesuaian dapat digunakan untuk melakukan kalibrasi dekade
resistor box dengan menggunakan pengukuran semi otomatis sesuai dengan prosedur yang
ada. Melakukan pengambilan data kalibrasi dekade resistor box dengan menggunakan
pengukuran semi otomatis mempunyai banyak manfaat yang salah satunya adalah
memudahkan pengambilan data. Selain itu, sistem pengukuran semi otomatis dapat
menghilangkan faktor subyektifitas yang dikarenakan perbedaan penentuan waktu tercapai
kestabilan nilai pada penunjukan ohmmeter. Manfaat yang lainnya adalah dapat
menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor human error dalam melakukan
pencatatan, pengambilan dan pemasukan data kedalam lembar kerja.
Dengan dihilangkannnya faktor subyektifitas maupun human error, maka hasil
pengukuran dekade resistor box dengan menggunakan semi otomatis menjadi lebih valid. Dan
dapat diterapkan dalam proses pengambilan data kalibrasi dekade resistor box sebagai salah
satu bagian pelayanan di Puslit Metrologi-LIPI.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Joint Committee For Guides In Metrology (JCGM), “International vocabulary of
metrology — Basic and general concepts and associated terms (VIM),” VIM3 Int.
Vocab. Metrol., vol. 3, no. Vim, p. 104, 2008.
[2] P. Howarth and F. Redgrave, Metrologi Sebuah Pengantar, 2nd ed. Pusat Penelitian
Kalibrasi, Instrumentasi, Metrologi, 2005.
[3] M. Honda, The Impedance Measurement Handbook. Yokogawa: Yokogawa-Hawlett-
Packard LTD, 1989.
[4] Keithley, “Difference of 2 Wire and 4 Wire Measurement,” no. I, pp. 2–6, 2005.
[5] M. D. Early, M. Šíra, B. Andersson, L. A. Christian, and O. Gunnarsson, “A Simple
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Windi Kurnia
Pertanyaan :
Mengapa akurasi dari pengambilan data secara otomatis tidak berbeda dari cara manual? Lalu
perbaikan dan pembaharuan tercermin dari apa?
Jawaban :
Perbaikan dan perbaruan yang ada didalam penelitian ini adalah cara pengambilan data
pengukuran dekade resistor box yang sebelumnya dilakukan secara manual menjadi semi
otomatis. Pengambilan data secara semi otomatis bertujuan untuk menghindari human error
dan subyektifitas operator yang banyak sekali terjadi karena banyaknya titik ukur. Melakukan
pengambilan data kalibrasi dekade resistor box dengan menggunakan pengukuran semi
otomatis mempunyai banyak manfaat yang salah satunya adalah memudahkan dan
menghindari kesalahan dalam pencatatan, pengambilan dan pemasukan data kedalam lembar
kerja. Dengan menggunakan pengambilan data secara semi otomatis, faktor kesalahan yang
disebabkan human error dan subyektifitas dapat dihilangkan. Selain itu dengan menggunakan
pengambilan data secara otomatis, dapat dilakukan pengambilan data lebih dari 5 kali dengan
mudah untuk memperkecil ketidakpastian type A. Dengan lebih banyaknya pengambilan data,
maka akurasi akan bertambah.
ABSTRACT
Determination of the value of the long-term stability (drift) of the fused-silica capacitance standard
has been performed, with the intention of being used to see the drift value that can be used from
stability uncertainty source of the reference standard capacitor in the Research Center of Metrology
LIPI. The measurement method that used in this paper is a direct measurement method using a
capacitance bridge. Measurements are carried out periodically every month and have been carried
out for 7 years from 2009. Knowing the values of the 7-year measurement results against these
standard capacitors can be used to find the value of slope, m, using the linear fitting approach or the
least squares method. So the estimation of long-term stability value for nominal 1 pF, 10 pF and two
100 pF standard capacitors has been obtained, among others, 2.3x 10-3 µF/F per year, -8.4 x 10-7
µF/F per year, -9.7x10-5 µF/F per year and -1.1x10-4 µF/F per year with relative expanded
uncertainty are 5.2 µF/F, 0.18 µF/F, 0.036 µF/F, dan 0.050 µF/F.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pusat Penelitian Metrologi-LIPI sebagai pusat penelitian dibidang metrologi bertugas
untuk merealisasikan standar Nasional dan menjaga ketertelusuran standar dari hasil ukur
kepada satuan sistem internasional (SI). Besaran-besaran acuan atau standar tersebut harus
2. DASAR TEORI
Kapasitor standar acuan yang dijadikan standar acuan tertinggi di Pusat Penelitian
Metrologi-LIPI adalah empat buah kapasitor standar AH 1100 yang terdiri dari 3 nominal
1 pF, 10 pF dan 100 pF yang tertelusur kepada 10 : 1 Capacitance Bridge dari KRISS-Korea.
Kapasitor standar fused-silica Andeen-Hagerling dengan tipe AH 1100 memiliki akurasi dan
kestabilan yang baik sebagai instrumen yang digunakan untuk proses kalibrasi kapasitansi
Gambar 3. Sebaran data untuk nilai kapasitor standar 1 pF, 10 pF dan 100 pF
Pada gambar 3, hasil pengukuran dari setiap nominal kapasitor memiliki perubahan
yang relatif sangat kecil selama 7 tahun tersebut, yaitu tidak lebih dari 0,01 µF/F. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kapasitor fused-silica AH 1100 memiliki karakteristik kestabilan jangka
panjang yang baik. Dimana nilai kestabilan yang dimiliki kapasitansi standar fused-silica ini
Dengan menggunakan persamaan 2 dan data slope dan intersep yang diperoleh pada
tabel 1 dapat diestimasikan nilai estimasi aktual dari kapasitor standar AH 1100.
5. KESIMPULAN
Dari hasil analisa data pengukuran kapasitansi standar fused-silica yang dilakukan
selama 7 tahunan dapat disimpulkan bahwa nilai estimasi drift kapasitansi standar yang
dimiliki Pusat Penelitian Metrologi-LIPI menunjukkan bahwa kapasitansi standar masih
memiliki kestabilan yang baik. Karena nilai slope dari ploting data pengukuran kapasitansi
terhadap waktu menunjukkan nilai sebagai berikut: 2,3x 10-3 µF/F per tahun, -8,4 x 10-7 µF/F
per tahun, -9,7 x 10-5 µF/F per tahun, dan -1,1 x 10-4 µF/F per tahun untuk nominal 1 pF,
10 pF dan 100 pF yang mana nilai kestabilan yang dimiliki kapasitansi standar fused-silica ini
masih dibawah kestabilan yang didefinisikan dalam spesifikasi alat yaiu 0,3+ 1/C ppm/tahun.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Lukluk K & Azzumar M, 2016, Analisis Rangkaian Dan Verifikasi Metode Kalibrasi
Resistansi AC Berbasis Pengukuran Tidak Langsung, Prosiding PPI KIM.
[2] Andeen-Hagerling, June 2003, The World’s Most Stable Capacitance Standards (AH
1100 Capacitance Standard Frame AH 11A Fused-silica Capacitance Standard),
Andeen-Hagerling Inc.
[3] Adeen-Hagerling, June 2003, Operation and Maintenance Manual AH2700A 50 Hz –
20 kHz Ultra Precision Capacitance Bridge, Adeen-Hagerling Inc.
[4] R. Hadi Sardjono, 2014, Metrologi Tegangan Listrik : Ketertelusuran dan
Implementasi, page 28, LIPI Press.
[5] _, 2012, Static & Dynamic Characteristics of Measurement System,
http://mediatoget.blogspot.in//2012/01/static-dynamics-characteristics-of.html, diakses
20 Juni 2016.
[6] Ravi Patel, Harsh Patel, Panchal Hiten, Parmar Sumit, Deep Modi Guided by Prof.
Manish G. Prajapati, Nov 21, 2014, Ppt on Characteristics of instruments, Gujarat
Power Engineering & Research Institute, Mewad.
[7] Fisika Veritas, 2013, Penurunan Rumus Metode Kuadrat Terkecil
https://fisikaveritas.blogspot.co.id/2013/06/penurunan-rumus-metode-kuadrat-
terkecil.html. diakses 20 Juni 2016.
INTISARI
Tegangan DC adalah salah satu parameter didalam metrologi kelistrikan yang penting. Pengukuran
tegangan DC yang presisi dan akurat diperlukan untuk menjamin kebenaran nilai tegangan DC
tersebut. Solid state tegangan DC merupakan acuan tegangan DC yang memiliki tingkat kestabilan
yang baik. Nilai dari acuan tegangan DC tersebut akan mengalami perubahan berdasarkan waktu.
Sehingga perawatan secara periodik diperlukan untuk memantau pergeseran nilainya. Kesesuaian nilai
solid state tegangan DC dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan nilai terhadap waktu.
Perubahan laju pergeseran nilai (drift) tegangan DC pada solid state tegangan DC dapat dievaluasi dari
riwayat kalibrasi sebelumnya. Dalam penelitian ini telah dilakukan evaluasi laju perubahan nilai solid
state tegangan DC dengan menggunakan metode least square fit. Nilai solid state tegangan DC
diambil berdasarkan data kalibrasinya pada nominal 1,018 V dan 10 V dari tahun 2008 ke tahun 2015
meskipun tidak dilakukan secara periodik pertahun. Hasil evaluasi perubahan laju pergeseran nilai
(drift) dari solid state tegangan DC untuk nominal 1,018 V adalah 1,088 µV/V/tahun dengan
ketidakpastian 0,044 µV/V dan untuk 10 V adalah 1,16 µV/V/tahun dengan ketidakpastian 0,08 µV/V.
Hasil dari evaluasi tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan spesifikasi teknisnya.
ABSTRACT
DC voltage is one of important electrical metrology parameter. Precision and accuracy of DC voltage
measurement needed to maintain the righteousness of dc voltage value. Solid state dc voltage is dc
voltage reference that has great stability. So its need periodical maintenance to observe shifting
values. Solid state dc voltage value conformity can be done by evaluating the change in value towards
time. The rate shifting value (drift) of dc voltage in solid state dc voltage can be evaluated from the
last calibration history. In this research evaluation of rate shifting value of solid state dc voltage using
least square fit method has been done. Solid state dc voltage values taken from it calibration data in
2008 until 2015 at 1,018 Volt and 10 Volt although it can’t be done every year periodically. The
evaluation result of rate shifting value (drift) from 1,018 volt solid state dc voltage is 1,088 µV/V/year
with uncertainty value 0,044 µV/V and 1,15 µV/V/year with uncertainty value 0,08 µV/V for 10 Volt.
That evaluation result is smaller than technical specification
3. METODOLOGI
Perhitungan drift pada solid state standar tegangan DC Fluke 7000 dapat dievaluasi
dengan menggunakan metode least square fit. Dalam menggunakan metode ini data-data yang
diperlukan berasal dari nilai yang diturunkan dari standar primer PJVS LIPI pada tahun 2008
sampai 2011 dan juga nilai dari hasil kalibrasi solid state standar tegangan DC Fluke 7000 di
…………………………………………………………………....2
Dimana : y adalah kesalahan dari solid state standar tegangan DC Fluke 7000.
Nilai kesalahan terhadap nilai nominal diestimasi dengan menggunakan persamaan
least square fit pada persamaan 5 dimana diperlukan perhitungan gradien (m) dan
perpotongan (b) dengan menggunakan persamaan 3 dan 4.
N N N
N ∑ ( xi y i ) − ∑ ( xi ) ∑ ( yi )
m= i =1 i =1
i =1
2
( )
N N
N ∑ xi2 − ∑ ( xi )
i =1 i =1 ……………………………………………..3
Dimana :
N adalah jumlah data yang digunakan dalam membuat garis fitting
xi adalah tanggal pada saat data ke-i
( )
N 2 N N N
∑ xi ∑ ( yi ) − ∑ ( x1 ) ∑ ( x i yi )
b= i =1 i =1 i =1
i =1
( )
N N
N ∑ xi2 − ∑ ( xi )
i =1 i =1 ……………………………………….4
y fitting = mx + c
…………………………………………………………………5
Dimana :
m adalah gradien
c adalah perpotongan
1 N
σy = ( )
∑ y1 − y fitting 2 ...............................................................................6
N − 2 i =1
Sedangkan data kesalahan solid state standar tegangan DC Fluke 7000 10 Volt
terhadap nominal dalam waktu tertentu dapat dilihat pada tabel 2
Pengukuran solid state tegangan DC pada tahun 2008 sampai 2011 dilakukan di
Puslit Metrologi LIPI mengunakan PJVS LIPI dengan suhu lingkungan pada saat pengukuran
adalah 23±2 JC. Sedangkan pada tahun 2015 nilai solid state tegangan DC diperoleh dari
hasil kalibrasi di BIPM dengan suhu 20,7 JC. Karena terdapat perbedaan suhu lingkungan
saat pengukuran di Puslit Metrologi-LIPI dengan di BIPM maka perlu dilakukan koreksi nilai
suhu lingkungan terhadap hasil kalibrasi BIPM sebesar -1,1x10-8V pada nominal 1,018V dan
-7x10-7 V pada nominal 10V
Dengan menggunakan metode least square fit, nilai kesalahan solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 terhadap nilai nominal pada tabel 1 dan best fit line dari kesalahan
solid state standar tegangan DC Fluke 7000 pada nominal 1,018 Volt dapat dilihat pada
gambar 2.
Perhitungan drift solid state standar tegangan DC Fluke 7000 dengan menggunakan
metode least square fit pada nominal 10 Volt yang diperoleh adalah sebesar 0,0032
µV/V/hari. Sedangkan untuk mendapatkan ketidakpastian dari drift solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 dapat menggunakan persamaan 6. Sehingga diperoleh
ketidakpastian driftnya sebesar 0,000 22 µV/V. Best fit line dibentuk dari perhitungan akar
kuadrat terkecil yang mengacu pada persamaan 3, 4 dan 5 dimana garis tersebut tidak selalu
mengenai titik-titik sebaran data seperti yang terlihat di gambar 2 dan gambar 3. Hal ini
disebabkan metode least square fit memperkirakan titik terbaik berdasar pada sebaran data
dimana best fit line dibentuk dari titik-titik tersebut dengan selisih paling minimum.
Nilai drift dan ketidakpastian dari solid state standar tegangan DC Fluke 7000 yang
didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode least square fit dapat dibandingkan dengan
nilai stabilitas yang tertera pada spesifikasi atau buku manual dari Fluke 7000. Pada nominal
1,018 Volt, nilai drift yang dihasilkan dari perhitungan adalah 1,088 µV/V/tahun dengan
ketidakpastian sebesar 0,044 µV/V sedangkan nilai stabilitas yang tertera pada spesifikasi
atau buku manual adalah < 2 µV/V/ tahun. Pada nominal 10 Volt nilai drift solid state standar
5. KESIMPULAN
Solid state standar tegangan DC Fluke 7000 adalah secondary standard yang dimiliki
oleh Pusat Penelitian Metrologi LIPI dimana saat ini menjadi acuan untuk tegangan DC. Dari
riwayat data kalibrasi Solid state standar tegangan DC Fluke 7000 diperoleh sebuah hasil
evalusi pergeseran nilai terhadap waktu (drift) dengan menggunakan metode least square fit.
Drift yang dihasilkan dari perhitungan least square fit bernilai lebih kecil apabila dibandingkan
dengan nilai stabilitas yang ditunjukkan pada spesifikasi alat di buku manual. Sehingga nilai
drift yang lebih kecil dapat digunakan sebagai salah satu sumber ketidakpastian pada
pengukuran zener diode.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] T. J. Witt, 2002, Maintenance and Dissemination of Voltage Standards by Zener-
diode-Based instruments, IEE Proceedings-Science Measurement Technology, vol.
149.
[2] A. Thompson, 2008, Guide for the Use of the International System of Units (SI).
Gaithersburg: National Institute of Standards and Technology.
[3] B. W. Petley, 1994, Electrical Units - the Last Thirty Years, Metrologia, vol. 31,
pp. 495–502.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
Apakah metode untuk menganalisa drift tegangan dan kapasitansi menggunakan persamaan
yang sama yaitu least square fit ? Mengapa ?
Jawaban :
Metode untuk menganalisa persamaan drift tegangan dan kapasitansi menggunakan
persamaan yang sama yaitu least square fit. Hal ini dikarenakan karakterisitk dari nilai
nominal tegangan dan kapasitansi berdasarkan waktu mengalami perubahan secara linier.
Distribusi tersebut dapat didekati dengan mengggunakan fungsi linier, sehingga metode yang
tepat untuk mengevaluasi drift dari tegangan dan kapasitansi adalah metode least square fit
INTISARI
Standar primer yang dimiliki laboratorium gaya dan torsi Puslit Metrologi-LIPI untuk menurunkan
satuan torsi adalah mesin standar torsi deadweight 2 kN·m. Salah satu bagian terpenting dalam mesin
deadweight ini adalah sistem pembebanan. Sampai saat ini sistem pembebanan mesin standar torsi
deadweight masih menggunakan sistem pembebanan manual. Pada makalah ini dilakukan
perancangan prototipe mass handleruntuk kapasitas 1.000 N·m (100 N·m s/d 1.000 N·m) dan 2.000
N·m (200 N·m s/d 2.000 N·m). Sistem yang dirancang menggunakan kombinasi pen-per, pisau
penahan pen, ulir dan motor. Sistem yang dirancang telah dapat memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan. Hasil rancangan ini diharapkan dapat direalisasikan menjadi sistem pembebanan
otomatis mesin standar torsi.
Kata kunci: mesin standar torsi, sistem pembebanan, mass handler, pen-pisau
ABSTRACT
The primary standard of the force and torque laboratory Research Center for Metrology LIPI to
disseminate the unit of torque is the deadweight torque standard machine 2 kN·m. One of the most
important parts in this deadweight machine is the loading system. Until now the loading system of the
deadweight torque standard machine still uses manual loading system. In this paper, the design of
mass handler prototype for capacity of 1,000 N·m (100 N·m to1000 N·m) and 2,000 N·m (200 N·m to
2000 N · m) was designed. The system has been designed using a combination of pen-spring, knife to
hold the pen, thread and motor. The system has been designed to meet the required criteria. This
design result is expected to be realized to be the automatic loading system of torque standard
machine.
1. PENDAHULUAN
Laboratorium gaya dan torsi sebagai salah satu laboratorium yang ada pada Puslit
Metrologi LIPI memiliki tanggung jawab antara lain mendiseminasikan satuan torsi melalui
aktivitas kalibrasi. Standar torsi nasional yang dimiliki Puslit MetrologiLIPI berupa mesin
standar torsi deadweight 2 kN.m, yang masih menggunakan sistem pembebanan manual.
Proses penambahan dan penurunan beban dari seluruh rentang kapasitas (1 N·ms/d 2 kN·m)
dilakukan secara manual (dengan tangan). Penggunaan sistem pembebanan manual
Mesin standar torsi Puslit Metrologi memiliki rentang ukur 1 N·m hingga 2.000 N.m,
dan memiliki ketertelusuran ke PTB Jerman. Ketidakpastian mesin standar torsi dibagi
menjadi tiga rentang. Untuk rentang 1 N·m s/d 5 N·m ditetapkan sebesar 0,1 %, rentang 5
N·m s/d 100 N·m sebesar 0,04 %, dan rentang 100 N·m s/d 2.000 N·m sebesar 0,03
%.[1]Ketidakpastian yang ditetapkan ini masih jauh lebih besar daripada akurasi yang dapat
dicapai oleh mesin, yang berdasarkan spesifikasi pabrik dapat mencapai 0,01 %, sehingga
(a) (b)
(c) (d)
Pada proses pembebanan, pembebanan dimulai dari beban paling bawah. Handler
beban diturunkan hingga beban menggantung pada hanger dan kemudian pen berada dalam
kondisi bebas/tidak terbebani. Dalam kondisi pen bebas ini pisau digerakkan ke atas sehingga
pen masuk ke dalam. Untuk beban kedua, handler diturunkan hingga beban ke dua
menumpuk pada beban pertama yang telah menggantung pada hangerdanpen berada pada
kondisi bebas. Demikian seterusnya hingga beban terakhir.
Pada proses penurunan beban, penurunan beban dimulai dari beban paling atas. Dari
posisi beban menggantung pada hanger, handlerbeban dinaikkan sehingga posisi pen paling
atas berada pada posisi sela-sela antar beban.Pisau digerakkan turun sehingga pen dalam
Sistem mass handler ini terbagi menjadi dua unit yaitu unit handler dan unit lifter.
Ditinjau dari faktor keamanan desain ini cukup aman karena masing-masing beban
dipegang dengan menggunakan 3 buah pen, yang terpasang pada 3 tiang pengunci. Tiang
pengunci dibuat pada sudut sekitar 00, 1200 dan 2400 untuk kesetimbangan. Tiang pengunci
dapat diatur maju-mundur untuk mengatur jarak dengan beban, dalam kondisi penggunaan,
jarak tiang pengunci dengan beban diatur sekitar 2 mm – 4 mm. Jumlah pen untuk masing-
masing tiang pengunci adalah 15 buah sesuai dengan jumlah beban.Untuk beban 100 N,
diameter ujung pen yang digunakan adalah diameter 4 mm karena celah pegangan beban
hanya 8 mm. Sedangkan untuk beban 200 N dengan celahpegangan beban 18 mm, diameter
ujung pen yang digunakan 8 mm. Selain itu, jarak 5 mm diberikan antar keping beban untuk
memudahkan proses pembebanan dan mengurangi gesekan pen dengan beban.
Untuk dapat digunakan pada dua kapasitas,yaitu kapasitas 1.000 N·m (100 N·m s/d
1.000 N·m) dan 2.000 N·m (200 N·m s/d 2.000 N·m), maka sebanyak 10 buah beban 100 N
diletakkan pada bagian bawah, sedangkan 5 buah beban 200 N diletakkan pada bagian atas.
Pembebanan kapasitas 1.000 N·m dilakukan dengan menggunakan 10 buah beban 100 N di
5. KESIMPULAN
Rancangan mass handler yang akan digunakan untuk mesin standar torsi Puslit
Metrologi LIPI dibuat dengan menggunakan kombinasi pen-per, pisau penahan pen dan
motor. Rancangan ini telah dapat memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan, antara lain
dalam kemampuan memenuhi prosedur pembebanan kalibrasi. Realisasi mass handler dari
rancangan yang telah dibuat dalam makalah ini sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan
kualitas pengukuran mesin standar torsi, serta efisiensi waktu dan tenaga.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Tim
Manajemen Puslit Metrologi LIPI yang telah memberikan fasilitas dana melalui DIPA
Tematik 2016 sehingga pembuatan mass handler mesin standar torsi dapat dilaksanakan.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Nurcahyono, D., Koji Ogushi. Penjaminan Mutu Mesin Standar Torsi Melalui Uji
Banding Bilateral pada Rentang 5 N·m – 50 N·m antara Puslit Metrologi LIPI dan
NMIJ. Unpublished.
[2] Gassmann Testing and Metrology GmbH. 2007. Instruction Manual and Technical
Documentation for the 2000 N·m Torque Standard Machine. GTM.
[3] Hafid. 2012. Penentuan Panjang Lengan Mesin Standar Torsi Deadweight Searah
Jarum Jam dan Berlawanan Arah jarum Jam Menggunakan Metode Kesetimbangan
Lengan. PPI-KIM LIPI.
[4] Puslit Metrologi – LIPI. 2016. I.MM.5.01. Calibration of Torque Measuring Device
using Deadweight Torque Standard Machine.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Renanta Hayu
Pertanyaan :
Apakah ketidakpastian mesin yang besar disebabkan karena mesin masih manual? Dan
apakah dengan otomatisasi ketidakpastian mesin bisa menjadi kecil?
Jawaban :
Ketidakpastian mesin standar torsi Puslit Metrologi yang besar bukan disebabkan
pembebanan manual, akan tetapi karena masih tertelusur ke NMI lain dengan transfer
standard torque transducer, sehingga langkah untuk memperkecil ketidakpastian mesin
adalah dengan ketertelusuran besaran massa, panjang ke internal Puslit Metrologi mengacu
pada persamaan torsi. Otomatisasi mass handler tujuan utamanya adalah untuk
mempermudah pengambilan data, bukan untuk memperkecil ketidakpastian.
Jawaban :
1. Sistem yang dirancang relatif stabil karena pembebanan otomatis dapat diatur dengan
gerakan motor yang halus, selain itu pembebanan otomatis dapat meminimalisir swing dan
impact yang terjadi pada pembebanan manual.
INTISARI
Kalibrasi tegangan AC pada multimeter uji di Pusat Penelitian Metrologi – LIPI (P2M – LIPI)
dilakukan dengan menggunakan alat standar berupa calibrator. Dalam proses kalibrasinya, multimeter
uji disuplai oleh tegangan AC dari calibrator dengan frekuensi internal calibrator yang berbeda –
beda untuk kemudian dianalisa, dengan melibatkan koreksi sertifikat calibrator, sehingga didapatkan
koreksi dan ketidakpastian. Adanya komponen frekuensi pada pengaplikasian tegangan AC dapat
menyebabkan perbedaan level suplai tegangan AC dari calibrator yang mana dapat mempengaruhi
analisa koreksi dan ketidakpastian multimeter uji untuk titik ukur tegangan AC pada frekuensi yang
tidak diukur dan tidak tercantum pada sertifikat calibrator standar. Dalam makalah ini dibahas tentang
penentuan nilai aktual level tegangan AC ketika diaplikasikan pada frekuensi yang berbeda-beda
dengan menggunakan permodelan matematis berdasarkan pembacaan tegangan nominal oleh
multimeter acuan. Multimeter acuan yang digunakan pada penelitian ini adalah reference multimeter
F8508 (RMM8508) dan calibrator yang digunakan adalah multifunction calibrator F5720
(MFC5720). Titik ukur tegangan AC yang menjadi objek penelitian ini adalah 100 mV, 1 V, 10 V,
100 V, dan 1000 V. Hasil penelitian menunjukkan, untuk kelima titik ukur tersebut, tegangan AC
aktual keluaran dari MFC5720 pada semua frekuensi dapat dicari dengan menggunakan persamaan
tertentu yang telah diklasifikasikan pada beberapa rentang sesuai dengan karakteristik masing –
masing.
ABSTRACT
Multimeter calibration for AC voltage unit in Research Center for Metrology – LIPI (RCM – LIPI)
was conducted by using standard called by calibrator. The calibration process was performed by
applying AC voltage with different internal frequency of calibrator and then analyzed, involving the
correction of calibrator standard certificate, to obtain correction and uncertainty. The existence of
frequency component in the application of AC voltage may caused the differences in the level of AC
voltage supply from calibrator which may affected correction and uncertainty analysis of multimeter
for measuring point of AC voltage which the frequency was not measured and not listed on the
standard calibrator certificate. This paper discussed about the determination of the actual value of AC
voltage level when applied at different frequency by using mathematical modeling based on AC
voltage nominal reading of multimeter. The multimeter used in this research was reference multimeter
F8508 (RMM8508) and the calibrator was multifunction calibrator F5720 (MFC5720). The
measuring points of AC voltage in this research were 100 mV, 1 V, 10 V, 100 V, and 1000 V. The
result showed that, for the five measuring points, the actual AC voltage output of MFC5720 at all
frequency can be determined by using mathematical model which have been classified in several
range according to their characteristics.
2. TEORI DASAR
Tegangan AC didefinisikan sebagai nilai tegangan efektif atau tegangan rms (root
mean square) dari gelombang sinusoidal [2]:
................................................................................. (1)
Tegangan efektif atau RMS (Root-mean-square) adalah suatu besaran dari arus listrik bolak
balik yang nilainya diukur berdasarkan listrik arus searah yang mana keduanya akan
3. METODOLOGI
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sebuah multimeter dan
sebuah calibrator. Multimeter yang digunakan adalah reference multimeter F8508
(RMM8508) yang mempunyai ketelitian pembacaan tegangan AC hingga 6,5 digit[4],
sedangkan calibrator yang digunakan adalah multifunction calibrator F5720 (MFC5720)
yang dapat mengenerate tegangan AC hingga 1050 V dan berketelitian 7,5 digit[5].
Pengambilan data dilakukan menggunakan metode langsung dengan menghubungkan
terminal HI dan LO dari MFC5720 pada terminal HI dan LO RMM8508 seperti yang
disajikan oleh Gambar 1. Proses pengukuran dan akuisisi data untuk semua titik ukur
dilakukan secara otomatis menggunakan bahasa pemrograman visual basic.
Besaran kelistrikan yang dievaluasi pada penelitian ini adalah tegangan AC yang
mana titik ukur yang menjadi objek penelitian adalah tegangan 100 mV, 1 V, 10 V, 100 V,
dan 1000 V. Titik ukur ini adalah titik ukur tegangan AC yang tertelusur dan tercantum dalam
sertifikat kalibrasi RMM8508. Setiap titik ukur tegangan AC di-generate oleh MFC5720,
dengan frekuensi internal yang divariasikan sesuai dengan Tabel 1, untuk kemudian dibaca
menggunakan RMM8508. Frekuensi internal tersebut dapat diatur pada MFC5720 ketika
digunakan untuk mengaplikasikan tegangan AC. Untuk setiap titik ukur tegangan AC dengan
satu frekuensi, pengambilan data dilakukan sebanyak 5 kali.
Variabel yang dicari pada penelitian ini adalah tegangan AC aktual yang dikeluarkan
oleh MFC5720 pada titik – titik frekuensi yang tidak tercantum dalam sertifikat kalibrasi
MFC5720, yang dilakukan dengan cara membandingkan kurva karakteristik pembacaan
tegangan AC nominal oleh RMM8508A terhadap frekuensi dengan kurva karakteristik model.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap frekuensi
pada titik ukur 100 mV; (a) frekuensi < 40 Hz ; (b) frekuensi 40 Hz – 1 kHz; (c)
frekuensi 1 kHz – 50 kHz; (d) frekuensi 50 kHz – 100 kHz
Dengan menggunakan pendekatan model linier, didapatkan model matematika untuk masing
– masing rentang frekuensi yang ditunjukkan oleh Persamaan (3), (4), dan (5). Permodelan
dengan menggunakan Persamaan (3), (4), dan (5) ini kemudian diplot kembali pada grafik dan
hasilnya dapat terlihat pada kurva berwarna hijau pada gambar.
y = 0 ,14216 x + 85 ,7894 ......................................................................................... (3)
y = − 0 ,12654 x + 112 ,685 ...................................................................................... (4)
y = 0 ,09538 x + 90 , 4974 ......................................................................................... (5)
Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)
Tabel 3. Analisa jumlah kuadrat residual pada rentang frekuensi 1 kHz – 50 kHz untuk
tegangan 100 mV (dalam mV)
Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)
Simbol x pada Persamaan (3), (4), dan (5) tersebut adalah pembacaan nominal
nominal RMM8508 dan simbol y adalah tegangan AC aktual keluaran MFC5720. Pendekatan
dengan menggunakan model matematika pada Persamaan (3), (4), (5) ini mempunyai
ketidakpastian yang didapatkan berdasarkan residu hasil pengukuran yang sebenarnya dengan
hasill fitting persamaan yang diperoleh. Residu pengukuran untuk masing-masing pendekatan
model matematis dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square) yang
mana untuk pemodelan menggunakan Persamaan (3) ditunjukkan oleh Tabel 2, untuk
pemodelan menggunakan Persamaan (4) disajikan pada Tabel 3, dan untuk pemodelan
menggunakan Persamaan (5) ditunjukkan oleh Tabel 4. Standar deviasi yang disajikan pada
Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 tersebut merepresentasikan ketidakpastian baku dari pemodelan
yang digunakan.
Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)
(a) (b)
Gambar 4. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap semua
frekuensi ; (a) pada titik ukur 1 V, (b) pada titik ukur 10 V
Untuk titik ukur tegangan AC 1 V dan 10 V, seperti yang terlihat pada Gambar 4(a)
dan Gambar 4(b), mempunyai karakteristik yang mirip dengan karakteristik pada titik ukur
tegangan 100 mV sehingga perlakuan pembagian rentang, perumusan model matematis, dan
perhitungan residu pengukuran dilakukan dengan metode yang sama dan hasilnya ditunjukkan
oleh Tabel 5.
Tabel 5. Model matematika beserta standar deviasinya untuk titik ukur tegangan AC 1 V dan
10 V.
Tegangan Rentang Standar Deviasi
Model Matematika
AC Frekuensi (V)
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -
40 Hz - 1 kHz y = 0 ,18033 x + 0 , 81968 0
1 V
1 kHz - 50 kHz y = − 0 ,12132 x + 1,12164 7,74E-06
50 kHz - 100 kHz y = 0 ,02240 x + 0 , 97794 0
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -
40 Hz - 1 kHz y = − 0 ,03015 x + 10 , 30256 0
10 V
1 kHz - 50 kHz y = − 0 , 31367 x + 13 ,13898 1,52E-04
50 kHz - 100 kHz y = − 0 ,00686 x + 10 ,07159 0
Untuk titik ukur tegangan AC 100 V, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5,
mempunyai karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan karakteristik pada tegangan
AC 100 mV, 1 V, dan 10 V. Karena itu, rentang frekuensi untuk permodelan matematikanya
juga dibagi dengan klasifikasi yang berbeda, yaitu rentang < 40 Hz, rentang 40 Hz – 1 kHz,
rentang 1 kHz – 20 kHz, dan rentang 20 kHz – 100 kHz. Untuk rentang frekuensi < 40 Hz,
seperti yang terlihat pada Gambar 6(a), tidak bisa dilakukan perumusan model matematika
karena tidak terdapat kurva karakteristik model pada titik frekuensi < 40 Hz. Untuk rentang
frekuensi 40 Hz – 1 kHz, 1 kHz – 20 kHz, dan 20 kHz – 100 kHz, berdasarkan kurva
karakteristik yang ditunjukkan oleh Gambar 6(b), Gambar 6(c), dan Gambar 6(d), hubungan
antara tegangan AC aktual keluaran MFC5720 (warna merah) dengan pembacaan nominal
RMM8508 (warna biru) masing–masing direpresentasikan oleh model matematika yang
disajikan pada Tabel 6. Permodelan dengan menggunakan persamaan-persamaan tersebut
kemudian diplot kembali pada grafik dan hasilnya dapat terlihat pada kurva berwarna hijau
pada Gambar 6. Ketidakpastian baku pada titik ukur tegangan AC 100 V ditunjukkan pada
Tabel 6.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap frekuensi
pada titik ukur 100 V; (a) frekuensi < 40 Hz; (b) frekuensi 40 Hz – 1 kHz; (c)
frekuensi 1 kHz – 20 kHz; (d) frekuensi 20 kHz – 100 kHz
Untuk titik ukur 1000 V, tegangan yang mampu disuplai oleh MFC5720 terbatas
hanya sampai frekuensi 1 kHz, karena itu data pengukuran yang didapatkan untuk titik ukur
100 V tidak sebanyak data pengukuran pada titik ukur tegangan yang lain. Selain itu,
sertifikat kalibrasi RMM8508 hanya mencantumkan data koreksi untuk dua titik frekuensi,
yaitu frekuensi 60 Hz dan frekuensi 1 kHz. Oleh karena itu, khusus untuk titik ukur 1000 V
dalam penelitian ini hanya akan diklasifikasikan pada dua rentang frekuensi saja, yaitu
frekuensi < 60 Hz dan 60 Hz – 1 kHz. Rentang frekuensi < 60 Hz tidak dapat didekati dengan
permodelan secara matematis dikarenakan tidak ada kurva karakteristik model pada rentang
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa titik ukur
tegangan AC 100 mV, 1 V, dan 10 V, ketika dibaca menggunakan RMM8508, mempunyai
karakteristik pembacaan nominal yang mirip pada semua frekuensi. Begitu juga ketika nilai
pembacaan pada titik – titik ukut tersebut dikoreksikan dengan koreksi sertifikat kalibrasi
RMM8508, kurva model yang didapatkan juga mempunyai karakteristik yang mirip. Hal ini
berarti bahwa tegangan AC aktual keluaran MFC5720 pada titik ukur tegangan AC 100 mV,
1 V, dan 10 V mempunyai karakteristik yang mirip pada rentang frekuensi 40 Hz – 100 kHz.
Hal yang berbeda terjadi pada titik ukur tegangan AC 100 V dan 1000 V yang mana masing-
masing mempunyai kurva karakteristik pembacaan nominal RMM8508 dan kurva model yang
unik. Untuk masing – masing titik ukur, tegangan AC aktual keluaran MFC5720 pada
frekuensi hingga 100 kHz dapat dicari dengan menggunakan persaman matematis seperti
HASIL DISKUSI
Tidak ada.
INTISARI
Pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC standar telah dilakukan di Pusat Penelitian
Metrologi – LIPI dengan menggunakan metode tidak langsung. Metode ini berbasis pada voltmeter
standar dan current shunt standar dimana ketertelusuran untuk current shunt standar sudah diperoleh
secara mandiri. Nilai aktual arus DC yang dibangkitkan oleh Multi-Function Calibrator dihitung dari
tegangan DC yang dibaca oleh voltmeter standar dan dari nilai aktual resistansi DC current shunt
standar. Pada arus DC nominal sebesar 1 A, diketahui nilai aktual sebesar 1,000 00 A dengan
ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A. Pengukuran sumber arus DC standar dengan metode
tidak langsung kemudian divalidasi dan hasilnya lebih baik dibanding dengan metode langsung.
Kata Kunci: ketertelusuran mandiri, sumber arus DC standar, metode tidak langsung, ketidakpastian
pengukuran, Multi-Function Calibrator
ABSTRACT
Independent traceability of standard DC current source has been developed at Research Center for
Metrology – LIPI using indirect method. This method is based on a standard voltmeter and a standard
current shunt where the traceability of the standard current shunt has been obtained independently.
The actual DC current value generated by Multi-Function Calibrator was calculated from the DC
voltage reading of standard voltmeter and from the actual value of standard current shunt DC
resistance. At DC current nominal of 1 A, the actual value was 1,000 00 A and the measurement
uncertainty was 0,000 13 A. Then the measurement of standard DC current source using indirect
method was validated and the result was better than direct method.
I x = I s + C Is .................................................................................................. 1
dimana:
Ix adalah arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, A
Is adalah arus DC yang dibaca oleh amperemeter standar, A
CIs adalah koreksi amperemeter standar, A
Untuk menentukan nilai aktual dari arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, terdapat
sumber-sumber ketidakpastian yang harus dipertimbangkan. Sumber-sumber ketidakpastian
adalah berupa pembacaan berulang (repeatability) dari amperemeter standar, koreksi yang
diperoleh dari sertifikat kalibrasi amperemeter standar, resolusi pembacaan amperemeter
standar dan penyimpangan nilai (drift) yang diperoleh dari spesifikasi teknis amperemeter
standar[4]. Sumber ketidakpastian yang paling dominan adalah berasal dari sertifikat kalibrasi
amperemeter standar dan spesifikasi amperemeter standar[5].
Sebagai upaya pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC standar
menggunakan metode tidak langsung, peralatan standar yang diperlukan adalah voltmeter
standar pada rentang dibawah 1 V dan current shunt standar dengan nilai nominal rendah
dibawah 1 Ω. Berdasarkan hukum Ohm, arus DC yang dibangkitkan oleh MFC dan mengalir
V
I= ............................................................................................................ 2
R
dimana:
I adalah arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, A
V adalah tegangan DC yang dibaca oleh voltmeter, V
R adalah resistansi DC dari current shunt, Ω
Nilai arus DC yang dibangkitkan oleh MFC dibatasi oleh pemenuhan level tegangan
(voltage compliance limit) yang diizinkan sebesar 10 V pada level arus 100 µA – 1 A[1]. Hal
tersebut menunjukkan bahwa resistor yang dipasang menyusur pada terminal keluaran MFC
harus bernilai lebih kecil dari 10 Ω. Namun demikian, pemasangan resistor tersebut dapat
menjadi beban bagi MFC dan menimbulkan jatuh tegangan yang akan dikompensasi oleh
MFC sehingga ketidakstabilan sumber arus DC secara sistematik dapat terjadi. Berdasarkan
spesifikasi teknis dari MFC, ketidakpastian akibat adanya jatuh tegangan ini dapat diabaikan
jika level tegangan yang dihasilkan kurang dari 0,5 V[1].
Resistor yang dipasang harus memiliki faktor disipasi daya yang lebih tinggi
dibanding resistor biasa dan memiliki bentuk yang efisien dalam membuang panas. Lebih
daripada itu, nilai resistansinya harus jauh lebih kecil dibandingkan impedansi masukan (input
impedance) dari voltmeter guna mengurangi kesalahan pengukuran dikarenakan aliran arus
3. METODE KALIBRASI
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian 2, pengembangan ketertelusuran mandiri
sumber arus DC standar menggunakan metode tidak langsung. Bagan skematis dari metode
ini ditunjukkan pada Gambar 2.
Berdasarkan bagan skematis pada Gambar 2, MFC merupakan alat yang dikalibrasi (Unit
Under Calibration/UUC) sedangkan voltmeter dan current shunt merupakan alat yang
mengkalibrasi (standar/STD). Terminal keluaran MFC dihubungkan dengan terminal arus
current shunt dan terminal tegangan current shunt dihubungkan dengan terminal masukan
voltmeter.
dimana:
I adalah nilai aktual arus DC yang dibangkitkan MFC, A
V adalah nilai rata-rata pembacaan tegangan DC oleh voltmeter, V
CVc adalah koreksi yang diperoleh dari sertifikat kalibrasi voltmeter, V/V
CVr adalah koreksi akibat keterbatasan resolusi voltmeter, V/V
CVd adalah koreksi akibat drift voltmeter, V/V
Rsh adalah nilai resistansi DC hasil kalibrasi current shunt, Ω
CRd adalah koreksi akibat drift current shunt, Ω/Ω
CRt adalah koreksi dari koefisien suhu current shunt, Ω/Ω
CRp adalah koreksi dari disipasi daya current shunt, Ω/Ω
Pada saat pengukuran, kondisi lingkungan diatur pada rentang suhu 23±3°C dan pada
rentang kelembaban 65±10%[12]. Pengambilan data dilakukan sebanyak lima kali dalam
interval satu menit agar arus yang mengalir mencapai kestabilan. Besaran yang diukur adalah
tegangan DC dan nilai yang dievaluasi adalah nilai aktual arus DC berikut ketidakpastian
pengukurannya.
Untuk evaluasi nilai aktual arus DC dengan memperhitungkan koreksi masing-masing
faktor yang berpengaruh dalam pengukuran, model matematis yang digunakan adalah
sebagaimana yang ditunjukkan pada persamaan 3. Evaluasi untuk komponen-komponen
dimana:
uc(I) adalah ketidakpastian gabungan pengukuran, A
c1, …, c8 adalah koefisien sensitivitas dari tiap sumber ketidakpastian
uV adalah ketidakpastian dari pembacaan berulang (repeatability)
voltmeter, V
uVc adalah ketidakpastian koreksi pembacaan yang diperoleh dari sertifikat
kalibrasi voltmeter, V/V
uVr adalah ketidakpastian akibat keterbatasan resolusi voltmeter, V/V
uVd adalah ketidakpastian akibat drift voltmeter, V/V
uRsh adalah ketidakpastian dari hasil kalibrasi current shunt, Ω
uRd adalah ketidakpastian akibat drift current shunt, Ω/Ω
uRt adalah ketidakpastian dari koefisien suhu current shunt, Ω/Ω
uRp adalah ketidakpastian dari disipasi daya current shunt, Ω/Ω
U exp ( I ) = k × u c ( I ) ………………............................................................… 5
dimana:
Uexp(I) adalah ketidakpastian terentang pengukuran, A
k adalah faktor cakupan
uc(I) adalah ketidakpastian gabungan pengukuran, A
dimana:
E n (x) adalah En number
ix adalah nilai aktual arus DC menggunakan metode tidak langsung, A
Is adalah nilai aktual arus DC menggunakan metode langsung, A[5]
Ux adalah ketidakpastian pengukuran menggunakan metode tidak langsung, A
Us adalah ketidakpastian pengukuran menggunakan metode langsung, A[5]
Pada evaluasi nilai aktual arus DC, nilai tegangan DC diperoleh dari tabel 1 sedangkan nilai
resistansi DC diperoleh dari hasil kalibrasi current shunt secara mandiri. Dalam evaluasi ini
hanya digunakan koreksi dari sertifikat kalibrasi voltmeter, sedangkan koreksi lainnya
diabaikan dan bernilai nol. Koreksi lainnya hanya akan diperhitungkan dalam evaluasi
ketidakpastian pengukuran. Nilai rata-rata pembacaan voltmeter standar diperoleh yaitu
sebesar 10,000 80 mV dengan koreksi pembacaannya yaitu sebesar 1,3 µV/V. Nilai aktual
dari resistansi DC current shunt standar adalah sebesar 10,000 775 mΩ.
Evaluasi ketidakpastian pengukuran dilakukan terhadap tiap komponen ketidakpastian
berdasarkan persamaan 4. Komponen ketidakpastian pembacaan berulang (repeatability)
Standard Deviation of the Mean (ESDM). Ketidakpastian standar adalah sebesar 2,3 × 10-8 V
yang diasumsikan terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan sebesar 4. Dengan
koefisien sensitifitas (c1) sebesar 100 Ω-1, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 2,3 ×
10-6 A.
Komponen ketidakpastian koreksi pembacaan voltmeter (uVc) dievaluasi dengan
metode tipe B dimana nilainya diperoleh berdasarkan informasi dari sertifikat kalibrasi
voltmeter. Ketidakpastian standar adalah sebesar 4,0 × 10-5 V/V yang diasumsikan
terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan tak hingga. Dengan koefisien sensitifitas
(c2) sebesar 1 V/Ω, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 4,0 × 10-5 A.
Komponen ketidakpastian resolusi voltmeter (uVr) dievaluasi dengan metode tipe B
dimana nilainya diperoleh dari perubahan digit terkecil pada skala pembacaan voltmeter.
Ketidakpastian standar adalah sebesar 2,9 × 10-6 V/V yang diasumsikan terdistribusi secara
segi empat dengan derajat kebebasan tak hingga. Dengan koefisien sensitifitas (c3) sebesar 1
V/Ω, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 2,9 × 10-6 A.
Komponen ketidakpastian drift voltmeter (uVd) dievaluasi dengan metode tipe B
dimana nilainya diperoleh dari spesifikasi teknis voltmeter. Ketidakpastian standar adalah
sebesar 6,4 × 10-6 V/V yang disumsikan terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan
tak hingga.. Dengan koefisien sensitifitas (c4) sebesar 1 V/Ω, memberikan kontribusi
ketidakpastian sebesar 6,4 × 10-6 A.
Komponen ketidakpastian hasil kalibrasi current shunt (uRsh) dievaluasi dengan metode
tipe B dimana nilainya diperoleh dari ketidakpastian pengukuran pada kalibrasi current shunt
secara mandiri yang diasumsikan terdistribusi secara normal. Komponen ketidakpastian
koefisien suhu current shunt (uRt) dievaluasi dengan metode tipe B dimana nilainya diperoleh
dari koefisien suhu yang terdapat pada spesifikasi teknis current shunt yang diasumsikan
terdistribusi secara segi empat. Komponen ketidakpastian drift dan disipasi daya current shunt
(uRd dan uRp) dievaluasi dengan metode tipe B dimana nilainya diperoleh dari akurasi yang
terdapat pada spesifikasi teknis current shunt yang diasumsikan terdistribusi secara normal.
Masing-masing ketidakpastian standarnya secara berturut-turut adalah 9,2 × 10-9 Ω, 1,5 × 10-5
Ω/Ω, dan 5,0 × 10-5 Ω/Ω. Dengan koefisien sensitifitas (c5, c6, c7) masing-masing secara
berturut-turut yaitu sebesar -100 V/Ω2, -1 V/Ω, dan -1 V/Ω, memberikan kontribusi
ketidakpastian secara berturut-turut adalah sebesar -9,2 × 10-7 A, -1,5 × 10-5 A, dan -5,0 × 10-5
Dari Tabel 2 diketahui nilai aktual arus DC adalah sebesar 1,000 00 A dengan
ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A atau 0,13 mA/A pada tingkat kepercayaan
95% dan faktor cakupan k = 2. Kontribusi tiap sumber ketidakpastian pengukuran yang
terdapat pada Tabel 2 dijabarkan secara lebih rinci pada Gambar 3.
Dari grafik pada Gambar 3 diketahui bahwa sumber ketidakpastian yang memiliki kontribusi
dominan adalah drift dan disipasi daya current shunt yaitu sebesar 43% serta sertifikat
kalibrasi voltmeter yaitu sebesar 34%.
Pada kalibrasi menggunakan metode langsung ketidakpastian pengukuran yang
diperoleh adalah sebesar 0,000 19 A atau 0,19 mA/A. Berdasarkan hal tersebut diketahui
bahwa pengukuran arus DC dengan metode tidak langsung lebih baik dibanding dengan
metode langsung karena ketidakpastian yang diperoleh lebih kecil. Walau belum memberikan
kontribusi untuk memperkecil ketidakpastian secara signifikan, namun dari perhitungan
sesuai persamaan 6, nilai En number untuk pengukuran arus DC dengan metode tidak
langsung dibandingkan dengan metode langsung diperoleh sebesar -0,20. Hal ini
membuktikan bahwa pengukuran yang dilakukan adalah valid karena berada dalam rentang -1
< En(x) < 1. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan agar ketertelusuran mandiri untuk sumber
arus DC standar dapat diperoleh secara utuh, dengan cara mengalibrasi voltmeter standar
secara mandiri.
5. KESIMPULAN
Pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC di Puslit Metrologi – LIPI
telah berhasil dilakukan. Dengan menggunakan metode tidak langsung, nilai aktual arus DC
MFC didapatkan sebesar 1,000 00 A dengan ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A
pada tingkat kepercayaan 95% dan faktor cakupan k = 2. Terdapat dua sumber ketidakpastian
yang memiliki kontribusi dominan, yaitu drift dan disipasi daya current shunt (43%) serta
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] _____. 2007. 5700A/5720A Series II Multi-Function Calibrator Service Manual. Fluke
Corporation. Everett.
[2] Sardjono, R. H., Syahadi, M. 2015. I.ME.3.05 : Calibration Procedures for Digital
DC Current Source Using Direct Method. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI.
[3] http://bsn.go.id/uploads/download/2.3_._Laporan_Kinerja_PALLI_2016_1.pdf
diakses per tanggal 9 Juni 2017
[4] _____. 2002. 8508A Reference Multimeter Users Manual. Fluke Corporation. Everett.
[5] Yayienda, N. F. 2017. Sertifikat Kalibrasi Multifunction Calibrator Fluke 5720A SN
2190201. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI. Tangerang Selatan.
[6] Milikan, R. A., Bishop, E. S. 1917. Elements of Electricity. 54. American Technical
Society. Chicago.
[7] _____. 2010. Model 9211A Multi-Tap, 300A Precision DC Current shunt. Guildline
Instruments Limited.
[8] Azzumar, M., Syahadi, M., Faisal, A. 2014. Karakterisasi Nilai Tahanan Current
shunt Terhadap Arus Masukan. PPI-KIM 2014. 427-447. Pusat Penelitian Metrologi –
LIPI. Tangerang Selatan.
[9] Faisal, A., Azzumar, M., Khairiyati, L. 2016. Pemeliharaan Sebuah Grup Resistor
Standar Untuk Menentukan Laju Pergeseran Nilai Resistor Standar Acuan
Menggunakan DCCB. Jurnal Instrumentasi. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI.
Tangerang Selatan.
[10] Khairiyati, L. 2014. Peningkatan Kemampuan Metrologi LIPI Dalam Menentukan
Koefisien Suhu Resistor Standar 1 Ω Dengan DCCB. PPI-KIM 2014. Pusat Penelitian
Metrologi – LIPI. Tangerang Selatan.
HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hadi Sardjono
Pertanyaan :
Sudah dilakukankah pembandingan hasil yang diperoleh dengan hasil yang sudah ada?
Jawaban :
Sudah dibandingkan dengan metode langsung. Hasil dengan metode tidak langsung pada
makalah ini lebih baik.
INTISARI
Pada penelitian ini telah dilakukan proses pengujian jaringan WiFi dibeberapa titik di kantor Puslit
Metrologi. Dimana Puslit Metrologi memiliki beberapa hotspot jaringan yang terpasang dengan
menggunakan wireless router.Hal yang terlampir diatas tentunya sangat tidak efesien dalam
penggunaan dana. Seharusnya dalam gedung ini memiliki satu titik pusat sebagai router dan server-
nya agar lebih terpusat dan lebih efisien lagi dalam banyak hal. Setelah dilakukan pengamatan dan
pengujian didapatkan quality of Service jaringan yang ada yaitu pengumpulan data dibeberapa titik
yang ditentukan dan didukung proses capture dilakukan untuk mengetahui batas dari kekuatan sinyal
WiFi dan penggunaan hardware penguat sinyal juga digunakan untuk mengetahui batas jarak akses
terjauh maksimum. Dan disimpulkan kalau dalam satu Puslit Metrologi tidak dapat digunakan hanya
dengan satu hotspot WL-.BI sehingga solusinya adalah dibuat peta jaringan satu kawasan puslit
metrologi.
ABSTRACT
This study has been conducted testing processes in some point of a WiFi network in the office of
Metrology Research Center. Where Metrology Research Center has several hotspots installed network
using a wireless router. It is attached above of course is not very efficient in the use of funds. It should
in this building has a central point as its routers and servers to be more centralized and more efficient
in many ways. After observation and testing obtained quality-of-service networks that exist in some
point of data collection are defined and supported by the capture process is performed to determine
the limits of the WiFi signal strength and signal amplifiers hardware usage are also used to determine
the maximum distance limit access furthest. And concluded that in one Puslit Metrologi can not be
used with just one hotspot WL-.BI so the solution is made a network map a region of centre for
metrology.
Puslit Metrologi LIPI memiliki beberapa bagian dan ruangan. Dan masing-masing
ruangan ataupun bagian dapat melakukan pengaksesan internet secara langsung dengan sinyal
WiFi yang disebar oleh router dan access point. Sangat bagus tentunya apabila akses WiFi
terdapat di berbagai tempat dalam gedung itu sendiri. Namun pada kenyataannya satu kantor
yang terdiri dari beberapa gedung ini memiliki router yang sangat banyak. Setiap ruangannya
memiliki setidaknya satu router didalam bagian atau ruangan di gedung tersebut [1][2].
Hal yang terlampir diatas tentunya sangat tidak efesien dalam penggunaan dana.
Seharusnya dalam gedung ini memiliki satu titik pusat sebagai router dan server-nya agar
lebih terpusat dan lebih efisien lagi dalam penggunaan dana. Solusi dari permasalahan diatas
yaitu dilakukan suatu pemusatan pada suatu titik router ataupun WiFi. WLBI sebagai router
yang dipilih sebagai sarana WiFi yang dilakukan analisa terhadapnya untuk mengukur
seberapa besar kekuatan pancarannya. Penganalisaan jaringan WiFi WLBI ini dilakukan pada
beberapa titik di lingkungan gedung. Penganalisaan jaringan WiFi WLBI juga dilakukan
dengan dua tahapan yaitu tahapan menggunakan penguat sinyal dan tahapan tidak
menggunakan penguat sinyal yang tujuannya mengetahui minimun dan maksimum suatu
sinyal yang dipancarkan oleh WiFi WLBI tersebut. Outputnya adalah merekomendasikan
suatu titik yang mana harus diberikan access point agar dapat memancarkan sinyal dari WiFi
WLBI yang sudah diperkuat, sehingga menggapai beberapa titik yang sebelumnya tidak
menerima atau mendapatkan sinyal dari WiFi WLBI [3].
2. DASAR TEORI
Wireless Network merupakan peralatan end-user untuk mengakses jaringan dengan
menggunakan transmisi radio pendek atau sedang. [4]
• Wireless WAN : GSM (sampai 20 Kbps).
• Wireless LAN/MAN : WaveLAN (2-11 Mbps, sampai 150 m).
• Wireless PAN (Personal Area Network) : bluetooth (sampai 2 Mbps, jarak <
10m).
Multicast
Multicast adalah metode transmisi data secara connectionless, yang berarti client
menerima aliran data tapi tidak terhubung secara langsung ke server. Tidak ada informasi
kontrol dan feedback yang dikirim ke server. Metode ini menghemat bandwidth jaringan
karena hanya satu aliran data yang dibangkitkan oleh server, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 1.
Unicast
Unicast adalah cara untuk pengiriman paket informasi pada suatu tujuan tunggal.
Unicast biasa digunakan pada jasa streaming contect provider. Server unicast menyediakan
aliran data pada pengguna tunggal pada saat yang sama. Keuntungannya adalah adanya
hubungan dua arah dengan server, sehingga memungkinkan mengirim informasi kontrol dan
feedback ke server yang dapat digunakan untuk error correction dan adaptasi terhadap
kondisi jaringan. Sedangkan kerugian dari unicast ini adalah, jika unicast streaming
melayani client yang sangat banyak, akan mempengaruhi bandwidth yang digunakan, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Unicast
Desain Jaringan
Desain jaringan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi performa jaringan.
Dengan desain jaringan yang best practice, performa jaringan meningkat dari segi reliability,
security, scalability, dan manageability [4-5].
1. Reliability merujuk kepada seberapa sering jaringan mengalami gangguan dan
kemampuannya dalam menghadapai gangguan. Reliability di capai dengan
1. Core Layer
Layer ini berfungsi sebagai backbone dari jaringan penghubung antar perangkat
jaringan di layer distribution, serta penghubung ke WAN. Karakteristik layer ini
adalah memiliki bandwidth yang besar serta perangkat jaringan dengan kemampuan
packet forwarding yang tinggi karena layer ini merupakan aggregate atau kumpulan
koneksi layer di bawahnya.
2. Distribution Layer
Layer ini berfungsi sebagai penghubung antar perangkat jaringan pada access
layer dan security untuk packet-filtering. Karakteristik layer ini adalah high speed
forwarding dan routing capacity serta ACL.
3. Access Layer
Layer ini berfungsi sebagai penghubung perangkat end device pada jaringan dan
security untuk end device filtering. Karakteristik layer ini adalah port security dan
PoE untuk beberapa end device.
Uji kelayakan yang dilakukan tersebut diatas adalah untuk menentukan besarnya
QoS dari router WL BI dan penentuan lokasi terbaik sebagai jawaban untuk perbaikan
jangkauan dan determinasi cakupan sinyal satu Puslit Metrologi.
0m NO PACKET DATA
Data pada tabel 1 diatas lorong kiri lapangan tidak dapat ditemukan samplenya pada
saat melakukan analisa di lokasi 0meter. Dikarenakan posisinya berada di sudut ruangan yang
tepatnya dibawah tangga dan sinyal WLBI tidak dapat memancarkan silnyalnya dengan baik
hingga ke jarak 0 m tersebut karena terhalang oleh tembok ataupun terlalu banyak pantulan
sinyalnya sehingga tidak terbaca.
Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ditangkap oleh penguat TP-Link yang
pengumpulannya berada di sudut diagonal lorong. Sedangkan kekuatan sinyal yang
diterimanya yaitu 42%.
0m NO PACKET DATA
Pada tabel 2 tersebut diatas merupakan sampel data yang didapat dengan penguat
sinyal. Namun sinyal hilang ketika jarak meter ke-0 dengan kasus yang sama seperti yang
sebelumnya ketika tanpa menggunakan penguat sinyal.
Data pada jarak ke-0 tidak dapat di capture karena kondisi yang dekat sekali dengan
lapangan luas yang hembusan angin disekitarnya dapat merusak sinyal yang ada. Dan terlihat
pada poin ke 4 dan ke 5 sampel tidak didapat karna efek dari hembusan angin yang kencang.
3) Data Lorong Depan Lapangan
a) Hotspot Tanpa Penguat Sinyal
Pada tabel 5 dibawah ini adalah data lorong depan lapangan tanpa penguat yang
didapatkan dari hotspot BI.
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
1,4
1,2
1 Delay (Second)
0,8 Throughput (kbps)
0,6 Packet Loss (%)
0,4 Jitter (Second)
0,2
0
1 2 3 4 5
Setelah diamati perbedaan kedua gambar sebelumnya menjelaskan bahwa dengan penguat
sinyal lebih renta terhadap pengaruh angin. Ketika penguat sinyal di point ke 4 dan 5 kehilangan
sinyalnya saat angin berhembus kencang dimana kekuatan sinya hanya 20% kebawah. Seperti yang
ditnjukkan pada gambar 7 untuk tengah lorong kanan lapangan tanpa penguat sinyal, gambar 8 untuk
tengah lorong kanan lapangan dengan penguat sinyal, seperti yang ditunjukkan dibawah ini:
1,80000000
1,60000000
1,40000000
1,20000000 Delay (Second)
1,00000000 Throughput (kbps)
0,80000000 Packet Loss (%)
0,60000000 Jitter (Second)
0,40000000
0,20000000
0,00000000
1 2 3 4 5
1,20000000
1,00000000
0,80000000 Delay (second)
Throughput (kbps)
0,60000000
Packet Loss (%)
0,40000000 Jitter (Second)
0,20000000
0,00000000
1 2 3 4 5
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
4,50000000
4,00000000
3,50000000
3,00000000 Delay (Second)
2,50000000 Throughput (kbps)
2,00000000 Packet Loss (%)
1,50000000 Jitter (Second)
1,00000000
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
5,00000000
4,00000000
Delay (Second)
3,00000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
Sedangkan untuk grafik pada sudut lorong kiri tanpa penguat ditunjukkan pada
gambar 13, dan grafik sudut lorong kiri dengan penguat ditnjukkan pada gambar 14 dibawah
ini:
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
3,00000000
2,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
Terlihat sekali pada 4 gambar grafik yang sebelumnya tentang troughput yang
diberikan oleh penguat sinyal TP-Link dimana troughput pada penguat sinyal lebih besar dari
pada yang tidak menggunakan penguat sinyal.
3) Lorong Depan Lapangan
Untuk grafik hasil pengukuran pada meter ke 0 di depan lapangan tanpa penguat
ditunjukkan pada gambar 15, sedangkan grafik hasil pengukuran pada meter ke 0
depan lapangan dengan penguat ditunjukkan pada gambar 16 dibawah ini:
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
3,00000000
2,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
1,00000000 Packet Loss (%)
Jitter (Second)
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
3,00000000
2,50000000
2,00000000 Delay (Second)
Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
Grafik hasil pengukuran pada meter ke 100 didepan lapangan tanpa penguat
ditunjukkan pada gambar 19, sedangkan grafik hasil pengukuran pada meter ke 100 didepan
lapangan dengan penguat ditunjukkan pada gambar 20 dibawah ini:
3,00000000
2,50000000
2,00000000 Delay (Second)
Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5
2,50000000
2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
0,00000000
1 2 3 4 5
4) Kiri Kantin
Pada meter ke-0 hingga meter ke-120 tidak memiliki data yang dapat dibandingkan,
karna tidak ada sama sekali sinyal hotspot WLBI yang di tangkap di setiap titik pengujian.
Maka tidak ada data yang dapat dibandingkan dalam area kiri kantin ini.
5) Belakang Kantin
Pada meter ke-0 hingga meter ke-40 sinyal dari hotspot WLBI tidak ditemukan,
namun pada meter ke-60 dan meter ke-80 sinyal dapat ditemukan dengan kekuatan sinyal
yang sangat buruk didapat meski sudah menggunakan penguat sinyal. Tidak ada data yang
dapat dibandingkan karena proses capture tidak dapat dilakukan.
Penentuan hotspot BI sebagai satu-satunya router yang digunakan untuk satu Puslit
Metrologi tidaklah memungkinkan. Hal ini dikarenakan jangkauan cakupan yang terlalu luas,
sehingga tidak mungkin. Ditambah dengan adanya obstacle yang terlalu besar, baik karena
ruangan maupun dikarenakan tebalnya tembok masing-masing gedung yang jelas-jelas
berpengaruh terhadap besarnya QoS. Sebagai solusi dari permasalahan ini, perlu dibuat peta
jaringan yang didasarkan terhadap hasil pengukuran QoS dengan jangkauan maksimum satu
lokasi Puslit Metrologi dan hasil penentuan lokasi yang tepat untuk menempatkan router
sehingga kualitas sinyal terbaik dapat dijangkau oleh perangkat dengan cakupan satu Puslit
Metrologi LIPI.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dengan adanya pengumpulan data dibeberapa titik yang sudah ditentukan dan didukung
dengan proses capture dapat memungkinkan kita mengetahui batas dari kekuatan suatu
jaringan WiFi
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Insani, Asep & Rosyidin, Khoirur, “Analisis Kinerja Load Balancing Sebagai Metode
Pengukuran Quality of Service pada Layanan Jaringan 3G” Prosiding AMTeq LIPI,
2013.
[2] Insani, Asep; Kamilah, Nurul; Yuwono, Puji Raharjo, “Implementation And
Performance Analysis of Captive Portal As Computer Network Security System On
Mikrotik Router OS”, International Proceeding of Aerospace Science and Technology
17th 40, 289 - 300, 2013.
[3] Insani, Asep; Kamilah, Nurul; Rosyidin, Khoirur, “The Implementation of Kerio
Winroute Firewall As Proxy Using Two ISP Lines”, International Proceeding of
Aerospace Science and Technology 17th 41, 301-306, 2013.
[4] Insani, Asep; Harimawan, Achmad, “Studi Awal Teknologi WIFI Untuk
Diimplementasikan Pada Pembuatan Prototipe Sistem Remote Terminal Unit Multi
Sensor Dengan Energi Mandiri”, Buletin Pos dan Telekomunikasi 10 (3), 225-240,
2012.
[5] Sofana, Iwan, Cisco CCNA & Jaringan Komputer, Informatika Bandung, 2010.
[6] Stallings, William, Cryptography and Network Security: Principles and Practice, New
Jersey: Pearson Education,__, 2003.
Jawaban:
1. Standar dari QoS ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pada ruangan terbuka tanpa
penghalang dan diukur jaraknya sesuai dengan perubahan besarnya ukuran QoS saat
upload maupun download. Lalu dibandingkan dengan hasil pengukur QoS di lokasi router
masing-masing ruangan, dan bisa ditentukan seberapa besar pengaruh obstacle di tiap-tiap
lokasi.
2. Bisa, yaitu dengan melihat peta lokasi jaringan yang sudah ada. Lalu dari hasil pengukuran
beberapa lokasi dari titik yang tepat dibuatlah peta lokasi baru dengan tetap mengacu pada
peta lokasi yang sudah ada, ditambah dengan hasil pengukuran yang baru.