Anda di halaman 1dari 10

Hubungan Masyarakat

Hubungan Masyarakat
ISLAM dalam menegakkan hubungan antara anggota masyarakat
mempunyai dua landasan yang prinsipal, yaitu:
1. Demi melindungi persaudaraan, sebagai suatu ikatan yang kuat antara
satu dengan lainnya,
2. Demi menjaga hak dan kehormatan yang selalu dilindungi oleh Islam
terhadap setiap anggota masyarakat, baik darah, harga diri maupun
hartanya.
Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan atau tindakan yang
pertentangan dengan dua prinsip di atas, adalah diharamkan oleh Islam
menurut tingkatan bahaya yang tampak, dilihat dari segi moral maupun
material.
Dalam beberapa ayat berikut ini, ada beberapa larangan yang sangat
membahayakan jalinan ukhuwah dan kehormatan manusia.
Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, oleh karena itu
adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman! Jangan
ada satupun kaum merendahkan kaum lain, sebab barangkali mereka
(yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang merendahkan);
dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya, sebab
barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang
merendahkan); dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu
memberi gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) --misalnya fasik--
sebab seburuk-buruk nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan
barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim. Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak sangka, karena
sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa; dan jangan kamu
mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebagian kamu
mengumpat sebagiannya, apakah salah seorang di antara kamu suka
makan daging bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya?
Takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah maha menerima taubat
dan belas-kasih." (Al-Hujurat: 10-12)
Allah Ta'ala telah menetapkan dalam permulaan ayat-ayat ini, bahwa orang
mu'min pada hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara
seagama dan saudara sesama manusia. Maka demi kelangsungan
persaudaraan ini harus ada saling kenal-mengenal; dan jangan saling
mengingkari, bahkan harus saling berhubungan dan jangan saling
memutuskan, saling merapat dan jangan berjauhan, saling menyintai dan
jangan saling membenci; dan harus bersatu, jangan berselisih.
Dan dalam hadis Nabi s.a.w. dikatakan:
"Jangan kamu saling hasut-menghasut, dan jangan saling bertolak
belakang, dan jangan saling membenci. tetapi jadilah kamu hamba Allah
bersaudara." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya
Dan dari situlah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku
kasar terhadap kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam
tidak memperkenankan seorang muslim menjauhi kawannya, kecuali
dalam batas tiga hari, sehingga tenanglah kemarahan kedua belah pihak.
Kemudian mereka berdua harus berusaha untuk memperbaiki,
menjernihkan suasana dan mengatasi perasaan-perasaan congkak, benci
dan permusuhan. Sebab di antara sifat-sifat yang terpuji dalam al-Quran
ialah:
"Merendah diri terhadap orang-orang mu'min." (Al-Maidah: 54)
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika
telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah
salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama
mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia
kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah
keluar dari dosa karena menjauhi itu." (Riwayat Abu Daud)
Lebih hebat lagi haramnya memutuskan silaturrahmi ini apabila terhadap
keluarga yang oleh Islam diwajibkan untuk menyambungnya dan
melindungi kehormatannya.
Firman Allah:
"Dan takutlah kamu kepada Allah yang padaNya Kamu meminta dan
jagalah keluarga karena sesungguhnya Allah maha mengawasi atas
kamu." (An-Nisa': 1)
Rasulullah s.a.w. menggambarkan silaturrahmi ini dan nilainya, dalam
salah satu sabdanya sebagai berikut:
"Kekeluargaan bergantung di Arsy, ia akan berkata: barangsiapa
menghubungi aku, maka Allah pun akan menghubunginya; dan
barangsiapa memutus aku, maka Allah pun akan memutusnya." (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Tidak masuk syorga orang yang memutus." (Riwayat Bukhari)
Sebagian ulama ada yang menafsirkan kata-kata memutus itu yakni:
memutuskan silaturrahmi. Dan lainnya menafsirkan dengan: memotong
jalan (penyamun). Jadi seolah-olah kedua-duanya berada dalam satu
kedudukan.
Bukanlah yang dimaksud silaturrahmi yang wajib itu sekedar seorang
kerabat menghubungi dan berbuat baik kepada yang lain, sebab ini adalah
satu hal yang biasa dan yang mesti demikian. Tetapi apa yang dimaksud
silaturrahmi yang wajib ialah tetap menghubungi keluarga-keluarganya
sekalipun mereka itu menjauhinya. Seperti sabda Nabi:
"Bukanlah orang yang menghubungi keluarga itu ialah orang yang
menjamin, tetapi yang dinamakan orang yang menyambung kekeluargaan
ialah apabila keluarganya itu memutuskan dia, maka dia tetap
menghubunginya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini semua tidak berlaku terhadap hal yang dibenarkan Allah dan dalam
masalah yang hak. Sebab teguhnya ikatan iman ialah: Cinta karena Allah,
dan benci pun karena Allah.
Rasulullah s.a.w. pernah menjauhi ketiga orang sahabatnya yang tidak
mau turut dalam peperangan Tabuk selama 50 hari, sehingga bumi ini
layaknya sempit dan hatinya merasa kebingungan, dan tidak ada seorang
pun yang mau bergaul dengan mereka, atau berbicara dan memberi
salam. Begitulah sehingga Allah menurunkan ayat tentang diterimanya
taubat mereka itu.28
Dan pernah juga Rasulullah s.a.w. menjauhi sebagian isterinya selama 40
hari.28
Ibnu Umar pernah menjauhi anaknya sampai ia meninggal dunia, karena
anaknya tidak mau mengoreksi hadis yang diterimanya dari ayahnya dari
Rasulullah s.a.w. tentang dilarangnya laki-laki menghalang-halangi
isterinya pergi ke masjid.29
Adapun menjauhi kawan lantaran kepentingan duniawi, maka
sesungguhnya duniawi harus lebih dikesampingkan dalam hubungannya
dengan Allah dan seorang muslim, daripada membawa kepada sikap
berjauhan dan memutuskan tali persahabatan antara seorang muslim
dengan saudaranya. Sebab memutuskan hubungan itu akan dapat
menghalangi pengampunan dosa dan rahmat Allah. Seperti diterangkan
oleh hadis Rasulullah s.a.w.:
"Pintu-pintu sorga akan dibuka pada hari Isnin dan Khamis, kemudian Allah
akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan
Allah sedikitpun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia
dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: tangguhkanlah kedua orang
ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga
mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka
berdamai." (Riwayat Muslim)
Kalau dia yang berada di pihak yang benar, maka cukup kiranya pihak
yang bersalah datang dan minta maaf, dan dia pun harus memberi maaf.
Dengan demikian maka selesailah persengketaan, dan haram hukumnya
dia menolak permintaan maaf saudaranya itu.
Terhadap orang yang berbuat demikian, Rasulullah s.a.w. mernberikan
ancaman, bahwa kelak di hari kiamat tidak akan masuk sorga. 30
Mendamaikan Persengketaan
Kalau cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan
keharusan bersaudara, maka bagi masyarakat Islam mempunyai
kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian masyarakat Islam yaitu suatu
masyarakat yang saling saling membantu dan saling menolong. Oleh
karena itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya bertengkar dan
saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan
membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas.
Bahkan setiap orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus
terjun ke gelanggang guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat
semata-mata mencari kebenaran dan jauh dari pengaruh hawa nafsu.
Seperti apa yang difirmankan Allah:
"... maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan
takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat: 10)
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang
keutamaan mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan
perpisahan. Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Maukah kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada
tingkatan keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka
menjawab: Baiklah ya Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:
yaitu mendamaikan persengketaan yang sedang terjadi; sebab kerusakan
karena persengketaan berarti menggundul, saya tidak mengatakan
menggundul rambut, tetapi menggundul agama." (Riwayat Tarmizi dan lain-
lain)
Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain
Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal
yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan
manusia.
Larangan pertama. tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu
tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup
bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan
sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab
dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan
kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang
neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada
suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang
diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan
jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali
mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang
memperolokkan."
Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan
mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa,
badan, pangkat dan kekayaan.
Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi
Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)
Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu
cacat di badannya, perangainya atau karena kemiskinannya?
Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka
betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang
diriku dalam kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih
berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)
Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang
memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti
Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang
mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan,
Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang
yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan.
Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan
suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata:
'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak
diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh karena itu pada hari ini
orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu." (al-
Muthaffifin 29-34)

Ayat ini31 dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan


mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam
kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahwa pengolok-olokan
sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi
di kalangan mereka.

Jangan Mencela Diri-Diri Kamu


Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-
wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud
di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain,
berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau
menikam dengan hujung tombaknya.
Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru
lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:
Luka karena tombak masih dapat diobati
Tetapi luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.
Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela
diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi
al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka
itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu
dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama
dengan mencela dirinya sendiri. Karena dia itu dari dan untuk saudaranya.

Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik


Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan
beberapa gelar yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak dan
tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan
dan celaan.
Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya.
Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan
bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan berubahnya hati dan
permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan
perasaan yang tinggi.
Su'uzh-Zhan (Berburuk Sangka)
Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan
penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh
ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,
Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap
yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka
berfirmanlah Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena
sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa." (al-Hujurat: 12)
Sangkaan yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.
Oleh karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap
saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia
secara umum pada asalnya bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka
tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk
menuduh. Sabda Nabi:
"Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka
itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)
Manusia karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima
prasangka dan tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap
orang-orang yang tidak ada hubungan baik.
Oleh karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima
tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.
Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan:
"Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat
Thabarani)
Tajassus (Memata-matai)
Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan
seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan
melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam
bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin.
Oleh karena itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-
zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi karena
adanya tajassus.
Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai
dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa,
selama dilakukan dengan bersembunyi.
Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi--
berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga
yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk
menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasehatilah mereka itu
dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi
mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk
menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah
mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:
"Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah
menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat
Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)
Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk
perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya
tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di
hadapan Allah.
Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah
s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:
"Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi
iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-
orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab
barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan
menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki
cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang
jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w.
mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa
izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda
Nabi:
"Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal
buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa
sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi:
"Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang
mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan
dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)
Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah
kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan
memberi salam kepada penghuninya.
Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-
rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi
salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya
kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah
itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika
dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian
itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang
kamu kerjakan." (an-Nur: 27-28)
Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan:
"Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya
sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang
tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)
Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini
meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:
"Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah
merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu."
(Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)
Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap
orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)

Anda mungkin juga menyukai