Anda di halaman 1dari 180

PETRI Cabang Semarang 2016

i
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Perhimpunan Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia


PETRI Cabang Semarang
Semarang Progress in Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases-2016

Current Infectious Diseases Problems


and Challenges in The BPJS Era
Semarang, 28 - 29 May 2016

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin editor dan penerbit.

ISBN : 978-602-1679-53-1

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

ii
PETRI Cabang Semarang 2016

Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................................ iii


Pengantar .......................................................................................................... v
Sambutan Ketua Panitia .................................................................................. vii
Sambutan Ketua PETRI Cabang Semarang .................................................. ix
Kontributor ......................................................................................................... xi
Moderator .......................................................................................................... xiii

Rabies: Diagnosis dan Pengelolaan


Nur Farhanah .................................................................................................... 1
Pencegahan Infeksi dengan Vaksinasi
Soeharyo Hadisaputro ..................................................................................... 7
Pilihan Antibiotik pada Infeksi Saluran Kencing
Muchlis Achsan Udji Sofro ............................................................................... 11
Pendekatan Pasien dengan Diare
Budi Riyanto ...................................................................................................... 17
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Muchlis Achsan Udji Sofro ............................................................................... 21
Diagnosis dan Tata Laksana Antraks pada Manusia
Dhani Redhono H ............................................................................................ 25
Managemen Demam Tifoid
Suoeharyo Hadisaputro ................................................................................... 37
Skrining Infeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV
Yanri Wijayanti Subronto .................................................................................. 41
Early Treatment in HIV-AIDS
Muchlis Achsan Udji Sofro ............................................................................... 47
Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis Paru dan Terapi
Banteng Hanang Wibisono ............................................................................. 55
Pemilihan Antibiotik Bijak
Budi Riyanto ...................................................................................................... 65
Acute Kidney Injury (AKI) pada pasien infeksi (Sepsis)
Lestariningsih ................................................................................................... 69

iii
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Pengelolaan Demam Berdarah Dengue : Rawat Jalan versus Rawat Inap


Nur Farhanah .................................................................................................... 77
Mengenal Zika (Zika Virus Disease)
Muhammad Hussein Gasem .......................................................................... 87
Aspek Etika, Disiplin dan Hukum Rujukan Medis di Era JKN
Djoko Widyarto JS ............................................................................................ 91
Infeksi Cacing pada Manusia: Problem dan Manifestasi Klinisnya
Budi Riyanto ...................................................................................................... 107
Infeksi Susunan Saraf Pusat
Retnaningsih ..................................................................................................... 111
Kesehatan Ibadah Haji
Setyo G Pramudo ............................................................................................. 131
Leptospirosis: Problem Misdiagnosis di Indonesia
Muhammad Hussein Gasem .......................................................................... 141
Pengelolaan Tetanus
Nur Farhanah .................................................................................................... 143
Infeksi Jamur: Diagnosis dan Manajemen
Soeharyo Hadisaputro ..................................................................................... 153
Management of Acute Viral Hepatitis
Hery Djagat Purnomo ...................................................................................... 157
Update Sepsis
Budi Riyanto ...................................................................................................... 163

iv
PETRI Cabang Semarang 2016

Kata Pengantar

Sejawat yang terhormat,


Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keterkaitan erat
dengan penyakit tropik dan infeksi. Oleh karena itu, penting bagi seluruh dokter di
Indonesia untuk selalu mengikuti perkembangan penanganan penyakit tropik dan
infeksi. Dengan adanya pertemuan ilmiah Semarang Progress in Emerging and
Re-emerging Infectious Disease 2016 (SPEED 2016) yang materinya terangkum
dalam buku ilmiah ini diharapkan dapat membantu teman-teman sejawat dalam
diagnosis serta penatalaksanaan penyakit tropik dan infeksi secara komprehensif
dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di era BPJS.
Dalam kegiatan ilmiah ini, materi mengenai diagnosis sampai dengan
pengelolaan yang terkini di bidang tropik infeksi disampaikan oleh pakar-pakar
yang ahli di bidang masing-masing, sehingga para peserta pertemuan ilmiah
ataupun pembaca diharapkan mampu memahami dan mengaplikasikannya dalam
pelayanan sehari-hari.
Semoga buku ilmiah yang berasal dari pemikiran para pakar di bidang tropik
dan infeksi serta bidang lain yang terkait dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, 26 Mei 2016

Editor

v
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

vi
PETRI Cabang Semarang 2016

Sambutan Ketua Panitia

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa ta’alaa, atas
terselenggaranya pertemuan ilmiah Semarang Progress in Emerging and Re-
Emerging Infectious Diseases 2016 (SPEED 2016) ini. Pertemuan ilmiah ini untuk
ketiga kalinya diadakan di Semarang sebelumnya pada tahun 2012 dan 2014. Atas
nama panitia, kami mengucapkan selamat dating kepada pembicara, moderator,
maupun para peserta.
Pertemuan ilmiah ini melibatkan berbagai bidang keilmuan, yaitu Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Divisi Penyakit Tropik Infeksi, Divisi Pulmonologi, Divisi
Gastroenterologi dan Hepatologi, Divisi Ginjal dan Hipertensi, dan Departemen
Ilmu Penyakit Saraf. Pertemuan ilmiah ini bertema “Current Infectious Diseases
Problems and Challenges in the BPJS Era” membahas berbagai perkembangan
mutakhir di bidang tropik infeksi dan bidang lain terutama tantangan-tantangan
yang dihadapi di era BPJS.
Berbagai permasalahan diagnostik dan penatalaksanaan bidang penyakit
tropik infeksi, termasuk penatalaksanaan di bidang lain disampaikan oleh para
pakar di bidangnya masing-masing, diharapkan mampu menambah wawasan dan
pemikiran-pemikiran baru. Acara ilmiah ini dilaksanakan dalam bentuk simposium
dan dihadiri Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi, Spesialis Penyakit Dalam, Dokter
Umum dan disiplin ilmu lain.
Kami mengucapkan terimakasih kepada: Kepala Kelompok Staf Medik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi Semarang, Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi,
Rektor Universitas Diponegoro atas dukungan yang diberikan, kepada para
pembicara, moderator, dan para peserta simposium atas segala partisipasinya
sehingga pertemuan ini dapat terselenggara dengan baik. Kepada seluruh panitia,
disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jerih payah yang
telah dicurahkan untuk suksesnya pertemuan ilmiah ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Semarang, 26 Mei 2016


Dr. dr. Muchlis Achsan Udji Sofro, SpPD, K-PTI

vii
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

viii
PETRI Cabang Semarang 2016

Sambutan Ketua PETRI Cabang Semarang

Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh


Perkembangan penyakit infeksi sudah demikian jauh. Pemahaman terhadap
patogenesis dan tata laksana penyakit infeksi juga semakin maju bersama
perkembangan ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang imunologi dan biologi
molekuler. Tetapi kemajuan ini belum begitu memuaskan untuk negara berkembang.
Di negara berkembang seperti di Indonesia masih cukup banyak penyakit yang
termasuk dalam Negleted Infectious Diseases (penyakit infeksi yang terabaikan)
yang belum tertangani dengan baik. Informasi dan pemahaman infeksi ini juga
belum merata dan memadai.
Menyadari keadaan tersebut, PETRI Jawa Tengah ingin mengingatkan lagi
sejawat penyakit yang mungkin terabaikan tetapi masih menjadi beban kesehatan
bagi Indonesia. Kementrian Kesehatan dan bahkan WHO sampai sekarang masih
mempunyai program dan fokus dengan penyakit-penyakit tersebut.
Penyakit infeksi pada umumnya berkembang dengan baik karena adanya faktor
lingkungan yang mendukung seperti faktor alam, keadaan sosial masyarakat,
kebiasaan dan budaya masyarakat. Sehingga selain penanganan di klinik tidak
kalah pentingnya pendidikan masyarakat-pendidikan kesehatan. Kerjasama lintas
sektoral kesehatan dan non kesehatan sangat diperlukan.
Kami dari PETRI Jawa Tengah dengan ini menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas kehadiran sejawat dalam SPEED 2016
ini, semoga kehadiran sejawat membawa manfaat dalam penanggulangan kasus
penyakit infeksi dan khususnya Negleted Infectious Diseases di Indonesia dan
mohon maaf bila ada kekurangan dalam penyelenggaraan ini.
Terimakasih kepada sejawat panitia dan pengurus PETRI Jawa Tengah yang
telah bekerja sama menyelenggarakan SPEED 2016, semoga kita bertemu dalam
SPEED dan kegiatan PETRI Jawa Tengah yang lain.
Wassalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh

Ketua PETRI Jawa Tengah,

dr. Budi Riyanto, MSc, SpPD, K-PTI, FINASIM

ix
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

x
PETRI Cabang Semarang 2016

Kontributor

1. dr. Banteng Hanang Wibisono, SpPD, K-P


Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

2. dr. Budi Riyanto, MSc, SpPD, K-PTI, FINASIM


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

3. dr. Dhani Redhono H, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4. dr. Djoko Widyarto JS, DHM, MHKes


Ketua IDI Wilayah Jawa Tengah

5. Dr. dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD, K-GEH, FINASIM


Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

6. Dr. dr. Muchlis AU Sofro, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

7. Dr. dr. Lestariningsih, SpPD, K-GH, FINASIM


Divisi Ginjal dan Hipertensi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

xi
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

8. Prof. dr. Muh Hussein Gasem , PhD, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

9. dr. Nur Farhanah, MSi. Med, SpPD


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

10. Dr. dr. Retnaningsih, SpS, K-IC


Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

11. dr. Setyo Gundi Pramudo, SpPD


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

12. Prof. Dr. dr. Soeharyo Hadisaputro, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

13. dr. Yanri Wijayanti Subronto, PhD, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM-RS Dr. Sardjito Yogyakarta

xii
PETRI Cabang Semarang 2016

Moderator

1. dr. Budi Riyanto, MSc, SpPD, K-PTI, FINASIM


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

2. Dr. dr. Muchlis AU Sofro, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

3. Prof. dr. Muh Hussein Gasem, PhD, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

4. Prof. Dr. dr. Soeharyo Hadisaputro, SpPD, K-PTI


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP-RSUP Dr. Kariadi Semarang

xiii
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

xiv
PETRI Cabang Semarang 2016

Rabies: Diagnosis dan Pengelolaan

Nur Farhanah

Pendahuluan
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan virus rabies. Penyakit
ini ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular
Rabies (GHPR) dan mengenai susunan saraf pusat.1,2
Rabies masih merupakan salah satu penyakit zoonosis penting di dunia,
termasuk Indonesia. Sumber penularan di Indonesia sebagian besar bersumber
dari gigitan anjing (98%) yang terinfeksi virus rabies dan hewan lainnya kera dan
kucing (2%). Sekitar 24 propinsi dari 34 propinsi di Indonesia dinyatakan endemis
rabies dan 10 propinsi bebas rabies (Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Papua dan
Kalimantan Barat). Selama kasus rabies pada hewan penular terutama anjing
masih ada maka terdapat risiko kasus rabies pada manusia. Kasus rabies
merupakan infeksi fatal dengan angka kematian yang masih tinggi.3
Hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif menyembuhkan rabies,
namun pencegahan dan pengenalan dini kasus GHPR dan pengelolaan kasus
gigitan/pajanan sedini mungkin sangatlah penting.2

Etiologi
Lyssavirus, family Rhabdoviridae, bentuk seperti peluru, virus RNA (ribonucleic
acid) dengan rantai tunggal, dikelilingi oleh kapsid (Ribonucleocapsid), di luar
ribonucleocapsid terdapat Kapsomer, sedangkan di sebelah luar dari kapsomer
terdapat envelope yang mengandung lipid berduri (spike). Infektivitas ditentukan
oleh envelope, sedangkan RNA & nucleocapsid bersifat tidak infektif. Virus rabies
bersifat labil dan tidak viable di luar sel inang, menjadi tidak aktif dengan
pemanasan, terpapar sinar matahari, pengeringan dan sangat peka terhadap
pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan dan alkohol 70%.4

1
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Gambar 1. Lyssavirus 5

Masa inkubasi
Masa inkubasi antara 2 minggu hingga 2 tahun (umumnya 3-8 minggu). Variasi
masa inkubasi dipengaruhi oleh letak luka gigitan (bila dekat dengan otak maka
gejala klinis lebih cepat muncul), kedalaman luka, jenis strain, jumlah virus yang
masuk dan imunitas pasien.6,7
Transmisi
Rabies ditularkan melalui saliva hewan yang terinfeksi melalui kulit yang tidak
intak atau membran mukosa (mulut, mata, rongga hidung). Penularan infeksi melalui
inhalasi dilaporkan pada lingkungan dengan populasi kelelawar yang tinggi.2,6,7
Virus menetap selama beberapa periode pada entry point sebelum akhirnya
melewati saraf menuju otak. Pada otak virus akan bermultiplikasi dengan cepat
menyebabkan munculnya gejala klinik. Virus dari otak akan menuju kelenjar saliva
melalui persarafan. Periode munculnya gejala klinis bervariasi tergantung jenis
strain dan entry poit.6

2
PETRI Cabang Semarang 2016

Patogenesis
Virus rabies akan menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai
ujung saraf posterior. Patogenesis ada 3 hal yaitu:2
1. Penyebaran virus menuju sistem saraf pusat.
2. Penyebaran virus di dalam sistem saraf pusat.
3. Penyebaran virus dari sistem saraf pusat.
Gejala klinis
Secara umum gejala klinis pada hewan yang terinfeksi rabies adalah
perubahan perilaku hewan (tidak mengenal pemiliknya), tidak menuruti perintah
pemilik, mudah terkejut, mudah berontak bila terprovokasi, takut pada sinar/cahaya,
beringas, menyerang, lalu kelumpuhan tenggorokan, kelumpuhan kaki belakang.
Umumnya dalam 10-24 hari hewan tersebut akan mati. Pada manusia yang terinfeksi
gejala prodromal berlangsung 2-10 hari, gejala neurologi akut sekitar 2-7 hari,
sedangkan koma hingga kematian dalam waktu 0-14 hari.6
Berikut stadium infeksi rabies pada manusia:6,7
1. Stadium prodromal: demam, malaise, mual, muntah, nyeri tenggorokan
2. Stadium sensoris: nyeri, rasa panas, kesemutan pada bekas gigitan,
cemas, reaksi berlebihan saraf sensorik
3. Stadium eksitasi: hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dilatasi
pupil, hidrofobia, aerophobia, photophobia, takut suara keras. Gejala
eksitasi, konvulsi, sianosis, paresis flaksid otot, apnoe, kematian.
4. Stadium paralisis: tanpa gejala eksitasi, paralisis otot-otot progresif,
paralisis otot pernafasan

Diagnosis
Definisi clinical case untuk rabies: adalah seseorang dengan sindrom
neurologi akut (ensefalitis) didominasi oleh gambaran hiperaktifitas (furious
rabies) atau paralisis (dumb rabies) yang progresif menjadi koma dan kematian
dalam 7-10 hari setelah gejala awal (umumnya karena distress respiratory) apabila
tidak mendapatkan tata laksana medis intensif.1,6
Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang untuk
konfirmasi diagnosis. Salah satu pemeriksaan penunjang adalah ditemukannya
negri bodies dari preparat hapus pewarnaan sellers jaringan otak (daerah
hippocampus atau ganglia) hewan penular dan pasien rabies post-mortem.

3
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Jenis tes lain yang dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis: fluorescent
antibodies test (FAT), isolasi virus, dan deteksi protein virus. Spesimen yang
diperlukan untuk pemeriksaan laboratorium adalah saliva, cairan serebrospinal,
serum dan biopsi kulit.7,8
Prinsip Penanganan Kasus GHPR:1,7,8
- Segera cuci luka dengan sabun/detergen pada air mengalir 10-15 menit.
- Antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah) setelah cuci luka.
- Tidak boleh dijahit (kecuali lebar, dalam, mengeluarkan darah dapat
dilakukan jahit situasi).
- Vaksin Anti Rabies (VAR) dengan atau tanpa Serum Anti Rabies (SAR)
secepatnya diberikan berdasarkan kriteria level luka gigitan.
Indikasi pemberian VAR dengan atau tanpa SAR
Tindakan terhadap orang yang digigit hewan penular rabies tergantung dari:2,7,8
1. Daerah dimana kasus gigitan terjadi
a. Bebas rabies: pengobatan khusus sebaiknya menunggu hasil observasi
terhadap hewan yang menggigit yang dilakukan dinas peternakan.
b. Endemis rabies: pengobatan khusus sangat dianjurkan
2. Cara terjadinya gigitan
a. Bila didahului tindakan provokatif maka berlaku seperti 1.a
b. Bila tanpa didahului tindakan provokatif, berlaku separti 1.b
3. Letak, jumlah dan keadaan luka gigitan
a. Luka Risiko rendah: diberikan VAR saja jilatan pada kulit luka, garukan,
lecet, luka kecil sekitar tangan, badan, kaki
b. Luka risiko tinggi: diberikan VAR dan SAR
- Jilatan pada selaput mukosa yang utuh (konjungtiva, mukosa mulut,
mukosa anus dan genitalia eksterna)
- Jilatan atau luka di atas daerah bahu (leher, muka, kepala)
- Luka gigitan pada jari tangan dan jari kaki
a. Luka gigitan yang lebar dan dalam
b. Jumlah gigitan banyak

4
PETRI Cabang Semarang 2016

5. Masa vaksinasi anti rabies hewan yang menggigit


c. Masih kebal: berlaku 1.a
d. Belum vaksin: berlaku 1.b
Cara pemberian VAR
A. Post-exposure treatment (Purified Vero Rabies Vaccine/PVRV) 2 ,7, 8
Zagreb Method (2-1-1) yaitu:
1. Hari ke-0: 2 dosis J0,5 ml intramuskular (i.m) disuntikkan di regio deltoid
kanan dan 0,5 ml i.m di regio deltoid kiri bersamaan. Anak <1 tahun
lokasi penyuntikan pangkal paha.
2. Hari ke 7: 1 dosis J0,5 ml i.m di regio deltoid.
3. Hari ke 21: 1 dosis J0,5 ml i.m di regio deltoid.
B. Pre-exposure immunization
Diberikan kepada high risk group: dokter dan paramedis yang merawat
penderita rabies, dokter hewan praktek, petugas laboratorium diagnostik rabies,
vaksinator hewan.
Cara pemberiannya adalah 0,5 ml i.m pada hari ke-0 di regio deltoid; 0,5 ml
i.m pada hari ke-7; 0,5 ml i.m pada hari ke-21/28; diulang sesudah 1 tahun;
kemudian diulang setiap 3 tahun.

Prinsip penggunaan SAR 2,6,7

- Diberikan pada luka GHPR yang berisiko tinggi (daerah kepala, muka,
leher, luka multiple/luas dan dalam, jari kelingking, alat vital);
- Bila menggunakan serum heterolog, lakukan skin test dahulu;
- Injeksikan SAR di sekitar luka sebagian, dan sebagian lainnya diinjeksikan
secara intramuskular;
- Diberikan secara infiltrasi sebelum melakukan tindakan jahitan situasi
pada luka.
Pilihan berupa heterolog serum (Equin Rabies Immune Globuline (ERIGH)
dosis 40 IU /kgbb (0,5 ml /kgbb) atau homolog serum (Human Rabies Immune
Globuline (HRIG)) dosis 20 IU/kgbb.2

5
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Perawatan selama di rumah sakit bersifat bersifat simtomatik dan suportif


guna mengurangi penderitaan antara lain ditempatkan di ruang khusus, cairan
rehidrasi, anti kejang, monitor jalan nafas, dan antibiotik bila diperlukan.2,7
Bagi tenaga medis dan paramedis agar terhindar dari kontaminasi air liur
penderita rabies maka diharuskan menggunakan alat pelindung diri (kacamata,
sarung tangan, penutup mulut dan hidung serta suntikan pre-exposure
immunization). 1,6,7

Daftar pustaka
1. World Health Organization, Department of Communicable Disease surveillance and
Response. WHO recommended standards and strategies for surveillance, prevention
and control of communicable diseases. Available at: http://www.who.int/emc.
2. Tatalaksana kasus GHPR dan human rabies. Subdit Zoonosis Direktorat PPBB, Ditjen PP
dan PL, Kementrian Kesehatan RI, 2014.
3. Situasi dan analisis Rabies, Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI, 2014.
4. Jawetz E, Melnick JL, Adelber EA. Medical Microbiology, 25th ed. Mc Graw Hill, New
York, 2008.
5. Rabies virus information available at: http://www.ncbi.nlm.nih. gov/books/NBK8618/.
6. Center for Disease Control and Prevention. Compendium of Animal Rabies Prevention
and Control. MMWR, 2011; 60:6.
7. WHO guide for Rabies Pre and Post-exposure prophylaxis in Humans, updated 2014,
available at : http://www.who.int/rabies/PEProphylaxisguideline.pdf.
8. Rabies management guideline. A compendium of rabies control and planning strategies
compiled by the maine Rabies Work group-2005.

6
PETRI Cabang Semarang 2016

Pencegahan Infeksi dengan Vaksinasi

Soeharyo Hadisaputro

Insidensi dan prevalensi penyakit infeksi di Indonesia masih tinggi, untuk


mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi tersebut ditempuh tiga cara
pengendalian. Pengendalian penyakit infeksi yang dimaksud dapat ditempuh
dengan berbagai cara di antaranya pemberantasan vektor bagi penyakit yang
ditularkan lewat binatang, penyakit yang diobati langsung atau menghilangkan
sumber penularan dan penyakit yang dapat ditanggulangi dengan cara imunisasi.
Oleh karena itu berbagai langkah pokok yang ditempuh dalam pengendalian
penyakit menular pada umumnya adalah peningkatan kualitas kesehatan
lingkungan, pencegahan melalui imunisasi, menghilangkan sumber penyakit
dengan cara pemberantasan vektor, menghilangkan sebab penyakit dengan cara
mengobati kausatif secara radikal terhadap kasus dan kegiatan surveilans atau
pengamatan secara terus menerus, terencana, yang hasilnya disebarluaskan ke
institusi secara vertikal dan horisontal.
Tanpa mengurangi peran empat cara pengendalian yang lain di atas maka
pengendalian penyakit dengan cara imunisasi sangat penting. Imunisasi merupakan
bentuk pencegahan aktif yang dapat diupayakan terkait dengan penurunan morbiditas
dan mortalitas penyakit menular tersebut. Imunisasi yang dimaksudkan adalah suatu
cara untuk meningkatkan kekebalan spesifik terhadap suatu antigen, yang dapat
terjadi secara alami atau secara didapat. Kekebalan didapat terjadi bila tubuh
mendapatkan antigen secara sengaja dengan melakukan paparan antigen
mikroorganisme tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk meniru kekebalan alami tanpa
mengalami sakit akibat mikroorganisme tersebut, yang dengan sengaja memberikan
paparan. Hal ini berbeda dengan kekebalan pasif yang dengan sengaja memberikan
antitoksin, immunoglobulin antibodi ke dalam tubuh. Pada kekebalan aktif, respon
imunitas spesifik bertahan lebih lama karena adanya memori imunologik. Tetapi,
kekebalan pasif, tidak terbentuk memori imunologik sehingga respon imunitas
spesifik tak berlangsung lama karena antitoksin, imunoglobulin, atau antibodi yang
masuk ke dalam tubuh dimetabolisme oleh tubuh.
Keberhasilan imunisasi sangat tergantung pada dua faktor yaitu factor tuan
rumah dan faktor vaksin itu sendiri. Faktor tuan rumah yang dimaksud adalah
penggunaan obat imunosupresan pada penderita dengan keganasan, yang kadang
merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menyebabkan
timbulnya penyakit pada individu tersebut. Keadaan gizi seseorang juga perlu
diperhatikan karena fungsi sel sistem imun pasien tersebut menurun, sehingga
dimungkinkan tidak memberikan kekebalan.

7
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Faktor vaksin yang dimaksudkan adalah perannya dalam menimbulkan respon


imun, misalnya vaksin polisakarida, vaksin hidup yang dilemahkan memberikan
respon imun lebih baik dibandingkan dengan vaksin mati atau vaksin yang
diinaktivasi komponen dari mikroorganisme. Cara pemberian vaksin juga
merupakan faktor yang berperan pada keberhasilan, mengingat bahwa pemberian
secara subkutan atau intramuskular merupakan yang terbaik karena dapat
menginduksi respon antibodi secara optimal. Dosis, frekuensi dan waktu pemberian
ulangan juga merupakan hal penting dalam keberhasilan karena dosis terlalu
tinggi atau terlalu rendah, terutama dalam merangsang sel-sel imunokompeten.

Penyakit Infeksi yang dapat dicegah melalui imunisasi.


Di negara maju merekomendasikan vaksinasi terhadap orang dewasa dalam
rangka untuk meberikan kekebalan terhadap penyakit influenza, tetanus, difteri,
pertusis, varisela, HPV, herpes zoster, campak, rubella, infeksi pneumokokus,
meningokokus, hepatitis A, B. Indonesia mengadopsi jenis imunisasi tersebut
dengan menambahkan vaksinasi terhadap demam tifoid. Konsesus imunisasi pada
dewasa yang diterbitkan oleh PAPDI menyebutkan bahwa vaksinasi rabies dan
Japanese B encephalitis juga direkomendasikan terutama daerah-daerah dengan
riwayat bepergian dan risiko pajanan dan pekerjaan.
Manfaat, indikasi dan prosedur pemberian imunisasi pada orang dewasa telah
diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No 42 tahun 2013 tentang
penyelenggaraan imunisasi. Jadwal imuniasi dewasa tersebut hampir sesuai
dengan rekomendasi CDC (Center of Disease Control) Amerika 2015, dengan
tambahan khusus Japanese encephalitis (Tabel 1).
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Dewasa
Kel. Umur
19-26 tahun 27-49 tahun 50-59 tahun 60-64 tahun 65 tahun
Vaksin
Tetanus, Difteri,
1 dosis booster Td setiap 10 tahun
Pertusis (Tdap/Td
3 dosis
Human Papilomavirus (Bulan ke-0,
(HPV) 1 atau 2 dan
6
Measles (campak),
Mumps (gondongan),
1 atau 2 dosis 1 dosis
Rubella (campak
Jerman)/ MMR
Varicella (cacar air) 2 dosis (0, 4-8 minggu kemudian)
Influenza 1 dosis per tahun
Pneumonia 1 - 2 dosis 1 dosis
Hepatitis A 2 dosis (Bulan ke-0 dan 6-12 atau 6-18)
Hepatitis B 3 dosis (Bulan ke-0, 1-2 dan 4-6)
Meningitis 1 dosis atau lebih
Zoster 1 dosis
"

8
PETRI Cabang Semarang 2016

Referensi
1. Ada G. The immunology of vaccination. Dalam Plotkin SA, Oren-stein WA (editor). Vaccines.
Ed 3. Philadelphia: WB Saunders Co. 1999. p. 28-37.
2. Goodman JW. The immune response. Dalam Stites DP, Terr AI, Parslow TG (editor). Basic
& Clinical Immunology. Ed 8. UK: Appleton Lange Medical Book. 1994. p. 40-49.
3. Beverley PCL. Immunology of vaccination. British Medical Bulletin 2002;62: 15–28.
4. Keusch GT, Bart KJ, Miller M. Immunization principles and vaccine use. dlm Kasper DL,
(editor). Harrison’s IM. Ed 16. New York:. 2005. p. 713-15.
5. Central for Disease Control (CDC)M Recomended Adult Imunization Schedule-United States,
2015.

9
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

10
PETRI Cabang Semarang 2016

Pilihan Antibiotik pada Infeksi Saluran Kencing

Muchlis Achsan Udji Sofro

Pendahuluan
Infeksi Saluran Kencing (ISK) pada pria di bawah umur 50 tahun jarang terjadi
akan tetapi saat ini terjadi peningkatan kasus ISK pada pria kelompok umur tersebut.
Penyebab infeksi saluran kemih pria dewasa adalah: prostatitis, epididimitis, orkitis,
pielonefritis, sistitis, uretritis, dan pemakaian kateter urin. Kurang lebih 15%
peresepan antibiotik di komunitas digunakan untuk Infeksi Saluran Kencing. Sekitar
40% infeksi yang didapat di Rumah Sakit adalah Infeksi Saluran Kencing yang
sebagian besar berkaitan dengan pemakaian kateter urin. Didapatkan bakteriuria
pada 25% pasien yang menggunakan kateter urin selama satu minggu atau
lebih.1,2,3,4

Patogenesis
Mikroorganisme dapat mencapai traktus urinarius melalui hematogen atau
saluran limfa, namun sebagian berasal besar dari uretra yang naik keatas,
khususnya E. coli dan golongan Enterobacter lainnya, terutama pada wanita karena
uretra yang lebih pendek. Infeksi yang dijalarkan melalui hematogen terbatas pada
beberapa mikroorganisme tertentu seperti: Staphylococcus aureus, Candida sp.,
Salmonella sp., dan Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab infeksi
primer di tempat lain. Candida albican sering menyebabkan infeksi saluran kencing
melalui penyebaran hematogen, walaupun jarang bisa juga melalui penyebaran
infeksi pada pemakaian kateter atau setelah pemakaian antibiotik.1,2,3,4

Gejala dan Tanda


Infeksi saluran kencing bisa dengan atau tanpa gejala. Disuria merupakan
gejala tersering yang dikeluhkan pasien ISK. Apabila ada kombinasi antara disuria,
peningkatan frekuensi berkemih, dan urinary urgency maka 75% dapat diprediksi
mengarah ke ISK, sedangkan acute onset of hesitancy, urinary dribbling, and slow
stream dapat merupakan prediksi ISK sebesar 33%.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Infeksi saluran kencing yang sama, nokturia, gross hematuria, perubahan warna
urin, pembesaran prostat, kelainan traktus urinarius, penyakit komorbid (DM, HIV),
pengobatan imunosupresi (prednison).

11
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Diagnosis
Dilakukan anamnesis yang mengarah ke keluhan saluran kemih, ditambah
dengan evaluasi tanda vital, pemeriksaan ginjal, kandung kemih, prostat dan
genitalia eksternal.
Pada pemeriksaan fisik kemungkinan didapatkan:
- Demam
- Takikardi
- Nyeri ketok kostovertebra
- Nyeri perut terutama daerah suprapubik
- Hematom skrotal, hidrokel,
- Keluar cairan dari ujung penis
- Nyeri prostat
- Pembesaran kelenjar getah bening inguinal
Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan urin, seperti: urinalisis, pengecatan gram, dan kultur
urin. Mendukung ke ISK bila di dapatkan 2-5 atau lebih sel darah putih di dalam
urin rutin atau 15 bakteri setiap lapang pandang dari pemeriksaan urin sedimen
yang sudah disentrifugasi.
Menurut guideline IDSA, disebut Asymptomatic Bacteriuria (ABU) bila pada
pasien tanpa gejala dari pemeriksaan urin porsi tengah (a mid stream sample of
urine = MSU) menunjukkan pertumbuhan bakteri >105 cfu/ml dalam dua sampel
untuk wanita dan satu sampel untuk pria.9
Catatan:
Pemeriksaan nitrit urin yang positif, sensitivitasnya rendah tapi spesifitas tinggi
untuk ISK. Jarang didapatkan false negative. Proteinuria sering diperiksa pada
pasien ISK, akan tetapi termasuk derajat rendah. Jika ditemukan >2g protein dalam
24 jam menunjukkan penyakit glomerulus.
Pemeriksaan imaging
Diperlukan pemeriksaan imaging dan intervensi urologi pada pasien berikut:
- Riwayat batu ginjal, khususnya batu struvit, potensial mengalami urosepsis
- Diabetes Melitus: kemungkinan mengalami pielonefritis emfisematosa dan
kadang memerlukan nefrektomi segera. Pasien DM kadang mengalami
obstruksi akibat papilla renalis nekrotik yang memungkinkan terjadinya
obstruksi ureter.

12
PETRI Cabang Semarang 2016

- Ginjal polikistik: formasi abses


- Tuberkulosis: terbentuknya striktur uretra, fungus balls dan batu.
Apabila diperkirakan terdapat penyumbatan saluran kemih, hal ini merupakan
keadaan emergensi yang memerlukan intervensi, termasuk pemeriksaan imaging
sistem saluran kemih:
- Ultrasonografi
- Computed tomografi (CT) scan dengan kontras
- Intravena pyelografi (IVP) yang dapat diganti dengan CT scan dan USG
Penanganan
Pada umumnya, ISK tidak menimbulkan kompilkasi, akan tetapi pada sebagian
kasus ISK akan menimbulkan komplikasi.
Diperlukan perawatan inap terutama pada pasien yang mengalami hal berikut:
- Toksis
- Appear toxic
- Mengalami uropati obstruksi atau batu
- Tidak memungkinan mendapatkan hidrasi secara oral
- Kondisi komorbid yang signifikan
- Tidak memungkinkan dengan rawat jalan atau perawatan di rumah.
Penanganan ISK pasien rawat inap:
• Antibiotik terapi intravena:
• Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson, seftazidim
• Fluorokuinolon: siprofloksasin, levofloksasin, ofloksasin, norfloksasin)
• Aminoglikosida: gentamisin, tobramisin (hati-hati otot oksisitas)
• Antibiotik lain: trimetoprim, trimetoprim-sulfametoksazol, ampisillin, amoksisillin,
ertapenem, eritromisin, vancomisin, doksisikline, aztreonam, nitrofurantoin,
rifampisin
Menurut European Association Urology 2015, terdapat penggolongan: ISK tanpa
gejala (asymptomatic bacteriuri) serta sistitis dan pielonefritis.10

13
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Rekomendasi Antibiotik untuk Kistitis yang tidak berkomplikasi pada wanita.10

Antibiotik Dosis harian Durasi Keterangan


Pilihan pertama
Fosfomisin 3g single dose 1 hari
Nitrofurantoin 100 mg 2 x sehari 5 hari Defisiensi G6PD
tidak boleh
Pivmecillinam 400 mg 3 x sehari 3 hari
Alternatif:
Ciprofloxacin 250 mg 2 x sehari 3 hari Ibu hamil (-)
Levofloxacin 250 mg 4 x sehari 3 hari Ibu hamil (-)
Ofloxacin 200 mg 2 x sehari 3 hari Ibuhamil (-)
Cefalosporin 500 mg 2 x sehari 3 hari
(cefadroxil)
Jika ditemukan
resistensi local
(missal: E.coli)
Trimetropim 200 mg 2 x sehari 5 hari Ibu hamil TM 1 (-)
Trimetropim- 160/800 mg 2x 3 hari Ibu hamil TM 3 (-)
Sulfametoxasol sehari

Menurut Panduan Praktik Klinik di RSUP Dr Kariadi:11


Infeksi saluran kemih atas (Pielonefritis): fluoroquinolon; aminoglikosida dengan
atau tanpa ampisilin; sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.
Infeksi saluran kemih bawah (Sistitis): ampisilin 3 gram dosis tunggal; trimetroprim
200 mg selama 5-10 hari.
Sindrom Uretra Akut: fluoroquinolon 500 mg/12 jam 5-10 hari
Keadaan khusus:
1. Wanita hamil: wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik harus mendapat
antibiotik untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi
kehamilan (bayi prematur, pregnance induced hypertension, bayi retardasi
mental, pertumbuhan bayi lambat, Cerebral palsy, fetal death)
2. Diabetes Mellitus: pasien diabetes melitus dengan bakteriuria asimtomatik
harus mendapat antibiotik untuk mencegah insufisiensi ginjal, sepsis,
urosepsis.
3. Usia lanjut: pasien usia lanjut dengan bakteriuria asimtomatik harus mendapat
antibiotik untuk mencegah: sepsis, dan urosepsis.

14
PETRI Cabang Semarang 2016

4. Menopause : ditambahkan terapi hormonal topikal


Catatan: Hasil pemeriksaan uji sensitivitas terhadap antibiotik dapat digunakan
sebagai pilihan antibiotik definitif.11
References
1. Guay DR. Contemporary management of uncomplicated urinary tract infections. Drugs.
2008. 68(9):1169-205.
2. Howes DS, Bogner MP. Urinary tract infections. Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczyski JS,
eds. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York, NY:
McGraw-Hill; 2008.
3. Ambyah P, et al. Urinary catheters and drainage systems: definition, epidemiology and
risk factors. ( In Urogenital Infections, Naber KG, et al. Editors. European Association of
Urology: Arnhem, The ( Netherlands. 2010. p. 523-31.
4. Bjerklund J TE, et al. Prevalence of hospital-acquired urinary tract infections in urology
(departments). EurUrol, 2007. 51 (4): p. 1100-11; discussion 1112.
5. Talan DA, Krishnadasan A, Abrahamian FM, Stamm WE, Moran GJ. Prevalence and risk
factor analysis of trimethoprim-sulfamethoxazole and fluoroquinolone-resistant Escherichia
coli infection among emergency department patients with pyelonephritis. Clin Infect Dis.
2008 Nov 1. 47(9):1150-8.
6. Wagenlehner FM, Naber KG. Current challenges in the treatment of complicated urinary
tract infections and prostatitis. ClinMicrobiol Infect. 2006 May. 12 Suppl 3:67-80.
7. Yoon BI, Kim S, Han DS, et al. Acute bacterial prostatitis: how to prevent and manage
chronic infection?. J Infect Chemother. 2012 Jan 5.
8. [Guideline] Hooton TM, Bradley SF, Cardenas DD, Colgan R, Geerlings SE, Rice JC, et al.
Diagnosis, prevention, and treatment of catheter-associated urinary tract infection in
adults: 2009 International Clinical Practice Guidelines from the Infectious Diseases Society
of America. Clin Infect Dis. 2010 Mar 1. 50(5):625-63.
9. Gupta K, Hooton TM, Naber KG. Wullt B, Colgan R, Miller LG, et alInternational Clinical
Practice Guidelines for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis
in Women: A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America and the
European Society for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Practice Guidelines d
CID 2011: 52 (1 March) d e103
10. Grabe M, Bartoletti R, Johansen T.E.B, CaiT, Çek M, KövesB, et al. Guidelines on
Urological Infections. European Association of Urology 2015
11. Panduan Praktek Klinik, RSUP Dr Kariadi Semarang. 2015

15
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

16
PETRI Cabang Semarang 2016

Pendekatan Pasien dengan Diare

Budi Riyanto

Diare adalah berak cair lebih dari 5 kali. Suatu keadaan yang hampir semua
orang pernah mengalami. Diare juga merupakan keadaan yang paling sering
dijumpai dokter di kamar praktiknya. Diare pada orang dewasa jarang menyebabkan
kematian. Sumber infeksi adalah air yang terkontaminasi. Diperkirakan kejadian
diare terjadi 0,5-2 episode per orang pertahun. Diare terjadi negara berkembang
maupun di negara maju. Data di AS, terjadi 99 juta episode per tahun diare akut.
Dua puluh lima persen penderita yang dirawat di rumah sakit adalah diare akut.
Mortalitas meningkat pada usia lanjut.
Diare lebih banyak dijumpai pada anak, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas
pada umur 0-12 bulan 42%, lebih tinggi dari pneumonia. Demikian juga pada usia
1-4 tahun (29% ) mortalitas menduduki ranking pertama (RISKESDAS 2007).
Diare dapat dibagi menjadi: diare infeksi dan non infeksi. Pembagian lain
berdasarkan etiologinya. Pembagian ini untuk memudahnya dalam diagnosis dan
tatalaksananya. Diare akut pada umumnya merupakan diare infeksi, sedangkan
diare kronik biasanya non infeksi. Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari disebut
sebagai diare kronik. Diare akut bila berlangsung kurang dari 2 minggu. Beberapa
diare, memerlukan perhatian khusus, karena diare golongan ini mempunyai
mortalitas tinggi dan mempunyai potensial menyebar.
Penderita dengan diare akut, apabila setelah diberikan terapi empirik dan
dalam evaluasi selanjutnya tidak membaik perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
termasuk endoskopi/sigmoidoskopi. Diare akut infeksi pada umumnya ditandai
dengan demam dan tanda fisik yang lebih menonjol seperti kolik dan tenesmus.
Diare akut pada daerah endemik, selalu dipikirkan penyebabnya adalah parasit
setempat.
Pada pasien dengan diare, anamnesis sangat penting. Ditujukan terutama
untuk mencari masa inkubasi dan kemungkinan penyebab. Diare infeksi selalu
mempunyai masa inkubasi. Diare akut karena toksin/bahan kimia yang dicurigai
biasanya berlangsung segera setelah kontak. Dan terkadang dengan anamnesis
yang baik, hampir separuh penyebab diare akut dapat diketahui penyebabnya.
Anamnesis meliputi faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab diarenya.
Misalnya tentang makanan yang baru dimakan, riwayat bepergian dan dan tidak
kalah pentingnya adalah menanyakan tentang sifat diare, frekuensi dan sifat

17
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

fesesnya. Disertai lendir atau darah?, tenesmus? merupakan hal penting yang
harus selalu ditanyakan kepada pasien.
Riwayat makanan yang dimakan penting ditanyakan, seperti: kebiasaan makan,
makanan yang kadaluwarsa atau yang terkontaminasi.
Sifat diare menentukan tindakan selanjutnya. Diare air (watery diarrhea)
memerlukan pengamatan khusus terhadap kemungkinan dehidrasi. Diare yang
berlendir dan disertai darah kemungkinan disebabkan E histolytica atau EHEC.

Tabel 1. Diare akut yang memerlukan perhatian khusus

Diare pada usia lanjut harus mendapat perhatian yang serius, mengingat
mortalitasnya yang tinggi terutama pada usia lanjut dengan penyakit kronik,
gangguan vaskular serebral dan penyakit jantung.

18
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 2. Penyebab diare akut

Tabel 3. Diare infeksi

19
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Tabel 4. Algoritma diare akut

20
PETRI Cabang Semarang 2016

Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Muchlis Achsan Udji Sofro

Infeksi saluran pernafasan akut, termasuk bronkitis akut tanpa komplikasi,


faringitis, rinosinusitis, dan pilek, adalah penyebab utama pasien berobat ke dokter
di unit rawat jalan dan peresepan antibiotik terbanyak pada orang dewasa. Antibiotik
telah diresepkan pada lebih dari 100 juta pasien dewasa per tahun, dan 41%
diantaranya untuk infeksi saluran pernafasan akut.1
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat untuk infeksi saluran pernafasan akut
merupakan kontributor utama terjadinya antibiotik resisten, yang menjadi problem
kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi. Di Amerika Serikat sekitar 2 juta
penyakit diakibatkan antibiotik resisten dan 23.000 kematian terjadi setiap tahun,
yang menghabiskan dana US $ 30 milyar.2 Peningkatan penggunaan antibiotik di
komunitas berkorelasi dengan munculnya resistensi antibiotik. Khususnya
penggunaan sepalosporin dan makrolida memudahkan timbulnya Pneumokokus
resisten multidrug.2,3
Sebagian penggunaan antibiotik menimbulkan efek samping obat, satu
diantara 5 kejadian efek samping obat akibat antibiotik dirawat di Unit Gawat Darurat.4
Efek samping obat mulai dari yang ringan (misalnya diare dan ruam) sampai yang
berat (misalnya sindrom Steven-Johnson, anafilaksis, atau kematian jantung
mendadak). Diperkirakan 5-25% pasien yang menggunakan antibiotik memiliki
efek samping yang serius.2 Di Amerika Serikat didapatkan 500.000 penderita diare
oleh karena Clostridium difficile akibat pemakaian antibiotik yang lama.5

1. Acute Rhinosinusitis1,2
Pada tahun 2012, dalam 12 bulan terakhir terdapat 30 juta diagnosis
rinosinusitis, dimana 12% nya adalah orang dewasa. Sekitar 90-98% rinosinusitis
disebabkan oleh virus, sehingga pemberian antibiotik tidak menjamin dapat
mengatasinya meskipun disebabkan oleh bakteri.
Diagnosis Rinosinusitis bakterial akut didasarkan pada gejala:
- Berat (3-4 hari): demam >38oC keluar cairan purulen atau nyeri di wajah.
- Persisten (>10 hari): tidak ada perbaikan, keluar cairan dari hidung, atau batuk
seharian, atau

21
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

- Perburukan (3-4 hari): gejala memberat atau timbul panas lagi, batuk seharian,
keluar lendir hidung setelah perbaikan infeksi saluran nafas 5-6 hari
sebelumnya.
Pemeriksaan Rontgen sinus bukan merupakan pemeriksaan rutin.
Terapi:
Pilihan pertama: Amoksisillin or amoksisillin/klavulanat
Pilihan berikutnya: doksisiklin atau levofloksasin, moksifloksasin jika alergi terhadap
penisilin.
Makrolida seperti azitromisin tidak dianjurkan jika angka resistensi terhadap
Streptococcus pneumonia tinggi (sekitar 40%)
2. Acute Uncomplicated Bronchitis 3-5

Batuk merupakan gejala utama pasien dewasa berobat ke dokter dan umumnya
didiagnosis sebagai bronkitis akut. Pada pemeriksaan perlu dipikirkan
kemungkinan pneumonia, jika terdapat: nadi >100x/menit, laju pernafasan >24x/
menit, suhu >38°C dan didapatkan kelainan pemeriksaan fisik paru: konsolidasi,
egofoni, fremitus. Sputum yang berwarna bukan indikasi infeksi bakteri. Diperlukan
pemeriksaan rontgen paru.
Terapi:
Tidak selalu diberikan antibiotik pada bronkitis akut tanpa komplikasi dan tidak
tergantung lama batuknya.
Terapi simtomatis meliputi:
- Penekan batuk : codein, dekstrometorfan
- Antihistamin : difenhidramin
- Dekongestan : fenilefrin
- Beta agonis : albuterol
3. Common Cold atau Non Specific Upper Respiratory Tract
Infection (URI)6,7
Common cold merupakan diagnosis terbanyak ketiga pasien dewasa pada
praktik dokter. Paling tidak ada 200 virus penyebab Common cold.

22
PETRI Cabang Semarang 2016

Gejala yang sering dikeluhkan pasien: demam, batuk, rinorhea, hidung


tersumbat, “post nasal drip”, nyeri tenggorokan, sakit kepala, dan mialgia.
Terapi:
- Dekongestan (pseudoefedrin dan fenilefrin) dikombinasi dengan
antihistamin.
- Anti inflamasi non steroid
4. Pharyngitis8,9
Kasus radang tenggorokan hanya diberikan antibiotik apabila ada indikasi
terdapat infeksi Group A beta-hemolytic streptococcal (GAS) (sekitar 5-10%).
Gambaran klinis antara faringitis yang disebabkan oleh GAS dan virus relatif sama.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis faringitis oleh GAS adalah
rapid antigen detection test (RADT). Indikasi pemeriksaan RADT adalah jika
ditemukan dua atau lebih kriteria berikut: demam, eksudat tonsil, limfadenopati
servikal, batuk. Kultur swab tenggorok pada pasien dewasa bukan merupakan
pemeriksaan rutin.
Kepustakaan
1. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, et al. Clinical practice guideline (updated):
adult sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2015;152(2 Suppl):S1-39.
2. Chow AW, Benninger MS, Itzhak B, et al. IDSA clinical practice guideline for acute
bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin Infect Dis. 2012;54(8):e72-e112.
3. Albert RH. Diagnosis and treatment of acute bronchitis.AmFam Physician.
2010;82(11):1345-50.
4. Irwin RS, Baumann MH, Bolser DC, et al. Diagnosis and management of cough: ACCP
evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2006;129(1 Suppl).
5. Gonzales R, Bartlett JG, Besser RE, et al. Principles of appropriate antibiotic use for
treatment of uncomplicated acute bronchitis: Background. Ann Intern Med.
2001;134(6):521-9.
6. Fashner J, Ericson K, Werner S. Treatment of the common cold in children and adults.
AmFam Physician. 2012;86(2):153-9.
7. Pratter MR. Cough and the common cold: ACCP evidence-based clinical practice guidelines.
Chest. 2006;129(1 Suppl): 72S-74S.
8. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, et al. Clinical practice guideline for the diagnosis and
management of group A streptococcal pharyngitis: 2012 update by the Infectious Diseases
Society of America. Clin Infect Dis. 2012;55(10):e86-102.

23
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

9. Cooper RJ, Hoffman JR, Bartlett JG, et al. Principles of appropriate antibiotic use for
acute pharyngitis in adults: Background. Ann Intern Med. 2001;134(6):509-17.
10. Gupta K, Hooton TM, Naber KG, et al. International clinical practice guidelines for the
treatment of acute uncomplicated cystitis and pyelonephritis in women: A 2010 update
by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for Microbiology
and Infectious Diseases. Clin Infect Dis. 2011;52(5):e103-20.
11. Colgan R, Williams M. Diagnosis and treatment of acute uncomplicated cystitis. AmFam
Physician. 2011;84(7):771-6.

24
PETRI Cabang Semarang 2016

Diagnosis dan Tata Laksana Antraks pada Manusia

Dhani Redhono H

Antraks adalah salah satu penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan
ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus anthracis. Antraks sering
menyerang hewan ternak seperti sapi, domba, kambing dan unta. Penularan ke
manusia terjadi bila ada kontak langsung dari hewan atau produk hewan yang
menderita antraks, antara lain dari kulit, darah dan daging dan sampai saat ini
belum ada bukti penularan antar manusia.(Dixon 2005)
Antraks dalam bahasa yunani berarti “arang”, hal ini disebabkan karena pada
penyakit ini pada manusia muncul gejala berupa luka, yang jika pecah akan
menghasilkan semacam krusta berwarna hitam seperti arang yang disebut eschar.
Penyakit ini sering terjadi pada saat pergantian musim.(Scott 2009)
Epidemiologi Anthraks
Antraks terjadi baik di seluruh dunia, namun angka kejadian di negara maju
jauh lebih sedikit dibanding negara berkembang.

Prevalensi Antraks di Dunia


Pada Tahun 1945 pernah terjadi kejadian luar biasa antraks pada hewan,
yang mengakibatkan satu juta domba mati.(Dixon 2005) Di Amerika Serikat, kejadian
antraks pada manusia sejak tahun 1845-1955 telah ditemukan sebanyak 400 kasus.
Delapan puluh persen penderita adalah mereka yang kontak produk binatang,
antara lain: wol, bulu kambing atau produk import lainnya dari Asia, Afrika dan Timur
Tengah. Di Inggris terjadi 145 kasus pada tahun 1965-1980, Sembilan belas diantaranya
berjenis kelamin laki-laki dan bekerja pada pabrik makanan ternak.
Antraks di Indonesia telah terjadi pada sebelas propinsi yang tersebar di
seluruh pulau yang ada di tanah air, yaitu pertama kali dilaporkan di Kab. Kolaka,
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1832. Pada tahun ini tercatat 36 penderita
meninggal setelah makan daging hewan. Di Jawa tengah pada tahun 1990 terjadi
di Kabupaten Semarang, Boyolali dan Demak dengan total kasus 48 orang tanpa
kematian. Kejadian terakhir pada tahun 1992 di Boyolali, pada kejadian itu tercatat
25 orang dinyatakan positif terjangkit antraks, 18 orang diantaranya meninggal.
Sebelas propinsi di Indonesia yang merupakan endemi antraks yaitu: DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT, Sumbar, Jambi, Sulteng, Sultra dan papua.
Total kasus di Indonesia pada tahun 1992-2001 adalah 599 kasus dengan
kematian 10 orang.

25
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Distribusi antraks pada manusia di Jawa Tengah menunjukkan pada tahun


2007 terjadi 10 kasus di kabupaten Pati, sedangkan pada tahun 2008 dan 2009
masing-masing dua kasus di kabupaten Boyolali, sedangkan tahun 2010 kasus di
kabupaten Pati dengan satu orang meninggal dan pada tahun 2011 terdapat 28
kasus yang tersebar di kabupaten Pati, Boyolali maupun Sragen.

Penyebab Antraks
Bacillus anthracis adalah bakteri penyebab antraks, basil ini ditemukan
pertama kali oleh Heinrich Herman Robert Koch pada tahun 1877. Sifat Bacillus
anthracis termasuk gram positif yang berukuran 1-2 mm x 5-10 mm, berbentuk
batang, ujung batang berbatas tegas, tersusun berderet-deret yang membentuk
formasi seperti ruas bambu atau batu bata memanjang. Sedangkan spora
antraks berbentuk oval, tidak terlihat pada pengecatan gram kecuali dengan
pewarnaan khusus. Spora tahan cuaca panas dan dingin dan akan kembali
aktif setelah masuk dalam tubuh hewan. Pada tanah kering, spora dapat
bertahan selama 60 tahun.(Scott 2009)

Cara Penularan
Spora banyak terdapat di tanah berumput yang kering. Pada saat musim
kering, biasanya binatang makan rumput kering dekat dengan permukaan tanah.
Infeksi pada hewan terjadi saat makan rumput yang terkontaminasi dengan
spora, dimana terjadi mikro lesi pada dinding mulut hewan tersebut akibat
gesekan dengan rumput kering tersebut, sehingga memudahkan spora masuk,
yang kemudian berkembang biak di tubuh hewan (lihat gambar 1). Penularan
juga dapat terjadi melalui gigitan lalat yang kontak dengan bangkai hewan
terinfeksi atau tertular dari hewan yang telah terinfeksi melalui cairan (eksudat)
yang keluar dari tubuhnya.(WHO 2010)
Penularan pada manusia biasanya terjadi setelah ada hewan yang terinfeksi
atau produk hewan yang terkontaminasi, antara lain: kulit, daging, tulang, darah
atau melalui udara yang mengandung spora, misalnya, pada pekerja di pabrik
wool atau kulit binatang.(Holmes 2009) Kontak langsung dengan spora yang ada
di tanah jarang terjadi pada manusia. Transmisi dari lalat juga dilaporkan dapat
sebagai media penularan, yaitu lalat menggigit dapat membawa spora atau bentuk
vegetatif dari bangkai ke hewan lain atau manusia, bahkan dapat membawa B.
anthracis dalam deposit kotoran atau muntahan. Burung seperti burung nasar
meneteskan spora antraks dalam kotoran mereka sampai 2 minggu setelah mereka
menelan daging yang terinfeksi.(Mendell 2011)

26
PETRI Cabang Semarang 2016

"

Gambar 1. Siklus hidup Bacillus anthracis ( Redhono 2011)

Patogenesis Infeksi Antraks


Bacillus anthracis masuk ke dalam tubuh dalam bentuk spora, yang kemudian
berhadapan oleh sistem kekebalan tubuh.

Gambar 2. Mekanisme Aksi Antigen Protektif (Prince, 2003)

27
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Menurut Prince (2003), virulensi B. anthracis bergantung pada kapsul antifagosit


dan 3 komponen toksin berbeda yang saling membantu yaitu Faktor Letal (FL),
Faktor Edema (FE) dan Antigen Protektif (AP). Untuk dapat berfungsi, FL dan FE
perlu masuk sel yang dibantu oleh AP.(lihat gambar 2)
Pada tahap awal intoksikasi sel host, AP ini dibutuhkan untuk mengawali
masuknya FL dan FE sebagai enzim yang berperan pada mediasi kerusakan
sel host. AP awalnya adalah protein yang terdiri dari satu subunit (monomer) yang
bila berikatan dengan reseptor khusus dalam sel yang akan diserang, menjadi
terpotong dua bagian oleh aktivitas protease furin. Berikutnya, bagian AP yang masih
berikatan dengan reseptor tadi membentuk heptamer (tujuh subunit) dan
memungkinkan FL dan FE berikatan yang selanjutnya bisa masuk ke dalam sel.
(Paccani et al., 2011)
Kombinasi dari AP dan FL menghasilkan toksin letal (LeTx), sedangkan
kombinasi dari AP dan FE menghasilkan edema toksin. Toksin-toksin tersebut
membantu bakteri menghindar dari sistem imun host dan menyebabkan
septikemia yang berakhir kematian pada host.(Abboud et al., 2008; Glomski et
al., 2007; Paccani et al., 2011)
FL adalah komponen sentral racun yang bekerja sebagai protease (enzim
pemotong protein) dimana aktivitasnya bergantung pada logam seng (zinc). Saat
ini diketahui target FL dalam sel adalah protein MEK1/2 yang bertugas
mengantarkan sinyal kimiawi dari luar ke dalam sel. FE adalah enzim adenylate
cyclase (adenilat siklase) yang bekerja mensintesis molekul cAMP sehingga
peningkatan kadarnya secara tak terkontrol bisa menyebabkan hilangnya cairan
tubuh.(Liu et al., 2009; Pohan, 2005)
Endospora B. anthracis patogen mencapai tempat kejadian utama di lapisan
subkutan, mukosa gastrointestinal atau ruang alveolar. Untuk antraks kulit dan
gastrointestinal, bakteri akan berkembang biak pada lokasi masuknya, yang akan
menyebabkan nekrosis dan edema setempat. Bakteri menyebar melalui peredaran
darah dan limfa serta meningkat dalam jumlah yang tinggi. Proses ini menyebabkan
septikemia berat. Endospora difagosit oleh makrofag dan berkembang biak.
Makrofag yang mengandung basil bermigrasi dan melepaskannya ke kelenjar getah
bening regional. Basil Antraks vegetatif tumbuh di kelenjar limfa dan membentuk
limfadenitis hemoragik regional.(Todar, 2008)
Manifestasi Klinis Antraks
Antraks pada manusia dapat dibagi menjadi tiga tipe antraks yaitu : antraks
kulit, antraks inhalasi dan antraks gastrointestinal. Antraks inhalasi secara alamiah
sangat jarang terjadi. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari

28
PETRI Cabang Semarang 2016

tahun 1900-1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai
risiko tertular antraks, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau
penyamakan kulit. (Holmes 2009)
Antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan diperkirakan
terdapat 2000 kasus tiap tahunnya di seluruh dunia. Pada umumnya penyakit timbul
setelah seseorang terpajan dengan hewan yang terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan
224 kasus antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and
Prevention (CDC) melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya
tiga orang dan satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000. Kejadian luar biasa
terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang
terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja perkebunan. (Inglesby 2005)
Kriteria Diagnosis
Kriteria yang digunakan dalam diagnosis antraks terdiri dari 3 jenis, yaitu
suspected (tersangka), probable (kemungkinan) dan confirmed (Konfirmasi). (CDC
2011)
Suspected adalah secara klinik menunjukkan salah satu bentuk antraks dan
terdapat bukti epidemiologi lingkungan yang terpapar antraks, tetapi tidak ada bukti
laboratorium yang pasti.
Probable adalah secara klinik menunjukkan gejala antraks tetapi belum memenuhi
definisi konfirmasi, tetapi menunjukkan salah satu dari berikut:
y Secara Epidemiologi, terdapat paparan lingkungan.
y Bukti DNA B. anthracis yang dikumpulkan dari lesi, biasanya steril (seperti
darah atau CSF) atau lesi jaringan lain yang terkena dampak (kulit, paru atau
pencernaan)
y Serologi IgG ELISA Antraks Positif
y Lethal Factor (LF) pada pemeriksaan Spectrometry yang positif
Confirmed adalah secara klinik menunjukkan gejala antraks dengan salah satu
dari berikut :
y Kultur B. anthracis positif
y Menunjukkan B. anthracis antigen dari jaringan dengan pengecatan
imunohistokimia dengan menggunakan dinding sel dan kapsul monoklonal
antibodi B. anthracis
y Terbukti kenaikan 4 x titer antibodi pada saat masa akut dan perbaikan dengan
pemeriksaan quantitative anti-PA IgG ELISA testing
y Adanya paparan lingkungan antraks dan bukti B. anthracis DNA (PCR) positif.

29
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Outbreak Antraks di Jawa Tengah


Pada tahun 2011 terjadi outbreak antraks kembali yang terjadi di Jawa Tengah,
yaitu di kabupaten Boyolali dan Sragen.

Kronologis Antraks di Boyolali


Pada awal bulan Januari 2011, ada satu sapi milik salah satu warga yang
mendadak jatuh dan kemudian kejang. Pemilik sapi memutuskan untuk menyembelih
dagingnya sebelum sapi itu mati. Daging sapi tersebut dipotong-potong menjadi
40 bungkus daging, yang kemudian di jual ke warga sekitar. Kemudian pada satu
minggu setelah kejadian tersebut, didapatkan 6 warga yang mengeluh gatal,
bengkak dan adanya lesi basah dan adanya eschar di daerah bawah mata, tangan,
tungkai dan telapak kaki, kemudian dibawa ke Puskesmas dan dinyatakan suspek
antraks, kemudian diberikan terapi Penicillin. Satu minggu kemudian ke enam
penderita dirujuk ke RS dr. Moewardi Surakarta untuk rawat inap. Pada saat datang
didapatkan lesi basah dan adanya eschar di daerah bawah mata, tangan, tungkai
kaki dan kaki penderita. Sampel daging dan darah sapi diperiksa di Labkesda
Propinsi Jawa Tengah dan dinyatakan positif antraks.
Dua penderita adalah orang yang menyembelih sapi yang didiagnosis
cutaneous anthrax, dengan lesi di tangan dan wajah dan empat penderita yang
lain adalah yang membagikan daging sapi tersebut dan memasaknya, dengan
lesi di tangan, tungkai kaki dan kaki. (lihat gambar 3)

   
 

   

30
PETRI Cabang Semarang 2016

   
  Gambar 3 manifestasi Antraks kulit

Satu minggu kemudian kami datang untuk mengambil sampel warga yang
terpapar sapi yang mati karena antraks dan mendapatkan 92 sampel yang kemudian
dilakukan pemeriksaan dengan metode ELISA di Lab Biomedik FK UNS.
Satu minggu setelah dirawat, empat penderita diantar kembali ke rumah masing-
masing oleh tim antraks RS dr. Moewardi dan disarankan 1 minggu lagi kontrol ke
rumah sakit dan tetap minum antibiotik. Selanjutnya semua penderita diijinkan rawat
jalan dan disarankan, kontrol kembali 1 minggu kemudian.(Redhono 2011)
Dari hasil uji pemeriksaan sampel suspek pasien Antraks di kabupaten Boyolali
berdasarkan deteksi protein Protection Antigen (PA) berbasis ELISA memperlihatkan
bahwa protein PA terdeteksi pada 32 serum sampel dari 92 serum sampel pasien
suspek antraks yang diperiksa. Dari jumlah tersebut, ada 12 serum sampel pasien
yang terdeteksi positif akan tetapi dengan konsentrasi pada range borderline.
Setelah dicocokkan dengan hasil pemeriksaan fisik, ternyata hampir semua pasien
dengan nilai konsentrasi IgG PS anthrax di kisaran borderline-positif tersebut
memiliki gejala klinis yang khas. Sebagai diagnostik, cara deteksi antraks dengan
metoda ELISA ini bisa memberikan bukti sekresi toksin Bacillus anthraxis, terbukti
sangat berguna untuk menentukan pemberian terapi pada pasien sebelum muncul
tanda klinik (awal infeksi) karena pemeriksaan berbasis Imunoasay secara ELISA
ini cukup sensitif, efektif dan efisien (dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam)
sebagai deteksi screening anthrax.(Paramasari 2011)

Kronologis Antraks di Sragen


Pada awal bulan Mei 2011, ada satu sapi milik warga Sragen yang sudah
dipelihara selama 3 tahun yang berasal dari kakeknya, mendadak sakit (rebah di
kandang) tanpa ada gejala sakit sebelumnya lalu mati, dengan mengeluarkan liur
banyak, air mata, perut membesar. Kemudian sapi tersebut disembelih, jeroan
dicuci di sungai dan daging dibagikan ke 40 KK tetangga sekitar.

31
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Satu minggu kemudian didapatkan 6 orang yang kontak langsung dengan


sapi sakit, mengeluh gatal dikulit dan beberapa lama membengkak, nyeri, panas
dan mengeluarkan cairan bening, kemudian dibawa ke puskesmas dan dinyatakan
suspek antraks yang kemudian diberikan terapi empirik. Kemudian tim Puskesmas
menemukan adanya KLB suspek antraks kulit, kejadian tersebut langsung
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kab. Sragen (DKK), yang kemudian melakukan
kunjungan ke lokasi kejadian, mendirikan posko, pengobatan, melakukan
survailans dan penyuluhan di RT 09, dihadiri 40 KK.
Kemudian Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen melaporkan adanya dugaan
KLB Antraks ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Menindaklanjuti laporan
tersebut, Dinas Kesehatan Propinsi Jateng segera berkoordinasi dengan
Kementerian Kesehatan RI (Subdit Zoonosis), Dinas Peternakan Provinsi, BLK
Semarang dan BBVet Wates Yogyakarta, yang bersama-sama melakukan investigasi
ke lokasi RT 10 dan menemukan 3 suspek Antraks. Tiga hari kemudian ditemukan
3 penderita baru suspek Antraks, yang diambil swab pada kulit penderita untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemberian injeksi antibiotik Procain Penisilin
/ PP 1,2 jt IU / 12 jam.
Kemudian kami melakukan obervasi lapangan dan mengambil sampel warga
yang terpapar sapi yang mati karena antraks dan mengambil 76 sampel yang
kemudian akan dilakukan pemeriksaan serologi ELISA. Kasus yang terjadi di Sragen
ini adalah cutaneous anthrax dengan lesi yang paling berat adalah yang terjadi di
wajah, sedangkan lainnya terjadi pada ekstremitas, baik di tangan maupun di kaki
(lihat gambar 4).

   

   

 
32
PETRI Cabang Semarang 2016

   
Gambar 4. manifestasi Antraks kulit

Tata laksana Antraks


Penisilin sangat efektif terhadap B. anthracis dan merupakan pilihan terapi
yang banyak digunakan di dunia. Fluoroquinolon lain seperti levofloksasin telah
direkomendasikan sebagai pilihan tambahan untuk pengobatan antraks kulit.
(CDC 2011)
Pada kasus antraks kulit lokal atau tanpa kompikasi, direkomendasikan
menggunakan sediaan siprofloksasin oral atau doksisiklin selama 7-10 hari dan
bila ada hasil kultur positif dapat menggunakan penisilin atau amoksisilin. Untuk
kasus antraks kulit dengan adanya tanda keterlibatan sistemik, edema luas atau
lesi kepala dan leher, direkomendasikan menggunakan siprofloksasin intravena
selama 7-10 hari dan doksisiklin dan bila didapatkan hasil kultur atau serologi
positif digunakan penisilin G intravena 7 sampai 10 hari, sedangkan pada anak-
anak diberikan amoksisilin 500 mg tiap 8 jam, atau 80 mg / kg / hari dalam dosis
terbagi setiap 8 jam, tidak melebihi 500 mg setiap 8 jam.(WHO 2010)
Rekomendasi CDC 2011 bila hasil kultur dan serologi positif
direkomendasikan menggunakan fluoroquinolon atau doksisiklin selama 60 hari
sebagai terapi lini pertama (siprofloksasin 500 mg secara oral dua kali sehari,
atau levofloksasin 500 mg per hari, atau doksisiklin 100 mg oral dua kali sehari)
(tabel 1 dan 2).(Bell 2002)

33
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Kepustakaan
Abboud Nareen, Arturo Casadevall (2008). Immunogenicity of bacillus anthracis protective
antigen domains and efficacy of elicited response depend on host genetic bacground.
Clinical and Vaccine Immunology, 15(7): 1115-1123.
Bell David M, Phyllis E Kozarsky, David S Stephens (2002). Clinical issues in the prophylaxis,
diagnosis and treatment of anthrax. Emerging infectious diseases Centers of diasease
control and prevention (CDC) www.medscape.com. Diakses Februari 2012.
Centers Of Disease Control and Prevention (2006). Bioterrorist Agent. http:// http://www.cdc.gov/
widgets/PHIL/alt. Diakses Januari 2012.
Cieslak TJ, Eitzen E (2005). Clinical and epidemiologic principles of anthrax. Emerging infectious
diseases ; (5): 552-555.
Centers for Disease Control and Prevention (2011). Guidelines anthrax. www.CDC. Guidelines
Cunha, Burke A, Michael Stuart Bronze (2008). Anthrax. www.medscape.com. Diakses
Februari 2012.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2007). Buku pedoman surveilans penyakit. Semarang: Dinas
Kesehatan Jawa Tengah, hal: 30-32
D Paramasari (2011). Pemeriksaan laboratorium deteksi anthrax berbasis immunoassay. Dalam:
A Guntur H. Antraks Surakarta : SMF/ LAB Ilmu Penyakit Dalam, hal: 18-29.
Dixon TC, Meselson M, Guillemin J, Hanna PC (1999). Anthrax. New England Journal Medicine,
341: 815-826.
Glomski Ian Justin, Jean-Philippe Corre, Michele Mock, Pierre Louis Goosens (2007). Cutting
edge: IFN-d-producing CD4 T lymphocytes mediate spore-induced immunity to capsulated
bacillus anthracis. The Journal of Immunology, 178: 1646-2650.
Inglesby TV, O’Toole T, Henderson DA, Bartlett JG, Ascher MS, Eitzen E (2002). Anthrax as a
biological weapon: Updated recommendation for management. JAMA, 287 (17):2236-52.
Liu Shihui, Sharmina Miller-Randolph, Devorah Crown, Mahtab Moayeri, Inka Sastalla, Shu
Okugawa, Stephen H. Leppla (2010). Anthrax toxin targeting of myeloid cells through the
CMG2 receptor is essential for establishment of bacillus anthracis infections in mice.
Cell Host & Microbe, 8(5): 455-462.
Paccani Silvia Rossi, Cosima T Baldari (2011). T cell targeting by anthrax toxins: Two faces of
the same coin. Toxins, 3:660-671.
Pohan Herdiman T (2005). Patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan antraks. Majalah
Kedokteran Indonesia, 55(1): 23-29
Prince AS (2003). The host reponse to anthrax lethal toxin : Unexpected observations. J. Clin.
Invest, 112:656-8.

34
PETRI Cabang Semarang 2016

Redhono Dhani, Tatar Sumandjar, A Guntur H (2011). Pemetaan kasus antraks di boyolali dan
sragen. Dalam: A Guntur H. Antraks Surakarta : SMF/ LAB Ilmu Penyakit Dalam, hal: 11-
17.
Scott Geoffrey (2009). Anthrax. In : Mansons’s Tropical Diseases 21st ed. Elsevier : China :
1109-1111
Todar K (2008). Bacillus anthracis and anthrax. Online Textbook of Bacteriology. http://
www.textbookofbacteriology.net/Anthrax.html. Diakses Januari 2012.
Tournier JN, Quesbel-Hellmann A, Mathieu J (2005). Anthrax edema toxin cooperates with
lethal toxin to impair cytokine secretion during infection of dendritic cells. Journal of
Immunology, 174: 4934-4941.
WHO (2010). Guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and animals.
www/who.int/emc-document/zoonoses/docs/whoczd.html

35
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

36
PETRI Cabang Semarang 2016

Manajemen Demam Tifoid

Soeharyo Hadisaputro

Demam Tifoid, Demam Paratifoid (Typhoid Fever, Paratyphoid fever, Enteric


Fever) atau juga disebut Typhus Abdominalis adalah penyakit infeksi sistemik pada
manusia, merupakan penyakit yang menjadi problem kesehatan di negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Secara global diperkirakan insiden di negara
sedang berkembang 1,4 kasus per 1.000 penduduk per tahun untuk S. typhi, dan
0,5 kasus per 1.000 penduduk untuk S.paratyphi.
Di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini jumlah tersebut makin menurun,
yang kemungkinan disebabkan karena perbaikan kesehatan perorangan dan
higiene lingkungan atau mungkin sosial ekonomi yang makin membaik.
Manajemen demam tifoid/demam paratifoid pada umumnya terdiri dari tiga jenis
tindakan, yaitu perawatan umum, pengelolaan dietetik dan obat medikamentosa.
Jenis obat yang dapat digunakan sangat bervariasi tergantung peranannya dalam
proses penyembuhan, yang umumnya dibagi menjadi pengobatan yang bersifat
kausatif, simtomatik dan suportif. Obat yang berperan kausatif yaitu berbagai obat
yang dalam efeknya membunuh secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kelangsungan hidup bakteri S.typhi/S.paratyphi. Efektivitasnya dapat melalui
pembunuhan kuman secara cepat atau pengaruhnya terhadap perkembangbiakan,
yang hasil akhirnya bakteri tidak dapat memperbanyak diri dan mati. Antibiotika yang
mempunyai peran kausatif adalah kloramfenikol, kotrimoksasol, ampisilin,
amoksisilin, tiamfenikol, sefalosporin generasi ketiga, golongan fluorokuinolon lama
(misalnya siprofloksasin, pefloksasin, dan lain-lain) dan golongan fluorokuinolon
baru seperti grepafloksasin, gatifloksasin, fleroksasin dan levofloksasin.
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama di berbagai belahan dunia, tetapi
karena adanya efek samping berupa diskrasi darah, lahirnya blue baby pada ibu hamil,
adanya resistensi obat, oleh karena itu saat ini banyak negara yang tidak
merekomendasikan. Obat pengganti yang potensinya hampir sama adalah kotrimoksasol,
ampisilin, amoksisilin, tiamfenikol dan sekarang ini ada kecenderungan untuk
menggunakan sefalosporin generasi ketiga (misalnya seftriakson), golongan kuinolon
(ofloksasin, norfloksasin, siprofloksasin, fleroksasin, pefloksasin dan levofloksasin.
Kuinolon (Quinolon) adalah golongan antimikroba yang diperoleh secara
sintetik, yang berasal dari asam nalildiksat, pertama kali digunakan sebagai
antiseptik saluran kemih oleh berbagai kuman Gram negatif (tidak termasuk P.

37
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

aureginosa). Obat ini menarik perhatian, karena disamping potensinya yang baik,
juga efektif untuk pemberian oral. Tetapi, ternyata banyak kekurangan pemberian
asam nalildiksat tersebut, diantaranya resistensi dan efek samping mudah terjadi,
profil farmakokinetiknya lemah, kadar dalam darah rendah, masa kerja singkat
dan spektrum antibakteri terbatas, sehingga hanya digunakan untuk infeksi saluran
kemih yang non invasif.
Dengan keterbatasan di atas, maka dikembangkan obat tersebut dengan cara
rekayasa molekul asam nalidiksat, yaitu menambah satu atom ‘fluor’ menghasilkan
obat ‘flumekuin’, yang dipasarkan pada tahun 1978, dan khusus dipergunakan
hanya untuk infeksi saluran kencing. Inovasi struktur flumekuin dengan menambah
satu gugus ‘piperazinil’, menghasilkan fluorokuinolon baru yang mempunyai daya
antibakteri lebih poten dan lebar, kadar obat sistemik baik di dalam darah maupun
jaringan di atas kadar hambat minimal, sehingga obat tersebut dapat digunakan
untuk infeksi bakteri sistemik yang berat. Obat tersebut dipasarkan pada tahun
1985, dalam bentuk pefloksasin untuk pengobatan sistemik berat. Kemudian pada
tahun 1986, norfloksasin dipasarkan untuk pengobatan infeksi saluran kemih,
ofloksasin (1987), siprofloksasin (1988) diperkenalkan untuk indikasi yang sama
dengan pefloksasin. Perkembangan berikutnya enoksasin, lemfloksasin,
temafloksasin, fleroksasin dan levofloksasin.
Golongan kuinolon baru ditawarkan sebagai obat alternatif jangka pendek (5-
7 hari), sehingga dapat mengurangi hospital stay (waktu tinggal di rumah sakit),
yang berarti mengurangi biaya perawatan pasien. Secara klasik, masa rawat
penderita demam tifoid pada umumnya sekitar 3-4 minggu. Dengan cara
pengobatan jangka pendek ini diperkirakan masa rawat hanya sekitar 7-10 hari.
Untuk membuktikan pernyataan bahwa pengobatan tersebut lebih pendek, terutama
yang berkaitan dengan efektivitas obat pefloksasin, fleroksasin dan levofloksasin
pada demam tifoid, maka banyak penelitian dilakukan di berbagai senter pendidikan
atau rumah sakit mengenai penggunaan kuinolon tersebut, terutama efektivitas
fluoroquinolon.
Pengobatan demam tifoid berat dikaitkan dengan sensitivitas, resistensi
multipel dan resistensi terhadap kuinolon dapat dilihat pada tabel berikut, yang
menunjukkan bahwa flurokuinolon dapat digunakan sebagai obat parenteral optimal
untuk yang masih sensitif dan resistensi multipel.

38
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 2. Terapi Demam Tifoid Berat

Optimal parenteral drug Alternative effective parenteral drug


Susceptibility Antibiotic Daily Days Antibiotic Daily Days
dose dose
mg/kg mg/kg
Fully Fluroquinolone 15 10-14 Chloramphenicol 100 14-21
sensitive e.g. ofloxacin Amoxicillin 100 14
TMP-SMX 8-40 14
Multidrug Fluroquinolone 15 10-14 Ceftriaxone or 60 10-14
resistant cefotaxime 80
Quinolone Ceftriaxone or 60 10-14 Fluoroquinolone 20 7-14
resistant cefotaxime 80
"
Hasil studi levofloksasin pada demam tifoid, berat menunjukkan bahwa hasil
efikasi klinis, bakteriologis, keamanan, efek samping cukup baik, yaitu bebas
demam lebih pendek (3-7 hari), dan efek samping minimal.
Referensi
1. Suharyo Hadisaputro: Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian perdarahan
dan atau perforasi usus pada demam tifoid, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor
Ilmu Kedokteran, 1990.
2. Manson-Hahr PEC, Salmonella Infections in Text book of Manson Tropical Diseases, 21 th
ed. London ELBs and Bailliere, Tindal, 2009, 931-942.
3. Punjabi NH, Agtini MD, Ochiai RL, Simajuntak CH, Lesmana M, Subekti D et al. Enteric
fever burden in North Jakarta, Indonesia : a prospective, community base study, J.Infect
Dev Citries, 2013 Nov 15 ; 7 (11) : 781-7.
4. Suharyo Hadisaputro, S Suharto, RHH Nelwan, Hadi Yusuf, Primal Sudjana, Muchlis etal.
Efficacy, safety and tolerability of Levofloxacin versus Cyprofloxacin in Complicated of
Typhoid Fever, Int.J.Med.Sc.Res. Vol 2 (5) pp 058-063, Sept 2014.
5. World Health Organization : Background document : The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever, WHO/V & B/03.07, 2007.
6. Nellwan, RHH, Khie-Chen, Suharyo Hadisaputro, Eddy Suwandoyo, Suharto, Nasronudin,
et al. A Single Blind Comparative Non-Inferior Mulricenter Study for Efficacy and Safety
of Levofloxacin versus Ciprofloxacin in the Treatment of Uncomplicated Typhoid Fever,
Advances Microbiology, (publised Online 2012, http://www.scirp.org/journal/aim),
November 2012.

39
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

40
PETRI Cabang Semarang 2016

Skrining Infeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV

Yanri Wijayanti Subronto

Pendahuluan
Infeksi HIV di Indonesia masih cukup tinggi, dimana terjadi lebih dari 20 ribu
infeksi baru yang tercatat secara nasional. Sementara itu, infeksi Tuberkulosis (TB)
masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia yang juga belum selesai.
Infeksi TB merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV.
Selain itu, TB merupakan salah satu penyebab kematian utama pasien HIV. Adanya
infeksi HIV meningkatkan risiko terinfeksi TB. Keadaan yang saling memberatkan
tersebut membuat koinfeksi TB-HIV masalah utama dalam tata laksana pasien
HIV. Pada saat ini ditengarai terdapat sekitar 12-15 juta orang dengan koinfeksi
TB-HIV di seluruh dunia dimana 10% diantaranya adalah dari daerah Asia Tenggara
termasuk didalamnya adalah Indonesia.
WHO mengeluarkan suatu kebijakan bahwa semua pasien TB harus diskrining
infeksi HIV, dan sebaliknya semua pasien HIV harus diskrining terhadap adanya
infeksi TB. Hal ini akan menentukan alur tata laksana HIV secara keseluruhan.
Pada dasarnya kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan beban TB pada pasien
HIV dan menurunkan beban HIV pada pasien TB. Tujuan pertama dilakukan dengan
strategi 3 I, yaitu intensifikasi penemuan TB (Intensified TB case-finding), pengobatan
pencegahan INH (Isoniazid prevention therapy), dan pengendalian infeksi di layanan
kesehatan (Infection control in health care and congregate settings). Sementara
pada tujuan kedua adalah dengan cara Penyediaan tes dan konseling HIV,
pemberian informasi pencegahan HIV, pemberian kotrimoksazol pencegahan, dan
pemberian terapi antiretroviral, dimana hal-hal tersebut adalah disesuaikan dengan
keadaan pasien TB.
Tulisan ini akan mengkhususkan pada skrining TB pada pasien HIV yang
mana sangat penting dalam tata laksana HIV secara umum, dan tata laksana
koinfeksi TB-HIV secara khusus.

Skrining Tuberkulosis pada Pasien HIV


Sebenarnya penegakan diagnosis TB pada pasien HIV adalah sama dengan
penegakan TB pada pasien non HIV, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologis,
biakan, tes cepat dengan MTB/RIF, dan kadang perlu didukung dengan pemeriksaan
radiologis dan lainnya. Akan tetapi dalam keadaan koinfeksi TB-HIV sering
menyebabkan keadaan rendahnya angka BTA positif, perbedaan manifestasi klinis
TB, banyaknya TB ekstra paru, dan keadaan lainnya. Padahal penegakan diagnosis

41
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

TB pada pasien HIV adalah sangat penting karena menentukan alur tata laksana
klinis berikutnya, apakah langsung terapi Antiretroviral (ARV) atau perlu Terapi Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih dahulu sebelum obat ARV. Juga perlu diingat bahwa
terapi keduanya dapat mengakibatkan suatu keadaan efek samping yang tumpang
tindih, atau terjadi interaksi antar obat, dan bisa menyebabkan keadaan Sindroma
Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS).
Pada pasien HIV perlu dilakukan skrining terhadap infeksi TB terlebih dahulu.
Sebagai langkah awal adalah skrining gejala dan tanda TB, yaitu pasien harus
ditanya hal-hal berikut:
• Apakah ada batuk, terutama yang berlangsung lebih dari dua minggu
• Apakah ada demam
• Apakah terdapat penurunan berat badan
• Apakah ada keringat malam
• Atau ada keluhan lain yang mengarah pada kemungkinan TB ekstra paru
Apabila tidak ada jawaban Ya pada pertanyaan diatas maka bisa langsung
diberikan terapi Antiretroviral. Pada bulan ketiga, ARV perlu dilakukan skrining ulang.
Apabila disini didapatkan jawaban Ya pada minimal salah satu pertanyaan diatas
maka perlu masuk ke alur tatalaksana TB pada HIV.
Dalam keadaan terdapat jawaban Ya pada minimal salah satu pertanyaan
diatas maka perlu dilakukan serangkaian prosedur untuk tata laksana penegakan
diagnosis TB pada pasien HIV (Alur 1). Beberapa hal yang perlu diketahui dalam
hal penegakan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan ini adalah untuk mencari bakteri tahan asam (BTA) dengan
menggunakan spesimen dahak atau spesimen lain yang sesuai dengan lokasi
TB yang dicurigai, misal cairan serebrospinal, urine, feses, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan BTA dahak maka dilakukan melalui uji dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Hasil BTA positif minimal pada satu pemeriksaan maka
ditetapkan sebagai TB positif.
2. Pemeriksaan tes cepat TB (MTB/RIF)
Pemeriksaan tes cepat ini merupakan pemeriksaan dengan metoda PCR
dan sering disebut sebagai pemeriksaan MTB/RIF karena selain dapat
mendeteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, pemeriksaan ini sekaligus
menentukan apakah bakteri tersebut sensitif atau resisten terhadap
Rifampisin. Pemeriksaan MTB/RIF ini baru tersedia di beberapa fasilitas
layanan kesehatan. Dalam keadaan tidak ada fasilitas pemeriksaan ini

42
PETRI Cabang Semarang 2016

maka penegakan diagnosis adalah berdasarkan pemeriksaan bakteriologis


(mikroskopi langsung dan kultur), dan radiologis.
3. Pemeriksaan biakan (kultur) dahak
Pemeriksaan ini sebenarnya adalah sebagai standar baku (gold standard)
penegakan diagnosis TB, akan tetapi pemeriksaannya memerlukan waktu
yang lama (6-8 minggu) sampai kultur tumbuh dan harus dilakukan di sarana
laboratorium yang sudah tersertifikasi. Pemeriksaan ini digunakan bila tidak
tersedia fasilitas MTB/RIF.
4. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini membantu penegakan diagnosis khususnya pada keadaan
pemeriksaan bakteriologis negatif dan pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan dahak setelah dilakukan berbagai upaya untuk menginduksi
dahak. Diagnosis TB tidak boleh hanya berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologis karena dalam keadaan HIV sering terjadi keadaan manifestasi
gambaran radiologis yang berbeda dibanding pasien tanpa HIV, misal posisi
infiltrat yang sering di basal, atau lebih seringnya gambaran atau manifestasi
TB milier.

Alur 1. Alur diagnosis TB paru pada pasien HIV di fasilitas layanan kesehatan
dengan akses tes cepat MTB/RIF

43
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Dalam keadaan tidak ada fasilitas pemeriksaan Tes Cepat MTB/RIF maka
alur tatalaksananya adalah bergantung pada pemeriksaan mikroskopis dan
radiologis (Alur 2).
 

Alur 2. Alur diagnosis TB paru pada pasien HIV di fasilitas layanan yang tidak
memiliki pemeriksaan Tes Cepat MTB/RIF

Apabila pasien sudah tegak terdiagnosis HIV tanpa koinfeksi TB maka perlu
diberikan pengobatan pencegahan INH (PP INH) untuk mencegah terinfeksi TB.
PP INH diberikan pada pasien yang tanpa TB di saat terdiagnosis HIV dan pada
pasien koinfeksi TB-HIV yang telah selesai terapi OAT. PP INH adalah pemberian
INH 300 mg/hari selama 6 bulan. Untuk mengurangi efek samping INH maka
perlu diberikan vitamin B6 dengan dosis 25 mg/hari atau 50 mg/dua hari. Efek
proteksi PP INH adalah sampai dengan 3 tahun sehingga diulang pemberian PP
INH setelah 3 tahun.

44
PETRI Cabang Semarang 2016

Penutup
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi dan
merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pada pasien HIV, sehingga
perlu dilakukan skrining adanya TB sejak seseorang terdiagnosis HIV dan selama
dalam terapi ARV. Beberapa cara penegakan diagnosis TB adalah pemeriksaan
bakteriologis baik dengan mikroskopis langsung atau biakan, pemeriksaan tes
cepat MTB/RIF, dan radiologis. Penegakan TB perlu dilakukan sesegera setelah
diagnosis HIV karena akan mempengaruhi alur tatalaksana koinfeksi TB-HIV,
dimana perlu diberi terapi OAT terlebih dahulu sebelum ARV.
Acuan Utama: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87
Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral

45
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

46
PETRI Cabang Semarang 2016

Early Treatment in HIV-AIDS

Muchlis Achsan Udji Sofro

A. Pendahuluan
Tiga puluh sembilan juta orang di dunia hidup dengan infeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)
dengan 5 juta kasus baru pada dewasa dan anak-anak serta 3 juta meninggal
karena infeksi HIV. Di Indonesia pada September 2014, jumlah infeksi HIV sebanyak
150.296, AIDS sebanyak 55.799 dan yang meninggal sebanyak 9.796, dengan
50% di antaranya merupakan kasus koinfeksi Tuberkulosis-HIV (TB-HIV). Secara
nasional, prevalensi HIV di Indonesia adalah 0.24%. Meskipun angka prevalensi
ini termasuk rendah, tetapi perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk
tercepat di kawasan Asia.1
Tujuan penanganan orang dengan HIV-AIDS (ODHA) adalah getting three zero:
tidak ada kasus baru HIV, tidak ada kematian karena AIDS, tidak ada stigma dan
diskriminasi. Hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. ODHA
di Indonesia yang mendapat terapi antiretroviral (ARV) sampai September 2013
sebanyak 36.483 orang dengan rasio laki-laki dan perempuan 3:1 dan persentase
tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun. Pemakaian regimen pengobatan ARV
adalah 33.847 (96.82%) menggunakan lini 1, dan 1.110 (3,17%) menggunakan lini 2.
Angka kematian ODHA menurun setelah mendapatkan terapi ARV, dari 18,16% di
tahun 2000 menjadi 0,85% di tahun 2013.1

B. Konseling dan Tes HIV


Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS)/ Voluntary Counseling & Testing (VCT)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP)/ Provider-Initiated
Testing and Counseling (PITC)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah yang dilaksanakan di layanan
kesehatan, semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya
pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis
diduga terinfeksi HIV (Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko yaitu penasun,
pekerja seks komersial (PSK), lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien Infeksi
Menular Seksual (IMS) dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan
anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien
sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua
pihak menjaga kerahasiaan denan prinsip 3C (counseling, consent, confidentiality).

47
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Apabila pasien menyetujui untuk dilakukan tes HIV tidak perlu informed consent.
Akan tetapi apabila menolak baru disiapkan tanda tangan untuk penolakan tes HIV.2,3
Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar


Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5OC) yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas

Kelainan kulit:
PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.
Infeksi Jamur:
Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina berulang
Infeksi virus:
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom); Herpes
genital (berulang); Moluskum kontagiosum; Kondiloma
Gangguan pernafasan:
Batuk lebih dari satu bulan; sesak nafas; tuberkulosis; pneumonia berulang;
sinusitis kronis atau berulang.
Gangguan neurologis:
Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya);
Kejang demam; Menurunnya fungsi kognitif.
* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
C. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan
selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes
tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk
pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi
(>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes
dengan spesifisitas tinggi (>99%).2,3

48
PETRI Cabang Semarang 2016

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan
dalam masa jendela menunjukkan hasil “negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang,
terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko tertular.2,3,

D. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Beberapa infeksi oportunistik (utamanya PCP dan Toksoplasmosis) dapat
dicegah dengan pemberian Kotrimoksasol. Kotrimoksasol diberikan pada
CD4 <200 sel/ml sampai dengan CD4 mencapai 200 sel/ml.2,3,4

E. Infeksi Menular Seksual (IMS)2,3,4


Layanan pra terapi ARV dan terapi ARV merupakan peluang untuk memberikan
layanan IMS secara paripurna, yang meliputi diagnosis yang tepat berdasarkan
gejala atau tes laboratorium, pemberian terapi efektif pada saat diagnosis,
pemberitahuan dan pengobatan pasangan, pengurangan risiko perilaku dan
penularan melalui edukasi, serta dilakukan konseling dan penyediaan kondom.
Dianjurkan skrining laboratorium yang meliputi tes serologis untuk sifilis, terutama
perempuan hamil dan tes HIV untuk semua pasien IMS.
F. Aspek Pencegahan dalam Pengobatan (Treatment as Prevention)
Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam
pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah
replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah.
Penurunan jumlah virus ini berhubungan dengan penurunan kadar virus dalam
duh genital dengan catatan tidak terdapat IMS. Penelitian observasional
menunjukkan penurunan penularan HIV pada pasangan serodiscordant (berbeda
status HIV nya) yang mendapatkan pengobatan ARV. Di RSUP Dr Kariadi terdapat
29 Suami dengan status HIV tetap negatif, sementara isterinya HIV positif dalam
pengobatan ARV yang teratur. Sekitar 50% isteri tetap negatif dari suami yang HIV
positif dengan pengobatan ARV teratur. Semakin banyak bayi dilahirkan dengan
HIV negatif dari pasangan suami isteri yang HIV positif.2,3,4

G. Positive Prevention
Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat terapi
ARV harus disertai dengan perubahan perilaku berisiko. Dengan demikian
terapi ARV harus disertai dengan pencegahan lain seperti, penggunaan
kondom, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan IMS dengan paduan
yang tepat.2,3,5

49
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

H. Kesiapan menerima terapi antiretroviral


ODHA harus mendapatkan informasi yang lebih mengutamakan manfaat terapi
ARV sebelum terapi dimulai. Bila informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal
sebelum memerlukan terapi ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih
panjang untuk mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang,
melalui konseling pra terapi ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat,
efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan
klinis dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk
pemeriksaan jumlah CD4.2,3,5

I. Saat Memulai Terapi ARV


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral
atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.2,3,5
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. Stadium Klinis 3 (ada TB Paru dan
Jamur di mulut) dan 4 (kurus kering) langsung diberikan terapi ARV.
b. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

J. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO)


yang Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan
atau diredakan sebelum terapi ARV. Pada pasien TB Paru, PCP, Kriptokokus, MAC
(Mycobacterium Avium Complex) ARV diberikan setidaknya 2 minggu setelah pasien
mendapatkan pengobatan infeksi opportunistik.
Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan Pemerintah menetapkan panduan
yang digunakan dalam pengobatan ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang
terserap dan berada dalam dosis terapeutik.2,3,5

50
PETRI Cabang Semarang 2016

K. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI.
(Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz)
Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi ARV:
1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine (NVP) dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama
14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama Zidovudin (AZT) atau
Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC). Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis
dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya.
Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2
minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal
tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP
yang muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama
lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
- NVP dan efavirenz (EFV) mempunyai efikasi klinis yang setara, keduanya bisa
saling menggantikan, jadi tidak boleh diberikan bersamaan.
- NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan
hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
- Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan
dan tidak boleh dimulai lagi
- Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP
dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan
lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama .
- Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki dengan
jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya.
- Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari.

51
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

- EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik, hanya
saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan NVP
- Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan
ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan
obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri
dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering
menyebabkan penghentian obat oleh pasien
- EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat, pada
perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester pertama.
- EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan koinfeksi TB/HIV yang mendapat
terapi berbasis Rifampisin. ( Dalam keadaan penggantian sementara dari
NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan
ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.3,4,5
2. Pilihan pemberian Triple NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
- Koinfeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
- Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan koinfeksi TB/HIV
- Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI.
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC+TDF.
Penggunaan triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat. 2,3,4,5
3. Penggunaan Zidovudin (AZT) dan Tenofovir (TDF)
- Zidovudin (AZT) dapat menyebabkan anemia dan intoleransi gastrointestinal.
- Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang
rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemia oleh penggunaan AZT.
- Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemia, yaitu antara lain
malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut.
- Tenovofir (TDF) dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5%
sampai 2%.

52
PETRI Cabang Semarang 2016

- TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan.
- TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.
4. Perihal penggunaan Stavudin (d4T)
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), TDF maupun
Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T,
mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan
neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan
kematian.Penelitian di RSUP Dr Kariadi didapatkan 60% efek samping dislipidemi
pada penggunaan stavudin.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan
untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman
pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara
bertahap mengganti penggunaan d4T dengan TDF.2,3,4,5
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah memutuskan
sebagai berikut:
• Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan belum
pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6
bulan
• Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai
obat substitusi gunakan TDF.
• Pada saat sekarang penggunaan d4T dianjurkan untuk dikurangi karena
banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara
bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah
stok nasional habis.

53
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)


Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) Tidak dianjurkan untuk terapi Lini
Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama
hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI
(Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan
kesempatan pilihan untuk Lini Kedua, mengingat sumber daya yang masih
terbatas.2,3,4,5

Kepustakaan
1. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI.
Laporan Kasus HIV-AIDS. September 2014.
2. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral pada Dewasa. 2011
3. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes
RI. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV terintegrasi di sarana kesehatan /
PITC. 2010
4. WHO Guideline HIV 2013
5. AIDS info: Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and
Adolescents 2014.

54
PETRI Cabang Semarang 2016

Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis Paru dan Terapi

Banteng Hanang Wibisono

Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia
terutama di negara sedang berkembang dan menginfeksi hampir sepertiga
penduduk dunia serta merupakan salah satu penyebab kematian utama dengan
angka kejadian yang terus meningkat sejak awal tahun 1980. Angka insiden terus
meningkat walaupun telah dilakukan pengobatan dengan obat anti TB dan vaksinasi
BCG. WHO melaporkan pada tahun 2009 insiden penyakit TB sebesar 9,2 juta
orang dan penemuan kasus baru dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif 4,1 juta
kasus dengan angka kematian setiap tahun sebesar 1,7 juta kasus.1,2
Laporan WHO tahun 2013 menyatakan Indonesia menduduki ranking ketiga
di dunia dengan estimasi prevalensi pada tahun 2012 sebesar 730.000 kasus
dan insidens sebesar 460.000 kasus dengan kematian sebesar 67.000 kasus.
Kejadian ini disebabkan oleh meningkatnya insiden TB-HIV sebagai komorbid dan
menimbulkan peningkatan jumlah dengan kasus baru 1,9% dan 12% yang
sebelumnya telah diobati timbulnya kejadian MDR-TB.1,3
Salah satu upaya menghadapi masalah TB pemerintah telah mengimplementasi
Directly Observed Treatment Shortcouse (DOTS) dan Programmatic Management of
Drug-Resistant Tuberculosis (PMDT). Juga melaksanakan 5 Komponen kunci yaitu;
komitmen politis, pemeriksaan dahak mikroskopis dengan dijamin mutunya, pengobatan
jangka pendek standar, tatalaksana tepat-pengawasan langsung pengobatan,
jaminan ketersediaan obat TB bermutu, sistem pencatatan dan pelaporan mampu
memberi penilaian hasil pengobatan pasien dan kinerja program keseluruhan.4
Mycobacterium tuberculosis (MTB)
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh karena infeksi basil Mycobacterium
tuberculosis (M.tb) yang terutama menyerang paru dan dapat juga menimbukan
kelainan di organ tubuh lainnya. MTB berbentuk batang, tidak bergerak, tidak
memiliki spora, panjang 1-10μm dan lebar 0,2-0,6μm dan setengah berat keringnya
terdiri dari lipid sebagai cadangan energi, hidrofobik, resisten jejas termasuk
berbagai golongan antibiotik, tahan asam dan pertumbuhannya lambat. Hidup
intraseluler dalam makrofag dan ekstraselular dalam kavitas, mati oleh sinar
matahari langsung dan bersifat dormant selama beberapa tahun. MTB membelah
setiap 12-24 jam pada keadaan optimal dan lambat bila dibandingkan bakteri lain
yang berduplikasi dalam waktu 15 menit sampai 1 jam. Pertumbuhan lambat ini

55
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

akibat impermiabilitas dinding sel terhadap asupan nutrien dan laju elongasi
sintesis RNA sepersepuluh dibandingkan DNA.1
Patogenesis
Infeksi tuberkulosis pada kebanyakan individu tidak diketahui tetapi pada
umumnya terjadi pada masa anak. Pada saat terhisapnya kebanyakan tuberkel
terperangkap di mukosa saluran napas bagian atas, trakea dan bronkus serta
dieliminasi oleh mekanisme pertahanan mukosiliar. Partikel atau droplet yang
berukuran kurang dari 5μm akan melewati dari barier mukosiliar dan mencapai
alveoli yang langsung difagositosis makrofag alveolar dan kelangsungan hidupnya
tergantung virulensi dan memfagositosis basilus dan kembali ke peredaran darah
yang menyebabkan penyebaran hematogen. Remodeling pada daerah infeksi
berupa pembentukan tuberkel atau granuloma yang berisikan makrofag yang
terinfeksi dikelilingi foamy makrofag.1,5
Basil tuberkulosis dapat menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah
bening regional membentuk kompleks primer dari Ranke (Gohns nodule, limfangitis
dan pembesaran hilus) yang selanjutnya melalui kelenjar getah bening hilus
menyebar ke kelenjar getah bening trakea dan vertebra serta melalui duktus
torasikus dan pembuluh darah ke apeks paru dan organ di luar paru. Apeks paru
merupakan tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan basil MTB, oleh karena
memiliki tekanan oksigen yang tingi dan perfusi darah yang rendah. Bila daya
tahan tubuh rendah maka lesi tuberkel akan membesar dan nekrosis perkejuan
akan mencair pada pusat lesi yang banyak mengandung basil MTB yang dialirkan
melalui bronkus dan terbentuk kavitas. Di dalam kavitas basil dengan mudah
bermultiplikasi dan dapat menyebar melalui saluran udara dan lingkungan luar
lewat dahak yang dibatukkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar.1.5

Gambar 1. Patogenesis infeksi MTB

56
PETRI Cabang Semarang 2016

Diagnosis
Klinisi disarankan melakukan skrining pada orang yang mempunyai risiko
tinggi terkena TB seperti; penderita HIV, immunocompromised, kontak penderita
TB, gambaran radiologis dada sesuai TB lama, berpergian ke daerah angka
kejadian TB tinggi, penderita diabetes melitus, silikosis, malignansi dan gagal
ginjal kronik, malnutrisi, petugas laboratorium TB, petugas di tempat yang padat
seperti penjara, panti jompo, nursing home dan fasilitas kesehatan lainnya.1,5,7
Seseorang diduga menderita TB paru bila terdapat batuk lebih dari 2 atau 3
minggu dengan produksi dahak dan penurunan berat badan. Adapun gejala klinis
respirasi berupa sakit dada, batuk darah dan sesak napas serta gejala konstitusi
demam, keringat malam dan kelelahan dan menurunnya nafsu makan. Pada
pemeriksaan tidak ada gejala yang spesifik dan tanda klinis adalah; demam,
takikardi dan auskultasi didapatkan crackles, suara dasar bronkial dan amforik.
Bila TB ekstraparu keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena seperti;
pembesaran kelenjar getah bening yang kadangkala mengeluarkan nanah, nyeri
dan pembengkakan sendi, sakit kepala, kaku kuduk dan gangguan kesadaran bila
mengenai selaput otak.1,5
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah pemeriksaan dahak secara
mikroskopis melalui pengumpulan dahak Sewaktu, Pagi dan Sewaktu atau SPS
dengan kualitas yang baik dan bila sulit mengeluarkan dahak dapat diberikan
tablet gliseril guaiakolat 200 mg malam hari sebelum tidur atau dengan induksi
dahak melalui nebulisasi cairan NaCl hipertonik. Penderita ditetapkan TB apabila
minimal satu pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif. Selanjutnya
dilakukan kultur dahak dan sensitivitas dan pemeriksaan radiologi dada. Jika TB
ekstra paru dapat berupa pemeriksaan biokimia seperti; adenosin deaminase (ADA)
atau IGRA dan pemeriksaan histopatologi dan molekuler dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Bila ada kecurigaan Multidrugs Resistan (MDR) pemeriksaan yang
cepat dengan GeneXpert. Apabila pemeriksaan bakteriologi hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dilakukan secara klinis dan pemeriksaan penunjang
setidaknya pemeriksaan radiologi dada. Pada sarana terbatas diagnosis klinis
dilakukan setelah pemberian antibiotik spektrum luas bukan obat Anti TB dan bukan
Kuinolon yang tidak memberikan perbaikan klinis. Juga tidak dibenarkan
mendiagnosis hanya berdasarkan pemeriksaan serologis, tuberkulin dan radiologi
dada saja. Adapun alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru dewasa dapat dilihat
pada gambar 2.1,5,7

57
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

  Batuk berdahak > 2 mg

Pemeriksaan Klinis,SPS

(+++) Rujuk ke Faskes Rujukan Tingkat Lanjut (‐ ‐ ‐ )


(‐++)
(‐‐+)

Foto Toraks mendukung Tidak bisa


Foto torak tidak TB , DR dirujuk
TB , DR

Terapi AB non 
Bukan TB OAT
Tidak 7‐14
hr
perbaikan
Pemeriksaan tes cepat / 
SPS Perbaikan
Pem Klinis ulang,SPS
M.TB (+) M.Tb (+)
M.tb(‐)
Rif Sens Rif Res) (‐‐‐)
(+++)
(‐++)
TB Observasi (‐ ‐ +)
Rujuk MDR

Pengobatan TB TPIK
Bukan TB
Kolaborasi TB HIV HIV (+)

Gambar 2. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru dewasa

58
PETRI Cabang Semarang 2016

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dapat dilihat pada tabel 1 berikut 5,6
:

Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis TB

59
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Klasifikasi dan Tipe penderita TB


Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang
sebagai penderita TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan
M.tuberculosis untuk kepentingan pengobatan dan survailans. Definisi penderita
TB; adalah berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis berupa
pemeriksaan mikroskopik langsung, biakan atau tes diagnosis cepat (GeneXpert).
Kelompok ini terdiri atas: Penderita TB paru BTA positif, TB paru hasil biakan positif
dan TB paru hasil tes cepat M.tb positif. Juga terdiri TB ekstra paru konfirmasi
bakteriologis BTA, biakan maupun tes cepat contoh uji jaringan terkena. Selanjutnya
penderita TB diagnosis secara klinis adalah TB paru BTA negatif dengan
pemeriksaan radiologi dada mendukung proses spesifik, penderita TB ekstra paru
didiagnosis secara klinis maupun laboratorium dan histopatologis tanpa konfirmasi
bakteriologi.5,6
Selain pengelompokan penderita sesuai definisi tersebut di atas juga
diklasifikasikan menurut; lokasi anatomi, riwayat pengobatan sebelumnya, hasil
pemeriksaan uji kepekaan dan status HIV. Klasifikasi berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya adalah, Penderita TB baru, Penderita yang pernah diobati
TB, penderita kambuh, penderita diobati kembali setelah gagal, pasien yang diobati
kembali setelah putus obat (lost to follow up). Berdasarkan uji kepekaan obat adalah;
Mono resisten TB (TB MR), Poli resisten TB (TB PR), TB MDR, TB XDR dan Resisten
Rifampisin (TB RR) dan bila berdasrkan status HIV adalah penderita TB dengan
HIV positif atau negatif.6

Terapi
Tujuan pengobatan penderita TB adalah: menyembuhan dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian dan kekambuhan, menurunkan
penularan dan terjadinya resistensi obat TB. Pengobatan non farmakologi berupa
makan bergizi dan tindakan lain seperti operasi lobektomi, pneumektomi dan
torakoplasti dengan tujuan menghilangkan bagian paru yang terinfeksi untuk
menghentikan penyebaran penyakit. Adapun prinsip pengobatan farmakologi yang
diberikan dalam bentuk panduan Obat Anti TB (OAT) yang tepat mengandung minimal
4 macam obat untuk mencegah resistensi, diberikan dalam dosis tepat dan diminum
teratur dengan pengawasan langsung (PMO) sampai selesai pengobatan. Tahapan
pengobatan meliputi; tahap awal dengan penderita mendapakan obat setiap hari
dan diawasi langsung dengan harapan potensi penularan menurun dalam waktu
setelah 2 minggu sehingga terjadi konversi negatif pada pemeriksaan dahak di
akhir terapi tahap awal ini. Kemudian memasuki tahap lanjutan dengan jangka
waktu lebih lama, jumlah obat berkurang untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis, sifat dan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 2.1,8

60
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 2. Jenis, sifat dan dosis obat anti TB

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan ( mg / kg BB)

Harian 3 X Seminggu

Isoniasid ( H ) Bakterisid 5 ( 4-6) 10 (8-12)

Rifampisin ( R ) Bakterisid 10(8-12) 10(8-12)

Pirazinamid ( Z ) Bakterisid 25(20-30) 35(30-40)

Streptomisin ( S ) Bakterisid 15(12-18)

Etambutol ( E ) Bakteriostatik 15(15-20) 30(20-35)

 
Panduan obat anti TB lini pertama digunakan pada penderita:
Kategori I : 2 (HRZE) / 4 (HR) 3 : Penderita baru TB BTA positif (konfirmasi
bakteriologis), Penderita TB Paru BTA negatif, foto radiologi dada proses spesifik
(klinis) dan penderita TB ekstra paru.
Kategori 2 : 2 (HRZE) S / (HRZE) / 5 (HR) 3 E 3; Penderita BTA positif yang telah diobati
sebelumnya tetapi penderita kambuh, gagal pengobatan kategori 1 sebelumnya dan
penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-up).8
Panduan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) yang untuk dewasa; kaplet 4 KDT
berisi 4 macam obat yaitu; Isoniazid 75 mg, Rifampisin 150 mg, Pirazinamid 400 mg
dan Etambutol 275 mg yang diberikan untuk pengobatan tahap awal selama 2 bulan.
Sedangkan tablet 2 KDT mengandung 2 macam obat yaitu; Isoniazid 75 mg dan
Rifampisin 150 mg untuk pengobatan tahap lajutan diberikan 3 kali seminggu
selama 4 bulan. Pengobatan kategori 2 dilengkapi dengan tablet Etambutol 400 mg
dan Streptomisin vial 1 gram. Penggunaan KDT memberikan beberapa keuntungan:
dosis dapat disesuaikan dengan berat badan penderita sehingga menjamin
efektifitas dan mengurangi efek samping, mencegah penggunaan obat tunggal
sehingga menurunkan risiko resistensi obat dan jumlah obat yang panduan obat
OAT Kombipak berupa paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid 300 mg,
Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 500 mg dan Etambutol 250 mg yang digunakan
untuk penderita yang mengalami efek samping. Tatalaksana pengobatan TB pada
ODHA adalah sama seperti penderita TB lainnya dan prinsipnya pengobatan TB
diberikan segera dan penting diketahui apakah penderita sedang atau belum
mendapat pengobatan ARV. Pengobatan ARV sebaiknya diberikan segera dalam
waktu 8 minggu pertama setelah dimulai pengobatan TB.8

61
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Panduan OAT TB resisten (MDR TB) di Indonesia digunakan obat lini


kedua yaitu: Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamid, Sikloserin,
Moksifloksasin dan PAS dan lini pertama Pirazinamid dan Etambutol. Pengobatan
standar yang digunakan pada penderita MDR TB / TB resisten Rifampisin (RR)
adalah: Km-Lfx-Eto-Cs-Z-(E) / Lfx-Eto-Cs-Z-(E) dan bila resisten Kanamisin maka
diberikan: Cm-Lfx-Eto-Cs-Z-(E) / Lfx-Eto-Cs-Z-(E) 8,9.
Pada pengobatan TB perlukan dilakukan pemeriksaan penunjang sebelum
diberikan oleh karena efek samping yang akan terjadi serta dipantau secara kontinu
selama pengobatan. Hasil pengobatan yang telah diberikan dicatat dan dilaporkan
dengan baik sebagai penderita; sembuh, pengobatan lengkap, gagal, meninggal,
putus obat dan tidak dapat dievaluasi oleh karena tidak diketahui hasil akhir
pengobatan seperti; penderita pindah (transfer out).
Ringkasan
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia terutama di negara sedang berkembang dan penyebab kematian utama.
Laporan WHO tahun 2013 menyatakan Indonesia menduduki ranking ketiga di
dunia.
Upaya penemuan kasus baru dengan pengumpulan sediaan yang baik
kualitasnya untuk dilakukan pemeriksaan yang optimal perlu ditingkatkan dan
melakukan skrining yang tepat pada orang mempunyai risiko terinfeksi TB.
Pengobatan standar yang menurut panduan dilaksanakan dengan baik dan
selalu waspada serta mengendalikan akan terjadinya efek samping akibat
pemberian obat TB. Sehingga kepatuhan dan keberhasilan pengobatan
meningkat dalam upaya mencegah penderita menjadi TB MDR bahkan TB XDR
serta kematian.
Daftar Pustaka
1. Soeroto AY. Tuberkulosis. Dalam: Dahlan Z. Amin Z, Soeroto AY eds. Kompendium Tata
Laksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. Edisi 1. CV. Sarana Ilmu Bandung. 2012:
129-41.
2. World Health Organization W. Global Tuberculosis Control. 2010. Geneve 2010.
3. World Health Organization W. Global Tuberculosis Contro Report 2013. Geneve 2013.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta 2007.
5. Schaaf HS, Zumla A. Tuberculosis A Comprehensive Clinical Reference. I st ed. Saunders
Elsevier. 2009.

62
PETRI Cabang Semarang 2016

6. Kementrian Kesehatan RI. Penemuan Pasien Tuberkulosis. Materi Inti 2. Pelatihan


Tatalaksana TB Bagi Pengelola Program TB di Fasilitas Kesehatan. Jakarta 2015.
7. Friedman LN. Tuberculosis Current Concepts and Treatment. 1st ed. CRC Press, Inc.1994.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pengobatan Pasien Tuberkulosis. Materi Inti 3. Pelatihan
Tatalaksana TB Bagi Pengelola Program TB di Fasilitas Kesehatan. Jakarta 2015.
9. World Health Organization. Companion Handbook to the WHO Guidelines for programmatic
management drug-resistence tuberculosis. Geneve. 2014.

63
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

64
PETRI Cabang Semarang 2016

Pemilihan Antibiotik Bijak

Budi Riyanto

Infeksi dan antibiotik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sejak
ditemukan penisilin (1926) sudah berjuta manusia tertolong oleh antibiotik.
Sekarang ini perkembangan antibiotik mengalami masa surut. Bahkan ada yang
menyebut sebagai masa “kiamat”nya antibiotik. Hal ini tidak lepas dengan maraknya
kuman-kuman yang resisten terhadap antibiotik, bahkan dengan antibiotik yang
paling canggih sekalipun. Sebelum penisilin, anti infeksi yang digunakan adalah
derivat sulfat (Salvarsan 1910). Beberapa dasawarsa kemudian terjadi
perkembangan yang sangat pesat, ditemukan berbagai antibiotik baru dengan
struktur kimia yang berbeda beda. Tetapi paling tidak sudah satu dasawarsa ini
tidak ada penemuan antibiotik baru. Kalaupun ada antibiotik baru, merupakan derivat
dari antibiotik yang sudah ada.
Menyadari masalah yang kita hadapi sekarang ini, maka dalam setiap
penggunaan antibiotik haruslah didasari pengetahuan yang cukup, paling tidak
tentang: jenis, indikasi, kontra indikasi, cara pemberian, lama pemberian dan tentu
saja harga. Harga disini penting disebutkan karena banyak antibiotik bagus tetapi
harganya selangit. Pertimbangkan kemungkinan pilihan antibiotik lain yang
mempunyai kemampuan sama tetapi harga terjangkau.
Saat ini deviasi penggunaan antibiotik semakin meningkat terutama karena
dorongan beberapa faktor. Ada dua faktor utama, yang pertama faktor pasien antara
lain: obsesi pasien untuk cepat sembuh mendorong dokter untuk segera
menuliskan resep. Kedua adalah faktor dokter. Faktor dokter antara lain: keterbatasan
waktu untuk menegakkan diagnosis, keterbatasan sarana (khususnya kultur), serta
minimnya pengalaman menggunakan antibiotik.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi dokter dalam menulis resep antibiotik
antara lain: sedikitnya informasi antibiotik, informasi tidak adekuat atau tidak
seimbang, serta faktor “kebiasaan” menulis resep. Semua keadaan tersebut akan
mempengaruhi seorang dokter dalam menulis resep. Dan semua keadaan tersebut
diatas menyebabkan pemilihan antibiotik menjadi tidak tepat serta mendorong
meningkatnya resistensi antibiotik.
Penulisan dan penggunaan antibiotik sering dihubungkan dengan kasus
demam. Masalahnya banyak diantara kita yang masih berpendapat bahwa pasien
demam HARUS diberikan antibiotik. Padahal tidak semua demam atau kenaikan

65
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

suhu selalu berhubungan dengan proses infeksi. Kenaikan suhu tubuh yang bukan
karena infeksi adalah: Demam karena obat, proses hormonal, reaksi transfusi,
Neuroleptic Malignant Syndrome, proses keganasan, penyakit jaringan ikat dan
adanya corpus alienum dalam tubuh, dan lain-lain. Seharusnya setiap kasus
demam dilakukan assesmen lebih dahulu sebelum memutuskan untuk perlu
tidaknya diberikan antibiotik.
Sekarang dikenal banyak panduan pemberian antibiotik untuk infeksi tertentu.
Kita boleh memilih salah satunya. Dan terpenting harus berbasis pola kuman
ditempat kita sendiri. Disarankan, makin dini pemberian antibiotik makin baik. Tetapi
kita tetap harus bijak dan hati hati. Setiap kali akan memberi antibiotik, sebelumnya
harus dibuat skenario lebih dahulu. Dilihat faktor-faktor yang ada pasien seperti
keadaan umum dan penyakit penyerta, serta bagaimana kita merencanakan
pemeriksaan untuk menyakininya. Setelah itu baru dipilihkan antibiotik yang tepat.
Pemberian antibiotik bijak minimal harus memenuhi syarat: tepat indikasi, tepat
dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu (awal dan lama pemberian).
Beberapa contoh, cara pemilihan antibiotik pada kasus tertentu dan antibiotik
yang dipakai.

Tabel 1. Panduan pemberian antibiotik rekomendasi ATS-IDSA untuk pasien dengan HCAP

66
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 2. Panduan pemberian Antibiotik pada kaki diabetik

Tabel 3. Panduan pemberian antibiotik pada Febrile Netropeni

67
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Table 4. Panduan pemberian antibiotik pada infeksi jaringan lunak

68
PETRI Cabang Semarang 2016

Acute Kidney Injury (AKI) pada Pasien Infeksi (Sepsis)

Lestariningsih

Pendahuluan
Definisi
Acute Kidney Injury Network (AKIN) membuat inisiatif untuk memperbaiki
outcome Acute kidney injury (AKI) adalah sindrom klinis yang ditandai adanya
penurunan fungsi ginjal yang mendadak disertai dengan fungsi dan struktur ginjal
menjadi abnormal, atau marker kerusakan ginjal antara lain pemeriksaan darah
dan urin yang abnormal, pemeriksaan imaging kurang dari 3 bulan.
Kriteria Diagnosis AKI :
• Penurunan fungsi ginjal yang mendadak (dalam 48 Jam) :
• Kadar kreatinin meningkat >0.3 mg/dl (>25 mikromol/L)
• Serum kreatinin meningkat >1,5 kali dari awal dalam waktu 7 hari
• Atau reduksi output urin (oliguria) <0.5 ml/kg/hr for >6 jam)
Sepsis sering sebagai penyebab AKI pada pasien dalam keadaan critical ill
disebut dengan septic associated AKI (SA-AKI) dalam perawatan di ruang Intensive
Care Unit (ICU), kejadian SA-AKI sekitar 50%. Sepsis adalah suatu keadaan infeksi
yang serius disertai respon inflamasi (systemic inflammatory response syndrome)
organ sistemik, kejadian dan beratnya AKI berkorelasi dengan berat dan infeksi
penyebab sepsis. AKI pada sepsis menunjukkan sepsis yang berat dan syok septik
dengan outcome yang buruk antara lain lama rawat inap, pemakaian ventilator,
mortalitas lebih tinggi dibanding AKI non sepsis. Sekitar 15-20% pasien yang dirawat
diruang ICU dirawat dengan SA-AKI, dan sekitar 2%-3% memerlukan tindakan
renal replacement therapy. Mortalitas cukup tinggi sekitar 40-55%. Pada studi
epidemiologi dilaporkan bahwa pada AKI berhubungan erat dengan chronic kidney
diseases, end stage kidney diseases. Dalam evaluasi AKI merupakan predisposisi
disfungsi organ yang berkepanjangan dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Hal yang penting diperhatikan dalam tata kelola sepsis adalah terapi optimal
dan efektif terhadap penyakit yang mendasari sepsis serta evaluasi ketat
kemungkinan terjadinya SA-AKI untuk mencegah injury ginjal. Antibiotika resisten
mikroba yang diberikan serta status immunocompromised perlu diketahui untuk
mencegah dan terapi SA-AKI. 1,2,3,4

69
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Staging AKI
AKI dibagi menjadi 3 staging berdasarkan beratnya gejala klinis dan
laboratorium, pembagian ini sebagai dasar tindakan tata kelola untuk pertimbangan
dimulainya technical treatment. Pasien AKI pada stage 3 mulai dipikirkan untuk
tindakan technical treatment. Dalam perjalanan klinik bila recovery tidak baik maka
terjadi stage 4 dan 5, untuk stage 5 sifatnya irreversible (telah terjadi nekrosis
tubular yang irreversible)

K-DIGO 2012 2,3

70
PETRI Cabang Semarang 2016

Patogenesis SA-AKI
Patogenesis SA-AKI belum diketahui secara pasti, banyak fenomena yang
diajukan dalam patogenesis SA-AKI, antara lain perubahan hemodinamik intrarenal,
disfungsi endotel, infiltrasi sel inflamasi ke parenkim ginjal, trombosis
intraglomerular, obstruksi intratubular oleh sel nekrosis dan debris. Semua ini
mengakibatkan ischemic reperfusion dan injury ginjal. Perkembangan dari AKI
dipengaruhi oleh mekanisme reaksi pro inflammatory dan anti inflammatory. Setelah
mikroba berinteraksi dengan sel segera akan mengaktivasi innate immune
response sebagai respon pertahanan yang melibatkan komponen sistem imun
seluler dan humoral. Dalam bentuk sekresi beberapa sitokin secara berlebihan,
antara lain yang penting adalah IL-1, TNF alfa, dan IL-6 yang berakibat perubahan
hemodinamik serta disfungsi organ dan syok sepsis, hemodinamik menjadi tidak
stabil dan berakibat renal blood flow menjadi berkurang.2,5,6

Pada saat yang bersamaan terjadi compensatory anti inflammatory immune


response yang menekan produksi sitokin dan antigen presentasi oleh monosit
serta menekan proliferasi limfosit dan mengaktivasi apoptosis, keadaan ini terjadi
secara bersamaan. Anti inflammatory cytokine (soluble thrombomodulin) dan
sekresi stem cell oleh MMP-9 sebagai efek anti apoptotik melalui aktivasi cKit.
Toll-like receptors-4 (TLRs-4) adalah protein yang mempunyai peran penting dalam
merubah innate immune system. Produksi TLR-4 teraktivasi oleh invasi patogen
ke membran sel.

71
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Sitokin Inflamasi dikaitkan perubahan hemodinamik

Jalur patogenesis yang terlibat dalam sepsis juga memiliki dampak pada
patofisiologi Sepsis-induced acute Kidney injury

72
PETRI Cabang Semarang 2016

Patologi ginjal
Biopsi ginjal menunjukkan gambaran akut tubular nekrosis dan mitosis
multipel sebagai tanda regenerasi sel tubulus.
Mikroskop cahaya pada nekrosis tubular akut menunjukkan hilangnya sel epitel
tubular (tanda panah) dan oklusi parsial lumen tubular oleh debris selular.

Mikroskop cahaya pada fase Recovery nekrosis tubular akut menunjukkan


mitosis (panah) multipel yang menandakan regenerasi sel tubular.

73
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Biomarker SA-AKI

Sepsis
Ischemic insult
Nephrotoxic insult

Ischemia-reperfusion Endotoxin release Complement activation

Pro-inflamato ry - An ti-inflamatory
mediato rs m ed iato rs
/
Oxygen free radicals Arachidonic acid
metabolities
Nitric oxide Cellular activation Proteases
Heat shock proteins (PMN, endothelial cells…) Chemokines

Endothelins Platelet activating factor

↑ Urinary KIM-1, NAG Acute kidney injury ↑ Serum cr eatinine

↓ Urine output ↓ GFR


Pathog enic me ch anism o f sepsi s re lated acu te ki dne y injury

Perjalanan penyakit AKI nonseptik dan SA-AKI sangat berbeda secara


patofisiologi, respon klinis dan terapi/intervensi. Kadar IL-18 lebih meningkat pada
SA-AKI dibanding AKI nonseptik, kadar IL18 yang tinggi sebagai prediksi
memburuknya AKI dalam 24-48 jam, serum kreatinin meningkat diikuti dengan
oliguria.4,5,6,7
Tata kelola SA-AKI
1. Mengenali risiko sepsis dan diagnosis dini sepsis serta AKI, beratnya sepsis
berpengaruh terhadap prognosis AKI, terapi antibiotika yang rasional dan
efektif, terapi suportif cairan dan nutrisi sebagai target terapi. Pemeriksaan
urin untuk deteksi AKI (NGAL, IL-18, FeNa, cystatin-C, serum kreatinin)
dilakukan secara dini.
2. Target terapi molekular adalah target apoptotic pathway inhibitor dan supresi
pro inflammatory cascade. Modulasi oksidasi fosforilasi mitokondria melalui

74
PETRI Cabang Semarang 2016

pemberian antioksidan mungkin menguntungkan pada SA-AKI mengingat


adanya nekrosis tubular akibat hipoksia yang diinduksi oleh reactive oxygen
spesies (ROS) dan sintesis NO yang berkurang. Eritropoetin disebut berperan
sebagai renal anti inflammatory, vasopressin dosis kecil.
3. Dialisis atau Renal replacement therapy sesuai indikasi, pada stage 3 mulai
dipertimbangkan
a. CRRT : hemodinamik tidak stabil, biaya tinggi, perlu antikoagulan dosis
tinggi karena pemakaiannya 3-5 hari terus menerus
b. Hemodialisis hybride (sustained low efficiency dialysis/SLED)4,5,6,7,8,9

Sustained low efficiency dialysis

75
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Kesimpulan
SA-AKI merupakan komplikasi sepsis berat, dasar patogenesisnya adalah
adanya aktivasi proinflammatory serta kekuatan anti inflammatory untuk
menghambat SA-AKI serta recovery. Tata kelola infeksi sangat penting diperhatikan
untuk eradikasi kuman patogen. Kriteria staging AKI berdasar penurunan fungsi
ginjal dan produksi urin. Deteksi dini biomarker seperti IL-8 dan NGAL penting
untuk menghambat perburukan AKI. Terapi pengganti ginjal perlu dipertimbangkan
pada AKI stage 3. SLED merupakan hemodialisis yang dipilih karena petimbangan
biaya dan sangat efektif.
Daftar pustaka
1. Mehta R. AKIN criteria . Crit Care Med, 11:2, R21, 2007
2. Uchino et al. JAMA , 2005,294:813-818
3. KDIGO Guideline AKI, 2012
4. UpToDate 2016
5. Zarjou A, Agarwal A. Sepsis and Acute Kidney Injury.J Am Soc Nephrol 22: 999–1006,
2011
6. Alobaidi R et al. Sepsis - associated acute kidney injury. Seminars in Nephrology, 2015;
35: 2-11
7. Prowle, J. R. et al. Nat. Rev. Nephrol. 2014,10: 37–47
8. Nguyen et all. Sepsis and septic shock. Ann Emer Med. 2006,48:24-58
9. Jefferson A, Thurman MM, Schrier RW. Pathophysiology and Etiology of Acute Kidney
Injury. IN : Clinical Nephrology 2015.

76
PETRI Cabang Semarang 2016

Pengelolaan Demam Berdarah Dengue:


Rawat Jalan versus Rawat Inap

Nur Farhanah
A. Pendahuluan
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis
dan sub tropis. World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia
sebagai salah satu negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia
merupakan negara dengan endemis dengue dari gejala yang ringan, self limiting
disease hingga manifestasi klinis yang berat sebagai demam berdarah dengue.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang padat mencapai 245
juta penduduk. Hampir 60% penduduk tinggal di pulau Jawa, daerah dengan
kejadian luar biasa infeksi dengue sering terjadi.1,2
Virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue
penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai
4 jenis serotipe (Den-1-4).3,4
Deteksi dini kasus demam berdarah dengan anamnesis, pemeriksaan kondisi
klinis dan pemeriksaan penunjang. Konfirmasi diagnosis dapat dilakukan dengan
deteksi antibodi, deteksi antigen atau isolasi virus. Imunoglobulin M (Ig M) umumnya
dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam, meningkat hingga
minggu ke-3, kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga
hari ke-60 hingga hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi
dibandingkan infeksi sekunder. Pada infeksi primer, Imunoglobulin G (Ig G) dapat
terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi
pada hari ke-2. Pemeriksaan antigen capture (NS-1) dapat dilakukan di awal fase
demam dengan puncaknya pada hari ke-3. 3,4
Dalam tata laksana kasus infeksi dengue, dikarenakan penyebabnya virus
maka tidak ada pengobatan yang spesifik. Terapi supportif diperlukan terutama
pada kondisi syok. Pemahaman mengenai perjalanan penyakit terutama perubahan
fase demam ke fase kritis sangatlah penting. Sebagian besar infeksi dengue adalah
ringan dan dapat rawat jalan, maka diperlukan skrining dan monitoring demam .
Deteksi dini terjadinya perembesan plasma (saat suhu turun) adalah kunci tata
laksana infeksi dengue. 5

77
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

B. Pendekatan Diagnosis Demam Berdarah Dengue


Pasien umumnya pasien mencari pertolongan medis di awal fase demam.
Pada fase awal sangatlah sulit dalam memprediksi kemungkinan penyebab
demam. Beratnya penyakit umumnya terjadi pada masa transisi antara fase
febris menuju fase afebris (defervescence), biasanya terjadi 72 jam setelah
demam. Pada fase kritis akan dijumpai peningkatan permeabilitas kapiler,
berlangsung selama 24-48 jam dan lebih sering pada kasus infeksi sekunder
dengue. Fase kritis akan diikuti oleh fase penyembuhan (recovery). Keberhasilan
penanganan dengue adalah pengenalan tiap fase dan fenomena apa yang
harus diwaspadai. 3,4,6

Gambar 1. Fase perjalanan penyakit 7

Daily ambulatory assessment pada fase demam sangat penting untuk


menghindari perawatan yang belum diperlukan dan juga untuk mendeteksi
kemungkinan ke arah dengue berat. Manajemen komprehensif rawat jalan, deteksi
dini dan manajemen syok diharapkan dapat menyelamatkan hidup pasien. 5

78
PETRI Cabang Semarang 2016

Hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan outcome klinis yang baik
adalah : 3,4,6
1. Pengenalan secara dini dan melakukan diagnosis banding penyakit.
2. Identifikasi problem klinis selama fase dengue terutama pengenalan tanda-
tanda syok
3. Pendekatan rasional untuk manajemen rawat jalan, rawat inap dan sindrom
syok dengue.
A. Langkah Pendekatan Manajemen Dengue 4,6

Langkah 1 : Anamnesis riwayat penyakit


Langkah 2 : Pemeriksaan klinis
Langkah 3 : Investigasi
Langkah 4 : Diagnosis berdasarkan fase dengue dan derajat beratnya
Langkah 5 : Keputusan

Gambar 2. Pendekatan Manajemen Dengue 4

79
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Evaluasi Klinis 4,6

Langkah ke-1:
- Informasi mengenai onset demam
- Gejala klinis dan beratnya sakit
- Tiga pertanyaan penting mengenai : intake cairan (kuantitas dan tipe cairan),
output urin, aktifitas selama sakit
- Adakah muntah atau diare
- Adanya warning signs terutama setelah 72 jam demam
- Keluarga atau tetangga dengan dengue atau pergi ke daerah endemis dengue
- Obat-obat yang dikonsumsi
- Faktor risiko penyakit lain
Langkah ke-2:
Penilaian: status mental, hidrasi, perfusi perifer, hemodinamik, adakah takipnue/
nafas kussmaul, nyeri perut, hepatomegali, asites, rash, manifestasi
perdarahan, tes tourniquet
Langkah ke-3:
Apabila fasilitas memungkinkan lakukan pemeriksaan darah rutin lengkap
saat pertama kali datang hingga fase kritis terlewati. Pemeriksaan laboratorium
spesifik harus dilakukan untuk konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tambahan
(fungsi liver, elektrolit serum, ureum, kreatinin glukosa, bikarbonat atau laktat,
EKG) dipertimbangkan pada pasien dengan komorbid atau klinis berat.
Langkah ke-4:
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang maka ditentukan
kemungkinan diagnosis dengue, fase dengue ada tidaknya warning signs,
status hidrasi.
Langkah 5:
penilaian pasien perlu rawat jalan atau rawat inap;
Kelompok A: Rawat jalan; Kelompok B: Rawat inap dan Kelompok C:
memerlukan manajemen gawat darurat dan kemungkinan dirujuk.

80
PETRI Cabang Semarang 2016

Manajemen Kelompok 4, 6

Kelompok A :
Memberikan informasi yang jelas dan lengkap tentang langkah-langkah yang
harus dilakukan, seperti : bed rest, kecukupan cairan adekuat, konsumsi obat
parasetamol untuk demam yang tinggi (tidak mengkonsumsi ibuprofen, aspirin,
NSAID lain yang dapat menyebabkan gastritis, perdarahan gastrointestinal.
Memberi informasi tentang warning signs dan untuk segera membawa ke RS
bila menemukan tanda tersebut. Perawatan di RS pada fase demam dimungkinkan
untuk mereka yang memiliki komorbid atau faktor risiko lain, dan harus dievaluasi
hingga 24-48 jam bebas demam.

Kelompok B :
Kelompok yang harus dirawat inap di RS untuk observasi ketat pada fase
kritis, termasuk pasien dengan : warning signs (meski tanpa syok), faktor risiko
seperti kehamilan, usia lanjut, obesitas, diabetes mellitus, hipertensi, gagal jantung,
gagal ginjal, anak-anak <1 tahun, dan termasuk indikasi sosial seperti hidup sendiri
atau jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemberian cairan pengganti pada pasien dengan warning signs merupakan
kunci mencegah terjadinya syok. Observasi harus dilakukan selama fase kritis 24-
48 jam.

Kelompok C:
Pasien dengan dengue derajat berat yang memerlukan tindakan emergensi
atau dirujuk. Pasien pada kondisi fase kritis dengan : plasma leakage yang berat
sehingga terjadi syok, perdarahan yang masif atau adanya kegagalan organ yang
berat (fungsi liver, ginjal, kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis).

81
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Penatalaksanaan di Rumah Sakit

"
Bagan 1. Tatalaksana DBD derajat I dan II 4, 6, 8
"
" cairan awal : RL/NaCl 0.95/RA : 5‐7 cc/kg/jam 
(1‐2jam) ; 3‐5 cc/kg/jam (2‐4jam) ; 2‐3  
cc/kg/jam atau kurang (evaluasi baik, ganti 
cairan rumatan) 

"
 

82
PETRI Cabang Semarang 2016

Pemantauan selama perawatan meliputi :


1. Tanda- tanda vital :
- Keadaan umum, suhu, nadi, frekuensi nafas dan tekanan darah setiap
2-4 jam.
- Muntah, perdarahan dan warning signs.
- Perfusi perifer untuk mendeteksi awal gejala syok.
2. Pemeriksaan hematokrit dan trombosit dilakukan sebelum resusitasi, dan
diulang setiap 4-6 jam.
3. Pemantauan volume urin; target jumlah urin 1 ml/KgBB/jam.

II. Sindrom Syok Dengue Terkompensasi


• Berikan oksigen 2‐4L/menit
• Cek kadar hematokrit
•Kristaloid RL/RA 10‐20ml/kg.BB bolus dalam10‐20 menit

[c Tidak
Syok teratasi
IVFD 10ml/kg.BB, 1‐2 jam  Periksa Ht, AGD, gula darah,  
kalsium, perdarahan (ABCS) *
Koreksi asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia
Tanda vital stabil
Turunkan IVFD bertahap
Ht naik Ht turun
7, 5, 3 , dan 1,5 ml/kg.BB/jam

Bolus ke-2 dg kristaloid atau


Koloid 10-20ml/kg.BB Perdarahan
Stop IVFD
dalam 10-20 menit Tidak jelas
maksimal 48 jam 
setelah syok teratasi
Koloid 10-20ml/kg.BB
Transfusi darah
dalam 10-20menit , jika syok
(Acidosis, Bleeding, Calsium, Sugar) * menetap dianjurkan transfusi

Bagan 2. Sindrom Syok Dengue Terkompensasi 4, 6, 8

83
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

III. Sindrom Syok Dengue Dekompensasi

• Berikan oksigen 2‐4L/menit


• Periksa hematokrit, AGD, gula darah,  kalsium, perdarahan (A‐B‐C‐S)
• Kristaloid atau koloid 10‐20ml/kg.BB dalam 10‐20 menit

Ya Syok teratasi Vkfcm

IV FD 10ml/kg.BB, 1 /4"lco" Evaluasi Ht, AGD, gula darah,  


kals ium, perdarahan (ABCS)
Koreksi asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia
Tanda vital s tabil
Turunkan IVFD bertahap
7, 5, 3 , dan 1,5 ml/kg.BB/jam
Ht naik Ht turun

Bolus ke-2 dg kristaloid atau


Koloid 10-20ml/kg. BB Perdarahan
dalam 10-20 menit
Stop I VFD Tidak jelas
maksimal 48 jam 
setelah syok teratasi Koloid 10-20ml/kg.BB
dalam 10-20menit, jika syok Transfusi darah
menetap dianjurkan transfusi

Bagan 3. Sindrom Syok Dengue Dekompensasi 4, 6, 8

Pemantauan berkala meliputi untuk sindrom syok dengue :


- Tanda vital setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam bila fase kritis sudah
terlewati.
- Analisis gas darah, kadar glukosa darah, kalsium pada saat masuk RS
terutama pasien syok dekompensasi atau syok yang berkepanjangan.
- Hematokrit diperiksa saat pemberian cairan resusitasi pertama dan kedua,
selanjutnya setiap 4-6 jam.
- Produksi urin harus ditampung dan diukur.

84
PETRI Cabang Semarang 2016

Apabila telah memasuki fase pemulihan maka kriteria yang dapat


digunakan untuk memulangkan pasien adalah: 3,6
- Tidak adanya demam selama 2 x 24 jam tanpa antipiretik
- Nafsu makan membaik
- Tampak perbaikan klinis
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit cenderung meningkat (>50.000/ul)
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura / asidosis)

Daftar Pustaka
1. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan
RI. Buletin Jendela Epidemiologi, 2010 :2
2. Hadinegoro SR, Karyanti MR. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di Indonesia.
Sari Pediatri 2009;10(6): 423-32
3. WHO. Dengue and severe dengue. Available at: http://www.who.int/ mediacentre/
factsheets/fs117/en/.
4. WHO/TDR. Handbook for Clinical Management of Dengue 2012. Geneva, 2012. Available
at: http://apps.who.int/iris/ bitstream/10665/76887/1/9789241504713 eng.pdf.
5. Lum LCS, Ng CJ, Khoo EM. Managing dengue fever in primary care : A practical approach.
Malays Fam Physician 2014;9(2):2-10
6. World Health Organiztion, Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines
for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and
expanded edition 2011
7. Yip WCL. Dengue haemorrhagic fever. Current approach to management. Medical
Progress. 1980; 7 (13): 201-9
8. Pedoman Pengendalian demam beradarh dengue di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI,
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2013.

85
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

86
PETRI Cabang Semarang 2016

Mengenal Zika (Zika Virus Disease)

Muhammad Hussein Gasem

Pendahuluan
Sejak laporan pertama kasus Zika di Brazil pada 2015, virus penyakit ini
menyebar dengan cepat ke benua Amerika, terutama Amerika Selatan, Karibean,
dan negara-negara lain.1 Sejarah mencatat bahwa virus dari genus Flaviridae
tersebut, ditemukan pertama kali di hutan Zika di Uganda pada 1947, dan
selanjutnya kasus-kasus infeksi virus Zika dilaporkan, termasuk kejadian luar
biasa (KLB) di Afrika, Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik sampai dengan
2015.2 Paling sedikit 14 kasus Zika telah dicatat sampai tahun 2007, mungkin
kasus-kasus lain tidak dilaporkan karena manifestasi klinisnya mirip dengan
penyakit infeksi lain.3
Etiologi, Transmisi dan Manifestasi Klinis
Virus ditularkan oleh nyamuk genus Aedes (Ae aegypti, Ae albopictus, Ae
africanus, atau Ae hesilli). Transmisi virus kepada pejamu terjadi saat pengisapan
darah (gigitan nyamuk), selanjutnya terjadi replikasi virus dan dapat ditularkan
kepada binatang reservoir pada gigitan nyamuk berikutnya. Penularan virus Zika
tanpa vektor adalah secara kongenital, perinatal, dan seksual. Secara teoritis,
kemungkinan penularan lain adalah lewat tranfusi darah, gigitan binatang dan
paparan di laboratorium.1,3
Manifestasi klinis Zika yang paling sering adalah demam akut, nyeri kepala,
artralgia, konjungtivitis, malaise dan ruam kulit makulopapular, gambaran klinis ini
akan menghilang dalam beberapa hari. Zika jarang fatal, tetapi komplikasi yang
terjadi seperti mikrosefali atau defek susunan saraf lain seperti sindrom Guillian-
Barre menjadi isu terpenting penyakit ini.3 Peningkatan kasus mikrosefali pasca
KLB di Brazil dan Polinesia, menimbulkan dugaan bahwa mikrosefali pada bayi
baru lahir dari ibu hamil yang terinfeksi virus Zika, mempunyai korelasi kuat dengan
penyakit ini. Tidak lama sesudah itu, pada awal 2016, W.H.O mendeklarasikan
infeksi virus Zika sebagai Public Health Emergency of International Concern yang
berpotensi pandemik.2
Transmisi lokal terjadi di sejumlah negara dan akan terus menyebar ke daerah
daerah baru. Di Indonesia, dilaporkan satu kasus confirmed Zika pada pasien
demam akut dewasa tanpa riwayat bepergian (sebagai subyek penelitian KLB

87
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

dengue di Jambi 2015), yang tidak terbukti dengue.4 Baru-baru ini, kasus baru Zika
dilaporkan di Afrika, bahkan penyakit ini diprediksi akan masuk ke negara-negara
Eropa pada musim panas tahun ini. Pada Mei 2016, kasus pertama Zika di
Singapura telah dikonfirmasi diagnosisnya pada pasien demam akut yang baru
berkunjung ke Brazil.5

Mikrosefali dan Kelainan Otak lain


Berdasarkan analisis terakhir, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
kausal antara infeksi virus Zika prenatal dan mikrosefali maupun kelainan serius
otak. Struktur virus Zika sudah berhasil ditentukan, dimana ada variasi glikoprotein
E yang dapat menerangkan kemampuan virus ini menyerang sel-sel saraf termasuk
adanya asosiasi antara virus Zika dengan cacat lahir mikrosefali dan sindrom
Guillian-Barre. Bukti-bukti yang digunakan untuk mendukung hubungan kausal
tersebut yaitu infeksi virus Zika selama perkembangan prenatal yang konsisten
dengan defek yang diobservasi yaitu suatu fenotip spesifik yang jarang (mikrosefali
dan kelainan otak lainnya pada janin atau bayi) dan adanya infeksi virus Zika (dugaan
maupun terkonfirmasi) ditambah data yang mendukung biologic plausibility
termasuk identifikasi virus Zika dalam jaringan otak janin atau bayi yang menderita
kelainan tersebut.6

Pencegahan
Virus Zika harus difikirkan sebagai salah satu etiologi demam akut pada
pasien dengan gejala klinis mirip Zika atau pada kasus undiagnosed acute febrile
illness dengan riwayat bepergian dari daerah KLB Zika seperti Brazil atau negara-
negara dengan transmisi aktif virus Zika oleh nyamuk. 6,7 Perlu diberikan saran
kepada ibu hamil untuk tidak melakukan perjalanan ke daerah dengan transmisi
aktif virus Zika. Jika tetap akan bepergian, berikan nasehat kepada ibu hamil
tentang risiko terinfeksi virus Zika dan bagaimana penularaan serta
pencegahannya.3

Kepustakaan
1. Plourde AR, Bloch EM. A Literature Review of Zika Virus. Emerg Infect Dis 2016;22:7.
http://dx.doi.org/10.3201/eid2207.151990
2. Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/zika/about/index.html
3. Zika. https://www.nih.gov/health-information
4. Perkasa A, Yudhaputri F, Haryanto S, Hayati RF, Ma’roef CN, Antonjaya U et al. Isolation
of Zika Virus from Febrile Patient, Indonesia. Emerg Infect Dis 2016;225:5 http://dx.doi.org/
10.3201/eid2205.151915

88
PETRI Cabang Semarang 2016

5. First Case Of Zika Virus Infection In Singapore. http://www.nea.gov.sg/corporate-


functions/newsroom/news-releases/first-case-of-zika-virus-infection-in-singapore
6. Rasmussen SA, Jamieson DJ, Honein MA, Petersen LA. Zika Virus and Birth Defects,
Reviewing the Evidence for Causality. NEngl JMed 2016;5: 1-7
7. Editorial. Zika virus at the games: is it safe? Lancet Infect Dis 2016; 6:619.

89
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

90
PETRI Cabang Semarang 2016

Aspek Etika, Disiplin dan


Hukum Rujukan Medisdi Era JKN

Djoko Widyarto JS

Abstrak
Salah satu komponen dalam menjamin pemberian pelayanan kesehatan yang
berkualitas adalah pelayanan rujukan.Pada hakikatnya sistim rujukan adalah
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
baik vertikal maupun horisontal yang mempunyai aspek etika, disiplin dan hukum.
Di era JKN saat ini muncul beberapa isu yang berkaitan dengan masalah etika
dan hukum dalam pelayanan profesi kedokteran. Masalah ini timbul karena adanya
limitasi tertentu dalam aturan perundang-undangan yang menyebabkan profesi
kedokteran dalam posisi yang dilematis antara penerapan keilmuan dan
kemandirian profesi dengan pembatasan-pembatasan dalam peraturan
perundangan di bidang kesehatan. Oleh karena itu maka dalam menjalankan
pengabdian profesinya para dokter diharapkan dapat memahami aspek etika,
disiplin dan hukum khususnya dalam pelayanan rujukan dengan tetap menjunjung
tinggi KODEKI, Sumpah Dokter dan perundang-undangan yang berlaku.
Kata kunci: rujukan, KODEKI, Sumpah Dokter,perundang-undangan, JKN

Pendahuluan
Etika profesi sebagai salah satu ciri sebuah profesi merupakan rambu-rambu
sikap tindak yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh para anggota profesi. Sebagai
salah satu profesi yang luhur, setiap anggota profesi kedokteran senantiasa wajib
menjunjung tinggi dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
dan Sumpah Dokter. Namun kini sepertinya masalah etika ini terasa kurang
mendapat perhatian dan seakan-akan telah hanyut tergerus oleh derasnya arus
hedonisme yang melanda seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
dimana semua aspek kehidupan hanya dinilai dan diukur dari sisi materi saja dan
menafikan aspek-aspek moral dan etika.
Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 2 menyebutkan bahwa setiap dokter
wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen,

91
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Di dalam


cakupan pasalnya dikatakan bahwa pengambilan keputusan profesional dan
perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi itu merupakan kombinasi selaras,
serasi dan seimbang antara keputusan medis teknis dengan keputusan etis yang
berasal dari totalitas pelayanan terhadap pasien. Sementara itu di dalam
penjelasan pasalnya disebutkan bahwa setiap dokter diharapkan dapat
melaksanakan kebebasan profesi sepenuhnya dalam bentuk upaya maksimal demi
kepentingan terbaik pasien.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa praktik
kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Dalam menjalankan
praktik kedokteran setiap dokter atan dokter gigi mempunyai beberapa kewajiban
sebagaimana diatur di dalam UU No. 29 tahun 204 tersebut yang antara lain
adalah mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi, membuat
rekam medik, mendapat persetujuan sebelum melakukan tindakan medik,
menyimpan rahasia kedokteran, menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya,
memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi
yang mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, melakukan pertolongan darurat
atas dasar perikemanusiaan, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Mencermati dari hal-hal tersebut diatas maka dirasakan perlunya pemahaman
bahwa bagi setiap dokter dalam menjalankan pengabdian profesinya wajib
melakukan upaya maksimal sesuai standar profesi, standar prosedur operasional,
sesuai kebutuhan dan keselamatan pasien, dan menyelenggarakan kendali mutu
dan kendali biaya serta merujuk ke dokter yang mempunyai keahlian dan
kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan dan
pengobatan.
Interaksi Dokter
Di era perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat yang melanda seluruh
belahan dunia beberapa tahun terakhir ini sehingga saat ini dunia seolah-olah tanpa
batas, saling terkoneksi satu sama lain dengan jaringan informasi yang sangat
terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Suatu kejadian yang terjadi di suatu
tempat dengan sangat mudah dan cepatnya di upload melalui jaringan internet
dan disebarkan ke segala penjuru dunia yang kemudian bisa dengan mudah
diakses oleh orang di belahan dunia yang lain. Demikian juga dalam menjalankan
profesinya pada saat ini dokter tidak lagi hanya berinteraksi terbatas dengan pasien

92
PETRI Cabang Semarang 2016

beserta keluarganya dan dengan kolega serta tenaga kesehatan lainnya, tetapi
juga dengan para pebisnis/industri termasuk industri farmasi dan alat kesehatan,
penanggung jawab pembiayaan, birokrasi dan/atau pengambil keputusan, lembaga
swadaya masyarakat, dan bahkan juga dengan masyarakat internasional, dan
sebagainya.
Dengan semakin kompleknya interaksi dokter dengan para pemangku
kepentingan dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang
terkadang saling tumpang tindih dan bahkan beberapa diantaranya terjadi
disharmoni, disertai dengan beragamnya permasalahan dalam pelayanan
kesehatan maka, sebagai konsekuensinya semakin besar pula risiko profesi
kedokteran dalam menghadapi isu dugaan pelanggaran termasuk pelanggaran
etika, disiplin kedokteran atau hukum.
Situasi Pelayanan Kedokteran di Indonesia
Kesehatan merupakan hak konstitusi setiap warga Negara yang dijamin oleh
UU 1945 sebagaiman diatur di dalam beberapa pasal UUD 1945 sebagai berikut:
UUD 1945 Pasal 28 h ayat (1) menyebutkan bahwa:
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh
pelayanan kesehatan.
Sementara Pasal 34 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa,
Ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan
Ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan
fasilitas umum yang layak.
Dari kedua pasal dalam UUD 1945 tersebut diatas jelas sekali mengatur
tentang kewajiban negara dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi
rakyatnya yang semuanya itu tujuannya adalah untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat antara lain adalah regulasi di
bidang kesehatan, kualitas SDM, distribusi SDM, sistem pelayanan, pembiayaan
kesehatan, lingkungan, adat istiadat kebiasaan masyarakat, sarana prasarana,
perbekalan kesehatan, dan peran serta masyarakat.
Karena perubahan global maupun kebijakan lokal pada saat ini situasi
pelayanan kesehatan di Indonesia telah menghadapi tantangan yang sangat besar
dengan ditandai adanya:

93
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

• pergeseran paradigma dalam pelayanan kesehatan,


• isu kualitas pelayanan kesehatan,
• adanya revolusi di bidang Information Communication dan Technology,
• isu liberalisasi pelayanan kesehatan (AEC/MEA)
• adanya ketidak seimbangan di berbagai bidang pelayan kesehatan,
• masalah hukum dan perundangan yang masih belum tertata dengan baik,
• masyarakat Indonesia yang cenderung menjadi litigious society,
• pembiayaan kesehatan yang belum sesuai UU Kesehatan,
• masalah remunerasi yang dirasa belum memadai dibanding rentang tanggung
jawab dan risiko yang harus dihadapi
• isupelayanan kesehatan di Era JKN, dan sebagainya.
Bagi profesi kedokteran tantangan tersebut harus disikapi secara bijaksana
dengan langkah-langkah strategis yang memadai dengan pemberian pelayanan
yang berkualitas berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan keselamatan pasien
serta mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi pelayanan. Pada intinya upaya
tersebut bermuara pada peningkatan profesionalisme dokter dimana hal ini
menyangkut 3 (tiga) aspek yaitu knowledge, skill dan professional attitude.
Disamping itu perlu juga dilakukan advokasi kepada para pembuat kebijakan
dibidang kesehatan agar semua kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan
manfaat tidak saja bagi penerima pelayanan namun juga bagi pemberi jasa
pelayanan serta bagi pengelola program JKN itu sendiri. Yang juga tidak kalah
pentingnya adalah komunikasi dan sosialisasi setiap kebijakan kepada seluruh
masyarakat dan juga para profesi kesehatan agar dapat memahami aturan-aturan
yang ada.
Etika Profesi
Salah satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya etika profesi yang dimiliki
oleh profesi tersebut. Etika profesi ini merupakan rambu-rambu yang mengatur
sikap tindak setiap anggota profesi tersebut sehingga wajib dipatuhi oleh setiap
anggota. Sebagaimana profesi yang lain, profesi kedokteran juga mempunyai etika
profesi yang dikenal sebagai Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Pada
saat ini KODEKI yang kita pakai adalah KODEKI versi tahun 2012 yang agak berbeda
dengan KODEKI versi sebelumnya tahun 2002. Perbedaan itu tidak saja dalam
jumlah pasalnya yang bertambah dari 17 (tujuh belas) pasal menjadi 21 (duapuluh
satu) pasal tetapi juga dalam setiap pasalnya dilengkapi dengan cakupan pasal,
penjelasan pasal dan juga penjelasan cakupan pasal. Sementara itu jumlah
Kewajiban di dalam KODEKI versi 2012 ini tetap sama dengan KODEKI versi 2002

94
PETRI Cabang Semarang 2016

ada 4 (empat) Kewajiban yaitu Kewajiban Umum meliputi 13 (tiga belas) pasal,
Kewajiban Terhadap Pasien 4 (empat) pasal, Kewajiban Terhadap Sejawat 2 (dua)
pasal dan Kewajiban Terhadap Diri Sendiri 2 (dua) pasal.
Dengan adanya tambahan kelengkapan ini diharapkan para dokter bisa lebih
mudah memahami kandungan yang ada di dalam KODEKI.
• Kewajiban Umum:
Di dalam Kewajiban Umum mencakup 13 (tiga belas) pasal yang intinya
adalah:
a. Pasal 1: menunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah/janji dokter
b. Pasal 2: pengambilan keputusan profesional secara independen, dan
mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran tertinggi
c. Pasal 3: tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi
d. Pasal 4: menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri
e. Pasal 5: perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya
dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien
f. Pasal 6: berhati-hati dalam mengumumkan/menerapkan setiap penemuan
teknik/pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya/hal yang dapat
meresahkan masyarakat
g. Pasal 7: hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya
h. Pasal 8: memberi pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis
dan moral, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas martabat
manusia
i. Pasal 9: jujur terhadap pasien dan sejawat. Mengingatkan sejawat kalau
ada kekurangan
j. Pasal 10: menghormati hak pasien, sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya, dan menjaga kepercayaan pasien
k. Pasal 11: melindungi hidup mahluk insani
l. Pasal 12: pelayanan komprehensif promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, baik fisik maupun psiko-sosio-kultural pasien serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat

95
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

m. Pasal 13: dalam bekerjasama dengan pejabat lintas sektoral di bidang


kesehatan, bidang lainnya serta masyarakat, wajib saling menghormati
• Kewajiban Terhadap Pasien
Di dalam Kewajiban Terhadap Pasien terdapat 4 (empat) pasal yang intinya
adalah:
a. Pasal 14: tulus ikhlas dan menggunakan seluruh kemampuannya untuk
kepentingan pasien dan apabila tidak mampu, atas persetujuan pasien/
keluarganya wajib merujuk ke dokter yang lebih mampu
b. Pasal 15: memberi kesempatan pasien untuk berinteraksi dengan
keluarga dan penasihatnya termasuk untuk beribadat dan keperluan
pribadi
c. Pasal 16: merahasiakan yang diketahui tentang pasien, bahkan setelah
pasien itu meninggal dunia
d. Pasal 17: melakukan pertolongan darurat sebagai wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya
• Kewajiban Terhadap Teman Sejawat
Kewajiban terhadap teman sejawat ada 2 (dua) pasa yang intinya adalahl:
a. Pasal 18: memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan
b. Pasal 19: tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis
• Kewajiban Terhadap Diri Sendiri
Kewajiban terhadap diri sendiri ada 2 (dua) pasal yang intinya adalah:
a. Pasal 20: memelihara kesehatan
b. Pasal 21: mengikuti perkembangan IPTEKDOK

Dengan memahami KODEKI sebagaimana disebutkan diatas pada hakekatnya


setiap dokter wajib untuk mengamalkan sumpah dokter, melakukan pengabdian
profesinya sesuai standar profesi dengan upaya maksimum, tulus ikhlas, jujur,
memberikan pertolongan darurat, memegang teguh rahasia kedokteran,
kemandirian profesi, menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga

96
PETRI Cabang Semarang 2016

kesehatan lainnya, menjaga kesehatan diri sendiri serta mengikuti perkembangan


IPTEKDOK.
Sistem Rujukan
Untuk memberikan pedoman bagi profesi kesehatan dalam melaksanakan
pelayanan rujukan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan
Permenkes No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan. Di dalam Permenkes tersebut disebutkan bahwa Sistem Rujukan
pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara
timbal balik baik vertikal maupun horisontal.
Beberapa hal penting yang diatur di dalam Permenkes ini antara lain adalah:
· Sistim rujukan ini diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan
kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan
· Pelayanan kesehatan dilakukan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis
dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama
· Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya diberikan atas rujukan tingkat
pertama
· Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya diberikan atas rujukan tingkat dua
atau tingkat pertama
· Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter
gigi pemberi pelayanan tingkat pertama
· Ketentuan tersebut dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana,
kekhususan permasalahan kesehatan pasien dan kondisi geografis
· Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar
yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas
perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/
lembaga pelayanan kesehatan dan rumah sakit pratama
· Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik
· Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
subspesialistik oleh dokter subspesialis yang menggunakan pengetahuan
dan teknologi subspesialis

97
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

· Rujukan wajib dilakukan apabila ada kebutuhan medis, kecuali dengan alasan
yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya
· Rujukan harus mendapat persetujuan pasien dan/atau keluarganya, setelah
mendapat penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang
Tantangan Pelayanan di Era JKN
Sejak diundangkan dan berlakunya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004 maka, sebenarnya era
baru dalam pemberian jaminan sosial bagi masyarakat di Indonesia telah dimulai.
Disebutkan di dalam UU SJSN ini bahwa tujuan dari SJSN ini adalah memberikan
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/
atau anggota keluarganya. Oleh karena itu di dalam skema jaminan sosial ini ada
5 (lima) jenis program jaminan sosial yaitu : jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Di dalam UU SJSN ini juga disebutkan bahwa SJSN diselenggarakan
berdasarkan pada prinsip:
1. Kegotong royongan;
2. Nirlaba;
3. Keterbukaan;
4. Kehati-hatian;
5. Akuntabilitas;
6. Portabilitas;
7. Kepesertan wajib;
8. Dana amanat, dan
9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
UU SJSN ini juga mengamanahkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) harus dibentuk dengan Undang-Undang. Lebih lanjut UU SJSN juga
memerintahkan bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS
disesuaikan dengan UU ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU ini diundangkan.
Ternyata UU yang mengatur tentang BPJS yaitu UU No. 24 tahun 2011 baru lahir
setelah 7 (tujuh) tahun dari lahirnya UU SJSN. Dari kedua UU ini kemudian lahirlah
beberpa ketentuan perundangan dibawahnya sebagai aturan pelaksana yaitu
meliputi Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan

98
PETRI Cabang Semarang 2016

Menteri Kesehatan (Permenkes) dan juga Peraturan BPJS, yang kesemuanya


mengatur implementasi JKN.
Dengan telah dimulainya Program JKN pada 1 Januari 2014 maka sebenarnya
telah terjadi perubahan yang mendasar atas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Perubahan-perubahan yang mendasar itu antara lain adalah:
1. Pemberlakuan Sistem Rujukan Berjenjang yang lebih “ketat” dimana peserta
wajib ke fasilitas kesehatan primer dahulu dan tidak boleh langsung datang
ke fasiltas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) tanpa rujukan dari fasilitas
kesehatan primer, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
2. Masyarakat yang kurang mampu yang sebelumnya mendapat pelayanan
melalui program JAMKESMAS maka, sejak 1 Januari 2014 disebut sebagai
Penerima Bantuan Iuran (PBI) sementara bagi masyarakat yang mampu
melalui program peserta mandiri dengan membayar premi bulanan yang
jumlahnya ditentukan, dan bagi peserta eks askes, jamsostek, ASABRI dan
sebagainya, dilanjutkan dengan membayar premi yang besarnya sesuai
dengan golongannya.
3. Tidak ada lagi sistim pembayaran “fee for service”melainkan berubah dengan
sistim yang disebut dengan “prospective payment” dimana untuk Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dengan sistem kapitasi, sedangkan untuk
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dengan sistem INA
CBG’s. Dimana tarif INA CBG’s ini besarannya berbeda tergantung kelas
Rumah Sakit (kelas A lebih tinggi dibanding kelas B dan seterusnya) baik
untuk pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Namun, tidak ada perbedaan
tarif bagi Rumah Sakit Swasta dengan Rumah Sakit Pemerintah. Besaran tarif
INA CBG’s saat ini dirasa oleh sebagian rumah sakit belum memenuhi nilai
ekonomis, khususnya bagi rumah sakit swasta.
4. Dalam Program JKN ini penggunan obat dan bahan medis habis pakai (BMHP)
diatur penggunaannya di dalam FORNAS dan Kompendium Alat Medis Habis
Pakai. Ada beberapa obat dan bahan medis habis pakai yang bisa di klaim
secara terpisah diluar pakat INA CBG’s.
5. Bagi peserta yang ingin naik kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya,
dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan
atau membayar sendiri selisih tarif yang ditanggung BPJS dengan dengan
biaya yang harus dibayar karena kenaikan kelas tersebut. Namun, tentang
urun biaya sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 40 th 2004 Pasal 22 ayat
(2) dan (3) sampai saat ini belum diatur dengan jelas. Perpres No. 28 tahun
2016 pasal 24 sendiri juga masih menimbulkan multi tafsir.

99
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

6. Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu kendali biaya BPJS Kesehatan


membentuk Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) yang dapat melakukan:
a. Sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik
profesi sesuai kompetensi;
b. Utilization review dan audit medis; dan/atau
c. Pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan
d. Dalam kasus tertentu TKMKB dapat meminta informasi tentang identitas,
diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan
peserta dalam bentuk salinan/fotokopi rekam medis kepada fasilitas
kesehatan sesuai kebutuhan.
7. Banyaknya peraturan perundangan yang sering berubah dan saling tumpang
tindih, bahkan kadang menimbulkan disharmoni diantara perundangan yang
ada sehingga menimbulkan kebingungan di tataran pelaksana sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum.
8. Disamping itu ternyata BPJS Kesehatan bukan hanya sekedar berfungsi
sebagai penyelenggara program tetapi juga diberi kewenangan atribusi
sebagaimana diatur di dalam UU No. 40 tahun 2004 pasal 24 ayat (3).
9. Dari sisi etika profesi pada saat ini dokter berada dalam posisi yang sangat
dilematis dalam menjalankan pengabdian profesinya terutama dikaitkan
dengan masalah rahasia kedokteran, kemandirian profesi, rujukan berjenjang
dan pemenuhan terhadap hak-hak pasien
Aspek Disiplin Profesi
Walaupun UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak secara
tegas menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan disiplin kedokteran, namun
setidaknya pasal 55 dari UU Praktik Kedokteran berikut penjelasannya secara tidak
langsung paling tidak telah sedikit memberikan gambaran tentang disiplin profesi
kedokteran. Sebagaimana disebutkan di dalam penjelasan ps. 55 bahwa yang
dimaksud dengan “penegakan disiplin” adalah penegakan aturan-aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti
oleh dokter atau dokter gigi. Sementara itu menurut Per KKI No. 4 tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi disebutkan bahwa Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi adalah ketaatan terhadap aturan-aturan dan/
atau ketentuan penerapan keilmuan dalam melaksanakan praktik kedokteran.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa disiplin profesi adalah kepatuhan
anggota profesi untuk mengikuti standar pelayanan kedokteran di dalam
memberikan pelayanan kepada pasien.

100
PETRI Cabang Semarang 2016

Berkaitan dengan Standar Pelayanan Kedokteran, Permenkes No. 1438 tahun


2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran menyebutkan bahwa Standar Pelayanan
Kedokteran meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar
Prosedur Operasional (SPO). Lebih lanjut dijelaskan bahwa PNPK merupakan
standar pelayanan yang bersifat nasional dan dibuat organisasi profesi serta
disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sementara SPO yang disusun dalam bentuk
Panduan Praktik Klinik (clinical practical guideline), yang dapat dilengkapi dengan
alur klinis (clinical pathway), algoritma, protokol, prosedur atau standing order, dibuat
dan ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian
maka dapat dikatakan bahwa kepatuhan untuk mengikuti standar pelayanan
kedokteran tidak lain adalah kepatuhan untuk mentaati PNPK dan SPO.
Sementara itu berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran No. 4 tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi yang diundangkan dan mulai
berlaku sejak 15 Maret 2012, sebagai pengganti dari Keputusan KKI No. 17/KKI/
KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran, disebutkan
ada 28 bentuk pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi yaitu:
a. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten;
b. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
kompetensi yang sesuai;
c. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kompetensi;
d. Menyediakan dokter pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahu perihal penggantian tersebut;
e. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik atau
mental yang tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;
f. Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu
yag dapat membahayakan pasien;
g. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien;
h. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada pasien
atau keluarganya;
i. Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya,
wali atau pengampunya;
j. Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medik, dengan sengaja;

101
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

k. Melakukan perbuatan yang bertujuan menghentikan kehamilan yang tidak


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri atau keluarganya;
m. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, ketrampilan
atau teknologi yang belum diterima atau diluar tata cara praktik kedokteran
yang layak;
n. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical
clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah;
o. Tidak melakukan pertolongan darurat padahal tidak membahayakan dirinya,
kecuali dia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
p. Menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan
terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan
etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku;
q. Membuka rahasia kedokteran;
r. Membuat surat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut;
s. Turut serta dalam tindakan yang termasuk tindakan penyiksaan atau eksekusi
mati;
t. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya yang tidak sesuai ketentuan etika profesi atau peraturan
perundangan yang berlaku;
u. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan
terhadap pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran;
v. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya;
w. Menerima imbalan sebagai hasil merujuk, meminta pemeriksaan, atau
memberikan resep obat/alkes;
x. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan
yang dimiliki baik lisan maupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan;
y. Adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya;
z. Berpraktik dengan STR, SIP dan/atau SERKOM yang tidak sah atau berpraktik
tanpa memiliki SIP sesuai dengan ketentuan perundangan;

102
PETRI Cabang Semarang 2016

aa. Tidak jujur dalam menentukan jasa medik;


bb. Tidak memberikan informasi , dokumen, dan alat bukti lainya yang diperlukan
MKDKI/ MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran
disiplin profesional dokter dan dokter gigi.
Aspek Hukum
Setiap subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum maka tidak akan
lepas dari risiko yang kemungkinan timbul akibat perbuatan hukum tersebut sebagai
tanggung jawab hukum. Demikian juga dengan dokter yang melakukan praktik
kedokteran, dalam menjalankan pelayanan rujukan juga tidak terlepas dari tanggung
jawab hukum. Tanggung jawab hukum ini meliputi sisi administrasi, perdata
maupun pidana.
Dari sisi administrasi pelayanan rujukan telah banyak diatur di dalam
Permenkes No. 001 tahun 2012, yang meliputi indikasi medis dan kebutuhan
pasien, prasyarat rujukan, persetujuan pasien dan/atau keluarganya, tata cara
rujukan, dan sebagainya.
Dari sisi perdata pada dasarnya setiap perbuatan yang mengakibatkan
kerugian kepada pihak lain maka pihak yang mengakibatkan timbulnya kerugian
mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang timbul. Secara umum tentang
ganti rugi ini diatur di dalam KUH Perdata pasal 1365, 1366 dan 1367 yang pada
intinya adalah setiap perbuatan hukum yang merugikan orang lain, mewajibkan
orang menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian dan setiap bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaiannya serta juga wajib bertanggung
jawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang menjadi tanggungannya.
Tentang ganti rugi ini juga disebutkan di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran pasal 66 ayat (3) yang menyebutkan bahwa pengaduan ke
MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan. Demikian juga hal ini diatur di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 58 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan
yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan dan/ atau kelalaiannya. UUNo. 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 77 ayat (1) juga meyebutkan bahwa
setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

103
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Sedangkan dari sisi pidana banyak hal yang perlu dicermati dalam dikaitnya
dengan pelayanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan masalah
pelayanan rujukan, antara lain adalah:
· Tidak merujuk ke dokter yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan sebagaimana diatur di dalam UU No. 29 tahun 2004 pasal 51
huruf b, dengan ancaman pidana denda 50 juta.
· Masalah pembiaran yang semestinya harus dilakukan pertolongan
sebagaimana diatur di dalam KUHP pasal 304, diancam dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
· Masalah tidak memberikan pertolongan dalam kondisi gawat darurat yang
mengakibatkan korban meninggal dunia sebagaimana diatur di dalam KUHP
pasal 351, diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan.
· Kewajiban memberikan pertolongan dalam keadaan gawat darurat juga diatur
di dalam UU No. 36 tahun 2009 pasal 190 ayat (1) dengan ancaman pidana
penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 200 juta. Apabila
menimbulkan kematian maka pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/
atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak 1 Milyar
· Membuat surat keterangan palsu, sebagaimana diatur di dalam KUHP pasal
267, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Masalah lain tentang etika yang tidak langsung berkaitan dengan implementasi
JKN yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media adalah isu gratifikasi dikalangan
profesi kedokteran. Dari sisi hukum sebenarnya masalah gratifikasi sudah
cukup diatur di dalam UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui
dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
khususnya Pasal 12 B. Sedangkan secara etika profesi-KODEKI juga sudah
memberi rambu-rambu terutama yang diatur di dalam Pasal 3 tentang kemandirian
profesi dan juga Pasal 8 yang menekankan pemberian pelayanan yang kompeten
ysng disertai dengan kebebasan teknis dan moral.
Yang masih menjadi perdebatan pada saat ini adalah apakah sponsorship di
dalam P2KB itu melanggar ketentuan?. Dari aspek etika baik itu etika bisnis maupun
etika profesi secara nasional maupun internasional, pemberian sponsorhip untuk
profesi kedokteran dalam program P2KB itu tidak melanggar etika, termasuk
KODEKI, Kode Etik International Pharmaceutical Manufactures Groups (IPMG) , IFPMA
Code of Practice (International Federation of Pharmaceutical Manufacturers and
Associations), APEC Mexico City Principles dan juga World Medical Association

104
PETRI Cabang Semarang 2016

Statement. Namun, semuanya semua kode etik tersebut membatasi hanya untuk
registrasi, transportasi, penginapan dan makan serta hanya untuk dokter yang
bersangkutan dan tidak untuk pendamping dokter serta pembatasan-pembatasan
lainnya seperti pemberian tidak boleh dalam bentuk cash, hanya dijadwalkan untuk
H-1 sampai H+1, tidak boleh menginap di hotel bintang 5 dan tiket pesawat juga
tidak boleh kelas bisnis, dan sebagainya.
Dalam kesempatan pertemuan antara KPK, Kemkes, IPMG dan PB IDI
beberapa saat yang lalu telah ada kesepakatan bersama yang akan ditindak lanjuti
dengan akan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan tentang Gratifikasi dalam
Profesi Kedokteran.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah:
a. Pada hakekatnya aspek etika di dalam profesi kedokteran itu melibatkan
hubungan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan dengan pasien
beserta keluarganya sebagai pengguna jasa pelayanan, antara dokter dengan
teman sejawatnya, tenaga kesehatan lainnya serta pihak-pihak yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan.
b. Beberapa isu etika profesi dalam pelayanan kedokteran di era JKN yang
mengemuka saat ini antara lain adalah masalah Rahasia Kedokteran,
Kemandirian Profesi, Pemenuhan Hak Pasien, Rujukan Berjenjang, dan isu
Gratifikasi dalam profesi kedokteran.
c. Dari aspek Disiplin Profesi, masalah pelanggaran disiplin yang berkaitan
dengan pelayanan rujukan telah diatur di dalam Peraturan KKI No. 4 tahun
2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
d. Dari sisi hukum yang berkaitan dengan pelayanan rujukan diatur di dalam
beberapa UU antara lain dalam KUH Perdata, KUHP, UU No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, dan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
dan sebagainya.
e. Dokter wajib memahami dan mencermati aspek etika, disiplin dan hukum
serta mencegah agar jangan terjadi pelanggaran di dalam memberikan
pelayanan rujukan bagi para pasiennya.

105
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Kepustakaan
1. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
4. UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional
5. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
6. UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
7. UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
8. Perpres No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah dirubah dengan
Perpres No. 111 tahun 2013
10. Permenkes No. 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di RS
11. Permenkes No. 001 tahun 2012 tentang Sistim Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
12. Permenkes No. 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN sebagaimana
telah dirubah dengan Permenkes No. 99 tahun 2015
13. Permenkes No. 14 tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian
Kesehatan
14. Peraturan KKI No. 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi
15. Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012
16. International of Federation Pharmaceutical Manufacturers and Association Code of Practice
2012
17. Kode Etik International Pharmaceutical Manufacturers Group
18. APEC Mexico City Principles
19. WMA Statement concerning the Relationship between Physicians and Commercial
Enterprises

106
PETRI Cabang Semarang 2016

Infeksi Cacing pada Manusia:


Problem dan Manifestasi Klinisnya

Budi Riyanto

Infeksi cacing pada manusia, lebih sering menggunakan istilah “investasi”


cacing. Infeksi cacing dan parasit lainnya digolongkan kedalam penyakit yang
“Neglected”. Mungkin anggapan ini benar adanya, karena kenyataannya penyakit
ini sering “diabaikan” atau “terabaikan”. Kita lupa bahwa sebagai bentuk infeksi,
sangat merugikan. Keberadaan cacing dalam tubuh manusia termasuk golongan
parasit. Dia ini hidup dengan “nunut” kepada induk semang.
WHO dalam deklarasi London (tahun 2012) menargetkan infeksi cacing pada
manusia sudah tidak ada lagi pada tahun 2020. Infeksi cacing pada manusia terjadi
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah, sanitasi lingkungan jelek.
Infeksi cacing pada manusia, sering kali kemunculannya tidak selalu mudah
diketahui. Infeksi cacing pada usus misalnya, sekarang ini seringkali terdiagnosis
secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan endoskopi. Manifestasi klinis seperti:
anemia, batuk lama, gatal-gatal, ikterus, gangguan pertumbuhan (pada anak),
gangguan pencernaan, ileus, kejang, sampai dengan kesadaran menurun dapat
merupakan manifestasi adanya cacing dalam manusia.
Efek sekunder infeksi cacing pada manusia dapat diakibatkan karena:
- Perubahan imun: menyebabkan rentan terhadap manusia
- Infeksi kronik: meningkatkan morbiditas
- Malnutrisi: anoreksia
- Gangguan kognitif: menyebabkan gangguan proses belajar, kurang konsentrasi
Secara morfologi cacing yang dapat menyerang manusia dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu: cacing gilig (nematoda), cacing pita dan cacing pipih (trematoda).
Ketiga cacing ini termasuk kedalam cacing yang bisa ditularkan melalui tanah
(soil-transmitted helminthiasis). Manifestasi klinis infeksi cacing sangat tergantung
besar/volume dan lokasi infeksi cacingnya.
Nematoda, bentuk bulat, mempunyai rongga tubuh dan menyerang langsung
kedalam saluran cerna dan anus, contohnya: Ascaris, Trichiuris, Ankylostoma,
Necator, Enterobius (cacing kremi), dan Strongyloides. Cacing pipih (Platyhelminthes),
bentuknya pipih, bagian atas dan bawahnya datar, tidak mempunyai rongga dalam

107
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

tubuhnya dan kalau ada saluran makanannya buntu. Cacing pipih dibagai menjadi
dua yaitu: cacing pita (cestoda) dan Trematoda. Ada golongan cacing trematoda
yang endemik di Indonesia, yaitu: Schistosoma Yaponicum di Danau Lindu, Sulawesi
tengah.
Nematoda, dibagi menjadi Nematoda usus/karena hidup di usus, dan
nematoda jaringan. Nematoda usus antara lain: E. vermicularis (cacing kremi),
Ascaris lumbricoides, Ankylostoma duodenale (cacing tambang), Necator
americanus, Trichuris trichiura dan Trichinella spiralis.
Sedangkan nematoda jaringan hidup di saluran/jaringan limfoid, yaitu: W.
bancrofti dan Brugia malayi. Golongan nematoda jaringan yang lain hidup di jaringan
sub cutis, mereka adalah Dracunculus medinesis, Loa loa dan Onchocerca volvulus.
Pada beberapa daerah di Indonesia yang menggunakan daging babi sebagai
makanannya. Infeksi cacing pita masing sering dijumpai. Dalam keadaan imun
yang rendah, dapat bermanifestasi sebagai Cerebral cysticercosis. Yang dalam
keadaan klinik dapat disalah interpretasikan sebagai tumor otak.
Filariasis, juga masih endemik di beberapa propinsi di Indonesia. Filariasis
menyebabkan cacat yang sukar disembuhkan walaupun dengan tindakan operasi.

Tabel 1. Nematoda dan penyakit yang diakibatkannya

108
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 2. Tanda dan gejala infeksi cacing.

Tabel 3. Obat anti helmintik.

109
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Tabel 4. Sumber penularan, diagnosis dan anti helmintik

110
PETRI Cabang Semarang 2016

Infeksi Susunan Saraf Pusat

Retnaningsih

1. Pendahuluan
Infeksi susunan saraf pusat atau meningitis didefinisikan sebagai peradangan
dari dua membran yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang, yaitu
piamater dan arakhnoid yang disebut juga meninges, membentuk ruang
subarakhnoid yang diisi dengan cairan tulang belakang. Ensefalitis didefinisikan
sebagai proses inflamasi otak dan mengakibatkan suatu kondisi defisit neurologis
yang nyata, meliputi penurunan kesadaran.1 Yang termasuk dalam Infeksi pada
susunan saraf pusat diantaranya: meningitis, meningoencefalitis, encefalitis, abses
otak dan mielitis. Seluruh infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman non spesifik,
kuman spesifik, parasit atau jamur. Selain infeksi, keadaan ini dapat juga
disebabkan “toxic mediated syndrome”, karena toksin berreaksi spesifik terhadap
jaringan. Keadaan ini disebabkan oleh kuman Clostridium tetani (tetanus) atau
Clostridium botulinum (botulismus).2,3

2. Epidemiologi
Insiden meningitis bakteri mengalami penurunan setelah pelaksanaan vaksin.
S. pneumoniae diidentifikasi menjadi penyebab utama meningitis bakteri di Amerika
Serikat, tetapi mengalami penurunan yang signifikan dalam insiden dan kematian
setelah adanya pengenalan vaksin konjugasi dan penurunan angka kematian yang
berhubungan dengan rekomendasi untuk penggunaan deksametason tambahan
untuk meningitis Pneumokokus. Angka meningitis Streptococcus pneumoniae
menurun dari 0-8 per 100.000 orang pada tahun 1997, dengan 0-3 per 100.000
orang pada akhir tahun 2010 (RR 0,3737, 95% CI 0,1825-0,7656). Kematian dari
meningitis Pneumokokus menurun antara tahun 2005 (0,049 per 100.000 orang)
dan 2008 (0,024 per 100.000 orang) dibandingkan dengan tahun 2002 (0,073 per
100.000 orang) dan 2004 (0,063 per 100.000 orang; RR 0,5720, 95% CI 0,4303-
0,7582). Kejadian infeksi Neisseria meningitidis menurun dari 0,721 per 100.000
orang pada tahun 1997, dengan 0,123 per 100.000 orang pada tahun 2010 (RR
0,1386, 95% CI 0,048-0,4284. Meningitis di daerah Afrika sub Sahara memiliki pola
epidemiologis yang khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis
belt meliputi kurang lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana,
Togo, Benin, Niger, Nigeria, Chad, Kamerun, Republik Afrika Tengah, dan Sudan.4,5,6
Penelitian oleh Jannis dan Hendrik di RSUP. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
mengenai mortalitas meningitis dalam kurun waktu 9 tahun (1 Januari 1997 s/d 31
Desember 2005) didapatkan 273 pasien meningitis dirawat di Bangsal Neurologi

111
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

dengan kasus 42 meningitis akut (15,4%) dan 231 meningitis kronis (84,61%).
Sebagian besar pasien adalah laki-laki 192 (70,3%) sementara hanya 81 orang
perempuan (29,7%), dengan rata-rata usia 28,01 tahun dan rentang usia pasien
adalah 12-78 tahun. Kejadian ensefalitis kebanyakan studi melaporkan kejadian
tahunan antara 5-10 kasus per 100.000 paling banyak pada orang dewasa muda
dan orang tua. Kondisi ensefalitis virus ini juga meningkat biasanya pada individu
yang mengalami immunocompromised, dan neonatus.7
Infeksi susunan saraf pusat disebabkan oleh banyak mikroorganisme, antara
lain virus, bakteri, fungi/jamur, dan parasit lain seperti protozoa. Infeksi SSP bisa
disebabkan berbagai bakteri, fungi, virus, dan parasit. Sebab paling umum dari
meningitis bakteri termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza,
dan Neisseria meningitidis.2 Penyakit ini bisa juga disebabkan oleh berbagai
penyebab non infeksi.Istilah meningitis aseptik merujuk pada kasus meningitis
yang tidak dapat dibuktikan adanya keterlibatan infeksi bakteri. Endokarditis (infeksi
katup jantung yang menyebarkan gugus-gugus kecil bakteri melalui aliran darah)
dapat menyebabkan meningitis aseptik. Meningitis aseptik juga dapat timbul dari
infeksi Sphyrocaeta, jenis bakteri yang yang diantaranya Treponema pallidum
(penyebab sifilis) dan Borrelia burgdorferi (dikenal sebagai penyebab penyakit
Lyme). Meningitis juga dapat dijumpai pada malaria serebral (malaria yang
menginfeksi otak) atau meningitis amubik, meningitis yang disebabkan oleh infeksi
amuba seperti Naegleria fowleri, yang didapatkan dari sumber air tawar.8
3. Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat
terjadi melalui perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica,
erosi fokus osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt
atau prosedur bedah otak lainnya).8 Infeksi muncul dari penyebaran hematogen
melalui suatu fokus infeksi, reaktivasi dari situs laten, trauma, atau defek kongenital
pada SSP.2 Pada orang dewasa, gangguan imun merupakan faktor risiko penting.
Defek antibiodi atau fungsi komplemen meningkatkan risiko infeksi dengan
organisme yang encapsulated. Defek pada cells mediated immunity (melibatkan T
sel atau makrofag) menyebabkan infeksi dengan intraselular patogen seperti Listeria
monositogenes. Defek neutrofil menyebabkan infeksi dengan organisme gram
negatif tertentu terutama Pseudomonas aeruginosa dan enterobacteriasea. Infeksi
parameningeal seperti sinusitis, otitis, empiema subdural/epidural dan infeksi paru
dapat menjadi sumber meningitis. Faktor-faktor risiko tertentu seperti pemakaian shunting,
endokarditis, cedera kepala terbuka, mempunyai risiko meningitis karena spesies
Proteus, Pseudomonas, Serratia atau Florobakterius. Sedangkan cedera kranioserebral
terbuka, sepsis, infeksi parasit (Strongiloidiasis) mempunyai risiko menjadi meningitis
karena agen gram negatif seperti Klebsiella, E. Coli dan Pseudomonas.3

112
PETRI Cabang Semarang 2016

Awal terbentuknya meningitis bakteri akut adalah kolonisasi nasofaring pada


inang oleh bakteri patogen.3 Nasofaring manusia adalah satu-satunya reservoir
alamiah dari N. meningitidis. Kuman-kuman ini ditularkan dari satu orang ke orang
lain melalui kontak langsung melaui droplet. Daya tahan hidup kuman di sini
dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim yaitu suhu dan
kelembaban.5 Pertama kali bakteri menempel ke sel epitel nasofaring melalui
struktur yang disebut lectins. Bakteri lalu difagositosis menuju sel kolumnar non
silia dari nasofaring menuju aliran darah inang. Salah satu ciri dari kebanyakan
bakteri patogen SSP (seperti : H. Influenza, Eschericia coli, dan N. meningitidis)
adalah adanya kapsul polisakarida yang resisten terhadap fagositosis oleh netrofil
dan opsonisasi komplemen. Infeksi ke ruang subarakhnoid terjadi karena paparan
berkelanjutan terhadap inokulum bakteri. Bakteri yang mati akan melepaskan
komponen dinding sel seperti lipopolysacharide (LPS), lipid A (endotoxin), asam
lipoteichoat, asam teichoat, dan peptidoglikan tergantung apakah bakteri tersebut
gram negatif atau gram positif. Komponen-komponen dinding sel ini akan
menyebabkan sel endotel kapiler dan makrofag sistem saraf pusat melepaskan
sitokin (interleukin-1 [IL-1] dan Tumor Necrosis Factor [TNF]).2 Sel endotel kapiler
dan leukosit SSP melepaskan produk dari jalur cyclooxygenase-arachidonic acid
(prostaglandin dan tromboksan) dan platelet activating factor (PAF). PAF mengaktivasi
rangkaian proses koagulasi, dan metabolit asam arakidonat merangsang
vasodilatasi. Kondisi ini menyebabkan edema serebral, peningkatan tekanan
intrakranial, pleocytosis (terdapat leukosit dalam jumlah besar dalam CSF) cairan
serebrospinal, disseminated intravascular coagulation (DIC), syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion / SIADH (sindrom gangguan sekresi
ADH), penurunan aliran darah serebral, iskemi serebral dan kematian.

Perjalanan Klinis Infeksi


Pertahanan humoral dan seluler pejamu di rongga subaraknoid yang menurun
atau hilang menyebabkan kuman-kuman meningokok dapat berkembang biak
secara tidak terkendali dan menimbulkan berbagai gejala melalui endotoksin yang
diproduksinya. Ada 4 kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal
yang sifatnya invasif ini, yaitu :5
a. Paparan tehadap galur patogenik
b. Kolonisasi kuman di mukosa nasofaring
c. Pasasi melalui mukosa, dan
d. Kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan LCS melalui pleksus koroid
atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang
disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula
spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar

113
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

dengan cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan
struktur serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung
melalui pleksus koroid maupun melalui refluk lewat foramen Magendie dan Luschka.
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respon humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi
proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas sistem
darah otak meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS
yang akan memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang
subaraknoid. Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan terakumulasi di bagian
basal otak serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu,
eksudat akan menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika
intima serta vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika
adventisia arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian
dari membran araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah
mengalami proses inflamasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis
infeksius).8
Pada beberapa penderita, mungkin ditemukan demam berderajat rendah dan
meningokok secara spontan hilang dari darah, meninggalkan keadaan yang disebut
sebagai transient meningococcemia yang ditandai oleh episode demam singkat
mirip flu. Apabila keadaan bakteremia ini menetap, tidak hilang maka timbullah
gejala gejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang menonjol adalah gejala yang
disebabkan oleh sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin dan respon tubuh
penderita terhadap toksin tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari penderita
dengan meningitis septic shock melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar
dari pada galur yang menyebabkan chronic benign meningococcemia. Pada hampir
semua penderita yang mengalami shock dan pada kebanyakan penderita-penderita
meningitis, awal dari fase bakteremia ditandai dengan adanya serangan panas
tinggi dan menggigil, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri paha, atau nyeri otot-otot
dan sendi umum. Dalam waktu beberapa jam, keadaan dapat berkembang
menjadi sepsis fulminan tanpa gejala meningitis. Keadaan ini ditandai oleh adanya
endotoksin dan sitokin dalam plasma dalam jumlah besar.
Berdasarkan urut-urutan kejadian patofisiologis, dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan: meningitis bakteremia tanpa shock, bakteremia dengan shock tanpa
gejala meningitis, meningitis dengan syok, dan meningitis.5
Fulminant Meningococcal Sepsis (FMS) dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC)5,10
FMS ditandai oleh dua kondisi klinis yaitu adanya shock dan disseminated
intravascular coagulation (DIC), dua proses yang saling berkaitan. Shock dan DIC

114
PETRI Cabang Semarang 2016

memiliki kesamaan mekanisme kausal dan saling menguatkan. Trombosis


mikrovaskuler menyebabkan hipoperfusi (shock) dan sebaliknya shock menginduksi
kerusakan endotel dan DIC. Shock disebabkan oleh bocornya kapiler, gangguan
tonus vaskular, mikrotrombosis intravaskular dan disfungsi miokardial. Aktivator
utama yang menimbulkan keadaan ini adalah endotoksin meningokok dan beratnya
shock yang dalam hal ini mempunyai korelasi dengan derajat endotoksemia.
Perdarahan kulit merupakan ciri dari penyakit meningokok invasif. Secara
mikroskopik, lesi ini mempunyai karakteristik berupa kerusakan endotel dan
perdarahan di sekitar pembuluh pembuluh darah kecil serta adanya trombus di
daerah tersebut. Lesi ini mencerminkan vaskulitis dan sitokin endotoksin. Meskipun
DIC adalah suatu fenomena yang sistemik, tetapi terutama kelenjar adrenal adalah
yang paling rentan. Perdarahan adrenal, yang secara post mortal didiagnosis
sebagai sindrom Waterhouse Friderichsen, dapat menimbulkan insufisiensi adrenal
secara transitori. DIC yang berat senantiasa berkaitan dengan progosis penyakit
yang buruk.
Angka mortalitas FMS cukup tinggi bervariasi antara 20-80%. komplikasi yang
sering berupa perdarahan, anuria dan kegagalan organ secara multipel. Setelah
4-10 hari dan tidak meninggal, maka 10-20% penderita dengan infeksi meningokok
akan mengalami demam kembali yang umumnya diikuti dengan kemerahan kulit
dan kadang-kadang arthritis steril atau perikarditis. Kelainan ini adalah suatu
manifestasi imunokomplek semata dan akan menghilang secara spontan dengan
terapi simptomatik.
Obat-obat antibiotika tidak dapat menghentikan dengan segera proses
peradangan yang terjadi di selaput otak, bahkan ada kalanya antibiotika
memperburuk kondisi penderita karena mempercepat terjadinya pelepasan
endotoksin. Keadaan ini berbeda dengan keadaan sepsis di mana pelepasan
endotoksin yang diinduksi antibiotika tidak terjadi di sini. Perbedaan ini disebabkan
oleh karena mekanisme pembersihan (clearance) endotoksin dan/atau regulasi
produksi sitokin di cairan serebrospinal berbeda dari proses yang terjadi di dalam
darah. Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis meningokokal adalah pada
meningitis, respon peradangan terlokalisasi pada daerah ekstravaskular yang tidak
memiliki sistem komplemen dan koagulasi. Pada sepsis meningokokal, bentuk
penyakitnya adalah paling berat dengan angka mortalitas yang tinggi dan terjadi
sekuele yang berat karena terjadinya inflamasi endovaskular dan trombosis,
sedangkan pada meningitis meningokok angka kematian dan sekuele
neurologisnya relatif rendah.
Pada meningitis kadang-kadang terjadi herniasi dari batang otak yang sifatnya
fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat membesar dan
terjadinya oedem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial

115
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

sehingga terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5%. Pada otopsi
tampak adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan dengan selaput otak yang
meradang di samping tanda-tanda meningitis sendiri. Sekuele neurologis yang
dilaporkan berkisar 8-20% dari penderita-penderita yang bertahan hidup meliputi
berbagai kelainan seperti tuli sensorineural, retardasi mental, spastisitas dan atau
kejang-kejang.

4. Manifestasi Klinis
Keluhan pertama meningitis umumnya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar
ke tengkuk dan punggung. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot
ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap
kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun.
Tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif.9

Gambar 1. Patofisiologi Meningitis9

116
PETRI Cabang Semarang 2016

Gejala lain demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang.
Setelah itu rasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran
serta penglihatan menjadi kurang jelas. Semua gejala di atas dapat disertai gejala
lain seperti ocular palsy, hemiplegia, disfungsi sistem ekstrapiramidal juga telah
didokumentasikan dalam berbagai penelitian.8,10
Meningitis Septik Akut merupakan suatu kondisi klinis darurat neurologis, dan
bertanggung jawab untuk mortalitas dan morbiditas setinggi 25% dan 60%. Triad
klasik meningitis septik akut antara lain : demam, kaku kuduk dan perubahan
status mental memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis meningitis bakteri.13
Penyakit yang diakibatkan meningokokus memiliki dua presentasi klinis:
meningitis dan septikemia, yang sering terjadi bersamaan. Septikemia sering terjadi
dan merupakan kondisi yang berbahaya. Kondisi ini bisa menjadi fatal dan
mengancam nyawa pasien. Pasien dengan septikemia menunjukkan gejala-gejala
yang sangat berbeda dengan pasien meningitis.13 Pada beberapa kasus dapat
terjadi infeksi metastatik berupa arthritis atau pericarditis yang umumnya disebabkan
oleh serogrup C dari N. meningitidis. Selain gejala arthritis atau perikarditis pada
penderita-penderita ini dapat ditemukan kemerahan kulit (rash) dan rekrudensi
demam yang terjadi pada 10-20% penderita pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu
konvalensi dari penyakitnya.

Tabel 1. Tanda dan Gejala Infeksi Susunan Saraf Pusat Berdasarkan Etiologi12

Sejumlah kecil penderita-penderita, mungkin kurang dari 1% dan terdiri


terutama dari orang dewasa, dijumpai satu atau lebih episode kenaikan suhu
badan yang tajam (spiking), arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit yang
rekuren; sindrom ini dikenal sebagai chronic benign meningococcemia. Di samping
infeksi meningoccocemia ini, juga dilaporkan infeksi meningokok lain seperti
meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia, adnexitis, atau pelvic inflammatory

117
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

disease (PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini mudah terlewati karena secara
klinis sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit primer dan penyakitnya sendiri
mudah diobati dengan obat-obat standar.5
Komplikasi awal meningitis akut mencakup berkembangnya edema serebral,
herniasi transtentorial dan koma. Meningitis bakteri yang disebabkan oleh
organisme apapun dapat mengakibatkan sepsis atau syok hipovolemi. Dengan
demikian, pemantauan hemodinamik dan pernapasan adalah wajib pada tahap
awal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika ada bukti kelemahan
kardiorespirasi. Kerusakan akhir setelah meningitis bakteri akut dapat disebabkan
oleh resistensi antibiotika atau pengembangan edema serebral, efusi atau empiema
subdural, trombosis sinus sagital superior, hidrosefalus, pengembangan tanda-tanda
neurologis fokal yang disebabkan oleh vaskulitis terkait, atau komplikasi sistemik
termasuk efusi perikardial dan poliarteritis. Ensefalitis karena virus dapat muncul
dengan perkembangan pesat dari ensefalopati dan koma; ini sering membutuhkan
intubasi trakea untuk perlindungan jalan nafas dan dukungan ventilasi, pengendalian
peningkatan TIK dan pengobatan kejang yang efektif. Pasien sering bingung, gelisah
atau agresif, bahkan tanpa adanya tanda-tanda neurologis fokal, sehingga
pemberian sedasi mungkin diperlukan. Pemburukan klinis pada ensefalitis herpes
simpleks biasanya merupakan akibat dari edema serebral berat dengan herniasi
diensefalik atau komplikasi sistemik, termasuk sepsis dan aspirasi. Selanjutnya,
perburukan progresif dari kejang fokal dapat menyebabkan status epileptikus.14

4. Diagnosis
Diagnosis meningoensefalitis dimulai dengan kecurigaan klinis dan
dikonfirmasi dengan uji laboratorium dan radiologis. Diperlukan juga pemeriksaan
klinis yang mendukung tanda-tanda infeksi di sekitar kepala, telinga, tenggorokan
dan kulit sepanjang tulang belakang yang dapat berhubungan dengan kondisi
meningoensefalitis.15
Pertimbangan beberapa pemeriksaan / tes diagnostik berikut ini:15
1. Kultur darah. Darah diambil dari vena dikirim ke laboratorium dan ditempatkan
dalam tempat khusus untuk melihat apakah dalam darah pasien tumbuh
mikroorganisme (terutama bakteri).
2. Pencitraan. Sinar-X dan computerized tomography (CT) scan dari kepala, dada
atau sinus dapat mengungkapkan pembengkakan atau peradangan.
Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk mencari infeksi di daerah lain
dari tubuh yang mungkin terkait dengan meningitis. Pada pasien dengan
encephalopathy disertai dengan demam, CT scan umumnya dilakukan
sebelum lumbal pungsi, terutama jika terdapat gambaran klinis dari

118
PETRI Cabang Semarang 2016

pergeseran otak (herniasi) atau lesi desak ruang. MRI umumnya lebih sensitif,
menunjukkan intensitas sinyal tinggi di daerah otak yang terkena. Tapi
gambaran MRI dapat terlihat normal jika dilakukan terlalu awal. CT scan harus
dilakukan pada setiap pasien dengan penurunan tingkat kesadaran, tanda-
tanda defisit neurologis fokal atau papil edema.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal (LCS) dengan lumbal pungsi. Analisa cairan
serebrospinal (sel, pewarnaan gram, uji biokimia untuk glukosa dan protein,
dan kultur), dan kultur darah. Mengingat terkadang kurangnya spesifisitas
temuan klinis yang ditemui pada pasien, maka kunci diagnosis meningitis
adalah evaluasi LCS. Pengukuran sel darah putih perifer/leukosit saja tidak
membantu dalam membedakan bakteri dari meningitis aseptik. Analisis LCS
juga dapat membantu dokter mengidentifikasi bakteri yang tepat yang
menyebabkan penyakit. Jika pasien dicurigai meningitis viral, dapat dilakukan
pemeriksaan berbasis tes DNA dikenal sebagai polymerase chain reaction
(PCR) amplifikasi atau tes untuk memeriksa antibodi terhadap virus tertentu
untuk memeriksa penyebab spesifik dari meningitis. Hal ini membantu untuk
menentukan perawatan yang tepat dan prognosis. Pungsi lumbal merupakan
prosedur yang aman, meskipun sakit kepala paska prosedur terjadi pada
sekitar sepertiga dari pasien. Perhatian pada prosedur pungsi lumbal adalah
risiko buruk terjadinya herniasi (brain shift) pada pasien dengan lesi desak
ruang atau pembengkakan otak difus yang parah, dan sejauh mana risiko
tersebut dapat dikenali dapat diketahui dengan pemeriksaan pencitraan
computed tomography scan sebelumnya.
Tanda klinis brain shift dapat terlihat antara lain: sefalgia, vomitus. Brain shift
tentorium ditandai dengan adanya kaku kuduk, penurunan kesadaran,
hemiparesis dan pupil anisokor. Brain shift foramen magnum ditandai dengan
adanya kaku kuduk, penurunan kesadaran, bradikardia dan apneu.11

Tabel 2. Hasil analisa cairan serebrospinal pasien meningitis1,16

119
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

6. Penatalaksanaan
Pemeriksaan neurologis dan evaluasi pada pasien dengan penyakit kritis
neurologis diarahkan untuk mengevaluasi tiga komponen utama :17
1. Menentukan tingkat kesadaran
2. Menentukan apakah ada defisit neurologis fokal
3. Evaluasi status respirasi dan hemodinamik
Jaras jaras saraf yang memediasi kesadaran mulai dari pusatnya yaitu pons
pusat dan hipotalamus dan proyeksi sinyal ke thalamus dan korteks. Inti estafet
thalamic mengirim proyeksi menyebar ke korteks. Korteks memberikan feed back
kembali pada inti thalamic untuk memberikan respon. Tingkat depresi kesadaran
dapat terjadi akibat disfungsi batang otak yang mengaktifkan sistem kesadaran
atau gangguan pada belahan otak atau keduanya. Obat penenang juga dapat
mengganggu tingkat kesadaran dan pemeriksaan neurologis.
Banyak penyakit neurologi yang berhubungan dengan abnormalitas dalam
status respirasi dan hemodinamik. Sehingga evaluasi ABC harus selalu
dilaksanakan dalam evaluasi kasus neurologi di ICU.
Airway (jalan nafas) refleks orofaringeal yang menurun terkait dengan
penurunan tingkat kesadaran dapat menyebabkan terjadinya gangguan napas
sehingga memerlukan tambahan definitive airway/saluran napas atau intubasi.
Breathing (pernafasan) meliputi pola, frekuensi, saturasi oksigen dan analisa gas
darah. Pasien dengan gangguan neurologis rentan terhadap terjadinya pneumonia
aspirasi. Beberapa pola respirasi dapat diamati pada penyakit neurologis, antara
lain: Hipoventilasi terdiri dari respirasi cepat dangkal pada pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran atau penyakit neuromuskular, Cheyne-Stokes, Apnea
digambarkan sebagai episode hilangnya sesaat respirasi terlihat pada lesi di
infratentorial (batang otak atau serebelum). Circulation (hemodinamik), takikardia
atau bradikardia dapat menjadi manifestasi dari proses intrakranial akut. Takikardia
supraventricular adalah gangguan irama yang paling umum diamati pada pasien
dengan proses intrakranial.17
Penatalaksanaan untuk Peninggian TIK
Modalitas pengobatan berikut ini dapat digunakan untuk pengelolaan tekanan
intrakranial, antara lain :
a. head up 30 derajat dan menjaga kepala dalam posisi mid line untuk menajaga
aliran balik vena yang normal dan mencegah kompresi vena jugularis
b. Manitol merupakan agen osmotik yang dapat menurunkan TIK dengan
meningkatkan tonisitas serum dan mengurangi edema dari parenkim otak

120
PETRI Cabang Semarang 2016

yang mengalami injury, sehingga mengurangi TIK. Dosis awal adalah 0,5-1,0
g/kg dan dosis pemeliharaan 0,25 g/kg setiap 4 sampai 6 jam untuk menjaga
osmolalitas serum meningkat (300-320 mOsm / L).
c. Cairan saline 3% : (Catatan : Konsentrasi yang lebih tinggi, 23% garam dapat
digunakan ini diberikan oleh dokter untuk perhatian teoritis demielinasi otak
yang sering terlihat pada anak-anak). Bolus NaCl 3% dapat digunakan untuk
mengurangi edema. Dalam hal ini juga mungkin perlu untuk menggunakan
NaCl 3% untuk mengatasi keadaan hiponatremia yang berkaitan dengan CSW
(Cerebral Salt Wasting)
d. Drainase CSS : TIK berkurang dengan mengurangi volume ventrikel pada
pasien dengan hidrosefalus.
e. Hiperventilasi: hiperventilasi buatan untuk mengurangi PaCO2 sampai 25-30
mmHg HANYA digunakan untuk pengobatan akut peningkatan TIK. Menurunkan
PaCO2 menginduksi alkalosis lokal di ruang ekstraseluler jaringan otak yang
mengarah ke vasokonstriksi arteriol serebral. Hal ini mengurangi volume darah
di rongga kranial dan mengurangi TIK tersebut.
f. Pentobarbital: Pentobarbital mengurangi metabolisme otak, sehingga
mengurangi aliran darah otak (volume), dan akibatnya menurunkan TIK. Dosis
adalah 5-20 mg/kgBB loading dosis, diikuti dengan dosis pemeliharaan 1-3
mg/kgBB/jam. Aktivitas otak dimonitor oleh electroencephalography kontinyu
(EEG). Pentobarbital adalah depresan jantung dan pernapasan dan
memerlukan pemantauan kardiovaskular intensif dan ventilasi mekanis. Ini
harus digunakan dengan hati-hati dimana cairan IV dan obat vasopressor
harus tersedia untuk mempertahankan tekanan darah. Karena komplikasi yang
terkait dengan koma pentobarbital dan kurangnya bukti bahwa hal itu
meningkatkan hasil pasien, penggunaannya harus disediakan untuk pasien
yang refrakter terhadap terapi standar untuk menurunkan ICP.
g. Steroid : Steroid mengurangi edema vasogenik dan karena itu akan mengurangi
TIK. Namun, steroid hanya menunjukkan manfaat dalam edema vasogenik
karena neoplasma dan memiliki onset panjang dalam mekanisme kerjanya
tetapi memiliki keterbatasan dalam pengelolaan akut peningkatan TIK. Banyak
debat mengenai penggunaan yang tepat dari obat anti inflamasi. Alasan untuk
penggunaan steroid didasarkan pada eksperimen. Data yang menunjukkan
bahwa respon inflamasi dalam ruang subaraknoid memberikan kontribusi
signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. 18 Penetrasi
vankomisin ke dalam SSP sebagian besar tergantung pada peradangan
meningeal, dan beberapa studi eksperimental menunjukkan deksametason
yang secara signifikan mengurangi pencapaian konsentrasi vankomisin terapi

121
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

di LCS, mengakibatkan kegagalan pengobatan klinis pada orang dewasa.


Namun demikian, pendapat ahli merekomendasikan deksametason adjuvan
bahkan pada pasien dengan isolat pneumokokus yang telah resisten. Tidak
ada data yang mendukung adjunctive steroid pada pasien yang memiliki
meningitis nosokomial dan post neurosurgical, dan meningitis terkait dengan
shunting CSS.18 Penggunaan steroid dianjurkan oleh beberapa peneliti untuk
mengurangi konsekuensi jangka panjang dari peradangan dalam ruang
subarachnoid seperti tuli dan hidrosefalus pada pasien yang memiliki
konsentrasi tinggi bakteri dalam CSS (bakteri terlihat pada pewarnaan gram
CSS), Deksametason (0.15 mg/KgBB setiap 6 jam selama 4 hari, dosis 1
pada saat yang sama dengan pemberian antibiotika atau sebelum) adalah
pengobatan yang dianjurkan. Untuk pasien dengan TB atau meningitis HIV,
total pemberian steroid yang dianjurkan 4-8 minggu (2-4 minggu IV dengan
tappering off).17

Penatalaksanaan Hemodinamik
Tujuan dari manajemen tekanan darah adalah untuk menjaga tekanan perfusi
serebral yang memadai (CPP = MAP-ICP). MAP goal pada pasien neurologis yang
sakit kritis biasanya lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk perfusi sistemik. Batas
bawah tujuan tekanan darah harus memadai untuk menjaga CPP lebih besar dari
70 mmHg (atau setidaknya lebih besar dari 60 mm Hg pada pasien trauma kepala).
Agen menjaga yang dapat digunakan untuk meningkatkan tekanan darah sistemik
meliputi: cairan intravena, koloid (albumin), dan pressors seperti, phenylephrine
atau agen ionotropik. Hipertensi akut pada pasien dengan penyakit intrakranial
dapat menjadi respon protektif untuk keadaan peningkatan TIK atau iskemia
serebral. Menurunkan tekanan darah dalam situasi seperti itu dapat memperburuk
aliran darah otak.

Terapi Cairan
Status cairan yang optimal untuk sebagian besar pasien dengan penyakit
neurologis adalah euvolemia. Dehidrasi sistemik tidak mengurangi edema serebral
tetapi dapat memperburuk perfusi serebral. Cairan yang cukup diperlukan untuk
menyeimbangkan akibat gastrointestinal losses sebesar 100-200 ml/hari, insensible
losses sebesar 500-1000 ml/hari melalui kulit dan pernapasan dan urinary losses
sebesar 1000 ml/hari. Cairan maintenance rata-rata adalah 1 ml/kgBB/jam (~ 2000
-2500 ml/hari untuk orang dewasa). Kebanyakan pasien memerlukan sejumlah
besar cairan di ICU karena kehilangan cairan dari keadaan takipneu, demam, dan
penggunaan agen osmotik seperti manitol, yang dapat menyebabkan diuresis yang
signifikan. Salin normal/NaCL 0,9 % adalah cairan intravena pilihan. Solusi hipotonik

122
PETRI Cabang Semarang 2016

dapat memperburuk edema serebral dan tidak boleh digunakan. Cairan yang
mengandung glukosa dihindari juga karena kekhawatiran hiperglikemia
menyebabkan cedera otak lebih lanjut. Perlu diingat bahwa banyak pasien di ICU
sering menerima sejumlah obat IV dan GTTS obat.

Nutrisi
Asupan gizi harus dimulai dalam waktu 24-48 jam selama pasien hemodinamik
stabil. Karena penurunan tingkat kesadaran, kebanyakan pasien memerlukan
tabung nasogastrik (NGT) untuk pemberian asupan gizi. Ileus dan pengosongan
lambung yang tertunda umum terjadi di unit perawatan neurokritikal. Reglan
intravena 5-10 mg setiap 4-6 jam mungkin diperlukan untuk residu lambung dalam
jumlah yang alcohol withdrawal besar. Eritromisin adalah agen alternatif dan tidak
memiliki efek samping neurologis terkait dengan Reglan (AMS, NMS). Sembelit
dikaitkan dengan cedera kepala dan atau trauma medulla spinalis. Pencahar harus
digunakan untuk profilaksis terhadap sembelit. Motilitas gastrointestinal juga
diperparah dengan narkotika, barbit urat, dan infeksi sistemik. Kadang-kadang nutrisi
intravena mungkin diperlukan.

Sedasi
Sedasi diperlukan untuk pasien yang membahayakan diri sendiri atau orang
lain karena kebingungan atau agitasi. Sedasi juga mungkin diperlukan pada pasien
diintubasi untuk kenyamanan atau pada pasien dengan gejala hyperadrenergic
karena obat atau. Regimen sedasi harus dipilih yang dapat mempertahankan
kondisi neurologis sebaik mungkin, atau memiliki potensi untuk dihentikan dengan
cepat kembali bila pemeriksaan sulit untuk dilakukan. Peningkatan kebingungan
dan agitasi mungkin manifestasi dari peningkatan TIK atau lesi otak baru. Empat
agen yang paling umum digunakan di ICU untuk sedasi dan tujuan analgesik
adalah: benozodiazepines, narkotika, haloperidol, dan propofol.

Terapi Supportive
Terapi profilaksis dengan anti epileptic drugs tidak diindikasikan. Penting untuk
menekankan bahwa ada prinsip-prinsip umum dari manajemen perawatan intensif
umum terhadap semua unit. Hal ini termasuk perawatan yang cermat dan yang
penting untuk pasien adalah fisioterapi. Intervensi fisioterapi awal dan agresif
(termasuk sering melakukan perubahan posisi tungkai, menggerakan anggota
badan secara pasif, dan imobilisasi yang tepat) dapat membantu untuk
mempertahankan mobilitas sendi dan mencegah kontraktur tungkai dan nyeri sambil
menunggu perbaikan neurologi.

123
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Penatalaksanaan Spesifik Meningoensefalitis Berdasarkan


Etiologi :
Pemberian regimen terapi antibiotika empirik berdasarkan populasi menurut
umur atau menurut etiologi dan dasar tempat predisposi awalnya. Semua terapi
empirik diberikan melaui intravena.

Tabel 3. Terapi antibiotika yang direkomendasikan pada pasien meningitis dewasa dengan
bakteri patogen gram positif19

124
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 4. Terapi antibiotika yang direkomendasikan pada pasien meningitis


berdasarkan usia dan kondisi predisposisi spesifik19

125
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Tabel 5. Terapi antibiotika yang direkomendasikan pada pasien meningitis berdasarkan


patogen yang diisolasi dari hasil pemeriksaan penunjang19

Komplikasi
Ada beberapa faktor risiko baik secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan salah satu atau lebih dari komplikasi neurologis seperti
yang tercantum dalam. Usia yang ekstrem secara langsung berhubungan dengan
konsekuensi terjadinya komplikasi dan prognosis. Jenis organisme, virulensi dan
jumlah bakteri masuk, port de entry dengan kerentanan host semua berpengaruh
dalam pengembangan komplikasi neurologis. Durasi dan perkembangan penyakit

126
PETRI Cabang Semarang 2016

sebelum inisiasi efektif terapi antibiotika juga berhubungan dengan komplikasi


neurologis. Di samping itu presentasi atau manifestasi klinis, dan kepatuhan
terhadap pengobatan yang tepat atau komorbiditas terkait, juga mungkin memiliki
efek yang merugikan pada hasil neurologis pasien dan morbiditas. Pasien degan
pemakaian obat imunosupresif, gangguan hati kronis, pecandu alkohol, penderita
diabetes dan pasien dengan penyakit defisiensi imun bawaan atau diperoleh,
keganasan dan HIV, berada di peningkatan risiko meningitis dan sekuelnya sebagai
dibandingkan dengan populasi umum. Streptococcus pneumoniae dikaitkan dengan
sebagian sekuel dibandingkan dengan organisme lain.21
Pada meningitis septik akut, komplikasi yang dapat terjadi antara lain:3
Komplikasi akut (terjadi hari I dan II perawatan) dan spesifik Penurunan kesadaran,
edema otak akibat peningkatan tekanan intrakranial, kejang, kelemahan saraf saraf
kranial, kebutaan dan kelemahan motorik hidrosefalus dan abnormalitas aliran
darah otak. Komplikasi sistemik dapat berupa hipertermia yang memanjang, syok
septik dan DIC, gagal nafas, disfungsi endokrin maupun gangguan elektrolit.
Komplikasi Intermediate (manifestasi selama perawatan dan menetap setelah
dipulangkan) efusi subdural, empiema subdural/epidural, panas (fever), abses
otak dan hidrosefalus. Komplikasi lanjut dengan gejala sisa infeksi dapat berupa
epilepsi sekunder, gangguan neuropsikologi, gangguan perkembangan sampai
gangguan intelektual. Kegagalan fungsi kognitif Deafness (tuli) dan handicap (cacat)
motorik. Komplikasi spesifik meliputi: Syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone Release (SIADH). Terjadi biasanya pada 24 jam pertama. Pasien
memperlihatkan oliguria meskipun tidak ada tanda klinis dehidrasi. Seluruh pasien
dengan meningitis seharusnya diperiksa elektrolit dan osmolalitas urin. SIADH
menampakkan hiponatremia disertai osmolalitas urin lebih besar dari osmolalitas
serum. Komplikasi seizure (kejang) terdapat pada 15-25% penderita meningitis,
dapat fokal/umum. Umumnya seizure terjadi pada awal infeksi dan terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial atau efek iritatif infeksi dan karena respon radang.
Bila kejang terjadi lambat maka dicurigai ada lesi massa empiema. Seandainya
terjadi 24 jam pertama biasanya prognosisnya tidak buruk, tetapi bila menetap
atau refrakter antikonvulsan menjadi petunjuk kelainan otak yang serius. Ventrikulitis
biasanya terjadi pada 30% pasien meningitis. Dicurigai ventrikulitis bila timbul
kejang yang sukar dikontrol. Pada keadaan ini sebaiknya dibuat kultur LCS.

127
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Daftar Pustaka
1. Jannis J, Hendrik F. Meningitis Mortality in Neurology Ward of Dr. Cipto Mangunkusumo
Hospital Jakarta. Neurology Department, Faculty of Medicine University of Indonesia/
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, IndonesiaMed J Indonesia. 2006. 15:236-41
2. Kasanmoentalib, E. S., M. C. Brouwer, and D. van de Beek. “Update on bacterial meningitis:
epidemiology, trials and genetic association studies.” Current opinion in neurology 26.3
(2013): 282-288
3. PERDOSSI. Pokdi Neuro Infeksi. Kolegium Neurologi Indonesia. 2009. 1-69
4. Castelblanco, Rodrigo Lopez, MinJae Lee, and Rodrigo Hasbun. “Epidemiology of bacterial
meningitis in the USA from 1997 to 2010: a population-based observational study.” The
Lancet Infectious Diseases 14.9 (2014): 813-819.
5. Lesmana M. Epidemiologi, Patogenesis dan Gambaran Klinis dari Infeksi Meningokok.
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran trisakti. Jurnal Kedokter Trisakti, September-
Desember 2000-Vol.19, No.3
6. Brouwer, Matthijs C., Allan R. Tunkel, and Diederik van de Beek. “Epidemiology, diagnosis,
and antimicrobial treatment of acute bacterial meningitis.” Clinical microbiology reviews
23.3 (2010): 467-492
7. Solomon T, Hart LJ, Beeching NJ. Viral encephalitis: a clinician’s guide. Practical
Neurology 2007;7;288-305
8. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana Meningitis Bakterialis.
Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. CDK-224/vol.42, No.1
9. Fauci AS, Kasper DL, Braunvald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th edition. McGraw-Hill Companies
10. Thapa LJ, Twayana RS, Shilpakar R , Ghimire MR , Shrestha A , Sapkota S, Rana PVS.
Clinical profile and outcome of acute encephalitis syndrome (AES) patients treated in
College of MedicalSciences-Teaching Hospital. Journal of College of Medical Sciences-
Nepal. 2013. Vol-9, No-2, 31-37
11. Imran D. Tatalaksana Meningitis TB. Dep neurologi FKUI-RSCM. 2012
12. Parikh V, Tucci V, Galwankar S. Infections of The Nervous System. International Journal
of Critical Illness and Injury Science. At http://www.ijciis.org on Thursday, December 10,
2015, IP: 36.80.135.135
13. Meningococcal Meningitis and Septicemia Guidance Notes. Diagnosis and Treatment in
General Practice. Meningitis Research Foundation. 2014 edition
14. Howard RS, Kullman DM, Hirsch NP. Admission to Neurological Intensive care : Who,
Whwn, and Why? November 11, 2015
15. Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Volume 82,
Number 12 , December 15, 2010

128
PETRI Cabang Semarang 2016

16. McGill, F., et al. “The UK joint specialist societies guideline on the diagnosis and
management of acute meningitis and meningococcal sepsis in immunocompetent adults.”
Journal of Infection 72.4 (2016): 405-438
17. Wijman CAC, Buckwalter M, Caulfield AF, Venkatasubramanian C. Neurocritical Care for
The House Officer. Division of Neurocritical Care. Stanford Stroke Center
18. Ziai WC, Lewin JJ. Update in the Diagnosis and Management of Central Nervous System
Infections. Neurologics Clinics. Elseviers Saunders. Baltimore USA. 2008. 427-468
19. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL, Scheld WM, Whitley RJ.
Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. CID 2004:39 (1 November)
20. Greenlee JE. Encephalitis and Postinfectious Encephalitis. American Academy of Neurology.
Continuum Lifelong Learning Neurol 2012;18(6):1271-1289
21. Siddiqui EU. Neurologic Complication of Bacterial Meningitis. Aga Khan University Hospital.
Pakistan

129
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

130
PETRI Cabang Semarang 2016

Kesehatan Ibadah Haji

Setyo G Pramudo

Kegiatan ibadah haji adalah salah satu kegiatan ibadah yang wajib dilakukan
oleh umat Islam, selama memenuhi syarat mampu atau ístitha’ah. Ibadah haji
dilakukan di kota suci yaitu Makkah, yang terletak di Kerajaan Arab Saudi.
Pelaksanaan ibadah haji dilakukan pada waktu tertentu setiap tahunnya, yaitu sekitar
bulan Zulhijah pada kalender Islam. Pada waktu tersebut, umat Islam dari seluruh
dunia akan berkumpul menjadi satu di dua kota suci utama umat Islam tersebut.
Jamaah haji yang berasal dari Indonesia pada umumnya tinggal untuk
melaksanakan ibadah haji sekitar 40 hari. Selama itu, kegiatan-kegiatan ibadah
yang dilakukan antara lain adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali atau Thawaf,
berlari-lari kecil antara dua bukit Shafa dan Marwah atau Sa’i dengan puncak
kegiatan adalah berdiam dan berdoa di padang Arafah atau Wukuf.
Rangkaian kegiatan ibadah haji memerlukan kondisi fisik yang baik, sehingga
dikatakan bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik. Jamaah haji akan menghadapi
tantangan fisik ibadah haji bukan hanya saat di Arab Saudi saja, tetapi jauh sebelum itu
pun sudah banyak kegiatan persiapan yang cukup menguras tenaga para calon jamaah.
Adanya keterbatasan jumlah jamaah haji yang mampu ditampung oleh
pemerintahan kerajaan Arab Saudi memaksa otoritas setempat memberlakukan
kuota pada negara-negara yang akan mengirimkan jamaah haji. Adanya kuota ini
membuat calon jemaah haji harus menunggu cukup lama, sehingga angka calon
jemaah haji usia lanjut pada saat ibadah haji juga meningkat.
Tantangan lain jamaah haji adalah cuaca yang ekstrim. Jazirah Arab Saudi
dikenal mempunyai cuaca yang ekstrim. Suhu udara yang tinggi disertai kelembapan
rendah dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, terutama pada usia lanjut,
apabila tidak diwaspadai. Demikian juga pada musim tertentu, suhu udara menjadi
sangat dingin yang juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji tersebut, pemerintah Indonesia
membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang menjadi fasilitator
kegiatan ibadah tersebut. Tim kesehatan adalah salah satu tulang punggung dalam
kepanitiaan tersebut, selain tim-tim lain seperti tim transportasi, keamanan, dan
lain lain. Selain tim kesehatan dalam PPIH (non kloter), terdapat tim kesehatan
kloter yang selalu mendampingi kelompok jamaah ibadah haji tertentu, mulai dari
keberangkatan di embarkasi, sampai dengan kepulangan di debarkasi.

131
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Klinisi kesehatan lain dapat berperan dalam mendukung kesehatan jamaah


ibadah haji dengan melakukan edukasi dan kesiapan kesehatan calon jamaah
haji, selain melakukan skrining kesehatan, selama di tanah air sebelum jamaah
haji berangkat ke tanah suci. Selain itu, patut diwaspadai penyakit-penyakit yang
mungkin timbul atau dibawa oleh jamaah haji setelah kepulangan mereka ke
tanah air.

Istitha’ah Kesehatan Haji


Salah satu syarat ibadah haji adalah istitha’ah yaitu mampu, dimana salah
satunya adalah secara kesehatan mampu melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam rangka melindungi jamaah
haji agar dapat melaksanakan ibadah haji dengan baik telah berupaya melakukan
pembinaan dan pelayanan kesehatan terhadap calon jamaah haji. Upaya tersebut
tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Republik Indonesia
No. 15 tahun 2016.
Upaya pembinaan dan pelayanan kesehatan jamaah haji dilakukan dengan
pemeriksaan bertahap calon jamaah haji. Tahap pertama dari pemeriksaan calon
jamaah akan menentukan apakah calon jamaah termasuk dalam risiko tinggi atau
tidak risiko tinggi. Tahap kedua dari pemeriksaan calon jamaah haji akan
menentukan apakah calon jamaah haji termasuk dalam memenuhi syarat istitha’ah
kesehatan haji, dengan pendampingan, tidak memenuhi syarat sementara atau
tidak memenuhi syarat istitha’ah kesehatan haji. Tahap ketiga pemeriksaan calon
jamaah haji akan menentukan apakah calon jamaah haji laik terbang atau tidak
laik terbang.
Calon jamaah haji dikatakan risiko tinggi apabila memenuhi kriteria :
1. Berusia 60 tahun atau lebih; dan/atau
2. Memiliki faktor risiko kesehatan dan gangguan kesehatan yang potensial
menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan ibadah haji
Pemeriksaan tahap pertama ini dilakukan pada saat calon jamaah haji
melakukan pendaftaran untuk mendapatkan nomor porsi. Pemeriksaan ini dilakukan
di puskesmas dan/atau rumah sakit.

132
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 1. Syarat Istitha’ah Kesehatan Haji

Tidak memenuhi Syarat Sementara  Tidak memenuhi syarat istitha’ah 
Tidak  memiliki  sertifikat  vaksinasi  interna‐ Kondisi klinis mengancam jiwa, antara lain : 
sional (ICV) yang sah  PPOK derajat IV 
Menderita  penyakit  tertentu yang berpeluang   
sembuh, antara lain :  Gagal Jantung Std IV 
Tuberkulosis sputum BTA positif   
Tuberkulosis Multi DrugResistance  ChronicKidneyDiseaseStd  IV  dengan  peritoenal 
Diabetes Mellitus Tidak Terkontrol  dialisis/hemodialisis reguler 
Hipertiroid   
HIV‐AIDS dengan diare kronik  AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik 
Stroke Akut   
Perdarahan Saluran Cerna  Stroke Hemorrhagic luas 
Anemia Gravis 
Suspek  dan/atau  konfirm  penyakit  menular  Gangguan jiwa berat, antara lain : 
yang berpotensi wabah  Skizofrenia berat 
Psikosis akut  Demensia Berat 
Fraktur  tungkai  yang  membutuhkan  Retardasi Mental Berat 
immobilisasi 
Fraktur  tulang  belakang  tanpa  komplikasi  Jamaah  dengan  penyakit  yang  sulit diharapkan 
neurologis  kesembuhannya, antara lain : 
Hamil yang  diprediksi usia kehamilannya pada  Keganasan stadium akhir 
saat  keberangkatan  kurang  dari  14  minggu  TuberculosisTotallyDrugsResistance 
atau lebih dari 26 minggu  Sirosis atau hepatomadekompensata 
 
Pemeriksaan tahap kedua yang akan menentukan istitha’ah kesehatan ibadah
haji dilakukan pada saat pemerintah telah menentukan kepastian keberangkatan
calon jamaah haji pada tahun berjalan. Calon jamaah haji yang termasuk memenuhi
syarat istitha’ah kesehatan adalah yang memiliki kemampuan mengikuti proses
ibadah haji tanpa bantuan obat, alat, dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran
jasmani setidaknya kategori cukup.
Sedangkan Calon jamaah haji dinyatakan memenuhi syarat istitha’ah ibadah
haji dengan pendampingan yaitu berusia 60 tahun atau lebih; dan/atau menderita
penyakit tertentu yang tidak termasuk dalam kriteria tidak memenuhi syarat
sementara dan tidak memenuhi syarat istitha’ah.
Selanjutnya pemeriksaan tahap ketiga dilakukan di embarkasi masing-masing
calon jamaah haji, sebelum terbang menuju tanah suci. Pemeriksaan ini dilakukan
oleh tim PPIH embarkasi, dimana dinyatakan tidak laik terbang apabila tidak
memenuhi standar keselamatan penerbangan internasional dan/atau peraturan
kesehatan internasional.

133
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Pemeriksaan Kesehatan Haji


Pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji mempunyai peranan sangat
penting dalam proses kegiatan ibadah haji. Salah satunya adalah upaya
stratifikasi calon jamaah haji sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Dengan
adanya stratifikasi, maka diharapkan akan lebih mudah untuk dilakukan upaya
pembinaan kesehatan, sehingga akan membantu calon jamaah dalam
melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Manfaat lain dari pemeriksaan kesehatan haji adalah mengidentifikasi risiko
dan penyakit yang diderita calon jamaah haji. Hasil pemeriksaan kesehatan ini,
yang tercantum dalam Buku Kesehatan Jamaah Haji (BKJH) akan sangat membantu
petugas kesehatan baik di tanah air maupun di tanah suci untuk melakukan
pertolongan cepat dan terarah pada saat jamaah haji mendapatkan masalah
kesehatan.
Sesuai dengan Pedoman Teknis Pemeriksaan Kesehatan Jamaah Haji 2010
dari Kementerian Kesehatan RI, pemeriksaan kesehatan calon jamaah dilakukan
meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, tes
kebugaran dan kemandirian. Pemeriksaan kesehatan juga dilakukan secara
berjenjang dari layanan kesehatan primer hingga rumah sakit rujukan. Pemeriksaan
kemandirian dengan indeks Barthel dapat menjadi salah satu petunjuk kelainan
psikiatri, apabila dilakukan secara baik. Pemeriksaan penunjang rutin, terutama
laboratorium terdiri dari darah rutin dan urin rutin, selain itu dilakukan atas indikasi.
Dengan demikian, mengharuskan dokter pemeriksa mampu melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan cermat.
Dokter yang bekerja di layanan primer mempunyai peran sangat penting untuk
dapat melakukan penapisan penyakit yang mungkin diderita calon jamaah, termasuk
gangguan kejiwaaan. Klinisi di layanan rujukan juga mempunyai peranan penting
dalam penapisan ini. Salah satu kesulitan penanganan masalah kesehatan di
tanah suci karena data kesehatan jamaah yang ada kurang akurat. Selain itu,
adanya kecenderungan calon jamaah haji untuk tidak secara terbuka menyampaikan
permasalahan kesehatannya, yang mungkin karena alasan khawatir tidak jadi
berangkat ke tanah suci, menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi di layanan primer
maupun rujukan.
Pemeriksaan kesehatan terakhir sebelum berangkat, dilakukan di embarkasi
haji. Pada tahap ini penapisan terutama dilakukan untuk melihat apakah jamaah
memenuhi standar keselamatan penerbangan internasional dan/atau peraturan
kesehatan internasional.

134
PETRI Cabang Semarang 2016

Peraturan Kesehatan Internasional menyebutkan jenis-jenis penyakit menular


tertentu sebagai alasan pelarangan kepada seseorang untuk keluar-masuk antar
negara, yaitu;
a) Penyakit Karantina
(1). Pes (plague)
(2). Kolera (cholera)
(3). Demam kuning (yellow fever)
(4). Cacar (smallpox)
(5). Tifus bercak wabah (typhus xanthomaticus infectiosa/louse borne typhus)
(6). Demam bolak-balik (louse borne relapsing fever)
(7). Penyakit menular lain yang ditentukan kemudian
b) Penyakit menular, yang menjadi perhatian WHO
(1). Tuberkulosis paru dengan BTA positif
(2). Kusta tipe multibasiler
(3). SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
(4). Avian Influenza (AI)
(5). Influenza A baru (H1N1)
(6). Penyakit menular lain yang ditentukan kemudian

Permasalahan Kesehatan Rangkaian Ibadah Haji


Ibadah haji sejatinya sudah dimulai sejak keberangkatan dari tanah air, yang
dimulai dengan niat. Seiring dengan hal tersebut, potensi masalah kesehatan
bagi jamaah haji juga akan menyertai. Perjalanan panjang dan sulit mungkin akan
dijalani oleh calon jamaah yang tinggal jauh dari embarkasi haji yang ditentukan.
Setelah itu, jamaah akan menjalani berbagai aktivitas di embarkasi, yang terutama
untuk identifikasi ulang jamaah. Bagi calon jamaah usia lanjut dan dengan kondisi
tertentu, kegiatan ini sudah cukup melelahkan.
Selanjutnya adalah permasalahan kesehatan pada ketinggian di pesawat.
Calon jamaah akan menempuh perjalanan udara cukup panjang, sekitar 10 jam.
Selain itu terdapat perbedaan zona waktu antara di Indonesia dan Arab Saudi.
Kondisi ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan, apabila tidak diantisipasi
dengan baik. Terlebih lagi, sebagian jamaah haji mungkin saja baru pertama kali
melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang dengan jarak cukup
jauh dan waktu cukup panjang.

135
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Trombosis vena dalam ( DVT = Deep Vein Thrombosis ) adalah salah satu
kondisi yang patut diwaspadai akibat penerbangan yang cukup lama, selain stres
dan jetlag. Edukasi pengenalan gejala DVT oleh jamaah, kewaspadaan terhadap
faktor risiko DVT serta tips pencegahan DVT selama penerbangan dapat membantu
mencegah terjadinya masalah kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya perbedaan
waktu, pemberian obat-obatan, terutama insulin perlu dilakukan penyesuaian untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia.
Kedatangan calon jamaah haji di Jeddah atau Madinah, perjalanan menuju
pondokan, serta pengaturan kamar jamaah adalah berbagai kegiatan yang sangat
melelahkan pada sebagian calon jamaah haji, terlebih bagi usia lanjut dan penderita
berbagai penyakit komorbid. Beberapa calon jamaah haji karena terlalu
bersemangat, atau karena pengaturan dari pimpinan regu/rombongan kurang tepat,
langsung melaksanakan ibadah ke Masjidil Haram tanpa beristirahat. Sehingga
banyak dijumpai calon jamaah kelelahan di Masjidil Haram atau tersesat. Sangat
dianjurkan agar calon jamaah beristirahat lebih dahulu di pondokan sebelum
melaksanakan ibadah umroh.
Waktu menunggu antara kedatangan jamaah sampai dengan puncak ibadah
haji di Arafah harus diwaspadai berbagai masalah kesehatan. Infeksi saluran
pernafasan, diare akibat keracunan makanan, kecelakaan/trauma, eksaserbasi
penyakit kronis yang ada, penyakit kulit dan luka bakar adalah berbagai masalah
kesehatan yang sering dijumpai pada periode ini. Dianjurkan pada jemaah haji
untuk dapat mengatur kegiatan ibadahnya dengan baik, dengan tujuan mampu
melaksanakan ibadah pada saat Wukuf Arafah.
Rangkaian ibadah haji lain yang banyak menyebabkan masalah kesehatan
adalah saat puncak ibadah haji, yaitu masa wukuf di Arafah dan saat melempar
jumroh. Cuaca yang ekstrim baik panas maupun dingin dapat menimbulkan
masalah kesehatan serius pada jamaah haji, bahkan menyebabkan kematian.
Sengatan panas atau heat stroke adalah salah satu kedaruratan medis yang
harus diwaspadai pada periode Arafah ini. Meskipun dapat terjadi kapan saja dalam
rangkaian ibadah haji, angka kejadiannya meningkat tajam pada saat ibadah wukuf
di Arafah. Suhu udara saat wukuf dapat mencapai lebih dari 450 C. Pada usia lanjut
gejala dan tandanya dapat tidak khas. Dehidrasi berat, kolaps kardiovaskular, aritmia,
udem paru akut, gangguan metabolisme seperti krisis hiperglikemia akut, gagal
ginjal akut, dapat terjadi dalam waktu singkat akibat suhu tubuh yang ekstrem ini.
Pencegahan dengan hidrasi yang baik, aklimitasi, dan menghindari terpapar panas
matahari secara langsung adalah berbagai tips pencegahan terhadap kondisi ini.
Masalah kesehatan pasca wukuf sebagian besar karena eksaserbasi penyakit
kronis yang ada, selain infeksi saluran nafas. Kelelahan adalah salah satu sebab

136
PETRI Cabang Semarang 2016

terjadinya eksaserbasi. Selain itu, yang patut diwaspadai adalah penularan


penyakit melalui alat cukur (HIV, Hepatitis, dan lain-lain). Pada periode ini, banyak
jamaah yang melakukan ritual memotong rambut, yang bisa jadi menggunakan
alat yang tidak steril.
Selain hal-hal di atas, berbagai bencana yang tidak terduga dapat terjadi
selama musim haji. Masih diingat tragedi terowongan Mina tahun 1990 yang
mengakibatkan ratusan jamaah haji wafat. Kebakaran, jatuhnya alat crane dan
musibah tabrakan arus manusia saat melempar jumroh adalah bencana yang
tidak terduga yang terjadi pada musim haji terakhir (2015), yang mengakibatkan
hingga ribuan jamaah haji wafat.
Infeksi Saluran Pernafasan Pada Jamaah Haji
Pneumonia adalah permasalahan kesehatan yang umum dijumpai pada
jamaah haji. Berkumpulnya jamaah haji yang dapat mencapai lebih dari 2 juta di satu
kota akan membuat penyakit saluran pernafasan ini mudah bertransmisi antara jamaah.
Atif et al melakukan studi untuk identifikasi bakteri penyebab pneumonia mendapatkan
bahwa Candida albicans, Pseudomonas aeruginosa, Legionella pneumophila, dan
Klebsiella pneumoniae secara berurutan adalah penyebab terbanyak pneumonia
pada jamaah haji. Pemilihan antibiotik menjadi suatu hal yang harus diperhatikan,
menghadapi variasi kuman yang mungkin tidak sama dengan negara asal jamaah.
Tuberkulosis pada jamaah haji juga akan mudah bertransmisi antar jamaah.
Kelompok studi dari Singapura mendapatkan respon imunitas tuberkulosis pada
kelompok jamaah haji setelah kembali ke tempat asal. 149 jamaah menunjukkan
hasil negatif menggunakan pemeriksaan Quanti-FERRON TB, kemudian diperiksa
ulang 3 bulan, 15 (10%) menjadi positif. Angka ini bahkan lebih besar daripada
konversi tes tuberkulin (TST = Tuberculin Skin Test) pelancong dari daerah endemis
TB yang berkisar 1,8%.
Tabel 2. Permasalahan kesehatan selama haji
Penyakit Menular  Penyakit Tidak Menular 

Penyakit meningokokkus  Eksaserbasi/komplikasi penyakit kronis 

Infeksi  saluran  pernafasan  (termasuk  infeksi  Trauma dan luka bakar 


virus, pneumonia dan TBC) 

Diare  Trauma akibat lingkungan/cuaca 

Infeksi kulit  Dehidrasi dan Kelelahan 

Penyakit ditularkan melalui darah   

EmergingInfectiousdiseases   

137
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama dan Kementerian lain yang
terkait telah berusaha memberikan pelayanan dan perlindungan kepada jamaah
haji selama melaksanakan ibadah haji, termasuk bidang kesehatan. Selama di
tanah air dalam rangka persiapan, terdapat upaya penapisan dan juga pembinaan
calon jamaah haji.
Selama kegiatan ibadah haji, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
jamaah secara umum terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama adalah layanan
kesehatan kelompok terbang (KLOTER) yang akan mendampingi satu kloter jamaah
haji mulai dari embarkasi, selama kegiatan haji dan sampai dengan debarkasi.
Layanan ini biasanya terdiri dari 1 dokter kloter, dibantu 2 paramedis. Beberapa
daerah juga membantu dengan mengirim tenaga dokter dan paramedis untuk
melayani jamaah dari daerah tersebut. Tenaga kesehatan ini telah mendapat
pelatihan khusus untuk mengatasi masalah kesehatan yang terjadi pada jamaah
haji dalam kloternya.
Kelompok kedua adalah tenaga kesehatan non kloter yang bertugas di tanah
suci mulai sebelum kedatangan calon jamaah sampai dengan setelah kepulangan
jamaah haji. Kelompok ini terbagi menjadi 3 daerah kerja (DAKER) yaitu Bandara
(Jeddah dan Madinah), Mekkah dan Madinah. Untuk Daker Mekkah dan Madinah
terbagi beberapa sektor, dimana satu sektor akan bertanggung jawab atas
beberapa pondokan.
Masing-masing DAKER mempunyai Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI),
yang menjadi pusat layanan kesehatan dan koordinasi di daerah kerjanya. BPHI
dapat menjadi tempat perawatan jamaah, dengan perlatan yang cukup memadai
dan tenaga ahli spesialis yang cukup. Apabila diperlukan, jamaah akan dirujuk
ke RS Arab Saudi setempat, yang memang disediakan untuk melayani jamaah
haji dari seluruh penjuru dunia. Selain itu, di masing-masing sektor biasanya
juga akan membentuk pelayanan kesehatan, untuk membantu mengurangi beban
di BPHI.

Peranan Klinisi dalam Kesehatan Haji


Para klinisi di tanah air mempunyai peranan sangat penting dalam mendukung
pelayanan kesehatan jamaah haji. Rekan-rekan dokter di layanan primer maupun
layanan rujukan yang mendapat tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan
kesehatan jamaah haji, mempunyai peranan yang dapat menentukan kesehatan
jamaah haji selama melakukan ibadah.
Data kesehatan yang lengkap dan akurat akan mempermudah tenaga
kesehatan kloter yang jumlahnya terbatas, untuk menentukan risiko kesehatan

138
PETRI Cabang Semarang 2016

jamaahnya. Dengan mengetahui peta kesehatan jamaah yang menjadi tanggung


jawabnya, tenaga kesehatan kloter akan dapat melakukan skala prioritas monitoring
kesehatan jamaahnya dan dengan cepat melakukan pertolongan kesehatan yang
diperlukan.
Bagi tenaga kesehatan non kloter yang bekerja di sektor atau di BPHI akan
sangat terbantu dengan data kesehatan akurat jamaah yang tertulis di BKJH.
Keputusan-keputusan medis dapat segera ditentukan apabila tenaga kesehatan
telah mengetahui riwayat medis jamaah sebelumnya, dibandingkan apabila tidak
mengetahui.
Selain itu, klinisi dapat berperan dalam memberikan edukasi kesehatan
kepada calon jamaah haji tentang berbagai macam tips kesehatan yang
diperlukan selama menjalankan ibadah haji. Mempersiapkan pengobatan yang
diperlukan selama ibadah haji bagi jamaah dengan berbagai penyakit kronis
akan membantu jamaah selalu dalam kondisi terbaik untuk dapat melaksanakan
rangkaian ibadah haji.
Setelah kedatangan jamaah di tanah air, penyakit-penyakit yang mungkin
“terbawa” oleh jamaah haji harus diwaspadai. Hal ini harus dipikirkan pada
pasien-pasien yang datang berobat, setelah melakukan ibadah haji.
Kepustakaan
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 15 tahun 2016.Jakarta. 2016
2. Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Pedoman teknis
pemeriksaan kesehatan jamaah haji. Jakarta. 2010
3. Syam FA. Kesehatan haji. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam FA (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Internal Publishing. Jakarta. 2014
4. Medical guidelines for airline travel. Aviation, Space, and Environmental Medicine.
2003; 74.
5. Ahmed QA, Arabi YM, MemishZA. Health risks at the hajj. Lancet 2006; 25; 367: 1008-15
6. Memish ZA. TheHajj: communicable and non-communicable health hazards and current
guidance for pilgrims. Euro Surveill. 2010;15 (39)
7. Asghar AH, Ashshi AM, Azhar EI, Bukhari SZ, Zafar TA, Momenah AM. Profile of bacterial
pneumonia during Hajj. Indian J Med Res. 2011 May;133: 510-3
8. Wilder-Smith A, Foo W, Earnest A, Paton NI. High risk of Mycobacterium tuberculosis
infection during the Hajj pilgrimage. TropMed Int Health 2005; 10: 336-9
9. Cobelens FG, van Deutekom H, Draayer-Jansen IW. Risk of infection with in traveler
stoareas of high tuberculosis endemicity. Lancet 2000; 356: 461-5

139
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

140
PETRI Cabang Semarang 2016

Leptospirosis: Problem Misdiagnosis di Indonesia

Muhammad Hussein Gasem

Leptospirosis adalah zoonosis yang endemik di sebagian besar wilayah


Indonesia. Manifestasi klinisnya bervariasi dari ringan sampai berat, dengan
keterlibatan multi organ dan case fatality rate 10-40%. Sebagian besar (>80%)
kasus leptospirosis dengan gambaran klinis acute febrile illness atau acute
undifferentiated fever atau bahkan flu like syndrome yang sering menimbulkan
misdiagnosis. Karena itu, penyakit ini sering terlewatkan diagnosisnya, atau
didiagnosis sebagai penyakit lain seperti demam dengue, demam tifoid, infeksi
hanta virus dan penyakit demam lain, dengan akibat tidak dilaporkan (under
reported).
Bentuk klinis yang berat yaitu ikterus, gangguan ginjal akut dan perdarahan
(penyakit Weil), lebih spesifik dan mudah dikenal oleh klinisi, dan merupakan
alasan utama hospitalisasi leptospirosis. Laporan dari rumah sakit (hospital based
report) mendominasi sehingga kasus leptospirosis yang tercatat sebagian besar
kasus yang berat saja. Dengan ketersediaan tes diagnosis cepat dan kepedulian
dokter, akhir ini kasus leptospirosis ringan didiagnosis dan dilaporkan oleh rumah
sakit.
Komplikasi perdarahan paru yang relatif semakin banyak dideteksi di klinis,
dengan presentasi klinis awal yang seringkali berbeda dengan penyakit Weil. Oleh
beberapa ahli, manifestasi klinis seperti ini digolongkan sebagai sindrom klinis
tersendiri diluar leptospirosis ikterik maupun non ikterik, dan dikenal dengan nama
severe leptospirosis hemorrhage syndrome (SLHP). Apakah perdarahan paru ini
memang meningkat insidensinya atau karena dokter lebih memahami gambaran
klinisnya, nampaknya perlu penelitian lebih lanjut.
Tatalaksana pasien dengan leptospirosis berat, disamping terapi antimikrobial,
lebih difokuskan pada terapi suportif terhadap disfungsi multiorgan seperti
perubahan hemodinamik, gangguan ginjal akut, perdarahan masif paru dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS), miokardiitis, dan gangguan hematologi
seperti fibrinolisis, koagulasi dan sebagainya.

141
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

142
PETRI Cabang Semarang 2016

Pengelolaan Tetanus

Nur Farhanah

Pendahuluan
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani dan menyerang susunan saraf
pusat Clostridium tetani tersebar cukup luas di alam.1 Tetanus masih menjadi
masalah kesehatan yang serius, terutama di negara berkembang karena
mengancam jiwa.1,2 Mortalitas penyakit tetanus meningkat dari 26-60%.3
Faktor-faktor prognostik sangat bermanfaat untuk manajemen klinis yaitu
suatu sistem skor yang dapat digunakan untuk memprediksi outcome tetanus
antara lain: skor Phillips, kriteria Ablett, skor Dakar, kriteria Udwadia dan yang
terbaru adalah Tetanus Severity Score.4-8 Pengelolaan tetanus meliputi: eradikasi
penyebab, menetralisir toksin yang belum terikat, terapi suportif, rehabilitasi
dan imunisasi Upaya pencegahan tetanus difokuskan pada vaksinasi dengan
imunisasi aktif atau imunisasi pasif dan perawatan paska paparan.1,9
Mortalitas tetanus >50% di negara berkembang, penyebab kematian terbanyak
karena gagal pernapasan akut.4 Angka mortalitas menurun dengan perbaikan
sarana intensif (ICU dan ventilator).2,3,4

Etiologi Tetanus
C. tetani adalah bakteri bentuk batang gram positif anaerob yang ditemukan di
tanah dan kotoran binatang dan memproduksi spora pada ujung terminal (drum
stik). Spora tahan terhadap agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia.
Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (hancur
pada suhu 1210C selama 15-20 menit).1

Patogenesis
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka, luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media,
infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang-kadang luka tersebut
hampir tak terlihat.1,2
Pada suasana anaerob spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembangbiak. Dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan patogenesis

143
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

penyakit, sedangkan tetanospasmin, merupakan neurotoksin yang mengakibatkan


manifestasi klinis tetanus.1,10
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot kemudian setelah
masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde
menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja. Toksin menghambat
pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal
interneuron. Toksin akan menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid
(GABA) yang spesifik menginhibisi neuron motorik.10
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis sehingga terjadi
overaktivitas simpatis berupa hipertensi, takikardi, keringat yang berlebihan dan
meningkatnya ekskresi katekolamin urin. Keadaan tersebut menyebabkan
komplikasi kardiovaskular. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah
tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin tetanus.10

Gambaran Klinis Tetanus


Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, dapat lebih singkat atau
lebih lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya. Secara klinis
tetanus ada 4 macam:1,10
1. Tetanus general
Tetanus jenis ini paling sering dijumpai. Diawali dengan kekakuan otot yang
dalam 24-48 jam menjadi menyeluruh hingga ke ekstremitas, lock jaw, risus
sardonikus, gejala kuduk kaku hingga opistotonus, diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi).
Kesadaran penderita tetap baik. Spasme otot-otot laring dan otot pernapasan
dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai demam tinggi sehingga
waspada terhadap komplikasi atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu
pusat pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas
simpatis.
2. Tetanus Lokal
Gambaran klinis tidak khas, nyeri, kekakuan otot-otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,
terkadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus general.

144
PETRI Cabang Semarang 2016

3. Cephalic Tetanus
Terjadi apabila luka sekitar daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis
media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial.
Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus general. Pada umumnya
prognosis bentuk cephalic tetanus buruk.
4. Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang tidak bersih.
Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan
kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.

Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis
serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, sulit mendapatkan
hasil positif.1,10
Komplikasi Tetanus
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga memerlukan ventilator. Sekitar 78% kematian tetanus disebabkan karena
komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan
fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti
oleh gagal ginjal akut.10,11
Infeksi nosokomial sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan.
Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah
sakit, dan ulkus dekubitus sering terjadi. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi
akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50-70% dari kasus diotopsi.12
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi
hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.10,11

Sistem skor untuk mengetahui probabilitas kematian pada pasien


tetanus
Sistem skor yang sering digunakan oleh klinisi dalam penanganan tetanus
adalah Skor Phillips, klasifikasi Ablett, Skor Dakar. Skor Phillip menghasilkan
akumulasi nilai yang dapat memprediksi kematian akibat tetanus. Jika akumulasi
nilai >14, maka mengarah ke severe tetanus yang probabilitas kematiannya
tinggi.5-8

145
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Tabel 2. Skor Phillips.5

Skor Dakar menggunakan variabel masa inkubasi, periode onset, jalan masuk
kuman, adanya spasme, suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko
yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus. Jika akumulasi nilai >3,
maka penderita tetanus mengarah ke severe tetanus.6

146
PETRI Cabang Semarang 2016

Tabel 3. Skor Dakar 6

Ablett membagi tetanus menurut derajat keparahannya yaitu ringan


(derajat 1), sedang (derajat 2), berat (derajat 3), dan sangat berat (derajat 4).7

Tabel 4. Kriteria Ablett 7

Skor terbaru yaitu Tetanus Severity Score menggabungkan variabel yang sudah
tertera di Dakar score dan Phillips score, dan menambahkan beberapa variabel.8

147
 

Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Tabel 5. Tetanus Severity Score (TSS) 8


Score
Age (year)
≤70 0
71-80 5
>80 10
Time from first symptom to admission (days)
≤2 0
3-5 -5
>5 -6
Difficulty breathing on admission
No 0
Yes 4
Co-existing medical conditions
Fit and well 0
Minor illness or injury 3
Moderately severe illness 5
Severe illness not immediately life threatening 5
Immediately life threatening illness 9
Entry Site
Internal or injection 7
Other (including unknown) 0
Highest systolic blood pressure recorded during first day in hospital
(mmHg)
≤130 0
131-140 2
>140 4
Highest heart rate recorded during first day in hospital (bpm)
≤100 0
101-110 1
111-120 2
>120 4
Lowest heart rate recorded during first day in hospital (bpm)
≤110 0
>110 -2
Highest temperature recorded during first day in hospital (0C)
≤38.5 0
38.6-39 4
39.1-40 6
>40 8

148
PETRI Cabang Semarang 2016

Interpretasi dari sistem skor tersebut adalah jika >8 maka prognosis mortalitas
tinggi.8
Sistem skor dapat ditentukan mulai saat masuk RS sehingga sangat berguna
dalam membantu manajemen klinis, kewaspadaan dan cepat tanggap dengan
tanda dan gejala klinis sehingga kematian akibat tetanus dapat dikendalikan.5
Penatalaksanaan
Sangat dianjurkan untuk tetanus derajat sedang dan berat dirawat di ICU
untuk monitoring yang lebih baik, deteksi komplikasi dan pelayanan multidisiplin.
Untuk tetanus ringan tanpa tanda prognosis buruk dapat dirawat di bangsal
biasa dengan monitoring ketat. Faktor risiko prognosis buruk yang dapat dinilai
antara lain masa inkubasi pendek <10 hari, usia di atas 60 tahun, adanya
komorbid komplikasi gangguan jalan nafas, gangguan fungsi renal maupun
hemodinamik. 12
Penatalaksanaan secara umum meliputi:1,2
1. Eradikasi C. tetani
Pilihan: Benzilpenisilin, merupakan antibiotik pertama yang digunakan untuk
eradikasi C. tetani. Penisilin menunjukkan aktifitas antagonis terhadap GABA
sehingga secara teori dapat mengeksitasi tetanospasmin. Metronidazole
dianggap paling aman dengan dosis 500 mg/6 jam selama 7-10 hari. Antibiotik
pilihan lain seperti doxycycline, clindamycin, tetracycline, erythromycin menjadi
pilihan apabila alergi terhadap penisilin atau metronidazole.
2. Menetralisir toksin yang belum terikat
Human anti tetanus immunoglobulin (HATIG) 500-5000 IU i.m atau equine
immunoglobulin (anti tetanus serum, ATS) 20.000-30.000 IU i.m segera
diberikan saat diagnosis tetanus.
Keuntungan HATIG: waktu paruh 21-30 hari sehingga memberi efek cukup
panjang, tidak memerlukan skin test.
Sedangkan ATS memerlukan skin test dan kemungkinan timbulnya reaksi
hipersensitifitas ringan hingga berat. Direkomendasikan dalam 1-6 jam setelah
penyuntikan HATIG atau ATS segera dilakukan debridement.13
3. Terapi suportif selama fase akut.1,2,13
- Pengendalian rigiditas dan spasme
Muscle relaxan merupakan hal penting dalam memperbaiki ventilasi,
mengurangi nyeri, mencegah hipertonia dan spasme. Obat yang dapat

149
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

digunakan diantaranya diazepam, poten GABA-ergic agonist, onset cepat


bila diberikan bolus, bermanfaat untuk mengontrol spasme. Dosis yang
diperlukan untuk relaksasi cukup tinggi sekitar 1-10 mg/kg/hari. Diazepam
dapat digunakan bolus maupun infus kontinyu (10-30mg/jam).
Penggunaan infus kontinyu diazepam lebih direkomendasikan karena
efek lebih stabil dan mudah dititrasi. Penggunaan diazepam jangka
panjang menyebabkan prolonged recovery akibat efek metabolit
desmethyldiazepam. Pilihan lain adalah midazolam namun menyebabkan
delirium.
Baclofen adalah GABA-ergic receptor antagonist, alternatif lain dari
diazepam, dapat diberikan sebagai infus kontinyu maupun
intermiten, dosis maksimal 2mg/hari. Infus dimulai dengan dosis
20 mikrogram/jam dan ditingkatkan tiap 4-8 jam hingga efek yang
diinginkan tercapai. Maksimum pengobatan diberikan selama 3 minggu.
Propofol memiliki efek sedatif dan muscle relaxan direkomendasikan
dengan loading dose maupun infus kontinyu. Umumnya digunakan
sebagai kombinasi dengan benzodiazepine, opioid dan muscle relaxan.
- Pengendalian disfungsi otonom
Obat pemblokade adrenergik beta seperti propranolol digunakan untuk
mengontrol hipertensi dan takikardi, namun hipotensi, edema paru berat
dan kematian mendadak sering terjadi. Labetolol memiliki efek kombinasi
blokade adrenergik alfa dan beta namun tidak lebih superior dibanding
propranolol. Saat ini esmolol digunakan pada hipertensi berat.
Clonidin, agonis adrenergik alfa, bekerja sentral mengurangi pacuan
simpatis. Clonidin mengurangi tekanan arterial, pelepasan katekolamin
dan mengurangi frekuensi denyut jantung.
MgSO4 memiliki efek sebagai muscle relaxan , vasodilator,
menurunkan denyut jantung dan mengurangi level katekolamin.
Loading dose 40 mg/kg selama 30 menit diikuti dengan infus kontinyu
2 gram/jam. Konsentrasi dalam serum sulit diprediksi sehingga perlu
monitoring ketat karena dapat terjadi hipotensi atau bradiaritmia.14
- Penatalaksanaan suportif lain seperti hidrasi, kebutuhan nutrisi perlu
diperhatikan enteral atau parenteral karena ketidakmampuan menelan,
fisioterapi, mencegah dekubitus dan antisipasi infeksi sekunder
merupakan hal yang harus diperhatikan pada tetanus. Pasien umumnya
dilakukan trakeostomi dan penggunaan ventilator sehingga penghisapan
trakea teratur dan fisioterapi dada sangat diperlukan.1,2,14

150
PETRI Cabang Semarang 2016

Daftar Pustaka
1. Current Recommendations for Treatment of Tetanus during Humanitarian Emergencies.
WHO Technical Note [Internet]. 2010. Available from: http://www.who.int/
diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf.
2. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal of
Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
3. Hukwubike OA, Asekomeh E. A 10-year review of outcome of management of tetanus in
adults at a Nigerian tertiary hospital. Annals of African medicine. 2009;8(3).
4. Thwaites C, Yen L, Glover C, Tuan P, Nga N, Parry J, et al. Predicting the clinical outcome
of tetanus: the tetanus severity score. Tropical Medicine & International Health.
2006;11(3):279-87.
5. Phillips L. A classification of tetanus. The Lancet. 1967;290(7512):420-1.
6. Ablett J, editor Analysis and main experiences in 82 patients treated in the Leeds Tetanus
Unit. Symposium on Tetanus in Great Britain Boston Spa, UK: National Lending Library;
1967.
7. Vakil B, Bolot J, Bytchenko B, Femi-Pearse D, Garin J, Leonardi G, et al., editors. Proposal
for International Classification. Proceedings of the 4th International Conference on Tetanus
Dakar; 1975.
8. Udwadia F. Prognosis and mortality. Tetanus Oxford University Press, Bombay. 1994:106-
15.
9. Thwaites C, Loan H. Eradication of tetanus. British medical bulletin. 2015;116(1):69-77.
10. Bleck TP, Brauner JS. Tetanus. In : Scheld WM, Witley RJ, Marra CM, editors. Infections
of the central nervous system. 3rd ed. New York : Lippincott Williams & Wilkins; 2004:
625-48
11. Control CfD, Prevention. Tetanus surveillance-United States, 2001-2008. MMWR Morbidity
and mortality weekly report. 2011;60(12):365.
12. Dutta TK, Das AK, Sethuraman KR,. Neuroparalysis and ventilatory support in severe
tetanus. J Indian Med Assoc. 2006;104(2):63-6
13. Attygalle D, Rodrigo N. Magnesium as first line therapy in the management of tetanus: a
prospective study of 40 patients*. Anaesthesia. 2002;57(8):778-817.
14. Bhatia R, Prabhakar S, Gover VK. Tetanus. Neurol India. 2002; 50 (4) :398-407.

151
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

152
PETRI Cabang Semarang 2016

Infeksi Jamur: Diagnosis dan Manajemen

Soeharyo Hadisaputro

Morbiditas dan mortalitas infeksi jamur invasif makin meningkat akhir-akhir ini
di berbagai perawatan di rumah sakit, terutama pasien imunokompromais, penderita
AIDS dan pasien dengan tranplantasi organ, yang dipicu oleh meningkatnya
penggunaan instrumen invasif dan kateterisasi urin, yang secara potensial menekan
status imun.
Pertahanan fisiologik tubuh berpengaruh terhadap infeksi jamur, diantaranya
keadaan suhu, dimana kebanyakan jamur tak dapat tumbuh pada suku 370C, pada
umumnya jamur sebagai saprofit, pertahanan host non spesifik yang penting adalah
permukaan tubuh (mukosa, saliva), kulit dan mukosa (barier mekanik, mencegah
masuknya jamur), flora normal kulit dan mukosa (terbatasnya pertumbuhan
potensial kuman patogen). Infeksi jamur pada umumnya disebabkan oleh 4 genus
yaitu Aspergilus, Candida, Fusarium dan Scedosporium, dimana Candida
merupakan jenis yang paling sering menyebabkan infeksi jamur pada seseorang,
mulai dari yang ringan sampai berat, bersifat invasif yang melibatkan multi organ.
Genus Candida tersebut terdiri dari C.albicans, C.glabrata, C.parapsitosis dan
C.tropicalis. Kandidiasis invasif dapat terjadi akibat kemajuan teknologi kedokteran,
karena berkaitan dengan instrumentasi/alat canggih yang digunakan saat ini.
Berbagai faktor risiko yang dianggap berkaitan dengan meningkatnya infeksi jamur
adalah penggunaan antibiotik spektrum luas, kateterisasi vena sentral, nutrisi
parenteral, pasien dalam keadaan neutropeni, penggunaan alat bantu prostetik
dalam tubuh, penggunaan obat penekanan kekebalan (imunosupresan) termasuk
juga pasien dengan imunokompromais. Dengan demikian faktor predisposisi
terjadinya infeksi jamur akkbat berbagai keadaan yaitu terganggunya pertahanan
epitel yang mungkin terjadi akibat penggunaan antibiotika multipel, dialisis
peritoneal, luka bakar, ulkus, insisi pembedahan, meningkatnya pH asam lambung,
kemoterapi, radioterapi dan lain-lain), defek neutrofil, fagosit mononuklear, (seperti
radioterapi, kemoterapi, anemia aplastik, diabetes melitus) dan defek limfosit T.
Infeksi jamur invasif sekarang ini menjadi penyebab utama meningkatnya
morbiditas dan mortalitas penderita imunokompromais, terutama pada penderita
keganasan yang mendapat pengobatan sitostatika. Keberhasilan pengendalian
infeksi bakteriologik sering kali diimbangi dengan peningkatan infeksi oportunistik
berupa infeksi jamur invasif, yang justru memperberat komplikasi infeksi yang sudah
ada. Morbiditas infeksi jamur kandidiasis bervariasi antara 47-60%, disusul

153
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

penyebab kedua adalah Aspergillus (30%) yang dianggap berkaitan dengan patogen
HAI’s yang refrakter terhadap anti jamur sistemik. Data lain menyebutkan bahwa
Case Fatality Rate yang berkaitan dengan penyebab infeksi kandidiasis saat ini
pada semua usia dan kondisi berturut-turut adalah jamur C.glabrata (45%)
C.tropicalis (41,4%), C albicans (38,5%) dan C.parapsilosis (25,9%). Dilema
diagnosis Infeksi Jamur Invasif adalah gejala klinik tidak spesifik, kejadian biasanya
pada infeksi lanjut, sehingga hambatan yang sering dihadapi untuk mengendalikan
infeksi jamur invasif adalah dalam menegakkan diagnosis, karena hanya 20-30%
dari semua infeksi jamur invasif dapat dideteksi dengan sarana diagnosis. Tetapi,
kemajuan teknologi bidang farmasi dapat mengatasi hal ini karena ditemukannya
obat anti jamur sistemik yang efektif, dengan toleransi baik yang tersedia bentuk
oral dan parenteral. Dengan demikian dimungkinkan untuk pemberian anti jamur
sistemik secara empirik sejak awal, bagi yang dicurigai kemungkinan adanya infeksi
jamur sistemik.
Cara mendiagnosis infeksi jamur di antaranya pemeriksaan mikroskopik
langsung (sputum, biopsi, kulit dengan pengecatatan tertentu, kultur jaringan, dan
DNA Probe test, untuk diagnosis cocciodiodes, histoplasma, blastomyces
dermatitidis, cryptococcus. Tes serologik dapat juga digunakan untuk histoplasma,
cocciodiodes, ELYSA digunakan untuk menentukan antigen histoplamosis pada
pasien infeksi HIV/AIDS. Kriteria yang dapat dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
infeksi jamur dari pihak host adalah bila didapatkan jumlah neutrofil <500/mm 3
lebih dari 10 hari, demam menetap >96 jam yang refrakter terhadap antibiotik
spektrum luas, penggunaan kortikosteroid >3 minggu, suhu >380C atau <360C,
penggunaan agen imunosupresif 30 hari, pasien AIDS. Infeksi jamur invasif secara
klinik diduga bila ada demam menetap yang tidak respon antibiotik spektrum luas
pada pasien risiko tinggi, adanya macronodular cutaneus lesion (Candidiasis);
adanya new pulmonary infiltrate (Aspergellosis), hallo sign on CT Scan or mycotic
lesion. Hal ini sesuai dengan penerapan strategi managemen infeksi jamur invasif
yaitu diberikan pengobatan secara empiris bila pasien dengan neutropeni,
imunokompromais dengan demam yang tak diketahui sebabnya yang sudah
diberikan antiobiotik spektrum luas. Strategi infeksi jamur invasif dapat digolongkan
menjadi pemberian secara profilaksis, secara empiris, secara presumtif dan secara
konfirmatif (bila diagnosis didapatkan secara mikologik).
Pemberian terapi empiris dipertimbangkan pada pasien dalam kegawatan
dengan kemungkinan faktor risiko kandidiasis invasif, tidak diketahui jelas penyebab
demam tinggi, asesmen klinik faktor risiko, tanda serologik kandidiasis invasif dan
kultur darah menunjukkan steril terhadap bakteri. Tetapi, pemberian anti fungal
harus memperhatikan toleransi yang cukup baik, efektivitas terpercaya, interaksi
terbatas, cara pemberian yang simpel dan tidak mahal.

154
PETRI Cabang Semarang 2016

Obat anti jamur sistemik dibagi menjadi 4 jenis yaitu 1. Polyene (AmB-d, L-AmB,
AmB kompleks lipid, ABLC) dan dispersi koloid Amb (ABCD); 2. Azole (fluconazole,
itaconazole, variconazole, dan posaconazole); 3. Echinocandin (caspofungin,
anidulafungin, dan mycafungin) dan 4. Flucytosine.
Terapi empiris pada penderita imunokompromais yang diduga infeksi Candida
invasif dibedakan yang neutropeni dan non neutropeni. Pada pasien neutropeni
diberikan fluconazole 800 mg loading dose, dilanjutkan 400 mg per hari atau
caspofungin 70mg loading dose kemudian 50 mg per hari atau anidulafungin 200
mg loading dose kemudian 100 mg per hari atau mycafungin 100 mg per hari,
fluconazole : loading dose 800 mg, kemudian 400mg / hari. AmB-d (0,5-1,0 mg/Kg
BB per hari) atau L-AmB (3-5 mg/KgBB/hari dapat digunakan bila ada intoleransi
terhadap antifungi lain. Sedangkan pasien non neutropenia dapat diberikan LAmB,
caspofungin, voriconazole, fluconazole loading dose 800 mg dilanjutkan 400 mg
per hari atau itraconazole 200 mg 2 x sehari.
Referensi
1. Pappas PG, Kaufman CA, Anders DR, Clancy CJ, Marr KAOstrasky-Ziechner L, et al.
Clinical Practice Guideline for management of Candidiasis 2016, Update by Infectious
Disease Sociaety of America, CID 2016 : 62 (15 February 2016), 409-417.
2. Mescallino MT, Bacterial and Mycotic Infection in Immmunocomprimized Host Clinical and
Microbiological Aspect, www.esciencecentral.oegf.e.books.
3. Jawetz, Melnick, Adeberg’s, Medical Mycology in Medical Microbiology, Editors Brooks
GF, Butel JS, Morse SA, McGraw-Hill Co. Inc 2005, p 313-52.
4. Hay RJ, Fungal Infection in Cecil Texbook of Medicine 22 th ed, editors Cook GC. and
Zumla AI. Saunders and Elsevier, 2009, p 1169-90.
5. Richarson MD and Warnoch DW, Antifungal Drug in Texbook of Fungal Infection : Diagnosis
and Managemen, The Backwell Science Ltd. 22 nd ed. 2008, p 20-55.

155
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

PETRI Cabang Semarang 2016

156
PETRI Cabang Semarang 2016

Management of Acute Viral Hepatitis

Hery Djagat Purnomo

I. Pendahuluan
Definisi
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang terutama mengenai hati.
Sebagian terbesar disebabkan oleh berbagai virus hepatotropik (A, B, C, D, E).
Infeksi oleh virus lain terkadang juga mengenai hati misalnya: cytomegalovirus
(CMV), herpes simplex, coxsackievirus, dan adenovirus. Hepatitis A dan E adalah
infeksi yang dapat sembuh sendiri, infeksi hepatitis C dan hepatitis B biasanya
menjadi kronik.
Secara global, hepatitis C mengenai 250 juta orang di dunia, dan 300 juta
or a n g d i p e r k i r a k a n s e b a g a i p e m b a w a v i r u s h e pa t i t i s B . H e pa t i t i s A
disebabkan terutama oleh konsumsi makanan/minuman yang terkontaminasi virus.
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan melalui seksual. Hepatitis C umumnya
menyebar melalui kontak darah langsung dengan pasien yang terinfeksi.
Seseorang bisa terinfeksi oleh hepatitis D jika sudah terinfeksi oleh hepatitis B.
Hepatitis virus E ditularkan melalui konsumsi minuman yang terkontaminasi virus.
Hepatitis yang tidak dapat dikategorikan dalam salah satu virus diatas disebut
dengan hepatitis X. Hepatitis G adalah bentuk lain hepatitis yang disebabkan oleh
virus spesifik (HGV). Gejala awal dari hepatitis mirip seperti sakit flu/influenza.
Pada makalah ini akan dibahas secara overview tentang pengelolaan hepatitis
akut virus yang disebabkan oleh hepatitis A, B dan C.
2. Fungsi Utama Hati
Hati adalah organ terbesar dalam tubuh. Berat sekitar 1.36 kg. Hati memiliki
fungsi yang sangat beragam meliputi detoksifikasi semua bahan berbahaya/toksin,
menyimpan vitamin A, D, K, vitamin B12 dan mineral. Sintesis protein, produksi
bahan biokimia yang diperlukan untuk pencernaan seperti empedu. Mengendalikan
kadar gula darah dalam darah. Produksi 80% kolesterol tubuh. Penyimpanan
glikogen dan proses metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Sintesis plasma
protein dan penghancuran sel darah merah, produksi urea dan hormon.

157
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

3. Diagnosis Infeksi hepatitis virus akut (Algoritma)

Keterangan : HAV, hepatitis A virus; HBc, hepatitis B core (antigen); HBsAg, hepatitis
B surface antigen HBV, hepatitis B virus; HCV, hepatitis C virus; HDV, hepatitis D
virus; HEV, hepatitis E virus; IgG, immunoglobulin G; IgM, immunoglobulin M

4. Hal-hal yang Penting Diperhatikan


Isu terpenting dalam pengelolaan hepatitis virus akut adalah sebagian besar
kasus, pengelolaan adalah suportif dan tidak memerlukan hospitalisasi dan
medikasi. Intervensi pembedahan (selama kondisi akut atau karena misdiagnosis)
bisa berbahaya. Bukti/temuan anekdot diduga terdapat sering terjadi pengelolaan
yang salah pada kondisi ini, terutama pada daerah dengan sumber daya terbatas.

158
PETRI Cabang Semarang 2016

Sebagian besar infeksi akut asimptomatik, jika gejala positif bisa tampak sama/
mirip untuk semua (5) jenis virus hepatitis diatas. Sangat penting untuk menegakkan
virus mana yang menjadi penyebab, karena risiko progresivitas yang berbeda:
Hepatitis A:
Sembuh spontan. Angka gagal hati fulminan sangat rendah, tingkat
keparahannya 1% pada usia >40 tahun.
Hepatitis B:
Sembuh spontan pada usia dewasa 95%, tetapi tidak pada usia anak-
anak <5 tahun.
Hepatitis C:
Sembuh spontan pada 20-50% kasus (>90% pada mereka yang diobati
interferon alfa monoterapi).
Hepatitis D:
Sembuh spontan jika virus hepatitis B (VHB) sembuh spontan.
Hepatitis E:
Sembuh spontan. Angka mortalitas pada FHF 1-3%, pada wanita hamil
meningkat menjadi 15-25%. Pada sebagian besar hanya perlu terapi suportif.
Jika hepatitis A endemik, infeksi hepatitis A bisa disingkirkan, karena pada
infesksi awal akan menyebabkan imunitas lonlife. Isu kedua yang penting
adalah identifikasi faktor risiko. Pada wanita hamil sebagai contoh, sangat
penting mengekslusi hepatitis E virus. Tampaknya hepatitis akut lebih
berbahaya pada usia dewasa daripada anak-anak, terutama pada usia lebih
dari 40 tahun dan pada mereka dengan infeksi dasar penyakit hati kronik.
Pada semua kasus faktor risiko kelompok untuk terjadinya hepatitis yang berat
sebaiknya diidentifikasi, biasanya ini mengenai pasien usia lanjut, dan pasien
dengan penyakit dasar penyakit hati kronik. Hepatitis akut fulminan bisa terjadi
pada usia berapa pun.
Hal-hal terpenting untuk diingat:
- Kondisi hepatitis akut bisa disebabkan oleh virus, toksin, atau manifestasi
pertama dari penyakit hati kronik.
- Hepatitis virus akut hampir selalu sembuh spontan.
- Pada hampir semua kasus, adalah sangat baik untuk tidak melakukan
apapun kecuali menghentikan obat-obatan seperti kontrasepsi oral.

159
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

- Tidak ada peranan vitamin, terutama pada negara-negara berkembang,


injeksi vitamin yang sering diberikan tidak diperlukan.
- Tidak ada peranan restriksi protein pada hepatitis akut tanpa komplikasi.
Pada negara berkembang, pasien sering sudah mengalami kurang protein,
akan memperberat defisiensi protein dan menyebabkan komplikasi.
- Latihan fisik sebaiknya mulai dilakukan segera jika pasien sudah merasa
fit untuk melakukan, jangan terlalu lama berada di tempat tidur.
- Peningkatan kadar ALT adalah indikator yang baik untuk injury hati akut,
tetapi tidak menunjukkan keparahan penyakit, nilai bilirubin dan INR
diperlukan untuk evaluasi.
- Semua gejala hepatitis virus akut menunjukkan gejala yang sama.
- Sebaiknya ditentukan apakah kondisi yang dihadapi ini infeksi akut atau
flare up hepatitis pada infeksi hati kronik.
- Penyakit hati kronik lain bisa jadi mempresentasikan kondisi akut
misalnya: hepatitis autoimun.
- Pertimbangkan pemberian upaya pencegahan, pengenalan transmisi dan
anjuran vaksinasi.
- Pada wanita hamil dengan VHB, bayi yang dilindungi dengan vaksin
hepatitis B dan HBIg pada saat persalinan.
- Pada hepatitis virus C akut, penting untuk melakukan tes HCV RNA dan
anti HCV segera. Jika keduanya positif kondisi tersebut mungkin penyakit
kronik hepatitis C dengan flare up hepatitis. Jika hanya HCV RNA positif,
mungkin suatu hepatitis akut C pasien di follow up sampai muncul anti HCV.

6. Pengelolaan Hepatitis Virus Akut


6.1. Hepatitis A Akut
Terapi suportif dan konservatif, tidak perlu hospitalisasi, karantina atau bed rest
total, obat-obatan baik itu vitamin, restriksi diet maupun transfusi darah. Tidak ada
obat spesifik untuk infeksi virus hepatitis A. Perilaku sehat amat penting. Pengelolaan
fokus pada pengobatan gejala dan identifikasi pasien yang berisiko untuk
berkembang menjadi gagal hati fulminan. Usia pasien >40 tahun dan mempunyai
riwayat penyakit hati kronik, sebagian besar kasus yang berisiko. Vaksinasi untuk
pencegahan bisa diberikan pada orang yang risiko kontak. Terapi kontrasepsi oral
dan terapi pengganti hormon sebaiknya dihentikan untuk menghindari kolestasis.
Hindari mengkonsumsi alkohol.

160
PETRI Cabang Semarang 2016

6.2. Hepatitis B Akut


Terjadi penyembuhan spontan paska infeksi pada 95-99% orang dewasa yang
sehat sebelumnya. Terapi anti viral tidak diindikasikan kecuali pada pasien dengan
komplikasi non hepatik misalnya periarteritis nodusa, pasien immunocompromised
misalnya dengan CKD, terapi antiviral direkomendasikan.
Pada hepatitis fulminan, perawatan intensif akan memperbaiki survival, tetapi
transplantasi ortotopik adalah salah satu terapi yang memperbaiki luaran (outcome)
pasien. Penyembuhan dengan ditandai munculnya anti HBs mempunyai proteksi
jangka panjang.
6.3. Hepatitis C Akut
Indikasi untuk terapi: seroconversion to serum HCV RNA-positive or HCVcoreAg
positive. Identifikasi awal infeksi VHC sangat penting, karena ada bukti bahwa
intervensi awal dengan terapi standar interferon alfa dapat menurunkan risiko infeksi
kronik dari 80% menjadi 10%. Tidak ada profilaksis pada awal paparan virus
hepatitis C.

7. Pencegahan
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk hepatitis A
dan B sedangkan hepatitis C hingga kini belum ada vaksinasi. Pencegahan dengan
perbaikan perilaku/lifestyle untuk mencegah risiko penularan merupakan upaya
utama.

8. Kesimpulan
Infeksi akut virus hepatitis mempunyai gejala yang mirip diantara semua
penyebab virus. (VHA,VHB,VHC, VHE). Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan jika
diperiksa penanda akut serologi dari masing-masing penyebab.
Gejala hepatitis virus akut yang penting adalah seperti infeksi flu/influenza;
panas, malaise, anoreksia, nausea dan rasa tidak nyaman di perut, terkadang
disertai diare dan diikuti dengan kencing berwarna seperti teh dan ikterus.
Keparahan penyakit dan angka mortalitas meningkat pada usia lanjut terutama
yang terjadi hepatitis fulminan.
Kronisitas penyakit bisa terjadi pada infeksi VHB dan VHC, sedangkan pada
VHA tidak. Terapi secara umum hanya suportif, hindari bahan/obat yang toksik
pada hati misalnya alkohol, tidak membutuhkan karantina/hospitalisasi yang lama,
pemberian berbagai vitamin, kecuali terbukti ada avitaminosis tertentu.

161
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

Daftar Pustaka
1. World Gastroenterology Organisation, World Gastroenterology Organisation Practice
Guidelines: Management of acute viral hepatitis, 2007.
2. H. Nina Kim, Acute Hepatitis C Virus Infection: Epidemiology, Clinical Features, and
Diagnosis. Hepatitis web study , March 2013.
3. Kyohyun Kim, Baek-Geun Jeong, Moran Ki, Mira Park, J The costs of hepatitis A infections
in South Korea . Epidemiology and Health 2014;36:e2014011.
4. So Young Kwon, Sang Hoon Park, Jong Eun Yeon, Sook Hyang Jeong, Clinical
Characteristics and Outcomes of Acute Hepatitis A in Korea: A Nationwide Multicenter
Study.J Korean Med Sci 2014; 29: 248-253.
5. Hussain, Syed A Husain, Fahad N Almajhdi, Premashis Kar. Immunological and molecular
epidemiological characteristics of acute and fulminant viral hepatitis A. Virology Journal
2011, 8:254.

162
PETRI Cabang Semarang 2016

Update Sepsis

Budi Riyanto

Sepsis dan syok septik masih menjadi problem global yang belum juga
terselesaikan sampai saat ini. Sepsis secara sederhana didefinisikan sebagai
keadaan penderita dengan demam >38 0C atau <36 0C, HR>90/mnt, RR>20/
mnt (atau PaCO2<32 mmHg), WBC>12.000/u atau <4000/ul atau >10% sel imatur.
Sepsis berat, kalau keadaan tersebut disertai disfungsi organ dan disebabkan
karena infeksi. Dan kalau sudah dilakukan resusitasi cairan tekanan darah belum
normal, keadaan ini disebut sebagai syok septik.
Batasan seperti tersebut diatas sudah dikenal sejak lama (tahun 2001).
Sekarang dirasakan batasan tersebut tidak memadai. Sehingga pada tahun 2016,
batasan sepsis mengalami sedikit perubahan. Perubahan ini diusulkan oleh Society
of critical care dan European Society of Critical Medicine. Perubahan khususnya
dengan dipakai score SOFA (Sequential Sepsis Related Organ Failure). Perubahan
ini menitikberatkan hubungannya dengan mortalitas dan prognosis penderita
sepsis.
Mortalitas di negara maju sekitar 9.3%. Penyebab sepsis bergeser dari tahun
ke tahun. Pada dibuat batasan sepsis. Sepsis didominasi oleh infeksi gram negatif.
Tetapi saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya infeksi gram positif dan infeksi
jamur.
Banyak sekali keadaan klinik yang menyerupai sepsis dan sukar dibedakan
dengan gambaran klinik sepsis. Trauma, luka bakar, pankreatitis adalah beberapa
contoh yang dapat disebutkan.
Sepsis dengan mortalitasnya yang begitu tinggi selalu menarik untuk dipelajari
dan kemudian dianalisis khususnya dalam patogenesisnya. Diharapkan dengan
memahami patogenesisnya maka tatalaksananya akan menjadi mudah.
Patogenesis, dari awal sudah diketahui bahwa pada sepsis terjadi proses
imunologik yang luar biasa. Sentral perubahan ini adalah sitokin. Dalam beberapa
buku ditulis pada sepsis terjadi cytokine storm. Dan sampai sekarang pendapat
ini masih dikenal dan dipakai. Sebenarnya respon imun adalah suatu yang wajar
terjadi bila tubuh manusia di invasi oleh bakteri. Tetapi pada sepsis, respon ini
yang tadinya fisiologik berubah menjadi patologik. Karena respon yang terjadi
menjadi berlebihan dan tidak terkendali. Respon imun yang berlebihan ini menjadi
bersifat destruktif, simultan, merata dan masif. Sehingga akan terjadi kerusakan

163
Current Infectious Diseases Problems and Challenges in The BPJS Era

jaringan di tingkat seluler dengan dampak terjadinya disfungsi organ. Bila proses
ini menjadi tidak terkendali, maka terjadi disfungsi organ vital dan menjadi fatal.
Ilmu kedokteran sekarang sudah melihat dan mengamati, bahwa kerusakan
dan disfungsi dini terutama terjadi didalam sistem mikrosirkular. Di tingkat ini
pelepasan mediator inflamasi, sitokin, protease, lipid mediator, peptida-peptida
yang bersifat vasoaktif, dan stress cell marker berperanan dalam patogenesis
sepsis.
Manajemen/tatalaksana sepsis sampai sekarang masih terkendala.
Kendalanya adalah belum tersedianya obat yang dapat bekerja efektif pada sepsis.
Percobaan dengan menggunakan antisitokin belum memperlihatkan hasil yang
menggembirakan. Federation Drug Administration Amerika, baru meng-approved,
Activated Protein C, suatu anti inflamasi yang menghambat sitokin pro inflamasi
dan anti koagulan dengan menghambat pembentukan trombin di pembuluh darah
vaskular hasilnya masih kontroversial.
Selain perubahan di mikrovaskular, sekarang ini banyak penelitian yang sudah
mempelajari perubahan yang terjadi di organ-organ penting antara lain di jantung
dan di hepar. Diharapkan dengan mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi
organ organ penting tadi akan lebih membuka wawasan tentang sepsis. Dengan
demikian terbuka kemungkinan pengembangan dalam diagnosis dan terapi sepsis.
Pengembangan dalam diagnosis saat ini, adalah memakai sitokin sebagai alat
diteksi perubahan-perubahan yang terjadi pada sepsis. Misalnya prognosis dapat
dilihat dengan melihat penurunan IL-6. Sebaliknya produksi yang berlebihan IL-10
berhubungan dengan keadaan fatal.
Penggunaan sitokin yang dalam terapi sepsis sudah lama dilakukan. Terapi
imunomodulator dalam sepsis, misalnya menggunakan: Anti TNF- , Anti IL-1,
Anti MIF, IFN-γ, GM CSF, rhAPC dan lain-lain.
Masih banyak lagi perkembangan terapi sepsis, tetapi semua masih sebatas
di laboratorium dan percobaan binatang. Semoga diwaktu yang akan datang, semua
keinginan kita untuk mengurangi mortalitas sepsis tercapai dengan penemuan
obat baru.

164

Anda mungkin juga menyukai