Anda di halaman 1dari 355

ISSN 0852 – 002 X

PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43

2017

PUSAT PENELITIAN METROLOGI


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
ISSN 0852 – 002 X

PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43

2017

PUSAT PENELITIAN METROLOGI


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

ii
PUBLIKASI ILMIAH
PERTEMUAN DAN PRESENTASI ILMIAH
KALIBRASI, INSTRUMENTASI DAN METROLOGI
PPI KIM KE-43

DEWAN EDITOR

Prof. Dr. Husein Avicenna Akil, M.Sc. (P2 Metrologi - LIPI)


Prof. Ir. Jimmy Pusaka, M.Sc. (P2 Metrologi - LIPI)
Dr. Bambang Widiyatmoko, M.Eng. (P2 Fisika - LIPI)
Dr. Ir. Sensus Wijonarko, M.Sc. (P2 Metrologi - LIPI)
Dr. Ir. Dini Andiani, M.App.Sc. (P2SMTP - LIPI)
Dr. Ghufron Zaid, M.Sc. (P2 Metrologi - LIPI)
Ir. Marga Alisjahbana, Ph.D. (Elektro - ITI)
Dr.Eng. Wisnu Jatmiko (Fasilkom - UI)
Dr. Susilo Widodo (PSTA - BATAN)

PUSAT PENELITIAN METROLOGI


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
TAHUN 2017

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselenggaranya kegiatan ilmiah
tahunan Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (PPI KIM)
ke-43 pada tanggal 18 ~ 19 Juli 2017 bertempat di Puslit Metrologi – LIPI Tangerang Selatan
dengan mengusung tema Diseminasi Ilmu dan Teknologi Pengukuran untuk Peningkatan
Mutu Pangan dan Energi.

Pada kegiatan PPI KIM ke-43 ini, telah dilakukan penerimaan makalah sebanyak 34
makalah, yang berasal dari berbagai instansi penelitian dan perguruan tinggi. Setelah dilakukan
penyaringan oleh Dewan Editor, makalah yang lolos seleksi untuk dipresentasikan dan
diterbitkan pada Publikasi Ilmiah PPI KIM ke-43 sebanyak 28 makalah. Dari ke-28 makalah
terseleksi tersebut, telah dilakukan penyusunan dan penerbitan Publikasi Ilmiah PPI KIM.
Publikasi Ilmiah PPI KIM ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Panitia
Pelaksana PPI KIM ke-43 kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam kegiatan ini.
Panitia PPI KIM ke-43 menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam mensukseskan penyelenggaraan kegiatan PPI
KIM ke-43 dan penerbitan Publikasi Ilmiah PPI KIM. Semoga Publikasi Ilmiah ini bermanfaat
sebagai sumber informasi dan wadah komunikasi berbagai pihak dan secara luas memberi
dampak bagi kemajuan ilmu dan teknologi pengukuran untuk peningkatan mutu pangan dan
energi.

Tangerang Selatan, 22 Oktober 2017


PANITIA PENYELENGGARA PPI KIM ke-43
Ketua,

Dr. Tatik Maftukhah, MT

iv
SUSUNAN PANITIA

Pengarah : Kepala Puslit Metrologi LIPI

Ketua : Dr. Tatik Maftukhah, M.T.

Bendahara : Lina Marlinah, S.E.

Sekretariat : Hayati Amalia, S.T

Bidang Acara : Arfan Sindhu Tistomo, M.Sc.


Rima Zuriah Amdani, S.T.

Bidang Akomodasi : Sugeng Hariyadi, A.Md

Bidang Publikasi : Miftahul Munir, S.T.

Bidang Konsumsi : Lina Marlinah, S.E.

Bidang Pameran : Hafid, M.T.

Bidang Materi : Ardi Rahman, S.T.


Helmi Zaini, M.Sc.
Beni Adi Trisna, M.Eng.

Bidang Dokumentasi : Andi Harmawan, A.Md.

v
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul …...….…….……..…….……………………………………….. Ii

Dewan Editor ……………………………………………………………………. iii

Kata Pengantar …..………………..…………………………………………….. iv

Susunan Panitia ....…….….……………………………..................................... v

Daftar Isi …………………….………...……………........................................... vi

1. Pengukuran Kinerja Kipas Pendingin Radiator dengan Metoda Free Inlet


Ducting Outlet
Oleh : Subagyo dan Basir …………….……………………………………. 1

2. Stasiun Cuaca Otomatis Menggunakan Sistem Komunikasi Wireless


Berbasis Mikrokontroler
Oleh : Susanto, Suryadi, Elvan Yuniarti, Prabowo Puranto, dan Bambang
Widiyatmoko ……………………………………………………………… 9

3. Persamaan Sensor Pipa Tercelup untuk Pengukuran Tinggi Muka Air


Danau
Studi kasus: Pengukuran Tinggi Muka Air Kolong Parit Tiga
Oleh : Dadang Rustandi dan Achmad Harimawan ………………………… 23

4. Rancang Bangun Alat Ukur Torsi dan Kecepatan Motor DC dengan


Prinsip Non-Kontak Berdasarkan Deteksi Medan Magnet
Oleh : Nibraz Khalda dan Annas Hawa …………………………………… 33

5. Penentuan Daerah Ukur Terbaik 5.000 ml sebagai Standar Volume dalam


Sistem Pengujian Sensor Curah Hujan
Oleh : Dadang Rustandi, Jalu A. Prakosa, Sensus Wijonarko, Bernardus H.
Sirenden, Tatik Maftukhah ………………………………………...……… 60

6. Pengukuran Koefisien Refleksi pada Sinyal Frekuensi Radio


Oleh : Windi Kurnia Perangin-Angin dan Swivano Agmal ……….……… 70

7. Rancang Bangun Penanganan Otomatis untuk Massa Tambahan pada


Pressure Balance Hidraulik
Oleh : Gigin Ginanjar, Adindra V Ega, R Rudi Anggoro S, dan Sugeng
Hariyadi …………………………………………………………….……… 83

8. Stabilitas Cahaya pada Sistem Kalibrasi Iluminansi Meter Komersial


Menggunakan Tegangan AC
Oleh : Yonan Prihhapso dan Dini Suryani ………………………...……… 93

vi
9. Studi Pengujian Kontainer Bahan Acuan Gas (Berbentuk Silinder): Kasus
Gas CO2 dalam Matriks N2
Oleh : M. Rizky Mulyana, Oman Zuas, dan Harry Budiman ……………… 104

10. Pengaruh Corong Tambahan terhadap Hasil Pengujian Volume Cawan


Berjungkit Ukuran 17,7 ml pada Sistem Pengukur Mawar Hujan
Oleh : Jalu A. Prakosa, Sensus Wijonarko, Tatik Maftuhah, Dadang
Rustandi, dan Bernardus H. Sirenden ……………………………………… 115

11. Penentuan Parameter Hasil Kalibrasi Dead Weight Tester (DWT)


Berdasarkan Analisa Curve Fitting
Oleh : Adindra Vickar Ega dan R.Rudi Anggoro Samodro …………..…… 126

12. Metode Penentuan Kecepatan Stall pada Drone Menggunakan Hasil


Rekaman Data Uji Terbang
Oleh : Jemie Muliadi ……………………………………………….……… 139

13. Analisis Kalibrasi Load Cell Tarik Tipe Pancake dengan Metode Kalibrasi
Tekan
Oleh : Dinar Nurcahyono ……………………………………………..…… 154

14. Penggunaan Aplikasi Auto Capture Controller dalam Rancang Bangun


Sistem Otomasi Kalibrasi Stopwatch
Oleh : Swivano Agmal, Asep Happidin, A. M. Boynawan, dan
Ratnaningsih …………………………………………………..…………… 167

15. Perbandingan Hasil Pengujian Sound Transmission Loss antara


Menggunakan Sumber Suara White Noise dan Pink Noise
Oleh : Maharani Ratna Palupi, Bondan Dwisetyo, Chery Chaen Putri, dan
Ninuk Ragil Prasasti…………………………………………………..……. 184

16. Penerapan Klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008 pada Laboratorium


Kalibrasi dan Laboratorium Pengujian
Oleh : Muhammad Haekal Habibie dan Jimmy Pusaka …………..……… 195

17. Metode Kalibrasi Mesin Standar Gaya Tipe Build Up 5 MN Menggunakan


Load Cell sebagai Trasnfer Standar Mengacu pada ISO 376
Oleh : Hafid dan Dinar Nurcahyono ………………………….…………… 207

18. Sistem Kalibrasi Laser Distance Measuring Instrument (LDMI) di Puslit


Metrologi-LIPI
Oleh : Asep Ridwan Nugraha, Ardi Rahman, dan Yonan Prihhapso ……… 217

19. Studi Pengukuran Cek Antara Gauge Block dengan Pengukuran


Berkebalikan
Oleh : Eka Pratiwi, Rima Zuriah Amdani, dan Ocka Hedrony ………… 231

vii
20. Unjuk Kerja Time Transfer System - 3 (TTS-3) Puslit Metrologi – LIPI
untuk Menjamin Ketertelusuran Standar Waktu di Indonesia
Oleh : Ratnaningsih, A.M. Boynawan, dan Yulita Ika Pawestri ………… 244

21. Investigasi dan Pemulihan Pergeseran Nilai Tahanan pada Standard


Platinum Resistance Thermometer (SPRT) dalam Proses Pra-Kalibrasi
Oleh : Melati Azizka Fajria dan Beni Adi Trisna ………………………….. 252

22. Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis


Oleh : Nibras Fitrah Yayienda, Lukluk Khairiyati, dan Muhammad
Azzumar …………………………………………….…………….……….. 262

23. Monitoring Drift Kapasitansi Standar


Oleh : Lukluk Khairiyati dan Muhammad Azzumar………..……………… 271

24. Evaluasi Drift Solid State Standar Tegangan DC Berdasarkan Riwayat


Kalibrasi terhadap Joshepson Voltage Standard
Oleh : Nibras Fitrah Yayienda dan Mohamad Syahadi…………………… 280

25. Perancangan Prototipe Sistem Mass Handler Mesin Standar Torsi


Deadweight 2kN∙m
Oleh : Dinar Nurcahyono, Sugeng Hariyadi, dan Bernadus Hadi S ……… 290

26. Penentuan Nilai Aktual Level Tegangan AC pada Sumber Tegangan AC


Berdasarkan Karakteristik terhadap Frekuensi
Oleh : Hayati Amalia dan Mohamad Syahadi ……………………..……… 302

27. Pengembangan Ketertelusuran Mandiri Sumber Arus DC Standar dengan


Menggunakan Metode Tidak Langsung
Oleh : Miftahul Munir dan Agah Faisal …………………………………… 315

28. Determinasi Jangkauan Cakupan Router untuk Menentukan Kualitas


Sinyal
Oleh : Asep Insani ……………………………………………………….. 328

viii
PENGUKURAN KINERJA KIPAS PENDINGIN RADIATOR
DENGAN METODA FREE INLET DUCTING OUTLET
Subagyo, Basir
Balai Besar Teknologi Aerodinamika Aeroelastika dan Aeroakustika (BBTA3) –BPPT
Kawasan PUSPIPTEK, Tangerang Selatan, Indonesia
subagyo@bppt.go.id

INTISARI
Mesin kendaraan pada saat dioperasikan menghasilkan panas yang harus dibuang ke lingkungan
dengan cepat. Hal ini dilakukan agar kinerja mesin dapat dipertahankan terkait dengan
temperatur kerja mesin. Kipas pendingin dirancang dan diperkirakan kinerjanya dengan simulasi
perlu diverifikasi dengan metoda eksperimen. Dalam tulisan ini dipaparkan metoda pengukuran
yang digunakan dan hasil pengukuran kinerja kipas pada Rotation Per Minute (RPM) 1000 dan
1500. Perbandingan hasil perkiraaan dan pengukuran menunjukkan nilai yang berdekatan dengan
kapasitas alir 0.48 m3/s pada RPM 1000 dan 0.75 m3/s pada RPM 1500.

Kata Kunci: Kipas pendingin, mesin kendaraan, metoda eksperimen, Rotation Per
Minute, kapasitas alir

ABSTRACT
Vehicle engine when operated generates heat that must be removed to the environment quickly.
This is done so that the engine performance can be maintained relating to the working
temperature of the engine. The cooling fan was designed and estimated performance by the
simulation needs to be verified with the experimental method. In this paper described the
measurement methods used and the results of performance measurement at the fan Rotation per
Minute (RPM) 1000 and 1500. Comparison of estimates and measurements showed values of
flow capacity adjacent to 0.48 m3 / s at 1000 RPM and 0.75m3 / s at RPM 1500.

Keywords: Cooling fan, vehicle engine, experimental methods, Rotation Per Minute,
flow capacity

1. PENDAHULUAN
Mesin otomotif merupakan sistem penggerak kendaraan. Prinsip kerja[1] mesin
adalah siklus periodik dengan salah satu langkahnya adalah menyemprotkan uap bahan
bakar didalam ruang bakar kemudian dibakar oleh sistem pembakaran. Hasil pembakaran
berupa ekspansi kemudian diteruskan oleh piston dan memutar sumbu crank. Hasil
pembakaran di dalam mesin selain menghasilkan energi gerak juga menghasilkan panas

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 1


yang sangat tinggi sehingga diperlukan sistem pendingin yang memadai agar mesin
dapat berfungsi secara terus menerus.
Prinsip kerja sistem pendingin berupa aliran fluida yang bersuhu lebih rendah
melewati jaket pendingin[2] perhatikan Gambar 1, mesin melepaskan panas kepada fluida
kemudian mengalir menuju radiator yang berfungsi sebagai penukar kalor ke lingkungan.
Agar pertukaran panas dari fluida kepada lingkungan terjadi dengan baik dipasang kipas
pendingin radiator. Kipas pendingin dirancang sedemikian rupa agar mempunyai kinerja
dengan kapasitas aliran seoptimal mungkin biasanya dengan menggunakan perangkat
lunak CFD[3].

Gambar 1. Diagram sistem pendingin mesin


Selanjutnya untuk memperoleh kinerja kipas pendingin secara faktual diperlukan
pengukuran secara eksperimen. Pengukuran dilakukan dengan merujuk dan memenuhi
standard AMCA 210-07 [4]. Pengukuran dengan menggunakan fasilitas uji fan yang
dirancang dan dibuat oleh BBTA3 sejalan dengan standard AMCA 210-07. Pengukuran
kinerja kipas dilakukan pada RPM 1000 dan 1500. Peralatan throttle digunakan untuk
mensimulasikan aliran udara di downstream.

2. TEORI DASAR
Pengukuran kinerja fan pada dasarnya mengukur jumlah udara yang dapat
dipindahkan oleh kipas persatuan waktu. Hal tersebut dapat diukur dengan teknik
menghitung kecepatan udara V m/s melalui penampang ducting dengan luas A m2 bila
diketahui densitas udara ρ (kg/m3). Kecepatan V dapat dihitung dengan mengukur
tekanan total Ptot di bidang ukur. Apabila berdasarkan pengukuran di bidang ukur
tekanan total Ptot ( N/m2) maka kecepatan V[5] dapat dihitung dengan rumus;

2 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


2 Ptot
V ................................................................................................... 1

Dengan didapatkannya kecepatan alir V selanjutnya kinerja kipas yang
dinyatakan dengan kapasitas alir Q (m3/detik) dapat dihitung berdasarkan hubungan:

Q=AV ................................................................................................... 2
Berdasarkan prinsip tersebut pengukuran kinerja kipas distandardkan dengan
empat skema teknik pengukuran standard AMCA 210-07 yakni:
 Free inlet free outlet
 Free inlet ducting outlet
 Ducting inlet free outlet
 Ducting inlet ducting outlet
Dengan mempertimbangkaan biaya pembuatan dan kehandalan alat ukur skema
pengukuran fasilitas uji fan BBTA3 menggunakan skema Free inlet ducting outlet.
Skema yang digunakan memiliki aliran yang diseragamkan dibagian downstream fan
dengan straightener sehingga pada bidang pengukuran berupa besaran tekanan total,
tekanan statik, temperatur kering dan basah menjadi lebih akurat dibandingkan dengan
skema free inlet free outlet.

3. METODOLOGI
Metoda pengukuran kinerja kipas dengan fasilitas yang dimiliki oleh BBTA3-
BPPT seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Dengan PL.1, PL.2 dan PL.3 adalah
bidang 1, bidang 2 dan bidang 3.

Gambar 2. Diagram fasilitas pengujian kinerja kipas[4]

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 3


Berdasar pada instalasi fasilitas uji seperti pada Gambar 2 data yang diukur
tertera pada Tabel 1 berikut ini;

Tabel 1. Variabel yang diukur dalam pengujian

Kondisi lingkungan bervariasi : td0(oC), td2(oC), Pb

Tekanan dinamik dan statik : Pv3r, Ps3r

Jika tekanan < 1 kPa, maka td3 tidak perlu diukur


: td3
tetapi td0

Selanjutnya dengan menerapkan teori dasar untuk pengukuran aliran didalam duct pada
Gambar 2 rumus untuk aliran dan tekanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rumus pada aliran dan tekanan dalam pengujian

Tekanan dinamik di bidang 3 :

Kecepatan di bidang 3 :

Laju aliran udara di bidang 3 :

Laju aliran udara kipas :

Tekanan statik di bidang 3 :

Tekanan dinamik kipas :

Tekanan total di bidang :

Tekanan total kipas :

Tekanan statik kipas :

* Catatan: Pt1 = 0, and ρ3= ρ2

4 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 3. Fasilitas pengujian kinerja kipas BBTA3-BPPT

Instrumen pengukur yang diperlukan adalah PCE PFM 2 micro manometer,


airflow TA460, temperature sensors, speed of rotation sensor, dan ducting. Instalasi
peralatan pengujian seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Setelah instrument dipasang
kemudian diaktifkan sehingga pengukuran siap dijalankan.
Metoda pengukuran pertama-tama fan atau kipas dioperasikan hingga mencapai
RPM 1000. Data Acquisition engineer mengatur throttle yang ada dibagian belakang
fasilitas uji seperti terlihat pada gambar 3. Throttle diatur untuk membuka dari 10%
hingga 100% dengan kenaikan bertahap sebesar 10%. Kemudian pada kondisi tersebut
dilakukan pengambilan data. Setelah selesai seluruh kondisi bukaan throttle kemudian
dilanjutkan untuk kondisi RPM 1500.
Sedangkan secara ringkas simulasi numerik perkiraan nilai kapasitas alir
diterangkan sebagai berikut[3];
A. Geometri kipas perancangan digunakan sebagai masukan untuk membuat grid.
B. Kemudian dibuat domain komputasi yang sesuai dan diberikan kondisi batas
seperti bidang inlet, wall, outlet, kipas.
C. Perhitungan diberikan dengan masukan RPM kipas dan dimonitor hasil simulasi
berupa output kecepatan angin, tekanan, kapasitas alir dan parameter lainnya.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 5


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran besaran-besaran yang dicantumkan pada Tabel 1 kemudian
dihitung dengan persamaan - persamaan pada Tabel 2 sehingga diperoleh kinerja kipas
Q, Pt, dan Ps seperti pada Tabel 3 dan Gambar 4. Nilai yang diberikan tanda penekanan
merupakan hasil interpolasi linier untuk RPM 1000 dan 1500 yang dibandingkan dengan
nilai rancangan.
Tabel 3. Hasil Pengolahan data Kinerja Kipas
1000 RPM 1500 RPM
Q (m3/s) Pt (Pa) Ps (Pa) Q (m3/s) Pt (Pa) Ps (Pa)
0.71 19.61 8.10 1.18 45.13 13.59
0.73 23.06 11.14 1.13 46.94 17.85
0.67 19.31 9.35 1.11 50.27 22.42
0.64 20.59 11.36 1.07 53.99 28.12
0.57 28.12 20.95 0.95 70.33 49.82
0.52 39.64 33.54 0.86 93.93 77.02
0.48 48.83 43.61 0.75 125.60 112.75
0.41 63.32 59.49 0.71 136.23 124.73
0.22 87.54 59.49 0.60 211.26 203.20

Selanjutnya apabila hasil pengolahan data pada Tabel 3 disajikan dalam bentuk
grafik karakteristif kipas dapat dilihat pada Gambar 4 untuk RPM 1000 dan Gambar 5
untuk RPM 1500.

Gambar 4. Grafik Tekanan Total dan Tekanan Statik terhadap Q untuk RPM
kipas 1000

Grafik karakteristik tersebut relatif lurus karena variasi pembukaan peralatan


throttle hanya dilakukan pada titik operasi kipas tertentu saja karena yang menjadi

6 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


perhatian adalah karakteristik kipas di sekitar data prediksi. Hal ini menyebabkan kinerja
kipas pada kondisi shut-off tidak diukur dimana lajur aliran udara adalah nol.
Penginterpolasian dilakukan dengan membuat persamaan linear dari hubungan Pt
terhadap Q dan Ps terhadap Q. Dari hasil linerisasi tersebut diperoleh nilai Pt=48.83 Pa ,
Ps=43.61 Pa pada Q=0.48 m3/s untuk RPM 1000 dan Pt=125.60 Pa , Ps=112.75 Pa pada
Q=0.75 m3/s untuk RPM 1500. Sementara harga prediksi pada Ps=43 nilai Q=0.48 m3/s.
Hasil pengukuran dapat dirangkum seperti dapat dilihat dalam tabel 4.

Gambar 5. Grafik Tekanan Total dan Tekanan Statik terhadap Q untuk RPM
kipas 1500

Tabel 4. Perbandingan Hasil Pengukuran dan CFD untuk RPM 1000 dan 1500
Pengukuran Prediksi CFD
RPM Ps(Pa) Q(m3/s) Ps(Pa) Q(m3/s)
1000 43.61 0.48 43 0.48
1500 112.75 0.75 114 0.76

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Standard AMCA 210-07 untuk mengukur kinerja kipas pendingin dengan metoda
Free inlet ducting outlet dapat dibuat dan dilaksanakan di BBTA3-BPPT. Pengukuran
besaran-besaran yang diperlukan untuk menentukan kinerja kipas pendingin, dengan
instrumen yang dimiliki BBTA3 berjalan sesuai harapan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 7


Perbandingan hasil pengukuran dan prediksi memberikan nilai yang sangat
akurat. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas uji kipas dengan metoda pengukuran Free
inlet ducting outlet dapat diterapkan untuk mengukur kinerja kipas dengan baik.
Hasil pengukuran pada RPM 1500 memiliki nilai kinerja Q=0.75 m3/s. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi RPM memberikan kinerja yang lebih tinggi. Selanjutnya
dalam waktu dekat akan dilakukan pengukuran untuk RPM 2000 dan 3000 untuk
memverifikasi kinerja kipas yang dirancang.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami tujukan kepada rekan-rekan BBTA3-BPPT yaitu Ir.
Wahjoe Widodo MBA., Khoirul Anwar ST., F. Andree J. ST. MT., Malinda S. ST., dan
Sahran yang telah membantu terlaksananya kegiatan penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Richard Stone and Jeffrey K. Ball. 2004. Automotive Engineering Fundamentals.
SAE International. Warrendale USA.
[2] http://seno1983.blogspot.co.id/2012/09/sistem-pendingin.html
[3] Subagyo. 2014. Rancangan dan Optimasi Fan Blade untuk Peningkatan Kapasitas
Aliran. Bunga Rampai Penguasaan Teknologi Aerodinamika Untuk Penguatan
Industri Nasional. Halaman 129-136. Trim Komunikata Publishing House. Cimahi.
[4] ANSI/AMCA STANDARD 210-07, ANSI/ ASHRAE STANDARD 51-07. 2008.
Laboratory Methods of Testing Fans for Certified Aerodynamic Performance
Rating. AMCA International and ASHRAE. Atlanta USA.
[5] E.L. Houghton, P.W. Carpenter, Steven H. Collicott and Daniel T. Valentine. 2006.
Aerodynamics for Engineering Students. Butterworth-Heinemann. Waltham USA.

HASIL DISKUSI
Nama penanya: Dodi Rusjadi

Pertanyaan :
Apakah uji noise pada penelitian ini tidak dilakukan?

Jawaban :
Kami melakukan juga pengukuran noise, tapi disini tidak disebutkan.

8 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


STASIUN CUACA OTOMATIS MENGGUNAKAN SISTEM
KOMUNIKASI WIRELESS BERBASIS MIKROKONTROLER
Susanto1, Suryadi 2, Elvan Yuniarti 3, Prabowo Puranto4,
Bambang Widiyatmoko5
1,3
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2,4,5
P2F LIPI, Komplek PUSPIPTEK Serpong, Banten
santo.sman7@gmail.com

INTISARI
Proses pemantauan kondisi cuaca pada umumnya menggunakan beberapa alat ukur konvensional
yang terpasang pada suatu modul dengan datang langsung ke tempat pengambilan data. Metode
konvensional menyebabkan kesulitan untuk menempatkan beberepa alat ukur yang sulit
dijangkau. Sebuah stasiun pemantau cuaca yang sedehana dan mampu mengambil data beberapa
parameter cuaca dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi cuaca pada suatu tempat. Proses
pengambilan data dapat dilakukan dengan memanfaatkan media komunikasi nirkabel (wireless).
Sedangkan untuk mengukur beberapa parameter cuaca diantaranya yaitu suhu, kelembaban, arah
dan kecepatan angin serta curah hujan dapat memanfaatkan sensor DHT11, dan seperangkat
weather meter yang terdiri dari wind vane, anemometer dan rain gauge. Mikrokontroler sebagai
media akuisisi data. Hasilnya berupa sebuah prototype stasiun cuaca yang mampu menampilkan
5 parameter cuaca yang terdiri dari suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin serta curah
hujan secara cepat dan mampu mengirimkan data secara otomatis

Kata Kunci: Cuaca, Mikrokontroler, Nirkabel, Pemantauan, Sensor, Stasiun Cuaca

ABSTRACT
The process of monitoring weather conditions in general uses some conventional measuring
tools mounted on a module by coming directly to where the data is taken. The conventional
method causes difficulties to place some hard-to-reach measuring instruments. A simple weather
station and able to retrieve data on some weather parameters can be used to determine the
weather conditions in a place. The data retrieval process can be done by utilizing wireless
communication media. Meanwhile, to measure some weather parameters such as temperature,
humidity, wind direction and speed and rainfall can utilize DHT11 sensor, and a set of weather
meters consisting of wind vane, anemometer and rain gauge. Microcontroller as data acquisition
medium. The result is a weather station prototype capable of displaying 5 weather parameters
consisting of temperature, humidity, wind direction and speed as well as rainfall quickly and
capable of sending data automatically

Keywords: Weather, Microcontroller, Wireless, Monitoring, Sensor, Weather Station

1. PENDAHULUAN
Pemantauan kondisi cuaca saat ini dirasakan cukup penting. Informasi tentang
kondisi cuaca dapat dimanfaatkan sebagai ramalan kondisi cuaca untuk beberapa hari
mendatang. Proses pemantauan kondisi cuaca pada umumnya menggunakan alat ukur

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 9


konvensional yang terpasang pada suatu modul. Pengukuran dilakukan secara manual
dengan datang langsung ke tempat pengambilan data. Metode konvensional ini
[1]
menyebabakan kesulitan untuk menempatkan beberapa alat ukur yang sulit dijangkau .
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan akan pentingnya data parameter cuaca
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, diperlukan sebuah alat yang dapat memantau
kondisi cuaca secara otomatis yang telah terintegrasi dengan teknologi wireless dengan
jarak jangkauan yang jauh serta memiliki sumber catu daya tersendiri agar dapat bekerja
[2]
dalam jangka waktu yang lama . Dalam penelitian ini penulis ingin
mengimplementasikan sebuah stasiun cuaca sederhana dengan sistem komunikasi
wireless yang dikendalikan oleh mikrokontroler ARM Cortex-M3 sebagai pengolahan
datanya dan komputer sebagai penampil informasi cuaca.

2. Weather Meter
Weather Meter adalah seperangkat instrumen buatan sparkfun untuk mengukur
beberapa elemen cuaca. Perangkat ini terdiri atas wind vane untuk mengukur arah angin,
anemometer untuk mengukur kecepatan angin, dan rain gauge untuk mengukur curah
hujan [3].

Gambar 1. Seperangkat Weather meter yang terdiri dari


Wind vane, Anemometer dan Rain gauge

3. DHT11
DHT11 adalah sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban udara di
sekitarnya. Sensor ini sangat mudah digunakan bersama dengan Mikrokontroler.
Memiliki tingkat stabilitas yang sangat baik serta fitur yang sangat akurat [4].

10 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 2. Sensor suhu dan kelembaban DHT11

4. Xbee Pro S2B


Xbee merupakan salah satu jenis modul radio frekuensi dari teknologi ZigBee yang
dibuat oleh Digi International. XBee memiliki tipe varian yang berbeda salah satunya
adalah XBee Pro. XBee Pro dirancang agar dapat beroperasi atau bekerja berdasarkan
protokol ZigBee, dan mendukung keperluan jaringan sensor nirkabel yang rendah biaya
dan rendah daya[5]

Gambar 3. Perangkat XBee PRO S2B

5. METODOLOGI PENELITIAN
Secara garis besar tahapan penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu perancangan
perangkat keras, perancangan perangkat lunak, karakterisasi sensor dan pengujian di
lapangan. Perancangan perangkat keras berupa pembuatan sistem sensor dari masing-
masing parameter cuaca meliputi anemometer, wind vane dan rain gauge serta DHT11.
Perancangan perangkat lunak berupa pembuatan program dengan online compiler
Mbed.com dan pengaturan perangkat nirkabel Xbee Pro S2B dengan software XCTU.
Setelah semua proses sudah selesai barulah bisa dilakukan pengujian yang meliputi
karakterisasi sensor, dan pengambilan data cuaca di lapangan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 11


Gambar 4. Diagram blok sistem AWS

6. HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji coba AWS di lapangan
Pengambilan data cuaca oleh AWS diletakkan di lantai atas Pusat Penelitian Fisika (P2F)
LIPI, Serpong dengan posisi AWS seperti pada gambar 5. Pengambilan data diambil
selama 1 minggu terhitung mulai tanggal 15 – 21 Februari 2017 dengan rentang antara
data yang satu dengan yang lain selama 5 menit.

Gambar 5. Kondisi weather meter saat proses pengambilan data di lapangan

Hasil dari proses pengambilan data selama 1 minggu dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Pengambilan data arah mata angin selama 1 minggu

Tanggal 15 16 17 18 19 20 21
(Februari) 2017
Arah angin Barat Timur Barat Timur Timur Timur Tenggara
Daya Daya Laut Laut laut

12 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Hasil Pengambilan data curah hujan selama 1 minggu

Tanggal (Februari) Curah Hujan (mm) Intensitas


2017
15 19.85 Sedang
16 18.45 Ringan
17 7.28 Ringan
18 0 Tidak terjadi hujan
19 2.24 Ringan
20 12.6 Ringan
21 45.06 Sedang
Jumlah 105.48 -
Rata-rata 15.06857143 Ringan

Tabel 3. Hasil Pengambilan data kecepatan angin selama 1 minggu

Tanggal (Februari) 15 16 17 18 19 20 21
2017

Kec. Angin 28.8 19.2 19.2 12 12 7.2 9.6


Maximum (km/h)

Kec. Angin Rata- 4.43 2.55 3.24 1.76 1.64 1.23 1.84
rata (km/h)

Tabel 4. Hasil Pengambilan data suhu dan kelembaban selama 1 minggu

Tanggal (Februari) 15 16 17 18 19 20 21 (Rata-


2017 rata)

Suhu Rata-rata (oC) 30.2 27.1 24.4 27.6 25.5 24.1 25.1 26.8
Kelembaban Rata- 75 82.5 80 81.3 93.3 93.3 89.6 84.4
rata (%RH)
Suhu Max (o C) 50 44 45 41 32 32 33 40
Suhu Min (oC) 22 14 11 22 21 21 20 19
Kelembaban 95 95 95 95 95 95 95 95
Max(%RH)
Kelembaban Min 32 40 46 52 80 80 69 57
(%RH)

Analisis
Analisis dari sistem AWS ini mencakup hasil dari akuisisi tiap sensor yang dilakukan
mikrokontroler sampai dengan muncul data di komputer secara real time. Akuisisi data

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 13


dilakukan selama 7 hari berturut-turut pada tempat dan dengan posisi yang sama. Sumber
catu daya AWS berasal dari baterai dan panel surya yang keluarannya diatur sebesar 5
volt oleh regulator tegangan. Akuisisi data hari pertama dilakukan pada tanggal 15
Februari 2017 pukul 00:08:43 dan berakhir pada 21 Februari pada pukul 23:55:56.

Suhu dan Kelembaban


Dilihat dari data yang diperoleh selama 7 hari berturut-turut, akan terlihat bahwa
Suhu dan kelembaban bersifat periodik dari hari ke hari. Hasil dari akuisisi data suhu,
diperoleh suhu paling rendah rata-rata terjadi pada dini hari sampai dengan pagi hari
sekitar pukul 1 pagi sampai pukul 8 pagi dan semakin meninggi pada siang hari. Lain
halnya dengan kelembaban yang semakin menurun pada siang hari. Berikut hasil plot
data harian suhu dan kelembaban selama satu minggu :

Gambar 6. Hasil plot data suhu dan kelembaban selama 1 minggu

Dapat terlihat dari gambar 6 terdapat hubungan antara suhu dan kelembaban. Naik
turunnya suhu dan kelembaban diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah intensitas dan lama waktu penyinaran matahari. Semakin lama waktu
penyinaran matahari mengakibatkan suhu naik karena semakin banyak panas yang
diterima. Karena pada siang hari matahari berada pada posisi tengah mengakibatkan
suhu naik, lain halnya dengan kelembaban yang terlihat semakin menurun, akibat

14 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


pemanasan udara pada siang hari sehingga kerapatan udara semakin kecil yang berakibat
udara memuai. Udara yang memuai menjadi lebih ringan sehingga naik Oleh sebab itu
kelembaban udara akan terlihat semakin menurun karena kandungan udaranya berkurang
[6]

Curah hujan
Akuisisi data curah hujan yang dihasilkan oleh rain gauge menunjukan bahwa hujan
terjadi selama satu minggu kecuali pada tanggal 18 Februari 2017 tidak terjadi hujan.
Berikut hasil plot data curah hujan harian selama satu minggu :

Gambar 7. Hasil plot data curah hujan selama 1 minggu

Curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 21 Februari 2017, dengan curah hujan
sebesar 45,06 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada tanggal 19 Februari
2017 dengan curah hujan sebesar 2,24 mm. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan
bahwa curah hujan pada bulan Februari dikawasan LIPI Serpong dan sekitarnya menurut
BMKG tergolong hujan ringan dengan rata-rata intensitas curah hujan 15 mm/hari [7].

Kecepatan angin
Hasil akuisisi data kecepatan angin selama satu minggu dapat dikatakan logis. Hasil
menunjukan bahwa kecepatan angin tertinggi terjadi pada 3 hari berturut-turut yaitu pada
hari pertama pengambilan data tanggal 15 Februari sampai dengan tanggal 17 Februari.
Puncak tertinggi kecepatan angin terjadi pada hari pertama tanggal 15 Februari yaitu
sebesar 28,8 km/jam atau 8 m/s. Pada tanggal 16 – 17 Februari kecepatan angin juga bisa
dibilang cukup tinggi yaitu sebesar 19,2 km/h atau 5.3 m/s. Menurut skala Beaufort,
kecepatan angin pada hari pertama tergolong angin keras yang menyebabkan batang
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 15
pohon bergerak, Sedangkan pada 2 hari berikutnya tergolong angin sedang yang hanya
menyebabkan ranting pohon bergerak [8].
Arah angin
Pada bulan Oktober – April, matahari berada pada belahan bumi selatan, sehingga
benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia.
Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia
terdapat pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin
dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini biasa disebut juga angin
muson barat. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka
banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim
penghujan[9]. Terdapat ketidaksesuaian antara hasil akuisisi data arah angin dengan
keadaan real. Hasil akuisisi data selama satu minggu terlihat pada tabel 1. Hasil
menunjukan bahwa arah angin selama satu minggu lebih dominan dari arah timur laut
Sedangkan seharusnya pada bulan Oktober – April arah angin dari arah Barat daya,
tentunya banyak faktor yang mempengaruhi ketidaksesuainya hasil akuisisi data dengan
keadaan real salah satunya perubahan kecepatan angin yang berbeda dan faktor eksternal
lainnya seperti terjadinya angin pusing (whirl wind), badai guntur, dan puting beliung.
Meski hasil akuisisi data selama satu minggu menunjukan arah angin lebih dominan dari
arah timur laut, akan tetapi pada tanggal 15 dan 17 Februari hasil menunjukan arah angin
sesuai dengan keadaan real yaitu arah angin dari Barat daya.
Analisis dengan melakukan perbandingan data dengan BMKG

Gambar 8. Perbandingan curah hujan antara AWS dan BMKG

16 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 8 merupakan grafik perbandingan antara hasil pengukuran curah hujan
oleh AWS dan BMKG selama satu minggu terhitung mulai tanggal 15 – 21 Februari
2017. Data BMKG diperoleh dari stasiun BMKG wilayah 2 Ciputat yang penulis ambil
secara online dari website BMKG.
Hasil perbandingan curah hujan yang diperoleh AWS dan BMKG dinilai mempunyai
pola relatif sama. Data curah hujan AWS diperoleh mendekati pola data curah hujan
BMKG tetapi beberapa data terlihat jauh dari grafik curah hujan BMKG. Perbedaan data
curah hujan AWS dengan data curah hujan BMKG diduga disebabkan oleh faktor-faktor
lain yang mempengaruhi curah hujan. Diantaranya perbedaan suhu puncak awan, Bila
suhu di bawah awan tinggi, dapat terjadi tetes-tetes air yang keluar dari awan banyak
yang menguap kembali sehingga intensitas hujan menjadi kecil. Bahkan, bila suhu udara
cukup tinggi, tetes-tetes air yang keluar dari awan sudah habis menguap kembali
sebelum sampai ke permukaan bumi [10].
Faktor lain yang mempengaruhi curah hujan yaitu factor garis lintang, ketinggian
tempat, jarak sumber air, perbedaan suhu tanah dan luas daratan [11].

Gambar 9. Perbandingan suhu antara AWS dan BMKG

Gambar 9 merupakan hasil pengukuran suhu udara oleh AWS dan BMKG. Data suhu
AWS diperoleh mendekati pola data suhu BMKG tetapi beberapa data ada sedikit
perbedaan dari grafik suhu BMKG. Perbedaan data suhu AWS dengan data suhu BMKG
diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya berkaitan dengan perbedaan
banyaknya sinaran matahari yang berbeda antara stasiun AWS yang dipasang di kawasan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 17


LIPI Serpong dan BMKG di wilayah Ciputat. Selain itu juga berkaitan dengan perbedaan
massa udara tempat stasiun yang bersangkutan.

Gambar 10. Perbandingan kelembaban antara AWS dan BMKG

Gambar 10 merupakan hasil pengukuran kelembaban udara oleh AWS dan BMKG.
Data kelembaban AWS diperoleh mendekati pola data kelembaban BMKG. Sama halnya
seperti suhu data kelembaban juga mengalami beberapa sedikit perbedaan dari grafik
kelembaban BMKG. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya berkaitan dengan perbedaan suhu udara antara stasiun AWS yang dipasang di
kawasan LIPI Serpong dan BMKG di wilayah Ciputat. Karena kelembaban berbanding
terbalik dengan suhu [10].

Gambar 11. Perbandingan kecepatan angin antara AWS dan BMKG


18 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
Data kecepatan angin AWS diperoleh mendekati pola data kecepatan angin BMKG
tetapi beberapa data ada sedikit perbedaan dari grafik kecepatan angin BMKG.
Perbedaan data kecepatan angin AWS dengan data dari BMKG diduga disebabkan oleh
beberapa faktor salah diantaranya bentuk relief permukaan bumi dan tekanan udara.
Selain itu juga berkaitan dengan perbedaan ketinggian tempat stasiun yang bersangkutan
[12]
.

Gambar 12. Perbandingan kecepatan angin antara AWS dan BMKG

Dari semua parameter cuaca yang telah diukur menggunakan AWS. Data arah angin
AWS diperoleh sangat tidak sesuai dengan pola data arah angin BMKG. Hasil akuisisi
data arah angin oleh BMKG menunjukan kesesuaian dengan keadaan real, arah angin
lebih dominan dari arah Barat daya (300 0). Sebaliknya hasil akuisisi data oleh AWS
lebih dominan dari arah Timur laut (50 0). Perbedaan data arah angin AWS dengan data
dari BMKG diduga disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya perubahan kecepatan
angin yang berbeda. Bila bertiupnya angin lokal kemudian kecepatan angin menurun
menyebabkan arah angin berubah-ubah. Kejadian ini juga merupakan tanda akan
bergantinya bertiup angin lokal lawannya. Misalnya dari angin laut kemudian menjadi
angin darat dan sebaliknya. Perubahan arah angin sangat mendadak umumnya terjadi
ketika dilewati awan fenomena skala kecil, misalnya angin pusing (whirl wind), badai
[12]
guntur, dan puting beliung . Hasil akuisisi data oleh AWS juga menunjukan
kesesuainya dengan keadaan real pada tanggal 15 dan 17 Februari 2017.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 19


7. KESIMPULAN
Setelah dilakukan perancangan, pembuatan, pengujian dan implementasi yang
dilakukan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Telah berhasil dibuat prototype sistem Automatic Weather Station (AWS) dengan
menggunakan mikrokontroler ARM Cortex – M3 sebagai unit pengontrol akuisisi
data dari 4 elemen sensor, dengan media komunikasi data wireless sedang untuk
menampilkan 5 parameter unsur cuaca secara bersamaan menggunakan PC.
2. Hasil dari akuisisi data cuaca selama 1 minggu menunjukan kesesuaian pola cuaca
antara hasil dari AWS dengan BMKG, namun hasil akuisisi data arah angin
menunjukan perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya perbedaan kecepatan angin yang berbeda-beda pada tiap wilayah selain
itu kondisi lingkungan seperti banyaknya pohon serta gedung menjadi faktor
penyebab arah angin pada tiap wiliyah berbeda.
3. Dari hasil pengujian dapat dikatakan AWS sudah dapat melakukan pengukuran cuaca
secara otomatis dengan baik, sehingga bisa menggantikan peran alat ukur
konvensional untuk keperluan pengukuran cuaca khususnya pada daerah yang sulit
dijangkau.

8. UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Elvan Yuniarti, M.Si dan Bapak Dr. Bambang Widiyatmoko, M.Eng selaku
Dosen Pembimbing. Tidak lupa juga penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Suryadi, S.Si dan Bapak Prabowo Puranto, M.Si yang
telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk, dorongan, saran dan
arahan kepada penulis. Juga untuk Ibunda tercinta Nurhayati, penulis menyampaikan
rasa terimakasih berkat doa yang selalu dipanjatkan kepada Allah Ta’ala proses
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

9. DAFTAR PUSTAKA
[1] Saefullah, A., Sunarya, A., Fakhrizal, D. (2015). Prototype Weather Station
Berbasis Arduino Yun. CCIT Journal Vol.8 No.2, ISSN : 1978 – 8282

20 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[2] Wirjohamidjojo, S., & Swarinoto, Y. (2010). Iklim Kawasan Indonesia (Dari Aspek
dinamik - Sinoptik). Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.
[3] System, A. D. (t.thn.). Weather Sensor Assembly p/n 80422. Diambil dari :
[4] https://www.sparkfun.com/datasheets/Sensors/Weather/Weather%20Sensor%20As
sembly..pdf Diakses pada : 1 Mei 2017, 9:32 WIB
[5] Hazami, S., Hardienata, S., & Suriansyah, M. (t.thn.). Model Pengatur Suhu Dan
Kelembaban Kandang Ayam Broiler Menggunakan Mikrokontroler ATMega328
Dan Sensor DHT11. Program Studi Ilmu Komputer FMIPA Universitas Pakuan.
[6] Digi. (t.thn.). ZigBee RF Modules User Guide. Diambil dari :
https://www.digi.com/resources/documentation/digidocs/PDFs/90000976.pdf
Diakses pada : 1 Mei 2017, 9:33 WIB
[7] S, Y., Swarinoto, & Sugiyono. (2011). Pemanfaatan Suhu Udara Dan Kelembaban
Udara Dalam Persamaan Regresi Untuk Simulasi Prediksi Total Hujan Bulanan Di
Bandar Lampung. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika Volume 12 Nomor 3, 271-
281.
[8] BMKG. (2010). Press Release Kondisi Cuaca Ekstrim Dan Iklim Tahun 2010-
2011. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika. Diambl dari :
[9] http://data.bmkg.go.id/Share/Dokumen/press%20release%20kondisi%20cuaca%20
ekstrim%20dan%20iklim%20tahun%202010-2011.pdf Diakses pada : 16 Mei
2017, 16:51 WIB
[10] Wijayanti, D., Rahmawati, E., & Sucahyo, I. (2015). Rancang Bangun Alat Ukur
Kecepatan Dan Arah Angin Berbasis Arduino Uno Atmega 328P. Jurnal Inovasi
Fisika Indonesia Volume 04 Nomor 03, 150 - 156.
[11] Sudarto. (2011). Pemanfaatan Dan Pengembangan Energi Angin Untuk Proses
Produksi Garam Di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Triton Volume 7, Nomor 2,
61-70.
[12] Wirjohamidjojo, S., & Swarinoto, Y. (2013). Meteorologi Sinoptik: Analisis Dan
Penaksiran Hasil Analisis Cuaca Sinoptik. Jakarta: Badan Meteorologi dan
Geofisika
[13] Octari, G., Suhaedi. D., Noersomadi. (2015). Model Estimasi Curah Hujan
Berdasarkan Suhu Puncak Awan Menggunakan Inversi Nonlinear. Prosiding
Penelitian SPeSIA 2015.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 21


[14] Tjasyono HK, B., & Woro B. Harijono, S. (2012). Meteorologi Indonesia Volume
II. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko

Pertanyaan :
Pada verifikasi data dengan BMKG Ciputat dasarnya apa?

Jawaban :
Karena di Fisika LIPI tidak ada data pembanding, dan data pembanding yang ada bisa
diambil dari BMKG. Berhubung pada saat proses pengambilan data dilaksanakan pada
bulan Februari, dimana pada bulan Februari sedang terjadi musim penghujan. Oleh
karena itu masih terdapat kesamaan keadaan cuaca local di wilayah Tangerang Selatan.
Idealnya memang alat ukur ini diletakkan dekat dengan alat ukur BMKG sehingga
datanya bisa lebih dapat dibandingkan.

22 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


PERSAMAAN SENSOR PIPA TERCELUP UNTUK PENGUKURAN
TINGGI MUKA AIR DANAU
Studi kasus: Pengukuran Tinggi Muka Air Kolong Parit Tiga
Dadang Rustandi, Achmad Harimawan
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten.
drustandi60@gmail.com

INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan bentuk persamaan pengukuran tinggi muka air
danau menggunakan sensor pipa tercelup pada rentang ukur 0 – 5 m, menggunakan pipa sensor
ukuran diameter dalam 16 mm dan panjang 6,5 m yang diintegrasikan dengan pressure
transmitter yang mempunyai rentang masukan 0 – 500 mbar dan rentang luaran 4 – 20 mA. Dari
hasil percobaan diperoleh persamaan untuk menentukan tekanan pada pipa sensor y = 58.27 x
dan persamaan untuk menentukan luaran (output) sensor y = 1,865 x + 4. Kedua persamaan
tersebut memiliki nilai koefisien determinasi R2=1, mempunyai makna bahwa 100% (secara
keseluruhan) variasi tekanan dan luaran sensor (y) dapat dinyatakan oleh tinggi muka air (x).
Kondisi tersebut mengindikasikan semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi.

Kata kunci: persamaan, sensor, pengukuran, tinggi muka air, danau.

ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the shape of the equation of measurement of lake water
level using dipped pipe sensor in the range of 0-5 m, using sensor pipe inside diameter 16 mm
and length 6.5 m which is integrated with pressure transmitter which has input range 0 - 500
mbar and an output range of 4 - 20 mA. From the experimental result, the equation for pressure
determination on the sensor pipe y = 58.27 x and the equation for determining sensor output y =
1.865 x + 4. The two equations have the coefficient of determination R2 = 1, meaning that 100%
or overall pressure variation and sensor output (y) can be expressed by the water level (x). The
condition indicates that all observation points are right on the regression line.

Keywords: equation, sensor, measurement, water level, lake.

1. PENDAHULUAN
Keterbatasan akses air bersih di daerah pertambangan seperti Pulau Bangka
mendorong masyarakat setempat terpaksa menjadikan air kolong (danau bekas tambang)
sebagai sumber air baku andalan untuk kebutuhan sehari-hari. Karena pentingnya kolong
tersebut, PDAM setempat sebagai pengelola memandang perlu danau-danau tersebut
untuk diukur dan dimonitor tinggi muka (level) airnya. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk melakukan pengukuran tinggi muka air kolong tersebut menggunakan
sensor pipa tercelup.[1]

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 23


Kedalaman kolong mulai dari 3 m sampai dengan 15 m yang paling dalam. Salah
satu bentuk fisik yang mempengaruhi kondisi limnologis suatu kolong adalah tidak
adanaya inlet dan outlet. [2],[3]
Umumnya, pada saat awal memasang sistem pengukuran termasuk pengukuran
tinggi muka air dilakukan pengukuran berulang-ulang untuk memprediksi dan
memvalidasi hasil pengukuran dengan cara menaik-turunkan tinggi muka air berkali-
kali. Tetapi masalahnya menaikan dan menurunkan air kolong tidak semudah menaikan
dan menurunkan tinggi muka air dalam tangki atau reservoar. Apalagi bentuk fisik
kolong pada umumnya tidak memiliki inlet dan outlet. Sehingga harus ada teknik atau
cara yang khas untuk penerapan sensor pipa tercelup dalam mengukur tinggi muka air
kolong atau danau pada umumnya.
Untuk itu tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyajikan bagaimana
teknik atau cara penerapan sensor pipa tercelup dalam pengukuran tinggi muka air danau
sehingga dihasilkan suatu formulasi atau persamaan yang dapat dijadikan acuan untuk
memprediksi nilai luaran (output) sensor pada setiap titik ukur.

2. TEORI DASAR
Prinsip pengukuran tinggi muka air dengan menggunakan sensor pipa tercelup
adalah dengan memanfaatkan perubahan tekanan dan volume pada suatu rongga tertutup.
Tekanan awal yang berada pada rongga pipa yang salah satu ujungnya tertutup rapat dan
diletakan secara vertikal dan tegak lurus terhadap permukaan air pada suatu wadah,
setelah didesak oleh kenaikan tinggi muka air yang berada pada wadah tersebt, tekanan
dalam rongga pipa akan mengalami kenaikan dengan karakteristik yang khas. .[1]
Demikian sebaliknya pada saat permukaan air pada wadah tersebut turun, maka
turun pula tekanan pada rongga pipa. Kenaikan dan penurunan tekanan tersebut
merepresentasikan kenaikan tinggi muka air pada wadah. Perubahan tekanan tersebut
dapat dideteksi oleh pengukur tekanan yang memiliki luaran salah satunya dapat
menggunakan pressure transmitter yang memiliki nilai luaran hasil ukur.
Tinggi muka air menjadi masukan bagi pressure transmitter dan luaran pressure
transmitter mengindikasikan tingginya tinggi muka air yang diukur. Hubungan masukan
dan luaran dapat direpresentasikan oleh persamaan berikut:

24 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


……………………...… 1

dengan:
y = luaran
ymak = luaran maksimum
ymin = luaran minimum
x = nilai masukan yang diketahui
xmak = masukan maksimum
xmin = masukan minimum

Karena pada saat sensor tinggi muka air kolong/danau dipasang, kita hanya
mendapatkan 1 (satu) hasil ukur sesuai dengan kondisi tinggi muka air tersebut yang
belum tentu tinggi muka aiar tersebut adalah tinggi muka air maksimum. Untuk dapat
menentukan nilai luaran sensor pada saat tinggi muka air maksimum dapat menggunakan
persamaan linier dua titik sebagamana tersaji pada persamaan 2.[4],[5]
Titik pertama adalah nilai masukan dan luaran minimum dan titik kedua adalah nilai
masukan dan luaran yang sudah diketahui.

y 2 x - y1 x + y1 x 2 ……………………………….… 2
y
x2
dengan:
y = luaran sensor
y1 = luaran sensor minimal
y2 = luaran sensor pada saat pengukuran awal
x = tinggi muka air/level
x1 = tinggi muka air/level minimal
x2 = tinggi muka air/level pada saat pengukuran awal

Karakteristik sensor pipa tercelup dipengaruhi oleh ukuran panjangn dan luasan
penampang dalam pipa sensor. Karakteristik dapat dicirikan dengan faktor kooefisien.
Factor kooefisien sensor dapat diperoleh dari perbandingan nilai rentang ukur tinggi
muka air maksimum dengan nilai tekanan sensor maksimum.
Dengan nge-plot hubungan tinggi muka air dengan tekanan dan luran sensor
dapat diperoleh persamaan linier sistem pengukuran terpasang. Persamaan tersebut
dijadikan alat untuk memprediksi atau memvalidasi hasil pengukuran.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 25


3. METODOLOGI
Karena memiliki kekhasan tersendiri, penerapan sensor pipa tercelup dalam
pengukuran tinggi muka air danau perlu ada upaya yang khas dan bertahap sehingga
diperoleh suatu persamaan yang dapat memprediksi nilai luaran sensor pada setiap titik
ukur. Tahap pertama, tertukan rentang ukur dan lokasi pengukuran. Kedua, tentukan
panjang atau tinggi pipa sensor. Ketiga, tentukan rentang masukan dan luaran pressure
transmitter sesuaikan dengan rentang pengukuran. Keempat, integrasikan pipa sensor
dengan pressure transmitter. Upayakan semaksimal mungkin tidak ada kebocoran
sedikitpun pada sambungan-sambungan pipa sensor dan konektor yang menghubungkan
pipa dengan pressure transmitter. Kelima, mencelupkan pipa sensor ke dalam air pada
lokasi dan casing yang sudah disiapkan. Keenam, lakukan set-up pengukuran seperti
Gambar 1.

Gambar 1. Loop sistem pengukuran.

Kemudian perhatikan dan catat tinggi muka air yang ditunjukan oleh papan
ukur. Pada kondisi tersebut ukur dan catat luaran sensor. Dengan data-data
tersebut, tentukan nilai luaran untuk titik ukur maksimum dengan menggunakan
persamaan (2). Dengan demikian dapat diketahui nilai rentang luaran sesuai
dengan nilai rentang pengukuran.

26 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Selanjutnya tentukan besarnya tekanan yang terdapat pada pipa sensor
untuk titik ukur maksimum dengan menggunakan persamaan interpolasi (1).
Kemudian tentukan nilai kooefisien sensor dengan memperbandingkan nilai titik
ukur maksimum dengan tekanan sensor maksimum. Dengan diketahuinya nilai
kooefisien sensor kita dapat memprediksi nilai-nilai tekanan dan luaran sensor
pada setiap titik ukur.
Tabelkan dan grafikkan nilai prediksi tersebut dengan jenis grafik yang
dapat menampilkan persamaan linieritas. Persamaan tersebut dijadikan acuan
untuk memprediksi atau mengestimasi besarnya tekanan dan luaran sensor.
Kualitas kelinieran hubungan tinggi muka air dengan tekanan sensor dan output
sensor dapat ditinjau menggunakan koefisien deteminasi, R2. Jika R2 bernilai 1
mengindikasikan hubungan linearitas sempurna. Rumus koefisien deteminasi secara
umum sebagai berikut :
2
(y  f )
i i
R 2
 1 i ……………………………………………..………….. 3
2
 ( y  y)
i
i

Dengan:
R2: Koefisien determinasi
yi : Nilai data ke-i pada sumbu-y, tekanan dan output sensor.
y : Rerata nilai data pada sumbu-y, tekanan dan output sensor.
fi : Nilai prediksi fungsi data ke-i .

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Upaya memantapkan penerapan sensor pipa tercelup dalam pengukuran
tinggi muka (level) air danau telah dilakukan percobaan lapangan di danau bekas
tambang Parit Tiga Bangka Barat.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 27


Gambar 2. Pemasangan sensor di kolong Parit Tiga Bangka Barat

Rentang ukur tinggi muka air danau telah diditentukan 0 – 5 m yang diindikasikan
oleh papan ukur yang telah terpasang sebelumnya. Untuk menyesuaikan dengan
kondisi yang ada, ditetapkan tinggi sensor pipa tercelup yang terbuat dari pipa pvc
0,5 inci (diameter dalam 16 mm) setinggi 6,5 m yang diintregrasikan dengan
pressure transmitter yang mempunyai rentang ukur 0 – 500 mbar dan mempunyai
rentang luaran (output) 4 – 20 mA.

Gambar 3. Papan ukur (kiri), dan Sensor pipa tercelup terpasang (kanan)

28 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Pada saat sensor dicelupkan tinggi muka air danau setinggi 3,7 m dan
sensor menghasilkan nilai luaran sebesar 10,9 mA. Berdasarkan data-data tersebut
dengan menggunakan persamaan (2) dapat diperoleh nilai luaran sensor pada saat
tinggi muka air setinggi maksimum (5 m) sebesar 13,324 mA. Pada tinggi muka
air maksimum dan luaran sensor maksimum dengan penggunakan persamaan
interpolasi (1) diperoleh nilai tekanan sensor sebesar 291,385 mbar. Dengan
memperbandingkan tinggi muka air maksimum dan tekanan sensor maksimum
diperoleh kooefisien sensor sebesar 0,017 m/mbar.
Dengan menggunakan nilai kooefisien tersebut dan persamaan interpolasi
(1) dapat diprediksi besarnya tekanan dan luaran sensor sebagaimana tersaji pada
Tabel 1 dan Gambar 4.

Tabel 1. Data prediksi hasil pengukuran

Level air Tekanan Sensor Output Sensor


m mbar mA
0 0 4
1 58.277 5.865
2 116.554 7.730
3 174.831 9.595
4 233.108 11.459
5 291.385 13.324

Dari Gambar 4 diperoleh persamaan yang dapat digunakan untuk mengestimasi


tekanan sensor y = 58.27 x dengan R2=1 dan persamaan untuk mengestimasi
output sensor y = 1,864 x + 4 atau lebih tepatnya 1,865 x + 4 dengan R2=1. Nilai
koefisien determinasi R2 = 1, mempunyai makna bahwa 100% atau secara keseluruhan
variasi dari tekanan dan output sensor (y) dapat diterangkan oleh tinggi muka air (x).
Kondisi tersebut mengindikasikan semua titik pengamatan berada tepat pada garis
regresi.
Manfaat dari persamaan tersebut kita dapat mengestimasi atau memprediksi berapa
besarnya tekanan yang terdapat pada pipa sensor dan berapa nilai output yang dihasilkan
oleh sensor tersebut pada setiap titik ukur tinggi muka air.
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 29
Gambar 4. Grafik hubungan antara tinggi muka air (level), tekanan dan luaran
(output) sensor.

Persamaan-persamaan yang dihasilkan dari percobaan ini berlaku selama


spesifikasi dan konstruksi pipa sensor serta spesifikasi pressure transmitter tidak
berubah.
Secara umum dua persamaan hasil percobaan tersebut dapat direpresentasikan
oleh persamaan hubungan output-input sebagaimana terlihat pada persamaan (1).

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan dan analisis untuk pipa sensor berukuran setengah
inchi (ukuran pasar) berdiameter dalam 16 mm dengan panjang 6,5 m yang
diintegrasikan dengan pressure transmiitter yang mempunyai rentang masukan 0 – 500
mbar dan rentang luaran 4 – 20 mA, diterapakan pada pengukuran tinggi muka air
danau/kolong pada rentang ukur 0 – 5 m, mempunyai faktor koofesien 0,017 m/mbar
dan memiliki persamaan untuk menentukan tekanan sensor, y = 58.27 x dan persamaan
untuk menentukan luaran sensor, y = 1,865 x + 4. Kedua persamaan tersebut memiliki
nilai koefisien determinasi, R2=1 yang mempunyai makna bahwa 100% (secara
keseluruhan) variasi tekanan dan output sensor (y) dapat dinyatakan oleh tinggi muka air
(x). Kondisi tersebut mengindikasikan semua titik pengamatan berada tepat pada garis
regresi.
30 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada pengelola Program Unggulan LIPI tahun 2016 Subprogram
Ketahanan dan Daya Saing Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang telah
mendanai penelitian ini, Peneliti Kepala dan seluruh anggota Tim Penelitian
Implementasi Sistem Pemantauan Pengolahan dan Distribusi Air Minum untuk PDAM
Bangka Barat yang telah berkontribusi pada pelaksanaan penelitian dan terbitnya
makalah ini, serta kepada Pimpinan dan Staf PDAM Bangka Barat yang telah
memberikan kesempatan dan dukungan yang maksimal.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Rustandi, Dadang dan Harimawan, Achmad. 2014. Karakterisasi Sensor Pipa
Tercelup yang digunakan untuk Pengukuran Tinggi Muka Air. Seminar Fisika
Nasional, Pusat Penelitian Fisika LIPI, Tangerang Selatan.
[2] Henny, Cynthia dan Susanti, Evi. 2009. Karakteristik Limnologis, Kolong Bekas
Tambang Timah di Pulau Bangka. Limnotek volume XVI, Nomor 2, Pusat Penelitian
Limnologi LIPI, Cibinong-Bogor.
[3] Henny, C (2010), “Kolong” Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka: Permasalahan
Kualitas Air Dan Aternatif Solusi Untuk Pemanfaatan, , Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia, 37(1):135-154.
[4] Rustandi, Dadang. 2016. Aplikasi Sensor Pipa Tercelup 500 mbar pada Pengukuran
Tinggi Muka Air Danau dengan Rentang Ukur 0 – 5 meter. AMTeQ, P2SMTP LIPI,
Tangerang Selatan.
[5] Tan (2008), Straight Lines and Linier Functions, Chapter 1, p9-13,
http://www.math.tamu.edu/~shatalov/Tan_chpt1.pdf

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hidayat Wiriadinata

Pertanyaan :
1. Bagaimana pengaruh massa jenis air danau terhadap metode pengukuran?
2. Bagaimana perhitungan ketidakpastiannya?
3. Biasanya dari nilai interpolasi ada kesalahan, mengapa tidak disebutkan?
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 31
Jawaban :
1. Masa jenis air danau mempunyai pengaruh terhadap metode pengukuran, karena
prinsip dasar pengukuran tinggi muka air menggunakan sensor tercelup didasari oleh
adanya tekanan hidrostatis (P) yang ditimbulkan oleh tinggi muka air. Secara
matematis tekanan hidrostatis, P = ρgh, dengan ρ adalah masa jenis air dan g adalah
percepatan gravitasi. Tekanan hidrostatis tersebut mendesak dan mempengaruhi
tekanan udara yang terdapat pada rongga pipa sensor. Besarnya tekanan pada rongga
pipa sensor tersebut proporsional dengan tinggi muka air yang diukur. Penjelasan
lebih rinci dapat diperoleh pada pustaka [1].
2. Perhitungan ketidakpastian belum bisa disajikan karena masih ada elemen-elemen
penentu nilai ketidakpastian belum teramati.
3. Nilai hasil interpolasi pada percobaan/penelitian ini digunakan sebagai nilai acuan.
Nilai kesalahan dapat disajikan bila nilai pengukuran pada titik ukur lainnya sudah
diperoleh.

32 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


RANCANG BANGUN ALAT UKUR TORSI DAN KECEPATAN
MOTOR DC DENGAN PRINSIP NON-KONTAK BERDASARKAN
DETEKSI MEDAN MAGNET
Nibraz Khalda , Annas Hawa
Institut Teknologi Bandung, Bandung
khaldanibraz@gmail.com

INTISARI
Motor DC memiliki manfaat yang banyak dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri. Pada
umumnya performansi motor DC dilihat dari parameter torsi dan kecepatan. Parameter tersebut
dapat diketahui dengan menggunakan tachometer optik untuk kecepatan dan sensor strain gauge
untuk pengukuran torsi. Kekurangan dari tachometer optik adalah tidak reliable di kondisi
lingkungan ekstrim. Kelemahan pengukuran torsi dengan strain gauge yaitu mahal, pemasangan
dan perawatan yang rumit, lifetime yang relatif pendek, dan tidak tahan di temperatur tinggi.
Penyebab kelemahan pengukuran torsi karena pengukurannya yang menggunakan prinsip
kontak. Salah satu metoda non-kontak pengukuran torsi adalah berdasarkan prinsip
Magnetoelastic Effect. Prinsip kerjanya adalah apabila suatu bahan ferromagnetik diberi gaya
maupun torsi maka akan mengalami perubahan medan magnet yang nilainya akan sebanding
dengan torsi yang diterima. Sedangkan prinsip kerja pengukuran kecepatan adalah mendeteksi
perubahan polaritas ring magnet selama berputar dan terbaca sebagai sinyal digital oleh sensor,
dan digunakan untuk mencari kecepatan dari putaran motor. Dalam proses pengujian digunakan
kalibrator tachometer optik untuk pengukuran kecepatan dan pengukuran torsi menggunakan
nilai torsi teoritis yang diperoleh dari hasil pengukuran gaya (F) dari loadcell dikalikan dengan
panjang lengan (L). Tachometer yang dibuat memiliki error 104,18 % pada input 1,2 V
(minimum), error -2,5 % pada input 6 V (tengah), dan error 4,76 % pada input 12 V
(maksimum), Linearitas naik sebesar 0,9979 dan linearitas turun 0,9978. Sensitivitas naik 152,45
dan sensitivitas turun 153,09. Histerisis input 0,031 dan histerisis output 5,077. Selain itu didapat
hubungan antara torsi yang diterima oleh shaft dari bahan ferromagnetik dengan perubahan
medan magnetnya dengan persamaan y = -623,31x - 40,861. Dimana y : medan magnet (Gauss),
x : torsi (Nm), nilai -623,31 adalah konstanta k dengan dimensi satuan Gauss/Nm, dan -40,861
merupakan konstanta yang tidak berdimensi. Alat ukur torsi motor DC berdasarkan prinsip
Magnetoelastic Effect dapat dipenuhi, dengan rentang pengukuran yang linear 0,05 sampai 0,1
Nm.

Kata Kunci: Motor DC, Torsi, Kecepatan, Magnetoelastic Effect, Sensor Hall
Effect, Loadcell, Tachometer Optik

ABSTRACT
DC motors have many benefits in everyday life and industry. In general, DC motor performance
is seen from the parameters of torque and speed. These parameters can be determined by using
optical tachometers for speed and strain gauge sensors for torque measurement. Disadvantages
of the optical tachometer are not reliable in extreme environmental conditions. Weakness of
torque measurement with strain gauge is expensive, complicated installation and maintenance,
relatively short lifetime, and can not stand at high temperatures. The cause of the weakness of
torque measurement due to its measurement using contact principle. One method of non-contact
torque measurement is based on the principle of Magnetoelastic Effect. The working principle is

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 33


that if a ferromagnetic material is given force or torque it will have a magnetic field change
whose value will be proportional to the torque received. While the working principle of velocity
measurement is to detect changes in the polarity of the magnetic ring during rotation and read as
a digital signal by the sensor, and is used to find the speed of the motor rotation. In the testing
process we use optical tachometer calibrator for measurement of speed and torque measurement
using the theoretical torque value obtained from the force measurement (F) of loadcell
multiplied by arm length (L). The tachometer created has an error of 104.18% at 1.2 V input
(minimum), error -2.5% at input 6 V (middle), and error 4.76% at 12 V input (maximum),
Linearity increases by 0.9979 and linearity down 0.9978. The sensitivity was up 152.45 and the
sensitivity was down 153.09. Input hysteresis 0.031 and hysteresis output 5.077. In addition,
there is a correlation between the torque received by the shaft of the ferromagnetic material by
changing its magnetic field with the equation y = -623.31x - 40.861. Where the magnetic field
(Gauss), torque (Nm), the value -623.31 is the constant k with the unit dimensions Gauss / Nm,
and -40.861 are the dimensionless constants. DC motor torque measuring instrument based on
Magnetoelastic Effect principle can be made, with a linear measurement range of 0.05 to 0.1
Nm.

Keywords: DC Motor, Torque, Speed, Magnetoelastic Effect, Hall Effect Sensor,


Loadcell, Optical Tachometer

1. PENDAHULUAN
Motor listrik merupakan perangkat elektromagnetik yang mengubah energi listrik
menjadi energi mekanik[1]. Salah satu jenis motor listrik adalah motor DC, yaitu
perangkat yang memerlukan tegangan yang searah pada kumparan medan untuk diubah
menjadi energi mekanik. Data pengukuran seperti kecepatan motor diperlukan untuk
mengetahui performansi serta spesifikasi sistem sehingga pengguna motor DC dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan. Selain kecepatan, dibutuhkan informasi data yang
lebih teliti seperti torsi untuk sistem yang berotasi. Torsi adalah ukuran kemampuan
motor untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah suatu energi. Besaran torsi adalah besaran
turunan yang biasa digunakan untuk menghitung energi yang dihasilkan dari benda yang
berputar pada porosnya. Pengukuran torsi sangat dibutuhkan untuk menjamin ketelitian
dalam perancangan dan pemasangan mesin, peningkatan performansi mesin, dan kontrol
sistem transmisi daya. Kebutuhan akan pengukuran torsi senantiasa meningkat seiring
dengan peningkatan kapasitas produk mesin[2]. Dari hasil perkalian kecepatan dan torsi
akan didapatkan nilai daya yang ditransmisikan ke shaft[3].
Pengukuran kecepatan motor biasanya menggunakan alat yang dinamakan
tachometer. Tachometer konvensional menggunakan metode kontak sehingga lifetime
relatif lebih pendek dibanding tachometer non-kontak. Sedangkan tachometer non-
kontak yang banyak di pasaran saat ini menggunakan prinsip optik. Tachometer optik

34 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


terdiri dari jalur atau garis (stripe) yang terdapat di dalam batang lalu terdapat sebuah
atau lebih photosensor yang menghadap pada batang tersebut. Setiap batang tersebut
berputar maka photosensor akan mendeteksi jumlah stripe yang melewatinya. Kemudian
akan menghasilkan output yang akan berbentuk pulsa[4]. Kekurangan dari tachometer
optik adalah tidak reliable di kondisi lingkungan tertentu (kotor, panas, dll). Demikian
halnya dengan pengukuran torsi motor, alat ukur torsi yang saat ini sering digunakan
adalah torsimeter dengan sensor strain gauge. Torsimeter dengan sensor strain gauge
sendiri mempunyai beberapa kelemahan yaitu harganya relatif mahal (10-100 juta/unit),
pemasangan dan perawatan yang rumit, lifetime yang relatif pendek karena
menggunakan metode kontak, serta tidak tahan di temperatur tinggi.
Untuk itulah diambil topik “Rancang Bangun Alat Ukur Torsi dan Kecepatan
Motor DC dengan Prinsip Non-Kontak Berdasarkan Deteksi Medan Magnet”. Alat
ini didesain sederhana dan portable untuk mengukur dua parameter penting motor DC,
yaitu kecepatan dan torsi. Prinsip kerja pengukuran kecepatan pada alat ini adalah
dengan mengkopling shaft motor DC dengan shaft non-magnetik yang telah ditempel
dengan ring magnet. Berputarnya shaft motor menyebabkan ring magnet juga ikut
berputar. Sensor hall effect tipe switch mendeteksi perubahan polaritas (kutub utara dan
selatan) ring magnet selama berputar. Perubahan polaritas tersebut terbaca sebagai sinyal
digital oleh sensor, dan digunakan untuk mencari kecepatan putar dalam satuan rotasi per
menit (RPM). Sedangkan prinsip kerja pengukuran torsi adalah dengan mengkopling
shaft motor DC dengan shaft dari bahan ferromagnetik. Berdasarkan teori
Magnetoelastic Effect, apabila suatu bahan ferromagnetik diberi mechanical stress (baik
gaya maupun torsi) maka akan mengalami perubahan medan magnet. Sensor hall effect
tipe linear berfungsi untuk mendeteksi perubahan medan magnet tersebut yang nilainya
akan sebanding dengan torsi yang diterima.

2. TEORI DASAR
A. Motor DC
Motor listrik merupakan perangkat elektromagnetis yang mengubah energi listrik
menjadi energi mekanik[1]. Motor DC memerlukan tegangan yang searah pada kumparan
medan untuk diubah menjadi energi mekanik. Kumparan medan pada motor DC disebut
stator (bagian yang tidak berputar) dan kumparan jangkar disebut rotor (bagian yang
berputar). Jika terjadi putaran pada kumparan jangkar dalam pada medan magnet, maka
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 35
akan timbul tegangan (GGL) yang berubah-ubah arah pada setiap setengah putaran.
Bentuk motor paling sederhana memiliki kumparan satu lilitan yang bisa berputar bebas
di antara kutub-kutub magnet permanen seperti pada Gambar 1. Catu tegangan DC
menuju ke lilitan melalui sikat yang menyentuh komutator, dua segmen yang terhubung
dengan dua ujung lilitan. Kumparan satu lilitan pada gambar di atas disebut angker
dinamo. Angker dinamo adalah komponen yang berputar di antara medan magnet.
Mekanisme kerja untuk seluruh jenis motor secara umum arus listrik dalam medan
magnet akan memberikan gaya. Jika kawat yang membawa arus dibengkokkan menjadi
sebuah lingkaran / loop, maka kedua sisi loop, yaitu pada sudut kanan medan magnet,
akan mendapatkan gaya pada arah yang berlawanan. Pasangan gaya menghasilkan
tenaga putar / torsi / torque untuk memutar kumparan. Motor memiliki beberapa loop
pada dinamo untuk memberikan tenaga putaran yang lebih seragam dan medan
magnetnya dihasilkan oleh susunan elektromagnetik yang disebut kumparan medan.
Untuk mengetahui spesifikasi dan performansi motor DC sendiri diperlukan
pengujian, diantaranya adalah pengujian torsi dan kecepatan putar.

Gambar 1. Motor DC [5]

B. Pengukuran Kecepatan Putar


Besarnya gaya gerak listrik induksi pada kumparan armatur akibatnya
berputarnya rotor yang terletak diantara kutub magnet diperoleh dari persamaan 1.

................................................................................. 1
dimana:

Tegangan gaya gerak listrik (Volt)


Fluks magnet per kutub (Weber)
Jumlah kutub
36 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
Jumlah konduktor
Putaran rotor (RPM)
Atau dari persamaan 2:
.............................................................................. 2
Dengan

.............................................................................. 3
dimana:
Konstanta mesin
Sedangkan

............................................................................... 4
Jadi dari persamaan di atas diperoleh

................................................................................... 5
Dengan persamaan 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa kecepatan putar motor DC
dapat diperoleh dengan mengubah-ubah fluks magnet, pengaturan arus armatur atau
dengan pengubahan tegangan sumber[6]. Yang akan dibahas di penelitian ini adalah
pengaturan kecepatan putar motor DC dengan pengaturan sumber tegangan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa variasi tegangan akan mempengaruhi besarnya arus,
kondisi dimana arus bervariasi akan menyebabkan variasi penguatan medan armatur,
sehingga akan mempengaruhi kecepatan putar.
Dalam dunia industri, ISO 9000 dan kualitas spesifikasi kontrol dewasa ini juga
mengharuskan perusahaan untuk mengukur torsi selama proses produksi.

C. Pengukuran Torsi
Torsi adalah ukuran kemampuan mesin untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah
suatu energi. Besaran torsi adalah besaran turunan yang biasa digunakan untuk
menghitung energi yang dihasilkan dari benda yang berputar pada porosnya. Adapun
perumusan dari torsi adalah sebagai berikut. Apabila suatu benda berputar dan
mempunyai besar gaya sentrifugal sebesar F, benda berputar pada porosnya dengan jari-
jari sebesar b, dengan data tersebut torsinya adalah seperti persamaan 6 :
T= F.d ..................................................................................... 6
dimana:

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 37


T∶ Torsi benda berputar (N.m)
F∶ Gaya sentrifugal dari benda yang berputar (N)
d∶ Jarak benda ke pusat rotasi (m)
Karena adanya torsi inilah yang menyebabkan benda berputar terhadap porosnya,
dan benda akan berhenti apabila ada usaha melawan torsi dengan besar sama dengan
arah yang berlawanan.

Gambar 2. Pengujian Torsi [7]


Pada motor bakar untuk mengetahui daya poros harus diketahui dulu torsinya.
Pengukuran torsi pada poros motor bakar menggunakan alat yang dinamakan
dinamometer. Prinsip kerja dari alat ini adalah dengan memberi beban yang berlawanan
terhadap arah putaran sampai putaran mendekati 0 RPM, beban ini nilainya adalah sama
dengan torsi poros. Dapat dilihat dari Gambar 2 adalah prinsip dasar dari dinamometer.
Pada gambar tersebut dapat dilihat pengukuran torsi pada poros (rotor) dengan prinsip
pengereman dengan stator yang dikenai beban sebesar w. Mesin dinyalakan kemudian
pada poros disambungkan dengan dinamometer. Untuk megukur torsi mesin pada poros
mesin diberi rem yang disambungkan dengan w pengereman atau pembebanan.
Pembebanan diteruskan sampai poros mesin hampir berhenti berputar. Beban maksimum
yang terbaca adalah gaya pengereman yang besarnya sama dengan gaya putar poros
mesin F. Dari definisi disebutkan bahwa perkalian antara gaya dengan jaraknya adalah
sebuah torsi, dengan definisi tersebut torsi pada poros dapat diketahui dengan
persamaan7.
................................................................................. 7
dimana:
Torsi mesin (Nm)
Beban (N)
Jarak pembebanan dengan pusat perputaran (m)
38 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
Ingat w (beban/berat) disini berbeda dengan massa (m), jika massa satuan kg,
adapun beban disini adalah gaya berat dengan satuan N yang diturunkan dari persamaan
8.
................................................................................... 8
dimana:
Massa (kg)
Percepatan gravitasi (m/s2)
Pada mesin sebenarnya pembebanan adalah komponen-komponen mesin sendiri
yaitu aksesoris mesin (pompa air, pompa pelumas, dan kipas radiator), generator listrik
(pengisian aki, listrik penerangan, dan penyalan busi), gesekan mesin dan komponen
lainnya. Dari perhitungan torsi diatas dapat diketahui jumlah energi yang dihasikan
mesin pada poros. Jumlah energi yang dihasilkan mesin setiap waktunya adalah yang
disebut dengan daya mesin. Sedangkan energi yang diukur pada poros mesin dayanya
disebut daya poros.
Selain menggunakan prinsip dinamometer, dapat juga menggunakan prinsip
Magnetoelastic Effect. Berdasarkan teori Magnetoelastic Effect, apabila suatu bahan
ferromagnetik diberi mechanical stress (baik gaya maupun torsi) maka akan mengalami
perubahan medan magnet[8]. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

Sebelum mengalami perubahan medan Setelah mengalami perubahan medan


magnet akibat torsi magnet akibat torsi

Gambar 1. Magnetoelastic Effect

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 39


D. Magnet Neodymium
Magnet adalah suatu materi yang mempunyai suatu medan magnet. Materi
tersebut bisa dalam berwujud magnet tetap atau magnet tidak tetap. Magnet selalu
memiliki dua kutub yaitu: kutub utara (north / N) dan kutub selatan (south / S).
Walaupun magnet itu dipotong-potong, potongan magnet kecil tersebut akan tetap
memiliki dua kutub. Magnet dapat menarik benda lain. Beberapa benda bahkan tertarik
lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai
daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi yang
mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan plastik, kapas, dan kertas
adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet.
Magnet yang digunakan yaitu ring magnet neodymium seperti Gambar 4.
Magnet neodymium merupakan magnet tetap yang paling kuat. Magnet neodymium (juga
dikenal sebagai NdFeB, NIB, atau magnet Neo), merupakan sejenis magnet tanah yang
jarang, terbuat dari campuran logam neodymium. Neodymium adalah suatu unsur kimia
dalam tabel periodik yang memiliki lambang Nd dan nomor atom 60.

Gambar 4. Ring Magnet Neodymium

Sedangkan shaft magnetoelastic yang digunakan berasal dari material


ferromagnetik. Untuk mendapatkan kuat medan yang maksimal, shaft magnetoelastic
harus dimagnetisasi telebih dahulu.

E. Magnetisasi Material Ferromagnetik


Ferromagnetik adalah suatu material yang apabila didekatkan dengan medan
magnet akan memberikan respon positif. Sederhananya material tersebut akan menempel
pada magnet. Contoh material ferromagnetik adalah besi, baja, dll. Magnetisasi adalah

40 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


sebuah proses pengutuban arah momen-momen dipole magnetik dari atom-atom atau
molekul-molekul bahan tersebut, khususnya pada bahan ferromagnetik, yang
menyebabkan bahan ferromagnetik yang semula bukan magnet setelah dimagnetisasi
akan menjadi magnetik dengan kutub utara dan selatan tertentu sesuai dengan arah
besaran vektor intensitas medan magnetik yang melakukan fungsi magnetisasi tersebut.
Proses ini ditentukan oleh jenis bahan yang disesuaikan dengan kekuatan medan magnet.
Pada sebagian besar bahan, proses magnetisasi sangat kecil. Bahan yang dimagnetisasi
pada penelitian ini adalah ring neodymium dan shaft besi (panjang 20 cm dan diameter 4
mm). Alat yang digunakan untuk memagnetisasi adalah Magnet Physic Impuls
Magnetisierer IM-2525-X-MS/DD-C. Shaft tersebut dimagnetisasi dengan tegangan
maksimal yaitu sebesar 2.500 Volt dan arus maksimal senilai 20.000 Ampere. Prinsip
dari magnetisasi adalah untuk menyearahkan partikel material sehingga menjadi sebuah
magnet. Material ini ditempatkan diantara kutub elektro magnetik yang sangat kuat dan
oriantasi kutub yang diinginkan dari proses magnetasi. Alat akan mengisi daya magnet
pada sebuah periode atau waktu yang ditentukan. Daya magnetik akan meluruskan
kelompok atom atau domain magnetic material, Setelah dimagnetisasi kuat medan
magnet pada material ferromagnetik akan meningkat, hal tersebut ditunjukkan dengan
naiknya pembacaan medan magnet (dalam Gauss) saat material tersebut diukur dengan
sensor Hall Effect sebagai komponen pendeteksi medan magnet.

F. Sensor Hall Effect


Tegangan Hall (VH) adalah tegangan yang dihasilkan dari efek medan magnet
yang bereaksi tegak lurus terhadap arah arus listrik. Tegangan Hall ditemukan oleh
Herbert Hall pada tahun 1879. Sensor Hall Effect yang ada dirancang berdasarkan
Prinsip Hall Effect. Tegangan dihasilkan secara melintang/tegak lurus terhadap arah arus
listrik oleh konduktor listrik (Tegangan Hall), jika medan magnet diterapkan tegak lurus
terhadap konduktor. Arus listrik ditahan tetap konstan agar dapat mengukur densitas flux
magnetik. Sensor Hall Effect yang digunakan terdiri dari dari tipe, yaitu Sensor Hall
Effect Linear UGN3503U dan Sensor Hall Effect Switch HI 400. Untuk mendapatkan
data pengukuran kuat medan magnet yang benar, keluaran dari sensor Hall Effect
dibandingkan dengan hasil pembacaan gaussmeter tipe 3251 Yokogawa seperti pada
Gambar 5.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 41


Gambar 5. Gaussmeter Tipe 3251 Yokogawa

Sensor Hall Effect UGN3505 adalah sensor yang berfungsi untuk mendeteksi
medan magnet. Sensor Hall Effect memberikan output berupa tegangan yang
proporsional dengan kekuatan medan magnet yang diterima oleh sensor tersebut. Sensor
Hall Effect ini dibangun dari sebuah lapisan silikon dan dua buah elektroda pada masing-
masing sisi silikon. Pada saat tanpa ada pengaruh dari medan magnet maka beda
potensial antar kedua elektroda tersebut 0 Volt karena arus listrik mengalir ditengah
kedua elektroda. Ketika terdapat medan magnet mempengaruhi sensor ini maka arus
yang mengalir akan berbelok mendekati/menjauhi sisi yang dipengaruhi oleh medan
magnet. Hal ini menghasilkan beda potensial diantara kedua elektroda dari sensor Hall
Effect, dimana beda potensial tersebut sebanding dengan kuat medan magnet yang
diterima oleh sensor ini [9].
Di dalam sensor ini sudah dibangun sebuah penguat yang memperkuat sinyal dari
rangkaian sensor dan menghasilkan tegangan output ditengah-tengah tegangan supply.
Sensor ini dapat merespon perubahan kekuatan medan magnet yang statis dan dinamis
dengan frekuensi sampai 20 kHz. Perbedaan mendasar UGN3505U dengan HI 400
adalah jenis sinyal output-nya. UGN3505U mempunyai sinyal output analog, sedangkan
HI 400 output-nya digital.

3. METODOLOGI (PERANCANGAN PROTOTIPE)


A. Prinsip Kerja Prototipe Tachometer
Sensor yang digunakan pada tachometer ini adalah sensor Hall Effect Switch tipe
HI 400, yaitu sensor yang dapat mendeteksi medan magnet dengan keluaran berupa

42 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


variabel tegangan. Sensor akan mendeteksi polaritas utara atau selatan dari sebuah ring
magnet diametral yang ditempelkan pada shaft alumunium, sehingga ring juga ikut
berputar ketika shaft berputar. Bahan dari ring magnet ini sendiri terbuat dari
Neodymium (NdFeB), yang merupakan salah satu magnet kuat yang memiliki nilai
medan magnet yang besar. Sesuai dengan Gambar 6, prinsip kerja dari pengukuran
kecepatan motor menggunakan metode ini adalah ketika shaft berputar, ring magnet juga
ikut berputar. Kemudian kutubnya akan dideteksi oleh sensor Hall Effect Swith yang
kemudian diproses oleh mikrokontroler dan menghasilkan pulsa. Pulsa tersebut terdiri
atas dua jenis yaitu High dan Low, dimana High adalah ketika yang terdeteksi adalah
kutub selatan dan Low adalah ketika yang terdeteksi kutub utara. Satu putaran
didefinisikan ketika awalnya terdeteksi High dan setelah itu terdeteksi lagi. Timer yang
digunakan adalah timer dari mikrokontroler Arduino Uno R3, sehingga setelah diproses
diperoleh nilai RPM dari shaft motor tersebut.

Gambar 6. Prinsip Kerja Prototipe Tachometer

B. Prinsip Kerja Prototipe Torsimeter


Prototipe torsimeter pada Gambar 7 digunakan sebagai alat ukur torsi non-kontak
dengan menggunakan metode pengukuran in-line, yaitu metode pengukuran torsi dengan
memasukkan alat ukur ke dalam sebuah sistem dimana objek ukur sedang berputar dan
diberi beban. Objek ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah motor DC 12 Volt.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 43


Prinsip kerja alat ukur torsi ini adalah motor yang ingin diketahui nilai torsinya
dihubungkan dengan shaft besi yang sudah dimagnetisasi sehingga shaft besi juga ikut
berputar dengan motor. Pada ujung shaft besi tersebut diberi beban dan pada bagian
tengah shaft besi dipasang sebuah sensor Hall Effect dengan jarak 2 mm yang digunakan
untuk mengetahui perubahan besar medan magnet yang terjadi ketika shaft tersebut
diberikan torsi yang berbeda. Nilai perubahan medan magnet dari shaft besi yang sudah
dimagnetisasi tersebut akan sebanding dengan nilai torsi dari objek ukur motor yang
digunakan pada penelitian ini. Pemrosesan nilai medan magnet dari shaft akan diproses
oleh mikrokontroler Arduino Uno 3 untuk mengkonversi nilai medan magnet menjadi
nilai torsi yang akan ditampilkan pada LCD 16x2.
Bagian penting dari sistem pengukuran ini adalah terletak pada shaft besi yang
telah dimagnetisasi. Bagian ini perlu perlakuan khusus agar diperoleh hasil perbandingan
nilai torsi yang baik.

Gambar 7. Prinsip Kerja Prototipe Torsimeter

C. Pembuatan Main Body


Main body pada Gambar 8 dan 9 merupakan bagian alat ukur sebagai sistem mekanik
untuk melakukan pengujian. Main body sendiri terdiri dari beberapa bagian diantaranya
dudukan motor, kopling shaft motor dengan shaft alumunium, kotak tempat komponen
elektronik diletakkan, dan shaft alumunium. Main body pada torsimeter merupakan
benda yang sama dengan main body pada tachometer. Hanya saja main body pada
torsimeter mengganti shaft alumunium dengan shaft besi dan menambahkan kopling
lengan pada ujung shaft besi sebagai beban.

44 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


dudukan kotak komponen
motor

shaft
kopling alumunium

Gambar 8. Main Body Tachometer

dudukan kotak komponen


motor

kopling

shaft besi
kopling
lengan
Gambar 9. Main Body Torsimeter

D. Pembuatan Perangkat Lunak

Gambar 10. Diagram Alir Perhitungan Tachometer


ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 45
Mikrokontroler Arduino Uno R3 sebagai komponen utama perangkat lunak
dalam mengolah sinyal dan data sehingga diperoleh nilai torsi dan RPM. Nilai torsi dan
RPM ditentukan berdasarkan nilai tegangan keluaran dari sensor Hall Effect. Nilai torsi
dan RPM akan ditampilkan pada sebuah LCD 16x2. Diagram alir program yang
digunakan adalah seperti Gambar 10 dan 11.

Gambar 11. Diagram Alir Perhitungan Torsimeter

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Pengujian Sensor
Pengujian dilakukan untuk mengetahui karakteristik umum sensor dalam
pengoptimalan aplikasinya. Pengujian karakteristik sensor HI 400 dibatasi hanya
menguji jarak efektif antara sensor dengan ring magnet. Sampel ring magnet yang
digunakan neodymium (2.000 Gauss) dengan polaritas diametral. Prosedur pengujiannya
adalah secara bergantian, jauh dekatkan magnet dengan sensor untuk melihat jarak
46 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
efektif yang masih dapat terbaca oleh sensor. Hasil pengujian karakteristik sensor dalam
hal pembacaan efektif didapatkan data jarak 5 mm untuk ring magnet neodymium (2.000
Gauss).
Pengujian karakteristik sensor UGN3503U terdiri dari pengujian kalibrasi sensor
dengan gaussmeter tipe 3251 Yokogawa dan pengujian karakteristik sensor terhadap
perubahan jarak. Pengujian kalibrasi sensor sendiri menggunakan magnet koin barrium
ferrite tipe aksial dengan kuat medan 700 Gauss. Prosedur pengujian kalibrasi sensor
UGN3503U adalah pilih beberapa titik pengukuran pada magnet. Secara bergantian ukur
titik tersebut dengan menggunakan probe gaussmeter dan sensor UGN3503U.
Berdasarkan data pengujian yang didapat pada 3 posisi (-700 Gauss, 0 Gauss, dan 700
Gauss) dengan masing-masing posisi diuji sebanyak 3 kali, didapat grafik seperti
Gambar 12. Terlihat bahwa nilai pembacaan sensor sama dengan nilai keluaran
gaussmeter standar. Sehingga nilai pembacaan sensor dapat dipercaya untuk prototipe
torsimeter.

Grafik Pengujian
Kalibrasi Sensor Hall Effect
UGN3503U
1000
Medan Magnet (Gauss)

500
sensor 1
0
sensor 2
0 1 2 3 4
-500 gaussmeter

-1000
Posisi ke-

Gambar 12. Grafik Pengujian Kalibrasi Sensor UGN3503U


Pengujian karakteristik sensor terhadap perubahan jarak menggunakan magnet
yang sama seperti sebelumnya, yaitu magnet koin barrium ferrite tipe aksial dengan kuat
medan 700 Gauss. Prosedur pengujiannya adalah jauh dekatkan magnet dengan sensor
untuk melihat jarak efektif yang masih dapat terbaca oleh sensor. Berdasarkan data
pengujian, didapat grafik seperti di Gambar 13. Terlihat bahwa nilai pembacaan sensor
yang linear terdapat pada jarak kurang dari 20 mm.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 47


Grafik Hubungan Antara Jarak dengan
Perubahan Medan Magnet

Medan Magnet (Gauss)


600.0000000
400.0000000
200.0000000 hubungan antara
jarak dengan
0.0000000 perubahan fluks
0 20 40 60 80
Jarak (mm)

Gambar 13. Grafik Hubungan Jarak dengan Perubahan Medan Magnet

B. Pengujian Kalibrasi Prototipe Tachometer


Pengujian kalibrasi alat ukur ini dilakukan untuk mengetahui jumlah putaran
yang dinyatakan sebagai kecepatan dalam RPM. Kalibrasi dilakukan untuk
membandingkan alat ukur uji (sensor Hall Effect Switch HI 400) dengan alat ukur
standar (tachometer optik). Prinsipnya adalah membandingkan nilai kecepatan putar
(RPM) yang dideteksi sensor dengan tachometer optik. Adapun prosedur kalibrasinya
adalah sebagai berikut :
1. Pastikan prototipe tachometer, power supply, mikrokontroler Arduino, display
(LCD), kabel-kabel, serta alat standar (tachometer optik) telah siap untuk digunakan.
2. Pasang shaft alumunium yang telah ditempeli ring magnet pada motor DC yang
akan diuji. Tempelkan sedikit kertas uji untuk tachometer optik di atas ring magnet.
3. Sambungkan motor DC dengan input tegangan dari power supply yang telah
terhubung pada sumber AC 220 Volt.
4. Rangkaikan sensor HI 400 dengan Arduino. Pin 1 sensor pada pin 5 Volt, pin 4
sensor pada GND, dan pin 2 sensor pada pin input digital D2. Selanjutnya,
sambungkan kabel USB Arduino ke komputer.
5. Nyalakan push button (on) pada power supply sebagai tanda bahwa telah siap untuk
dilakukan pengujian.
6. Buka software Arduino pada komputer dan upload programnya.
7. Putar potensiometer pada power supply untuk mengatur input tegangan pada motor
DC. Kemudian berikan input tegangan dari kecil ke besar kemudian dari besar ke
kecil.

48 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


8. Saat shaft motor berputar untuk dilakukan pengujian, posisikan tachometer secara
tegak lurus terhadap bidang pantul pada kertas ujinya agar cahaya tembak (laser) dari
tachometer dapat secara tepat mengenai kertas uji tersebut. Kemudian tekan tombol
on pada tachometer untuk melakukan pengujian.
9. Selanjutnya, hasil pengujian dapat dilihat pada display tachometer. Sedangkan hasil
pengujian dari sensor dapat dilihat pada layar LCD berupa nilai kecepatan putar
(RPM).
Hasil pengujian kalibrasi alat ukur yang dilakukan antara lain pengujian dengan
input tetap dan input berubah. Hasil pengujiannya antara lain sebagai berikut :
a. Pengujian dengan input tetap
Pengujian dengan input tetap digunakan untuk menghitung nilai akurasi, presisi,
bias, dan error. Pada pengujian ini dilakukan di tiga titik uji, yaitu titik minimum,
tengah, dan maksimum. Adapun data-data hasil pengujiannya adalah sebagai
berikut :

 Pengujian pada input 1,2 Volt (minimum)


Tabel 1. Pengujian Input Minimum
Hasil Uji Hasil Standar
Pengujian ke-
(RPM) (RPM)
1 60 116,3
2 120 116,3
3 60 116,3
4 120 116,3
5 60 116,3
6 120 116,3
7 60 116,3
8 120 116,3
9 60 116,3
10 120 116,3

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 49


 Pengujian pada input 6 Volt (titik tengah)
Tabel 2. Pengujian Input Tengah
Hasil Uji Hasil Standar
Pengujian ke-
(RPM) (RPM)
1 840 819,5
2 840 819,5
3 840 819,5
4 840 819,5
5 840 819,5
6 840 819,5
7 840 819,5
8 840 819,5
9 840 819,5
10 840 819,5

 Pengujian pada input 12 Volt (maksimum)


Tabel 3. Pengujian Input Maksimum
Hasil Uji Hasil Standar
Pengujian ke-
(RPM) (RPM)
1 1740 1759
2 1800 1759
3 1740 1759
4 1800 1759
5 1740 1759
6 1800 1759
7 1740 1759
8 1800 1759
9 1740 1759
10 1800 1759

Berdasarkan hasil pengujian dengan input tetap, berikut karakteristik prototipe


tachometer :

50 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 4. Tabel Karakteristik Prototipe Tachometer
Input Input
Input Maksimum
Karakteristik Minimum Tengah
(12 V)
(1,2 V) (6 V)
Standar Deviasi 31.62 0 31.62
Rata-rata 90 840 1770
Bias 26.2 -20.5 -11
Akurasi (%) -4.09 97.5 95.23
Presisi (%) -5.4 100 94.64
Error (%) 104.18 -2.5 4.76

b. Pengujian dengan input berubah


Pengujian dengan input berubah digunakan untuk mengetahui linearitas, histerisis, dan
sensitivitas alat. Percobaan dilakukan dengan input tegangan yang berubah setiap 1 Volt.
Data hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :

1) Grafik Linearitas Pengukuran Naik

Gambar 14. Grafik Pengukuran Naik

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 51


2) Grafik Linearitas Pengukuran Turun

Gambar 15. Grafik Pengukuran Turun

3) Grafik Histerisis Pengukuran Naik dan Turun

Gambar 16. Histerisis

Berdasarkan hasil grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa baik pada pengukuran naik
maupun turun, masing-masing memiliki linearitas yang baik. Terlihat pada Gambar 14
dan Gambar 15 harga koefisien korelasinya yang mendekati nilai satu (R2 ≈ 1), yaitu
(0,9979 ≈ 1) dan (0,9978 ≈ 1). Sedangkan untuk nilai sensitivitasnya, pada pengukuran
naik nilainya 152,45 dan pada pengukuran turun nilainya 153,09. Kedua nilai sensitivitas

52 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


tersebut menunjukkan bahwa sensitivitas alat tidak baik karena nilainya yang terlalu
besar (sensitivitas ≠ 1).
Grafik histerisis ditunjukkan pada Gambar 16 dan perhitungan histerisisnya adalah
sebagai berikut :
eon = 152,45 ein – 84,277
eot = 153,09 eit – 89,354
pada eon = 0 → ein = 0,552
pada eot = 0 → eit = 0,583
pada ein = 0 → eon = -84,277
pada eit = 0 → eot = -89,354
Histerisis input : │ein - eit│ = │0,552 - 0,583│ = 0,031
Histerisis output : │eon - eot│ = │-84,277 - (-89,354)│ = 5,077.
Berdasarkan nilai histerisis yang didapat, diketahui bahwa histerisis input-nya relatif
baik. Hal ini dikarenakan nilai histerisisnya mendekati harga nol (0,031 ≈ 0). Sedangkan
untuk histerisis output-nya dapat dikatakan buruk karena nilainya yang relatif besar yaitu
5,077 dan tidak mendekati harga nol.

C. Pengujian Kalibrasi Prototipe Torsimeter


Pengujian kalibrasi alat ukur ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
perubahan medan magnet dengan torsi yang diterima. Nilai torsi didapat dari perkalian
nilai beban (w) dengan panjang lengan (d) yang dinyatakan dalam Nm. Kalibrasi
dilakukan untuk membandingkan alat ukur uji (sensor Hall Effect Linear UGN3503U)
dengan alat ukur standar (Phidget Bridge). Prinsipnya adalah membandingkan nilai
perubahan medan magnet (Gauss) yang dideteksi sensor dengan nilai beban (w) yang
dideteksi Phidget Bridge dikali panjang lengan (d) yang diukur dengan jangka sorong.

Gambar 17 Posisi Sensor

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 53


Adapun prosedur kalibrasinya adalah sebagai berikut :
1. Pastikan prototipe torsimeter, power supply, jangka sorong, mikrokontroler
Arduino, display (LCD), kabel-kabel, serta alat standar (Phidget Bridge) telah siap
untuk digunakan.
2. Pasang shaft besi yang telah dimagnetisasi pada motor DC yang akan diuji. Pasang
kopling lengan diujung satunya.
3. Ukur panjang kopling lengan dari poros sampai ujung yang akan menekan Phidget
Bridge dengan jangka sorong. Catat nilai panjang lengan (d).
4. Sambungkan motor DC dengan input tegangan dari power supply yang telah
terhubung pada sumber AC 220 Volt.
5. Rangkaikan 2 sensor UGN3503 dengan Arduino. Pin 1 sensor pada pin 5 Volt, pin
2 sensor pada GND, dan pin 3 sensor pada pin input analog A0 (Sensor 1) dan A2
(Sensor 2). Sensor 1 diletakkan sekitar 3 cm dari kopling motor (moving part) dan
sensor 2 diletakkan sekitar 3 cm dari kopling lengan (fix part) seperti pada Gambar
17. Keduanya berjarak 2 mm dari shaft besi. Selanjutnya, sambungkan kabel USB
Arduino ke komputer.
6. Nyalakan push button (on) pada power supply sebagai tanda bahwa telah siap untuk
dilakukan pengujian.
7. Buka software Arduino pada komputer dan upload programnya.
8. Putar potensiometer pada power supply untuk mengatur input tegangan pada motor
DC. Kemudian berikan input tegangan dari kecil ke besar kemudian dari besar ke
kecil.
9. Putaran motor akan tertahan oleh kopling lengan. Ujung kopling lengan akan
menekan phidget bridge. Beban (w) yang diterima motor akan terbaca di software
phidget bridge pada layar komputer dalam bentuk tegangan, kemudian
dikonversikan dalam besaran Newton. Catat hasilnya. Cari nilai torsi dengan cara
mengalikan nilai beban (w) dengan panjang lengan (d).
10. Sementara itu perubahan medan magnet pada 2 titik di shaft besi akan ditampilkan
pada layar LCD.

Berdasarkan data yang diperoleh, grafik pembacaan perubahan medan magnet


pada sensor 1 adalah seperti Gambar 18.

54 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 18. Pengukuran Naik Sensor 1

Berdasarkan data yang diperoleh, grafik pembacaan perubahan medan magnet pada
sensor 2 adalah seperti Gambar 19.

Grafik Pengukuran Naik


Pembacaan Perubahan Medan
Magnet di Sensor 2
200 y = 7.8802x + 59.371
Medan Magnet (Gauss)

R² = 0.7645
150
hubungan tegangan
100 dengan perubahan
fluks
50 Linear (hubungan
tegangan dengan
0 perubahan fluks)
0 5 10 15
Tegangan Masukan (V)

Gambar 19. Grafik Pengukuran Naik Sensor 2


Berdasarkan data nilai torsi dari perkalian beban (w) dengan panjang lengan (d)
yang diperoleh, didapat hubungan tegangan masukan motor dengan torsi yang diberikan
seperti terlihat pada Gambar 20.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 55


Gambar 20. Grafik Pengukuran Naik Hubungan Tegangan-Torsi

Kemudian didapatlah hubungan torsi dengan perubahan medan magnet seperti


terlihat pada Gambar 21 dan Gambar 22.

Gambar 21. Hubungan Torsi-Medan Magnet pada Sensor 1

56 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 22. Hubungan Torsi-Medan Magnet pada Sensor 2

Terlihat bahwa hasil pembacaan sensor 1 lebih linear dibanding sensor 2. Hal ini
ditunjukan oleh harga koefisien korelasinya yang mendekati nilai satu (R2 ≈ 1), yaitu
(0,8287 ≈ 1) untuk sensor 1 dan (0,7113 ≈ 1) untuk sensor 2. Sedangkan untuk nilai
sensitivitasnya, pada pengukuran naik sensor 1 nilainya -623,31 dan pada pengukuran
naik sensor 2 nilainya 669,26.
Selain itu, pada titik uji sensor 1 kuat medan magnet material shaft besi dapat
kembali seperti nilai awal setelah tidak mendapat torsi yaitu -7,512 Gauss. Sedangkan
pada titik uji sensor 2 menunjukkan pembacaan 112,68 Gauss walaupun sudah tidak ada
torsi. Hal ini berarti material di titik tersebut mengalami saturasi. Dapat disimpulkan
bahwa titik uji pada sensor 1 lebih merepresentasikan hubungan torsi dengan perubahan
medan magnet dengan persamaan 9:
y = -623,31x - 40,861 ................................................................................... 9
dimana:
y∶ Medan magnet (Gauss)
x∶ Torsi (Nm)
dengan rentang pengukuran yang linear 0,05 sampai 0,1 Nm. Dimana nilai -623,31
adalah konstanta k dengan dimensi satuan Gauss/Nm dan -40,861 merupakan konstanta
yang tidak berdimensi.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 57


5. KESIMPULAN
Alat ukur kecepatan motor DC dengan prinsip deteksi medan magnet dapat
dikembangkan dan memiliki tegangan ideal pada input tengah (6 V) dengan error - 2,5 %
sebagai bias sensor. Pada pengukuran naik maupun turun, alat memiliki linearitas yang
baik, karena harga koefisien korelasinya yang mendekati nilai satu (R2 ≈ 1), yaitu
(0,9979 ≈ 1) dan (0,9978 ≈ 1). Sedangkan untuk nilai sensitivitasnya, pada pengukuran
naik nilainya 152,45 dan pada pengukuran turun nilainya 153,09. Kedua nilai sensitivitas
tersebut menunjukkan bahwa sensitivitas alat tidak baik karena nilainya yang terlalu
besar (sensitivitas ≠ 1). Berdasarkan nilai histerisis yang didapat, diketahui bahwa
histerisis input-nya relatif baik. Hal ini dikarenakan nilai histerisisnya mendekati harga
nol (0,031 ≈ 0). Sedangkan untuk histerisis output-nya dapat dikatakan buruk karena
nilainya yang relatif besar yaitu 5,077 dan tidak mendekati harga nol. Terdapat hubungan
antara torsi yang diterima oleh shaft dari bahan ferromagnetik dengan perubahan medan
magnetnya dengan persamaan y = -623,31x - 40,861. Dimana medan magnet (Gauss),
torsi (Nm), nilai -623,31 adalah konstanta k dengan dimensi satuan Gauss/Nm, dan -
40,861 merupakan konstanta yang tidak berdimensi. Alat ukur torsi motor DC
berdasarkan prinsip Magnetoelastic Effect dapat dipenuhi, dengan rentang pengukuran
yang linear 0,05 sampai 0,1 Nm.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didukung oleh program kerjasama pendidikan antara Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia dan Institut Teknologi Bandung serta Pusat Penelitian
Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET-LIPI).

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Zuhal. 1988. Dasar Teknik Tenaga Listrik dan Elektronika Daya. Jakarta: Gramedia.
[2] Yeon Doo Cheong, Ji Woong Kim, Se Hoon Oh and Chong Won Lee. 1999. Analysis
and development of the angular twist type torque-sensor. Composite Structures 47:
457-462.
[3] V. Lemarquand and G. Lemarquand. 1991. Magnetic differential torque sensor.
IEEE Transactions Magnetics, 31: No. 6.

58 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[4] Prinsip Kerja Tachometer. 2016. http://dokumen.tips/documents/prinsip-kerja-
tachometer-56dd4c5eefe2b.html. Tanggal akses 7 Mei 2016.
[5] Sumanto. 1994. Mesin Arus Searah. Jogjakarta: Penerbit ANDI OFFSET.
[6] Malang, Yulianto. 2015. Praktikum 3 : Karakteristik Motor DC.
yuliantopraktikummesinlistrik.blogspot.co.id. Tanggal akses 21 Mei 2016.
[7] Kamala, Arief. 2013. Menghitung Daya dan Torsi Mesin. ariefkamala.blogspot.co.id.
Tanggal akses 4 April 2016.
[8] Methode Electronics Inc. 2015. Magnetoelastic Sensor Technology. Methode.com.
Tanggal akses 23 Maret 2016.
[9] Allegro MicroSyatem, Inc. 1999. Datasheet UGN3503U. Allegromicro.com. Tanggal
akses 8 Januari 2016.

HASIL DISKUSI:
Nama Penanya : Hafid

Pertanyaan :
1. Pada pengukuran 0.05 – 0.1 Nm apakah ada evaluasi ketidakpastiannya?
2. Persamaan pada Torsi itu didapat darimana?

Jawaban :
Pada prototype ini kami baru menemukan korelasi antara hubungan torsi dan nilai fluks,
sehingga belum ada ketidakpastiannya. Persamaan pada torsi didapat dari percobaan
(experimental equation)

Nama Penanya : Windi Kurnia

Pertanyaan :
1. Menurut abstrak, Pada input 1.2 volt errornya sangat besar, kenapa tetap
menggunakan input tersebut?
2. Dalam batasan masalah disebutkan tachometer tidak bisa digunakan di kondisi
ekstrim, tapi ternyata alat ini juga tidak digunakan di kondisi ekstrim, jadi apa
kelebihannya?

Jawaban :
1. Input 1.2 volt digunakan karena itu adalah tegangan minimum
2. Dalam pengujian ini, kami belum menguji di kondisi ekstrim, secara teori harusnya
bisa

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 59


PENENTUAN DAERAH UKUR TERBAIK 5.000 ML SEBAGAI
STANDAR VOLUME DALAM SISTEM PENGUJIAN
SENSOR CURAH HUJAN
Dadang Rustandi, Jalu A. Prakosa, Sensus Wijonarko,
Bernardus H. Sirenden, Tatik Maftukhah
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten.
drustandi@kim.lipi.go.id

INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan daerah ukur terbaik pada tabung 5.000 ml
dengan metode volumetrik untuk digunakan dalam sistem pengujian sensor curah hujan.
Dari hasil pengukuran volume air pada rentang ukur (0~4000) ml diperoleh bahwa
hubungan antara tinggi muka air (h) dengan volume air (V) berbanding lurus secara
linear tetapi tidak sempurna (R2=0,999) berdasarkan persamaan V=19,02*h - 37,80.
Ketidaksempurnaan tersebut diperjelas dengan nilai resolusi skala ukur tabung yang
bervariasi antara 17,857~20,000 ml/mm. Daerah pengukuran tinggi muka air terbaik
dengan resolusi skala regresi 19,02 ml/mm berada di antara 135 mm (volume 2500 ml)
sampai dengan 160 mm (volume 3000 ml) dengan nilai kesalahan 0.18 %.

Kata kunci: Skala, rentang ukur, tabung, standar volume, pengujian, sensor curah hujan

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the best measurement range in a 5,000 ml tube with
volumetric method used in a rainfall sensor testing system. From the water volume measurement
results in the measurement range of 0 ml ~ 4,000 ml, it was obtained that the relationship
between the water level (h) and the water volume (V) was directly proportional but in an
imperfect linear form (R2 = 0.9994) based on the equation V = 19.02*h – 37.80. The
imperfection was strengthened by the scale resolution values of the tube that varied between
17,857 ml/mm ~ 20,000 ml/mm. The best water level measurement range at the regression scale
resolution of 19.02 ml/mm was between 135 mm (2,500 ml volume) to 160 mm (3,000 ml
volume).

Keywords: Scale, measurement range, tubes, volume standard, testing, rainfall sensor

1 PENDAHULUAN
Curah hujan atau presipitasi adalah peristiwa turunnya titik-titik air atau kristal-
kristal es dari awan sampai ke permukaan tanah[1]. Nilai curah hujan 1 (satu) mm, artinya
dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 (satu)
mm atau sebanyak 1000 ml atau 1 (satu) liter[1]. Untuk mendapatkan nilai curah hujan,
60 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43
digunakan sensor curah hujan yang dapat menampung dan mengukur air hujan.
Beberapa sensor curah hujan yang lazim digunakan selama ini adalah: tipe
Tipping Bucket[2,3,4,5], Hellmann[3,5], dan Observatorium[3,5]. Sensor curah hujan tipe
Hellman dan Observatorium pengukuran dilakukan secara manual, sedangkan untuk tipe
Tipping bucket merupakan sensor curah hujan otomatis yang menggunakan prinsip
menimbang berat air hujan yang tertampung, kemudian disalurkan dengan sebuah skala
ukur (penampung) yang telah ditetapkan berdasarkan pengujian dan kalibrasi. Pada
prinsipnya apabila hujan turun, maka air akan masuk melalui corong besar dan corong
kecil, kemudian kapasitas curah hujan diukur dengan melakukan perhitungan jumlah
tumpahan pada penampung berjungkit[2].
Pada penelitian “Pembuatan Sistem Pengukur Mawar Hujan”, telah dilakukan
pembuatan sensor curah hujan tipe tipping bucket sebanyak 49 sensor[2]. Sebelum
dilakukan pemasangan pada sistem pengukur mawar hujan, dilakukan pengujian
terhadap semua sensor curah hujan, untuk mengetahui apakah sensor-sensor tersebut
dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu menghasilkan nilai yang benar dan
tertelusur ke SNSU (Standar Nasional Satuan Ukuran). Untuk itu, perlu dilakukan
pengujian dengan peralatan yang telah terkalibrasi seperti tabung ukur, pompa,
timbangan, stopwatch, dll. Tabung ukur yang tersedia di laboratorium, memiliki saluran
outlet dengan volume lebih dari 500 ml namun tidak memiliki skala pengukuran. Untuk
menggunakan suatu wadah sebagai standar volume pada pengujian sensor curah hujan
maka diperlukan skala pengukuran yang akurat. Oleh karena itu tabung beroutlet tersebut
harus ditentukan skala pengukurannya dahulu sebelum dapat digunakan sebagai standar
volume dalam sistem pengujian sensor curah hujan.
Pusat Penelitian Metrologi LIPI memiliki fasilitas standar massa yang dapat
dijadikan acuan ketertelusuran pengukuran volume tabung tersebut. Metode
penimbangan dapat digunakan untuk menjamin kebenaran nilai ukur penentuan skala
tabung dengan prinsip dasar pengukuran volume air yang merupakan definisi dari
besaran massa air terukur per densitas air yang menempati tabung tersebut[5]. Gelas ukur
100 ml yang telah dikalibrasi melalui metode gravimetrik dapat digunakan untuk
menentukan volume rujukan yang digunakan pada tabung secara volumetrik. Tujuan
penelitian ini adalah menentukan skala pengukuran tabung dengan metode volumetrik
untuk mendapatkan standar volume pada pengujian sensor curah hujan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 61


2 TEORI DASAR
Salah satu besaran curah hujan adalah besaran volume. Prover standar volume
yang banyak digunakan berbentuk tabung dan bola. Pada penelitian ini akan digunakan
tabung sebagai standar volume karena prinsip pengukuran yang lebih sederhana. Volume
dapat diukur melalui perkalian luas penampang dengan ketinggiannya. Sehingga jika
luas penampangnya diasumsikan tetap maka perhitungan volume sebanding dengan
ketinggian tabung. Untuk pengujian sensor curah hujan diperlukan tabung yang memiliki
saluran keluaran (outlet) dan memiliki skala ukur. Karena tabung gelas yang tersedia
tidak memiliki skala maka tabung tersebut perlu ditentukan skala secara vertikal
sehingga dapat digunakan sebagai standar volume yang memadai..

V h

AA

Gambar 1. Tabung sebagai standar volume

Jika luas penampang tabung diasumsikan tetap, maka volume tabung sebanding
dengan ketinggian tabung.
V  A.h 2
Keterangan :
V = Volume tabung, liter
A = Luas penampang, dm2
h = Ketinggian tabung, dm

3 METODOLOGI
Untuk membangun sistem pengujian sensor curah hujan sebagaimana terlihat
pada Gambar 2 diperlukan sebuah tabung standar volume. Tabung tersebut berfungsi

62 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


sebagai sumber air sekaligus sebagai pengukur besarnya volume air yang digunakan
untuk pengujian.

Gambar 2. Diagram blok sistem pengujian sensor curah hujan

Tabung gelas yang tersedia dapat menampung air 5000 ml, berukuran diameter
luar 155 mm dan tinggi 280 mm, mempunyai saluran keluaran (outlet) pada posisi 25
mm dari dasar tabung. Kekurangan tabung tersebut adalah tidak memiliki skala, sehingga
sulit untuk menentukan berapa banyak volume air yang dikeluarkan.
Untuk menanggulangi kekurangan tersebut dilakukan pemasangan skala ukur
dengan cara memasang mistar ukur stainless steel berukuran 300 mm. Mistar ukur
dipasang secara vertikal dan titik nol pengukuran ditetapkan pada posisi sejajar dengan
titik tengah saluran keluaran.
Untuk menentukan skala volume menggunakan gelas ukur terkalibrasi yang
mempunyai volume maksimum 1000 ml. Skala volume ditentukan setiap 500 ml dengan
cara menuangkan air kedalam tabung secara bertahap dan pada setiap tahap penuangan
dilakukan penyekalaan berdasarkan miniskus tinggi muka air. Gambar 3 memperlihatkan
gelas ukur yang digunakan dan tabung gelas yang sdah diberi sekala.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 63


Gambar 3. Gelas ukur 1000 ml dan tabung yang sudah diberi skala

Berikut ini model matematis yang digunakan dalam mengukur nilai hubungan
ketinggian dan volume tabung yang tidak lain merupakan bentuk besaran luas
penampangnya sekaligus resolusi skala ukur tabung, dimodifikasi dari persamaan [2]:
V
A 3
h
Kualitas kelinieran hubungan volume dengan ketinggian, resolusi skala ukur tabung
dapat ditinjau menggunakan koefisien deteminasi, R2, berikutini :

2
(y  f )
i i
R2  1 i
2
4
 ( y  y)
i
i

J = xi+1 - xi 5
Keterangan :
A : Hubungan volume dengan ketinggian, resolusi skala tabung (mL/ mm)
V : Volume air pada tabung (mL)
h : Ketinggian air pada tabung (mm)
R2 : Koefisien determinasi, jika bernilai 1 maka hubungan linear sempurna.
yi : Nilai data ke-i pada sumbu-Y, volume air.

y : Rerata nilai data pada sumbu-Y, volume air.


fi : Nilai prediksi fungsi data ke-i
J : Jangkauan nilai
xi : Nilai data ke-i padasumbu-X, tinggimuka air.

64 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan di laboratorium kelompok penelitian Pengukuran untuk
Kebutuhan Industri, Puslit Metrologi LIPI pada kegiatan penelitian Program Unggulan
LIPI tahun 2016. Pengukuran dilakukan pada kondisi ruangan dengan temperature (26,2
± 0,5) °C dan kelembaban (54 ± 4)%. Pengulangan pengukuran dilakukan sebanyak 8
kali untuk memperbanyak derajat kebebasan dan efisiensi. Gelas ukur 1000 ml
digunakan untuk menentukan volume dan skala tabung .

Gambar 4. Tabung yang sudah diberi skala

Tabung gelas volume 5000 ml mempunyai saluran keluaran (outlet) berjarak 25


mm dari dasar tabung. Dengan tersedianya saluran keluaran, tabung tersebut dipandang
cocok untuk dijadikan tabung volume standar untuk pembuatan sistem pengujian sensor
curah hujan. Untuk dijadikan subsistem dalam sistem pengujian sensor curah hujan
diperlukan adanya skala ketinggian agar dapat menentukan besarnya nilai volume air
yang ada di dalamnya.
Untuk keperluan sebagaimana tersebut di atas, tabung tersebut dipasangi mistar
ukur terbuat dari stainless steel yang dipasang secara pertikal. Titik nol ditetapkan pada
titik tengah saluran keluaran. Rentang skala ditetapkan untuk mengukur rentang ukur
volume dari 0 – 4000 ml. Gambar 4 memperlihatkan tabung gelas yang sudah dipasangi
mistar ukur.
Pembuatan skala dilakukan dengan cara menuangkan air setiap 500 ml kedalam
tabung menggunakan gelas ukur yang sudah terkalibrasi. Setiap penuangan air 500 ml
dilakukan penandaan berdasarkan garis tinggi muka air.. Data-data hasil pengukuran
sebagaimana tersaji pada Tabel 1 dan grafiknya ditunjukan pada Gambar 5.
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 65
Tabel 1. Data hasil penyekalaan tabung
Volume masukan Skala Daerah ukur Volume ukur Resolusi
ml mm mm ml ml/mm
0 0 0 0 -
500 27 27 500 18.519
1000 55 28 500 17.857
1500 83 28 500 17.857
2000 109 26 500 19.231
2500 135 26 500 19.231
3000 160 25 500 20.000
3500 185 25 500 20.000
4000 210 25 500 20.000
Total 210 4000
Rerata 19.048

Dari Tabel 1 terlihat bahwa untuk rentang ukur volume 0 ml – 4000 ml diperoleh
rentang skala dari 0 mm - 210 mm. Pada rentang tersebut, dengan menggunakan
persamaan (1) diperoleh 4 nilai luasan penampang (selanjutnya disebut resolusi) yang
berbeda. Kondisi tersebut menunjukan bahwa luasan penampang bagian dalam tabung
tidak linier, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 dan Gambar 6.

Gambar 5. Grafik hasil penentuan skala ukur tabung

66 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Resolusi skala tabung berdasarkan rentang volume
Rentang volume (mm) Rentang skala Daerah ukur (mm) Resolusi skala
(mm) (ml/mm)

0 - 500 0 - 27 27 18,519

500 - 1500 27 - 83 56 17,857

1500 - 2500 83 - 135 52 19,230

2500 - 4000 135 - 210 75 20,000

Dari Tabel 1, untuk rentang ukur 0 – 4000 ml diperoleh nilai rerata resolusi
sebesar 19,048. Sedangkan menurut grafik yang disajikan oleh Gambar 5 diperoleh
resolusi regresi sebesar 19,02 dan nilai batas bawah 37,80. Nilai volume terhitung
dengan menggunakan persamaan regresi diperoleh data sebagaimana tersaji pada Tabel
3 dan terlihat pada tabel tersebut kesalahan terendah sebesar 0,18 % berada pada
rentang ukur 135 mm (volume 2500 ml) sampai dengan 160 mm (volume 300 ml)

210 mm

185 mm

160 mm 20,000 ml/mm


135 mm

109 mm 19,230 ml/mm


83 mm

55 mm 17,857 ml/mm
0 mm
27 mm
18,519 ml/mm
0 mm

Gambar 6. Empat nilai resolusi pada empat rentang ukur

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 67


Tabel 3. Nilai volume hasil perhitungan dengan persamaan regresi

Skala Volume terukur Volume terhitung Kesalahan


mm ml ml %

0 0
27 500 476 -4.85
55 1000 1008 0.83
83 1500 1541 2.72
109 2000 2035 1.77
135 2500 2530 1.20
160 3000 3005 0.18
185 3500 3481 -0.55
210 4000 3956 -1.09

5 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data pengukuran dengan metode volumetrik diperoleh
kesimpulan bahwa daerah ukur terbaik pada tabung 5.000 ml dengan rentang ukur 0 ml -
4.000 ml yang digunakan dalam sistem pengujian sensor curah hujan berada di antara
135 mm (volume 2500 ml) sampai dengan 160 mm (volume 3000 ml) dengan nilai
kesalahan 0.18 %, resolusi skala regresi 19,02 ml/mm, persamaan V=19,02*h - 37,80,
dan R2=0,999.

6 UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen Puslit Metrologi - LIPI
dan Program Riset Unggulan LIPI 2016 yang telah menyediakan fasilitas dan mendanai
kegiatan ini sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik.

7 DAFTAR PUSTAKA
[1] Achmadi, Sahid; Simardi; Setiawan, Iwan. 2012. “Penakar Curah Hujan Otomatis
dengan Data Logger SD/MMC Berbasis SMS (Short Message Service)”. Tugas
Akhir. Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.

68 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[2] Maftukhah, Tatik. “Instrumen Neraca Air untuk Pulau Kecil”, Laporan Kegiatan
Kompetitif LIPI Tahun Anggaran 2012 s/d 2014.

[3] Dandan Hendayana. 2012. “Mengenal Nama dan Fungsi Alat‐alat Pemantau Cuaca
dan Iklim”. https://www.scribd.com/doc/109720160/Mengenal-Nama-Dan-Alat-Deteksi-
Cuaca-Dan-Iklim. Diakses pada 15 Juni 2012.

[4] Dr. John Gorman. 2011. “Introduction to The Tipping Bucket Rain Gauge”.

[5] Maftukhah, T., Wijonarko, S. & Rustandi, D., 2016. Comparison and Correlation
Among Measurement Results of Observatory, Hellman, and Tipping Bucket
Sensors. Instrumentasi Scientific Publication, Volume 40 No 1.

[6] International Organisation for Standardisation. (1993). ISO/TAG 4 : 1993 – Guide to


the Expression of Uncertainty in Measurement. Paris: ISO.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Syamsi Ismail

Pertanyaan :
1. Pada pengukuran volume, bagaimana maksud dari persamaan yang disajikan pada
abstrak?
2. Apakah error terkecil 0.18% berlaku pada titik pengukuran 135 mm saja, atau pada
rentang 135 sampai 160 mm?

Jawaban :
1. Persamaan tersebut diperoleh dari grafik berdasarkan hasil pengukuran pada daerah
ukur volume mulai dari 0 – 4000 ml. Kemudian digunakan sebagai untuk
mengestimasi nilai volume pada tiap skala tinggi muka airalam tabung.
2. Error 0.18% berlaku untuk rentang skala ukur 135 – 160 mm (volume 2500 – 3000
ml), tidak berlaku pada rentang atau daerah ukur lainnya. Rentang atau daerah ukur
tersebut ditetapkan sebagai rentang atau daerah ukur terbaik.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 69


PENGUKURAN KOEFISIEN REFLEKSI PADA SINYAL
FREKUENSI RADIO
Windi Kurnia Perangin-Angin, Swivano Agmal
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten.
windi@kim.lipi.go.id

INTISARI
Pengukuran koefisien refleksi diperlukan untuk menentukan kualitas sinyal RF yang diserap oleh
penerima dari sumber sinyal, dan untuk mencegah kerusakan pada sumber akibat pantulan sinyal
RF. Sistem pengukuran koefisien refleksi pada rentang frekuensi 10 MHz sampai dengan 3 GHz
telah dibangun di Puslit Metrologi LIPI dengan menggunakan metode IF substitution pada VNA.
Sistem tersebut dapat digunakan untuk mengukur koefisien refleksi dari RF power sensor,
attenuator, antena, konektor dan beban. Pada penelitian ini, attenuator dan dua jenis RF power
sensor, yaitu thermocouple power sensor dan thermistor mount telah diukur. Attenuator memiliki
koefisien refleksi yang sangat kecil, yaitu mendekati 0 sehingga dapat digunakan untuk
meminimalkan mismatch error antara sumber dan penerima. Hasil ini dapat memaksimalkan
kualitas sinyal RF yang dapat diserap oleh penerima.

Kata Kunci: koefisien refleksi, sinyal RF, VNA

ABSTRACT
Measurement of reflection coefficient is required to determine the quality of a RF signal that
absorbed by a receiver from a signal source, and to prevent damage at the source due to the
reflection of the RF signal. The reflection coefficient measurement system in the frequency range
of 10 MHz to 3 GHz has been built at Research Center for Metrology LIPI using IF substitution
method at VNA. The system can be used to measure reflection coefficients of RF power sensors,
attenuators, antennas, connectors and loads. In this work, attenuator and two types of RF power
sensors, .i.e. thermocouple power sensor and thermistor mount have been measured. The
attenuator has a very small reflection coefficient, which is close to 0 so it can be used to
minimize the mismatch error between source and receiver. These results can maximize the
quality of RF signals that can be absorbed by the receiver.

Keywords: reflection coefficient, RF signal, VNA

1. PENDAHULUAN
Pada saluran transmisi, khususnya transmisi sinyal frekuensi radio atau radio
frequency (RF), koefisien refleksi merupakan salah satu parameter yang mendasar[1].
Koefisien refleksi selalu disertakan dalam pengukuran besaran gelombang
elektromagnetik, seperti RF power, atenuasi dan efisiensi antena. Pengukuran koefisien

70 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


refleksi merupakan proses yang signifikan bagi industri konektor dan kabel RF untuk
menentukan kualitasnya.
Sinyal RF yang dihasilkan oleh sumber signal generator dikirimkan ke perangkat
penerima (receiver). Sinyal RF tersebut diserap dengan baik oleh penerima jika terdapat
matching impedance antara saluran transmisi dan penerima. Sebaliknya jika saluran
transmisi dan penerima tidak memiliki matching impedance yang sempurna, maka
sebagian sinyal akan dipantulkan kembali ke sumber. Pada umumnya ditemukan sinyal
RF yang dipantulkan. Besarnya sinyal yang dipantulkan tersebut dinyatakan dalam
koefisien refleksi. Semakin besar nilai koefisien refleksi maka sinyal yang dipantulkan
akan semakin besar. Pemantulan sinyal yang besar dapat menyebabkan kerusakan bagi
sumber sinyal RF, seperti signal generator.
Efisiensi dalam proses transmisi sinyal RF, khususnya pada industri
telekomunikasi sangat diperlukan untuk meminimalisasi biaya operasional dalam jangka
panjang. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan mencegah sinyal loss atau
sinyal yang dipantulkan kembali ke sumber. Jika sinyal yang dipantulkan sangat besar
maka dapat menyebabkan kerusakan pada sumber sinyal. Salah satu langkah pencegahan
sebelum terjadi kerusakan adalah pengukuran koefisien refleksi suatu alat untuk
mengetahui seberapa besar sinyal yang akan dipantulkan kembali ke sumber. Dengan
demikian diperlukan pengujian terhadap perangkat telekomunikasi untuk memastikan
kualitasnya. Pengujian tersebut dapat dilakukan melalui pengukuran koefisien refleksi
pada perangkat transmitter dan receiver, seperti power sensor. Perangkat dengan
koefisien refleksi yang kecil akan menghasilkan proses transmisi yang efektif dan
efisien. Oleh karena itu, Puslit Metrologi LIPI sebagai National Metrology Institute
(NMI) membangun sistem pengukuran koefisien refleksi pada perangkat-perangkat
sinyal RF. Pengukuran koefisien refleksi dilakukan pada rentang frekuensi dari 10 MHz
sampai dengan 3 GHz sesuai dengan tujuan diatas. Dengan adanya sistem ini diharapkan
dapat memberikan pelayanan terhadap pengukuran koefisien refleksi bagi stakeholder
yang bersangkutan.

2. TEORI DASAR
Koefisien refleksi adalah perbandingan amplitudo antara sinyal yang dipantulkan
oleh perangkat penerima dengan sinyal yang dikirimkan oleh sumber[1]. Sinyal yang
dipantulkan memiliki arah yang berlawanan dengan sinyal yang dikirimkan. Definisi
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 71
koefisien refleksi dinyatakan seperti pada persamaan 1, yaitu perbandingan sinyal yang
dipantulkan dengan sinyal yang dikirimkan. Sinyal yang dikirimkan melalui saluran
transmisi diterima seluruhnya oleh penerima jika tidak ada perbedaan impedansi antara
saluran transmisi dengan penerima atau disebut dengan matching impedance. Perangkat
sinyal RF pada umumnya memiliki impedansi 50 Ω. Sinyal RF memiliki rentang
frekuensi 3 kHz sampai dengan 300 GHz[2]. Dalam prakteknya, tidak ditemukan adanya
perangkat yang memiliki matching impedance yang sempurna sehingga hal ini
menimbulkan adanya koefisien refleksi[3].
V ......................................................................................................... 1

V

dimana:
Γ adalah koefisien refleksi,
V- adalah amplitudo sinyal yang dipantulkan,
V+ adalah amplitudo sinyal yang dikirimkan.
Nilai mutlak koefisien refleksi berada dalam rentang 0 dan 1. Koefisien refleksi
bernilai 0 berarti terdapat matching impedance antara saluran transmisi dengan perangkat
penerima. Dalam kondisi ideal tersebut, seluruh sinyal dari sumber diserap oleh
penerima. Sebaliknya, koefisien refleksi bernilai 1 menunjukkan bahwa saluran transmisi
dan perangkat penerima adalah fully mismatch sehingga seluruh sinyal RF dipantulkan
kembali oleh penerima. Koefisien refleksi merupakan fungsi dari perubahan impedansi
dalam saluran transmisi [4], seperti pada persamaan 2.
Zl  Z0 ......................................................................................................... 2

Zl  Z 0

dimana:
Zl adalah impedansi dari perangkat penerima atau load,
Z0 adalah impedansi dari saluran transmisi.
Vector Network Analyzer (VNA) merupakan salah satu perangkat yang
digunakan untuk mengukur koefisien refleksi pada sinyal RF. Dalam VNA, terdapat
sumber sinyal dan penerima (receiver). Besarnya nilai koefisien refleksi dapat diplot
dalam tampilan VNA[5]. Pada umumnya VNA memiliki interface dua port. VNA dapat
mengukur forward dan reverse dari reflection dan transmission responses (S-parameters)
pada perangkat RF.

72 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Hasil pengukuran VNA dinyatakan dalam S-parameter yaitu S11, S22, S21 dan S12.
S11 dan S22 merupakan koefisien refleksi, sedangkan S21 dan S12 adalah koefisien
transmisi. S11 merupakan koefisien reflekesi pada port 1 yang disebut juga sebagai
forward reflection coefficient, sedangkan S22 merupakan koefisien refleksi pada port 2
dan disebut sebagai reverse reflection coefficient. S21 adalah koefisien transmisi dari port
1 ke port 2 atau forward reflection coefficient, sedangkan S12 adalah koefisien transmisi
dari port 2 ke port 1 atau reverse reflection coefficient[6].
Pada pengukuran koefisien refleksi sumber sinyal dan receiver berada dalam satu
port. Pengukuran S11 dan S22 dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu port
VNA, sedangkan pengukuran S21 dan S12 menggunakan dua port VNA. Untuk efisiensi,
pengukuran koefisien refleksi pada peralatan dua port dilakukan sekaligus menggunakan
dua port VNA. Gambar 1 menunjukkan model pengukuran S-parameter.

Gambar 1. Model pengukuran S-parameter

Gambar 1. Model pengukuran S-parameter pada VNA[7]


b1
S11  ........................................................................................................ 3
a1
dimana:
S11 adalah koefisien refleksi pada port 1,
a1 adalah amplitudo sinyal yang masuk pada port 1,
b1 adalah amplitudo sinyal yang dipantulkan oleh port 1.
b2
S 22  ........................................................................................................ 4
a2
dimana:
S22 adalah koefisien refleksi pada port 2,
a 2 adalah amplitudo sinyal yang masuk pada port 2,
b2 adalah amplitudo sinyal yang dipantulkan dari port 2.
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 73
VNA dapat digunakan untuk mengukur S-parameter dari peralatan seperti RF
power sensor, attenuator, antena, konektor dan beban. Peralatan tersebut banyak
digunakan dalam sistem transmisi pada industri telekomunikasi. RF power sensor
digunakan pada sisi transmitter untuk mengirimkan power ke receiver. Attenuator
digunakan di bagian receiver untuk mengurangi daya yang dikirimkan oleh sumber.

3. SISTEM PENGUKURAN
Pengukuran koefisien refleksi menggunakan VNA memberikan hasil pengukuran
yang akurat dan presisi[7]. Hasil pengukuran ditampilkan dan dapat disimpan secara
otomatis oleh VNA sehingga proses pengukuran berjalan secara efisien. Untuk peralatan
satu port, pengukuran koefisien refleksi hanya mengunakan port 1 VNA. Ketika
mengukur peralatan dua port maka kedua port VNA digunakan. Dalam pengukuran ini,
VNA merupakan standar alat ukur yang digunakan untuk mengukur device under test
(DUT) antara lain thermocouple power sensor, thermistor mount, dan attenuator.
Pengukuran dilakukan dalam rentang frekuensi 10 MHz sampai dengan 3 GHz.
Kalibrasi internal terhadap VNA dilakukan terlebih dahulu sebelum pengukuran
koefisien refleksi. Kalibrasi internal tersebut harus dilakukan untuk memastikan error-
correction VNA. Calibration kit yang terdiri dari perangkat open, short, load dan
through digunakan untuk kalibrasi internal VNA. Pada Gambar 2 dapat dilihat proses
kalibrasi internal VNA pada kedua port. Perangkat open, short, load diukur secara
bergantian oleh port 1 VNA dan kemudian ketiga standar tesebut diukur secara
bergantian oleh port 2. Setelah itu, port 1 dan port 2 VNA dihubungkan oleh perangkat
through yaitu berupa connector dan pada tahap akhir kalibrasi internal masing-masing
port 1 dan port 2 dihubungkan dengan load. Kalibrasi internal VNA mengeliminasi
reflection tracking error, directivity error, source match error, transmission tracking
error, crosstalk error dan load match error sehingga menghasilkan pengukuran yang
akurat[8]. Ketertelusuran pengukuran diperoleh melalui calibration kit tersebut.
Diagram blok pengukuran koefisien refleksi pada peralatan 1 port dapat dilihat
pada Gambar 3, sedangkan Gambar 4 menunjukkan pengukuran koefisien refleksi untuk
peralatan 2 port. Switch pada sumber sinyal RF dapat dipilih untuk mengirimkan sinyal
melalui port 1 atau port 2. Directional coupler digunakan untuk memisahkan sinyal
input, sinyal yang dipantulkan dan sinyal yang diterima. Pada pengukuran koefisien

74 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


refleksi dilakukan perhitungan ratio antara sinyal yang dipantulkan dan sinyal input.
VNA berkerja berdasarkan prinsip intermediate frequency (IF) substitution method,
dimana sinyal RF diubah menjadi sinyal IF. Mixer berfungsi untuk mengkonversi sinyal
RF menjadi sinyal IF. Lo source berfungsi sebgai sumber sinyal IF. Pada metode ini,
amplitudo sinyal IF sama dengan amplitudo sinyal RF[6].

Gambar 2. Kalibrasi internal VNA[8]

Pada pengukuran koefisien refleksi di port 1 (forward direction), sinyal RF dikirim


dari sumber RF melalui port 1 ke DUT dan sinyal RF yang dipantulkan menuju mixer A
yang mengubah sinyal RF menjadi sinyal IF. Receiver A mengukur sinyal IF dari mixer
A. Koefisien refleksi ditentukan melalui ratio dari amplitudo sinyal yang terukur oleh
receiver A dan sinyal input dari port 1 seperti pada persamaan 3. Sedangkan pada
pengukuran koefisien refleksi di port 2 (reverse direction), sinyal RF dikirim dari sumber
melaui port 2 ke DUT dan sinyal RF yang dipantulkan menuju mixer B. Receiver B
mengukur sinyal sinyal IF dari mixer B. Koefisien refleksi dikalkulasi seperti pada
persamaan 4. Proses transmisi sinyal untuk pengukuran koefisien refleksi peralatan dua
port dilakukan secara bergantian melalui forward direction dan reverse direction. Switch
secara otomatis melakukan pergantian dalam forward direction dan reverse direction.
Hasil pengukuran koefisien refleksi ditampilkan secara otomatis pada layar VNA dan
dapat disimpan dalam direktori file VNA.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 75


Gambar 3. Pengukuran koefisien refleksi pada peralatan satu port

76 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


(a)

(b)
Gambar 4. Pengukuran koefisien refleksi pada peralatan dua port
(a) Forward direction (b) Reverse direction

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 77


Gambar 5. Setup pengukuran koefisien refleksi pada DUT satu port

Gambar 6. Setup pengukuran koefisien refleksi pada DUT dua port

Gambar 7. Calibration kit untuk VNA

78 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran koefisien refleksi dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat tiga buah
DUT, yaitu thermocouple power sensor, thermistor mount, dan attenuator. Thermocouple
power sensor dan thermistor mount merupakan dua jenis RF power sensor yang berbeda.
Dalam pengukuran RF power, nilai koefisien refleksi sangat berpengaruh pada
keakuratan hasil pengukuran. RF power sensor memiliki koefisien refleksi yang besar
berarti semakin besar power yang dipantulkan kembali ke sumber sinyal RF. Hal ini
disebabkan adanya mismatch antara RF power sensor dengan beban atau penerima.
Koefisien refleksi digunakan untuk menghitung mismatch error dalam pengukuran RF
power sehingga memberikan hasil pengukuran RF power yang lebih akurat.

Tabel 1. Hasil pengukuran koefisien refleksi


Koefisien Refleksi
Frekuensi Attenuator
(MHz) Thermocouple Thermistor
Power Sensor Mount Port 1 Port 2

10 0.053 0.119 0.005 0.003


20 0.029 0.063 0.005 0.003
30 0.021 0.043 0.005 0.002
40 0.018 0.033 0.005 0.002
50 0.016 0.027 0.005 0.003
60 0.015 0.023 0.005 0.004
70 0.014 0.021 0.005 0.004
80 0.014 0.019 0.004 0.003
90 0.014 0.017 0.004 0.003
100 0.013 0.016 0.004 0.002
200 0.013 0.012 0.004 0.004
300 0.013 0.012 0.003 0.002
400 0.014 0.012 0.004 0.003
500 0.013 0.013 0.004 0.005
600 0.015 0.014 0.002 0.003
700 0.016 0.015 0.006 0.008
800 0.017 0.016 0.002 0.008
900 0.017 0.018 0.006 0.011
1000 0.016 0.020 0.006 0.010
2000 0.017 0.029 0.015 0.017
3000 0.020 0.030 0.017 0.018

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 79


Nilai koefisien refleksi dari kedua RF power sensor tersebut cenderung lebih besar
pada frekuensi batas bawah dan batas atas. Pada batas-batas frekuensi, baik frekuensi
bawah maupun atas, RF power sensor memiliki kemampuan minimum dalam menerima
sinyal RF. Oleh karena itu, koefisien refleksi lebih besar pada frekuensi tersebut. Nilai
koefisien refleksi terbesar dimiliki oleh thermistor mount pada frekuensi 10 MHz, yaitu
0,119. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada frekuensi 10 MHz, themistor mount
memantulkan RF power sebesar 11,9 % dari power yang dikirim oleh sumber sinyal RF.
Thermocouple power sensor memiliki koefisien refleksi yang lebih kecil
dibandingkan dengan thermistor mount, seperti terlihat pada Gambar 8. Impedansi
thermocouple power sensor dengan sumber sinyal lebih match dibandingkan dengan
thermistor mount. Kemampuan tersebut membuat sinyal yang dipantulkan oleh
thermocouple power sensor lebih sedikit.

Gambar 8. Perbandingan koefisien refleksi dari dua jenis RF power sensor

Koefisien refleksi RF attenuator jauh lebih baik dibandingkan dengan koefisien


refleksi dari RF power sensor. Gambar 9 menunjukkan perbandingan koefisien refleksi
antara attenuator dan power sensor. Hasil tersebut menunjukkan bahwa attenuator
mempunyai kemampuan dalam matching impedance. Attenuator banyak digunakan
dalam sistem telekomunikasi untuk memperbaiki mismatch antara transmitter dan
receiver. Penggunaan attenuator tersebut juga berguna agar sinyal yang dipantulkan ke
sumber dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga melindungi sumber sinyal RF

80 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


dari kerusakan akibat pemantulan sinyal yang tidak diinginkan. Namun disisi lain,
attenuator memiliki sifat meredam sinyal dari sumber. Sinyal RF yang melalui attenuator
akan mengalami pengurangan power sesuai dengan nilai attenuator tersebut. Oleh karena
itu, penggunaan attenuator harus disesuaikan dengan kebutuhan power yang diperlukan
oleh receiver dan nilai koefisien refleksi minimum yang harus dipenuhi.

Gambar 9. Perbandingan koefisien refleksi RF power sensor dan RF attenuator

5. KESIMPULAN
Sistem pengukuran koefisien refleksi pada rentang frekuensi 10 MHz sampai
dengan 3 GHz telah dapat dilakukan di Puslit Metrologi LIPI dengan menggunakan
VNA. Koefisien refleksi menentukan mismatch error dalam pengukuran RF power.
Thermocouple power sensor memiliki koefisien refleksi lebih kecil dibandingkan dengan
thermistor mount, sehingga menghasilkan mismatch error yang lebih kecil juga. Untuk
mendapatkan koefisien refleksi yang lebih kecil atau lebih baik, maka dapat menyisipkan
attenuator antara sumber sinyal dan penerima. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan ketidakpastian pengukuran koefisien refleksi dan menambah rentang
frekuensi pengukuran.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada Puslit Metrologi LIPI yang telah
menyediakan sarana dan prasarana dalam melakukan pengukuran koefisien refleksi pada
sinyal RF.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 81


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Zhang, Haikuo, Cui, Xiaohai and Li, Yong. 2014. Analysis of Physical Significance
of Reflection Coefficient of Equivalent Signal Source and Application in Power
Sensor Calibration. Proceedings of Precision Electromagnetic Measurement. Rio
de Janeiro.
[2] Agilent. 2004. Network Analyzer Basics. Agilent Technologies.
[3] Juroshek, John. 1997. A Direct Calibration Method for Measuring Equivalent
Source Mismatch. Microwave Journal. Boulder.
[4] Gebs, Bernhart A. 2002. Reflection Coefficient Applications in Test Measurements,
Belden Electronics.
[5] Caspers F. 2012. RF engineering basic concepts: the Smith chart. CERN. Geneva.
[6] Rytting, Doug. 1998. Network Analyzer Error Models and Calibration Methods.
Agilent Technologies.
[7] National Instrument. 2015. Introduction to Network Analyzer Measurement.
National Instrument.
[8] Agilent. 2007. Agilent E5070B/E5071B ENA Series RF Network Analyzers. Agilent
Technologies.

HASIL DISKUSI

Pertanyaan :
Mengapa VSWR tidak disertakan dalam tulisan?
Jawaban :
VSWR merupakan bentuk logaritmik dari koefisien refleksi, sehingga jika VSWR
dicantumkan maka menunjukkan hal yang sama dengan koefisien refleksi. Oleh karena
itu, koefisien refleksi sudah cukup memenuhi hasil pengukuran.

82 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


RANCANG BANGUN PENANGANAN OTOMATIS UNTUK MASSA
TAMBAHAN PADA PRESSURE BALANCE HIDRAULIK
Gigin Ginanjar, Adindra V Ega, R Rudi Anggoro S, Sugeng Hariyadi
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten.
gigin.ginanjar@ymail.com

INTISARI
Telah dirancang sebuah alat penanganan untuk massa tambahan sebuah pressure balance
hidraulik secara otomatis. Dimana massa tambahan yang dapat diangkat maupun diturunkan
secara otomatis memiliki perubahan dengan nominal massa sebesar 1 g sampai 5 g.
Alat pengangkat massa tambahan tersebut dirancang agar dapat dipergunakan untuk menentukan
massa kesetimbangan pada saat kalibrasi cross float sebuah pressure balance dengan melakukan
kombinasi dari keadaan tanpa massa tambahan dan kombinasi massa tambahan yang akan
menghasilkan kesetimbangan tekanan.
Dengan mempergunakan alat untuk mengangkat massa tambahan tersebut dapat mempermudah
proses pengkalibrasian sebuah pressure balance terutama dalam melakukan cek antara ataupun
interlaboratory comparison (ILC) sehingga selalu diperoleh nilai yang konsisten. Dimana
perbedaan tekanan antara menggunakan cara manual dan otomatis tidak lebih dari 4 x 10-6 p.

Kata Kunci: massa tambahan, otomatis, pressure balance

ABSTRACT
An automatic handling device for hydraulic pressure balance additional mass has been designed.
The additional mass that can be lifted or lowered automatically by the device can be
interchangeable with nominal mass change of 1 g to 5 g.
These automatic additional mass handling device are designed to be used for balancing mass
determination during pressure balance calibration with cross float method by combining the
state of with and without additional mass combination, resulting the pressure equilibrium.
By utilizing these automatic additional mass handling device, it can support the pressure balance
calibration, especially for intermediate check or inter laboratory comparison (ILC) purposes so
that a consistent value can always be obtained, where the result difference between manual and
automatic method is not more than 4 x 10-6p.

Keywords: additional mass, automation, pressure balance

1. PENDAHULUAN
Pada umumnya di Indonesia alat tekanan yang dikalibrasi mengunakan media oli
mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan apabila mempergunakan media lain seperti
media udara, dapat dilihat banyaknya kalibrasi alat tekanan yang dikalibrasi sampai 500 MPa
meggunakan media oli. Untuk itu diperlukan alat standar tekanan yang sesuai dan terjamin
ketertelusurannya[1], alat standar tekanan yang banyak dipergunakan untuk kalibrasi pada

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 83


rentang ini adalah sebuah pressure balance. Dimana sebuah pressure balance yang
menggunakan prinsip yang diturunkan pada persamaan (1)

................................................................................................... 1

dimana:
P adalah Tekanan yang dibangkitkan, MPa.
M adalah Massa beban, kg .
A adalah Luasan efektif piston/silinder, m2.
g adalah gravitasi lokal, ms-2
Dimana tekanan P dapat dibangkitkan dengan dengan menaruh sejumlah massa beban M
pada piston yang telah diketahui luasannya,A. Dengan menambahkan ataupun menurunkan
massa, dapat dibangkitkan tekanan yang presisi. Akan tetapi untuk membangkitkan tekanan
maksimal terkadang diperlukan menaruh massa beban sampai dengan 100 kg.
Untuk menjamin ketertelusuran kalibrasi, pressure balance perlu dikalibrasi dengan
pressure balance standar,. dalam hal ini menggunakan metode crossfloat yang
memerlukan kesetimbangan tekanan yang diatur dengan menambahkan atau
mengurangkan massa tambahan hingga 1 g sampai 50 mg.
[2-3]
Penggunaan otomatisasi telah diaplikasikan baik pada rentang pneumatik ataupun
[4-5]
hidraulik akan tetapi otomatisasi pada rentang hidraulik masih terbatas hingga massa
terkecil 100 g. Untuk itu dalam penelitian ini telah dirancang dan dibangun sebuah alat
penanganan massa tambahan yang dapat melakukan kombinasi massa dengan resolusi
terkecil sebesar 1 g.

2. PEMBANGUNAN SISTEM
Di dalam sistem cek antara pressure balance hidraulik[6] menggunakan dua
pressure balance yang identik dan mempunyai massa yang telah dapat dikontrol dengan
menggunakan Automatic Mass Handler (AMH) hingga 100 kg pada tekanan maksimum
dengan massa terkecil sebesar 100 g[5]. Untuk mencapai kesetimbangan tekanan
ditambahkan massa tambahan pada salah satu atau kedua pressure balance tersebut.
Pada penelitian ini penanganan masa tambahan dilakukan dengan menambahkan 2
sistem prototipe penanganan massa tambahan yang akan ditaruh pada bagian atas dari
pressure balance, sehingga dapat menambah atau mengurangkan massa tambahan pada
masing-masing pressure balance. Rancangan sistem prototipe penanganan massa

84 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


tambahan adalah mengubah massa tambahan dengan nominal tertentu yang mengalami
perubahan massa nominal sampai 5 g dengan perubahan sebesar tiap 1 g. Keseluruhan
sistem yang dirancang dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Sistem kalibrasi pada hidraulik pressure balance menggunakan alat


penanganan massa tambahan secara otomatis

2.1 Perancangan sistem penanganan massa tambahan


Penanganan massa tambahan terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian naik turun dan
bagian berputar. Dimana pada bagian berputar yang berupa meja putar terdapat beberapa
massa tambahan yang tergantung, untuk memutar bagian ini dapat dipergunakan
unipolar stepper motor. Untuk bagian menurunkan dan menaikan dapat digunakan
steppermotor ataupun motor dc untuk bagian penggerak yang terhubung dengan sebuah
linear stage yang memungkinkan untuk pergerakan horizontal. Untuk menggerakan
stepper motor dipergunakan stepper motor drive, sedangkan untuk dc motor terhubung
dengan relay board yang keduanya driver tersebut dikontrol dengan sebuah
microcontroller. Dengan menggunakan komunikasi serial, microcontroller dapat
diperintah oleh program komputer untuk menggerakan keseluruhan alat penanganan
massa tambahan. Rancangan detail rancangan dapat dilihat pada gambar 2.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 85


Gambar 2. Rancangan prototipe alat penanganan massa tambahan secara otomatis

Adapun diagram alir program yang terdapat pada microcontroller untuk mengontrol
aktuator yang berupa stepper motor ataupun motor dc untuk mengangkat massa dapat
dilihat pada gambar 3. Dimana operator akan memerintahkan untuk masukan perintah
untuk memilih massa tambahan tertentu, kemudian program komputer akan
mengirimkan kode perintah dengan menggunakan komunikasi serial ke microcontroller
sampai perintah penanganan massa tambahan tersebut selesai dilaksanakan, baik untuk
gerakan naik/ turun ataupun berputar.

86 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 3. Diagram alir prototipe alat penanganan massa tambahan secara otomatis

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


[6]
Dengan menggunakan prosedur hasil cek antara dengan rentang 20 MPa .
hanya untuk piston/silinder yang mempunyai luasan yang hampir sama sehingga massa
beban juga hampir serupa, yaitu piston/silinder no 578 dengan pasangan massa beban
dengan nomer 2381 dan piston silinder 442 dengan pasangan massa beban 2382. Kedua
piston tersebut berasal dari merk DH instruments dengan model PG-7000-AMH yang
dilengkapi dengan penanganan massa beban yang telah terotomatisasi [3]..
Masukan perintah operator diproses mempergunakan perangkat lunak komputer
yaitu spreadsheet Excel. Dimana perangkat lunak tersebut telah terintegrasi program
visual basic yang telah diprogram untuk dapat melakukan komunikasi serial yang dapat
memerintahkan microcontroller Arduino Uno rev 3 untuk menggerakkan stepper.
Adapun detail perintah yang dikirim dari komputer ke microcontroller dapat dilihat pada
tabel 1.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 87


Tabel 1. Perintah Perangkat lunak untuk komunikai serial

Perintah Protipe 1 Protipe 2

“A” Memutar searah jarum jam Memutar searah jarum jam


“B” Memutar berlawanan arah jarum jam Memutar berlawanan arah jarum jam
“C” Naik Naik
“D” Turun Turun
“E” Stop Naik/Turun

“I” Initial position Initial position


“J” Posisi massa tambahan yang diinginan Posisi massa tambahan yang diinginan
“K” Stop Putaran Stop

Terdapat 2 prototipe untuk realisasi perangkat keras alat penangangan massa


tambahan dapat dilihat pada gambar 5. Prototipe pertama adalah diperuntukan untuk
menangani massa lebih besar terutama untuk massa lebih besar dari 5 g sampai 100 g
yang dalam perancangannya memerlukan meja putar yang relatif mempunyai diameter
lebih lebar pula. Untuk gerak naik/turun atau posisi vertikal (sumbu-Z) terdapat 4 posisi
yang ditentukan yaitu posisi tertinggi (HSTOP) , posisi mengambang tanpa menimbang,
posisi menimbang, posisi bawah (LSTOP). Waktu yang diperlukan dari posisi tertinggi
ke posisi menimbang adalah dibutuhkan sekitar 2 menit. Pada posisi menimbang, bagian
pengait telah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak akan bersentuhan dengan meja
putar dikarenakan bagian bawah pengait massa telah diberikan guide sehingga massa
tambahan selalu satu poros vertikal dengan piston, hal ini penting dikarenakan pada
kondisi bekerja piston akan berputar pada porosnya. Pada posisi sumbu Z tidak
menimbang dilakukan pergerakan mengganti massa tambahan pada meja putar. Untuk
memilih masa tambahan, meja putar akan berputar dan memilih posisi massa tambahan
dengan mempergunakan 2 sensor photo-interupter yang dipasang sejajar dengan poros
putar horizontal. Sensor pertama adalah untuk posisi inisialisasi awal dan sensor kedua
adalah untuk menentukan posisi massa tambahan. Interupter dipasangkan pada meja
putar dengan rincian satu posisi pada posisi inisialisasi dan empat posisi interrupter
sesuai dengan banyak beban yang akan ditangani.

88 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Untuk prototipe yang kedua adalah hanya diperuntukan untuk menangani massa
lebih kecil terutama dari 1 g sampai 4 g sehingga banyaknya massa tambahan dari meja
putar adalah hanya 4. Untuk itu diperlukan waktu yang singkat untuk maka penggerak
naik/turun sehingga diperlukan aktuator menggunakan motor dc dilengkapi gear.

(a) (b)
Gambar 5. Prototipe alat penanganan massa tambahan secara otomatis,pengerak naik/
turun(a) mengunakan stepper motor (b) menggunakan dc motor

Dengan melakukan crossfloat[7] secara manual sehingga diperoleh nilai masa


kesetimbangan sekitar 47 g yang ditaruh pada pressure balance standar yang tertuang
pada Tabel 2, Dimana untuk meperoleh nilai massa kesetimbangan tersebut perlu
ditambahkan massa tambahan pada pressure balance standar dengan perubahan nominal
massa dari 45 g sampai 49 g secara manual dengan anak timbangan.
Untuk merancang massa tambahan otomatis terdiri dari pengait yang terbuat dari bahan
kuningan atau besi lunak, dimana rerata massanya adalah 10 g dan diperlukan massa
beban tambahan untuk mendekati nilai massa kesetimbangan manual. Tambahan itu
diperoleh dengan menambahkan dua massa yaitu dari massa beban pressure pneumatik
bell howell[9] karena mempunyai bentuk yang sesuai dan anak timbangan
troemner[8]dimana keduanya beban tersebut terbuat dari bahan stainless steel. Untuk
memperoleh massa 45 g secara otomatis maka diperlukan massa pengait dengan massa

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 89


10,3578 g ditambahkan massa dengan identifikasi LIN 12 sampai LIN 15 yang masing-
[9]
masing memiliki massa nominal 8,22 g dan massa tambahan 2 gram dari anak
[8]
timbangan troemner sehingga jumlah keseluruhan massa otomatis pada 45 g adalah
45, 2717 g.
Pada prototype 1 ditaruh 5 massa tambahan otomatis dengan nominal massa 45 g
sampai 49 g, dengan selang 1 g, sedangkan pada prototype ke 2 tidak dipergunakan
dikarenakan pada cara manual tidak ditambahan massa tambahan. Walaupun nilai massa
tambahan otomatis tidak mendekati nilai nominal, hal tersebut tidak mempengaruhi pada
nilai massa kesetimbangan dikarenakan nilai massa tersebut akan proporsional dengan
fall ratenya.
Nilai massa kesetimbangan diperoleh dengan melakukan regresi dari kombinasi
perubahan massa tambahan terhadap fallratenya, Diperoleh perbedaan nilai massa
kesetimbangan antara cara otomatis dan manual adalah (47.113-47.079) g = 34 mg
dimana apabila dikonversikan pada tekanan maka perbedaan nya hanya 3.4 x 10-6.
Sedangkan estimasi ketidakpastian massa kesetimbangan mempergunakan penggunaan
cara otomatis atau cara manual adalah mendekati sama, dikarenakan hanya dipengaruhi
oleh ketidakpastian massa kesetimbangan yang diestimasi mendekati 1 mg, walaupun
estimasi dari massa tambahan manual yaitu mendekati 0.064 mg (diperoleh dengan
menjumlahkan masing-masing ketidakpastian anak timbangan) atau massa tambahan
otomatis yang diestimasi 0.1 mg (diperoleh dengan menjumlahkan nilai masing-masing
ketidakpastian massa dan ditambah dengan estimasi ketidakpastian densitas pengait).
Nilai ketidak pastian massa kesetimbangan adalah relatif kecil apabila dibandingkan
dengan ketidakpastian massa beban pada 100 kg yang mendekati 0.5 g. Untuk itu perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk keseluruhan rentang maupun rentang yang lebih tinggi
yang diperlukan untuk memenuhi pada cek antara hidraulik pressure balance. Dalam
pengembangan selanjutnya aplikasi perancangan otomatisasi ini dapat diaplikasikan pada
pnuematik pressure balance dimana dalam pneumatik pressure balance keseluruhan dari
penanganan massa ini harus dapat dioperasikan dalam konsisi vakum. Pengembangan
akhir dari perancangan otomatisasi massa tambahan ini hanya tidak terbatas pada
nominal tertentu pada massa tambahan akan tetapi keseluruhan range dari 1 g sampai
100 g yang memerlukan penanganan yang lebih komplek.

90 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Hasil Kalibrasi dengan mengunakan alat penanganan otomatis
Manual Otomatis
Nilai nominal Massa Fall Rate Massa Fall Rate
g U(mg) mm/menit g mm/menit
45 45.000 058 0.048 -0,076 45.271 7 -1,028
46 46.000 325 0.054 0,453 45.884 7 -0,816
47 47.000 069 0.056 1,059 47.305 8 0,055
48 48.000 336 0.062 -1,282 47.929 4 0,296
49 49.000 077 0.064 -0,661 49.300 2 1,330

Massa
47,079 47,113
kesetimbangan

4. KESIMPULAN
Telah dirancang dan dibangun sebuah penanganan massa tambahan secara otomatis
untuk pressure balance hidraulik dengan rentang sampai 20 MPa, dimana perubahan
massa tambahan tiap 1 g sampai 5 g. Realisasi menghasilkan 2 prototipe yang dapat
mengangkat dan menurunkan massa tambahan. Prototipe menggunakan komputer untuk
mengontrol dua buah stepper motor/motor dc untuk menaikan/menurunkan atau
memutar massa tambahan. Perbedaan tekanan dengan menggunakan cara manual
apabila dibandingkan dengan cara otomatis adalah 4 x 10 -6 p. Diasumsikan tidak adanya
perubahan pada estimasi ketidakpastian nilai massa kesetimbangan dari hasil kalibrasi
pressure balance dengan penggunaan alat penanganan otomatis massa tambahan.
Dengan kalibrasi tekanan menggunakan pressure balance menggunakan otomatisasi
penganganan massa tambahan dapat diaplikasikan pada prosedur cek antara maupun ILC
dengan hasil yang konsisten, adapun pengembangan selanjutnya dapat diaplikasikan
pada pneumatik pressure balance pada kondisi vakum.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan kepada saudara Sugeng Hariyadi dalam
merancang desain dan realisasi prototipe massa tambahan.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1] EURAMET. 2010 EURAMET cg-3 ver 1. Calibration of Pressure Balances,
Braunschweig, Jerman
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 91
[2] Gove, K. 2001 APX50 : the first fully automatic absolute pressure balance in the
range 10 kPa to 1MPa. Advances in High Pressure and technology. Hal 95-98.
NPLI. New Delhi, India
[3] DH Instruments. 2004. Product Brochure PG7000-AMH
http://us.flukecal.com/products/pressure-calibration/piston-gauges/nmi-piston-
gauges/pg7000-amh-automated-mass-handler-pg70 diakses 19 Mei 2017 13.00
[4] Woo SY, Choi IM, Kim, BS.2005. New weight-handling device forcommercial oil
pressure balances.Metrologia.hal 224-226 IOP
[5] Ruska ,2004.Product brochure Model 2492 Automatic Hidraulic Pressure balance
http://web.sensoric.com:8000/jpcgqzl/download/Druck/%E6%B4%BB%E5%A1%
9E%E5%8E%8B%E5%8A%9B%E8%AE%A1/r2492e.pdf diakses 19 Mei 2017
13.10
[6] Puslit KIM-LIPI. 2014 Procedure for Intermediate Check of Hidraulic Pressure
Balance
[7] Ginanjar, Gigin. Bernadus, HS. 2007, Determinasi darititik kesetimbangan dalam
Pressure Balance mengunakna nmetode Fallrate menggunakan Sensor Kapasitif,
PPI-KIM, Tangerang, Indonesia.
[8] Puslit KIM-LIPI.2009. Serifikat Kalibrasi S.031143 anak timbangan Troemner
[9] PTB,2014 Calibration Cerificate PTB 30119/14 Braunschweig.Germany

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Syamsi Ismail
Pertanyaan :
Massa otomatis yang dibuat hanya untuk perubahan 1-5 gram, untuk DWT makin tinggi
alat, makin bagus sensitivitasnya. Bagaimana kalau titik kesetimbangan tidak didapat?
Jawaban :
Tujuan awal dibuatnya sistem ini penanganan massa tambahan ini untuk pada cek antara
dan ILC pada rentang hidraulik, yang relatif tidak memerlukan ketelitian yang besar
(100-500) mg yang memadai dengan alat yang telah dibangun. Kedepannya kami telah
merancang sistem dengan resolusi yang lebih baik terutama untuk penanganan massa
tambahan pada kondisi vakum.

92 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


STABILITAS CAHAYA PADA SISTEM KALIBRASI ILUMINANSI
METER KOMERSIAL MENGGUNAKAN TEGANGAN AC
Yonan Prihhapso, Dini Suryani
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten.
yonan@kim.lipi.go.id

INTISARI
Kebutuhan kemampuan kalibrasi iluminansi meter komersial diatas 1000 lux semakin
meningkat. Peningkatan rentang kalibrasi telah dilakukan di Puslit. Metrologi LIPI menggunakan
sumber cahaya dengan daya tinggi hingga 2000 W dengan sumber tegangan DC yang memiliki
akurasi dan kestabilan yang tinggi. Namun, sumber tegangan DC dengan daya yang tinggi
merupakan investasi yang cukup besar, dimensi yang besar, serta membutuhkan penanganan
isolasi panas yang tepat. Sehingga dikembangkan metode menggunakan sumber tegangan AC
untuk menyalakan sumber cahaya pada sistem kalibrasi illuminansi meter, karena perangkatnya
yang lebih sederhana, tidak membutuhkan ruang yang besar, dan banyak produk komersial
tersedia. Iluminansi sumber cahaya cenderung mengalami fluktuasi ketika sumber daya AC
digunakan, dilakukan penelitian pengaruh stabilitas sumber cahaya terhadap pembacaan
iluminansi meter. Menggunakan metode statistika t-test didapatkan hasil pengukuran iluminansi
dengan menggunakan sumber tegangan AC memberikan hasil yang sama dengan pengukuran
iluminansi dengan menggunakan sumber tegangan DC. Didapatkan nilai ketidakpastian terentang
sebesar 2,3 %, dengan kontribusi paling besar dari komponen voltage setting sebesar 0,974 %.
Sistem pengukuran menggunakan sumber daya AC mampu menjadi metode alternatif dengan
sistem yang lebih sederhana dan tidak membutuhkan investasi yang besar.

Kata Kunci: kalibrasi, iluminansi, lux meter, tegangan AC.

ABSTRACT
The needs of comercial illuminance meter calibration above 1000 lux has increasing
rapidly. Puslit Metrologi has develop increased calibration range by using high power source of
2000W with DC power supply that has high acuracy and stability. However, a high voltage DC
power supply has a high cost investment, has large dimension, also require proper heat
insulation handling. Therefore a method has developed by using AC voltage source to supply
the light source in iluminance meter calibration sistem, since it was simpler, require less space,
and many comercial product.The illumination of the light source tends to fluctuate when AC
power source is used, a study of the effect of light source stability on meter illuminance readings.
From t-test statistical method, the result of illumiance measurement using AC source gives the
same result with illuminance measurement by using DC voltage source. Obtained uncertainty
value of 2.3%, with the largest contribution from the voltage setting component of 0.974%. The
measurement system using AC resources can be an alternative method with a simpler system and
does not require a large investment.

Keywords: calibration, illuminance, lux meter, AC voltage.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 93


1. PENDAHULUAN
Sistem kalibrasi iluminansi (illuminance) direalisasikan menggunakan dua
metode, yaitu dengan menggunakan hukum kuadrat jarak (inverse square law) terhadap
sumber cahaya standar yang telah diketahui nilai luminous intensity (Cd). Hukum
kuadrat jarak hanya dapat berlaku bila lampu standar dapat memenuhi kondisi sebuah
sumber titik (point source), dimana dimensi filamen lampu dapat diabaikan terhadap
jarak antara lampu standar dan iluminansi meter[1]. Pada umumnya digunakan aturan
umum praktis ukuran “lima kali” untuk menentukan jarak minimal sehingga kondisi
sumber titik dapat tercapai. Ketika sumber cahaya yang digunakan adalah lampu dengan
bohlam kaca bening (clear type) maka ukuran yang digunakan adalah panjang
filamennya[2]. Sehingga pada sebuah lampu halogen 2000 watt dengan ukuran filamen
20,0 x 19,0 mm jarak minimum agar dapat memenuhi sumber titik maka iluminansi
meter diletakan pada jarak sekitar 1,9 m, dimana iluminansi pada jarak ini bernilai
sekitar 400 lux.
Metode kedua adalah metode berbasis sensor, yaitu dengan menggunakan
iluminansi meter (fotometer) standar yang memiliki nilai illuminance responsivity
(A/lux). Dengan metode ini iluminansi meter komersial dibandingkan dengan fotometer
standar terhadap lampu sumber. Lampu sumber tidak harus memenuhi syarat sumber
titik, akan tetapi lampu sumber harus memenuhi syarat distribusi spektrum cahaya sesuai
dengan CIE illuminant A. Menggunakan metode ini kebutuhan rentang pengukuruan
menggunakan iluminansi komersial yang berada pada nilai 2000 lux atau lebih dapat
terpenuhi. Telah dilakukan penelitian di Puslit. Metrologi untuk mendapatkan tingkat
iluminansi yang tinggi dengan menggunakan sumber cahaya dengan daya yang tinggi,
tungsten halogen 2000 W. Menggunakan lampu sumber dengan daya tinggi mampu
didapatkan nilai iluminansi hingga 2000 lux pada jarak 0,5 – 1 meter[3]. Lampu sumber
ini biasa dinyalakan menggunakan sumber daya listrik DC untuk mendapatkan
kestabilan sumber daya yang lebih baik dan akurasi pengukuran elektrik yang lebih baik
daripada menggunakan sumber daya listrik AC. Arus pada tegangan DC memiliki
kestabilan yang tinggi, sehingga sumber cahaya juga tidak mengalami fluktuasi.
Ketidakpastian pada tingkat 0,01% pada umumnya diperlukan pada pengukuran
kestabilan arus, hal ini karena output cahaya dari sumber cahaya tipe incandescent
berubah sekitar 7 kali perubahan arusnya[4]. Akan tetapi menggunakan sumber cahaya

94 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


dengan daya yang tinggi memberikan kesulitan karena membutuhkan sumber tegangan
DC yang tinggi, ruangan yang besar, serta penanganan isolasi panas yang tepat.
Dilakukan penelitian penggunaan sumber daya listrik AC untuk menyalakan
sumber cahaya pada sistem kalibrasi illuminansi meter, karena perangkatnya yang lebih
sederhana, tidak membutuhkan ruang yang besar, dan banyak produk komersial tersedia.

2. TEORI DASAR
Menggunakan sumber daya listrik AC untuk menyalakan lampu sumber pada
sistem kalibrasi iluminansi akan mengakibatkan sumber cahaya mengalami modulasi, hal
ini terjadi karena arus listrik yang berubah mengikuti gelombang sinusoidal. Ketika
iluminansi meter digunakan untuk mengukur iluminansi sumber cahaya yang mengalami
variasi temporal, penunjukan iluminansi meter akan mengalami penyimpangan dari nilai
rata-ratanya, ini terjadi karena frekuensi modulasi berada diluar batas kemampuan alat,
penunjukan mengalami overdrive, atau karena pembacaan melewati batas waktu
responnya[5]. Untuk mengetahui besar simpangan akibat modulasi sumber cahaya
dilakukan pengukuran menggunakan beberapa iluminansi meter dengan kelas yang
berbeda. Dimana pembacaan iluminansi meter ditentukan dengan persamaan,
...…………………………………… 1

dimana :
Cf adalah faktor koreksi untuk iluminansi meter tes
Et adalah pembacaan iluminansi meter tes, lux
Es adalah pembacaan iluminansi meter standar, lux
ccf adalah koreksi ketidaksesuaian sumber cahaya terhadap CIE illuminant A

Menggunakan model matematis pada persamaan 1, maka dapat ditentukan persamaan


matematis untuk menghitung nilai ketidakpastian pengukuran sebagai berikut,

…………..……. 2

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 95


3. METODOLOGI
Iluminansi meter dikalibrasi terhadap sumber yang mengikuti illuminant A, yaitu
kondisi dimana spektrum cahaya mengikuti emisi Planck radiator. Sesuai dokumen
teknis Colorimetry CIE, spektrum standar illuminant A ditentukan dengan,

……………...……3

dimana :
S A() adalah distribusi daya spektral relatif
 adalah panjang gelombang, nm dan dua nilai eksponensial merupakan konstanta
definitif dari definisi illuminant A pertama kali pada 1931.
Untuk mendapatkan sumber cahaya illuminant A, spektrum cahaya sumber
diukur menggunakan spectroradiometer terkalibrasi pada jarak 1,5 m. Sumber cahaya
dinyalakan pada tegangan kerja, kemudian tegangan diturunkan atau dinaikan sehingga
spektrum sumber cahaya mengikuti persamaan 3. Nilai tegangan dibaca menggunakan
sebuah DVM 6 1/2 digit sehingga didapatkan pembacaan tegangan yang akurat, nilai
tegangan ini kemudian digunakan sebagai acuan menyalakan sumber cahaya pada
kondisi illuminant A.
Pengukuran iluminansi dilakukan dengan cara membandingkan pembacaan meter
standar dengan meter tes sesuai skema Gambar 1, sebanyak 10 titik pengukuran
ditentukan untuk melihat pengaruh modulasi pada rentang yang berbeda.

Supply
AC

DMM
Meter tes

lampu
Meter standar

Gambar 1. Skema pengukuran iluminansi menggunakan sumber daya AC

96 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai standar deviasi dari pengambilan data sebanyak 10 kali di setiap titik
rentang pengukuran dihitung untuk melihat simpangan pembacaan iluminansi. Dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 merupakan hasil perhitungan deviasi beberapa
iluminansi meter yang berbeda kelas, akibat sumber cahaya yang dinyalakan dengan
sumber daya DC dan AC. Deviasi pada sistem yang menggunakan sumber daya AC
lebih besar hingga 7 kali dibandingkan deviasi pada sistem yang menggunakan sumber
daya DC. Untuk melihat pengaruh deviasi ini, data hasil pengukuran dianalisa dengan t-
test two sample assumed unequal variance. Hipotesa H0 adalah hasil pengukuran
iluminansi dengan sumber tegangan AC sama dengan pengukuran iluminansi dengan
sumber tegangan DC, dan Ha adalah hasil pengukuran dengan sumber tegangan AC
tidak sama dengan pengukuran iluminansi dengan sumber tegangan DC.

Tabel 1. Hasil pengukuran Iluminansi menggunakan sumber daya DC


Deviasi
Rentang
Kelas A Kelas B
1000 0,48 0,52
900 0,47 0,63
800 0,32 0,57
700 0,00 0,00
600 0,00 0,47
500 0,00 0,32
400 0,00 0,00
300 0,00 0,53
200 0,00 0,09

Tabel 2. Hasil pengukuran Iluminansi menggunakan sumber daya AC


Deviasi
Rentang
Kelas A Kelas B
1000 3,39 3,28
900 13,84 2,42
800 1,75 1,70
700 0,99 2,78
600 0,92 1,69
500 0,79 1,27
400 0,74 1,23
300 0,79 1,07
200 0,32 0,48

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 97


Hasil analisa t test untuk iluminansi meter kelas A dapat dilihat pada tabel 3,
batas nilai kritis hipotesa H0 dapat diterima adalah nilai t Critical Two Tail. Sehingga
bila nilai tStat berada diantara nilai tCritical Two Tail, maka hipotesa H0 diterima dan
Ha ditolak. Jika dilihat pada rentang 1000, nilai batas kritis adalah dari -2,262 hingga
2,262 sedangkan nilai tStat adalah -1,753, nilai tStat berada dalam batas kritis sehingga
hipotesa H0 diterima. Begitu juga pada rentang lain dimana nilai tStat berada dalam
rentang batas kritis, oleh karena itu pengukuran iluminansi meter menggunakan sumber
daya AC tidak berbeda atau sama dengan pengukuran iluminansi menggunakan sumber
daya DC. Data pada tabel 4 adalah pengukuran iluminansi menggunakan iluminansi
meter kelas B juga menunjukan hasil perhitungan yang sama, dimana nilai tStat berada
dalam rentang batas kritis sehingga hipotesa H0 diterima.

Tabel 3. Analisa t-test untuk iluminansi meter kelas A

Alat Range t Stat t Critical Two Tail


1000 -1,753 2,262
900 0,571 2,262
800 -1,244 2,228
700 2,862 2,262
Kelas A 600 -0,688 2,262
500 0,802 2,262
400 0,429 2,262
300 -0,802 2,262
200 -1,000 2,262

Tabel 4. Analisa t-test untuk iluminansi meter kelas B


Alat Range t Stat t Critical Two Tail
1000 -0,666 2,262
900 0,883 2,228
800 -1,057 2,201
700 1,365 2,262
Kelas B 600 -1,445 2,228
500 0,967 2,228
400 -0,514 2,262
300 -0,264 2,160
200 1,552 2,228

98 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Selama pengukuran iluminansi digunakan sebuah fotometer monitor untuk
melihat kestabilan sumber cahaya, didapatkan profil kestabilan lampu pada gambar 2.
Fluktuasi sumber cahaya sangat mempengaruhi hasil pengukuran, selanjutnya untuk
melihat pengaruh deviasi dalam pengambilan data terhadap nilai ketidakpastian
pengukuran, maka digunakan komponen-komponen berikut dalam perhitungan
ketidakpastian pengukuran iluminansi meter. Persamaan 2 digunakan untuk
mengestimasi nilai setiap komponen, sehingga didapatkan nilai ketidakpastian sebagai
berikut,

Tabel 5. Nilai ketidakpastian bentangan menggunakan sumber daya AC


Standard Coeff.
DoF Contribution
Component (Xi ) uncertainty Sensitivity
vi u(y)
u(xi) ci
REF Reading (Es)
Repeatability 0,000 -0,011 9 0,000
Readability 0,500 1,000 50 0,289
Certificate 0,830 1,000 60 0,415
Voltage setting 0,250 6,750 50 0,974
Alignment 0,100 1,000 50 0,058
Linierity of
luxmeter 0,200 1,000 50 0,115
ccf 0,100 -0,781 50 -0,045
DUT Reading (Et)
Repeatability 0,178 0,011 9 0,002
Readability 0,500 1,000 50 0,289
Expanded Uncertainty U(Cf) 2,3

Ketidakpastian pengukuran iluminansi meter dihitung untuk semua rentang dan


dilaporkan nilai ketidakpastian terbesarnya, tabel 5 merupakan perhitungan
ketidakpastian pengukuran iluminansi meter menggunakan sumber daya AC. Komponen
ui repeatability sebesar 0,178 % merupakan nilai standard deviation of mean dari 10
data perulangan. Komponen ini hanya memberikan kontribusi sebesar 0,002% pada nilai
ketidakpastian terentang (expanded uncertainty) akhir senilai 2,3 %, walaupun selama
pengambilan data terdapat fluktuasi sumber cahaya. Kontribusi terbesar didapatkan dari
komponen voltage setting sebesar 0,974 %, dimana komponen ini merupakan pengaruh
perubahan tegangan terhadap iluminansi sumber cahaya, yaitu nilai experimental
standard deviation dari data fotometer monitor selama dilakukan pegambilan data.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 99


Tabel 6. Nilai ketidakpastian bentangan menggunakan sumber daya DC
Standard Coeff.
DoF Contribution
Component (Xi ) uncertainty Sensitivity
vi u(y)
u(xi) ci
REF Reading (Es)
Repeatability 0,000 -0,011 9 0,000
Readability 0,500 1,000 50 0,289
Certificate 0,830 1,000 60 0,415
Current setting 0,039 6,100 50 0,137
Alignment 0,100 1,000 50 0,058
Linierity of luxmeter 0,200 1,000 50 0,115
ccf 0,100 -0,797 50 -0,046
DUT Reading (Et)
Repeatability 0,079 0,011 9 0,001
Readability 0,500 1,000 50 0,289
Expanded Uncertainty U(Cf) 1,2

Gambar 2. Grafik stabilitas sumber cahaya

Jika dibandingkan dengan tabel 6 perhitungan ketidakpastian pengukuran


iluminansi meter menggunakan sumber daya DC, nilai ketidakpastian terentang yang
didapatkan hanya sebesar 1,2 %. Dapat dilihat bahwa kontribusi masing-masing
komponen pada pengukuran menggunakan sumber AC dan DC tidak berbeda jauh,
kontribusi komponen yang paling signifikan adalah nilai kestabilan sumber. Pada
pengukuran menggunakan sumber daya AC merupakan voltage setting, yaitu pengaruh
perubahan tegangan terhadap iluminansi sumber cahaya, sedangkan pada pengukuran
menggunakan sumber daya DC merupakan current setting yaitu pengaruh perubahan

100 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


arus terhadapa iluminansi sumber cahaya. Perubahan arus pada sumber daya DC dapat
dipertahankan hingga kestabilan yang tinggi, sedangkan perubahan tegangan AC cukup
bervariasi seperti yang terlihat pada gambar 2, hal ini mungkin terjadi dikarenakan
kualitas jala-jala listrik yang kurang baik. Pada penelitian ini sumber daya AC
merupakan jala-jala listrik PLN yang dilewatkan ke step down transformers untuk
mendapatkan illuminant A, bila digunakan sistem sumber daya AC yang mempunyai
kestabilan tinggi, nilai ketidakpastian terentang pengukuran dapat diperkecil.

Tabel. 7 Koreksi pengukuran iluminansi

Kelas A
Range Koreksi DC Koreksi AC
1000,0 -0,03% -0,22%
900,0 0,00% 0,28%
800,0 -0,01% -0,10%
700,0 0,00% 0,13%
600,0 0,00% -0,03%
500,0 0,00% 0,04%
400,0 0,00% 0,03%
300,0 0,00% -0,07%
200,0 0,00% -0,05%

Kelas B
Range Koreksi DC Koreksi AC
1000 5,0% 4,9%
900 4,9% 5,0%
800 5,0% 4,9%
700 5,0% 5,2%
600 5,0% 4,9%
500 5,0% 5,1%
400 5,0% 5,0%
300 4,8% 4,8%
200 4,5% 4,7%

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 101


Batas toleransi untuk kesalahan total pada pengukuran iluminansi meter sesuai dengan
DIN 5032 untuk kelas A adalah 5 %, dapat dilihat pada tabel 7 nilai koreksi kesalahan
pembacaan ketika menggunakan sumber tegangan AC masih di dalam batas toleransi.
Begitu juga untuk kelas B, dimana batas toleransi kesalahan adalah sebesar 10 %, nilai
koreksi kesalahan pada tabel 7 masih menunjukan hasil pengukuran masuk di dalam
batas toleransi. Saat ini klaim nilai ketidakpastian pengukuran iluminansi meter di Puslit.
Metrologi-LIPI adalah sebesar 2 %, dengan menggunakan sumber daya AC mampu
didapatkan ketidakpastian sebesar 2,3 %. Sistem sumber daya AC memiliki potensi
untuk digunakan dalam layanan kalibrasi iluminansi meter komersial, menggunakan
lampu dengan daya 2000 watt atau lebih tanpa mengubah sistem pengukuran yang ada
dan biaya investasi yang tidak terlalu besar.

5. KESIMPULAN
Dilakukan penelitian menggunakan sumber daya AC untuk menyalakan sumber
cahaya pada sistem pengukuran iluminansi meter sebagai metode alternatif sumber daya
DC yang umumnya digunakan pada pengukuran ini. Keuntungan menggunakan sumber
daya AC adalah tidak memerlukan investasi yang besar dari sumber daya DC daya tinggi
untuk menyalakan lampu sebesar 2000 watt atau lebih. Menggunakan sumber daya AC
dari jala-jala PLN didapatkan hasil pengukuran yang masih masuk dalam batas toleransi
kesalahan iluminansi meter, dan didapatkan nilai ketidakpastian terentang pengukuran
iluminansi meter sebesar 2,3 %, tidak jauh berbeda dengan klaim pengukuran Puslit.
Metrologi saat ini sebesar 2 %.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Pak Achalik, dan rekan-rekan laboratorium Radiometri
Fotometri atas bantuan teknis dan dukungannya.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Yuanji, Liu et all. High Range Illuminance Meter Calibration Using Substitution
Method. CIE Midterm Meeting
[2] Ryer, Alex. 1997. The Light Measurement Handbook. International Light
Tehcnologies.

102 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[3] Prihhapso, Yonan, dan Dini Suryani. 2015. Pengukuran Iluminansi Meter Hingga
2000 Lux Menggunakan Sumber Cahaya Dengan Daya Tinggi. PPI-KIM Ke-41.
116–25.
[4] Ohno, Y. 1996. OSA Handbook of Applied Photometry. AIP Press.
[5] Mitgeltende Normen. 1978. DIN 5032 Photometry; Classification Of Illuminance
Meters And Luminance Meter. Beuth Verlag GmbH.
[6] JCGM 100. 2008. Evaluation of Measurement Data-Guide to Expression of
Uncertainty in Measurement. BIPM.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Nurul Alfiyati

Pertanyaan :
Mengapa koefisien sensitifitas (ci) komponen ketidakpastian u(xi) voltage setting pada
perhitungan ketidakpastian pengukuran iluminansi meter menggunakan sumber tegangan
AC nilainya sangat besar?

Jawaban :
Koefisien sensitifitas (ci) voltage setting pada perhitungan ketidakpastian pengukuran
menggunakan sumber AC bernilai 6,75 mempunyai nilai yang relatif sama dengan nilai
pada perhitungan ketidakpastian menggunakan sumber DC yaitu bernilai 6,10. Nilai ini
didapatkan secara eksperimental bukan dari turunan parsial model matematis
pengukuran, metode ini umum digunakan di bidang radiometri-fotometri. Bila melihat
referensi buku OSA Handbook of Applied Photometry disebutkan bahwa perubahan arus
/ tegangan memiliki korelasi terhadap keluaran sumber cahaya tipe incadascent bahkan
hingga 7 kalinya.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 103


STUDI PENGUJIAN KONTAINER BAHAN ACUAN GAS
(BERBENTUK SILINDER): KASUS GAS CO2 DALAM MATRIKS N2
M. Rizky Mulyana, Oman Zuas, Harry Budiman
Laboratorium Analisa Gas, Kelompok Penelitian Metrologi Kimia,
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan
m.rizky.mulyana@lipi.go.id

INTISARI
Bahan acuan gas merupakan salah satu faktor penting dalam pengukuran kadar gas yang harus
diperhatikan demi memperoleh hasil pengukuran yang akurat. Namun sebelum digunakan dalam
pengujian rutin, bahan acuan gas tersebut harus memenuhi syarat yang tertera dalam regulasi baku
mutu yang berlaku, dalam hal ini ISO 6142. Adapun ISO 6142 tidak bisa diterapkan apabila dinding
silinder yang digunakan sebagai wadah bahan acuan gas bereaksi dengan komponen didalamnya.
Selain itu, kebocoran juga dapat mempengaruhi ketepatan nilai komposisi bahan acuan gas. Oleh
sebab itu, dilakukan studi yang mempelajari pengujian silinder kontainer bahan acuan gas yang
dibahas dalam artikel ini. Hasil pengujian kebocoran untuk tekanan tinggi dan tekanan vakum pada
seluruh silinder kontainer dengan metode ANOVA menunjukkan hasil p-value lebih dari 0.05.
Demikian juga pada pengujian suitabilitas, pengamatan perubahan konsentrasi terhadap waktu dengan
metode ANOVA menunjukkan nilai p-value lebih dari 0.05 untuk seluruh silinder kontainer. Hal ini
berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang signifikan selama pengujian kebocoran pada tekanan
tinggi dan vakum, dan juga tidak ada perubahan konsentrasi yang signifikan selama pengujian
suitabilitas silinder kontainer. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa silinder uncoated yang
diujikan dalam studi ini dapat digunakan untuk pembuatan bahan acuan gas CO2 dalam matriks N2
dengan baik.

Kata Kunci: Bahan acuan gas, silinder kontainer gas, pengukuran gas

ABSTRACT
Gas reference material is an important factor in gas measurement that should be maintained in order
to achieve accurate measurement result. However, before utilization in routine work, gas reference
material should comply with the applicable standard regulation, which is ISO 6142. However, ISO
6142 cannot be applicable if the gas cylinder’s wall reacted with the components inside. Moreover,
leakage can also affect the composition of standard gases. Therefore, a study of cylinders used for the
reference gas container has been done and discussed in this article. The result of leakage test in high
pressure and vacuum for all cylinders using ANOVA method shows the p-values of more than 0.05.
Similarly for the suitability test, observation of the concentration change versus time with ANOVA
method shows the p-values of more than 0.05 for all container cylinders. These results implies that
there are no significant change of mass during the leakage test in high pressure and vacuum, and also
no significant change of concentration during tha suitability testing of the container cylinders.
Therefore, it can be concluded that the uncoated cylinders tested in this study can be used well in the
preparation of gas reference material for CO2 in N2 matrix.

Keywords: gas reference materials, gas container cylinders, gas measurement

104 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


1. PENDAHULUAN
Pengukuran kadar gas saat ini memiliki peranan penting dalam pengujian dan
pemantauan berbagai aspek lingkungan, misalnya kualitas udara, emisi gas buang kendaraan,
dan perubahan iklim[1]. Pengukuran kadar gas yang valid dibutuhkan untuk mendapatkan data
hasil pengujian dan pemantauan yang akurat. Dengan diperolehnya data yang akurat, pihak
yang memiliki kewenangan (dalam hal ini pemerintah) dapat mengambil keputusan yang
tepat dalam kaitannya dengan aspek lingkungan seperti yang telah disebutkan sebelumnya[2].
Demi mencapai tujuan tersebut, metode pengukuran kadar gas harus dievaluasi unjuk
kerjanya berdasarkan standar baku atau regulasi yang berlaku secara global sebelum
digunakan dalam pemantauan dan pengujian rutin di laboratorium. ISO/IEC 17025 yang
merupakan standar baku internasional untuk laboratorium pengujian, menyebutkan bahwa
salah satu cara untuk mengetahui unjuk kerja suatu metode pengukuran adalah dengan
kalibrasi menggunakan bahan acuan[3].
Dalam bidang pengukuran gas sendiri, bahan acuan gas yang digunakan harus
memenuhi persyaratan yang sesuai dengan standar baku internasional. ISO 6142 yang
merupakan panduan internasional untuk preparasi bahan acuan gas, menyatakan bahwa suatu
komponen gas tidak boleh mengalami reaksi dengan komponen lain dalam campuran bahan
acuan gas tersebut, atau dengan dinding silinder yang menjadi wadahnya[4].
Dengan demikian, perlu dilakukan studi pengujian silinder kontainer yang tepat demi
diperolehnya bahan acuan gas dengan nilai komposisi yang stabil dan akurat. Hal ini sangat
penting untuk dipelajari oleh para produsen campuran bahan acuan gas untuk mendukung
jaminan kualitas produknya. Oleh sebab itu, dalam artikel ini akan dibahas dan didiskusikan
secara mendetail mengenai tahap-tahap pengujian silinder kontainer, dengan studi kasus yaitu
pembuatan bahan acuan gas 1000 µmol/mol karbon dioksida (CO2) dalam nitrogen (N2).

2. TEORI DASAR
Dalam panduan ISO 6142 untuk preparasi campuran bahan acuan gas dengan metode
gravimetrik, pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa panduan tersebut hanya dapat
diaplikasikan untuk campuran gas yang tidak mengalami reaksi antar komponen di dalamnya,
atau antara komponen dengan dinding silinder yang menjadi wadahnya[4]. Dengan demikian,
apabila terjadi reaksi antar komponen dalam suatu bahan acuan gas, atau reaksi antara
komponen dengan dinding silinder, maka ISO 6142 tidak berlaku dan bahan acuan gas
tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan yang baku.
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 105
Adanya reaksi antar komponen dalam bahan acuan gas, atau reaksi antara komponen
dengan dinding silinder yang menjadi wadahnya, dapat diketahui dengan mengamati secara
berkala konsentrasi komponen bahan acuan gas tersebut, dalam hal ini disebut dengan uji
suitabilitas. Perubahan konsentrasi bahan acuan gas terhadap waktu pengamatan uji
suitabilitas, dapat mengindikasikan terjadinya reaksi adsorpsi/desorpsi yang tidak
diinginkan[5]. Akan tetapi, perubahan konsentrasi tersebut bisa juga disebabkan oleh
kebocoran pada silinder kontainer bahan acuan gas. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan uji
suitabilitas, silinder bahan acuan gas harus terlebih dahulu diuji kobocoran dalam tekanan
tinggi dan tekanan vakum, untuk memastikan bahwa penyebab perubahan konsentrasi tidak
diakibatkan oleh kebocoran.
Perlu diketahui bahwa pengujian suitabilitas yang dilakukan dalam studi ini bertujuan
untuk menentukan cocok (suitable) atau tidaknya silinder untuk dijadikan kontainer bahan
acuan gas yang akan dibuat berdasarkan ISO 6142[4], dan tidak dapat digunakan untuk
menentukan masa kadaluarsa (expiry date) bahan acuan gas tersebut. Untuk menentukan masa
kadaluarsa suatu bahan acuan gas, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut setelah bahan acuan
gas selesai dibuat yang biasa disebut dengan uji stabilitas bahan acuan dengan mengacu pada
ISO Guide 35[6].

3. METODOLOGI
Sebanyak sebelas buah silinder aluminium uncoated berukuran 2.5 liter dan diameter
12 cm (Shenyang Zhongfu Kejin Pressure Vessels Co. LTD, P.R. China) dipersiapkan sebagai
sampel yang diujikan dalam studi ini. Pengujian seluruh silinder tersebut mencakup pengujian
kebocoran pada tekanan tinggi dan tekanan vakum, serta pengujian suitabilitas (kecocokan)
silinder untuk campuran gas CO2 dalam matriks N2 dengan konsentrasi 1000 µmol/mol.
Untuk pengujian kebocoran pada tekanan tinggi, sejumlah gas N2 murni tipe Alphagaz
1 dengan kemurnian 99.999% (PT. Air Liquide, Indonesia) ditransfer ke dalam silinder hingga
mencapai tekanan 100 bar. Setelah itu silinder ditimbang dan dicatat hasil timbangnya pada
hari yang sama dengan pengisian. Penimbangan dan pencatatan diulangi lagi setelah 1, 7, 15,
22, dan 30 hari dari pengisian gas. Peralatan penimbangan yang digunakan dapat dilihat
spesifikasinya pada Tabel 1. Adapun silinder dinyatakan lulus uji kebocoran tekanan tinggi
apabila tidak terjadi penurunan massa yang signifikan selama periode pengujian. Signifikansi
penurunan massa tersebut dapat dianalisa dengan metode two-way analysis of variance
(ANOVA).

106 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Adapun untuk pengujian kebocoran pada tekanan vakum, seluruh silinder terlebih
dahulu dievakuasi menggunakan pompa vakum HiCube 300 Classic berskala 10-7 mBar
(Pfeiffer Vacuum GmbH, Jerman). Seperti pada uji kebocoran tekanan tinggi, silinder juga
ditimbang dan dicatat hasil timbangnya pada hari yang sama dengan evakuasi, lalu diulangi
lagi setelah 1, 7, 15, 22, dan 30 hari dari evakuasi. Peralatan penimbangan yang digunakan
juga dapat dilihat spesifikasinya pada Tabel 1. Silinder dinyatakan lulus uji kebocoran
tekanan vakum apabila tidak terjadi peningkatan massa yang signifikan selama periode
pengujian. Signifikansi peningkatan massa tersebut dapat dianalisa dengan metode two-way
analysis of variance (ANOVA).

Tabel 1. Spesifikasi Peralatan Pengujian

Kriteria Pengujian Spesifikasi Peralatan

Pengujian Kebocoran pada Timbangan Analitik Mettler Toledo New Classic


Tekanan Tinggi MS32001L/02 (Mettler Toledo, Amerika Serikat)
• Kapasitas : 32200 g
• Pembacaan : 0.1 g
• Akurasi : 0.1 g

Pengujian Kebocoran pada Mass Comparator XP 10003S Mettler Toledo


Tekanan Vakum Excellence Plus (Mettler Toledo, Amerika Serikat)
• Kapasitas : 10100 g
• Pembacaan : 1 mg
• Keberulangan : 1 mg
• Linearitas : 7 mg

Pengujian Suitabilitas Silinder Kromatografi Gas dengan Detektor Konduktifitas


Kontainer Termal (Agilent Technologies, Amerika Serikat)
• Laju alir sampel : 40 mL/menit
• Volume sampling loop : 2 mL
• Temperatur valve box : 100°C
• Kolom : Porapak Q, packed column stainless steel,
1/8 in OD, 6 ft, 80- 100 mesh
• Temperatur Oven : 40°C (3.5 min)
• Gas carrier : Helium dengan ultra high purity
(99.999%)
• Laju alir gas carrier : 28 mL/menit

Untuk pengujian suitabilitas, dilakukan pencampuran gas CO2 murni tipe Alphagaz 2
dengan kemurnian 99.999% (PT. Air Liquide, Indonesia) dan N2 murni tipe Alphagaz 1

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 107


dengan kemurnian 99.999% (PT. Air Liquide, Indonesia) di dalam sebuah silinder bulk 10
Liter. Pencampuran dilakukan dengan metode gravimetrik dengan target konsentrasi 1000
µmol/mol CO2 dalam N2. Setelah pencampuran, dilakukan homogenisasi campuran gas
menggunakan Jar Mill Type 301 (Thuringia Netzsch GmbH, Jerman) selama 24 jam sehingga
konsentrasi terbagi secara merata di dalam silinder. Campuran gas yang telah homogen
kemudian ditransfer dari silinder bulk ke dalam sebelas silinder sampel yang akan diujikan
dan dilakukan analisa konsentrasi menggunakan GC-TCD yang spesifikasinya tercantum
dalam Tabel 1. Analisa konsentrasi diulangi lagi setelah 2, 4, dan 6 minggu dari pengisian.
Akan tetapi, sebelum analisa di minggu keenam, dilakukan pemanasan silinder menggunakan
jaket pemanas dengan suhu 500 C. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui ketahanan
campuran gas dalam silinder terhadap perubahan suhu. Adapun silinder dinyatakan lulus uji
suitabilitas apabila tidak terjadi penurunan konsentrasi CO2 secara signifikan dalam campuran
gas. Seperti pada pengujian kebocoran, signifikansi penurunan konsentrasi CO2 tersebut dapat
dianalisa dengan metode two-way analysis of variance (ANOVA).
Untuk mempelajari signifikansi perubahan massa dalam pengujian kebocoran pada
tekanan tinggi dan vakum, serta mempelajari signifikansi perubahan konsentrasi dalam
pengujian suitabilitas, metode ANOVA digunakan dengan cara simulasi menggunakan
program Microsoft™ Excel. Nilai batas keyakinan 95% (p-values < 0.05) digunakan sebagai
indikasi adanya perubahan signifikan suatu variabel (dalam hal ini massa atau konsentrasi)
terhadap suatu faktor (dalam hal ini waktu pengujian). Dengan demikian apabila nilai p-
values yang diperoleh dengan simulasi ANOVA menggunakan Microsoft™ Excel melebihi
0.05, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan variabel massa atau konsentrasi terhadap
faktor waktu.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian pertama yaitu kebocoran pada tekanan tinggi (100 bar), telah dilakukan
pada sebelas silinder sampel. Penimbangan telah dilakukan secara berkala selama periode
yang telah ditentukan untuk mengamati signifikansi penurunan massa terhadap waktu dengan
metode ANOVA. Hasil pengamatan tersebut dapat diamati pada tabel 2 di bawah ini.

108 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Hasil Uji Kebocoran Silinder Sampel pada Tekanan Tinggi
Kode Hasil Penimbangan (gram) pada Hari ke- p-values
Silinder 0 1 7 15 22 30 (ANOVA)
L150721002 3806000 3807000 3806000 3806000 3806000 3806000 1.00
L150721009 3730000 3730000 3730000 3730000 3730000 3730000 1.00
L150721008 3776000 3777000 3776000 3776000 3776000 3776000 1.00
L150721003 3763000 3763000 3763000 3763000 3763000 3763000 1.00
L150721004 3776000 3776000 3776000 3776000 3776000 3776000 1.00
L150721010 3726000 3726000 3726000 3726000 3726000 3726000 1.00
L150721012 3694000 3694000 3694000 3694000 3694000 3694000 1.00
L150721006 3747000 3747000 3747000 3747000 3747000 3747000 1.00
L150721005 3757000 3757000 3757000 3757000 3757000 3757000 1.00
L150721015 3839000 3839000 3839000 3839000 3839000 3839000 1.00
L150721016 3724000 3724000 3724000 3724000 3724000 3724000 1.00

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa p-values hasil perhitungan ANOVA untuk semua
silinder nilainya lebih besar dari 0.05, yang berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang
signifikan terhadap waktu[7]. Hasil penimbangan secara berkala menunjukkan bahwa massa
silinder berisi 100 bar N2 relatif konstan hingga akhir periode pengamatan. Untuk lebih
memperjelas, tiga sampel silinder dipilih dan diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik
seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Hasil Penimbangan untuk Uji Kebocoran pada Tekanan Tinggi


(catatan: dengan ketidakpastian dari pembacaan timbangan = + 100 mg)

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 109


Pada Gambar 1, terlihat bahwa massa silinder berisi 100 bar N2 tampak relatif stabil di
sepanjang periode pengamatan. Perubahan massa yang terjadi sangat kecil dibanding dengan
massa silinder keseluruhan sehingga garis-garis yang menginterpretasikan massa silinder
terlihat lurus, seperti yang tertera dalam laporan uji banding internasional yang menyebutkan
bahwa ketidakpastian akibat kebocoran gas dari dalam silinder sebesar 1 mg[8].
Pengujian kedua yaitu kebocoran pada tekanan vakum, juga telah dilakukan pada
sebelas silinder sampel. Penimbangan telah dilakukan secara berkala selama periode yang
telah ditentukan untuk mengamati signifikansi peningkatan massa terhadap waktu dengan
metode ANOVA. Hasil penimbangan berkala tersebut dapat diamati pada tabel 3 di bawah
ini.

Tabel 3. Hasil Uji Kebocoran Silinder Sampel pada Tekanan Vakum


Hasil Penimbangan (mg) pada Hari ke- p-values
Kode Silinder
0 1 7 15 22 30 (ANOVA)
L150721002 3504507 3504622 3504481 3504513 3504613 3504598 1.00
L150721009 3425125 3425249 3425108 3425142 3425247 3425228 1.00
L150721008 3470428 3470303 3470424 3470316 3470426 3470426 1.00
L150721003 3456693 3456811 3456668 3456699 3456801 3456790 1.00
L150721004 3469619 3469739 3469596 3469629 3469734 3469727 1.00
L150721010 3420790 3420900 3420762 3420793 3420899 3420886 1.00
L150721012 3402465 3402644 3402756 3402651 3402766 3402762 1.00
L150721006 3443877 3443754 3443867 3443761 3443877 3443876 1.00
L150721005 3452863 3452974 3452837 3452866 3452974 3452955 1.00
L150721015 3532302 3532177 3532290 3532189 3532305 3532305 1.00
L150721016 3420401 3420377 3420504 3420511 3420499 3420502 1.00

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa, seperti pada pengujian kebocoran pada tekanan
tinggi, p-values hasil perhitungan ANOVA untuk semua silinder nilainya lebih besar dari
0.05, yang juga berarti bahwa tidak ada perubahan massa yang signifikan terhadap waktu[7].
Hasil penimbangan secara berkala menunjukkan bahwa massa silinder vakum relatif konstan
hingga akhir periode pengamatan. Untuk lebih memperjelas, tiga sampel silinder dipilih dan
diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik seperti pada Gambar 2 di bawah ini.

110 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 2. Hasil Penimbangan untuk Uji Kebocoran pada Tekanan Vakum
(catatan: dengan ketidakpastian dari pembacaan timbangan = + 1 mg)

Gambar 2 menunjukkan pola yang sebanding dengan hasil pengujian kebocoran pada
tekanan tinggi, dimana massa silinder vakum tampak relatif stabil di sepanjang periode
pengamatan. Perubahan massa yang terjadi juga sangat kecil dibanding dengan massa silinder
keseluruhan sehingga garis-garis yang menunjukkan massa silinder masih terlihat lurus. Hasil
ini dapat dibandingkan dengan laporan uji banding internasional yang menyebutkan bahwa
ketidakpastian akibat masuknya udara ke dalam silinder setelah evakuasi sebesar 1 mg[8].
Pengujian terakhir yaitu suitabilitas silinder, juga telah dilakukan pada sebelas silinder
sampel. Analisa konsentrasi menggunakan GC-TCD telah dilakukan secara berkala selama
periode yang telah ditentukan untuk mengamati signifikansi penurunan konsentrasi CO2
terhadap waktu dengan metode ANOVA. Hasil analisa berkala tersebut dapat diamati pada
tabel 4 di bawah ini.
Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa p-values hasil perhitungan ANOVA untuk
seluruh silinder bernilai lebih besar dari 0.05, yang juga berarti bahwa tidak ada perubahan
konsentrasi yang signifikan terhadap waktu[7]. Untuk lebih memperjelas, salah satu sampel
silinder dipilih dan diplot hasil penimbangannya ke dalam grafik seperti pada Gambar 2 di
bawah ini.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 111


Tabel 4. Hasil Uji Suitabilitas Silinder Sampel
Hasil Analisa (µmol/mol) pada Minggu ke- p-values
Kode
Silinder 0 2 4 6 (ANOVA)
L150721004 976.0980 985.8614 971.9192 971.8792 0.7042
L150721002 980.6719 983.9695 971.7750 974.1824 0.7042
L150721003 971.2439 983.4057 985.7706 974.6459 0.7042
L150721009 971.2004 985.3501 990.2338 977.3537 0.7039
L150721006 963.7539 979.6222 972.5558 978.1274 0.7039
L150721015 988.5613 982.5630 970.9992 980.6684 0.7041
L150721012 983.2406 980.1086 974.6119 977.6463 0.7041
L150721005 979.4917 977.4009 975.9711 980.4020 0.7040
L150721010 978.1191 977.6641 979.6272 981.8217 0.7040
L150721008 984.4041 980.3279 981.2430 973.2198 0.7041
L150721016 978.1572 981.3166 976.0048 976.8463 0.7041

Gambar 3. Hasil Analisa Konsentrasi untuk Uji Suitabilitas Silinder


(catatan: dengan ketidakpastian dari standar deviasi = + 1.87 µmol/mol )

Pada Gambar 3, terlihat bahwa konsentrasi CO2 relatif stabil di sepanjang durasi
analisa. Perubahan konsentrasi yang terjadi relatif sangat kecil dibanding dengan target
konsentrasi CO2 hasil pencampuran. Pemanasan silinder sebelum analisa pada minggu
keenam juga tidak tampak mempengaruhi konsentrasi CO2, karena hasil analisa tidak tampak
berubah secara signifikan. Hasil ini dapat dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang

112 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


melaporkan penurunan konsentrasi CO2 akibat adsorbsi oleh dinding silinder aluminium
dengan jumlah yang sangat kecil, yakni 0.02 % relatif dari konsentrasi total dan perubahan
konsentrasi hanya dapat terlihat dengan jelas apabila tekanan gas juga dikurangi secara
signifikan [5]. Dengan pola yang relatif sama, secara teoritis silinder kontainer yang dipelajari
dalam studi ini dapat dikatakan cukup suitable untuk pembuatan bahan acuan gas CO2 dalam
N2 karena secara teoritis tidak terjadi perubahan konsentrasi secara signifikan selama durasi
pengujian.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, seluruh silinder sampel yang telah
diujikan dapat dinyatakan lulus uji kebocoran pada tekanan tinggi, uji kebocoran pada
tekanan vakum, serta uji suitabilitas silinder. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
silinder aluminium uncoated yang dipelajari dalam studi ini memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam ISO 6142 untuk digunakan sebagai wadah bahan acuan gas.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Kimia-LIPI atas dukungan
finansial dalam Proyek No. SP.DIPA-079.01.2.664833/2016 dengan lingkup “Penguatan
Infrastruktur dan Kompetensi Metrologi Kimia” sehingga kegiatan penelitian ini dapat
berjalan dengan sebagaimana mestinya.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Ermolaev, E. 2015. Greenhouse Gas Emissions from Food and Garden Waste
Composting Effects of Management and Process Conditions. Swedish: Acta
Universitatis agriculturae Sueciae.
[2] Zuas, O. Budiman, H. Mulyana, M. R. 2016. Temperature Effect on Thermal
Conductivity Detector in Gases (Carbon Dioxide, Propane and Carbon
Monoxide) Analysis: A Gas Chromatography Experimental Study. J. Basic
Appl. Res. Int., vol. 13, no. 4, pp. 232–238,.
[3] BSN. 2008. Persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan
laboratorium kalibrasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 113


[4] ISO. 2002. Gas Analysis - Preparation of calibration gas mixtures - Gravimetric
method,” International Organization for Standardization.
[5] Miller, W. R. Rhoderick, G. C. Guenthor, F. R. 2014. Investigating Adsorption
/ Desorption of Carbon Dioxide in Aluminum Compressed Gas Cylinders.
[6] ISO Guide 35. Reference materials - General and statistical principles for
certification. ISO. p. 63, 2006.
[7] Budiman, H. Zuas, O. 2011. Validation of Analytical Method for Determination
of High Level CArbon Dioxide (CO2) in Nitrogen Gas (N2) Matrix Using Gas
Chromatography Thermal Conductivity Detector. Periódico Tchê Química. vol.
12, no. 24, pp. 7–16.
[8] Lee, J. Lee, J. Moon, D. Kim, J. S. Wessel, R. Aoki, N. Kato, K. Guenther, F.
Rhoderick, G. Konopelko, L. A. Han, Q. Hall, B. 2011. CCQM-K68 Final
Report International Comparison CCQM K68 Nitrous Oxide in synthetic air.

HASIL DISKUSI
Tidak Ada

114 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


PENGARUH CORONG TAMBAHAN TERHADAP HASIL PENGUJIAN
VOLUME CAWAN BERJUNGKIT UKURAN 17,7 ML PADA SISTEM
PENGUKUR MAWAR HUJAN
Jalu A. Prakosa, Sensus Wijonarko, Tatik Maftuhah,
Dadang Rustandi, Bernardus H. Sirenden
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Kompleks Puspiptek, Setu, Tangerang, Banten
jalu001@lipi.go.id

INTISARI
Tujuan studi ini adalah untuk menyelidiki pengaruh suatu corong tambahan terhadap hasil pengujian
volume-volume sensor cawan berjungkit pada sistem pengukur mawar hujan. Studi dilakukan dengan
memakai suatu eksperimen, sedangkan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan bilangan
perbandingan En. Hasil-hasil dari dua sampel cawan berjungkit masing-masing pada volume sekitar
17,7 mL menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara pengujian melalui dan tanpa corong
tambahan, yaitu sekitar 1,8 % untuk sampel pertama dan sebesar 2,2 % untuk sampel kedua.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh adhesi yang membentuk volume mati pada dorong tambahan.
Meskipun perbedaan tersebut masih dapat ditoleransi karenabilangan perbandingan En < 1 (0,7 untuk
sampel 1 dan 0,8 untuk sampel 2), nilai koreksi sekitar 2 % untuk setiap sensor cukup bermakna
disebabkan efek bertingkat pada tahap integrasi untuk seluruh pada tahap integrasi untuk seluruh
cawan berjungkit guna membentuk sistem mawar hujan.

Kata kunci: Corong, volume mati, pengujian, cawan berjungkit, sistem pengukur mawar
hujan

ABSTRACT
The aim of this study was to investigate the influence of an additional funnel to the testing results of
tipping bucket sensor volumes for a rainrose measurement system. The study was carried out using an
experiment while the obtained data were analyzed utilizing En number. Results from 2 tipping bucket
samples for about 17,7 ml volume respectively showed that there was a difference between the testing
with and without the additional funnel, namely around 1,8 % for the first sample and 2,2 % for the
second sample. The difference was caused by the adhesion that form a dead volume at the additional
funnel. Although the difference was still tolerable because En number of each sensor was < 1 (0,7 for
sample 1 and 0.8 for sample 2), the correction number around 2 % for each sensor was significant
due to cascaded effect at the integration phase for all tipping buckets to form the rainrose
measurement system.

Keywords: funnel, dead volume, testing, tipping bucket, rainrose measurement system

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 115


1. PENDAHULUAN
Kesalahan pengukuran tidak selalu bermakna negatif. Kesalahan pengukuran bisa juga
digunakan sebagai faktor pemicu perkembangan suatu instrumen atau instrumentasi,
metrology dan kalibrasi. Hal ini karena kesalahan pengukuran itu tidak pernah mencapai nol.
Oleh karena itu upaya untuk memperkecil kesalahan pengukuran tidak akan pernah selesai
sehingga perkembangan instrumen terus berlangsung. Sistem yang diterapkan oleh Wijoanrko
dan Maftukhah[1] di Daerah Aliran Sungai Kubu, Belitung pada tahun 2014, misalnya, pada
dasarnya juga dikembangkan berdasarkan kesalahan-kesalahan pengukuran sebelumnya. Alat
ukur yang beresolusi tinggi[2] juga diturunkan dari kesalahan.
Salah satu sumber kesalahan pengukuran pada sensor curah hujan adalah karena
terjadinya adhesi antara air (hujan) dengan media padat yang dilaluinya. Makin panjang
pertemuan antara kedua jenis zat tersebut, mestinya makin besar adhesi yang terjadi. Adhesi
yang makin besar akan memperbesar peluang kesalahan pada sensor tersebut.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mencari pengaruh corong pengumpul terhadap hasil
pengukuran sensor tipping bucket dengan volume 17, 7 ml. Sensor dengan volume seperti ini
digunakan sebagai bagian dari sensor mawar hujan, yaitu pengukur curah hujan sebagai
fungsi arah hujan vertikal dan lateral (Wijonarko, Maftukhah dan Rustandi, 2017)[3].
Pengaruh itu diperkirakan terjadi karena adanya adhesi antara air (hujan) dengan corong yang
dipakai untuk melewatkan air tersebut. Bila hasil pengukuran jenis sensor dengan corong dan
tanpa corong berbeda secara signifikan, maka kesalahan akibat adhesi ini perlu diperhatikan.

2. DASAR TEORI
Curah hujan sangat penting bagi kehidupan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengukuran curah hujan sehingga dapat dibuat untuk memprediksi curah hujan mendatang[4]
dengan standar yang diterima di berbagai daerah atau Negara[5-10].
Pengukur curah hujan tipe cawan berjungkit[11 - 12] pada dasarnya terdiri dari bagian
pengumpul hujan, pembanding, pengolah data dan penyebar informasi. Air hujan
dikumpulkan dan disalurkan ke bagian pembanding yang berupa dua cawan identik yang di
bagian tengahnya berupa tuas sehingga disebut sebagai cawan berjungkit (Gambar 1).

116 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 1. Pengukur curah hujan tipe cawan berjungkit

Cawan berjungkit merupakan sensor atau bisa juga disebut sebagai pembanding karena
yang dideteksi hanya sebuah harga berat atau volume air yang sebanding dengan gaya
minimum untuk menjungkitkan salah satu cawan identik di bagian yang lebih rendah. Posisi
cawan identik ini dapat diatur dengan cara menaikkan atau menurunkan suatu baut penyetelan
di bawah cawan tersebut. Makin tinggi posisi baut penyetelannya maka akan makin sedikit
volume air pada cawan tersebut untuk satu kali menjungkit.
Pada pengukur curah hujan tipe cawan berjungkit terdapat corong yang digunakan
untuk memfokuskan aliran air menuju sensor cawan berjungkit (Gambar 2). Selain
mengarahkan, volume corong akan menjadi volume mati yang mempengaruhi pengukuran
aliran volume air yang bergerak. Pada setting cawan berjungkit, volume uji diteteskan
langsung ke pangkal lidah cawan agar lebih mudah dan praktis. Namun, pada kenyataan di
lapangan setelah semua sensor curah hujan dipasangkan pada sistem mawar hujan maka aliran
air benar-benar dilewatkan melalui corong. Oleh karena itu perlu dianalisa pengaruh corong
yaitu hasil pengujian sensor curah hujan tipe cawan berjungkit antara tanpa dan melalui
corong.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 117


Gambar 2. Posisi corong pada sensor curah hujan

Volume mati dapat didefinisikan sebagai suatu volume di antara volume terukur
dengan sensor volume yang diuji. Karena aliran volume air dari gelas ukur harus melalui
corong sebelum menyentuh sensor cawan berjungkit maka volume corong tersebut bertindak
sebagai volume mati. Semakin besar corong maka akan semakin mempengaruhi hasil
pengukuran. Sesuai prinsip hukum kekekalan massa yaitu jumlah aliran massa air yang masuk
inlet harus sama dengan jumlah aliran massa air yang keluar melalui outlet pada suatu sistem
pengujian sensor curah hujan. Jika kondisi volume corong yang berada antara inlet dan outlet
tersebut berubah seperti perubahan temperatur dan tekanan atau pun ada sejumlah air yang
tertinggal di dalam corong maka peristiwa tersebut sangat mempengaruhi keakuratan hasil
pengukuran.

Inlet Volume Mati Outlet


di Corong

Gambar 3. Diagram sistem pengujian sensor curah hujan

Idealnya, massa di bagian masukan sama dengan di bagian luaran, yaitu:


Min = Mout (1)

118 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Karena adanya volume mati, maka persamaan 1 berubah menjadi
Min = Mout+Mdv (2)
Jika diasumsikan perubahan temperature dan tekanan pada corong diabaikan, perubahan
densitas air juga diabaikan maka hanya sisa volume air yang tertinggal pada corong akan
menjadi nilai kesalahannya (error)
Vin = Vout+Vdv (3)
Vin = Vout+ err (4)
Keterangan :

Min : Massa air yang masuk (g)


Mout : Massa air yang keluar (g)
Mdv : Massa air di dead volume (g)
Vin : Volume air yang masuk (ml)
Vout : Volume air yang keluar (ml)
Vdv : Volume sisa air di dead volume (ml)
err : Kesalahan penukuran (ml).

Volume mati merupakan kesalahan mutlak, bukan relatif. Jadi pada saat curah
hujannya belum menghasilkan volume air yang melebihi volume mati, maka kesalahan
pengukurannya bisa mencapai 100 %. Selanjutnya, kesalahan pengukurannya terus merosot
menuju ke arah 0 persen.
Volume mati disebabkan oleh adanya adhesi. Adhesi merupakan gaya tarik menarik
antara dua jenis molekul. Dalam studi ini, adhesi terjadi antara media padat yang dilewati oleh
air hujan. Media padat yang dilewati air hujan dalam suatu sensor tipping bucket yang dipakai
dalam hal ini berupa corong, corong pengumpul, dan tipping bucket. Untuk sensor tipping
bucket yang tidak memakai corong pengumpul, media padat yang dilewati oleh air hujannya
hanya berupa corong dan tipping bucket.
Adhesi berbeda dengan kohesi. Kohesi adalah gaya tarik menarik antara molekul yang
sejenis, misalnya air. Bila kohesi ini lebih kecil dari pada adhesi, seperti dalam studi ini, maka
meniskus yang dihasilkan berbentuk cekung.
Adhesi ini menyebabkan sebagian air melekat pada media padat yang dilewatinya. Air
yang tertinggal ini merupakan komponen kesalahan pengukuran. Kesalahan pengukuran
akibat adhesi ini terpengaruh pada luas permukaan kontak antara media yang dilewati dengan
air yang melewatinya. Makin besar luasnya, makin besar kesalahannya.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 119


Adhesi ini sebenarnya sudah ditetapkan secara luas di bidang hidrometeorologi. Sebagai
contoh, berbagai model intersepsi curah hujan (Wijonarko dan Maftukhah, 2014)[13], seperti
Model Intersepsi curah hujan Gash (1971, 1975)[14] misalnya didasarkan dari adanya adhesi.

3. METODE PENGUKURAN
Pengukuran dilakukan pada kondisi ruangan dengan temperatur (26,2 ± 0,5) °C dan
kelembapan (54 ± 4) %. Tempat pengukuran dilakukan di laboratorium curah hujan
Kelompok Penelitian 4 (Pengukuran Untuk Kebutuhan Industri, Pusat Penelitian Metrologi –
LIPI) pada tanggal 25 dan 26 Januari 2017. Pusat Penelitian Metrologi - LIPI memiliki
fasilitas standar massa yang dapat dijadikan acuan ketertelusuran pengukuran volume uji yang
digunakan.
Metode penimbangan dapat digunakan untuk menjamin kebenaran nilai ukur volume uji
dengan prinsip dasar pengukuran volume air yang merupakan definisi dari besaran massa air
terukur per densitas air yang menempati wadah tertentu[6]. Gelas ukur 10 mL yang telah
dikalibrasi melalui metode gravimetric dapat digunakan dalam menentukan volume uji pada
sampel sensor curah hujan tipe cawan berjungkit ukuran 17,7 ml. Untuk memperbanyak
derajat kebebasan dan efisiensi maka pengulangan pengukuran dilakukan sebanyak 8 kali.
Volume air untuk pengujian ditentukan menggunakan gelas ukur 10 ml yang terkalibrasi
(Gambar 4).

Gambar 4. Gelas ukur 10 ml untuk penentuan volume uji

Berikut ini model matematis yang digunakan dalam mengukur pengaruh corong pada
pengujian sensor curah hujan berupa nilai kesalahan, dimodifikasi dari persamaan [5]:

(Vcor - Vsen) *100%


err = [5]
Vsen

120 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Untuk menganalisa perbandingan hasil pengukuran antara melalui corong dan langsung ke
sensor dapat menggunakan bilangan En :

| Vcor - Vsen |
En = [6]
U vcor 2 + U vsen 2

Keterangan :

err : Kesalahan akibat pegaruh corong (%)


Vcor : Volume air pada pengujian sensor melalui corong (mL)
Vsen : Volume air pada pengujian sensor langsung ke sensor (mL)
En : Bilangan perbandingan En
UVcor : Ketidakpastian pengukuran volume air pada pengujian sensor melalui corong (mL)
UVsen : Ketidakpastian pengukuran volume air pada pengujian sensor langsung ke sensor
(mL)[15]

Cara analisis ini berbeda dengan cara yang dilakukan oleh penulis sebelumnya dalam
membandingkan hasil pengukuran cawan berjungkit[16-19].

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Volume uji yang diinginkan sekitar 17,7 ml dengan tidak merubah pengaturan sensor.
Pengujian dilakukan menggunakan dua sampel dengan perlakuan yang berbeda yaitu volume
air dialirkan memalui corong sedangkan satu lagi dialirkan langsung ke dalam sensor yang
nampak pada Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Pengujian sensor curah hujan

Pengujian sampel sensor 1 dilaksanakan dengan dua perlakuan (Gambar 6). Pertama,
volume air langsung dituangkan pada sesnsor dan perlakuan kedua dilakukan dengan
menuangkan air melalui corong yang memiliki nilai perbandingan En number sebesar 0,7 :

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 121


Gambar 6. Grafik hasil pengujian sampel sensor 1

Pada pengujian sampel sensor 2, nilai perbandingan En number sebesar 0,7 yang
terlihat pada grafik Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Grafik hasil pengujian sampel sensor 2

Terlihat pada Gambar 6 dan 7 bahwa hasil pengukuran volume uji sensor curah hujan
melalui corong dengan yang langsung ke sensor memiliki perbedaan nilai. Walaupun, nilai
perbedaan keduanya masih ditolerir karena memiliki nilai En kurang dari satu. Berikut ini
Tabel 1 berisi rangkuman hasil pengujian kedua sampel sensor curah hujan.

122 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 1. Hasil pengujian kedua sampel sensor curah hujan
Sampel 1 Sampel 2
(17,4±0,3) (17,7 ±0,3)
Vsen mL mL
(17,7±0,3) (18,1 ±0,5)
Vcor mL mL
Err 1,7% 2,2%
En 0,7 0,8

Nampak pada Tabel 1 di atas hasil pengujian cawan berjungkit yang melalui corong
lebih besar daripada yang langsung dituangkan ke sensor yaitu sekitar 1,7% pada sampel 1
dan 2,2 % pada sampel 2. Salah satu penyebab hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan
cukup banyak volume yang tersangkut pada corong terutama dengan pengulangan 8 kali
sehingga volume air yang diteteskan lebih besar. Fenomena air yang tertinggal pada corong
juga dapat menjelaskan mengapa ketidakpastian pengukuran volume air yang melalui corong
lebih besar pada sampel 2. Walaupun pengaruh corong cukup besar yaitu sekitar 2% tetapi
kedua perbedaan hasil pengukuran masih dalam batas toleransi karena memiliki bilangan En
kurang dari satu.
Pada saat seting sensor curah hujan, volume uji dialirkan langsung ke sensor tanpa
melalui corong. Padahal pada kenyataan dalam penggunaan di lapangan, volume air hujan
benar-benar melalui corong. Oleh karena itu nilai pengukuran setiap sensor curah hujan tipe
cawan berjungkit ukuran 17,7 mL harus dikoreksi nilainya sekitar 2% agar lebih akurat.

5. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian sensor curah hujan tipe cawan berjungkit ukuran 17,7 mL
didapatkan bahwa pengaruh corong mengakibatkan kesalahanr sebesar 1,7% untuk sampel 1
dan 2% untuk sampel 2. Namun pengaruh corong tersebut masih dalam batas toleransi karena
memiliki nilai perbandingan En kurang dari satu.
Berdasarkan hasil ini disarankan:
1) dilakukan uji lapangan karena karakteristik hujan sesungguhnya sulit ditiru secara tepat di
laboratorium.
2) Untuk ukuran sensor curah hujan tipe cawan berjungkit di bawah 17,7 mL perlu diuji
dengan perlakukan berbeda (tanpa dan melalui corong) dan sampel yang banyak sehingga
dapat mengetahui perkiraan kesalahan yang ditimbulkan oleh pengaruh corong.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 123


6. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen Puslit Metrologi - LIPI dan
Program Riset Kompetitif LIPI 2016 yang telah menyediakan fasilitas dan mendanai kegiatan
ini sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Wijonarko, S. & Maftukhah, T., 2016. Instrumentation system for water balance
measurements on Serkuk Subbasin, Kubu Watershed,Belitung.
http://dx.doi.org/10.1063/1.4953930.
[2] Songa, Y., Hana, D. & Rico-Ramireza, M.A. (2016). High Temporal Resolution
Rainfall Information Retrieval from Tipping-Bucket Rain Gauge Measurements.
Procedia Engineering Vol 154 ( 2016 ) P 1193 – 1200.
[3] Wijonarko, S., Maftukhah, T., Rustandi, D. (2017). The compartment area calculation
for rainrose measurements. Sedang direview. BSN. (2015). SNI 8196:2015, Spesifikasi
penyajian peta curah hujan. Jakarta: BSN.
[4] Diani, Fitri., dkk. (2012). Kajian Sistem Informasi Prakiraan Cuaca BMKG Pada
BMKG Bandung. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI) 2012.
Yogyakarta: 15-16 Juni 2012.ISSN: 1907-5022.
[5] Bureau International des Poids et Mesures, (2006). The International System of Units
(SI) 8th edition. Paris: Organisation Intergouvernementale de la Convention du Mètre.
[6] WMO-No. 8 (2012). Guide to Meteorological Instruments and Methods of Observation.
WMO-No. 8. 2008 edition, updated in 2010.
[7] WMO-No. 407 (1975). International cloud atlas, volume I, revised edition 1975.
Geneva: Secretariat of the WMO.
[8] International Organisation for Standardisation. (1993). ISO/TAG 4 : 1993 – Guide to the
Expression of Uncertainty in Measurement. Paris: ISO.
[9] International Organisation for Standardisation. (2010). ISO 4787: 2010 Laboratory
glassware -- Volumetric instruments -- Methods for testing of capacity and for use.
Paris: ISO.
[10] WMO-No. 544 (2003). Manual on the global observing system, volume I (annex V to
the WMO technical regulations), global aspects, 2003 edition

124 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[11] BMKG. (2017). Diskripsi alat raingauge jenis tipping bucket - data BMKG,
(http://data.bmkg.go.id/share/Dokumen/deskripsisensorlintek.pdf, diakses 9 Februari
2017)
[12] Wikipedia. (2017). Rain Gauge, (https://en.wikipedia.org/wiki/Rain_gauge, diakses 9
Februari 2017)
[13] Wijonarko, S. & Maftukhah, T., 2014. Instrumentation development for rainfall
interception measurement on a tree using water balance method. Instrumentasi
Scientific Publication, Volume 38 (2), pp. 1-9.
[14] van Dijk, A.I.J.M. & Bruijnzeel, L.A. (2001). Modeling rainfall interception by
vegetation of variable density using an adapted analytical model. Part 2. Model
validation for a tropical upland mixed cropping system. Journal of Hydrology, Volume
247, pp. 239-262.
[15] JCGM. (2008). JCGM 100:2008 Evaluation of measurement data — Guide to the
expression of uncertainty in measurement. Paris: BIPM, IEC, IFCC, ILAC, ISO,
IUPAC, IUPAP dan OIML.
[16] Maftukhah, T., Wijonarko, S. & Rustandi, D., 2016. Comparison and correlation
among measurement results of observatory, Hellman, and tipping bucket sensors.
[17] Being reviewed in a journal (Jurnal Instrumentasi). Wijonarko, S., Maftukhah, T.,
Rustandi, D. Damayanti, N.T.E., Permana, D. & Santoso, B., (2016). A method to
compare two hyetometer calibrators. PPI KIM, Volume 42, pp. 354-364.
[18] Humphrey, M. D. & Istok, J. D. (1997). A New Method for Automated Dynamic
Calibration of Tipping-Bucket Rain Gauges. Journal of Atmospheric and Oceanic
Technology. Volume 14 Page 1513-1519. American Meteorological Society.
[19] Puslit Metrologi LIPI. (2017). Sertifikat Kalibrasi Timbangan Elektronik, Merek
Jadever, Tipe/Nomor Seri SKY-3000/ 1231204Q2738, No. JE-17-02-30. Indonesia:
P2M LIPI.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Asep Hapiddin
Pertanyaan : Kenapa ada corong tambahan? Apa dasarnya? Apakah corong sebelumnya
tidak memadai, atau hanya penelitian saja?
Jawaban : Corong berguna untuk memfokuskan aliran air hujan yang jatuh.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 125


PENENTUAN PARAMETER HASIL KALIBRASI DEAD WEIGHT
TESTER (DWT) BERDASARKAN ANALISA CURVE FITTING
Adindra Vickar Ega, R.Rudi Anggoro Samodro
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
adindravickar@gmail.com

INTISARI
Telah dilakukan analisis curve fitting dalam penentuan parameter DWT ( dari hasil kalibrasi
DWT. Kesulitan penentuan parameter tersebut melalui analisis regresi sering dialami karena
perubahan luas efektif piston-silinder (Ap,t) terhadap tekanan memiliki karakteristik atau tendensi
yang berbeda-beda. Dari hasil analisis curve fitting yang dilakukan pada hasil kalibrasi DWT PC S/N
442 rentang tekanan 20 MPa yang dimiliki oleh Laboratorium Tekanan Puslit Metrologi LIPI pada
penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa model matematis merupakan
model matematis yang paling tepat untuk digunakan dalam menentukan parameter DWT dengan nilai
ketidakpastian relatif curve fitting terkecil yaitu sebesar 0,85 × 10-6 dengan tren kurva residual error
paling acak dibandingkan dengan model matematis lainnya. Dengan model matematis tersebut,
didapatkan nilai A0,20 sebesar (4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ± 0,1
× 10-12 ) Pa-1.

Kata Kunci: curve fitting, parameter DWT, regresi, model matematis, residual error.

ABSTRACT
Curve fitting analysis in the determination of DWT parameter ( from DWT calibration results
has been done. Difficulty in parameter determination from regression analysis often caused by the
different characteristic of effective area dependencies to the generated pressure. From the curve
fitting analysis of DWT PC S/N 442 range of 20 MPa owned by Pressure Laboratory of RCM-LIPI, it
can be concluded that mathematical model is the most appropriate model to be
used in determining DWT parameter with the smallest relative uncertainty of curve fitting by 0.85 ×
10-6 and the most random or no structure in the residual error trend curve, among the others model.
By using the most appropriate model, the DWT parameter (A0,20 and λ) are obtained with the value of
(4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 and (1,4 × 10-12 ± 0,1 × 10-12 ) Pa-1, respectively.

Keywords: curve fitting, DWT parameter, regression, mathematical model, residual error.

1. PENDAHULUAN
Pressure balance (PB) atau Dead Weight Tester (DWT) merupakan standar tertinggi di
dalam lingkup tekanan, dimana realisasi tekanan dihasilkan melalui kesetimbangan gaya

126 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


tekanan fluida keatas dan gaya gravitasi massa pembeban kebawah yang bekerja pada luas
efektif piston-silinder[1].
Metode yang paling umum digunakan dalam proses kalibrasi DWT menurut acuan
EURAMET cg. 3 yaitu Metode B (effective area determination method) yakni metode untuk
menentukan parameter utama DWT, berupa luas efektif area piston-silinder (A0,20) serta
koefisien distorsi (λ) berdasarkan perubahan luas efektif piston-silinder pada suhu tertentu
(Ap,t) terhadap tekanan[2]. Parameter DWT (A0,20 dan λ) yang dilaporkan pada sertifikat
kalibrasi DWT sangat tergantung pada tendensi perubahan Ap,t terhadap tekanan, sehingga
dibutuhkan analisis curve fitting dari hasil kalibrasi yang tepat untuk menghindari kesalahan
penentuan parameter DWT.
Makalah ini menjelaskan prinsip analisis curve fitting pada hasil kalibrasi DWT untuk
menentukan parameter DWT (A0,20 dan λ) beserta evaluasi ketidakpastiannya. Dalam
penelitian ini analisis curve fitting dilakukan pada DWT standar yang dimiliki oleh Puslit
Metrologi LIPI, yaitu DWT dengan tipe piston simple free deformation. Dengan memahami
prinsip dan analisis tersebut, maka diharapkan laboratorium kalibrasi dapat menentukan
parameter DWT (A0,20 dan λ) hasil kalibrasi DWT dengan tepat.

2. TEORI DASAR
Piston-silinder DWT memiliki konfigurasi seperti yang dijelaskan pada Gambar 1.
Semakin tinggi tekanan yang dibangkitkan oleh DWT, piston-silinder akan mengalami
deformasi, dimana pada umumnya piston akan mengecil dan silinder menjadi mengembang.

Gambar 1. Prinsip kerja piston-silinder assembly (PCA) pada DWT[3]

Perubahan luas efektif area terhadap tekanan memiliki berbagai bentuk model
persamaan matematis, seperti pada Persamaan (1) – Persamaan (4) [4].

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 127


A0-model: A( p) = A0 …………………………………………. (1)
A0,λ-model: A( p ) = A0 + A0 λ ⋅ p ……………………………………. (2)

A0,F-model: A( p ) = A0 + F p …………………………………... (3)


A0,λ,F-model: A( p ) = A0 + A0λ ⋅ p + F p ………………………………. (4)
dengan :
= Luas efektif PCA pada tekanan tertentu dan suhu tertentu (m2)
= Luas efektif PCA pada tekanan nol dan suhu tertentu (m2)
= Koefisien distorsi (Pa-1)
= Gaya tambahan yang tidak diketahui (N)
p = Tekanan yang dibangkitkan (Pa)

Untuk tekanan rendah, kasus perubahan luas efektif area piston-silinder tidak terpengaruh
terhadap tekanan, atau independen terhadap tekanan, dimana fenomena tersebut sesuai
dengan model persamaan matematis pada Persamaan (1). Nilai parameter DWT pada kasus
ini dihitung pada Persamaan (5).
………..………..…………….. (5)
dengan nilai ketidakpastian pada Persamaan (5) tersebut dihitung menggunakan
Persamaan (6).

………..…………….. (6)

dimana
= luas efektif area PCA pada tiap titik tekanan dan suhu tertentu sejumlah
titik tekanan.
= Jumlah titik tekanan.

Karakteristik lain yang umum terjadi yaitu kasus perubahan luas PCA linear terhadap
tekanan, dimana fenomena tersebut sesuai dengan model persamaan matematis pada
Persamaan (2). Nilai parameter DWT pada kasus ini dihitung menggunakan Persamaan (7) –
Persamaan (9).

……...……………...…. (7)

……....……………..…. (8)

128 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


………………………...……………..…. (9)

dimana :
= Tekanan pada tiap titik kalibrasi tekanan (Pa)
= Luas efektif area piston-silinder tiap titik kalibrasi tekanan (m2)
= Slope dari kurva linear fit
= Koefisien distorsi (Pa-1)
Dengan nilai ketidakpastian dan masing-masing dihitung dengan menggunakan
Persamaan (10) – Persamaan (13).

………………..…………….. (10)

………………..…………….. (11)

………..………….. (12)

………..………….. (13)

Nilai dapat bernilai positif (positive free deformation) atau bernilai negatif (negative free
deformation) seperti pada Gambar 2, tergantung dari efek perubahan luas efektif piston-
silinder terhadap tekanan.

Gambar 2. Karakteristik linear terhadap p pada DWT


tipe PCA negative free deformation[5]

Pada kasus tertentu, kurva linear luas efektif area PCA terhadap tekanan menyimpang
terutama pada tekanan rendah (10% dari rentang maksimum tekanan). Penyimpangan kurva

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 129


pada tekanan rendah diakibatkan oleh adanya gaya tambahan (F) yang tidak diketahui bekerja
pada piston. Gaya tambahan tersebut konstan di semua titik tekanan dan diantaranya dapat
disebabkan karena kesalahan massa piston maupun beban DWT, head correction, tegangan
permukaan, maupun densitas fluida, dan sebagainya[4]. Karakteristik penyimpangan kurva
tersebut seperti yang ditunjukkan pada Persamaan (3). Nilai parameter DWT pada kasus
model A0,F dihitung dengan menggunakan penyelesaian persamaan matriks pada Persamaan
(14)

……………..…….….. (14)

Dengan nilai ketidakpastian dan masing-masing dihitung dengan menggunakan


Persamaan (15) – Persamaan (18).
………………..…………….. (15)

…..……………..…………….. (16)

………..………….. (17)

………..………….. (18)

Model persamaan matematis pada Persamaan (4) menggambarkan kombinasi


karakteristik linear luas efektif PCA terhadap tekanan, beserta efek penyimpangan kurva
pada tekanan rendah diakibatkan oleh adanya gaya tambahan (F) yang tidak diketahui bekerja
pada piston. Nilai parameter DWT ( , , F) pada kasus ini dihitung dengan menggunakan
solusi matriks pada Persamaan 19.

……..………….. (19)

Dengan ketidakpastian , , F yang dihitung menggunakan Persamaan (20) – Persamaan


(27).
uA ( A0 ) = [N ⋅ V ( A0 )] …………………………. (20)

uA (λ ) = [N ⋅ V ( A0λ )] A0 …………………….. (21)

130 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


u A (F ) = [N ⋅ V (F )] …………………………… (22)

X 2 ⋅ X −2 − N 2 χ 2
V ( A0 ) = ⋅ ………………….. (23)
D N −3
N ⋅ X −2 − ( X )
−2
χ2
V ( A0 λ ) = ⋅ …………………. (24)
D N −3
N ⋅ X 2 − (X )
2
χ2
V (F ) = ⋅ ……………….….. (25)
D N −3
dengan,

χ 2 = ∑ (A j − A0 − A0 λ ⋅ p j − F p j )2 …………………………………………. (26)

D = N ⋅ X 2 ⋅ X −2 − N 3 − ( X ) ⋅ X −2 + 2 N ⋅ X ⋅ X −1 − X 2 ⋅ ( X )
2 −2
………………. (27)
dan,

X = ∑ p j , X 2 = ∑ p 2j , ( X ) = (∑ p j ) , X −1 = ∑ p −j 1 , X −2 = ∑ p −j 2 , ( X ) =
2 2 −2
(∑ p ) ,
−1 2
j

Y = ∑ A j , Y 2 = ∑ A2j , (Y ) = (∑ A j ) , XY = ∑ p j ⋅ A j , YX −1 = ∑ A j p j
2 2

Evaluasi ketidakpastian curve fitting trend kurva luas efektif piston-silinder terhadap
tekanan, dilakukan dengan menghitung varians melalui nilai sum square of errors (SSE) dari
luas efektif area ( ) pada tiap titik tekanan ( ), dengan menggunakan Persamaan (28) -
(29)[6] [7].

………….….. (28)

………………..……….….. (29)
dengan :
= Standar deviasi fungsi y(x) (m2)
= Jumlah titik tekanan
= Jumlah parameter DWT yang ingin dicari
= Data luas efektif area piston-silinder tiap titik tekanan hasil kalibrasi
= Data luas efektif area piston-silinder tiap titik tekanan dari curve fitting

3. METODOLOGI
Pada penelitian ini, analisis curve fitting dilakukan pada hasil kalibrasi DWT Check
DHI PG7302 PCA S/N 442 rentang tekanan 20 MPa yang dimiliki oleh Laboratorium
Tekanan Puslit Metrologi LIPI. Penelitian ini dilakukan pada rentang tekanan rendah karena
pada tekanan rendah pada umumnya nilai luas-efektif piston-silinder menyimpang dari trend

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 131


kurva linear akibat gaya tambahan yang tidak diketahui (kesalahan massa piston maupun
beban DWT, kesalahan pengukuran head correction, kesalahan nilai parameter tegangan
permukaan, maupun densitas fluida, dan sebagainya) yang relatif signifikan pada tekanan
rendah.

Gambar 3. Setup dan proses kalibrasi DWT DHI PG7302 PC S/N 442

Kalibrasi dilakukan dengan metode komparasi langsung yaitu cross float terhadap
DWT Standar DHI PG7302 PCA S/N 587 rentang tekanan 20 MPa. Jumlah pengambilan
data dilakukan sebanyak sepuluh titik tekanan yaitu pada titik 10% (2 MPa), 20% (4 MPa),
30% (6 MPa), 40% (8 MPa), 50% (10 MPa), 60% (12 MPa), 70% (14 MPa), 80% (16 MPa),
90% (18 MPa) dan 100% (20 MPa), dengan dua seri pengukuran tekanan naik dan satu seri
pengukuran tekanan turun.
Parameter DWT hasil kalibrasi ( sangat tergantung dari model matematis yang
digunakan. Untuk itu, perlu ditentukan model matematis (dari keempat model matematis
yang ada) yang paling tepat melalui curve fitting dari data hasil kalibrasi untuk melihat
tendensi perubahan terhadap . Alih-alih menggunakan R-squared (R2) pada trendline
Excel, tingkat kesesuaian curve fitting pada penelitian ini dilihat berdasarkan perhitungan
nilai sum square of error (SSE) atau residual error menggunakan Persamaan (28) dan
Persamaan (29). Semakin kecil nilai SSE atau residual error dari nilai curve fitting, maka
curve fitting tersebut semakin sesuai terhadap data hasil kalibrasi. Nilai parameter DWT dan
ketidakpastiannya pada model matematis (1) dan (2) dihitung dengan menggunakan
Persamaan (5) – Persamaan (13), sesuai dengan dokumen acuan EURAMET cg 3. Namun,
untuk model matematis (1), (3), dan (4) pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan
penyelesaian matriks pada Persamaan (14) dan Persamaan (19).

132 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4 menunjukkan plot data luas efektif area terhadap tekanan dari hasil kalibrasi
DWT Check PCA S/N 442 pada titik tekanan 2 MPa (10%) hingga 20 MPa (100%).

4 ppm
grid

Gambar 4. Data hasil kalibrasi DWT Check S/N 442 rentang tekanan 20
MPa dengan DWT Standar S/N 587 dari 3 seri pengukuran

Terdapat penyimpangan kurva yang cukup signifikan pada titik tekanan 2 MPa (10%)
dan 4 MPa (20%) dari tiga seri pengukuran. Tampak bahwa nilai Ap,t pada titik 2 MPa (10%)
dan 4 MPa (20%) masing-masing memiliki deviasi pengukuran sebesar 4 × 10-6 dan 3 × 10-6
(4 × 10-6 per skala) dari tiga seri pengukuran, sedangkan pada titik tekanan lainnya nilai Ap,t
cenderung konsisten dengan deviasi kurang dari 1 × 10-6. Gambar 4 juga menunjukkan
bahwa nilai rata-rata Ap,t tiap titik tekanan dari ketiga seri pengukuran, memiliki trend kurva
Ap,t yang linear terhadap tekanan.
Hasil pendekatan curve fitting dari 4 model matematis Persamaan (1) – (4) terhadap
data hasil kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 5.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 133


4 ppm grid

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 5. Curve fitting hasil kalibrasi berdasarkan model matematis :
(a) , (b) , (c) ,
(d)

Setelah dilakukan curve fitting berdasarkan keempat model matematis terhadap hasil
kalibrasi, dapat diketahui bahwa curve fitting berdasarkan model matematis (2) adalah yang
paling tepat, karena memiliki nilai ketidakpastian relatif terkecil yaitu sebesar 0,85 × 10-6.
Sedangkan ketidakpastian relatif dari model matematis lainnya (1), (3), dan (4) secara
berturut-turut adalah 22 × 10-6 , 23 × 10-6 , dan 5,7 × 10-6 (dengan nilai skala per kotak atau
per grid pada grafik sebesar 4 × 10-6).

134 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Untuk lebih memastikan ketepatan pemilihan model matematis curve fitting yang
digunakan, maka dapat juga dilihat melalui tren kurva SSE atau residual error dari nilai
terhadap nilai dari data hasil kalibrasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 6. Residual error curve fitting model matematis : (a)
(b) , (c) , (d)

Model matematis yang tepat, cenderung memiliki trend kurva yang acak atau tanpa
struktur, karena menunjukkan bahwa tidak adanya kesalahan sistematis. Pada Gambar 6,
tampak bahwa model matematis (2) memiliki tren kurva residual error paling acak atau tanpa
struktur, dibandingkan dengan model matematis (1) dan (3) yang memiliki kurva residual
error struktur dan dependensi yang jelas. Model matematis (4) juga memiliki tren kurva
residual error yang acak, namun memiliki nilai residual error lebih besar dibandingkan model
matematis (2). Dengan demikian, metode inspeksi visual tren kurva residual error ini juga

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 135


dapat digunakan untuk menentukan model matematis curve fitting yang paling sesuai, selain
melalui perhitungan SSE.
Melalui hasil analisis curve fitting dari keempat model matematis tersebut, didapatkan
nilai parameter DWT, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil penentuan parameter DWT dari keempat model matematis curve fitting
A0,20 λ F
Model Curve Fitting 2 -1
(m ) (Pa ) (N)

1,4 × 10-12 -
4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10
± 0,1 × 10-12
4,902 086 × 10-5 ± 10,9 × 10-10 - -
-0,2 × 10-3
4,902 089 × 10-5 ± 8,5 × 10-10 -
± 1,8 × 10-3
1,8 × 10-12 4,9 × 10-4
4,901 981 × 10-5 ± 2,4 × 10-10
± 0,4 × 10-12 ± 6,1 × 10-4

Sehingga dengan pertimbangan analisis diatas, maka nilai parameter DWT yang dipilih
adalah nilai A0,20 sebesar (4,902 013 × 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ±
0,1 × 10-12 ) Pa-1. Dari Tabel 1, dapat dilihat juga bahwa kesalahan dalam memilih model
matematis curve fitting, mengakibatkan kesalahan atau perbedaan nilai parameter DWT yang
seharusnya dilaporkan dalam sertifikat kalibrasi, seperti pada model matematis (3) yang
memiliki perbedaan maksimum nilai parameter DWT (A0,20) dengan model matematis (2)
sebesar 16 × 10-6.

5. KESIMPULAN
Penentuan parameter DWT hasil kalibrasi ( sangat tergantung dari model
matematis yang digunakan, sehingga perlu ditentukan model matematis (dari keempat model
matematis yang ada) yang paling tepat melalui analisis curve fitting dari data hasil kalibrasi
untuk melihat tendensi perubahan terhadap . Pemilihan curve fitting yang paling sesuai
dapat dilakukan dengan melihat nilai SSE atau residual error dan ketidakpastian terkecil dari
keempat model matematis tersebut terhadap data hasil kalibrasi, yang dimana pada penelitian
ini didapatkan model matematis (2) atau sebagai model matematis yang
paling sesuai dengan ketidakpastian relatif curve fitting sebesar 0,85 × 10-6 dengan tren kurva
residual error paling acak dibandingkan model matematis lainnya. Dengan pertimbangan
analisis diatas, maka nilai parameter DWT yang dipilih adalah nilai A0,20 sebesar (4,902 013
× 10-5 ± 0,6 × 10-10) m2 dan nilai λ sebesar (1,4 × 10-12 ± 0,1 × 10-12 ) Pa-1.

136 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


6. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih diberikan kepada manajemen Puslit Metrologi LIPI yang telah
memfasilitasi peralatan di laboratorium tekanan, kepada rekan-rekan Sub Bidang Metrologi
Massa, khususnya rekan-rekan Laboratorium Tekanan, yang telah banyak memberi saran dan
masukan, serta kepada panitia PPI-KIM yang telah memfasilitasi publikasi hasil penelitian
ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Lewis,S. and Peggs,G., 1992, The Pressure Balance : A Practical Guide To Its Use,
National Physical Laboratory, UK.
[2] -, 2011 , Calibration Of Pressure Balances, EURAMET e.V., Germany.
[3] Rudi A.S., 2012, Master Thesis : Characterization of 1 GPa Controlled Clearance
Piston Gauge for High Pressure Standard using Finite Element Method, University of
Science and Technology, South Korea.
[4] Isabelle M., 2011, EURAMET Project 1125 : Evaluation of cross-float measurements
with pressure balances, LNE, France.
[5] Buananno G. et all, 2006, A FEM Analysis of a Negative Free Deformation Pressure
Balance Operating Up To 100 MPa, Cassino, Italy.
[6] Morrison F.A., Obtaining Uncertainty Measures on Slope and Intercept of a Least
Squares Fit with Excel’s LINEST , Michigan Technological University, USA, 2014.
[7] Montgomery D.C. and Runger G.C., 2011, Applied Statistics and Probability
for Engineers, 5th edition, Willey, New York.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Bernadus Sirenden

Pertanyaan :
Apakah metode curve fitting ini pernah diujikan untuk titik ukur yang lain, atau hanya pada
rentang 200 bar saja?

Jawaban
Metode curve fitting ini dapat diterapkan pada semua rentang ukur tekanan. Namun pada
penelitian ini, dipilih rentang ukur tekanan rendah (200 bar), karena sering terjadi

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 137


penyimpangan tren kurva linear, terutama pada titik 10% - 30% atau dibawah titik ukur
tersebut yang diakibatkan karena kesalahan residual dari massa, beda ketinggian atau faktor
lain yang sangat berpengaruh pada tekanan rendah. Pada rentang tekanan tinggi (2000 bar),
kesalahan residual tersebut tidak terlalu berpengaruh pada tren kurva karena relatif terhadap
tekanan tinggi sehingga kurva cenderung linear, sehingga tidak cocok jika digunakan untuk
studi kasus metode curve fitting.

138 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


METODE PENENTUAN KECEPATAN STALL PADA DRONE
MENGGUNAKAN HASIL REKAMAN DATA UJI TERBANG
Jemie Muliadi
PTIPK-BPPT, Gd. 256 Lt. 2,
Kawasan Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
jemie.muliadi@bppt.go.id; jemiemuliadi@gmail.com

INTISARI
Makalah ini berisi proposal metode penentuan kecepatan stall pesawat udara tak berawak, (drone),
dari data uji terbangnya. Metode ini dapat digunakan penggiat drone karena kepraktisannya dalam
pengolahan data terbang tanpa mengorbankan akurasi kecepatan stall hasil perhitungan. Kecepatan
stall adalah laju gerak terendah yang masih dapat dicapai pesawat udara sesaat ketika gaya angkat
sayap berkurang drastis. Oleh karena itu, kecepatan stall ini menjadi parameter penting bagi
keselamatan penerbangan pesawat udara. Secara konvensional pengukuran kecepatan stall pada
pesawat udara berawak, dilakukan dalam uji terbang dengan metoda yang detail dan kompleks untuk
memunculkan kondisi stall yang aman untuk diobservasi. Sebaliknya, drone tidak dirancang dengan
kompleksitas setinggi pesawat udara berpenumpang, sehingga metode pengukuran kecepatan stall
dapat dibuat menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan tersebut dipaparkan pada makalah ini sehingga
menghasilkan metode pengukuran kecepatan stall yang cocok diterapkan pada uji terbang drone.

Kata Kunci: uji drone, instrumentasi drone, kecepatan stall, prestasi terbang drone

ABSTRACT
This paper proposed a method of determining the UAV stall speed from its flight data. The method is
applicable for UAV’s (or drone’s) practitioner due to its practicality in processing the flight data
without sacrificing its accuracy. The stall speed is the lowest value of velocity attained by an aircraft
in the moment before the lift decreasing abruptly from the wings. Thus, the stall speed became an
important parameter for the safety of the aircraft. Conventionally, in the manned aircraft, the stall
speed was measured in a flight test with the detailed and complicated method to exhibit the stall
condition which safe for observation. In the other hand, UAV weren’t designed with complexity as in
manned aircraft, thus the method can be simplified. The simplification—together with theoretical
bases and technical justification—were presented in this paper and resulted a suitable technique in
measuring the UAV stall speed in the flight test.

Keywords: UAV flight test, UAV instrumentation, stall speed, UAV flight performance.

1. PENDAHULUAN
Kecepatan stall adalah sebuah parameter penting dalam penerbangan pesawat udara
baik pesawat udara berawak dan juga Pesawat Udara Nir Awak (PUNA). Khusus untuk
PUNA (Gambar 1), yang dikenal juga dengam istilah drone, perlu dibuat suatu metode
pengukuran kecepatan stall yang aplikatif. Metode pengukuran tersebut akan diajukan di

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 139


dalam makalah ini, dengan diawali dengan penjelasan mengenai fenomena, latar belakang,
tujuan dan lingkup pembahasan pada bagian pendahuluan.

Gambar 1. Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) BPPT

Kecepatan stall pesawat udara menjadi faktor pengali pada beberapa kriteria
penerbangan pesawat udara[1]. Selain itu, investigasi terhadap karakteristik stall adalah hal
yang sangat penting dalam sertifikasi pesawat udara. Oleh karena itu, kecepatan stall
biasanya ditentukan di awal program uji terbang pesawat udara[1]. Demikian pula dengan
PUNA atau drone BPPT, kecepatan stall juga menjadi parameter yang menentukan batas-
batas keamanan terbangnya.
Fenomena stall adalah sebuah peristiwa rusaknya keteraturan aliran udara di
permukaan sayap pesawat udara yang mengakibatkan hilangnya gaya angkat secara tiba-
tiba[2]. Kondisi kritis tersebut membuat pengukuran kecepatan stall menjadi penting untuk
mengkaji dinamika terbang PUNA BPPT. Walau demikian, pengukuran kecepatan stall
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, karena kecenderungannya sebagai hal yang
berbahaya (hazardous nature)[2]. Karena faktor resiko ini pula, maka uji stall pesawat udara
menjadi penting dilakukan dengan tujuan meminimalkan resiko serupa dalam
pengoperasiannya kelak.
Berbeda dengan aktifitas pengukuran dan pengujian yang berlangsung di
laboratorium, pengukuran parameter terbang PUNA BPPT dilakukan dengan uji terbang
(flight test) yang dilangsungkan pada suatu lapangan udara (airfield) yang memiliki landas
pacu (runway). Pelaksanaan uji terbang di alam terbuka seperti ini, tidak memungkinkan
pembentukan controlled environment ataupun isolated environment untuk kemudahan
pengukuran, sehingga item uji terbang seperti pengukuran kecepatan stall memerlukan
perencanaan yang matang dan metode yang akurat namun praktikal diterapkan di lapangan.

140 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Kesulitan dalam mengukur kecepatan stall dapat terjadi karena beberapa hal, antara
lain, kemunculan buffetting, berkurangnya stabilitas lateral-direksional, dan terlalu besarnya
laju penurunan ketinggian terbang[3]. Fenomena buffetting adalah getaran berlebih pada
struktur pesawat udara ketika hampir mengalami stall[4]. Buffetting terjadi akibat interaksi
struktur benda dengan ekstrimnya turbulensi aliran udara[5]. Kehadiran buffetting sesaat
sebelum stall biasanya menjadi alarm bagi pilot untuk segera memulihkan pesawat sebelum
kehilangan ketinggian akibat stall. Sebaliknya, ketika uji stall berlangsung, buffetting hadir
dan disertai berkurangnya pengendalian pesawat dan berkurangnya ketinggian secara drastis,
sehingga pilot uji dapat salah dalam mengambil keputusan dan menganggap kecepatan
minimum yang dialaminya sebagai kecepatan stall, padahal pesawat belum memasuki
kondisi stall yang sesungguhnya[3]. Tanpa informasi kecepatan stall yang tepat, maka
kecepatan minimum tersebut tidak menggambarkan kemampuan pesawat udara yang
sesungguhnya.
PUNA yang dikaji dalam uji terbang yang diadakan BPPT, diterbangkan dengan cara
serupa aeromodeling. Dengan posisi pilot uji yang terpisah dari pesawat uji, maka PUNA
BPPT dapat dibawa pada kondisi stall secara total. Kekhasan ini membuat analisa stall
menjadi lebih menyeluruh dan penentuan kecepatan stall dapat dilakukan dengan lebih
akurat. Dengan demikian, metode penentuan kecepatan stall tersebut akan lebih sederhana
pada PUNA BPPT dibandingkan pada uji terbang pesawat berawak. Kesederhanaan ini akan
membuat metode ini menjadi alat praktis dalam menentukan kecepatan stall pada drone.
Untuk menjabarkan metode penentuan kecepatan stall PUNA BPPT, maka makalah
ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut. Setelah pendahuluan, maka uraian
kecepatan stall beserta teknik ujinya akan dipaparkan pada Bagian 2. Selanjutnya,
perancangan metode akan disajikan pada Bagian 3 dan diteruskan dengan contoh aplikasinya
pada Bagian 4, disertai diskusi dan analisa. Simpulan yang didapat akan dijelaskan pada
Bagian 5, sekaligus menutup makalah ini.

2. PENENTUAN KECEPATAN STALL PESAWAT UDARA


Kecepatan stall pesawat udara merupakan parameter penting yang menjadi tolok ukur
kriteria dalam penerbangannya dan menjadi persyaratan sertifikasi[1]. Demikian pula untuk
PUNA BPPT, kecepatan stall diperlukan oleh FCC (pengendali penerbangan elektronis,
flight control computer) sebagai acuan batas-batas kecepatan terbang pada kondisi-kondisi
kritikal[6,7]. Signifikansi ini memunculkan kebutuhan akan metode pengukuran kecepatan
stall yang cocok diterapkan pada PUNA BPPT ataupun drone pada umumnya. Untuk

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 141


merancang metode tersebut, maka pada Bagian ini akan dibahas konsep dan teori dasar yang
berkaitan dengan kecepatan stall.

2.1 Kejadian Stall pada Pesawat Udara

Gambar 2. Fenomena Stall [8, 9]

Pada pesawat udara, stall terjadi ketika penampang sayap membentuk sudut serang
(Angle of Attack, AoA) yang terlalu besar terhadap arah aliran udara, sehingga aliran pada
permukaan atas sayap terlepas dan mengakibatkan sayap pesawat udara kehilangan gaya
angkatnya. Ilustrasi fenomena ini disajikan pada Gambar 2. Pada bagian kiri bawah ilustrasi
tersebut, terlihat bahwa aliran udara seharusnya melekat pada permukaan atas dan bawah
sayap, sehingga sayap menghasilkan gaya angkat yang dibutuhkan dalam penerbangan.
Sedangkan pada bagian kiri atas, diilustrasikan penampang sayap dengan aliran yang rusak
pada permukaan atasnya ketika terjadi stall. Di bagian kanan ilustrasi tersebut, stall
digambarkan secara menyeluruh terhadap pesawat udara.
Di bagian tengah ilustrasi Gambar 2, kurva Lift (gaya angkat) terhadap sudut serang
memperlihatkan kenaikan gaya angkat yang terjadi secara linear bila sudut serang diperbesar
terhadap arah aliran udara. Walaupun linear, namun pada suatu nilai sudut tertentu, gaya
angkat yang dihasilkan sayap akan mencapai harga maksimum lalu turun mendadak dan
menjadi nol. Di titik maksimum inilah terjadi stall, sehingga sudut serang yang bersesuaian
dinamakan sudut serang stall (stalling angle of attack, αs) dan kecepatan terbang yang
bersesuaian disebut kecepatan stall (stalling speed, Vs).

2.2 Pengaruh Stall pada Parameter Terbang Pesawat Udara


Terjadinya stall akan mempengaruhi perubahan parameter-parameter terbang pesawat
udara, antara lain: sudut dongak (pitch angle), ketinggian terbang (altitude) dan kecepatan

142 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


terbang (speed). Pada PUNA BPPT, ketiga parameter ini terukur oleh gyroscope, barometer
dan GPS, sedangkan data-datanya direkam dalam data logger di FCC serta ditransmisikan ke
GCS (ground control station, stasiun pengendali darat). Dengan mengenali karakter
perubahan data tersebut di sekitar kejadian stall, maka kecepatan stall dapat ditentukan
segera setelah manuver stall diselesaikan, baik secara on-line ataupun off-line. Secara visual,
kru uji di lapangan udara dapat mengobservasi sudut dongak dan ketinggian terbang PUNA
untuk menentukan waktu terjadinya stall.

Gambar 3. Ilustrasi Profil Sudut Dongak dan Ketinggian Terbang dalam Uji Stall [10]

Pengaruh stall pada sudut dongak pesawat udara.


Seperti penjelasan pada Sub-Bagian 2.1 sebelumnya, stall terjadi karena kedudukan
sayap pesawat udara memiliki sudut serang yang terlalu besar terhadap arah aliran udara.
Maka, untuk membawa pesawat udara masuk kondisi stall, pilot uji akan menaikkan hidung
pesawat udara hingga posisi paling mendongak sehingga stall dapat terjadi. Ilustrasi pada
Gambar 3 melukiskan fase uji stall pada pesawat udara. Pada ilustrasi tersebut, dari kiri ke
kanan, pesawat didongakkan (posisi 1) hingga mencapai kemiringan maksimum dan pesawat
udara mengalami stall (posisi 2). Akibat stall, pesawat udara terjatuh dan pilot uji akan
memulihkan kodisi terbang pesawat dengan menurunkan hidung pesawat (posisi 3) supaya
aliran udara melekat kembali pada permukaan atas sayap. Ketika aliran udara telah pulih,
maka secara perlahan hidung pesawat dinormalkan kembali sehingga pesawat terbang
mendatar (posisi 4). Selanjutnya pesawat udara siap untuk diuji stall kembali (posisi 5 dan 6).

Pengaruh stall pada ketinggian terbang pesawat udara.


Dari pemaparan pada Sub-Bagian 2.1 sebelumnya, terjadinya stall akan disertai
hilangnya gaya angkat pesawat. Dengan demikian, apabila stall telah terjadi, maka ketinggian

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 143


terbang pesawat udara akan semakin rendah. Ilustrasi pada Gambar 3 menggambarkan
perubahan ketinggian terbang pesawat udara dalam uji stall. Dari ilustrasi tersebut,
ketinggian maksimum dicapai sesaat sebelum terjadinya stall (posisi 2). Efek stall akan
membuat pesawat kehilangan ketinggian terbang (posisi 3) sampai pilot uji berhasil
memulihkan aliran udara pada sayap sehingga pesawat udara kembali normal (posisi 4).
Selanjutnya pesawat udara siap untuk diuji stall kembali (posisi 5 dan 6).

Pengaruh stall pada kecepatan pesawat udara.


Dengan profil ketinggian terbang pada uji stall seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 3, maka kecepatan pesawat udara akan pencapai nilai paling rendah pada saat
mengalami stall. Profil kecepatan akan menurun ketika pesawat udara masuk pada kondisi
stall (posisi 1) hingga mencapai kecepatan minimum pada saat stall (posisi 2), dan kemudian
kecepatan meningkat karena pesawat udara seketika mengalami jatuh bebas akibat stall
(posisi 3) dan kembali ke kecepatan jelajah ketika pulih dari stall (posisi 4). Setelah
penerbangan pesawat berlangsung normal, selanjutnya pesawat udara siap untuk diuji stall
kembali (posisi 5 dan 6).
Dari pemaparan di kedua Sub-Bagian 2.1 dan 2.2 pada Bagian ini, maka dapat
disimpulkan bahwa kecepatan stall akan terukur sebagai kecepatan paling rendah ketika
manuver stall diselesaikan. Profil kecepatan akan turun dari nilai jelajah, menuju nilai
minimum pada saat stall, untuk kemudian naik lagi dengan curam untuk pemulihan dari stall,
dan turun kembali ke nilai jelajahnya. Pengenalan karakteristik profil kecepatan ini akan
menjadi dasar perumusan metode pengukuran kecepatan stall PUNA BPPT pada bagian
selanjutnya.

3. METODE PENGUKURAN KECEPATAN STALL PUNA BPPT


Di dalam makalah ini permasalahan yang diteliti adalah formulasi metode pengukuran
kecepatan stall pada PUNA BPPT yang konstruksinya serupa dengan pesawat udara
berawak, namun tidak dibangun sekompleks pesawat udara berawak. Berangkat dari kondisi
tersebut, maka metodologi penelitian telah meliputi langkah formulasi permasalahan yang
akan diteliti, dilanjutkan dengan langkah studi literatur tentang uji stall pesawat udara
berawak, dan diselesaikan dengan langkah optimasi hasil-hasil studi literatur ke dalam
metode pengukuran kecepatan stall yang cocok untuk PUNA BPPT.
Pada uji stall pesawat udara berawak, pesawat udara dibuat terbang perlahan hingga
mencapai 10 knots sebelum stall. Selanjutnya pesawat udara semakin diperlambat untuk

144 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


mendapatkan pengurangan kecepatan dengan laju penurunan satu knot per detik[11].
Sebaliknya, pada uji stall PUNA BPPT, pengendalian pesawat dilakukan oleh pilot uji dari
darat dengan pengamatan visual terhadap kelakuan terbang pesawat. Pilot diharuskan melihat
langsung ke PUNA BPPT yang stall untuk mengantisipasi dan memulihkan gerak
terbangnya. Dengan demikian, pilot console yang digunakan adalah aeromodelling controller
yang tidak memberikan display kecepatan terbang, sehingga pilot akan kesulitan
memperlambat PUNA dengan laju penurunan satu knot per detik. Dengan demikian,
kecepatan stall PUNA BPPT, akan lebih akurat ditentukan secara off-line, melalui grafik
kecepatan terhadap waktu, serta ketinggian dan sikap PUNA pada saat stall.
Maka dapat disimpulkan, bahwa kecepatan stall PUNA BPPT akan lebih cocok
diukur atau ditentukan dengan metode berikut ini:
Pelaksanaan pengukuran kecepatan terbang di sekitar stall:
• Pilot uji membawa PUNA BPPT pada kesetimbangan terbang di 1.5 kali
perkiraan kecepatan stall.
• Pilot uji memperlambat PUNA BPPT hingga 10 knots di atas perkiraan
kecepatan stall.
• Pilot uji menuntun PUNA BPPT hingga mengalami stall, dan setidaknya data-
data kecepatan terbang beserta ketinggian pesawat harus direkam pada data
logger atau ditransmisikan ke stasiun kendali darat.
• Ulangi manuver stall beberapa kali sesuai persyaratan atau kebutuhan.

Penentuan nilai kecepatan stall:


• Secara off-line, grafik kecepatan dan ketinggian terbang diplot terhadap
waktu.
• Identifikasi waktu terjadinya ketinggian terbang dengan nilai maksimum.
• Identifikasi waktu terjadinya kecepatan terbang dengan nilai minimum.
• Bila keduanya terjadi bersamaan, maka kecepatan terbang di waktu tersebut
adalah kecepatan stall PUNA BPPT.

4. DISKUSI DAN PENERAPAN METODE


Metode pengukuran kecepatan stall PUNA BPPT telah diformulasikan pada bagian
akhir pembahasan Bagian 3. Terbagi atas aktifitas pelaksanaan pengukuran kecepatan
terbang dan aktifitas penentuan kecepatan stall. Kegiatan pengolahan data sendiri

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 145


berlangsung pada penentuan kecepatan stall. Pada Bagian ini akan didiskusikan penerapan
metode pengolahan data, lalu dilanjutkan dengan diskusi tentang pelaksanaan
pengukurannya.

4.1 Penerapan Metode Penentuan Kecepatan Stall pada Data Penerbangan


Penerapan metode pengolahan data untuk mendapatkan kecepatan stall dipaparkan
dalam penjelasan berikut. Sebagai contoh implementasi, berikut ini disajikan data terbang
PUNA BPPT ketika melakukan manuver stall. Penyajian dilakukan dengan plot ketinggian
terbang dan kecepatan terbang PUNA BPPT di sekitar titik stall-nya.
Dengan mengamati grafik ketinggian terbang dan kecepatan terbang PUNA BPPT
pada Gambar 4, dapat diketahui bahwa kecepatan terendah selama manuver stall adalah 23.7
knots. Untuk verifikasi fenomena stall pada kecepatan tersebut, ditarik garis untuk
mendapatkan dinamika perubahan ketinggian terbang yang bersesuaian. Pada saat PUNA
BPPT mencapai kecepatan 23.7 knots tersebut, ketinggian terbang telah melewati puncak
maksimum dan ada indikasi terjadinya gerak jatuh bebas berdasarkan slope kurva ketinggian
terbang yang menurun dengan curam. Dengan demikian, pada saat PUNA BPPT mencapai
kecepatan 23.7 knots, saat itu sayap pesawat sudah mengalami stall. Sehingga dapat
disimpulkan dengan valid bahwa kecepatan stall PUNA BPPT adalah 23.7 knots atau dalam
satuan SI menjadi 12.2 m/s.

146 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 4. Grafik Ketinggian Terbang dan Kecepatan PUNA BPPT pada Manuver Stall

4.2 Penerapan Metode pada Pengukuran Terbang di Sekitar Stall


Pelaksanaan pengukuran parameter-parameter di sekitar stall dimulai ketika PUNA
BPPT terbang lurus dan mendatar (straight and level) pada kondisi terbang jelajahnya (cruise
flight). Perlambatan dimulai hingga PUNA BPPT terlihat menunduk dan mengindikasikan
penurunan ketinggian, seperti yang terlihat di antara detik ke 5 hingga 15 grafik ketinggian
terbang pada Gambar 4. Penurunan ketinggian tersebut terjadi karena terganggunya
kesetimbangan terbang akibat defleksi elevator PUNA BPPT yang tadinya cocok untuk
kecepatan jelajahnya, namun menjadi tidak cocok lagi akibat perlambatan ini.
Pada detik ke 25, pilot uji menarik tuas elevator dan membawa PUNA BPPT
mendongak menuju stall. Hal ini diverifikasi oleh berubahnya slope penurunan ketinggian
terbang pada detik ke 25 grafik ketinggian terbang di Gambar 4. Setelah detik ke 25, PUNA
BPPT semakin mendongak dan mengakibatkan peningkatan ketinggian terbang seperti pada
Gambar 4. Secara bersamaan, mendongaknya PUNA BPPT membuat kecepatan menjadi
berkurang dan menandakan PUNA BPPT akan mengalami stall.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 147


Setelah detik ke 30, terlihat laju peningkatan ketinggian terbang mulai mengecil
hingga mencapai ketinggian maksimum, namun kecepatan terbang PUNA BPPT masih turun
terus dan belum mencapai nilai terendah. Hal ini mengindikasikan terjadinya buffetting,
seperti penjelasan pada Bagian 1. Pada saat kritis seperti ini, pilot uji pesawat udara berawak
dapat salah menyangka bahwa pesawatnya telah stall[3], sehingga mengakhiri manuver stall
dan bersegera memulihkan pesawat, padahal pesawat belum mengalami stall yang
sesungguhnya.
Dengan posisi pilot uji PUNA BPPT yang tidak berada di dalam drone uji, maka pilot
tidak merasakan buffetting tersebut, dan manuver stall ini bisa diteruskan hingga selesai.
Terlihat dari grafik kecepatan di Gambar 4, bahwa kecepatan terendah segmen terbang ini,
bukan dicapai ketika PUNA BPPT berada pada ketinggian terbang maksimum di grafik
ketinggian terbang Gambar 4. Setelah menarik garis bantu yang memproyeksikan waktu
terjadinya kecepatan minimum ke sumbu waktu grafik ketinggian terbang, terlihat bahwa
kecepatan paling rendah dicapai sesaat setelah PUNA BPPT mulai turun dari ketinggian
maksimumnya. Kondisi ini menguatkan nilai 27.3 knots—sebagai kecepatan terendah di
segmen ini—sebagai kecepatan yang terjadi ketika PUNA BPPT mengalami stall. Hal ini
disimpulkan karena hilangnya gaya angkat akibat stall, justru terindikasi dari dimulainya
penurunan ketinggian terbang setelah PUNA BPPT mencapai ketinggian maksimum.
Selanjutnya, setelah PUNA BPPT stall, pilot uji melakukan manuver pemulihan
sesuai prosedur recovery from stall[12,13], dengan menundukkan hidung pesawat sehingga
gerak jatuh bebas pesawat dalam posisi terjun akan membuat aliran udara di atas sayap
kembali melekat di permukaan atas sayap dan pesawat pulih dari stall. Manuver pemulihan
ini terlihat pada Gambar 4, setelah garis yang menunjukkan stall, PUNA BPPT mendapat
peningkatan kecepatan terbang walaupun sebenarnya ketinggian terbangnya menurun dengan
curam. Ketika PUNA BPPT kembali di ketinggian 1000 feet (sekitar 330 meter), pilot uji
menaikkan kembali hidung pesawat untuk membawa pesawat kembali pada terbang
jelajahnya.

4.3 Isu-isu Praktikalitas, Obyektifitas dan Akurasi Metode


Dengan dimensi drone yang relatif kecil, dan pengoperasian yang lebih mudah dari
pesawat udara berawak, maka dibutuhkan metode pengukuran kecepatan stall yang praktis,
obyektif dan akurat. Istilah praktikalitas memiliki penekankan bahwa penerapan metode
haruslah sesederhana dan seluwes mungkin[14]. Istilah obyektifitas berarti pengukuran harus
bersifat independen terhadap terjadinya perubahan subyek pengukur[15]. Istilah akurasi

148 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


merujuk pada dekatnya hasil pengukuran terhadap nilai sesungguhnya dari keadaan yang
diukur[16].
Metode pengukuran kecepatan stall pada drone, harus praktis, yaitu sederhana dan
luwes. Sederhana dalam penerapannya, berarti metode ini jangan sampai sama atau lebih
kompleks dari pengukuran kecepatan stall pesawat udara berawak. Sedangkan keluwesan
mensyaratkan bahwa metode ini tetap dapat diterapkan pada berbagai jenis drone yang
dimensi dan konfigurasi bentuknya bervariasi. Dari pembahasan di Bagian 3, pengukuran
kecepatan stall pada drone tidak memerlukan laju penurunan kecepatan 1 knot per detik
seperti pada pesawat udara berawak. Metode ini hanya bergantung pada perekaman data
kecepatan terbang saja, sehingga prosedur yang dikerjakan pilot menjadi sangat sederhana,
yaitu hanya membuat drone mengalami stall tanpa keharusan menjaga laju perlambatan pada
nilai tertentu. Kondisi demikian juga membuat metode ini menjadi luwes diterapkan untuk
berbagai konfigurasi drone, ataupun modifikasi dalam litbang drone tersebut.
Metode pengukuran kecepatan stall pada drone, harus obyektif, yaitu independen
terhadap perubahan pilot uji ataupun kru uji di darat. Dari pembahasan pada Bagian 2 dan
Bagian 3, kehadiran buffetting ketika pesawat udara akan mengalami stall, dapat membuat
pilot uji salah menilai seolah pesawat telah stall, padahal masih sebaliknya. Di lain pihak,
pilot uji yang berpengalaman lebih mampu membedakan kehadiran buffetting dari stall dan
lebih antisipatif memulihkan penerbangan pasca stall, sehingga perbedaan personel pilot uji
dapat mempengaruhi hasil akhir pengukuran stall pesawat udara berawak. Sebaliknya, pada
metode pengukuran kecepatan stall pada drone ini, pilot uji tidak merasakan buffetting secara
fisik, sehingga siapapun pilot uji drone hanya perlu membawa drone pada kondisi stall dan
memberikan hasil pengukuran yang sama. Hal ini menghadirkan obyektifitas pada metode
pengukuran kecepatan stall pada drone ini.
Metode pengukuran kecepatan stall pada drone, harus akurat, yaitu memiliki tingkat
kesalahan dan ketidakpastian yang kecil dari nilai sesungguhnya. Metode ini bergantung pada
perekaman data terbang, dan bukan pada penentuan pengukuran dari pilot uji, sehingga
variasi hasil pengukuran terhadap nilai kecepatan stall yang sesungguhnya dapat dibuat
semakin kecil. Dengan demikian metode ini menjadi sarana pengukuran kecepatan stall yang
akurat, disamping juga obyektif dan praktis seperti telah dijelaskan pada paragraf-paragraf
sebelumnya.
Setelah pembahasan implementasi pada Sub-Bagian 4.1 hingga 4.3, maka metode ini
memperlihatkan aspek praktikalnya pada penerapan di PUNA BPPT. Dengan menganalisa
data secara off-line, maka penentuan kecepatan stall dapat dilakukan dengan lebih obyektif

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 149


dan akurat. Dengan demikian bahwa metode pengukuran kecepatan stall ini cocok diterapkan
pada PUNA BPPT. PUNA BPPT adalah drone berukuran besar dengan bentang sayap 6
meter dan berat lepas landas maksimum (MTOW, maximum take off weight) hingga 120
kg[17]. Mengingat kondisi tersebut, maka metode ini dapat digeneralisasi untuk berbagai jenis
drone yang ukuran dan beratnya lebih kecil dari PUNA BPPT.
Selain itu, metode ini juga membuat manuver stall dapat dilaksanakan dengan lebih
tuntas karena penilaian kru uji tidak terdistraksi oleh buffetting. Uji stall sendiri adalah item
uji terbang yang beresiko tinggi[1,2]. Pesawat udara uji dapat kehilangan keterkendaliannya
setelah stall[2], serta dapat bergerak tak terarah dan kehilangan orientasi terbangnya[18],
bahkan dapat saja menghujam bumi, dan berakhir dengan kecelakaan[13,19]. Penerapan metode
ini akan mengurangi resiko-resiko tersebut, karena pilot uji dapat berkonsentrasi penuh untuk
mengantisipasi PUNA BPPT yang sedang stall dan juga dapat memulihkan pesawat dengan
berbagai prosedur recovery[1,2,12] yang sesuai dengan jenis stall yang dialami. Hal ini karena
pilot tidak dibebani pekerjaan menentukan timing terjadinya stall.

5. KESIMPULAN
Metode pengukuran kecepatan stall untuk drone telah diformulasikan sesuai
pemaparan di bagian akhir Bagian 3, yang terbagi atas aktifitas pelaksanaan pengukuran
kecepatan terbang dan aktifitas penentuan kecepatan stall. Implementasi metode tersebut
menunjukkan hasil yang baik seperti disajikan pada Bagian 4. Metode yang diajukan penulis
mampu mengukur kecepatan stall pada drone dengan lebih praktis, obyektif dan akurat.
Penerapan metode ini memudahkan aktifitas pilot uji, dan mengurang resiko insiden
pada uji stall karena pilot tidak dibebani untuk menentukan timing terjadinya stall. Pilot uji
dapat memusatkan perhatian pada pergerakan drone untuk memasuki kondisi stall, serta
mengantisipasi segala dinamika terbangnya selama stall dan memulihkan drone dari stall
menuju terbang normal.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada PTIPK-BPPT atas fasilitas dan dukungan
yang diberikan kepada penulis selama menjadi Flight Test Engineer PUNA BPPT, sehingga
dapat melakukan penelitian ini.

150 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Kimberlin, Ralph D. 2003. Flight Testing of Fixed Wing Aircraft. AIAA. Virginia,
AS.
[2] Ward, Donald T., Strganac Thomas W., Niewoehner Rob. 2001. Introduction to
Flight Test Engineering. Hunt Publishing Co., Iowa, AS.
[3] Powers,Bruce G., Matheny, Neil W. 1964. Flight Evaluation of Three Techniques of
Demonstrating the Minimum Flying Speed of a Delta-Wing Airplane. NASA.
Washington, AS.
[4] 1931. The Phenomenon of Buffetting: The Aeronautical Research Committee in an
Accident Report call Attention to its Importance. Aircraft Engineering and Aerospace
Technology Vol. 3 Issue (2). Hlm. 31-34. MCB UP Ltd. Washington, AS.
[5] Aly, Aly M. 2014. Influence of Turbulence, Orientation, and Site Configuration on
the Response of Buildings to Extreme Wind. The Scientific World Journal Vol. 2014
Art. No. 178465, Hindawi Publ. Co. Los Angeles, AS.
[6] ArduPilot. 2016. Stall Prevention. APM User Manual 2016. URL:
http://ardupilot.org/plane/docs/stall-prevention.html. Diakses: 14 Mei 2017.
[7] Henderson, Francis N. 2014. Stall Speed measurement and use. URL:
http://www.inertial-solutions.us/pdf_files/Stall%20Speed.pdf. Diakses: 13 Mei 2017.
[8] NASA. 2015. Inclination Effects on Lift. File: incline.gif. URL: https://www.grc.
nasa.gov/WWW/K-12/airplane/incline.html. Diakses: 12 Mei 2017.
[9] NASA. 2016. An aircraft with a T-tail empennage in normal flight (top) versus one in
a deep stall condition (bottom). File: area-i_2.png, URL:
https://www.nasa.gov/offices/oct/feature/modular-adjustable-a-test-plane-for-any-
occasion. Diakses: 12 Mei 2017.
[10] 2017. Power-Off Stalls. URL: http://www.geocities.ws/ltdann5/students/
privatemaneuvers/stallspoweroff.htm. Diakses: 24 Mei 2017.
[11] ACAS. 2005. Flight Test Guide for Assessment of Amateur-Built Aircraft Accepted
under an ABAA. Australian Civil Aviation Safety Authority. Canberra, Australia.
[12] Swatton, Peter J. 2011. Principles of flight for pilots. John Wiley & Sons. West
Sussex, Inggris.
[13] IATA. 2015. Loss of Control In-flight (LOC-I) Prevention: Beyond the Control of
Pilots (1st ed.). International Air Transport Association. Montreal, Kanada.
[14] Kauppinen, Marjo. Vartiainen, Matti. Kontio, Jyrki. Kujala, Sari. Sulonen,Reijo.
2004. Implementing requirements engineering processes throughout organizations:

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 151


success factors and challenges. Information and Software Technology Vol. 46 Issue
(14). Hlm. 937-953. Elsevier.
[15] Cecconi, P., Franceschini, F., Galetto, M. 2007. The conceptual link between
measurements, evaluations, preferences and indicators, according to the
representational theory. European Journal of Operational Research Vol. 179 Issue (1)
Hlm.174-85. Elsevier.
[16] Morris, Allan S., Langari, Reza. 2012. Measurement and Instrumentation.
Butterworth-Heinemann. Boston, Amerika Serikat.
[17] Muliadi, Jemie. 2008. Development of BPPT’s UAS in T-Tail, V-Tail and Inverted V-
Tail Configurations. Prosiding UAS Conference China 25-26 September 2008. UVS
International Publ. Paris, Perancis.
[18] Pekmezovic, Sladan. Jovanovic, Miroslav. Ilic, Zoran. 2011. Flight Testing
Methodology and Procedure of Spin Characteristic on Basic Training Aircraft. The
4th International Scientific Conference on Defensive Technologies (OTEH) 6-7
October 2011 Hlm. 128-132. Belgrade, Serbia.
[19] Thurber, Matt. 2006. Post-maintenance stall tests raise safety concerns. Business
Aviation. URL: http://www.ainonline.com/aviation-news/aviation-international-
news/2006-09-13/post-maintenance-stall-tests-raise-safety-concerns. Diakses: 1 Mei
2017.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijanarko
Pertanyaan:
Bagaimana pengaruh cuaca terhadap kinerja drone?
Jawaban:
Sebagai salah satu pesawat terbang, maka Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) BPPT atau
drone, sangat terpengaruh oleh angin di area operasinya. Ketika drone lepas landas dan
mendarat dengan pengendali pilot manusia, maka pada saat tersebut drone bisa dikendalikan
apabila kecepatan angin di area tersebut tidak melebihi 15 knots. Namun pada pengoperasian
di ketinggian jelajah 1500 feet, maka modus terbang autopilot akan diaktifkan sehingga
drone mampu terbang menghadapi angin hingga 30 knots dengan bantuan pengendali
elektronik automatis.

152 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Faktor cuaca lain yang berpengaruh terhadap prestasi terbang drone adalah hujan. Drone
BPPT, yaitu PUNA BPPT-06C ”Alap-Alap”, tidak dilengkapi fitur tahan air. Hal ini seiring
dengan fungsi drone tersebut sebagai sarana pemetaan udara, yang dirancang untuk terbang
dan mengambil gambar pada kondisi cuaca cerah dengan bantuan cahaya matahari. Dengan
demikian, pada saat hujan, drone ini praktis tidak bisa diterbangkan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 153


ANALISIS KALIBRASI LOAD CELL TARIK TIPE PANCAKE DENGAN
METODE KALIBRASI TEKAN
Dinar Nurcahyono
Pusat Penelitian Metrologi-LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
dinar@kim.lipi.go.id

INTISARI
Kalibrasi load cell tarik seringkali terkendala ketidaksesuaian alat bantu tarik bawaan load cell
dengan holding frame mesin standar gaya yang digunakan. Pada makalah ini disampaikan metode
alternatif untuk melakukan kalibrasi pada load cell tarik tipe pancake (low profile) tanpa
menggunakan alat bantu tarik, yaitu dengan menggunakan metode tekan. Hasil pengujian pada dua
buah load cell kapasitas 10 kN dan 50 kN dengan metode tekan dan metode baku menunjukkan
kesesuaian dengan |En|<1 pada load cell 50 kN (kelas 2), sedangkan pada load cell 10 kN (kelas 0,5),
hanya titik 1 – 6 kN yang memenuhi. Rata-rata rasio ketidakpastian yang dihasilkan dengan
menggunakan metode tekan terhadap metode baku pada kedua load celladalah 1,06 dan 1,29, dengan
deviasi kurang dari 0,1 %. Berdasarkan pengujian ini, metode tekan dapat diterapkan pada load cell
kelas rendah. Diperlukan penelitian lanjutan untuk dapat menerapkan metode ini pada load cell kelas
tinggi.

Kata kunci: Load cell tarik tipe pancake, metode kalibrasi, En number.

ABSTRACT
Calibration of the tension load cell are often constrained by incompability of the load cell’s tension
adapter with the holding frame of the force standard machine used. In this paper presented an
alternative method to perform calibration on pancake (low profile) type load cell without using
tension adapter, that is by using compression method. The experiments on two load cell with
capacities of 10 kN and 50 kN by the compression method and the standard method show conformity
with | En | <1 on the 50 kN load cell (class 2), whereas in the 10 kN load cell (class 0,5), only 1 kN -
6 kN points meet. The average uncertainty ratio generated using the compression method compare to
the standard method on both load cells is 1.06 and 1.29, with deviations less than 0.1%. Based on this
experiment, compression method can be applied to low-class load cells. Additional research is
required to apply this method to high-class load cells.

Keywords : Pancake type tension load cell, calibration method, En number

1. PENDAHULUAN
Pengembangan terhadap alat ukur gaya dan metode kalibrasinya terusdilakukan untuk
mengimbangi kebutuhan terhadap layanan kalibrasi. Puslit Metrologi LIPI sebagai pengelola
teknis Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (SNSU) memiliki layanan kalibrasi load cell
tekan dari 40 N hingga 5 MN dan kalibrasi load cell tarik dari 40 N hingga 1 MN.
Pelaksanaan layanan kalibrasi load celluji tarik seringkali mengalami kendala, karena
ketidaksesuaian alat bantu tarik yang dimiliki oleh load cell dengan holding frame mesin

154 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


standar gaya baik dari segi ukuran diameter yang terlalu besar, maupun dari segi panjang alat
bantu yang tidak mencukupi.Sehingga, pengguna layanan kalibrasi perlu membuat alat bantu
tarik, yang tentunya mengganggu kelancaran layanan kalibrasi, maupun ditolak item
kalibrasinya jika tidak bersedia membuat alat bantu.
Untuk load cell tarik tipe pancake (low profile), suatu metode kalibrasi baru
diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi kendala keterbatasan tersebut. Dalam makalah
ini, metode tersebut divalidasi dengan menggunakan metode baku, untuk mengetahui
kesesuaian hasil yang diperoleh baik dari segi nilai maupun ketidakpastian yang dihasilkan.
Ealuasi kesesuaian dilakukan dengan menggunakan En number.

2. DASAR TEORI
Uji tarik adalah metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan dengan
cara memberikan beban gaya tarik yang sesumbu. Uji tarik dilakukan untuk melengkapi
informasi dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan.
Sifat mekanis yang dapat diketahui dari uji tarik adalah kekuatan dan elastisitas dari material,
terutama material logam.
Standar yang digunakan untuk melakukan uji tarik dapat berupa load cell maupun
proving ring. Load cell merupakan transduser gayayang mengukur gaya dengan cara
mengukur defleksiyang diakibatkan oleh gaya tersebut. Komponen sensor dalam load cell
yangdigunakan untuk mengukur besarnya defleksi adalah strain gauge.[1]Berdasarkan arah
gayanya, load cell dapat dibedakan menjadi load cell tekan, load cell tarik, maupun load cell
tarik-tekan.Sedangkan berdasarkan bentuknya, beberapa tipe load cell yang sering dijumpai
antara lainload cell tipe button, load cell tipe column (canister), load cell tipeS dan load cell
tipe pancake (low profile).[2]

Gambar 1. Tipe load cell berdasarkan bentuk.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 155


Load cell tipe pancake biasanya merupakan tipe tarik-tekan. Posisi pemasangan
padakalibrasi tarik load cell tipe pancake dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kalibrasi tarik,
bantalan tarik (mounting flange) dipasang pada load celldengan menggunakan baut. Alat
bantu tarik (tension rod) digunakan untuk menghubungkan bantalan tarik pada bagian atas
dan load cell bagian bawah dengan holding frame mesin, sekaligus sebagai pengarah gaya
tarik. Load cell dipasang pada posisi terbalik, agar berat load cell tidak terakumulasi sebagai
beban gaya terukur.

Gambar 2. Setting kalibrasi tarik menggunakan metode baku,


(a) load cell 20 kN (b) load cell 50 kN
Pada posisi tekan, terdapat dua opsi yaitu kalibrasi dengan tetap menggunakan
mounting flange maupun atau dengan melepas mounting flange. Adapter tekan (loading pad)
dipasang dan digunakan sebagai pengarah gaya tekan.
Prosedur acuan untuk kalibrasi load cell adalah ISO 376:2011 Metallic materials --
Calibration of force-proving instruments used for the verification of uniaxial testing
machines.[3]Prosedur ini memberikan acuan untuk kalibrasi load cell baik tekan maupun
tarik.Dalam ISO 376:2011 load cell dibedakan menjadi empat kasus berdasarkan
penggunaannya, yaitu:

Kasus A : Pembebanan gaya naik, titik ukur penggunaan spesifik.


Kasus B : Pembebanan gaya naik-turun, titik ukur penggunaan spesifik.

156 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Kasus C : Pembebanan gaya naik, dapat digunakan pada semua titik pada rentang
ukurnya.
Kasus D : Pembebanan gaya naik-turun, dapat digunakan pada semua titik pada
rentang ukurnya. [3]
Berdasarkan pembagian tersebut maka kalibrasi alat ukur gaya dapat dilakukan dalam
dua cara yaitu dengan pembebanan naik-turun dan dengan pembebanan naik saja.

3. METODE
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 2 buah load cellyang memiliki kapasitas
10 kN dan 50 kN. Load cell kapasitas 10 kN dikalibrasi dengan menggunakan mesin standar
gaya deadweight 20 kN dengan ketidakpastian 0,003 %. Sedangkan load cell 50 kN
dikalibrasi dengan menggunakan mesin standar gaya tipe lever 1 MN dengan ketidakpastian
0,015 %.Indikator yang digunakan adalah TCLM-1A, dengan resolusi 1 digit. Untuk
kalibrasi load cell kapasitas 10 kN, indikator disettingpada settingfull scale 10000 dan
sensitivitas 2505 mV/V. Sedangkan untuk load cell kapasitas 50 kN, indikator disetting pada
settingfull scale 50000 dan sensitivitas 2517 mV/V. Suhu ruangan selama pengambilan data
dijaga pada rentang 23 ± 1 oC.
Pengujian dilakukan sesuai prosedur kalibrasi load cell I.MM.4.01 Puslit Metrologi
yang mengacu pada ISO 376:2011. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 2 metode.
Metode pertama merupakan metode baku untuk mengkalibrasi load cell tarik, yaitu dengan
menggunakan alat bantu tarik, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Metode kedua merupakan
metode non-baku di mana load cell tarik dikalibrasi dengan menggunakan metode kalibasi
tekan. Penggunaan metode tekan ini didasari pada kesamaan arah gaya yang bekerja pada
load cell. Setting kalibrasi tarik dengan menggunakan metode tekan ditampilkan pada
Gambar 3dan4. Gambar 4.a merupakan adapter pengarah gaya yang biasa digunakan dalam
kalibrasi tekan. Gambar 4.b merupakanring bantalan tekan yang khusus digunakan untuk
melakukan pengujian metode tekan. Dan Gambar 4.c menunjukkan posisi pemasangan load
cell, ring dan adapter pada kalibrasi tarik dengan menggunakan metode tekan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 157


Gambar 3. Perbedaan setting kalibrasi tarik, kalibrasi tekan dan kalibrasi tarik
menggunakan metode tekan

Gambar 4. Setting kalibrasi tarik menggunakan metode tekan


Pengujian dilakukan dalam kasus D, karena dapat merepresentasikan penggunaan
yang paling lengkap, yaitu pembembanan naik/turun dan dapat digunakan untuk setiap titik
dalam rentang ukurnya. Penjelasan tentang seri pembebanan ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Sebelum kalibrasi, pemanasan dilakukan dengan pembebanan maksimum sebanyak 3 kali.
Pengujian dilakukan dengan melakukan seri pembebanan naik-turun pada tiga sudut yang
berbeda yaitu 00, 1200 dan 2400dengan diputar pada posisi axis.

Gambar 5. Skema pengujian load cell

158 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Evaluasi kesesuaian hasil pengukuran metode tekan terhadap hasil pengukuran
metode baku dilakukan dengan menggunakan perhitungan angka kesalahan atau En number,
dengan persamaan sebagai berikut:

En =
(X MT - X MB ) ………………………………………………1
(W 2
MT
2
+ WMB )
dengan : XMT : Nilai yang dihasilkan denganmetode tekan
XMB : Nilai yang dihasilkan dengan metode baku
WMT : Ketidakpastian bentangan yang dihasilkan dengan metode tekan
WMB : Ketidakpastian bentangan yang dihasilkan dengan metode baku

Hasil yang baik ditunjukkan jika nilai |En| ≤ 1.

Ketidakpastian load cell diperhitungkan dengan memperhitungkan komponen


ketidakpastian repeatability (wrep), reproducibility (wrot), interpolasi (winp), zerro error(wzer),
hysteresis (whys), efek temperatur (wtemp), resolusi (wres) dan ketidakpastian standar gaya
(wstd).[3][4]Penjelasan tentang perhitungan komponen-kompenen ketidakpastian tersebut

adalah sebagai berikut :

a). Ketidakpastian repeatability(daya ulang tanpa rotasi, wrep)


X 2 − X1 1
wrep = × …………………………………………2
X wr 3

dengan X wr adalah rata-rata dari defleksi pembebanan naik X1 dan X2.


b). Ketidakpastian reproducibility (daya ulang dengan rotasi, wrot)

wrot =
1
×
1
(
x ∑ Xi − X r
6 i =1,3,5
)
2
………………………………………3
Xr

dengan X r adalah rata-rata dari defleksi pembebanan naik X1 , X3 dan X5.


c). Ketidakpastian interpolasi (winp)

X r − Xa
winp = ………………………………………………4
Xr

dengan X a adalah nilai defleksi hasil perhitungan persamaan interpolasi.


d). Ketidakpastian zerro error (wzer)
i f − io
wzer = ………………………………………………5
XN

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 159


dengan X N adalah nilai defleksi pada pembebanan maksimum, io dan i f adalah nilai
penunjukkan indikator sebelum dan sesudah pembebanan.
e). Ketidakpastian hysteresis (whys)

X '4 − X 3 X ' −X5


+ 6
X3 X5 1 ………………………………6
wrev = ×
2 3
f). Ketidakpastian efek temperatur (wtemp)
∆T 1
wtemp = K × × ………………………………………………7
2 3
dengan K adalah koefisien temperatur load cell (dalam °C-1), dan ∆T adalah rentang
temperatur ruangan selama kalibrasi.
g). Ketidakpastian resolusi (wres)
1 r
wres = × ………………………………………………8
6 F
dengan r adalah resolusi indikator dalam satuan gaya.
h). Ketidakpastian standar gaya (wstd)
Wstd
wStd = ………………………………………………9
ks

dengan Wstd adalah ketidakpastian bentangan mesin standar gaya, ks merupakan faktor
cakupan dari sertifikat mesin (ks = 2).

Ketidakpastian relatif bentangan load cellselanjutnya dirumuskan dengan


persaamaan:
2 2 2 2 2 2 2 2
W = k ⋅ wrep + wrot + winp + wzer + whys + wtemp + wres + wstd ………10

dengan k merupakan faktor cakupan yang dihasilkan dari perhitungan derajat kebebasan

(veff).

dengan ci merupakan koefisien sensitivitas dari tiap komponen ketidakpastian.

Selain evaluasi kesesuaian dengan menggunakan En number, evaluasi juga dilakukan

dengan membandingkan ketidakpastian yang diperoleh dengan menggunakan kedua metode.

160 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dalam pengujian ini ditampilkan dalam Tabel 1:
Tabel 1. Hasil pengambilan data
Rata-rata
Gaya Deviasi Gaya Deviasi
(digit) Rata-rata (digit)
(kN) MT MB (%) (kN) MT MB (%)
1 1000,0 999,7 0,033 5 4980,7 4976,0 0,094
2 1999,0 1997,7 0,067 10 9963,7 9960,0 0,037
3 2998,0 2996,3 0,056 15 14952,7 14952,0 0,004
4 3997,3 3995,3 0,050 20 19943,7 19951,0 -0,037
5 4997,0 4994,7 0,047 25 24941,3 24955,0 -0,055
6 5996,7 5993,0 0,061 30 29944,3 29963,3 -0,063
7 6996,0 6992,3 0,052 35 34950,7 34976,7 -0,074
8 7996,0 7991,3 0,058 40 39965,0 39993,0 -0,070
9 8995,0 8990,7 0,048 45 44978,7 45009,0 -0,067
10 9995,0 9989,7 0,053 50 50002,0 50038,3 -0,073

Pada kalibrasi load cell 10 kN, nilai keluaran yang diperoleh dengan menggunakan
metode tekan lebih besar daripada dengan menggunakan metode baku, dengan deviasi
maksimum 0,067 %. Sedangkan pada kalibrasi load cell 50 kN, nilai keluaran yang diperoleh
dengan menggunakan metode tekan lebih kecil daripada dengan menggunakan metode baku,
dengan deviasi maksimum 0,094 %. Sehingga, ditinjau dari besar nilai keluaran, nilai
keluaran metode tekan tidakdapat ditentukan kecenderungannya lebih besar ataulebih kecil
daripada metode baku. Namun dari kedua load cell dapat diketahui bahwa penggunaan
metode tekan menghasilkan deviasi kurang dari 0,1 %.
Besar ketidakpastian yang diperoleh dengan menggunakan kedua metode ditampilkan
pada Tabel2. Pada pengujian load cell 10 kN besar ketidakpastian yang diperoleh dengan
kedua metode hampir sama, yaitu sebesar 0,017 % - 0,2 %. Rata-rata rasio ketidakpastian
metode tekan terhadap metode baku adalah sebesar 1,06.Pada pengujian load cell 50 kN
besar ketidakpastian yang diperoleh dengan metode tekan relative lebih besar. Rata-rata rasio
ketidakpastian metode tekan terhadap metode baku adalah sebesar 1,29.Ketidakpastian yang
dihasilkan dengan menggunakan metode tekan masih relatif cukup baik, karena rata-rata
rasio ketidakpastian yang dihasilkan pada kedua load cellhanya 1,06 dan 1,29. Jika
ketidakpastian yang dihasilkan terlalu besar, ditinjau dari besarnya ketidakpastian maka
penggunaan metode tekan akan cukup merugikan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 161


Tabel 2. Ketidakpastian bentangan dan rasio ketidakpastian
Ketidakpastian Gaya Ketidakpastian Rasio
Gaya
(%) Rasio (%)
(kN) WMT WMB WMT/WMB (kN) WMT WMB WMT/WMB
1 0,20 0,20 1,00 5 0,77 0,50 1,54
2 0,13 0,15 0,87 10 0,61 0,49 1,24
3 0,12 0,14 0,86 15 0,49 0,44 1,11
4 0,12 0,10 1,20 20 0,44 0,38 1,16
5 0,073 0,055 1,33 25 0,37 0,33 1,12
6 0,074 0,058 1,28 30 0,32 0,28 1,14
7 0,038 0,033 1,15 35 0,27 0,22 1,23
8 0,024 0,029 0,83 40 0,18 0,15 1,20
9 0,023 0,022 1,05 45 0,12 0,088 1,36
10 0,017 0,017 1,00 50 0,07 0,036 1,83

Nilai ketidakpastian yang dihasilkan dari metode tekan yang lebih besar ini, tidak
terlepas dari hysteresis sebagai komponen ketidakpastian terbesar, di mana hysteresis yang
dihasilkan dengan metode tekan lebih besar daripada yang hysteresis yang dihasilkan dengan
metode baku. Perbandingan besarnya ketidakpastian standar tiap komponen ketidakpastian
ditampilkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Berdasarkan parameter yang diperoleh tersebut,
berdasarkan klasifikasi ISO 376:2011Table 2. Characteristics of force-proving instruments,
load cell 10 kN masuk pada kelas 0,5 sedangkan load cell 50 kN masuk pada kelas 2 yang
lebih rendah.

Gambar 6. Perbandingan komponen ketidakpastian load cell 10 kN

162 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 7. Perbandingan komponen ketidakpastian load cell 50 kN

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode 2 baik nilai maupun


ketidakpastiannya ini kemudian dievaluasi kesesuaiannya dengan menggunakan En number,
hasilnya ditampilkan pada Tabel3 berikut :
Tabel 3. Nilai En hasil pengujian
Gaya |En| Gaya |En|
(kN) (kN)
1 0,12 5 0,10
2 0,34 10 0,05
3 0,30 15 0,01
4 0,32 20 0,06
5 0,51 25 0,11
6 0,65 30 0,15
7 1,04 35 0,21
8 1,55 40 0,30
9 1,51 45 0,45
10 2,22 50 0,97

Hasil evaluasi kesesuaian dengan menggunakan En number menunjukkan, pada load


cell 10 kN nilai En yang dihasilkan pada titik 1 kN – 6 kN memenuhi persyaratan kesesuaian
|En| ≤ 1 yaitu dengan nilai En 0,12 - 0,65. Akan tetapi pada titik 7 kN – 10 kN persyaratan
kesesuaian tersebut tidak terpenuhi. Pada load cell 50 kN persyaratan kesesuaian |En|<1
terpenuhi pada semua titik dengan En yang dihasilkan antara 0,01 - 0,97. Kesesuaian yang
diperoleh dengan menggunakan kedua metode dapat diringkas dan ditampilkan dalam bentuk
gambar, sebagai berikut :

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 163


Gambar 8. Kesesuaian hasil kedua metode pada load cell 10 kN

Gambar 9. Kesesuaian hasil kedua metode pada load cell50 kN

Pada Gambar 8 dan 9, pada kedua load cell dapat dilihat tren ketidakpastian pada titik
tinggi semakin kecil, hal ini antara lain dipengaruhi hysteresis sebagai komponen
ketidakpastian terbesar. Dengan kecilnya ketidakpastian di titik tinggi tersebut, maka nilai En
di titik tinggi menjadi besar, dan bahkan tidak memenuhi persyaratan kesesuaian
sebagaimana pada titik 7 kN – 10 kN load cell 10 kN.
Cara yang dapat dilakukan untuk dapat memenuhi persyaratan nilai Enadalah dengan
memperbesar ketidakpastian metode tekan (WMT), yangantara lain dapat dilakukan dengan
menambahkan komponen ketidakpastian penggunaan metode tekan (wmtd), misalnya
ditetapkan sebesar 0,05 %.Dengan demikian efek wmtdpada ketidakpastian di titik rendah
kecil karena ketidakpastian WMTrelatif jauh lebih besar, sedangkan pada titik tinggi efek wmtd
relatif signifikan. Selain En number terpenuhi, ketidakpastian yang besar ini lebih tepat untuk
memberikan batas aman dari kesalahan pengukuran.

164 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


5. KESIMPULAN
Metode tekan dapat menjadi alternatif dalam melakukan kalibrasi tarik load celltipe
pancakeyang memiliki kendala ketidaksesuaian alat bantu tarik dengan mesin standar gaya.
Namun, diperlukan penelitian lanjutan untuk dapat menerapkan metode ini dari load cell
kelas rendah hingga load cell kelas tinggi.Hasil penelitian pada makalah ini menunjukkan,
pada load cell 50 kN (kelas 2) persyaratan kesesuaian dapat terpenuhi pada semua titik,
sedangkan pada load cell 10 kN (kelas 0,5) hanya titik 1 kN – 6 kN yang memenuhi. Salah
satu tema penelitian yang perlu dilakukan adalah tentang opsi penambahan komponen
ketidakpastian penggunaan metode tekan (wmtd) dan besarnya.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Purwanto, Dwi. Rancang Bangun Load Cell sebagai Sensor Gaya pada Sistem Uji.
BPPT.
[2] Interface. 2009. Load Cells : A Primer on the Design and Use of Strain Gage Force
Sensors. Interface Inc. Arizona.
[3] Internasional Organisation for Standardisasion. 2011. ISO 376:2011 Metallic
Materials–CalibrationofForceProving Instruments Used for the Verification of
UniaxialTesting Machines. ISO. Switzerland.
[4] Puslit Metrologi-LIPI. 2016. I.MM.4.01 Force Measuring Device Calibration Using
Force Standard Machine.
[5] European Association of National Metrology Institutes. 2011. EURAMET / cg-4 / v.2
Uncertainty of Force Measurements. EURAMET. Braunschweig.
[6] Averlant, P., dan C. Duflon. 2016. EURAMET.M.F-S4 Force Euramet Supplementary
Comparison 10 kN and 20 kN. Metrologia Vol.53.
[7] Stenner, Lioba.2012. Comparison of the Calibration Results of Industrial Force
Transducer Obtained Based on the New vs. the Old Version of ISO 376. XX IMEKO
World Congress. Korea.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hafid
Pertanyaan :
Kenapa load cell 50 kN En numbernya masuk padahal deviasinya lebih besar dari devisi load
cell 20 kN, sedangkan load cell 20 kN tidak masuk padahal deviasinya lebih kecil?

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 165


Jawaban :
En number merepresentasikan hubungan besar deviasi dengan ketidakpastian. Meskipun
deviasi load cell 50 kN lebih besar dari 20 kN, tapi ketidakpastian load cell 50 kN juga besar,
sehingga En numbernya kurang dari 1. Sedangkan load cell 20 kN meskipun deviasinya lebih
kecil tapi ketidakpastiannya juga kecil, sehingga pada beberapa titik En number yang
dihasilkan lebih dari 1. Metode ini lebih cocok untuk diterapkan pada load cell kelas akurasi
rendah, sedangkan pada kelas akurasi yang lebih tinggi masih memerlukan pengujian dan
evaluasi lebih lanjut.

166 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


PENGGUNAAN APLIKASI AUTO CAPTURE CONTROLLER DALAM
RANCANG BANGUN SISTEM OTOMASI KALIBRASI STOPWATCH
Swivano Agmal, Asep Hapiddin, A. M. Boynawan, Ratnaningsih
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
swivano@gmail.com

INTISARI
Pusat penelitian metrologi LIPI selama ini menggunakan metode totalized dalam mengalibrasi
stopwatch-timer. Dalam metode tersebut,human reaction time bias (HRTB) dan human reaction time
standard deviation (HRTSD) memberikan nilai ketidakpastian bentangan U yang cukup signifikan.
Hipotesa awal untuk menurunkan nilai Uadalah dibuatnya sistem otomasi kalibrasi stopwatch yang
menghilangkan faktor HRTB dan HRTSD. Rancang bangun sistem otomasi inidibagi menjadi
beberapa tahapan. Salah satu tahapan terpenting adalah tahapan otomasi pengambilan data. Pada
penelitian ini telah dilakukansalah satumetode otomasi pengambilan data kalibrasi stopwatch
menggunakan aplikasi Auto Capture Controller. Metode ini menghasilkan nilai Uyang lebih kecil
dengan penurunan sekitar 10,8% dari U yang menggunakan metode totalized. Hasil ini menjadi tolok
ukur untuk mengembangkan otomasi pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan image processing,
filtering, analisis data dan penerbitan nilai ketidakpastian.

Kata Kunci : auto capture controller, human reaction time bias (HRTB), human reaction
time standard deviation (HRTSD), metoda totalized

ABSTRACT
Research center for metrology Indonesian Institute of Sciences (LIPI) has been using totalized
method to calibrate stopwatch-timer. In this calibration, human reaction time bias (HRTB) and
human reaction time standard deviation (HRTSD) provide significant expanded uncertainty U. The
initial hypothesis for lowering U values is the creation of a stopwatch calibration automation system
that eliminates the HRTB and HRTSD factors. The design of this automation system is divided into
several stages. One of the most important stages is the data retrieval automation stage This research
has been done one of the automation method of retrieving stopwatch calibration data using Auto
Capture Controller application. This method produces a smaller U value with a decrease of about
10,8% of U using the totalized method. These results become benchmarks for developing automation
in the next stage of image processing, filtering, data analysis and publishing the value of uncertainty.

Keywords : auto capture controller, human reaction time bias (HRTB), human reaction time
standard deviation (HRTSD), totalized method

1. PENDAHULUAN
Sampai saat ini, kalibrasi stopwatch dan timer di Laboratorium Waktu dan Frekuensi,
Pusat Penelitian Metrologi LIPI dilakukan menggunakan metoda totalizedPengambilan data
kalibrasi dengan metoda totalizedini dilakukan dengan cara manual sehingga sangat
dipengaruhi oleh waktu reaksi dari operator pelaksana kalibrasi atau yang lebih dikenal

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 167


dengan istilahhuman reaction time bias(HRTB)dan human reaction time standard deviation
(HRTSD). Pada percobaan yang telah dilakukan menggunakan metoda totalized didapatkan
ketidakpastian bentangan (U) rata-rata sebesar0,042. Jika nilai ketidakpastian yang
bersumber dari human reaction time bias HRTB adalah 0,016danhuman reaction time
standard deviationHRTSD berkisar 0,01s,maka secara signifikan HRTSD dan HRTB
memiliki pengaruhi sebesar 76% dari ketidakpastian bentangan[1].
Untuk menghilangkan faktor ketidakpastian yang diakibatkan HRTSD dan HRTB salah
satu upaya yang coba dilakukan adalah mengotomasi sistem kalibrasi stopwatch-timer.Sistem
otomasi ini dibagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertamaadalah pengambilan data
kalibrasi. Pengambilan ini dilakukan dengan cara memfoto sehingga data yang dihasilkan
berupa data gambar. Tahapan kedua adalah penerjemahan data gambar menjadi data angka
yang dimasukkan kedalam sistem basis data (database). Data tersebutkemudian
difilter.Kemudian, data angka yang tidak begitu jelas terlihat akan dihilangkan. Tahapan
berikutnya adalah analisa data yanghasil akhirnya adalah nilai ketidakpastian dari kalibrasi
yang dilakukan. Semua tahapan tersebut dilakukan secara otomatis sehingga lebih efisien dan
meminimalisir kesalahan akibat pengaruh waktu reaksi operator (HRTB * HRTD). Tahapan-
tahapaninidisajikan pada Gambar 1 berikut ini.

Pengambilan Image Filtering Data Value of


data procesing Data Analysis Uncertainty

Gambar 1. Rangkaian Proses Otomasi Kalibrasi Stopwatch


Proses pengambilan data menjadi sangat penting dikarenakan HRTSDdan
HRTBdiperolehmelalui proses ini.Kunci dari penghilanganHRTSD dan HRTB dalam sistem
kali iniadalahpenggunaan kamera untuk meng-capture data hasil pengukuran melalui
program komputer.Dengan penggunaan kamera ini maka efek sentuhan/penekanan tombol
start-stop saat mengambil data kalibrasi yang menyebabkan munculnya HRTSD dan HRTB
dapat dihilangkan[2].
Tulisan ini hanya difokuskan pada tahapan pertama sekaligus yang menjadi kunci dari
sistem otomasi kalibrasi stopwatch-timer. Melalui tahapan ini akan dibandingkan nilai
ketidakpastian sebelum dan seudah diotomasi. Selanjutnya, perbandingan tersebut akan
menjadi tolok ukur dalam membangun sistem otomasi kalibrasi stopwatch-timer.

168 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


2. TEORI DASAR
Sistem otomasi kalibrasi stopwatch pada dasarnya menggunakan sebuah Counter standar
yang berikutnya berperan sebagai kalibrator (Fluke PM6681) dengan mode Totalized(Tot A-
B). Kalibrator iniakan dikirimkan sinyal kotak secara kontinyu oleh function generator[1].
Sinyal tersebut nantinya akan dijumlahkansehingga menampilkan posisi hitungan waktu yang
berjalan. Counter ini juga diberikan sinyal 10 MHz yang berasal dari sumber frekuensi
standar nasional (Cs-Clock HP 5071A) sebagai refrensi.
Sistem ini kemudian akan mengambil data secara otomatis yang di koordinasikan oleh
aplikasi Auto Capture Controller(ACC).ACC adalah sebuah program komputer yang dibuat
guna dapatmengatur proses pengambilan data gambar secara otomatis sesuai dengan titik
ukur yang diinginkan.ACC merupakan sebuah aplikasi komputer yang menjadi kunci dari
proses otomasi pengambilan data kalibrasi stopwatch. Aplikasi ini diprogram melalui
serangkaian kode dalam VBA. Tampilan Aplikasi ini dapat dilihat pada gambar 2. ACC tidak
mengatur resolusi kamera smartphone dan hal lainnya yang sudah menjadi spesifikasi
pabrikan kamera terserbut. ACC hanya mengatur kapan kamera smartphone mengambil
gambar dan kapan pada posisi standby. Hal ini jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan
menggunakan metode Recording/Perekaman dengan output berupa film. Hal ini dikarenakan
metode recording memiliki kelemahan diantaranya membutuhkan memori yang jauh lebih
besar untuk penyimpanan [3]. Sangat tidak tepat untuk pengukuran yang sifatnya berulang.
Jika kualitas gambar diperkecil, maka akan beresiko mengaburkan gambar sehingga data
angka pada gambar sulit terbedakan.

Gambar 2. Tampilan Auto Capture Controler

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 169


Sistem otomasi kalibrasi stopwatch tidak menggunakan pewaktu yang menjadi fitur pada
aplikasi kamera smartphone. Hal ini dikarenakan nominal pewaktu pada aplikasi tersebut
telah baku sedangkan titik ukur kalibrasi tergantung dari order kalibrasi. Tidak hanya itu,
ACC memiliki ketelitian hingga milisekon berbeda jika dibandingkan dengan pewaktu pada
aplikasi smartphone lainnya yang hanya memiliki ketelitian sampai unit detik.
Aplikasi ini baru dapat dijalankan pada sistem ketika penggunaannya digabungkan
dengan aplikasi Vysor.Vysor adalah suatu aplikasi pada extensi Google Chrome yang
digunakan untuk menampilkan layar smartphone dan mengontrolnya untuk keperluan
pengambilan data yang diperintahkan oleh ACC[4]. Lebih lanjutACCjuga dibutuhkan untuk
menjadi penghubung proses otomasi berikutnya.

2.1. Kerangka Analitik


2.1.1. Perhitungan nominal waktu UUT
Data yang diambil berupa informasi penunjukan waktu yang tertera pada UUT dan kalibrator.
Diagram proses pengambilan datadapat diliahat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Skema pengambilan data dan diagram waktu otomasi kalibrasi stopwatch

170 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Indeks gambar 3:
1= T0s , adalahnominal waktu ke-Nol Standar (Counter Fluke PM 6681) yang
sebenarnya= T0st Penunjukan waktu ke-Nol Standar (Counter Fluke PM 6681) yang
terlihat, sekon
2= D, adalah besarnya perbedaan waktu ke-Nol antara T0udengan T0s
3= T0u, adalah nominal waktu ke-Nol UUT (Stopwatch) yang sebenarnya= T0ut
Penunjukan waktu ke-Nol UUT (Stopwatch) yang terlihat, sekon
4= Tcs , adalah waktu ketika Program dimulai, sekon
5= Tis, adalah nominal waktu ke –i yang sebenarnya dari Standar, sekon
6= Tiu, adalah nominal waktu ke –i yang sebenarnya dari UUT, sekon
7= ∆Tu , adalahnilai perbedaan waktu dari dua titik ukur yang sebenarnya dari UUT,
sekon
8 = α iu , adalahperbedaan waktu antara Tiu denganTiut , sekon
9 = ∆Tut Nilai perbedaan waktu dari dua titik ukur yang terlihat dari UUT, sekon
10 = Tiut, adalahpenunjukan waktu ke –i yang terlihat dari UUT, sekon
11 = T(i+1)u, adalahnominal waktu berikutnya (i+1) yang sebenarnya dari UUT, sekon
12 = T(i+1)ut, adalahpenunjukan waktu berikutnya(i+1) yang terlihat dari UUT, sekon
13 = α ( i +1)u , adalahperbedaan waktu antara T(i+1)u denganT(i+1)ut, sekon

14 = T(i+1)st, adalahpenunjukan waktu berikutnya (i+1) yang terlihat dari Standar, sekon
15 = T(i+1)s, adalahnominal waktu berikutnya (i+1) yang sebenarnya dari Standar, sekon
16 = Tist, adalahpenunjukan waktu ke –i yang terlihat dari Standar, sekon
17 = δ 1i , adalahwaktu yang dibutuhkan untuk mengaktivasi program, sekon

18 = δ 2i , adalahwaktu yang dibutuhkan untuk memfokuskan kamera, sekon

19 = δ 1i +1 , waktu yang dibutuhkan untuk mengaktivasi program pada periode berikutnya,


sekon
20 = δ 2i +1 , waktu yang dibutuhkan untuk memfokuskan kamera pada periode berikutnya,
sekon
21 = ∆Tc, ,adalah Selang waktu yang dihitung oleh osilator pada komputer, sekon
22 = α (i +1) s , adalah Perbedaan waktu antara T(i+1)s denganT(i+1)st, sekon

23 = ∆Ts, adalah nilai perbedaan waktu dari dua titik ukur yang sebenarnya dari Standar,
sekon

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 171


24 = ∆Tst, adalah nilai perbedaan waktu dari dua titik ukur yang terlihat dari Standar,
sekon
Data interval waktu yang terambil sangat terkait dengan periode osilasi dari sinyal yang
diberikan pada masing-masing Osilator, UUT dan kalibrator. Jika kita misalkan periode
osilasi sumber frekuensi osilator pada UUT adalah T dan pada kalibrator adalah T’ maka:
T
δ = ............................................................................................................................1
T'
dimana δ adalah sebuah konstanta yang dapat diartikan sebuah nilai pembanding diantara
kedua sinyal dari sumber frekuensi (UUT dan Standard).Dengan konstanta inidapatdihitung
perbedaan penunjukan hitungan waktu antara UUT dan Standar yang dalam hal ini adalah
kalibrator.
Pada percobaan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan waktu saat mulai perhitungan
sebesar D. Perbedaan ini dikarenakan tombol start/stop UUT dan standar tidak benar-benar
ditekan secara bersamaan. Meskipun pada penekanannya dihadapkan satu sama lain. Hal ini
juga disebabkan perbedaan elastisitas dari masing-masing tombol start/stop.
Pada saat mengambil data ke-i (i = 1, 2, 3, 4,...),dapat diasumsikan terdapat perbedaan
antara nilai yang sebenarnya ingin di ukur dengan nilai yang menjadi titik ukur. Sebagai
contoh, nominal yang menjadi titik ukur adalah 10,000 sekon, sementara kamera terlambat
mengambil gambar sehingga nominal yang terambil sebesar 10,0112 sekon. Keterlambatan
ini diasumsikan berasal dari jeda waktu yang dibutuhkan kamera untuk memfokuskan lensa,
agar gambar yang terambil lebih jelas. Keterlambatan ini juga berasal dari jeda waktu yang
dibutuhkan untuk memproses command dalam mengaktivasi kamera smartphone.
Dikarenakan kedua hal tersebut, aktivasi program diatur agar tidak benar benar tepat pada
titik ukur, melainkan disekitar titik ukur dan tidak begitu jauh. Teknik ini berhasil
memperkecil selisih waktu antara waktu pemotretan dengan waktu yang merupakan titik ukur.
Meskipun demikian, teknik yang disebutkan di atas, tidak benar-benar bisa
menghilangkan keterlambatan yang telah disebutkan. Pada UUT, selisih waktu tersebut
digambarkan dengan αiudan pada standar digambarkan dengan αit. Nilainya bisa berbeda atau
pun sama pada masing-masing titik ukur. Dalam sebuah kerangka analitik, penjelasan di atas
dapat digambarkan oleh dua persamaan berikut

Tiut = Tiu + α iu + D.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ....2

172 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Untuk menyetarakan keduanya, dibutuhkan konstanta δ sebagai mana digambarkan pada
persamaan 1, sehingga kedua persamaan tersebut menjadi
Tist = Tis + α is ........................................................................................................................3

Tist = (Tiu + α iu )δ .
= Tis + α iuδ ......................................................................................................................4
Kerangka analitik yang kali ini dibangun, pada akhirnya digunakan untuk mencari nilai
aktual dari UUT dibandingkan dengan nilai yang terdapat pada standar (Tiu). Namun hal ini
akan terkendala ketika terdapat nilai D yang merupakan besarnya perbedaan waktu ke-nol
antara T0udengan T0s. Nilai D ini merupakan representasi dari human reaction time bias yang
semestinya harus dihilangkan. Untuk itu, dibuatlah suatu modifikasi matematik yang
mengeliminasi D. Modifikasi ini diantaranya adalah membuat suatu kesetaraan matematis
antara besarnya interval waktu dengan besarnya nilai pada titik ukur yang
dikalibrasiatau ∆Tu = Tiu dimana ∆ Tu adalah besarnya Interval waktu antara dua titik

Tiurelatif terhadap Tis.


Dari asumsi yang telah disebutkan di atas, maka untuk mendapatkan besarnya nilai Tiu
pada titik 10 sekon, dibutuhkan dua titik Tiu, yaitu 10 dan 20 sehingga interval diantara
keduanya adalah 10 sekon. Hal ini tidaklah melanggar ketentuan proses kalibrasi, karena nilai
10 sekon bisa didapat dari pengukuran interval 0 sampai 10 sekon, atau 10 sampai 20 sekon.
Teknik ini disebutjuga sebagai zeroing adjustment dimana operator menentukan sendiri
posisi 0 sekon sehingga mempermudah pengukuran.
Hal yang perlu diingat lainnya adalah, nilai Interval 10 sekon tersebut haruslah
dibandingkan dengan 10 sekon yang dikeluarkan oleh standar/kalibrator. Dengan demikian
dapat diketahui koreksi dan ketidakpastian nominal 10 sekon yang ditampilkan UUT.
Trik matematik di atas, juga harus dipadukan dengan pengambilan data secara kontinyu
secara otomatis. Jika pengambilan dilakukan secara manual (menekan tombol start-stop
berkali kali) maka akan menimbulkan terdapatnya nilai D yang berbeda-beda pada masing-
masing titik sehingga sulit dieliminasi. Dikarenakan hal tersebutlah sistem otomasi ini harus
dipadukan dengan trik matematik zeroing adjustment.
Bersumber dari penjelasan di atas, maka dirumuskanlah 2 persamaan matematis lainnya
untuk dapat menentukan nilai ∆Tu sebagai berikut
∆Tut = T(i +1)u − Tiu + α (i +1)u − α iu
= ∆ T u + ∆ α iju .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ......... 5

∆Tst = T(i +1) s − Tis + α (i +1) s − α is


= ∆Ts + ∆αijs...........................................................................................................................6
ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 173
Pada gambar 3.dapat dilihat bahwa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengaktivasi
program δ 1i dan lama waktu yang dibutuhkan untuk memfokuskan kamera δ 2i dapat diwakili

oleh α is dan α iu .Dengan menyelesaikan persamaan di atas menggunakan persamaan 4, 5, 6


dan 7 maka di dapat-kan

∆Tut ∆Ts
∆Tu = ..................................................................................................................7
∆Tst

2.1.2 Analisa Ketidakpastian


Tanpa Human Reaction Time Bias dan Human Time reaction Time Setandard
Deviation, Nilai ketidakpastian total (ketidakpastian terentang U) dari kalibrasi
stopwatchadalah
2
u c = u NAFS 2
+ u Cx 2
+ u RCnt 2
+ u Ruut + u D2 . A + u repeat
2
................................................................8

dimana:
UtotKetidakpastian total hasil kalibrasi, sekon
UNAFSKetidakpastian NaFS (National Frequency Standard)besarnya sekon
Ux Ketidakpastian yang bersumber dari Kabel Coaxialbesarnya, sekon
URCnt Ketidakpastian resolusi counter, sekon
URuutKetidakpastian resolusi UUT, sekon
UD.AKetidakpastian yang berasal dari Distribution Amplifier, sekon
UrepeatKetidakpastian dari pengulangan (repeatability), sekon
∆Tu dengan menggunakan persamaan 8, maka diformulasikanlah persamaan matematis
ketidakpastian dari tipe A (keterulangan , ure) sebagaimana persamaan 9.
∂∆Tu ∂∆Tu ∂∆Tu
ure = u∆Tu = ⋅ u∆Tut + ⋅ u∆Ts + ⋅ u∆Tst ………………………..……….....….....9
∂∆Tut ∂∆Ts ∂∆Tst

Dengan besaranya adalah :

2 2 2
 ∂∆Tu   ∂∆Tu   ∂∆Tu  ………......…..…..…....10
u∆Tu =  ⋅ u∆Tut  +  ⋅ u∆Ts  +  ⋅ u∆Tst 
 ∂∆Tut   ∂∆Ts   ∂∆Tst 
ketidakpastian yang berasal dari standar dianggap nol, baik yang berasal dari actual
value, maupun nilai yang terlihat pada indikator standar. Hal ini juga berarti, baik ∆Tist
maupun ∆Ts tidak memiliki keragu-raguan dalam penunjukan. Hal tersebut membuat
evaluasi ketidakpastian standard deviation of mean (SDOM)sebagai persamaan 11.

174 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


∆Ts ⋅ σ ∆Tut
u re = u ∆Tu = ………………………………………………....…......11
SDOM
∆Tst n

3. METODOLOGI
Sistem otomasi kalibrasi stopwatch yang dibangun menggunakan data gambar. Data-data
gambar ini menampilkan angka yang tertera pada stopwatch dan pada counter pada waktu
tertentu. Angka-angka ini merupakan Indikator selang waktu yang dicari nilai ketidak
pastiannya relatif terhadap standar.

3.1. Instalasi dan Persiapan Pengoperasian


Sebuah prototype sistem dirancang untuk menjalankan sistem otomasi kalibrasi
stopwatch timer sebagaimana pada gambar 4. Untuk kepentingan pengembangan penelitian,
prototipe ini berikutnya diberi nama Prototipe 1. Sistem pada prototype 1 menggunakan jam
atom cesium HP 5071A sebagai sumber frekuensi standar utama yang akan mengatur osilasi
kristal kuarsa pada counter (Fluke PM6681). Frekuensi yang dihasilkan dari jam atom
cesium memiliki akurasi yang angat tinggi dan menjadi acuan standard nasional di banyak
negara[5]. Pada prototipe dapat dilihat bahwa kamera yang dipergunakan merupakan kamera
yang terintegrasi dengan smartphone dan dikontrol melalui PC (Personal Computer).
Setelah pengaturan peralatan dilakukan dan kedua aplikasi tersebut dalam posisi stand by,
dilakukan pengisian data pada kolom isian aplikasi ACC yang kosong sebagaimana terlihat
pada Gambar 2. Sebelumnya pastikan terlebih dahulu, bahwa aplikasi vysor telah
menampilkan kamera smartphone pada layar PC. Kolom koordinat x dan y diisi dengan data
posisi tombol capture pada display camera smartphone menggunakan tombol deteksi posisi
ototmatis pada Aplikasi ACC. Pada percobaan, koordinat-x dan y berada pada posisi 225 bit
dan 1202 bit. Jeda antar klik diisi dengan 10.000 (dalam milisekon) sehingga data gambar
akan diambil tiap 10 detik sekali. Data Pengulangan pada percobaan kali ini di isi dengan
nominal 7 sehingga data gambar akan diambil pada titik 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 70 detik
secara otomatis. Pada isian kolom durasi tunda, cukup dikosongkan, sehingga tidak terdapat
keterlambatan dalam pengaktivasian program. Data yang diisikan ini berikutnya akan
menjadi data variabel dalam sistem pemotretan secara otomatis.
Setelah data diisikan, tombol “tambahkan” ditekan guna mengaplikasikan data-data
variable di atas pada pengambilan data. Jika ada data yang kurang sesuai, maka tekan
tombol ” Batalkan” dan atur ulang semua kolom isian. Kolom isian juga bisa di atur secara

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 175


manual menggunakan tombol “Atur manual”. Setelah itu, maka database dalam MS Excel
akan ditampilkan dan ACC akan disembunyikan. Setelah selesai melakukan pengisian
manual, tekan tombol “selesai” sehingga ACC kembali muncul dan database akan
disembunyikan. Secara singkat semua data pengaturan dapat langsung dilihat pada database
control.

Jam Atom Cesium HP 5071A

Sumber Frekuensi
Standar Nasional

D.A 1 & 2

Frequency Generator DS345

10 000.000 Hz 10 MHz
Sinyal Keluaran
Frequency generator =
Sinyal masukan
Frequency Counter
Kabel BNC

Kabel BNC Kabel BNC


Stopwatch
(UUT) Frequency Counter Fluke
PM6681 Refrensi Input
10MHz

10 000.000 Hz
Personal
Computer
Smartphone

Penyanggah

Kamera smartphone dihadapkan ke


stopwatch dan counter

Penyanggah Kabel USB

Gambar 4. Prototipe rancang bangun sistem otomasi kalibrasi Stopwatch

176 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Prototipe 1 pada gambar 4, tersusun atas beberapa instrument yang secara singkat
spesifikasinya bisa dijelaskan sebagai berikut.
HP 5071A
Merupakan sumber frekuensi standar nasional dengan akurasi ± 1x10-12. Dengan
sensitifitas perubahan sebesar ± 1x10-13 Hz terhadap perubahan lingkungan. Memiliki
stabilitas yang panjang. Memiliki dua macam frekuensi keluaran yang masing-masing
bernilai 5 MHz dan 10 MHz. Memiliki keluaran berupa 1 PPS (Pulse persecond) dengan
amplitudo > 2,4 V pada beban 50 Ω dan lebar pulsa 20µs ± 10ns. Didalamnya juga terdapat
batrai internal yang mampu bertahan selama 45 menit pada kondisi suhu 25ºC. Dioperasikan
pada kondisi tegangan AC 100, 120 Vac ±10%, 45 hingga 440 Hz. Dan juga 220, 240 Vac
±10%, 45 hingga 66 Hz. Pada kondisi tengangan DC HP 5071A dioperasikan pada kondisi
tegangan: 22 to 42 Vdc[6].
DS345
Merupakan suatu Instrumen pensintesa Frekuensi dengan batas maksimum 30.2 MHz
dengan resolusi 1 µHz pada sinyal sinusoidal dan sinyal kotak. Memiliki sumber Impedansi
keluaran 50 Ω. Memiliki akurasi 3 digit pada sinyal DC dengan akurasi amplitudo 1,5% dari
sinyal ditambah 0,2mV. Pada sinyal AC akurasi terbentang antara 0,8 hingga 80 mV.
Memiliki time base dengan akurasi 0,5ppm dalam kondisi antara 20° - 30° C[7].
Fluke PM 6681
Merupakan counter standar/kalibrator yang memiliki resolusi interval waktu single-shot
hingga 50 ps (rata-rata 1 ps).Resolusi vertikal/amplitudo sebesar 1.25 mV.Mampu membaca
sinyal frekuensi hingga 300 MHz dan 4.2 GHz (opsional).8000pembacaan/s ke internal
memory. 250 pembacaan/s pada GPIB. Memilki karakteristik pengukuran single-period
secara kontinyu hingga 40.000 pembacaan/s[8].
Lenovo R500
Sebuah Laptop dengan 1066MHz DDR3, non-parity, dual-channel 204-pin SO-DIMM
sockets. Direkomendasikan pada penggunaanmemori 1066 MHz SO DIMM. Memiliki RAM
4G dengan sistem 64 bit dan ROM hingga 500 GB[9].
Lenovo Vibe-P1m
Merupakan sebuah Smartphone dengan memori internal 16 GB dengan RAM 2 GB.
Memiliki Slot untuk kartu memori eksternal dengan rekomendasi batas maksimum
kapasitasnya yaitu 32 GB. Memiliki dua kamera, depan dan belakang, yang masing-masing

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 177


memilki kapasitas pembacaan 8MP dan 5MP dengan kemampuan dapat fokus secara
otomatis. Memiliki pembacaan video hingga 30 frame per sekon[10].

3.2. Metode Pengambilan Data


Tekan tombol start/stop pada stopwatch dan kalibrator (counter Fluke PM6881)secara
bersamaan agar perbedaan waktu dalam memulai perhitungan Interval waktu antara
stopwatch dan kalibrator sangat kecil. Tunggu hingga indikator waktu pada counter dan
stopwatch berada dekat dengan titik ukur. Setelah berada pada posisi tersebut, tekan tombol
Jalankan sistem pada aplikasi Auto Capture Controller.
Setelah sistem dijalankan, biarakan program berjalan secara otomatis hingga muncul
tulisan “pengukuran telah selesai” pada layar PC. Setelah itu, ulangi langkah-langkah
tersebut hingga 10 kali dan didapatkan 70 data. Padapercobaan yang telah dibuat,
pengulangan dilakukan lebih dari 10 kali untuk mengatisipasi hasil pemotretan/data gambar
yang kurang bagus/tidak dapat dibaca.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran dilakukan 10 kali pertitik ukur dari rentang 10 hingga 70 detik dan
interval 10 sekon. Data-data gambar tersebut tidak semua ditampilkan pada tulisan kali ini,
namun contoh dari gambar yang didapatdapat dilihat pada gambar 5

Gambar 5. Hasil pengambilan data gambar dengan sistem otomasi

Data yang didapatmenunjukan bahwa data diambil dengan tidak cukup presisi, selalu
berlebih antara 100 milisekon hingga 1,9 sekon. Kelemahan ini juga membuktikan

178 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


keterlambatan diakibatkan dari penggunaan osilator komputer/PC dalam perhitungan waktu
yang nantinya menjadi dasar dari kapan program akan mengambil gambar[11]. Selain itu,
terdapatnya selang waktu untuk memfokuskan kamera menambah besar keterlambatan ini.
Sinkronisasi Indikator waktu pun dibutuhkan, untuk membuat nominal 1 detik pada
komputer sama dengan nominal satu detik standar satuan fisis standar nasional[12]. Namun
Hal ini belum menyelesaikan masalah, mengingat prasyarat sinkronisasi adalah ketersediaan
jaringan Internet yang kuat dan stabil[13].Masalah lainnya adalah data gambar yang
dihasilkan tidak semuanya terbaca bahkan oleh mata operator.Hal ini tentu saja, menuntut
prototipe berikutnya menggunakan kamera berkecepatan tinggi. Pada percobaan, kamera
yang digunakan memiliki spesifikasi 8 MP dengan ISO 1600. Dibutuhkan ISO yang lebih
tinggi dengan kecepatan tangkapan/shutter time lebih dari 10.000 FPS (Frame persekon)
dikarenakan perubahan digit angka pada counter standar memiliki frekuensi 10.000
Hz.Dibutuhkan pula pengaturan dalam menentukan posisi kamera dan tingkat kecerahan
cahaya dalam menjalankan sistem ini untuk mendukung kejelasan gambar yang dihasilkan.
Bagaimana pengaruh kondisi medium (suhu dan kelembaban) perambatan cahaya terhadap
ketidakpastian juga perlu untuk diteliti.
Data gambar yang didapat dari percobaan kemudian dikonversi menjadi data angka dan
didapatkan 140 data angka yang disajikan pada table 1.

Tabel 1. Data angka Kalibrasi Stopwatch menggunakan metoda otomasi

UUT menunjukan nominal yang ditunjukan oleh Unit under test yang dikalibrasikan,
Sedangkan Std menunjukan nominal yang tertera pada peralatan standar (Fluke PM6681).
Data ke-n menunjukan urutan pengambilan data secara berurutan yang didalamnya terdapat

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 179


nominal jam (H), menit (M) dan detik (S).Data-data pada tabel1 kemudian diolah
menggunakan metode matematika pada poin/bab 2. sehingga menghasilkan sejumlah data
yang disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisa ketidakpastian menggunakan metoda otomasi (3.2 dan 3.1)
Nilai Standar Penunjukan Alat Ketidakpastian
H : M : S(sekon) H : M : S(sekon) S(sekon)
0 : 00 : 10,000 0 0 : 00 : 10,074 0,035
0 : 00 : 20,000 0 0 : 00 : 20,113 0,036
0 : 00 : 30,000 0 0 : 00 : 29,999 0,039
0 : 00 : 40,000 0 0 : 00 : 39,972 0,038
0 : 00 : 50,000 0 0 : 00 : 50,030 0,036
0 : 01 : 00,000 0 0 : 01 : 00,012 0,039

Pada tabel diatas, UNAFSdan Ucxmaisng-masing bernilai8,2 x 10-12 x Tis1,55282 x 10-15 x


Tis.Hasil ini kemudian dibandingkan dengan menggunakan hasil dari penggunaan metoda
manual (totalized) yang disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisa ketidakpastian menggunakan metoda manual (Totalized)


Nilai Standar Penunjukan Alat Ketidakpastian
H : M : S(sekon) H : M : S(sekon) S(sekon)
0 : 00 : 10.000 0 0 : 00 : 10.005 0.042
0 : 00 : 20.000 0 0 : 00 : 20.010 0.041
0 : 00 : 30.000 0 0 : 00 : 30.003 0.043
0 : 00 : 40.000 0 0 : 00 : 39.987 0.040
0 : 00 : 50.000 0 0 : 00 : 49.993 0.043
0 : 01 : 00.000 0 0 : 00 : 59.997 0.041

Dari kedua tabel tersebut, didapatkan suatu tabel perbandingan dari hasil analisa tabel 2 dan 3
yang disajikan pada grafik gambar 6.Pada tabel 2 dapat pula kita perhatikan bahwa koreksi
rata-rata terhadap nilai standar menggunakan metoda otomasi bernilai -0,033. Nilai ini lebih
besar jika dibandingkan dengan koreksi rata-rata menggunakan metoda totalizedsebesar
0,0008 pada tabel 3. Hipotesa sementara mengapa hal ini terjadi adalah dikarenakan adanya
HRTB dan HRTSD pada metoda totalized. Pada beberapa sumber tertulis, HRTB dan
HRTSD menyumbangkan suatu delay sebesar 0,027 sekon dan 0,01 sekon[1][2][13]. Nilai
yang cukup besar yang mampu memotong disipasi koreksi terhadap standar menjadi lebih
kecil. Meskipun demikian, perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai HRTB dan HRTD
untuk operator dan laboratorium tertentu secara spesifik.
Pada Metoda totalizedtombol start-stop UUT dan standar/kalibrator dihadapkan. Kedua
tombol tersebut memilki sensitifitas yang berbeda sehingga memiliki perbedaan ketika

180 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


mengirimkan sinyal untuk menghentikan/memulai perhitungan waktu (counting).Sinyaini
berikutnya didefinisikan sebagai sinyal S. Pada percobaan, dapat diasumsikan bahwa UUT
lebih dahulu mengirimkan sinyal S kepada osilatornya. Kemudiansetelah selang waktu
tertentu, barulah sinyal S pada standar aktif dan dikirmkan pad osilatornya.Hal ini dapat
terlihat dari rata-rata koreksi metode otomasi bernilai negatif sedangkan metoda totilized
positif. Nilai koreksi dihasilkan dari penunjukan standar dikurangi UUT[2]. Jikanilainya
bersifat positif, hal ini menandakan bahwa nominal penunjukan standar lebih besar
dibandingkan dengan penunjukan UUT.Standar/kalibrator mendapatkan selang waktu
tambahan diakibatkan tombol start-stop yang kurang sensitif jika dibandingkan dengan
tombol start-stop pada UUT. Selang waktu ini kemudian membuat penunjukan interval waktu
pada UUT tidak jauh berbeda dengan standarsehingga menghasilkan koreksi rata-rata yang
kecil. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya.
Hal yang berbeda terjadi ketika operator, sangat cepat dalam menekan tombol. Meskipun
terdapat perbedaan sensitifitas, jika tombol ditekan dengan sangat cepat, selang waktu yang
menandakan perbedaan waktu memulai/berhenti menghitung waktu pada UUT dan standar
menjadi sangat kecil. Kecepatan penekanan tombol inilah yang digambarkan oleh nilai
HRTB dan HRTSD.HRTB dan HRTSD tidak terdapat pada metoda Otomasi. Hal ini
menyebabkan nilai koreksi yang dihasilkan lebih representatif (mendekati keadaan
sebenarnya) dari pada menggunakan metoda totalized. Diluar dari pada itu semua, besar
kecilnya koreksi juga sangat tergantung dari akursi osilator pada UUT.
Dari tabel 2 dan 3 dibuatlah suatu grafik sebagaimana ditunjukan pada gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan nilai ketidakpastian menggunakan metoda Otomasi dan Totalized

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 181


Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai ketidakpastian yang dihasilkan oleh metoda otomasi
semuanya lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan metoda Totalized.Grafik tersebut
juga memperlihatkan bagaimana nilai ketidakpastian berosilasi terhadap nilai standar.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


Data gambar yang terlihat (sebagaimana yang terlihat pada gambar 5) belum semuanya
dapat terbaca dengan baik dikarenakan keterbatasan kemampuan kamera smartphone dalam
menangkap gambar.Ketidakpastian yang dihasilkan oleh metoda otomasi menggunakan
aplikasi autocapture controller bernilai lebih kecil (sekitar 89% dari ketidakpastian
menggunkan metoda manual/totalized) dan menghilangkan faktor ketidakpastian yang
bersumber dari HRTB dan HRTSD. Koreksi rata-rata yang dihasilkan dari metoda otomasi
bernilai -0.033 sekon. Nilai ini lebih mencerminkan kondisi yang sebenarnyadan juga
menandakan nilai penunjukan UUT lebih besar dibandingkan dengan nilai penunjukan
counter standar. Metode otomasi lebih efisien karena dijalankan secara otomatis dan
menghilangkan faktor ketidakpastian yang bersumber dari HRTB dan HRTSD.Meskipun
demikian, sistem otomasi ini meningkatkan ketidakpastian dari keterulangan.
Dibutuhkan sebuah kamera yang memiliki kecepatan tangkapan lebih dari 10.000 FPS
danpengaturan cahaya sehingga memperkecil peluang tidak terbacanya gambar yang
dihasilkan. Pengaruh kondisi medium perambatan cahaya terhadap ketidakpastian juga
nantinya perlu diteliti.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut membantu penelitian
ini t Selain itu kami ucapkan pulaterima kasih kami kepada Pusat penelitian Metrologi LIPI
yang telah menyediakan fasilitas berupa peralatan-peralatan standard sebagai bahan untuk
melangsungkanpenelitian.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] R. M. Graham and R. M. Graham, “Stopwatch Calibrations , Part II : The
TotalizedMethod,” vol. 5775, no. January, pp. 1–3, 2017.
[2] T. Calibrations, “Stopwatch and Timer Calibrations (2009 edition),” 2009.
[3] C. M. Tsui, Y. K. Yan, and H. M. Chan, “Calibration of Stopwatches by Utilizing
High Speed Video Recordings and a Synchronous Counter.”

182 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[4] A. Note, “APPLICATION NOTE IX Mobile App-On-PC via USB Mirror Display,”
pp. 3–6.
[5] P. Overview, “Agilent 5071A Primary Frequency Standard Unsurpassed Stability in
the Lab or Field ProdUt Overview Solid performance that ’ s easy to use.”
[6] Agilent 5071A Primary Frequency Standard Operating and Programming Manual. .
[7] S. F. Generator, “Synthesized Function Generator MODEL DS345,” vol. 3, no. 408,
2016.
[8] W. Drive, “PM 6680B / PM 6681 / PM 6681R,” vol. 44, no. 0, pp. 0–6.
[9] S. O. Dimm, “Detailed specifications - ThinkPad R500,” vol. 8400.
[10] Q. S. Guide, “Lenovo VIBE P1m.”
[11] “Quartz Crystal Theory Modes of vibration , cuts and,” pp. 97–102.
[12] N. W. Group and D. L. Mills, “Internet Time Synchronization : the Network Time
Protocol,” no. October, 1989.
[13] J. Horský and J. Horská, “STOPWATCH AND TIMER CALIBRATIONS to Human
Reaction Time,” vol. 3, no. 110, pp. 1–4, 2013.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Suherlan
Pertanyaan : Ketidakpastian kurang 7.2%, dari komponen apa?
Jawaban :
Metode ini menghilangkan ketidakpastian yang berasal dari human error, tapi ada tambahan
ketidakpastian dari respon sistem komputer

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 183


PERBANDINGAN HASIL PENGUJIAN SOUND TRANSMISSION LOSS
ANTARA MENGGUNAKAN SUMBER SUARA WHITE NOISE DAN
PINK NOISE
Maharani Ratna Palupi, Bondan Dwisetyo, Chery Chaen Putri, Ninuk Ragil Prasasti
Pusat Penelitan Metrologi – LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
maharani.rp@gmail.com

INTISARI
Telah dilakukan pengukuran untuk membandingkan hasil pengujian sound transmission loss
menggunakan sumber suara white noise dan pink noise. Pengukuran dilakukan pada dua sampel, dan
dilakukan di ruang pengujian sound transmission loss. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat
tekanan suara yang diterima mikrofon di ruang penerima memiliki kontur yang sama baik itu
menggunakan sumber pink noise maupun white noise. Perbedaan selisih tingkat tekanan bunyi yang
diterima kedua mikrofon dan perbedaan nilai numerik sound transmission loss pada tiap frekuensi
maksimum 1,4 dB untuk sampel A dan 2,4 dB untuk sampel B. Rating STC yang didapatkan dengan
menggunakan kedua warna noise menunjukkan kesamaan yaitu 46 dB untuk sampel A, dan 44 untuk
sampel B. Sehingga pengujian sound transmission loss dapat menggunakan baik white noise maupun
pink noise.

Kata Kunci : Sound transmission loss, white noise, pink noise

ABSTRACT
Measurements have been conducted to compare the test results of sound transmission loss by using
white noise and pink noise sources. Measurements were performed on two samples, and were
performed in the sound transmission loss test chamber. The measurement results show that the sound
pressure level received by the microphone in the receiver room has the same contours using either the
pink noise source or the white noise. The difference in sound pressure level received by both
microphones and the difference of sound transmission loss numerical value at each frequency
maximum 1.4 dB for sample A and 2.4 dB for sample B. The STC rating that obtained by using both
noise colors shows the similarity of 46 dB for sample A, and 44 for sample B. So that sound
transmission loss testing can use either white noise or pink noise.

Keywords : Sound transmission loss, white noise, pink noise

1. PENDAHULUAN
Sound Transmission loss suatu partisi dinyatakan dalam decibel merupakan ukuran
insulasi suara partisi tersebut, yang sama dengan jumlah decibel berkurangnya energi bunyi
datang pada partisi bila melewati struktur. Nilai numerik sound transmission loss hanya
bergantung pada konstruksi partisi dan berubah dengan frekuensi suara, dan tidak tergantung
pada sifat akustik kedua ruang yang dipisahkan oleh partisi itu. Sound transmission loss
partisi dapat ditentukan baik melalui tes laboratorium maupun melalui pengujian lapangan.

184 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Prosedur pengujian sound transmission loss melibatkan dua buah ruangan yaitu ruang
sumber dan ruang penerima. Bahan uji sebagai partisi diletakkan di antara ruang sumber dan
penerima. Kemudian di ruang sumber dibangkitkan noise dari loudspeaker yang kemudian
diterima oleh mikrofon yang diletakkan di masing-masing ruang. Adanya perbedaan tingkat
tekanan suara yang diterima oleh kedua mikrofon menjadi salah satu hal yang mempengaruhi
karakteristik akustik benda uji tersebut.[1]

Gambar 1. Transmission loss partisi adalah sama dengan jumlah decibel berkurangnya energi
suara dating pada partisi ketika melewati struktur[1]

Noise diketahui ada bermacam warna, di antaranya yang paling banyak digunakan
dalam akustik adalah white noise dan pink noise. Karena karakteristik kedua noise yang
berbeda, maka biasanya white noise digunakan untuk menguji peralatan elektronik yang
mengeluarkan suara, dan biasanya pink noise digunakan untuk menguji kemampuan akustik
dari suatu bahan[2]. ISO 140-3: Acoustics – Measurement of sound insulation in buildings and
of building elements, Part 3: Laboratory measurements of airborne sound insulation of
building elements merekomendasikan sinyal yang memadai untuk diterima di ruang penerima
di frekuensi tinggi[3]. Oleh sebab itu dirasa perlu melakukan kajian perbandingan untuk
pengujian sound transmission loss menggunakan dua warna noise ini.

2. DASAR TEORI
2.1 White Noise dan Pink Noise[4,5]
White noise didefinisikan sebagai kebisingan yang memiliki daya yang sama pada
semua frekuensi.

Gambar 2. Ilustrasi (a) white noise, (b) spektrum daya[4]

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 185


White noise murni adalah konsep teoritis, karena harus memiliki daya tak terbatas
untuk menutupi rentang frekuensi yang tak terbatas. Selanjutnya, sinyal waktu diskrit dengan
kebutuhan harus dibatasi pada pita, dengan frekuensi tertinggi kurang dari setengah tingkat
sampling. Konsep yang lebih praktis adalah white noise pita-berbatas, yang didefinisikan
sebagai noise dengan spektrum datar dalam bandwidth terbatas.
Meskipun konsep white noise memberikan perkiraan yang cukup realistis dan
matematis dan berguna untuk beberapa proses bising utama yang dihadapi dalam sistem
telekomunikasi, banyak proses kebisingan lainnya yang non-putih. Istilah warna noise
mengacu pada suara pita lebar dengan spektrum non-putih. Sebagai contoh, pada kebanyakan
kebisingan audio, seperti suara bising dari mobil yang bergerak, suara dari kipas komputer,
kebisingan bor listrik dan orang-orang yang berbicara di latar belakang, memiliki spektrum
frekuensi rendah yang sebagian besar non-putih. Selain itu, white noise yang melewati
channel akan “diwarnai” oleh bentuk spektrum channel. Salah satu variasi noise berwarna
adalah pink noise, yang didefinisikan memiliki daya yang sama pada setiap pita oktaf.

Gambar 3. (a) sinyal pink noise dan (b) magnitude spektrumnya[4]

2.2 Sound Transmission Loss


Gelombang suara ketika mengenai sebuah bidang maka akan mengalami 3 peristiwa
yaitu dipantulkan, diserap, dan diteruskan oleh bidang tersebut. Pengukuran sound
transmission loss adalah suatu metode untuk mendapatkan gambaran kemampuan suatu
bahan dalam meneruskan (mentransmisikan) suara.
Sound transmission loss dapat dievaluasi dengan:[3]
......................................................................... 1

dengan
adalah sound transmission loss (dB);
adalah rerata sound pressure level di ruang sumber (dB);

186 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


adalah rerata sound pressure level di ruang penerima (dB);
adalah luasan sampel (m2);
adalah luas ekuivalen serapan suara di ruang penerima (m2).

Luas ekuivalen serapan suara di ruang penerima dievaluasi dari waktu dengung yang
diukur berdasarkan ISO 354 dan menggunakan persamaan Sabine:[6]
............................................................................................... 2

dengan
adalah volume ruang penerima (m3);
adalah waktu dengung di ruang penerima (detik).

Sehingga persamaan (1) menjadi:

................................................................... 3

3. METODE DAN HASIL PENGUKURAN

Peralatan yang dibutuhkan dalam pengujian sound transmission loss adalah dua buah
mikrofon yang masing-masing diletakkan di ruang sumber dan ruang penerima, rangkaian
speaker omnidirectional, power amplifier dan pembangkit suara sebagai sumber suara, dan
frequency analyzer yang berfungsi sebagai perekam data tingkat tekanan suara kedua
mikrofon. Dengan merujuk pada ISO 140, setup peralatan untuk pengujian sound
transmission loss dapat dilihat pada Gambar 4.
Mekanisme pengukuran sound transmission loss sebagai berikut: prosedur pengujian
sound transmission loss melibatkan dua buah ruangan yaitu ruang sumber dan ruang
penerima. Bahan uji diletakkan di antara ruang sumber dan penerima. Kemudian di ruang
sumber dibangkitkan noise dari loudspeaker yang kemudian diterima oleh mikrofon yang
diletakkan di masing-masing ruang. Sinyal yang diterima kedua mikrofon direkam oleh
frekuensi analyzer untuk diolah menggunakan pengolah data.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 187


Gambar 4. Setup pengukuran dan peralatan yang digunakan

Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung pada dua sampel, yaitu Sampel
A dan Sampel B dengan menggunakan warna noise, yaitu pink noise dan white noise secara
bergantian. Mengingat permintaan pengujian sound transmission loss yang ditujukan ke P2
Metrologi LIPI tidaklah terlalu banyak, maka jumlah sampel yang digunakan dalam tulisan
ini menyesuaikan dengan kondisi jumlah permintaan pengujian yang diterima oleh P2
Metrologi LIPI selama bulan Maret 2017. Identitas Sampel A dan Sampel B ditunjukkan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Identitas Sampel Uji


Sampel A Sampel B

Nama Sampel Hollo Core Panel Interior Hollo Core Panel Interior
Campuran pasir, semen dan Campuran pasir, semen dan
Bahan
sekam sekam
Tebal 100 mm 75 mm
Panjang x lebar 1200 mm x 600 mm 1200 mm x 600 mm
Diameter lubang 60 mm 40 mm
Jumlah lubang 4 5

Partisi lembar tunggal dengan Partisi lembar tunggal dengan


Konfigurasi acian di kedua sisi setebal acian di kedua sisi setebal
masing-masing 2 mm. masing-masing 2 mm.

Pengukuran dilakukan merujuk pada ISO 140. Sound transmission loss dihitung
menggunakan persamaan (3). Hasil pengukuran sampel A menggunakan pink noise dan white
noise diperlihatkan pada tabel 2 dan hasil pengukuran sampel B menggunakan pink noise dan
white noise diperlihatkan pada tabel 3.

188 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Hasil pengukuran Sampel A
Pink Noise White Noise Deviasi
f
(Hz) (L1-L2)p- STLp-
L1 L2 L1-L2 STL L1 L2 L1-L2 STL
(L1-L2)w STLw
125 95.6 60.4 35.2 33.0 85.6 51.2 34.4 32.2 0.8 0.8
160 92.0 59.2 32.8 31.3 81.0 49.3 31.7 30.2 1.0 1.0
200 93.1 58.1 35.0 33.4 84.7 49.2 35.5 33.8 0.4 0.4
250 95.8 59.9 35.9 34.9 86.3 51.2 35.1 34.0 0.8 0.8
315 92.9 54.9 38.0 37.0 84.6 47.5 37.2 36.1 0.8 0.8
400 93.2 52.7 40.4 39.7 85.5 45.5 40.0 39.2 0.5 0.5
500 91.4 49.2 42.2 41.7 84.6 43.1 41.6 41.1 0.6 0.6
630 89.9 46.0 43.9 43.4 83.8 40.1 43.6 43.1 0.3 0.3
800 89.3 42.3 47.0 46.5 83.6 37.1 46.5 46.1 0.5 0.5
1000 88.6 39.3 49.3 48.7 83.6 34.3 49.3 48.7 0.0 0.0
1250 89.2 37.2 52.0 51.1 84.3 33.1 51.1 50.3 0.8 0.8
1600 90.2 35.4 54.8 53.8 86.0 31.7 54.3 53.3 0.5 0.5
2000 90.6 33.5 57.2 55.8 86.6 29.6 57.0 55.5 0.2 0.2
2500 89.7 32.0 57.7 55.9 86.8 29.0 57.8 56.0 0.1 0.1
3150 90.7 30.6 60.1 57.7 88.4 27.0 61.4 59.0 1.4 1.4
4000 88.2 26.5 61.7 58.7 87.0 24.7 62.3 59.3 0.7 0.7

Tabel 3. Hasil pengukuran Sampel B


Pink Noise White Noise Deviasi
f
(Hz) (L1-L2)p- STLp-
L1 L2 L1-L2 STL L1 L2 L1-L2 STL
(L1-L2)w STLw
125 95.3 61.0 34.3 32.1 84.7 52.7 31.9 29.7 2.4 2.4
160 91.6 58.8 32.8 31.3 81.9 47.8 34.1 32.6 1.3 1.3
200 92.0 56.7 35.3 33.7 84.2 48.7 35.5 33.8 0.1 0.1
250 95.0 61.0 34.0 32.9 86.7 52.6 34.2 33.1 0.2 0.2
315 93.0 56.5 36.6 35.5 84.7 47.8 36.9 35.9 0.4 0.4
400 92.3 54.2 38.0 37.3 85.1 46.6 38.5 37.8 0.5 0.5
500 91.2 52.3 38.8 38.3 84.9 45.3 39.6 39.1 0.8 0.8
630 90.7 48.5 42.2 41.7 83.8 42.5 41.3 40.8 0.9 0.9
800 90.0 46.7 43.2 42.8 83.9 41.2 42.7 42.2 0.6 0.6
1000 88.6 42.5 46.1 45.5 83.4 37.1 46.3 45.7 0.1 0.1
1250 89.4 39.9 49.4 48.6 84.4 36.0 48.4 47.6 1.0 1.0
1600 90.4 38.6 51.8 50.8 86.1 34.4 51.7 50.6 0.1 0.1
2000 90.4 37.1 53.3 51.9 86.9 33.7 53.2 51.8 0.1 0.1
2500 90.4 34.8 55.6 53.8 87.2 31.9 55.3 53.5 0.3 0.3
3150 91.3 34.1 57.2 54.8 89.0 31.2 57.8 55.4 0.5 0.5
4000 88.3 29.6 58.7 55.7 86.5 27.2 59.3 56.3 0.6 0.6

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 189


4. ANALISIS HASIL PENGUKURAN

Gambar 5. Grafik perbandingan nilai L2 sampel A,


menggunakan pink noise dan white noise

Gambar 6. Grafik perbandingan nilai L2 sampel B,


menggunakan pink noise dan white noise

Dari gambar 5 dan gambar 6, terlihat bahwa kontur tingkat tekanan suara yang
diterima di ruang penerima memiliki bentuk yang sama. Bahwa tingkat tekanan suara yang
diterima dari sumber pink noise lebih tinggi daripada white noise adalah menunjukkan bahwa
sumber suara di ruang sumber adalah jenisnya berbeda.

190 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 7. Selisih tingkat tekanan suara yang diterima mikrofon
pada ruang sumber dan ruang penerima untuk sampel A

Gambar 8. Selisih tingkat tekanan suara yang diterima mikrofon


pada ruang sumber dan ruang penerima untuk sampel B.

Dari gambar 7 dan gambar 8, terlihat bahwa kontur selisih tingkat tekanan suara yang
diterima mikrofon di ruang sumber dan ruang penerima memiliki bentuk yang hampir sama,
bahkan pada beberapa frekuensi adalah berhimpit. Deviasi terbesar adalah 1,4 dB untuk
sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel B. Nilai deviasi di bawah 3 dB biasanya diabaikan,
karena perbedaannya tidak signifikan pada pendengaran manusia. Hal ini menunjukkan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 191


bahwa sampel A dan sampel B merespon kedua warna noise dan mereduksi keduanya dengan
perilaku yang sama.

Gambar 9. Grafik sound transmission loss sampel A

Gambar 10. Grafik sound transmission loss sampel B

Grafik sound transmission loss yang menggambarkan performa akustik bahan pada
gambar 9 dan gambar 10 memperlihatkan bahwa konturnya pun hampir sama, bahkan pada
beberapa frekuensi adalah berhimpit. Deviasi terbesar adalah 1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4
dB untuk sampel B. Nilai deviasi di bawah 3 dB biasanya diabaikan, karena perbedaannya
tidak signifikan pada pendengaran manusia. Dari kedua gambar jika diambil rating STC

192 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


untuk sampel A dan sampel B pasti bernilai sama, yang ditunjukkan pada Tabel 3. Sehingga,
pengujian sound transmission loss dapat menggunakan baik itu pink noise maupun white
noise.
Tabel 3. Rating STC
Pink Noise White Noise
Sampel A 46 46
Sampel B 44 44

5. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil adalah dengan menggunakan sumber noise dengan
warna berbeda pada pengujian sound transmission loss didapatkan:
• Tingkat tekanan suara yang diterima oleh mikrofon di ruang penerima memiliki
kontur yang sama pada baik pengukuran yang menggunakan sumber pink noise
maupun white noise.

• Grafik yang menunjukkan selisih tingkat tekanan suara di ruang sumber dan ruang
penerima memiliki kontur yang hampir sama, baik menggunakan pink noise maupun
white noise. Selisih terbesar adalah 1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel
B, di mana selisih yang kurang dari 3 dB ini akan sulit untuk dibedakan oleh telinga.

• Grafik yang menggambarkan tren sound transmission loss dengan menggunakan pink
noise dan white noise pun memiliki kontur yang hampir sama. Selisih tertinggi adalah
1,4 dB untuk sampel A, dan 2,4 dB untuk sampel B. Sehingga ketika grafik sound
transmission loss dibandingkan dengan grafik acuan untuk menentukan rating sound
transmission class, menghasilkan rating STC yang sama.

• Sehingga, untuk pengujian sound transmission loss dapat menggunakan sumber noise
baik pink noise maupun white noise.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Dodi Rusjadi T.E., Bapak Husein A.
Akil dan Bapak Rukmana atas saran dan masukannya. Terima kasih pula disampaikan
kepada P2 Metrologi LIPI sebagai tempat dilakukan pengukuran.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 193


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Doelle, Leslie L. 1986. Akustik Lingkungan. Erlangga. Jakarta.
[2] Robjohns, Hugh. 2004. What do the different 'colours' of noise do?.
http://www.soundonsound.com/sound-advice/q-what-do-different-colours-noise-do
[3] International Organization for Standardization. ISO 140. Acoustics -- Measurement of
sound insulation in buildings and of building elements. ISO. Geneva Switzerland.
[4] Vaseghi, Saeed V. 2000. Advanced Digital Signal Processing and Noise Reduction,
Second Edition. John Wiley & Sons Ltd.
[5] Horral, Thomas R. Optimum Masking Sound: White or Pink?. Cambridge Sound
Management. Cambridge.
[6] International Organization for Standardization. ISO 354. Acoustics -- Measurement of
sound absorption in a reverberation room. ISO. Geneva Switzerland.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
Dari grafik terlihat sesuatu yang tidak smooth di awal, karena apa?
Jawaban :
Pada pengukuran STC secara teori dibagi menjadi 3 area, area 1 adalah area yang ditanyakan.
Pada area 1 ini yang berperan dominan adalah karakteristik bahan. Sehingga bentuk grafik
sedemikian disebabkan oleh karakteristik bahan tersebut.

194 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


PENERAPAN KLAUSUL 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008
PADA LABORATORIUM KALIBRASI DAN
LABORATORIUM PENGUJIAN
Muhammad Haekal Habibie, Jimmy Pusaka
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Kawasan Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
muha082@gmail.com

INTISARI
Standar SNI ISO/IEC 17025:2008 telah luas digunakan di Indonesia. Penerapan standar tersebut
khususnya diterapkan pada laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian sebagai persyaratan
umum kompetensinya. Penelitian ini membahas mengenai implementasi dari klausul 4.11 dari SNI
ISO/IEC 17025:2008 di laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian dimana umumnya
diterapkan ketika terdapat ketidaksesuaian pada sistem manajemen mutu. Pentingnya topik ini
diangkat karena tidak menutup kemungkinan ditemukan terjadinya ketidaksesuaian dalam
menerapkan standar SNI ISO/IEC 17025:2008 ini, misalnya adalah terdapat perbedaan antara standar
acuan dengan dokumen atau antara dokumen dengan praktik. Terdapat 5 langkah yang perlu
dilakukan dalam mengimplementasikan klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008. Mulai dari
menemukan akar penyebab permasalahan, membuat rencana dari tindakan, membuat tindakan
koreksi, membuat tindakan perbaikan, dan memeriksa efektifitas dari tindakan yang telah dilakukan.
Bagian yang terpenting dan krusial adalah menemukan akar penyebab suatu ketidaksesuaian sehingga
diperlukan investigasi. Seluruh langkah-langkah untuk menyelesaikan tindakan perbaikan tersebut
lalu dijadikan matriks yang dilengkapi dengan personil pelaksana dan tanggal penyelesaian. Peran
aktif dari manajemen puncak turut diperlukan dalam membuat keputusan yang terkait dengan
pekerjaan penyelesaian tindakan perbaikan dan tindakan koreksi.

Kata kunci: SNI ISO/IEC 17025:2008, Akar Penyebab, Tindakan Perbaikan, Tindakan
Koreksi

ABSTRACT
SNI ISO / IEC 17025:2008 standard has been widely used in Indonesia. The application of this
standard is particularly applicable to calibration laboratories and testing laboratories as a general
requirement of their competence. This research discusses the implementation of clause 4.11 of SNI
ISO / IEC 17025:2008 in the calibration laboratory and testing laboratory where it is generally
applied when there is a discrepancy in the quality management system, for example, there is a
difference between the reference standards and the documents or between the documents and the
practice. The importance of this topic was raised because it did not rule out the discovery of non-
conformity in applying this SNI ISO / IEC 17025:2008 standard. There are 5 steps that need to be
done in implementing clause 4.11 SNI ISO / IEC 17025:2008. Starting from finding the root cause of
the problem, making an action plan, making the corrective actions, making the corrective actions,
and monitoring the effectiveness of the actions that have been done. The most important and crucial
part is finding the root cause of a mismatch so that investigation is required. All steps to complete the
corrective action are then made into matrix with the person in charge and the completion date. The
active role of top management is also needed in making decisions related to corrective actions and
correction works.

Keywords: SNI ISO/IEC 17025:2008, Root Cause, Corrective Action, Correction

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 195


1. PENDAHULUAN
SNI ISO/IEC 17025:2008 merupakan standar yang umumnya diterapkan pada
laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian dalam mendemonstrasikan lingkup
pekerjaannya. Standar ini memiliki sejarah yang cukup panjang yang awalnya ditujukan
untuk keberterimaan hasil uji secara internasional[1]. Dimulai dari ISO Guide 25:1978 yang
merupakan standar sistem manajemen mutu untuk laboratorium kalibrasi dan laboratorium
pengujian yang pertama kali digunakan. Setelah beberapa kali mengalami revisi, versi paling
mutakhir dari standar ini adalah ISO/IEC 17025:2005. Standar internasional tersebut lalu
diadopsi oleh Badan Standardisasi Nasional sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
kemudian dinamakan SNI ISO/IEC 17025:2008[2]. Secara umum, standar ini terdiri atas 5
buah bagian yang dinamakan klausul. Klausul 4 mengenai persyaratan manajemen dan
klausul 5 mengenai persyaratan teknis merupakan substansi utama dari penerapan standar ini.
Persyaratan-persyaratan yang terdapat pada klausul 4 dari standar SNI ISO/IEC 17025:2008
umumnya ditujukan untuk membangun sistem manajemen mutu suatu laboratorium kalibrasi
dan laboratorium pengujian yang berfokus pada pembentukan organisasi beserta dengan
kegiatan penunjangnya. Sedangkan persyaratan-persyaratan yang terdapat pada klausul 5
ditujukan untuk kegiatan operasional teknis dari laboratorium kalibrasi dan laboratorium
pengujian seperti pemantauan kondisi ruangan, rekalibrasi peralatan, validasi metode dan
pelaporan hasil. Standar ini memandu kita untuk dapat menciptakan komponen-komponen
dari sistem manajemen mutu yang antara satu sama lain memiliki keterkaitan sehingga
produk dari suatu laboratorium menjadi bermutu dan terjamin sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan pelanggan.
Penelitian ini membahas mengenai implementasi dari klausul 4.11 SNI ISO/IEC
17025:2008 yang diterapkan pada laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian. Pada
klausul mengenai persyaratan manajemen di SNI ISO/IEC 17025:2008, terdapat klausul 4.11
mengenai tindakan perbaikan. Klausul ini diterapkan ketika telah terjadi ketidaksesuaian
pada sistem manajemen mutu suatu laboratorium. Penulis merasa penting mengangkat topik
ini karena permasalahannya adalah tidak menutup kemungkinan, dalam menerapkan standar
ini, ditemukan terjadinya ketidaksesuaian.
Secara prinsip ketidaksesuaian merupakan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada
sistem manajemen mutu suatu laboratorium yang dapat diakibatkan karena:
1. Terdapat perbedaan antara standar acuan dengan dokumen mutu
2. Terdapat perbedaan antara dokumen mutu dengan praktik
3. Terdapat penyimpangan pada sistem manajemen mutu

196 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Berdasarkan SNI ISO/IEC 17025:2008 klausul 4.11.1 sumber-sumber
ketidaksesuaian dapat diidentifikasi dari berbagai aktifitas antara lain: hasil audit internal dan
eksternal, hasil kaji ulang manajemen, hasil evaluasi umpan balik pelanggan, pengendalian
pekerjaan yang tidak sesuai dan hasil pengamatan personil. Ketidaksesuaian ini dapat
menganggu stabilitas dari sistem manajemen mutu suatu laboratorium sehingga perlu
dilakukan langkah-langkah nyata untuk meniadakannya. Ketidaksesuaian dapat terjadi pada
seluruh unsur dari sistem manajemen mutu seperti pada bagian teknis, bagian administrasi
dan bagian mutu. Laboratorium yang menerapkan standar SNI ISO/IEC 17025:2008 ini perlu
dengan cermat dan konsisten dalam menerapkan klausul 4.11. Setiap ketidaksesuaian yang
terjadi perlu ditindak lanjuti dengan langkah-langkah yang tepat. Tindakan perbaikan yang
merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh laboratorium perlu mempertimbangkan sumber
daya dan kemampuan yang dimiliki sehingga kegiatan laboratorium tidak terganggu.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Standar SNI ISO/IEC 17025:2008 merupakan persyaratan umum kompetensi bagi
laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi[3]. Standar ini merupakan dokumen acuan
yang digunakan oleh Komite Akreditasi Nasional untuk mengakreditasi laboratorium
kalibrasi dan laboratorium pengujian di Indonesia[4]. Oleh karena itu penerapan standar ini
walaupun pada umumnya bersifat voluntary, akan menjadi mandatory apabila dihubungkan
dengan kegiatan saling pengakuan, baik secara nasional maupun internasional. Terkait
dengan kegiatan penelitian ini yang berfokus terhadap penerapan klausul tindakan perbaikan
4.11. SNI ISO/IEC 17025:2008 telah menjabarkan langkah-langkah konkret yang perlu
dilakukan oleh laboratorium apabila terjadi ketidaksesuaian. Langkah-langkah tersebut
terdeskripsi pada klausul 4.11 mengenai tindakan perbaikan.
Pada klausul 4.11.2 dari standar SNI ISO/IEC 17025:2008, poin pentingnya adalah
membicarakan mengenai analisis akar penyebab. Apabila terjadi ketidaksesuaian di sistem
manajemen mutu suatu laboratorium maka perlu dicari apa faktor yang menyebabkannya.
Setiap laboratorium dituntut untuk menemukan penyebab utama dari suatu ketidaksesuaian.
Rangkaian pencarian akar penyebab dapat dilakukan melalui analisis-analisis dari suatu
pendekatan tertentu. Misalkan menggunakan metode flow chart untuk mencari akar penyebab
dan menemukan solusinya[5]. Diharapkan apabila akar penyebab dapat ditemukan berikut
dengan solusi untuk meniadakannya, maka ketidaksesuaian sejenis tidak terjadi kembali pada
masa yang akan datang.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 197


Klausul 4.11.3 dari standar SNI ISO/IEC 17025:2008 mengemukakan tentang
pemilihan dan pelaksanaan tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan perlu dibuat untuk
meniadakan ketidaksesuaian. Jumlah tindakan perbaikan yang dibuat oleh laboratorium tidak
dibatasi pada batasan tertentu. Tindakan perbaikan yang dibuat perlu meninjau aspek-aspek
yang dapat mempercepat hilangnya ketidaksesuaian yang terjadi tanpa mengurangi mutu dari
tindakan perbaikan tersebut. Pada suatu rangkaian pembuatan tindakan perbaikan sebaiknya
dapat dimulai dengan pembuatan rencana tindakan perbaikan. Rencana tindakan perbaikan
ini merupakan penetapan beberapa alternatif tindakan dari laboratorium untuk meniadakan
ketidaksesuaian. Proses perekaman tindakan perbaikan perlu dilakukan sebagai salah bukti
implementasi dari sistem manajemen mutu. Perekaman suatu pelaksanaan tindakan perbaikan
dapat menjadi jejak audit yang dibutuhkan untuk kegiatan berikutnya seperti peningkatan
berkelanjutan, audit (internal dan eksternal), tinjauan manajemen, dan tinjauan dokumen.
Prosedur terkait pemantauan tindakan perbaikan dibahas pada klausul 4.11.4 SNI
ISO/IEC 17025:2008. Laboratorium perlu memantau tindakan perbaikan dari suatu
ketidaksesuaian mulai dari tahap perencanaan, pengerjaan sampai dengan tindakan perbaikan
selesai dibuat. Laboratorium juga perlu memantau efektifitas dari tindakan perbaikan yang
dilakukan sehingga tidak menimbulkan keraguan terhadap mutu laboratorium. Kegiatan
pemantauan dapat dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan maupun suatu unit tertentu
pada suatu laboratorium. Kegiatan pemantauan sebaiknya dilakukan secara periodik dan
terjadwal. Peran aktif dari manajemen puncak juga diperlukan dalam membuat keputusan
yang terkait dengan pekerjaan penyelesaian tindakan perbaikan dan tindakan koreksi.
Bagian terakhir dari klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008 membicarakan prosedur
terkait audit tambahan. Audit tambahan diselenggarakan guna menindaklanjuti dugaan
adanya penyimpangan sehingga menimbulkan keraguan pada kesesuaian sistem manajemen
mutu laboratorium. Selain itu audit tambahan juga dilaksanakan untuk memantau efektifitas
dari tindakan perbaikan yang dibuat oleh laboratorium. Lingkup yang diaudit sesuai dengan
klausul 4.11.5 ini umumnya ditujukan pada bagian yang dirasa krusial dan membutuhkan
penanganan lanjutan. Kegiatan audit tambahan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan dan kepercayaan suatu laboratorium menjelang audit oleh badan akreditasi
eksternal. Kegiatan audit tambahan biasanya tidak terjadwal pada kegiatan sistem manajemen
mutu.

198 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


3. METODOLOGI
Dari prosedur-prosedur yang terdapat pada klausul 4.11 yang telah dibahas pada Bab
2 maka laboratorium perlu menafsirkannya dan memasukkannya ke dalam dokumen mutu
internal untuk kemudian digunakan sebagai panduan, terutama apabila terdapat
ketidaksesuaian. Dalam mengimplementasikan prosedur ini cara yang dapat dilakukan adalah
seperti flow chart pada gambar 1. Pada flow chart, terdapat 5 langkah yang perlu dilakukan
dalam mengimplementasikan klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008 ini.

Mulai

Ketidaksesuaian

Analisis Akar
Penyebab

Rencana Tindakan

3 4

Bukti Tindakan
Perbaikan Tindakan Bukti
Tindakan Tindakan
Koreksi
5

Iya Masih
terjadi ?

Tidak

Kesesuaian

Selesai

Gambar 1. Flow Chart Penyelesaian Tindakan Perbaikan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 199


Langkah pertama yang perlu dilakukan ketika terjadinya ketidaksesuaian adalah
menemukan akar penyebab permasalahan seperti deskripsi dari klausul 4.11.2 serta
melakukan analisisnya mengapa bisa terjadi. Analisis secara komprehensif oleh beberapa
pihak terkait diperlukan pada langkah ini. Langkah kedua setelah menemukan akar penyebab
adalah menentukan tindakan-tindakan yang direncanakan akan dilakukan sebagai solusi
untuk meniadakan ketidaksesuaian. Rencana tindakan-tindakan yang dibuat perlu
mempertimbangkan aspek realisasinya. Langkah ketiga yang perlu dilakukan adalah
membuat tindakan perbaikan dengan disertai bukti dari tindakan tersebut.
Langkah keempat yang dilakukan adalah membuat tindakan koreksi yang disertai
dengan bukti tindakan tersebut. Perbedaan langkah ketiga dan langkah keempat bahwasannya
adalah tindakan perbaikan dibuat menjadi solusi untuk meniadakan akar penyebab terjadinya
ketidaksesuaian, sedangkan tindakan koreksi dibuat menjadi solusi untuk menghilangkan
ketidaksesuaian.
Masih terkait flow chart penyelesaian ketidaksesuaian, langkah kelima yang perlu
dilakukan adalah melakukan pemeriksaan dan pemantauan terhadap elemen sistem
manajemen mutu tempat terjadinya ketidaksesuaian, setelah dilaksanakannya tindakan
perbaikan dan tindakan koreksi tersebut. Apabila masih terdapat penyimpangan setelah
dilaksanakannya suatu perbaikan maka laboratorium perlu mencari dan menganalisis akar
penyebabnya kembali (langkah 1). Hal ini dikarenakan akar penyebab yang sebelumnya telah
ditemukan, dianalisis dan ditemukan solusi/tindakan perbaikannya masih mengakibatkan
terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian. Apabila sudah tidak terdapat penyimpangan
maka tindakan perbaikan dan tindakan koreksi yang dibuat dan diimplementasikan telah
sesuai dan memenuhi persyararatan sehingga dapat dikatakan ketidaksesuaian telah menjadi
kesesuaian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian, langkah-langkah yang telah
dibahas pada bab 3 dapat diterapkan apabila terjadi ketidaksesuaian baik yang bersumber dari
hasil audit, keluhan pelanggan, maupun dari hasil kaji ulang. Bagian yang terpenting dan
krusial adalah menemukan akar penyebab suatu ketidaksesuaian[6]. Akar penyebab harus
diketahui sejak awal setelah ditemukannya ketidaksesuaian. Investigasi terhadap
ketidaksesuaian dapat dilakukan dalam bentuk kalimat tanya “apakah”, “mengapa”, “apa”,
dan “siapa”. Contoh investigasi untuk menemukan akar penyebab seperti tabel 1 berikut.

200 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 1. Investigasi dari Suatu Ketidaksesuaian Untuk Mencari Akar Penyebab
No Ketidaksesuaian Investigasi Akar Penyebab Tindak lanjut
1 Laboratorium Apakah prosedur
tidak memiliki perekaman
rekaman kondisi ruangan
pencatatan telah tersedia?
kondisi ruangan.
Tersedia Personil Personil perlu
laboratorium tidak mengimplementasikan
menjalankan prosedur terkait
prosedur terkait. perekaman kondisi
ruangan.

Belum Tersedia Penanggung jawab Laboratorium perlu


laboratorium tidak membuat prosedur
menerapakan sistem pencatatan kondisi
manajemen mutu. ruangan.

2 Analisis umpan Mengapa proses


balik pelanggan analisis umpan
tidak dilakukan balik pelanggan
oleh Bagian tidak dilakukan?
Pelayanan
pelanggan.

Prosedur terkait Bagian Jaminan Personil Bagian


belum tersedia. Mutu tidak Pelayanan perlu
mendistribusikan meminta salinannya
dokumen sesuai kepada Bagian Jaminan
daftar distribusi. Mutu.

Personil Bagian Bagian Jaminan Sosialisasi perlu

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 201


No Ketidaksesuaian Investigasi Akar Penyebab Tindak lanjut
Pelayanan belum Mutu tidak dilakukan oleh Bagian
mengetahui cara menyosialisasikan Jaminan Mutu.
melakukan prosedur terkait.
analisis

Hasil investigasi dari suatu ketidaksesuaian dapat beragam, sesuai dengan akar
penyebab yang ditemukan. Tindak lanjut dapat berupa pembuatan/perubahan dokumen,
perencanaan pelatihan untuk personil, sosialisasi pembuat dokumen kepada para pemegang
dokumen, serta penataan sistem manajemen mutu secara keseluruhan. Hal yang terpenting
dari proses investigasi ini adalah untuk menemukan akar penyebab yang ketika solusinya
ditemukan maka pada masa yang akan datang, ketidaksesuaian serupa tidak terjadi kembali.
Setelah laboratorium menemukan akar penyebab dan solusinya maka penunjukan person in
charge atau personil pelaksana dan tanggal penyelesaian tindakan perbaikan perlu dilakukan.
Hal ini dilakukan guna kemudahan pemantauan dari tindakan-tindakan yang dilaksanakan
untuk menghilangkan ketidaksesuaian yang terjadi.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengkombinasikan akar penyebab
yang ditemukan, tindakan koreksi, tindakan perbaikan, personil pelaksana dan tanggal
penyelesaian dalam bentuk matriks. Tabel 2 adalah matriks dari komponen-komponen
tersebut.

Tabel 2. Penyelesaian Ketidaksesuaian Sesuai Dengan Klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025
Akar Tindakan Tindakan Personil Tanggal
Ketidaksesuaian
Penyebab Perbaikan Koreksi Pelaksana Selesai
Surat Keputusan Laboratorium Prosedur Surat Lab 16 Juni
pelaksana belum perekrutan, Keputusan Dimensi 2017
kalibrasi baru di melaporkan kaderisasi dan pelaksana dan Bagian
Laboratorium lingkup pengembangan kalibrasi Personalia
Dimensi belum pekerjaan personil telah terkait telah
diterbitkan. pelaksana disempurnakan diterbitkan
kalibrasi baru. dengan oleh Bagian
Tidak terdapat menambahkan Personalia.
prosedur poin terkait

202 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Akar Tindakan Tindakan Personil Tanggal
Ketidaksesuaian
Penyebab Perbaikan Koreksi Pelaksana Selesai
khusus terkait pelaporan
kegiatan lingkup
pelaporan kalibrasi bagi
tersebut. personil baru.
Bagian Terdapat Sosialisasi Evaluasi Bagian 15 Juli
Pengadaan pergantian prosedur pemasok Jaminan 2017
Barang/Jasa tidak penanggung pengadaan telah Mutu dan
melakukan jawab di barang/jasa dilakukan Bagian
evaluasi terhadap Bagian telah dilakukan oleh Bagian Pengadaan
pemasok setahun tersebut. oleh bagian Pengadaan Barang/Jasa
terakhir. Penanggung jaminan mutu. Barang/Jasa
jawab belum sesuai
seutuhnya prosedur.
mengetahui
prosedur
terkait
pengadaan
barang/jasa.

Pada tabel 2, tindakan perbaikan dibuat sebagai solusi untuk menghilangkan akar
penyebab. Sedangkan tindakan koreksi dibuat sebagai solusi untuk menghilangkan
ketidaksesuaian. Apabila personil pelaksana pembuatan tindakan perbaikan dan pelaksana
pembuatan tindakan koreksi berbeda maka perlu ditulis dengan jelas pelaksana dari masing-
masing jenis pekerjaan tersebut. Setiap tindakan yang dijanjikan, perlu mencantumkan
tanggal diselesaikannya tindakan tersebut. Setiap tindakan perlu dilengkapi dengan bukti
pengerjaannya. Bukti tersebut dapat berupa rekaman kejadian dalam bentuk salinan
dokumen, rekam jejak suatu kegiatan, dan bukti lainnya yang dapat menunjukkan suatu
kegiatan telah dilaksanakan.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan dalam menimplementasikan klausul 4.11
SNI ISO/IEC 17025:2008 ini adalah pemantauan efektifitas dari tindakan yang dilakukan.
Suatu tindakan perbaikan dan tindakan koreksi dikatakan efektif apabila dapat menjadi solusi
untuk menjawab ketidaksesuaian disertai dengan akar penyebabnya serta tidak terjadi

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 203


kembali dikemudian hari. Bukti lain dari efektifitas dapat dilihat dari peningkatan kinerja dari
laboratorium seperti penurunan keluhan pelanggan, kenaikan indeks kepuasan pelanggan,
hasil uji profisensi yang in-lier, serta capaian dari sasaran mutu adalah 100% atau
mendekati. Apabila diperlukan, audit tambahan dapat dilakukan guna melihat efektifitas dari
tindakan perbaikan dan tindakan koreksi yang dibuat dan diimplementasikan. Audit
tambahan dilakukan seperti langkah-langkah yang telah dijelaskan pada klausul 4.14
ISO/IEC 17025. Umumnya audit tambahan dilakukan hanya kepada unit kerja/lingkup yang
atas ketidaksesuaian yang terjadi memerlukan konfirmasi lanjutan dari tindakan perbaikan
dan tindakan koreksi yang telah dibuat dan diimplementasikan. Contohnya adalah hasil audit
internal memiliki ketidaksesuaian berkategori 1 (major), terdapat keluhan pelanggan yang
membuat kredibilitas laboratorium menjadi menurun dan bukti tindakan perbaikan/tindakan
koreksi dari ketidaksesuaian berkategori 1 atau kategori 2 masih berupa draft/memo.

5. KESIMPULAN
Penerapan standar SNI ISO/IEC 17025:2008 telah banyak dilakukan pada
laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian, walaupun tidak menutup kemungkinan
diterapkan juga di industri, universitas, rumah sakit, klinik dan pemasok. Pada
implementasinya, tidak menutup kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian ataupun
penyimpangan di sistem manajemen mutu dari laboratorium. Solusi yang dilakukan untuk
menghilangkan ketidaksesuaian tersebut adalah dengan menggunakan klausul 4.11 SNI
ISO/IEC 17025:2008. Dari penelitian ini, langkah pertama yang perlu dilakukan ketika
terjadinya ketidaksesuaian adalah menemukan akar penyebab ketidaksesuaian itu terjadi.
Langkah berikutnya adalah menentukan rencana dari tindakan-tindakan yang akan dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah membuat tindakan koreksi dan tindakan perbaikan. Tindakan
perbaikan yang dibuat menjadi solusi untuk meniadakan akar permasalahan, sedangkan
tindakan koreksi yang dibuat menjadi solusi untuk menghilangkan ketidaksesuaian. Seluruh
komponen penyelesaian tindakan perbaikan perlu dibuat kedalam bentuk matriks dengan
menambahkan personil pelaksana dan tanggal penyelesaian tindakan perbaikan. Proses
monitoring efektifitas dari tindakan yang telah dilaksanakan diperlukan pada tahap akhir dari
implementasi klausul 4.11. Apabila diperlukan perlu dilaksanakan audit tambahan guna
melihat efektifitasnya.

204 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


6. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan di bagian manajemen mutu Pusat
Penelitian Metrologi LIPI yang telah memberikan banyak masukan dalam melakukan
penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Phopi, S. 2016. OECD Position Paper Regarding The Relationship Between The
OECD Principle of GLP and ISO/IEC 17025. Newsletter of the South African
National Accreditation System. Issue 29, December 2016.
[2] Badan Standarisasi Nasional. 2008. Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional
Nomor 106/KEP/BSN/11/2008 Tentang Penetapan 1 (Satu) Standar Nasional
Indonesia.
[3] SNI ISO/IEC 17025:2008. Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian
dan Laboratorium Kalibrasi.
[4] Komite Akreditasi Nasional. 2012. Syarat dan Aturan Akreditasi Laboratorium dan
Lembaga Inspeksi.
[5] Harsono, A. 2008. Metode Analisis Akar Masalah Dan Solusi. Makara. Sosial
Humaniora, Vol. 12, No. 2, Desember 2008. Halaman 72-81.
[6] Tomic, B., Brkic, V.S. 2011. Effective Root Cause Analysis And Corrective Action
Process. Journal Of Engineering Management And Competitiveness (JEMC), Vol. 1.
Halaman 16-20

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
Penelitiannya sangat bagus, dari 5 langkah tersebut, kira-kira langkah mana yang akan
diimplementasikan?
Jawaban :
Semua langkah tersebut diimplementasikan pada sistem manajemen mutu di P2 Metrologi
sesuai dengan klausul 4.11 SNI ISO/IEC 17025:2008

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 205


Nama Penanya : Nurul Alfiyati
Pertanyaan :
Pada formulir audit internal, langkah 4 mengenai tindakan koreksi belum secara jelas
dimplementasikan?
Jawaban:
Pada implementasi saat ini langkah 4 masih melebur dengan langkah 5, oleh karena itu akan
kami sempurnakan pada prosedur terkait

Nama Penanya : Asep Hapiddin


Pertanyan:
Penelitian ini apakah sudah diterapkan atau belum?
Jawaban:
Hasil penelitian ini menciptakan konsep baru yang akan diimplementasikan

Nama Penanya : Sensus Wijonarko


Pertanyaan:
Hasil penelitian ini terlihat tidak signifikan?
Jawaban:
Kategori penelitian secara umum terdiri dari hardscience dan softscience. Penelitian
hardscience lebih terlihat signifikan karena outputnya adalah metode, sistem, prototipe,
paten, dll. Sedangkan penelitian ini tergolong softscience yang outputnya berupa konsep
terkait penerapan SNI ISO/IEC 17025:2008 untuk menunjang sistem manajemen mutu di P2
Metrologi.

206 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


METODE KALIBRASI MESIN STANDAR GAYA TIPE BUILD UP
5 MN MENGGUNAKAN LOAD CELL SEBAGAI TRANSFER STANDAR
MENGACU PADA ISO 376
Hafid, Dinar Nurcahyono
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
hafid191281@gmail.com

INTISARI
Mesin standar gayatipe build up5 MN yang dioperasikan oleh Puslit Metrologi-LIPI merupakan
standar nasional untuk kalibrasi alat ukur gaya dengan rentang pengukuran 100 kN – 5 MN. Idealnya
mesin standar gaya tipe build up dikalibrasi dengan mengkalibrasi masing-masing load cell penyusun
load cellbuild up, akan tetapi karena kesulitan dalam hal bongkar pasang maka kalibrasi mesin
dilakukan dengan menggunakan load cell lain sebagai transfer standar. Kalibrasi dilakukan dengan
menggunakan load cell 2 MN dan 5 MN berdasarkan ISO 376:2011 dengan sumber-sumber
ketidakpastian yang diperhitungkan adalah ketidakpastian load cell, resolusi, kemampuan balik
(hysteresis), drift, suhu, pengulangan dan interpolasi. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa
penyimpangan mesin tidak lebih dari 0,10 % dengan ketidakpastian tidak lebih dari 0,12 %.

Kata kunci : mesin standar gaya, load cell build up, kalibrasi, ISO 376:2011.

ABSTRACT
The 5 MN build up type force standard machine operated by Research Center for Metrology-LIPI is a
national standard for calibrating force measuring instrument with measurement range of 100 kN - 5
MN. Ideally a build up type force standard machine is calibrated by calibrating each load cell that
compose the build up load cell, but due to difficulties in install, machine calibration is done using
another load cell as transfer standard. The calibration was carried out using load cell 2 MN and 5
MN based on ISO 376: 2011 with uncertainty sources calculated are load cell uncertainty, resolution,
hysteresis, drift, temperature, repetition and interpolation. The calibration results indicate that the
machine deviation is not more than 0.10% with uncertainty not more than 0.12 %.

Keywords: force standard machine, build up load cell, calibration,ISO 376:2011.

1. PENDAHULUAN
Kebutuhan kalibrasi peralatan ukur gaya semakin lama semakin meningkat guna
memenuhi kebutuhan industri. Misalnya berkaitan dengan keselamatan dalam dunia
transportasi maupun konstruksi.Jika sebuah pesawat terbang tidak dilakukan pengujian
material untuk rangka pesawat, maka sangat berbahaya untuk keselamatan penerbangan.Jika
sebuah gedung dibangun tanpa adanya pengujian material betonnya, maka sangat berbahaya

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 207


untuk keselamatan dalam penggunaan gedung tersebut.Hal ini menjadikan Puslit Metrologi
LIPI sebagai instansi pemegang standar-standar nasinal perlu berperan aktif untuk
meningkatkan kemampuan pengukuran dan dapat menyedikan layanan kalibrasi untuk
kebutuhan tersebut.
Mesin standar gaya 5 MN yang ada di Puslit Metrologi LIPI merupakan tipe build up
yang memiliki rentang pengukuran gaya 100 kN sampai dengan 5 MN. Mesin ini digunakan
untuk kebutuhan kalibrasi alat ukur gaya dengan kapasitas di atas 1 MN.Massa kalibrasi
mesin ini ditentukan 5 tahun sekali dan dilakukan pengecekan antara 2 tahun sekali.
Standar ukur yang digunakan pada mesin tipe built up ini adalah 3 buah load cell
yang digabungkan (built up system) untuk memperoleh kapasitas yang lebih besar[1].
Idealnya kalibrasi mesin standar gaya tipe build up dilakukan dengan mengkalibrasi masing-
masing load cell penyusun load cell build up, akan tetapi pada mesin standar gaya 5 MN hal
ini cukup sulit untuk dilakukan karena keterbatasan kemampuan untuk melakukan bongkar-
pasangload cell built up tersebut..
Pada makalah ini dijelaskan metode kalibrasi alternatif untuk kalibrasi mesin standar
gaya tipe build up 5 MN yaitu dengan menggunakan load cell sebagai transfer standar.
Kalibrasi dilakukan dengan mengacu pada prosedur ISO 376:2011 dengan menggunakan
load cell 2 MN dan 5 MN. Evaluasi ketidakpastian dilakukan dengan membedakan
penggunaan mesin untuk pembebanan naik dan penggunaan untuk pembebanan naik/turun.

2. TEORI DASAR
Mesin standar gaya memiliki empat tipe yaitu mesin standar gaya deadweight, mesin
standar gaya hidrolik, mesin standar gaya tipe lengan dan mesin standar gaya build up.Mesin
standar gayabuild up menggunakan beberapa load cell yang digabungkan menjadi satu (load
cell build up) sebagai standar/referensi nilai gaya. Umumnya load cell build up terdiri dari
tiga load cell dengan kapasitas yang sama.Load cell yang digunakan awalnya dikalibrasi
secara terpisah pada mesin standar gaya lain, kemudian digabungkan secara paralel. Nilai
gaya yang dihasilkan mesin ini dihitung dengan penjumlahan gaya yang terukur oleh masing-
masing load cell. Mesin tipe build upsecara umum memiliki ketidakpastian sekitar 0,05 %
[2].
Mesin standar gaya 5 MN Puslit Metrologi merupakan mesin standar gaya tipe build
up, dengan rentang ukur 100 kN sampai dengan 5 MN. Mesin ini menggunakan sistem
hidrolik sebagai pembangkit gaya untuk mencapai titik gaya yang ditentukan. Dalam hal ini,

208 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


referensi nilai gaya adalah load cell build up.Mesin tersebut dapat dilihat padaGambar 1
sebagai berikut.

Gambar 1. Mesin standar gaya 5 MN Puslit Metrologi

Pada sistem pembebanan mesin standar gaya 5 MN piston silinder menjadi landasan
load cell build up yangmenumpu rangka pada bagian atas, sehingga rangka menarik load cell
di bagian bawah ke atas (lihat Gambar 2) . Hal ini mengakibatkan load cell build up akan
menerima beban yang sama dengan load cell yang ada di bagian bawah. Sistempembebanan
inilah yang digunakan dalam proses kalibrasi.

Load cell build up sebagai


referensi FSM 5 MN

Piston silinder

Load cell
Rangka

Gambar 2. Skema sistem pembebanan mesin standar gaya 5 MN

Load cell build up pada mesin ini terdiri dari 1 load cell kapasitas 700 kN sebagai
standar untuk kapasitas rendah, dan 3 load cell kapasitas 1,7 MN sebagai standar kapasitas
tinggi.Mesin ini dapat dioperasikan secara manual maupun otomatis menggunakan PC[1].

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 209


3. METODE KALIBRASI MESIN STANDAR GAYA 5 MN
Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan dua buah load cellpada kapasitas 2 MN dan
5 MN yang telah dikalibrasi ke PTB Jerman.Load cell yang digunakan berupa load celltipe
KTN-Ddengan nomor seri 52409dan 52631. Hasil dari kalibrasi ke PTB ini kemudian
digunakan sebagai referensi dalam melakukan kalibrasi mesin standar gaya 5 MN.
Pengambilan data untuk kalibrasi dilakukan mengacu pada prosedur ISO 376 :
2011[3], dalam hal ini load cell digunakan sebagai standard dan mesin sebagai UUT.Sebelum
kalibrasi, pemanasan dilakukan dengan pembebanan maksimum sebanyak 3 kali. Kalibrasi
dilakukan dengan melakukan seri pembebanan naik dan naik-turun pada tiga sudut yang
berbeda yaitu 00, 1200 dan 2400 dengan diputar pada posisi axis. Penjelasan tentang seri
pembebanan ini dapat dilihat padaGambar 3.

Gambar 3. Skema prosedur pembebanan

Indikator yang digunakan adalah VN-Digitizer dengan nomor seri 54099.Suhu


ruangan selama pengambilan data dijaga pada rentang 23 ± 1oC.Diagram ketertelusuran yang
dibangun adalah seperti pada Gambar 4 sebagai berikut.

210 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 4. Diagram ketertelusuran mesin standar gaya 5 MN

3.1 PERHITUNGAN GAYA


Gaya yang dihasilkan oleh mesin standar gaya5 MNsama dengan gaya yang diterima
oleh load cell standar dan dihitung berdasarkan Persamaan 1 berikut ini[4].

(1)

Di mana, = Gaya yang dihasilkan (kN)

X = Defleksi (mV/V)

Persamaan 1 tersebut merupakan persamaan gaya sebagai fungsi dari defleksi pada load cell
2 MN, sedangkan untuk load cell 5 MN menggunakan Persamaan 2 sebagai berikut [5].

(2)

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 211


Dua buah persamaan tersebut berdasarkan hasil kalibrasi yang dilakukan oleh PTB Jerman
dan digunakan untuk mengetahui besarnya gaya yang dihasilkan oleh Mesin standar gaya 5
MN saat kalibrasi.

3.2 PERHITUNGAN KETIDAKPASTIAN


Ketidakpastianmesin hasil kalibrasi dihitung dalam ketidakpastian relatif berdasarkan
Persamaan 3 berikut ini[6].

(3)

di mana, = Ketidakpastian relatif load cell standar,

= Ketidakpastian relatif resolusi,

= Ketidakpastian relatif kemampuan balik,

= Ketidakpastian relatif drift standar,

= Ketidakpastian relatif beda temperature,

= Ketidakpastian pengulangan dengan rotasi,

= Ketidakpastian relatif interpolasi.

Selain sumber-sumber ketidakpastian sesuai Persamaan 3 tersebut masih terdapat


sumber ketidakpastian lainnya berdasarkan ISO 376 (Annex C.2)[3], yaitu ketidakpastian
akibat perbedaan kondisi setelah pembebanan, ketidakpastian akibat perbedaan profil
pembebanan dan ketidakpastian akibat perbedaan indikator. Sumber-sumber ketidakpastian
ini diabaikan dalam proses kalibrasi ini karena indikator yang digunakan sama dan dengan
asumsi kondisi pembebanannya juga sama.
Ketidakpastian mesin standar gaya dibedakan menjadi 2 yaitu untuk penggunaan
pembebanan naik/turun dan penggunaan untuk pembebanan naik saja. Untuk penggunaan
pembebanan naik saja, maka ketidakpastian relatif kemampuan balik (wrev) tidak digunakan
dalam perhitungan ketidakpastian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kalibrasi mesin standar gaya 5 MN dengan menggunakan load cell2 MN


dan 5 MN dapat dilihat padaTabel 1danTabel 2 sebagai berikut.

212 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 1. Hasil kalibrasi mesin standar gaya 5 MN dengan load cell 2 MN
Gaya Deviasi
Nominal Gaya Aktual relative Ketidakpastian relatif dalam %
terhadap
Fn Fa
nominal RelatifUncertainty in %
Nominal Force Actual Force % beban naik beban naik/turun
kN kN increasing force in/decreasing force
200 199,819 -0.091 0,022 0,080
400 399,658 -0.086 0,017 0,040
600 599,478 -0.087 0,015 0,028
800 799,259 -0.093 0,013 0,026
1000 999,058 -0.094 0,013 0,022
1200 1198,870 -0.094 0,012 0,020
1400 1398,689 -0.094 0,012 0,022
1600 1598,490 -0.094 0,012 0,030
1800 1798,297 -0.095 0,012 0,042
2000 1998,112 -0.095 0,012 0,016

Tabel 2. Hasil kalibrasi mesin standar gaya 5 MNdengan load cell 5 MN


Gaya Deviasi
Nominal Gaya Aktual relative Ketidakpastian relatif dalam %
terhadap
Fn Fa
nominal RelatifUncertainty in %
Nominal Force Actual Force % beban naik beban naik/turun
kN kN increasing force in/decreasing force
500 499,900 -0.020 0,099 0,12
1000 999,319 -0.068 0,060 0,060
1500 1498,824 -0.078 0,045 0,042
2000 1998,335 -0.083 0,036 0,033
2500 2497,895 -0.084 0,031 0,028
3000 2997,509 -0.083 0,031 0,028
3500 3497,128 -0.082 0,031 0,028
4000 3996,754 -0.081 0,031 0,028
4500 4496,355 -0.081 0,031 0,028
5000 4995,924 -0.082 0,031 0,028

Pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa deviasi maksimum yang dihasilkan oleh
mesin adalah 0,095 %, nilai deviasi ini masih sesuai untuk kelas mesin standar gaya tipebuild
up. Ketidakpastian maksimum yang dihasilkan dengan load cell 5 MN adalah 0,099 % untuk
pembebanan naik dan 0,12 % untuk pembebanan naik/turun. Sedangkan ketidakpastian
maksimum yang dihasilkan dengan load cell 2 MN adalah 0,022 % untuk pembebanan naik
dan 0,080 % untuk pembebanan naik/turun.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 213


Kesesuaian antara hasil kalibrasi menggunakan load cell 2 MN dan 5 MN dapat
dilihat pada grafik Gambar 5sebagai berikut.

Gambar 5.Deviasi relatif hasil kalibrasi terhadap nilai nominal gaya

Pada Gambar 5terdapat 2 titik hasil kalibrasi menggunakan load cell sebagai force
transfer standard (FTS)yang beririsan yaitu pada titik 1000 kN dan 2000 kN. Jika dihitung
nilai Error, normalized (En)[7], maka didapatkan nilai En sebesar 0,43 dan 0,29 yang berarti
bahwa dari kedua pengukuran tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan (En< 1).
Berdasarkan hasil ini kedua pengukuran tersebut dapat dianggap benar.Jika dibuat persamaan
interpolasi hasil kalibrasimaka terdapat rentang ukur yang beririsanyaitu pada 500 kN-2 MN.
Pada sebuah pengukuranload cell, akurasi terbaik diperoleh pada sekitar 40 % - 100 %
rentang ukurnya[2], sehingga dalam hal ini ketidakpastian yang digunakan untuk rentang
ukur 500 kN – 2 MN yang beririsan adalah hasil kalibrasi dengan menggunakan load cell 2
MN.
Secara keseluruhan, pada kalibrasi mesin standar gaya 5 MN ini, untuk rentang 200
kN – 2 MN yang digunakan adalah hasil kalibrasi load cell 2 MN, sedangkan untuk rentang 2
MN - 5 MN yang digunakan adalah hasil kalibrasi load cell 5 MN.Hal ini dilakukan untuk
memperoleh ketidakpastian hasil kalibrasi yang lebih baik.

5. KESIMPULAN
Metode kalibrasi menggunakan load cell sebagai transfer standar gaya mengacu pada
ISO 376 dapat diaplikasikan dengan baik untuk mesin standar gaya 5 MN. Hasil

214 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


ketidakpastian relative yang diperoleh untuk pembebanan naik tidak lebih dari 0,099 % untuk
penggunaan load cell 5 MN dan tidak lebih dari 0,022 % untuk load cell 2 MN, sedangkan
untuk pembebanan naik dan turun ketidakpastian relative yang didapatkan tidak lebih dari
0,12 % untuk penggunaan load cell 5 MN dan tidak lebih dari 0,080 % untuk load cell 2 MN.
Metode kalibrasi ini dapat diaplikasikan kedepannya oleh Puslit Metrologi LIPI
sehingga tidak perlu meminta NMI dari Negara lain untuk mengkalibrasi mesin standar gaya
5 MN tersebut.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terkira
kepada seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tulisan ini, khususnya rekan-rekan dari
Puslit Metrologi-LIPI.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] GTM. 2008. Instruction manual and technical documentationfor the 5 MN Force
Standard Machine. Bickenbach, Germany : GTM-Gassmann Testing and Metrology
GmbH.
[2] EURAMET/cg-04/v.01. 2010.Uncertainty of Force Measurements. s.l. : EURAMET.
[3] ISO376:2011. Metallic materials-Calibration of force-proving instruments used for
the verification of uniaxial testing machines. s.l. : International Standard ISO.
[4] Seidel, M. 2016.Calibration Certificate . Braunschweig, Germany : Physikalisch-
Technische Bundesanstalt (PTB).PTB 1.21Se-01216_04516.
[5] Seidel, M. 2016. Calibration Certificate . Braunschweig, Germany : Physikalisch-
Technische Bundesanstalt (PTB). PTB 1.21Wu-01216_04616.
[6] JCGM100:2008. Evaluation of measurement data — Guide to the expression of
uncertainty in measurement. s.l. : Joint Committee for Guides in Metrology (JCGM),
2008.
[7] APLAC. 2008.Calibration Interlaboratory Comparisons. s.l. : Asia Pacific
Laboratory Accreditation Cooperation (APLAC).

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 215


HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
1. ISO 376 apakah mencukupi untuk akurasi tinggi?
2. Pembebanan naik/turun yang dipakai seperti apa untuk kebutuhan customer?
3. pengaruh suhunya bagaimana?
4. Untuk CMC yang diambil En number yang mana?
Jawaban :
1. ISO 376 mencukupi untuk akurasi tinggi.
2. Menerapkan data naik dan data naik/turun, sesuai kebutuhan customer
3. Pengaruh suhu tidak signifikan tergantung pada load cell yang digunakan.
4. En number untuk daerah yang beririsan antara load cell 2 MN dan load cell 5 MN. CMC
yang digunakan untuk daerah rendah adalah hasil kalibrasi menggunakan load cell 2MN

Nama Penanya : Syamsi Ismail


Pertanyaan :
Koreksi 0,1% dan ketidakpastian 0,12%? Ketidakpastian disebabkan standard atau memang
karakteristik mesin? Apakah bisa ditingkatkan untuk 1MN?
Jawaban :
0,12% dominan dari standard dan hasil histerisis mesin hidrolik. untuk range 5MN
ketidakpastian 0,12%, untuk 2MN jauh lebih baik sehingga baik dan bisa untuk pengukuran
dibawah 1MN.

216 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


SISTEM KALIBRASI LASER DISTANCE MEASURING INSTRUMENT
(LDMI) DI PUSLIT METROLOGI-LIPI
Asep Ridwan Nugraha, Ardi Rahman dan Yonan Prihhapso
Pusat Penelitan Metrologi - LIPI
Komplek Puspiptek, Setu, Tangerang Selatan, Banten
asep.ridwan.nugraha@lipi.go.id

INTISARI
Laser distance measuring instrument (LDMI) merupakan alat ukur jarak berbasis laser yang bekerja
menggunakan prinsip waktu tempuh cahaya sebagai dasar penghitungan jarak. Aplikasi LDMI sangat
luas di berbagai bidang, seperti militer, kalibrasi, survey pemetaan wilayah, industri manufaktur dan
jasa konstruksi. LDMI memiliki keunggulan dibandingkan dengan alat ukur jarak lainnya seperti pita
ukur, penggaris baja, meteran rol karena bersifat non kontak sehingga tidak merusak dan memiliki
akurasi tinggi. Metode kalibrasi LDMI yang direkomendasikan pabrikan adalah dengan
membandingkan pembacaan LDMI dengan jarak yang tertera pada rol meter terkalibrasi. Metode ini
memiliki banyak kekurangan selain rentan dengan kesalahan paralaks, akurasi rendah, juga sangat
tidak praktis dalam aplikasinya. Makalah ini membahas sistem kalibrasi LDMI yang dibangun di
Puslit Metrologi-LIPI. Metode pengukuran yang dikembangkan menggunakan rel panjang dengan
standar kalibrasi berbasis laser displacement interferometer yang memiliki akurasi tinggi. Hasil
penelitian menunjukan kalibrasi LDMI dapat dilakukan dengan baik dengan akurasi sistem kalibrasi
yang dibangun tidak lebih dari 1 mm. Rentang ukur yang dapat dipenuhi adalah sepanjang 5 m
dengan ketidakpastian pengukuran U95 = Q[1,1; 0,0041L] mm dengan L dalam m. Nilai ini masih
relevan untuk rentang ukur sampai dengan 300 m yaitu dengan nilai ketidakpastian pengukuran 1,6
mm.

Kata Kunci: akurasi, dimensi, kalibrasi, laser distance, metode

ABSTRACT
Laser distance measuring instrument (LDMI) is a laser-based distance measuring device that works
using the principle of travel time of light as the basis of distance calculation. The applications of
LDMI are extensive across fields, such as military, calibration, mapping surveys, manufacturing and
construction services. LDMI have advantages compared to other distance measuring devices such as
tape measure, steel ruler and meter roller because it is non-contact and has high accuracy. The
calibration method of LDMI recommended by manufacturer is comparing the LDMI reading to the
distances reading on the calibrated meter rolls. This method has many flaws other than prone to
parallax errors, low accuracy, and also very impractical in its application. Given the vital role of
LDMI in various fields, LDMI calibration becomes a necessity. This paper discusses the LDMI
calibration system built at Research Center for Metrology-LIPI. The measurement methods were
developed using long rails with calibration standards based on laser displacement interferometer that
has high accuracy. The results showed that the calibration of LDMI can be done well with the
accuracy of calibration system built less than 1 mm. The measurable range is 5 m along with the
measurement uncertainty U95 = Q [1.1; 0.0041L] mm with L in m. This value is still relevant for the
measuring range up to 300 m with measurement uncertainty of 1.6 mm.

Keywords: accuracy, dimensional, calibration, laser distance, method

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 217


1. PENDAHULUAN
Aplikasi ilmu pengukuran dimensional tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia
sehari-hari. Misalnya pada saat bepergian tentu kita membutuhkan informasi jarak yang
ditempuh. Selain itu, dalam konstruksi bangunan, diperlukan pengukuran jarak dalam
penentuan area ruangan sehingga dapat dibangun pada luas tanah tertentu. Ketinggian
bangunan juga memerlukan ilmu pengukuran dimensi. Dalam banyak kasus, penggunaan pita
ukur, penggaris, meteran rol kurang praktis mengingat waktu pengukuran dan kemungkinan
kesalahan yang tinggi (resolusi, kesalahan paralaks, dan bentuk geometris ruang)[1]. Laser
distance measuring instrument (LDMI) merupakan suatu instrumen pengukur jarak berbasis
laser yang mampu menggantikan alat ukur dimensi konvensional (pita ukur, penggaris,
meteran rol) dengan jangkauan jarak sampai dengan ratusan meter[2]–[4].
Di kota besar dan kota satelit pendukungnya, pembangunan perumahan dan gedung
pencakar langit semakin masif. Tahapan awal dalam perancangan bangunan adalah membuat
layout bangunan. Setelah layout dibuat, dibutuhkan LDMI untuk menerjemahkan layout
tersebut di lokasi pembangunan, sehingga diperoleh kesesuaian antara layout dan kondisi di
lokasi pembangunan. Kesesuaian ini mencakup segala aspek termasuk luas area, tinggi
bangunan, tebal bahan bangunan yang digunakan, jarak antar ruang, dan lain sebagainya.
Kesalahan dalam menentukan jarak pada proses pembangunan berakibat pada kesalahan
disain sehingga pembangunan menjadi tidak ekonomis, rentan terhadap gempa maupun
bencana alam lainnya, ambruk, dan dapat menyalahi aspek legalitas seperti izin mendirikan
bangunan.Penggunaan LDMI sebagai alat ukur tidak hanya ditemui di bidang jasa konstruksi,
namun juga ditemui di industri yang menggunakan ban berjalan dimana LDMI berperan
dalam menentukan panjang lintasan dan kapasitas ban berjalan berbasis dimensi. Mengingat
aplikasi LDMI yang begitu luas, kalibrasi menjadi solusi untuk melihat kesalahan
penunjukan jarak pada LDMI sehingga kualitas pengukuran LDMI menjadi terjaga.
Metode kalibrasi yang saat ini sudah dikembangkan yaitu menggunakan rel panjang yang
terintegrasi dengan steel tape dan menggunakan beberapa baseline berbasis total station
[5][6]. Salah satu pabrikan LDMI menyarankan penempatan target di suatu jarak tertentu
yang telah di ukur menggunakan rol meter [7]. Umumnya rol meter memiliki resolusi 0,5 mm
yang menunjukkan akurasi yang rendah jika dibandingkan LDI. Nilai LDMI dibandingkan
dengan jarak tersebut untuk mengetahui penyimpangannya. Dilain pihak, pengunaan pita
ukur dalam kalibarasi LDMI sangat tidak praktis karena rentan terjadi kesalahan paralaks
yang menyebabkan bias pengukuran. Selain itu, pada pengukuran dengan jarak yang panjang,

218 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


misalnya pada jarak 50 m, dibutuhkan usaha yang besar untuk menempatkan kembali pita
ukur pada tempatnya.
Penelitian ini memberikan solusi tentang metode yang digunakan untuk kalibrasi LDMI
yang menggunakan laser displacement interferometer (LDI) sebagai standar kalibrasi. LDI
memiliki akurasi yang tinggi berorde nanometer dan mampu mengukur sampai jarak 50 m
dengan akurasi tidak lebih dari 0,1 mm [8]. Sistem ini mampu menghasilkan kualitas
pengukuran yang jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pita ukur. Makalah ini
diharapkan memberikan gambaran bagi laboratorium kalibrasi ataupun praktisi metrologi
lainnya mengenai metode kalibrasi LDMI.

2. TEORI DASAR
LDMI banyak juga banyak diaplikasikan pada dunia militer untuk menentukan jarak
musuh/target, selain itu LDMI juga berperan dalam survey pemetaan. Prinsip kerja LDMI
ditunjukkan pada Gambar 1. Berkas laser ditembakkan dari transmitter menuju target yang
ingin diketahui jaraknya relatif terhadap posisi LDMI. Di saat yang bersamaan, sistem
pengukuran waktu mulai menghitung waktu saat berkas laser mulai dipancarkan. berkas laser
sebagian besar dipantulkan kembali ke beam splitter dan sebagian kecil ada yang dipantulkan
ke arah lain akibat bentuk geometris target yang tidak sempurna. Detektor pre-amplifier
mendeteksi berkas laser yang diteruskan oleh beam splitter dari hasil pemantulan target.
Sinyal ini kemudian diteruskan pada sebuah penguat sinyal (amplifier) yang memiliki sistem
automatic gain control (AGC) didalamnya. AGC diperuntukkan sebagai kompensator akibat
kondisi pengukuran yang berubah sesuai waktu. Sistem pengolah sinyal berfungsi untuk
memproses semua sinyal berupa waktu dan hasil deteksi sinyal laser untuk kemudian
dikonversi menjadi jarak yang tertampil pada display [3]

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 219


Optik dan beam
splitter

Detektor pre- Target


amplifier

Amplifier
Transmitter
dengan AGC
Stop pulse Start Pulse

Pengukuran waktu

Pengolah

Display

Gambar 1. Prinsip kerja LDMI [3]

Pengolah sinyal pada Gambar 1 melakukan pemrosesan jarak dengan menggunakan


prinsip perhitungan waktu tempuh sinyal laser dari transmitter sampai diterima kembali di
detektor. Jarak diperoleh berdasarkan persamaan (1),

................................................................................................... 1

dimana:
D adalah jarak, m
c adalah kecepatan cahaya, m/s
t adalah waktu tempuh laser, s.

Beberapa pabrikan LDMI yang tersedia di pasaran memiliki produk dengan


spesifikasi berbeda-beda, Tabel 1 memberikan Gambaran mengenai perbandingan beberapa
LDMI dari beberapa pabrikan. Rentang ukur maksimal yang diklaim oleh pabrikan
bervariasi, LS1501 dan Leica memiliki rentang ukur maksimum tertinggi, yaitu sampai 300
m. Akurasi LDMI beberapa pabrikan berada pada rentang satu sampai 20 mm dengan
resolusi pada 1 mm. Klaim rentang ukur maksimal maupun akurasi sangat tergantung dari

220 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


reflektivitas target yang akan diukur jaraknya, semakin tinggi reflektifitasnya, maka akurasi
nya akan semakin baik dan jarak maksimal yang dapat diukur juga semakin jauh.
Tabel 1. Perbandingan beberapa pabrikan LDMI [1], [2], [4], [9], [10]
Rentang ukur
Nama Akurasi Resolusi
maksimal
Pabrikan (mm) (mm)
(m)
Fluke 100 1 1
LS1501 300 20 1
Leica 300 1 1
Cordex 30 3 1
Bosch 251 1,5 1

. Metode yang dikembangkan melalui penelitian ini adalah menggunakan rel panjang
berbasis LDI. Metode ini dipilih karena LDI memiliki akurasi yang tinggi sampai orde
nanometer, ketersediaan rel panjang di Puslit Metrologi-LIPI, dan ruangan yang terkondisi.
Pengembangan metode kalibrasi LDMI di Puslit Metrologi-LIPI memiliki tantangan
tersendiri, dikarenakan belum diukurnya kualitas rel dari sisi geometris, target yang
digunakan, hingga alignment optik LDI yang dapat berimbas pada besarnya kesalahan
kosinus.

3. METODOLOGI
Pada penelitian ini, diperlukan suatu sistem pengukuran yang berfungsi sebagai
komparasi antara LDMI dengan LDI. Sistem pengukuran ini harus mempunyai tingkat
stabilitas yang tinggi karena digunakan sebagai komparator antara dua buah laser yang
mempunyai akurasi yang tinggi. Kondisi lingkungan selama proses pengukuran pun perlu
dijaga agar efek yang ditimbulkan akibat perubahan suhu, kelembapan dan tekanan udara
dapat diminimalisir. Berikut ini merupakan penjelasan rinci mengenai sistem pengukuran
yang tersedia di Puslit Metrologi-LIPI.
Struktur Penumpu Lintasan
Struktur penumpu yang digunakan pada lintasan ini terbuat dari plat baja yang
disusun dan didesain secara presisi sedemikian hingga dapat menopang lintasan dengan baik
tanpa adanya perbedaan ketinggian yang signifikan. Di atas struktur penumpu ini
ditempatkan dua buah lintasan parallel yang terbuat dari silinder baja tahan karat dengan
diameter 50 mm dan panjang 6 m. Lintasan ini ditopang oleh 12 buah segmen dengan
masing-masing segmen berjarak 0,5 m. Setiap segmen ini berfungsi untuk mangatur
ketinggian dan kelurusan lintasan pada bidang horizontal. Kestabilan lintasan harus dijaga

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 221


terhadap kemungkinan terjadinya pemuaian, penyusutan, getaran dan gesekan yang
ditimbulkan oleh carriage yang bergerak.
Carriage
Target diposisikan pada sebuah carriage yang dapat bergerak sesuai posisi yang
dikehendaki. Carriage ini dapat digerakkan secara manual menggunakan tangan dan juga
dapat meluncur secara sempurna di sepanjang lintasan. Pada bagian bawah carriage terdapat
penyetel yang berfungsi sebagai kunci. Carriage harus dikunci jika target sudah berada pada
posisi yang sesuai agar tidak ada perubahan posisi target terhadap lintasannya.
Skala Ukur pada Lintasan
Diantara kedua lintasan ditempatkan skala ukur berupa steel tape sepanjang 5 m
dengan resolusi 1 cm, skala ukur ini digunakan untuk mengetahui posisi carriage terhadap
titik awalnya.
Skema Pengukuran
Dalam penelitian ini, kalibrasi LDMI dilakukan dengan menggunakan LDI dari
Agilent dengan serial number US45220232 lengkap dengan 3 buah sensor berupa 1 buah
sensor yang mencatat perubahan kelambapan dan tekanan, serta 2 buah sensor suhu
permukaan. Semua peralatan ini tertelusur ke SI melalui National Metrology Institute
Australia (NMIA). Pengukuran dilakukan di laboratorium yang terkondisi pada suhu (22,0 ±
0,5)°C dan kelembapan (60,0 ± 5)%, serta dilindungi oleh dinding hitam sehingga kualitas
intensitas cahaya laser maksimal tanpa ada gangguan cahaya lain. LDI ditempatkan
berdampingan dengan LDMI yang mempunyai titik awal pengukuran yang sama. Sebuah
target ditempatkan pada sebuah carriage yang bergerak. Skema optik pada kalibrasi LDMI
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema optik pada kalibrasi LDMI

222 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 3. Set up kalibrasi LDMI menggunakan rel berbasis laser distance interferometer

Gambar 3 menjelaskan tentang posisi LDI dan LDMI yang ditempatkan pada suatu
bidang yang dapat diatur kedudukannya untuk mempermudah proses penyetingan berkas
laser terhadap alat-alat optik. Karena meja yang digunakan untuk menempatkan beam splitter
dan reference reflector bukan meja optik atau meja rata, maka digunakanlah tilt table yang
dapat diatur kemiringannya sehingga berkas laser yang keluar dari transmitter dapat
dipantulkan kembali oleh moving reflector secara sempurna tepat sasaran pada receiver.
Moving reflector yang digunakan pada skema ini adalah retro-reflector ditempatkan pada
sebuah carriage yang bergerak dari posisi nol (A) ke posisi akhir (B) dengan jarak L, dimana
panjang total L adalah 5 m. Posisi LDMI diatur kedudukannya sehingga berkas laser dapat
menembak tepat sasaran pada target yang sudah diberi tanda baik pada posisi nol (A) maupun
pada posisi akhir (B). Target ditempatkan pada carriage yang sama dengan retro-reflector
sehingga ketika carriage bergerak maka akan terjadi perubahan jarak yang sama yang
dideteksi oleh LDI dan LDMI. Oleh karena itu perubahan jarak yang ditunjukan oleh LDMI
dapat dibandingkan dengan perubahan jarak yang ditunjukan oleh LDI, sehingga dapat
diketahui berapa kesalahan penunjukan jaraknya.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 223


Gambar 4. Skema pengukuran pitch dan yaw

Kualitas rel menjadi faktor penting yang berpengaruh dalam kualitas hasil
pengukuran pada kalibrasi LDMI. Idealnya rel yang terbentang sepanjang 5 m ini memiliki
straightness dan parallelism yang baik sehingga ketika carriage bergerak sepanjang lintasan
(searah sumbu x) maka tidak ada perubahan posisi pada arah sumbu z dan sumbu y.
Perubahan posisi carriage pada arah sumbu z dan sumbu y yang membentuk sudut tertentu
terhadap datum (titik awal pengukuran) masing-masing istilah ini disebut dengan pitch dan
yaw [8]. Untuk mengetahui nilai pitch dan yaw maka harus dilakukan pengukuran dengan
skema seperti pada Gambar 4. Nilai pitch dan yaw ini berkontribusi pada nilai ketidakpastian
pengukuran.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran kesalahan penunjukan jarak LDMI dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan, dengan jumlah 8 titik untuk setiap pengulangannya. Titik ukur yang digunakan
yaitu pada jarak 0 m; 0,05 m; 1 m; 2 m; 2,5 m; 3 m; 4 m; dan 5 m. Titik 0 m pada proses
kalibrasi merupakan titik acuan awal sehingga LDMI dan LDI memulai pengukuran jarak
pada posisi yang sama. Titik ini diperoleh dengan melakukan set nol pada LDI dan target
menempel pada tempat keluarnya laser pada LDMI, untuk kemudian pengukuran dilanjutkan
pada titik-titik ukur selanjutnya. Penentuan seluruh titik ukur berdasarkan pada penggunaan
LDMI. Dalam penelitian ini, LDMI yang digunakan adalah LDMI yang berfungsi sebagai
penentu jarak antara detektor dan lampu standar dalam sistem kalibrasi lampu. Kesalahan
penunjukan jarak LDMI diperoleh dengan cara mengurangi nilai rata-rata penunjukan LDMI
dengan rata-rata penunjukan LDI.

224 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 5. Grafik kesalahan penunjukan jarak, sumbu x menunjukan perubahan jarak dan
sumbu y menunjukan nilai kesalahan penunjukan jarak LDMI.

Gambar 5 menunjukan nilai kesalahan maksimum yang terletak pada titik ukur 2 m
dan 3 m dengan nilai -0,9 mm. Jika dibandingkan dengan spesifikasi teknis pada Tabel 1,
maka nilai ini masih tercakup pada rentang akurasi dan kesalahan yang diklaim oleh
pabrikan. Nilai kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas rel
seperti straightness dan parallelism, target yang digunakan tidak mempunyai reflektifitas
yang tinggi, alignment optik LDI yang kurang bagus sehingga dapat berimbas pada besarnya
kesalahan kosinus, dan kesalahan abbe karena sumbu pengukuran antara LDI dan LDMI
tidak satu sumbu.
Kesalahan yang ditimbulkan oleh pitch dan yaw memiliki kontribusi yang cukup
besar dengan nilai penyimpangan maksimum sebesar -907 arcsec untuk pitch dan -1982
arcsec untuk yaw. Jika nilai di atas dikonversi menjadi derajat maka nilai tersebut menjadi -
0,25° untuk pitch dan -0,55° untuk yaw. Nilai ini akan digunakan dalam perhitungan abbe
error pada nilai ketidakpastian pengukuran.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 225


.
Gambar 6. Grafik pitch dan yaw pada rel, sumbu x menunjukan perubahan jarak dan sumbu y
menunjukan penyimpangan sudut.

Gambar 6 menunjukan nilai penyimpangan sudut maksimum untuk pengukuran pitch


adalah pada jarak 1,5 m, nilai ini mengindikasikan bahwa posisi rel pada titik tersebut berada
lebih rendah dibanding dengan posisi rel lainnya. Sedangkan nilai penyimpangan sudut
maksimum untuk pengukuran yaw berada pada jarak 5 m, nilai tersebut mengindikasikan
bahwa posisi rel pada titik tersebut lebih condong ke sebelah kanan dibandingkan dengan
posisi rel lainnya. Grafik diatas juga secara kasar menunjukan kontur pergerakan disepanjang
rel tersebut.
Ketidakpastian pengukuran dievaluasi berdasarkan JCGM 100:2008 [11]. Komponen
ketidakpastian pengukuran yang berpengaruh pada pengukuran ini tertera pada Tabel 2.
Ketidakpastian pengukuran ini terbagi menjadi dua jenis, pengukuran yang tidak dipengaruhi
oleh panjang lintasan (length independen) dan pengukuran yang dipengaruhi oleh panjang
lintasan (length dependen).

226 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian pengukuran
Length independent
Sumber Satua Distribus Ketidakpastia Koef.
ci.ui (ci.ui)2
ketidakpastian n i n baku Sens.
Electronics
µm Rect 0,0029 1,41 0,004 0,00002
Error/res std
Scale error and
air
compensation 95%
µm 0,0405 1,41 0,057 0,00328
error from Normal
laser
certificate
Optics Non
µm Rect 0,0024 1,41 0,003 0,00001
Linearity Error
17655,98
Repeatability µm Normal 93,9574 1,41 132,876
1
Abbe error µm Rect 253,8776 1,41 0,356 0,12692
Readability of
UUT/Elect µm Rect 288,6751 1,41 408,248 166666,6
error UUT
Deadpath Error µm Rect 0,0058 1,41 0,008 0,00007
Ketidakpastian gabungan (uc ) (µm) 559,668
Ketidakpastian terentang 95% dengan k = 2 (mm) 1,1

Length dependent
Sumber Satua Distribus Ketidakpa Koef.
ci.ui (ci.ui)2
ketidakpastian n i stian baku Sens.
Estimation of
thermal 1,3E-14
/°C Rect 6E-7 0,2 L 1,2E-7 L
expansion L^2
coefficient
From Laser
calibration 95% 2,6E-16
L 1,2E-8 L 1,41 1,6E-8 L
certificate Normal L^2
(dep. Var)
Correction of
thermometer
95% 0,000012 1,6E-13
from °C 0,035 4,0E-7 L
Normal L L^2
calibration
certificate
Thermometer 0,000012 1,1E-13
°C Rect 0,029 3,3E-7 L
resolution L L^2
Temperature 0,000012 4,0E-12
°C Rect 0,173 2,0E-6 L
fluctuation L L^2
Ketidakpastian gabungan (uc ) (µm) L in mm 2,1E-6 L
Ketidakpastian terentang 95% dengan k = 2 (mm) L in m 0,0041 L

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 227


Berdasarkan Tabel 2, kontribusi paling besar secara berurutan pada komponen
ketidakpastian pengukuran length independent adalah daya baca LDMI sebesar 53,21%,
pengaruh abbe error sebesar 41,15% dan nilai pengukuran keberulangan sebesar 5,64%.
Pengaruh dari abbe error dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan (2).
……………………………………………… 2
dengan nilai abbe offset sebesar 100 mm dan sudut θ diperoleh dengan persamaan (3)

……………………………………………… 3
Berdasarkan persamaan (2) diperoleh nilai abbe error yaitu 0,44 mm yang
berkontribusi sebesar 41,15%. Untuk memperkecil pengaruh abbe error terhadap
ketidakpastian pengukuran maka perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem kalibrasi
terutama pada komponen abbe offset dan pengukuran pitch. Abbe offset dapat diperkecil
dengan menggeser sumbu pengukuran LDMI terhadap sumbu pengukuran LDI. Sedangkan
nilai pengukuran pitch dapat diperkecil dengen melakukan penyetelan terhadap base plate
yang menopang lintasan. Sehingga diharapkan dengan melakukan perbaikan sistem tersebut
dapat menurunkan nilai ketidakpastian akibat abbe error.
Sedangkan pada komponen length dependent, sumber ketidakpastian pengukuran
yang mempunyai kontribusi paling tinggi adalah fluktuasi suhu sebesar 93% dan sertifikat
kalibrasi sensor suhu sebesar 3,8%. Ketidakpastian pengukuran yang laporkan pada
penelitian ini adalah sebesar U95 = Q[1,1; 0,0041L] mm dengan L dalam m. Nilai
ketidakpastian tersebut setara dengan U95 = 1,1 mm untuk panjang rel 5 m. Jika dibandingkan
dengan nilai Maximum Permissible Error (MPE) untuk LDMI Fluke yang bernilai 2 mm [2] ,
maka nilai ketidakpastian pengukuran ini sangat relevan dan masih tercakup pada rentang
MPE nya.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian di atas, kalibrasi LDMI dengen menggunakan laser
displacement interferometer dapat dilakukan dengan baik. Rentang ukur yang dapat dipenuhi
adalah sepanjang 5 m, karena terkendala oleh panjang lintasan yang dimiliki oleh Puslit
Metrologi-LIPI. Nilai ketidakpastian pengukuran yang didapat adalah U95 = Q[1,1; 0,0041L]
mm dengan L dalam m. Nilai ini masih relevan untuk rentang ukur sampai dengan 300 m
yaitu dengan nilai ketidakpastian pengukuran 1,6 mm. Sistem ini mampu menghasilkan
kualitas pengukuran yang jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pita ukur.

228 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Untuk meningkatkan kualitas hasil pengukuran diperlukan pengukuran straightness
dan parallelism pada lintasan yang digunakan, jika kedua nilai parameter tersebut masih
besar, maka perlu dilakukan penyetelan ulang terhadap lintasannya sampai nilai dari kedua
parameter tersebut masuk pada rentang toleransi yang diizinkan.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh staf Subbid. Metrologi Radiometri dan
Fotometeri Puslit Metrologi-LIPI yang telah memberikan sarana dan prasarana untuk
penelitian ini. Terima kasih juga kami ucapkan untuk seluruh staf Subbid. Metrologi Panjang
yang mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Cordex instruments, Why use a Laser Distance Meter ? USA: Cordex instrument,
2010.
[2] Fluke, 414d/419d/424d Laser Distance Meter users manual, no. June. USA: Fluke,
2012.
[3] T. Bosch, M.-C. Amann, R. Myllyla, and M. Rioux, “Laser ranging: a critical review
of usual techniques for distance measurement,” Opt. Eng., vol. 40, no. 1, p. 10, 2001.
[4] Y. Liu, “Laser Distance Meter LS1501,” 2009. .
[5] M. Matus, Z. Banhidi-bergendorf, E.- Vermessungswesen, P. O. Box, F.- Espoo, F.
Pollinger, M. Wedde, D.- Braunschweig, M. Astrua, M. Pisani, I. Nazionale, and M.
Inrim, “Euramet.L-S20 Final Report: Comparison of laser distance measuring
instruments,” Euramet Proj. No. 1169, vol. 20, no. April, 2014.
[6] Barkovic, Djuro, M. Zrinjski, and B. Boric, “‘Laboratory Procedure for the
Calibration of Laser Handheld Distance Meter,’” Int. Multidiscip. Sci. GeoConference
SGEM Surv. Geol. Min. Ecol. Manag., vol. 2, p. 293, 2013.
[7] I. Johnson Level & Tool Mfg. Co., “Laser Distance Measure,” 2017. [Online].
Available: http://www.johnsonlevel.com/News/LaserDistanceMeasure55. [Accessed:
31-May-2017].
[8] H. Packard, User’s Guide : Laser Measurement System 5528A. USA: Hewlett
Packard Company, 1985.
[9] Robert Bosch Tool Corporation, “Laser Measuring,” 2017. [Online]. Available:
https://www.boschtools.com/us/en/boschtools-ocs/laser-measuring-23502-c/.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 229


[Accessed: 01-May-2017].
[10] Leica Geosystem, The original laser distance meter Leica DISTO TM Pioneering the
future by tradition. Heerbrugg, Switzerland: Leica Geosystem AG, 2016.
[11] JCGM (Joint Committee for Guides in Metrology), “Evaluation of measurement data
— Guide to the expression of uncertainty in measurement,” no. September. 2008.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
Kiat apa yang dapat dilakukan agar alignment baik dan abbe error tidak besar?
Jawaban :
Alignment dilakukan terlebih dahulu pada masing-masing alat, diatur pitch dan yaw nya pada
titik awal dan akhir pengukuran, kemudian dicek berulang kali sampai intensitas yang
diterima laser >90%. Lakukan hal yang sama untuk LDMI. Abbe error dapat diperkecil
dengan nilai abbe offset dan pitch. Abbe offset dapat diperkecil dengan mendekatkan sumbu
pengukuran LDMI terhadap LDI. Sedangkan nilai pengukuran pitch dapat diperkecil dengan
melakukan penyetelan pada base plate yang menopang lintasan.

Nama Penanya : Asep Hapiddin


Pertanyaan :
Kemampuan sistem pengukuran saat ini baru sampai 5 m, namun bisa mengkonversi sampai
300 m. Bagaimana proses pengukuran untuk lebih dari 5 m?
Jawaban : Kemampuan sistem pengkuran LDMI sampai saat ini adalah 5 m karena
ketersediaan rel sampai jarak 5 m, namun perhitungan ketidakpastian pengukuran dapat
digunakan untuk memprediksi nilai ketidakpastian pengukuran sampai dengan jarak 300 m
(jarak maksimum LDMI). Hal ini dapat dilakukan karena ketidakpastian
pengukurandianalisis dan dilaporkan dalam persamaan [a,bL] mm dengan L adalah jarak
dalam m. Ketika nilai jarak 300 m dimasukkan maka nilainya masih lebih kecil dari MPE.
Pengukuran yang melebihi 5 m harus dilakukan pada lintasan yang dapat mencakup rentang
ukur tersebut.

230 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


STUDI PENGUKURAN CEK ANTARA GAUGE BLOCK DENGAN
PENGUKURAN BERKEBALIKAN
Eka Pratiwi, Rima Zuriah Amdani, Ocka Hedrony
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
Eka.pratiwi5586@gmail.com

INTISARI
Gauge block memiliki peran penting sebagai standar panjang dalam ketertelusuran metrologi dimensi.
Secara umum metode untuk melakukan kalibrasi gauge block ada dua yaitu dengan metode
interferometri dan metode perbandingan. Pengukuran gauge block dengan metode komparasi dinilai
lebih praktis dan ekonomis dibanding metode interferometri, hanya saja pengukuran dengan metode
komparasi memerlukan gauge block standar sebagai acuan. Apabila frekuensi pemakaian gauge block
standar tergolong sering, maka perlu dilakukan pengecekan antara untuk mengetahui bahwa nilai
gauge block tersebut tidak berubah jauh dari nilai kalibrasi sebelumnya. Pengecekan antara biasanya
dilakukan di tengah periode rentang kalibrasi selanjutnya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran
reverse (berkebalikan) antara gauge block grade 0 dengan gauge block standar yang ingin dicek
antara. Gauge block grade 0 ini digunakan oleh laboratorium dimensi sebagai referensi untuk
keperluan cek antara, namun selama ini diposisikan sebagai UUT (unit under test) terhadap gauge
block yang akan dicek antara. Pada penelitian ini gauge block grade 0 akan diposisikan sebagai
referensi pada pengkuran skema 1 dan diposisikan sebagai UUT pada pengukuran skema 2. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa selisih pengukuran berkebalikan (selisih pengukuran skema 1 dan 2)
disetiap nominal sampel ( 1 5 10 50 100) mm sebesar 0.00 dengan standar deviasi maksimum sebesar
0.005270 pada nominal 10 mm. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi untuk
menyusun pembuatan prosedur pengecekan antara untuk gauge block di laboratorium dimensi.

Kata Kunci : Gauge block,cek antara, grade

ABSTRACT
Gauge block has important role as standard of length in the dimensional metrology. Gauge block
measurement using comparison method is more practicable compared to the interferometry method,
but measurement with comparison method needs a standard gauge block as reference. If the
frequency of the gauge block usage is often, then the standard gauge block should be intermediately
checked in order to know that the gauge block value is not change from the previous calibration
value. Intermediate check performed during in the middle of the next calibration period. This
research using reverse measurement between gauge block grade 0 and standard gauge block to be
checked. The gauge block grade 0 in dimensional laboratory is used as reference for intermediate
check intention, but it is positioned as UUT (unit under testing). In this research, the gauge block
grade 0 will be positioned as reference in measurement scheme 1 anda positioned as UUT in
measurement scheme 2. The measurement result shows that the difference of the reverse measurement
( difference of both measurement scheme 1 and 2 ) in each nominal samples (1 5 10 50 100) mm are
0.00 with maximum standard deviation is 0.00527 in nominal sample of 10 mm. This research is
expected would give information to arrange the procedure of the intermediate check gauge block in
dimensional laboratory.

Keywords: Gauge block ,intermediate check, grade

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 231


1. PENDAHULUAN
Gauge block memiliki peran penting sebagai standar panjang dalam ketertelusuran
metrologi dimensi. Metode untuk melakukan kalibrasi gauge block ada dua cara yaitu dengan
menggunakan interferometri dan metode perbandingan [1]. Pengukuran gauge block dengan
metode interferometri digunakan untuk pengukuran level gauge block standar (acuan),
sementara pengukuran gauge block dengan metode komparasi digunakan untuk level kelas
industri. Pengukuran gauge block dengan metode komparasi dinilai lebih mudah, murah, dan
cepat jika dibandingkan pengukuran dengan metode inteferometri. Karena alasan ekonomis
dan kepraktisan tersebut, maka pengukuran metode komparasi lebih sesuai digunakan untuk
kebutuhan industri.
Pengukuran dengan metode komparasi memerlukan gauge block standar sebagai acuan.
Gauge block standar dan gauge block yang akan diukur dibandingkan dengan menggunakan
sebuah alat komparator [2]. Gauge block yang diproduksi memiliki beberapa jenis grade
(kelas). Jenis kelas gauge block tersebut antara lain kelas K atau 00, 0, 1, dan 2, dimana kelas
K atau 00 merupakan kelas tertinggi diikuti kelas 0, 1, dan 2 yang kelasnya lebih rendah [3].
Pada metode komparasi, kelas gauge block yang digunakan sebagai standar sebaiknya
setingkat lebih tinggi dari gauge block yang akan diukur. Hal ni dimaksudkan agar
ketidakpastian pengukuran yang diperoleh bernilai kecil.
Gauge block juga diproduksi dalam berbagai pilihan material berbeda, contohnya
terdapat gauge block yang terbuat dari material baja, tungsten, keramik, dan sebagainya.
Berbagai material pembuat gauge block tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, misalnya saja untuk gauge block keramik yang memiliki koefisien ekspansi
termal kecil, namun rentan pecah. Pada intinya, terlepas dari material apapun itu, gauge
block standar yang digunakan bisa mengalami perubahan nilai, terutama apabila gauge block
tersebut sering digunakan untuk mengukur. Oleh karena itu, tidak cukup jika gauge block
hanya dikalibrasi dalam rentang waktu tertentu saja. Apabila frekuensi pemakaian gauge
block tergolong sering, maka perlu dilakukan pengecekan antara untuk mengetahui bahwa
nilai gauge block tidak berubah jauh dari nilai kalibrasi sebelumnya. Pengecekan antara
dilakukan di tengah periode rentang kalibrasi selanjutnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gauge block sebaiknya dikalibrasi
dengan menggunakan grade setingkat lebih tinggi. Pada umumnya pada saat pengecekan
antara, gauge block yang akan dicek diposisikan sebagai UUT sehingga sebaiknya di ukur
dengan standar yang grade nya lebih tinggi atau setara. Gauge block yang digunakan oleh
laboratorium dimensi untuk referensi pengecekan antara yaitu gauge block grade 0, namun

232 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


gauge block grade 0 tersebut diposisikan sebagai UUT (unit under test) terhadap gauge block
standar yang akan dilakukan pengecekan antara. Sejauh ini belum ada prosedur resmi untuk
melakukan pengecekan antara gauge block di laboratorium dimensi. Diharapkan dari hasil
penelitian ini akan memberikan informasi untuk menyusun pembuatan prosedur pengecekan
antara gauge block tersebut. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran reverse (berkebalikan)
antara gauge block referensi grade 0 dengan gauge block yang ingin dicek antara.

2. TINJAUAN LITERATUR
Definisi gauge block adalah sebuah balok ukur yang berbentuk persegi, terbuat dari
material tahan lama, memiliki satu pasang bidang muka ukur yang paralel satu sama lain dan
dapat diwringing dengan balok ukur lain. Panjang gauge block adalah jarak antara titik pada
muka ukur gauge block dengan bidang referensi yang memiliki material yang sama dan muka
ukurnya memungkinkan untuk di wringing satu sama lain. Panjang titik tengah (central
length) adalah jarak antara titik tengah muka ukur atas dan titik tengah muka ukur bawah dari
gauge block. Variasi panjang adalah perbedaan antara panjang maksimum dan panjang
minimum dari gauge block. Ilustrasi panjang titik tengah dan variasi panjang ditunjukkan
pada Gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi panjang titik tengah dan variasi panjang [4]

Pengukuran gauge block dapat dilakukan dengan metode interferometri dan metode
perbandingan. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa hasil pengukuran gauge block
dengan kedua metode tersebut tidak jauh berbeda. Perbedaan mendasar dari kedua metode
tersebut yaitu pengukuran panjang gauge block pada metode interferometri dibandingkan
dengan panjang gelombang cahaya (realisasi definisi meter) sehingga akan dihasilkan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 233


ketertelusuran yang lebih dekat dengan definisi satuan panjang. Sementara untuk pengukuran
gauge block pada metode perbandingan dilakukan dengan membandingkan antara gauge
block yang akan diuji dan gauge block acuan yang sebaiknya kelasnya lebih tinggi atau sama.
Pengukuran dengan metode perbandingan dilakukan dengan menggunakan sebuah alat
komparator. Bisa dikatakan bahwa pengukuran dengan menggunakan metode interferometri
lebih akurat dibandingkan metode perbandingan. Ketidakpastian pengukuran yang dihasilkan
dengan metode interferometri akan lebih kecil jika dibandingkan metode perbandingan.
Meskipun demikian, pengukuran gauge block dengan menggunakan metode perbandingan
dinilai lebih sesuai digunakan untuk aplikasi industri karena lebih ekonomis dan praktis.
Dalam proses produksi gauge block, produk yang dihasilkan akan dibagi dalam beberapa
kategori kelas, yaitu dari kelas K hingga kelas 2. Gauge block dengan kualitas terbaik masuk
dalam kategori kelas K. Gauge block dengan kualitas lebih rendah masuk dalam kategori
kelas 0. Kualitas yang lebih rendah lagi masuk dalam kategori kelas 1 dan 2.
Pengelompokan kelas-kelas gauge block ini berdasarkan parameter variasi panjang yang
dihasilkan pada muka ukur gauge block. Selama proses fabrikasi, tentunya akan dihasilkan
variasi panjang muka ukur gauge block yang beragam. Semakin besar ragam nilai variasi
panjang pada muka ukur, semakin rendah pula kualitas gauge block tersebut. Sedangkan
meskipun penyimpangan nilai tengah suatu gauge block tergolong besar dari nilai
nominalnya, hal ini tidak akan menjadi masalah selama variasi panjang muka ukurnya kecil,
maka produk gauge block tersebut bisa masuk dalam kategori kelas K. Asumsinya bahwa
seberapapun besar penyimpangan nilai tengah gauge block tidak akan menimbulkan
keraguan pengukuran selama variasi panjang muka ukur gauge blocknya kecil. Sebaliknya,
jika variasi panjang muka ukur gauge block besar atau beragam, maka akan menimbulkan
keraguan pengukuran dari nilai tengah gauge block tersebut. Adapun batas-batas
penyimpangan nilai tengah dan ragam nilai variasi panjang yang diizinkan tertera dalam
panduan ISO 3650. Dari penjelasan tentang dasar pengelompokan kelas-kelas gauge block ini
dapat dirumuskan bahwa pemakaian gauge block kelas 0 sebagai nilai referensi untuk
aplikasi pengecekan antara bisa dilakukan. Kemungkinan ini didasarkan karena dalam
pengecekan antara hanya dilakukan pengukuran nilai tengah gauge block dan yang
digunakan untuk analisis kestabilan gauge block tersebut adalah selisih nilai tengahnya saja,
yaitu untuk memastikan bahwa nilai tengah tidak mengalami perubahan dalam periode
kalibrasi yang ditentukan. Jika menggunakan gauge block kelas 0 dalam proses pengecekan
antara sebagai referensi maka nilai ketidakpastian yang dihasilkan akan besar karena tingkat
keraguan yang ditimbulkan lebih besar dibanding gauge block kelas K sebagai referensi.

234 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Kualitas kepresisian sebuah pengukuran dapat dilihat dari hasil repeatability dan
reproducibility. Kedua parameter tersebut dapat dinyatakan dengan standar deviasi
pengukuran. Repeatability adalah pengukuran berulang dalam yang dilakukan oleh orang
yang sama, sampel yang sama, proses yang sama pula, dan pada rentang waktu itu juga.
Sementara reproducibility yaitu pengukuran yang dihasilkan bisa oleh orang yang berbeda,
atau cara yang berbeda, atau dalam rentang waktu yang berbeda, namun sampel yang diukur
sama. Semakin kecil standar deviasi repeatability yang dihasilkan, semakin presisi pula
kualitas pengukuran tersebut. Semakin kecil standar deviasi dari banyak variasi pengukuran
yang diterapkan pada sebuah sampel, menandakan semakin presisi hasil pengukuran tersebut.
Hal ini dikarenakan akan dihasilkan lagi dan lagi nilai yang sama. Pengukuran pada
penelitian ini dilakukan secara berulang-ulang dan berkali-kali dengan beberapa variasi
pengukuran agar dapat diketahui tingkat kepresisian dari pengukuran yang dilakukan.
Semakin presisi hasil pengukuran, sederhananya dapat dikatakan bahwa pengukuran yang
dilakukan tidak mengada-ada atau sesuai dengan ketentuan yang ada.
Suatu hasil pengukuran senantiasa memiliki ketidakpastian yang didefinisikan sebagai
parameter hasil pengukuran yang mengkarakterisasi dispersi nilai yang dapat dikenakan pada
besaran ukur. Adanya ketidakpastian merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari suatu
sistem pengukuran. Nilai ketidakpastian pengukuran menunjukkan kualitas pengukuran, baik
alat ukur, benda ukur, cara pengukuran dan pelaku pengukuran. Tanpa adanya suatu estimasi
nilai ketidakpastian pengukuran, maka hasil pengukuran tersebut, diragukan keabsahannya.
Karena ketidakpastian tersebut tidak dapat dihilangkan, maka tujuan utama dalam
pengembangan sistem pengukuran, selain memperluas kemampuan pengukuran, adalah
memperkecil nilai ketidakpastian pengukuran.
Acuan utama dalam mengevaluasi ketidakpastian pengukuran adalah metode ISO yang
dituangkan dalam Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement. Metode ini telah
disepakati di kalangan profesi metrologi sebagai satu-satunya metode acuan untuk
mengevaluasi nilai ketidakpastian pengukuran. Ketidakpastian pengukuran dievaluasi
berdasarkan dua metoda, yaitu tipe A dan tipe B. Tipe A dievaluasi dengan menggunakan
metode statistik untuk menganalisa satu atau sejumlah himpunan pengukuran dan mencakup
kesalahan-kesalahan acak. Ketidakpastian dari tipe B dievaluasi dengan cara selain analisa
statistik pada sejumlah pengamatan dan mencakup kesalahan-kesalahan sistematik. Dalam
mengevaluasinya perlu dicari besaran yang dapat diambil sebagai variansi (keberadaannya
diasumsikan). Termasuk di dalam tipe B ini, yakni adanya data dari sumber lain, misalnya
ketidakpastian dari sertifikat atau spesifikasi dari pabrik [5].

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 235


3. METODE PENELITIAN
Pengukuran dilakukan dalam bulan Mei sampai dengan Juli 2017 pada pukul 10.00
sampai 16.00 WIB di laboratorium dimensi 2 Puslit Metrologi LIPI.
Metode pengukuran dalam penelitian ini yaitu metode komparasi dengan menggunakan
komparator merek TESA 6A01. Pengukuran ini dibatasi dengan menggunakan sampel gauge
block kelas 0 dan K. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kestabilan gauge block
yang memiliki grade/ kelas yang cukup tinggi dimana laboratorium dimensi dalam sehari-
hari menggunakan standar acuan gauge block kelas K. Sampel yang digunakan yaitu gauge
block grade 0 merek Mitutoyo dan gauge block grade K merek KOBA. Material kedua
gauge block sampel tersebut terbuat dari baja dan nominal gauge block yang digunakan yaitu
1 mm, 5 mm, 10 mm, 50 mm, dan 100 mm. Pengambilan rentang ini diambil berdasarkan
nominal yang mencakup panjang minimum, pertengahan, dan maksimum untuk kategori
gauge block pendek agar sampel yang diambil representatif terhadap rentang keseluruhan.
Parameter ukur yang digunakan yaitu parameter titik tengah. Repeatability pengukuran
diambil sebanyak 10 kali. Pengukuran dilakukan secara reverse (berkebalikan). Pertama
dilakukan pengukuran skema 1 yaitu pengukuran nilai titik tengah gauge block grade K
KOBA dengan menggunakan standar gauge block grade 0 Mitutoyo untuk setiap nominal
sampel. Setelah itu dilakukan pengukuran skema 2 yaitu pengukuran nilai titik tengah gauge
block grade 0 Mitutoyo dengan menggunakan standar gauge block grade K KOBA untuk
setiap nominal sampel. Pada skema 1 dan 2 diberlakukan beberapa ragam pengukuran
penukaran posisi sisi atas dan bawah muka ukur gauge block untuk mengetahui
reproducibility pengukuran. Nilai observasi dari kedua skema pengukuran tersebut kemudian
dibandingkan untuk diketahui perbedaannya. Ilustrasi pengukuran tersebut ditunjukkan pada
Gambar 2.

236 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 2. Skema pengukuran kebalikan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada Tabel 1, Ref adalah gauge block Mitutoyo grade 0 sedangkan UUT adalah
gauge block KOBA grade K (sesuai dengan gambar skema 1), rata-rata adalah nilai rata-rata
dari sepuluh pengukuran, selisih adalah perbedaan antara Ref dengan UUT dari rata-rata
pengukuran, dan stdev merupakan standar deviasi Ref dan UUT dari pengukuran ke satu
sampai pengukuran ke sepuluh. Pengulangan pengukuran ditujukan untuk mengetahui
konsistensi hasil ukur yang didapatkan. Semakin konsisten hasil ukur, maka semakin presisi
hasil pengukuran tersebut dan tingkat kepresisiannya dapat dilihat dari besarnya nilai standar
deviasi.
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran skema 1 dengan posisi muka ukur A – A
menunjukkan bahwa standar deviasi terbesar terdapat pada nominal 5 mm yaitu 0,004216,
sementara untuk nominal 1 mm, 10 mm, 50 mm dan 100 mm memiliki standar deviasi
0,000000 yang menandakan bahwa hasil pengukuran memiliki tingkat presisi yang tinggi.
Untuk posisi muka ukur A – B standar deviasi terbesar terdapat pada nominal 100 mm yaitu
0,004830, sedangkan untuk nominal 1 mm dan 5 mm memiliki standar deviasi 0,000000.
Untuk posisi muka ukur B – A standar deviasi terbesarnya terdapat pada nominal 5 mm, 10
mm dan 100 mm yaitu sebesar 0,004830 sedangkan untuk nominal 1 mm memiliki standar
deviasi 0,000000 dan untuk posisi B – B standar deviasi terbesar terdapat pada nominal 10
mm yaitu 0,005270, sedangkan untuk nominal 1 mm dan 5 mm memiliki standar deviasi
0,000000.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 237


Tabel 1. Hasil pengukuran dengan gambar Skema 1

Nominal Posisi Muka Ukur Rata-Rata


A–A A–B B-A B–B
selisih stdev selisih Stdev selisih stdev selisih Stdev selisih stdev
1 0,06 0,000000 0,06 0,000000 0,06 0,000000 0,06 0,000000 0,06 0,000000
5 0,05 0,004216 0,05 0,000000 0,05 0,004830 0,05 0,000000 0,05 0,002262
10 0,10 0,000000 0,10 0,003162 0,10 0,004830 0,11 0,005270 0,10 0,003316
50 0,20 0,000000 0,20 0,004216 0,20 0,003162 0,20 0,003162 0,20 0,002635
100 0,17 0,000000 0,17 0,004830 0,17 0,004830 0,17 0,004216 0,17 0,003469

Tabel 2. Hasil pengukuran dengan gambar Skema 2

Nominal Posisi Muka Ukur Rata-Rata


A–A A–B B-A B–B
selisih stdev selisih Stdev selisih stdev selisih Stdev selisih stdev
1 0,06 0,000000 0,06 0,004830 0,06 0,000000 0,06 0,004216 0,06 0,002262
5 0,05 0,000000 0,05 0,003162 0,05 0,004216 0,05 0,003162 0,05 0,002635
10 0,10 0,000000 0,10 0,000000 0,10 0,000000 0,11 0,000000 0,10 0,000000
50 0,20 0,003162 0,20 0,003162 0,20 0,000000 0,20 0,000000 0,20 0,001581
100 0,17 0,000000 0,17 0,003162 0,17 0,003162 0,17 0,000000 0,17 0,001581

238 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Dalam tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata selisih pengukuran antara gauge block
reference dan uut pada skema 1 untuk nominal 1 mm dengan posisi pengukuran muka ukur A
- A, A - B, B – A dan B – B adalah sebesar 0,06 µm dengan standar deviasi 0,000000 dari
sepuluh pengukuran untuk masing - masing posisi. Untuk hasil pengukuran gauge block
nominal 1 mm memiliki tingkat presisi yang lebih tinggi jika dibandingkan nominal 5 mm, 10
mm, 50 mm dan 100 mm hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh parameter standar deviasi,
namun demikian rata-rata nilai standar deviasi setiap posisi pengukuran untuk nominal 5 mm,
10 mm, 50 mm dan 100 mm masih berada di bawah 0,01.
Sedangkan pada tabel 2, Ref adalah gauge block KOBA grade K sedangkan UUT
adalah gauge block Mitutoyo grade 0 (sesuai dengan gambar skema 2), dengan definisi rata-
rata, selisih dan stdev sama seperti pada tabel 1. Pada tabel 2 untuk nominal 10 mm,
menunjukkan rata-rata selisih pengukuran antara ref dan uut pada skema 1 dengan posisi
pengukuran muka ukur A - A, A - B, B – A dan B – B adalah sebesar 0,10 µm dengan standar
deviasi 0,000000 dari sepuluh pengukuran untuk masing - masing posisi. Hasil pengukuran
menunjukkan konsistensi dari banyaknya pengukuran yang dilakukan. Lebih jauh lagi,
standar deviasi sesuai skema 2 jauh lebih presisi daripada besar standar deviasi dari skema 1.
Hal ini ditunjukkan oleh besar standar deviasi dengan gambar skema 2 untuk nominal 1 mm,
5 mm, 50 mm dan 100 mm maksimal sebesar 0,002635 dibandingkan skema 1 yang dapat
mencapai 0,003316. Dapat kita tarik kesimpulan pengukuran dengan menggunakan skema 2
dilihat dari besarnya nilai standar deviasi menghasilkan hasil pengukuran yang lebih presisi.
Berdasarkan tabel 1 dan 2 memperlihatkan selisih dari pengukuran gauge block ref
dan uut dari skema 1 dan skema 2 memiliki nilai yang sama, baik pada nominal 1 mm, 5 mm,
10 mm, 50 mm dan 100 mm dengan sepuluh kali pengukuran sebesar 0,06 µm, 0,05 µm, 0,10
µm, 0,20 µm dan 0,17 µm secara berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan letak
dari gauge block ref dan uut tidak mempengaruhi hasil pengukuran pengecekan antara.
Dengan kata lain, penggunaan gauge block grade 0 dapat dijadikan sebagai acuan dalam
pengukuran pengecekan antara, namun memiliki standar deviasi yang nilainya lebih besar jika
dibandingkan penggunaan gauge block grade K sebagai acuan.
Selanjutnya, setelah melakukan pengukuran pengecekan antara dengan meggunakan
gambar skema 1 dan skema 2 maka perlu dihitung ketidakpastian pengukurannya [6]. Hasil
perhitungan ketidakpastian pengukurannya akan ditunjukkan pada tabel 3 dan 4.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 239


Tabel 3. Perhitungan ketidakpastian pengukuran skema 1

Tabel 4. Perhitungan ketidakpastian pengukuran skema 2

Berdasarkan tabel 3 dan 4, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ketidakpastian pengukuran
sekitar 0,001 µm. Untuk pengukuran dengan menggunakan gambar skema 1, diperoleh

240 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


ketidakpastian sebesar , sedangkan untuk pengukuran dengan

menggunakan skema 2 diperoleh hasil . Dengan demikian dapat


disimpulkan bahwa pengukuran pengecekan antara dengan menggunakan skema 2
memperoleh hasil ketidakpastian yang nilainya lebih kecil.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa hasil pengukuran, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengukuran pengecekan antara dengan pengaturan posisi gauge block sesuai gambar
skema 1 dan skema 2 memperlihatkan standar deviasi pada skema 2 lebih baik jika
dibandingkan skema 1.
2. Pengukuran pengecekan antara dari skema 1 dan skema 2 menunjukkan selisih yang
sama, sehingga peletakan gauge block reference dan uut tidak berpengaruh pada selisih
hasil pengukuran.
3. Hasil perhitungan ketidakpastian pengukuran pengecekan antara dengan menggunakan
skema 2 mempunyai nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan menggunakan
skema 1.
4. Hasil pengukuran berkebalikan ini dapat diaplikasikan untuk pengukuran pada semua
rentang nominal short gauge block karena nominal sampel uji telah mencakup rentang
minimum dan maksimum nominal short gauge block, dengan catatan nilai nominal gauge
block reference dan uut sama.
5. Pengukuran pada penelitian ini berdasarkan selisih nilai titik tengah gauge block, maka
untuk gauge block dengan material berbeda berlaku pula pengukuran berkebalikan ini.
Hasil pengukuran yang sama dapat diperoleh jika material gauge block yang digunakan
sebagai rerefence dan uut adalah sama, contohnya gauge block reference ceramic dengan
gauge block uut ceramic.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan laboratorium Metrologi Dimensi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan pengarahan dan saran selama mempelajari
tentang pengecekan antara gauge block.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 241


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Gauge Block Calibration with Very Small Measurement Uncertainty. 2013. Godina,
A. dan Acko, B. DAAAM International Scientific Book 2013 Pp. 339-350 Chapter 16
[2] Uncertainty Estimation (‫݃ܮ‬+ ‫ )ݓܮ‬due to Geometrical Imperfection and Wringing in
Calibration of End Standards. 2013. Salah H. R. Ali dan Ihab H. Naeim. Hindawi
Publishing Corporation Volume 2013, ISRN Optics
[3] Gauge Block Calibration By Mechanical Comparison (Gauge Block
Comparator).2015. Saraswanto Abduljabbar. Research Gate
[4] ISO 3650
[5] Pengaruh Kesalahan Kosinus Terhadap Nilai Deviasi dari Skala Nominal (Error).
2011. Okasatria N dan Eka Pratiwi. PPI KIM 37.
[6] JCGM 100 : 2008
[7] Gauge Block Hand Book. Ted Doiron and John Beers. Dimensional Metrology Group
Precision Engineering Division National Institute of Standards and Technology

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Nurul Alfiyati
Pertanyaan :
Apakah urgensi dari pengukuran pengecekan antara gauge block dengan metode berkebalikan
dengan muka ukur dibolak balik?
Jawaban :
Hal ini diperlukan untuk mengetahui reproducibility dari pengukuran gauge block tersebut.
Jika dilihat dari hasil pengukuran bolak balik muka ukur gauge block didapatkan hasil yang
sama sehingga menunjukkan bahwa hasil pengukuran yang diperoleh bukan merupakan suatu
kebetulan.

Nama Penanya : Arfan Sindhu Tistomo


Pertanyaan :
Apakah bisa dilakukan intermediate check dari grade rendah ke grade yang lebih tinggi?
Jawaban :
Salah satu syarat untuk melakukan pengukuran pengecekan antara adalah menggunakan
gauge block reference yang jarang digunakan, akan tetapi gauge block grade K yang kami
miliki semuanya sering dipakai dalam pengukuran, maka atas dasar inilah kami menggunakan

242 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


gauge block grade 0 yang jarang digunakan untuk pengukuran pengecekan antara. Setelah
dilakukan pengukuran pengecekan antara dengan metode berkebalikan, maka diperoleh hasil
yang sama, sehingga penggunaan gauge block grade yang lebih rendah sebagai media
pengecekan antara tidak berpengaruh pada hasil pengukuran.

Nama Penanya : Jimmy Pusaka


Saran :
Hasil pengukuran pengecekan antara gauge block dengan metode berkebalikan memperoleh
hasil yang sama, hal ini bisa disebabkan karena adanya kemungkinan gauge block reference
dan UUT mempunyai kualitas yang sama baiknya walaupun gradenya berbeda, atau bisa juga
disebabkan karena sistem resolusi pengukuran yang rendah. Dengan demikian, sebaiknya
penelitian ini dilanjutkan dengan menggunakan gauge block grade lain untuk melihat apakah
terdapat perbedaan hasil pengukurannya.
Jawaban :
Penelitian akan dilanjutkan dengan menggunakan gauge block grade 1 dan 2

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 243


UNJUK KERJA TIME TRANSFER SYSTEM - 3 (TTS-3) PUSLIT
METROLOGI – LIPI UNTUK MENJAMIN KETERTELUSURAN
STANDAR WAKTU DI INDONESIA
Ratnaningsih, A.M. Boynawan, Yulita Ika Pawestri
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
ratna@kim.lipi.go.id

INTISARI
Telah dilakukan pengaturan sinyal 1 pulsa per second (pps) UTC(KIM) untuk mengikuti Inter
Laboratory Comparison (ILC) dengan sekitar 500 jam atom yang ada di dunia. TTS-3 mengirimkan
hasil perbandingan sinyal 1 pps UTC(KIM) yang dikeluarkan oleh Cesium HP 5071A dengan sinyal 1
pps dari GPS melalui sistem komparasi. Hasil perbandingan sinyal tersebut berupa file CGGTTS
sesuai rekomendasi. TTS-3 mengirimkan data kepada BIPM melalui File Transfer Protocol (FTP) dan
BIPM akan mengeluarkan hasil komparasi tersebut berupa Circular T sebagai bukti bahwa standar
waktu dan frekuensi yang dihasilkan oleh Cesium HP 5071A(Cs-1) telah tertelusur secara
internasional

Kata Kunci : TTS-3, UTC(KIM), jam atom cesium

ABSTRACT
Signal of 1 pulse per second (pps) signal of UTC(KIM) has been set up to joint Inter Laboratory
Comparison (ILC) with about 500 atomic clocks in the world. TTS-3 sending comparative value of 1
pulse per second (pps) signal UTC (KIM) generated by Cesium HP 5071A (Cs-1) and 1 pps from GPS
through a comparative time system . Comparison results are formed in CGGTTS format files as
recommended by BIPM. TTS-3 send data to BIPM via File Transfer Protocol and BIPM will publish
comparation result in Circular T as evidence of time and frequency that generate by atomic clocks
Cesium HP 5071A (Cs-1) treaceable to International.

Keywords : TTS-3, UTC(KIM), jam atom cesium

1. PENDAHULUAN
UTC (KIM) merupakan standar waktu nasional Indonesia berbasis waktu atomik yang diperoleh
dari jam atom cesium HP 5071A (Cs-1). Untuk menjamin ketertelusuran standar waktu dan frekuensi
Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1), Puslit Metrologi-LIPI mengikuti Inter Laboratory Comparison (
ILC) yang dikelola oleh BIPM. Komparasi dilakukan dengan mengirimkan nilai perbandingan 1 pulsa
per second (pps) dari UTC(KIM) yang dihasilkan jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) dan 1 pps dari
GPS melalui sistem komparasi waktu TTS-3. Kemudian BIPM akan menerbitkan hasil ILC setiap

244 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


bulan sekali dalam bentuk dokumen Circular T. Sistem time transfer sistem Puslit Metrologi LIPI
ditunjukan pada Gambar 1.
Tujuan dari penelitian ini menganalisa sinyal 1 pps sebagai UTC(KIM) yang diolah oleh Time
Transfer System-3 (TTS-3) sehingga sinyal 1 pps UTC(KIM) dapat mengikuti komparasi
Internasional yang dikelola BIPM.

2. DASAR TEORI
Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) adalah sumber waktu dan frekuensi yang
mempunyai keluaran yang sangat akurat dan stabil. Sebagaimana dijelaskan pada CGPM ke-
13 tahun 1967 di BIPM “1 sekon didefinisikan sebagai lama waktu yang sama dengan 9 192
631 770 kali perioda radiasi yang bersangkutan dengan transisi antara dua tingkat hiperhalus
keadaan dasar atom Cesium-133”.[1]. Berdasarkan definisi tersebut maka jam atom Cesium
HP 5071A merupakan standard primer bagi besaran waktu dan frekuensi.
Keluaran 1 pulsa per second (pps) dari Jam atom Cesium HP 5071A (Cs-1) digunakan
untuk melakukan komparasi dengan sekitar 400 jam atom yang ada di dunia, dan frekuensi
10 MHz digunakan sebagai referensi frekuensi [2].

Gambar 1. Time Transfer System Puslit Metrologi-LIPI

Time Transfer System - 3 (TTS-3) merupakan hasil pengembangan riset dari


Astrogedynamical Observatory Space (AOS) Space Research Centre Polish Academy of
Sciences, Polandia. Mereka mengembangkan sistem transfer waktu berkinerja tinggi yang
memungkinkan pengamatan satelit Global Posotioning System (GPS), Global Navigation
Satellite System (GLONASS), European Geostationary Navigation Overlay Service

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 245


(EGNOS), Wide Area Augmentation System (WAAS) bekerja secara simultan dalam mode
multi – channel dan multi – frekuensi [3].
TTS - 3 terdiri dari rangkaian beberapa instrumen, yaitu industrial personnal computer
(PC), PC Card Time Interval Counter, GNSS 40 channel, software, dan antenna. Pada proses
pengambilan data, dapat dilakukan multi – channel dengan dilakukan pengkodean. Yaitu C/A
yang merupakan kode untuk GPS, WAAS, EGNOS dan GLONASS, P untuk pengkodean
GLONASS dan P rekonstruksi untuk pengkodean data GPS[4].

3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di laboratorium waktu dan frekuensi Puslit Metrologi-LIPI,
dengan target capaian ketertelusuran Jam atom cesium HP 5071A (Cs-1) sebagai standar
nasional waktu dan frekuensi. Pengiriman sinyal 1 pps UTC(KIM) tidak mungkin dilakukan
melalui kabel atau sinyal radio ke BIPM, sehingga digunakan metode lain untuk mengirimkan
sinyal tersebut.
Pengiriman sinyal dapat dilakukan dengan bantuan TTS-3 melalui beberapa tahap,
dimulai dengan penetapan UTC(KIM) yang akan mengikuti komparasi ditunjukan pada
Gambar 2 sistem time keeping Puslit Metrologi – LIPI.

Circular T

Gambar 2. Time Keeping System

246 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


UTC(KIM) ditetapkan 1 pps yang merupakan output dari Jam atom cesium HP 5071A
(Cs-1) yang telah melalui pulse distribution amplifier 1 pps (D.A 1 pps). Penggunaan D.A 1
pps untuk menjamin kualitas sinyal 1 pps yang akan dikirim ke TTS-3.
Sistem pada TTS-3 yang terdiri Antena, time interval counter, software dan personal
komputer akan memproses UTC(KIM) sehingga dapat mengirimkan data untuk mengikuti
ILC dan mendapatkan circular T sebagai bukti ketertelusuran.
Seperti digambarkan di atas sinyal 1 pps UTC(KIM) dibandingkan dengan sinyal 1 pps
dari GPS yang berfungsi sebagai pembawa UTC(KIM) yang akan dikirim ke BIPM.
Perbandingan UTC(KIM) dengan GPS diukur oleh time interval counter yang
mendapatkan referensi frekuensi 10 MHz dari Jam atom cesium HP 5071A (Cs-1). Tujuan
pemberian frekuensi referensi untuk menggantikan referensi internal oscillator TTS-3 agar
sesuai dengan frekuensi jam atom cesium.
Hasil pengukuran counter kemudian diproses oleh komputer dalam bentuk file
kimXXXXX.gps dan kimXXXXX.glo. menggunakan format CGGTTS. XXXXX yang
merupakan penunjukkan penanggalan Modified Julian Date (MJD) [5]. Sebagai contoh
tanggal 1 mei 2017 sama dengan 57874 MJD.
Selanjutnya file kimXXXXX.gps akan di rename menjadi GMKI02XX.XXX dan
kimXXXXX.glo di rename menjadi RMKI02XX.XXX. Hal tersebut untuk memberikan
identifikasi sesuai dengan format yang dipersyaratkan oleh BIPM.
Data CGGTTS UTC(KIM) dikirim melalui File Transfer Protokol (FTP) ke BIPM dan
BIPM akan mengolahnya dengan sekitar 400 jam atom yang ada di dunia. BIPM akan
mengirimkan Circular T sebagai hasil komparasi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penunjukan sinyal 1 pps keluaran dari jam atom Cesium dan sinyal 1 pps keluaran dari
distribution amplifier dapat dilihat pada Gambar 3.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 247


1 pps dari
jam atom
cesium

1 pps
keluaran DA

a. Keluaran kedua sinyal memiliki timing yang sama b. Rise time kedua sinyal sesuai
dengan spesifikasi

Gambar 3. Penunjukan sinyal 1 pps keluaran dari jam atom Cesium dan sinyal 1 pps
keluaran dari distribution amplifier

Gambar 3 menunjukan bentuk sinyal 1 pps keluaran jam atom cesium yang akan dikirim
ke TTS-3. Dari Gambar 3.a. terlihat bahwa keluaran sinyal dari jam atom cesium maupun
pulse distribution amplifier memiliki timing yang sama. Hal ini memastikan bahwa
distribution amplifier tidak mempengaruhi sinyal keluaran jam atom cesium. Akan tetapi
pulse distribution amplifier memperbaiki kualitas sinyal keluaran dari jam atom cesium
ditunjukkan pada Gambar 3.b. Amplitudo keluaran yang lebih besar dari sinyal aslinya dan
memiliki bentuk rise time yang lebih kecil terlihat bahwa sinyal keluaran dari pulse
distribution amplifier lebih kotak daripada keluaran jam atom cesium. Hal ini sesuai dengan
spesifikasi kedua alat tersebut. Menurut spesifikasi rise time sinyal 1 pps dari jam atom
cesium <5 ns [2] sedangkan spesifikasi rise time dari pulse distribution amplifier <2ns [6].
Dalam pulse distribution amplifier memperbaiki kualitas sinyal sehingga memadai untuk
dideteksi oleh TTS-3.
Sinyal 1 pps dari jam atom cesium seperti yang ditunjukan di atas dan 1 pps dari GPS
yang diterima oleh antenna TTS-3 kemudian dibandingkan. Hasil perbandingan diukur oleh
time interval counter yang terdapat di dalam sistem TTS-3. Hasil perbandingan real time
ditunjukan display TTS-3 seperti pada Gambar 4 berikut.

248 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 4. Hasil Pengukuran Time Interval Counter pada TTS-3

Hasil perbandingan real time dapat dilihat pada penunjukkan counter di tampilan TTS-
3. Kolom PRN menunjukan beberapa satelit yang sedang ditracking oleh TTS-3. Masing-
masing satelit mengirimkan sinyal 1 pps. TTS-3 akan membandingkan sinyal 1 pps
UTC(KIM) dengan semua sinyal tersebut. Hasil Pengukuran dibuat dalam format CGGTTS
seperti ditunjukan Gambar 5.

Gambar 5. Format CGGTTS

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 249


Format data CGGTTS di atas menerangkan nama satelit yang ditracking oleh TTS-3,
misalnya SAT 16 dengan sudut elevasi 58.9 dg dan azimuth 226.0 dg menghasilkan nilai
perbandingan 1 pps UTC(KIM) dengan satelit 16 sebesar -660.2 ns. Pengukuran dilakukan
pada 57895 MJD saat 00.02.00 UTC.
File tersebut kemudian disimpan dengan nama kimXXXXX.gps dan kimXXXXX.glo.
Selanjutnya file kimXXXXX.gps di rename menjadi GMKI02XX.XXX dan kimXXXXX.glo
di rename menjadi RMKI02XX.XXX. Hal tersebut untuk memberikan identifikasi sesuai
dengan format yang dipersyaratkan oleh BIPM. GM menunjukkan bahwa file tersebut
merupakan hasil perubahan dari file .gps, sedangkan RM merupakan hasil identifikasi dari file
.glo. KI merupakan identifikasi untuk Puslit Metrologi LIPI, dan 02 merupakan kode sistem
time transfer yang digunakan. Sedangkan XX.XXX adalah format MJD saat data diolah.
Data CGGTTS UTC(KIM) dikirim melalui File Transfer Protokol (FTP) ke BIPM dan
BIPM akan mengolahnya dengan sekitar 400 jam atom yang ada di dunia. BIPM akan
mengirimkan Circular T sebagai hasil komparasi.

5. KESIMPULAN
Keluaran 1 pps dari distribution amplifier memiliki rise time yang lebih baik
dibandingkan keluaran sinyal 1 pps dari jam atom cesium.

TTS-3 membandingkan sinyal 1 pps UTC(KIM) dengan sinyal 1 pps dari GPS dimana 1
pps GPS berfungsi sebagai pembawa sinyal 1 pps UTC(KIM).

Dari analisis sinyal 1 pps UTC(KIM) menggunakan TTS-3 menghasilkan keluaran file
CGGTTS yang merupakan referesentasi dari UTC(KIM), dan telah siap untuk mengikuti ILC
dengan jam atom di seluruh dunia.

6. DAFTAR PUSTAKA

[1] The International System of Units (SI), NIST Special Publication 330, 2008 Edition
[2] Operating and Programming Manual, HP 5071A Primary Frequency Standard
[3] TTS-3, Multi-Channel, Multi-System GPS/Glonass/WA-AS/Egnos Receiver, J.
Nawrocki dkk, Space Recearch Centre , Astrogeodynamic Observatory, Borowiec,
Poland
[4] Installation Guide and User’s Manual v.11 TTS-3 Time Transfer System-3, 2006

250 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[5] James R. Clynch, Time Systems and Dates: Universal Time, GPS Time, Julian Dates,
February 2006
[6] Data Sheet 4033A Pulse Distribution Amplifier
[7] A.M. Boynawan, Ratnaningsi,Yulita Ika Pawestri, Pengaruh distribution amplifier
terhadap kualitas sinyal national frequency standard (NaFS), PPI-KIM ke 42, 2016

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Arfan Sindhu
Pertanyaan :
1. Bagaimana proses sinyal keluaran dari jam atom cesium HP-5071A bisa jadi 1 pps?
2. Mengapa menggunakan TTS 3 ?
3. Permasalahan apa yang dihadapi sampai pertanyaan penelitian muncul?
Jawaban :
1. Metrologi TF tidak mendalami proses atomiknya, tetapi menggunakan output yang
dihasilkan jam atom yaitu 1 pps, dan menggunakannya sebagai sumber ketertelusuran,
mendesiminasikan sebagai acuan standar waktu nasional .
2. Metrologi TF menggunakan TTS-3, karena baru memiliki TTS 3
3. Penelitian ini dilakukan untuk memastikan ketertelusuran standar waktu secara
internasional

Nama Penanya : Jimmy Pusaka


Pertanyaan :
Penelitian ini seperti work instruction. Dengan diperolehnya perbedaan x ns terhadap
perancis, apa artinya? Baik atau buruk? bagaimana meningkatkannya?
Jawaban :
Kegiatan ini merupakan rangkaian penelitian (masih setengah jalan) sedang direncanakan
penelitian lanjutannya. Perbedaan x ns dengan prancis mengindikasikan koreksi kita, dan bisa
ditingkatkan kemampuan kita dengan cara steering yaitu memperbaiki posisi jam atom.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 251


INVESTIGASI DAN PEMULIHAN PERGESERAN NILAI TAHANAN
PADA STANDARD PLATINUM RESISTANCE THERMOMETER (SPRT)
DALAM PROSES PRA-KALIBRASI
Melati Azizka Fajria, Beni Adi Trisna
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
melati.azizka@gmail.com

INTISARI
Pergeseran nilai tahanan pada sebuah SPRT sebagai standar termometer kontak menjadi hal yang
sangat diperhatikan. Nilai tahanan dari suatu SPRT dapat berubah seiring dengan masa penggunaan.
Hal yang dapat mempengaruhi perubahan nilai tahanan pada SPRT antara lain adalah karena oksidasi,
kontaminasi, dan goncangan mekanik pada sensor SPRT. Pergeseran nilai tahanan akibat oksidasi dan
goncangan ringan dapat diperbaiki dengan cara dipanaskan pada suhu maksimumnya (thermal
annealing). Metode thermal annealing yang telah dipublikasikan oleh NIST berdasarkan metode
NIST-ITS90 memberikan pemulihan SPRT hingga 100% dengan lima kali pengulangan thermal
annealing. Artikel ilmiah ini memberikan hasil eksperimental lain dalam peningkatan unjuk kerja
SPRT. P2M-LIPI memberikan pilihan metode lain dalam proses thermal annealing dengan
memodifikasi metode yang ada. Metode thermal annealing yang dilakukan mampu memulihkan SPRT
hingga 99,6% dalam dua kali pengulangan dengan batasan nilai ∆RTPW yang ingin dicapai kurang dari
0,3 mK.

Kata Kunci : SPRT, pemulihan, thermal annealing

ABSTRACT
A shift in the resistance value of the SPRT as a standard in contact hermometer is a great concern.
SPRT’s use can change the resistance value of SPRT. The case which affect changed of SPRT’s
resistance such as oxidation, contamination and stress on SPRT sensor. Shifting value due to
oxidation and stress can be reduce by thermal annealing. The thermal annealing method based on the
NIST-ITS90 can recovery up to 100% within repeated five cycles. This scientific article provides other
experimental results to improving the performance of SPRT. RCM-LIPI provides the other thermal
annealing methods by modifying existing methods. This thermal annealing method is able to recover
the SPRT up to 99,6% by two times repetition with the ∆RTPW value to be achieved les than 0,3 mK.

Key words : SPRT, callibration, thermal annealing

1. PENDAHULUAN
Sampai saat ini, Standard Platinum Resistance Thermometer (SPRT) dipakai sebagai
alat interpolasi untuk merealisasikan skala ukur besaran suhu. SPRT mampu digunakan pada
rentang ukur suhu -260 ⁰C ~ 960 ⁰C dengan tingkat akurasi hingga 1 mK 1. Keunggulan dari
SPRT sebagai alat ukur suhu yaitu memiliki sensitifitas dan stabilitas yang baik. Perubahan

252 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


suhu yang terukur oleh SPRT sebanding dengan perubahan tahanan elektrik pada elemen
metal di dalam SPRT 2.
Seiring dengan penggunaan, nilai tahanan SPRT dapat bergeser (drift). Pergeseran nilai
tahanan pada SPRT dipengaruhi oleh oksidasi3, ketidakmurnian (impurities) akibat
1,3
kontaminasi pada sensor SPRT , serta terjadinya goncangan mekanik dan termal
1,3,4
(mechanical and thermal shock) . Oksidasi yang terjadi pada SPRT dapat menyebabkan
perubahan nilai hysterisis pada tahanan yang terukur oleh SPRT menjadi lebih kecil3. Efek
kontaminasi sensor SPRT menyebabkan perubahan tahanan elektrik. Tahanan elektrik yang
terukur pada kondisi titik es mencair (ice-point) bernilai lebih tinggi dibanding nilai acuan1,
selain itu akan muncul efek berkelanjutan berupa long-term drift pada SPRT3. Long-term drift
akibat kontaminasi pada SPRT dengan pemakaian dibawah 450 ˚C memiliki nilai tidak lebih
dari 1 mK5. Namun, besarnya nilai drift tersebut dapat meningkat ketika SPRT digunakan
pada suhu diatas 450 ˚C6 dan nilai yang terukur oleh SPRT semakin tidak stabil pada suhu
tinggi akibat adanya kontaminasi pada sensor7. Perubahan nilai tahanan elektrik akibat efek
kontaminasi ini tidak dapat dipulihkan dengan pemanasan termal1. Mechanical dan thermal
shock yang terjadi pada SPRT selama penggunaan dapat mengakibatkan perubahan stabilitas
dari SPRT4 serta memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya long-term drift1.
Stress pada sensor platinum akibat dari penggunaan SPRT mengakibatkan peningkatan nilai
tahanan elektrik1. Pemulihan sensor platinum akibat mechanical dan thermal shock dapat
dilakukan dengan cara meng-annealing SPRT pada suhu tertingginya4.
Sebagai alat ukur standar, ketertelusuran SPRT harus terjamin dengan adanya proses
kalibrasi. Stabilitas termal pada SPRT selama proses kalibrasi merupakan hal yang penting
agar didapatkan hasil kalibrasi yang baik. Perubahan nilai stabilitas tahanan dari SPRT dapat
mempengaruhi hasil akhir dari kalibrasi. Perubahan stabilitas tahanan elektrik akibat oksidasi
dan stress pada sensor platinum dapat dipulihkan dengan cara memanaskan pada suhu
maksimum suatu SPRT (thermal annealing). Thermal annealing bertujuan untuk mengurangi
ketegangan mekanik (mechanical strain) pada sensor SPRT8. Proses thermal annealing yang
dilakukan pada SPRT dapat dilakukan berulang hingga nilai tahanan yang terukur pada
kondisi triple point of water (RTPW) memiliki nilai < 1 mK dalam periode pemakainan 1
tahun1. Berdasarkan dokumen acuan yang dikeluarkan oleh NIST, annealing yang dilakukan
sebelum proses kalibrasi dapat dilakukan sebanyak maksimal 5 kali pengulangan4. SPRT
dapat dikalibrasi apabila selisih nilai tahanan yang terukur pada TPW setelah dan sebelum
proses thermal annealing (∆RTPW) memiliki nilai ≤ 0,2 mK4,8.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 253


Proses thermal annealing yang dilakukan oleh NIST mampu memulihkan kondisi SPRT
hingga 100%. Pemulihan peforma tersebut didapatkan dengan melakukan proses thermal
annealing pada batas maksimal pengulangan thermal annealing, yaitu sebanyak lima kali
pengulangan. Dengan batas nilai ∆RTPW yang ditetapkan oleh NIST tidak lebih besar sama
dengan 0,2 mK.
Dalam prakteknya, Pusat Penelitian Metrologi (P2M) LIPI tidak jarang mendapati
SPRT dengan nilai ∆RTPW yang lebih besar dibandingkan dokumen acuan. Oleh karena itu
perlu ada penanganan berupa thermal annealing untuk memperbaiki nilai tahanan dari SPRT
sebelum dikalibrasi. Artikel ini ingin menjabarkan metode pemulihan dan hasil ekperimental
yang didapatkan berdasar metode thermal annealing yang dimodifikasi oleh P2M-LIPI.
Diharapkan proses thermal annealing yang dilakukan mampu memberikan peningkatan
unjuk kerja dari SPRT dengan nilai ∆RTPW yang ingin dicapai < 0,3 mK .

2. TEORI DASAR
Salah satu pemulihan SPRT dengan metode thermal annealing dijabarkan oleh NIST.
Tabel 1 menunjukkan perbedaan metode thermal annealing SPRT dengan titik ukur suhu
maksimal 660 ˚C antara proses thermal annealing yang dilakukan oleh NIST-ITS90 dan
metode yang dimodifikasi oleh P2M-LIPI. Proses thermal annealing yang dijabarkan adalah
untuk SPRT dengan titik ukur suhu maksimal 660 ˚C.
Tabel 1. Metode Annealing

NIST-ITS90 P2M-LIPI
500 ˚C ; laju 5 ˚C/menit
100 ˚C – 675 ˚C
Pra-annealing 500 ˚C - 650 ˚C; laju 1,9 ˚C/
laju 4,6 ˚C/ menit
menit
675 ˚C 650 ˚C
Annealing
selama 3 jam Selama 3 jam
diturunkan ke 500 ˚C diturunkan ke 500 ˚C
Pasca-annealing
laju 0,96 ˚C/menit selama 3 jam
Pindah ke kondisi ruang 475 ˚C 500 ˚C
Nilai RTPW < 0,2 mK < 0,3 mK

Metode thermal annealing berdasar NIST-ITS90 adalah sebagai berikut. SPRT yang
akan di annealing dibersihkan dari residu-residu yang menempel seperti minyak dan kotoran
dengan menggunakan ethanol. SPRT yang sudah dibersihkan dari residu yang menempel pada
selubung dipanaskan pada suhu 100 ˚C ke 675 ˚C dengan laju 4,6 ˚C /menit selama kurang
lebih dua jam. Ketika tungku sudah berada pada titik ukur suhu 675 ˚C, SPRT diannealing

254 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


selama 3 jam. Selanjutnya suhu dari tungku diturunkan hingga 500 ˚C kurang lebih 3 jam
dengan laju penurunan suhu 0,96 ˚C/menit. SPRT dikelurkan dari tungku ketika suhu tungku
berada pada kondisi suhu 475 ˚C dan ditempatkan pada kondisi suhu ruang. Proses kalibrasi
dapat dilanjutkan apabila nilai ∆RTPW dari SPRT yang sudah diannealing menunjukkan nilai <
0,2 mK4
Mengacu pada dokumen NIST dengan nilai ∆RTPW < 0,2 mK dan berdasar pada
protokol ILC untuk kalibrasi dari SPRT dimana nilai ∆RTPW yang ditetapkan untuk suatu
SPRT dapat dikalibrasi adalah < 0,5 mK9, maka P2M memberikan batasan pencapaian nilai
∆RTPW yang diperbolehkan agar suatu SPRT dapat dilakibrasi adalah < 0,3 mK.

3. METODE
Sebelum dilakukan kalibrasi dilakukan pengukuran nilai RTPW pada empat buah SPRT
R-326; ISO-156 ; 0431dan 0429. Nilai tersebut digunakan untuk menentukan perbedaan nilai
RTPW sebelum dan sesudah annealing pertama. Keempat SPRT tersebut diannealing
menggunakan tungku fluke T9117. Pengukuran nilai RTPW menggunakan dua buah TPW
yang berbeda. R-326 dan 0431 diukur menggunakan TPW PTB4, sedangkan ISO-156 dan
0429 diukur menggunakan TPW MSL. Berbeda dengan dokumen yang dikeluarkan oleh
NIST, dimana proses thermal annealing dilakukan di suhu 675 JC selama 3 jam, proses
annealing pada P2M-LIPI dilakukan pada suhu yang lebih rendah, yaitu 650 ˚C selama 3 jam
Suhu

650 JC 1,9JC/min
.

500 JC

5JC/min

Suhu ruang

0 3 4 7 9 Waktu (jam)
Gambar 1. Skema kenaikan suhu terhadap waktu
Dilakukan proses thermal annealing pada 4 buah SPRT dengan titik ukur maksimal
pada titik beku aluminium dengan menggunakan tungku vertikal fluke T9117. Keempat SPRT
dimasukkan ke dalam tungku untuk dilakukan proses thermal annealing sebelum dikalibrasi.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 255


Gambar 1. Menunjukkan skema kenaikan suhu terhadap waktu selama proses thermal
annealing. Selama proses berlangsung, T9117 diset pada suhu 500 ˚C dengan laju kenaikan
suhu 5 ˚C/menit. Setelah tungku mencapai suhu 500 ˚C, suhu tungku dinaikkan lagi hingga
suhu 650 ˚C dengan laju kenaikan suhu 1,9 ˚C/menit. Ketika suhu tungku sudah stabil pada
suhu 650 ˚C, kondisi tersebut ditahan selama 3 jam untuk proses thermal annealing.
Selanjutnya, setelah proses thermal annealing selesai suhu tungku diturunkan ke suhu 500 ˚C.
Pada suhu 500 JC, SPRT dapat dikeluarkan dari tungku untuk didinginkan pada suhu ruang.
SPRT yang sudah diannealing kembali diukur nilai ∆RTPW. Apabila nilai ∆RTPW yang
didapatkan > 0,3 mK, maka proses annealing harus kembali dilakukan. Pada penelitian ini,
proses annealing maksimal dilakukan sebanyak empat kali pengulangan hingga mendapatkan
nilai ∆RTPW < 0,3 mK.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai RTPW masing-masing SPRT sebelum dan sesudah di annealing tertera pada Tabel
2. Terlihat penurunan nilai ∆RTPW dari setiap SPRT setelah dilakuan thermal annealing. Data
sebelum annealing merupakan data yang didapat ketika SPRT diukur di TPW pertama kali
sebelum dilakukan annealing. Penurunan nilai tahanan SPRT setelah diannealing
membuktikan adanya pengaruh pemanasan terhadap perubahan tahanan. Proses thermal
annealing ini diharapkan mampu memberikan perbaikan terhadap performa SPRT yang
berkurang akibat terjadinya stress pada sensor dan oksidasi pada selubung SPRT selama masa
pakai. Hasil yang diinginkan dari proses thermal annealing ini adalah dicapainya nilai ∆RTPW
mendekati 0,3 mK.
Pada annealing pertama, didapati nilai ∆t untuk SPRT R-326; ISO-156 ; 0431dan 0429
secara berurutan adalah 10,81 mK; 0,95 mK; 61,57 mK dan 1,20 mK. Perbedaan besarnya ∆t
ditentukan oleh lama waktu pemakaian dan cara penanganan dari SPRT1,3,8. Hal ini terbukti
dari SPRT yang dievaluasi pada penelitian ini. Dibandingkan dengan ISO-156, R-326 adalah
SPRT standar yang paling sering digunakan untuk kalibrasi termometer kontak pada P2M.
Hal tersebut terlihat pada Tabel 3, nilai ∆t dari R-326 pada proses annealing pertama lebih
tinggi dibandingkan ISO-156. Lama waktu pemakaian dari R-326 dapat menjadi salah satu
faktor besarnya stress yang dialami sensor R-326. SPRT 0431 memiliki nilai ∆t yang sangat
besar pada proses thermal annealing pertama. Proses pemeliharaan SPRT yang kurang
memenuhi prosedur sangat mungkin menjadi faktor utama besarnya nilai ∆t. Selain itu
kemungkinan besar guncangan yang terjadi selama proses pengiriman SPRT ke P2M-LIPI

256 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


menyebabkan terjadinya mechanical shock pada sensor SPRT sehingga mengakibatkan
besarnya nilai ∆t pada SPRT 0431.

Tabel 2. Nilai hambatan masing masing SPRT sebelum dan sesudah annealing
No SPRT ID R(1mA), Ω R(√2mA), Ω R(0mA), Ω
Sebelum Annealing
1 R-326 25,5136166 25,5137308 25,5135025
2 ISO-156 25,5523206 25,5524090 25,5522322
3 0431 25,4908114 25,4908870 25,4907359
4 0429 25,3681098 25,3681831 25,3680365
Setelah Annealing 1
1 R-326 25,5125321 25,5126427 25,5124215
2 ISO-156 25,5519443 25,5520367 25,5518520
3 0431 25,4661889 25,4662685 25,4661094
4 0429 25,3676278 25,3677009 25,3675546
Setelah Annealing 2
1 R-326 25,512476 25,512591 25,512362
2 ISO-156 25,551971 25,552059 25,551882
3 0431 25,465729 25,465811 25,465648
4 0429 25,367318 25,367392 25,367243
Setelah Annealing 3
1 R-326 25,512459 25,512569 25,512348
2 ISO-156
3 0431 25,465629 25,465706 25,465552
4 0429 25,367162 25,367234 25,367091
Setelah Annealing 4
1 R-326
2 ISO-156
3 0431 25,4655095 25,4655850 25,4654340
4 0429 25,3670421 25,3671142 25,3669700
Keterangan : data yang tertera pada tabel adalah rata-rata dari 25 data terakhir

Pada annealing kedua terjadi penurunan nilai ∆t yang cukup signifikan untuk SPRT R-
326 dan 0431 dari 10,81 mK menjadi 0,59 mK dan dari 61,57 menjadi 1,15 mK. Sedangkan
untuk kedua SPRT lainnya yaitu ISO-156 dan 0429 besarnya nilai ∆t yang terukur adalah
0,08 mK dan 0,78 mK. Penurunan nilai ∆t dikarenakan stress yang terjadi pada sensor SPRT
berkurang akibat dilakukan thermal annealing. Dengan penurunan nilai tersebut dapat
dibuktikan bahwa thermal annealing merumakan metode yang efekif untuk memulihkan nilai
tahanan SPRT akibat dari mechanical shock pada sensor.
Batas nilai ∆t agar SPRT dapat dikalibrasi setelah melalui proses annealing yang
ditentukan pada penelitian ini adalah ≤ 0,3 mK. Dengan batas tersebut, maka SPRT ISO-156
dapat dikalibrasi setelah proses dua kali annealing. Lebih sedikitnya proses thermal annealing
pada ISO-156 dibandingkan dengan SPRT lainnya dikarenakan lama pemakaian dari SPRT
tersebut jauh dibawah dari SPRT lainnnya. Selain itu penanganan yang tepat baik dalam
proses pengepakan dan penyimpanan dapat mempengaruhi besar kecilnya drift yang dialami

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 257


SPRT. Semakin kecil drift dari SPRT, maka pengulangan proses thermal annealing untuk
mengebalikan peroforma dari SPRT bisa jadi juga semakin sedikit.

Tabel 3. Nilai ∆t selama proses annealing


R-326 ISO-156 0431 0429
Kt (mK)
Annealing 1 10,81 0,95 61,57 1,20
Annealing 1 0,59 0,08 1,15 0,78
Annealing 3 0,14 0,24 0,38
Annealing 4 0,30

Nilai ∆t dari SPRT R-326 ; 0431; dan 0429 masing-masing adalah 0,14 mK; 0,24 mK
dan 0,30 mK. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa SPRT masih dapat dikalibrasi dan
digunakan karena didapati nilai ∆t yang semakin menurun setelah annealing. Apabila setelah
annealing nilai ∆t naik atau bahakan tidak stabil, maka pergeseran nilai tahanan pada SPRT
tidak dapat dipulihkan dengan cara thermal annealing1,7.

P2M-LIPI (0,3 mK)

NIST (0,2 mK)

Gambar 2. Grafik Annealing SPRT


Keterangan : untuk nilai annealing pertama R-326 dan 0431 berada jauh di atas dikarenakan nilai yang tinggi
yaitu 10,08 mK (R-326) dan 61,56 mK (0431)

Dibandingkan dengan metode NIST-ITS90, metode yang dimodifikasi oleh P2M-LIPI


menggunakan suhu yang lebih rendah saat proses thermal annealing. Pemilihan suhu 650 oC
selama 3 jam untuk proses thermal annealing SPRT dimaksudkan agar tidak terjadi oksidasi
3-D pada sensor SPRT. Di atas suhu 600 oC dengan waktu pemanasan lebih lama dari 10 jam

258 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


dapat menyebabkan oksidasi 3-D. Belum terajadinya oksidasi pada sensor SPRT selama
proses thermal annealing dapat dilihat konsistensi penurunan nilai ∆RTPW pada masing-
masing SPRT. Penarikan SPRT pada suhu 500 oC juga memberikan pengaruh belum
terjadinya oksidasi 2-D pada sensor SPRT, sehingga didapatkan hasil annealing yang
memenuhi batas nilai ∆t agar SPRT dapat dikalibrasi

5. KESIMPULAN
Dari hasil, dapat disimpulkan bahwa thermal annealing yang dilakukan dapat
memulihkan pergeseran nilai tahanan pada SPRT yang akan dikalibrasi. Pemulihan SPRT R-
326; ISO-156; 0431; dan 0429 masing masing memiliki nilai 98,7%; 91,5%; 99,6% ; dan
75%.
Dibandingkan dengan metode yang ditawarrkan oleh NIST, metode thermal annealing
yang dimodifikasi oleh P2M menggunakan suhu yang lebih rendah. Hal tersebut bertujuan
untuk menghindari terjadinya oksidasi pada selubung SPRT selama proses thermal annealing
berangsung.
Banyaknya pengulangan proses thermal annaling dan perubahan nilai ∆t pada setiap
SPRT bergantung pada lama waktu pemakaian dan cara penanganan dari SPRT. Hal tersebut
dapat dilihat dari jumlah pengulangaan thermal annealing pada SPRT ISO-156 dan R-326,
dimana jumlah pengulangan proses thermal annealing pada R-326 lebih banyak dibanding
ISO-156. Masa kerja yang lebih banyak dan proses penangan selama penggunaan dari R-326
mengakibatkan SPRT tersebut harus melalui proses pengulangan thermal annealing dengan
jumlah banyak untuk mencapai batas nilai ∆RTPW yang ditentukan.

6. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sangat besar diberikan kepada laboratorium suhu Pusat peneltian
Metrologi sehingga terselesaikannya artikel ini. Semoga hasil yang didapat dari penulisan
arikel ilmiah ini mampu memberikan kontribusi pada makin baiknya pengukuran yang
dilakukan oleh laboratorium.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 259


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Nicholas,J. White, D. . in Traceble Temperature 203–252 (Jhon Wiley & Sons Ltd,
2001).
[2] Prince, R. The Platinum Resistance Thermometer, A review of ITS Construction and
Applications. Platin. Met. rev 3, 78–87 (1959).
[3] Pokhdun, A.I, Fellmuth.B, Pearce, J.V, Rusby.R.L, Steur.P.M, Tamura.O, Tew.W.L,
W. D. . Guide to the Realization of the ITS-90. (2016).
[4] Minor, D. & Strouse, G. Stabilization of SPRTs for ITS-90 Calibration. in NCSL
Interntional Workshop and Symposium (2005).
[5] Berry, R. . The Stability of Platinum Resistance Thermometers at Temperatures up to
630C. Proc. Temp. Its Meas. Control Sci. Ind. 3, 301–311 (1962).
[6] Berry, R. . Platinum Resitance Thermometry in range 630-900C. Metrologia 2, 80–90
(1966).
[7] Ancsin, J Zhang, Y. The Effects of Annealing on the Resistance of High-temperature
PRTs at the Triple Point of Water after High-temperature Use. Metrologia 31, 85–91
(1994).
[8] Strouse, G. F. Standard Platinum Resistance Thermometer Calibrations from the Ar TP
to the Ag FP. National Institute of Standard and Technology (2008).
[9] Bojkovski, J., Kalemci, M., Petrusova, O. & Veliki, T. Comparison of the realizations
of the ITS-90 over the range from 83 . 8058 K to 692 . 677 K Comparison of the
Realizations of the ITS-90 over the Range from 83 . 8058 K to 692 . 677 K. in AIP
Conference Proceedings 8, 813–818 (AIP Publisher, 2013).

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hidayat WR
Pertanyaan :
1. Karena ini modifikasi dari NIST, apakah prosedur sudah dibuat dan divalidasi?
2. Dalam proses annealing sebelumnya perlu dilakukan pengukuran distribusi suhu dari
tungku?
Jawaban :
1. Belum dilakukan validasi, selanjutnya akan dilakukan
2. Sudah ada data sebelumnya untuk karakterisasi tungku

260 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Nama Penanya : Agah Faisal
Pertanyaan :
1. Annealing mengembalikan ke keadaan 99.6%, artinya apa? pemulihan ke semula?
2. Pembanding tahanannya seperti apa? Meter, atau jembatan tahanan, atau yang lain?
3. Kontaminasi zat apa yang mempengaruhi SPRT yang dipulihkan?
4. Apakah metode NIST itu terjadi oksidasi?

Jawaban :
1. Perubahan Ro1 ke Ro2 pada TPW sebesar 99.6%
2. Pemulihan menggunakan bridge
3. Suhu sedikit diturunkan dari NIST tapi ternyata hasilnya relatif sama dan konsumsi daya
jadi lebih kecil
4. Perlu validasi lebih lanjut untuk menguji apakah unsur2 dalam metal yang dipakai, jadi
kami hanya memperkirakan hal tsb dari kontaminasi dan oksidasi.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 261


PENGUKURAN DEKADE RESISTOR BOX SEMI OTOMATIS
Nibras Fitrah Yayienda, Lukluk Khairiyati, Muhammad Azzumar
Pusat Penelitian Metrologi LIPI,
Kompleks PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
nibrasfitrah@gmail.com

INTISARI
Sebuah sistem semi otomatis untuk pengukuran dekade resistor box telah dibangun dimana sistem ini
dibangun untuk menghilangkan faktor subyektifitas dan human error. Sistem ini dibangun dengan
menggunakan reference multimeter Fluke 8508A sebagai standar acuan. Pengukuran dilakukan
dengan metode langsung pada rentang pengukuran dari 100 mΩ sampai dengan 10 kΩ dimana
konfigurasi pengukuran menggunakan 4-terminal. Berdasarkan hasil validasi pengukuran dekade
resistor box semi otomatis dan manual didapatkan nilai En number untuk masing-masing titik ukur
yaitu 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ dan 10 kΩ menunjukkan |En| ≤ 1 yang artinya bahwa
pengkuran dekade resistor box semi otomatis berkesuaian dengan pengukuran manual.

Kata Kunci: dekade resistor box, metode langusung, semi otomatis, validasi

ABSTRACT
Semi automatic measurement system for decade resistor box had been build where this system built for
eliminating subjectivity and human error factor. This system built using reference multimeter Fluke
8508A as reference standard. The measurement using direct method from 100 mΩ of range until 10
kΩ of range where the measurement configuration using 4 wire. Based on verification result of
decade resistor box using semi-automatic measurement and manual measurement, the En number
value obtained for each measurement point of 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ dan10 kΩ shows that
|En| ≤ 1 which means the semi-automatic decade box resistor measurements are compatible with
manual measurement

Keywords: decade resistor box, direct methode, Semi automatic, validation

1. PENDAHULUAN
Pusat Penelitian Metrologi adalah sebuah lembaga metrologi yang mempunyai tugas
untuk mendesiminasikan nilai besaran fisis dimana salah satu caranya adalah melalui layanan
kalibrasi. Dalam melakukan layanan kalibrasi diperlukan kecermatan dan ketelitian mulai dari
proses pengambilan data sampai dengan analisa ketidakpastian sehingga sertifikat kalibrasi
yang diterbitkan merupakan sertifikat yang valid. Salah satu layanan kalibrasi yang diberikan
oleh Pusat Penelitian Metrologi adalah kalibrasi dekade resistor box yang memiliki sekitar 7
buah dial dengan masing-masing dial mempunyai kisaran 10 nominal, sehingga dalam proses
kalibrasi terdapat banyak titik-titik nominal yang harus dikalibrasi yaitu sebanyak 70 titik
pengukuran.

262 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Dalam proses kalibrasi terdapat 2 buah tipe ketidakpastian, salah satunya adalah
ketidakpastian tipe A yang berasal dari pengulangan pengambilan data[1]. Dengan demikian
pengambilan data selama kalibrasi mejadi sangat penting. Namun metode pengukuran yang
sudah terbangun selama ini, pengambilan data pada kalibrasi dekade resistor box masih
diambil secara manual. Banyaknya titik ukur, faktor subyektifitas dan human error dalam
mengambil data pengukuran dan memasukkan data ke dalam komputer untuk dievaluasi dapat
menyebabkan tidak validnya data pengukuran. Salah satu contoh dari faktor subyektifitas
adalah saat penentuan waktu yang diperlukan petugas kalibrasi dalam menentukan data yang
stabil pada penunjukkan meter dan siap dicatat nilainya. Lebih dari itu, salah satu faktor
human error yang dimaksud dapat terjadi saat pencatatan data pengukuran secara manual
yang ditunjukkan oleh ohmmeter.
Kalibrasi dekade resistor box secara semi otomatis adalah pemindahan dial dekade resistor
box yang masih dioperasionalkan oleh tangan pelaksana kalibrasi (secara manual) sedangkan
operasional ohmmeter yang dikendalikan oleh komputer. Sehingga data pengukuran dekade
resistor box yang terbaca ohmmeter langsung diterima dan direkam ke dalam komputer.
Selain dari pada itu, pemindahan dial yang dilakukan petugas kalibrasi dilakukan atas dasar
instruksi komputer, sehingga faktor subyektifitas dalam menentukan waktu yang dibutuhkan
untuk mengambil data diharapkan dapat dihilangkan.
Tujuan dari pengembangan pengukuran/kalibrasi dekade resistor box secara semi otamatis
ini adalah untuk mengurangi kesalahan atau ketidakvalidan yang disebabkan oleh faktor
subyektifitas dan human error dalam pengambilan, pencatatan dan pemasukan data
pengukuran. Lebih dari itu, ditujukan untuk mempercepat proses kalibrasi dibandingkan
secara manual. Oleh karena itu, kevalidan metode pengukuran dekade resistor box secara
semi otomatis perlu diketahui. Validasi yang dilakukan adalah dengan cara membandingkan
metode pengukuran secara semi otomatis dengan metode pengukuran yang sudah terbangun,
yaitu pengukuran secara manual. Hasil penelitian ini diharapkan agar pengukuran secara semi
otomatis yang dikembangkan bisa digunakan untuk pengambilan data kalibrasi.

2. RANCANG BANGUN
Konfigurasi sistem pengukuran dekade resistor box semi otomatis terdiri dari 1 buah
dekade resistor box sebagai alat yang akan diuji (DUT), 1 buah reference multimeter Fluke
8508A sebagai ohmmeter acuan (terkalibrasi) dan 1 buah komputer yang telah terinstal
software pengukuran dekade otomatis, yang mana program tersebut berbasiskan Microsoft
Visual Basic. Konfigurasi peralatan tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Selain itu dalam

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 263


sistem ini membutuhkan GPIB - USB - HS+ sebagai alat bantu untuk membuat koneksi antara
reference multimeter Fluke 8508A dengan komputer.

9 1
9 1 9 1 9 1

8
2

2
8

3
7

7
3
7

4
6

6
4
6
9 1
9 1 9 1

2
8

8
2

2
3
7
3

3
7

7
4
6
4

4
6

Gambar 1. Konfigurasi Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis

Komputer dihubungkan pada ohmmeter dengan menggunakan GPIB untuk melakukan


kontrol resolusi, konfigurasi pengkabelan, filter dan offset. Selain itu komputer digunakan
untuk melakukan kegiatan akuisisi data dimana kegiatan ini dilakukan dengan cara merekam
nilai yang terbaca oleh ohmmeter dan menyimpannya pada komputer.
Konfigurasi pengukuran dekade resistor box yang dihubungkan pada ohmmeter pada
umumnya dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam konfigurasi pengkabelan
sesuai dengan kemampuan/rentang dari dekade resistor box yang akan diukur. Berikut
terdapat berbagai macam konfigurasi pengkabelan yang digunakan pada suatu pengukuran
antara lain adalah : Konfigurasi dua-terminal (2T) merupakan konfigurasi pengkabelan yang
paling sederhana tetapi mengandung banyak sumber kesalahan yang ditambahkan dalam hasil
pengukuran. Konfigurasi ini digunakan pada rentang 100 Ω sampai dengan 10 kΩ dengan
tanpa melakukan kompensasi
Konfigurasi tiga-terminal (3T), pengukuran dengan menggunakan konfigurasi ini
menanfaatkan jenis kabel coaxial untuk mengurangi efek dari stray kapasitansi. Pada
umumnya rentang yang menggunakan konfigurasi ini diatas 10 kΩ. Konfigurasi empat-
terminal (4T), konfigurasi ini dapat mengurangi efek dari impedansi kabel dikarenakan aliran
arus dan tegangan pada kabel tetap. Dengan menggunakan konfigurasi ini akurasi dari hasil
pengukuran impedansi rendah akan meningkat dibawah 1 Ω. Dari berbagai konfigurasi
pengkabelan yang dijelaskan hanya konfigurasi pengkabelan 4-terminal yang akan digunakan
dalam pengukuran untuk makalah ini[3].

264 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


3. METODOLOGI
3.1 TEKNIK PENGUKURAN
Metode yang digunakan dalam melakukan pengukuran dekade resistor box semi
otomatis maupun manual adalah metode langsung dimana besaran yang diukur dibandingkan
secara langsung dengan alat ukur terkalibrasi. Alat standar yang digunakan adalah Reference
Multimeter Fluke 8508A (F8508A) (berfungsi sebagai ohmmeter) dengan DUT berupa
dekade resistor box. Penelitian ini dilakukan pada nominal 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ
dan 10 kΩ sehingga pengukuran yang dilakukan menggunakan pengukuran 4 kawat[4].
Konfigurasi pengukuran yang digunakan untuk pengukuran dekade resistansi semi
otomatis dengan menggunakan konfigurasi 4-terminal dapat dilihat pada gambar 2.
8

8
2

2
8

3
7

7
3
7

4
6

6
4
6

2
8

8
2

2
3
7
3

3
7

7
4
6
4

4
6

Gambar 2. Konfigurasi 4-Terminal Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis

Dimana dekade resistor box sebagai DUT dihubungkan dengan menggunakan 4-terminal
yang langsung dihubungkan ke reference multimeter 8508A sebagai standar acuan.
Sedangkan konfigurasi pengukuran dekade resistor box secara manual ditunjukkan pada
gambar 2, dimana konfigurasi pengukuran hanya tidak dihubungkan dengan komputer.

3.2 VALIDASI
Validasi pengukuran dekade resistor box semi otomatis ini dilakukan dengan
menentukan derajat ekuivalensi normalized error En dari pengukuran manual dan dengan
semi otomatis. Perhitungan normalized error En ditentukan dengan persamaan 1 sebagai
berikut.
RSemiOtomatis − RManual
En =
U (RSemiOtomatis ) + U 2 (RManual ) ……………………………………………..
2
1

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 265


Di mana RSemiOtomatis adalah hasil pengukuran dekade resistor box dengan semi otomatis dan
RManual adalah hasil pengukuran dekade resistor box secara manual. U(RSemiOtomatis) adalah
ketidakpastian dari type A dekade resistor box dengan semi otomasi sedangkan U(RManual)
ketidakpastian dari type A dekade resistor box dengan manual. Dimana ketidakpastian type A
diperoleh dengan standar deviasi (SD) dibagi dengan akar jumlah pengambilan data yang
dapat dilihat pada persamaan 2 dan 3.

1 N 2
SD = ∑
N − 1 i =1
( x i − x ) ......................................................................................... 2

Dimana:
N : jumlah data
xi : Data ke-i
x : rata-rata dari data
SD
Type A = ………………………………………………………………………. 3
n
Hasil pengukuran dapat dinyatakan memiliki kesesuaian pengukuran jika memenuhi kriteria
derajat ekuivalensi, yaitu |En| ≤ 1[5][6].

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran semi otomatis dan manual ini dilakukan dalam jangka waktu yang singkat
yaitu satu hari sehingga dapat mengesampingkan faktor pergeseran nilai resistansi terahadap
waktu (drift). Validasi pengukuran semi otomatis dilakukan dengan melakukan perhitungan
rata-rata dan ketidakpastian type A dengan menggunakan persamaan 2 dan 3 sedangkan
perhitungan normalized error En dari hasil perhitungan ketidakpastian type A dengan
menggunakan persamaan 1. Hasil perhitungan ketidakpastian type A dari pengukuran dekade
resistor box semi otomatis ditunjukkan pada tabel 1.

266 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 1. Hasil Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis
Standar
Nominal Rata-rata Type A
Deviasi
0,1 Ω 0,106724 2,9 x 10-5 1,3 x 10-5
1 Ω 1,006572 5,8 x 10-5 2,6 x 10-5
10 Ω 10,00755 5,6 x 10-5 2,5 x10-5
100 Ω 100,0143 1,3 x 10-5 5,8 x 10-6
1 kΩ 0,999999 1,0 x 10-7 4,5 x 10-8
10 kΩ 9,999665 1,2 x 10-6 5,5 x 10-7

Sedangkan hasil perhitungan ketidakpastian dari type A dari pengukuran dekade resistor box
manual ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Dekade Resistor Box Manual


Standar
Nominal Rata-rata Type A
Deviasi
0,1 Ω 0,106758 2,6 x 10-5 1,2 x 10-5
1 Ω 1,006637 1,1 x 10-4 5,1 x 10-5
10 Ω 10,00758 1,5 x 10-5 6,7 x 10-6
100 Ω 100,0143 1,3 x 10-5 6,0 x 10-6
1 kΩ 0,999999 1,1 x 10-7 4,9 x 10-8
10 kΩ 9,999664 8,4 x 10-7 3,7 x 10-7

Nilai rata-rata dan standar deviasi tersebut diperoleh dari pengukuran berulang sebanyak 5
kali. Pengukuran berulang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kesalahan acak yang
terjadi saat pengukuran dilakukan. Pengukuran berulang yang dimaksud adalah pengukuran
dengan cara mengukur satu nominal yang dilanjutkan dengan nominal lainnya sampai
nominal terakhir dan diulang sebanyak 5 kali. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi
kesalahan pembacaan yang disebabkan oleh ketidakstabilan pembacaan ohmmeter.
Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran semi otomatis maupun
pengukuran manual, menunjukkan kestabilan jangka pendek (repeatabilty) yang sama. Hal
tersebut dapat diketahui melalui selisih standar deviasi antara kedua pengukuran tersebut yang

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 267


paling maksimum sebesar 4 µΩ/Ω pada nominal 10 Ω. Kemudian seperti telah dijelaskan
pada penjelasan diatas kedua ketidakpastian type A dari dekade resistor box baik semi
otomatis ataupun manual akan digunakan untuk memvalidasi hasil pengukuran yang
ditunjukkan pada tabel 3 dimana di dalamnya terdapat hasil perhitungan normalized error
dengan persamaan 1.

Tabel 3. Validasi Hasil Pengukuran Dekade Resistor Box Semi Otomatis dengan Manual
Rata-rata Type A Rata-rata Type A En
Nominal
Manual Manual Semi Otomatis Semi Otomatis
0,1 Ω 0,106758 1,2 x 10-5 0,106752 1,3 x 10-5 0,34
-5 -5
1 Ω 1,006637 5,1 x 10 1,006626 2,6 x10 0,19
-6 -5
10 Ω 10,00758 6,7 x 10 10,00759 2,6 x10 0,20
100 Ω 100,0143 6,0 x 10-6 100,0143 5,9 x10-6 0,24
1 kΩ 0,999999 4,9 x 10-8 0,999999 4,5 x 10-8 0,30
-7 -7
10 kΩ 9,999664 3,7 x 10 9,999665 5,5 x 10 0,30

Hasil perhitungan En pada semua titik ukur pada tabel 3 berada di antara 0 sampai
dengan 1 yang menunjukkan bahwa pengukuran dekade resistor box dengan menggunakan
semi otomatis maupun dengan menggunakan manual menunjukkan hasil yang berkesesuaian.
Dengan hasil yang berkesesuaian dapat digunakan untuk melakukan kalibrasi dekade
resistor box dengan menggunakan pengukuran semi otomatis sesuai dengan prosedur yang
ada. Melakukan pengambilan data kalibrasi dekade resistor box dengan menggunakan
pengukuran semi otomatis mempunyai banyak manfaat yang salah satunya adalah
memudahkan pengambilan data. Selain itu, sistem pengukuran semi otomatis dapat
menghilangkan faktor subyektifitas yang dikarenakan perbedaan penentuan waktu tercapai
kestabilan nilai pada penunjukan ohmmeter. Manfaat yang lainnya adalah dapat
menghilangkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor human error dalam melakukan
pencatatan, pengambilan dan pemasukan data kedalam lembar kerja.
Dengan dihilangkannnya faktor subyektifitas maupun human error, maka hasil
pengukuran dekade resistor box dengan menggunakan semi otomatis menjadi lebih valid. Dan
dapat diterapkan dalam proses pengambilan data kalibrasi dekade resistor box sebagai salah
satu bagian pelayanan di Puslit Metrologi-LIPI.

268 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


5. KESIMPULAN
• Metode yang dibangun dalam melakukan pengukuran dekade resistor box adalah metode
pengukuran langsung, namun pengambilan data masih dilakukan secara manual.
• Banyaknya titik ukur, faktor subyektifitas, dan human error dalam mengambil data
pengukuran dan memasukkan data ke dalam komputer untuk dievaluasi dapat
menyebabkan tidak validnya data pengukuran. Oleh karena itu dibangunlah pengukuran
dekade resistor box secara semi otomatis.
• Validasi pengukuran ini dilakukan dengan menghitung En dimana ketidakpastian yang
dipakai dalam menghitung En adalah ketidakpastian type A.
• Hasil perhitungan En untuk nominal 100 mΩ, 1 Ω, 10 Ω, 100 Ω, 1 kΩ dan 10 kΩ adalah
0,34; 0,19; 0,20; 0,24; 0,30; 0,30.
• Hasil nominal tersebut menunjukkan bahwa pengukuran dekade resistor box semi
otomatis berkesesuaian dengan pengukuran dekade resistor box manual.
• Dengan hasil En yang berkesesuaian menunjukkan bahwa pengukuran semi otomatis
kalibrasi decade resistor box dapat digunakan sesuai prosedur yang ada.
• Manfaat pengukuran semi otomatis yang didapatkan adalah menghilangkan faktor
subyektifitas dan human error dalam mengambil data pengukuran.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pusat Penelitian Metrologi-Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia dan jajaran manajemen yang telah menyediakan sarana dan
prasarana untuk melaksanakan penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Joint Committee For Guides In Metrology (JCGM), “International vocabulary of
metrology — Basic and general concepts and associated terms (VIM),” VIM3 Int.
Vocab. Metrol., vol. 3, no. Vim, p. 104, 2008.
[2] P. Howarth and F. Redgrave, Metrologi Sebuah Pengantar, 2nd ed. Pusat Penelitian
Kalibrasi, Instrumentasi, Metrologi, 2005.
[3] M. Honda, The Impedance Measurement Handbook. Yokogawa: Yokogawa-Hawlett-
Packard LTD, 1989.
[4] Keithley, “Difference of 2 Wire and 4 Wire Measurement,” no. I, pp. 2–6, 2005.
[5] M. D. Early, M. Šíra, B. Andersson, L. A. Christian, and O. Gunnarsson, “A Simple

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 269


Build-Up Method for the DC Voltage Scale of a Source,” vol. 62, no. 6, pp. 1600–
1607, 2013.
[6] R. H. Sardjono, Metrologi Tegangan Listrik, Pertama. Jakarta: LIPI Press, 2015.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Windi Kurnia
Pertanyaan :
Mengapa akurasi dari pengambilan data secara otomatis tidak berbeda dari cara manual? Lalu
perbaikan dan pembaharuan tercermin dari apa?
Jawaban :
Perbaikan dan perbaruan yang ada didalam penelitian ini adalah cara pengambilan data
pengukuran dekade resistor box yang sebelumnya dilakukan secara manual menjadi semi
otomatis. Pengambilan data secara semi otomatis bertujuan untuk menghindari human error
dan subyektifitas operator yang banyak sekali terjadi karena banyaknya titik ukur. Melakukan
pengambilan data kalibrasi dekade resistor box dengan menggunakan pengukuran semi
otomatis mempunyai banyak manfaat yang salah satunya adalah memudahkan dan
menghindari kesalahan dalam pencatatan, pengambilan dan pemasukan data kedalam lembar
kerja. Dengan menggunakan pengambilan data secara semi otomatis, faktor kesalahan yang
disebabkan human error dan subyektifitas dapat dihilangkan. Selain itu dengan menggunakan
pengambilan data secara otomatis, dapat dilakukan pengambilan data lebih dari 5 kali dengan
mudah untuk memperkecil ketidakpastian type A. Dengan lebih banyaknya pengambilan data,
maka akurasi akan bertambah.

270 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


MONITORING DRIFT KAPASITANSI STANDAR
Lukluk Khairiyati, Muhammad Azzumar
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Kompleks PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
lukluk.khairiyati@gmail.com
INTISARI
Penentuan nilai stabilitas jangka panjang (drift) dari kapasitor standar fused-silica telah dilakukan,
dengan maksud digunakan untuk melihat nilai drift yang dapat digunakan sebagai sumber
ketidakpastian dari stabilitas kapasitor standar acuan di Pusat Penelitian Metrologi-LIPI. Metode
pengukuran yang digunakan adalah metode pengukuran langsung dengan menggunakan jembatan
kapasitansi. Pengukuran dilakukan secara periodik setiap bulan dan telah dilakukan selama 7 tahun
dari tahun 2009. Dengan mengetahui nilai-nilai hasil pengukuran selama 7 tahun terhadap kapasitor
standar ini dapat digunakan untuk mencari nilai slope, m, dengan menggunakan pendekatan fitting
linear atau metode kuadrat terkecil. Sehingga estimasi nilai stabilitas jangka panjang untuk nominal 1
pF, 10 pF dan dua buah 100 pF kapasitor standar telah diperoleh antara lain 2,3x 10-3 µF/F per tahun,
-8,4 x 10-7 µF/F per tahun, -9,7x10-5 µF/F per tahun dan -1,1x10-4 µF/F per tahun dengan
ketidakpastian bentangan relatif sebesar 5,2 µF/F, 0,18 µF/F, 0,036 µF/F, dan 0,050 µF/F.

Kata Kunci : drift, estimasi, fused-silica , fitting linear, kapasitor standar.

ABSTRACT
Determination of the value of the long-term stability (drift) of the fused-silica capacitance standard
has been performed, with the intention of being used to see the drift value that can be used from
stability uncertainty source of the reference standard capacitor in the Research Center of Metrology
LIPI. The measurement method that used in this paper is a direct measurement method using a
capacitance bridge. Measurements are carried out periodically every month and have been carried
out for 7 years from 2009. Knowing the values of the 7-year measurement results against these
standard capacitors can be used to find the value of slope, m, using the linear fitting approach or the
least squares method. So the estimation of long-term stability value for nominal 1 pF, 10 pF and two
100 pF standard capacitors has been obtained, among others, 2.3x 10-3 µF/F per year, -8.4 x 10-7
µF/F per year, -9.7x10-5 µF/F per year and -1.1x10-4 µF/F per year with relative expanded
uncertainty are 5.2 µF/F, 0.18 µF/F, 0.036 µF/F, dan 0.050 µF/F.

Keywords: drift, estimation, fused-silica , linear fitting, standard capacitor.

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pusat Penelitian Metrologi-LIPI sebagai pusat penelitian dibidang metrologi bertugas
untuk merealisasikan standar Nasional dan menjaga ketertelusuran standar dari hasil ukur
kepada satuan sistem internasional (SI). Besaran-besaran acuan atau standar tersebut harus

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 271


diketahui nilai yang sebenarnya dan memiliki nilai yang tertelusur. Oleh karena itu, standar-
standar tersebut harus dikalibrasi secara periodik.
Sebagian besar program kalibrasi periodik untuk alat standar acuan (reference
standard) dilakukan dengan mengkalibrasi alat standar tersebut ke Lembaga Metrologi
Nasional (NMI) di luar negeri melalui program rekalibrasi. Kemudian hasil kalibrasi tersebut
dijaga dan didesimanisakan ke standar-standar acuan dan standar-standar kerja yang
lainnya[1]. Kapasitansi standar acuan yang dimiliki Pusat Penelitian Metrologi-LIPI
merupakan standar pengukuran kapasitor yang memiliki mutu yang tinggi untuk menjadi
acuan bagi pengukuran kapasitor lainnnya. Untuk lingkup kapasitansi, standar tertinggi yang
dimiliki Pusat Penelitian Metrologi-LIPI adalah fused-silica standar AH 1100 yang terdiri dari
3 nominal standar kapasitan yaitu 1 pF, 10 pF dan 100 pF.
Suatu kapasitansi standar memiliki peranan sangat penting sebagai sebuah acuan
dalam menjamin akurasi pengukuran kapasitansi yang diuji. Sehingga perlu dilakukan
pengukuran yang periodik untuk mengetahui kestabilan dari standar kapasitan yang dimiliki
Pusat Penelitian Metrologi-LIPI.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian dilakukan dengan menganalisis hasil pengukuran 4 buah kapasitor standar
yang terdapat di fused-silica AH 1100 dengan metode langsung menggunakan jembatan
kapasitan AH 2700. Hasil pengukuran yang dilakukan selama hampir 7 tahun dan
pengukurannya dilakukan secara periodik akan digunakan untuk mengestimasi nilai stabilitas
jangka panjang (drift). Pada paper ini akan dilaporkan hasil monitoring dari pengukuran
kapasitor standar yang dilakukan secara periodik untuk mengetahui stabilitas jangka panjang
dari kapasitansi standar Pusat Penelitian Metrologi-LIPI. Hasil estimasi drift ini akan
digunakan sebagai sumber ketidakpastian dari stabilitas kapasitansi standar acuan dari Pusat
Penelitian Metrologi-LIPI.

2. DASAR TEORI
Kapasitor standar acuan yang dijadikan standar acuan tertinggi di Pusat Penelitian
Metrologi-LIPI adalah empat buah kapasitor standar AH 1100 yang terdiri dari 3 nominal
1 pF, 10 pF dan 100 pF yang tertelusur kepada 10 : 1 Capacitance Bridge dari KRISS-Korea.
Kapasitor standar fused-silica Andeen-Hagerling dengan tipe AH 1100 memiliki akurasi dan
kestabilan yang baik sebagai instrumen yang digunakan untuk proses kalibrasi kapasitansi

272 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


yaitu 0,3+ 1/C ppm/tahun, dimana C adalah nilai nominal dari AH 11A dalam pF. Kapasitansi
standar fused-silica ini merupakan kapasitansi standar dielektrik[2].
Sedangkan alat ukur yang digunakan untuk pengukuran kapasitor standar adalah
jembatan kapasitansi yaitu AH 2700A yang menawarkan stabilitas, resolusi, linearitas dan
akurasi yang baik, selain itu jembatan kapasitansi ini memiliki fungsi multi frekuensi serta
alat ukur yang mudah untuk digunakan. Rangkaian dasar jembatan kapasitansi ini
menggunakan rasio transformer yang khusus dan memiliki ketelitian dan akurasi yang tinggi,
rangkaian dasar jembatan kapasitansi ditunjukkan pada gambar 1[3].

Gambar 1. Rangkaian Dasar Jembatan Kapasitansi

Pengukuran kapasitansi standar yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan


metode pengukuran langsung dengan menggunakan jembatan kapasitansi AH 2700. Dimana
metode pengukuran langsung digunakan jika sebuah rangkaian sistem pengukuran memiliki
dua buah instrumen yang terdiri dari sebuah instrumen standar (berupa sumber) dan sebuah
instrumen yang diukur berupa meter terhubung secara langsung, tanpa instrumen bantu[4].
Pada umumnya sebuah instrumen memiliki dua tipe karakteristik yaitu statik dan
dinamik dalam sebuah sistem pengukuran, dimana karakteristik statik memiliki jenis antara
lain akurasi, presisi, sensitivitas, drift, resolusi pengulangan pengukuran dan linearitas[5]. Dan
oleh karena itu drift yang merupakan salah satu jenis karakteristik statsik suatu instrumen
akan memberikan pengaruh terhadap suatu hasil pengukuran. Dimana drift didefinisikan
sebagai pergeseran bertahap suatu indikasi selama periode waktu, dimana variabel input tidak
berubah. Terjadinya drift bisa disebabkan beberapa faktor lingkungan seperti stray medan
listrik, stray medan magnet, perubahan suhu, thermal e.m.f dan juga dari getaran mekanikal[6].

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 273


3. METODOLOGI
Sistem pengukuran yang dipergunakan untuk mengetahui nilai estimasi drift
kapasitansi standar ini adalah sistem pengukuran yang dioperasikan dari kapasitor standar
(Fused-silica standar AH 1100) dengan menggunakan metode pengukuran langsung dengan
menggunakan jembatan kapasitansi (AH 2700) untuk mendapatkan nilai kapasitansi. Sistem
ini terdiri dari 4 buah kapasitor dengan nominal 1 pF, 10 pF dan 100 pF. Konfigurasi
pengukuran ditunjukkan pada Gambar 2. Pada sistem pengukuran ini kondisi ruang proses
pengukuran yang harus dijaga pada suhu (23 ± 3) ºC dan kelembaban relatif dibawah 70
%RH.
Sebelum dilakukan kegiatan pengukuran, kapasitor standar sudah dihidupkan secara
terus menerus tanpa dimatikan dan dikondisikan pada suhu dan kelembaban yang
dipersyaratkan. Tempatkan jembatan kapasitansi dan kapasitor standar yang diuji pada tempat
yang disesuaikan dan nyalakan jembatan kapasitansi untuk penstabilan alat selama 30 menit
sebelum dilakukan pengukuran dan perlu dilakukan peng-nol-an pada jembatan kapasitansi
untuk mengkoreksi kesalahan pengkabelan (DCOAX-1-BNC). Selama proses peng-nol-an
pengkabelan harus dalam posisi terbuka (tidak terhubung dengan kapasitor standar sebagai
(UUT/unit under test)), kemudian tekan tombol “Show”,”Zero” dan “Enter” dan kemudian
tekan tombol panah “(↓)” yang berfungsi menghilangkan impedansi atau kesalahan
pengkabelan.

Gambar 2. Konfigurasi pengukuran langsung kapasitansi standar


Hubungkan kapasitor yang diuji ke jembatan kapasitansi dengan menggunakan kabel
koaksial dengan menggunakan pasangan 2-kawat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Pengukuran untuk mengetahui nilai estimasi drift dari kapasitor standar dilakukan secara
periodik.

274 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Hasil pengukuran untuk mencari nilai drift dari kapasitor standar ini dilakukan dengan
melalukan pengukuran pada setiap akhir bulan dari tahun 2009 sampai 2016 sehingga
diperoleh sebaran data hasil pengukuran dari keempat kapasitor standar yang dimiliki yaitu
nominal 1 pF, 10 pF dan 100 pF.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai estimasi dari drift kapasitansi standar fused-silica standar AH 1100 yang
dimiliki Pusat Penelitian Metrologi-LIPI diperoleh dengan melakukan pengukuran secara
periodik selama hampir 7 tahun dan hasil pengukuran tersebut dianalisa dengan menggunakan
persamaan 1 - 3. Sehingga riwayat pengukuran terhadap kapasitor standar diplotkan ke dalam
suatu bagan dan dilakukan linear fitting. Data hasil estimasi nilai drift ditunjukkan pada
gambar grafik yang mempersentasikan hasil pengukuran dan hasil analisa data tersebut yang
ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran data untuk nilai kapasitor standar 1 pF, 10 pF dan 100 pF

Pada gambar 3, hasil pengukuran dari setiap nominal kapasitor memiliki perubahan
yang relatif sangat kecil selama 7 tahun tersebut, yaitu tidak lebih dari 0,01 µF/F. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kapasitor fused-silica AH 1100 memiliki karakteristik kestabilan jangka
panjang yang baik. Dimana nilai kestabilan yang dimiliki kapasitansi standar fused-silica ini

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 275


masih dibawah kestabilan yang didefinisikan dalam spesifikasi alat yaiu 0,3+ 1/C ppm/tahun.
Sehingga menunjukkan bahwa perubahan nilai nominal kapasitor standar tersebut relatif kecil.
Ketidakpastian bentangan relatif untuk nominal kedua 100 pF (C dan D) tidak lebih
dari 0,050 µF/F, yaitu masing-masing 0,036 µF/F dan 0,050 µF/F. Ketidakpastian bentangan
relatif untuk nominal 10 pF sebesar 0,18 µF/F. Sedangkan untuk ketidakpastian bentangan
relatif untuk nominal 1 pF memiliki karakter yang relatif lebih besar dari nominal yang
lainnya yaitu sebesar 5,2 µF/F.
Pada gambar 3 untuk setiap nominal terlihat adanya beberapa lonjakan nilai yang
relatif lebih jauh dari sebaran titik-titik yang lainnya, seperti pada tanggal 29 Mei 2015 pada
nominal 1 pF dan pada tanggal 28 November 2014 pada nominal 10 pF. Hal tersebut
diasumsikan bahwa perubahan nilai yang relatif besar tersebut dikarenakan adanya kesalahan
acak saat pengukuran. Untuk meningkatkan tingkat keyakinan dan mengurangi keraguan-
raguan dalam memperoleh data pengukuran di setiap waktunya, maka perlu dilakukannya
pengukuran yang berulang di setiap waktunya.
Dalam pengukuran drift ini diasumsikan relatif tidak terpengaruh akibat perubahan
suhu lingkungan saat pengukuran di setiap waktunya. Hal tersebut dikarenakan fused-silica
disk yang terdapat di masing-masing kapasitor fused-silica AH 1100A ter-sealed rapat di
copper chamber yang terisolasi secara thermal dari outside case AH 11A[4].
Perhitungan untuk mengestimasi atau memperkirakan nilai estimasi aktual dari
kapasitor standar acauan dengan nilai sertifikat nominal 1 pF, 10 pF dan 100 pF ini dilakukan
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang ditunjukkan pada persamaan 1. Sehingga
cara menghitung nilai slope yang ditentukan dengan melakukan fitting secara linear terhadap
nilai-nilai obeservasi. Slope atau gradien garis tersebut dinyatakan dengan m. Nilai slope m
merupakan nilai stabilitas jangka panjang (drift) dari kapasitor standar acuan dengan nominal
tersebut diatas. Persamaan 2 dan 3 digunakan untuk menentukan nilai slope menggunakan
persamaan berikut :
y = mx + c ..................................................................................................................... 1
di mana:
y adalah nilai estimasi aktual dari kapasitor fused-silica AH 1100
x adalah tanggal pengestimasian[7].
Dengan

276 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


 N   N  N 
N  ∑ xi y i  −  ∑ xi  ∑ y i 
m =  i =1   i =1  i =1 
2
................................................................................ 2

( )
2   N 
N
N  ∑ xi  −  ∑ xi 
 i =1   i =1 
 N 2  N   N  N 
( )
 ∑ xi  ∑ y i  −  ∑ xi  ∑ xi y i 
c =  i −1  i =1   i =1  i =1
2
 ........................................................................... 3
 N   N 
( )
N  ∑ x12  −  ∑ ( x1 )
 i =1   i =1 
di mana:
yi adalah nilai pengukuran periodik dari kapasitor fused-silica AH 1100
xi adalah tanggal pengukuran.
Hasil perhitungan slope yang merupakan laju drift untuk kapasitansi dari fused-silica
AH 1100 dan intersep yang merupakan deviasi awal hasil kalibrasi KRISS terhadap masing-
masing nominal ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Nilai slope dan intersep dari kapasitor standar


Kapasitor Standar Nominal Slope Intersep
(pF)
Fused-silica A 1 2,3 x 10-3 -9,5 x 101
Fused-silica B 10 -8,4 x 10-7 5,8 x 10-2
Fused-silica C 100 -9,7 x 10-5 0,4 x 101
Fused-silica D 100 -1,1 x 10-4 4,3 x 101

Dengan menggunakan persamaan 2 dan data slope dan intersep yang diperoleh pada
tabel 1 dapat diestimasikan nilai estimasi aktual dari kapasitor standar AH 1100.

5. KESIMPULAN
Dari hasil analisa data pengukuran kapasitansi standar fused-silica yang dilakukan
selama 7 tahunan dapat disimpulkan bahwa nilai estimasi drift kapasitansi standar yang
dimiliki Pusat Penelitian Metrologi-LIPI menunjukkan bahwa kapasitansi standar masih
memiliki kestabilan yang baik. Karena nilai slope dari ploting data pengukuran kapasitansi
terhadap waktu menunjukkan nilai sebagai berikut: 2,3x 10-3 µF/F per tahun, -8,4 x 10-7 µF/F
per tahun, -9,7 x 10-5 µF/F per tahun, dan -1,1 x 10-4 µF/F per tahun untuk nominal 1 pF,
10 pF dan 100 pF yang mana nilai kestabilan yang dimiliki kapasitansi standar fused-silica ini
masih dibawah kestabilan yang didefinisikan dalam spesifikasi alat yaiu 0,3+ 1/C ppm/tahun.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 277


Hal tersebut memberikan informasi bahwa pengukuran ini telah memverifikasi spesifikasi
dari AH 1100. Selain daripada itu, juga diperoleh slope yang merupakan laju drift untuk
kapasitansi dari fused-silica AH 1100 dan intersep yang merupakan deviasi awal hasil
kalibrasi KRISS terhadap masing-masing nominal, sehingga nilai estimasi kapasitansi dapat
diketahui. Metode penentuan nilai drift ini dapat digunakan untuk mengetahui nilai kestabilan
dari standar-standar di lingkup kelistrikan.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pusat Penelitian Metrologi-LIPI
dan jajaran manajemen yang telah menyediakan sarana dan prasarana khususnya di lingkup
kelistrikan untuk melaksanakan penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Lukluk K & Azzumar M, 2016, Analisis Rangkaian Dan Verifikasi Metode Kalibrasi
Resistansi AC Berbasis Pengukuran Tidak Langsung, Prosiding PPI KIM.
[2] Andeen-Hagerling, June 2003, The World’s Most Stable Capacitance Standards (AH
1100 Capacitance Standard Frame AH 11A Fused-silica Capacitance Standard),
Andeen-Hagerling Inc.
[3] Adeen-Hagerling, June 2003, Operation and Maintenance Manual AH2700A 50 Hz –
20 kHz Ultra Precision Capacitance Bridge, Adeen-Hagerling Inc.
[4] R. Hadi Sardjono, 2014, Metrologi Tegangan Listrik : Ketertelusuran dan
Implementasi, page 28, LIPI Press.
[5] _, 2012, Static & Dynamic Characteristics of Measurement System,
http://mediatoget.blogspot.in//2012/01/static-dynamics-characteristics-of.html, diakses
20 Juni 2016.
[6] Ravi Patel, Harsh Patel, Panchal Hiten, Parmar Sumit, Deep Modi Guided by Prof.
Manish G. Prajapati, Nov 21, 2014, Ppt on Characteristics of instruments, Gujarat
Power Engineering & Research Institute, Mewad.
[7] Fisika Veritas, 2013, Penurunan Rumus Metode Kuadrat Terkecil
https://fisikaveritas.blogspot.co.id/2013/06/penurunan-rumus-metode-kuadrat-
terkecil.html. diakses 20 Juni 2016.

278 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijanarko
Pertanyaan :
Faktor yang membedakan drift kapasitansi 1,2 dan 3,4 apa?
Jawaban :
Dari ke-4 kapasitor standar dapat dilihat bahwa nominal 1 pF menunjukkan perubahan nilai
yang relatif lebih fluktuatif atau terdapat beberapa lonjakan nilai yang relatif lebih jauh dari
sebaran titik-titik yang lainnya, seperti pada tanggal 29 Mei 2015 pada nominal 1 pF dan pada
tanggal 28 November 2014 pada nominal 10 pF. Hal tersebut diasumsikan bahwa perubahan
nilai yang relatif besar tersebut dikarenakan adanya kesalahan acak saat pengukuran. Untuk
meningkatkan tingkat keyakinan dan mengurangi keraguan-raguan dalam memperoleh data
pengukuran di setiap waktunya, maka perlu dilakukannya pengukuran yang berulang di setiap
waktunya. Untuk fakor yang mempengaruhi pengukuran yang lain telah dikondisikan seperti
(suhu, kelembaban, peng-nol-an kabel) telah dilakukan.

Nama Penanya : Arfan Sindu Tistomo


Pertanyaan :
Bagaimana memastikan drift itu hanya berasal dari alatnya bukan referensinya? Lalu apakah
nilai-nilai ketidakpastian dimasukan pada analisa interpolasinya?
Jawaban :
Referensi yang digunakan untuk memonitoring drift harus memiliki kestabilan jangka pendek
dan jangka panjang yang tinggi, minimal jauh lebih tinggi dari artefak yang dimonitor.
Sehingga pengaruh drift dari referensinya dapat diabaikan. Namun, untuk memastikan drift
suatu artefak, referensinya harus dikalibrasi ulang ke standar primer (yang tidak memiliki
drift) untuk mengetahui drift referensinya sehingga nilai drift referensi tersebut dapat
dikoreksikan ke drift monitoring aretefak.
Untuk mengevaluasi ketidakpastian drift artefaknya, selain nilai pengukuran setiap harinya,
ketidakpastian di setiap pengukurannya juga diperlukan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 279


EVALUASI DRIFT SOLID STATE STANDAR TEGANGAN DC
BERDASARKAN RIWAYAT KALIBRASI TERHADAP JOSHEPSON
VOLTAGE STANDARD
Nibras Fitrah Yayienda, Mohamad Syahadi
Pusat Penelitian Metrologi LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
nibrasfitrah@gmail.com

INTISARI
Tegangan DC adalah salah satu parameter didalam metrologi kelistrikan yang penting. Pengukuran
tegangan DC yang presisi dan akurat diperlukan untuk menjamin kebenaran nilai tegangan DC
tersebut. Solid state tegangan DC merupakan acuan tegangan DC yang memiliki tingkat kestabilan
yang baik. Nilai dari acuan tegangan DC tersebut akan mengalami perubahan berdasarkan waktu.
Sehingga perawatan secara periodik diperlukan untuk memantau pergeseran nilainya. Kesesuaian nilai
solid state tegangan DC dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan nilai terhadap waktu.
Perubahan laju pergeseran nilai (drift) tegangan DC pada solid state tegangan DC dapat dievaluasi dari
riwayat kalibrasi sebelumnya. Dalam penelitian ini telah dilakukan evaluasi laju perubahan nilai solid
state tegangan DC dengan menggunakan metode least square fit. Nilai solid state tegangan DC
diambil berdasarkan data kalibrasinya pada nominal 1,018 V dan 10 V dari tahun 2008 ke tahun 2015
meskipun tidak dilakukan secara periodik pertahun. Hasil evaluasi perubahan laju pergeseran nilai
(drift) dari solid state tegangan DC untuk nominal 1,018 V adalah 1,088 µV/V/tahun dengan
ketidakpastian 0,044 µV/V dan untuk 10 V adalah 1,16 µV/V/tahun dengan ketidakpastian 0,08 µV/V.
Hasil dari evaluasi tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan spesifikasi teknisnya.

Kata Kunci: tegangan dc, solid state tegangan dc, drift

ABSTRACT
DC voltage is one of important electrical metrology parameter. Precision and accuracy of DC voltage
measurement needed to maintain the righteousness of dc voltage value. Solid state dc voltage is dc
voltage reference that has great stability. So its need periodical maintenance to observe shifting
values. Solid state dc voltage value conformity can be done by evaluating the change in value towards
time. The rate shifting value (drift) of dc voltage in solid state dc voltage can be evaluated from the
last calibration history. In this research evaluation of rate shifting value of solid state dc voltage using
least square fit method has been done. Solid state dc voltage values taken from it calibration data in
2008 until 2015 at 1,018 Volt and 10 Volt although it can’t be done every year periodically. The
evaluation result of rate shifting value (drift) from 1,018 volt solid state dc voltage is 1,088 µV/V/year
with uncertainty value 0,044 µV/V and 1,15 µV/V/year with uncertainty value 0,08 µV/V for 10 Volt.
That evaluation result is smaller than technical specification

Keywords: dc voltage, solid state dc voltage, drift

280 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


1. PENDAHULUAN
Pusat Penelitian Metrologi LIPI memiliki tugas utama dalam melakukan penelitian
dan pengembangan untuk bidang teknik pengukuran di Indonesia. Berdasarkan sistem
internasional satuan ukur besaran listrik mengacu pada besaran arus (Ampere). Besaran
ampere direpresentasikan menggunakan pendekatan dari hukum ohm, yaitu melalui
representasi standar primer tegangan dan standar primer resistansi berdasarkan konstanta
plank. Realisasi untuk tegangan DC berupa Josephson Voltage Standard, sedangkan
representasi resistansi berupa Quantum Hall Resistance (QHR). Pusat Penelitian Metrologi
LIPI telah berhasil menurunkan nilai tegangan DC pada solid state standar tegangan DC Fluke
7000 untuk nilai nominal 1,018 V dan 10 V pada tahun 2008 sampai 2012 dari standar primer
PJVS-LIPI (Programmable Joshepson Voltage Srandard-LIPI). Namun pada tahun 2012
PJVS LIPI berhenti beroperasi dalam menurunkan nilainya , hal ini disebabkan adanya
penurunan fungsi alat pada beberapa sistem internal dari PJVS-LIPI. Karena berhentinya
PJVS-LIPI dalam beroperasi, sehingga pada tahun 2015 solid state standar tegangan DC
Fluke 7000 dikalibrasi ke BIPM (Bureau international des poids et mesures) untuk
mendapatkan nilai yang aktual yang terkalibrasi.
Pemantauan terhadap nilai aktual solid state standar tegangan DC secara periodik
diperlukan untuk memberikan koreksi terhadap nilainya sehingga nilai dari solid state
tegangan DC tersebut masih tetap valid. Dari pemantauan hasil pengukuran solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 dari tahun 2008 sampai 2015 mengalami perubahan nilai aktual
yang dimungkinkan terjadi karena perubahan waktu[1]. Oleh sebab itu sangat diperlukan
analisa drift (pergeseran nilai terhadap waktu) terhadap nilai nominal dari solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 sehingga dapat diperkirakan nilai aktual dari solid state standar
tegangan DC Fluke 7000. Selain itu nilai drift dapat digunakan untuk memperkirakan periode
kalibrasi selanjutnya.
Untuk mendapatkan nilai drift tersebut analisa yang dipakai adalah dengan
menggunakan metode least square fit dari nilai-nilai yang dimiliki oleh solid state standar
tegangan DC Fluke 7000. Metode least square fit sesuai untuk digunakan dalam menentukan
drift dan melakukan perkiraan nilai aktual karena metode ini dapat menentukan best fit line
yang sesuai dengan sebaran data kesalahan terhadap nominal yang dimiliki oleh solid state
standar tegangan DC Fluke 7000.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 281


2. TEORI DASAR
Joshepson effect voltage standard
Besaran listrik menurut sistem internasional (SI) adalah arus dengan satuannya yaitu
[2]
ampere . Untuk merealisasikan besaran arus diperlukan realisasi dari besaran tegangan
dengan satuan Volt dan besaran resistansi dengan satuan Ohm. Realisasi dari besaran
tegangan dapat dilakukan dengan melakukan penerapan Josephson Effect. Sedangkan
realisasi besaran resistansi dapat dilakukan denan penerapan Quantum-Hall Effect. Banyak
institusi metrologi nasional (NMI) di beberapa negara yang telah melakukan penerapan
Josephson Effect dan Quantum-Hall effect untuk digunakan sebagai dasar standar primer
besaran tegangan dan resistansi [3].
Standar primer berbasis Josephson Effect memberikan nilai yang akurat untuk unit
tegangan DC. Nilai tegangan dari Josephson standards merupakan hasil dari hukum fisika
dimana jika sebuah arus AC dari frekuensi (f) diberikan kepada sebuah Joshepson Junction
maka akan menghasilkan sebuah tegangan yang terkuantisasi seperti persamaan dibawah ini
[4]
:
Vn = f n/KJ 1
Dimana f = Radiasi frekuensi microwave
n = integer
KJ (Konstanta Josephson) = 2e/h = 483597,9 GHz/V [5]
Output nilai tegangan dari sistem Josephson standard akan dijadikan nilai acuan
sebagai standar primer tegangan DC. Nilai tersebut kemudian dapat di turunkan ke standar
kedua (secondary standard) berupa standar sel maupun zener diode.

Solid State Standar Tegangan DC


Sebelum ditemukanya teknologi solid state, standar tegangan DC masih menggunakan
jenis standar sel untuk dirawat sebagai standar tegangan DC di laboratorium. Standar sel
adalah electrochemical cell, yang dapat menghasilkan sebuah tegangan atau electromoticve
force (emf) dan arus listrik dari sebuah reaksi kimia. Electrochemical cell sensitif terhadap
perubahan temperatur, getaran dan aliran arus listrik kecil.
Pada tahun 1960 an telah diperkenalkan sebuah tipe standar tegangan DC berbasis solid
state device, yang diberi nama dengan Zener Diode. Standar tegangan zener (Zener Voltage
Standar) memiliki internal noise yang tinggi, namun jika dibandingkan dengan
electrochemical cell, standar tegangan zener memiliki koefisien suhu rendah, tidak sensitif

282 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


terhadap aliran arus dan memiliki output tegangan yang dapat mengurangi efek dari thermal
emf saat proses pengukuran [6].
Zener device adalah semikonduktor diode yang karakteristik I-V nya bekerja pada
wilayah revese-bias. Secara umum tegangan dan arus breakdown meningkat secara tiba-tiba
dan teregulasi ketika tegangan revese-bias terlampaui. Diode dibuat dengan sesuai dengan
kemampuan daya disipasinya untuk dapat beroperasi pada wilayah breakdown sehingga dapat
digunakan sebagai standar tegangan DC (voltage reference).
Secara sederhana solid state standar tegangan DC Fluke 7000 terdari dari zener device,
amplifier, dan gain resistor, seperti pada gambar 1. Resistor R1 dan R2 digunakan untuk
[7]
mengontrol temperatur pada oven . Output yang dihasilkan adalah 10 V dan 1V atau
1,018V.

Gambar 1. Sirkuit sederhana zener standar tegangan DC [7]


Drift
Seiring dengan bertambahnya waktu maka komponen pada solid state tegangan
tegangan DC akan mengalami penurunan fungsi sehingga menyebabkan output tegangannya
berubah. Perubahan tersebut diperkirakan terjadi secara linier terhadap waktu. Drift tersebut
bisa dikelompokkan berdasarkan waktu pengamatan yaitu Short term stability dan long term
stability. Short term stability pada solid state tegangan DC dipengaruhi oleh internal noise.
Sedangkan untuk long term stability dipengaruhi oleh veriasi kondisi lingkungan seperti suhu,
kelembaban dan tekanan.

3. METODOLOGI
Perhitungan drift pada solid state standar tegangan DC Fluke 7000 dapat dievaluasi
dengan menggunakan metode least square fit. Dalam menggunakan metode ini data-data yang
diperlukan berasal dari nilai yang diturunkan dari standar primer PJVS LIPI pada tahun 2008
sampai 2011 dan juga nilai dari hasil kalibrasi solid state standar tegangan DC Fluke 7000 di

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 283


BIPM pada tahun 2015 dimana dari data tersebut dapat dicari kesalahannya terhadap nilai
nominal dengan menggunakan persamaan 2.

…………………………………………………………………....2
Dimana : y adalah kesalahan dari solid state standar tegangan DC Fluke 7000.
Nilai kesalahan terhadap nilai nominal diestimasi dengan menggunakan persamaan
least square fit pada persamaan 5 dimana diperlukan perhitungan gradien (m) dan
perpotongan (b) dengan menggunakan persamaan 3 dan 4.

N  N  N 
N  ∑ ( xi y i ) −  ∑ ( xi ) ∑ ( yi )
    
m=    i =1  i =1 
i =1
2

( )  
N N
N  ∑ xi2  −  ∑ ( xi )
   
 i =1   i =1  ……………………………………………..3
Dimana :
N adalah jumlah data yang digunakan dalam membuat garis fitting
xi adalah tanggal pada saat data ke-i

yi adalah data ke-i

( )
 N 2  N  N  N 
 ∑ xi  ∑ ( yi ) −  ∑ ( x1 ) ∑ ( x i yi )
     
b=  i =1   i =1  i =1 
i =1


( )
  
N N
N  ∑ xi2  −  ∑ ( xi )
   
 i =1   i =1  ……………………………………….4

y fitting = mx + c
…………………………………………………………………5
Dimana :
m adalah gradien
c adalah perpotongan

Dengan menghitung simpangan baku menggunakan persamaan 6, maka dapat


ditentukan ketidakpastian drift dengan menggunakan persamaan 7.

1 N
σy = ( )
∑ y1 − y fitting 2 ...............................................................................6
N − 2 i =1

284 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Nσ y
σm = ………………………………………………….7
2
N
( )  N 
N  ∑ xi2  −  ∑ (xi )
   
 i =1   i =1 
Dengan menggunakan persamaan 3 drift zener diode setiap hari dapat diketahui

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Metode least square fit digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel x
(independen) dan y (dependen). Selain itu kegunaan metode tersebut adalah untuk
mengestimasi best fit line diantara kesalahan solid state standar tegangan DC Fluke 7000
terhadap nominal dimana semakin banyak titik-titik tersebut akan semakin optimal garis yang
terbentuk. Dengan menggunakan metode least square fit gradien, perpotongan serta
ketidakpastian dari gradien pada best fit line dapat diketahui.
Berdasarkan hasil pengukuran solid state standar tegangan DC dalam kurun waktu
2008 sampai 2015 terlihat adanya karakterisitik pergeseran nilai yang linier terhadap
perubahan waktu. Distribusi tersebut dapat didekati dengan mengggunakan fungsi linier.
Sehingga metode yang tepat untuk mengevaluasi drift dari solid state standar tegangan DC
adalah metode least square fit. Dengan menggunakan metode tersebut akan didapatkan nilai
drift dan ketidakpastianya sehingga dapat ditambahkan pada saat evaluasi sumber
ketidakpastian solid state standar tegangan DC. Data kesalahan zener diode 1,018 Volt
terhadap nominal dalam waktu tertentu dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data Kesalahan solid state standar tegangan DC Fluke 7000 1,018 Volt
terhadap Nominal dalam Waktu Tertentu
Tanggal Tegangan Kesalahan
Output
(V) (µV/V)
2008/07/02 1,018 007 881 7 7,74
2010/02/04 1,018 005 578 7 5,48
2010/05/19 1,018 005 262 5 5,17
2010/06/01 1,018 005 184 6 5,09
2011/01/12 1,018 004 594 6 4,51
2011/02/24 1,018 004 344 6 4,27
2015/09/09 1,017 999 667 1 -0,33

Sedangkan data kesalahan solid state standar tegangan DC Fluke 7000 10 Volt
terhadap nominal dalam waktu tertentu dapat dilihat pada tabel 2

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 285


Tabel 2. Data Kesalahan solid state standar tegangan DC Fluke 7000 10 Volt terhadap
Nominal dalam Waktu Tertentu
Tanggal Tegangan Kesalahan
Output
(V) (µV/V)
2008/05/11 9,999 980 052 1 -1,99
2008/07/01 9,999 977 670 1 -2,23
2010/02/04 9,999 950 073 5 -4,99
2010/05/19 9,999 946 895 4 -5,31
2010/06/01 9,999 946 595 8 -5,34
2011/01/12 9,999 940 310 4 -5,97
2011/02/24 9,999 939 256 4 -6,07
2015/09/09 9,999 893 759 6 -10,62

Pengukuran solid state tegangan DC pada tahun 2008 sampai 2011 dilakukan di
Puslit Metrologi LIPI mengunakan PJVS LIPI dengan suhu lingkungan pada saat pengukuran
adalah 23±2 JC. Sedangkan pada tahun 2015 nilai solid state tegangan DC diperoleh dari
hasil kalibrasi di BIPM dengan suhu 20,7 JC. Karena terdapat perbedaan suhu lingkungan
saat pengukuran di Puslit Metrologi-LIPI dengan di BIPM maka perlu dilakukan koreksi nilai
suhu lingkungan terhadap hasil kalibrasi BIPM sebesar -1,1x10-8V pada nominal 1,018V dan
-7x10-7 V pada nominal 10V
Dengan menggunakan metode least square fit, nilai kesalahan solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 terhadap nilai nominal pada tabel 1 dan best fit line dari kesalahan
solid state standar tegangan DC Fluke 7000 pada nominal 1,018 Volt dapat dilihat pada
gambar 2.

Gambar 2. Drift solid state standar tegangan DC Fluke 7000


pada Nominal 1,018 Volt
Dengan metode least square fit dapat diketahui bahwa nilai drift dari solid state
standar tegangan DC Fluke 7000 untuk nilai 1,018 V adalah sebesar 0,003 µV/V/hari.

286 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Sedangkan untuk mendapatkan ketidakpastian dari drift solid state standar tegangan DC Fluke
7000 dapat menggunakan persamaan 6. Sehingga diperoleh ketidakpastian driftnya sebesar
0,000 12 µV/V
Sedangkan pada nominal 10 Volt nilai kesalahan solid state standar tegangan DC
Fluke 7000 terhadap nilai nominal pada tabel 2 dan best fit line dari kesalahan dapat dilihat
pada gambar 3.

Gambar 3. Drift solid state standar tegangan DC Fluke 7000


pada nominal 10 Volt

Perhitungan drift solid state standar tegangan DC Fluke 7000 dengan menggunakan
metode least square fit pada nominal 10 Volt yang diperoleh adalah sebesar 0,0032
µV/V/hari. Sedangkan untuk mendapatkan ketidakpastian dari drift solid state standar
tegangan DC Fluke 7000 dapat menggunakan persamaan 6. Sehingga diperoleh
ketidakpastian driftnya sebesar 0,000 22 µV/V. Best fit line dibentuk dari perhitungan akar
kuadrat terkecil yang mengacu pada persamaan 3, 4 dan 5 dimana garis tersebut tidak selalu
mengenai titik-titik sebaran data seperti yang terlihat di gambar 2 dan gambar 3. Hal ini
disebabkan metode least square fit memperkirakan titik terbaik berdasar pada sebaran data
dimana best fit line dibentuk dari titik-titik tersebut dengan selisih paling minimum.
Nilai drift dan ketidakpastian dari solid state standar tegangan DC Fluke 7000 yang
didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode least square fit dapat dibandingkan dengan
nilai stabilitas yang tertera pada spesifikasi atau buku manual dari Fluke 7000. Pada nominal
1,018 Volt, nilai drift yang dihasilkan dari perhitungan adalah 1,088 µV/V/tahun dengan
ketidakpastian sebesar 0,044 µV/V sedangkan nilai stabilitas yang tertera pada spesifikasi
atau buku manual adalah < 2 µV/V/ tahun. Pada nominal 10 Volt nilai drift solid state standar

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 287


tegangan DC Fluke 7000 yang dihasilkan dari perhitungan adalah 1,16 µV/V/tahun dengan
ketidakpastian sebesar 0,08 µV/V, sedangkan nilai stabilitas yang tertera pada spesifikasi alat
adalah 1,8 µV/V/ tahun.
Nilai drift dan ketidakpastiannya yang dihasilkan dari perhitungan dengan
menggunakan metode least square fit lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang tertera pada
spesifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai drift tersebut dapat digunakan sebagai salah satu
sumber ketidakpastian. Selain itu, nilai drift yang lebih kecil membuktikan bahwa solid state
standar tegangan DC Fluke 7000 yang dimiliki oleh Pusat Penelitian Metrologi LIPI dalam
kondisi yang stabil.

5. KESIMPULAN
Solid state standar tegangan DC Fluke 7000 adalah secondary standard yang dimiliki
oleh Pusat Penelitian Metrologi LIPI dimana saat ini menjadi acuan untuk tegangan DC. Dari
riwayat data kalibrasi Solid state standar tegangan DC Fluke 7000 diperoleh sebuah hasil
evalusi pergeseran nilai terhadap waktu (drift) dengan menggunakan metode least square fit.
Drift yang dihasilkan dari perhitungan least square fit bernilai lebih kecil apabila dibandingkan
dengan nilai stabilitas yang ditunjukkan pada spesifikasi alat di buku manual. Sehingga nilai
drift yang lebih kecil dapat digunakan sebagai salah satu sumber ketidakpastian pada
pengukuran zener diode.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pusat Penelitian Metrologi-
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan jajaran manajemen yang telah menyediakan sarana
dan prasarana untuk melaksanakan penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] T. J. Witt, 2002, Maintenance and Dissemination of Voltage Standards by Zener-
diode-Based instruments, IEE Proceedings-Science Measurement Technology, vol.
149.
[2] A. Thompson, 2008, Guide for the Use of the International System of Units (SI).
Gaithersburg: National Institute of Standards and Technology.
[3] B. W. Petley, 1994, Electrical Units - the Last Thirty Years, Metrologia, vol. 31,
pp. 495–502.

288 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[4] Y. Tang, Application of The Programmable Josephson Voltage Standard in
Voltage Metrology, Internaitional Seminar Electronic Metrology
[5] I. Y. Krasnopolin and V. L. Ugolev, 2005, A Josephson Voltage Calibrator,
Electronic RADIO Engineering., vol. 48, no. 5, pp. 611–615.
[6] A. Pokatilov, 2008, Development of National Standard for Voltage Unit Based on
Solid-State References, TALLINN UNIVERSITY OF TECHNOLOGY.
[7] Fluke, 2010, “A practical approach to maintaining DC reference standards,”
Eindhoven, pp. 1–6.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
Apakah metode untuk menganalisa drift tegangan dan kapasitansi menggunakan persamaan
yang sama yaitu least square fit ? Mengapa ?
Jawaban :
Metode untuk menganalisa persamaan drift tegangan dan kapasitansi menggunakan
persamaan yang sama yaitu least square fit. Hal ini dikarenakan karakterisitk dari nilai
nominal tegangan dan kapasitansi berdasarkan waktu mengalami perubahan secara linier.
Distribusi tersebut dapat didekati dengan mengggunakan fungsi linier, sehingga metode yang
tepat untuk mengevaluasi drift dari tegangan dan kapasitansi adalah metode least square fit

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 289


PERANCANGAN PROTOTIPE SISTEM MASS HANDLER MESIN
STANDAR TORSI DEADWEIGHT 2 kN·m
Dinar Nurcahyono, Sugeng Hariyadi, Bernadus Hadi S.
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
dinar@kim.lipi.go.id

INTISARI
Standar primer yang dimiliki laboratorium gaya dan torsi Puslit Metrologi-LIPI untuk menurunkan
satuan torsi adalah mesin standar torsi deadweight 2 kN·m. Salah satu bagian terpenting dalam mesin
deadweight ini adalah sistem pembebanan. Sampai saat ini sistem pembebanan mesin standar torsi
deadweight masih menggunakan sistem pembebanan manual. Pada makalah ini dilakukan
perancangan prototipe mass handleruntuk kapasitas 1.000 N·m (100 N·m s/d 1.000 N·m) dan 2.000
N·m (200 N·m s/d 2.000 N·m). Sistem yang dirancang menggunakan kombinasi pen-per, pisau
penahan pen, ulir dan motor. Sistem yang dirancang telah dapat memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan. Hasil rancangan ini diharapkan dapat direalisasikan menjadi sistem pembebanan
otomatis mesin standar torsi.

Kata kunci: mesin standar torsi, sistem pembebanan, mass handler, pen-pisau

ABSTRACT
The primary standard of the force and torque laboratory Research Center for Metrology LIPI to
disseminate the unit of torque is the deadweight torque standard machine 2 kN·m. One of the most
important parts in this deadweight machine is the loading system. Until now the loading system of the
deadweight torque standard machine still uses manual loading system. In this paper, the design of
mass handler prototype for capacity of 1,000 N·m (100 N·m to1000 N·m) and 2,000 N·m (200 N·m to
2000 N · m) was designed. The system has been designed using a combination of pen-spring, knife to
hold the pen, thread and motor. The system has been designed to meet the required criteria. This
design result is expected to be realized to be the automatic loading system of torque standard
machine.

Keywords : torque standard machine, loading system, mass handler, pen-knife

1. PENDAHULUAN
Laboratorium gaya dan torsi sebagai salah satu laboratorium yang ada pada Puslit
Metrologi LIPI memiliki tanggung jawab antara lain mendiseminasikan satuan torsi melalui
aktivitas kalibrasi. Standar torsi nasional yang dimiliki Puslit MetrologiLIPI berupa mesin
standar torsi deadweight 2 kN.m, yang masih menggunakan sistem pembebanan manual.
Proses penambahan dan penurunan beban dari seluruh rentang kapasitas (1 N·ms/d 2 kN·m)
dilakukan secara manual (dengan tangan). Penggunaan sistem pembebanan manual

290 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


menyebabkan inefisiensi waktu dan tenaga, terlebih untuk kalibrasi kapasitas besar. Selain itu,
sistem pembebanan manual akan menghasilkan pewaktuan yang kurang seragam, serta kurang
stabil karena adanya gaya impak dan swing sehingga akan mempengaruhi profil beban yang
diterima oleh transducer yang dikalibrasi dengan mesin torsi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan meningkatkan kualitas pengukuran torsi,
sistem pembebanan otomatis perlu dikembangkan. Pada makalah ini, dilakukan perancangan
prototipe sistem mass handler untuk rentang kapasitas 1.000 N·m (100 N·m s/d 1.000 N·m)
dan 2.000 N·m (200 N·ms/d 2.000 N·m).Hasil dari perancangan ini diharapkan dapat
diwujudkan menjadi sistem pembebanan otomatis mesin standar torsi deadweight 2 kN·m
Puslit Metrologi - LIPI.

2. BAHAN DAN TATA KERJA


Mesin standar torsi deadweight merupakan mesin standar torsi yang menghasilkan
torsi dengan menggunakan gaya berat, yaitu dengan memanfaatkan gaya gravitasi yang
bekerja pada massa standar yang terletak pada panjang lengan tertentu, dengan
mempertimbangkan efek bouyancy.[1]

Gambar 1. Mesin standar torsi deadweight 2 kN.m

Mesin standar torsi Puslit Metrologi memiliki rentang ukur 1 N·m hingga 2.000 N.m,
dan memiliki ketertelusuran ke PTB Jerman. Ketidakpastian mesin standar torsi dibagi
menjadi tiga rentang. Untuk rentang 1 N·m s/d 5 N·m ditetapkan sebesar 0,1 %, rentang 5
N·m s/d 100 N·m sebesar 0,04 %, dan rentang 100 N·m s/d 2.000 N·m sebesar 0,03
%.[1]Ketidakpastian yang ditetapkan ini masih jauh lebih besar daripada akurasi yang dapat
dicapai oleh mesin, yang berdasarkan spesifikasi pabrik dapat mencapai 0,01 %, sehingga

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 291


sangat memungkinkan untuk diperkecil antara lain dengan memperbaiki sistem pembebanan
menjadi pembebanan otomatis.
Panjang lengan torsi adalah 1 meter untuk tiap arah (torsi searah jarum jam dan
berlawanan arah jarum jam), dengan gaya diaplikasikan pada lengan melalui elastic mass
hinge poros gantungan beban. Keping beban disusun pada gantungan beban secara manual,
sesuai step torsi yang diinginkan. Efek swing dari pembebanan direduksi dengan
menggunakan peredam elektromagnetik (frictionless eddy current brake).[2]
. Secara umum terdapat dua tipe beban yang biasa digunakan dalam mesin standar torsi
yaitu tipe beban terpisah dan tipe beban berkait (weight stack). Beban yang digunakan pada
mesin standar torsi Puslit Metrologi adalah tipe beban terpisah, yang terdiri atas beban 1 N (4
buah), 2 N (8 buah), 5 N (6 buah), 10 N (9 buah), 20 N (8 buah), 50 N (6 buah), 100 N (10
buah) dan 200 N (5 buah). Beban tersebut adalah massa kelas F2, dengan ketidakpastian
relatif sekitar 5 ppm.[3] Total beban yang digunakan untuk kapasitas maksimum 2 kN·m
adalah 2.000 N (sekitar 204,5 kg) dengan menggunakan set beban 100 N dan 200 N, seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hanger beban dan beban mesin standar torsi

Pada penggunaan mesin untuk kalibrasitorquetransducer kapasitas maksimum 2


kN·m, dengan seri pembebanan naik-turun seperti yang ditampilkan pada Gambar 3, total
proses mengangkat dan menurunkan beban mencapai 16 kN (± 1,63 ton).[4] Sedangkan pada
kegiatan uji banding (Interlaboratory Comparison - ILC) kapasitas 2 kN·m, total proses
mengangkat beban dapat mencapai 76 kN (± 7,76 ton) yang dilakukan selama lebih dari 5
jam. [5].

292 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 3. Prosedur pembebanan kalibrasi torque transducer

Sebagai referensi perancangan, penggunaan mass handler dapat ditemukan pada


beberapa mesin standar lain seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 (a) dan (b)
merupakan standar tekanan deadweight tester, Gambar 4 (c) merupakan standar densitas, dan
Gambar 4 (d) merupakan mesin standar gaya. Sistem mass handleryang digunakan pada
standar tersebut antara lain menggunakan pemegang beban berbentuk pen maupun plat,
dengan penggerak kombinasi motor dan ulir maupun dengan menggunakan sistem pneumatik.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Penggunaan mass handler pada beberapa standar

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 293


3. METODE
Perancangan mass handler dilakukan dimulai dengan menganalisis persyaratan
terhadap mass handler yang diperlukan, meliputi dimensi, kemampuan dalam menghandel
pembebanan sesuai prosedur dan kompleksitas pembuatan.
Berdasarkan analisis terhadap sistem pembebanan mesin standar torsi, mass handler
yang dibuat harus memenuhi beberapa kriteria antara lain bahwa mass handler yang dibuat
harus menyesuaikan bentuk dan ukuran beban torsi. Diameter beban 200 N dan 100 N adalah
400 mm, dengan tebal beban 200 N adalah 26 mm dan tebal beban 100 N adalah 14 mm.
Beban 200 N memiliki celah untuk kait 18 mm sedangkan beban 100 N memiliki celah untuk
kait hanya 8 mm.
Mass handler harus dapat digunakan untuk step pembebanan naik-turun dengan
pewaktuan yang seragam, idealnya kurang dari 15 detik untuk tiap stepnya. Untuk melakukan
pembebanan titik 10 % - 20 % - 30 % dan seterusnya, pembebanan yang dilakukan hanya
melakukan pembebanan beban terpakai secara kontinyu misalnya 10 % - 20 % - 30 % dst.
bukan 100 % - 10 % - 100% - 20 % dst.
Desain harus portabel karena mass handler akan digunakan untuk kedua sisi lengan,
untuk torsi searah jarum jam dan berlawanan arah jarum jam. Mass handler juga harus dapt
digunakan untuk dua kapasitas, 1000 N.m (100 N·m s/d1000 N·m) dan 2000 N.m (200 N·m
s/d 2000 N·m). Karena fungsinya sebagai alat bantu pengangkat beban pada mesin standar
torsi, maka desain yang dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan terhadap kegagalan
fungsi. Di sisi lain, desain yang dibuat harus mempertimbangkan kompleksitas dan biaya
pembuatan.
Setelah persyaratan terhadap mass handler ditentukan, selanjutnya dilakukan evaluasi
kesesuaian model-model mass handler yang telah digunakan pada beberapa mesin standar
terhadap persyaratan. Pembuatan konsep desain dilakukan dan dievaluasi kelebihan dan
kekurangannya untuk dapat memenuhi persyaratan. Pemodelan 3D dilakukan untuk
memudahkan dalam mengevaluasi kekurangan dan memudahkan dalam membuat detail alat
untuk dibuat.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem mass handler yang digunakan pada mesin standar lain pada Gambar 4 cukup bervariasi.
Sistem mass handlerpada deadweight tester (Gambar 6.(a),(b)) tidak dapat diterapkan pada mesin
standar torsi, karena tidak dapat melakukan step pembebanan seperti step pembebanan torsi. Sistem
pembebanan seperti ini tidak dapat melakukan step pembebanan 10%-20%-30% dst., karena harus

294 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


menurunkan seluruh beban terlebih dahulu kemudian mengangkat beban tidak terpakai (100%-10%-
100%-20% dst). Sistem mass handler seperti pada Gambar 6.(c),(d) juga tidak dipilih karena
memerlukan komponen kontrol yang cukup banyak dan rumit.
Dengan meninjau pada persyaratan mass handler tersebut,maka desain mass handleryang
dipilih untuk digunakan adalah bentuk pen-per dengan kombinasi pisau penahan pen, penggerak yang
dipilih adalah motor. Cara kerja dari sistem ini dijelaskan melalui Gambar 5 dan Gambar 6 berikut:

Gambar 5. Proses pembebanan

Pada proses pembebanan, pembebanan dimulai dari beban paling bawah. Handler
beban diturunkan hingga beban menggantung pada hanger dan kemudian pen berada dalam
kondisi bebas/tidak terbebani. Dalam kondisi pen bebas ini pisau digerakkan ke atas sehingga
pen masuk ke dalam. Untuk beban kedua, handler diturunkan hingga beban ke dua
menumpuk pada beban pertama yang telah menggantung pada hangerdanpen berada pada
kondisi bebas. Demikian seterusnya hingga beban terakhir.

Gambar 6. Proses penurunan beban

Pada proses penurunan beban, penurunan beban dimulai dari beban paling atas. Dari
posisi beban menggantung pada hanger, handlerbeban dinaikkan sehingga posisi pen paling
atas berada pada posisi sela-sela antar beban.Pisau digerakkan turun sehingga pen dalam

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 295


posisi mengunci.Handler beban digerakkan naik hingga pen menyentuh beban dan kemudian
mengangkat beban. Demikian seterusnya hingga beban terakhir.
Dengan menggunakan konsep desain ini maka step pembebanan seperti step
pembebanan torsi dapat dilakukan. Desain ini dapat melakukan step pembebanan naik-turun,
dengan step pembebanan 10 % - 20 % - 30 % dst. Hasil pemodelan 3D dari rancangan sistem
masshandler yang akan dibuat ditampilkan pada Gambar 7. Dengan desain ini maka mass
handler cukup portabel untuk digunakan secara bergantian pada kedua sisi lengan torsi.

Gambar 7. Model mass handler

Sistem mass handler ini terbagi menjadi dua unit yaitu unit handler dan unit lifter.

Gambar 8. Unit handler dan unit lifter

296 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Sistem ini digunakan karena cukup sederhana. Dengan sistem ini jumlah motor yang
diperlukan hanya dua buah motor penggerak untuk mengoperasikannya. Satu motor untuk
digunakan untuk mengangkat unit handler dan satu motor digunakan untuk menggerakkan
pisau yang digunakan untuk membuka dan mengunci gerakan pen. Berat unit handler
diperkirakan sekitar 150 kg dan berat beban sekitar 200 kg, sehingga berat total yang harus
diangkat unit lifter adalah 350 kg. Dengan menggunakan ulir poros vertikal, motor stepper
Nema 42 dengan torsi 35 N·m diperkirakan sudah dapat memenuhi kebutuhan ini.

Gambar 9. Sub unit pengunci

Ditinjau dari faktor keamanan desain ini cukup aman karena masing-masing beban
dipegang dengan menggunakan 3 buah pen, yang terpasang pada 3 tiang pengunci. Tiang
pengunci dibuat pada sudut sekitar 00, 1200 dan 2400 untuk kesetimbangan. Tiang pengunci
dapat diatur maju-mundur untuk mengatur jarak dengan beban, dalam kondisi penggunaan,
jarak tiang pengunci dengan beban diatur sekitar 2 mm – 4 mm. Jumlah pen untuk masing-
masing tiang pengunci adalah 15 buah sesuai dengan jumlah beban.Untuk beban 100 N,
diameter ujung pen yang digunakan adalah diameter 4 mm karena celah pegangan beban
hanya 8 mm. Sedangkan untuk beban 200 N dengan celahpegangan beban 18 mm, diameter
ujung pen yang digunakan 8 mm. Selain itu, jarak 5 mm diberikan antar keping beban untuk
memudahkan proses pembebanan dan mengurangi gesekan pen dengan beban.
Untuk dapat digunakan pada dua kapasitas,yaitu kapasitas 1.000 N·m (100 N·m s/d
1.000 N·m) dan 2.000 N·m (200 N·m s/d 2.000 N·m), maka sebanyak 10 buah beban 100 N
diletakkan pada bagian bawah, sedangkan 5 buah beban 200 N diletakkan pada bagian atas.
Pembebanan kapasitas 1.000 N·m dilakukan dengan menggunakan 10 buah beban 100 N di

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 297


bagian bawah, sedangkan pembebanan kapasitas 2.000 N·m dilakukan dengan 10 buah beban
100 N ditambah 5 buah beban 200 N di atasnya.
Pisau penahan pen digerakkan dengan memutar poros ulir menggunakan motor. Untuk
sinkronisasi gerakan pisau dan pen, maka poros ulir diputar dengan belt atau rantai. Rantai
dilengkapi dengan tensioner untuk mengatur kekencangannya. Dengan menggunakan rantai
ini maka motor penggerak yang digunakan untuk unit handler cukup satu buah.Ulir yang
digunakan adalah ulir M16 × 2 (jarak antar puncak ulir 2 mm). Dengan menggunakan motor,
kebutuhan terhadap waktu pembebanan 15 detik untuk tiap titik pembebanan akan cukup
mudah untuk dipenuhi.
Proses pembuatan mass handler telah sampai pada pembuatan unit lifter. Gambar 10
menunjukkan tiang pengunci dengan pen dan pisau, dan Gambar 11 menunjukkan unit handler yang
telah dirakit.

Gambar 10. Tiang pengunci

Gambar 11. Rakitan unit handler

298 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Unit handler ini kemudian diuji dengan menggunakan motor stepper untuk mengetahui unjuk
kerjanya.Motor stepper ini dikendalikan dengan menggunakan mikrokontroller Arduino dan
motorstepper driver dengan fungsi microstep. Kecepatan dan kehalusan gerakan motor stepper diatur
dengan mengatur setting microstep pada motor stepper driver dan waktu delay.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa unit handler ini dapat berfungsi dengan baik. Gerakan
pisau dalam menekan-melepas pen dapat berjalan dengan lancar tanpa kendala gesekan yang berarti.
Gerakan pisau dengan jarak 30 cm dalam menekan dan melepas 15 pen, dapat dicapai dalam waktu
hinggasekitar 20 detik.

5. KESIMPULAN
Rancangan mass handler yang akan digunakan untuk mesin standar torsi Puslit
Metrologi LIPI dibuat dengan menggunakan kombinasi pen-per, pisau penahan pen dan
motor. Rancangan ini telah dapat memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan, antara lain
dalam kemampuan memenuhi prosedur pembebanan kalibrasi. Realisasi mass handler dari
rancangan yang telah dibuat dalam makalah ini sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan
kualitas pengukuran mesin standar torsi, serta efisiensi waktu dan tenaga.

6. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Tim
Manajemen Puslit Metrologi LIPI yang telah memberikan fasilitas dana melalui DIPA
Tematik 2016 sehingga pembuatan mass handler mesin standar torsi dapat dilaksanakan.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Nurcahyono, D., Koji Ogushi. Penjaminan Mutu Mesin Standar Torsi Melalui Uji
Banding Bilateral pada Rentang 5 N·m – 50 N·m antara Puslit Metrologi LIPI dan
NMIJ. Unpublished.
[2] Gassmann Testing and Metrology GmbH. 2007. Instruction Manual and Technical
Documentation for the 2000 N·m Torque Standard Machine. GTM.
[3] Hafid. 2012. Penentuan Panjang Lengan Mesin Standar Torsi Deadweight Searah
Jarum Jam dan Berlawanan Arah jarum Jam Menggunakan Metode Kesetimbangan
Lengan. PPI-KIM LIPI.
[4] Puslit Metrologi – LIPI. 2016. I.MM.5.01. Calibration of Torque Measuring Device
using Deadweight Torque Standard Machine.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 299


[5] Ogushi, K., Atsuhiro Nishino, Dinar Nurcahyono, Hafid. 2016. Final Report on the
APMP.M.T-S1 Supplementary Comparison. Metrologia, Volume 53, Technical
Supplement.
[6] Averlant, P.2015. Deadweight Torque Standard Machine (DTSM). EU – Indonesia
Trade Support Programme II.
[7] Khaled, K. M. 2016. Design, Development and Calibration of Torque Standard
Machine. https://www.researchgate.net/publication/302907593

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Renanta Hayu
Pertanyaan :
Apakah ketidakpastian mesin yang besar disebabkan karena mesin masih manual? Dan
apakah dengan otomatisasi ketidakpastian mesin bisa menjadi kecil?
Jawaban :
Ketidakpastian mesin standar torsi Puslit Metrologi yang besar bukan disebabkan
pembebanan manual, akan tetapi karena masih tertelusur ke NMI lain dengan transfer
standard torque transducer, sehingga langkah untuk memperkecil ketidakpastian mesin
adalah dengan ketertelusuran besaran massa, panjang ke internal Puslit Metrologi mengacu
pada persamaan torsi. Otomatisasi mass handler tujuan utamanya adalah untuk
mempermudah pengambilan data, bukan untuk memperkecil ketidakpastian.

Nama Penanya : Syamsi Ismail


Pertanyaan:
1. Bagaimana tingkat kestabilan beban pada sistem yang dirancang?
2. Bagaimana pertimbangan penggunaan pen, bukankah ada faktor gesekkan terhadap beban?
Apakah bebannya tidak rusak terkena gesekkan?
3. Apakah benar ketidakpastian dengan pembebanan manual lebih besar daripada
pembebanan otomatis?

Jawaban :
1. Sistem yang dirancang relatif stabil karena pembebanan otomatis dapat diatur dengan
gerakan motor yang halus, selain itu pembebanan otomatis dapat meminimalisir swing dan
impact yang terjadi pada pembebanan manual.

300 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


2. Pada rancangan ini, gerakan keluar masuk pen dilakukan setelah pen dalam kondisi bebas
tidak menempel pada beban. Pen akan diberi lapisan karet untuk meminimalisir kontak dan
gesekan.
3. Benar, pada pembebanan manual terdapat swing, impact, pengaruh personel serta
ketidakseragaman waktu dalam pembebanan yang menyebabkan ketidakpastian pengukuran
menjadi lebih besar daripada dengan menggunakan pembebanan otomatis.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 301


PENENTUAN NILAI AKTUAL LEVEL TEGANGAN AC PADA
SUMBER TEGANGAN AC BERDASARKAN KARAKTERISTIK
TERHADAP FREKUENSI
Hayati Amalia dan Mohamad Syahadi
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
hayatiamalia.21@gmail.com

INTISARI
Kalibrasi tegangan AC pada multimeter uji di Pusat Penelitian Metrologi – LIPI (P2M – LIPI)
dilakukan dengan menggunakan alat standar berupa calibrator. Dalam proses kalibrasinya, multimeter
uji disuplai oleh tegangan AC dari calibrator dengan frekuensi internal calibrator yang berbeda –
beda untuk kemudian dianalisa, dengan melibatkan koreksi sertifikat calibrator, sehingga didapatkan
koreksi dan ketidakpastian. Adanya komponen frekuensi pada pengaplikasian tegangan AC dapat
menyebabkan perbedaan level suplai tegangan AC dari calibrator yang mana dapat mempengaruhi
analisa koreksi dan ketidakpastian multimeter uji untuk titik ukur tegangan AC pada frekuensi yang
tidak diukur dan tidak tercantum pada sertifikat calibrator standar. Dalam makalah ini dibahas tentang
penentuan nilai aktual level tegangan AC ketika diaplikasikan pada frekuensi yang berbeda-beda
dengan menggunakan permodelan matematis berdasarkan pembacaan tegangan nominal oleh
multimeter acuan. Multimeter acuan yang digunakan pada penelitian ini adalah reference multimeter
F8508 (RMM8508) dan calibrator yang digunakan adalah multifunction calibrator F5720
(MFC5720). Titik ukur tegangan AC yang menjadi objek penelitian ini adalah 100 mV, 1 V, 10 V,
100 V, dan 1000 V. Hasil penelitian menunjukkan, untuk kelima titik ukur tersebut, tegangan AC
aktual keluaran dari MFC5720 pada semua frekuensi dapat dicari dengan menggunakan persamaan
tertentu yang telah diklasifikasikan pada beberapa rentang sesuai dengan karakteristik masing –
masing.

Kata Kunci: multimeter, calibrator, tegangan AC, frekuensi

ABSTRACT
Multimeter calibration for AC voltage unit in Research Center for Metrology – LIPI (RCM – LIPI)
was conducted by using standard called by calibrator. The calibration process was performed by
applying AC voltage with different internal frequency of calibrator and then analyzed, involving the
correction of calibrator standard certificate, to obtain correction and uncertainty. The existence of
frequency component in the application of AC voltage may caused the differences in the level of AC
voltage supply from calibrator which may affected correction and uncertainty analysis of multimeter
for measuring point of AC voltage which the frequency was not measured and not listed on the
standard calibrator certificate. This paper discussed about the determination of the actual value of AC
voltage level when applied at different frequency by using mathematical modeling based on AC
voltage nominal reading of multimeter. The multimeter used in this research was reference multimeter
F8508 (RMM8508) and the calibrator was multifunction calibrator F5720 (MFC5720). The
measuring points of AC voltage in this research were 100 mV, 1 V, 10 V, 100 V, and 1000 V. The
result showed that, for the five measuring points, the actual AC voltage output of MFC5720 at all
frequency can be determined by using mathematical model which have been classified in several
range according to their characteristics.

Keywords : multimeter, calibrator, AC voltage, frequency

302 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


1. PENDAHULUAN
Pusat Penelitian Metrologi–LIPI (P2M–LIPI) telah mempunyai kemampuan untuk
melakukan kalibrasi tegangan AC pada multimeter uji dengan menggunakan standar berupa
calibrator. Metode kalibrasi yang sering digunakan adalah metode pengukuran langsung,
yaitu calibrator mensuplai tegangan AC pada frekuensi tertentu kemudian dibaca dengan
menggunakan multimeter uji. Data yang terbaca pada multimeter uji ini selanjutnya digunakan
sebagai dasar dalam perhitungan koreksi dan ketidakpastian multimeter. Dalam analisa untuk
mencari koreksi multimeter, agar diperoleh hasil yang valid, akurat, dan tertelusur, dibutuhkan
informasi koreksi standar calibrator pada titik ukur tegangan AC dan frekuensi yang tepat.
Namun, data koreksi standar calibrator yang disediakan oleh sertifikat kalibrasi calibrator di
P2M – LIPI hanya terbatas pada titik-titik frekuensi tertentu[1]. Permasalahan muncul ketika
standar calibrator digunakan untuk mengkalibrasi multimeter untuk parameter tegangan AC
pada frekuensi – frekuensi yang tidak tercantum pada sertifikat kalibrasi calibrator. Karena
tidak terdapat informasi koreksi pada titik frekuensi tertentu, analisa umumnya dilakukan
dengan menggunakan pendekatan koreksi pada titik frekuensi terdekat.
Nilai aktual standar calibrator merupakan nilai dari keluaran tegangan AC
ditambahkan dengan koreksinya. Prediksi nilai koreksi standar calibrator pada titik – titik
frekuensi tertentu dapat dicari jika tegangan AC aktual keluaran calibrator pada titik – titik
frekuensi tersebut telah diketahui. Dalam penelitian ini dilakukan percobaan dan analisa untuk
memprediksi nilai tegangan AC aktual keluaran kalibrator pada titik – titik frekuensi yang
tidak tercantum pada sertifikat kalibrasi calibrator. Prediksi dilakukan berdasarkan
pembacaan nominal tegangan AC oleh multimeter acuan yaitu reference multimeter F8508
(RMM8508) dengan menggunakan model matematika yang telah diklasifikasikan pada rentang
– rentang frekuensi tertentu.

2. TEORI DASAR
Tegangan AC didefinisikan sebagai nilai tegangan efektif atau tegangan rms (root
mean square) dari gelombang sinusoidal [2]:

................................................................................. (1)

Tegangan efektif atau RMS (Root-mean-square) adalah suatu besaran dari arus listrik bolak
balik yang nilainya diukur berdasarkan listrik arus searah yang mana keduanya akan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 303


menghasilkan daya sama jika dikenakan pada beban (R) yang sama pula. Begitu juga dapat
diartikan mengkuadratkan tegangan kemudian dirata-rata dengan cara mengintegralkan
sepanjang periodenya seperti pada Persamaan 1. Pada pengukuran tegangan AC dipengaruhi
oleh beberapa parameter, baik internal maupun eksternal. Parameter internal bisa dipengaruhi
oleh frekuensi internalnya dari sumber tegangan AC tersebut, sedangkan parameter eksternal
dapat berupa pengaruh frekuensi luar, grounding, pengkabelan, dan noise[3]. Parameter-
parameter tersebut dapat mempengaruhi hasil pengukuran tegangan AC sehingga nilai aktual
dari tegangan AC akan berubah. Oleh karena itu, hasil pengukuran tegangan AC tersebut
perlu dikoreksi.
Penentuan nilai aktual tegangan AC terhadap frekuensi dapat dilakukan menggunakan
pengukuran metode langsung. Dimana sebuah tegangan keluaran dari sumber tegangan AC
secara langsung dibaca oleh multimeter acuan yang memiliki akurasi tinggi. Pengaruh
perubahan tegangan AC terhadap variasi frekuensi akan terbaca oleh multimeter tersebut.
Pembacaan dari multimeter tersebut merupakan tegangan root mean square (RMS). Adanya
perubahan penyetelan frekuensi dari standar tegangan AC akan mempengaruhi hasil
pembacaan dari multimeter. Untuk melakukan Nilai aktual tegangan AC dapat diperoleh
berdasarkan penjumlahan antara pembacaan multimeter (X) dan koreksi sumber tegangan AC
(Kx) seperti yang ditunjukkan oleh Persamaan (2).

S aktual = X + K x ........................................................................................... (2)

3. METODOLOGI
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sebuah multimeter dan
sebuah calibrator. Multimeter yang digunakan adalah reference multimeter F8508
(RMM8508) yang mempunyai ketelitian pembacaan tegangan AC hingga 6,5 digit[4],
sedangkan calibrator yang digunakan adalah multifunction calibrator F5720 (MFC5720)
yang dapat mengenerate tegangan AC hingga 1050 V dan berketelitian 7,5 digit[5].
Pengambilan data dilakukan menggunakan metode langsung dengan menghubungkan
terminal HI dan LO dari MFC5720 pada terminal HI dan LO RMM8508 seperti yang
disajikan oleh Gambar 1. Proses pengukuran dan akuisisi data untuk semua titik ukur
dilakukan secara otomatis menggunakan bahasa pemrograman visual basic.

304 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 1. Skema pengukuran langsung yang digunakan untuk pengambilan data

Besaran kelistrikan yang dievaluasi pada penelitian ini adalah tegangan AC yang
mana titik ukur yang menjadi objek penelitian adalah tegangan 100 mV, 1 V, 10 V, 100 V,
dan 1000 V. Titik ukur ini adalah titik ukur tegangan AC yang tertelusur dan tercantum dalam
sertifikat kalibrasi RMM8508. Setiap titik ukur tegangan AC di-generate oleh MFC5720,
dengan frekuensi internal yang divariasikan sesuai dengan Tabel 1, untuk kemudian dibaca
menggunakan RMM8508. Frekuensi internal tersebut dapat diatur pada MFC5720 ketika
digunakan untuk mengaplikasikan tegangan AC. Untuk setiap titik ukur tegangan AC dengan
satu frekuensi, pengambilan data dilakukan sebanyak 5 kali.

Tabel 1. Variasi Frekuensi untuk Setiap Titik Ukur Tegangan AC

No. Frekuensi No. Frekuensi


1 10 Hz 15 15 kHz
2 20 Hz 16 20 kHz
3 40 Hz 17 25 kHz
4 50 Hz 18 30 kHz
5 60 Hz 19 35 kHz
6 80 Hz 20 40 kHz
7 100 Hz 21 45 kHz
8 200 Hz 22 50 kHz
9 400 Hz 23 60 kHz
10 600 Hz 24 70 kHz
11 800 Hz 25 80 kHz
12 1 kHz 26 90 kHz
13 5 kHz 27 100 kHz
14 10 kHz

Variabel yang dicari pada penelitian ini adalah tegangan AC aktual yang dikeluarkan
oleh MFC5720 pada titik – titik frekuensi yang tidak tercantum dalam sertifikat kalibrasi
MFC5720, yang dilakukan dengan cara membandingkan kurva karakteristik pembacaan
tegangan AC nominal oleh RMM8508A terhadap frekuensi dengan kurva karakteristik model.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 305


Dalam hal ini yang disebut kurva karakteristik model adalah kurva karakteristik tegangan AC
aktual keluaran MFC5720 terhadap frekuensi-frekuensi yang tercantum pada sertifikat
kalibrasi MFC5720. Sesuai dengan Persamaan (2), tegangan AC aktual keluaran MFC5720
didapatkan dengan cara mengoreksi pembacaan tegangan AC nominal oleh RMM8508
dengan nilai koreksi sertifikat RMM8508.
Setelah diketahui karakteristik kurva tegangan AC, untuk masing-masing titik ukur
tegangan AC, dilakukan klasifikasi rentang frekuensi dan dicari model matematika untuk tiap-
tiap rentang frekuensi tersebut. Model matematika ini selanjutnya akan digunakan untuk
memprediksi tegangan AC aktual keluaran MFC5720 pada titik-titik frekuensi yang tidak
tercantum dalam sertifikat MFC5720 dengan berdasarkan pembacaan tegangan AC nominal
oleh RMM8508.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada titik ukur tegangan AC 100 m V, berdasarkan kurva karakteristik yang berhasil
didapatkan dan tersaji pada Gambar 2, rentang frekuensi diklasifikasikan menjadi 4 rentang,
yaitu rentang < 40 Hz, rentang 40 Hz – 1 kHz, rentang 1 kHz – 50 kHz, dan rentang 50 kHz –
100 kHz. Penentuan klasifikasi rentang ini ditentukan berdasarkan pengamatan langsung
terhadap respon kurva yang mendekati linier pada titik-titik frekuensi yang ada.
Untuk rentang frekuensi < 40 Hz, seperti yang terlihat pada Gambar 3(a), tidak bisa
dilakukan permodelan secara matematis karena tidak ada data pendukung sehingga tidak
terdapat kurva karakteristik model pada titik frekuensi < 40 Hz. Untuk rentang frekuensi 40
Hz – 1 kHz, 1 kHz – 50 kHz, dan 50 kHz – 100 kHz, kurva karakteristik pembacaan tegangan
AC nominal oleh RMM8508 beserta kurva karateristik modelnya masing – masing
ditunjukkan oleh Gambar 3(b), Gambar 3(c), dan Gambar 3(d). Kurva karaketristik ini
selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mencari model matematika yang
merepresentasikan hubungan antara tegangan AC aktual keluaran MFC5720 (warna merah)
dengan pembacaan nominal RMM8508 (warna biru).

306 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 2. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap semua
frekuensi pada titik ukur 100 mV

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 3. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap frekuensi
pada titik ukur 100 mV; (a) frekuensi < 40 Hz ; (b) frekuensi 40 Hz – 1 kHz; (c)
frekuensi 1 kHz – 50 kHz; (d) frekuensi 50 kHz – 100 kHz

Dengan menggunakan pendekatan model linier, didapatkan model matematika untuk masing
– masing rentang frekuensi yang ditunjukkan oleh Persamaan (3), (4), dan (5). Permodelan
dengan menggunakan Persamaan (3), (4), dan (5) ini kemudian diplot kembali pada grafik dan
hasilnya dapat terlihat pada kurva berwarna hijau pada gambar.
y = 0 ,14216 x + 85 ,7894 ......................................................................................... (3)
y = − 0 ,12654 x + 112 ,685 ...................................................................................... (4)
y = 0 ,09538 x + 90 , 4974 ......................................................................................... (5)

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 307


Tabel 2. Analisa jumlah kuadrat residual pada rentang frekuensi 40 Hz – 1 kHz untuk
tegangan 100 mV (dalam mV)

Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)

100,01704 100,01704 0,00000 0,00000


100,01820 100,01820 0,00000 0,00000
Jumlah Kuadrat Residual 0,00000
Standar Deviasi 0,00000

Tabel 3. Analisa jumlah kuadrat residual pada rentang frekuensi 1 kHz – 50 kHz untuk
tegangan 100 mV (dalam mV)

Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)

100,0182 100,0194 -1,15E-03 1,33E-06


100,0228 100,0213 1,57E-03 2,46E-06
100,0253 100,0256 -3,65E-04 1,33E-07
100,0338 100,0338 -4,92E-05 2,42E-09
Jumlah Kuadrat Residual 1,98E-03
Standar Deviasi 1,14E-03

Simbol x pada Persamaan (3), (4), dan (5) tersebut adalah pembacaan nominal
nominal RMM8508 dan simbol y adalah tegangan AC aktual keluaran MFC5720. Pendekatan
dengan menggunakan model matematika pada Persamaan (3), (4), (5) ini mempunyai
ketidakpastian yang didapatkan berdasarkan residu hasil pengukuran yang sebenarnya dengan
hasill fitting persamaan yang diperoleh. Residu pengukuran untuk masing-masing pendekatan
model matematis dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square) yang
mana untuk pemodelan menggunakan Persamaan (3) ditunjukkan oleh Tabel 2, untuk
pemodelan menggunakan Persamaan (4) disajikan pada Tabel 3, dan untuk pemodelan
menggunakan Persamaan (5) ditunjukkan oleh Tabel 4. Standar deviasi yang disajikan pada
Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4 tersebut merepresentasikan ketidakpastian baku dari pemodelan
yang digunakan.

308 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 4. Analisa jumlah kuadrat residual pada rentang frekuensi 50 kHz – 100 kHz untuk
tegangan 100 mV (dalam mV)

Y Ŷ
(Y-Ŷ) (Y-Ŷ)2
(Pengukuran Sebenarnya) (Fitting Model)

100,03376 100,03376 0,00000 0,00000


100,03066 100,03066 0,00000 0,00000
Jumlah Kuadrat Residual 0,00000
Standar Deviasi 0,00000

(a) (b)
Gambar 4. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap semua
frekuensi ; (a) pada titik ukur 1 V, (b) pada titik ukur 10 V

Untuk titik ukur tegangan AC 1 V dan 10 V, seperti yang terlihat pada Gambar 4(a)
dan Gambar 4(b), mempunyai karakteristik yang mirip dengan karakteristik pada titik ukur
tegangan 100 mV sehingga perlakuan pembagian rentang, perumusan model matematis, dan
perhitungan residu pengukuran dilakukan dengan metode yang sama dan hasilnya ditunjukkan
oleh Tabel 5.
Tabel 5. Model matematika beserta standar deviasinya untuk titik ukur tegangan AC 1 V dan
10 V.
Tegangan Rentang Standar Deviasi
Model Matematika
AC Frekuensi (V)
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -
40 Hz - 1 kHz y = 0 ,18033 x + 0 , 81968 0
1 V
1 kHz - 50 kHz y = − 0 ,12132 x + 1,12164 7,74E-06
50 kHz - 100 kHz y = 0 ,02240 x + 0 , 97794 0
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -
40 Hz - 1 kHz y = − 0 ,03015 x + 10 , 30256 0
10 V
1 kHz - 50 kHz y = − 0 , 31367 x + 13 ,13898 1,52E-04
50 kHz - 100 kHz y = − 0 ,00686 x + 10 ,07159 0

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 309


Gambar 5. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap semua
frekuensi pada titik ukur 100 V

Untuk titik ukur tegangan AC 100 V, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5,
mempunyai karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan karakteristik pada tegangan
AC 100 mV, 1 V, dan 10 V. Karena itu, rentang frekuensi untuk permodelan matematikanya
juga dibagi dengan klasifikasi yang berbeda, yaitu rentang < 40 Hz, rentang 40 Hz – 1 kHz,
rentang 1 kHz – 20 kHz, dan rentang 20 kHz – 100 kHz. Untuk rentang frekuensi < 40 Hz,
seperti yang terlihat pada Gambar 6(a), tidak bisa dilakukan perumusan model matematika
karena tidak terdapat kurva karakteristik model pada titik frekuensi < 40 Hz. Untuk rentang
frekuensi 40 Hz – 1 kHz, 1 kHz – 20 kHz, dan 20 kHz – 100 kHz, berdasarkan kurva
karakteristik yang ditunjukkan oleh Gambar 6(b), Gambar 6(c), dan Gambar 6(d), hubungan
antara tegangan AC aktual keluaran MFC5720 (warna merah) dengan pembacaan nominal
RMM8508 (warna biru) masing–masing direpresentasikan oleh model matematika yang
disajikan pada Tabel 6. Permodelan dengan menggunakan persamaan-persamaan tersebut
kemudian diplot kembali pada grafik dan hasilnya dapat terlihat pada kurva berwarna hijau
pada Gambar 6. Ketidakpastian baku pada titik ukur tegangan AC 100 V ditunjukkan pada
Tabel 6.

310 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 6. Model matematika beserta standar deviasinya untuk titik ukur tegangan AC 1 V dan
10 V.
Standar
Tegangan Rentang
Model Matematika Deviasi
AC Frekuensi
(V)
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -
40 Hz - 1 kHz y = 0 ,01186 x + 98 , 81745 0
100 V
1 kHz - 20 kHz y = 3 ,73404 x 2 − 747 , 36668 x + 37496 ,30976 6,87E-12
20 kHz - 100
kHz y = 0 , 97499 x 2 − 197 ,17162 x + 10068 , 43003 9,14E-13

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 6. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap frekuensi
pada titik ukur 100 V; (a) frekuensi < 40 Hz; (b) frekuensi 40 Hz – 1 kHz; (c)
frekuensi 1 kHz – 20 kHz; (d) frekuensi 20 kHz – 100 kHz

Untuk titik ukur 1000 V, tegangan yang mampu disuplai oleh MFC5720 terbatas
hanya sampai frekuensi 1 kHz, karena itu data pengukuran yang didapatkan untuk titik ukur
100 V tidak sebanyak data pengukuran pada titik ukur tegangan yang lain. Selain itu,
sertifikat kalibrasi RMM8508 hanya mencantumkan data koreksi untuk dua titik frekuensi,
yaitu frekuensi 60 Hz dan frekuensi 1 kHz. Oleh karena itu, khusus untuk titik ukur 1000 V
dalam penelitian ini hanya akan diklasifikasikan pada dua rentang frekuensi saja, yaitu
frekuensi < 60 Hz dan 60 Hz – 1 kHz. Rentang frekuensi < 60 Hz tidak dapat didekati dengan
permodelan secara matematis dikarenakan tidak ada kurva karakteristik model pada rentang

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 311


frekuensi tersebut. Rentang frekuensi 60 Hz – 1 kHz, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
7, hubungan antara tegangan AC aktual keluaran MFC5720 (warna merah, notasi y) dengan
pembacaan nominal RMM8508 (warna biru, notasi x) direpresentasikan oleh model
matematika pada Persamaan (6). Permodelan dengan menggunakan Persamaan (6) ini
kemudian diplot kembali pada grafik dan hasilnya dapat terlihat pada kurva berwarna hijau
pada gambar. Ketidakpastian baku dengan menggunakan permodelan tersebut dihitung
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square) dan didapatkan standar deviasi
sebesar 0 Volt.

Gambar 7. Kurva karakteristik pembacaan tegangan AC oleh RMM8508 terhadap frekuensi


pada titik ukur 1000 V

y = 0 ,13556 x + 864 , 50901 ...................................................................................(6)

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa titik ukur
tegangan AC 100 mV, 1 V, dan 10 V, ketika dibaca menggunakan RMM8508, mempunyai
karakteristik pembacaan nominal yang mirip pada semua frekuensi. Begitu juga ketika nilai
pembacaan pada titik – titik ukut tersebut dikoreksikan dengan koreksi sertifikat kalibrasi
RMM8508, kurva model yang didapatkan juga mempunyai karakteristik yang mirip. Hal ini
berarti bahwa tegangan AC aktual keluaran MFC5720 pada titik ukur tegangan AC 100 mV,
1 V, dan 10 V mempunyai karakteristik yang mirip pada rentang frekuensi 40 Hz – 100 kHz.
Hal yang berbeda terjadi pada titik ukur tegangan AC 100 V dan 1000 V yang mana masing-
masing mempunyai kurva karakteristik pembacaan nominal RMM8508 dan kurva model yang
unik. Untuk masing – masing titik ukur, tegangan AC aktual keluaran MFC5720 pada
frekuensi hingga 100 kHz dapat dicari dengan menggunakan persaman matematis seperti

312 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


yang tercantum pada Tabel 7 dimana notasi x pada persamaan merepresentasikan pembacaan
nominal RMM8508 dan notasi y merepresentasikan tegangan AC aktual keluaran MFC5720.
Penggunaan persamaan matematis ini mempunyai kontribusi terhadap ketidakpastian total
yang beragam bergantung pada nominal tegangan AC yang disuplai.

Tabel 7. Model matematika untuk mendapatkan tegangan AC aktual keluaran MFC5720


beserta standar deviasinya.
Kontribusi
Standar
Tegangan Rentang thd
Model Matematika Deviasi
AC Frekuensi Ketidakpasti
(mV/V)
an Total
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan - -

40 Hz - 1 kHz y = 0 ,14216 x + 85 ,7894 0 0


100 mV
1,14E-
1 kHz - 50 kHz y = − 0 ,12654 x + 112 ,685 6%
03
50 kHz - 100
y = 0 ,09538 x + 90 , 4974 0 0
kHz
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan -

40 Hz - 1 kHz y = 0 ,18033 x + 0 ,81968 0 0


1 V
7,74E-
1 kHz - 50 kHz y = − 0 ,12132 x + 1,12164 7%
06
50 kHz - 100
kHz
y = 0 ,02240 x + 0 ,97794 0 0

< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan - -

40 Hz - 1 kHz y = − 0 ,03015 x + 10 , 30256 0 0


10 V
1,52E-
1 kHz - 50 kHz y = − 0 , 31367 x + 13 ,13898 14 %
04
50 kHz - 100
y = − 0 ,00686 x + 10 ,07159 0 0
kHz
< 40 Hz Tidak dapat dimodelkan - -

40 Hz - 1 kHz y = 0 ,01186 x + 98 , 81745 0 0


100 V y = 3,73404 x 2 − 747 , 36668 x + 37496 ,30976 6,87E-
1 kHz - 20 kHz 6E-08 %
12
20 kHz - 100 y = 0 ,97499 x 2 − 197 ,17162 x + 10068 ,43003 9,14E-
4E-09 %
kHz 13

< 50 Hz Tidak dapat dimodelkan - -


1000 V
50 Hz - 1 kHz y = 0 ,13556 x + 864 , 50901 0 0

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan-rekan Laboratorium
Metrologi Kelistrikan yang telah memberikan bantuan moral maupun teknis hingga
terlesaikannya penelitian ini, serta jajaran manajemen P2M–LIPI yang telah menyediakan
sarana dan prasarana untuk melaksanakan penelitian ini.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 313


7. DAFTAR PUSTAKA
[1] P2M-LIPI. 2017. “Sertifikat Kalibrasi Mutifunction Calibrator Fluke 5720A”. Tangerang
Selatan
[2] Sasaki Hithosi and Takahashi Kunihiko. “Development of a high Precision AC-DC
Transfer Standard Using The Fast-Reverse DC Method”. Electrotechnical Laboratory,
Agenct of Industrial Sciences and Technology. June 1999.
[3] Agilent. 2002. “Application Note AN 1389-3-AC Voltage Measurement Error in Digital
Multimeter”. Agilent Technologies. USA.
[4] Fluke. 2002. “User manual reference multimeter 8508A”. Fluke Coorporation. UK.
[5] Fluke. 2007. “Service Manual 5700A/5720A Series II Multi-Function Calibrator. Fluke
corporation”. Fluke Coorporation. UK.

HASIL DISKUSI
Tidak ada.

314 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


PENGEMBANGAN KETERTELUSURAN MANDIRI SUMBER ARUS
DC STANDAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE
TIDAK LANGSUNG
Miftahul Munir, Agah Faisal
Pusat Penelitian Metrologi - LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
miftahul.munir@lipi.go.id

INTISARI
Pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC standar telah dilakukan di Pusat Penelitian
Metrologi – LIPI dengan menggunakan metode tidak langsung. Metode ini berbasis pada voltmeter
standar dan current shunt standar dimana ketertelusuran untuk current shunt standar sudah diperoleh
secara mandiri. Nilai aktual arus DC yang dibangkitkan oleh Multi-Function Calibrator dihitung dari
tegangan DC yang dibaca oleh voltmeter standar dan dari nilai aktual resistansi DC current shunt
standar. Pada arus DC nominal sebesar 1 A, diketahui nilai aktual sebesar 1,000 00 A dengan
ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A. Pengukuran sumber arus DC standar dengan metode
tidak langsung kemudian divalidasi dan hasilnya lebih baik dibanding dengan metode langsung.

Kata Kunci: ketertelusuran mandiri, sumber arus DC standar, metode tidak langsung, ketidakpastian
pengukuran, Multi-Function Calibrator

ABSTRACT
Independent traceability of standard DC current source has been developed at Research Center for
Metrology – LIPI using indirect method. This method is based on a standard voltmeter and a standard
current shunt where the traceability of the standard current shunt has been obtained independently.
The actual DC current value generated by Multi-Function Calibrator was calculated from the DC
voltage reading of standard voltmeter and from the actual value of standard current shunt DC
resistance. At DC current nominal of 1 A, the actual value was 1,000 00 A and the measurement
uncertainty was 0,000 13 A. Then the measurement of standard DC current source using indirect
method was validated and the result was better than direct method.

Keywords: independent traceability, standard DC current source, indirect method, measurement


uncertainty, Multi-Function Calibrator

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 315


1. PENDAHULUAN
Sistem sumber arus DC di Laboratorium Metrologi Kelistrikan Pusat Penelitian
Metrologi - LIPI adalah sebuah sistem yang terintegrasi bersama dengan sumber-sumber
tegangan DC, tegangan AC, arus AC dan resistansi DC. Sistem tersebut dikenal secara
komersial dengan istilah Multi-Function Calibrator (MFC). Terdapat dua cara untuk
mendapatkan ketertelusuran dari besaran sumber arus DC pada MFC yang telah dilakukan
oleh Laboratorium Metrologi Kelistrikan Pusat Penelitian Metrologi - LIPI. Pertama adalah
kalibrasi internal terprogram pada sistem, dimana MFC akan melakukan kalibrasi sendiri (self
calibration) dengan pembanding berbasis pada sumber tegangan DC standar dan resistor DC
standar eksternal[1]. Kedua adalah kalibrasi secara langsung dengan pembanding berupa
amperemeter standar[2].
Hingga saat ini dalam membangun ruang lingkup kemampuan pengukuran dan
kalibrasi, ketertelusuran untuk sumber arus DC standar diperoleh berdasarkan cara kedua,
dimana MFC dikalibrasi oleh amperemeter standar dengan metode langsung. Ketertelusuran
tersebut masih mengandalkan kalibrasi eksternal ke Lembaga Metrologi Nasional (National
Metrology Institute/NMI) di luar negeri. Hal ini memiliki beberapa kekurangan, baik dari sisi
ekonomi, produktivitas dan keselamatan. Secara ekonomi, kalibrasi eksternal membutuhkan
biaya yang relatif tinggi untuk mengirimkan alat. Secara produktivitas, kalibrasi eksternal
membutuhkan waktu yang relatif lama akibat proses pengiriman alat. Secara keselamatan,
kalibrasi eksternal memiliki resiko yang relatif besar pada kerusakan alat akibat penanganan
saat transportasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka diupayakan suatu metode untuk mendapatkan
ketertelusuran mandiri sumber arus DC standar. Metode yang dapat digunakan adalah dengan
melakukan kalibrasi secara tidak langsung berbasis pada voltmeter standar dan current shunt
standar. Metode tidak langsung ini memberikan dua cabang ketertelusuran, yaitu
ketertelusuran pada tegangan DC dan pada resistansi DC. Saat ini ketertelusuran pada
tegangan DC masih diperoleh secara eksternal, yaitu dengan melakukan kalibrasi voltmeter
standar ke NMI di luar negeri. Namun demikian, berbeda dengan ketertelusuran pada
tegangan DC, ketertelusuran pada resistansi DC sudah diperoleh secara mandiri. Setelah
adanya pengakuan terhadap kemampuan Laboratorium Metrologi Kelistrikan Pusat Penelitian
Metrologi - LIPI yaitu melalui asesmen terhadap lingkup resistansi DC nilai rendah, maka
current shunt standar dapat dikalibrasi secara mandiri di laboratorium ini[3]. Dari hasil
kalibrasi tersebut, maka current shunt standar dapat digunakan untuk menurunkan nilai

316 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


kalibrasi arus DC pada MFC, sehingga pengembangan ketertelusuran mandiri untuk sumber
arus DC standar dapat dilakukan.

2. KALIBRASI SUMBER ARUS DC STANDAR


Nilai kalibrasi pada MFC menggunakan metode self calibration secara mendasar
hanya memuaskan untuk nilai-nilai besaran tegangan DC dan resistansi DC saja. Hal ini
dikarenakan untuk besaran lain perbandingan dilakukan tidak secara langsung atau lebih
tepatnya diatur (adjustment) secara internal di dalam MFC. Selain itu, metode ini masih
memerlukan tahapan verifikasi lebih lanjut. Verifikasi ini memerlukan pembanding yang
diketahui dengan besaran yang sama. Sebagai contoh, untuk besaran arus DC,
pembandingnya dapat berupa amperemeter atau sumber arus DC lainnya.
Pada kalibrasi sumber arus DC standar menggunakan metode langsung, peralatan yang
digunakan adalah berupa amperemeter standar. MFC membangkitkan nilai arus DC yang
kemudian dibaca oleh amperemeter standar. Persamaan matematis yang digunakan untuk
metode langsung ini adalah sebagai berikut:

I x = I s + C Is .................................................................................................. 1
dimana:
Ix adalah arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, A
Is adalah arus DC yang dibaca oleh amperemeter standar, A
CIs adalah koreksi amperemeter standar, A

Untuk menentukan nilai aktual dari arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, terdapat
sumber-sumber ketidakpastian yang harus dipertimbangkan. Sumber-sumber ketidakpastian
adalah berupa pembacaan berulang (repeatability) dari amperemeter standar, koreksi yang
diperoleh dari sertifikat kalibrasi amperemeter standar, resolusi pembacaan amperemeter
standar dan penyimpangan nilai (drift) yang diperoleh dari spesifikasi teknis amperemeter
standar[4]. Sumber ketidakpastian yang paling dominan adalah berasal dari sertifikat kalibrasi
amperemeter standar dan spesifikasi amperemeter standar[5].
Sebagai upaya pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC standar
menggunakan metode tidak langsung, peralatan standar yang diperlukan adalah voltmeter
standar pada rentang dibawah 1 V dan current shunt standar dengan nilai nominal rendah
dibawah 1 Ω. Berdasarkan hukum Ohm, arus DC yang dibangkitkan oleh MFC dan mengalir

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 317


pada current shunt, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, nilainya sama dengan
pembacaan tegangan DC oleh voltmeter dibagi dengan resistansi DC dari current shunt
tersebut. Persamaan matematis dari hukum Ohm di atas adalah sebagai berikut[6]:

V
I= ............................................................................................................ 2
R
dimana:
I adalah arus DC yang dibangkitkan oleh MFC, A
V adalah tegangan DC yang dibaca oleh voltmeter, V
R adalah resistansi DC dari current shunt, Ω

Gambar 1. Penjabaran hukum ohm pada metode tidak langsung

Nilai arus DC yang dibangkitkan oleh MFC dibatasi oleh pemenuhan level tegangan
(voltage compliance limit) yang diizinkan sebesar 10 V pada level arus 100 µA – 1 A[1]. Hal
tersebut menunjukkan bahwa resistor yang dipasang menyusur pada terminal keluaran MFC
harus bernilai lebih kecil dari 10 Ω. Namun demikian, pemasangan resistor tersebut dapat
menjadi beban bagi MFC dan menimbulkan jatuh tegangan yang akan dikompensasi oleh
MFC sehingga ketidakstabilan sumber arus DC secara sistematik dapat terjadi. Berdasarkan
spesifikasi teknis dari MFC, ketidakpastian akibat adanya jatuh tegangan ini dapat diabaikan
jika level tegangan yang dihasilkan kurang dari 0,5 V[1].
Resistor yang dipasang harus memiliki faktor disipasi daya yang lebih tinggi
dibanding resistor biasa dan memiliki bentuk yang efisien dalam membuang panas. Lebih
daripada itu, nilai resistansinya harus jauh lebih kecil dibandingkan impedansi masukan (input
impedance) dari voltmeter guna mengurangi kesalahan pengukuran dikarenakan aliran arus

318 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


yang melewati voltmeter tersebut. Sebagai contoh, untuk nilai resistansi terpasang sebesar 10
Ω dan untuk impedansi masukan voltmeter 1 GΩ akan menghasilkan kesalahan (error) akibat
kebocoran arus sebesar 0,01 µΩ/Ω.
Resistor DC standar yang spesifik digunakan dalam metode ini adalah current shunt
pada arus kerja 1 A. Model komersial untuk current shunt ini adalah Guildline 9211A, dengan
nilai resistansi nominal sebesar 0,01 Ω dan memiliki faktor disipasi daya sebesar 1000 mW[7].
Nilai aktual dari current shunt pada arus kerjanya diperoleh berdasarkan metode kalibrasi
DCC Bridge[8]. Nilai aktual dari current shunt sebagaimana pada umumnya resistor masih
perlu dikoreksikan berdasarkan penyimpangan nilai (drift) akibat perbedaan waktu
penggunaannya terhadap masa rekalibrasinya[9], berdasarkan koefisien suhu[10] dan
berdasarkan koefisien daya dari current shunt itu sendiri[11].

3. METODE KALIBRASI
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian 2, pengembangan ketertelusuran mandiri
sumber arus DC standar menggunakan metode tidak langsung. Bagan skematis dari metode
ini ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan skematis metode tidak langsung

Berdasarkan bagan skematis pada Gambar 2, MFC merupakan alat yang dikalibrasi (Unit
Under Calibration/UUC) sedangkan voltmeter dan current shunt merupakan alat yang
mengkalibrasi (standar/STD). Terminal keluaran MFC dihubungkan dengan terminal arus
current shunt dan terminal tegangan current shunt dihubungkan dengan terminal masukan
voltmeter.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 319


Prinsip kerja dari metode ini adalah mula-mula MFC membangkitkan arus DC yang
mengalir menuju current shunt. Akibat aliran arus ini, pada current shunt timbul jatuh
tegangan yang kemudian dibaca oleh voltmeter. Pembacaan voltmeter perlu dikoreksikan
dengan nilai kalibrasinya untuk mendapatkan nilai aktual tegangan DC. Faktor-faktor lainnya
dari voltmeter yang berpengaruh dalam pengukuran adalah resolusi pembacaan,
penyimpangan nilai (drift) koreksi pembacaan, gain dan linearity error pembacaan. Pada
current shunt nilai aktual resistansi DC juga perlu dikoreksi dengan faktor-faktor yang
berpengaruh pada saat dilakukan pengukuran, antara lain adalah pergeseran nilai (drift)
resistansi, koefisien suhu, dan arus kerja yang menimbulkan disipasi daya. Dengan
mempertimbangkan hal-hal tersebut, persamaan matematis untuk menghitung arus DC
dengan menggunakan metode tidak langsung adalah sebagai berikut:

V (1 + CVc + CVr + CVd )


I= ........................................................................ 3
Rsh (1 + C Rd + C Rt + C Rp )

dimana:
I adalah nilai aktual arus DC yang dibangkitkan MFC, A
V adalah nilai rata-rata pembacaan tegangan DC oleh voltmeter, V
CVc adalah koreksi yang diperoleh dari sertifikat kalibrasi voltmeter, V/V
CVr adalah koreksi akibat keterbatasan resolusi voltmeter, V/V
CVd adalah koreksi akibat drift voltmeter, V/V
Rsh adalah nilai resistansi DC hasil kalibrasi current shunt, Ω
CRd adalah koreksi akibat drift current shunt, Ω/Ω
CRt adalah koreksi dari koefisien suhu current shunt, Ω/Ω
CRp adalah koreksi dari disipasi daya current shunt, Ω/Ω

Pada saat pengukuran, kondisi lingkungan diatur pada rentang suhu 23±3°C dan pada
rentang kelembaban 65±10%[12]. Pengambilan data dilakukan sebanyak lima kali dalam
interval satu menit agar arus yang mengalir mencapai kestabilan. Besaran yang diukur adalah
tegangan DC dan nilai yang dievaluasi adalah nilai aktual arus DC berikut ketidakpastian
pengukurannya.
Untuk evaluasi nilai aktual arus DC dengan memperhitungkan koreksi masing-masing
faktor yang berpengaruh dalam pengukuran, model matematis yang digunakan adalah
sebagaimana yang ditunjukkan pada persamaan 3. Evaluasi untuk komponen-komponen

320 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


ketidakpastian dilakukan dengan dua metode, yaitu tipe A dan tipe B sesuai dengan kaidah
perhitungan ketidakpastian. Ketidakpastian tipe A diperoleh dari analisis secara statistik
sedangkan ketidakpastian tipe B diperoleh dari penilaian ilmiah yang meliputi data dari
sertifikat kalibrasi standar dan spesifikasi teknis peralatan yang digunakan[13]. Berdasarkan
model matematis seperti yang dinyatakan pada persamaan 3, maka ketidakpastian gabungan
pengukuran dapat diformulasikan sebagai berikut:

(c1uV ) 2 + (c 2 uVc ) 2 + (c3uVr ) 2 + (c 4 uVd ) 2 + (c5 u Rsh ) 2 +


uc (I ) = ................. 4
(c6 u Rd ) 2 + (c7 u Rt ) 2 + (c8 u Rp ) 2

dimana:
uc(I) adalah ketidakpastian gabungan pengukuran, A
c1, …, c8 adalah koefisien sensitivitas dari tiap sumber ketidakpastian
uV adalah ketidakpastian dari pembacaan berulang (repeatability)

voltmeter, V
uVc adalah ketidakpastian koreksi pembacaan yang diperoleh dari sertifikat
kalibrasi voltmeter, V/V
uVr adalah ketidakpastian akibat keterbatasan resolusi voltmeter, V/V
uVd adalah ketidakpastian akibat drift voltmeter, V/V
uRsh adalah ketidakpastian dari hasil kalibrasi current shunt, Ω
uRd adalah ketidakpastian akibat drift current shunt, Ω/Ω
uRt adalah ketidakpastian dari koefisien suhu current shunt, Ω/Ω
uRp adalah ketidakpastian dari disipasi daya current shunt, Ω/Ω

Selanjutnya dihitung ketidakpastian terentang pengukuran dengan rumus sebagai berikut:

U exp ( I ) = k × u c ( I ) ………………............................................................… 5

dimana:
Uexp(I) adalah ketidakpastian terentang pengukuran, A
k adalah faktor cakupan
uc(I) adalah ketidakpastian gabungan pengukuran, A

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 321


Langkah terakhir adalah melakukan perhitungan En number untuk memvalidasi hasil
pengukuran arus DC dengan metode tidak langsung sesuai rumus berikut[14]:
ix − I s
E n ( x) = ……………………………………….............…… [6]
2 2
Ux +Us

dimana:
E n (x) adalah En number
ix adalah nilai aktual arus DC menggunakan metode tidak langsung, A
Is adalah nilai aktual arus DC menggunakan metode langsung, A[5]
Ux adalah ketidakpastian pengukuran menggunakan metode tidak langsung, A
Us adalah ketidakpastian pengukuran menggunakan metode langsung, A[5]

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data hasil pengukuran dengan metode tidak langsung disajikan pada tabel 1. Data
tersebut digunakan sebagai dasar untuk melakukan evaluasi nilai aktual arus DC dan
ketidakpastian pengukuran.

Tabel 1. Data hasil pengukuran

Rentang Pembacaan voltmeter


Nominal
Current
MFC 1 2 3 4 5
Shunt
(A) (A) (mV)
10 1 10,00074 10,00077 10,00086 10,00085 10,00079

Pada evaluasi nilai aktual arus DC, nilai tegangan DC diperoleh dari tabel 1 sedangkan nilai
resistansi DC diperoleh dari hasil kalibrasi current shunt secara mandiri. Dalam evaluasi ini
hanya digunakan koreksi dari sertifikat kalibrasi voltmeter, sedangkan koreksi lainnya
diabaikan dan bernilai nol. Koreksi lainnya hanya akan diperhitungkan dalam evaluasi
ketidakpastian pengukuran. Nilai rata-rata pembacaan voltmeter standar diperoleh yaitu
sebesar 10,000 80 mV dengan koreksi pembacaannya yaitu sebesar 1,3 µV/V. Nilai aktual
dari resistansi DC current shunt standar adalah sebesar 10,000 775 mΩ.
Evaluasi ketidakpastian pengukuran dilakukan terhadap tiap komponen ketidakpastian
berdasarkan persamaan 4. Komponen ketidakpastian pembacaan berulang (repeatability)

322 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


voltmeter (u V ) dievaluasi dengan metode tipe A dimana nilainya diperoleh dari Experimental

Standard Deviation of the Mean (ESDM). Ketidakpastian standar adalah sebesar 2,3 × 10-8 V
yang diasumsikan terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan sebesar 4. Dengan
koefisien sensitifitas (c1) sebesar 100 Ω-1, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 2,3 ×
10-6 A.
Komponen ketidakpastian koreksi pembacaan voltmeter (uVc) dievaluasi dengan
metode tipe B dimana nilainya diperoleh berdasarkan informasi dari sertifikat kalibrasi
voltmeter. Ketidakpastian standar adalah sebesar 4,0 × 10-5 V/V yang diasumsikan
terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan tak hingga. Dengan koefisien sensitifitas
(c2) sebesar 1 V/Ω, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 4,0 × 10-5 A.
Komponen ketidakpastian resolusi voltmeter (uVr) dievaluasi dengan metode tipe B
dimana nilainya diperoleh dari perubahan digit terkecil pada skala pembacaan voltmeter.
Ketidakpastian standar adalah sebesar 2,9 × 10-6 V/V yang diasumsikan terdistribusi secara
segi empat dengan derajat kebebasan tak hingga. Dengan koefisien sensitifitas (c3) sebesar 1
V/Ω, memberikan kontribusi ketidakpastian sebesar 2,9 × 10-6 A.
Komponen ketidakpastian drift voltmeter (uVd) dievaluasi dengan metode tipe B
dimana nilainya diperoleh dari spesifikasi teknis voltmeter. Ketidakpastian standar adalah
sebesar 6,4 × 10-6 V/V yang disumsikan terdistribusi secara normal dengan derajat kebebasan
tak hingga.. Dengan koefisien sensitifitas (c4) sebesar 1 V/Ω, memberikan kontribusi
ketidakpastian sebesar 6,4 × 10-6 A.
Komponen ketidakpastian hasil kalibrasi current shunt (uRsh) dievaluasi dengan metode
tipe B dimana nilainya diperoleh dari ketidakpastian pengukuran pada kalibrasi current shunt
secara mandiri yang diasumsikan terdistribusi secara normal. Komponen ketidakpastian
koefisien suhu current shunt (uRt) dievaluasi dengan metode tipe B dimana nilainya diperoleh
dari koefisien suhu yang terdapat pada spesifikasi teknis current shunt yang diasumsikan
terdistribusi secara segi empat. Komponen ketidakpastian drift dan disipasi daya current shunt
(uRd dan uRp) dievaluasi dengan metode tipe B dimana nilainya diperoleh dari akurasi yang
terdapat pada spesifikasi teknis current shunt yang diasumsikan terdistribusi secara normal.
Masing-masing ketidakpastian standarnya secara berturut-turut adalah 9,2 × 10-9 Ω, 1,5 × 10-5
Ω/Ω, dan 5,0 × 10-5 Ω/Ω. Dengan koefisien sensitifitas (c5, c6, c7) masing-masing secara
berturut-turut yaitu sebesar -100 V/Ω2, -1 V/Ω, dan -1 V/Ω, memberikan kontribusi
ketidakpastian secara berturut-turut adalah sebesar -9,2 × 10-7 A, -1,5 × 10-5 A, dan -5,0 × 10-5

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 323


A. Hasil evaluasi nilai aktual arus DC dan ketidakpastian pengukuran disajikan pada Tabel 2
berikut:

Tabel 2. Hasil evaluasi nilai aktual arus DC dan ketidakpastian pengukuran

Komponen Koefisien Kontribusi Derajat


Estimasi Ketidakpastian Standar Distribusi
Ketidakpastian Sensitivitas Ketidakpastian Kebebasan
Xi xi u(xi) ci u(Ii) vi
Rata-Rata
Pembacaan 0,01000080 V 2,3,E-08 V normal 100 Ω-1 2,3E-06 4
Voltmeter
Sertifikat Kalibrasi
0,0000013 V/V 4,0,E-05 V/V normal 1 V/Ω 4,0E-05 1,0E+12
Voltmeter
Resolusi
0 V/V 2,9,E-06 V/V segi empat 1 V/Ω 2,9E-06 1,0E+12
Voltmeter

Drift Voltmeter 0 V/V 6,4,E-06 V/V normal 1 V/Ω 6,4E-06 1,0E+12


Hasil Kalibrasi
0,010000775 Ω 9,2,E-09 Ω normal -100 V/Ω2 -9,2E-07 1,0E+12
Current Shunt
Koefisien Suhu
0 Ω/Ω 1,5,E-05 Ω/Ω segi empat -1 V/Ω -1,5E-05 1,0E+12
Current Shunt
Drift dan Disipasi
Daya Current 0 Ω/Ω 5,0,E-05 Ω/Ω normal -1 V/Ω -5,0E-05 1,0E+12
Shunt
Ketidakpastian Gabungan 6,6E-05
Derajat Kebebasan Efektif 2,7E+06
Arus DC Aktual 1,000 00 A Faktor Cakupan 2
Ketidakpastian Terentang 0,000 13 A
0,13 mA/A

Dari Tabel 2 diketahui nilai aktual arus DC adalah sebesar 1,000 00 A dengan
ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A atau 0,13 mA/A pada tingkat kepercayaan
95% dan faktor cakupan k = 2. Kontribusi tiap sumber ketidakpastian pengukuran yang
terdapat pada Tabel 2 dijabarkan secara lebih rinci pada Gambar 3.

324 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 3. Kontribusi tiap sumber ketidakpastian pengukuran

Dari grafik pada Gambar 3 diketahui bahwa sumber ketidakpastian yang memiliki kontribusi
dominan adalah drift dan disipasi daya current shunt yaitu sebesar 43% serta sertifikat
kalibrasi voltmeter yaitu sebesar 34%.
Pada kalibrasi menggunakan metode langsung ketidakpastian pengukuran yang
diperoleh adalah sebesar 0,000 19 A atau 0,19 mA/A. Berdasarkan hal tersebut diketahui
bahwa pengukuran arus DC dengan metode tidak langsung lebih baik dibanding dengan
metode langsung karena ketidakpastian yang diperoleh lebih kecil. Walau belum memberikan
kontribusi untuk memperkecil ketidakpastian secara signifikan, namun dari perhitungan
sesuai persamaan 6, nilai En number untuk pengukuran arus DC dengan metode tidak
langsung dibandingkan dengan metode langsung diperoleh sebesar -0,20. Hal ini
membuktikan bahwa pengukuran yang dilakukan adalah valid karena berada dalam rentang -1
< En(x) < 1. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan agar ketertelusuran mandiri untuk sumber
arus DC standar dapat diperoleh secara utuh, dengan cara mengalibrasi voltmeter standar
secara mandiri.

5. KESIMPULAN
Pengembangan ketertelusuran mandiri sumber arus DC di Puslit Metrologi – LIPI
telah berhasil dilakukan. Dengan menggunakan metode tidak langsung, nilai aktual arus DC
MFC didapatkan sebesar 1,000 00 A dengan ketidakpastian pengukuran sebesar 0,000 13 A
pada tingkat kepercayaan 95% dan faktor cakupan k = 2. Terdapat dua sumber ketidakpastian
yang memiliki kontribusi dominan, yaitu drift dan disipasi daya current shunt (43%) serta

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 325


sertifikat kalibrasi voltmeter (34%). Pengukuran arus DC dengan metode tidak langsung ini
telah divalidasi terhadap metode langsung dengan nilai En number sebesar -0,20 dan hasilnya
lebih baik dibanding dengan metode langsung.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Metrologi – LIPI yang
telah memfasilitasi penelitian ini. Selain itu penulis juga berterima kasih kepada Muhammad
Azzumar yang telah membantu dalam pengambilan data dalam penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] _____. 2007. 5700A/5720A Series II Multi-Function Calibrator Service Manual. Fluke
Corporation. Everett.
[2] Sardjono, R. H., Syahadi, M. 2015. I.ME.3.05 : Calibration Procedures for Digital
DC Current Source Using Direct Method. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI.
[3] http://bsn.go.id/uploads/download/2.3_._Laporan_Kinerja_PALLI_2016_1.pdf
diakses per tanggal 9 Juni 2017
[4] _____. 2002. 8508A Reference Multimeter Users Manual. Fluke Corporation. Everett.
[5] Yayienda, N. F. 2017. Sertifikat Kalibrasi Multifunction Calibrator Fluke 5720A SN
2190201. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI. Tangerang Selatan.
[6] Milikan, R. A., Bishop, E. S. 1917. Elements of Electricity. 54. American Technical
Society. Chicago.
[7] _____. 2010. Model 9211A Multi-Tap, 300A Precision DC Current shunt. Guildline
Instruments Limited.
[8] Azzumar, M., Syahadi, M., Faisal, A. 2014. Karakterisasi Nilai Tahanan Current
shunt Terhadap Arus Masukan. PPI-KIM 2014. 427-447. Pusat Penelitian Metrologi –
LIPI. Tangerang Selatan.
[9] Faisal, A., Azzumar, M., Khairiyati, L. 2016. Pemeliharaan Sebuah Grup Resistor
Standar Untuk Menentukan Laju Pergeseran Nilai Resistor Standar Acuan
Menggunakan DCCB. Jurnal Instrumentasi. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI.
Tangerang Selatan.
[10] Khairiyati, L. 2014. Peningkatan Kemampuan Metrologi LIPI Dalam Menentukan
Koefisien Suhu Resistor Standar 1 Ω Dengan DCCB. PPI-KIM 2014. Pusat Penelitian
Metrologi – LIPI. Tangerang Selatan.

326 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


[11] Deaver, D., Faulkner, N. 2010. Characterization of the Power Coefficient of AC and
DC Current Shunts. NCSL International Workshop and Symposium. NCSL.
[12] Sardjono, R. H., Syahadi, M. 2015. I.ME.3.03 : DC Current Source Calibration By
Using Current shunt. Pusat Penelitian Metrologi – LIPI.
[13] Joint Committee for Guides in Metrology. 2008. JCGM 100:2008, Evaluation of
Measurement Data - Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement. BIPM.
Paris.
[14] Shirono, K., Shiro, M., Tanaka, H., Ehara, K. 2016. Proficiency Test with Uncertainty
Information: Extension of The En Number for Cases with No Reference Laboratory.
Journal of Measurement. 135-143. ScienceDirect.

HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Hadi Sardjono
Pertanyaan :
Sudah dilakukankah pembandingan hasil yang diperoleh dengan hasil yang sudah ada?
Jawaban :
Sudah dibandingkan dengan metode langsung. Hasil dengan metode tidak langsung pada
makalah ini lebih baik.

Nama Penanya : Ratnaningsih


Pertanyaan :
Drift merupakan penyumbang ketidakpastian terbesar, apa upaya untuk memperkecilnya?
Jawaban :
Diperkecil dengan melakukan pengukuran berkala (cek antara) agar diketahui drift
sebenarnya. Dalam makalah ini yang digunakan adalah drift dari spesifikasi teknis pabrikan.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 327


DETERMINASI JANGKAUAN CAKUPAN ROUTER UNTUK
MENENTUKAN KUALITAS SINYAL
Asep Insani
Pusat Penelitian Metrologi – LIPI
Komplek PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan, Banten
asepinsani@kim.lipi.go.id, asepinsani@gmail.com

INTISARI
Pada penelitian ini telah dilakukan proses pengujian jaringan WiFi dibeberapa titik di kantor Puslit
Metrologi. Dimana Puslit Metrologi memiliki beberapa hotspot jaringan yang terpasang dengan
menggunakan wireless router.Hal yang terlampir diatas tentunya sangat tidak efesien dalam
penggunaan dana. Seharusnya dalam gedung ini memiliki satu titik pusat sebagai router dan server-
nya agar lebih terpusat dan lebih efisien lagi dalam banyak hal. Setelah dilakukan pengamatan dan
pengujian didapatkan quality of Service jaringan yang ada yaitu pengumpulan data dibeberapa titik
yang ditentukan dan didukung proses capture dilakukan untuk mengetahui batas dari kekuatan sinyal
WiFi dan penggunaan hardware penguat sinyal juga digunakan untuk mengetahui batas jarak akses
terjauh maksimum. Dan disimpulkan kalau dalam satu Puslit Metrologi tidak dapat digunakan hanya
dengan satu hotspot WL-.BI sehingga solusinya adalah dibuat peta jaringan satu kawasan puslit
metrologi.

Kata Kunci: Jaringan WiFi, Quality of Service, kekuatan sinyal.

ABSTRACT
This study has been conducted testing processes in some point of a WiFi network in the office of
Metrology Research Center. Where Metrology Research Center has several hotspots installed network
using a wireless router. It is attached above of course is not very efficient in the use of funds. It should
in this building has a central point as its routers and servers to be more centralized and more efficient
in many ways. After observation and testing obtained quality-of-service networks that exist in some
point of data collection are defined and supported by the capture process is performed to determine
the limits of the WiFi signal strength and signal amplifiers hardware usage are also used to determine
the maximum distance limit access furthest. And concluded that in one Puslit Metrologi can not be
used with just one hotspot WL-.BI so the solution is made a network map a region of centre for
metrology.

Keywords: WiFi Network, Quality of Service, signal strength.

328 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


1. PENDAHULUAN

Puslit Metrologi LIPI memiliki beberapa bagian dan ruangan. Dan masing-masing
ruangan ataupun bagian dapat melakukan pengaksesan internet secara langsung dengan sinyal
WiFi yang disebar oleh router dan access point. Sangat bagus tentunya apabila akses WiFi
terdapat di berbagai tempat dalam gedung itu sendiri. Namun pada kenyataannya satu kantor
yang terdiri dari beberapa gedung ini memiliki router yang sangat banyak. Setiap ruangannya
memiliki setidaknya satu router didalam bagian atau ruangan di gedung tersebut [1][2].
Hal yang terlampir diatas tentunya sangat tidak efesien dalam penggunaan dana.
Seharusnya dalam gedung ini memiliki satu titik pusat sebagai router dan server-nya agar
lebih terpusat dan lebih efisien lagi dalam penggunaan dana. Solusi dari permasalahan diatas
yaitu dilakukan suatu pemusatan pada suatu titik router ataupun WiFi. WLBI sebagai router
yang dipilih sebagai sarana WiFi yang dilakukan analisa terhadapnya untuk mengukur
seberapa besar kekuatan pancarannya. Penganalisaan jaringan WiFi WLBI ini dilakukan pada
beberapa titik di lingkungan gedung. Penganalisaan jaringan WiFi WLBI juga dilakukan
dengan dua tahapan yaitu tahapan menggunakan penguat sinyal dan tahapan tidak
menggunakan penguat sinyal yang tujuannya mengetahui minimun dan maksimum suatu
sinyal yang dipancarkan oleh WiFi WLBI tersebut. Outputnya adalah merekomendasikan
suatu titik yang mana harus diberikan access point agar dapat memancarkan sinyal dari WiFi
WLBI yang sudah diperkuat, sehingga menggapai beberapa titik yang sebelumnya tidak
menerima atau mendapatkan sinyal dari WiFi WLBI [3].

2. DASAR TEORI
Wireless Network merupakan peralatan end-user untuk mengakses jaringan dengan
menggunakan transmisi radio pendek atau sedang. [4]
• Wireless WAN : GSM (sampai 20 Kbps).
• Wireless LAN/MAN : WaveLAN (2-11 Mbps, sampai 150 m).
• Wireless PAN (Personal Area Network) : bluetooth (sampai 2 Mbps, jarak <
10m).

Multicast

Multicast adalah metode transmisi data secara connectionless, yang berarti client
menerima aliran data tapi tidak terhubung secara langsung ke server. Tidak ada informasi
kontrol dan feedback yang dikirim ke server. Metode ini menghemat bandwidth jaringan
karena hanya satu aliran data yang dibangkitkan oleh server, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 1.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 329


Gambar 1. Multicast

Unicast
Unicast adalah cara untuk pengiriman paket informasi pada suatu tujuan tunggal.
Unicast biasa digunakan pada jasa streaming contect provider. Server unicast menyediakan
aliran data pada pengguna tunggal pada saat yang sama. Keuntungannya adalah adanya
hubungan dua arah dengan server, sehingga memungkinkan mengirim informasi kontrol dan
feedback ke server yang dapat digunakan untuk error correction dan adaptasi terhadap
kondisi jaringan. Sedangkan kerugian dari unicast ini adalah, jika unicast streaming
melayani client yang sangat banyak, akan mempengaruhi bandwidth yang digunakan, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Unicast

Desain Jaringan

Desain jaringan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi performa jaringan.
Dengan desain jaringan yang best practice, performa jaringan meningkat dari segi reliability,
security, scalability, dan manageability [4-5].
1. Reliability merujuk kepada seberapa sering jaringan mengalami gangguan dan
kemampuannya dalam menghadapai gangguan. Reliability di capai dengan

330 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


mengimplementasikan redundancy yaitu menerapkan beberapa link sebagai link
cadangan.
2. Scalability adalah kemudahan dalam mengembangkan jaringan tanpa mempengaruhi
kinerja jaringan. Scalability dicapai dengan mengimplementasikan jaringan dengan
model hierarchical dan link-aggregation, yaitu menggabungkan beberapa link fisik
menjadi satu buah link logikal.
3. Security dan manageability dapat di capai dengan menerapkan jaringan model
hierarchical. Desain jaringan hierarchical ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Desain Jaringan Hierarchical

1. Core Layer
Layer ini berfungsi sebagai backbone dari jaringan penghubung antar perangkat
jaringan di layer distribution, serta penghubung ke WAN. Karakteristik layer ini
adalah memiliki bandwidth yang besar serta perangkat jaringan dengan kemampuan
packet forwarding yang tinggi karena layer ini merupakan aggregate atau kumpulan
koneksi layer di bawahnya.
2. Distribution Layer
Layer ini berfungsi sebagai penghubung antar perangkat jaringan pada access
layer dan security untuk packet-filtering. Karakteristik layer ini adalah high speed
forwarding dan routing capacity serta ACL.
3. Access Layer
Layer ini berfungsi sebagai penghubung perangkat end device pada jaringan dan
security untuk end device filtering. Karakteristik layer ini adalah port security dan
PoE untuk beberapa end device.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 331


3. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengetahui batasan dari
kekuatan suatu jaringan WiFi, yaitu dengan melakukan survai dengan pengukuran ke
beberapa titik di gedung kantor Puslit Metrologi LIPI. Kemudian setalah itu melakukan
perbandingan antar sinyal yang dilakukan penguatan dengan yang tidak dilakukan penguatan.
Dan ini dilakukan dengan cara melakukan capturing pada saat survai. Hasil akhirnya yaitu
digunakan untuk melakukan pertimbangan kelayakan WiFi untuk digunakan dalam satu
gedung keseluruhan.
Perancangan yang dilakukan merupakan proses penerapan bermacam-macam teknik dan
prinsip yang akan mendefinisikan peralatan. Proses atau system secara terperinci sehingga
mudah menerapkannya. Menguji kelayakan jaringan gedung 430 melewati beberapa tahap
yaitu [4][5] :
1) Penandaan titik di lokasi diambilnya data sampel
2) Melakukan capture jaringan
3) Dilakukan Pengumpulan data hasil pengukuran
4) Dilakukan Perbandingan Jaringan di masing-masing lokasi

Uji kelayakan yang dilakukan tersebut diatas adalah untuk menentukan besarnya
QoS dari router WL BI dan penentuan lokasi terbaik sebagai jawaban untuk perbaikan
jangkauan dan determinasi cakupan sinyal satu Puslit Metrologi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penandaan Titik di Lokasi


Pada bagian ini merupakan gambaran dari lokasi atau tempat diambilnya data sebagai
titik pengukuran. Titik pengambilan data ditentukan dari jaraknya, namun titik pengambilan
data tidak ditentukan sama persis perbedaan jaraknya. Apabila sampel diambil per lima meter
atau per sepuluh meter maka akan tidak efisien dalam segi waktu karna dibeberapa lorong
panjangnya bisa hingga 100m maka dari itu sampel di ambil dalam jarak antar titikya yaitu
20m dan 40m. Beberapa titik pengukurang pengambilan data yaitu diperlihatkan pada lorong
kiri lapangan, lorong kanan lapangan, Lorong Depan Lapangan, lorong kantin, dan belakang
kantin. Salah satu contoh pengukuran diperlihatkan pada gambar 4. berikut ini:

332 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Gambar 4. Lorong Kiri Lapangan dan Titik Pengambilan Data

4.2. Melakukan Capture Jaringan


Berikut merupakan langkah untuk meng-capture jaringan dengan menggunakan Wireshark
yaitu dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut [5][6]:
1) Menjalankan aplikasi pada komputer.
2) Pastikan komputer sudah connect ke internet.
3) Ketikkan perintah “ping –t” + domain atau gateway pada Command Promt, sebagai pendukung
untuk analisa dengan Wireshark yang dimana ping ini bertugas untuk menjaga agar komunikasi
jaringannya tetap ada. Contoh yang diketikkan di CMD atau Command Promt yaitu “ping –t
google.com” atau “ping –t 192.168.1.211”.
4) Kembali ke aplikasi Wireshark, yang langkah selanjutnya adalah memilih interface yang akan di
capture dengan cara klik menu “Capture” lalu klik submenu “Interfaces” .
5) Setelah melakukan langkah ke-4 maka akan mucul window baru. Pilihlah interface yang akan di
capture, lalu klik “Start” untuk memulai capture pada interface yang dipilih.
6) Langkah ke-5 dengan mengklik start sudah dilakukan, maka akan muncul tampilan seperti pada
gambar 4.6 dimana nantinya akan muncul daftar analisa jaringan protocol yang terus bertambah
daftarnya. Klik tombol kotak merah pada Toolbar Wireshark untuk menghentikan analisa
jaringan protocol yang berlangsung.
7) Sesudah langkah ke-6 yang telah menyelesaikan proses capturing, maka hasil capture dapat
disimpan didalam komputer. Hasil capture dapat digunakan sebagai analisa komunikasi jaringan
dengan cara meng-klik menu “Statistics” lalu klik submenu “Summary” maka akan muncul data
seperti pada gambar 4.7 dibawah ini.

4.3. Melakukan Pengumpulan Data


Pada bagian pengumpulan data ini merupakan hasil kalkulasi dari data hasil capture
yaitu Wireshark: Summary yang sebelumnya diperagakan. Kalkulasi data meliputi beberapa
kriteria untuk dijadikan parameter metode QoS (Quality of Service). Kriteria data yang akan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 333


digunakan sebagai bahan metode QoS yaitu delay, troughput, packet loss, jitter[2][6]. Berikut
merupakan proses pencarian nilai delay, troughput, packet loss, jitter.
• Jitter = Total variation delay/( Displayed -1)
• Throughput = Displayed (Bytes)/ Total variation delay
• Delay = Total variation delay / Displayed
• Packet Loss = ((Captured – Displayed) / Captured) x100%
Menentukan delay, troughput, packet loss, jitter dengan menggunakan Wireshark.
• Jitter
= Total variation delay /(Displayed-1)
= 14,387 s / 54
= 0,27 s
• Throughput
= Displayed (Bytes)/ Total variation delay
= 10586/ 14,387 s
= 735,80 s
= 0,736 ms
• Delay
= Total variation delay / Displayed
= 14,387 s / 55
= 0,26 s
• Packet Loss
= ((Captured – Displayed) / Captured) x100%
= ((55-55) / 55) x100%
= 0,00 %

4.4. Melakukan Analisis Data


1) Data Lorong Kiri Lapangan
a) Hotspot Tanpa Penguat Sinyal

334 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 1. Data Lorong Kiri Lapangan Tanpa Penguat
Hotspot WLBI Lorong Kiri Lapangan (Non High Gain Wireless)
Lama Paket data
Capture Display Throughput
Jarak pengamatan diterima Delay Packet Loss Jitter
Packet Packet (bytes)
(sec) (Bytes)

0m NO PACKET DATA

95 95 4,540 11164 0,04778947 2459,031 0,00% 0,04829787


86 86 5,522 7207 0,06420930 1305,143 0,00% 0,06496471
Tengah
117 117 3,556 14808 0,03039316 4164,229 0,00% 0,03065517
Lorong
79 79 3,415 9222 0,04322785 2700,439 0,00% 0,04378205
58 58 6,029 5972 0,10394828 990,546 0,00% 0,10577193
103 103 6,782 12419 0,06584466 1831,171 0,00% 0,06649020
Sudut 73 73 4,909 7576 0,06724658 1543,288 0,00% 0,06818056
Diagonal 85 85 6,127 8766 0,07208235 1430,717 0,00% 0,07294048
Lorong 78 78 4,837 9098 0,06201282 1880,918 0,00% 0,06281818
111 111 7,286 15437 0,06563964 2118,721 0,00% 0,06623636

Data pada tabel 1 diatas lorong kiri lapangan tidak dapat ditemukan samplenya pada
saat melakukan analisa di lokasi 0meter. Dikarenakan posisinya berada di sudut ruangan yang
tepatnya dibawah tangga dan sinyal WLBI tidak dapat memancarkan silnyalnya dengan baik
hingga ke jarak 0 m tersebut karena terhalang oleh tembok ataupun terlalu banyak pantulan
sinyalnya sehingga tidak terbaca.
Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ditangkap oleh penguat TP-Link yang
pengumpulannya berada di sudut diagonal lorong. Sedangkan kekuatan sinyal yang
diterimanya yaitu 42%.

Tabel 2. Data Lorong Kiri Lapangan Dengan Penguat


HOTSPHotspot WLBI Lorong Kiri Lapangan (High Gain Wireless)
Lama Paket data
Capture Display Throughput
Jarak pengamatan diterima Delay Packet Loss Jitter
Packet Packet (bytes)
(sec) (Bytes)

0m NO PACKET DATA

139 139 4,211 18542 0,03029496 4403,230 0,00% 0,03051449


97 97 6,211 10845 0,06403093 1746,096 0,00% 0,06469792
Mid 71 71 4,61 10845 0,06492958 2352,495 0,00% 0,06585714
159 159 6,370 16806 0,04006289 2638,305 0,00% 0,04031646
117 117 5,719 10475 0,04888034 1831,614 0,00% 0,04930172
80 80 5,218 11024 0,06522500 2112,687 0,00% 0,06605063
178 178 6,384 13947 0,03586517 2184,680 0,00% 0,03606780
0m
132 132 6,579 16488 0,04984091 2506,156 0,00% 0,05022137
(diagonal)
71 71 5,411 6838 0,07621127 1263,722 0,00% 0,07730000
117 117 5,306 13525 0,04535043 2549,001 0,00% 0,04574138

Pada tabel 2 tersebut diatas merupakan sampel data yang didapat dengan penguat
sinyal. Namun sinyal hilang ketika jarak meter ke-0 dengan kasus yang sama seperti yang
sebelumnya ketika tanpa menggunakan penguat sinyal.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 335


b) Hotspot Dengan Penguat Sinyal
Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ditangkap oleh penguat TP-Link yang
pengumpulannya berada di tengah lorong. Sedangkan kekuatan sinyal yang diterimanya
yaitu 36%.

2) Data Lorong Kanan Lapangan


a) Hotspot Tanpa Penguat Sinyal
Pada Tabel 3 di bawah ini ditunjukkan data lorong kanan yang tanpa penguat sinyal yang
didapatkan dari hotspot BI pada lorong kanan lapangan.

Tabel 3. Data Lorong Kanan Lapangan Tanpa Penguat

Hotspot WLBI Lorong Kanan Lapangan (Non High Gain Wireless)

Lama Paket data


Capture Display
Jarak pengamatan diterima Delay Throughput (kbps) Packet Loss Jitter
Packet Packet
(sec) (Bytes)
64 64 3,609 7598 0,05639063 2,105 0,00% 0,05728571
64 64 4,672 8212 0,07300000 1,758 0,00% 0,07415873
0m 56 56 3,958 8078 0,07067857 2,041 0,00% 0,07196364
48 48 9,381 5284 0,19543750 0,563 0,00% 0,19959574
65 65 5,656 10215 0,08701538 1,806 0,00% 0,08837500
51 51 5,254 7452 0,10301961 1,418 0,00% 0,10508000
33 33 4,877 2843 0,14778788 0,583 0,00% 0,15240625
40 m 68 68 3,902 7626 0,05738235 1,954 0,00% 0,05823881
27 27 7,327 1890 0,27137037 0,258 0,00% 0,28180769
47 47 6,695 4987 0,14244681 0,745 0,00% 0,14554348
27 27 4,424 1866 0,16385185 0,422 0,00% 0,17015385
45 45 9,136 7216 0,20302222 0,790 0,00% 0,20763636
Tengah
33 33 4,382 5844 0,13278788 1,334 0,00% 0,13693750
Lorong
18 18 4,676 1970 0,25977778 0,421 0,00% 0,27505882
39 39 4,224 6684 0,10830769 1,582 0,00% 0,11115789

b) Hotspot Dengan Penguat Sinyal


Sedangkan jika dengan menggunakan penguat sinyal, maka sinyal yang dipancarkan hotspot
WLBI ditangkap oleh penguat TP-Link yang pengumpulan datanya berada di meter ke-0.
Sedangkan kekuatan sinyal yang diterimanya yaitu 20%. Sedangkan data lorong kanan
lapangan dengan penguat diperlihatkan pada tabel 4 sebagai berikut:

336 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 4. Data Lorong Kanan Lapangan Dengan Penguat

Hotspot WLBI Lorong Kanan Lapangan (High Gain Wireless)

Lama Paket data


Capture Display
Jarak pengamatan diterima Delay Throughput (kbps) Packet Loss Jitter
Packet Packet
(sec) (Bytes)
57 57 10,779 8145 0,18910526 0,756 0,00% 0,19248214
45 45 6,991 8270 0,15535556 1,183 0,00% 0,15888636
0m 30 30 13,612 9268 0,45373333 0,681 0,00% 0,46937931
No Packet Data
No Packet Data
58 58 6,506 5177 0,11217241 0,796 0,00% 0,11414035
54 54 4,410 6918 0,08166667 1,569 0,00% 0,08320755
40 m 68 68 3,902 7626 0,05738235 1,954 0,00% 0,05823881
76 76 4,604 5819 0,06057895 1,264 0,00% 0,06138667
67 67 4,494 8137 0,06707463 1,811 0,00% 0,06809091
82 82 8,468 9467 0,10326829 1,118 0,00% 0,10454321
60 60 10,650 8218 0,17750000 0,772 0,00% 0,18050847
Tengah
35 35 13,540 8757 0,38685714 0,647 0,00% 0,39823529
Lorong
63 63 6,902 7771 0,10955556 1,126 0,00% 0,11132258
85 85 8,578 9748 0,10091765 1,136 0,00% 0,10211905

Data pada jarak ke-0 tidak dapat di capture karena kondisi yang dekat sekali dengan
lapangan luas yang hembusan angin disekitarnya dapat merusak sinyal yang ada. Dan terlihat
pada poin ke 4 dan ke 5 sampel tidak didapat karna efek dari hembusan angin yang kencang.
3) Data Lorong Depan Lapangan
a) Hotspot Tanpa Penguat Sinyal
Pada tabel 5 dibawah ini adalah data lorong depan lapangan tanpa penguat yang
didapatkan dari hotspot BI.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 337


Tabel 5. Data Lorong Depan Lapangan Tanpa Penguat

Hotspot WLBI Lorong Depan Lapangan (Non High Gain Wireless)

Lama Paket data


Capture Display Throughput
Jarak pengamatan diterima Delay Packet Loss Jitter
Packet Packet (bytes)
(sec) (Bytes)
103 103 6,782 12419 0,06584466 1831,171 0,00% 0,06649020
73 73 4,909 7576 0,06724658 1543,288 0,00% 0,06818056
0m
85 85 6,127 8766 0,07208235 1430,717 0,00% 0,07294048
(diagonal)
78 78 4,837 9098 0,06201282 1880,918 0,00% 0,06281818
111 111 7,286 15437 0,06563964 2118,721 0,00% 0,06623636
125 125 12,047 12771 0,09637600 1060,098 0,00% 0,09715323
80 80 6,024 9192 0,07530000 1525,896 0,00% 0,07625316
20 m 108 108 7,190 11611 0,06657407 1614,882 0,00% 0,06719626
85 85 5,113 9761 0,06015294 1909,055 0,00% 0,06086905
123 123 7,011 12516 0,05700000 1785,195 0,00% 0,05746721
51 51 5,254 7452 0,10301961 1418,348 0,00% 0,10508000
33 33 4,877 2843 0,14778788 582,940 0,00% 0,15240625
40 m 27 27 3,685 1890 0,13648148 512,890 0,00% 0,14173077
50 50 4,193 6644 0,08386000 1584,546 0,00% 0,08557143
47 47 7,021 4987 0,14938298 710,298 0,00% 0,15263043
100 100 5,613 6767 0,05613000 1205,594 0,00% 0,05669697
99 99 3,379 14078 0,03413131 4166,321 0,00% 0,03447959
60 m 68 68 3,695 12795 0,05433824 3462,788 0,00% 0,05514925
47 47 4,006 3164 0,08523404 789,815 0,00% 0,08708696
76 76 4,129 8390 0,05432895 2031,969 0,00% 0,05505333
117 117 5,042 12533 0,04309402 2485,720 0,00% 0,04346552
79 79 5,009 9565 0,06340506 1909,563 0,00% 0,06421795
80 m 80 80 3,087 5492 0,03858750 1779,074 0,00% 0,03907595
62 62 3,006 8144 0,04848387 2709,248 0,00% 0,04927869
77 77 2,627 7005 0,03411688 2666,540 0,00% 0,03456579
90 90 4,032 13095 0,04480000 3247,768 0,00% 0,04530337
56 56 3,006 4436 0,05367857 1475,715 0,00% 0,05465455
100 m 67 67 3,717 4506 0,05547761 1212,268 0,00% 0,05631818
56 56 2,79 9879 0,04982143 3540,860 0,00% 0,05072727
84 84 4,359 13351 0,05189286 3062,858 0,00% 0,05251807

b) Hotspot Dengan Penguat Sinyal


Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ke lorong depan lapangan ditangkap oleh
penguat TP-Link yang pengumpulan datanya berada pada meter ke-0 yang tepatnya pada
bagian sudut dari lorong tersebut. Sedangkan kekuatan sinyal yang diterimanya yaitu 42%.
Kriteria yang diberikan relatif bagus.
Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ke lorong depan lapangan ditangkap oleh
penguat TP-Link yang pengumpulan datanya berada pada meter ke-20. Sedangkan kekuatan
sinyal yang diterimanya yaitu 34%.
Sinyal yang dipancarkan hotspot WLBI ke lorong kanan lapangan ditangkap oleh
penguat TP-Link yang pengumpulan datanya berada pada meter ke-100. Sedangkan kekuatan
sinyal yang diterimanya yaitu 36%. Datanya ditunjukkan seperti pada tabel 6 dibawah ini.

338 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Tabel 6. Data Lorong Depan Lapangan Dengan Penguat

Hotspot WLBI Lorong Depan Lapangan (High Gain Wireless)

Lama Paket data


Capture Display Throughput
Jarak pengamatan diterima Delay Packet Loss Jitter
Packet Packet (bytes)
(sec) (Bytes)
80 80 5,218 11024 0,06522500 2112,687 0,00% 0,06605063
178 178 6,384 13947 0,03586517 2184,680 0,00% 0,03606780
0m
132 132 6,579 16488 0,04984091 2506,156 0,00% 0,05022137
(diagonal)
71 71 5,411 6838 0,07621127 1263,722 0,00% 0,07730000
117 117 5,306 13525 0,04535043 2549,001 0,00% 0,04574138
150 150 7,326 19669 0,04884000 2684,821 0,00% 0,04916779
84 84 6,872 6918 0,08180952 1006,694 0,00% 0,08279518
20 m 79 79 5,849 6552 0,07403797 1120,191 0,00% 0,07498718
115 115 5,556 8878 0,04831304 1597,912 0,00% 0,04873684
82 82 5,012 9522 0,06112195 1899,840 0,00% 0,06187654
56 56 4,411 4579 0,07876786 1038,087 0,00% 0,08020000
126 126 7,991 12633 0,06342063 1580,904 0,00% 0,06392800
40 m 123 123 5,239 11589 0,04259350 2212,063 0,00% 0,04294262
136 136 5,240 12955 0,03852941 2472,328 0,00% 0,03881481
91 91 5,435 7427 0,05972527 1366,513 0,00% 0,06038889
104 104 6,184 8659 0,05946154 1400,226 0,00% 0,06003883
118 118 7,199 16179 0,06100847 2247,395 0,00% 0,06152991
60 m 88 88 5,098 8393 0,05793182 1646,332 0,00% 0,05859770
74 74 5,463 5572 0,07382432 1019,952 0,00% 0,07483562
102 102 5,328 11088 0,05223529 2081,081 0,00% 0,05275248
100 100 5,288 12604 0,05288000 2383,510 0,00% 0,05341414
89 89 5,752 13238 0,06462921 2301,460 0,00% 0,06536364
80 m 83 83 7,338 11663 0,08840964 1589,398 0,00% 0,08948780
72 72 5,107 5357 0,07093056 1048,952 0,00% 0,07192958
63 63 6,007 5380 0,09534921 895,622 0,00% 0,09688710
113 113 7,277 11093 0,06439823 1524,392 0,00% 0,06497321
109 109 6,284 11000 0,05765138 1750,477 0,00% 0,05818519
100 m 90 90 6,022 11529 0,06691111 1914,480 0,00% 0,06766292
119 119 6,757 12473 0,05678151 1845,938 0,00% 0,05726271
95 95 6,009 9750 0,06325263 1622,566 0,00% 0,06392553

4.5. Melakukan Perbandingan Pengambilan Data


Berikut ini merupakan grafik perbandingan beberapa pengambilan data di beberapa bagian / tempat,
seperti yang ditnjukkan pada gambar 5 dan gambar 6 dibawah ini,yaitu:
1) Lorong Kanan Lapangan

Meter ke-0 (Tanpa Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 5. Grafik Meter ke-0 Lorong Kanan Lapangan

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 339


Meter ke-0 (Dengan Penguat Sinyal)

1,4
1,2
1 Delay (Second)
0,8 Throughput (kbps)
0,6 Packet Loss (%)
0,4 Jitter (Second)
0,2
0
1 2 3 4 5

Gambar 6. Grafik Meter Ke-0 Lorong Kanan Lapangan (TP-Link)

Setelah diamati perbedaan kedua gambar sebelumnya menjelaskan bahwa dengan penguat
sinyal lebih renta terhadap pengaruh angin. Ketika penguat sinyal di point ke 4 dan 5 kehilangan
sinyalnya saat angin berhembus kencang dimana kekuatan sinya hanya 20% kebawah. Seperti yang
ditnjukkan pada gambar 7 untuk tengah lorong kanan lapangan tanpa penguat sinyal, gambar 8 untuk
tengah lorong kanan lapangan dengan penguat sinyal, seperti yang ditunjukkan dibawah ini:

Bagian Tengah Lorong (Tanpa Penguat Sinyal)

1,80000000
1,60000000
1,40000000
1,20000000 Delay (Second)
1,00000000 Throughput (kbps)
0,80000000 Packet Loss (%)
0,60000000 Jitter (Second)
0,40000000
0,20000000
0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 7. Grafik Tengah Lorong Kanan Lapangan

Bagian Tengah Lorong (Dengan Penguat Sinyal)

1,20000000

1,00000000
0,80000000 Delay (second)
Throughput (kbps)
0,60000000
Packet Loss (%)
0,40000000 Jitter (Second)
0,20000000
0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 8. Grafik Tengah Lorong Kanan Lapangan (TP-Link)

340 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Sedangkan grafik pengukuran meter ke 40 lorong kanan tanpa penguat sinyal, seperti
ditnjukkan pada gambar 9, dan grafik pengukuran meter ke 40 lorong kanan lapangan dengan
penguat sinyal seperti ditunjukkan gambar 10 dibawah ini:

Meter ke-40 (Tanpa Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 9. Grafik Meter Ke-40 Lorong Kanan Lapangan

Meter ke-40 (Dengan Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 10. Grafik Meter Ke-40 Lorong Kanan Lapangan (TP-Link)

2) Lorong Kiri Lapangan


Pada meter ke-0 tidak ada paket data yang dapat diperbandingkan, karena pada meter ke-0
proses capture tidak bisa dilakukan.Untuk grafik pengukuran bagian tengah lorong kiri dengan tanpa
penguat ditunjukkan pada gambar 11, sedangkan grafik hasil pengukuran tengah lorong kiri lapangan
dengan penguat ditnjukkan pada gambar 12 dibawah ini:

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 341


Bagian Tengah Lorong (Tanpa Penguat Sinyal)

4,50000000
4,00000000
3,50000000
3,00000000 Delay (Second)
2,50000000 Throughput (kbps)
2,00000000 Packet Loss (%)
1,50000000 Jitter (Second)
1,00000000
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 11. Grafik Tengah Lorong Kiri Lapangan

Bagian Tengah Lorong (Dengan Penguat Sinyal)

5,00000000

4,00000000
Delay (Second)
3,00000000 Throughput (kbps)

2,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
1,00000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 12. Grafik Tengah Lorong Kiri Lapangan (TP-Link)

Sedangkan untuk grafik pada sudut lorong kiri tanpa penguat ditunjukkan pada
gambar 13, dan grafik sudut lorong kiri dengan penguat ditnjukkan pada gambar 14 dibawah
ini:

Sudut Lorong Kiri (Tanpa Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 13. Grafik Pada Sudut Lorong Kiri

342 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Sudut Lorong Kiri (Dengan Penguat Sinyal)

3,00000000

2,50000000

2,00000000 Delay (Second)


Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 14. Grafik Pada Sudut Lorong Kiri (TP-Link)

Terlihat sekali pada 4 gambar grafik yang sebelumnya tentang troughput yang
diberikan oleh penguat sinyal TP-Link dimana troughput pada penguat sinyal lebih besar dari
pada yang tidak menggunakan penguat sinyal.
3) Lorong Depan Lapangan
Untuk grafik hasil pengukuran pada meter ke 0 di depan lapangan tanpa penguat
ditunjukkan pada gambar 15, sedangkan grafik hasil pengukuran pada meter ke 0
depan lapangan dengan penguat ditunjukkan pada gambar 16 dibawah ini:

Meter ke-0 (Tanpa Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 15. Grafik Pada Meter Ke-0 Depan Lapangan

Meter ke-0 (Dengan Penguat Sinyal)

3,00000000

2,50000000

2,00000000 Delay (Second)


Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 16. Grafik Pada Meter Ke-0 Depan Lapangan (TP-Link)

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 343


Grafik hasil pengukuran untuk meter ke 20 didepan lapangan tanpa penguat
ditunjukkan pada gambar 17, dan grafik hasil pengukuran untuk meter 20 didepan lapangan
dengan penguat ditunjukkan pada gambar 18 dibawah ini:

Meter ke-20 (Tanpa Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)
1,00000000 Packet Loss (%)
Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 17. Grafik Pada Meter Ke-20 Depan Lapangan

Meter ke-20 (Dengan Penguat Sinyal)

3,00000000

2,50000000
2,00000000 Delay (Second)
Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 18. Grafik Pada Meter Ke-20 Depan Lapangan (TP-Link)

Grafik hasil pengukuran pada meter ke 100 didepan lapangan tanpa penguat
ditunjukkan pada gambar 19, sedangkan grafik hasil pengukuran pada meter ke 100 didepan
lapangan dengan penguat ditunjukkan pada gambar 20 dibawah ini:

Meter ke-100 (Tanpa Penguat Sinyal)

3,00000000

2,50000000
2,00000000 Delay (Second)
Throughput (kbps)
1,50000000
Packet Loss (%)
1,00000000 Jitter (Second)
0,50000000
0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 19. Grafik Pada Meter Ke-100 Depan Lapangan

344 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


Meter ke-100 (Dengan Penguat Sinyal)

2,50000000

2,00000000
Delay (Second)
1,50000000 Throughput (kbps)

1,00000000 Packet Loss (%)


Jitter (Second)
0,50000000

0,00000000
1 2 3 4 5

Gambar 20. Grafik Pada Meter Ke-100 Depan Lapangan (TP-Link)

4) Kiri Kantin
Pada meter ke-0 hingga meter ke-120 tidak memiliki data yang dapat dibandingkan,
karna tidak ada sama sekali sinyal hotspot WLBI yang di tangkap di setiap titik pengujian.
Maka tidak ada data yang dapat dibandingkan dalam area kiri kantin ini.
5) Belakang Kantin
Pada meter ke-0 hingga meter ke-40 sinyal dari hotspot WLBI tidak ditemukan,
namun pada meter ke-60 dan meter ke-80 sinyal dapat ditemukan dengan kekuatan sinyal
yang sangat buruk didapat meski sudah menggunakan penguat sinyal. Tidak ada data yang
dapat dibandingkan karena proses capture tidak dapat dilakukan.
Penentuan hotspot BI sebagai satu-satunya router yang digunakan untuk satu Puslit
Metrologi tidaklah memungkinkan. Hal ini dikarenakan jangkauan cakupan yang terlalu luas,
sehingga tidak mungkin. Ditambah dengan adanya obstacle yang terlalu besar, baik karena
ruangan maupun dikarenakan tebalnya tembok masing-masing gedung yang jelas-jelas
berpengaruh terhadap besarnya QoS. Sebagai solusi dari permasalahan ini, perlu dibuat peta
jaringan yang didasarkan terhadap hasil pengukuran QoS dengan jangkauan maksimum satu
lokasi Puslit Metrologi dan hasil penentuan lokasi yang tepat untuk menempatkan router
sehingga kualitas sinyal terbaik dapat dijangkau oleh perangkat dengan cakupan satu Puslit
Metrologi LIPI.

5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dengan adanya pengumpulan data dibeberapa titik yang sudah ditentukan dan didukung
dengan proses capture dapat memungkinkan kita mengetahui batas dari kekuatan suatu
jaringan WiFi

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 345


2. Seperti yang sudah disinggung pada point ke-1 yaitu tentang pengumpulan data dengan
proses capture dapat dilakukan di berbagai interface sehingga dari beberapa interface-
pun dapat dibandingkan. Seperti perbandingan sinyal asli dari komputer dengan sinyal
yang menggunakan penguat sinyal tentunya kedua interface ini berbeda namun dapat
dibandingkan.
3. Berdasarkan dari data masing-masing titik diketahui masih terdapat titik yang tidak
terkena jangkauan sinyal hotspot WLBI yakni menyatakan bahwa hotspot WLBI ini tidak
layak untuk dijadikan WiFi satu gedung Puslit Metrologi LIPI sehingga perlu dibuat peta
lokasi jaringan satu Puslit Metrologi LIPI.

6. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan Terima Kasih saya ucapkan kepada Pemberi Dana Penelitian untuk DIPA Tematik
Puslit Metrologi LIPI di Tahun 2014 dan semua pihak yang mendukung sehingga
terlaksananya penelitian ini.

7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Insani, Asep & Rosyidin, Khoirur, “Analisis Kinerja Load Balancing Sebagai Metode
Pengukuran Quality of Service pada Layanan Jaringan 3G” Prosiding AMTeq LIPI,
2013.
[2] Insani, Asep; Kamilah, Nurul; Yuwono, Puji Raharjo, “Implementation And
Performance Analysis of Captive Portal As Computer Network Security System On
Mikrotik Router OS”, International Proceeding of Aerospace Science and Technology
17th 40, 289 - 300, 2013.
[3] Insani, Asep; Kamilah, Nurul; Rosyidin, Khoirur, “The Implementation of Kerio
Winroute Firewall As Proxy Using Two ISP Lines”, International Proceeding of
Aerospace Science and Technology 17th 41, 301-306, 2013.
[4] Insani, Asep; Harimawan, Achmad, “Studi Awal Teknologi WIFI Untuk
Diimplementasikan Pada Pembuatan Prototipe Sistem Remote Terminal Unit Multi
Sensor Dengan Energi Mandiri”, Buletin Pos dan Telekomunikasi 10 (3), 225-240,
2012.
[5] Sofana, Iwan, Cisco CCNA & Jaringan Komputer, Informatika Bandung, 2010.
[6] Stallings, William, Cryptography and Network Security: Principles and Practice, New
Jersey: Pearson Education,__, 2003.

346 ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43


HASIL DISKUSI
Nama Penanya : Sensus Wijonarko
Pertanyaan :
1. Bagaimana menentukan standar dari QoS ?
2. Bisakah dibuat peta kualitas sinyal diseluruh Puslit Metrologi ?

Jawaban:
1. Standar dari QoS ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pada ruangan terbuka tanpa
penghalang dan diukur jaraknya sesuai dengan perubahan besarnya ukuran QoS saat
upload maupun download. Lalu dibandingkan dengan hasil pengukur QoS di lokasi router
masing-masing ruangan, dan bisa ditentukan seberapa besar pengaruh obstacle di tiap-tiap
lokasi.
2. Bisa, yaitu dengan melihat peta lokasi jaringan yang sudah ada. Lalu dari hasil pengukuran
beberapa lokasi dari titik yang tepat dibuatlah peta lokasi baru dengan tetap mengacu pada
peta lokasi yang sudah ada, ditambah dengan hasil pengukuran yang baru.

ISSN 0852 – 002 X, PPI KIM KE-43 347

Anda mungkin juga menyukai